Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

“PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN ILMU HADIST”

Dibuat untuk memenuhi mata kuliah Ilmu Hadist

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 2

FATHAN ATS TSALIS : 2522248

SAYYID BARQI ALMUKARROM R : 2522252

PUTRI AFIFAH : 2522254

SUSI OKTAVIA : 2522264

DOSEN PENGAMPU:

ZULFIKRI. M.Hum.Ph. D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK INFORMATIKA DAN KOMPUTER

FAKULTAS TARBIAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SJECH

M. DJAMIL DJAMBEK

BUKITTINGGI

TA 2023/2024
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.........................................................................................................2
BAB II.......................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................3
A. Zaman Nabi Muhammad SAW...................................................................................3
B. Zaman Khulafaur Rasyidin..........................................................................................6
C. Zaman Tabi’in...........................................................................................................10
D. Abad II, III, dan IV H................................................................................................14
E. Abad Modern.............................................................................................................17
F. Ilmu hadist di Indonesia................................................................................................21
BAB III....................................................................................................................................28
PENUTUP...............................................................................................................................28
A. KESIMPULAN.........................................................................................................28
B. SARAN......................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................29

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu hadist merupakan salah satu ilmu keilmua islan yang sangat penting dan
berperan sebagai pedoman hidup bagi umat islam setelah Al-Qur’an. Hadist adalah
segalayang disnisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang merupakan sumber
ajaran agamaislam dan pedoman hidup yang penting bagi umat islam. Ilmu hadist
merupakan bagian khazanah keilmuan islam yang senantiasa terus digali dan dikaji
oleh para penuntut ilmu.
Hadist merupakan sumber ajaran agama islam yang sangat penting, karena
dalam hadist, terdapat tingkah laku manusia yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an ,
sehingga menjadi pedoman hidup bagiumat islam. Ilmu hadist juga merupakan bagian
dari perkembangan ilmu pengetahuan modern, yang memungkinkan para penuntut
ilmu untuk melakukan analisis dan penelitian yang lebih mendalam terhadap hadist.
Dalam kajian ilmu hadist di Indonesia, terkait dengan banyaknya pemuda-
pemuda Indonesia yang merantau ke Timur Tengah dalam rangka menuntut ilmu,
yang merupakan salah satu ilmu keilmuan Islam yang sangat penting dan berperan
sebagai pedoman hidup bagi umat islam setelah Al-Qur’an, dan ilmu hadist terus
digali dan dikaji oleh para penuntut ilmu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadist pada Zaman Nabi
Muhammad SAW?
2. Bagaimana perkembangan dan pertumbuhan ilmu hadist pada Zaman Khulafaur
Rasyidi?
3. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadist pada Zaman Tabi’in?
4. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadist pada Abad II, III, dan IV
H?
5. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadist pada Abad Modern?
6. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadist di Indonesia?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadist pada Zaman Nabi
Muhammad SAW
2. Untuk mengetahui Bagaimana perkembangan dan pertumbuhan ilmu hadist pada
Zaman Khulafaur Rasyidi
3. Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadist pada Zaman
Tabi’in
4. Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadist pada Abad II, III,
dan IV H
5. Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadist pada Abad
Modern
6. Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadist di Indonesia

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Zaman Nabi Muhammad SAW


1. Cara Sahabat Menerima Hadis pada Masa Rasulullah SAW
Hadist-Hadist Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab Hadist yang ada
sekarang adalah hasil kesungguhan para Sahabat dalam menerima dan memelihara
Hadist di masa Nabi SAW dahulu. Apa yang diterima oleh para Sahabat dari Nabi
SAW disampaikan pula oleh mereka kepada Sahabat lain yang tidak hadir ketika
itu, dan selanjutnya mereka menyampaikannya kepada generasi berikutnya, dan
demikianlah seterusnya hingga sampai kepada para perawi terakhir yang
melakukan kodifikasi Hadist.
Cara penerimaan Hadist di masa Rasul SAW tidak sama dengan cara
penerimaan Hadist di masa generasi sesudah- nya. Penerimaan Hadis dimasa Nabi
SAW dilakukan oleh Sahabat dekat beliau, seperti Khulafa' al-Rasyidin dan dari
kalangan Sahabat utama lainnya. Para Sahabat di masa Nabi mempunyai minat
yang besar untuk memperoleh Hadist Nabi SAW, oleh karenanya mereka
berusaha keras mengikuti Nabi SAW agar ucapan, perbuatan, atau taqrir beliau
dapat mereka terima atau lihat secara langsung. Apabila di antara mereka ada
yang berhalangan, maka mereka mencari Sahabat yang kebetulan mengikuti atau
hadir bersama Nabi SAW ketika itu untuk meminta apa yang telah mereka peroleh
dari beliau.
Besarnya minat para Sahabat untuk memperoleh Hadis Nabi SAW dapat
dilihat dari tindakan 'Umar ibn al- Khaththab, ketika dia membagi tugas untuk
mencari dan mendapatkan Hadist Nabi SAW dengan tetangganya. Apabila hari ini
adalah tetangganya yang bertugas mengikuti atau menemui Nabi SAW, maka
besoknya giliran 'Umar-lah yang bertugas mengikuti atau menemui Nabi. Siapa
yang bertugas menemui dan mengikuti Nabi serta mendapatkan Hadist dari beliau,
maka ia segera menyampaikan berita itu kepada yang lainnya yang ketika itu tidak
bertugas.

Ada empat cara yang ditempuh oleh para Sahabat untuk mendapatkan Hadist
Nabi SAW, yaitu: "

3
a. Mendatangi majelis-majelis taklim yang diadakan Rasul SAW.
Rasulullah SAW selalu menyediakan waktu-waktu khusus untuk
mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada para Sahabat. Para Sahabat
selalu berusaha untuk menghadiri majelis tersebut meskipun mereka
juga sibuk dengan pekerjaan masing-masing, seperti menggembala
ternak atau berdagang
b. Kadang-kadang Rasul SAW sendiri menghadapi beberapa peristiwa
tertentu, kemudian beliau menjelaskan hukumnya kepada para
Sahabat. Apabila para Sahabat yang hadir menyaksikan peristiwa
tersebut jumlahnya banyak, maka berita tentang peristiwa itu akan
segera tersebar luas
c. Kadang-kadang terjadi sejumlah peristiwa pada diri para Sahabat,
kemudian mereka menanyakan hukumnya kepada Rasulullah SAW
dan Rasulullah SAW memberikan fatwa atau penjelasan hukum
tentang peristiwa tersebut. Kasus yang terjadi adakalanya mengenai
diri si penanya sendiri, namun tidak jarang pula terjadi pada diri
Sahabat lain yang kebetulan disaksikannya atau didengarnya.
d. Kadang-kadang para Sahabat menyaksikan Rasulullah SAW
melakukan sesuatu perbuatan, dan sering kali yang berkaitan dengan
tata cara pelaksanaan ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan
lainnya. Sahabat yang menyaksikan perbuatan tersebut, kemudian me-
nyampaikannya kepada yang lainnya atau generasi sesudahnya.

2. Penulisan Hadis pada Masa Rasulallah SAW


Kegiatan baca-tulis sebenarnya sudah dikenal bangsa Arab sejak masa
Jahiliyah, walaupun sifatnya belum menyeluruh. Setelah Islam turun, kegiatan
membaca dan menulis ini semakin lebih digiatkan dan digalakkan, hal ini
terutama adalah karena di antara tuntutan yang pertama diturunkan Allah kepada
Nabi Muhammad SAW melalui wahyu-Nya adalah perintah membaca dan belajar
me- nulis (QS Al-'Alaq [96]: 1-5) Terlebih lagi bahwa risalah (misi) yang dibawa
Rasul SAW menghendaki adanya orang- orang yang bisa membaca dan menulis,
seperti sebagai penulis wahyu (Al-Qur'an), dan demikian juga halnya dengan
permasalahan pemerintahan, seperti kegiatan surat- menyurat, dan pembuatan

4
akad perjanjian, setelah Rasul SAW membangun pemerintahan di Madinah, yang
kesemuanya itu memerlukan adanya juru tulis.
Mengapa Hadis tidak atau belum ditulis secara resmi pada masa Rasul SAW,
terdapat berbagai keterangan dan argumentasi yang, kadang-kadang, satu dengan
yang lainnya saling bertentangan. Diantaranya ditemukan Hadist- Hadist yang
sebagiannya membenarkan atau bahkan mendorong untuk melakukan penulisan
Hadist Nabi SAW, di samping ada Hadis-Hadis lain yang melarang melakukan
penulisannya. Untuk memahami keterangan yang saling berlawanan mengenai
penulisan Hadis Nabi SAW,
berikut ini dikutipkan Hadist-Hadist yang berkaitan dengan penulisan Hadist
tersebut.
a. Larangan Menuliskan Hadis
Terdapat sejumlah Hadis Nabi SAW yang melarang para
Sahabat menuliskan Hadis-Hadis yang mereka dengar atau peroleh dari
Nabi SAW. Hadis-Hadis tersebut adalah:
َ ‫ اَل َتْكُتُبوا َع ِّني َو َم ْن َكَتَب‬: ‫ْن َأِبي َسِع يِد اْلُخْد ِري َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل‬
‫َع ِّني َغْيَر اْلُقْر آِن َفْلَيْم ُحُه‬.
(‫)رواه مسلم‬
b. Perintah (Kebolehan) Menuliskan Hadis
Selain Hadis-Hadis yang isinya melarang menuliskan Hadis,
dijumpai pula Hadis-Hadis Nabi SAW yang mem- bolehkan bahkan
memerintahkan untuk menuliskan Hadis beliau.

Di antara Hadis-Hadis Nabi SAW yang memerintahkan atau membolehkan


menuliskan Hadis adalah:

1) Hadis yang berasal dari Rafi':

، ‫ ُقْلَنا َيا َر ُس َل ِهَّللا ِإَّنا َنْس َم ُع ِم ْنَك َأْش َياَء‬: ‫َع ْن َر اِفِع ْبِن ُخ َد ْيِج َأَّنُه َقاَل‬
‫ اْك ُتُبوِلي َو اَل َخ َرَج‬: ‫َأَفَتْك ُتُبَها ؟ َقاَل‬
(‫)رواه الخطيب‬
2) Hadis Anas ibn Malik

5
‫ َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫َع ْن َأَنِس ْبِن َم اِلٍك َأَّنُه َقاَل‬
‫َقِّيُد وا الِع لَم ِبالِكَتاِب‬.
3) Hadis yang berasal dari Al-Walid ibn Muslim dari Al- Auza'i dari Yahya
ibn Abi Katsir dari Abi Salamah ibn 'Abd al-Rahman dari Abu Hurairah,
dia menceritakan tentang khotbah Nabi SAW di Mekah ketika penaklukan
kota Mekah. Setelah penyampaian khotbah tersebut, berdiri Abu Syah,
seorang laki-laki dari negeri Yaman,

َ‫ َفَقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى‬، ‫ اْك ُتُبُه ِلي َيا َر ُسوَل‬: ) ‫َقاَل ( َأي َأْو َش اٍء‬
‫ َم ا‬: ‫ َقاَل اْلَو ِليُد ُقْلُت ِلَأْلْو َز اِع ي‬،‫ َأْك ُتُبوا َأِلِبي َش اٍه‬: ‫ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
‫ َهِذِه اْلُخ ْطَبُة اَّلِتي َسِمَعَها ِم ْن َر ُسوِل‬: ‫َقْو ُلُه اْك ُتُبوا َأِلِبي َش اِه ؟ َقاَل‬
) ‫ (رواه البخاري‬. ‫ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
4) Hadis 'Abd Allah ibn 'Amr:

‫ َأُكُتُب َم ا َأْس َم ُعُه ِم ْنَك ؟‬، ‫ ُقْلُت َيا َر ُسوَل ِهَّللا‬، ‫َع ْن َع ْبِد ِهَّللا بن َع ْم ٍرو‬
‫ َنَعْم َفِإِّني اَل َأُقوُل ِإاَّل‬: ‫ ُقْلُت ِفي اْلَغ َض ِب َو الِّر َض ا ؟ َقاَل‬، ‫ َنَعْم‬: ‫َقاَل‬
‫ َح ًّقا‬.
(‫) رواه أحمد‬
B. Zaman Khulafaur Rasyidin
Pada masa kekhalifahan Khulafa' al-Rasyidin, khususnya masa Abu Bakar al-
Shiddiq dan 'Umar ibn al- Khaththab, periwayatan Hadist adalah sedikit dan agak
lamban. Dalam periode ini periwayatan Hadist dilakukan dengan cara yang ketat dan
sangat hati-hati. Hal ini terlihat dari cara mereka menerima Hadist. Abu Bakar
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dalam kasus bagian seorang nenek dalam
harta warisan, bahwa dia meminta kesaksian (syahadah) seseorang yang lain untuk
menerima Hadist yang disampaikan oleh Mughirah ibn Syu'bah, dan ketika itu yang
menjadi saksi atas kebenaran bahwa Hadist tersebut adalah berasal dari Nabi SAW
ialah Muhammad ibn Maslamah.
Demikian juga halnya dengan 'Umar ibn al-Khaththab, bahwa dia tidak mudah
menerima suatu Hadist sebagaimana yang terlihat dalam keterangan berikut. Ketika

6
Abu Musa al-Asy'ari bertamu kepada Umar, dia mengucap- kan salam sampai tiga
kali. 'Umar mendengarnya, namun tidak menjawab, karena ia mengira Abu Musa
akan masuk menemuinya. Dugaan tersebut ternyata meleset, karena dilihatnya Abu
Musa kembali pulang. Ketika 'Umar mengejarnya dan menanyakan mengapa dia
berbalik pulang, Abu Musa menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,
"Apabila seseorang mengucapkan salam sampai tiga kali dan tidak juga dijawab oleh
si pemilik rumah, maka hendaklah dia pulang kembali." "Umar tidak puas atas
keterangan Abu Musa tersebut, bahkan 'Umar mengancamnya dengan hukuman
apabila dia tidak dapat menghadirkan bayyinah, yaitu seorang saksi atas keterangan
yang disampaikan Abu Musa tersebut. Dan, pada saat itu tampillah Ubay ibn Ka'ab
memberikan penjelasan tentang kebenaran riwayat tersebut, sehingga akhirnya 'Umar
menerimanya dan seraya berkata, "Aku tidak bermaksud menuduhmu yang bukan-
bukan, tetapi aku khawatir kalau orang-orang berbicara tentang Rasul SAW dengan
mengada-ada." Menurut Ibn Qutaibah, 'Umar ibn al-Khaththab adalah orang yang
paling keras dalam menentang mereka yang memperbanyak peri- wayatan Hadis. Hal
itu dimaksudkannya untuk meng- hindari kekeliruan dalam periwayatan Hadis."
Abu Hurairah, yang terkenal sebagai Sahabat yang banyak meriwayatkan
Hadis, pernah ditanya oleh Abu Salamah tentang apakah ia banyak meriwayatkan
Hadis di masa Umar. Abu Hurairah menjawab, "Sekiranya aku meriwayatkan Hadis
di masa 'Umar seperti aku meriwayat- kannya kepadamu, niscaya 'Umar akan
mencambukku dengan cambuknya. Sebagaimana halnya Abu Bakar dan Umar,
Utsman ibn 'Affan juga sangat teliti dan hati-hati dalam menerima la pernah
mengatakan dalam suatu khotbahnya, agar para Sahabat tidak banyak meriwayatkan
Hadis yang mereka tidak pernah mendengarnya di masa Abu Bakar dan Umar.
Demikian juga Ali ibn Abi Thalib yang tidak dengan mudah menerima Hadis dari
orang lain. Ali mengatakan, "Aku tidak ragu-ragu dalam menerima Hadis yang
langsung aku terima dari Rasulullah SAW, tetapi jika orang lain meriwayatkannya
maka aku akan mengambil sumpah orang tersebut."
Sejarah mencatat bahwa pada periode Khulafa' al- Rasyidin, khususnya masa
Abu Bakar dan 'Umar, periwa- yatan Hadis begitu sedikit dan lamban. Hal ini
disebabkan kecenderungan mereka secara umum untuk menye- dikitkan riwayat
(taqlil al-riwayat), di samping sikap hati- hati dan teliti para Sahabat dalam menerima
Hadis. Pada dasarnya mereka bersikap demikian adalah karena khawa- tir akan terjadi

7
kekeliruan (al-khatha') dalam meriwayatkan Hadis, sebab Hadis merupakan sumber
ajaran Islam sete- lah Al-Qur'an.
Para Sahabat tidak lagi mengurung diri di Madinah. Mereka telah mulai
menyebar ke kota-kota lain selain Madinah. Intensitas penyebaran Sahabat ke daerah-
daerah ini terlihat begitu besar terutama pada masa kekhalifahan Utsman ibn 'Affan,
yang memberikan kelonggaran kepada para Sahabat untuk meninggalkan kota
Madinah. Wilayah kekuasaan Islam pada periode 'Utsman telah meliputi seluruh
jazirah Arabia, wilayah Syam (Palestina, Yordania, Siria, dan Libanon), seluruh
kawasan Irak, Mesir, Persia, dan kawasan Samarkand.
Pada umumnya, ketika terjadi perluasan daerah Islam, para Sahabat
mendirikan masjid-masjid di daerah-daerah baru itu; dan di tempat-tempat yang baru
itu sebagian dari mereka menyebarkan ajaran Islam dengan jalan mengajar- kan Al-
Qur'an dan Hadis Nabi SAW kepada penduduk setempat. Dengan tersebarnya para
Sahabat ke daerah- daerah disertai dengan semangat menyebarkan ajaran Is- lam,
maka tersebar pulalah Hadis-Hadis Nabi SAW.
Sejalan dengan kondisi di atas, dan dengan adanya tuntutan untuk
mengajarkan ilmu agama kepada masya rakat yang baru memeluk agama Islam, maka
Khalifah 'Utsman ibn 'Affan, dan demikian juga Ali ibn Abi Thalib, mulai
memberikan kelonggaran dalam periwayatan Hadis. Ketelitian serta kehati-hatian
dalam menerima sebuah Hadis tidak hanya terlihat pada diri para Khulafa' al-
Rasyidin, tetapi juga pada para Sahabat yang lain, seperti Abu Ayyub al-Anshari. Abu
Ayyub pernah melakukan perja- lanan ke Mesir hanya dalam rangka untuk
mencocokkan sebuah Hadis yang berasal dari Uqbah ibn Amir.
Meskipun ada riwayat yang berasal dari Rasul SAW yang membolehkan untuk
menuliskan Hadis, dan terjadinya kegiatan penulisan Hadis pada masa Rasul SAW
bagi mereka yang diberi kelonggaran oleh Rasul SAW untuk melakukannya, namun
para Sahabat, pada umumnya menahan diri dari melakukan penulisan Hadis di masa
pemerintahan Khulafa' al-Rasyidin. Hal tersebut adalah karena besarnya keinginan
mereka untuk menyelamatkan Al-Qur'an al-Karim dan sekaligus Sunnah (Hadis).
Akan tetapi, keadaan yang demikian tidak berlangsung lama, karena ketika 'illat
larangan untuk menuliskan Hadis secara bertahap hilang maka semakin banyak pula
para Sahabat yang membolehkan penulisan Hadis.
Abu Bakar al-Shiddiq, umpamanya, adalah seorang Sahabat yang berpendirian
tidak menuliskan Hadis. Diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanad-nya dari Al-
8
Qasim ibn Muhammad, dari 'A'isyah r.a., dia ('A'isyah) mengatakan bahwa ayahnya
mengumpulkan Hadis yang berasal dari Rasul SAW yang jumlahnya sekitar 500
Hadis. Pada suatu malam Abu Bakar membolak-balikkan badannya berkali-kali, dan
tatkala Subuh datang dia meminta kepada 'A'isyah Hadis-Hadis yang ada padanya.
Selanjutnya, ketika 'A'isyah datang membawa Hadis-Hadis tersebut, Abu Bakar
menyalakan api, lalu membakar Hadis- Hadis itu.
Demikian pula halnya dengan Umar ibn al-Khaththab yang semula berpikir
untuk mengumpulkan Hadis, namun tidak lama berselang, dia berbalik dari niatnya
tersebut. Diriwayatkan oleh 'Urwah ibn al-Zubair, bahwasanya Umar ibn al-
Khaththab r.a. bermaksud hendak menuliskan Sun- nah, maka dia meminta fatwa para
Sahabat yang lain ten- tang hal itu, dan para Sahabat mengisyaratkan agar Umar
menuliskannya. "Umar kemudian melakukan istikharah ke- pada Allah selama
sebulan, dan akhirnya dia mengambil suatu keputusan yang disampaikannya di
hadapan para Sahabat di suatu pagi, seraya berkata, "Sesungguhnya aku bermaksud
hendak membukukan Sunnah, namun aku ter- ingat suatu kaum sebelum kamu yang
menuliskan bebe- rapa kitab, maka mereka asyik dengan kitab-kitab tersebut dan
meninggalkan Kitab Allah; dan sesungguhnya aku, demi Allah, tidak akan
mencampurkan Kitab Allah dengan apa pun untuk selamanya." Pada riwayat lain
melalui jalur Malik ibn Anas, Umar, ketika ia berbalik dari niatnya untuk menuliskan
Sunnah, mengatakan, "Tidak ada suatu kitab pun yang dapat menyertai Kitab Allah.
Dari pernyataan Umar di atas, terlihat bahwa penolak- annya terhadap
penulisan Hadis adalah disebabkan adanya kekhawatiran berpalingnya umat Islam
kepada mempe- lajari sesuatu yang lain selain Al-Qur'an dan menelantarkan Kitab
Allah (Al-Qur'an). Justru itu, dia melarang umat Islam untuk menuliskan sesuatu yang
lain dari Al-Qur'an, terma- suk Hadis. Dan terhadap mereka yang telah telanjur menu-
liskannya, Umar memerintahkan mereka untuk mem- bawanya kepadanya, dan
kemudian ia sendiri membakar- nya.
Para Sahabat lain yang juga melaksanakan larangan penulisan Hadis pada
masa-masa awal itu di antaranya, adalah 'Abd Allah ibn Mas'ud, 'Ali ibn Abi Thalib,
Abu Hu- rairah, Ibn 'Abbas, dan Abu Said al-Khudri. Akan tetapi, tatkala sebab-sebab
larangan penulisan Hadis tersebut, yaitu kekhawatiran akan terjadinya per-
campurbauran antara Al-Qur'an dengan Hadis atau dengan yang lainnya telah hilang,
maka para Sahabat pun mulai mengendorkan larangan tersebut, dan bahkan di antara
mereka ada yang justru melakukan atau menganjurkan untuk menuliskan Hadis. Hal
9
tersebut adalah seperti yang dilakukan Umar, yaitu tatkala dia melihat bahwa pemeli-
haraan terhadap Al-Qur'an telah aman dan terjamin, dia pun mulai menuliskan
sebagian Hadis Nabi SAW yang se- lanjutnya dikirimkannya kepada sebagian
pegawainya atau sahabatnya. Abu Utsman al-Nahdi mengatakan, "Ketika kami
bersama Utbah ibn Farqad, 'Umar menulis kepadanya tentang beberapa permasalahan
yang didengarnya dari Ra- sul SAW, yang di antaranya adalah mengenai larangan Ra-
sulullah SAW memakai sutera."

C. Zaman Tabi’in
Sikap kesungguhan dan kehati-hatian Sahabat dalam memelihara Hadis diikuti
pula oleh para Tabi'in yang datang sesudah mereka. Hal ini terlihat sebagaimana yang
dilakukan oleh para Tabi'in di Basrah. Mereka menganggap perlu untuk
mengkonfirmasikan Hadis yang diterima dari Sahabat yang ada di Basrah dengan
Sahabat yang ada di Madinah. Jadi, sekalipun suatu Hadis itu diterima mereka dari
Sahabat, para Tabi'in masih merasa perlu untuk mencek kebenaran Hadis tersebut dari
Sahabat yang lain. Akibatnya, para Sahabat pun mulai mengeluarkan kha- zanah dan
koleksi Hadis yang selama ini mereka miliki, baik dalam bentuk hafalan maupun
tulisan. Mereka saling memberi dan menerima Hadis antara satu dengan yang lainnya,
sehingga terjadilah apa yang disebut dengan iktsar
riwayah al-Hadits (peningkatan kuantitas periwayatan Hadis). Keadaan yang
demikian semakin menarik perhatian para penduduk di daerah setempat untuk datang
menemui para Sahabat yang berdomisili di kota mereka masing- masing untuk
mempelajari Al-Qur'an dan Hadis, dan mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai
generasi Tabi'in yang berperan dalam menyebarluaskan Hadis pada periode
berikutnya.

Di antara kota-kota yang banyak terdapat para Sahabat dan aktivitas


periwayatan Hadis adalah:
1. Madinah
Di kota ini terdapat para Sahabat yang mempunyai ilmu yang
luas dan mendalam tentang Hadis, diantaranya Khulafa' al-Rasyidin
yang empat, 'A'isyah r.a., 'Abd Allah ibn 'Umar, Abu Sa'id al-Khudri,
Zaid ibn Tsabit dan lainnya. Di kota ini pula lahir beberapa nama besar
dari kalangan Tabiin, seperti Said ibn Musayyab, Urwah ibn Zubair,

10
Ibn al-Syihab al-Zuhri, Ubaidillah ibn 'Utbah ibn Mas'ud, Salim ibn
'Abd Allah ibn 'Umar, Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar, dan
Nafi' Maula ibn 'Umar.
2. Mekah
Selain di Madinah, periwayatan Hadis juga berkembang di
kota-kota lain, seperti Mekah. Setelah kota Mekah ditaklukkan pada
masa Rasul SAW, di sana ditunjuk Mu'adz ibn Jabal sebagai guru yang
mengajari para penduduk setempat tentang masalah halal dan haram,
dan memperkenalkan serta memperdalam pengetahuan mereka
mengenai ajaran Islam dan sumber-sumbernya, yaitu Al- Qur'an dan
Hadis. Peranan kota Mekah dalam hal penye- baran Hadis pada masa-
masa selanjutnya adalah sangat signifikan, terutama pada musim-
musim haji, suatu mo- mentum di mana sebagian besar para Sahabat
dapat saling bertemu antarsesamanya dan juga dengan para Tabi'in,
dan mereka saling tukar-menukar Hadis yang mereka mi- liki, yang
selanjutnya mereka bawa pulang ke daerah ma- sing-masing. Di kota
Mekah ini muncul para Ulama Hadis, seperti Mujahid, 'Atha' ibn Abi
Rabah, Thawus ibn Kisan, Ikrimah maula ibn 'Abbas, dan lain-lain.
3. Kufah
Setelah Irak ditaklukkan pada masa Khalifah Umar ibn al-
Khaththab, di kota Kufah tinggal sejumlah besar Sahabat, di antaranya
'Ali ibn Abi Thalib, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Sa'id ibn Zaid ibn 'Amr
ibn Nufail, 'Abd Allah ibn Mas'ud, dan lain-lain. Ibn Mas'ud
mempunyai peranan yang penting dalam penyebaran ajaran Islam,
termasuk Hadis, di Kufah dan daerah sekitarnya. Ibn Qayyim
menyebutkan bahwa penduduk Kufah khususnya dan Irak secara
umum- nya mendapatkan ilmu dari murid-murid Ibn Mas'ud.59
Terdapat sejumlah 60 orang murid Ibn Mas'ud di Kufah yang berperan
dalam penyebaran Hadis. Di antara mereka adalah Kamil ibn Zaid al-
Nakha'i, 'Amir ibn Syurahil al- Sya'bi, Sa'id ibn Jubair al-Asadi,
Ibrahim al-Nakhai, dan lain-lain.
4. Basrah
Di kota Basrah terdapat sejumlah Sahabat, seperti Anas ibn
Malik yang dikenal sebagai Imam fi al-Hadits di Basrah, Abu Musa al-
11
Asy'ari, 'Abd Allah ibn 'Abbas, dan lain-lain. Para Sahabat tersebut
melahirkan tokoh-tokoh terkenal dari kalangan Tabi'in, seperti Al-
Hasan al-Bashri dan Muhammad ibn Sirin.
Di kota-kota lain, seperti Syam, Mesir, Yaman, Khurasan, juga
terdapat sejumlah Sahabat yang aktif mengajar dan menyebarkan
Hadis-Hadis Nabi SAW, yang pada tahapan selanjutnya melahirkan
tokoh-tokoh Hadis dari kalangan Tabi'in yang berperan dalam
penyebaran Hadis,

Periwayatan Hadis pada masa Tabi'in umumnya masih bersifat dari mulut ke
mulut (al-musyafahat), seperti se- orang murid langsung memperoleh Hadis-Hadis
dari sejum- lah guru dan mendengarkan langsung dari penuturan me- reka, dan
selanjutnya disimpan melalui hafalan mereka. Perbedaannya dengan periode
sebelumnya adalah, bahwa pada masa ini periwayatan Hadis sudah semakin meluas
dan banyak sehingga dikenal istilah iktsar al-riwayah (pembanyakan riwayat). Dan,
bahkan pada masa ini pulalah dikenal tokoh-tokoh Sahabat yang bergelar al-muktsirin
(yang banyak memiliki Hadis) dalam bidang Hadis yang terdiri atas 7 orang dan di
antaranya yang terbanyak adalah Abu Hurairah.

Pada masa Tabi'in ini mulai dikenal pula apa yang disebut dengan rihlah, yaitu
perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari satu kota ke kota lain dalam rangka
mencari Hadis-Hadis yang diduga dimiliki oleh Sa- habat yang bertempat tinggal di
kota lain tersebut. Tradisi rihlah untuk mendapatkan Hadis sebenarnya telah meng-
akar pada Sahabat sejak zaman Rasul SAW. Namun, pada masa itu rihlah lebih
bersifat umum untuk tujuan mencari informasi ajaran Islam yang dinilai "baru".
Umpamanya, diriwayatkan bahwa Dhamam ibn Tsalabah pernah melakukan rihlah ke
hadapan Nabi SAW guna mende- ngarkan Al-Qur'an dan ajaran Islam yang dibawa
beliau sesaat setelah ia mengetahui adanya misi kerasulan Mu- hammad SAW.
Dhamam kemudian kembali ke kaumnya segera setelah secara tulus menyatakan
keislaman diri- nya.

Pada masa Sahabat, Tabi'in, dan Tabii al-Tabi'in tradisi rihlah semakin
berkembang dan terarah kepada kegiatan mencari dan mendapatkan Hadis secara
khusus. Banyak di antara mereka yang menempuh perjalanan panjang dan melelahkan
serta memakan waktu yang cukup lama untuk tujuan mendengarkan suatu Hadis atau

12
mencek validitas Hadis tersebut, atau karena ingin bertemu dan bersilatu- rahmi
dengan Sahabat untuk selanjutnya mendapatkan Hadis dari mereka. Yang terakhir ini
umumnya dilakukan oleh para Tabi'in. Dengan cara demikian, terjadilah pertu- karan
riwayat antara satu kota dengan kota yang lain.

Demikian pula halnya dengan para Sahabat lain yang semula melarang
melakukan penulisan Hadis, namun setelah kekhawatiran akan tersia-sianya Al-
Qur'an, salah satu penyebab utama pelarangan penulisan Hadis tersebut, hilang, maka
mereka mulai membolehkan, bahkan melaku- kan sendiri, penulisan Hadis. pendapat
sang perawi, dan umat yang datang kemudian setelah mereka kemungkinan besar
akan menduga bahwa pendapat sang perawi tersebut adalah Hadis juga. Keba- nyakan
ahli Hadis pada masa Tabi'in adalah juga ahli Fiqh (Fuqaha), dan ahli Fiqh cen-
derung menggabungkan antara Hadis dengan pendapatnya sehingga dikhawatirkan
penda- pat dan ijtihadnya tersebut disatukan dengan Hadis-Hadis Rasul SAW.
Sebagai contoh, adalah sebagaimana yang diri- wayatkan berikut ini:

Telah datang seorang laki-laki kepada Sa'id ibn al- Musayyab, salah seorang
Fuqaha dari kalangan Tabi'in yang meriwayatkan larangan menuliskan Hadis. Laki-
laki tersebut menanyakan suatu Hadis kepada Ibn al-Musay- yab, yang dijawab oleh
Ibn al-Musayyab dengan mengim- lakan Hadis tersebut kepada laki-laki tadi. Setelah
itu, laki- laki tersebut menanyakan tentang pendapat Ibn al- Musayyab berkenaan
dengan Hadis tadi, yang pertanyaan tersebut segera dijawab oleh Ibn al-Musayyab
dengan mengemukakan pendapatnya. Laki-laki itu ternyata menuliskan pendapat Ibn
al-Musayyab tersebut bersama- sama dengan Hadis yang baru saja didiktekan oleh
Ibn al- Musayyab. Melihat kejadian itu, salah seorang yang ketika itu hadir bersama
Ibn al-Musayyab berkata, "Apakah pendapatmu juga dituliskannya, wahai Abu
Muhammad?" Mendengar hal itu, Sa'id ibn al-Musayyab berkata kepada laki-laki tadi,
"Berikan kepadaku lembaran catatan itu." Laki-laki tersebut memberikannya, dan Ibn
al-Musayyab segera mengoyaknya.

Berdasarkan peristiwa di atas, terlihat bahwa yang sebenarnya tidak disukai


oleh para Ulama dari kalangan Tabi'in adalah penulisan pendapat mereka bersama-
sama dengan Hadis Nabi SAW, dan bukan penulisan Hadis itu sendiri. Karena apabila
hal itu terjadi, besar kemungkinan akan terjadi percampuran antara pendapat mereka
dengan Hadis Nabi SAW. Hal ini serupa dengan pelarangan penulisan Hadis yang

13
dilakukan oleh Rasul SAW dan para Sahabat sebelumnya, yang tujuan utamanya
adalah agar tidak terjadi percampuran antara Hadis dengan Al-Qur'an.

Oleh karena itu, ketika kekhawatiran akan terjadinya percampuran antara


penulisan Hadis dengan pendapat pe- rawinya telah dapat diatasi, maka sebagian
besar Tabi'in memberikan kelonggaran bahkan mendorong murid-murid mereka
untuk menuliskan Hadis-Hadis yang mereka ajar- kan. Terdapat di kalangan Tabi'in
itu sendiri mereka yang sangat antusias dalam menuliskan Hadis-Hadis yang me- reka
terima dari para Sahabat. Di antaranya adalah Said ibn Zubair (w. 95 H) yang
menuliskan Hadis-Hadis yang diterimanya dari Ibn 'Abbas. Demikian juga halnya
dengan 'Abd al-Rahman ibn Harmalah yang diberi kelonggaran oleh Sa'id ibn al-
Musayyab (w. 94 H) untuk menuliskan Hadis- Hadis yang berasal dari dirinya ketika
'Abd al-Rahman me- ngeluhkan buruknya hafalannya kepada Ibn al-Musayyab. 'Amir
al-Sya'bi, seorang Ulama Fiqh dari kalangan Tabi'in, bahkan memerintahkan para
muridnya untuk menuliskan setiap Hadis yang disampaikannya kepada mereka,
dengan mengatakan, "Apabila kamu mendengar sesuatu (Hadis) dariku, maka kamu
tulislah Hadis tersebut walau di dinding sekalipun." Dorongan yang sama untuk
menuliskan Hadis bagi para muridnya juga dilakukan oleh Al-Dhahhak ibn Muzahim
(w. 105 H).

Kegiatan penulisan Hadis, di masa Tabi'in semakin me- luas pada akhir abad
pertama dan awal abad kedua Hijriah. "Umar ibn 'Abd al-'Aziz (61-101 H), sebagai
seorang Amir al-Mu'minin ketika itu, juga turut aktif secara langsung mencari dan
menuliskan Hadis. Diriwayatkan dari Abi Qilabah al-Jarmi al-Bashri (w. 104 H), dia
mengatakan, "Keluar bersama kami Umar ibn 'Abd al-'Aziz di suatu hari untuk
melaksanakan shalat zuhur dan dia membawa kertas bersamanya. Selanjutnya dia
juga keluar bersama kami untuk melaksanakan shalat asar, juga sambil mem- bawa
kertas, dan pada saat itu aku bertanya kepadanya, 'Wahai Amir al-Mu'minin, kitab
apakah ini ?' Dia menjawab, Ini adalah Hadis yang diriwayatkan oleh 'Aun ibn 'Abd
Allah, dan Hadis tersebut menarik perhatianku sehingga aku menuliskannya'.

D. Abad II, III, dan IV H


Pembukuan hadis pada abad ke II belum tersusun secara sistematis dalam bab-
bab tertentu. Dalam penyusunannya, mereka masih memasukkan perkataan sahabat
dan fatwa tabi’in di samping hadis dari Nabi Muhammad SAW. Kesemuanya

14
dibukukan secara bersamaan, dari situlah kemudian terdapat kitab hadis yang marfu’,
mauquf dan maqthi’. Di antara kitab-kitab hadis abad ke II H yang mendapat
perhatian ulama secara umum adalah kitab al-Muwatha’ yang disusun oleh Imam
Malik, al-Musnad dan Mukhtalif al-Hadis yang disusun Imam asy-Syafi’i serta as-
Sirah an-Nabawiyah atau al-Maghazi wa as-Siyar susunan Ibnu Ishaq. Dari
kesemuanya, al-Muwatha’ lah yang paling terkenal dan mendapat sambutan yang
paling meriah dari para ulama, karena banyak para ahli yang membuat penjelasan
(syarah) dan ringkasannya (mukhtashar). Dalam kitab ini mengandung 1.726
rangkaian khabar dari Nabi, sahabat, dan tabi’in. Khabar yang musnad sejumlah 600,
yang mursal sejumlah 228, yang mauquf sejumlah 613 dan 285 yang maqthu’.
Adapun kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan pada abad
ke dua cukup banyak jumlahnya, namun yang mashur di kalangan ahli hadis hanya
beberapa, yaitu:
1. Al-Muwattha’, karangan Imam Malik ibn Anas (95-179 H)
2. Al-Maghazi wa al-Siyar, karangan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
3. Al-Jami’, karangan Abd al-Razak al-san’ani (211 H)
4. Al-Mushannaf, karangan Syu’bah ibn Hajjaj (160 H)
5. Al-Mushannaf, karang Sufyan ibn Uyainah (198 H)
6. Al-Mushannaf, karangan al-Lais ibn Sa’ad (175 H)
7. Al-Mushannaf, karangan al-Auza’i (150 H)
8. Al-Mushannaf, karangan al-Humaidi (219 H)
9. Al-Maghazi al-Nabawuyyah, karangan Muhammad ibn Wagid al-Aslami
(130-207 H)
10. Al-Musnad, karangan Abu Hanifah (150 H)
11. Al-Musnad, karangan Zaid ibn Ali
12. Al-Musnad, karangan Imam al-Safi’i (204 H)
13. Mukhtalif al-Hadis, karangan Imam al-Syafi’i (204 H).

Setelah sepeninggalan para tabi’in, yaitu pada permulaan abad ke III hijriah,
para ulama mulai berusaha menyusun kitab-kitab musnad yang memuat hadis Nabi
dan memisahkannya dari perkataan sahabat dan fatwa tabi’in. Penyusun kitabnya
adalah Abu Daud al-Tayalisi (202 H). Kitab yang sejenis dan paling memadai adalah
adalah Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, meskipun Imam Ahmad hidup pada masa
sesudahnya. Walaupun sudah dipisahkan dari perkataan sahabat dan fatwa tabi’in,

15
hadis dalam kitab musnad masih bercampur antara hadis yang shahih dan yang tidak
shahih. Oleh karena itu pada masa pertengahan abad ke III H disusunlah kitab yang
didalamnya benar-benar termuat hadis yang shahih, misalnya Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abu Daud, Sunan Ibn Madjah, dan Sunan al-
Nasa’i.

Orang yang pertama menulis dan mengumpulkan hadis dalam satu bab
tertentu adalah al-Jarir Amir al-Sya’bi, beliau menyusun kitab hadis khusus tentang
talak. Kemudian diteruskan oleh Abdullah ibn Musa al-Abasy al-Kufi, Musaddad al-
Basry, Asad ibn Musa dan Na’im ibn Hammad al-Khaza’i. Pada abad ketiga ini
muncul berbagai kitab hadis, maka diadakan kritik terhadap matan dan sanad hadis
serta jarh wa ta’dil dalam suatu hadis. Usaha ini kemudian dikenal dengan istilah pen-
tashih-an dan penyaringan hadis dengan kriteria tertentu, sebagaimana yang dilakukan
oleh al-Bukhari dan beberapa orang muridnya, sehingga hadis yang diproduksi
termasuk hadis yang berskala nilainya. Al-Siba’i menyatakan bahwa setelah masa al-
Bukhari kegiatan pembukuan dan pengumpulan hadis terhenti. Yang berkembang
hanya tradisi penyempurnaan dan pengembangan hadis.

Adapun kitab-kitab yang disusun dan dibukukan pada abad ke III H, yang
terkenal yaitu:

1. Al-Jami’ al-Shahih, karya Imam al-Bukhari (256 H)


2. Al-Jami’ al-Shahih, karya Imam Muslim (261 H)
3. Al-Sunan, karya Ibn Majah (273 H)
4. Al-Sunan, karya Abu Daud (275 H)
5. Al-Sunan, karya al-Tirmidzi
6. Al-Sunan, karya al-Nasa’i (303 H)
7. Al-Musnad, karya Ahmad ibn Hanbal
8. Al-Musnad, karya al-Darimi
9. Al-Musnad, karya Abu Daud al-Tayalisi.

Dengan usaha para ulama besar abad ke tiga, tersusunlah tiga macam kitab
hadis, yaitu: kitab-kitab Shahih, kitab-kitab Sunan serta kitab-kitab Musnad.
Sedangkan abad IV-VI merupakan masa pemeliharaan, penertiban,
penambahan, dan penghimpunan (ashr al-tahdzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-

16
jam’u). Dengan karakteristik penulisan hadis berbentuk Mu’jam (Ensiklopedi),
Shahih (himpunan Shahih saja), mustadrak (susulan shahih), Sunan al-Jam’u
(gabungan antara dua atau beberapa kitab hadis), ikhtishar (resume), istikhraj dan
syarah (ulasan). Pada masa berikutnya, yakni abad ke VII-VIII H dan berikutnya
disebut dengan masa penghimpunan dan pembukuan hadis secara sistematik (al-
Jam’u wa atTanzhim). Setelah pemerintahan Abbasiyyah jatuh ke bangsa Tartar pada
tahun 656 H, maka pusat pemerintahan pindah dari Baghdad ke Cairo, Mesir dan
India. Pada masa ini banyak kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang
ilmu hadis, seperti al-Barquq. Di samping itu ada juga usaha dari ulama India dalam
mengembangkan kitab-kitab hadis. Di antaranya Ulumul Hadis karangan al-Hakim.
Demikian perkembangan penulisan dan pengkodifikasian hadis sampai abad 12 H.
Mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang
berarti dari para ulama dalam bidang hadis, kecuali hanya membaca, memahami,
takhrij, dan memberikan syarah hadis-hadis yang telah terhimpun sebelumnya.

E. Abad Modern
Jika kita telaah secara seksama tentang perkembangan kajian terhadap hadis
Nabi, maka kita akan menemukan bahwa sejak pertengahan abad kesembilan belas,
definisi autoritas Rasulullah menjadi masalah penting bagi para pemikir keagamaan
muslim. Abad kesembilan belas merupakan periode ketika hegemoni barat yang
berkaitan dengan kelemahan politik dan agama masyarakat muslim telah menciptakan
dorongan kuat. diadakannya reformasi kelembagaan hukum dan sosial Islam, baik
untuk mengakomodasi nilai-nilai barat maupun untuk memulihkan kekuatan Islam.
Desakan untuk dilakukannya. reformasi pada gilirannya menghasilkan tekanan untuk
mengkaji kembali fondasi esensial kewenangan agama didalam Islam. Hal inilah yang
menjadi keprihatinan mengenai hadis Nabi SAW yang pada perkembangannya
menjadi titik pusat dalam proses pengkajian kembali hadis-hadis Nabi SAW tersebut.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Brown dalam bukunya Menyoal
Relevansi Sunnah dalam Islam Modern yang menjelaskan bahwa sejumlah aspek
pengalaman kolonial mendorong perhatian istimewa terhadap hadis Nabi Saw.
Skripturalisme paramisionaris Protestan jelas mempengaruhi cara pandang orang
Muslim terhadap hadis Nabi, yaitu dalam memandang hubungan antara Hadis dan
kitab suci karena abad kesembilan belas merupakan periode aktivitas gencar para
misionaris Kristen dan perdebatan antar agama, terutama di India. Akhir abad

17
kesembilan belas juga merupakan periode ketika orang muslim menghadapi
munculnya tantangan dari para sarjana orientalis yang mulai saja bersikap kritis
terhadap keauntetikan literature hadis. Dampak ini paling terasa di India, Namun
adalah suatu kesalahan serius kalau menyimpulkan bahwa perhatian muslim modern
terhadap pertanyaan mengenai hadis Nabi Saw semata mata merupakan reaksi
terhadap kolonialisme (Brown, 2000, hal. 39).
Periode pertama, yaitu periode gerakan reformasi abad ke-18. Selama abad
kedelapan belas, gagasan kaum tradisional yang memahami bahwa sunnah seharusnya
menjadi basis utama hukum Islam, bahwa status hukum itu bisa dan seharusnya
menjadi bahan penelitian yang cermat dengan berdasarkan hadis Nabi SAW. Gagasan
ini bukanlah kontribusi asli para reformis abad kedelapan belas, sepanjang periode
klasik tesis kaum tradisional tetap terpelihara di dalam madzab Imam Ahmad bin
Hanbal (Hanbali). Para reformis memberikan kekuatan baru terhadap pemahaman
orang Islam yang telah banyak menyimpang dari sunnah Rasul Saw dan dipengaruhi
oleh biďah dan taklid terhadap ajaran dan penafsiran hukum klasik. Obatnya adalah
dengan kembali kepada al-Qur'an. dan sunnah/hadis, guna meraih kembali kemurnian
ajaran Nabi yang terkandung di dalam sunnah Nabi SAW tersebut. Di antara banyak
ulama' aktivis modernis yang dipengaruhi gagasan ini, dua di antaranya adalah Syah
Waliyullah dan Muhammad Al-Syaukani. Perhatian Syah Waliyullah tertuju pada
perpecahan dan dampaknya pada masyarakat.
Pendekatan Syah Waliyullah terhadap hadis, penafsirannya dan hubungannya
dengan sunnah bukan tidak canggih, dan pendekatannya tidak beda jauh dengan
pendekatan para faqih klasik, Seperti halnya mereka, dia sangat menyadari adanya
jurang yang memisahkan hadis dari aplikasi hukumnya. Dia menirima perbedaan
standar antara tindakan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Muhammad Ibn Ali Al-
Syaukani, memperlihatkan pandangan serupa meski lebih ekstrim mengenai persoalan
taklid dan ijtihad. Bagi Al-Syaukani Ijtihad hanya dibatasi oleh kemampuan dan
pengetahuan mujtahid. Al-Syaukani menentang argument tradisional yang menentang
ijtihad, bahwa hanya generasi awal yang cukup dekat dengan Rasulullah yang
memiliki pengetahuan yang dibutuhkan. Bukannya menjadi lebih sulit, ujarnya,
ijtihad sekarang menjadi lebih mudah dibandingkan dengan sebelumnya karena
sumber-sumber telah terhimpun, tersusun dan tersedia dalam skala yang luas. Dalam
hal ini penolakan Al-Syaukani lebih radikal dibandingkan Syah Waliyullah.

18
Periode kedua, yaitu reformasi berbasis Hadis pada abad ke-19 (kesembilan
belas). Di India penolakan terhadap taklid dan perhatian terhadap hadis menjadi satu
sekte reformis, yaitu Ahli Hadis yang langsung menggunakan tradisi Syah Waliyullah
dan Imam asy-Syaukani. Hampir seluruh penguasa awal yang berpengaruh dengan
kelompok ini memiliki hubungan langsung dengan garis Syah Waliyullah. Kelompok
Ahli Hadis ini dapat dipandang sebagai hasil pertumbuhan langsung dan perwujudan
sikap diam mujahidin. Sebagai basis untuk ikon kelas mereka, mujahidin
mengembangkan sikap penolakan Syah Waliyullah terhadap taklid yang menjadi titik
pusat ajarannya. Dalam hal sikap mereka terhadap masalah-masalah hukum, Ahli
Fladis 1 mengombinasikan penolakan terhadap taklid dalam tradisi mazhab Syah
Waliyullah dengan literalisme ekstrem dalam pendekatan terhadap hadis. Dalam hal
ini mereka menyimpang dari doktrin moderat Syah Waliyullah dan dengan kesadaran
diri berusaha menyamai tradisionis kuno yang paling ekstrem, yaitu gagasan mazhab
Zhahiri. Bagi kelompok Ahli Hadis, keseluruhan tradisi klasik pengetahuan Islam
diragukan. Hanya dalam sunnah, yang terwakili melalui hadis shahih, kemurnian Nabi
Muhammad Saw terpelihara. Setelah masa Rasulullah, sejarah tak lain merupakan
catatan kemunduran, suatu periode kegelapan yang diterangi kilas cahaya sewaktu
warisan Nabi Muhammad SAW menempati posisi penting dalam karya pembaharu
agama dan dengan demikian sunnah terhidupkan kembali.
Idealnya Ahli Hadis adalah mereka para ulama yang menjalani kehidupannya
dengan menjaga akhlaknya yang suci/terpuji atau dalam bahasa hadis adalah Tsigah
sebagaimana mengikuti contoh Rasulullah Saw. Hadis sebagai pedoman tentang
sunnah Rasul, menjadi fokus sentral kehidupan mereka dan pedoman ideal tentang
tingkah laku sosial dan kesalehan individu. Bagi Ahli Hadis, prinsip pemandu dalam
pembaharuan salafi adalah keyakinan bahwa kaum muslim harus berusaha agar bisa
menyamai generasi pertama muslim, yaitu generasi salaf ash-shalih dan kembali
mengambil Islam murni sebagaimana ajaran Rasulullah Saw. Hal ini hanya bisa
dilakukan dengan cara kembali kepada sumber dasar autoritas, al-Qur'an dan sunnah,
karena hanya dari sumber inilah Lesensi Islam yang sesungguhnya dapat ditemukan
kembali.
Periode ketiga, yaitu periode para Modernis Awal: Ahmad Khan dan
Muhammad Abduh. Tantangan besar pertama terhadap sunnah di periode modern
datang dari modernis besar India, Syir Ahmad Khan, yang akhirnya menganggap
seluruh hadis tidak dapat dipercaya. la mengkritik tajam metode klasikl kritisme
19
hadis, dan akhirnya percaya bahwa hanya hadis yang berkaitan dengan masalah
spiritual saja yang relevan dengan muslim kontemporer, dan hadis yang bertalian
dengan hal-hal duniawi tidaklah mengikat.Tanpa menolak autoritas sunnah sama
sekali, dia sangat membatasi ruang lingkupnya, I mengimbau untuk mencari metode
baru guna menilainya, dan menekankan posisinya yang subbordinat vis-à-vis Al-
Quran Perhatian Sayyid Ahmad Khan tentang mengikuti sünnah, membawanya pada
perhatian terhadap kandungan autentik sunnah.
Perhatian ini mengantarkan satu tahap dalam pandangan keagamaan Sayyid
Ahmad Khan, sewaktu ia mengemukakan gagasan mengenai sunnah yang mirip
dengan gagasan yang dilontarkan oleh Ahli Hadis. Dia tidak pernah melepaskan
keterkaitannya dengan jiwa para pembaharu Ahli Hadis. Dia menjadikannya sebagai
motivasi utama dalam upayanya di bidang pemikiran keagamaan untuk memberikan
sumbangsih bagi tegaknya kembali Islam yang sesungguhnya. Ini merupakan tujuan
Ahli Hadis. Meskipun pandangannya mengenai Islam yang sesungguhnya berbeda
dengan yang dikemukakan oleh Ahli Hadis (Brown, 2000) Sayyid Ahmad Khan yang
terusik dengan karya muir membuat bantahan, Khan dia mempertahankan nilai
kritisme isnad; ia berpendapat bahwa Muir tidak masuk akal menisbahkan
penyimpangan karena para perawi hadis awal; dan dia menuduh bahwa lawanya telah
begitu meremehkan kekuatan daya ingat. Penekanan Sayyid Ahmad Khan bahwa
sunnah berada dibawah Al-Qur'an dipengaruhi oleh Muir, Sayyid Ahmad Khan
menganngap Al-Qur'an sebagai standartertinggi untuk menguji semuainformasi
mengenai Rasulullah Saw. Dia hanya mempertimbangkan hadis mutawatir hadis yang
disampaikan oleh banyak orang sehingga menyingkirkan kemungkinan terjadinya
persekongkolan untuk menyelewengan sebagai landasan andal untuk dipercaya selain
Al-Qur'an. Di satu sisi dia pada prinsipnya tidak menolak historisitas hadis, dan tidak
menolak kewenangan Latau otoritas sunnah.
Periode keempat, Periode Skripturalisme Qur'ani, yaitu generasi setelah
Ahmad Khan dan Abduh, yang merupakan garis lainnya dalam spectrum pendekatan
modern terhadap kewenangan Rasulullah Saw. Generasi ini terbentuk berkat
munculnya skripturalisme Qur'ani. Tanda pertama kecenderungan ini terlihat di
Punjab pada awal abad kedua puluh dengan munculnya ahli Qur'an, Gerakan ini
berawal sebagai kelompok yang tak sepakat dengan Ahli Hadis. Kalau Ahli Hadis
memandang taklid sebagai sumber penyimpangan dan perpecahan dalam Islam, Ahli
Qur'an memandang mengikuti Hadis sebagai penyebab kemalangan Islam. Kalau Ahli
20
Hadis mengklaim bahwa warisan autentik Rasulullah dapat diraih kembali hanya
dengan kembali pada Hadis, Ahli Qur'an memandang bahwa Islam yang murni dapat
ditemukan hanya dalam al-Quran. Al-Qur'an saja, menurut mereka, member landasan
yang adil bagi keimanan dan tindak keagamaan (Brown, 2000). Shidqi berargumen
bahwa detail-detail perilaku Nabi Muhammad Saw, tak pernah dimaksudkan untuk
ditiru dalam setiap perinciannya. Oleh karena itu orang Muslim| harus hanya
bersandar pada Al-Qur'an. Motivasi shidqi sendiri, yang tertulis secara eksplisit dalam
atikel tersebut, secara langsung berkaitan dengan ajaran sentral salafiyyah penolakan
terhadap pentaqlidan dan pencarian keauntetikan. Shidqi dan kontroversi yang
diciptakannya juga penting karena mengungkap pula tentang sikap Rasyid Ridho
terhadap masalah sunnah dan keauntetikan Hadis. Tinjauan Ridha terhadap karya
Shidqi, menyebutkan bahwa Ridha dimotivasi terutama oleh keinginan mengguncang
al-Azhar, ia ingin membamgkitkan mereka untuk mempertahankan pandangan
mereka mengenai sunnah (Brown, 2000).
Pandangan Ridha sendiri mengenai sunnah terekspresikan secara mendetail
hanya setelah munculnya artikel Shidqi dan pendekatannya dapat dianggap sebagai
kompromi antara penolakan sepenuhnya terhadap sunnah dan ketaatan terhadap
gagasan klasik mengenai hadis. Pada satu sisi Ridha tidak menolak secara besar-
besaran terhadap kewenangan Nabi Saw. Disisi lain dia merasa perlu untuk meninjau
dan menilai kembali sumber sunnah (yaitu hadis). Satu-satunya sunnah yang tidak
diperselisihkan bagi Ridha adalah sunnah amaliyyah seperti misalnya ibadah shalat.
Motivasi Ridha dan Shidqi dalam memperlakukan sunnah pada hakikatnya sama.
Keduanya dimotivasi terutama keinginan untuk meruntuhkan belenggu taqlid dan
menegaskan hak untuk kembali kepada sumber dan menemukan kembali Islam
autentik untuk diri mereka sendiri (Brown, 2000).

F. Ilmu hadist di Indonesia


1. Periode Abad ke-17 sampai 18
Pada periode ini berbagai cabang keilmuan Islam di Indonesia awal mulanya
diajarkan melalui sistem pengajaran pesantren. Cabang keilmuan Islam yang
dikaji pertama-tama adalah Alquran, lalu setelah itu Ilmu Bahasa Arab (nahwu
dan saraf). Ini disebabkan karena seluruh Alquran dan literatur keagamaan lainnya
dominan ditulis dengan bahasa Arab.

21
Oleh karena itu, meskipun pengajaran bahasa ini tidak secara langsung
menyangkut masalah agama, tetapi dianggap sebagai pelajaran agama karena
menyatu dengan sendirinya. Ilmu fiqh, tawhid atau usuluddin, dan tafsir Alquran
merupakan beberapa keilmuan pokok di masa itu. Setelah seseorang selesai
mempelajari ketiga macam pelajaran pokok agama tersebut, selanjutnya seseorang
dapat mengambil mata pelajaran sampingan seperti tasawuf, hisab atau falak, dan
hadis. Berbagai literatur yang muncul pada masa abad ke-17 awal ini masih belum
banyak memberi ruang pada hadis secara khusus.
Pada periode ini beberapa jenis literatur-literatur yang ditemukan dapat
diklasifikasikan menjadi lima. Pertama, cerita-cerita yang di ambil dari Alquran
(Kuranic’s Tales) atau cerita tentang Nabi dan person lain yang namanya disebut
dalam Alquran. Kedua, cerita khusus tentang Nabi Muhammad Saw. Ketiga,
cerita tentang orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi (sahabat atau
lainnya). Keempat, cerita tentang pahlawan-pahlawan (dalam dunia) Islam yang
terkenal. Dan terakhir yang kelima, karya-karya yang berkaitan dengan masalah
teologi.
Walaupun dalam pengelompokkan literatur keislaman yang dilakukan oleh
Roolvink diatas tidak menemukan adanya literatur hadis (karena
perkembanganhadis lebih lambat dibanding dengan bidang lain) pada periode ini,
temuan kajian lain menyimpulkan hal yang berbeda. Menurut Oman
Fathurrahman, tradisi penulisan kitab-kitab hadis di kalangan ulama Nusantara
tidak dapat dipungkiri secara kuantitas, masih sangat minim dibanding bidang
keislaman yang lain. Argumen tersebut sesuai dengan adanya fakta bahwa pada
masa ini (abad ke-17 dan ke-18) ada beberapa tokoh ulama yang menaruh
perhatian pada bidang hadis, walaupun belum secara signifikan. Seperti Nuruddin
al-Raniri dan Abd al-Ra’uf al-Sinkili, yang memang dianggap sebagai tokoh
utama yang merintis dan mulai memperkenalkan studi hadis pada masa ini,
khususnya dalam sharh hadis di Indonesia.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai karya yang sedikit banyak
mengulas dan menjelaskan hadis-hadis Nabi.
a) Nuruddin al-Raniri (w. 1068 H/1658 M)8
Mempunyai kitab yang berjudul Hidayat al-Habib fi al-Targhb
wa al-Tartib. Kitab ini merupakan kumpulan hadis yang diterjemahkan
al-Raniri dari bahasa Arab ke bahasa Melayu yang disusun dengan
22
tujuan agar Muslim Melayu-Indonesia mampu memahaminya agama
Islam dengan benar. Karena sifatnya yang lebih dominan alih bahasa
maka penjelasan hadis Nabi yang dilakukan oleh al-Raniri masih
berkutat pada aspek teks, dengan menguraikan pokok-pokok hadis
b) Abdur Ra’uf al-Sinkili (w. 1105 H/ 1693 M)
dengan karyanya yang berjudul Mawa’iz al-Badi’ah. Karya al-
Sinkili tersebut merupakan kumpulan hadis Qudsi yang diadopsi oleh
al-Sinkili untuk mengemukakan ajaran hubungan Tuhan dengan
ciptaan, neraka, dan surga, dan cara-cara yang layak bagi kaum
Muslimin untuk mendapatkan ridha Tuhan. Al-Sinkili berusaha untuk
mengintegrasikan antara ilmu dan amal secara integral-holistik. Bahwa
ilmu saja tidak menjadikan seseorang menjadi lebih baik, ia harus
merealisasikan perbuatan-perbuatan yang baik sebagai konsekuensi
terhadap ilmu yang dimilikinya.

Selain Kitab Mawa’iz al-Badi’ah di atas, karya al-Sinkili yang lain yang
menjadi perintis sharh hadis di Indonesia ialah Sharh Latif ‘ala Arba’in Hadithan
li Imam an-Nawawi. Kitab tersebut merupakan komentar dan penjelasan al-
Sinkili terhadap Kitab Arba’in karya Imam Nawawi. Kedua kitab al-Sinkili yang
berjudul Mawa’iz al-Badi’ah dan Sharh Latif ‘ala Arba’in Hadithan li Imam an-
Nawawi ini jika dibandingkan dengan kitab al-Raniri di atas dalam hal
penjelasannya lebih mendalam yang dilakukan oleh as-Sinkili. Walaupun
memang baik itu karya al-Sinkili maupun al-Raniri sama-sama masih dalam
lingkup teks dalam menjelaskan hadis-hadis Nabi, belum banyak kepada konteks.
Hal ini dapat dipahami mengingat kitab-kitab hadis tersebut merupakan rintisan
awal di wilayah Nusantara.

2. Periode Abad ke-19 sampai 20


Dalam perkembangan sharh hadis di Indonesia, terdapat suatu masa dimana
hadis, khususnya karya dibidang sharh} hadis mengalami kemandekan. Setelah
era Nuruddin al-Raniri dan Abdur Ra’uf as-Sinkili, tidak diketahui adanya karya-
karya ulama Indonesia dibidang hadis.Antara era kedua tokoh tersebut dengan era
berikutnya di mana muncul kembali karya-karya di bidang hadis terdapat jarak
waktu yang cukup lama. Kemudian pada akhir abad ke-19, lalu masuk ke
permulaan abad ke-20 mulai banyak bermunculan kembali karya-karya di bidang

23
studi hadis, khususnya dalam sharh} hadis. Adanya ‘gairah’ baru dalam studi
hadis di Indonesia pasca ‘vakum’ dalam kurun waktu yang cukup lama
disebabkan oleh massifnya gerakan-gerakan pembaharuan di Indonesia.
Pada periode ini merupakan periode dimana gerakan pembaharuan dilakukan
secara masif di berbagai wilayah di Indonesia. Gerakan pembaharuan dilakukan
oleh tokoh-tokoh pembaharu yang hendak menegaskan betapa pentingnya
berpegang kembali kepada Alquran dan hadis. Dari gerakan pembaharuan ini,
unsur tradisional dalam keislaman Indonesia sedikit banyak terpengaruh, tak
terkecuali bidang hadis. Prospek perkembangan hadis di Indonesia berjalan itu
berjalan dua arah, yang satu mempertahankan ciri-ciri tradisional, dan yang satu
lagi berkembang dengan memanfaatkan situasi kemoderenan.
Melalui kedua corak tersebut (tradisional dan moderen), para ulama hadis
Indonesia saat itu mulai mengangkat dan memperkenalkan karya-karya ulama
klasik dibidang sharh} hadis. Mulai dari yang sekedar menerjemahkan dari kitab-
kitab hadis, hingga memberi penjelasan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-
kitab hadis. Ada beberapa peneliti yang mencoba mengkaji literatur-literatur hadis
klasik yang beredar pada periode abad ke-19 dan ke-20 ini, di antaranya adalah
Howard M. Federspiel dan Martin Van Bruinessen.
Secara teknis, Hasbi ash-Shiddieqy menyatakan bahwa kajian terhadap hadis
dilakukan dengan: Pertama, menerjemahkan hadis kedalam Bahasa Indonesia;
lalu kedua, mengemukakan kualitas hadis terkait; ketiga, menjelaskan kosa kata
dan makna suatu hadis; dan terakhir, menjelaskan sebab dan situasi masyarakat
ketika hadis disabdakan Nabi. Poin tentang melakukan terjemah diatas
bersesuaiandengan spirit periode abad ke-20 ini, bagaimana kegiatan
penerjemahan kedalam Bahasa Indonesia terhadap kitab-kitab hadis sangat marak.
Dari data tersebut nampak bahwa Hasbi ash-Shiddieqy mencoba memunculkan
aspek teks dan konteks dalam memahami hadis. Aspek teks dan konteks dalam
memahami hadis diberi ruang untuk mengetahui kandungan suatu hadis. Sehingga
dapat dikatakan bahwa ‘pintu gerbang’ memahami hadis melalui aspek teks dan
konteks secara matang dirintis oleh Hasbi ash-Shiddieqy. Walaupun memang,
tidak dapat dipungkiri metode yang diterapkan beberapa di antaranya masih
mempertahankan cara lama, yaitu secara tahlili.
Pada abad ke-20 ini terdapat pula karya seputar sharh} hadis Nabi yang
disusun secara tematik. Fathurrahman menyusun 94 hadis yang terkait dengan
24
fiqih dan peradilan agama. Seluruh hadis-hadis yang telah dikumpulkan (yang
sesuai dengan tema tersebut) lalu diterjemahkan kealam Bahasa Indonesia, setelah
itu diberi penjelasan secara rinci agar mudah dipahami pembaca. Karya
Fathurrahman yang memuat penjelasan hadis-hadis Nabi ini terbatas hanya
diuraikan dari sisi teks nya saja, lalu disimpulkan kandungan hadisnya secara
keseluruhan. Perkembangan sharh hadis di Indonesia semakin menunjukkan tren
positif pada periode ini dengan kemunculan seorang Muhammad Syuhudi Ismail.
Muhammad Syuhudi Ismail berkontribusi besar dalam kajian hadis di Indonesia,
khususnya gagasannya dalam memahami hadis. Pemikiran Syuhudi Ismail yang
terkenal ialah tentang pentingnya melakukan kontekstualisasi dalam memahami
hadis Nabi. Hal tersebut merupakan sebuah titik penting dalam perkembangan
kajian hadis khususnya bidang sharh hadis di Indonesia. Tak hanya dalam hal
memahami hadis saja, dalam hal penelitian sanad dan matan hadis, Muhammad
Syuhudi Ismail mampu melakukan upaya sistematisasi sehingga lahirlah apa yang
disebut dengan metodologi penelitian hadis Nabi. Bahkan Muhammad Syuhudi
Ismail mempopulerkan prinsip memahami hadisnya dengan istilah Ilmu Ma’an al-
Hadis}.
Dibanding dengan tokoh hadis sebelumnya, terlihat lebih sistematis. Baik itu
dari penelitian sanad dan matan hadis, maupun aspek pemahaman terhadap hadis.
Melalui konsepnya tentang hadis yang tekstual dan kontekstual, telah mampu
mempengaruhi pemahaman hadis di Indonesia pada masa setelahnya. Dengan
melihat pemetaan sharh hadis di Indonesia di atas terlihat bahwa bidang tersebut
mengalami perkembangan pesat bahkan dititik penting pada periode abad ke-20
ini, yang dimotori oleh tokoh-tokoh hadis dari kelompok akademik. Walaupun
begitu, bukan berarti kelompok pertama (tradisional) tidak mempunyai andil.
Justru kelompok pertama (tradisional) telah mampu meletakkan prinsip-prinsip
dasar dalam memahami hadis di Indonesia, khususnya dalam analisis aspek
internal teks. Dari aspek analisis internal teks ini kemudian kelompok kedua
(moderen) melalui pendekatan historisnya berusaha menawarkan pemahaman
yang seimbang, tidak hanya menurut literal teksnya saja.
3. Periode Abad ke-21 (Masa Sekarang)
Periode akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21, sharh} hadis semakin
mendapat tempat yang luas dalam bidang kajian hadis di Indonesia. Hal ini
didorong oleh banyaknya kampus-kampus IAIN (bahkan UIN) yang bermunculan.
25
Dengan banyak munculnya kampus IAIN dan Perguruan Tinggi Islam modern
lainnya membuat kajian hadis banyak diperbincangkan, baik dari sisi materi hadis,
pemikiran tokoh tentang hadis, pemahaman hadis, dan lain sebagainya. Faktor
‘iklim’ pemikiran Islam di Indonesia yang cukup intens, sekali lagi tidak dapat
dipisahkan sehingga gairah akan kajian hadis marak dilakukan.
Menurut Yudian W. Asmin, pemikiran Islam di Indonesia abad ke-21 ini
merupakan perpaduan antara interpretasi Islam Timur Tengah, Islam Barat dan
Islam Indonesia, sehingga pakar Islam yang sesuai untuk konteks zaman ini
adalah orang yang mampu menguasai tradisi keilmuan didalamnya. Hal ini terlihat
dalam institusi IAIN/UIN yang menjadi ‘jembatan’ bagi bertemunya dua tradisi,
yaitu antara tradisi keilmuan Islam Klasik dan tradisi keilmuan barat, sehingga
turut mewarnai corak Islam Indonesia. Banyak tokoh, peneliti, dan ahli hadis lahir
dari hasil sintesa keilmuan Islam dan keilmuan Barat ini. Tokoh-tokoh tersebut
turut menyumbangkan berbagai karya akademik di bawah institusi PTKIN,
sehingga penelitian dan kajian terhadap hadis semakin variatif.
Di masa kini, penelitian hadis yang berkembang di Perguruan Tinggi Khusus
Islam Negeri (PTKIN) ada empat macam: Pertama, penelitian hadis terhadap
aspek sanad dan matan hadis. Hasil yang menjadi tujuan dari penelitian tersebut
adalah dapat mengetahui kualitas suatu hadis. Apakah hadis tersebut sahih},
h}asan, ataukah da’if; Kedua, penelitian terhadap kitab-kitab hadis. Baik itu kitab
hadis yang ditulis oleh ulama-ulama mutaqaddimin, maupun muta‘akhkhirin.
Sehingga obyek penelitiannya adalah produk kitab hadis; Ketiga, penelitian hadis
yang berkaitan dengan fiqh al-hadith. Kajian ini merupakan upaya memahami
suatu hadis secara komprehensif dengan melibatkan asal-usul dan konteks historis
suatu hadis; Dan keempat, penelitian hadis kaitannya bagaimana suatu hadis
diresepsi oleh suatu kelompok atau komunitas masyarakat. Dari keempat
klasifikasi di atas, sharh hadis termasuk dalam penelitian hadis yang berkaitan
dengan fiqh al-hadith. Walaupun memang, dimasa kini sebagai sebuah kesatuan
kajian, hermeneutika hadis mencakup penelitian sanad dan matan hadis
dilanjutkan upaya memahaminya secara komprehensif.
Seperti yang dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya, di Indonesia sendiri
hermeneutika telah diperluas cakupannya hingga ranah teks-teks keislaman.
Hermeneutika di Indonesia, baik secara metode maupun pendekatan semakin
dipopulerkan oleh tokoh-tokoh dalam bidangnya, seperti Komaruddin Hidayat, M.
26
Amin Abdullah, Sahiron Syamsuddin, Fahrudin Faiz, dan lain-lain. Sementara
beberapa tokoh yang memfokuskan pada studi hadis khususnya dalam metode
pemahaman hadis pada masa ini di antaranya Said Aqil Munawwar, Barmawie
Mukri, Ali Musthofa Ya’qub, Luthfi Fathullah, Suryadi, M. Alfatih Suryadilaga,
Nizar Ali, dan lain-lain. Sebenarnya masih banyak lagi tokoh-tokoh yang belum
disebutkan, karena memang di periode masa kini hadis banyak dikaji dari banyak
sisi dan aspeknya. Hadis dikaji dan diteliti secara beragam sudut pandang, baik itu
oleh dosen maupun mahasiswa melalui karya-karya akademiknya. Dengan
pesatnya kemajuan teknologi dan informasi, disusul majunya perkembangan
social media membuat semakin mudah untuk mengakses kajian hadis, khususnya
sharh} hadis. Hanya saja, dengan semakin majunya perkembangan teknologi
terdapat sisi kekuranganya, khususnya terkait dengan memahami hadis. Dengan
adanya kebebasan dalam menyampaikan pikiran di media online, nampak
semakinmassifnya pemahaman hadis dilakukan.
Secara kuantitas ini tentu positif karena hadis semakin banyak dikaji, tetapi
jika dilihat secara kualitas produk pemahaman hadis, justru sebaliknya. Banyak
ditemui upaya-upaya pemahaman hadis yang dilakukan secara tekstual-literal,
bahkan tidak merujuk pada kaidah-kaidah fahm al-hadith yang ada. Pemahaman
hadis secara tekstual-literal tersebut tentu akan menjadi problem tersendiri
manakala diaplikasikan kepada hadis-hadis jihad, seputar perempuan, sistem
kenegaraan, dan lain-lain. Selain memahami hadis secara tekstual-literal, juga
ditambah dengan mengabaikan prinsip-prinsip universal kemanusiaan yang
berlaku. Bahkan yang lebih parah, demi hasrat kepentingan menggunakan suatu
hadis untuk membela kepentingannya.Oleh karena itu tidak jarang, model
pemahaman tersebut sering ‘menabrak’ prinsip-prinsip kemanusiaan yang berlaku.
Akibat lebih lanjut, agama (Islam) terkesan menjadi ‘kuno’ dan tidak relevan
dengan kehidupan masyarakat masa kini.

27
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hadist-Hadist Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab Hadist yang ada
sekarang adalah hasil kesungguhan para Sahabat dalam menerima dan memelihara
Hadist di masa Nabi SAW dahulu. Cara penerimaan Hadist di masa Rasul SAW tidak
sama dengan cara penerimaan Hadist di masa generasi sesudah- nya. Penerimaan
Hadis dimasa Nabi SAW dilakukan oleh Sahabat dekat beliau, seperti Khulafa' al-
Rasyidin dan dari kalangan Sahabat utama lainnya.
Dan pada masa kekhalifahan Khulafa' al-Rasyidin, khususnya masa Abu
Bakar al-Shiddiq dan 'Umar ibn al- Khaththab, periwayatan Hadist adalah sedikit dan
agak lamban. Dalam periode ini periwayatan Hadist dilakukan dengan cara yang ketat
dan sangat hati-hati. Sikap kesungguhan dan kehati-hatian Sahabat dalam memelihara
Hadis diikuti pula oleh para Tabi'in yang datang sesudah mereka. Hal ini terlihat
sebagaimana yang dilakukan oleh para Tabi'in di Basrah.

B. SARAN
Kami sebagai pembuat makalah, menyadari bahwasannya dalam pembuatan
makalah ini masih banyak mengalami kekurangan dikarenakan dalam pembuatan
makalah ini masih banyak kekurangan dari segi sumber dan waktu, untuk itu kami
berharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar kedepannya makalah
ini menjadi makalah yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

28
DAFTAR PUSTAKA

Afwadzi, B. (2014). Hadis di Mata Para Pemikir Modern (Telaah Buku Rethinking Karya
Daniel Brown). Jurnal Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol. 15, N.

Anggoro T.2019.PERKEMBANGAN PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: Analisis


Pergeseran Dan Tawaran Di Masa Kini.Yogyakarta:UIN Sunan Kalijaga

Brown, D. W. (2000). Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Bandung: Mizan.

Darmalaksana, W. (2004). Hadis di Mata Orientalis. Bandung: Benang Merah Press.

29

Anda mungkin juga menyukai