DOSEN PENGAMPU
Cintya Sukma Widita, M.Pd.
DISUSUN OLEH
Chaerul Dillah Abdian (220301004)
Eisna Gandi (220301005)
Lenita Alfiah (220301006)
Nabila Azhar Azizah (220302008)
Nurul Khasanah (220302007)
Puji syukur diucapkan atas kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materi.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................ii
Daftar Isi.............................................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan............................................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Tujuan......................................................................................................................1
Bab II Pembahasan...........................................................................................................2
A. Sejarah Priwayatan Hadist Pada Masa Nabi Muhammad SAW.............................2
1. Cara Penyampaian Hadist..................................................................................2
2. Tentang Penulisan Hadist..................................................................................3
B. Sejarah Periwayatan dan Pembukuan Hadist Sejak Periode Sahabat Nabi
Hingga Sekarang......................................................................................................4
1. Hadis Pada Masa Sahabat..................................................................................4
2. Hadis Pada Masa Tabi’in (Sahabat Masa Kecil)...............................................8
3. Hadis Pada Masa Kodifikasi..............................................................................10
4. Hadis Pada Masa Awal sampai Akhir Abad III H.............................................11
5. Hadis Pada Abad IV sampai Pertengahan Abad VII (Jatuhnya Baghdad
tahun 656 H)......................................................................................................13
6. Hadis Pada Masa Pertengahan Abad VII sampai Sekarang..............................14
C. Perkembangan Studi Hadist Kontemporer..............................................................15
a. Studi Manuskrip..........................................................................................15
b. Kemukjizatan ilmiah dan kemukjizatan futuristik.......................................16
c. Pengembangan Takhrij: Kembali ke Manhaj al-Mutaqaddimin.................17
Bab III Penutup.................................................................................................................19
A. Kesimpulan..............................................................................................................19
B. Harapan....................................................................................................................19
Daftar Pustaka...................................................................................................................20
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis bukanlah teks suci sebagaimana Al-Qur'an. Namun, hadis selalu
menjadi rujukan kedua setelah Al-Qur'an dan menempati posisi yang sangat penting
dalam kajian keislaman. Mengingat pentingnya hadis sebagai rujukan kedua setelah
Al-Qur’an,sebagai umat islam penting bagi kita mengetahui hadist beserta sejarah
perkembangannya,agar tidak ada penyelewengan suatu hukum dimasa depan.
B. Tujuan
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui apa yang
sejarah perkembangan hadist,dari mulai masa Nabi Muhammad SAW,sahabat,hingga
sekarang. Selain itu juga untuk mengetahui perkembangan hadist kontemporer.
Adapun tujuan Khusus dari makalah ini yaitu selain untuk mengetahui apa
yang dimaksud dengan hadist,bentuk serta sejarahnya,yaitu :
1. Memahami Sunnah Rasulullah
2. Menjaga Kesahihan Ajaran Islam
3. Memperdalam Pengetahuan Keagamaan
4. Mengamalkan Ajaran Islam dengan Lebih Baik
5. Menjaga Kesatuan Umat Islam
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para
sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang.
c) Ketiga, untuk hal-hal sensitif seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan
kebutuhan biologi, terutama yang menyangkut tentang wanita,penyampaiannya
sering dibantu oleh Aisyah. Seperti saat Nabi menjelaskan tentang seorang
wanita yang bertanya kepada Nabi SAW tentang mandi bagi wanita yang telah
suci dari haidnnya.
d) Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika Futuh
Mekkah dan haji Wada’. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631
M). Nabi menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu
kaum Muslimin yang melakukan ibadah haji.
e) Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh pra sahabtnya, yaitu
dengan jalan musyhadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah
dan muamalah. Misalnya, suatu ketika Nabi berjalan-jalan di pasar dan bertemu
dengan seorang laki-laki yang sedang membeli makanan (gandum). Nabi
menyuruhnya memasukkan tangannya ke dalam gandum itu, dan ternyata di
dalamnya basah.
2. Tentang Penulisan Hadist
Pada masa Nabi,sedikit sekali sahabat yang dapat menulis, sehingga yang
menjadi andalan mereka dalam menerima hadis adalah ingata mereka. Menurut
‘Abd al-Nashar, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat
kekuatan daya ingat dan kemampuan menghapal.
a. Larangan menulis hadist
Hadis pada waktu itu pada umumnya hanya diingat dan dihafal oleh
para sahabat dan tidak ditulis seperti Al-Qur’an ketika disampaikan oleh Nabi,
karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan. Secara memang Nabi
melarang bagi umum karena khawatir bercampur antara hadis dan Al-Qur’an.
Banyak hadis yang melarang para Sahabat untuk menulis hadis, diantara hadis
yang melarang penulisan hadis adalah:
رْ ا ِنKKُ َر ْالقKَب َعنِّيي َغ ْي َ ِع َْن اَبِ ْي َس ِع ْي ُد ْال ُخ ْد ِري اَ َّن َرسُوْ ُل هللا
َ وْ ا َعنِّي َو َم ْن َكتKKُ اَل تَ ْكتُب:لَّ َمKصلَّى هللاِ َعلَ ْي ِه َو َس
رواهُ مسل ٌم.ُفَ ْليَ ْم ُحه
Artinya :
3
“Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda:
janganlah engkau menulis (hadis) dariku, barangsiapa menulis dariku selain
dari Al-Qur’an maka hapuslah. (HR. Muslim)”
Alasan pencatatan hadis pada masa Rasulullah karena hawatir hadis
tercampur dengan Al-Qur’an yang saat itu masih proses penurunan. Oleh
karena itu maka pada saat itu nabi melarang keras kepada sahabat untuk
menulis dan mencatat hadis agar tidak bercampur dengan Al-Qur’an Al-karim.
b. Diperbolehkannya Menulis Hadis Pada Masa Rasulullah SAW
Larangan menulis hadis tidaklah umum kepada semua sahabat, ada
sahabat tertentu yang diberikan izin untuk menulis hadis. Nabi melarang
menulis hadis karena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an dan pada
kesempatan lain nabi memperbolehkannya. Sebagaimana diriwayatkan oleh
Abd Allah Ibn Umar, dia berkata: “Aku permah menulis segala sesuatu yang
ku dengar dari Raulullah, aku ingin menjaga dan menghafalkannya. Tetapi
orang Quraisy melarangku melakukannya.” Mereka berkata: “Kamu hendak
menulis (hadis) padahal Rasulullah bersabda dalam keadaan marah dan
senang”. Kemudian aku menahan diri (Untuk tidak menulis hadis) hingga aku
ceritakan kejadian itu kepada Rasulullah.
Adanya larangan tersebut berakibat banyak hadis yang tidak ditulis dan
seandainya Nabi tidak pernah melarang pun tidak mungkin hadis dapat ditulis.
Karena menurut M Suyudi Ismail hal ini disebabkan oleh beberapa alasan
berikut:
1) Hadis disampaikan tidaklah selalu di hadapan sahabat yang pandai menulis.
2) Perhatian Nabi dan para sahabat lebih banyak tercurah pada Al-Qur’an.
3) Meskipun Nabi mempunyai sekretaris tetapi mereka hanya diberi tugas
menulis wahyu yang turun dan surat-surat Nabi.
Sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, ketetapan, dan hal-hal
orang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan
alat sederhana.
4
Periode shahabat disebut dengan “’Ashr al-Tatsabut wa al-Iqlal min al-
riwayah” yaitu masa pemastian dan menyedikitkan riwayat. Dalam prakteknya,
cara shahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
a. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW
yang mereka hafal benar lafazhnya dari Nabi SAW.
b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan
lafazhnya karena tidak hafal lafazhnya asli dari Nabi SAW.
Berikut ini dikemukakan sikap al-Khulafa al-Rasyidin tentang periwayatan
hadits Nabi.
a. Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H/1347 M), Abu
Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya
dalam meriwayatkan hadis. Data sejarah tentang kediatan periwayatan hadits
dikalangan umat Islam pada masa Khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini
dapat dimaklumi, karena pada masa pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam
dihadapkan pada berbagai ancaman dan kekacauan yang membahayakan
pemerintah dan Negara. Berbagai ancaman dan kekacauan itu berhasil diatasi oleh
pasukan pemerintah. Dalam pada itu tidak sedikit shahabat Nabi, khususnya yang
hafal Qur’an, telah gugur di berbagai peperangan. Atas desakan Umar bin al-
Khatthab, Abu Bakar segara melakukan penghimpunan al-Qur’an (jam’ al-
Qur’an).
Jadi disimpulkan, bahwa periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar
dapat dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol di kalangan umat
Islam. Walaupun demikian dapat dikemukakan, bahwa sikap umat Islam dalam
periwayatan hadits tampak tidak jauh berbeda dengan sikap Abu Bakar, yakni
sangat berhati-hati. Sikap hati-hati ini antara lain terlihat pada pemerikasaan hadis
yang diriwayatkan oleh para sahabat.
b. Umar bin Al-Khatthab
Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini
terlihat, misalnya, ketika umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubay
bin Ka’ab. Umar barulah bersedia menerima riwayat hadis dari Ubay, setelah
para shahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar
pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya
Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu
5
telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam
periwayatan hadis ini.
Apa yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab tersebut telah dialami juga oleh
Abu Musa al-As’ariy, al-Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain. Kesemua itu
menunjukkan kehati-hatian Umar dalam periwaytan hadis. Disamping itu,
Umar juga menekankan kepada para shahabat agar tidak memperbanyak
periwayatan hadits di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu
konsentrasinya untuk membaca dan mendalami al-Qur’an.Kebijakan Umar
melarang para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadis, sesungguhnya
tidaklah bahwa Umar sama sekali melarang para shahabat meriwayatkan
hadits. Larangan umar tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri,
tetapi dimaksudkan: [a] agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan
hadis, [b] agar perhatian masyarakat terhadap al-Qur’an tidak tergangu. Hal ini
diperkuat oleh bukti-bukti berikut ini:
1. Umar pada suatu ketika pernah menyuruh umat islam untuk mempelajari
hadis Nabi dari para ahlinya, karena mereka lebih menetahui tentang
kandungan al-Qur’an.
2. Umar sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis Nabi, Ahmad bin Hanbal
telah meriwayatkan hadits Nabi yang berasal dari riwayat Umar sekitar tiga
ratus hadis. Ibnu Hajar al-Asqalaniy telah menyebutkan nama-nama shahabat
dan tabi’in terkenal yang telah meneriam riwayat hadis Nabi dari Umar.
Ternyata jumlahnya cukup banyak.
3. Umar pernah merencanakan menghimpun hadis nabi secara tertulis. Umar
meminta pertimbangan kepada para shahabat. Para shahabat menyetujuinya.
Tetapi satu bulan umar memohon petunjuk kepada Allah dengan jalan
melakukan shalat istikharah, akahirnya dia mengurungkan niatnya itu. Dia
khawatir himpunan hadits itu akan memalingkan perhatian umat Islam dari al-
Qur’an. Dalam hal ini, dia sama sekali tidak nenampakkan larangan terhadap
periwayatan hadis. Niatnya menghimpun hadis diurungkan bukan karena alas
an periwayatan hadits, melainkan karena factor lain, yakni takut terganggu
konsentrasi umat islam terhadap al-Qur’an.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa periwayatan hadits pada
zaman Umar bin al-Khatthab telah lebih banyak dilakukan oleh umat Islam
bila dibandingkan dengan zaman Abu Bakar. Hal ini bukan hanya disebabkan
6
karena umat islam telah lebih banyak menghajatkan kepada periwayatan
hadits semata, melainkan juga karena khalifah Umar telah pernah memberikan
dorongan kepada umat islam untuk mempelajari hadits Nabi. Dalam pada itu
para periwayat hadits masih agak “terkekang” dalam melakukan periwaytan
hadis, karena Umar telah melakukan pemeriksaan hadis yang cukup ketat
kepada para periwayat hadis. Umar melakukan yang demikian bukan hanya
bertujuan agar konsentrasi umat Islam tidak berpaling dari al-Qur’an,
melainkan juga agar umat Islam tidak melakukan kekeliruan dalam
periwayatan hadis. Kebijakan Umar yang demikian telah menghalangi orang-
orang yang tidak bertanggung jawab melakukan pemalsuan-pemalsuan hadis.
c. Usman bin Affan
Secara umum, kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadits tidak jauh
berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah penduhulunya.
Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin Khatthab.
‘Usman secara pribadi memang tidak banyak meriwayatkan hadits.
Ahmad bin Hambal meriwayatkan hadits nabi yang berasal dari riwayat
‘Usman sekitar empat puluh hadits saja. Itupun banyak matan hadits yang
terulang, karena perbedaan sanad. Matn hadits yang banyak terulang itu adalah
hadits tentang berwudu’. Dengan demikian jumlah hadits yang diriwayatkan
oleh ‘Usman tidak sebanyak jumlah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin
Khatthab.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan, bahwa pada zaman ‘Usman bin
Affan, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadits tidak lebih banyak
dibandingkan bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman
‘Umar bin Khatthab. Usman melalui khutbahnya telah menyampaikan kepada
umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi seruan itu
tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para perawi tertentu yang bersikap
“longgar” dalam periwaytan hadis. Hal tersebut terjadi karena selain pribadi
‘Usman tidak sekeras pribadi ‘Umar, juga karena wilayah Islam telah makin
luas. Luasnya wilayah Islam mengakibatkan bertambahnya kesuliatan
pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.
d. Ali bin Abi Thalib
Sikap Ali dalam menghadapi hadist pun tak jauh berbeda dengan para
pendahulunya. Ali barulah bersedia menerima riwayat hadits Nabi setelah
7
periwayat hadits yang bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang
disampaikannya itu benar-benar dari Nabi saw. hanyalah terhadap yang benar-
benar telah diparcayainya. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa fungsi
sumpah dalam periwayatan hadits bagi ‘Ali tidaklah sebagai syarat muthlak
keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu apabila orang
yang menyampaikan riwayat hadis telah benar-benar tidak mungkin keliru.
‘Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi.
Hadis yang diriwayatkannya selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk
tulisan (catatan). Hadis yang berupa catatan, isinya berkisar tentang hukuman
denda (diyat), pembahasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir, dan
larang melakukan hokum kisas (qishash) terhadap orang Islam yang
membunuh orang kafir.
Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan hadits melalui riwayat ‘Ali bin
Abi Thalib sebanyak lebih dari 780 hadis. Sebagian mant dari hadis tersebut
berulang-ulang karena perbedaan sanad-nya. Dengan demikian, dalam
Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadis yang
terbanyak bila dibandingkan dengan ke tiga khalifah pendahulunya.
Dilihat dari kebijaksanaan pemerintah, kehati-hatian dalam kegiatan
periwayatan hadits pada zaman khalifah ‘Ali bin Abi Thalib sama dengan
pada zaman sebelumnya. Akan tetapi situasi umat Islam pada zaman Ali telah
berbeda dengan siatuasi pada zaman sebelumnya. Pada zaman Ali, pertentang
politik dikalangan umat Islam telah makin menajam. Peperangan antara
kelompok pendukung Ali dengan pendukung Mu’awiyah telah terjadi. Hal ini
membawa dampak negative dalam bidang kegiatan periwayatan hadis.
Kepentingan politik telah mendorong terjadinya pemalsuan hadits.
8
a. Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Aisyah, Abu Hurayrah, ibn’
Umar, Abu Sa’id al-Khudzri, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in : Sa’id ibn
Musayyib, Urwah ibn Zubayr, Nafi’ Maula ibn ‘Umar, dan lain-lain.
b. Mekkah, dengan tokoh hadis dari kalangan sahabat : ibn ‘Abbas, ‘Abd Allah
ibn Sa’id dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in tokoh hadis antara lain : Mujahit ibn
Jabr, ‘Ikrimah mawla ibn ‘Abbas, ‘Atha ibn Abi Rabah, dan lain-lain.
c. Kufa, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn
Abi Waqqas, dan Salmann al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in : Masruq ibn al-
Ajda’, Syuraikh ibn al-Haris, dan lain-lain.
d. Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Utbah ibn Gahzwan, Imran ibn
Husyn, dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in dikenal tokoh : al-Hasan al-Basri, Abu
al-‘Aliyah, dan lain-lain.
e. Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat : Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’,
‘Ubbadah ibn Shamit, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in : Abu Idris,
Qabishah ibn Zuaib. Dan Makhul ibn Abi Musli.
Hadis-hadis yang diterimah oleh para tabi’in ini ada yang dalam bentuk
catatan atau tulisan-tulisan dan ada pula yang harus dihapal, disamping dalam
bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat
yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi,
sehingga tidak ada satu hadis pun yang tercecer atau terlupakan. Sunggupun
demikian, pada masa pasca sahabat besar ini, muncul kekeliruan periwayatan
hadis ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah. Periwayatan tidak semata
menyangkut hadis-hadis yang berasal dari Nabi (marfit), tetapi hadis yang
bersumber dari sahabat (mawquf) dan tabi’in (maqthu’) bahkan pernyataan
beberapa ahli kitab yang telah masuk islam yang mereka sadur dari pernyataan
Bani Israil atau shuhuf mereka sebagai bahan komparas setelah mereka masuk
islam. Dari sekian pernyataan ysng memiliki beragam sumber ini, tidak mustahil
menimbulakan salah kutip : perkataan sahabat dinyatakan sebagai hadis Nabi ,
atau bahkan perkataan ahli kitab sebagai sabdah Nabi.
Faktor-faktor penyebab terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat itu
antara lain : pertama, periwayat hadis sebagaimana manusia lain tidak terlepas
dari unsur kekeliruan. Kedua, terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadis. Sejak
masa Rasulullah memang ada ada beberapa sahabat yang menulis hadis baik atas
dasar izin Nabi atau ditulis para amir atau para pegawai, tetapi usaha penulisan
9
belum merupakan hal biasa, bahkan umumnya para periwayat mengandalkan
hafalan. Ketiga, terjadinya periwayatan secara makna yang dilakukan oleh
sebagian besar sahabat dan tabi’in terbukti dengan adanya hadis atau kisah yang
sama tetapi memiliki redaksi yang beragam.
12
Pada masa ini tidak seorangpun ulama yang membukukan hadis dengan
menukil dari kitab lain. Mereka membukukan hadis berdasarkan hadis-hadis yang
diterima dari para periwayat. Selain menyusun kitab- kitab hadis, mereka juga
menyusun kitab-kitab yang berisi teori-teori untuk mentashih hadis. Para ulama
antusias menulis ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadis, ada yang mengarang
kitab tentang sejarah para periwayat, illar hadis, dan lain-lain. Secara umum, abad
ketiga Hijriah ini merupakan masa keemasan dalam peradaban Islam.
5. Hadis pada Abad IV Sampai Pertengahan Abad VII (Jatuhnya Baghdad Tahun
656 H)
Masa seleksi dilanjutkan dengan masa pengembangan dan pe- nyempurnaan
sistem penyusunan kitab-kitab hadis. Masa ini disebut dengan 'ashr al-tahdzib wa
al-taqrib wa al-istidrak wa al-jam'i (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan,
dan penghimpunan). Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah
kepada usaha mengembangkan beberapa variasi pembukuan kitab-kitab yang
sudah ada. Maka setelah berjalan beberapa saat dari munculnya al-Kutub al-Sittah,
al-Muwaththa' karya Malik ibn Anas, dan al-Musnad karya Ahmad ibn Hanbal,
para ulama mengalihkan perhatian mereka untuk menyusun kitab-kitab yang
berisi pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadis.
Di antara kitab yang disusun pada periode ini adalah kitab al- mustakhraj,
yaitu kitab hadis yang disusun berdasarkan penulisan kembali hadis-hadis yang
terdapat dalam kitab lain kemudian penulis kitab itu mencantumkan sanad dari
dirinya sendiri. Misalnya, kitab Mustakhraj Shahih al-Bukhari antara lain; kitab
al-Mustakhraj karya al-Ismaili (w, 371 H), kitab al-Mustakhraj karya al-Ghithrifi
(w. 377 H), dan kitab al-Mustakhraj oleh Ibn Abi Zuhl (w. 378 H). Kitab
Mustakhraj Shahih Muslim antara lain al-Mustakhraj karya Abu Awanah al-
Asfarayani (w. 316 H), al-Mustakhraj karya al-Humayri (w. 311 H) dan al-
Mustakhraj oleh Abu Hamid al-Harawi (w. 355 H), Demikian pula kitab-kitab al-
mustadrak, yaitu kitab yang sebagian hadisnya disusun dengan menyusulkan
hadis-hadis yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadis yang lain. Namun,
dalam menulis hadis-hadis susulan itu, penulis kitab itu mengikuti persyaratan
periwayatan hadis yang dipakai oleh kitab yang lain tersebut. Misalnya al-Hakim
al-Naysaburi (w. 405 H), penulis kitab al-Mustadrak 'ala al-Sha-hihuyn yang
13
berisi hadis-hadis yang dinilainya sahih yang tidak termuat dalam kitab Shahih al-
Bukhari dan Shahih Muslim.
Kitab-kitab al-zawaid juga termasuk salah satu kitab kategori ini, yaitu kitab
yang disusun dengan menghimpun hadis-hadis tambahan dalam suatu kitab yang
tidak terdapat dalam kitab-kitab lainnya." Misalnya kitab Misbah al-Zujajah fi
Zawaid Ibn Majah karya al-Busayri (w. 840 H) yang mengandung hadis-hadis
yang hanya ditulis oleh Ibn Majah (w. 273 H) dalam kitab Sunan-nya, tetapi tidak
terdapat dalam lima kitab hadis yang lain, yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abt Dawud, Sunan al-Tirmidzi, dan Sunan al-Nasa't Secara
politis, masa ini hampir sama dengan masa sebelumnya. Namun, kekuatan-
kekuatan dari luar Islam sudah mulai menggeliat. Hal ini dibuktikan dengan
dikuasainya Bayt al-Maqdis di Yerussalem oleh tentara Salib dan puncaknya
Baghdad runtuh oleh serangan Jengis Khan.
14
C. Perkembangan Studi Hadist Kontemporer
1. Studi Manuskrip
Studi manuskrip merupakan salah satu obyek kajian unggulan para orientalis.
Hal ini bisa dimaklumi karena untuk mengenal Islam; ajaran, sejarah dan
peradaban klasiknya, tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali dengan meneliti
manuskrip-manuskrip tersebut.
Sebelum munculnya percetakan, manuskrip merupakan bahan rujukan
utama para akademisi dalam melakukan penelitiannya (Diyab, 1983: 129-
149). Untuk menyelesaikan obsesi besarnya mengumpulkan hadits-hadits
Rasul saw. dalam kitab al-Jami' ash-Shaghir dan al-Jami' al-Kabir, Imam as-
Suyuthi (w. 911 H/1505 M) harus merujuk kepada puluhan manuskrip yang
ada pada masanya. Begitu juga halnya dengan al-Laknawi (1264-1304
H/1847-1886 M) yang tinggal di India, ia harus mencari manuskrip-manuskrip
dalam bidang hadits sampai ke kota Makkah dan Madinah, untuk
menyelesaikan karya-karya besarnya dalam bidang studi hadits.
Pada abad kesembilan belas dan awal abad keduapuluh manuskrip-
manuskrip Arab banyak yang diusung ke Eropa dan tersimpan di
perpustakaan-perpustakaan Leiden, Hamburgh, Milano dan lain-lain.Di
samping banyak juga yang masih tersimpan di perpustakaan-perpustakaan
dunia Islam: Kairo, Damaskus, Madinah dan terutama Turki (Diyab, 1983:
105-106).
Arent Jan Wensinck (1882-1939 M/1299-1358 H) ketika menyusun
Konkordasi Indeks Kosa Kata Alfabetis Hadit-hadits (Mu'jam Mufahras li-
Alfadzil-Hadits) dan mengumpulkan matan-matan hadits Nabi secara tematis
dan diurutkan secara alfabetis (Miftah-Kunuz as-Sunnah) merujuk kepada
kitab-kitab hadits yang sudah diteliti dan dicetak pada tahun 1934-1936 di
Leiden.
Pada tahun 1898, M. Hasan Ahmad Basya, Ahmad Basya Timur, Ali
Bik dll. mendirikan lembaga yang berkecimpung pada penelitian manuskrip.
Lembaga ini berhasil menerbitkan beberapa kitab klasik di antaranya adalah
al-Mujiz fi al-Fiqh al-Imam asy-Syafi'I dan Futuh al-Buldan karya al-
Baladziri. Pada tahun 1900 M. lembaga yang serupa juga didirikan oleh
sekumpulan ulama dan diketuai oleh Syekh Muhammad Abduh. Di antara
15
buku yang berhasil diterbitkan oleh lembaga yang terkakhir ini adalah Asrarul-
Balaghah dan Dala`ilul-I'jaz karya Abdul Qahir al-Jurjani (Diyab, 1983: 111).
Di awal abad ke dua puluh dan selanjutnya, penelitan manuskrip
hingga pencetakannya mempunyai peran besar bagi perkembangan studi
hadits. Analisa sejarah dan metode periwayatan serta penyeleksian hadits tidak
akan bisa maksimal tanpa didukung data-data komprehensip yang terkumpul
dalam manuskrip-masnuskrip. Kuantitas dan Kualitas penelitian manuskrip
dalam bidang hadits menjadi faktor penentu tinggi rendahnya kualitas analisa
dan kajian atas hadits.
Bila studi manuskrip ini diamati maka bisa disimpulkan bahwa, pada
perkembangannya motivasi studi manuskrip ini tidak hanya disebabkan oleh
faktor pembelaan untuk melindungi eksistensi Sunnah semata, namun lebih
dari itu, studi manuskrip juga didorong keinginan untuk meningkatkan
penelitian dalam bidang hadits secara umum yang memang memerlukan
kelengkapan dan komperehensifitas data. Karenanya penelitian atas
manuskrip-manuskrip hadits akhirnya tidak hanya terkonsentrasi pada
manuskrip-manuskrip awal kumpulan hadits semata, namun manuskrip kitab
rijal dan kitab mushthalah-hadits yang disusun oleh ulama yang hidup sebelum
masa pengarang al-Kutub as-Sittah dan yang hidup setelah masa pengarang al-
Kutub as-Sittah juga banyak diperhatikan.Yang perlu dicatat juga adalah,
kecenderungan studi model ini telah melahirkan banyak tokoh dalam bidang
penelitian manuskrip hadits semisal, Ahmad Muhammad Syakir,
Habiburrahman al-A'dhami, Syua'ib al-Arna'uth, Abdurrahman al-Arna`uth,
Basyar 'Awwadh, Addab Mahmud Hams dan lain-lain.
2. Kemukjizatan Ilmiah dan kemukjizatan futuristik
Fakta-fakta ilmiah tentang manusia dan alam raya yang baru ditemukan oleh
para ilmuwan ternyata sudah pernah disinggung oleh Rasul yang hidup beratus-
ratus tahun silam. Dr. Maurice Bucaille dengan karyanya The Bible, The Quran,
and The Science.
Dalam perkembangannya, bukan hanya pakar hadits saja yang terjun dalam
kajian al-i'jaz al-Ilmiy ini, para ilmuwan muslim dalam berbagai disiplin ilmu juga
turut andil memberikan kontribusi baik dalam bentuk presentasi, buku atau
artikel-artikel. Pakar Geologi kenamaan setaraf Prof. Dr. Zaghlul an-Najjar juga
turut andil menorehkan hasil pengamatannya dalam buku berjudul al-I'jaz Ilmiy fi
16
as-Sunnah an-Nabawiyyah (Giza: Nahdhet Misr, 2002 M) menorehkan hasil
pengamatannya dalam buku berjudul al-I'jaz Ilmiy fi as-Sunnah an-Nabawiyyah.
Berdasarkan terjadinya, hadits dikelompokkan ke dalam lima kategori:
a) Hadits futuristik yang terbukti kejadiannya semasa Rasul saw. masih
hidup;
b) hadits futuristik yang terbukti kejadiannya setelah Rasul saw.
meninggal dunia dan sebelum kehidupan para penyusun kitab-kitab
hadits;
c) hadits futuristik yang terbukti kejadiannya setelah masa para penyusun
kitab-kitab hadits dan sebelum masa sekarang ini;
d) hadits futuristik yang terbukti kejadiannya pada masa kita sekarang ini;
e) hadits futuristik yang belum terbukti kejadiannya hingga saat sekarang
ini.
Dua kecenderungan corak studi hadits sebagaiman diterangkan di atas, secara
langsung mempunyai tujuan untuk menegaskan kembali bahwa Nabi Muhammad
diutus untuk semua manusia sepanjang masa, karenanya kemukjizatannya tidak
hanya bisa disaksikan oleh orang yang segenerasi dengannya, namun juga bisa
dibuktikan oleh manusia sepanjang sejarah
Namun, pada perkembangannya dua kecenderungan studi hadits ini mulai
kehilangan kontrol. Kondisinya semakin parah di saat peta politik, ekonomi dan
perkembangan ilmu pegetahuan dan teknologi global—yang menjadi salah satu
sisi kajian dalam studi hadits ini—tidak memihak kepada umat Islam. Kondisi ini
jelas menimbulkan inferior-complex pada umat Islam. Dan kajian hadits dengan
model seperti ini akhirnya lebih cenderung bersifat apologetik katimbang
semangat ilmiah. Semangat pembelaan dan bangga atas superioritas ajaran lebih
dikedepankan, sedangkan analisa kritis mulai dipinggirkan. Sehingga muncullah
penafsiran-penafsiran yang sangat dipaksakan dan ketidakselektifan dalam
memilih hadits-hadits yang dijadikan kajian.
3. Pengembangan Takhrij: Kembali ke Manhaj al-Mutaqaddimin
Dalam wacana kajian hadits kontemporer, para penggagas metode ini
mengusung istilah "manhaj al-mutaqaddimin" yang seringkali dipertentangkan
dengan "manhaj al-mutaakhirin". Selain menekankan teori jam'ul-asanid, para
pendukung metode ini juga mempunyai perhatian khusus pada beberapa sub
bagian dalan kajian ilmu mushthalah hadits yang mempunyai implikasi krusial
17
terhadap masalah penilaian kualitas hadits. Kadang seorang peneliti telah
konsisten menggunakan teori jam'ul-asanid, namun dia kurang teliti dalam
menganalisa jalur sanad yang telah terkumpul sehingga hasil kesimpulannya tidak
tepat.
Oleh karenanya teori analisa sanad perlu perhatian khusus terutama pada hal-
hal berikut ini:
a) Masalah kecacatan yang samar (al-'ilal al-khafiyyah) dalam hadits, seperti
masalah periwayatan-periwayatan rawi tsiqah yang tidak diterima karena
terbukti ada kesalahan periwayatan baik karena kondisi yang menyertai sang
rawi atau karena bertentangan dengan periwayatan lain.
b) masalah penguatan hadits dhaif dengan sitem al-mutaba'aat dan asy-syawaahid.
Tidak semua hadits dhaif bisa meningkat kualitasnya karena ada jalur sanad
lain dan tidak semua jalur sanad bisa digunakan untuk memperkuat hadits
dhaif. Hadits yang terbukti ada kesalahan periwayatan di dalamnya, sama
sekali tidak bisa diperkuat atau memperkuat hadits lain, meskipun hadits
tersebut diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah.
c) Istilah-istilah yang beredar dalam disiplin ilmu hadits harus dikembalikan
kepada maksud masing-masing pengguna istilah tersebut (the will of author).
Pembaca (reader) dan komunitas penafsir (community of interpreters) tidak
boleh memberikan content atas istilah-istilah tersebut, supaya tidak timbul
penyelewengan dan distorsi. Masalah ini perlu ditekankan karena pada
realitanya banyak istilah-istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi
atau kualitas sanad, hadits atau rawi yang maknanya tidak disepakati oleh para
muhadditsin baik yang hidup pada atau paska masa periwayatan, seperti istilah
mursal, munkar, syadz, gharib dll. Buku representatif yang membahasan teori
ini adalah al-Manhaj al-Muqtarah li Fahmi al-Mushthalah, karya Dr. Syarif
Hatim bin Arif al-'Auni (Riyadh: Dar al-Hijrah, 1416 H/1996 M).
d) mempertimbangkan pendapat dan komentar al-muhadditsin sepanjang sejarah
atas kualitas sanad, hadits dan rawi yang sedang diteliti (mempertimbangkan
al-ahkam an-naqliyyah), mendiskusikannya bila ada perbedaan pendapat
kemudian baru mengemukakan kesimpulan akhir.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan hadis dibagi dalam 7 masa yakni : hadis pada masa Nabi,hadis pada
masa sahabat,hadis pada masa tabi’in (sahabat masa kecil),hadis masa kodifikasi,hadis pada
masa awal sampai akhir abad III H,hadis pada abad IV sampai pertengahan abad VII
(jatuhnya Baghdad tahun 656 H), dan hadis pada pertengahan abad VII sampai sekarang.
B. Harapan
Harapan penulis,setelah kita mempelajari sejarah perkembangan hadis dapat
memberikan wawasan dalam memahami Sunnah dengan lebih baik, mendorong
kritisisme yang sehat, menghormati keragaman pendapat, meningkatkan literasi agama,
dan melindungi dari pemalsuan hadis. Hal ini memungkinkan umat Muslim termasuk kita
untuk mempraktikkan Islam dengan pemahaman yang lebih mendalam dan berdasarkan
pada sumber-sumber yang terpercaya.
19
DAFTAR PUSTAKA
Kaptein,H.L. Beck dan N.J.G. 1988,Pandangan Barat Terhadap Literatur Hukum, Filosofi,
Teologi, Dan Mistik Tradisi Islam. Jakarta: INIS.
20