Anda di halaman 1dari 21

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PEMBUKUAN HADIST

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Hadits


Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris
Samarinda

Oleh:

Indra Wijaya : 2320100047


Syahril Pahlevi: 2320200074

Dosen Pengampuh :
Dr. H. Mukhtar M. Salam, Lc,MA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA
2023
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 3
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan............................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 3
A. Hadits dalam peiode pertama (Masa Rasul saw) ...................................................... 3
B. Hadist dalam periode kedua (Masa Khulafa Alrasyidin) .......................................... 4
C. Hadist dalam periode ketiga (masa tabi’in) ............................................................... 8
D. Hadist Periode Keempat (Masa Pembukuan dan Pengumpulan) ............................ 10
E. Masa Pentashihan dan Penyusunan Kaidah – Kaidah Hadits ............................... 18
PENUTUP ........................................................................................................................ 20
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 20
B. Saran............................................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 21
I. Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh

hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan

umat dari generasi ke generasi. Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak

masa lahirnya di masa Rasulullah SAW meneliti dan membin hadits, serta segala hal yang

memengaruhi hadits tersebut.1

Di samping sebagai utusan Allah SWT, Rasulullah SAW adalah panutan dan tokoh

masyarakat. Beliau sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan

dan terwujud secara konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada

kesempatan Rasulullah SAW memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan

berbagai media. Hadis Rasulullah SAW yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang

dihafal dan dicatat. Dengan demikian, ada beberapa periode dalam sejarah perkembangan

hadis.. dari Periode Rasulullah SAW sampai periode sekarang.

Oleh karena itu, dalam pembahasan makalah ini, kami akan menyajikan bahan

persentasi kelas yang berjudul “Sejarah Perkembangan dan Pembukuan Hadist”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah perkembangan dan pembukuan hadist?

2. Bagaimana perkembangan hadist dari masa ke masa?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan hadist dan pembukuan hadist.

2. Untuk mengetahui perkembangan hadist dari masa ke masa.

II. Pembahasan

A. Hadits dalam peiode pertama (Masa Rasul saw)

Hadis pada masa Nabi dikenal dengan „Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu

masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Keadaan ini sangat menuntut

keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Wahyu

yang diturunkan Allah SWT kepadanya dijelaskannya melalui perkataan, perbuatan, dan

1
Agus Solahudin, Ulumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 33, n.d.
3
taqrirnya. Sehingga apa yang didengar, dilihat, dan disaksikan oleh para sahabat

merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. 2

Ketika Rasulullah SAW masih hidup, sikap dan kebijaksanaan beliau tentang

hadits ialah, Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal,

menyampaikan dan menyebarkan hadits-hadits. Ada dorongan kuat yang cukup

memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadits. Pertama,

karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak

pra Islam dan mereka terkenal kuat hafalannya. Kedua, Rasulullah SAW banyak

memberikan spirit melalui doa-doanya. Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan

akhirat kepada mereka yang menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang lain.

Pada masa Rasulullah terdapat beberapa cara Rasulullah dalam menyampaikan

hadist kepada para kaum muslimin seperti:

a. Melalui majlis al-‟ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi

Muhammad SAW untuk membina para jama‟ah. Melalui majlis ini para sahabat

memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha

untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang

diberikan oleh Rasulullah SAW.

b. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada‟ dan Fath

Makkah. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi

Muhammad SAW menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah di depan

ratusan ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya terkait

dengan bidang muamalah, ubudiyah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia yang

meliputi kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan,

dan solidaritas isi khatbah itu antara lain larangan menumpahkan darah kecuali

dengan hak dan larangan mengambil harta orang lain dengan batil, larangan riba,

menganiaya, persaudaraan dan persamaan diantara manusia harus ditegakkan, dan

umat Islam harus selalu berpegang teguh kepada Al-Qur‟an dan Hadits. 3

B. Hadist dalam periode kedua (Masa Khulafa Alrasyidin)

1. Abu Bakar al-Shiddiq

2
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 70-71, n.d.
3
Idri, Studi Hadis, 35., n.d.
4
Abu Bakar adalah sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-

hatiannya dalam periwayatan hadis. Pernyataan ini berdasar pada pengalaman Abu

Bakar tatkala menghadapi kasus seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek

menghadapnya, nenek tersebut meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan

cucunya. Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak melihat petunjuk dalam al-Qur’an

dan praktek Nabi yang memberi bagian harta warisan kepada nenek. Setelah itu

Abu Bakar bertanya kepada para sahabat, al-Mughirah Ibn Syu’bah menyatakan

kepada Abu Bakar bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek

sebesar seperenam bagian. Mendengar pernyataan al-Mughirah, Abu Bakar

memintanya untuk menghadirkan seorang saksi, lalu Muhammad ibn Salamah

memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah tersebut.

akhirnya Abu Bakar menetapkan nenek sebagai ahli waris dengan memberikan

seperenam bagian berdasarkan hadis Nabi yang disampaikan oleh al-Mughirah.

Dari sini tergambar bahwa ternyata Abu Bakar sangat berhati-hati dalam

periwayatan suatu hadis, hal ini terbukti beliau tidak bersegera menerima riwayat

hadis dari al-Mughirah sebelum meneliti periwayatnya. Dan dalam melakukan

penelitian pun Abu Bakar meminta periwayat hadis untuk menghadirkan saksi.

Sikap Abu Bakar yang sangat berhatihati dalam periwayatan hadis

mengakibatkan hadis yang diriwayatkan pun relative sedikit. padahal Abu Bakar

adalah sahabat yang telah lama bergaul dan sangat akrab dengan Nabi, mulai dari

masa sebelum Nabi hijrah sampai Nabi wafat. Selain faktor kehati-hatian, faktor

lain yang menyebabkan Abu Bakar hanya meriwayatkan hadis sedikit adalah,

pertama, Abu Bakar selalu sibuk ketika menjabat sebagai khalifah. Kedua,

kebutuhan hadis tidak sebanyak pada masa sesudahnya. Ketiga, jarak waktu antara

kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.4

2. Umar ibn al-Khattab

Umar juga dikenal sebagai sahabat yang sangat berhati-hati dalam periwayatan

hadis, seperti halnya Abu Bakar. Selain itu, Umar juga menekankan kepada para

sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadis di masyarakat, dengan alasan

supaya konsentrasi masyarakat tidak terpecah dalam membaca dan mendalami al-

4
“K. Ali, A Study of Islamic History, (Delhi: Idarah Al-Adabiyat Delhi, 1980), 83-86” (n.d.).
5
Qur’an, selain itu juga supaya umat Islam tidak melakukan kekeliruan dalam

periwayatan hadis. Kebijaksanaan Umar inilah yang kemudian mampu

menghalangi orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan

pemalsuan-pemalsuan hadis. 5

3. Usman ibn Affan

Secara umum, kebijakan Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbeda

dengan kebijakan dua khalifah sebelumnya. Hal ini terbukti ketika Usman memiliki

kesempatan untuk berkhutbah, dalam khutbahnya Usman meminta kepada para

sahabat untuk tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah

mendengar hadis itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Umar sendiri memang

tampaknya tidak banyak meriwayatkan hadis. Ahmad ibn Hanbal meriwayatkan

hadis Nabi yang berasal dari riwayat Usman sekitar empat puluh hadis saja. Itu pun

banyak matan hadis yang terulang, dikarenakan perbedaan sanad.28 Dengan

demikian, jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Usman tidak sebanyak jumlah

hadis yang diriwayatkan oleh Umar ibn alKhattab.

Dari sini terlihat bahwa pada masa Usman ibn Affan, kegiatan umat Islam

dalam periwayatan hadis telah lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan

periwayatan pada masa Umar. Dalam khutbahnya Usman telah menyampaikan

seruan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Namun seruan

tersebut nampaknya tidak begitu besar pengaruhnya terhadap periwayat tertentu

yang bersikap longgar dalam periwayatan hadis. Hal ini terjadi karena selain

pribadi Usman tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam sudah mulai

meluas. Luasnya wilayah Islam mengakibatkan bertambahnya kesulitan dalam

mengendalikan periwayatan hadis secara ketat.

4. Ali ibn Abi Tahlib

menerima riwayat hadis setelah periwayat hadis yang bersangkutan

mengucapkan sumpah, bahwa hadis yang disampaikannya itu benar-benar berasal

dari Nabi. Ali tidak meminta sumpah hanya jika periwayat benar-benar telah

5
“Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd Fii Uluum Al-Hadis, (Damaskus: Dar Al-Fikr,t.t), 38” (n.d.).
6
dipercayainya. Dengan demikian dapatlah dinyatakan bahwa fungsi sumpah dalam

periwayatan hadis bagi Ali tidaklah dijadikan sebagai syarat mutlak keabsahan

periwayatan hadis. Sumpah dianggap tidak diperlukan apabila orang yang

menyampaikan riwayat hadis telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru.6

Pada masa khalifah Ali sama dengan masa sebelumnya, yaitu adanya sikap

kehatihatian dari para khalifah dalam periwayatan hadis. Namun situasi umat Islam

yang dihadapi Ali telah berbeda d engan masa sebelumnya. Pada masa Ali,

pertentangan politik semakin menajam dikalangan umat muslim, yaitu terjadinya

peperangan antara kelompok pendukung Ali dan pendukung Muawiyah. Dan

kejadian tersebut yang akhirnya membawa dampak negatif dalam bidang

periwayatan hadis. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu untuk

melakukan pemalsuan hadis. Itulah yang menjadikan periwayat hadis tidak dapat

dipercaya riwayatnya secara keseluruhan.

Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa kebijakan al-Khulafa al-Rasyidin

tentang periwayatan hadis terdapat empat bentuk, yaitu: Pertama, seluruh khalifah

sepakat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan hadis. Kedua,

kesemuanya melarang untuk memperbanyak periwayatan pertemuan-pertemuan

dengan para sahabat, selanjutnya mereka mencatat apa yang telah di dapat dari

pertemuan tersebut.7

Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada

pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur‟an, maka periwayatan hadits belum begitu

berkembang dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini

oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan

periwayatan. 8

Pembatasan penyederhanaan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan

sikap kehati-hatiannya menggunakan dua jalan dalam meriwayatkan hadits dari

Nabi Muhammad SAW, yaitu:

6
“Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,285” (n.d.).
7
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: Malang Press, 2008), 25, n.d.
8
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 79.
7
a. Pembatasan penyederhanaan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan

sikap kehati-hatiannya menggunakan dua jalan dalam meriwayatkan hadits dari

Nabi Muhammad SAW, yaitu:

b. Periwayatan Maknawi adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama

dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap

terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW, tanpa

ada perubahan sedikitpun.9

Dengan demikian, para sahabat Nabi Muhammad SAW sangat kritis dan hati-

hati dalam periwayatan hadits. Tradisi tersebut menunjukkan bahwa mereka sangat

peduli tentang kebenaran dalam periwayatan hadits, diantaranya:

a. Para sahabat, bersikap cermat dan hati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini

dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi Muhammad SAW merupakan hal penting,

sebagai wujud kewajiban taat kepadanya.

b. Para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi

riwayat itu sendiri.

c. Para sahabat, sebagaimana dipelopori Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi

dalam periwayatan hadits.

d. Para sahabat, sebagaimana dipelopori Ali Ibn Abi Thalib, meminta sumpah dari

periwayatan hadits.

e. Para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya.

f. Diantara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadis tanpa pengecekan

terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan

mereka memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin berdusta.10

C. Hadist dalam periode ketiga (masa tabi’in)

Selain para sahabat yang sudah banyak mengoleksi hadis Nabi, ada juga para

Tabi’in yang nota benenya adalah para murid sahabat juga banyak mengoleksi hadis-

hadis Nabi, bahkan pengoleksiannya sudah mulai disusun dalam sebuah kitab yang

beraturan. Sebagaimana sahabat, para Tabi’in pun cukup berhati-hati dalam hal

periwayatan hadis. Hanya saja ada perbedaan beban yang dihadapi oleh sahabat dan

9
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 83-84.
10
Idri, Studi Hadis, 40-41.
8
Tabi’in, dan beban sahabat tentu lebih berat jika dibandingkan oleh Tabi’in. Karena di

masa Tabi’in, al-Qur’an telah dukumpulkan dalam satu mushaf, selain itu juga pada

masa akhir periode al-Khulafa al-Rasyidin (terkhusus pada masa Usman ibn Affan),

para sahabat ahli hadis telah menyebar ke berbagai wilayah negara Islam. Sejalan

dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran sahabat-sahabat ke

berbagai daerah pun terus meningkat, hal ini kemudian berimplikasi juga pada

meningkatnya penyebaran hadis. Oleh karena itulah, masa ini dikenal sebagai masa

menyebarnya periwayatan hadis. Ini merupakan sebuah kemudahan bagi para Tabi’in

untuk mempelajari hadis. Metode yang dilakukan para Tabi’in dalam mengoleksi dan

mencatat hadis yaitu melalui pertemuan-pertemuan dengan para sahabat, selanjutnya

mereka mencatat apa yang telah di dapat dari pertemuan tersebut.11

Para Tabi’in menerima hadis Nabi dari sahabat dalam berbagai bentuk, jika

disebutkan ada yang dalam bentuk catatan atau tulisan dan ada juga yang harus

dihafal, di samping itu dalam bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah

para sahabat, lalu Tabi’in menyaksikan dan mengikutinya. Dengan demikian, tidak ada

satu hadis pun yang tercecer apalagi terlupakan.33 Perihal menulis hadis, di samping

melakukan hafalan secara teratur, para Tabi’in juga menulis sebagian hadis-hadis yang

telah diterimanya. Selain itu, mereka juga memiliki catatan-catatan atau surat-surat

yang mereka terima langsung dari para sahabat sebagai gurunya. 12

Ada beberapa kota yang dijadikan pusat pembinaan dalam periwayatan hadis,

yang kemudian dijadikan sebagai tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis.

Kota-kota tersebut adalah Madinah al-Munawwarah, Makkah al-Mukaramah, Kuffah,

Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalusia, serta Yaman dan Khurasan.35 Pusat

pembinaan pertama yaitu di Madinah, karena di Madinah lah Rasulullah menetap

setelah hijrah dan Rasulullah juga membina masyarakat Islam yang didalamnya terdiri

atas kaum Muhajirin dan Anshor. Di antara para sahabat yang menetap di Madinah

adalah Khulafa’ Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah ibn Umar dan Abu

Said al-Khudri, dan lain sebagainya.13

11
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: Malang Press, 2008), 25,
12
“Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, 65” (n.d.).
13
“Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), 70”
9
D. Hadist Periode Keempat (Masa Pembukuan dan Pengumpulan)

Masa pembukuan dan pengumpulan hadis melalui masa atau proses yang

bertahap. Pada masa awal rasulullah menyampaikan hadis, beberapa sahabat membuat

catatan – catatan pribadi terkait dengan hadis yang disampaikan nabi, catatan tersebut

dituliskan di kertas, kulit binatang, dan papyrus. Beberapa sahabat yang memiliki

catatan hadis adalah Jabir Bin Abdillah, Ali Bin Abi Thalib, Abu Hurairah, dan

Abdullah Bin umar.

Pada masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat islam, yang terjadi pada

masa Rasulullah Saw. Pada masa awal ini nabi Muhammad SAW setidaknya

memberikan beberapa kebijakan terkait dengan penulisan hadis, di antaranya :

1. Rasulullah Saw memerintahkan kepada sahabatnya untuk menghafal dan

menyampaikan/ menyebarkan hadis – hadisnya.

2. Rasulullah Saw melarang para sahabatnya untuk menulis hadis, guna

menjaga kemurnian ayat – ayat Al – Quran.

3. Rasulullah memerrintahkan sahabat untuk menulis hadis – hadisnya.14

Usaha yang dilakukan oleh para sahabat dalam membatasi periwayatan semata

– mata karna kekhawatiran akan terjadinya kekeliruan hal ini dikarenakan situasi

politik yang sedang tidak kondusif, bahkan muncul fitnah di kalangan umat islam itu

sendiri. Sementara itu para sahabat dalam meriwayatkan hadis menggunakan dua cara:

lafdzi Dan ma’nawi. periwayatan dengan lafadz adalah kalimat yang diriwayatkan

para sahabat sama persis dengan apa yang disampaikan oleh Nabi, akan tetapi

memiliki kesamaan makna.

Keseriusan para sahabat dalam menulis, menghafal dan mengumpulkan hadis

terlihat dari cara mereka untuk bertanya kepada para sahabat yang lebih tua usianya,

seperti cucu yang bertanya kepada kakeknya terkait hadis – hadis yang pernah

disampaikan oleh Nabi, hal ini cukup lumrah ditemui pada masa itu. Sahabat yang

paling produktif dalam mengumpulkan dan meriwayatkan hadis adalah Abu Hurairah,

meskipun beliau hanya tiga tahun mengenal nabi, namun beliau menjadi rujukan

terbesar dengan 5.300 hadis yang beliau riwayatkan, kemudian pada Abdullah ibn

Umar yang berusia 25 tahun ketika nabi wafat, beliau adalah sumber rujukan hadis

14
“Muhajirin, Ulumul hadis II, (Jakarta: Amzah, 2021), 129”
10
kedua setelah Abu Hurairah dengan 2.600 hadis yang beliau riwayatkan, selanjutnya

ada Ibnu Abbas, beliau berusia empat belas tahun ketika Nabi wafat, tercatat beliau

meriwayatkan 1.700 hadis. 15

Dari Urwah bin Az – Zubair bahwasannya Umar bin Al – Khatab ingin

menulis sunah – sunah Nabi, lalu beliau meminta fatwa dari para sahabat tentang hal

itu. Mereka menyarankan untuk menulisnya. Kemudian Umar beristikharah selama

sebulan. Hingga pada suatu pagi, beliau akhirnya mendapatkan kemantapan hati, lalu

berkata, “suatu ketika aku ingin menulis sunah – sunah, dan aku ingat suatu kaum

terdahulu mereka menulis buku dan meninggalkan Kitabullah. Demi Allah, aku tidak

akan mengotori Kitabullah dengan suatu apapun”.

Hal ini mengindikasikan bahwa keinginan umar untuk menulis hadis dan

mengumpulkan hadis dalam satu buku, akan tetapi beliau khawatir umat islam akan

lalai kepada Al – Quran dan lebih fokus mempelajari hadis, beliau juga khawatir akan

tercampurnya hadis dengan Al – Quran.

Dalam perjalanannya, usaha untuk mengumpulkan hadis kedalam satu buku

pertama kali dilakukan oleh khalifah Umar ibn Abdul Aziz, beliau adalah khalifah

kedelapan dari dinasti Bani Umayyah yang terkenal adil dan wara’. Pada periode

ketiga ini penulisan dan pembukuan hadis dilakukan secara resmi, beliau

memerintahkan gubernur madinah kala itu Abu Bakar Muhammad Amr ibn Hazim

untuk menulis dan membukukan hadis yang kemudian kebijakan beliau ditindak

lanjuti oleh ulama di beberapa daerah.

Diantara upaya yang beliau lakukan oleh khilafah Umar ibn Adul Aziz adalah

sebagai berikut :

1. Tidak adanya larangan pembukuan, sedangkan Al – Quran telah dihafal

oleh ribuan orang, dan telah dikumpulkan dan dibukukan pada masa

utsman, sehingga dapat dibedakan secara jelas antara Al – Quran dengan

hadits dan tidak ada kemungkinan untuk tercampur keduanya.

2. Khawatir akan hilangnya hadits, karena ingatan kuat yang menjadi

kelebihan orang arab semakin melemah, sedangkan para ulama telah

15
“Jonathan Ac Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World ( Simon and Schuster,
2017)
11
menyebar di beberapa penjuru negeri islam setelah terjadi perluasan

wilayah kekuasannya, dan masing – masing dari mereka mempunyai ilmu,

maka diperlukan pembukuan hadits Rasulullah untuk menjaga agar tidak

hilang.

3. Munculnya pemalsuan hadits akibat perselisihan politik dan madzhab

setelah terjadinya fitnah, dan terpecahnya kaum muslimin menjadi

pengikut ali dan pengikut muawiyah, dan khawarij yang keluar dari

keduanya. Masing – masing golongan berusaha memperkuat madzhabnya

dengan cara menakwilkan Al – Quran bukan yang sebenarnya, atau

membuat nash – nash hadis dan menisbatkan kepada Rasulullah apa yang

tidak beliau katakan untuk memperkuat pendapat mereka. Perbuatan

demikian dilakukan oleh kelompok syi’ah. Sedangkan khawarij tidak

memperbolehkan perbuatan dusta dan menganggap kafir bagi orang yang

berbuat dosa besar, apalagi berdusta kepada Rasulullah. Diriwayatkan dari

ibnu syihab berkata, “kalaulah tidak karena adanya hadis – hadis yang

datang dari belahan timur yang tidak kami ketahui keberadaannya, niscaya

aku tidak akan menulis dan tidak akan mengizinkan penulisan hadis. 16

Akan tetapi usaha yang dilakukan oleh umar ibn Abdul Aziz belum

menyeluruh dan sempurna, hal ini dikarenakan beliau wafat sebelum Abu Bakar ibn

Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadis kepadanya. Para ahli hadis memandang

bahwa usaha Umar ibn Abdul Aziz merupakan langkah awal dari pembukuan hadis.

Mereka mengatakan, “ Pembukuan hadis ini terjadi pada penghujung tahun ke 100

pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz atas perintahnya”. 17

Pada periode awal pumbukuan hadis, urutan bab – bab dan pembahasan

disiplin tiap ilmu belum disusun secara sistematis, upaya pembukuan secara sistematis

baru dilakukan oleh Imam Muhammad ibn Syihab Az –Zuhri dengan beberapa metode

yang berbeda, yang kemudian para ulama hadis menyusun buku hadis secara

sistematis berdasarkan sanad dan bab.

Al – Qathathan, Syeikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Al – Quran


16

Ina Alif Hamdalah and Dadang Kahmad, “History of Hadith Writing, Memorization and Bookkeeping’,in
17

Gunung Djati Conference Series, 2021, IV, 373 – 84.


12
Buku yang ditulis pada masa itu dan kini sudah dicetak antara lain : Al –

Muwatha, karya imam Malik bin Anas, Al – Mushannaf karya Abdurrazak bin

Hammam Ash – Shan’ani; As – Sunan karya Said bin Mansur dan Al – Mushannaf

karya Abu Bakar bin Abu Syaibah. Karya – karya tersebut tidak hanya terbatas pada

kumpulan hadis – hadis Rasulullah Saw, akan tetapi bercampur antara hadis Nabi

Shalallahu ‘alaihi wasallam, perkataan para sahabat, dan fatwa para tabi’in. kemudian

ulama periode berikutnya memisahkan pembukuan hanya pada hadis Rasulullah Saw

saja.18

Periode keempat disebut juga dengan periode pemurnian, penyehatan dan

penyempurnaan, periode ini berlangsung pada abad abad ke 3 H pada mas dinasti

abbasiyah yang dipimpin oleh oleh khalifah al – ma’mun sampai al mu’tadir. Para

ulama pada periode ini melakukan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan

pengklasifikasian hadis – hadis, pada masa ini lahirlah enam buku induk hadis kutubu

sittah.19 Diantara kitab – kitabnya adalah :

1. Al-Jami‟ Ash-Shahih karya Imam Al-Bukhari (194 – 252 H)

2. Al-Jami‟ Ash-Shahih karya Imam Muslim (204 – 261 H)

3. Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202 – 261 H)

4. Sunan At-Tirmidzi karya At-Tirmidzi (200 – 279 H)

5. Sunan An-nasa‟i karya An-Nasa‘i (215 – 302 H)

6. Sunan Ibn Majah karya Ibnu Majah (207 – 273 H)

Periode kelima adalah masa pemeliharaan, penerbitan, penambahan dan

penghimpunan. Berlangsung selama dua abad, yaitu abad keempat hingga ketujuh

hijriah. Para ulama pada periode ini membuat gerakan yang sebenarnya tidak jauh

berbeda dengan generasi sebelumnya, pada periode ini muncul sejumlah karya baru

dalam kitab hadis seperti syarah, mustakhrij, atraf, mustadrik, dan jami’. Beberapa

ulama hadis dan kitab yang masyhur pada periode ini di antaranya ialah:

1. Sulaiman bin Ahmad Al-Thabari. Karyanya Al-Mu‟jam al-Kabir,

AlMu‟jam Al-Ausath, dan Al-Mu‟jam Al-Shag

18
Al – Qathathan, Syeikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Al – Quran

13
2. Abd Al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Al-Daruquthni, karyanya Sunan

Ad-Daruquthni.

3. Abu Awanah Ya‘qub Al-Safrayani, karyanya Shahih Awanah

4. Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq, karyanya Shahih ibnu Huzaimah

5. Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqi, karyanya Sunan Al-Kubra

6. Majuddin al-Harrani, Karyanya Muntaq Al-Akbar

7. As-Syaukani, karyanya Nail Authar

8. Al-Munziri, karyanyaAt-Taqrib wa At-Taqrib

9. As-Siddiqi, karyanya Dalil Falihin

10. Muhyiddin Abu Zakaria An-Nawawi, Karyanya Riyadhush Shalihin

Adapun metode dalam penyusunan hadis, para ulama membagi metode

tersebut meliputi beberapa hal

1. Metode Masanid Al-Masanid merupakan bentuk jamak dari sanad, artinya

adalah buku-buku yang berisi tentang kumpulan hadis para sahabat secara

tersendiri, baik hadis tersebut dhaif, shahih, atau hasan. Al-Masanid karya

para ulama berjumlah sangat banyak, adapun musnad-musnad yang paling

terkanal adalah: a) Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud AtThayalisi

(w.204 H); b) Musnad Abu Bakar ‘Abdullah bin Az-Zubair Alhumaidy

(w.219 H); c) Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (w.241 H); d) Musnad Abu

Bakar ahmad bin Amru Al-Bazzar (w.292 H); dan e) Musnad Abu Ya’la

Ahmad bin Ali Al-Mutsanna Al-Mushili (w.307 H).20

2. Al-Ma’ajim adalah bentuk jamak dari mu’jam. Adapun menurut istilah para

ahli hadis, Al-Ma’ajim adalah buku yang berisi kumpulan hadis-hadis yang

berurutan berdasarkan nama-nama sahabat, atau guru-guru penyusun, atau

negeri, sesuai dengan hijaiyah30. Kitab-kitab Mu’jam yang terkenal, antara

lain: a) Al-Mu’jam Al-Kabir karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad At-

Thabarani (w.360 H); b) Al-Mu’jam Al-Awsat karya Abdul Qasim

Sulaiman bin Ahmad. At-Thabarani; c) Al-Mu’jam Ash-Shaghir karya At-

Thabarani; dan d) Mu’jam Al-Buldan karya Abu Ya’la Ahmad bin’Ali Al-

Mushli (w.307H).

20
Hamdalah and Kahmad, IV
14
3. Al-Jawami’ bentuk jamak dari jaami’. Jawami’ adalah karya hadis yang

disusun dan dibukukan penulisnya terhadap semua pembahasan agama. Hal

yang dapat kita temukan dalam kitab ini adalah pembahasan tentang iman

(akidah), bersuci, ibadah, muamalat, pernikahan, sirah, riwayat hidup,

tafsir, adab, penyucian jiwa, fitnah, dan sebagainya.

4. Pembahasan Fikih, Karya para ahli hadis ini tidak mencakup keseluruhan

pembahasan agama, akan tetapi hanya sebagian besarnya saja, khususnya

membahas masalah fikih. Metode yang dipakai dalam penyusunan kitab ini

adalah dengan menyebutkan bab-bab Fikih secara berurutan, dimulai

dengan kitab Thaharah, kemudian kitab Shalat, Ibadah, Muamalat, dan

seluruh bab yang berkenaan dengan hukum dan fikih. Terkadang disebut

pula judul yang tidak berhubungan dengan masalah fikih seperti: kitab

Iman, atau Adab. Di antara karya yang terkenal dengan metode ini adalah

As-Sunan, Al-Mushannafat, dan Al-Muwaththa’at. As-Sunan adalah kitab-

kitab yang disusun berdasarkan bab-bab tentang fikih, kitab-kitab ini hanya

memuat hadis yang marfu’ agar dijadikan sebagai sumber bagi para ahli

fikih dalam mengambil kesimupulan hukum. As-Sunan berbeda dengan Al-

Jawami’. Sedangkan Al-Mushanafat merupakan jamak dari mushannaf.

Menurut istilah para ahli hadis, Al-Mushanafat adalah sebuah kitab yang

disusun berdasarkan urutan bab-bab tentang fikih. Adapun AlMuwaththa’at

merupakan jamak dari muwaththa’. Menurut istilah para ahli hadis, Al-

Muwaththa’at adalah sebuah kitab yang tersusun berdasarkan urutan bab-

bab fikih dan mencakup hadis-hadis marfu’, mauquf, dan maqthu’, sama

seperti Mushanaf, meskipun namanya berbeda.

5. Kitab Sahih, Selain metode-metode penyusunan yang telah disebutkan di

atas, sebagian ulama tetap komitmen menyusun kitab-kitab shahih, di

antaranya: Shahih AlBukhari, Shahih Muslim, Al-Muwaththa' karya Imam

Malik, dan Al-Mustadrak karya Al-Hakim. Selain kitab-kitab ini, ada

beberapa kitab yang disusun dengan kriteria shahih oleh penulisnya:

15
6. Karya Tematik, Terdapat beberapa ahli hadis yang menyusun kitab-kitab

tematik yang terbatas pada hadis-hadis tertentu yang berhubungan dengan

tema tertentu, di antara karya tersebut adalah:

1. At-Taghrib wa At-Tarhib, kitab hadis ini berisikan kesimpulan tentang

targhib (motivasi) terhadap perintah agama, atau tarhib (ancaman)

terhadap larangan-Nya. Di antara karya-karya tentang hal tersebut

antara lain: At-Targhib wa At-Tarhib karya Zakiyuddin Abdul Azhim

bin Abdil Qawiy Al-Mundziri (wafat 656H) dan Targhib wa At-Tarhib

karya Abi Hafsh Umar bin Ahmad, yang dikenal dengan nama Ibnu

Syahin (wafat 385H).

2. Buku tentang zuhud, keutamaan amal, adab, dan akhlak, antara lain:

a. Kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241H)

b. Kitab Az-Zuhd karya Abdullah bin Al-Mubarak (wafat 181 H),

c. Kitab Akhlaq An-Nabi karya Abi Syaikh Abi Muhamad Abdullah

bin Muhamad Al-Ashbahani (wafat 369 H)

d. Kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241H) b.

Kitab Az-Zuhd karya Abdullah bin Al-Mubarak (wafat 181 H), c.

Kitab Akhlaq An-Nabi karya Abi Syaikh Abi Muhamad Abdullah

bin Muhamad Al-Ashbahani (wafat 369 H)

7. Kumpulan Hadis Hukum Fikih (Kutubul Ahkam)

Yaitu buku-buku karya ahli hadis yang memuat hadis-hadis hukum fikih

saja, di antaranya adalah: Al-Ahkam karya Abdul Ghani bin Abdul wahid

Al - Maqdisi (w.600 H), Undatul Ahkam ‘an Sayyidil Anam karya Al-

Maqdisi juga, Al-Imam fi Hadis Al-Ahkam karya Muhammad bin Ali,

yang dikenal dengan ibnu Daqiq Al-‘Ied (w.702 H), Al-Imam bi Ahadits

Al-Ahkam karya Ibnu Daqiq Al-‘Ied juga, ringkasan dari kitab AlImam,Al-

Muntaqa fi Al-Ahkam karya Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah Al-

Harrani (w.652 H), dan Bulughul Maram min Asillatil Ahkam karya Al-

Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar Al- ‘Asqalani (w.852 H)

8. Merangkaikan Al-Majami, Al-Majami’ merupakan bentuk jamak dari

majma’, yaitu kitab yang berisi kumpulan beberapa mushannaf dan disusun
16
berdasarkan urutan mushannaf yang telah dikumpulkan tersebut. Di antara

majami’ yang terkenal adalah: a) Jami’ Al-Ushul min Ahadits Ar-Rasul

karya Abu As-Sa’dat (wafat 606H). b) Majma' Az-Zawa'idwa Manba'u Al-

Fawa'id, karya Al-Hafizh Alibin Abu Bakar AlHaitsami (wafat 807H). c)

Jam'u Al-Fawa'id min Jami' Al-Ushul wa Majma' Az-Zawa'id, karya

Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman Al-Maghribi (wafat 1094 H)

9. Al-Ajza, Merupakan jamak dari juz, yaitu setiap kitab kecil yang berisi

kumpulan riwayat seorang perawi hadis, atau yang berhubungan dengan

salah satu permasalahan secara terperinci, seperti juz’u Marawahu Abu

Hanifah ‘An AshShahabah karya Ustadz Abu Ma’syar Abdul Karim bin

Abdus Shamad AthThabari, Juz’u Raf’al-Yadain Fi As-Shalat karya Al-

Bukhari.

10. Al-Athraf, Yaitu kitab yang hanya menyebutkan sebagian hadis yang dapat

menunjukkan lanjutan hadis yang dimaksud, kemudian mengumpulkan

seluruh sanadnya, baik sanad satu kitab ataupun sanad dari beberapa kitab.

Para penulis biasanya menyusun urutannya berdasarkan musnad para

sahabat dengan susunan nama sesuai huruf-huruf hijaiyah, lalu

menyebutkan pangkal hadis yang dapat menunjukkan ujungnya. Di antara

kitab-kitab Athraf yang terkenal adalah: 1) Athrafu Ash - Shahihain, karya

Muhammad Khalaf bin Muhammad Al-Wasithj (wafat401 H). 2). Al-Isyraf'

Ala Ma'rifati Al-Athraf atau Athraf As-Sunan Al-Arba'ah-karya Al~Hafizh

Abul Qasim Ali bin Hasan, (wafat 571 H). 3). Tuhfatul Asyraf bi Ma'rifatil

Athraf, atau Athraf Al-Kutub As-Sittah, karya Al Hafizh Abul Hajjaj Yusuf

bin Abdurrahman Al-Mizzi (wafat 742 H). 4). Ithaful Maharah bi Athrafil

Asyarah, karya Al Hafizh Ahmad bin Ali lbnu Hajar Al-'Asqalani (wafat

852 H). 5). Athraf Al-Masanid Al-Asyarah, karya Abul Abbas Ahmad bin

Muhammad Al-Buwaishiri (w 840 H). 6). Dzakha'ir Al-Mawarits Ji Ad -

Dalalah 'Ala Mawadhi' Al-Hadits, ini merupakan kumpulan athraf kutubus

sittah dan Muwaththa' Imam Malik, karya .Abdul Ghani An-Nabulsi (wafat

1143 H).

17
11. Kumpulan Hadis Masyhur, Pada beberapa periode, para ulama banyak

memperhatikan penulisan hadis - hadis yang masyhur diucapkan di

kalangan masyarakat, lalu mereka menjelaskan derajat hadis tersebut dari

segi dhaif atau maudhu'nya, atau yang tidak jelas asalnya, meskipun sudah

sedemikian masyhur. Di antara ulama juga ada yang memperhatikan

penulisan hadis palsu secara khusus.

12. Az-Zawa’id, Adalah karya yang berisi kumpulan hadis tambahan terhadap

hadis yang ada pada sebagian kitab yang lain. Karya yang terkenal dalam

bidang ini, antara lain Mishbah Az-Zujajah fi Zawa’id Ibnu Majah karya

Abu Abbas Ahmad bin Muhammad Al-Bushairi (w.84 H).

E. Masa Pentashihan dan Penyusunan Kaidah – Kaidah Hadits

Pada periode Tabi’in, penelitian dan kritik matan semakin berkembang

seiring dengan berkembangnya masalah-masalah matan yang para Tabi’in

hadapi. Demikian juga dikalangan ulama-ulama hadis selanjutnya.

Perkembangan ilmu hadis semakin pesat ketika ahli hadis membicarakan

tentang daya ingat para pembawa dan perawi hadis kuat atau tidak (dhâbit),

bagaimana metode penerimaan dan penyampaiaan (thammul wa adâ), hadis

yang kontra bersifat menghapus (nâsikh dan mansûkh) atau kompromi, kalimat

hadis yang sulit dipahami (gharîb al-hadîts), dan lain-lain.

Akan tetapi, aktivitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan

secara lisan (syafawî) dari mulut ke mulut dan tidak tertulis. Ketika pada

pertengahan abad kedua Hijriyah sampai abad ketiga Hijriyah, ilmu hadis

mulai di tulis dan dikodifikasi dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah

dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri, masih campur dengan ilmu-ilmu lain

atau berbagai buku atau berdiri secara terpisah. Tetapi pada dasarnya,

penulisan hadis baru dimulai pada abad kedua Hijriyah. Imam Syafi’i adalah

ulama pertama yang mewariskan terori-teori ilmu hadisnya secara tertulis

sebagaimana terdapat dalam karyanya. Misalnya ilmu hadis bercampur dengan

ilmu ushul fiqih, seperti dalam kitab Ar-Risâlah yang ditulis oleh Asy-Syafi’i,

atau campur dengan fiqih seperti kitab Al-Umm. Dan solusi hadis-hadis yang

kontra dengan diberi nama Ikhtilâf Al-Hadîts karya Asy-Syafi’i. Hanya saja,
18
teori ilmu hadisnya tidak terhimpun dalam pembahasan kitab Ar-Risâlah dan

kitab Al-Umm.

Sesuai dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadis yang disebut

pada masa kejayaan atau keemasan hadis, yaitu pada abad ketiga Hijriyah,

perkembangan penulisan ilmu hadis juga pesat, karena perkembangan

keduannya secara beriringan. Namun, penulisan ilmu hadis masih terpisah-

pisah, belum menyatu dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, ia masih dalam

bentuk bab-bab saja. Mushthafa As-Siba’i mengatakan orang pertama kali

menulis ilmu hadis adalah Ali bin Al-Madani, syaikhnya Al-Bukhari, Muslim,

dan Tirmidzi. 21
Dr. Ahmad Umar Hasyim juga menyatakan bahwa orang

pertama yang menulis ilmu hadis adalah Ali bin Al-Madani dan

permasalahannya sebagaimana yang ditulis oleh Al-Bukhari dan Muslim22. Di

antara kitab-kitab ilmu hadis pada abad ini adalah kitab Mukhtalif Al-Hadîts,

yaitu Ikhtilâf Al-Hadîts karya Ali bin Al-Madani, dan ta’wîl Mukhtalif Al-

Hadîts karya Ibnu Qutaibah. Kedua kitab tersebut ditulis untuk menjawab

tantangan dari serangan kelompok teolog yang sedang berkembang pada masa

itu, terutama dari golongan Mu’tazilah dan ahli bid’ah.

Di antara ulama ada yang menulis ilmu hadis pada mukadimah bukunya

seperti Imam Muslim dalam kitab Shahîh-nya dan At-Tirmidzi pada akhir kitab

Jâmi’-nya. Di antara mereka Al-Bukhari menulis tiga Târîkh, yaitu At-Târîkh

Al-Kabîr, At-Târîkh Al- Awsâth dan At-Târîkh Ash-Shaghîr, Muslim menulis

Thabaqât At-Tâbi’in dan Al-‘Ilal, At- Tirmidzi menulis Al-Asmâ’ wa Al-Kunâ

dan KitâbAt-Tawârikh, dan Muhammad bin Sa’ad menulis Ath-Thabaqât Al-

Kubrâ. Dan di antara mereka ada yang menulis secara khusus tentang

periwayat yang lemah seperti Ad-Dhu’afâ’ ditulis oleh Al-Bukhari dan Ad-

Dhu’afâ’ ditulis oleh An-Nasa’i, dan lain-lain.

Banyak sekali kitab-kitab ilmu hadis yang ditulis oleh para ulama abad

ke-3 Hijriyah ini, namun buku-buku tersebut belum berdiri sendiri sebagai ilmu

hadis, ia hanya terdiri dari bab-bab saja. Perkembangan ilmu hadis mencapai

21
as-siba’i, as-sunnah, t.t., h. 107
22
Hasyim, As-Sunnah An-Nabawiyyah, h. 398.
19
puncak kematangan dan berdiri sendiri pada abad ke-4 H yang merupakan

penggabungan dan penyempurnaan berbagai ilmu yang berkembang pada

abad-abad sebelumnya secara terpisah dan berserakan. Al-Qadhi Abu

Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi adalah

orang yang pertama kali memunculkan ilmu hadis yang berdiri sendiri dalam

karyanya Al-Muhaddits Al-Fâshil bain Ar-Râwî wa Al-Wâî. Akan tetapi,

tentunya tidak mencakup keseluruhan permasalahan ilmu, kemudian diikuti

oleh Al-Hakim Abu Abdullah An-Naisaburi yang menulis Ma’rifah “ulûm Al-

Hadîts tetapi kurang sistematik, Al-Khathib Abu Bakar Al-Baghdadi (w. 364

H) yang menulis Al-Jâmi li Adâb Asy-Syaikh wa As-Sâmi’ dan kemudian

diikuti oleh penulis-penulis lain.

III. Penutup

A. Simpulan

Hadis mulai lahir pada zaman Rosululloh SAW yang berupa perkataaan,

perbuatan, dan ketetapan dari beliau sendiri. Hadispun berkembang dan tersebar pada

umat Islam pesat pada zaman itu, disebabkan anjuran Nabi sendiri kepada para

sahabat untuk menyebarkan dan adanya beberapa fakto-faktor lain. Para sahabat

menerima hadis-hadis dengan secara langsung dari Nabi dan secara tidak langsung.

Pada awal periode Nabi menganjurkan para sahabat untuk menghafal dan

menyebarkannya pada orang lain dan tidak menulisnya karena khawatir terjadinya

percampuran dengan Al-Qur’an. Akan tetapi, ada sebagian sahabat diperintahkan oleh

Nabi untuk menulis dengan beberapa syarat. Dan dengan berkembangnya zaman para

ulama sepakat untuk menulis hadis untuk memelihara dan menjaga hadis-hadis Nabi.

B. Saran

Berkaitan dengan sejarah perkembangan dan pembukuan hadist, kami

menyadari bahwa dari berbagai referensi yang ada masih banyak kesalahan dan

kekurangan dalam segi penulisan, sehingga terjadi kesalahpahamman dalam konsep

sejarah perkembangan hadis. Dan kami berharap dari refisian makalah ini, semoga

dapat bermanfaat bagi pembaca dan barokah. Amin

20
Daftar Pustaka

Agus Solahudin, Ulumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 33, n.d.

Idri, Studi Hadis, 35., n.d.

“K. Ali, A Study of Islamic History, (Delhi: Idarah Al-Adabiyat Delhi, 1980), 83-86”

(n.d.).

Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 70-71, n.d.

“Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), 70”

(n.d.).

“Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd Fii Uluum Al-Hadis, (Damaskus: Dar Al-Fikr,t.t),

38” (n.d.).

“Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,285” (n.d.).

“Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, 65” (n.d.).

Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: Malang

Press, 2008), 25, n.d.

"Al-Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Pustaka Al-Kautsar,

2018)

"Andariati, Leni, ‘Hadis Dan Sejarah Perkembangannya’, Diroyah : Jurnal Studi Ilmu

Hadis, 4.2 (2020)

"Azmi, Muhammad Mustafa, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya (Pustaka

Firdaus, 1994)

"Brown, Jonathan A C, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern

World (Simon and Schuster, 2017)

"Hamdalah, Ina Alif, and Dadang Kahmad, ‘History of Hadith Writing, Memorization

and Bookkeeping’, in Gunung Djati Conference Series, 2021, IV, 373–84

"Muhajirin, D R, ‘Ulumul Hadits II’ (Dr. Muhajirin, MA, 2021)

21

Anda mungkin juga menyukai