Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH AL-QUR’AN & HADIST

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HADIST

DOSEN PENGAMPU
Cintya Sukma Widita, M.Pd.

DISUSUN OLEH
Chaerul Dillah Abdian (220301004)
Eisna Gandi (220301005)
Lenita Alfiah (220301006)
Nabila Azhar Azizah (220302008)
Nurul Khasanah (220302007)

UNIVERSITAS AISYAH PRINGSEWU


FAKULTAS SOSIAL DAN BISNIS
S1 PSIKOLOGI & S1 AKUNTANSI
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan atas kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materi.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Pringsewu, Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................................ii
Daftar Isi.............................................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan............................................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Tujuan......................................................................................................................1
Bab II Pembahasan...........................................................................................................2
A. Sejarah Priwayatan Hadist Pada Masa Nabi Muhammad SAW.............................2
1. Cara Penyampaian Hadist..................................................................................2
2. Tentang Penulisan Hadist..................................................................................3
B. Sejarah Periwayatan dan Pembukuan Hadist Sejak Periode Sahabat Nabi
Hingga Sekarang......................................................................................................4
1. Hadis Pada Masa Sahabat..................................................................................4
2. Hadis Pada Masa Tabi’in (Sahabat Masa Kecil)...............................................8
3. Hadis Pada Masa Kodifikasi..............................................................................10
4. Hadis Pada Masa Awal sampai Akhir Abad III H.............................................11
5. Hadis Pada Abad IV sampai Pertengahan Abad VII (Jatuhnya Baghdad
tahun 656 H)......................................................................................................13
6. Hadis Pada Masa Pertengahan Abad VII sampai Sekarang..............................14
C. Perkembangan Studi Hadist Kontemporer..............................................................15
a. Studi Manuskrip..........................................................................................15
b. Kemukjizatan ilmiah dan kemukjizatan futuristik.......................................16
c. Pengembangan Takhrij: Kembali ke Manhaj al-Mutaqaddimin.................17
Bab III Penutup.................................................................................................................19
A. Kesimpulan..............................................................................................................19
B. Harapan....................................................................................................................19
Daftar Pustaka...................................................................................................................20

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis bukanlah teks suci sebagaimana Al-Qur'an. Namun, hadis selalu
menjadi rujukan kedua setelah Al-Qur'an dan menempati posisi yang sangat penting
dalam kajian keislaman. Mengingat pentingnya hadis sebagai rujukan kedua setelah
Al-Qur’an,sebagai umat islam penting bagi kita mengetahui hadist beserta sejarah
perkembangannya,agar tidak ada penyelewengan suatu hukum dimasa depan.

B. Tujuan
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui apa yang
sejarah perkembangan hadist,dari mulai masa Nabi Muhammad SAW,sahabat,hingga
sekarang. Selain itu juga untuk mengetahui perkembangan hadist kontemporer.
Adapun tujuan Khusus dari makalah ini yaitu selain untuk mengetahui apa
yang dimaksud dengan hadist,bentuk serta sejarahnya,yaitu :
1. Memahami Sunnah Rasulullah
2. Menjaga Kesahihan Ajaran Islam
3. Memperdalam Pengetahuan Keagamaan
4. Mengamalkan Ajaran Islam dengan Lebih Baik
5. Menjaga Kesatuan Umat Islam

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Priwayatan Hadist Pada Masa Nabi Muhammad SAW


Masa dikenal dengan ‘ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu masa wahyu dan
pembentukan karna pada masa Nabi ini wahyu masih turun dan masih banyak hadis-
hadis Nabi yang datang darinya. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi menjadi
penyejuk dan sumber kebahagian para sahabat Nabi yang tidak pernah mereka
temukan pada masa jahiliah. Para sahabat sangat mencintai Rasulullah melebihi cinta
mereka kepada keluarga bahkan diri mereka sendiri. Mereka selalu berusaha
menghafal ajaran-ajaran islam melalui al-Qur’an juga selalu rindu bertemu Rasulullah
untuk mendapatkan ajaan agama, termasuk hadis –hadisnya.
1. Cara Penyampaian Hadist
Dalam menyampaikan hadis-hadisnya, Nabi menempuh beberapa cara, yaitu :
a) Pertama, melalui majelis al-‘ilm yaitu pusat atau pengajian yang diadakan oleh
Nabi untuk membinah para jemaah. Periwayatan hadis melalui majelis ini
dilakukan secara reguler dimana para sahabat begitu antusias mengikuti
kegiatan di majelis ini. Diantara mereka ada yang secara sengaja membagi
tugas untuk mendapatkan informasi yang berasal dari Nabi. Seperti saat ketika
Umar bin Khathab sewaktu-waktu bergantian hadir dengan ibn Zayd, dari bani
umayah untuk menghadiri majelis Nabi, ketika ia berhalangan hadir, berkata : “
Kalau hari ini aku yang turun atau pergi, pada hari lainnya ia yang pergi,
demikian pula aku yang melakukannya “. Dengan demikian para sahabat Nabi
yang kebetulan sibuk tidak sempat menemui Nabi, mereka tetap juga dpat
memperoleh hadis dari sahabat yang sempat bertemu dengan Nabi. Pada saat
yang demikian terjadi periwayatan hadis oleh sahabat dari sahabat lain. Pada
masa Nabi, hadis tidak semata mata diriwayatkan dari Nabi, tetapi sebagiannya
diriwayatkan oleh sahabat dri sahabt yang lain.
b) Kedua, dalam banyak kesempatan rasulullah juga menyampaikan hadisnya
melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut
disampaikannnya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika Nabi
menyampaikan suatu hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja,

2
baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para
sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang.
c) Ketiga, untuk hal-hal sensitif seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan
kebutuhan biologi, terutama yang menyangkut tentang wanita,penyampaiannya
sering dibantu oleh Aisyah. Seperti saat Nabi menjelaskan tentang seorang
wanita yang bertanya kepada Nabi SAW tentang mandi bagi wanita yang telah
suci dari haidnnya.
d) Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika Futuh
Mekkah dan haji Wada’. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631
M). Nabi menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu
kaum Muslimin yang melakukan ibadah haji.
e) Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh pra sahabtnya, yaitu
dengan jalan musyhadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah
dan muamalah. Misalnya, suatu ketika Nabi berjalan-jalan di pasar dan bertemu
dengan seorang laki-laki yang sedang membeli makanan (gandum). Nabi
menyuruhnya memasukkan tangannya ke dalam gandum itu, dan ternyata di
dalamnya basah.
2. Tentang Penulisan Hadist
Pada masa Nabi,sedikit sekali sahabat yang dapat menulis, sehingga yang
menjadi andalan mereka dalam menerima hadis adalah ingata mereka. Menurut
‘Abd al-Nashar, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat
kekuatan daya ingat dan kemampuan menghapal.
a. Larangan menulis hadist
Hadis pada waktu itu pada umumnya hanya diingat dan dihafal oleh
para sahabat dan tidak ditulis seperti Al-Qur’an ketika disampaikan oleh Nabi,
karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan. Secara memang Nabi
melarang bagi umum karena khawatir bercampur antara hadis dan Al-Qur’an.
Banyak hadis yang melarang para Sahabat untuk menulis hadis, diantara hadis
yang melarang penulisan hadis adalah:

‫رْ ا ِن‬KKُ‫ َر ْالق‬K‫َب َعنِّيي َغ ْي‬ َ ِ‫ع َْن اَبِ ْي َس ِع ْي ُد ْال ُخ ْد ِري اَ َّن َرسُوْ ُل هللا‬
َ ‫وْ ا َعنِّي َو َم ْن َكت‬KKُ‫ اَل تَ ْكتُب‬:‫لَّ َم‬K‫صلَّى هللاِ َعلَ ْي ِه َو َس‬
‫ رواهُ مسل ٌم‬.ُ‫فَ ْليَ ْم ُحه‬
Artinya :

3
“Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda:
janganlah engkau menulis (hadis) dariku, barangsiapa menulis dariku selain
dari Al-Qur’an maka hapuslah. (HR. Muslim)”
Alasan pencatatan hadis pada masa Rasulullah karena hawatir hadis
tercampur dengan Al-Qur’an yang saat itu masih proses penurunan. Oleh
karena itu maka pada saat itu nabi melarang keras kepada sahabat untuk
menulis dan mencatat hadis agar tidak bercampur dengan Al-Qur’an Al-karim.
b. Diperbolehkannya Menulis Hadis Pada Masa Rasulullah SAW
Larangan menulis hadis tidaklah umum kepada semua sahabat, ada
sahabat tertentu yang diberikan izin untuk menulis hadis. Nabi melarang
menulis hadis karena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an dan pada
kesempatan lain nabi memperbolehkannya. Sebagaimana diriwayatkan oleh
Abd Allah Ibn Umar, dia berkata: “Aku permah menulis segala sesuatu yang
ku dengar dari Raulullah, aku ingin menjaga dan menghafalkannya. Tetapi
orang Quraisy melarangku melakukannya.” Mereka berkata: “Kamu hendak
menulis (hadis) padahal Rasulullah bersabda dalam keadaan marah dan
senang”. Kemudian aku menahan diri (Untuk tidak menulis hadis) hingga aku
ceritakan kejadian itu kepada Rasulullah.
Adanya larangan tersebut berakibat banyak hadis yang tidak ditulis dan
seandainya Nabi tidak pernah melarang pun tidak mungkin hadis dapat ditulis.
Karena menurut M Suyudi Ismail hal ini disebabkan oleh beberapa alasan
berikut:
1) Hadis disampaikan tidaklah selalu di hadapan sahabat yang pandai menulis.
2) Perhatian Nabi dan para sahabat lebih banyak tercurah pada Al-Qur’an.
3) Meskipun Nabi mempunyai sekretaris tetapi mereka hanya diberi tugas
menulis wahyu yang turun dan surat-surat Nabi.
Sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, ketetapan, dan hal-hal
orang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan
alat sederhana.

B. Sejarah Periwayatan dan Pembukuan Hadist Sejak Periode Sahabat Nabi


Hingga Sekarang
1. Hadist Pada Masa Sahabat

4
Periode shahabat disebut dengan “’Ashr al-Tatsabut wa al-Iqlal min al-
riwayah” yaitu masa pemastian dan menyedikitkan riwayat. Dalam prakteknya,
cara shahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
a. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW
yang mereka hafal benar lafazhnya dari Nabi SAW.
b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan
lafazhnya karena tidak hafal lafazhnya asli dari Nabi SAW.
Berikut ini dikemukakan sikap al-Khulafa al-Rasyidin tentang periwayatan
hadits Nabi.
a. Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H/1347 M), Abu
Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya
dalam meriwayatkan hadis. Data sejarah tentang kediatan periwayatan hadits
dikalangan umat Islam pada masa Khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini
dapat dimaklumi, karena pada masa pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam
dihadapkan pada berbagai ancaman dan kekacauan yang membahayakan
pemerintah dan Negara. Berbagai ancaman dan kekacauan itu berhasil diatasi oleh
pasukan pemerintah. Dalam pada itu tidak sedikit shahabat Nabi, khususnya yang
hafal Qur’an, telah gugur di berbagai peperangan. Atas desakan Umar bin al-
Khatthab, Abu Bakar segara melakukan penghimpunan al-Qur’an (jam’ al-
Qur’an).
Jadi disimpulkan, bahwa periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar
dapat dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol di kalangan umat
Islam. Walaupun demikian dapat dikemukakan, bahwa sikap umat Islam dalam
periwayatan hadits tampak tidak jauh berbeda dengan sikap Abu Bakar, yakni
sangat berhati-hati. Sikap hati-hati ini antara lain terlihat pada pemerikasaan hadis
yang diriwayatkan oleh para sahabat.
b. Umar bin Al-Khatthab
Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini
terlihat, misalnya, ketika umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubay
bin Ka’ab. Umar barulah bersedia menerima riwayat hadis dari Ubay, setelah
para shahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar
pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya
Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu
5
telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam
periwayatan hadis ini.
Apa yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab tersebut telah dialami juga oleh
Abu Musa al-As’ariy, al-Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain. Kesemua itu
menunjukkan kehati-hatian Umar dalam periwaytan hadis. Disamping itu,
Umar juga menekankan kepada para shahabat agar tidak memperbanyak
periwayatan hadits di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu
konsentrasinya untuk membaca dan mendalami al-Qur’an.Kebijakan Umar
melarang para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadis, sesungguhnya
tidaklah bahwa Umar sama sekali melarang para shahabat meriwayatkan
hadits. Larangan umar tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri,
tetapi dimaksudkan: [a] agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan
hadis, [b] agar perhatian masyarakat terhadap al-Qur’an tidak tergangu. Hal ini
diperkuat oleh bukti-bukti berikut ini:
1. Umar pada suatu ketika pernah menyuruh umat islam untuk mempelajari
hadis Nabi dari para ahlinya, karena mereka lebih menetahui tentang
kandungan al-Qur’an.
2. Umar sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis Nabi, Ahmad bin Hanbal
telah meriwayatkan hadits Nabi yang berasal dari riwayat Umar sekitar tiga
ratus hadis. Ibnu Hajar al-Asqalaniy telah menyebutkan nama-nama shahabat
dan tabi’in terkenal yang telah meneriam riwayat hadis Nabi dari Umar.
Ternyata jumlahnya cukup banyak.
3. Umar pernah merencanakan menghimpun hadis nabi secara tertulis. Umar
meminta pertimbangan kepada para shahabat. Para shahabat menyetujuinya.
Tetapi satu bulan umar memohon petunjuk kepada Allah dengan jalan
melakukan shalat istikharah, akahirnya dia mengurungkan niatnya itu. Dia
khawatir himpunan hadits itu akan memalingkan perhatian umat Islam dari al-
Qur’an. Dalam hal ini, dia sama sekali tidak nenampakkan larangan terhadap
periwayatan hadis. Niatnya menghimpun hadis diurungkan bukan karena alas
an periwayatan hadits, melainkan karena factor lain, yakni takut terganggu
konsentrasi umat islam terhadap al-Qur’an.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa periwayatan hadits pada
zaman Umar bin al-Khatthab telah lebih banyak dilakukan oleh umat Islam
bila dibandingkan dengan zaman Abu Bakar. Hal ini bukan hanya disebabkan
6
karena umat islam telah lebih banyak menghajatkan kepada periwayatan
hadits semata, melainkan juga karena khalifah Umar telah pernah memberikan
dorongan kepada umat islam untuk mempelajari hadits Nabi. Dalam pada itu
para periwayat hadits masih agak “terkekang” dalam melakukan periwaytan
hadis, karena Umar telah melakukan pemeriksaan hadis yang cukup ketat
kepada para periwayat hadis. Umar melakukan yang demikian bukan hanya
bertujuan agar konsentrasi umat Islam tidak berpaling dari al-Qur’an,
melainkan juga agar umat Islam tidak melakukan kekeliruan dalam
periwayatan hadis. Kebijakan Umar yang demikian telah menghalangi orang-
orang yang tidak bertanggung jawab melakukan pemalsuan-pemalsuan hadis.
c. Usman bin Affan
Secara umum, kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadits tidak jauh
berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah penduhulunya.
Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin Khatthab.
‘Usman secara pribadi memang tidak banyak meriwayatkan hadits.
Ahmad bin Hambal meriwayatkan hadits nabi yang berasal dari riwayat
‘Usman sekitar empat puluh hadits saja. Itupun banyak matan hadits yang
terulang, karena perbedaan sanad. Matn hadits yang banyak terulang itu adalah
hadits tentang berwudu’. Dengan demikian jumlah hadits yang diriwayatkan
oleh ‘Usman tidak sebanyak jumlah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin
Khatthab.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan, bahwa pada zaman ‘Usman bin
Affan, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadits tidak lebih banyak
dibandingkan bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman
‘Umar bin Khatthab. Usman melalui khutbahnya telah menyampaikan kepada
umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi seruan itu
tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para perawi tertentu yang bersikap
“longgar” dalam periwaytan hadis. Hal tersebut terjadi karena selain pribadi
‘Usman tidak sekeras pribadi ‘Umar, juga karena wilayah Islam telah makin
luas. Luasnya wilayah Islam mengakibatkan bertambahnya kesuliatan
pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.
d. Ali bin Abi Thalib
Sikap Ali dalam menghadapi hadist pun tak jauh berbeda dengan para
pendahulunya. Ali barulah bersedia menerima riwayat hadits Nabi setelah
7
periwayat hadits yang bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang
disampaikannya itu benar-benar dari Nabi saw. hanyalah terhadap yang benar-
benar telah diparcayainya. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa fungsi
sumpah dalam periwayatan hadits bagi ‘Ali tidaklah sebagai syarat muthlak
keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu apabila orang
yang menyampaikan riwayat hadis telah benar-benar tidak mungkin keliru.
‘Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi.
Hadis yang diriwayatkannya selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk
tulisan (catatan). Hadis yang berupa catatan, isinya berkisar tentang hukuman
denda (diyat), pembahasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir, dan
larang melakukan hokum kisas (qishash) terhadap orang Islam yang
membunuh orang kafir.
Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan hadits melalui riwayat ‘Ali bin
Abi Thalib sebanyak lebih dari 780 hadis. Sebagian mant dari hadis tersebut
berulang-ulang karena perbedaan sanad-nya. Dengan demikian, dalam
Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadis yang
terbanyak bila dibandingkan dengan ke tiga khalifah pendahulunya.
Dilihat dari kebijaksanaan pemerintah, kehati-hatian dalam kegiatan
periwayatan hadits pada zaman khalifah ‘Ali bin Abi Thalib sama dengan
pada zaman sebelumnya. Akan tetapi situasi umat Islam pada zaman Ali telah
berbeda dengan siatuasi pada zaman sebelumnya. Pada zaman Ali, pertentang
politik dikalangan umat Islam telah makin menajam. Peperangan antara
kelompok pendukung Ali dengan pendukung Mu’awiyah telah terjadi. Hal ini
membawa dampak negative dalam bidang kegiatan periwayatan hadis.
Kepentingan politik telah mendorong terjadinya pemalsuan hadits.

2. Hadist pada Masa Tabi’in (Sahabat masa kecil)


Pada masa ini daerah kekuasaan islam semakin luas. Banyak sahabt ataupun
tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, disamping
banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan Mekkah. Para sahabat pindah ke
daerah baru disertai dengan membawa perendaharaan hadis yang ada pada
mereka, sehingga hadis-hadis terbesar di berbagai daerah. Kemudian bermunculan
sentra-sentra hadis, sebagai mana dikemukakan Muhammad abu zahw, yaitu :

8
a. Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Aisyah, Abu Hurayrah, ibn’
Umar, Abu Sa’id al-Khudzri, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in : Sa’id ibn
Musayyib, Urwah ibn Zubayr, Nafi’ Maula ibn ‘Umar, dan lain-lain.
b. Mekkah, dengan tokoh hadis dari kalangan sahabat : ibn ‘Abbas, ‘Abd Allah
ibn Sa’id dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in tokoh hadis antara lain : Mujahit ibn
Jabr, ‘Ikrimah mawla ibn ‘Abbas, ‘Atha ibn Abi Rabah, dan lain-lain.
c. Kufa, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn
Abi Waqqas, dan Salmann al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in : Masruq ibn al-
Ajda’, Syuraikh ibn al-Haris, dan lain-lain.
d. Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Utbah ibn Gahzwan, Imran ibn
Husyn, dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in dikenal tokoh : al-Hasan al-Basri, Abu
al-‘Aliyah, dan lain-lain.
e. Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat : Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’,
‘Ubbadah ibn Shamit, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in : Abu Idris,
Qabishah ibn Zuaib. Dan Makhul ibn Abi Musli.
Hadis-hadis yang diterimah oleh para tabi’in ini ada yang dalam bentuk
catatan atau tulisan-tulisan dan ada pula yang harus dihapal, disamping dalam
bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat
yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi,
sehingga tidak ada satu hadis pun yang tercecer atau terlupakan. Sunggupun
demikian, pada masa pasca sahabat besar ini, muncul kekeliruan periwayatan
hadis ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah. Periwayatan tidak semata
menyangkut hadis-hadis yang berasal dari Nabi (marfit), tetapi hadis yang
bersumber dari sahabat (mawquf) dan tabi’in (maqthu’) bahkan pernyataan
beberapa ahli kitab yang telah masuk islam yang mereka sadur dari pernyataan
Bani Israil atau shuhuf mereka sebagai bahan komparas setelah mereka masuk
islam. Dari sekian pernyataan ysng memiliki beragam sumber ini, tidak mustahil
menimbulakan salah kutip : perkataan sahabat dinyatakan sebagai hadis Nabi ,
atau bahkan perkataan ahli kitab sebagai sabdah Nabi.
Faktor-faktor penyebab terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat itu
antara lain : pertama, periwayat hadis sebagaimana manusia lain tidak terlepas
dari unsur kekeliruan. Kedua, terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadis. Sejak
masa Rasulullah memang ada ada beberapa sahabat yang menulis hadis baik atas
dasar izin Nabi atau ditulis para amir atau para pegawai, tetapi usaha penulisan
9
belum merupakan hal biasa, bahkan umumnya para periwayat mengandalkan
hafalan. Ketiga, terjadinya periwayatan secara makna yang dilakukan oleh
sebagian besar sahabat dan tabi’in terbukti dengan adanya hadis atau kisah yang
sama tetapi memiliki redaksi yang beragam.

3. Hadist Pada Masa Kodifikasi


Pada masa ini terjadi kegiatan kodifikasi hadis. Kegiatan ini dimulai pada
masa pemerintahan Islam dipimpin oleh khalifah 'Umar ibn 'Abd al-Aziz (99-101
H), (khalifah kedelapan Bani Umayah), melalui instruksinya kepada Abu Bakar
bin Muhammad bin Amr bin Hazm (gubernur Madinah) dan para ulama Madinah
agar memerhatikan. dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya." Khalifah
meng- instruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm (w, 117 H) agar
mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada 'Amrah binti Abd al-Rahman al-
Anshari, murid kepercayaan 'Aisyah, dan al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr
(w. 107 H)." Instruksi yang sama ia tunjukkan pula kepada Muhammad bin
Syihab al-Zuhri (w. 124 H), yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak
mengetahui hadis daripada yang lainnya. Dari para ulama inilah, kodifikasi hadis
secara resmi awalnya dilakukan.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kodifikasi hadis pada masa "Umar
ibn 'Abd al-'Aziz tersebut. Menurut Muhammad al-Zalzal kodifikasi hadis tersebut
dilakukan karena: Pertama, para ulama hadis telah tersebar ke berbagai negeri,
dikhawatirkan hadis akan hilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi
penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian terhadap hadis. Kedua, banyak
berita yang diada-adakan oleh pelaku bid'ah (al-mubtadi") seperti Khawarij,
Rafidhah, Syi'ah, dan lain-lain yang berupa hadis-hadis palsu." Pe- riwayatan
hadis pada masa ini, sebagaimana masa sebelumnya, banyak diwarnai dengan
hadis palsu dan bid'ah, yang berasal dari kalangan Kalangan Khawarij, Syi'ah,
orang-orang munafik, serta orang-orang Yahudi. Oleh karena itu, para periwayat
hadis sangat hati-hati dalam menerima dan menyampaikan hadis,"
Perintah 'Umar tersebut di atas direspons positif oleh umat Islam,sehingga
terkumpul beberapa catatan-catatan hadis. Hasil catatan dan penghimpunan hadis
berbeda-beda antara ulama yang satu dengan yang lain. Abu Bakar ibn Hazm
berhasil menghimpun Hadis dalam jumlah, yang menurut para ulama, kurang
lengkap. Sedang ibn Syihab al-Zuhri berhasil menghimpunnya lebih lengkap.""
10
Sungguhpun demikian, kitab himpunan hadis-hadis mereka tidak ada yang sampai
kepada kita. Ulama setelah al-Zuhri yang berhasil menyusun kitab tadwin yang
bisadiwariskan kepada generasi sekarang, adalah Malik ibn Anas (93-179 H) di
Madinah, dengan hasil karyanya bernama al-Munaththa, sebuah kitab yang selesai
disusun pada tahun 143 H dan merupakan kitab hasil kodifikasi yang pertama.
Kitab ini di samping berisi hadis marfa, yaitu hadis vane disandarkan pada Nabi
juga berisi pendapat para sahabat (hadis mawqa) dan pendapat para fabi in (hadis
math').
Selain para ulama di atas, terdapat banyak ulama lain yang juga melakukan
kodifikasi hadis. Di antara mereka adalah Muhammad ibn. Ishaq (w.151 H) di
Madinah, Ibn Juraij (80-150 H) di Mekkah, Ibn Abi Dzib (80-158 H) di Madinah,
al-Rabi' ibn Shabih (w.160 H). di Basrah, Hammad ibn Salamah (w. 176 H) di
Bashrah, Sufyan al- Tsauri (97-161 H) di Kufah, al-Auza'i (88-157 H) di Syam,
Ma'mar ibn Rasyid (95-153 II) di Yaman, Ibn al-Mubarak (118-181) di Khurasan,
Abd Allah ibn Wahab (125-197 H) di Mesir, dan Jarir ibn 'Abd al-Hamid (110-
188 H) di Rei. Kitab-kitab yang mereka tulis kebanyakan tidak sampai pada
generasi sekarang. Datanya ditemukan dalam berbagai kitab karya ulama sesudah
mereka.

4. Hadis Pada Masa Awal sampai Akhir Abad III H


Masa kodifikasi dilanjutkan dengan masa seleksi hadis. Yang dimaksud
dengan masa seleksi atau penyaringan di sini, ialah masa upaya para mudawwin
hadis yang melakukan seleksi secara ketat, sebagai kelanjutan dari upaya para
ulama sebelumnya yang telah berhasil melahirkan suatu kitab tadi. Masa ini
dimulai sekitar akhir abad II atau awal abad III, atau ketika pemerintahan
dipegang oleh dinasti Bani Abbasiyah, khususnya sejak masa al-Makmun sampai
dengan akhir abad III atau awal abad IV, masa al-Muktadir. Munculnya periode
seleksi ini, sebagaimana telah dijelaskan, karena pada periode tadwin belum
berhasil dipisahkan beberapa hadis yang berasal dari sahabat (mawqaf) dan dari
tabi'in (magtha) dari hadis yang berasal dari Nabi (marfi). Begitu pula belum bisa
dipisahkan beberapa hadis yang dhaif dari yang sahih. Bahkan masih adanya hadis
yang maudha' (palsu) tercampur pada hadis-hadis yang sahih. Masa ini disebut
dengan ashr al-tajrid wa al-tashhi wa al-tangth (masa penerimaan, mentashihan,
dan penyempurnaan).
11
Dilihat dari sisi politik, Daulah Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad
pada masa ini mengalami kemunduran. Banyak wilayah yang membebaskan diri
hingga terbentuk dinasti dinasti kecil, sehingga. kekuatan umat Islam menjadi
lemah. Akan tetapi, walaupun dari segi politik lemah, gerakan keilmuan tetap
berjalan sebagaimana masa-masa sebelumnya. Para ulama melakukan perjalanan
(al- rihlah) dari satu daerah ke daerah lain dalam rangka mencari dan
menyebarkan ilmu yang mereka miliki. Mereka saling bertemu dan saling
menerima periwayatan hadis. Kemudian, hadis yang mereka terima di-tashhih-kan
kepada para ulama yang kompeten
Kitab-kitab hadis yang disusun pada masa ini sangat banyak. Di antaranya
adalah Shahih al-Bukhari karya Imam al-Bukhari, Shahih Muslim karya Imam
Muslim, beberapa kitab al-sunan antara lain, Sunan Abi Dawud karya Abu Dawud
al-Sijistani (w, 275 H), Sunun al-Tirmidzi oleh al-Tirmidzi (w. 279 H), Sunan al-
Nasa't karya al- Nasa'i (w. 303 H), Sunan Ibn Majah oleh Ibn Majah (w. 273 II),
Sunan al-Darimi karya al-Darimi (w. 255 H), dan Sunan Sa'id ibn al-Manshar oleh
Sa'id ibn al-Manshur (w. 227 11). Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh
mengadakan penyaringan hadis yang diterimanya. Mereka berhasil memisahkan
hadis-hadis yang dha'if dari yang sahih dan hadis-hadis yang mawqaf dan yang
muqta' dari yang marfa, meskipun berdasarkan penelitian para ulama berikutnya
masih ditemukan tersisipkannya hadis-hadis yang dha if pada kitab- kitab sahih.
Pada masa ini tidak seorangpun ulama yang membukukan hadis dengan
menukil dari kitab lain. Mereka membukukan hadis berdasarkan Kitab-kitab hadis
yang disusun pada masa ini sangat banyak. Di antaranya adalah Shahih al-Bukhari
karya Imam al-Bukhari, Shahih Muslim karya Imam Muslim, beberapa kitab al-
sunan antara lain, Sunan Abi Dawud karya Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H),
Sunan al-Tirmidzi oleh al-Tirmidzi (w. 279 H), Sunan al-Nasa't karya al- Nasa'i
(w. 303 H), Sunan Ibn Majah oleh Ibn Majah (w. 273 H), Sunan al-Darimi karya
al-Darimi (w. 255 H), dan Sunan Sa'id ibn al-Manshur oleh Sa'id ibn al-Manshur
(w. 227 11). Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan
penyaringan hadis yang diterimanya. Mereka berhasil memisahkan hadis-hadis
yang dha'if dari yang sahih dan hadis-hadis yang mawqaf dan yang maqthu dari
yang marfa, meskipun berdasarkan penelitian para ulama berikutnya masih
ditemukan tersisipkannya hadis-hadis yang dha'if pada kitab- kitab sahih.

12
Pada masa ini tidak seorangpun ulama yang membukukan hadis dengan
menukil dari kitab lain. Mereka membukukan hadis berdasarkan hadis-hadis yang
diterima dari para periwayat. Selain menyusun kitab- kitab hadis, mereka juga
menyusun kitab-kitab yang berisi teori-teori untuk mentashih hadis. Para ulama
antusias menulis ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadis, ada yang mengarang
kitab tentang sejarah para periwayat, illar hadis, dan lain-lain. Secara umum, abad
ketiga Hijriah ini merupakan masa keemasan dalam peradaban Islam.

5. Hadis pada Abad IV Sampai Pertengahan Abad VII (Jatuhnya Baghdad Tahun
656 H)
Masa seleksi dilanjutkan dengan masa pengembangan dan pe- nyempurnaan
sistem penyusunan kitab-kitab hadis. Masa ini disebut dengan 'ashr al-tahdzib wa
al-taqrib wa al-istidrak wa al-jam'i (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan,
dan penghimpunan). Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah
kepada usaha mengembangkan beberapa variasi pembukuan kitab-kitab yang
sudah ada. Maka setelah berjalan beberapa saat dari munculnya al-Kutub al-Sittah,
al-Muwaththa' karya Malik ibn Anas, dan al-Musnad karya Ahmad ibn Hanbal,
para ulama mengalihkan perhatian mereka untuk menyusun kitab-kitab yang
berisi pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadis.
Di antara kitab yang disusun pada periode ini adalah kitab al- mustakhraj,
yaitu kitab hadis yang disusun berdasarkan penulisan kembali hadis-hadis yang
terdapat dalam kitab lain kemudian penulis kitab itu mencantumkan sanad dari
dirinya sendiri. Misalnya, kitab Mustakhraj Shahih al-Bukhari antara lain; kitab
al-Mustakhraj karya al-Ismaili (w, 371 H), kitab al-Mustakhraj karya al-Ghithrifi
(w. 377 H), dan kitab al-Mustakhraj oleh Ibn Abi Zuhl (w. 378 H). Kitab
Mustakhraj Shahih Muslim antara lain al-Mustakhraj karya Abu Awanah al-
Asfarayani (w. 316 H), al-Mustakhraj karya al-Humayri (w. 311 H) dan al-
Mustakhraj oleh Abu Hamid al-Harawi (w. 355 H), Demikian pula kitab-kitab al-
mustadrak, yaitu kitab yang sebagian hadisnya disusun dengan menyusulkan
hadis-hadis yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadis yang lain. Namun,
dalam menulis hadis-hadis susulan itu, penulis kitab itu mengikuti persyaratan
periwayatan hadis yang dipakai oleh kitab yang lain tersebut. Misalnya al-Hakim
al-Naysaburi (w. 405 H), penulis kitab al-Mustadrak 'ala al-Sha-hihuyn yang

13
berisi hadis-hadis yang dinilainya sahih yang tidak termuat dalam kitab Shahih al-
Bukhari dan Shahih Muslim.
Kitab-kitab al-zawaid juga termasuk salah satu kitab kategori ini, yaitu kitab
yang disusun dengan menghimpun hadis-hadis tambahan dalam suatu kitab yang
tidak terdapat dalam kitab-kitab lainnya." Misalnya kitab Misbah al-Zujajah fi
Zawaid Ibn Majah karya al-Busayri (w. 840 H) yang mengandung hadis-hadis
yang hanya ditulis oleh Ibn Majah (w. 273 H) dalam kitab Sunan-nya, tetapi tidak
terdapat dalam lima kitab hadis yang lain, yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abt Dawud, Sunan al-Tirmidzi, dan Sunan al-Nasa't Secara
politis, masa ini hampir sama dengan masa sebelumnya. Namun, kekuatan-
kekuatan dari luar Islam sudah mulai menggeliat. Hal ini dibuktikan dengan
dikuasainya Bayt al-Maqdis di Yerussalem oleh tentara Salib dan puncaknya
Baghdad runtuh oleh serangan Jengis Khan.

6. Hadis pada Masa Pertengahan Abad VII Sampai Sekarang


Masa ini disebut dengan: "ashr al-syarh wa al-jam'i wa al-takhrij wa al-bahts
(masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan). Kegiatan
ulama hadis pada masa ini berkenaan dengan upaya mensyarah kitab-kitab hadis
yang sudah ada, menghimpun dan mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab-kitab
yang sudah ada, men- takhrij hadis-hadis dalam kitab tertentu, dan membahas
kandungan kitab-kitab hadis. Di antara usaha itu, misalnya, pengumpulan isi kitab
yang enam, seperti yang dilakukan oleh Abd al-Haq ibn Abd al-Rahman al-
Asybili (terkenal dengan ibn al-Kharrat (w. 585 H), al-Fayir al-Zabadi, dan Ibn al-
Atsir al-Jaziri. Juga penyusunan kitab-kitab hadis mengenai hukum, di antaranya
oleh al-Daruquthni, al-Bayhaqi, Ibn Daqiq al-'Id, Ibn Hajar al-Asqalani, dan Ibn
Qudamah al-Maqdisi.
Masa ini terbentang cukup panjang, dari mulai abad keempat Hijriah terus
berlangsung beberapa abad berikutnya. Dengan demikian, masa perkembangan ini
melewati dua fase sejarah perkembangan Islam, yakni fase pertengahan dan fase
modern. Pada masa yang disebut terakhir, muncul penulis hadis seperti al-
Laknawi, al-Qasimi, dan al- Albani serta ulama lain yang menghimpun hadis-
hadis berdasar kualitas atau topik tertentu.

14
C. Perkembangan Studi Hadist Kontemporer
1. Studi Manuskrip
Studi manuskrip merupakan salah satu obyek kajian unggulan para orientalis.
Hal ini bisa dimaklumi karena untuk mengenal Islam; ajaran, sejarah dan
peradaban klasiknya, tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali dengan meneliti
manuskrip-manuskrip tersebut.
Sebelum munculnya percetakan, manuskrip merupakan bahan rujukan
utama para akademisi dalam melakukan penelitiannya (Diyab, 1983: 129-
149). Untuk menyelesaikan obsesi besarnya mengumpulkan hadits-hadits
Rasul saw. dalam kitab al-Jami' ash-Shaghir dan al-Jami' al-Kabir, Imam as-
Suyuthi (w. 911 H/1505 M) harus merujuk kepada puluhan manuskrip yang
ada pada masanya. Begitu juga halnya dengan al-Laknawi (1264-1304
H/1847-1886 M) yang tinggal di India, ia harus mencari manuskrip-manuskrip
dalam bidang hadits sampai ke kota Makkah dan Madinah, untuk
menyelesaikan karya-karya besarnya dalam bidang studi hadits.
Pada abad kesembilan belas dan awal abad keduapuluh manuskrip-
manuskrip Arab banyak yang diusung ke Eropa dan tersimpan di
perpustakaan-perpustakaan Leiden, Hamburgh, Milano dan lain-lain.Di
samping banyak juga yang masih tersimpan di perpustakaan-perpustakaan
dunia Islam: Kairo, Damaskus, Madinah dan terutama Turki (Diyab, 1983:
105-106).
Arent Jan Wensinck (1882-1939 M/1299-1358 H) ketika menyusun
Konkordasi Indeks Kosa Kata Alfabetis Hadit-hadits (Mu'jam Mufahras li-
Alfadzil-Hadits) dan mengumpulkan matan-matan hadits Nabi secara tematis
dan diurutkan secara alfabetis (Miftah-Kunuz as-Sunnah) merujuk kepada
kitab-kitab hadits yang sudah diteliti dan dicetak pada tahun 1934-1936 di
Leiden.
Pada tahun 1898, M. Hasan Ahmad Basya, Ahmad Basya Timur, Ali
Bik dll. mendirikan lembaga yang berkecimpung pada penelitian manuskrip.
Lembaga ini berhasil menerbitkan beberapa kitab klasik di antaranya adalah
al-Mujiz fi al-Fiqh al-Imam asy-Syafi'I dan Futuh al-Buldan karya al-
Baladziri. Pada tahun 1900 M. lembaga yang serupa juga didirikan oleh
sekumpulan ulama dan diketuai oleh Syekh Muhammad Abduh. Di antara

15
buku yang berhasil diterbitkan oleh lembaga yang terkakhir ini adalah Asrarul-
Balaghah dan Dala`ilul-I'jaz karya Abdul Qahir al-Jurjani (Diyab, 1983: 111).
Di awal abad ke dua puluh dan selanjutnya, penelitan manuskrip
hingga pencetakannya mempunyai peran besar bagi perkembangan studi
hadits. Analisa sejarah dan metode periwayatan serta penyeleksian hadits tidak
akan bisa maksimal tanpa didukung data-data komprehensip yang terkumpul
dalam manuskrip-masnuskrip. Kuantitas dan Kualitas penelitian manuskrip
dalam bidang hadits menjadi faktor penentu tinggi rendahnya kualitas analisa
dan kajian atas hadits.
Bila studi manuskrip ini diamati maka bisa disimpulkan bahwa, pada
perkembangannya motivasi studi manuskrip ini tidak hanya disebabkan oleh
faktor pembelaan untuk melindungi eksistensi Sunnah semata, namun lebih
dari itu, studi manuskrip juga didorong keinginan untuk meningkatkan
penelitian dalam bidang hadits secara umum yang memang memerlukan
kelengkapan dan komperehensifitas data. Karenanya penelitian atas
manuskrip-manuskrip hadits akhirnya tidak hanya terkonsentrasi pada
manuskrip-manuskrip awal kumpulan hadits semata, namun manuskrip kitab
rijal dan kitab mushthalah-hadits yang disusun oleh ulama yang hidup sebelum
masa pengarang al-Kutub as-Sittah dan yang hidup setelah masa pengarang al-
Kutub as-Sittah juga banyak diperhatikan.Yang perlu dicatat juga adalah,
kecenderungan studi model ini telah melahirkan banyak tokoh dalam bidang
penelitian manuskrip hadits semisal, Ahmad Muhammad Syakir,
Habiburrahman al-A'dhami, Syua'ib al-Arna'uth, Abdurrahman al-Arna`uth,
Basyar 'Awwadh, Addab Mahmud Hams dan lain-lain.
2. Kemukjizatan Ilmiah dan kemukjizatan futuristik
Fakta-fakta ilmiah tentang manusia dan alam raya yang baru ditemukan oleh
para ilmuwan ternyata sudah pernah disinggung oleh Rasul yang hidup beratus-
ratus tahun silam. Dr. Maurice Bucaille dengan karyanya The Bible, The Quran,
and The Science.
Dalam perkembangannya, bukan hanya pakar hadits saja yang terjun dalam
kajian al-i'jaz al-Ilmiy ini, para ilmuwan muslim dalam berbagai disiplin ilmu juga
turut andil memberikan kontribusi baik dalam bentuk presentasi, buku atau
artikel-artikel. Pakar Geologi kenamaan setaraf Prof. Dr. Zaghlul an-Najjar juga
turut andil menorehkan hasil pengamatannya dalam buku berjudul al-I'jaz Ilmiy fi
16
as-Sunnah an-Nabawiyyah (Giza: Nahdhet Misr, 2002 M) menorehkan hasil
pengamatannya dalam buku berjudul al-I'jaz Ilmiy fi as-Sunnah an-Nabawiyyah.
Berdasarkan terjadinya, hadits dikelompokkan ke dalam lima kategori:
a) Hadits futuristik yang terbukti kejadiannya semasa Rasul saw. masih
hidup;
b) hadits futuristik yang terbukti kejadiannya setelah Rasul saw.
meninggal dunia dan sebelum kehidupan para penyusun kitab-kitab
hadits;
c) hadits futuristik yang terbukti kejadiannya setelah masa para penyusun
kitab-kitab hadits dan sebelum masa sekarang ini;
d) hadits futuristik yang terbukti kejadiannya pada masa kita sekarang ini;
e) hadits futuristik yang belum terbukti kejadiannya hingga saat sekarang
ini.
Dua kecenderungan corak studi hadits sebagaiman diterangkan di atas, secara
langsung mempunyai tujuan untuk menegaskan kembali bahwa Nabi Muhammad
diutus untuk semua manusia sepanjang masa, karenanya kemukjizatannya tidak
hanya bisa disaksikan oleh orang yang segenerasi dengannya, namun juga bisa
dibuktikan oleh manusia sepanjang sejarah
Namun, pada perkembangannya dua kecenderungan studi hadits ini mulai
kehilangan kontrol. Kondisinya semakin parah di saat peta politik, ekonomi dan
perkembangan ilmu pegetahuan dan teknologi global—yang menjadi salah satu
sisi kajian dalam studi hadits ini—tidak memihak kepada umat Islam. Kondisi ini
jelas menimbulkan inferior-complex pada umat Islam. Dan kajian hadits dengan
model seperti ini akhirnya lebih cenderung bersifat apologetik katimbang
semangat ilmiah. Semangat pembelaan dan bangga atas superioritas ajaran lebih
dikedepankan, sedangkan analisa kritis mulai dipinggirkan. Sehingga muncullah
penafsiran-penafsiran yang sangat dipaksakan dan ketidakselektifan dalam
memilih hadits-hadits yang dijadikan kajian.
3. Pengembangan Takhrij: Kembali ke Manhaj al-Mutaqaddimin
Dalam wacana kajian hadits kontemporer, para penggagas metode ini
mengusung istilah "manhaj al-mutaqaddimin" yang seringkali dipertentangkan
dengan "manhaj al-mutaakhirin". Selain menekankan teori jam'ul-asanid, para
pendukung metode ini juga mempunyai perhatian khusus pada beberapa sub
bagian dalan kajian ilmu mushthalah hadits yang mempunyai implikasi krusial
17
terhadap masalah penilaian kualitas hadits. Kadang seorang peneliti telah
konsisten menggunakan teori jam'ul-asanid, namun dia kurang teliti dalam
menganalisa jalur sanad yang telah terkumpul sehingga hasil kesimpulannya tidak
tepat.
Oleh karenanya teori analisa sanad perlu perhatian khusus terutama pada hal-
hal berikut ini:
a) Masalah kecacatan yang samar (al-'ilal al-khafiyyah) dalam hadits, seperti
masalah periwayatan-periwayatan rawi tsiqah yang tidak diterima karena
terbukti ada kesalahan periwayatan baik karena kondisi yang menyertai sang
rawi atau karena bertentangan dengan periwayatan lain.
b) masalah penguatan hadits dhaif dengan sitem al-mutaba'aat dan asy-syawaahid.
Tidak semua hadits dhaif bisa meningkat kualitasnya karena ada jalur sanad
lain dan tidak semua jalur sanad bisa digunakan untuk memperkuat hadits
dhaif. Hadits yang terbukti ada kesalahan periwayatan di dalamnya, sama
sekali tidak bisa diperkuat atau memperkuat hadits lain, meskipun hadits
tersebut diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah.
c) Istilah-istilah yang beredar dalam disiplin ilmu hadits harus dikembalikan
kepada maksud masing-masing pengguna istilah tersebut (the will of author).
Pembaca (reader) dan komunitas penafsir (community of interpreters) tidak
boleh memberikan content atas istilah-istilah tersebut, supaya tidak timbul
penyelewengan dan distorsi. Masalah ini perlu ditekankan karena pada
realitanya banyak istilah-istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi
atau kualitas sanad, hadits atau rawi yang maknanya tidak disepakati oleh para
muhadditsin baik yang hidup pada atau paska masa periwayatan, seperti istilah
mursal, munkar, syadz, gharib dll. Buku representatif yang membahasan teori
ini adalah al-Manhaj al-Muqtarah li Fahmi al-Mushthalah, karya Dr. Syarif
Hatim bin Arif al-'Auni (Riyadh: Dar al-Hijrah, 1416 H/1996 M).
d) mempertimbangkan pendapat dan komentar al-muhadditsin sepanjang sejarah
atas kualitas sanad, hadits dan rawi yang sedang diteliti (mempertimbangkan
al-ahkam an-naqliyyah), mendiskusikannya bila ada perbedaan pendapat
kemudian baru mengemukakan kesimpulan akhir.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkembangan hadis dibagi dalam 7 masa yakni : hadis pada masa Nabi,hadis pada
masa sahabat,hadis pada masa tabi’in (sahabat masa kecil),hadis masa kodifikasi,hadis pada
masa awal sampai akhir abad III H,hadis pada abad IV sampai pertengahan abad VII
(jatuhnya Baghdad tahun 656 H), dan hadis pada pertengahan abad VII sampai sekarang.

Pada Masa Perkembangan hadist kontemporer,memiliki 3 point penting yaitu studi


manuskrip,kemukjizatan ilmiah dan kemukjizatan futuristik,serta Pengembangan Takhrij:
Kembali ke Manhaj al-Mutaqaddimin.

B. Harapan
Harapan penulis,setelah kita mempelajari sejarah perkembangan hadis dapat
memberikan wawasan dalam memahami Sunnah dengan lebih baik, mendorong
kritisisme yang sehat, menghormati keragaman pendapat, meningkatkan literasi agama,
dan melindungi dari pemalsuan hadis. Hal ini memungkinkan umat Muslim termasuk kita
untuk mempraktikkan Islam dengan pemahaman yang lebih mendalam dan berdasarkan
pada sumber-sumber yang terpercaya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Suparta,Munzier. 2011,Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers.

Idri. 2013,StudiHadis. Jakarta: Kencana.

Sumbulah,Umi. 2010,Kajian Kritis Ilmu Hadis.Malang: UIN-Maliki Press.

Soetari,H. Endang.1997,Ilmu Hadits.Bandung: Amal Bakti Press.

Al-Shobuni,Muhammad Ali. 2003,Al-Tibyan Fi ‘Ulumil qur’an. Madinah: Daru Al-Shobuni.

Fahmi,Akrom. 1999,Sunnah Qabla Tadwin. Jakarta: Gema Insani Press.

Mangunsuwito. 2011,Kamus Saku Ilmiah Populer Disertai dengan Istilah-istilah Aing.


Jakarta: Widytama Pressindo.

Al-Qathathan,Syaikh Manna. 2005, Pengantar Studi Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Al –


Kautsar.

Ismail,M. Syuhudi. 1995,Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Haits.Jakarta: Bulan Bintang.

Kaptein,H.L. Beck dan N.J.G. 1988,Pandangan Barat Terhadap Literatur Hukum, Filosofi,
Teologi, Dan Mistik Tradisi Islam. Jakarta: INIS.

20

Anda mungkin juga menyukai