PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu proses yang tak kalah penting dari sebuah hadits itu adalah
periwayatannya, bagaimana sebuah hadits itu bisa terjaga semenjak masa Nabi
hingga pada masa sekarang ini, tentu semua itu ada metode dan cara-cara
tertentu yang di pakai oleh seorang perawi dalam menerima dan
menyampaikan hadits tersebut. Inilah yang insyaAllah akan kami bahas dalam
makalah ini, yaitu mengenai periwayatan hadits, Banyak diantara kita hanya
tahu matan atau isi dari hadits tersebut, kita tidak pernah tahu bagaimana
hadits itu disampaikan, mulai dari masa Nabi hingga hadits-hadits itu
dibukukan oleh para ulama. Dengan latar belakang banyaknya orang yang
tidak tahu mengenai periwayatan hadits inilah kami akan membahas pada
makalah ini sebuah pembahsan yang berjudul ‘periwayatan hadits’.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun mencoba
merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari periwayatan hadits
2. Apa syarat-syarat tahmmul dan ada’ al-hadits
3. Apa yang dimaksud dengan periwayatan dengan lafazh dan makna, dan
apa hukum periwayatn hadits dengan makna
4. Apa yang dimaksud dengan tahammul dan ada’ al-hadits dan bagaimana
bentuk-bentuknya
5. Apa pegertian riwayah dan syahadah
6. Apa persamaan dan perbedaan antara riwayah dan syahadah dan apa
hubungan antara keduanya
II
BAB II
PEMBAHASAN
1
Louwis bin Naqula Dhahir Al-Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam, (Beirut: Dar Al- Masyriq, 1975),
hal 289
2
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2009), hal 148
3
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), hal 22
1
“Periwayatan (hadits) menurut para ahli hadits (muhadditsin) adalah
membawa dan menyampaikan hadits dengan menyandarkannya kepada orang
yang menjadi sandarannya, dengan menggunakan salah satu bentuk kalimat
periwayatan”.4
Periwayatan hadits itu adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian
hadits kepada serangkaian periwayatan dengan bentuk-bentuk tertentu. 5Atau
periwayatan hadits adalah tata cara penerimaan, penyampaian dan pelestarian
hadits. Dalam defenisi di atas ada tiga komponen penting dalam periwayatan
hadits, yaitu mendengar/menerima hadits (sima’/tahammul al-hadits),
menyampaikan hadits (ada’ al-hadits) dan dhabthul hadits (melestarikan
hadits).6
Tata cara mendengar/menerima hadits (sima’/tahammul al-hadits) adalah
penjelasan tentang cara syarat yang harus dimiliki seseorang yang hendak
mendengar riwayat hadits dari guru-gurunya untuk selanjutnya disampaikan
kepada orang lain, seperti syarat ketentuan umur dan lain sebagainya. Tata
cara menyampaikan hadits (ada’ al-hadits) adalah penjelasan tentang sistem
penyampaian hadits oleh seorang guru kepada muridnya dan syarat-syarat
seseorang yang boleh menyampaikan hadits dan meriwayatkannya. Tata cara
melestarikan hadits (dhabthul hadits) adalah bagaimana seorang murid
memelihara (menghafal) secara benar dan meyakinkan riwayat hadits yang
pernah diterimanya dari gurunya untuk kemudian disampaikan kepada orang
lain.7
4
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2012), hal 179
5
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2007), hal 59
6
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, (Malang: UIN-Malang Press, 2006), hal 173
7
Ibid
2
Nabi SAW, tanpa ada penambahan atau pengurangan walaupun satu huruf.8
Mengenai periwayatan secara lafazh ini, sangat disukai para sahabat,
seperti yang disebut oleh Muhammad Ajjaj Al-Khatib, bahwa sebenarnya
seluruh sahabat Nabi SAW menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi
bukan dengan ma’nawi. Keinginan mereka itu tentunya mempunyai sebab
tersendiri, yang salah satu sebabnya adalah adanaya ancaman Nabi SAW bagi
orang yang berdusta atas dirinya (membuat hadits palsu). Dalam hal ini Nabi
mengancam dengan siksaan yang pedih di neraka. Oleh karena pentingnya
periwayatan dengan lafazh ini, maka Umar bin Khaththab pernah berkata
“Barang siapa yang pernah mendengar hadits dari Rasulullah SAW, kemudian
ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat.” Ucapan
Umar ini merupakan peringatan kepada perawi hadits untuk meriwayatkan
hadits Nabi sesuai dengan yang didengar yakni periwayatan secara lafazh,
sehingga mereka terhindar dari ancaman api neraka.9
Di antara para sahabat Nabi yang paling keras mengharuskan periwayatan
hadits dengan jalan lafazh ialah Ibnu Umar yang pernah suatu hari ketika
seorang sahabat (Ubay bin Abi Amir) menyebutkan hadits lima prinsip dasar
Islam, ia meletakkan zakat pada urutan ketiga, Ibnu Umar langsung menyuruh
ia meletakkan pada urutan keempat sebagamana yang ia (Ibnu Umar) dengar
dari Rasulullah SAW.10
3
adalah: Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abu Darda’,
dan Abu Hurairah. Kemudian dari kalangan tabi’in: Hasan Al-Bashri, Asy-
Sya’bi, Amr bin Dinar, Ibrahim An-Nakha’i, Mujahid, dan Ikrimah. Ibnu Sirin
seperti yang dikutip Utang Ranuwijaya, telah berkata: Aku mendengar hadits
dari sepuluh orang dalam makna yang sama, akan tetapi dengan redaksi lafazh
yang berbeda. Pendapat ini mengindikasikan bahwa jenis hadits yang
diriwayatkan dengan cara inilah yang banyak jumlahnya.12
Jumhur ulama, termasuk Imam Mazhab yang empat, berpendapat
bolehnya meriwayatkan hadits dengan makna bagi orang yang berkecimpung
dalam ilmu hadits dan selektif dalam mengidentifikasi karakter lafal-lafal
hadits manakala bercampur aduk, sebab hadits yang dapat diriwayatkan
dengan maknanya saja harus memenuhi dua kriteria, yaitu lafal hadits bukan
bacaan ibadah dan hadits tersebut tidak termasuk jawami’ al-kalim (kata-kata
yang sarat makna) yang diucapkan Nabi SAW.13
Para Ulama sependapat mengatakan bahwa seorang perawi yang tidak
mempunyai ilmu yang dalam mengenai lafazh-lafazh hadits, madlul-
madlulnya, dan maksud-maksudnya, dan tidak mempunyai pengetahuan
mengenai hal-hal yang memalingkan makna hadits, tidak mempunyai
pengetahuan tentang kadar-kadar perbedaan, tidak boleh meriwayatkan hadits
dengan makna, wajiblah ia menyampaikan menurut lafazh yang ia dengar.
Demikian menurut nukilan Ibnu Shalah dan An-Nawawi.14
Adapun mengenai periwayatan hadits dengan makna ini ada dua
pendapat, yaitu:
a. Tidak Boleh
Inilah pendapat segolongan ulama hadits, fuqaha’, dan ushuliyyin. Di
antara yang tidak membolehkan adalah Ibnu Sirin, Tsa’lab, Abu Bakar Ar-
Razi, dan lain-lain.15
b. Boleh
12
Ibid, hal 72-73
13
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, hal 223
14
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid II, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), hal 91
15
Ibid
4
Dengan syarat:
1) Kalau yang diriwayatkan itu bukan hadits marfu’, kalau hadits
marfu’tidak dibolehkan. Inilah pendapat Malik menurut nukilan Al-
Khalil bin Ahmad dan Baihaqi dalam al-madkhal.16
2) Apabila hadits tersebut sesuai dengan makna hadits yang didengar.
Inilah yang ditunjukkan oleh para sahabat dan ulama salaf, mereka
sering meriwayatkan sesuatu riwayat dengan bermacam lafazh.17
3) Jika si perawi tidak ingat lagi dengan lafazh, jika ia masih ingat lafazh
aslinya tidak dibolehkan.18
4) Harus diganti dengan lafazh yang muradif.19
5) Jika hadits itu mengenai ilmu, seperti i’tiqad. Kalau mengenai amal
tidak dibolehkan.20
6) Orang yang menyampaiakan hadits tersebut memiliki pengetahuan
Bahasa Arab yang tinggi.21
7) Matan hadits hendaknya didahului (ditambah) dengan kata-kata او كما
قالatau او نحو هذاatau kata yang lain yang mempunyai makna yang
sama.22
5
1. Pengertian Tahammul dan Ada’ Al-Hadits
Kata tahammul merupakan bentuk mashdar dari kata تحمال-ل00يتحم- تحمل,
yang berarti menerima.24 Sedangkan secara istilah adalah:
بيان طرق اخذ الحديث عن الشيخ
“Penjelasan mengenai cara-cara para periwayat dalam mengambil atau
menerima hadits dari gurunya”.25
Muhammad Ajjaj Al-Khatib dalam kitabnya Ushulul Hadits ‘Ulumuhu
wa Mushthalahuhu menjelaskan, bahwa tahammul al-hadits adalah:
6
Abdul Majid Khon mengatakan bahwa syarat tahammul al-hadits
adalah keahlian dalam periwayatan. Meskipun demikian, ulama pada
umumnya tidak memberikan syarat untuk tahammul sebagaimana ada’.
Hal ini diibaratkan dengan orang yang mengikuti mejelis ta’lim. Semua
orang boleh mengikutinya, sekalipun nonmuslim dan belum baligh.
Berbeda dengan ada’, tidak semua penyampaian hadits dapat diterima.
Dengan demikian, persyaratan ada’ lebih berat daripada tahammul.31
Senada dengan Abdul Majid Khon, Abdul Qadir Hassan juga
menyatakan hal yang sama, beliau berkata “Adapaun orang yang
mendengar/menerima hadits tidak disyaratkan apa-apa.”32 Siapa pun
boleh mendengarkan hadits dari seorang syekh (guru), akan tetapi tidak
semua orang boleh menyampaikan hadits kepada orang lain. Kemudian,
yang menjadi persoalan dalam pembahasan ini adalah bagaimana dengan
(tahammul) penerimaan hadits yang dilakukan oleh anak-anak, orang
kafir, dan orang fasik.
1) Anak-Anak
Jumhur ulama ahli hadits berpendapat, bahwa penerimaaan
periwayatan suatu hadits oleh anak yang belum sampai umur (belum
mukallaf) dianggap sah bila periwayatan hadits tersebut disampaikan
kepada orang lain pada waktu sudah mukallaf. Hal ini didasarkan kepada
keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya yang menerima
periwayatan hadits, seperti Hasan bin Ali, Abdullah bin Zubair, Abdullah
bin Abbas, Nu’man bin Basyir, Salib bin Yazid, dan lain-lain dengan
tanpa mempermasalahkan apakah mereka telah baligh atau belum.
Namun mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal usia anak
yang diperbolehkan bertahammul, sebab permasalahan ini tidak terlepas
dari ketamyizan anak tersebut.33
Al-Qadhi ‘Iyadh menetapkan, bahwa batas minimal usia anak
diperbolehkan bertahammul paling tidak sudah berusia lima tahun,
karena pada usia ini anak sudah mampu menghafal apa yang didengar
31
Ibid, hal 61
32
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 2007), hal 368
33
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal 195
7
dan mengingat-ingat apa yang dihafal.34 Pendapat ini didasarkan pada
hadits riwayat Bukhari dari sahabat Mahmud bin Ar-Ruba’i:
عقلت من النبي صلى هللا عليه وسلم مجة مجها في وجهي من دلو
)وانا ابن خمس سنين (رواه البخري
“Saya ingat Nabi SAW melemparkan air yang diambilnya dari timba ke
mukaku, sedang pada saat itu saya berusia lima tahun” (HR Bukhari)35
34
Ibid, hal 195-196
35
Ibid, hal 196
36
Ibid
37
Ibid, hal 197
8
mereka sudah dianggap ahli.38
3) Orang Fasiq
Apabila penerimaan hadits oleh orang kafir yang kemudian
disampaikannya setelah masuk Islam dapat diterima, maka sudah barang
tentu dianggap sah penerimaan hadits oleh orang fasiq yang
diriwayatkannya setelah dia bertaubat.39
Yang dikatkan fasiq adalah orang yang melanggar perintah-perintah
atau mengerjakan larangan-larangan agama yang besar-besar. Orang
yang fasiq waktu menerima hadits, apabila ia riwayatkan sesudah
bertaubat, lagi kepercayaan, diterima haditsnya. Tetapi kalau ia berdusta
dalam riwayat, kebanyakan ulama tidak mau menerima haditsnya,
walaupun ia bertaubat atas dustanya tadi.40
b. Syarat-Syarat Ada’ Al-Hadits
1) Islam
38
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 369
39
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hal 197-198
40
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 369
41
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hal 204
42
Ibid, hal 205
9
Kaitannya dalam masalah ini bisa kita bandingkan dengan
firman Allah dalam surat al-hujurat ayat 6:
2) Baligh
3) ‘Adalah
43
Ibid, hal 205-206
10
percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri
dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri
dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik, dan selalu
menjaga kepribadian.44
4) Dhabit
a. As-Sima’
11
lafal hadits yang dibaca guru hadits, baik yang dibaca itu berdasar
hafalannya atau catatannya, baik dicatat atau tidak oleh si
penerimanya.48
b. Al-Qira’ah / Al-’Aradh
12
diikuti oleh kata-kata lain.52
c. Al-Ijazah
52
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 61
53
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 177
54
Ibid
55
Ibid
56
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 364
57
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 178
58
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 62
13
a) Seorang guru hadits menyodorkan kepada muridnya hadits
yang ada padanya, kemudian berkata “Anda saya beri
ijazah untuk meriwayatkan hadits yang saya peroleh ini”.59
b) Seorang murid menyodorkan hadits kepada guru hadits,
kemudian guru itu memerikasanya dan setelah guru itu
memaklumi bahwa dia juga meriwayatkannya, maka dia
berkata “Hadits ini telah saya terima dari guru saya dan
anda saya beri ijazah untuk meriwayatkannya”.60
14
meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Cara seperti
ini dianggap fasid.65
e) Bentuk al-ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti
mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam
kandungan. Bentuk ijazah seperti ini tidak sah.66
f) Bentuk al-ijazah mengenai sesuatu yang belum
diperdengarkan kepada penerima ijazah, seperti ungkapan
“Aku ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan
dariku sesuatu yang akan kudengarkan.” Cara seperti ini
dianggap batal.67
g) Bentuk al-ijazah al-mujaz, seperti perkataan guru “Aku
ijazahkan kepadamu ijazahku”.68
d. Al-Munawalah
15
saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadits yang saya peroleh
ini”, atau seorang murid menyodorkan hadits kepada guru
hadits, kemudian guru itu memeriksanya dan setelah guru
memaklumi bahwa dia juga meriwayatkannya, maka dia berkata
“Hadits ini telah saya terima dari guru-guru saya dan anda saya
beri ijazah untuk meriwayatkan hadits ini dari saya”. Bentuk
ijzah ini dinilai paling tinggi kualitasnya diantara bentuk ijazah
yang lain.71
e. Al-Kitabah
71
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 180
72
Ibid
73
Ibid, hal 180-181
74
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 63
16
Al-Kitabah artinya bertulis-tulis surat.75 Secara istilah, al-kitabah
adalah seorang guru menulis hadits yang diriwayatkannya untuk
diberikan kepada orang tertentu, atau untuk orang yang jauh dan
dikirim surat kepadanya, baik dia tulis sendiri ataupun dia suruh
orang lain menuliskannya.76
17
الي فالن. Atau memakai lafal as-sima’ atau al-qira’ah yang dikaitkan
dengan lafal al-kitabah, seperti perkataan حدثني فالن او اخبرني كتابة.79
f. Al-I’lam
18
Adapun kata-kata yang dipakai untuk periwayatan dengan cara
al-i’lam ini adalah اخبرنا اعالما.85
g. Al-Washiyah
h. Al-Wijadah
85
Ibid
86
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 367
87
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 183
88
Ibid
89
Ibid
90
Ibid
91
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 367
19
boleh jadi ia semasa atau tidak semasa dengan penulis hadits
tersebut, pernah atau tidak pernah bertemu, pernah atau tidak pernah
meriwayatkan hadits dari penulis yang dimaksud.92
1. Pengertian Riwayah
20
“Khabar yang umum yang dimaksudakan untuk menerangkan dalil suatu
hukum syara’.”98
2. Pengertian Syahadah
98
Ibid
99
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, hal 22
100
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid II, hal 30
101
Ibid, hal 31
21
Atau syahadah adalah:
a. Beragama Islam
b. Berstatus mukallaf serta berakal
c. Bersifat adil
d. Memiliki daya ingat yang kuat
102
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, hal 24
103
Ibid, hal 25
104
Ibid
105
Ibid
22
c. Periwayat boleh laki-laki atau perempuan. Sementara itu, saksi harus
laki-laki.106
106
Ibid
107
Ibid, hal 26
108
Ibid
109
Ibid
110
Ibid
23
walaupun orang tersebut dinilai adil dan memiliki hafalan yang kuat.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Ibrahim bin Uyainah dan Abu
Ali Al-Juba’i yang dikutip oleh Teungku Muhammad Hasby Ash-
Shiddieqy.111
Jika hadits qauli (hadits yang berupa perkataan Rasulullah SAW) dan
sahabat mengatakan “Rasulullah SAW bersabda demikian”, atau “Aku
mendengar beliau bersabda demikian”, maka hadits itu disebut
musyafahah. Jika hadits fi’li (hadits yang berupa perbuatan Rasulullah
SAW) dan sahabat mengatakan “Aku melihat Rasulullah melakukan
sesuatu”, atau hadits taqriri (hadits yang berupa persetujuan Rasulullah
SAW) dan sahabat mengatakan “Seseorang melakukan sesuatu da
Rasulullah tidak melarangnya”, maka kedua hadits tersebut disebut
musyahadah. Sementara itu, jika hadits washfi (hadits yang berupa sifat-
sifat Nabi SAW) dan sahabat mengatakan “Sifat Rasulullah SAW seperti
ini”, maka hadits sepert itu juga disebut musyahadah. Selanjutnya, tabi’in
menerima hadits dari sahabat dengan menggunakan metode as-sama’.115
111
Ibid
112
Ibid, hal 27
113
Ibid
114
Ibid
115
Ibid
24
Sahabat yang menyaksikan atau mendengar secara langsung apa
yang disampaikan Nabi SAW disebut saksi. Begitu pula dengan sahabat
yang menyaksikan atau mendengar Nabi SAW mengucapkan suatu hadits
disertai sahabat lain, baik satu orang atau lebih, juga disebut saksi.
Sementara itu, periwayatan lain di kalangan tabi’in atau tabi’ tabi’in
disebut tabi’ (tawabi’) atau muttabi’.116
116
Ibid
25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
26
3. Tahammul al-hadits adalah penjelasan mengenai cara-cara para periwayat
dalam mengambil atau menerima hadits dari gurunya.
a. As-Sima’
b. Al-Qira’ah/Al-’Aradh
c. Al-Ijazah
d. Al-Munawalah
e. Al-Kitabah
f. Al-I’lam
g. Al-Washiyah
h. Al-Wijadah
a. Beragama Islam
b. Berstatus mukallaf serta berakal
c. Bersifat adil
d. Memiliki daya ingat yang kuat
27
8. Perbedaan riwayah dan syahadah adalah:
28
dimengerti atau kesalahan kami dalam menuliskan kata-kata tersebut.
Pada akhirnya kami bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberi
petunjuk dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini,
dan juga kepada pihak-pihak lain yang telah membantu dan memberikan
masukan dalam penulisan makalah ini. Akhirul kalam wa billahi taufiq wal
hidayah wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
29
DAFTAR PUSTAKA
30
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasby. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits
Jilid II. Jakarta: Bulan Bintang. 1976.
_________________, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra. 2009.
Hassan, Abdul Qadir. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: Diponegoro. 2007.
Husti, Ilyas. Studi Ilmu Hadis. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau. 2007.
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulumul Hadis. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2012.
Khon, Abdul Majid. Takhrij dan Metode Memahami Hadis. Jakarta: Amzah. 2014.
Mudasir, Ilmu Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia. 1999.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press. 2010.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
Thahhan, Mahmud. Intisari Ilmu Hadits. Malang: UIN-Malang Press. 2006.
31