Anda di halaman 1dari 20

Makalah

BAHASA INDONESIA

KONVENSI NASKAH

Disusun Oleh Kelompok 8:

Fauza Nella

Gustri Maulida

Khairul Munawar

Muhammad Taufik

Dosen pengampu:

Puspita Ningrum, M.Pd

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH/PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM TGK CHIK PANTE KULU

TAHUN AJARAN 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Konvensi Naskah” dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia. Selain itu, makalah
ini bertujuan menambah wawasan tentang Konvensi Naskah bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Puspita Ningrum, M.Pd selaku dosen


pengampu Mata Kuliah Bahasa Indonesia. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Banda Aceh, 08 Juni 2021

Pemakalah

i
BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya. Namun pada kasus ini, tidak semua
hadits yang disandarkan kepada Nabi adalah benar. Kadang adanya sebuah penambahan pada
matan, kecacatan pada rawi, terputusnya sanad dan berbagai bentuk ketidakbenaran lainnya.
Dari kasus  seperti ini, maka diadakanlah kodifikasi hadits atau pembukuan hadits secara
rinci yang membagi tingkatan-tingkatan hadits dari keshahihannya sampai kedhaifannya.
Pada makalah ini akan dibahas tentang hadits dhaif. Di mana hadits dhaif ini adalah
salah satu tingkatan hadits yang menjadi sasaran penting untuk dipelajari dalam disiplin ilmu
hadits.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Itu hadist dhoi’if dan hadist maudhu’
2. Apa saja yang terkandung dalam hadis dho’if dan hadist maudhu’?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui lebih detail tentang hadist
maudhu’ dan hadist mungkar.

ii
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Dha’if

Hadits dha’if adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat
hadits shohih atau hadits hasan.
‫الحديث الضعيف هو ما لم يجتمع فيه صفات الصحيح و ال صفات الحسن‬
Artinya: “hadits dha’if ialah hadits yang tidah memenuhi kriteria hadits shahih dan hadits
hasan1
Dha’if itu artinya lemah. Hadits dha’if artinya hadits yang lemah, maksudnya hadits
tersebut tidak kuat dijadikan landasan dan sandaran dalam menetapkan masalah hukum halal
dan haram. Hadits dinilai dha’if bukanlah karena Nabi SAW. akan tetapi disebabkan oleh
para periwayat dalam sanadnya yang terlibat dalam proses periwayatannya.

Ke-dha’if-an hadits disebabkan pada beberapa hal, yaitu:


1. sanadnya terputus
2.  kualitas moral (ke-‘adil-an) periwayatnya yang cacat
3. kualitas intelektual (ke-dhabith-an) periwayatnya yang rusak
4.  susunan redaksinya yang bermasalah
5.  kandungan maknanya rancu

B. Klasifikasi Hadist Dha’if


Pada dasarnya hadits dha’if termasuk bagian dari hadits mardud (tertolak). Namun,
tidak semua hadits dha’if tertolak. Ada hadits dha’if  yang dapat diterima dan diamalkan
dengan kriteria tertentu. Dengan demikian ada hadits dha’if yang diterima dan ada juga yang
ditolak. Hadits dha’if dilihat dari segi kahujjahannya dapat diklasifikasikan menjadi dua
macam2, yaitu:
1. Hadits dha’if ringan. Maksudnya hadits yang kedh’ifannya dapat berubah kualitasnya
karena mendapat dukungan yang menguatkan dari hadits-hadits shahih lainnya yang
kandungan maknanya sama, sehingga berubah menjadi hadits hasan li ghairihi. Hadits
dha’if yang dapat berubah kualitasnya menjadi hadits hasan li ghairihi karena
didukung dan dikuatkan oleh hadits shahih lain sebagai mutabi’ atau syahid adalah
hadits dha’if ringan yang kedha’ifannya disebabkan oleh;
2. Sanadnya terputus, seperti hadits mu’allaq, munqathi’, mu’dhal, dan mursal

1
Dr. H. Wajidi Sayadi, M.Ag, Pengantar Studi Hadits, Pontianak: Pustaka Abuya. Hal 67.
2
Dr. H. Wajidi Sayadi, M.Ag, Pengantar Studi Hadits, Pontianak: Pustaka Abuya. Hal 69.
a
3.  Ke-dhabith-an periwayatnya buruk, misalnya banyak bimbang dan ragu-ragu, atau
hafalan buruk
4. Tidak jelas ke-‘adil-an periwayatnya, misalnya mubham, majhul al-‘ain, dan al-
mastur.
Contohnya:
‫ شبابك قبل هرمك و صحتك قبل سقمك و غناك قبل فقرك و فراغك قبل شغلك و حياتك قبل موتك‬: ‫اغتنم خمسا قبل خمس‬
“perhatikanlah lima sebelum datang yang lima; mudamu sebelum tua, masa sehatmu sebelum
sakit, masa kayamu sebelum miskin, masa luangmu sebelum sbuk, dan masa hidupmu
sebelum meninggal”.
1. Hadits ini diriwayatkan Tirmidzi, Baihaqi, Ahmad, bersumber dari ‘Amr bin Maimun
adalah dha’if, yaitu mursal. Hanya saja dha’ifnya ringan karena sanadnya tidak
bersambung.
2. Hadits tersebut selain bersumber dari ‘Amr bin Maimun juga bersumber dari Ibnu
Abbas. Hakim dan Nasai meriwayatkan melalui jalur Ibnu Abbas. Melalui sanad ini,
kualitasnya shahih.
3. Oleh karena itu hadits dha’if ringan yang diriwayatkan Tirmidzi, Baihaqi dan Ahmad
tersebut berubah kualitasnya menjadi hadits hasan.
4. Hadits dha’if berat. Maksudnya adalah hadits dha’if yang kedha’ifannya bersifat
paten, tidak berubah kualitasnya walau sebanyak apa pun hadits shahih lainnya yang
semakna dan mendukungnya. Hadits dha’if yang paling parah atau kelas berat adalah
hadits maudhu’ atau hadits palsu. Hadits dha’if berat tidak dapat berubah kualitasnya
disebabkan kualitas moral periwayatnya cacat, seperti dusta, tertuduh dusta, fasik,
atau hapalannya rusak atau kacau (ikhtilath). Hadits dha’if yang diriwayatkan oleh
periwayat seperti ini disebut hadits yang sangat dha’if, seperti hadits maudhu’, hadits
munkar dan hadits matruk.

Contoh:
‫اطلبوا العلم ولو بالصين‬
“Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina”.
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa riwayat, di antaranya Ibn ‘Adiy (356 H) dalam
bukunya Al-Kamil fi Dhu’afa’ Ar-Rijal, Abu Nu’aim (450 H) dalam bukunya Akhbar Al-
Ashbihan, Al-Katib Al-Baghdadiy (463 H) dalam bukunya Tarikh Baghdad dan Ar-Rihlah fi
Thalab Jami’ Bayan Al-‘Ilm wa Fadhlihi3 dan lainnya.
1. Dilihat dari sisi sumber sanadnya, hadits ini melalui al-Hasan ibn ‘Atiyah dari Abu
‘Atikah Tarif ibn Sulaiman dari Anas ibn Malik. Kualitas hadits ini dinilai oleh para
ulama hadits sebagai hadits dha’if. Kedha’ifan hadits ini disebabkan salah seorang

3
Al-Albani, 1986: 450; Yaqub, 2003: 2; Al-Malibary, t.th: 7; Al-‘Ajluni, 1421 H, I: 154.
b
periwayatnya dalam sanadnya bernama Abu ‘Atikah Tarif ibn Sulaiman. Abu ‘Atikah
dinilai oleh kritikus hadits seperti al-‘Uqaili sebagai matruk (tertolak).
2. Bukhari menilai bahwa haditsnya munkar. An-Nasai menilai haditsnya tidak kuat.
Abu Hatim menilai, haditsnya dzahib (dibuang). Kata as-Sulaimani, Abu ‘Atikan
dikenal pernah memalsukan hadits. Ahmad ibn Hambal (243 H) tidak mengakui
hadits tersebut. Ibn Hibban (354 H/965 M) menilai hadits ini bathil, tidak ada dasar
dan sumbernya. Bahkan Ibn Al-Jauzi dalam bukunya koleksi hadits-hadits palsu al-
maudhu’at, menilai bahwa hadits tersebut adalah palsu4
C. Pengertian Hadist Maudhu’

Ditinjau dari sisi bahasa, hadits maudhu’ merupakan bentuk isim maf’ul dari kata – ‫وضع‬
‫يضغ‬. Kata ‫وضع‬ memiliki beberapa makna, yaitu menggugurkan, meninggalkan dan mengada-
ada dan membuat-buat.
Menurut para muhadditsin, hadits maudhu’ adalah:
“Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Secara mengada-ada dan dusta, yang
tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan”.

Dari pengertian tersebut dapak kita simpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik perbuatan, perkataan maupun
taqrir, secara rekaan atau dusta semata-mata. Dalam penggunaan masyarakat Islam, hadits
maudhu’ disebut juga dengan hadits palsu.

D. Kedudukan Hadits Dhaif
Para muhadditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis dari dua jurusan.
Yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan. Dari jurusan sanad diperinci menajadi dua
bagian:
1. terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilannya maupun
kehafalannya, seperti : dusta, tertuduh dusta, fasik, banyak salah, lengah dalam
menghafal, banyak waham, menyalahi orang kepercayaan, tidak diketahui
identitasnya, penganut bid’ah dan tidak baik hafalannya.
2.  tidak bersambungnya sanad, dikarenakan adanya seorang rawi atau lebih, yang
digugurkan atau saling tidak bertemunya satu dengan yang lainnya.
           Sebab-sebab tertolaknya hadis karena sanad digugurkan (tidak bersambung):
a. Kalau yang digugurkan itu sanad pertama
b. Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (sahabat)
c.  Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut5
4
Al-Albani, 1986: 451; Yaqub, 2003: 2; Al-‘Ajluni, 1421 H, I: 154).
5
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Bandung, PT. Alma Arif, 1974, hal 167-168
c
Dari jurusan matan, hadis dhaif yang disebabkan suatu sifat yang terdapat pada matan
ialah:
a. Hadis maufuq ilah hadis yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan maupun ketetapan baik sanadnya bersambung atau tidak, dengan syarat
sunyi dari tanda-tanda marfu’. Kalau tidak sunyi maka hukumnya marfu’. Seperti
riwayat Bukhari :” adalah Ibnu Umar dan Ibnu Abbas keduanya berbuka puasa dan
meringkas shalat pada perjalanan empat burad (12 mil)
b. Hadis maqthu ialah hadis yang disandarkan kepada tabiin dan orang-orang yang
datang sesudahnya, baik berupa perkataan, perbuatan maupu ketetapan, baik sanadnya
bersambung atau tidak, tetapi dengan syarat sunyi dari tanda-tanda marfu’ dan
mauquf. Contohnya : perkataan tabiin”berbuat demikian”.6
Contoh hadis dhaif
‫من قا م ليلتي العيد ين محتسبا هللا لم يمت قلبه يو م تمو ت‬
Arinya: Barang siapa menyamarakkan malam dua hari raya hanya semata-mata
mengharap ridha Allah, maka hatinya tidak akan mati di hari ketika manusia mati.
Hadis ini sangat dhaif. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Majah dengan sanad dari buqayah
bin al-walid, dari Tsur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan, dari Abu Umamlah r.a, sanad
riwayat ini dhaif dikarenakan Buqayah dikenal sebagai orang yang suka mencampur adukkan
perawi, dengan demikian yang dinyatakan al-Hafizh al-Iraqi dalam Tahrij al-Ihya-nya.

c. Hukum Periwayatan Hadis Dhaif


Ulama hadis mengingatkan agar orang yang meriwayatkan hadis dhaif  tanpa sanad
tidak meriwayatkan dengan redaksi yang menunjukkan kemantapan penuh bahwa ia
merupakan hadis. Sehingga ia tidak diperkenankan mengatakan: Rasulullah SAW.
Menyabdakan begini-begini”dan sejenisnya. Bahkan Ia harus meriwayatkan dengan redaksi
yang menujukkan keraguan akan keshahihannya misalnya; ruwiya (diriwayatkan) ja’a
(datang), nuqila (di pindahkan), fima yurwa. (pada sesuatu yang diriwayatkan) dan
sejenisnya. Adapun meriwayatkan hadis-hadis dhaif lengkap dengan sanadnya tidak di
makruhkan menggunakan redaksi yng menunjukkan kemantapan, bila diriwayatkan kepada
ahli ilmu.       Bila diriwayatkan kepada orang awam, maka menggunakan redaksi yang tidak
menunjukkan kemantapan penuh, sama seperti ketika meriwayatkan tanpa sanad. Para ulama
memperbolehkan meriwayatkan hadis dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya
dengan dua syarat:
1. Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah

6
Hafid Hasan al-Mas’udi, Ilmu Musthalah Hadis, Surabaya, Al Hikmah, hal 24-25
d
2. Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, Tetapi
berkaitan dengan masalahh mau’izhah, targhib watarhib (hadis-hadis tentang
ancaman dan janji), kisah-kisah dan lain-lain.

Berbeda dengan meriwayatkan hadits shahih, harus menggunakan kata aktif yang
meyakinkan Rasulullah SAW bersabda…….. makruh meriwayatkan dengan menggunakan
bentuk kata pasif seperti hadis dhaif. Kecuali jika hadis dhaif diriwayatkan dengan
menyebutkan sanad, sebaiknya dengan menggunakan bentuk kata aktif dan meyakinkan
ketika dikonsumsi oleh kalangan ahli ilmu dan untuk kalangan orang umum boleh dengan
menggunakan bentuk pasif tidak sebagaimana tanpa sanad.7
1. Hukum pengamalan hadis dhaif
Para ulama berbeda pendapat dalam pengamalan hadis dhaif. Perbedaan itu dapat
dibagi menjadi tiga pendapat yaitu:
a. Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak baik mengenai fadhilah amal
maupun dalam hukum. Ini diceritakan oleh Ibnu Sayyid an-nas dari Yahya
bin Ma’in dan pendapat inilah yang dipilih Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-
Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazam
b.  Hadis dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhilah al-amal atau
dalam masalah hukum (ahkam). Pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad. Mereka
berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari pada pendapat ulama.
c.  Hadis dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-amal, mau’izah, targhib (janiji-janji
yang menggemparkan) dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi
beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani
yaitu sebagai berikut:
1. Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadis mawdhu’) atu
dituduh dusta (hadis matruk), orang yang daya ingat hapalannya sangat kurang
dan berlaku fasik dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadis munkar)
2. Masuk kedalam kategori hadis yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadis
muhkan (hadis maqbul yang tidak terjadi pertentangan dengan hadis lain), nasikh
(hadis yang membatalkan hukum pada hdis sebelumnya) dan rajah (hadis yang
lebih unggul dibandingkan oposisinya)
3. Tidak diyakinkan secara unggul yakin kebenaran hadis dari nabi, tetapi karena
berhati-hati semata atau ikhtiyath.

Hadis-hadis dha’if banyak terdapat pada sebagian karya berikut ini:


a. Ketiga mu;jani at-thabari- al-kabir, al-awsat, as-shaghir

7
 Ulumul hadis, Op. cit. hal 164
e
b. Kitab al-afrad, karya ad-daruquthni. Didalam hadis-hadis afrad terdapat hadis-
hadis al-fardu al-muthlaq dan al-frdu an-nisb
c.  Kumpulan karya al-khathib al-baghdadi
d. Kitab hilyatul auliya ‘wa-thbaqtul ashfiya’kary abu nu’aim al-ashbahani.8

E. Kedudukan Hadist Maudhu’

Jumhur ahli hadis juga berpendapat, bahwa berdusta termasuk dosa besar. Semua ahli
hadis menolak khabar pendusta. Bahkan Syeikh Abu Muhammad al-juwainiy mengkafirkan
pemalsu hadis. Semua hadis maudhu bathil lagi tertolak dan tidak bisa dijadikan pegangan,
karena merupakan kedustan atas diri rasul SAW.
Disamping sepakat mengenai keharaman membuat hadis palsu, ulama juga
sepakat  mengenai keharaman meriwayatknnya, tanpa menjelaskan kemaudhuannya dan
kedustaannya. Mereka tidak memperbolehkan meriwayatkan sedikit pun hadis palsu, baik
berkenaan dengan kisah, tarhib, targthib, hukum-hukum ataupun tidak, berdasarkan
sabda Rasulullah SAW
‫من احذث عني بحد ير انه كذب فهواحدالكاذبين‬

Artinya:” Barang siapa yang meriwayatkan dariku sebuah hadis dan terlihat bahwa hadis
itu dusta, maka Ia juga termasuk satu diantara para pendusta”.

1. Tanda-tanda Hadist Maudhu’

Hadis maudhu dapat diketahui melalui tanda-tandanya baik yang ada pada sanad maupun
pada matan. Tanda-tanda maudhu pada sanad, diantaranya sebagai berikut:

a.  Pengkuan dari ornag yang membuat sendiri

Sebagaimana pengakuan abdul Karim bin Abu Al-Auja ketika akan dihukum mati ia
mengatakan: “ demi Allah aku palsukan padamu 4000 buah hadis. Di dalamnya aku
haramkan yang halal dan aku halalkan yang haram”. Kemudian dihukum pancung lehernya
atas instruksi Muhammad bin Sulaiman bin Ali gubernur Basrah (160-173 H). Maysarah
bin Abdi Rabbih al-Farisi mengaku banyak membuat hadis maudhu lebih dari 70 hadis.
Demikian Abu Ishmah bin Maryam yang bergelar Nuh Al-Jami mengaku banyak membuat
hadis maudhu yang disandarkan kepada abbas tentang keutamaan al-quran.

b. Adanya bukti (qarinah) mengenai pengakuan

8
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Jakarta, Pustaka Al kausar, 2004, hal 132
f
Seperti seorang yang meriwayatkan hadis dengan ungkapan yang mantap serta
meyakinkan (jazam) dari seorang syeikh padahal dalam sejarah ia tidak pernah bertemu atau
dari seorang syeikh di suatu negeri yang ia tidak pernah ke sana atau seorang syeikh yang
telah wafat sementara ia masih kecil atau belum lahir.
          Ma’mun bin ahmad al-kharawi mengaku mendengar hadis dari Hisyam bin Hammar.
Al-hafizh bin Hibban bertanya:’ kapan anda datang ke syam?”, Ma’mun menjwab: “ pada
tahun 250 H. “ Ibnu Hibban menjelaskan bahwa Hisyam bin Amar meninggal pada tahun 245
H. sambut Ma’mun :” Hisyam bin Amar yang lain. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan
bahwa ia tidak pernah bertemu dengan Hisyam bin Amar.

c.  Adanya bukti pada perawi


Adanya indikasi pada perawi yang menujukkan akan kepalsuannya, misalnya seorang
perawi yang rafidhah dan hadisnya berisikan tentang keutamaan ahlul baith.

d.  Kedustaan perawi
Seorang perawi yang dikenal dusta meriwayatkan suatu hadis sendirian dan tidak ada
seorang tsiqah yang meriwayatkannya.

2. Tanda-tanda maudhu pada matan


a. Lemah susunan lafal dan maknanya
Dari segi maknanya, maka hadis itu bertentangan dengan al-quran, hadis, dengan ijma
dan logika yang sehat. Secara logis tidak di benarkan bahwa ungkapan itu datang dari Rasul.
Banyak hadis-hadis panjang yang lemah susunan bahasa dan maknanya. Seorang yang
memiliki ketajaman dalam memahami hadis dari Nabi atau bukan hadis maudhu ini bukan
bahasa Nabi yang mengandung sastra (fashahah), karena sangat rusak susunanya, Ar-Rabi’
bin  Khats yang berkata: sesungguhnya hadis itu bercahaya seperti cahaya kami mengenalnya
dan memilki kegelapan bagaikan gelap malam kami menolaknya.

Hadis palsu jika diriwayatkan secara eksplisit  bahwa ini lafal dari Nabi dapat
terdeteksi oleh pakar yang dalam bidangnya sehingga tercium bahwa ini hadis yang
sesungguhnya dan hadis palsu. Jika tidak dinyatakan secara eksplisit, menurut Hajar al-
Asqalani, hadis itu dikembalikan kepada maknanya yang rusak, karena bisa jadi ia
beralasan Riwayah Abi Al-Ma’na atau tidak bisa menyusunnya secara baik

b.  Rusak maknanya

g
Maksud rusak maknanya karena bertentangan dengan rasio yang sehat, menyalahi
kaidah kesehatan, mendorong pelampiasan biologis seks dan lain-lain dan tidak bisa
ditakwilkan.
Contoh:
‫النظرال الوجه الحسن يجاوالبصر والنظرال الوجه القبيح يورث الكا ح‬
Artinya:” Memandang wajah yang cantik dapat menerangkan mata, memandang wajah yang
jelek dapat menyebabkan sedih”.[14]

c. Bertentangan teks Al-Qur’an atau hadis mutawatir


Contoh yang bertentangan dengan Al-Quran adalah tentang jangka usia dunia, yaitu
tujuh ribu tahun. Ini jelas tidak shahih, tentu semau orang akan mengerti kapan kiamat tiba.
Padahal Allah Azza Wa Jalla berfirman:
Artinya:”Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?"
Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku;
tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat
berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang
kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu
benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat
itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui".(QS. Al-Araf:187)

Contoh hadis maudhu yang bertentangan dengan hadis mutawatir:


‫وان كل من يسمي بهذه السماء (محمدواحمد)آليدخل انار‬
Artinya:” Bahwa setiap orang dinamakan dengan nama-nama (Muhammd Ahmad dan
semisalnya) ini, tidak akan dimaksukkan ke neraka.”
Contoh hadis palsu yang bertentangan dengan hadis shahih adalah hadis-hadis tentang
pujian terhadap prang yang namanya Muhammad atau Ahmad dan bahwa orang-orang yang
namanya seperti itu tidak akan masuk neraka. Jadi hadis tersebut jelas bertentangan dengan
ajaran agama, bahwa neraka tidak akan terpengaruh oleh nama-nama tertentu. untuk selamat
darinya hanya bisa dilakukam dengan beriman dan beramal shaleh.
Setiap hadis yang meriwayatkan Ali adalah shahih yang menyatakan wasiat khalifah ada pada
Ali r.a. tidaklah shahih. Karena ia bertentangan dengan ijma’ ulama, bahwa nabi SAW tidak
menegaskan siapa yang akan mengganti beliau.

d. Menyalahi realita sejarah


Misalnya hadis yang menjelaskan bahwa Nabi memungut jizyah (pajak) para penuduk
khaibar dengan di saksikan oleh Sa’ad bin Mu’ads padahal Sa’ad telah meninggal pada masa
perang khandaq sebelum kejadian tersebut.

h
e.  Hadis sesuai dengan mazhab perawi
misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh Habbah bin Juwaihi, ia berkata: saya
mendengar Ali berkata
‫عبدت هللا مع ر سوله قبل ان يعبده ااحدمن هذه اال مة خمس سنين اوسبع سنين‬
artinya:” Aku menyembah Tuhan bersama Rasul-Nya sebelum menyembah-Nya seorang pun
dari umat ini lima atau tujuh tahun.”
         Hadis ini mengkultuskan Ali sesuai dengan prinsip madzhab syiah, tetapi
mengkultuskan itu juga tidak masuk akal, bagaimana Ali beribadah bersama rasul lima atau
tujuh tahun sebelum umat ini.

f. Mengandung pahala yang berlebih bagi amal yng kecil.


Biasanya motif pemalsuan hadis ini disampaikan para tukang kisah yang ingin
menarik perhatian para pendengarnya atau agar menarik pendengar agar melakukan amal
saleh. Tetapi memang tinggi dalam membesarkan suatu amal kecil dengan pahala yang
berlebihan. Misalnya:
‫من صل الضفي كذاوكذاركعة اعطي ثواب سبعين نبيا‬

Artinya:”Barang siapa yang sholat d ‫ا‬uha sekian rakaat diberi pahala 70 nabi.”

g. Sahabat dituduh menyembunyikan hadist


Sahabat dituduh menyembunyikan hadis dan tidak menayampaikan atau tidak
meriwayatkan kepada orang lain, padahal hadis itu secara transparan harus disampaikan Nabi
SAW, misalnya, nabi memegang tangan Ali bin Abi Thalib di hadapan para sahabat semua,
kemudian bersabda: ini wasiatku dan saudaraku dan khalifah setelah aku. Seandainya ini
benar wasiat dari Nabi SAW tentu banyak diantara para sahabat yang meriwayatkannya,
karena masalahnya adalah untuk kepentingan umum yakni kepemimpinan. Tidak mungkin
para sahabat diam tidak meriwayatkan jika hal itu terjadi benar pada diri Rasulullah.

3. Usaha para ulama dalam mengatasi hadis palsu

Ada beberapa usaha yang dilakukan para ulama dalam menanggulangi hadis maudhu,
dengan tujuan agar hadis tetap eksis terpelihara dan bersih dari pemalsuan tangan orang-
orang kotor. Disamping itu agar lebih jelas posisi hadis maudhu tidak tercampur dengan
hadis-hadis shahih. Diantara usaha-usaha itu adalah:

i
a. Memelihara sanad hadis
Dalam rangka memelihara sunnah siapa saja yang mengaku mendapat sunnah harus
disertai sanad. jika tidak disertai dengan sanad,maka suatu hadits tidak dapat di terima.
Abdullah bin Al-Mubarok berkata : yang mencari agamanya tanpa sanad bagaikan orang
yang naik loteng tanpa tangga.keharusan sanad dalam menerima hadis bukan pada orang-
orang khusus saja, bagi masyarakat umum pun pada saat itu mengharuskan menerimanya
dengan sanad. Hal ini mulai berkembang sejak masa tabi’in, hingga merupakan suatu
kewajiban bagi ahli hadis menerangkan sanad hadis yang ia riwayat kan.

b.  Meningkatkan kesungguhan penelitian


Sejak masa sahabat dan tabi’in, mereka telah mengadakan penelitian dan pemeriksaan
hadis yang mereka dengar dan yang mereka terima dari sesamanya. Jika hadis yang mereka
terima itu meragukan atau datang bukan  dari sahabat yang langsung terlibat dalam
permasalahan hadis, segera mereka melakukan rihlah (perjalanan) sekalipun dalam jarak jauh
untuk mengecek kebenarannya kepada para sahabat senior atau yang terlibat dalam kejadian
hadis.
Hasilnya mereka bukukan dalam berbagai buku hadis seperti buku hadis induk enam
atau tujuh. Imam syafie menulis ar-risalah dan al-umm yang memuat ulumul hadis, at-
tirmidzi dalam akhir kitab jami-nya.9

c.  Mengisolir para pendusta hadis


Para ulama berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Orang-orang yang
dikenal sebagai pendusta hadis dijauhi dan masyarakat pun di jauhkan dari padanya. Semua
ahli hadis juga menyampaikan hadis-hadis maudhu dan pembuatnya itu kepada murid-
muridnya, agar mereka menjauhi dan tidak meriwayatkan hadis dari padanya. Diantara para
ulama yang dkenal menentang para maudhu adalah Amir Asy-Sya’bi,Syu’bah bin Al-Hajj,
Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Mubarak, dll

d. Menerangkan keadaan para perawi


Para ahli hadis berusaha menelusuri sejarah kehidupan baik mulai dari lahir hingga
wafat atau pun dari segi-segi sifat-sifat para perawi hadis, dari yang jujur, adil, dan andalnya
ingatannya dan sebaliknya. Sehingga dapat dibedakan mana hadis shahih dan mana hadis
yang palsu. Hasilnya mereka himpun dalam buku Rijal Al-Hadis dan Al-Jarrh wa At-Ta’dil
sehingga oleh generasi berikutnya.

e. Memberikan kaidah-kaidah hadis

9
Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Op.Cit hal 172
j
Para ulama meletakkan dasar-dasar secara metodelogis tentang penelitian hadis untuk
menganalisa otensitasnya sehingga dapat diketahui mana shahih, hasan, dhaif dan maudhu.
Kaidah-kidah itu dijadikan standar penilaian suatu hadis menurut criteria sebagai hadis yang
diterima atau ditolak.

4.  Para pendusta dan kitab-kitab hadis maudhu’

  Diantara pendusta hadis yang diketahui setelah melakukan penelitian yang dilakukan
para ulama adalah sebagai berikut:
a. Aban bin Jafar Al-Numaiqi, membuat 300 hadis yang disandarkan kepada abu
hanifah
b. Ibrhim bin Zaid Al-Aslami, membuat hadis disandarkan dari malik
c.  Ahmad bin Abdullah Al-Juwaini, yang membuat beribu-ribu hadis kepentingan
al-karramiyah
d. Jabir bin Zaid Al-Juafi, membuat 30.000 hadis
e.  Nuh bin Abu Maryam membuat hadis maudhu tentang fadhail surah-surah dalam
Al-Quran
f. Muhammad bin Syuja Al-Wasithi, Al-Harits bin Said Al-Mashlub, Al-Waqidi
Muqatil bin sulaiman, Muhammad bin Saad Al-Mashlub, Al-Waqidi dan Ibnu
Abu Yahya.

Diantara kitab-kitab yang memuat hadis maudhu adalah sebagai berikut:


1. Tadzkirah al-maudhuat, karya Abu al-Fadhal Muhammad bin Thahir al-Maqdisi (448-
507 H) didalam kitab ini disebutkan nama perawi yang dinilai cacat (tarjih)
2. Al-Maudhu’at al-Kubra, karya Abu al-Faraj Abdurrahman al-Jauzi (508-597)
3. Al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-Maudhu’ah, karya Jalaluddin as-Suyuti (849-911 H)
4. Al-ba’its ‘ala al-Khalash Min Hawadits al-Qashash, karya Zainuddin Abdurahman al-
Iaraqi(725-806 H)
5. Al-fawa’id al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Mawdhu’ah, karya al-Qadhi Abu Abdullah
Muhammad Asy-Syaukani (1173-1255 H)

F.  Latar Belakang Kemunculan Hadits Maudhu’


Kemunculan hadits maudhu’ dilatarbelakangi oleh berbagai motivasi, di antaranya:
1. Motivasi kepentingan politik dan kekuasaan
Berawal pada masa kekacauan, pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, yaitu
pada perang shiffin. Contoh:
‫لكل أمة فرعون و فرعون هذه األمة معاوية‬

k
“setiap umat ada fir’aunnya. Fir’aunnya umat ini adalah Muawiyah.

2. Motivasi mengeruhkan dan merusak kemurnian ajaran agama


Seperti sebuah hadits yang dibuat oleh kaum zindik, contohnya:
‫انا خاتم النبيين ال نبي بعدي اال أن يشاء هللا‬
“saya adalah penutup para nabi, tidak ada lagi nabi setelahku kecuali kalau Allah
menghendaki”.
Kalimat ‘kecuali kalau Allah menghendaki’ ditambahkan oleh Muhammad ibn Sa’id, seorang
pendusta yang kemudian dieksekusi di tiang gantungan oleh Khalifah Al-Mansur di hadapan
para kaum zindik.

3. Motivasi membangkitkan semangat beribadah dan mendekatkan diri kepada


Allah SWT.
Ini dilakukan dalam rangka mendorong agar rajin beribadah dan berbuat kebaikan
serrta menjauhi kejahatan. Misalnya, agar umat kembali kepada al-Quran dan rajin
membacanya.
Nuh ibn Abi Maryam telah membuat hadits-hadits mengenai keutamaan membaca beberapa
surat tertentu dalam al-Quran. Ketika ditanya mengapa membuat hadits-hadits seperti itu, ia
menjawab: “saya melihat orang-orang sudah berpaling dari al-Quran. Mereka hanya sibuk
belajar fiqh Abu Hanifah dan sejarah Muhammad ibn Ishak”. Contohnya tentang kautamaan
membaca surah yasin;
‫ه‬UU‫ربها ادخلت جوف‬UU‫ا و ش‬UU‫ة و من كتبه‬UU‫رين حج‬UU‫ه عش‬UU‫من سمع سورة يس عدلت له عشرين دينارا فى سبيل هللا و من قرأها عدلت ل‬
‫الف يقين و الف نور و الف بركة و الف رحمة و الف رزق و نزعت منه كل غل‬

“Barangsiapa mendengarkan bacaan surah yasin, maka senilai dengan menyumbangkan 20


dinar ke jalan Allah, barangsiapa yang membaca surah yasin senilai dengan pergi haki 20
kali, barang siapa menulisnya dan meminumnya, maka akan dimasukkan ke dalam mulutnya
1000 keyakinan dan 1000 cahaya, 1000 berkah, 1000 rahmat dan 1000 rezeki, dan
dikeluarkan dari dalam tubuhnya segala macam penyakit”.

4. Motivasi menarik simpati dengan cara membuat kisah-kisah menarik para


pendengar
Dalam sebuah riwayat dari Anas ibn Malik disebutkan bahwa seorang perempuan
diberitahu bahwa ayahnya sedang sakit menjelang akhir hayatnya. Ia meminta izin kepada
suaminya untuk mengunjungi ayahnya, namun suaminya melarang. Ketika ayahnya
meninggal dunia isteri tersebut meimnta izin lagi kepada suaminya untuk melayat dan
berkumpul bersama keluarganya ketika jenazah ayahnya diantar ke pemakaman, namun

l
suaminya tetap melarangnya. Akhirnya isteri tersebut datang kepada Nabi SAW.
mengadukan apa yang dialami dan perlakuan suaminya. Mendengar pengaduan isteri
tersebut, Nabi SAW. bersabda: “sungguh Allah telah mengampuni ayahmu disebabkan
engkau mematuhi perintah suamimu.
Riwayat ini bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang sangat mengedepankan
hubungan silaturrahim terutama kepada orang tua. Tidak mungkin Nabi SAW. merestui
perbuatan yang memutuskan hubungan silaturrahim.

5. Motivasi kepentingan pribadi dan duniawi


Dalam rangka mendapatkan fasilitas duniawi sehingga mengadakan pendekatan
kepada pihak pemerintah. Misalnya Ghiyat ibn Ibrahim yang datang menghadap kepada
khalifah al-Mahdi (khalifah yang senang burung merpati dan suka bermain dengannya).
Ketika itu ada seekor burung dihadapannya, datanglah Ghiyat mengatakan seorang telah
meriwayatkan kepadaku, katanya telah meriwayatkan kepada bahwa Rasulullah SAW.
bersabda:
‫ال سبق اال فى نصل أو خف أو حافر أو جناح‬
“tidak ada perlombaan kecuali lomba panahan, lomba lari unta, lari kuda atau lomba burung”.
Kata ‘lomba burung’ merupakan tambahan Ghiyats ke dalam hadits tersebut. Dengan
usahanya membuat hadits maudhu’ dengan cara menambahkan satu kata sehingga ia
mendapat  uang 10.000 dirham dari khalifah.

G. Ciri-ciri Hadits Maudhu’


Para ulama muhadditsin, disamping membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui
shahih, hasan atau dha’ifnya suatu hadits, mereka juga menentukan ciri-ciri untuk
mengetahui ke-maudhu’-an suatu hadits.
Ke-maudhu’-an suatu hadits dapat dilihat dari ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matan.
1. Ciri-ciri yang terdapat pada Sanad, antara lain:
a. Pengakuan dari si pembuat sendiri
Seorang guru tasawuf misalnya, meriwayatkan hadits-hadits tentang keutamaan ayat-
ayat tertentu, ketika ditanya oleh Ibnu Ismail Al-Imam Al-Bukhari tentang hadits-hadits yang
dia riwayatkan itu ia berkata dengan terus terang:
‫لَم يُحدّثنى أحد ولكن رأينا الناس قد رغبوا عن القرأن فوضعنا هذا الحديث‬
"Tidak satupun yang meriwayatkan hadits kepadaku, akan tetapi serentak kami melihat
manusia-manusia membenci Al-Quran. Kami ciptakan untuk mereka hadits ini (keutamaan
ayat-ayat Al-Quran), agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Quran".

m
Karena menjadi kewajiban kita sebagai kaum terpelajar untuk melacak hadits-hadits
tentang keutamaan beberapa surat atau ayat-ayat Al-Qur'an dengan tetap berpedoman kepada
para alim yang dianugerahi Allah pemahaman. Misalnya:
ْ َ‫َمنْ قَ َرأَ يَس فِ ْي لَ ْيلَ ٍة أ‬
ُ‫ َم ْغفُ ْو ًرا لَه‬ ‫صبَ َح‬
"Barangsiapa yang membaca surat Yaasiin dalam satu malam, maka ketika ia bangun
pagi hari diampuni dosanya.” (Riwayat Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (I/247).

Imam Ibnul Jauzi berkata: Hadits ini dari semua jalannya adalah bathil, tidak ada asalnya.
Imam Daraquthni berkata: “Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini adalah
tukang memalsukan hadits.” 
b. Qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits maudhu'
Misalnya seorang rawi mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak
pernah bertemu dengan guru tersebut, atau menerima hadits dari seorang guru yang telah
meninggal dunia sebelum ia dilahirkan.
c. Adanya qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya
Seperti juga kisah Giyats bin Ibrahim An-Nakh'i  Al-Kufi dengan Amir Mukminin
Al-Mahdi, ketika masuk ke ruangan  Amirul Mukminin dan menjumpai Al-Mahdi tengah
bermain-main dengan burung merpati. Maka ia menambahkan perkataan dalam hadits yang
disandarkan kepada Nabi, bahwa beliau bersabda:
ٍ َ‫ص ٍل أَ ْو ُخفٍّ أَ ْو َحافِ ٍر أَ ْو ُجن‬
‫اح‬ ْ َ‫في ن‬
ِ َّ‫ق إِال‬ َ َ‫ال‬
َ َ‫سب‬
"Tidak ada perlombaan kecuali bermain pedang, pacuan, menggali atau sayap."  
Ia menambahkan kata sayap (junah), yang dilakukan  untuk menyenangkan Al Mahdi,
lalu Al Mahdi memberinya sepuluh dirham. Setelah berpaling, Sang Amir berkata:"Aku
bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah shalallahu 'alaihi
wasallam.  Kemudian  Al-Mahdi menyuruh untuk menyembelih burung merpati itu. Tingkah
laku Ghiyats semacam ini menjadi qarinah untuk menetapkan ke-maudhu'-an hadits.

H.  Mengamalkan dan Menyampaikan Hadits Dha’if dan Hadits Palsu


Dalam kajian ilmu hadits, hadits dha’if dan hadits palsu dilihat dari sisi
kehujjahannya termasuk kategori hadits mardud (tertolak). Hadits palsu tertolak secara pasti
dan meyakinkan. Berbeda dengan hadits dha’if yang ringan, ada kemungkinan diterima
dengan kriteria tertentu.
Dalam konteks ini, para ulama hadits berbeda pendapat, yaitu:
1. Hadits dha’if tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik berkaitan dengna hukum
halal dan haram maupun fadhail al-a’mal (keutamaan amal). Pendapat ini didukung
oleh Ibnu Sayyid an-Nas, Abu Bakar ibn al-‘Arabi. Imam Bukhari dan Muslim juga
berpendapat demikian, keduanya tidak meriwayatkan hadits dha’if.

n
2.  Hadits dha’if boleh diamalkan secara mutlak. Pendapat ini disampaikan oleh Imam
Ahmad ibn Hambal dan Abu Daud. Hadist dha’if yang boleh diamalkan seperti yang
dimaksud boleh jadi dalam konteks sekarang adalah hadits hasan, baik hasan
lighairihi maupun lidzatihi.
3. Boleh mengamalkan hadits dha’if dalam hal fadhail al-‘amal dengan syarat-syarat
tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan al-Hafizh ibn Hajar (852 H/1449 M), yang
dikutip oleh Nurdin ‘Itr, yaitu:
a. Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadits yang tidak terlalu dha’if , tidak bisa
diamalkan hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang pendusta atau orang yang
banyak salah.
b. Hadits dha’if itu berada di bawah suatu dalil yang umum, sehingga tidak dapat
diamalkan hadits dha’if yang sama sekali tidak memiliki dalil pokok.
Sedangkan hadits dha’if yang berat, seperti hadits maudhu’, matruk, munkar dan
sejenisnya tidak boleh diriwayatkan.

BAB III

o
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadits dha’if pada dasarnya adalah hadits yang mardud (tertolak). Namun ada
beberapa hal yang menjadikan sebagian dari hadits dha’if tersebut bisa diterima, yaitu
dikarenakan hadits tersebut tergolong dalam hadits dha’if yang ringan seperti mu’allaq,
munqathi’, mu’dhal mursal dan yang sejenisnya.
Adapun hadits dha’if yang tertolak adalah hadits dha’if berat seperti hadits maudhu’,
munkar, matruk dan sejenisnya.

B.  Saran
Dari apa yang telah dibahas dan dijelaskan dalam makalah ini, tentunya masih
terdapat keurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih
kepada dosen pengampu mata kuliah ini, memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis
makalah ini juga kepada saudara-saudara yang sedang mendalami disiplin ilmu ulumul hadits
ini.

p
DAFTAR PUSTAKA

Wajidi Sayadi. 2009. Pengantar Studi Hadis. Pontianak: Pustaka Abuya


Agus Solahuddin dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka setia
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 1997. Sisilah hadis Dha’if dan Maudhu. Jakarta:
Gema Insani Press
Al-khatib, Muhammad Ajaj. 1998. Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits.
Jakarta: dar al-al-mas’udi, hafid hasan. Ilmu Musthalah Hadis. Surabaya: Al-Hikmah
Al-qaththan, syaikh manna. 2004. Pengantar Studi Ilmu Hadis. Jakarta : pustaka Al-
Kautsar
Al-adlabi, Shalahudin ibn Ahmad. 2004. Kritik Metodologi Matan Hadis. Jakarta:
Gaya Media Pratama.
Azami, M. Mustafa. 1996. Metedologi Kritik Hadis. Bandung: Pustaka Hidayah Fikr
Ismail, H.M. Syuhudi. 1995. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengikar, dan
Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press
Khon, H. Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta:Amza
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalahul hadis. Bandung:PT. Al Ma’arif
Yunus, H. Mahmud.1986. Terjemah Al-Qur’an Karim. Bandung: Pt Al-Ma’ari
Agus Solahudin. Ulumul Hadist. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Kasman. Hadist Dalam Pandangan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Mitra
Pustaka. 2012.
Nurrudin, Ulumul Hadis.PT Remaja Rosdakarya Bandung. Cetakan pertama. 2012

Anda mungkin juga menyukai