BAHASA INDONESIA
KONVENSI NASKAH
Fauza Nella
Gustri Maulida
Khairul Munawar
Muhammad Taufik
Dosen pengampu:
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Konvensi Naskah” dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia. Selain itu, makalah
ini bertujuan menambah wawasan tentang Konvensi Naskah bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Pemakalah
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya. Namun pada kasus ini, tidak semua
hadits yang disandarkan kepada Nabi adalah benar. Kadang adanya sebuah penambahan pada
matan, kecacatan pada rawi, terputusnya sanad dan berbagai bentuk ketidakbenaran lainnya.
Dari kasus seperti ini, maka diadakanlah kodifikasi hadits atau pembukuan hadits secara
rinci yang membagi tingkatan-tingkatan hadits dari keshahihannya sampai kedhaifannya.
Pada makalah ini akan dibahas tentang hadits dhaif. Di mana hadits dhaif ini adalah
salah satu tingkatan hadits yang menjadi sasaran penting untuk dipelajari dalam disiplin ilmu
hadits.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Itu hadist dhoi’if dan hadist maudhu’
2. Apa saja yang terkandung dalam hadis dho’if dan hadist maudhu’?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui lebih detail tentang hadist
maudhu’ dan hadist mungkar.
ii
BAB II
PEMBAHASAN
Hadits dha’if adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat
hadits shohih atau hadits hasan.
الحديث الضعيف هو ما لم يجتمع فيه صفات الصحيح و ال صفات الحسن
Artinya: “hadits dha’if ialah hadits yang tidah memenuhi kriteria hadits shahih dan hadits
hasan1
Dha’if itu artinya lemah. Hadits dha’if artinya hadits yang lemah, maksudnya hadits
tersebut tidak kuat dijadikan landasan dan sandaran dalam menetapkan masalah hukum halal
dan haram. Hadits dinilai dha’if bukanlah karena Nabi SAW. akan tetapi disebabkan oleh
para periwayat dalam sanadnya yang terlibat dalam proses periwayatannya.
1
Dr. H. Wajidi Sayadi, M.Ag, Pengantar Studi Hadits, Pontianak: Pustaka Abuya. Hal 67.
2
Dr. H. Wajidi Sayadi, M.Ag, Pengantar Studi Hadits, Pontianak: Pustaka Abuya. Hal 69.
a
3. Ke-dhabith-an periwayatnya buruk, misalnya banyak bimbang dan ragu-ragu, atau
hafalan buruk
4. Tidak jelas ke-‘adil-an periwayatnya, misalnya mubham, majhul al-‘ain, dan al-
mastur.
Contohnya:
شبابك قبل هرمك و صحتك قبل سقمك و غناك قبل فقرك و فراغك قبل شغلك و حياتك قبل موتك: اغتنم خمسا قبل خمس
“perhatikanlah lima sebelum datang yang lima; mudamu sebelum tua, masa sehatmu sebelum
sakit, masa kayamu sebelum miskin, masa luangmu sebelum sbuk, dan masa hidupmu
sebelum meninggal”.
1. Hadits ini diriwayatkan Tirmidzi, Baihaqi, Ahmad, bersumber dari ‘Amr bin Maimun
adalah dha’if, yaitu mursal. Hanya saja dha’ifnya ringan karena sanadnya tidak
bersambung.
2. Hadits tersebut selain bersumber dari ‘Amr bin Maimun juga bersumber dari Ibnu
Abbas. Hakim dan Nasai meriwayatkan melalui jalur Ibnu Abbas. Melalui sanad ini,
kualitasnya shahih.
3. Oleh karena itu hadits dha’if ringan yang diriwayatkan Tirmidzi, Baihaqi dan Ahmad
tersebut berubah kualitasnya menjadi hadits hasan.
4. Hadits dha’if berat. Maksudnya adalah hadits dha’if yang kedha’ifannya bersifat
paten, tidak berubah kualitasnya walau sebanyak apa pun hadits shahih lainnya yang
semakna dan mendukungnya. Hadits dha’if yang paling parah atau kelas berat adalah
hadits maudhu’ atau hadits palsu. Hadits dha’if berat tidak dapat berubah kualitasnya
disebabkan kualitas moral periwayatnya cacat, seperti dusta, tertuduh dusta, fasik,
atau hapalannya rusak atau kacau (ikhtilath). Hadits dha’if yang diriwayatkan oleh
periwayat seperti ini disebut hadits yang sangat dha’if, seperti hadits maudhu’, hadits
munkar dan hadits matruk.
Contoh:
اطلبوا العلم ولو بالصين
“Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina”.
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa riwayat, di antaranya Ibn ‘Adiy (356 H) dalam
bukunya Al-Kamil fi Dhu’afa’ Ar-Rijal, Abu Nu’aim (450 H) dalam bukunya Akhbar Al-
Ashbihan, Al-Katib Al-Baghdadiy (463 H) dalam bukunya Tarikh Baghdad dan Ar-Rihlah fi
Thalab Jami’ Bayan Al-‘Ilm wa Fadhlihi3 dan lainnya.
1. Dilihat dari sisi sumber sanadnya, hadits ini melalui al-Hasan ibn ‘Atiyah dari Abu
‘Atikah Tarif ibn Sulaiman dari Anas ibn Malik. Kualitas hadits ini dinilai oleh para
ulama hadits sebagai hadits dha’if. Kedha’ifan hadits ini disebabkan salah seorang
3
Al-Albani, 1986: 450; Yaqub, 2003: 2; Al-Malibary, t.th: 7; Al-‘Ajluni, 1421 H, I: 154.
b
periwayatnya dalam sanadnya bernama Abu ‘Atikah Tarif ibn Sulaiman. Abu ‘Atikah
dinilai oleh kritikus hadits seperti al-‘Uqaili sebagai matruk (tertolak).
2. Bukhari menilai bahwa haditsnya munkar. An-Nasai menilai haditsnya tidak kuat.
Abu Hatim menilai, haditsnya dzahib (dibuang). Kata as-Sulaimani, Abu ‘Atikan
dikenal pernah memalsukan hadits. Ahmad ibn Hambal (243 H) tidak mengakui
hadits tersebut. Ibn Hibban (354 H/965 M) menilai hadits ini bathil, tidak ada dasar
dan sumbernya. Bahkan Ibn Al-Jauzi dalam bukunya koleksi hadits-hadits palsu al-
maudhu’at, menilai bahwa hadits tersebut adalah palsu4
C. Pengertian Hadist Maudhu’
Ditinjau dari sisi bahasa, hadits maudhu’ merupakan bentuk isim maf’ul dari kata – وضع
يضغ. Kata وضع memiliki beberapa makna, yaitu menggugurkan, meninggalkan dan mengada-
ada dan membuat-buat.
Menurut para muhadditsin, hadits maudhu’ adalah:
“Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Secara mengada-ada dan dusta, yang
tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan”.
Dari pengertian tersebut dapak kita simpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik perbuatan, perkataan maupun
taqrir, secara rekaan atau dusta semata-mata. Dalam penggunaan masyarakat Islam, hadits
maudhu’ disebut juga dengan hadits palsu.
D. Kedudukan Hadits Dhaif
Para muhadditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis dari dua jurusan.
Yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan. Dari jurusan sanad diperinci menajadi dua
bagian:
1. terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilannya maupun
kehafalannya, seperti : dusta, tertuduh dusta, fasik, banyak salah, lengah dalam
menghafal, banyak waham, menyalahi orang kepercayaan, tidak diketahui
identitasnya, penganut bid’ah dan tidak baik hafalannya.
2. tidak bersambungnya sanad, dikarenakan adanya seorang rawi atau lebih, yang
digugurkan atau saling tidak bertemunya satu dengan yang lainnya.
Sebab-sebab tertolaknya hadis karena sanad digugurkan (tidak bersambung):
a. Kalau yang digugurkan itu sanad pertama
b. Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (sahabat)
c. Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut5
4
Al-Albani, 1986: 451; Yaqub, 2003: 2; Al-‘Ajluni, 1421 H, I: 154).
5
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Bandung, PT. Alma Arif, 1974, hal 167-168
c
Dari jurusan matan, hadis dhaif yang disebabkan suatu sifat yang terdapat pada matan
ialah:
a. Hadis maufuq ilah hadis yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan maupun ketetapan baik sanadnya bersambung atau tidak, dengan syarat
sunyi dari tanda-tanda marfu’. Kalau tidak sunyi maka hukumnya marfu’. Seperti
riwayat Bukhari :” adalah Ibnu Umar dan Ibnu Abbas keduanya berbuka puasa dan
meringkas shalat pada perjalanan empat burad (12 mil)
b. Hadis maqthu ialah hadis yang disandarkan kepada tabiin dan orang-orang yang
datang sesudahnya, baik berupa perkataan, perbuatan maupu ketetapan, baik sanadnya
bersambung atau tidak, tetapi dengan syarat sunyi dari tanda-tanda marfu’ dan
mauquf. Contohnya : perkataan tabiin”berbuat demikian”.6
Contoh hadis dhaif
من قا م ليلتي العيد ين محتسبا هللا لم يمت قلبه يو م تمو ت
Arinya: Barang siapa menyamarakkan malam dua hari raya hanya semata-mata
mengharap ridha Allah, maka hatinya tidak akan mati di hari ketika manusia mati.
Hadis ini sangat dhaif. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Majah dengan sanad dari buqayah
bin al-walid, dari Tsur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan, dari Abu Umamlah r.a, sanad
riwayat ini dhaif dikarenakan Buqayah dikenal sebagai orang yang suka mencampur adukkan
perawi, dengan demikian yang dinyatakan al-Hafizh al-Iraqi dalam Tahrij al-Ihya-nya.
6
Hafid Hasan al-Mas’udi, Ilmu Musthalah Hadis, Surabaya, Al Hikmah, hal 24-25
d
2. Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, Tetapi
berkaitan dengan masalahh mau’izhah, targhib watarhib (hadis-hadis tentang
ancaman dan janji), kisah-kisah dan lain-lain.
Berbeda dengan meriwayatkan hadits shahih, harus menggunakan kata aktif yang
meyakinkan Rasulullah SAW bersabda…….. makruh meriwayatkan dengan menggunakan
bentuk kata pasif seperti hadis dhaif. Kecuali jika hadis dhaif diriwayatkan dengan
menyebutkan sanad, sebaiknya dengan menggunakan bentuk kata aktif dan meyakinkan
ketika dikonsumsi oleh kalangan ahli ilmu dan untuk kalangan orang umum boleh dengan
menggunakan bentuk pasif tidak sebagaimana tanpa sanad.7
1. Hukum pengamalan hadis dhaif
Para ulama berbeda pendapat dalam pengamalan hadis dhaif. Perbedaan itu dapat
dibagi menjadi tiga pendapat yaitu:
a. Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak baik mengenai fadhilah amal
maupun dalam hukum. Ini diceritakan oleh Ibnu Sayyid an-nas dari Yahya
bin Ma’in dan pendapat inilah yang dipilih Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-
Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazam
b. Hadis dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhilah al-amal atau
dalam masalah hukum (ahkam). Pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad. Mereka
berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari pada pendapat ulama.
c. Hadis dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-amal, mau’izah, targhib (janiji-janji
yang menggemparkan) dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi
beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani
yaitu sebagai berikut:
1. Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadis mawdhu’) atu
dituduh dusta (hadis matruk), orang yang daya ingat hapalannya sangat kurang
dan berlaku fasik dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadis munkar)
2. Masuk kedalam kategori hadis yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadis
muhkan (hadis maqbul yang tidak terjadi pertentangan dengan hadis lain), nasikh
(hadis yang membatalkan hukum pada hdis sebelumnya) dan rajah (hadis yang
lebih unggul dibandingkan oposisinya)
3. Tidak diyakinkan secara unggul yakin kebenaran hadis dari nabi, tetapi karena
berhati-hati semata atau ikhtiyath.
7
Ulumul hadis, Op. cit. hal 164
e
b. Kitab al-afrad, karya ad-daruquthni. Didalam hadis-hadis afrad terdapat hadis-
hadis al-fardu al-muthlaq dan al-frdu an-nisb
c. Kumpulan karya al-khathib al-baghdadi
d. Kitab hilyatul auliya ‘wa-thbaqtul ashfiya’kary abu nu’aim al-ashbahani.8
Jumhur ahli hadis juga berpendapat, bahwa berdusta termasuk dosa besar. Semua ahli
hadis menolak khabar pendusta. Bahkan Syeikh Abu Muhammad al-juwainiy mengkafirkan
pemalsu hadis. Semua hadis maudhu bathil lagi tertolak dan tidak bisa dijadikan pegangan,
karena merupakan kedustan atas diri rasul SAW.
Disamping sepakat mengenai keharaman membuat hadis palsu, ulama juga
sepakat mengenai keharaman meriwayatknnya, tanpa menjelaskan kemaudhuannya dan
kedustaannya. Mereka tidak memperbolehkan meriwayatkan sedikit pun hadis palsu, baik
berkenaan dengan kisah, tarhib, targthib, hukum-hukum ataupun tidak, berdasarkan
sabda Rasulullah SAW
من احذث عني بحد ير انه كذب فهواحدالكاذبين
Artinya:” Barang siapa yang meriwayatkan dariku sebuah hadis dan terlihat bahwa hadis
itu dusta, maka Ia juga termasuk satu diantara para pendusta”.
Hadis maudhu dapat diketahui melalui tanda-tandanya baik yang ada pada sanad maupun
pada matan. Tanda-tanda maudhu pada sanad, diantaranya sebagai berikut:
Sebagaimana pengakuan abdul Karim bin Abu Al-Auja ketika akan dihukum mati ia
mengatakan: “ demi Allah aku palsukan padamu 4000 buah hadis. Di dalamnya aku
haramkan yang halal dan aku halalkan yang haram”. Kemudian dihukum pancung lehernya
atas instruksi Muhammad bin Sulaiman bin Ali gubernur Basrah (160-173 H). Maysarah
bin Abdi Rabbih al-Farisi mengaku banyak membuat hadis maudhu lebih dari 70 hadis.
Demikian Abu Ishmah bin Maryam yang bergelar Nuh Al-Jami mengaku banyak membuat
hadis maudhu yang disandarkan kepada abbas tentang keutamaan al-quran.
8
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Jakarta, Pustaka Al kausar, 2004, hal 132
f
Seperti seorang yang meriwayatkan hadis dengan ungkapan yang mantap serta
meyakinkan (jazam) dari seorang syeikh padahal dalam sejarah ia tidak pernah bertemu atau
dari seorang syeikh di suatu negeri yang ia tidak pernah ke sana atau seorang syeikh yang
telah wafat sementara ia masih kecil atau belum lahir.
Ma’mun bin ahmad al-kharawi mengaku mendengar hadis dari Hisyam bin Hammar.
Al-hafizh bin Hibban bertanya:’ kapan anda datang ke syam?”, Ma’mun menjwab: “ pada
tahun 250 H. “ Ibnu Hibban menjelaskan bahwa Hisyam bin Amar meninggal pada tahun 245
H. sambut Ma’mun :” Hisyam bin Amar yang lain. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan
bahwa ia tidak pernah bertemu dengan Hisyam bin Amar.
d. Kedustaan perawi
Seorang perawi yang dikenal dusta meriwayatkan suatu hadis sendirian dan tidak ada
seorang tsiqah yang meriwayatkannya.
Hadis palsu jika diriwayatkan secara eksplisit bahwa ini lafal dari Nabi dapat
terdeteksi oleh pakar yang dalam bidangnya sehingga tercium bahwa ini hadis yang
sesungguhnya dan hadis palsu. Jika tidak dinyatakan secara eksplisit, menurut Hajar al-
Asqalani, hadis itu dikembalikan kepada maknanya yang rusak, karena bisa jadi ia
beralasan Riwayah Abi Al-Ma’na atau tidak bisa menyusunnya secara baik
b. Rusak maknanya
g
Maksud rusak maknanya karena bertentangan dengan rasio yang sehat, menyalahi
kaidah kesehatan, mendorong pelampiasan biologis seks dan lain-lain dan tidak bisa
ditakwilkan.
Contoh:
النظرال الوجه الحسن يجاوالبصر والنظرال الوجه القبيح يورث الكا ح
Artinya:” Memandang wajah yang cantik dapat menerangkan mata, memandang wajah yang
jelek dapat menyebabkan sedih”.[14]
h
e. Hadis sesuai dengan mazhab perawi
misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh Habbah bin Juwaihi, ia berkata: saya
mendengar Ali berkata
عبدت هللا مع ر سوله قبل ان يعبده ااحدمن هذه اال مة خمس سنين اوسبع سنين
artinya:” Aku menyembah Tuhan bersama Rasul-Nya sebelum menyembah-Nya seorang pun
dari umat ini lima atau tujuh tahun.”
Hadis ini mengkultuskan Ali sesuai dengan prinsip madzhab syiah, tetapi
mengkultuskan itu juga tidak masuk akal, bagaimana Ali beribadah bersama rasul lima atau
tujuh tahun sebelum umat ini.
Artinya:”Barang siapa yang sholat d اuha sekian rakaat diberi pahala 70 nabi.”
Ada beberapa usaha yang dilakukan para ulama dalam menanggulangi hadis maudhu,
dengan tujuan agar hadis tetap eksis terpelihara dan bersih dari pemalsuan tangan orang-
orang kotor. Disamping itu agar lebih jelas posisi hadis maudhu tidak tercampur dengan
hadis-hadis shahih. Diantara usaha-usaha itu adalah:
i
a. Memelihara sanad hadis
Dalam rangka memelihara sunnah siapa saja yang mengaku mendapat sunnah harus
disertai sanad. jika tidak disertai dengan sanad,maka suatu hadits tidak dapat di terima.
Abdullah bin Al-Mubarok berkata : yang mencari agamanya tanpa sanad bagaikan orang
yang naik loteng tanpa tangga.keharusan sanad dalam menerima hadis bukan pada orang-
orang khusus saja, bagi masyarakat umum pun pada saat itu mengharuskan menerimanya
dengan sanad. Hal ini mulai berkembang sejak masa tabi’in, hingga merupakan suatu
kewajiban bagi ahli hadis menerangkan sanad hadis yang ia riwayat kan.
9
Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Op.Cit hal 172
j
Para ulama meletakkan dasar-dasar secara metodelogis tentang penelitian hadis untuk
menganalisa otensitasnya sehingga dapat diketahui mana shahih, hasan, dhaif dan maudhu.
Kaidah-kidah itu dijadikan standar penilaian suatu hadis menurut criteria sebagai hadis yang
diterima atau ditolak.
Diantara pendusta hadis yang diketahui setelah melakukan penelitian yang dilakukan
para ulama adalah sebagai berikut:
a. Aban bin Jafar Al-Numaiqi, membuat 300 hadis yang disandarkan kepada abu
hanifah
b. Ibrhim bin Zaid Al-Aslami, membuat hadis disandarkan dari malik
c. Ahmad bin Abdullah Al-Juwaini, yang membuat beribu-ribu hadis kepentingan
al-karramiyah
d. Jabir bin Zaid Al-Juafi, membuat 30.000 hadis
e. Nuh bin Abu Maryam membuat hadis maudhu tentang fadhail surah-surah dalam
Al-Quran
f. Muhammad bin Syuja Al-Wasithi, Al-Harits bin Said Al-Mashlub, Al-Waqidi
Muqatil bin sulaiman, Muhammad bin Saad Al-Mashlub, Al-Waqidi dan Ibnu
Abu Yahya.
k
“setiap umat ada fir’aunnya. Fir’aunnya umat ini adalah Muawiyah.
l
suaminya tetap melarangnya. Akhirnya isteri tersebut datang kepada Nabi SAW.
mengadukan apa yang dialami dan perlakuan suaminya. Mendengar pengaduan isteri
tersebut, Nabi SAW. bersabda: “sungguh Allah telah mengampuni ayahmu disebabkan
engkau mematuhi perintah suamimu.
Riwayat ini bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang sangat mengedepankan
hubungan silaturrahim terutama kepada orang tua. Tidak mungkin Nabi SAW. merestui
perbuatan yang memutuskan hubungan silaturrahim.
m
Karena menjadi kewajiban kita sebagai kaum terpelajar untuk melacak hadits-hadits
tentang keutamaan beberapa surat atau ayat-ayat Al-Qur'an dengan tetap berpedoman kepada
para alim yang dianugerahi Allah pemahaman. Misalnya:
ْ ََمنْ قَ َرأَ يَس فِ ْي لَ ْيلَ ٍة أ
ُ َم ْغفُ ْو ًرا لَه صبَ َح
"Barangsiapa yang membaca surat Yaasiin dalam satu malam, maka ketika ia bangun
pagi hari diampuni dosanya.” (Riwayat Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (I/247).
Imam Ibnul Jauzi berkata: Hadits ini dari semua jalannya adalah bathil, tidak ada asalnya.
Imam Daraquthni berkata: “Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini adalah
tukang memalsukan hadits.”
b. Qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits maudhu'
Misalnya seorang rawi mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak
pernah bertemu dengan guru tersebut, atau menerima hadits dari seorang guru yang telah
meninggal dunia sebelum ia dilahirkan.
c. Adanya qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya
Seperti juga kisah Giyats bin Ibrahim An-Nakh'i Al-Kufi dengan Amir Mukminin
Al-Mahdi, ketika masuk ke ruangan Amirul Mukminin dan menjumpai Al-Mahdi tengah
bermain-main dengan burung merpati. Maka ia menambahkan perkataan dalam hadits yang
disandarkan kepada Nabi, bahwa beliau bersabda:
ٍ َص ٍل أَ ْو ُخفٍّ أَ ْو َحافِ ٍر أَ ْو ُجن
اح ْ َفي ن
ِ َّق إِال َ َال
َ َسب
"Tidak ada perlombaan kecuali bermain pedang, pacuan, menggali atau sayap."
Ia menambahkan kata sayap (junah), yang dilakukan untuk menyenangkan Al Mahdi,
lalu Al Mahdi memberinya sepuluh dirham. Setelah berpaling, Sang Amir berkata:"Aku
bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah shalallahu 'alaihi
wasallam. Kemudian Al-Mahdi menyuruh untuk menyembelih burung merpati itu. Tingkah
laku Ghiyats semacam ini menjadi qarinah untuk menetapkan ke-maudhu'-an hadits.
n
2. Hadits dha’if boleh diamalkan secara mutlak. Pendapat ini disampaikan oleh Imam
Ahmad ibn Hambal dan Abu Daud. Hadist dha’if yang boleh diamalkan seperti yang
dimaksud boleh jadi dalam konteks sekarang adalah hadits hasan, baik hasan
lighairihi maupun lidzatihi.
3. Boleh mengamalkan hadits dha’if dalam hal fadhail al-‘amal dengan syarat-syarat
tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan al-Hafizh ibn Hajar (852 H/1449 M), yang
dikutip oleh Nurdin ‘Itr, yaitu:
a. Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadits yang tidak terlalu dha’if , tidak bisa
diamalkan hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang pendusta atau orang yang
banyak salah.
b. Hadits dha’if itu berada di bawah suatu dalil yang umum, sehingga tidak dapat
diamalkan hadits dha’if yang sama sekali tidak memiliki dalil pokok.
Sedangkan hadits dha’if yang berat, seperti hadits maudhu’, matruk, munkar dan
sejenisnya tidak boleh diriwayatkan.
BAB III
o
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits dha’if pada dasarnya adalah hadits yang mardud (tertolak). Namun ada
beberapa hal yang menjadikan sebagian dari hadits dha’if tersebut bisa diterima, yaitu
dikarenakan hadits tersebut tergolong dalam hadits dha’if yang ringan seperti mu’allaq,
munqathi’, mu’dhal mursal dan yang sejenisnya.
Adapun hadits dha’if yang tertolak adalah hadits dha’if berat seperti hadits maudhu’,
munkar, matruk dan sejenisnya.
B. Saran
Dari apa yang telah dibahas dan dijelaskan dalam makalah ini, tentunya masih
terdapat keurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih
kepada dosen pengampu mata kuliah ini, memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis
makalah ini juga kepada saudara-saudara yang sedang mendalami disiplin ilmu ulumul hadits
ini.
p
DAFTAR PUSTAKA