PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Zainul Mun’im, Hasby Assidiqe dan Sejarah Perkembangan Hadits Nabawi, hlm. 1.
http://Jurnal.stain-sorong.ac.id/index.php/Tasamuh/article/viewfile/71/47,Diakses pada 1
September 2017.
1
B. Rumusan Masalah
Berikut susunan rumusan masalah yang akan dibahas dalam pembahasan
makalah:
1. Apa saja periode dari sejarah perkembangan Hadits?
2. Bagaimana susunan atau urutan periode dalam sejarah perkembangan
Hadits?
3. Bagaimana periode tahapan dalam sejarah perkembangan Hadits?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini secara umum untuk menjelaskan mengenai
sejarah perkembangan Hadits dalam tujuh periode sekaligus serta untuk
memenuhi tugas dari mata kuliah Ulumul Hadits. Tujuan penulisan makalah
ini secara khusus sebagai berikut:
1. Mengetahui periode-periode dalam sejarah perkembangan hadits
2. Mengidentifikasi susunan atau urutan periode dalam sejarah
perkembangan Hadits
3. Menganalisis periode tahapan dalam sejarah perkembangan Hadits?
2
PETA KONSEP
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
Metode dalam menerima Utsman bin Affan Ali bin Abu Thalib
hadits
sejarah
Ulama mutaqaddimin
Kitab al sittah
3
Masa Tahun 656 H
Kitab Zawaid
Hancurnya Dinasti Zainuddin Al Iraqy
Abbasiyah
Kitab Jawani’
Ibnu Hajar Al Asqalani
Bangkitnya Turki
Utsmani
Kitab Takhrij
As Syakhawy
Kitab Hukum
Masa Sekarang
Metode Tahlili
Al-Maktabah Asy-Syamilah
Metode Ijmali
Takhrij Hadits
Metode Muqarin
Metode Mawdhu’i
Inkar As Sunnah
4
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
2
Nurrudin, Ulumul Hadits, (Bandung:PT.Remaja Rosdakarya,1994), hlm.10.
5
d. Ummahatul Mukminin; para istri Nabi seperti; Aisyah, dan Ummu
Salamah
2. Metode dalam Menerima Hadits.
Metode yang dilakukan sahabat dalam menerima hadits ada yang
menggunakan hafalan dan tulisan. Kemudian melalui proses as- sami
(pendengaran) , an- nadzar (penglihatan). Adapun penyampaian dengan
metode tulisan jarang dilakukan.3 Ada beberapa faktor yang menyebabkan
Hadis yang disampaikan tidak melalui tulisan (kodifikasi), terutama pada
masa awal perkembangan. Faktornya sebagai berikut:
a. Perhatian mereka tertumpu pada hafalan dan penulisan ayat Al- Qur’an
b. Kebiasaan orang arab yang mengagungkan hafalan dan tidak pandai
membaca dan menulis
c. Khawatir akan bercampur dengan Al- Qur’an.
Mayoritas sahabat hanya menghafal ajaran Rasulullah dan
menyampaikannya dari mulut ke mulut tanpa menulisnya. Yang demikian
karena rasulullah menyerukan secara tegas dalam penulisan al quran
kepada para sahabtnya, sedangkan dalam Hadits beliau menyuruh
menghafal dan ada larangan menulisnya.
Beberapa tokoh muslim juga memberikan alasan dan latar belakang
mengenai faktor yang menyebabkan Hadis yang disampaikan tidak melalui
tulisan diantaranya : Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan makna filosofis
atau faktor-faktor yang melatar belakangi larangan penulisan teks kenabian
selain Al-Qur’an. Kemudian Ajjah al-Khatib yang juga mengungkapkan
perihal larangan penulisan Hadis.
3
Ibid., hlm.11.
6
3. Faktor yang Mempengaruhi Minat Dalam Menerima dan Menyampaikan
Hadis.
Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan
menyampaikan hadis disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:
a. Dinyatakan secara tegas oleh Allah SAW dalam Al-Qur’an bahwa Nabi
Muhammad SWT adalah panutan utama (uswatun khasanah) yang
harus diikuti oleh orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah SAW
yang harus ditaati oleh mereka.
b. Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada
mereka yang berpengetahuan.
c. Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran
kepada mereka yang tidak hadir.
Meskipun Nabi melarang menulis hadits, namun tidak menjadikan
para sahabat riskan. Ada juga yang menulis bahkan membukukannya
dalam bentuk lembaran lembaran. Diantaranya mereka yang terkenal
adalah Abdullah ibn Amr ibn Ash yang dinamai “As- Shahifah Shadiqah” 4
kemudian Ali bin Abi Thalib yang menulis shahifah tentang “diat” serta
Jabin ibn Abdullah menulis “Shahifah Jabir”.
7
Setelah Nabi wafat, para sahabat mengembangkan hadist kepada
Kaum Tabi’in, seperti kaum Ummahatul Mukminin.5 Penyebaran hadist
dilakukan diberbagai daerah dengan melanjutkan jejak Nabi, serta
mengutus di daerah muslim seperti saat Abu Bakar , Abdul Qois, dan
lain-lain diseluruh pelosok negeri.
2. Perkembangan Hadits Pada Masa Abu Bakar Assidiq.
Periode sahabat dimulai Abu Bakar Assidiq (11-13 H). Menurut
Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (w.1347 M), Abu Bakar merupakan
sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam
periwayatan hadis. Hal ini dibuktikan dengan sikap ketat Abu Bakar
dalam periwayatan hadis, terlihat pada tindakannya yang telah membakar
catatan-catatan hadis miliknya. Perhatian kepada hadist lebih ditekankan
untuk menyeleksi dan menetapkan hadist yang ada. Bahkan melakukan
secara ketat kepada pembuat-pembuat hadist. Sehingga pada masa itu
dinamakan Tatsbit wa al-jalal al-Riwayat,6 yang artinya periode
penyeleksian dan penyedikitan hadist.
Pada masa ini perawi yang menyampaikan hadistnya harus
menunjukkan sanad dan saksi. Abu bakar juga melarang menulis hadist
karena karena larangan Nabi. Para sahabat-sahabat yang lain beralasan
bahwa hadist akan bercampur dengan al-Qur’an. Pada masa ini perhatian
masih terfokuskan pada pengumpulan, penulisan, dan pembacaan al-
Qur’an.
3. Perkembangan Hadits Pada Masa Umar Bin Khatab.
Kebijakan Abu Bakar selanjutnya dilanjutkan oleh khalifah Umar
bin Khattab (13-14 H). Umar bin al-Khathab juga terkenal sangat hati-
hati dalam periwayatan hadis. Umar menekankan kepada para sahabatnya
agar tidak meriwayatkan hadis di masyarakat. Alasannya, agar
masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan
mendalami al-Qur’an. Bahkan Umar bersikap lebih keras kepada mereka
5
Ibid., hlm. 13
6
Ibid.
8
yang menyebarkan hadist. Akibatnya tokoh penhafal hadist tidak berani
menyebarkan hadist-hadist yang baru.
4. Perkembangan Hadits Pada Masa Utsman Bin Affan.
Perkembangan hadist menjadi semakin cepat dan tersebar ke berbagai
daerah semenjak khalifah Utsman bin Affan (23-36 H) memerintah.
Setelah menyelesaikan dan membukukan Al-Qur’an kemudian perhatian
difokuskan pada penyebaran hadist. Akhirnya munculah tokoh-tokoh
penghafal dan penulis hadist (Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn
Ummar, Abdullah ibn Abbas, Jabir Ibn Abdillah, dan Aisyah).7
5. Perkembangan Hadits Pada Ali Bin Abu Thalib.
Kemudian pada tahun (33-41) oleh khalifah Ali bin Abu Thalib.
Adapun bentuk periwayatan hadist pada masa ini adalah dengan bi al-
lafdhi (dengan lafadh asli) dan dengan periwayatan bi-al-makna (dengan
makna). Periwayatan bil al lafadzi adalah periwayatan menurut lafadz
yang diterima dari Nabi kemudian dihafalnya. Sedangkan bil makna
adalah periwayatan dengan cara meriwayatkan dengan maknanya, bukan
lafazh, karena tidak hafal isinya, dan mereka lebih mementingkan isi
daripada bahasa atau lafadhnya.
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadits yang
ditunjukkan dengan sikap kehati-hatian oleh para sahabat, tidak berarti
hadits-hadits Rasul tidak diriwayatkan. Kehati hatian para sahabat dalam
meriwayatkan hadits Rasulullah, karena khawatir terjerumus pada
kesalahan dan karena takut ada kesalahan masuk ke dalam Sunnah. 8Ada
dua jalan pada periode ini untuk meriwayatkan hadis:Periwayatan Lafzhi
dan periwayatan maknawi
7
Zainul Mun’im, Hasby Assidiqe dan Sejarah Perkembangan Hadits Nabawi, hlm. 7.
http://Jurnal.stain-sorong.ac.id/index.php/Tasamuh/article/viewfile/71/47, Diakses pada 1
September 2017.
8
Gufron, Muhammad,dkk, Ulumul Hadits Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Kalimedia, 2017),
hlm.28.
9
Ada beberapa cara yang ditempuh oleh para Khulafaur Rasyidin dalam
menjaga kevalidan hadits beberapa diantaranya:
a. Menunjukkan saksi dalam periwayatan (misalnya: dilakukan Abu
Bakar dan Umam)
b. Mau disumpah untuk membuktikan kebenaran hadist (seperti Ali
bin Abu Tholib yang melakukan sumpah kepada perawi hadist,
c. Mengecek hadist langsung ke sumber aslinya, seperti Jahit ibn
Abdullah.
Dengan demikian, keaslian hadist sejak awal telah teruji melalui langkah-
langkah yang telah ditempuh oleh para sahabat. Diantara orang-orang
yang banyak meriwayatkan hadist Nabi adalah:
a. Mereka yang pertama kali masuk Islam
b. Selalu mengikuti Nabi dan kuat hafalanya, seperti Abu Hurairah.
c. Menerima dari sahabat lain selain dari Rasul sendiri, karena
dikaruniai umur panjang, seperti Anas ibn Malik.
d. Bergaul rapat dan bersama Nabi , seperti Abdullah ibn Abbas.
e. Selalu mencatat apa-apa yang diperoleh dari Nabi, seperti Abdullah
ibn ‘Amr bin ‘Ash.
Diantara mereka yang terbanyak meriwatkan hadist addalah Abu
Hurairah 5374 buah, Abdullah ibn Ummar 2630 hadist, Anas bin Malik
2236 hadist, Aisyah 2210 hadist, Jubir ibn Abdillah 1540 hadist, Abu
Said al-Khudzry 1170 hadist, dan Abdullah ibn Amr ibn Ash. 9 Pada masa
ini, hadis nabawi belum dibukukan. Mereka tidak mengumpulkan hadis
Nabawi sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap al-Qur'an yang
dibukukan dalam satu mushaf.
9
Nurrudin, Ulumul Hadits, (Bandung:PT.Remaja Rosdakarya,1994), hlm.16.
10
Periode ketiga, dinamakan juga ‘Ashrul Insyar ar-Riwayat, yaitu masa
penyebaran hadist secara besar-besaran yang dimulai semenjak pemerintahan
Ali bin Abu Thalib sampai awal pemerintahan Umar abn Abdul Aziz (99-
101). 10
1. Proses Penyebaran Hadits.
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in
tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Hanya saja
persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi
para sahabat. Pada masa ini, Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu
mushaf. Dipihak lain, usaha yang telah dirintis para sahabat pada masa
kekhalifahan Usman, para sahabat ahli hadist menyebar ke beberapa
wilayah kekuasaan Islam. Kepada merekalah para tabi’in mempelajari
hadist.
Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayah, wilayah
kekuasaan Islam tidak hanya Makkah, Madinah, Andalus, Yaman dan
Khurasan, melainkan juga Mesir, Persia, Iraq, Afrika Selatan,
Samarkand, dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya penyebaran ke
berbagai daerah, perkembangan hadist semakin meningkat. Sehingga
pada masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadist
(intisydr al-riwdyahild al-amshdir).11
2. Pusat Pembinaan Hadits.
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan hadits, diantarannya:
Madinah Al- Munawwarah, Makkah Al- Mukkaramah, Kufah, Basrah,
syam, Mesir, Maghribi dan Andalus,Yaman dan Khurasan.
Ibid., hlm.20.
10
11
Munzier Suparta, Ilmu Hadits. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), hlm.85.
11
khalifah Usman. Pada masa ini umat islam terpisah menjadi tiga
golongan. Akibat perpecahan itu, timbulah hadist Maudhu’ atau hadist
palsu yang dipelopori oleh Ibn Abi Al Hadid dalam kitabnya Nahyul
Balaghah.
12
Munzier Suparta, op.cit, hlm.88.
12
sayang sekali, karya kedua tabi’in ini lenyap, tidak sampai kepada generasi saat
ini.Setelah kedua tokoh tersebut, maka mulailah banyak yang mengikuti
mereka, seperti: Ibn Juraij (150-H) dan Ibn Ishaq (151-H) di Makkah; Ma'mar
(153-H) di Yaman; al-Auza'i (156-H) di Syam; Malik (179-H), Abu Arubah
(156-H) dan Hammah bin Salamah (176-H) di Madinah; Sufyan al-Tsauri
(161-H) di Kufah; Abd Allah bin Mubarak (181-H) di Khurasan; Husyaim
(188-H) di Wasith; Jarir bin Abd al-Hamid (188-H) di Ray. Mereka tidak hanya
menulis hadis-hadis Nabi saja, tetapi juga atsar para sahabat dan tabi'in13
Latar Belakang Munculnya Pemikiran Usaha Tadwin Hadis adalah sebagai
berikut:
1. Khawatir akan hilangnya hadis-hadis dengan meninggalnya para ulama di
medan perang.
2. Khawatir akan tercampurnya antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-
hadis palsu.
3. Semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan antara
tabi’in satu dengan yang lainnya tidak sama, sehingga sangat memerlukan
adanya usaha kodifikasi ini.
13
2. Pembukuan hadits melibatkan para sahabat nabi yang berilmu dan tersebar
ke seluruh penjuru arab. Pada masa ini daerah kekuasaan islam semakin
meluas sehingga banyak ulama berilmu yang menyebar untuk berdakwah.
3. Pembukuan hadits ditujukan untuk seluruh umat muslim bukan hanya
perseorangan seperti pada zaman Rasul sehingga banyak mendapat
dukungan dari berbagai pihak.
14
Munzier Suparta, op.cit, hlm.92.
14
shahih. Kitab-kitab tersebut pada perkembangannya kemudian, dikenal
dengan Kitab Al-Sittah (kitab induk yang enam). 15 Secara lengkap kitab-
kitab yang enam di atas, diurutkan sebagai berikut :
a. Al-Jami’ Al-Shahih susunan Imam Al-Bukhari
b. Al-Jami’ Al-Shahih susunan Imam Muslim
c. Al-Sunan susunan Abu Daud
d. Al-Sunan susunan At-Tirmidzi
e. Al-Sunan susunan An-Nasa’i
f. Al-Sunan susunan Ibnu Majah
Sistem kodifikasi enam hadits diatas dilakukan dengan cara pengarang
menghimpun semua kritik yang dilancarkan para tokoh kalam dan
menangkisnya dengan argumen yang kuat dan pengarang menghimpun
hadits secara musnad, maksudnya menghimpun hadits dari sahabat sampai
dengan Rasul.
3. Masa Pengembangan Dan Penyempurnaan Sistem Penyusunan Kitab
Kitab Hadis.
Penyusunan kitab kitab pada masa ini lebih mengarah pada usaha
mengembangkan dengan beberapa variasi pentadwinan terhadap kitab-
kitab yang sudah ada.
15
Ibid.
15
golongan mutaqdimin yaitu para ulama hadits pada periode awal sampai abad
ketiga hijriyah yang menulis hadits hasil pencarian dan pengumpulan sendiri
berdasar ijtihad sendiri.
Ulama-Ulama Hadist yang muncul pada abad II H dan III H digelari
Ulama Mutaqaddimin. Sedangkan Ulama-Ulama Hadist yang muncul pada
abad IV H dan seterusnya diberi gelar Muta’akhkhirin. Kebanyakan Hadist
yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab
Mutaqaddimin. Pada periode ini muncul kitab Shahih yang tidak terdapat
dalam kitab Shahih Abad III H diantaranya adalah Ash-Shahih susunan ibn
Huzaimah, At taqsim wa al-Anwa’ susunan ibn Hibban, Al Mustadrak
susunan Al-hakim, Ash Shahih susunan Abu Awanah, Al-Muntaqa susunan
ibn Jarud dan Al mukhtarah susunan Muhammad ibn Abd al wahid al
Maqdisy. Di antara usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama Hadist pada Abad
ini adalah:
1. Mengumpulkan hadist Bukhari/ Muslim dalam sebuah kitab, seperti
kitab Al-Jami’Bainas Shahihaini oleh Ismael ibn Ahmad (414H).
2. Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab enam dengan urutan sebagai
berikut:
a. Al Jami’ Al Shahih susunan Imam Bukhari
b. Al Jami’ Al Shahih susunan Imam Muslim
c. Al Sunan susunan Abu daud
d. Al Sunan susunan al Tirmidzi
e. Al Sunan susunan al Nasa’i
f. Al Sunan susunan ibn Majah.
3. Mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab,
diantaranya adalah Mashabih As Sunnah oleh Imam husain ibn Mas’ud
al Baghawi (516H), Jami’ul Masanid wal Alqab oleh Abdurrahman ibn
Ali al jauzy (597 H), Bahrul Asanid al Hafidh Al Hasan ibn Ahmad al-
Samarqandi (491 H)
4. Mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab Athraf.
Pada periode ini muncul usaha-usaha istikhraj dan istidrak. Istikhraj
16
adalah mengambil suatu hadis dari Bukhari dan muslim misalnya, lalu
meriwayatkan dengan sanad sendiri. Contoh : kitabnya adalah
Mustakhraj shahih Al Bukhari oleh hafidh al Jurjany, Mustakhraj
shahih Muslim oleh Al hafidh Abu Awanah. Sedangkan istidrak yaitu
mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan
Muslim atau salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau
dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim. Contohnya : kitab Al-
mustadrak oleh Abu Dzar Al-Harawy.
Tokoh-Tokoh Hadist yang lahir para periode keenam ini antara lain
ialah : Ibn Hibban, Ad-Daruquthny, Ath-Thabrany, Al-Baihaqy, Ibn Athsir
Al-Jazary dan lain-lain.
Jawami’ adalah sebuah kitab Al-Jami’ dimana penyusunnya
mengumpulkan semua bab-bab terdiri dari masalah Aqaid, ibadah,
mu’amalah, sejarah, biografi, perbudakan, fitnah-fitnah, dan berita-berita
mengenai hari kiamat, seperti kitab “Al-Jami’us Shahih” karya Imam
Bukhari. Adapun kitab lainnya yaitu Jami’ al-Masanid wa Sunan al-Hadi
karya Ibnu Katsir (774 H), yang mengumpulkan beberapa kitab hadits, seperti
Kutub as-Sitah, Musnad Ahmad, al-Bazzar, Abu Ya’la, dan Mu’jam al-Kabir;
Jam’ul Jawami’ karya as-Suyuthi (911 H).
Zawa’id adalah kitab yang berisi hadits-hadits yang tidak terdapat pada
kitab-kitab induk dengan jalan mencari sanad tersendiri. Diantara kitabnya
yaitu Zawaid Kitab Sunan Ibnu Majah, Ithaful Muharrah Zawaid bi Zawaid
al-Masani, Zawaid Kutub as-Sittah dan Musnad sepuluh, Kitab Zawaid Sunan
Kubra, Al-Mayhalibul Aliyah karya Ibnu Hajar.
Atraf adalah tiap-tiap kitab dimana penyusunnya menyebutkan
permulaan-permulaan matan hadits yang dapat menunjukkan pada sisa-sisa
hadits tersebut, kemudian menyebutkan sanad-sanadnya baik secara
menyeluruh atau hanya terbatas sebagian kitab-kitab tertentu, seperti kitab
“Tuhfatul Asyraf bi ma’rifatil Atraf” karya Al-Mizzi. Adapun kitab lainnya
17
yaitu Athraf Shohihain karya Ibrahim ad-Dimasqy, Athraf Sunan al-Arba’ah
dan Athraf Kutub as-Sittah.16
18
Mayoritas ulama’ hadits berpendapat bahwa menerima periwayatan
hadits pada masa anak-anakdianggapsah. Tidak diharuskan dalam
keadaan baligh dan asalkan ia mengerti serta disampaikan ketika baligh.
b. Penerimaan orang fasiq dan kafir
Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa menerima periwayatan hadits
bagi orang fasiq dan kafir dianggap sah. Namun dalam penyampaiannya
ia sudah bertaubat dan masuk islam.
Metode dalam tahammul wal al-ada’ haditsyaitu As-Sima’ (Mendengar), Al-
Qiro’ah ‘ala al-syaikhatau ‘aradh (Membaca dihadapan guru), Al-Ijazah
(Pemberian izin), Al-Munawalah (Pemberian), Al-Mukatabah (Menuliskan
hadits), Al-I’lam (Pemberitahuan), Al-Wasyiyyah (Wasiat), dan Al-Wijadah
(Memperoleh kitab lain tanpa proses sima’, ijazah, atau munawalah). 18Dan
metode As-Sima’, Al-Qiro’ah, dan Al-Mukatabah adalah yang paling valid
dan efektif karena termasuk metode belajar yang efektif.19
2. Takhrij Al-Hadits
Mencari penjelasan mengenai kedudukan asal usul hadits secara rinci.
Manfaat dari takhrij hadits yaitu dapat mengetahui hadits-hadits secara
lebih rinci sehingga memudahkan dalam mempelajari dan memahami
suatu hadits. Metode dalam takhrij hadits diantaranya yaitu menurut lafal
pertama, lafal-lafal yang terdapat dalam hadits, perawi hadits pertama,
tema hadits, status hadits, dan melalui program aplikasi.20
3. Inkar As-Sunnah
Suatu golongan yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber hokum
islam yang kedua setelah Al Qur’an dan menganggap Al Qur’an sebagai
kalam Allah yang sudah sempurna sehingga tidak memerlukan penjelas
seperti hadits atau sunnah serta menganggap Rasulullah hanya manusia
biasa yang pernah melakukan kesalahan dan dosa. Pelaku inkar as-sunnah
terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan pertama dari kalangan orang
18
Muhammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits Praktis dan Mudah, (Yogyakarta:
Kalimedia, 2017), hlm. 43.
19
Umar, Ilmu Hadits, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011), hlm. 133.
20
Ibid, hlm.
19
islam sendiri atau masih mengaku Islam dan yang kedua dari kalangan non
muslim yang melakukan kajian terhadap Islam atau kaum orientalis.21
4. Ilmu Ma’ani Al-Hadits
Ilmu yang digunakan untuk memahami hadits secara cepat dan
mempertimbangkan factor tertentu yang berkaitan dengan hadits. Metode
yang digunakan yaitu Tahlili (Analitis), Ijmali (Global), Muqarin
(Membandingkan), dan Mawdhu’i (Tematis).22
5. Program Aplikasi (Al-Maktabah Asy-Syamilah)
Keberadaan teknologi yang semakin berkembang pesat khususnya bidang
teknologi informatika membuat suatu hal menjadi lebih mudah seperti
dengan adanyas ebuah program aplikasi untuk mempelajari hadits secara
rinci. Salah satunya yaitu program aplikasi software bernama Al-Maktabah
Asy-Syamilah.
21
Desman YahyaMa’ali, “As-Sunnah an NabawiyahantaraPendukungdanPengingkarnya”,
dalamjurnalUshuluddin, Vol. 22, No. 2, Juli 2017, hlm. 191.
22
Nizar Ali, MemahamiHaditsNabi, (Yogyakarta: Center for Educational Studiens and
advelopment, 2001), hlm. 27.
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadis adalah sumber rujukan kedua umat Islam setelah al-Qur'an.
Keberadaannya menjadi ujung tombak umat Islam. Menulis hadits pada masa
Rasulullah bukanlah dilarang , melainkan harus dilakukan secara hati hati
agar tidak bercampur dengan al-Qur’an .
Cara-cara sahabat dalam meriwayatkan hadis pada periode kedua ada
dua macam yakni Pertama, adakalanya dengan lafadz asli. Kedua, mereka
tidak akan menerima hadis jika yang meriwayatkan hadis itu tidak
bersumpah. Pada masa ini pula, hadis nabawi belum dibukukan. Mereka tidak
mengumpulkan hadis Nabawi sebagaimana yang telah mereka lakukan
21
terhadap al-Qur'an yang dibukukan dalam satu mushaf. Diantara salah satu
ciri periode Tabi’in adalah terjadinya perpecahan politik yang benih-
benihnya telah ada semenjak wafatnya khalifah Usman Akibat perpecahan
itu, timbulah hadist Maudhu’
Pada masa Tadwin hadits pembukuan (kodifikasi) dilakukan secara
resmi berdasarkan perintah kepala Negara dengan melibatkan beberapa
personil yang ahli dibidangnya. Penyusunan kitab kitab pada Masa
Pentashihan dan Penyusunan Kaedah lebih mengarah pada usaha
mengembangkan dengan beberapa variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab
yang sudah ada.
Pada periode perkembangan hadits mengalami kemunduran (656 H),
dimana para ulama tidak bisa berkomunikasi lebih luas karena situasi politik
yang tidak mendukung. Pada masa sekarang perkembangan hadits mengalami
perkembangan dengan munculnya Tahammul Wal Al-Ada’ Hadits, munculnya
tahkrij Hadits, munculnya inkar as-sunnah, munculnya beberapa metode
dalam memahami hadits dengan metode islam ( Ma’ani Al-Hadits), dan
munculnya berbagai aplikasi dalam memahami dan menelaah hadits (Al-
Maktabah Syamilah).
DAFTAR PUSTAKA
Nizar, Ali. Memahami Hadits Nabi. Yogyakarta: Center For Educational Studies
and Development. 2001 .
22
Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. Cet.Ke-1. Jakarta : Raja Grafindo Persada 1993.
23