Oleh:
Dosen Pengampuh :
Dr. H. Mukhtar M. Salam, Lc,MA
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh
hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan
umat dari generasi ke generasi. Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak
masa lahirnya di masa Rasulullah SAW meneliti dan membin hadits, serta segala hal yang
Di samping sebagai utusan Allah SWT, Rasulullah SAW adalah panutan dan tokoh
masyarakat. Beliau sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan
dan terwujud secara konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada
berbagai media. Hadis Rasulullah SAW yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang
dihafal dan dicatat. Dengan demikian, ada beberapa periode dalam sejarah perkembangan
Oleh karena itu, dalam pembahasan makalah ini, kami akan menyajikan bahan
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
II. Pembahasan
Hadis pada masa Nabi dikenal dengan „Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu
masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Keadaan ini sangat menuntut
keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Wahyu
yang diturunkan Allah SWT kepadanya dijelaskannya melalui perkataan, perbuatan, dan
1
Agus Solahudin, Ulumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 33, n.d.
3
taqrirnya. Sehingga apa yang didengar, dilihat, dan disaksikan oleh para sahabat
Ketika Rasulullah SAW masih hidup, sikap dan kebijaksanaan beliau tentang
hadits ialah, Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal,
memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadits. Pertama,
karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak
pra Islam dan mereka terkenal kuat hafalannya. Kedua, Rasulullah SAW banyak
akhirat kepada mereka yang menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang lain.
a. Melalui majlis al-‟ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi
Muhammad SAW untuk membina para jama‟ah. Melalui majlis ini para sahabat
untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang
b. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada‟ dan Fath
Makkah. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi
ratusan ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya terkait
dengan bidang muamalah, ubudiyah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia yang
dan solidaritas isi khatbah itu antara lain larangan menumpahkan darah kecuali
dengan hak dan larangan mengambil harta orang lain dengan batil, larangan riba,
umat Islam harus selalu berpegang teguh kepada Al-Qur‟an dan Hadits. 3
2
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 70-71, n.d.
3
Idri, Studi Hadis, 35., n.d.
4
Abu Bakar adalah sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-
hatiannya dalam periwayatan hadis. Pernyataan ini berdasar pada pengalaman Abu
Bakar tatkala menghadapi kasus seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek
menghadapnya, nenek tersebut meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan
cucunya. Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak melihat petunjuk dalam al-Qur’an
dan praktek Nabi yang memberi bagian harta warisan kepada nenek. Setelah itu
Abu Bakar bertanya kepada para sahabat, al-Mughirah Ibn Syu’bah menyatakan
kepada Abu Bakar bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek
akhirnya Abu Bakar menetapkan nenek sebagai ahli waris dengan memberikan
Dari sini tergambar bahwa ternyata Abu Bakar sangat berhati-hati dalam
periwayatan suatu hadis, hal ini terbukti beliau tidak bersegera menerima riwayat
penelitian pun Abu Bakar meminta periwayat hadis untuk menghadirkan saksi.
mengakibatkan hadis yang diriwayatkan pun relative sedikit. padahal Abu Bakar
adalah sahabat yang telah lama bergaul dan sangat akrab dengan Nabi, mulai dari
masa sebelum Nabi hijrah sampai Nabi wafat. Selain faktor kehati-hatian, faktor
lain yang menyebabkan Abu Bakar hanya meriwayatkan hadis sedikit adalah,
pertama, Abu Bakar selalu sibuk ketika menjabat sebagai khalifah. Kedua,
kebutuhan hadis tidak sebanyak pada masa sesudahnya. Ketiga, jarak waktu antara
Umar juga dikenal sebagai sahabat yang sangat berhati-hati dalam periwayatan
hadis, seperti halnya Abu Bakar. Selain itu, Umar juga menekankan kepada para
supaya konsentrasi masyarakat tidak terpecah dalam membaca dan mendalami al-
4
“K. Ali, A Study of Islamic History, (Delhi: Idarah Al-Adabiyat Delhi, 1980), 83-86” (n.d.).
5
Qur’an, selain itu juga supaya umat Islam tidak melakukan kekeliruan dalam
pemalsuan-pemalsuan hadis. 5
Secara umum, kebijakan Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbeda
dengan kebijakan dua khalifah sebelumnya. Hal ini terbukti ketika Usman memiliki
sahabat untuk tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah
mendengar hadis itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Umar sendiri memang
hadis Nabi yang berasal dari riwayat Usman sekitar empat puluh hadis saja. Itu pun
demikian, jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Usman tidak sebanyak jumlah
Dari sini terlihat bahwa pada masa Usman ibn Affan, kegiatan umat Islam
dalam periwayatan hadis telah lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan
seruan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Namun seruan
yang bersikap longgar dalam periwayatan hadis. Hal ini terjadi karena selain
pribadi Usman tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam sudah mulai
dari Nabi. Ali tidak meminta sumpah hanya jika periwayat benar-benar telah
5
“Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd Fii Uluum Al-Hadis, (Damaskus: Dar Al-Fikr,t.t), 38” (n.d.).
6
dipercayainya. Dengan demikian dapatlah dinyatakan bahwa fungsi sumpah dalam
periwayatan hadis bagi Ali tidaklah dijadikan sebagai syarat mutlak keabsahan
Pada masa khalifah Ali sama dengan masa sebelumnya, yaitu adanya sikap
kehatihatian dari para khalifah dalam periwayatan hadis. Namun situasi umat Islam
yang dihadapi Ali telah berbeda d engan masa sebelumnya. Pada masa Ali,
melakukan pemalsuan hadis. Itulah yang menjadikan periwayat hadis tidak dapat
tentang periwayatan hadis terdapat empat bentuk, yaitu: Pertama, seluruh khalifah
dengan para sahabat, selanjutnya mereka mencatat apa yang telah di dapat dari
pertemuan tersebut.7
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada
berkembang dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini
oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan
periwayatan. 8
6
“Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,285” (n.d.).
7
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: Malang Press, 2008), 25, n.d.
8
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 79.
7
a. Pembatasan penyederhanaan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan
b. Periwayatan Maknawi adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama
dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap
terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW, tanpa
Dengan demikian, para sahabat Nabi Muhammad SAW sangat kritis dan hati-
hati dalam periwayatan hadits. Tradisi tersebut menunjukkan bahwa mereka sangat
a. Para sahabat, bersikap cermat dan hati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini
b. Para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi
d. Para sahabat, sebagaimana dipelopori Ali Ibn Abi Thalib, meminta sumpah dari
periwayatan hadits.
f. Diantara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadis tanpa pengecekan
terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan
Selain para sahabat yang sudah banyak mengoleksi hadis Nabi, ada juga para
Tabi’in yang nota benenya adalah para murid sahabat juga banyak mengoleksi hadis-
hadis Nabi, bahkan pengoleksiannya sudah mulai disusun dalam sebuah kitab yang
beraturan. Sebagaimana sahabat, para Tabi’in pun cukup berhati-hati dalam hal
periwayatan hadis. Hanya saja ada perbedaan beban yang dihadapi oleh sahabat dan
9
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 83-84.
10
Idri, Studi Hadis, 40-41.
8
Tabi’in, dan beban sahabat tentu lebih berat jika dibandingkan oleh Tabi’in. Karena di
masa Tabi’in, al-Qur’an telah dukumpulkan dalam satu mushaf, selain itu juga pada
masa akhir periode al-Khulafa al-Rasyidin (terkhusus pada masa Usman ibn Affan),
para sahabat ahli hadis telah menyebar ke berbagai wilayah negara Islam. Sejalan
berbagai daerah pun terus meningkat, hal ini kemudian berimplikasi juga pada
meningkatnya penyebaran hadis. Oleh karena itulah, masa ini dikenal sebagai masa
menyebarnya periwayatan hadis. Ini merupakan sebuah kemudahan bagi para Tabi’in
untuk mempelajari hadis. Metode yang dilakukan para Tabi’in dalam mengoleksi dan
Para Tabi’in menerima hadis Nabi dari sahabat dalam berbagai bentuk, jika
disebutkan ada yang dalam bentuk catatan atau tulisan dan ada juga yang harus
dihafal, di samping itu dalam bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah
para sahabat, lalu Tabi’in menyaksikan dan mengikutinya. Dengan demikian, tidak ada
satu hadis pun yang tercecer apalagi terlupakan.33 Perihal menulis hadis, di samping
melakukan hafalan secara teratur, para Tabi’in juga menulis sebagian hadis-hadis yang
telah diterimanya. Selain itu, mereka juga memiliki catatan-catatan atau surat-surat
Ada beberapa kota yang dijadikan pusat pembinaan dalam periwayatan hadis,
yang kemudian dijadikan sebagai tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis.
Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalusia, serta Yaman dan Khurasan.35 Pusat
setelah hijrah dan Rasulullah juga membina masyarakat Islam yang didalamnya terdiri
atas kaum Muhajirin dan Anshor. Di antara para sahabat yang menetap di Madinah
adalah Khulafa’ Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah ibn Umar dan Abu
11
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: Malang Press, 2008), 25,
12
“Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, 65” (n.d.).
13
“Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), 70”
9
D. Hadist Periode Keempat (Masa Pembukuan dan Pengumpulan)
Masa pembukuan dan pengumpulan hadis melalui masa atau proses yang
bertahap. Pada masa awal rasulullah menyampaikan hadis, beberapa sahabat membuat
catatan – catatan pribadi terkait dengan hadis yang disampaikan nabi, catatan tersebut
dituliskan di kertas, kulit binatang, dan papyrus. Beberapa sahabat yang memiliki
catatan hadis adalah Jabir Bin Abdillah, Ali Bin Abi Thalib, Abu Hurairah, dan
Pada masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat islam, yang terjadi pada
masa Rasulullah Saw. Pada masa awal ini nabi Muhammad SAW setidaknya
Usaha yang dilakukan oleh para sahabat dalam membatasi periwayatan semata
– mata karna kekhawatiran akan terjadinya kekeliruan hal ini dikarenakan situasi
politik yang sedang tidak kondusif, bahkan muncul fitnah di kalangan umat islam itu
sendiri. Sementara itu para sahabat dalam meriwayatkan hadis menggunakan dua cara:
lafdzi Dan ma’nawi. periwayatan dengan lafadz adalah kalimat yang diriwayatkan
para sahabat sama persis dengan apa yang disampaikan oleh Nabi, akan tetapi
terlihat dari cara mereka untuk bertanya kepada para sahabat yang lebih tua usianya,
seperti cucu yang bertanya kepada kakeknya terkait hadis – hadis yang pernah
disampaikan oleh Nabi, hal ini cukup lumrah ditemui pada masa itu. Sahabat yang
paling produktif dalam mengumpulkan dan meriwayatkan hadis adalah Abu Hurairah,
meskipun beliau hanya tiga tahun mengenal nabi, namun beliau menjadi rujukan
terbesar dengan 5.300 hadis yang beliau riwayatkan, kemudian pada Abdullah ibn
Umar yang berusia 25 tahun ketika nabi wafat, beliau adalah sumber rujukan hadis
14
“Muhajirin, Ulumul hadis II, (Jakarta: Amzah, 2021), 129”
10
kedua setelah Abu Hurairah dengan 2.600 hadis yang beliau riwayatkan, selanjutnya
ada Ibnu Abbas, beliau berusia empat belas tahun ketika Nabi wafat, tercatat beliau
menulis sunah – sunah Nabi, lalu beliau meminta fatwa dari para sahabat tentang hal
sebulan. Hingga pada suatu pagi, beliau akhirnya mendapatkan kemantapan hati, lalu
berkata, “suatu ketika aku ingin menulis sunah – sunah, dan aku ingat suatu kaum
terdahulu mereka menulis buku dan meninggalkan Kitabullah. Demi Allah, aku tidak
Hal ini mengindikasikan bahwa keinginan umar untuk menulis hadis dan
mengumpulkan hadis dalam satu buku, akan tetapi beliau khawatir umat islam akan
lalai kepada Al – Quran dan lebih fokus mempelajari hadis, beliau juga khawatir akan
pertama kali dilakukan oleh khalifah Umar ibn Abdul Aziz, beliau adalah khalifah
kedelapan dari dinasti Bani Umayyah yang terkenal adil dan wara’. Pada periode
ketiga ini penulisan dan pembukuan hadis dilakukan secara resmi, beliau
memerintahkan gubernur madinah kala itu Abu Bakar Muhammad Amr ibn Hazim
untuk menulis dan membukukan hadis yang kemudian kebijakan beliau ditindak
Diantara upaya yang beliau lakukan oleh khilafah Umar ibn Adul Aziz adalah
sebagai berikut :
oleh ribuan orang, dan telah dikumpulkan dan dibukukan pada masa
15
“Jonathan Ac Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World ( Simon and Schuster,
2017)
11
menyebar di beberapa penjuru negeri islam setelah terjadi perluasan
hilang.
pengikut ali dan pengikut muawiyah, dan khawarij yang keluar dari
membuat nash – nash hadis dan menisbatkan kepada Rasulullah apa yang
ibnu syihab berkata, “kalaulah tidak karena adanya hadis – hadis yang
datang dari belahan timur yang tidak kami ketahui keberadaannya, niscaya
aku tidak akan menulis dan tidak akan mengizinkan penulisan hadis. 16
Akan tetapi usaha yang dilakukan oleh umar ibn Abdul Aziz belum
menyeluruh dan sempurna, hal ini dikarenakan beliau wafat sebelum Abu Bakar ibn
Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadis kepadanya. Para ahli hadis memandang
bahwa usaha Umar ibn Abdul Aziz merupakan langkah awal dari pembukuan hadis.
Mereka mengatakan, “ Pembukuan hadis ini terjadi pada penghujung tahun ke 100
Pada periode awal pumbukuan hadis, urutan bab – bab dan pembahasan
disiplin tiap ilmu belum disusun secara sistematis, upaya pembukuan secara sistematis
baru dilakukan oleh Imam Muhammad ibn Syihab Az –Zuhri dengan beberapa metode
yang berbeda, yang kemudian para ulama hadis menyusun buku hadis secara
Ina Alif Hamdalah and Dadang Kahmad, “History of Hadith Writing, Memorization and Bookkeeping’,in
17
Muwatha, karya imam Malik bin Anas, Al – Mushannaf karya Abdurrazak bin
Hammam Ash – Shan’ani; As – Sunan karya Said bin Mansur dan Al – Mushannaf
karya Abu Bakar bin Abu Syaibah. Karya – karya tersebut tidak hanya terbatas pada
kumpulan hadis – hadis Rasulullah Saw, akan tetapi bercampur antara hadis Nabi
Shalallahu ‘alaihi wasallam, perkataan para sahabat, dan fatwa para tabi’in. kemudian
ulama periode berikutnya memisahkan pembukuan hanya pada hadis Rasulullah Saw
saja.18
penyempurnaan, periode ini berlangsung pada abad abad ke 3 H pada mas dinasti
abbasiyah yang dipimpin oleh oleh khalifah al – ma’mun sampai al mu’tadir. Para
pengklasifikasian hadis – hadis, pada masa ini lahirlah enam buku induk hadis kutubu
penghimpunan. Berlangsung selama dua abad, yaitu abad keempat hingga ketujuh
hijriah. Para ulama pada periode ini membuat gerakan yang sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan generasi sebelumnya, pada periode ini muncul sejumlah karya baru
dalam kitab hadis seperti syarah, mustakhrij, atraf, mustadrik, dan jami’. Beberapa
ulama hadis dan kitab yang masyhur pada periode ini di antaranya ialah:
18
Al – Qathathan, Syeikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Al – Quran
13
2. Abd Al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Al-Daruquthni, karyanya Sunan
Ad-Daruquthni.
5. Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqi, karyanya Sunan Al-Kubra
adalah buku-buku yang berisi tentang kumpulan hadis para sahabat secara
tersendiri, baik hadis tersebut dhaif, shahih, atau hasan. Al-Masanid karya
(w.219 H); c) Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (w.241 H); d) Musnad Abu
Bakar ahmad bin Amru Al-Bazzar (w.292 H); dan e) Musnad Abu Ya’la
2. Al-Ma’ajim adalah bentuk jamak dari mu’jam. Adapun menurut istilah para
ahli hadis, Al-Ma’ajim adalah buku yang berisi kumpulan hadis-hadis yang
lain: a) Al-Mu’jam Al-Kabir karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad At-
Thabarani; dan d) Mu’jam Al-Buldan karya Abu Ya’la Ahmad bin’Ali Al-
Mushli (w.307H).
20
Hamdalah and Kahmad, IV
14
3. Al-Jawami’ bentuk jamak dari jaami’. Jawami’ adalah karya hadis yang
yang dapat kita temukan dalam kitab ini adalah pembahasan tentang iman
4. Pembahasan Fikih, Karya para ahli hadis ini tidak mencakup keseluruhan
membahas masalah fikih. Metode yang dipakai dalam penyusunan kitab ini
seluruh bab yang berkenaan dengan hukum dan fikih. Terkadang disebut
pula judul yang tidak berhubungan dengan masalah fikih seperti: kitab
Iman, atau Adab. Di antara karya yang terkenal dengan metode ini adalah
kitab yang disusun berdasarkan bab-bab tentang fikih, kitab-kitab ini hanya
memuat hadis yang marfu’ agar dijadikan sebagai sumber bagi para ahli
Menurut istilah para ahli hadis, Al-Mushanafat adalah sebuah kitab yang
merupakan jamak dari muwaththa’. Menurut istilah para ahli hadis, Al-
bab fikih dan mencakup hadis-hadis marfu’, mauquf, dan maqthu’, sama
15
6. Karya Tematik, Terdapat beberapa ahli hadis yang menyusun kitab-kitab
karya Abi Hafsh Umar bin Ahmad, yang dikenal dengan nama Ibnu
2. Buku tentang zuhud, keutamaan amal, adab, dan akhlak, antara lain:
Yaitu buku-buku karya ahli hadis yang memuat hadis-hadis hukum fikih
saja, di antaranya adalah: Al-Ahkam karya Abdul Ghani bin Abdul wahid
Al - Maqdisi (w.600 H), Undatul Ahkam ‘an Sayyidil Anam karya Al-
yang dikenal dengan ibnu Daqiq Al-‘Ied (w.702 H), Al-Imam bi Ahadits
Al-Ahkam karya Ibnu Daqiq Al-‘Ied juga, ringkasan dari kitab AlImam,Al-
Muntaqa fi Al-Ahkam karya Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah Al-
Harrani (w.652 H), dan Bulughul Maram min Asillatil Ahkam karya Al-
majma’, yaitu kitab yang berisi kumpulan beberapa mushannaf dan disusun
16
berdasarkan urutan mushannaf yang telah dikumpulkan tersebut. Di antara
9. Al-Ajza, Merupakan jamak dari juz, yaitu setiap kitab kecil yang berisi
Hanifah ‘An AshShahabah karya Ustadz Abu Ma’syar Abdul Karim bin
Bukhari.
10. Al-Athraf, Yaitu kitab yang hanya menyebutkan sebagian hadis yang dapat
seluruh sanadnya, baik sanad satu kitab ataupun sanad dari beberapa kitab.
Abul Qasim Ali bin Hasan, (wafat 571 H). 3). Tuhfatul Asyraf bi Ma'rifatil
Athraf, atau Athraf Al-Kutub As-Sittah, karya Al Hafizh Abul Hajjaj Yusuf
bin Abdurrahman Al-Mizzi (wafat 742 H). 4). Ithaful Maharah bi Athrafil
Asyarah, karya Al Hafizh Ahmad bin Ali lbnu Hajar Al-'Asqalani (wafat
852 H). 5). Athraf Al-Masanid Al-Asyarah, karya Abul Abbas Ahmad bin
sittah dan Muwaththa' Imam Malik, karya .Abdul Ghani An-Nabulsi (wafat
1143 H).
17
11. Kumpulan Hadis Masyhur, Pada beberapa periode, para ulama banyak
segi dhaif atau maudhu'nya, atau yang tidak jelas asalnya, meskipun sudah
12. Az-Zawa’id, Adalah karya yang berisi kumpulan hadis tambahan terhadap
hadis yang ada pada sebagian kitab yang lain. Karya yang terkenal dalam
bidang ini, antara lain Mishbah Az-Zujajah fi Zawa’id Ibnu Majah karya
tentang daya ingat para pembawa dan perawi hadis kuat atau tidak (dhâbit),
yang kontra bersifat menghapus (nâsikh dan mansûkh) atau kompromi, kalimat
secara lisan (syafawî) dari mulut ke mulut dan tidak tertulis. Ketika pada
pertengahan abad kedua Hijriyah sampai abad ketiga Hijriyah, ilmu hadis
mulai di tulis dan dikodifikasi dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah
dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri, masih campur dengan ilmu-ilmu lain
atau berbagai buku atau berdiri secara terpisah. Tetapi pada dasarnya,
penulisan hadis baru dimulai pada abad kedua Hijriyah. Imam Syafi’i adalah
ilmu ushul fiqih, seperti dalam kitab Ar-Risâlah yang ditulis oleh Asy-Syafi’i,
atau campur dengan fiqih seperti kitab Al-Umm. Dan solusi hadis-hadis yang
kontra dengan diberi nama Ikhtilâf Al-Hadîts karya Asy-Syafi’i. Hanya saja,
18
teori ilmu hadisnya tidak terhimpun dalam pembahasan kitab Ar-Risâlah dan
kitab Al-Umm.
pada masa kejayaan atau keemasan hadis, yaitu pada abad ketiga Hijriyah,
pisah, belum menyatu dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, ia masih dalam
menulis ilmu hadis adalah Ali bin Al-Madani, syaikhnya Al-Bukhari, Muslim,
dan Tirmidzi. 21
Dr. Ahmad Umar Hasyim juga menyatakan bahwa orang
pertama yang menulis ilmu hadis adalah Ali bin Al-Madani dan
antara kitab-kitab ilmu hadis pada abad ini adalah kitab Mukhtalif Al-Hadîts,
yaitu Ikhtilâf Al-Hadîts karya Ali bin Al-Madani, dan ta’wîl Mukhtalif Al-
Hadîts karya Ibnu Qutaibah. Kedua kitab tersebut ditulis untuk menjawab
tantangan dari serangan kelompok teolog yang sedang berkembang pada masa
Di antara ulama ada yang menulis ilmu hadis pada mukadimah bukunya
seperti Imam Muslim dalam kitab Shahîh-nya dan At-Tirmidzi pada akhir kitab
Kubrâ. Dan di antara mereka ada yang menulis secara khusus tentang
periwayat yang lemah seperti Ad-Dhu’afâ’ ditulis oleh Al-Bukhari dan Ad-
Banyak sekali kitab-kitab ilmu hadis yang ditulis oleh para ulama abad
ke-3 Hijriyah ini, namun buku-buku tersebut belum berdiri sendiri sebagai ilmu
hadis, ia hanya terdiri dari bab-bab saja. Perkembangan ilmu hadis mencapai
21
as-siba’i, as-sunnah, t.t., h. 107
22
Hasyim, As-Sunnah An-Nabawiyyah, h. 398.
19
puncak kematangan dan berdiri sendiri pada abad ke-4 H yang merupakan
orang yang pertama kali memunculkan ilmu hadis yang berdiri sendiri dalam
oleh Al-Hakim Abu Abdullah An-Naisaburi yang menulis Ma’rifah “ulûm Al-
Hadîts tetapi kurang sistematik, Al-Khathib Abu Bakar Al-Baghdadi (w. 364
III. Penutup
A. Simpulan
Hadis mulai lahir pada zaman Rosululloh SAW yang berupa perkataaan,
perbuatan, dan ketetapan dari beliau sendiri. Hadispun berkembang dan tersebar pada
umat Islam pesat pada zaman itu, disebabkan anjuran Nabi sendiri kepada para
sahabat untuk menyebarkan dan adanya beberapa fakto-faktor lain. Para sahabat
menerima hadis-hadis dengan secara langsung dari Nabi dan secara tidak langsung.
Pada awal periode Nabi menganjurkan para sahabat untuk menghafal dan
menyebarkannya pada orang lain dan tidak menulisnya karena khawatir terjadinya
percampuran dengan Al-Qur’an. Akan tetapi, ada sebagian sahabat diperintahkan oleh
Nabi untuk menulis dengan beberapa syarat. Dan dengan berkembangnya zaman para
ulama sepakat untuk menulis hadis untuk memelihara dan menjaga hadis-hadis Nabi.
B. Saran
menyadari bahwa dari berbagai referensi yang ada masih banyak kesalahan dan
sejarah perkembangan hadis. Dan kami berharap dari refisian makalah ini, semoga
20
Daftar Pustaka
Agus Solahudin, Ulumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 33, n.d.
“K. Ali, A Study of Islamic History, (Delhi: Idarah Al-Adabiyat Delhi, 1980), 83-86”
(n.d.).
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 70-71, n.d.
“Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), 70”
(n.d.).
“Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd Fii Uluum Al-Hadis, (Damaskus: Dar Al-Fikr,t.t),
38” (n.d.).
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: Malang
2018)
"Andariati, Leni, ‘Hadis Dan Sejarah Perkembangannya’, Diroyah : Jurnal Studi Ilmu
Firdaus, 1994)
"Hamdalah, Ina Alif, and Dadang Kahmad, ‘History of Hadith Writing, Memorization
21