Disusun Oleh:
GANJARAN GUSTI AGUNG ( 22503012 )
A. Latar Belakang
Pengembangan studi terhadap hadis Nabi jauh lebih komplek dan
berat dari pada studi Al-Qur’an. Studi atas Al-Qur’an dapat begitu terbuka luas
tanpa harus ada kekhawatiran dari pihak penafsir akan berkurangnya otoritas Al-
Qur’an sebagai pedoman hidup di manapun dan sampai kapanpun. Lain halnya
dengan hadis, para ulama ahli hadis lebih cenderung mengendalikan diri dan
mengutamakan sikap reverse (segan) dalam melakukan kajian ulang dan
pengembangan pemahaman atau pemikiran terhadap hadis, karena hadis adalah
segala ucapan, perbuatan, persetujuan (taqriri) atau apapun yang disandarkan
kepada Nabi.1 Jadi ada semacam pengkultusan Nabi, karena itulah sikap ketidak
kritisan ulama kepada hadis bisa jadi bukan karena sisi ilmiah, namun karena
sosok Nabi sebagai pemimpin agama, sebagai utusan Tuhan yang memiliki sifat
ma’shum, maka pengkultusan ini tidak terlekkan dan ini adalah bagian dari
kondisi psikologis belaka, bukan pada sisi ilmiahnya. Di lain pihak, dinamika
masyarakat dewasa ini begitu cepat menghendaki adanya pengkajian ulang
terhadap hadis. Sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an adalah hadis,
hadis merupakan segala perkataan dan perilaku yng dilakukan oleh nabi
Muhammad SAW. Hendaklah umatnya meniru atau melaksanakan sunnah nabi
tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari. Berbicara mengenai hadis, hadis
juga memiliki beberapa tingkatan-tingkatan, seperti: hadis sahih, hadis hasan,
hadis dho’if, hadis maudhu’. Masing-masing ulama hadis mempunyai kriteria
dalam menentukan kesahihan hadis.
Dalam kajian hadis pun terdapat problematika dan perdebatan,
khususnya perdebatan seputar kajian kritik hadis hingga sekarang masih
memunculkan polemik di berbagai kalangan. Kritik hadis bukan hanya menjadi
“concern” kalangan ahli hadis, atau bahkan kalangan sarjana Muslim saja.
Sejumlah sarjana Barat pun memiliki perhatian cukup besar dalam studi ini. 2
Secara umum, kritik hadis terbagi menjadi dua macam; sanad dan matan. Kajian
1
Nuruddin ‘Itr, Manhajun Naqd fi ‘Ulum al-Hadits(Beirut: Dar alFikr, 1989), h. 27.
2
Musfir ‘Azmullâh al-Daminȋ, Maqâyȋs Naqd Mutûn al-Sunnah (Riyâḏ: al-Su‛ûdiyyah, 1984), cet.1,
h. 241.
tentang kritik sanad berkisar pada transmisi periwayatan yang bertumpu pada
kredibilitas para informan hadis (periwayat). Sementara dalam kajian matan
dititik beratkan pada aspek kandungan hadis (isi/matan). Keduanya memiliki
urgensitas yang tinggi dan berkelindan satu dengan lainnya.
Secara umum, kritik matan dilakukan setelah sebuah hadis telah
dianggap shahih secara sanad, karena jika sudah dianggap tidak sahih secara
sanad, sebuah hadis tidak akan bernilai dan tidak bermanfaat untuk diteliti
kandungan matannya.3 Sejumlah pakar menyebutkan bahwa karya pertama yang
membahas secara menyeluruh tentang teori kajian kritik matan hadis adalah al-
Manâr al-Munif fi al-Sahih wa al-da’if, buah karya dari Ibn al-Qayyim al-
Jauziyyah (W.751 H).4 Terdapat tiga problem mendasar dalam kajian hadis,
yaitu; otentisitas, pemaknaan, dan aplikasi. Ketiga problem tersebut pada titik
tertentu menjadi tugas sarjana-sarjana Islam dari berbagai disiplin ilmu.
Melihat langkah awal para ulama dalam menetapkan keshahih-an dan
kelemahan suatu hadis, adalah menentukan prinsip-prinsip dasar suatu hadis
sebagai cara untuk melakukan elaborasi terhadap keberadaan hadis. Langkah ini
memungkinkan terjadinya perbedaan nuansa antara ulama yang satu dengan
ulama yang lain. Dalam beberapa hal, nuansa perbedaan tersebut juga terimbas
dalam menetapkan status hadis. Dari kalangan ahli hadis, ahli fiqh, failasuf, sufi
dan sejarawan, memiliki pandangan tersendiri tentang shahih atau tidaknya suatu
hadis.5 Dari ketiga problem mendasar di atas yang menjadi pusat perhatian bagi
penulis yakni standarisasi tolok ukur sebuah hadis.
Penjelasan lain, al-Khathib al-Baghdadi menjelaskan bahwa matan
hadis yang maqbul (diterima sebagai hujjah) haruslah: 1) tidak bertentangan
dengan akal yang sehat; 2) tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang
telah muhkam; 3) tidak bertentangan dengan hadis mutawatir; 4) tidak
bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu
3
‘Abd Raẖman Khalâf, Naqd Matn Baina Sina’âh al-Muẖaddithȋn wa al-Mustashriqȋn. (Riyâḏ:
Maktabah Ibn Rûsyd, 1989) h. 19.
4
Masrukhin Muhsin, Kritik Matan Hadis; Studi Perbandingan antara Manhaj Muẖadditsȋn
Mutaqaddimȋn dan Muta’akhkhirȋn (Magelang: PKBM Ngudi Ilmu, 2013) h. 5-6.
5
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis
(Jakarta: Paramadina, 2000), cet. 1, h. 89.
(ulama salaf); 5) tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti; dan 6) tidak
bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.6
Berbeda dari pendapat Shalahuddin al-Adlabi, ia mengemukakan
bahwa pokok-pokok tolok ukur penelitian kesahihan matan ada empat macam,
yakni: 1) tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an; 2) tidak bertentangan
dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat; 3) tidak bertentangan dengan akal
yang sehat, indera, dan sejarah; dan 4) susunan pernyataannya menunjukkan
ciri-ciri sabda kenabian.7 Tolok ukur tersebut masih bersifat global dan masih
dimungkinkan untuk dikembangkan.
Bermula dari perdebatan sejumlah pakar dalam memahami hadis Nabi
di atas, penulis membahas mengenai standarisasi hadis shahih menurut Ibn
Qayyim al-Jauziyyah. Ibn Qayyim al-Jauziyah adalah pengikut dan tokoh
mazhab Hanbali sebagaimana gurunya Ibn Taimiyah. Sejatinya aliran Hanabilah
masuk dalam kategori mutakallimin yang dalam menyikapi hadis lebih
memberatkan pada kritik matan hadis secara formal, namun Ibn Qayyim
menyimpang dalam hal ini dengan lebih memberatkan pada subtansi, bukan
formal. Maka ia bisa dimasukkan dalam kalangan fuqaha, yang memahami hadis
dengan pendekatan fiqh. Dalam mencari pemahaman hadis dalam masalah
teologis, ia cenderung memaknai secara tekstual. Bagi masalah lain, ada
penggunaan pendapat salaf al-shalih dan analisa zhahir hadis, yaitu yang
berkenaan dengan sanad dan matan hadis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana standarisasi hadis shahih secara umum ?
2. Bagaimana standarisasi hadis shahih menurut Ibn Al-Qayyim Al-
Jauziyyah?
C. Tujuan
6
Al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah, 1972), h.
206-207.
7
Shalahuddin bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983),
cet. 1, h. 238.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan nya adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui standarisasi hadis shahih secara umum.
2. Untuk mengetahui standarisasi hadis shahih menurut Ibn Al-Qayyim Al-
Jauziyyah.
PEMBAHASAN
11
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kcana Predana Media Group, 2013), 160-169
12
Fahrur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadist, (Bandung : PT. al-Ma’arif, 1991), 101
Contoh: hadis shahih li-dhatih adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari, dari jalur al-A'raj, dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Rasul
bersabda:
Contoh: hadis shahih li-ghairih, ialah hadis al-Bukhari dari Ubay bin al-
Abbas bin Sahal dari ayahnya ('Abbas) dari neneknya (Sahal) katanya:
كن النبي صلى هللا عليه وسلم في حائتنا فرس يقال له اللحيف
13
Hafidh Hasan al-Mas’udi, Ilmu Musthalahul Hadist, (Surabaya: al-Hidayah, TT), 14.
3. Sebagian ualam' seperti Ibn Huzm, memandang bahwa semua hadis
shahih berstatus qath'i tanapa dibedakan apakah hadis tersebut dari al-
Bukhari dan Muslim atau yang lainnya. Menurutnya tidak ada alasan
yang cukup untuk membedakan hal ini berdasarkan siapa yang
meriwayatkan. Ia berpendapat bahwa semua hadis jika syaratnya
terpenuhi, maka juga dapat dijadikan hujjah.14
(W. 751 H.) dalam salah satu karyanya mengatakan: 23 yang juga dikutip oleh
21
Ibid.,
22
Ibid.,
23
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Furusiyyah, (Madinah: Maktabah dar al-turas, 1990), cet. 1, hal.
154-155
24
Musfir Adzmullah al-DFaminiy, (Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, (Riyadh: tp., 1984), cet.1, hal.
52
Tidak ada syadz;
Tidak ada nakarah (bukan hadis munkar);
Perawinya tidak kontroversial (al-tsiqah).
27
Ibnu Qayyim, Ijtima‟ al-Juyusy … hal. 59.
(cermat); 4) terbebas dari kontroversi; dan 5) tidak memiliki cacat. Kriteria
ini sama dengan pendapat para ulama ahli hadits lain, seperti Ibn Shalah, Ibn
Hajar al-'Asqalani, Jalaluddin as-Suyuthi, an-Nawawi dan ulama lainnya.
Sedangkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah juga memberikan kriteria
kesahihan hadis dengan teori diametrikal (terbalik), yaitu hadits-hadits yang
mengandung berbagai macam hal berikut, maka perlu dicurigai
kesahihannya, bisa jadi itu adalah hadits dla'if (seperti pada kebanyakan
hadits tentang shalat), ataupun bisa jadi itu adalah hadits maudlu', jika dilihat
dari matan hadits. Perangkat akal menjadi sangat vital peranannya menurut
Ibnul Qayyim. Jika secara matan sudah dicurigai dloif, maka perawi-
perawinya juga pasti ada yang bermasalah. Namun tidak begitu jika
sanadnya dloif, tidak serta merta matan menjadi dloif juga. Berikut kritertia-
kriteria hadits shahih yang bisa diketahui melalui matan hadits:28
a. Materi hadis tidak mengandung perkiraan-perkiraan yang tidak biasa
dikemukakan oleh Nabi.
b. Materi hadis tidak bertentangan dengan penemuan empiric
c. Materi hadis tidak berupa pernyataan yang kotor dan keji
d. Materi hadis tidak bertentangan dengan materi sunnah yang jelas
diyakini datang dari Nabi.
e. Materi hadis tidak berisi informasi yang menyatakan bahwa Rasul
Muhammad saw. telah berbuat sesuatu dihadapan para sahabatnya,
tetapi para sahabat sepakat untuk tidak meriwayatkannya.
f. Materi hadis tidak batal dengan sendirinya disebabkan tidak pantas
disandarkan kepada Nabi.
g. Materi hadis harus layak disebut sebagai perkataan para Nabi, lebih-
lebih layak disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. yang hakekatnya
merupakan wahyu.
h. Materi hadis tidak mengisahkan cerita-cerita yang aneh-aneh dan tidak
masuk akal.
i. Materi hadis tidak menyerupai pernyataan-pernyataan paramedis,
dokter dan dukun.
28
Ibnul Qayyim, Naqdul Manqul wal Muhakkil Mumayyiz …. Hal 1-38.
j. Materi hadis tidak dengan sendirinya dibantah dan dibatalkan oleh
argumentasi dan dalil-dalil yang sahih dan kuat .
k. Materi hadis tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
l. Materi hadis tidak dibatalkan oleh adanya indikator-
indikator yang cukup jelas
m. Materi hadits tidak berisikan pernyataan-pernyataan yang mengada-ada
tentang keutamaan makanan dan tempat tertentu.
Hal ini tentu sebuah terobosan pada zamannya, di mana
kebanyakan ulama hadits berhenti pada analisa sanad dan mengabaikan
"kebenaran" matan. Sebenarnya matan hadits yang dla'if atau maudlu' dalam
perspektif Ibnul Qayyim sangat mudah diketahui. Dengan 13 kriteria di atas
maka tiap pembaca hadits akan “curiga” pada hadits-hadits yang berisikan
hal-hal yang tidak masuk akal, dengan pengetahuan yang sederhana saja,
terlebih dengan pengetahuan yang mendalam atas sirah Nabi dan pengetahuan
Nabi. Misalnya dalam hadits tentang keutamaan ‘adas, biji-bijian (atau
kacang-kacangan) yang biasa dikonsumsi orang arab:
حديث عليكم بالعدس فإنه مبارك يرقق القلب ويكثر الدمعة قدس فيه سبعون نبيا وقد
سئل عبدهللا بن المبارك عن هذا الحديث وقيل له إنه يروى عنك فقال وعني ما أرفع
شيئا في العدس إنه شهوة اليهود ولو قدس فيه نبي واحد لكان شفاء من األدواء فكيف
بسبعين نبيا وقد سماه هللا (أدنى) البقرة.
وذم من اختاره على المن والسلوى وجعله قرين الثوم والبصل أفترى أنبياء بني
إسرائيل قدسوا فيه لهذه العلة والمضار التي فيه من تهييج السوداء والنفخ والرياح
ويشبه أن يكون. الغليظة وضيق النفس والدم الفاسد وغير ذلك من المضار المحسوسة
هذا الحديث من وضع الذين اختاروه على المن والسلوى وأشباههم
Masih dalam bab makanan, ada hadits yang beliau nyatakan sebagai hadits
maudlu', yakni tentang keburukan gargir (sayuran yang berbentuk seperti
selada) bagi yang mengkonsumsinya malam hari:
وحديث بئس البقلة الجرجير من أكل منها ليال بات ونفسه تنازعه ويضرب عرق
الجذام في أنفه كلوها نهارا وكفوا عنها ليال
Hadits maudlu' yang lain diketahui karena tidak mungkin perkataan ini
bersumber dari Nabi, karena pribadi dan sifat Nabi yang jelas sangat
bertentangan dengan ucapannya, contohnya adalah hadits bahwa Nabi
mengkonsumsi roti (haritsah) surga yang dibawakan Jibril, yang dapat
melipat gandakan stamina 40 kali untuk bersetubuh:
حديث أتاني جبريل بهريسة من الجنة فأكلتها فأعطيت قوة أربعين رجال في الجماع.
“Dan sungguh telah diketahui bahwa kesahihan sanad merupakan satu syarat
dari beberapa syarat kesahihan hadis, karena sesunguhnya hadis bisa
dianggap sahih apabila terkumpul padanya beberapa perkara diantaranya
sahihnya sanad hadis dan tidakadanya ‘ilat, syadz dan tidak munkar.”29
29
Pendapat Ibn Qayyim al-Jauziyyah yang diambil oleh Salâẖ al-Dîn al-Idlibî, Manhaj Naqdul Matan
(Beirut: Dâr al-Ifâq al-Jadidah), h. 356.
30
Syuhdi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 124.
hadis, para ulama hadis berbeda-beda dalam menentukan kesahihan matan,
Ibn Qayyim sendiri dalam menentukan kesahihan matan hadis beliau
membuat beberapa kriteria kepalsuan matan hadis, matan hadis yang
dianggap sahih menurut Ibn Qayyim apabila matan hadis tersebut terhindar
dari tiga belas kriteria kepalsuan matan.
Ibn Qayyim dalam menentukan kriteria kesahihan hadis,ia lebih
mencermati kesahihan matannya. Dan ia juga membuat beberapa ketentuan,
dalam menentukan kriteria matan yang sahihIbn Qayyim menyebutkan
beberapa ketentuan matan hadis yang palsu, jadi bisa dikatakan apabila
matan hadis tersebut dianggap sahih maka matan hadis tersebut tidak
mengandung ketentuan yang telah Ibn Qayyim tentukan, begitu juga
sebaliknya apabila matan hadis tersebut mengandung beberapa kriteria
matan yang palsu maka matan tersebut ditolak.
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan dari perumusan masalah dan tujuan penelitian, penulis
dapat menyimpulkan beberapa keterangan pembahasan pada bab-bab yang
penulis teliti, diantaranya:
1. Kriteria hadis sahih menurut ulama-ulama hadis aimmah sittahlebih
mendahulukan kesahihan sanadnya terlebih dahulu dari pada matanya.
sedangkan standarisasi hadis sahih menurut ibn Al-Qayyim AlJauziyyah
masih di bawah standarisasi kesahihan hadis menurut ulam-ulama hadis
2. Pemahaman Ibnu Qayyim dalam hadis ta’aruḏ,ia menyelesaikannya
dengan menggunakan dua metode yakni dengan menggunakan metode
Nash-Mansukh dan dengan menggunakan metode Tarjih, tanpa
menggunakan metode al-Jam’u karena Ibnu Qayyim memandang bahwa
setiap hadis sahih pasti mempunyai beberapa kondisi tertentu yang
menyebabkan hadis itu muncul, oleh karena itu menggabungkan dua
hadis tidaklah dirasa menyelesaikan permasalahan.
B. SARAN
Perlu kita ketahui Al-Qur’an dan Hadis merupakan kedua komponen
dasar syari’at hukum Islam, dimana keduanya telah menjelaskan berbagai
macam pengetahuan agar supaya manusia berfikir dan menjalankan berbagai
macam pengetahuan yang ada didalam keduanya. Diharapkan bagai kaum
cendikiawan Muslim turut menyumbangkan berbagai macam inovasi pada kedua
kajian tersebut, sehingga al-Qur’an dan Hadis masih tetap eksis dalam setiap
waktu dan zaman, khususnya bagi kaum cendikiawan muslim yang bergerak
dalam bidang hadis, setidaknya mereka mulai memikirkan akan
keberlangsungan pemikiran ataupun membuat inovasi baru untuk pemahaman
terhadapnya, khususya dalam pemahaman matan hadis karena bisa dikatakan
pembelajaran akan matan hadis masih sedikit dibandingkan pembelajaran sanad
hadis.
Penulis sangat menyadari bahwa terdapat kekurangan didalamnya,
oleh karena itu kata-kata terakhir yang ingin penulis katakan ditulisan ini yakni
meminta maaf atas segalanya dan inilah yang penulis dapat persembahkan untuk
pembaca dan mudah-nudahan dengan tenaga dan fikiran yang tercurahkan dari
penulis dapat memberikan sumbangsih terhadap kajian hadis di zaman ini.
DAFTAR PUSTAKA