Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

STANDARISASI HADIS SAHIH MENURUT IBN Al-QAYYIM AL-


JAUZIYYAH

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah


Studi Hadits
Dosen Pengampu: Dr. Moh. Akib, M.Ag

Disusun Oleh:
GANJARAN GUSTI AGUNG ( 22503012 )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2023
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengembangan studi terhadap hadis Nabi jauh lebih komplek dan
berat dari pada studi Al-Qur’an. Studi atas Al-Qur’an dapat begitu terbuka luas
tanpa harus ada kekhawatiran dari pihak penafsir akan berkurangnya otoritas Al-
Qur’an sebagai pedoman hidup di manapun dan sampai kapanpun. Lain halnya
dengan hadis, para ulama ahli hadis lebih cenderung mengendalikan diri dan
mengutamakan sikap reverse (segan) dalam melakukan kajian ulang dan
pengembangan pemahaman atau pemikiran terhadap hadis, karena hadis adalah
segala ucapan, perbuatan, persetujuan (taqriri) atau apapun yang disandarkan
kepada Nabi.1 Jadi ada semacam pengkultusan Nabi, karena itulah sikap ketidak
kritisan ulama kepada hadis bisa jadi bukan karena sisi ilmiah, namun karena
sosok Nabi sebagai pemimpin agama, sebagai utusan Tuhan yang memiliki sifat
ma’shum, maka pengkultusan ini tidak terlekkan dan ini adalah bagian dari
kondisi psikologis belaka, bukan pada sisi ilmiahnya. Di lain pihak, dinamika
masyarakat dewasa ini begitu cepat menghendaki adanya pengkajian ulang
terhadap hadis. Sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an adalah hadis,
hadis merupakan segala perkataan dan perilaku yng dilakukan oleh nabi
Muhammad SAW. Hendaklah umatnya meniru atau melaksanakan sunnah nabi
tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari. Berbicara mengenai hadis, hadis
juga memiliki beberapa tingkatan-tingkatan, seperti: hadis sahih, hadis hasan,
hadis dho’if, hadis maudhu’. Masing-masing ulama hadis mempunyai kriteria
dalam menentukan kesahihan hadis.
Dalam kajian hadis pun terdapat problematika dan perdebatan,
khususnya perdebatan seputar kajian kritik hadis hingga sekarang masih
memunculkan polemik di berbagai kalangan. Kritik hadis bukan hanya menjadi
“concern” kalangan ahli hadis, atau bahkan kalangan sarjana Muslim saja.
Sejumlah sarjana Barat pun memiliki perhatian cukup besar dalam studi ini. 2
Secara umum, kritik hadis terbagi menjadi dua macam; sanad dan matan. Kajian

1
Nuruddin ‘Itr, Manhajun Naqd fi ‘Ulum al-Hadits(Beirut: Dar alFikr, 1989), h. 27.
2
Musfir ‘Azmullâh al-Daminȋ, Maqâyȋs Naqd Mutûn al-Sunnah (Riyâḏ: al-Su‛ûdiyyah, 1984), cet.1,
h. 241.
tentang kritik sanad berkisar pada transmisi periwayatan yang bertumpu pada
kredibilitas para informan hadis (periwayat). Sementara dalam kajian matan
dititik beratkan pada aspek kandungan hadis (isi/matan). Keduanya memiliki
urgensitas yang tinggi dan berkelindan satu dengan lainnya.
Secara umum, kritik matan dilakukan setelah sebuah hadis telah
dianggap shahih secara sanad, karena jika sudah dianggap tidak sahih secara
sanad, sebuah hadis tidak akan bernilai dan tidak bermanfaat untuk diteliti
kandungan matannya.3 Sejumlah pakar menyebutkan bahwa karya pertama yang
membahas secara menyeluruh tentang teori kajian kritik matan hadis adalah al-
Manâr al-Munif fi al-Sahih wa al-da’if, buah karya dari Ibn al-Qayyim al-
Jauziyyah (W.751 H).4 Terdapat tiga problem mendasar dalam kajian hadis,
yaitu; otentisitas, pemaknaan, dan aplikasi. Ketiga problem tersebut pada titik
tertentu menjadi tugas sarjana-sarjana Islam dari berbagai disiplin ilmu.
Melihat langkah awal para ulama dalam menetapkan keshahih-an dan
kelemahan suatu hadis, adalah menentukan prinsip-prinsip dasar suatu hadis
sebagai cara untuk melakukan elaborasi terhadap keberadaan hadis. Langkah ini
memungkinkan terjadinya perbedaan nuansa antara ulama yang satu dengan
ulama yang lain. Dalam beberapa hal, nuansa perbedaan tersebut juga terimbas
dalam menetapkan status hadis. Dari kalangan ahli hadis, ahli fiqh, failasuf, sufi
dan sejarawan, memiliki pandangan tersendiri tentang shahih atau tidaknya suatu
hadis.5 Dari ketiga problem mendasar di atas yang menjadi pusat perhatian bagi
penulis yakni standarisasi tolok ukur sebuah hadis.
Penjelasan lain, al-Khathib al-Baghdadi menjelaskan bahwa matan
hadis yang maqbul (diterima sebagai hujjah) haruslah: 1) tidak bertentangan
dengan akal yang sehat; 2) tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang
telah muhkam; 3) tidak bertentangan dengan hadis mutawatir; 4) tidak
bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu

3
‘Abd Raẖman Khalâf, Naqd Matn Baina Sina’âh al-Muẖaddithȋn wa al-Mustashriqȋn. (Riyâḏ:
Maktabah Ibn Rûsyd, 1989) h. 19.
4
Masrukhin Muhsin, Kritik Matan Hadis; Studi Perbandingan antara Manhaj Muẖadditsȋn
Mutaqaddimȋn dan Muta’akhkhirȋn (Magelang: PKBM Ngudi Ilmu, 2013) h. 5-6.
5
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis
(Jakarta: Paramadina, 2000), cet. 1, h. 89.
(ulama salaf); 5) tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti; dan 6) tidak
bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.6
Berbeda dari pendapat Shalahuddin al-Adlabi, ia mengemukakan
bahwa pokok-pokok tolok ukur penelitian kesahihan matan ada empat macam,
yakni: 1) tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an; 2) tidak bertentangan
dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat; 3) tidak bertentangan dengan akal
yang sehat, indera, dan sejarah; dan 4) susunan pernyataannya menunjukkan
ciri-ciri sabda kenabian.7 Tolok ukur tersebut masih bersifat global dan masih
dimungkinkan untuk dikembangkan.
Bermula dari perdebatan sejumlah pakar dalam memahami hadis Nabi
di atas, penulis membahas mengenai standarisasi hadis shahih menurut Ibn
Qayyim al-Jauziyyah. Ibn Qayyim al-Jauziyah adalah pengikut dan tokoh
mazhab Hanbali sebagaimana gurunya Ibn Taimiyah. Sejatinya aliran Hanabilah
masuk dalam kategori mutakallimin yang dalam menyikapi hadis lebih
memberatkan pada kritik matan hadis secara formal, namun Ibn Qayyim
menyimpang dalam hal ini dengan lebih memberatkan pada subtansi, bukan
formal. Maka ia bisa dimasukkan dalam kalangan fuqaha, yang memahami hadis
dengan pendekatan fiqh. Dalam mencari pemahaman hadis dalam masalah
teologis, ia cenderung memaknai secara tekstual. Bagi masalah lain, ada
penggunaan pendapat salaf al-shalih dan analisa zhahir hadis, yaitu yang
berkenaan dengan sanad dan matan hadis.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana standarisasi hadis shahih secara umum ?
2. Bagaimana standarisasi hadis shahih menurut Ibn Al-Qayyim Al-
Jauziyyah?

C. Tujuan
6
Al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah, 1972), h.
206-207.
7
Shalahuddin bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983),
cet. 1, h. 238.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan nya adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui standarisasi hadis shahih secara umum.
2. Untuk mengetahui standarisasi hadis shahih menurut Ibn Al-Qayyim Al-
Jauziyyah.
PEMBAHASAN

A. Standarisasi Hadis Shahih


a. Definisi Hadis Shahih
Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari
kata saqim (sakit). Maka hadits Shahih secara bahasa adalah hadits yang
sehat, selamat, benar, sah, sempurna dan yang tidak sakit. Secara istilah
menurut Shubhi al-Shalih, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga
bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal dari
kalangan sahabat tanpa mengandung syâdz (kejanggalan) ataupun ‘illat
(cacat).8
Imam Ibn al-Shalah dalam kitabnya ‘Ulûm al-Hadits yang dikenal
juga dengan Muqaddimah Ibn al-Shalah, mendefinisikan hadits shahih
dengan “Hadits yang disandarkan kepada Nabi yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga sampai akhir
sanad, tidak ada syâdz (kejanggalan) dan tidak mengandung ‘illat (cacat)”.9
Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Nuzhah al-Nazhâr Syarh Nukhbah
al-Fikâr lebih ringkas mendefinisikan hadits shahih yaitu “Hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang ‘adil, sempurna ke- dhâbith-annya,
bersambung sanadnya, tidak ber-‘illat dan tidak ber- syâdz”.10

b. Kriteria Hadis Shahih


Beberapa defenisi tentang hadits shahih di atas, diketahui lima
macam kriteria hadits shahih yaitu pertama, sanadnya bersambung; kedua,
para periwayatnya ‘adil; ketiga, para periwayatnya dhâbith; keempat,
terhindar dari syâdz; dan kelima, terhindar dari ‘illat. Ada beberapa kriteria
dalam hadis shahih yaitu:
1. Sanadnya bersambung (Ittishāl al-sanad)
8
Shubhi al-Shalih, ‘Ulûm al-Hadits wa Musthalahuh, Dar al-‘Ilm li al-Malayin, Beirut, tahun 1988,
hal. 145.
9
Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah,‘Ulûm al-Hadits, al-Maktabah al-Islamiyah
al- Madinah al-Munawwarah, tahun1972, hal. 10.
10
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhah al-Nazhâr Syarh Nukhbah al-Fikâr, Maktabah al-
Munawwar, Semarang, tth., hal. 51.
Yaitu tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat
hadis dari periwayat sebelumnya. Dan hal tersebut terus berlangsung
hingga sampai pada akhir sanad hadis tersebut. Pesambungan sanad
tersebut terjadi mulai Mukharrij Hadis (penghimpun riwayat dalam
kitabnya) sampai pada periwayat pertama dari para sahabat yang
menerima hadis yang bersangkutan dari nabi. Dengan kata lain sanad
hadit bersambung sejak sanad pertama ampai pada sanad terahir.
Pada ulama hadis sanad yang bersambung dinamai dengan
sebutan hadit Musnad sedangkan Musnad ada yang Mutthasil
bersambung dan ada pula Musnad yang Munqathi'. Sedangkan hadis
yang disandarkan kepada nabi disebut dengan hadis marfu'. Oleh
karenanya hadis musnad pasti Marfu' dan berambung pada sanadnya.
Sedangkan hadis Marfu' belum tentu hadis Musnad. Hadit Marfu' dapat
dikatakan hadis Musnad apabila rangkaian hadisnya bersambung dan
tidak terputus mulai dari awal hingga akhir.
2. Periwayatnya bersifat adil
Dalam hal ini ulama' memiliki perbedaan tentang kriteria-kriteria
periwayat yang adil. Al- Hakim dan al-Nawawi berpendapat bahwa
seseorang dapat dikatakan adil apabila beragama islam, baligh, berakal,
dan memelihara Maru’ah serta tidak berbuat fasik. Sementara itu Ibn
Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa sifat adil akan dimiliki seorang
periwayat hadis yang bertaqwa, memelihara Maru’ah, tidak berbuat dosa
besar semisal syirik, tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat fasik.
Untuk mengetahui adil tidaknya periwayat hadis, para ulama
hadis telah menetapkan beberapa cara yaitu: pertama, melalui popularita
keutamaan periwayat dikalangan ulama hadis. Kedua, penilaian dari
kritikus periwayat hadis penilain ini berisi tentang kelebihan dan
kekurangan yang ada pada diri periwayat hadis. Ketiga, ialah penerapan
kaidah al-Jarh wa al-Ta'dil. Cara ini dilakukan apabila para kritikus
periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.
Dari tiga cara tersebut maka sangat dianjurkan untuk berurutan mulai
dari yang pertama hingga seterusnya. Sedangkan penggunaan kaidah al-
Jarh wa al-Ta'dil baru digunakan bila ternyata terjadi perbedaan pendapat
dikalangan kritikus periwayat tentang kualitas seorang perawi.
3. Periwayat bersifat Dhābith
Bagi hadis shahih, maka periwayatannya akan berstatus dhābith,
dhābith dapat diartikan dengan kuat hafalannya. kuat hafalan memang
sangat penting bagi periwayatan hadis shahih dan hadit shahih
sesungguhnya sangat erat hubungannya dengan keadilan. Karena orang
yang mampu berbuat adil berarti ia jujur, amanah, objektif maka
informasinya akan dipercaya. Akan tetapi sebaliknya walaupun ia
memiliki intelektual yang tinggi dan memiliki ketajaman dalam hafalan
tapi ia merupakan orang yang tidak jujur, pendusta dan suka menipu
maka tidak akan ada orang yang mempercayainya. Maka dari itu ulama'
hadis keadilan dan ke-dabith-an periwayat hadis kemudian di jadikan
satu dengan istilah tsiqah, jadi periwayat yang adil dan dhabith.
Dikalangan ulama' pengertian dabith dinyatakan dengan redaksi
beragam. Ibn Hajar al-Sakhawi menyatakan bahwa orang yang disebut
dhabith adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah
didengar dan juga ia mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja ia
kehendaki. Berikut ini untuk mengetahui ke-dhabith-an periwayat hadis
menurut beberapa pendapat ulama' sebagai berikut:
a) Ke-dhabit-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian
ulama
b) Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan
kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh
periwayat lain yang telah dikenal ke-dhabith-annya, baik kesesuaian
itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah.
c) Periwayat yang sesekali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan
dhabith asalkan kesalahannya itu tidak sering terjadi. Jika ia sering
mengalami kekeliruan dalam riwayat hadis, maka tidak disebut
dhabith.
4. Terhindar dari Syādz (kejanggalan)
Secara bahasa, Syādz merupakan isim fā'il dari Syādzdza yang
berarti menyendiri (infarada). Sedangkan ulama' hadis, Syādz adalah
hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan bertentangan dengan
periwayat oleh periwayat yang lebih tsiqah, menurut ulama' hadis akan
dikatakan Syādz apabila:
a) Hadis itu memiliki lebih dari satu sanad
b) Para periwayat hadis itu seluruhnya tsiqah
c) Matan atau sanad mengandung pertentangan
5. Terhindar dari 'Illat
Apabila dalam suatu hadist tampak shahih akan tetapi ternyata
didalamnya terdapat cacat yang tak telihat atau tersembunyi maka hadis
itu akan dikatakan mu'allal yaitu hadis yang mengandung 'illat secara
bahasa berarti cacat, kesalahan baca, penyakit atau keburukan.
Sedangkan menurut istilah ahli hadist, illat berarti sebab yang
tersembunyi yang dapat merusak keshahihan hadis.11
c. Macam-macam Hadis Shahih
Hadis shahih terbagi pada dua macam yaitu: shahih li-dzatih dan
shahih li-ghairih. Yaitu hadis yang memenuhi kriteria-kriteria hadis shahih.
Akan tetapi apabila ke-dhabith-an seorang rawi yang kurang sempurna,
menjadikan hadis shahih li-dzatuh turun nilainya menjadi hadis hasan li-
dzatih. Akan tetapi jika kurang sempurna rawi tentang ke-dhabit-annya itu
dapat ditutup, misalnya hadis hasan li-dhatih tersebut mempunyai sanad lain
yang lebih dhabith, maka naiklah derajat hasan menjadi hadis shahih li-
ghairih.12
Sedangkan hadis shahih li-ghairih adalah hadis yang ke-shahih-
annya dibantu oleh adanya hadis lain. Pada mulanya katagori ini memiliki
kelemahan berupa perawi yang kurang dhabith dan hal ini dimulai kurang
memenuhi syarat untuk menjadi hadis shahih. Berikut ini adalah contoh
hadis shahih li- ghairih:

11
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kcana Predana Media Group, 2013), 160-169
12
Fahrur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadist, (Bandung : PT. al-Ma’arif, 1991), 101
Contoh: hadis shahih li-dhatih adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari, dari jalur al-A'raj, dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Rasul
bersabda:

‫لو ال الان اشق على امتى المرتهم بااسواك عند كل صالة‬

“Seandainya aku tidak khawatir memberatkan ummatku, pasti aku


memerintahkan agar mereka bersiwak setiap kali hendak mengerjakan
shalat”13

Contoh: hadis shahih li-ghairih, ialah hadis al-Bukhari dari Ubay bin al-
Abbas bin Sahal dari ayahnya ('Abbas) dari neneknya (Sahal) katanya:
‫كن النبي صلى هللا عليه وسلم في حائتنا فرس يقال له اللحيف‬

“konon Rasulullah mempunyai seekor kuda, ditaruh dikandang kami diberi


nama al-Luhaif”
Ubay bin Abbas oleh Ahmad, Ibnu Ma'in dan an-Nasa’I dianggap
rawi yang kurang kuat hafalnnya. Oleh karena itu, hadis tersebut mempunyai
derajat hasan li-dhatih. Tetapi oleh karena hadis Ubay tersebut mempunyai
muthabi’ yang diriwayatkan oleh ‘Abdul Muhaimin, maka naiklah
derajatnya dari li-dzatih menjadi shahih li-Ghairih.

d. Kehujjahan Hadis Shahih


Dalam kehujjahan hadis shahih para ulama memilki paerbedaan
pendapat yaitu sebagai berikut:
1. Sebagian ulama' memandang bahwa hadis shahih tidak berstatus qath'I
sehingga tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan
akidah.
2. Sebagian ulama hadis, sebagaimana dinyatakan al-Nawawi,
berpendapat bahwa hadis-hadis shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim
barstatus qath'i.

13
Hafidh Hasan al-Mas’udi, Ilmu Musthalahul Hadist, (Surabaya: al-Hidayah, TT), 14.
3. Sebagian ualam' seperti Ibn Huzm, memandang bahwa semua hadis
shahih berstatus qath'i tanapa dibedakan apakah hadis tersebut dari al-
Bukhari dan Muslim atau yang lainnya. Menurutnya tidak ada alasan
yang cukup untuk membedakan hal ini berdasarkan siapa yang
meriwayatkan. Ia berpendapat bahwa semua hadis jika syaratnya
terpenuhi, maka juga dapat dijadikan hujjah.14

B. Standarisasi Hadis Sahih Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah


a. Biografi Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah
Nama lengkap Ibnu Qayyim Al-Jauziyah adalah Syamsudin bin
Abu Bakar bin Ayyub bin Sa’ad bin Hariz Ad-Damasqi Al-Jauziyyah beliau
adalah seorang putra pendiri Madrasah Al-Jauziyah di Damaskus. Imam
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah lahir di Damaskus, Suriah pada tujuh shafar 691
H bertepatan dengan tahun 1291 M.15 Beliau adalah seorang ahli fiqih dan
ahli fatwa, al-Imam ar-Rabbani Syaikhul Islam kedua, Abu Abdillah
Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Sa’ad az-Zur’i kemudian ad-
Damasyqi. Lebih dikenal dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, tidak
dengan nama lainnya. Berbeda dengan al-Kutsari yang menjulukinya Ibnu
Zufail.16
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah hidup dalam bimbingan ayahnya yang
shalih, Syaikh Qayyim Al-Jauziyyah, di tengah lingkungan yang semarak
dengan ilmu pengetahuan. Dari sang ayahlah beliau belajar ilmu faraidh
(ilmu waris). Banyak literatur yang mengenai biografi Ibnu Qayyim yang
mencantumkan beberapa anggota keluarga beliau. Seperti kemenakan beliau,
yaitu Abul Fida Imaduddi Isma’il bin Zainuddin Abdurrahman yang
mengelola sebagian besar perpustakaan milik pamannya ini, serta putra putri
beliau, yakni Abdullah dan Ibrahim, mereka semua terkenal ulama dan para
penuntut ilmu. Sejak kecil, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah terkenal sangat gemar
menuntut ilmu. Beliau juga cukup dikenal dengan kesungguhan dan
kegigihannya dalam melakukan penelitian dan pengkajian. Beliau belajar
14
Idri, Studi Hadis, 175
15
Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), hlm. 32-33.
16
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Hanya Untukmu Anakku: Panduan Lengkap Pendidikan Anak Sejak
dalam Kandungan Hingga Dewasa, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2010), hlm. 13.
kepada asy-Syihab, seorang ahli ta’bir mimpi yang wafat pada tahun 697
H.17
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah sering mengunjungi Kairo untuk
berdiskusi dan menuntut ilmu. Kemudian beliau juga pernah berkunjung ke
Baitul Maqdis untuk memberikan beberapa pelajaran, dan beliau juga
beberapa kali menunaikan ibadaah haji dan menetap di sekitar Makkah,
sebagaimana disebutkan dalam beberapa kitabnya. Beliau sering menunaikan
ibadah haji dan bermukim di Makkah. Penduduk Makkah menyebutkan
bahwa beliau sangat tekun beribadah dan banyak melakukan thawaf, itu
semua membuat mereka terkagum-kagum kepadanya. Ungkap Ibnu Rajab.18
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah wafat pada malam kamis, 18 Rajab 751
H atau bertepatan dengan tanggal 23 september 1350 M. Ia disholatkan di
masjid Jami’ Al-Umawi dan setelah itu di masjid Jam’ Jarrah.kemdian beliau
dikebumikan di pemakaman al-Baabush Shaghiir, Damaskus. 19 Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah sangat dekat dengan salah satu guru beliau yaitu Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah, sehingga Ibnu Qayim A-Jauziyyah bermulazamah
kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah semenjak beliau tiba di Damaskus
pad tahun 712 H dan terus berlanjut hingga Syaikhul islam wafat pada tahun
728 H.
Dengan demikian, masa kebersamaan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
dengan gurunya itu berlangsung selama enam belas tahun. Selama itu pula
beliau begitu dekat dengan Ibnu Taimiyyah dan menambah ilmu langsung
darinya serta membacakan berbagai bidang ilmu pengetahuan
dihadapannya.20
Banyak pujian yang diberikan para ulama untuk Ibnu Qayyim
AlJauziyyah sebagai mana yang di jelaskan oleh ibnu Katsir. Ibnu Katsir
menjelaskan bahwasanya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mendengarkan hadits,
menyibukan diri dengan ilmu pengetahuan, ahli dalam berbagai disiplin
ilmu, terlebih lagi dalam bidang tafsir, hadits, dan ushuluddin (akidah).
Ketika Syaikh Taqiyyuddin bin Taimiyyah kembali dari negeri Mesir pada
17
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Ibid., hlm. 14.
18
Ibid.,
19
Ibid.,
20
Ibid.,
tahun 712 H, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyh ber-mulazamah (menemani dengan
lekat) kepadanya hingga Syaikh Wafat.21 Dari gurunya ini, beliau
mempelajari berbagai bidang ilmu.
Berkat keseriusan dan kesibukannya yang luar biasa dalam
menuntut ilmu, belajar siang dan malam, serta banyak berdo’a dengan
sepenuh hati, sehingga beliau pun menjadi salah satu seorang yang ahli
dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Beliau adalah orang yang bagus
dalam membaca dan berkhlak mulia. Sosoknya penuh kasih sayang tidak
pernah menghasad, tidak pernah menyakiti hati orang lain, tidak menghibah,
dan tidak mendengki kepada siapa pun. Ibnu Qayyim juga terkenal dengan
ketekunannya dalam beribadah dan shalat Tahajjud serta cukup lama dalam
mempraktikkan shalat. Beliau senantiasa beribadah dengan selalu berdzikir
kepada Allah, tenggelam dalam cinta-Nya, terus bertaubat dan sangat
tergantung kepada-Nya.22
Jadi, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah merupakan salah seorang
cendikiawan muslim yang sangat luas wawasan keilmuannya. Akidahnya,
akhlaknya yang sangat mengagumkan serta pemikirannya dalam khazanah
Islam yang sangat begitu menakjubkan.

b. Hadis Shahih Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah


Dalam kaitannya dengan masalah hadis sahih ini, Ibnn Qayyim

(W. 751 H.) dalam salah satu karyanya mengatakan: 23 yang juga dikutip oleh

al- Daminiy24 mengatakan bahwa kesahihan sanad hadis merupakan syarat


kesahihan suatu hadis akan tetapi hal itu, harus memenuhi beberapa kriteria
sebagai berikut:
 Sanadnya harus sahih;
 Terbebas dari illat;

21
Ibid.,
22
Ibid.,
23
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Furusiyyah, (Madinah: Maktabah dar al-turas, 1990), cet. 1, hal.
154-155
24
Musfir Adzmullah al-DFaminiy, (Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, (Riyadh: tp., 1984), cet.1, hal.
52
 Tidak ada syadz;
 Tidak ada nakarah (bukan hadis munkar);
 Perawinya tidak kontroversial (al-tsiqah).

Sebagai ulama ensiklopedis yang menguasai berbagai macam


disiplin ilmu, Ibnul Qayyim berpendapat tidak sembarangan, namun segala
sesuatunya berdasarkan hasil ijtihad yang penuh ketelitian. Di lain pihak,
sebagai penganut aliran salafi, pembelaan atas pendapat Ibn Taimiyyah
sangat kental, dan pengaruhnya bisa dengan mudah ditemui di segala buku
yang beliau tulis.
Ibn Qayyim dikenal sebagai seorang muslim puritan yang teguh
pendiriannya dalam mempertahankan kemurnian aqidah Islam. Guru yang
paling berpengaruh dan banyak mewarnai pemikirannya adalah Ibnu
Taimiyah, bahkan ia merupakan penyebar ide-ide gurunya tersebut.
Misalnya penolakan Ibnu Taimiyah terhadap Mu‟tazilah dan Khawarij
tentang penetapan sifat-sifat Tuhan dan bahwasanya nama-nama Tuhan
bukanlah dzat Tuhan, yang mana kemudian pandangan ini menjadi
pandangan Ibnul Qayyim al-Jauziyah.25 Meskipun demikian, tidak jarang ia
berbeda pandangan dengan gurunya tersebut. Misalnya pandangan Ibnu
Qayyim al-Jauziyah bahwa perbuatan baik dan buruk dapat diketahui akal
semata, sementara menurut Ibnu Taimiyah hal tersebut hanya diketahui
berdasar wahyu.26
Penafsiran secara aqli sangat banyak digunakan oleh Ibnul Qayyim,
dan rasio penggunaan akal yang lebih banyak inilah yang membedakannya
dengan Ibn Taimiyah. Walaupun beraliran teologi ala Asy'ariyyah sangat
dipegang dengan erat, namun rasio tetap beliau gunakan, hal ini dapat dilihat
dalam ra'yu yang senantiasa digunakan dalam tiap ijtihadnya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah adalah pengikut dan tokoh madzhab
Hanbali sebagaimana gurunya Ibnu Taimiyah. Dalam kajian teologi Islam
para pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal dikenal dengan nama
25
Ibnu Taymiyah, al-Fatwa al-Hamawiyah … hal. 63. Bandingkan dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyah,
… Ijtima’, 149.
26
Ibnu Qayyim, Zadul Ma'ad, I, 19. Bandingkan dengan Ibnu Taymiyah, Majmu‟ah al-Rasail, … hal.
292.
kelompok salaf yang mana kebanyakan pemikiran teologinya cenderung
tradisional sebagaimana kelompok Asy’ariyah. Sebagaimana tokoh Salaf
lainnya dalam menafsirkan sifat-sifat anthropomorphisme yang terdapat
dalam al-Quran Ibnu Qayyim al-Jauziyah menetapkan sifat-sifat tersebut
tanpa mentakwilkan dan menafsirkan dengan selain pengertian zahirnya, hal
ini sebagaimana penafsirannya terhadap surat Thaha ayat 5 dimana menurut
Ibnu Qayyim al-Jauziyah kata ‫( االستواء‬bersemayam) harus diartikan sesuai
dengan zahirnya tanpa mentakwilkan dan menafsirkannya.27 Hanya saja
bersemayamnya Allah tidak sama dengan bersemayamnya makhluk Allah,
demikian pula sifat-sifat arthropomorphisme lainnya. Allah Maha suci dari
segala persamaan dengan makhluk-Nya (munazzahun 'anil makhluqat).
Sejatinya, aliran hanbalilah masuk dalam kategori mutakallimin
yang dalam menyikapi hadits lebih memberatkan pada kritik matan hadits
secara formal, namun Ibnul Qayyim menyimpang dalam hal ini dengan lebih
menitikberatkan pada susbtansi, bukan formal. Maka beliau bisa dimasukkan
dalam kalangan fuqaha, yang memahami hadits dengan pendekatan fikih.
Epistimologinya adalah koherensi dengan ilmu-ilmu yang lain, dan beliau
menggunakan ukuran sosio-historis.
Dalam mencari pemahaman hadits dalam masaah teologis, beliau
cenderung memaknai secara tekstual. Bagi masalah lain, ada penggunaan
pendapat salafus shalih dan analisa zhohir hadits, yaitu yang berkenaan
dengan sanad dan matan hadits.
Beliau juga menolak penggunaan takwil yang berlebihan dan tanpa
ilmu, dan juga menolak segala praktek keagamaan yang bid’ah. Semangat
purifikasi yang ia dapatkan dari Ibn Taimiyyah sangat kental, kembali pada
al-Quran dan hadits. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, “Dan apa-
apa yang dibawa Ar Rasul kepadamu maka ambillah ia, dan apa-apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr:7).
Ibnul Qayyim berpendapat bahwa hadis shahih adalah hadis yang
memenuhi kriteria, 1) sanadnya bersambung; 2) para perawi hadisnya adalah
orang-orang yang adil; 3) para perowinya adalah orang yang dlobith

27
Ibnu Qayyim, Ijtima‟ al-Juyusy … hal. 59.
(cermat); 4) terbebas dari kontroversi; dan 5) tidak memiliki cacat. Kriteria
ini sama dengan pendapat para ulama ahli hadits lain, seperti Ibn Shalah, Ibn
Hajar al-'Asqalani, Jalaluddin as-Suyuthi, an-Nawawi dan ulama lainnya.
Sedangkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah juga memberikan kriteria
kesahihan hadis dengan teori diametrikal (terbalik), yaitu hadits-hadits yang
mengandung berbagai macam hal berikut, maka perlu dicurigai
kesahihannya, bisa jadi itu adalah hadits dla'if (seperti pada kebanyakan
hadits tentang shalat), ataupun bisa jadi itu adalah hadits maudlu', jika dilihat
dari matan hadits. Perangkat akal menjadi sangat vital peranannya menurut
Ibnul Qayyim. Jika secara matan sudah dicurigai dloif, maka perawi-
perawinya juga pasti ada yang bermasalah. Namun tidak begitu jika
sanadnya dloif, tidak serta merta matan menjadi dloif juga. Berikut kritertia-
kriteria hadits shahih yang bisa diketahui melalui matan hadits:28
a. Materi hadis tidak mengandung perkiraan-perkiraan yang tidak biasa
dikemukakan oleh Nabi.
b. Materi hadis tidak bertentangan dengan penemuan empiric
c. Materi hadis tidak berupa pernyataan yang kotor dan keji
d. Materi hadis tidak bertentangan dengan materi sunnah yang jelas
diyakini datang dari Nabi.
e. Materi hadis tidak berisi informasi yang menyatakan bahwa Rasul
Muhammad saw. telah berbuat sesuatu dihadapan para sahabatnya,
tetapi para sahabat sepakat untuk tidak meriwayatkannya.
f. Materi hadis tidak batal dengan sendirinya disebabkan tidak pantas
disandarkan kepada Nabi.
g. Materi hadis harus layak disebut sebagai perkataan para Nabi, lebih-
lebih layak disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. yang hakekatnya
merupakan wahyu.
h. Materi hadis tidak mengisahkan cerita-cerita yang aneh-aneh dan tidak
masuk akal.
i. Materi hadis tidak menyerupai pernyataan-pernyataan paramedis,
dokter dan dukun.

28
Ibnul Qayyim, Naqdul Manqul wal Muhakkil Mumayyiz …. Hal 1-38.
j. Materi hadis tidak dengan sendirinya dibantah dan dibatalkan oleh
argumentasi dan dalil-dalil yang sahih dan kuat .
k. Materi hadis tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
l. Materi hadis tidak dibatalkan oleh adanya indikator-
indikator yang cukup jelas
m. Materi hadits tidak berisikan pernyataan-pernyataan yang mengada-ada
tentang keutamaan makanan dan tempat tertentu.
Hal ini tentu sebuah terobosan pada zamannya, di mana
kebanyakan ulama hadits berhenti pada analisa sanad dan mengabaikan
"kebenaran" matan. Sebenarnya matan hadits yang dla'if atau maudlu' dalam
perspektif Ibnul Qayyim sangat mudah diketahui. Dengan 13 kriteria di atas
maka tiap pembaca hadits akan “curiga” pada hadits-hadits yang berisikan
hal-hal yang tidak masuk akal, dengan pengetahuan yang sederhana saja,
terlebih dengan pengetahuan yang mendalam atas sirah Nabi dan pengetahuan
Nabi. Misalnya dalam hadits tentang keutamaan ‘adas, biji-bijian (atau
kacang-kacangan) yang biasa dikonsumsi orang arab:

‫حديث عليكم بالعدس فإنه مبارك يرقق القلب ويكثر الدمعة قدس فيه سبعون نبيا وقد‬
‫سئل عبدهللا بن المبارك عن هذا الحديث وقيل له إنه يروى عنك فقال وعني ما أرفع‬
‫شيئا في العدس إنه شهوة اليهود ولو قدس فيه نبي واحد لكان شفاء من األدواء فكيف‬
‫بسبعين نبيا وقد سماه هللا (أدنى) البقرة‬.

Contoh lain yang menyebutkan kesalahan pemaknaan al-manna wa as-salwa


dengan bawang merah dan bawang putih (ats-tsum wa al-bashal):

‫وذم من اختاره على المن والسلوى وجعله قرين الثوم والبصل أفترى أنبياء بني‬
‫إسرائيل قدسوا فيه لهذه العلة والمضار التي فيه من تهييج السوداء والنفخ والرياح‬
‫ويشبه أن يكون‬. ‫الغليظة وضيق النفس والدم الفاسد وغير ذلك من المضار المحسوسة‬
‫هذا الحديث من وضع الذين اختاروه على المن والسلوى وأشباههم‬
Masih dalam bab makanan, ada hadits yang beliau nyatakan sebagai hadits
maudlu', yakni tentang keburukan gargir (sayuran yang berbentuk seperti
selada) bagi yang mengkonsumsinya malam hari:

‫وحديث بئس البقلة الجرجير من أكل منها ليال بات ونفسه تنازعه ويضرب عرق‬
‫الجذام في أنفه كلوها نهارا وكفوا عنها ليال‬

Hadits maudlu' yang lain diketahui karena tidak mungkin perkataan ini
bersumber dari Nabi, karena pribadi dan sifat Nabi yang jelas sangat
bertentangan dengan ucapannya, contohnya adalah hadits bahwa Nabi
mengkonsumsi roti (haritsah) surga yang dibawakan Jibril, yang dapat
melipat gandakan stamina 40 kali untuk bersetubuh:

‫حديث أتاني جبريل بهريسة من الجنة فأكلتها فأعطيت قوة أربعين رجال في الجماع‬.

Selain contoh-contoh di atas, yang banyak ditemukan adalah hadits-hadits


falak. Banyak data-data yang "dicurigai" oleh Ibnul Qayyim berkaitan
dengan keutamaan tanggal-tanggal tertentu, ataupun peristiwa-peristiwa
agung yang ada pada hari atau tanggal tertentu.
Pada tataran fadhailul a'mal (keutamaan amal), hadits dla'if masih
ditolerir penggunaannya, begitu juga dalam tafsir, kisah peperangan dan
sirah, ijma' Ulama berpendapat bolehnya berhujjah dengan hadits dla'if pada
bab ini. Namun Ibn Taimiyah dan Ibnul Qayyim memberikan syarat lagi
yaitu kedla'ifannya tidak terlalu parah. Pendapat Ibn Taimiyah dan Ibnul
Qayyim juga memberi isyarat kepada hal itu dan metode Imam Bukhari dan
Muslim juga menunjukkan ke arah sana. Berdasarkan ini maka tidak
dibolehkan beramal dengan hadits dla'if secara mutlak di seluruh bab pada
pembahasan agama. Pada kondisi ini dia disebutkan hanya untuk sebagai
pendukung. Dan Ibnul Qayyim telah mengisyaratkan kemungkinan
dijadikannya hadits dla'if sebagai pentarjih salah satu dari dua pendapat yang
sama kuat.
c. Standarisasi Hadis Sahih Perspektif Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah
Ibnu Qoyyim lebih mengkritisi matan hadis untuk menentukan
Standar kesahihan hadis. Kualitas suatu matan hadis ikut menentukan nilai
kesahihan suatu hadis, sebagaimana kualitas sanad. Menurut Ibn Qayyim
suatu hadis bisa dikatakan sahih apabila kedua komponen utama hadis
tersebut sahih, oleh karena itu beliau berpendapat kesahihan sanad hadis
tidak bisa menjamin atas kesahihan matan hadis, oleh karena itu ia
mengatakan pendapat beliau dengan ungkapan:

“Dan sungguh telah diketahui bahwa kesahihan sanad merupakan satu syarat
dari beberapa syarat kesahihan hadis, karena sesunguhnya hadis bisa
dianggap sahih apabila terkumpul padanya beberapa perkara diantaranya
sahihnya sanad hadis dan tidakadanya ‘ilat, syadz dan tidak munkar.”29

Dari kutipan di atas setidaknya dapat diambil kesimpulan bahwa


Ibn Qayyim dalam menentukan kesahihan hadis, sanad dan matan hadis
haruslah sahih, yakni tidak mengandung syadz dan ‘illat dan kemungkaran
serta perawinya tidak menyalahi atau berbeda dengan para perawi tsiqah
yang lain. Mayoritas ulama hadis menyadari bahwa meneliti syadz dan illat
pada kedua komponen utama hadis sangat sulit dilakukan terutama dalam
matan hadis, hal ini dikarenakan kitab-kitab yang mengkaji masalah syadz
dan illat pada matan hadis belum ada, juga dikarenakan ulama hadis pada
waktu itu masih berkutat pada penelitian sanad hadis.30
Di sisi lain, terkait dengan kepalsuan matan hadis Ibn Qayyim
menjelaskan akan beberapa ketentuan yang membahas kepalsuan hadis
tersebut. Pada permasalah ini menyangkut akan tolak ukur kesahihan matan

29
Pendapat Ibn Qayyim al-Jauziyyah yang diambil oleh Salâẖ al-Dîn al-Idlibî, Manhaj Naqdul Matan
(Beirut: Dâr al-Ifâq al-Jadidah), h. 356.
30
Syuhdi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 124.
hadis, para ulama hadis berbeda-beda dalam menentukan kesahihan matan,
Ibn Qayyim sendiri dalam menentukan kesahihan matan hadis beliau
membuat beberapa kriteria kepalsuan matan hadis, matan hadis yang
dianggap sahih menurut Ibn Qayyim apabila matan hadis tersebut terhindar
dari tiga belas kriteria kepalsuan matan.
Ibn Qayyim dalam menentukan kriteria kesahihan hadis,ia lebih
mencermati kesahihan matannya. Dan ia juga membuat beberapa ketentuan,
dalam menentukan kriteria matan yang sahihIbn Qayyim menyebutkan
beberapa ketentuan matan hadis yang palsu, jadi bisa dikatakan apabila
matan hadis tersebut dianggap sahih maka matan hadis tersebut tidak
mengandung ketentuan yang telah Ibn Qayyim tentukan, begitu juga
sebaliknya apabila matan hadis tersebut mengandung beberapa kriteria
matan yang palsu maka matan tersebut ditolak.
PENUTUP

A. SIMPULAN
Berdasarkan dari perumusan masalah dan tujuan penelitian, penulis
dapat menyimpulkan beberapa keterangan pembahasan pada bab-bab yang
penulis teliti, diantaranya:
1. Kriteria hadis sahih menurut ulama-ulama hadis aimmah sittahlebih
mendahulukan kesahihan sanadnya terlebih dahulu dari pada matanya.
sedangkan standarisasi hadis sahih menurut ibn Al-Qayyim AlJauziyyah
masih di bawah standarisasi kesahihan hadis menurut ulam-ulama hadis
2. Pemahaman Ibnu Qayyim dalam hadis ta’aruḏ,ia menyelesaikannya
dengan menggunakan dua metode yakni dengan menggunakan metode
Nash-Mansukh dan dengan menggunakan metode Tarjih, tanpa
menggunakan metode al-Jam’u karena Ibnu Qayyim memandang bahwa
setiap hadis sahih pasti mempunyai beberapa kondisi tertentu yang
menyebabkan hadis itu muncul, oleh karena itu menggabungkan dua
hadis tidaklah dirasa menyelesaikan permasalahan.

B. SARAN
Perlu kita ketahui Al-Qur’an dan Hadis merupakan kedua komponen
dasar syari’at hukum Islam, dimana keduanya telah menjelaskan berbagai
macam pengetahuan agar supaya manusia berfikir dan menjalankan berbagai
macam pengetahuan yang ada didalam keduanya. Diharapkan bagai kaum
cendikiawan Muslim turut menyumbangkan berbagai macam inovasi pada kedua
kajian tersebut, sehingga al-Qur’an dan Hadis masih tetap eksis dalam setiap
waktu dan zaman, khususnya bagi kaum cendikiawan muslim yang bergerak
dalam bidang hadis, setidaknya mereka mulai memikirkan akan
keberlangsungan pemikiran ataupun membuat inovasi baru untuk pemahaman
terhadapnya, khususya dalam pemahaman matan hadis karena bisa dikatakan
pembelajaran akan matan hadis masih sedikit dibandingkan pembelajaran sanad
hadis.
Penulis sangat menyadari bahwa terdapat kekurangan didalamnya,
oleh karena itu kata-kata terakhir yang ingin penulis katakan ditulisan ini yakni
meminta maaf atas segalanya dan inilah yang penulis dapat persembahkan untuk
pembaca dan mudah-nudahan dengan tenaga dan fikiran yang tercurahkan dari
penulis dapat memberikan sumbangsih terhadap kajian hadis di zaman ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman,M. Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan


Status Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000).
Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah,‘Ulûm al-Hadits, al-
Maktabah al-Islamiyah al- Madinah al-Munawwarah, tahun1972.
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhah al-Nazhâr Syarh Nukhbah al-Fikâr,
Maktabah al- Munawwar, Semarang, tth.
al-DFaminiy, Musfir Adzmullah. Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, (Riyadh: tp.,
1984), cet.1.
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Hanya Untukmu Anakku: Panduan Lengkap Pendidikan
Anak Sejak dalam Kandungan Hingga Dewasa, (Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i, 2010).
al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. al-Furusiyyah, (Madinah: Maktabah dar al-turas, 1990),
cet. 1.
Al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah. (Mesir: Mathba’ah al-
Sa’adah, 1972).
al-Mas’udi Hafidh Hasan. Ilmu Musthalahul Hadist, (Surabaya: al-Hidayah, TT).
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kcana Predana Media Group, 2013).
Ismail, Syuhdi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
Khalâf, ‘Abd Raẖman. Naqd Matn Baina Sina’âh al-Muẖaddithȋn wa al-
Mustashriqȋn. (Riyâḏ: Maktabah Ibn Rûsyd, 1989).
Muhsin, Masrukhin. Kritik Matan Hadis; Studi Perbandingan antara Manhaj
Muẖadditsȋn Mutaqaddimȋn dan Muta’akhkhirȋn (Magelang: PKBM Ngudi
Ilmu, 2013).
Musfir ‘Azmullâh al-Daminȋ, Maqâyȋs Naqd Mutûn al-Sunnah .(Riyâḏ: al-
Su‛ûdiyyah, 1984), cet.1.
Nuruddin ‘Itr, Manhajun Naqd fi ‘Ulum al-Hadits.(Beirut: Dar alFikr, 1989).
Pendapat Ibn Qayyim al-Jauziyyah yang diambil oleh Salâẖ al-Dîn al-Idlibî, Manhaj
Naqdul Matan. (Beirut: Dâr al-Ifâq al-Jadidah).
Rahman,Fahrur. Ikhtisar Musthalahul Hadist, (Bandung : PT. al-Ma’arif, 1991).
Shalahuddin bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn (Beirut: Dar al-Afaq al-
Jadidah, 1983).
Shubhi al-Shalih, ‘Ulûm al-Hadits wa Musthalahuh, Dar al-‘Ilm li al-Malayin,
Beirut, tahun 1988.
Susanto. Pemikiran Pendidikan Islam. (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010).

Anda mungkin juga menyukai