Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Suatu proses yang tak kalah penting dari sebuah hadits itu adalah
periwayatannya, bagaimana sebuah hadits itu bisa terjaga semenjak masa Nabi
hingga pada masa sekarang ini, tentu semua itu ada metode dan cara-cara
tertentu yang di pakai oleh seorang perawi dalam menerima dan
menyampaikan hadits tersebut. Inilah yang insyaAllah akan kami bahas dalam
makalah ini, yaitu mengenai periwayatan hadits, Banyak diantara kita hanya
tahu matan atau isi dari hadits tersebut, kita tidak pernah tahu bagaimana
hadits itu disampaikan, mulai dari masa Nabi hingga hadits-hadits itu
dibukukan oleh para ulama. Dengan latar belakang banyaknya orang yang
tidak tahu mengenai periwayatan hadits inilah kami akan membahas pada
makalah ini sebuah pembahsan yang berjudul ‘periwayatan hadits’.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun mencoba
merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari periwayatan hadits
2. Apa syarat-syarat tahmmul dan ada’ al-hadits
3. Apa yang dimaksud dengan periwayatan dengan lafazh dan makna, dan
apa hukum periwayatn hadits dengan makna
4. Apa yang dimaksud dengan tahammul dan ada’ al-hadits dan bagaimana
bentuk-bentuknya
5. Apa pegertian riwayah dan syahadah
6. Apa persamaan dan perbedaan antara riwayah dan syahadah dan apa
hubungan antara keduanya

II
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Periwayatan Hadits


Kata riwayat berasal dari Bahasa Arab yaitu ‫رواية‬. Kata ‫ رواية‬adalah
bentuk mashdar dari kata ‫ رواية‬- ‫ يروى‬- ‫ روى‬semakna dengan kata ‫ نقال‬- ‫ ينقل‬- ‫نقل‬
dan
‫ديث‬00‫ رواية الح‬.‫را‬00‫ ذك‬- ‫ذكر‬00‫ ي‬- ‫ ذكر‬artinya adalah ‫ره‬00‫( نقله وذك‬memindahkannya dan
menyebutkannya).1
Riwayat menurut bahasa adalah memindahkan dan menukilkan berita
dari seseorang kepada orang lain. Menurut ilmu hadits adalah memindahkan
hadits dari seorang guru kepada orang lain, atau membukukannya ke dalam
kumpulan hadits. Pemindah hadits itu dinamai rawi, rawi pertama adalah
shahabi dan rawi terakhir adalah orang yang membukukannya.2
Pengertian periwayatan secara umum adalah seperti yang dikemukakan
oleh Abdul Majid Khon dalam bukunya Takhrij dan Metode Memahami
Hadis, beliau mengutip pendapat dari Muhammad Ibrahim Al-Hafrawi
mengatakan, bahwa riwayah adalah:

‫الرواية هي االخبار عن شيئ عام للناس ال ترافع فيه الى الحكام‬

“Periwayatan adalah pemberitaan tentang sesuatu yang bersifat umum untuk


manusia tidak terkait pelaporan kepada hakim”.3
Sedangkan Periwayatan yang lebih spesifik lagi, yaitu periwayatan
hadits, defenisinya adalah seperti yang dikemukakan oleh Nuruddin ‘Itr
dalam bukunya ‘Ulumul Hadis (terjemahan), beliau mengatakan bahwa
periwayatan hadits adalah:
‫الرواية عند المحدثين حمل الحديث ونقله واسناده الى من عزي اليه بصيغة‬
‫من صيغ االداء‬

1
Louwis bin Naqula Dhahir Al-Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam, (Beirut: Dar Al- Masyriq, 1975),
hal 289
2
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2009), hal 148
3
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), hal 22

1
“Periwayatan (hadits) menurut para ahli hadits (muhadditsin) adalah
membawa dan menyampaikan hadits dengan menyandarkannya kepada orang
yang menjadi sandarannya, dengan menggunakan salah satu bentuk kalimat
periwayatan”.4
Periwayatan hadits itu adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian
hadits kepada serangkaian periwayatan dengan bentuk-bentuk tertentu. 5Atau
periwayatan hadits adalah tata cara penerimaan, penyampaian dan pelestarian
hadits. Dalam defenisi di atas ada tiga komponen penting dalam periwayatan
hadits, yaitu mendengar/menerima hadits (sima’/tahammul al-hadits),
menyampaikan hadits (ada’ al-hadits) dan dhabthul hadits (melestarikan
hadits).6
Tata cara mendengar/menerima hadits (sima’/tahammul al-hadits) adalah
penjelasan tentang cara syarat yang harus dimiliki seseorang yang hendak
mendengar riwayat hadits dari guru-gurunya untuk selanjutnya disampaikan
kepada orang lain, seperti syarat ketentuan umur dan lain sebagainya. Tata
cara menyampaikan hadits (ada’ al-hadits) adalah penjelasan tentang sistem
penyampaian hadits oleh seorang guru kepada muridnya dan syarat-syarat
seseorang yang boleh menyampaikan hadits dan meriwayatkannya. Tata cara
melestarikan hadits (dhabthul hadits) adalah bagaimana seorang murid
memelihara (menghafal) secara benar dan meyakinkan riwayat hadits yang
pernah diterimanya dari gurunya untuk kemudian disampaikan kepada orang
lain.7

B. Periwayatan Hadits Dengan Lafazh dan Makna


1. Periwayatan Hadits Dengan Lafazh
Utang Ranuwijaya mengatakan periwayatan hadits dengan lafzah adalah
periwayatan hadits yang redaksi atau atau matannya persis sama seperti yang
diwurudkan oleh Rasulullah SAW. Menurut defenisi ini berarti apa yang
diriwayatkan oleh para perawi harus sama dengan apa yang disebutkan oleh

4
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2012), hal 179
5
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2007), hal 59
6
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, (Malang: UIN-Malang Press, 2006), hal 173
7
Ibid

2
Nabi SAW, tanpa ada penambahan atau pengurangan walaupun satu huruf.8
Mengenai periwayatan secara lafazh ini, sangat disukai para sahabat,
seperti yang disebut oleh Muhammad Ajjaj Al-Khatib, bahwa sebenarnya
seluruh sahabat Nabi SAW menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi
bukan dengan ma’nawi. Keinginan mereka itu tentunya mempunyai sebab
tersendiri, yang salah satu sebabnya adalah adanaya ancaman Nabi SAW bagi
orang yang berdusta atas dirinya (membuat hadits palsu). Dalam hal ini Nabi
mengancam dengan siksaan yang pedih di neraka. Oleh karena pentingnya
periwayatan dengan lafazh ini, maka Umar bin Khaththab pernah berkata
“Barang siapa yang pernah mendengar hadits dari Rasulullah SAW, kemudian
ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat.” Ucapan
Umar ini merupakan peringatan kepada perawi hadits untuk meriwayatkan
hadits Nabi sesuai dengan yang didengar yakni periwayatan secara lafazh,
sehingga mereka terhindar dari ancaman api neraka.9
Di antara para sahabat Nabi yang paling keras mengharuskan periwayatan
hadits dengan jalan lafazh ialah Ibnu Umar yang pernah suatu hari ketika
seorang sahabat (Ubay bin Abi Amir) menyebutkan hadits lima prinsip dasar
Islam, ia meletakkan zakat pada urutan ketiga, Ibnu Umar langsung menyuruh
ia meletakkan pada urutan keempat sebagamana yang ia (Ibnu Umar) dengar
dari Rasulullah SAW.10

2. Periwayatan Hadits Dengan Makna


Periwayatan hadits dengan makna atau dikenal dengan periwayatan
ma’nawi artinya adalah periwayatan yang redaksi matannya tidak persis sama
dengan yang didengar perawi dari Rasulullah SAW, namun isi atau maknanya
sesuai dengan makna yang dimaksud oleh Rasulullah SAW tanpa ada
perubahan sedikitpun. Dari defenisi di atas tersebut dapat dipahami bahwa
periwayatan dengan makna adalah periwayatan dengan lafazh, dalam hal ini
yang dipelihara adalah makna hadits bukan lafazhnya.11
Di antara para sahabat yang membolehkan periwayatan dengan makna ini
8
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 69
9
Ibid, hal 71
10
Ibid, hal 71-72
11
Ibid, hal 72

3
adalah: Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abu Darda’,
dan Abu Hurairah. Kemudian dari kalangan tabi’in: Hasan Al-Bashri, Asy-
Sya’bi, Amr bin Dinar, Ibrahim An-Nakha’i, Mujahid, dan Ikrimah. Ibnu Sirin
seperti yang dikutip Utang Ranuwijaya, telah berkata: Aku mendengar hadits
dari sepuluh orang dalam makna yang sama, akan tetapi dengan redaksi lafazh
yang berbeda. Pendapat ini mengindikasikan bahwa jenis hadits yang
diriwayatkan dengan cara inilah yang banyak jumlahnya.12
Jumhur ulama, termasuk Imam Mazhab yang empat, berpendapat
bolehnya meriwayatkan hadits dengan makna bagi orang yang berkecimpung
dalam ilmu hadits dan selektif dalam mengidentifikasi karakter lafal-lafal
hadits manakala bercampur aduk, sebab hadits yang dapat diriwayatkan
dengan maknanya saja harus memenuhi dua kriteria, yaitu lafal hadits bukan
bacaan ibadah dan hadits tersebut tidak termasuk jawami’ al-kalim (kata-kata
yang sarat makna) yang diucapkan Nabi SAW.13
Para Ulama sependapat mengatakan bahwa seorang perawi yang tidak
mempunyai ilmu yang dalam mengenai lafazh-lafazh hadits, madlul-
madlulnya, dan maksud-maksudnya, dan tidak mempunyai pengetahuan
mengenai hal-hal yang memalingkan makna hadits, tidak mempunyai
pengetahuan tentang kadar-kadar perbedaan, tidak boleh meriwayatkan hadits
dengan makna, wajiblah ia menyampaikan menurut lafazh yang ia dengar.
Demikian menurut nukilan Ibnu Shalah dan An-Nawawi.14
Adapun mengenai periwayatan hadits dengan makna ini ada dua
pendapat, yaitu:
a. Tidak Boleh
Inilah pendapat segolongan ulama hadits, fuqaha’, dan ushuliyyin. Di
antara yang tidak membolehkan adalah Ibnu Sirin, Tsa’lab, Abu Bakar Ar-
Razi, dan lain-lain.15

b. Boleh

12
Ibid, hal 72-73
13
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, hal 223
14
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid II, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), hal 91
15
Ibid

4
Dengan syarat:
1) Kalau yang diriwayatkan itu bukan hadits marfu’, kalau hadits
marfu’tidak dibolehkan. Inilah pendapat Malik menurut nukilan Al-
Khalil bin Ahmad dan Baihaqi dalam al-madkhal.16
2) Apabila hadits tersebut sesuai dengan makna hadits yang didengar.
Inilah yang ditunjukkan oleh para sahabat dan ulama salaf, mereka
sering meriwayatkan sesuatu riwayat dengan bermacam lafazh.17
3) Jika si perawi tidak ingat lagi dengan lafazh, jika ia masih ingat lafazh
aslinya tidak dibolehkan.18
4) Harus diganti dengan lafazh yang muradif.19
5) Jika hadits itu mengenai ilmu, seperti i’tiqad. Kalau mengenai amal
tidak dibolehkan.20
6) Orang yang menyampaiakan hadits tersebut memiliki pengetahuan
Bahasa Arab yang tinggi.21
7) Matan hadits hendaknya didahului (ditambah) dengan kata-kata ‫او كما‬
‫ قال‬atau ‫ او نحو هذا‬atau kata yang lain yang mempunyai makna yang
sama.22

C. Tahammul dan Ada’ Al-Hadits


Ada dua unsur penting dalam periwayatan hadits yang tidak boleh
diabaikan, yaitu penerimaan dan penyampaian. Unsur ini dikenal dengan
tahammul al-hadits wa ada’ al-hadits. Dalam masalah tahammul dan ada’ ini
para ulama pada umumnya membagi kedalam delapan bentuk, penerimaan
sekaligus merupakan bentuk penyamapaian. Ini dilakukan karena setiap
penerimaan suatu hadits berarti di saat itu pun berlangsung peristiwa
penyampaian. Seorang murid menerima suatu hadits dari gurunya dan disisi
lain gurunya tersebut telah melakukan penyampaian suatu hadits yang
dimilikinya kepada muridnya.23
16
Ibid
17
Ibid, hal 92
18
Ibid, hal 93
19
Ibid
20
Ibid
21
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 74
22
Ibid
23
Ibid, hal 60

5
1. Pengertian Tahammul dan Ada’ Al-Hadits
Kata tahammul merupakan bentuk mashdar dari kata ‫تحمال‬-‫ل‬00‫يتحم‬-‫ تحمل‬,
yang berarti menerima.24 Sedangkan secara istilah adalah:
‫بيان طرق اخذ الحديث عن الشيخ‬
“Penjelasan mengenai cara-cara para periwayat dalam mengambil atau
menerima hadits dari gurunya”.25
Muhammad Ajjaj Al-Khatib dalam kitabnya Ushulul Hadits ‘Ulumuhu
wa Mushthalahuhu menjelaskan, bahwa tahammul al-hadits adalah:

‫اخذ الحديث عن الشيخ بطريق من طرق التحمل‬

“Kegiatan mengambil hadits dari seorang guru dengan menggunakan


cara-cara tertentu”.26
Atau tahammul al-hadits adalah cara-cara menerima hadits dan
mengambilnya dari syaikh.27Kemudian ada’ al-hadits, kata ada’ merupakan
isim mashdar dari kata ‫اداء‬-‫أدى‬00‫ي‬-‫ادى‬yang berarti menyampaikan atau
menunaikan.28 Sedangkan menurut istilah adalah:
‫بيان طرق اداء الحديث او رواية الحديث و اعطائه للطالب‬
“Penjelasan mengenai cara-cara menyampaikan hadits yang diterima
oleh para periwayat hadits dari syaikh atau gurunya”.29
Atau, ada’ al hadits adalah:

‫رواية الحديث وتبليغه‬

“Meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada orang lain”.30

2. Syarat-Syarat Tahammul dan Ada’ Al-Hadits


a. Syarat-Syarat Tahammul Al-Hadits
24
Umi Sumbulah, Studi Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hal 64
25
Ibid
26
Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1989), hal
227
27
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hal 181
28
Umi Sumbulah, Studi Kritis Ilmu Hadis, hal 64
29
Ibid
30
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, hal 60

6
Abdul Majid Khon mengatakan bahwa syarat tahammul al-hadits
adalah keahlian dalam periwayatan. Meskipun demikian, ulama pada
umumnya tidak memberikan syarat untuk tahammul sebagaimana ada’.
Hal ini diibaratkan dengan orang yang mengikuti mejelis ta’lim. Semua
orang boleh mengikutinya, sekalipun nonmuslim dan belum baligh.
Berbeda dengan ada’, tidak semua penyampaian hadits dapat diterima.
Dengan demikian, persyaratan ada’ lebih berat daripada tahammul.31
Senada dengan Abdul Majid Khon, Abdul Qadir Hassan juga
menyatakan hal yang sama, beliau berkata “Adapaun orang yang
mendengar/menerima hadits tidak disyaratkan apa-apa.”32 Siapa pun
boleh mendengarkan hadits dari seorang syekh (guru), akan tetapi tidak
semua orang boleh menyampaikan hadits kepada orang lain. Kemudian,
yang menjadi persoalan dalam pembahasan ini adalah bagaimana dengan
(tahammul) penerimaan hadits yang dilakukan oleh anak-anak, orang
kafir, dan orang fasik.
1) Anak-Anak
Jumhur ulama ahli hadits berpendapat, bahwa penerimaaan
periwayatan suatu hadits oleh anak yang belum sampai umur (belum
mukallaf) dianggap sah bila periwayatan hadits tersebut disampaikan
kepada orang lain pada waktu sudah mukallaf. Hal ini didasarkan kepada
keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya yang menerima
periwayatan hadits, seperti Hasan bin Ali, Abdullah bin Zubair, Abdullah
bin Abbas, Nu’man bin Basyir, Salib bin Yazid, dan lain-lain dengan
tanpa mempermasalahkan apakah mereka telah baligh atau belum.
Namun mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal usia anak
yang diperbolehkan bertahammul, sebab permasalahan ini tidak terlepas
dari ketamyizan anak tersebut.33
Al-Qadhi ‘Iyadh menetapkan, bahwa batas minimal usia anak
diperbolehkan bertahammul paling tidak sudah berusia lima tahun,
karena pada usia ini anak sudah mampu menghafal apa yang didengar

31
Ibid, hal 61
32
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 2007), hal 368
33
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal 195

7
dan mengingat-ingat apa yang dihafal.34 Pendapat ini didasarkan pada
hadits riwayat Bukhari dari sahabat Mahmud bin Ar-Ruba’i:
‫عقلت من النبي صلى هللا عليه وسلم مجة مجها في وجهي من دلو‬
)‫وانا ابن خمس سنين (رواه البخري‬
“Saya ingat Nabi SAW melemparkan air yang diambilnya dari timba ke
mukaku, sedang pada saat itu saya berusia lima tahun” (HR Bukhari)35

Abu Abdullah Az-Zuba’i mengatakan, bahwa sebaiknya anak


diperbolehkan menulis hadits pada saat usia mereka telah mencapai umur
sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna,
dalam arti bahwa mereka telah mempunyai kemampuan untuk
mengahafal dan mengingat hafalannya dan mulai menginjak dewasa.
Yahya bin Ma’in menetapkan usia lima belas tahun, berdasarkan hadits
dari Ibnu Umar: “Saya dihadapkan kepada Rasulullah SAW pada waktu
Perang Uhud, di saat itu saya baru berusia empat belas tahun, beliau
tidak memperkenankan aku. Kemudian aku dihadapkan kepada Nabi
SAW pada saat Perang Khandak, di saat aku berumur lima belas tahun
dan beliau memperkenankan aku”.36
2) Orang Kafir
Jumhur ulama ahli hadits menganggap sah, asalkan hadits tersebut
diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan
bertaubat. Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian
yang mereka saksikan dan banyaknya para sahabat yang mendengar
sabda Rasulullah SAW sebelum mereka masuk Islam.37
Contohnya, seperti Tanuchi utusan Heraclius, ia pernah mendengar
sabda-sabda Nabi SAW sebelum masuk Islam, kemudian setelah
Rasulullah SAW wafat, ia masuk Islam dan meriwayatkan hadits. Begitu
juga halnya dengan Jubair bin Muth’im. Riwayat mereka ini semua
teranggap maushul, karena waktu mendengar atau menyaksikan sesuatu,

34
Ibid, hal 195-196
35
Ibid, hal 196
36
Ibid
37
Ibid, hal 197

8
mereka sudah dianggap ahli.38
3) Orang Fasiq
Apabila penerimaan hadits oleh orang kafir yang kemudian
disampaikannya setelah masuk Islam dapat diterima, maka sudah barang
tentu dianggap sah penerimaan hadits oleh orang fasiq yang
diriwayatkannya setelah dia bertaubat.39
Yang dikatkan fasiq adalah orang yang melanggar perintah-perintah
atau mengerjakan larangan-larangan agama yang besar-besar. Orang
yang fasiq waktu menerima hadits, apabila ia riwayatkan sesudah
bertaubat, lagi kepercayaan, diterima haditsnya. Tetapi kalau ia berdusta
dalam riwayat, kebanyakan ulama tidak mau menerima haditsnya,
walaupun ia bertaubat atas dustanya tadi.40
b. Syarat-Syarat Ada’ Al-Hadits

Sebagaimana telah disebutkan bahwa ada’ al-hadits adalah


menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain. Oleh
karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah
barang tentu menuntut pertanggungjawaban yang cukup berat, sebab
sah atau tidaknya suatu hadits juga sangat tergantung padanya.
Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli hadits, ahli ushul, dan ahli
fiqih menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan/penyampaian
hadits.41 Syarat-Syarat itu adalah:

1) Islam

Pada waktu meriwayatkan suatu hadits, maka seorang


perawi harus muslim, dan menurut ijma’ periwayatan orang kafir
tidak sah. Seandainya perawinya orang fasiq saja kita disuruh
ber-tawaqquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir.42

38
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 369
39
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hal 197-198
40
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 369
41
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hal 204
42
Ibid, hal 205

9
Kaitannya dalam masalah ini bisa kita bandingkan dengan
firman Allah dalam surat al-hujurat ayat 6:

‫ياايها الذين امنوا ان جاءكم فاسق بنبئ فتبينوا ان تصيبوا قوما‬


‫بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu


orang-orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan sesuatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu
akan menyesa atas perbuatanmu itu” (QS Al-Hujurat 49:6)

2) Baligh

Yang dimaksud dengan baligh adalah perawinya cukup usia


ketika ia meriwayatkan hadits, walau penerimanya belum baligh.
Hal ini didasarkan kepada Rasululla SAW:

‫رفع القلم عن ثالثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق‬


)‫وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم (رواه ابو دود‬

“Hilang kewajiban menjalankan syari’at Islam dari tiga


golongan, yaitu: orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur
sampai dia bangun, dan anak-anak sampai ia mimpi”.43

3) ‘Adalah

Yang dimaksud dengan ‘adalah ialah suatu sifat yang


melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang
mempunyai sifat tersebut tetap taqwa, menjaga kepribadian, dan

43
Ibid, hal 205-206

10
percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri
dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri
dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik, dan selalu
menjaga kepribadian.44

4) Dhabit

Dhabit adalah teringat kembali perawi saat penerimaan dan


pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu
menerima hingga menyampaikannya. Cara untuk mengetahui
kedhabitan perawi adalah dengan jalan i’tibar terhadap berita-
beritanya dengan berita-berita yang tsiqat dan memberikan
keyakinan.45

Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat


sebagaimana disebutkan di atas, antara satu perawi dengan perawi
lain harus bersambung, hadits yang disampaikan itu tidak syadz,
tidak ganjil, dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih
kuat dan ayat-ayat al-qur’an.46

2. Bentuk-Bentuk Tahammul dan Ada’ Al-Hadits

Bentuk-bentuk tahammul dan ada’ al-hadits ada delapan, yaitu:

a. As-Sima’

As-Sima’ artinya mendengarkan, maksudnya disini adalah


seorang rawi mendengarkan lafazh syaikhnya di waktu syaikh
membaca atau menyebut hadits atau hadits bersama sanadnya.47 Atau
As-Sima’ adalah penerimaan hadits dengan cara mendengar langsung
44
Ibid, hal 206
45
Ibid
46
Ibid
47
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 363

11
lafal hadits yang dibaca guru hadits, baik yang dibaca itu berdasar
hafalannya atau catatannya, baik dicatat atau tidak oleh si
penerimanya.48

Cara periwayatan bentuk ini oleh mayoritas ulama hadits dinilai


cara yang tertinggi kualitasnya. Hal ini karena berdasarkan pendapat
jumhur ulama hadits bahwa cara penerimaan riwayat dengan as-
sima’ ini sebagai cara yang paling dipercaya. Adapun shighat-shighat
(kata-kata) yang digunakan untuk cara penerimaan dengan as-sima’
ini bervariasi, diantaranya adalah:
‫ ذكر لنا‬,‫ قال لنا‬,‫ اخبرنا‬,‫ حدثني‬,‫ حدثنا‬,‫سمعت‬, dan lain-lain.49

b. Al-Qira’ah / Al-’Aradh

Al-Qira’ah adalah membaca dengan hafalan.50 Sebagian besar


ulama menamakannya dengan ‘Aradh, maksudnya adalah seorang
murid (periwayat) membaca riwayat hadits di hadapan guru hadits,
baik dibaca sendiri atau dibaca orang lain dan dia mendengarnya,
baik berdasarkan hahalannya atau catatannya. Guru hadits tersebut
aktif menyimaknya, baik melalui hafalannya sendiri atau catatannya
atau dipercayakan kepada orang lain.51

Periwayatan seperti ini mirip dengan pemeriksaan hafalan


seorang penghafal Al-Qur’an kepada guru penghafal Al-Qur’an. Hal
ini menunjukkan penerima riwayat lebih aktif dari pada sang guru.
Adapun kata-kata yang digunakan dalam periwayatan dengan cara
al-qira’ah ini ada yang disepakati dan ada yang tidak disepakati.
Kata-kata yang disepakati adalah: ‫قرأت على فالن‬,
‫اقر به‬000‫مع ف‬000‫ا اس‬000‫رأت على فالن وان‬000‫ق‬. Sedangkan kata-kata yang tidak
disepakati pemakaiannya antara lain adalah: ‫ حدثنا‬,‫اخبرنا‬, yang tidak
48
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 175
49
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 61
50
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 363
51
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 176

12
diikuti oleh kata-kata lain.52

Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan al-qira’ah ini,


yaitu:

1) Sejajar dengan as-sima’, ini menurut Imam Malik, Imam


Bukhari, dan sebagian besar Ulama Hijaz dan Kufah.53
2) Lebih rendah dari as-sima’, ini menurut sebagian besar ulama
Maroko (pendapat yang shahih).54
3) Lebih tinggi dari as-sima’, ini menurut Abu Hanifah, Abu Dzi’b,
dan sebagian riwayat Imam Malik.55

c. Al-Ijazah

Al-Ijazah artinya mengizinkan, yaitu seorang syekh


mengizinkan muridnya meriwayatkan hadits atau riwayat, baik izin
itu dengan ucapan maupun dengan tulisan.56 Contohnya seperti
perkataan seorang guru kepada salah satu muridnya:

‫اجزت لك ان تروي عني صحيح البخري‬

“Saya beri izin kamu untuk meriwayatkan hadits-hadits yang ada


pada kitab shahih Al-Bukhari”57

Cara penerimaan hadits dengan cara al-ijazah ini secara global


ada dua macam, yaitu:

1) Ijazah bersama al-munawalah58, ini bentuknya ada dua macam:

52
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 61
53
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 177
54
Ibid
55
Ibid
56
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 364
57
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 178
58
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 62

13
a) Seorang guru hadits menyodorkan kepada muridnya hadits
yang ada padanya, kemudian berkata “Anda saya beri
ijazah untuk meriwayatkan hadits yang saya peroleh ini”.59
b) Seorang murid menyodorkan hadits kepada guru hadits,
kemudian guru itu memerikasanya dan setelah guru itu
memaklumi bahwa dia juga meriwayatkannya, maka dia
berkata “Hadits ini telah saya terima dari guru saya dan
anda saya beri ijazah untuk meriwayatkannya”.60

2) Ijazah murni atau al-ijazah al-mujarradah.61

Al-Qadhi ‘Iyadh membagi al-ijazah ini menjadi enam


macam, sedangkan Ibnu Ash-Shalah menambahkan satu
macam lagi, sehingga menjadi tujuh macam. Ketujuh macam al-
ijazah itu adalah sebagai berikut:

a) Seorang guru mengijazahkan kepada seseorang atau


beberapa orang tertentu sebuah kitab yang dia sebutkan kepada
mereka. Al-ijazah seperti ini diperbolehkan menurut
jumhur.62
b) Bentuk ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan
sesuatu yang tidak tertentu, seperti “Aku ijazahkan kepadamu
sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan.” Cara
seperti ini menurut jumhur tergolong yang diperbolehkan.63
c) Bentuk al-ijazah secara umum, seperti ungkapan “Aku
ijazahkan kepada kaum muslimin atau kepada orang-orang
yang ada (hadir)”.64
d) Bentuk al-ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk
59
Ibid
60
Ibid
61
Ibid
62
Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal 185
63
Ibid, hal 186
64
Ibid

14
meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Cara seperti
ini dianggap fasid.65
e) Bentuk al-ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti
mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam
kandungan. Bentuk ijazah seperti ini tidak sah.66
f) Bentuk al-ijazah mengenai sesuatu yang belum
diperdengarkan kepada penerima ijazah, seperti ungkapan
“Aku ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan
dariku sesuatu yang akan kudengarkan.” Cara seperti ini
dianggap batal.67
g) Bentuk al-ijazah al-mujaz, seperti perkataan guru “Aku
ijazahkan kepadamu ijazahku”.68

d. Al-Munawalah

Al-Munawalah artinya memberi, menyerahkan.69 Secara istilah


al-munawalah adalah seorang guru memberikan kepada seorang
murid, kitab asli yang didengar dari gurunya, atau satu salinan yang
sudah dicontoh seraya ia berkata “inilah hadits yang telah aku dengar
dari si fulan, maka riwayatkanlah dia daripadaku dan aku telah
mengijazahkan kepada engkau untuk meriwayatkannya”.70

Al-Munawalah terbagi kepada dua macam, yaitu:

1) Al-Munawalah al-maqrunah bi al-ijazah

Yaitu al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah.


Prakteknya, seorang guru hadits menyodorkan kepada muridnya
hadits yang ada padanya, kemudian guru tadi berkata “Anda
65
Ibid
66
Ibid
67
Ibid
68
Ibid
69
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 365
70
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 63

15
saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadits yang saya peroleh
ini”, atau seorang murid menyodorkan hadits kepada guru
hadits, kemudian guru itu memeriksanya dan setelah guru
memaklumi bahwa dia juga meriwayatkannya, maka dia berkata
“Hadits ini telah saya terima dari guru-guru saya dan anda saya
beri ijazah untuk meriwayatkan hadits ini dari saya”. Bentuk
ijzah ini dinilai paling tinggi kualitasnya diantara bentuk ijazah
yang lain.71

2) Al-Munawalah al-mujarradah ‘an al-ijazah

Yaitu al-munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah.


Prakteknya, seorang guru menyodorkan kitab hadits kepada
muridnya sambil berkata “Ini hadits yang pernah saya dengar”
atau “Ini hadits yang telah saya riwayatkan”.72

Periwayatan dengan cara al-munawalah yang pertama hukumnya


boleh, tapi kualitasnya lebih rendah dari as-sima’ dan al-qira’ah.
Periwayatan dengan cara al-munawalah yang kedua menurut
pendapat yang shahih tidak boleh. Adapun kata-kata yang digunakan
untuk al-munawalah al-maqrunah bi al-ijazah adalah ‫ناولني او ناولني و‬
‫از لي‬00‫اج‬, boleh juga memakai ibarat as-sima’ atau al-qira’ah yang
dikaitkan dengan kata munawalah dan ijazah seperti ‫حدثنا مناولة او‬
‫ازة‬0‫ة و اج‬0‫ا مناول‬0‫اخبرن‬.73 Adapun kata-kata yang digunakan untuk cara
penerimaaan riwayat dengan al-munawalah tanpa ijazah adalah
‫ناولني او ناولنا‬.74

e. Al-Kitabah

71
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 180
72
Ibid
73
Ibid, hal 180-181
74
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 63

16
Al-Kitabah artinya bertulis-tulis surat.75 Secara istilah, al-kitabah
adalah seorang guru menulis hadits yang diriwayatkannya untuk
diberikan kepada orang tertentu, atau untuk orang yang jauh dan
dikirim surat kepadanya, baik dia tulis sendiri ataupun dia suruh
orang lain menuliskannya.76

Al-Kitabah ada dua macam, yaitu:

1) Al-Kitabah yang dibarengi dengan ijazah

Yaitu ketika sang guru menuliskan beberapa hadits untuk


diberikan kepada muridnya, ia mengatakan “Ini adalah hasil
periwayatanku, maka riwayatkanlah atau aku ijazahkan
kepadamu untuk kamu riwayatkan kepada orang lain”.
Kedudukan al-kitabah dalam bentuk ini sama halnya dengan al-
munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yakni dapat
diterima.77

2) Al-Kitabah yang tidak dibarengi dengan ijazah

Yakni guru menuliskan hadits untuk diberikan kepada


muridnya tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan atau
mengijazahkannya. Al-Kitabah dalam bentuk ini diperselisihkan
oleh para ulama. Ayyub, Manshur, Al-Laits, dan tidak sedikit
dari ulama Syafi’iyah dan ulama ushul menganggap sah
periwayatan dengan cara ini, sedangkan Al-Mawardi
menganggap tidak sah.78

Contoh ungkapan yang dipakai dalam periwayatan al-kitabah


adalah dengan jelas memakai lafal al-kitabah, seperti perkataan ‫كتب‬
75
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 366
76
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 63
77
Mudasir, Ilmu Hadis, hal 187
78
Ibid

17
‫الي فالن‬. Atau memakai lafal as-sima’ atau al-qira’ah yang dikaitkan
dengan lafal al-kitabah, seperti perkataan ‫حدثني فالن او اخبرني كتابة‬.79

f. Al-I’lam

Al-I’lam artinya memberitahu.80 Al-I’lam secara istilah adalah


seorang guru memberitahukan kepada seorang murid bahwa sesuatu
hadits atau sesuatu kitab, itulah riwayat dari gurunya si fulan tanpa
izin si murid meriwayatkannya.81

Mengenai periwayatan dengan cara al-i’lam ini ada dua


pendapat, yaitu:

1) Kebanyakan ulama hadits, fiqih dan ushul fiqih membolehkan


periwayatan dengan cara al-i’lam.82
2) Sebagian menyatakan tidak boleh, sebab hadits yang
diberitahukan itu ada cacatnya, karenanya guru tersebut tidak
meyuruh muridnya untuk meriwayatkannya, ini pendapat yang
shahih.83

Terlepas dari pro dan kontra pendapat tersebut, masalah


keabsahan periwayatan jenis ini sebenarnya dapat dilihat dari sisi
lain, yaitu untuk apa seorang memperdengarkan suatu hadits kepada
muridnya jika tidak untuk diriwayatkan oleh si murid tersebut, dan
juga tidaklah mungkin seorang guru mau mencelakakan muridnya
dengan memperdengarkan hadits yang cacat. Mungkin seorang guru
mengemukakan suatu hadits yang cacat dihadapan muridnya tapi
dengan tujuan untuk dipelajari (keilmuan) bukan untuk
diriwayatkan.84
79
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 182
80
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 366
81
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 64
82
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 182
83
Ibid, hal 182-183
84
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 65

18
Adapun kata-kata yang dipakai untuk periwayatan dengan cara
al-i’lam ini adalah ‫اخبرنا اعالما‬.85

g. Al-Washiyah

Al-Washiyah artinya memesan atau mewasiati.86 Sedangkan


secara istilah adalah seorang guru menjelang wafatnya atau sebelum
bepergian, ia memberikan wasiat kepada seseorang untuk sebuah
kitab hadits yang pernah diriwayatkan.87

Ulama masih berbeda pendapat mengenai boleh atau tidaknya


periwayatan dengan metode al-washiyah ini, diantaranya adalah:

1) Menurut sebagian ulama salaf boleh periwayatan dengan cara


al-washiyah. Pendapat ini salah, karena yang
diwasiatkan itu kitabnya bukan wasiat untuk meriwayatkannya.88
2) Menurut pendapat yang benar adalah tidak boleh periwayatan
hadits dengan cara al-washiyah.89

Adapun kata-kata yang dipakai dalam periwayatan dengan al-


washiyah adalah ‫اوصى الي فالن بكذا او حدثني فالن وصية‬.90

h. Al-Wijadah

Al-Wijadah artinya mendapat.91 Secara istilah adalah Seseorang


yang melalui tidak sama’ (mendengar) atau ijazah, mendapati hadits-
hadits yang ditulis oleh perawinya. Orang yang mendapati tulisan itu

85
Ibid
86
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 367
87
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 183
88
Ibid
89
Ibid
90
Ibid
91
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 367

19
boleh jadi ia semasa atau tidak semasa dengan penulis hadits
tersebut, pernah atau tidak pernah bertemu, pernah atau tidak pernah
meriwayatkan hadits dari penulis yang dimaksud.92

Cara ini menurut Ahmad Muhammad Syakir merupakan


pemindahan riwayat secara dusta, dan tentu hal ini sangat
berlawanan dengan nilai-nilai Islam. Namun disisi lain ada ulama
yang membolehkan periwayatan melalui cara ini, dalam hal ini
mereka menetapkan beberapa syarat sehingga cara ini diperbolehkan
untuk meriwayatkan suatu hadits.93 Syarat-syarat tersebut adalah:

1) Tulisan hadits yang didapati haruslah telah diketahui secara pasti


siapa periwayat sesungguhnya.94
2) Kata-kata yang dipakai untuk periwayat lebih lanjut haruslah
kata-kata yang menunjukkan bahwa asal hadits itu diperbolehkan
secara al-wijadah.95

Adapun kata-kata atau pernyataan yang dipakai untuk


periwayatan al-wijadah adalah ‫اب‬00‫دت في كت‬00‫ وج‬,‫دثنا فالن‬00‫وجدت بخط فالن ح‬
‫فالن بخط حدثنا فالن‬, dan lain-lain.96

D. Riwayah dan Syahadah

1. Pengertian Riwayah

Riwayah menurut lughah adalah membawa (memikul), menukil, dan


menerangkan.97 Sedangkan menurut istilah adalah:

‫خبر عام يقصد به تعريف دليل حكم شرعي‬


92
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 66
93
Ibid
94
Ibid, hal 67
95
Ibid
96
Ibid
97
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid II, hal 31

20
“Khabar yang umum yang dimaksudakan untuk menerangkan dalil suatu
hukum syara’.”98

Dan juga sebagaimana yang telah kami jelaskan pada pembahasan


terdahulu, bahwa riwayah adalah:

‫الرواية هي االخبار عن شيئ عام للناس ال ترافع فيه الى الحكام‬

“Periwayatan adalah pemberitaan tentang sesuatu yang bersifat umum


untuk manusia tidak terkait pelaporan kepada hakim”.99

2. Pengertian Syahadah

Syahadah menurut lughah mempunyai tiga arti. Pertama, menghadiri


atau mendapati. Biasa dikatakan ‫درا‬00‫هد ب‬00‫‘ ش‬ia menghadiri Peperangan
Badar’.
‫الة العيد‬00000‫هدنا ص‬00000‫‘ ش‬kami menghadiri shalat hari raya’. Kedua,
Mengkhabarkan. Bisa dikatakan ‫‘ شهد بكذا عند الحاكم‬dia khabarkan atau dia
terangkan begini didepan hakim. Ketiga, mengetahui. Firman Allah SWT ‫وهللا‬
‫‘ على كل شيئ شهيد‬dan Allah mengetahui akan segala sesuatu’.100

Syahadah menurut istilah, dikatakan oleh Al-Mazari dalam syarah


Al-Burhan:

‫خبر خاص قصد به ترتيب فصل القضاء عليه‬

“Suatu khabar yang khusus, dimaksudkan untuk menjadi dasar putusan


hakim”.101

98
Ibid
99
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, hal 22
100
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid II, hal 30
101
Ibid, hal 31

21
Atau syahadah adalah:

‫االخبار عن خاص ببعض الناس يمكن الترافع فيه الى الحكام‬

“Pemberitaan khusus yang menyangkut sebagian orang yang dapat


dijadikan bahan pelaporan kepada para hakim”.102

3. Persamaan dan Perbedaan Antara Riwayah dan Syahadah

Ada persamaan dan perbedaan antara periwayatan (riwayah) dan


persaksian (syahadah). Persamaannya terletak pada persyaratan yang
harus dimiliki oleh orang yang meriwayatkan atau orang yang bersaksi. 103
Syarat-syarat tersebut adalah:

a. Beragama Islam
b. Berstatus mukallaf serta berakal
c. Bersifat adil
d. Memiliki daya ingat yang kuat

Selain memiliki persamaan, antara periwayatan dan persaksian juga


memiliki perbedaan. Berikut ini perbedaan antara periwayatan dan
persaksian:

a. Berita dalam periwayatan digunakan untuk menerangkan hukum


syara’. Sementara itu, berita dalam persaksian digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam keputusan hakim.104

b. Periwayat boleh berstatus merdeka atau hamba. Sementara itu, saksi


harus laki-laki.105

102
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, hal 24
103
Ibid, hal 25
104
Ibid
105
Ibid

22
c. Periwayat boleh laki-laki atau perempuan. Sementara itu, saksi harus
laki-laki.106

d. Seorang tunanetra dapat menjadi periwayat, asalkan memiliki


pendengaran yang baik. Sementara itu, seorang tunanetra tidak
diperkenankan menjadi saksi.107

e. Periwayat boleh memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang


dijelaskan dalam riwayat. Sementara itu, saksi tidak boleh
memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang
diberikan kesaksian.108

f. Jumlah periwayat tidak menjadi syarat sah periwayatan. Sementara


itu, saksi peristiwa tertentu harus lebih dari satu orang.109

g. Periwayat bisa saja bermusuhan dengan orang yang disinggung


dalam riwayatnya. Sementara itu, saksi tidak boleh bermusuhan
dengan orang yang disebutkan dalam persaksiannya.110

Antara periwayatan dan persaksian memiliki persamaan dan


perbedaan. Oleh sebab itu, periwayat boleh saja disebut saksi, yaitu saksi
yang melihat perbuatan dan persetujuan Nabi SAW atau mendengar
sabda Nabi SAW yang diriwayatkan, sebagaimana yang dikenal dalam
ilmu sejarah. Dalam ilmu sejarah diperlukan periwayat yang
menyaksikan peristiwa. Bagi mayoritas ulama, menerima periwayatan
hadits tidak sama dengan menerima persaksian. Dalam persaksian harus
ada dua orang yang adil, sedangkan dalam periwayatan hadits cukup satu
orang. Sementara itu, sebagian ahli hadits memandang sama antara
periwayatan dan persaksian, yaitu tidak menerima riwayat perorangan

106
Ibid
107
Ibid, hal 26
108
Ibid
109
Ibid
110
Ibid

23
walaupun orang tersebut dinilai adil dan memiliki hafalan yang kuat.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Ibrahim bin Uyainah dan Abu
Ali Al-Juba’i yang dikutip oleh Teungku Muhammad Hasby Ash-
Shiddieqy.111

4. Hubungan Antara Riwayah dan Syahadah

Ada beberapa metode yang digunakan para sahabat dala menerima


hadits dari Nabi SAW, berikut ini metode tersebut:

a. Musyafahah, yaitu mendengarkan sabda Nabi secara langsung.112


b. Musyahadah, yaitu menyaksikan sendiri apa yang dialkukan atau
disetujui oleh Nabi SAW.113
c. As-Sama’, yaitu mendengar dari sahabat yang telah menerima hadits
secara musyafahah dan musyahadah.114

Jika hadits qauli (hadits yang berupa perkataan Rasulullah SAW) dan
sahabat mengatakan “Rasulullah SAW bersabda demikian”, atau “Aku
mendengar beliau bersabda demikian”, maka hadits itu disebut
musyafahah. Jika hadits fi’li (hadits yang berupa perbuatan Rasulullah
SAW) dan sahabat mengatakan “Aku melihat Rasulullah melakukan
sesuatu”, atau hadits taqriri (hadits yang berupa persetujuan Rasulullah
SAW) dan sahabat mengatakan “Seseorang melakukan sesuatu da
Rasulullah tidak melarangnya”, maka kedua hadits tersebut disebut
musyahadah. Sementara itu, jika hadits washfi (hadits yang berupa sifat-
sifat Nabi SAW) dan sahabat mengatakan “Sifat Rasulullah SAW seperti
ini”, maka hadits sepert itu juga disebut musyahadah. Selanjutnya, tabi’in
menerima hadits dari sahabat dengan menggunakan metode as-sama’.115

111
Ibid
112
Ibid, hal 27
113
Ibid
114
Ibid
115
Ibid

24
Sahabat yang menyaksikan atau mendengar secara langsung apa
yang disampaikan Nabi SAW disebut saksi. Begitu pula dengan sahabat
yang menyaksikan atau mendengar Nabi SAW mengucapkan suatu hadits
disertai sahabat lain, baik satu orang atau lebih, juga disebut saksi.
Sementara itu, periwayatan lain di kalangan tabi’in atau tabi’ tabi’in
disebut tabi’ (tawabi’) atau muttabi’.116

116
Ibid

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Periwayatan hadits adalah “Kegiatan yang dilakukan oleh seorang syekh


(guru) dengan muridnya, baik itu penerimaan (tahammul), penyampaian
(ada’), dan penjagaan (dhabth) dengan menggunakan cara-cara
tertentu”.

2. Secara umum bentuk-bentuk periwayatan hadits ada dua macam, yaitu:

a. Periwayatan hadits dengan lafzah


Yaitu periwayatan hadits yang redaksi atau atau matannya persis
sama seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah SAW.
b. Periwayatan hadits dengan makna
Yaitu periwayatan yang redaksi matannya tidak persis sama dengan
yang didengar perawi dari Rasulullah SAW, namun isi atau maknanya
sesuaidengan makna yang dimaksud oleh Rasulullah SAW tanpa ada
perubahan sedikitpun.

26
3. Tahammul al-hadits adalah penjelasan mengenai cara-cara para periwayat
dalam mengambil atau menerima hadits dari gurunya.

4. Ada’ al-hadits adalah penjelasan mengenai cara-cara menyampaikan


hadits yang diterima oleh para periwayat hadits dari syaikh atau gurunya.

5. Bentuk-bentuk/metode dalam tahammul dan ada’ al hadits ada delapan,


yaitu:

a. As-Sima’
b. Al-Qira’ah/Al-’Aradh
c. Al-Ijazah
d. Al-Munawalah
e. Al-Kitabah
f. Al-I’lam
g. Al-Washiyah
h. Al-Wijadah

6. Riwayah adalah khabar yang umum yang diperuntukkan untuk semua


orang yang ingin mendengar dan mengambilnya. Sedangkan syahadah
adalah khabar yang khusus diperuntukkan kepada hakim

7. Persamaan riwayah dan syahadah terletak pada persyaratan yang harus


dimiliki oleh orang yang meriwayatkan atau orang yang bersaksi. Syarat-
syarat tersebut adalah:

a. Beragama Islam
b. Berstatus mukallaf serta berakal
c. Bersifat adil
d. Memiliki daya ingat yang kuat

27
8. Perbedaan riwayah dan syahadah adalah:

a. Berita dalam periwayatan digunakan untuk menerangkan hukum


syara’. Sementara itu, berita dalam persaksian digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam keputusan hakim.
b. Periwayat boleh berstatus merdeka atau hamba. Sementara itu, saksi
harus laki-laki.
c. Periwayat boleh laki-laki atau perempuan. Sementara itu, saksi harus
laki-laki.
d. Seorang tunanetra dapat menjadi periwayat, asalkan memiliki
pendengaran yang baik. Sementara itu, seorang tunanetra tidak
diperkenankan menjadi saksi.
e. Periwayat boleh memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang
dijelaskan dalam riwayat. Sementara itu, saksi tidak boleh
memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang
diberikan kesaksian.
f. Jumlah periwayat tidak menjadi syarat sah periwayatan. Sementara
itu, saksi peristiwa tertentu harus lebih dari satu orang.
g. Periwayat bisa saja bermusuhan dengan orang yang disinggung
dalam riwayatnya. Sementara itu, saksi tidak boleh bermusuhan
dengan orang yang disebutkan dalam persaksiannya.

9. Riwayah dan syahadah mempunyai hubungan yang sangat erat, seorang


perawi bisa dikatakan saksi, bahkan menurut Abdul Majid Khon seorang
sahabat yang menyaksikan atau mendengar secara langsung apa yang
disampaikan Nabi SAW disebut saksi.

B. Kritik dan Saran

Setiap sesuatu itu mempunyai kelebihan dan kekurangan, Kami merasa


makalah ini bukanlah makalah yang sempurna, dalam makalah ini masih
banyak kekurangannya di sana sini, entah itu kata-katanya yang sulit

28
dimengerti atau kesalahan kami dalam menuliskan kata-kata tersebut.

Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kepada pembaca, setelah


membaca makalah yang kami buat ini, dapat memberikan masukan, saran,
kritik, dll, agar makalah ini bisa direvisi dan lebih baik lagi untuk ke
depannya, walaupun sebenarnya kita tidak bisa menjadikan sesuatu itu
sempurna, tetapi setidaknya kita berusaha untuk ke arah yang lebih baik lagi,
dan memperbaiki kesalahan yang ada dalam penulisan makalah ini.

Menurut kami pembahasan mengenai periwayatan hadits ini adalah


pembahasan yang paling rumit di antara pembahasan-pembahasan yang
lainnya, oleh karena itu, tentu kami dalam penulisan makalah ini ada
kesalahan dan kekeliruan, oleh karena itu kami sangat mengharapkan, dan
akan menunggu kritik, saran, dan masukan dari para pembaca.

Pada akhirnya kami bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberi
petunjuk dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini,
dan juga kepada pihak-pihak lain yang telah membantu dan memberikan
masukan dalam penulisan makalah ini. Akhirul kalam wa billahi taufiq wal
hidayah wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.

29
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu.


Beirut: Dar Al-Fikr. 1989.
Al-Ma’luf, Louwis bin Naqula Dhahir. Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam. Beirut:
Dar Al-Masyriq. 1975.
Al-Qaththan, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
2005.

30
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasby. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits
Jilid II. Jakarta: Bulan Bintang. 1976.
_________________, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra. 2009.
Hassan, Abdul Qadir. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: Diponegoro. 2007.
Husti, Ilyas. Studi Ilmu Hadis. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau. 2007.
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulumul Hadis. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2012.
Khon, Abdul Majid. Takhrij dan Metode Memahami Hadis. Jakarta: Amzah. 2014.
Mudasir, Ilmu Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia. 1999.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press. 2010.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
Thahhan, Mahmud. Intisari Ilmu Hadits. Malang: UIN-Malang Press. 2006.

31

Anda mungkin juga menyukai