Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

Periwayatan Hadits

A. Pengertian Periwayatan Hadits

Kata riwayat berasal dari Bahasa Arab yaitu ‫رواية‬. Kata ‫ رواية‬adalah bentuk mashdar
dari kata ‫ رواية‬- ‫ يروى‬- ‫ روى‬semakna dengan kata ‫ نقال‬- ‫ ينقل‬- ‫ نقل‬dan
‫ رواية الح&&&&&ديث‬.‫ ذك&&&&&را‬- ‫ ي&&&&&ذكر‬- ‫ ذكر‬artinya adalah ‫( نقله وذك&&&&&ره‬memindahkannya dan
menyebutkannya).1

Riwayat menurut bahasa adalah memindahkan dan menukilkan berita dari seseorang
kepada orang lain. Menurut ilmu hadits adalah memindahkan hadits dari seorang guru
kepada orang lain, atau membukukannya ke dalam kumpulan hadits. Pemindah hadits itu
dinamai rawi, rawi pertama adalah shahabi dan rawi terakhir adalah orang yang
membukukannya.2

Pengertian periwayatan secara umum adalah seperti yang dikemukakan oleh Abdul
Majid Khon dalam bukunya Takhrij dan Metode Memahami Hadis, beliau mengutip
pendapat dari Muhammad Ibrahim Al-Hafrawi mengatakan, bahwa riwayah adalah:

‫الرواية هي االخبار عن شيئ عام للناس ال ترافع فيه الى الحكام‬


“Periwayatan adalah pemberitaan tentang sesuatu yang bersifat umum untuk
manusia tidak terkait pelaporan kepada hakim”.3

Sedangkan Periwayatan yang lebih spesifik lagi, yaitu periwayatan hadits,


defenisinya adalah seperti yang dikemukakan oleh Nuruddin ‘Itr dalam bukunya ‘Ulumul
Hadis (terjemahan), beliau mengatakan bahwa periwayatan hadits adalah:

‫الرواية عند المحدثين حمل الحديث ونقله واسناده الى من عزي اليه بصيغة‬
‫من صيغ االداء‬
“Periwayatan (hadits) menurut para ahli hadits (muhadditsin) adalah membawa dan
menyampaikan hadits dengan menyandarkannya kepada orang yang menjadi
sandarannya, dengan menggunakan salah satu bentuk kalimat periwayatan”.4

Periwayatan hadits itu adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits kepada
serangkaian periwayatan dengan bentuk-bentuk tertentu.5

Atau periwayatan hadits adalah tata cara penerimaan, penyampaian dan pelestarian
1
Louwis bin Naqula Dhahir Al-Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam, (Beirut: Dar Al- Masyriq, 1975), hal 289
2
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2009), hal 148
3
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), hal 22
4
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2012), hal 179
5
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2007), hal 59
hadits. Dalam defenisi di atas ada tiga komponen penting dalam periwayatan hadits,
yaitu mendengar/menerima hadits (sima’/tahammul al-hadits), menyampaikan hadits
(ada’ al-hadits) dan dhabthul hadits (melestarikan hadits).6

Tata cara mendengar/menerima hadits (sima’/tahammul al-hadits) adalah penjelasan


tentang cara syarat yang harus dimiliki seseorang yang hendak mendengar riwayat hadits
dari guru-gurunya untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lain, seperti syarat
ketentuan umur dan lain sebagainya. Tata cara menyampaikan hadits (ada’ al-hadits)
adalah penjelasan tentang sistem penyampaian hadits oleh seorang guru kepada
muridnya dan syarat-syarat seseorang yang boleh menyampaikan hadits dan
meriwayatkannya. Tata cara melestarikan hadits (dhabthul hadits) adalah bagaimana
seorang murid memelihara (menghafal) secara benar dan meyakinkan riwayat hadits
yang pernah diterimanya dari gurunya untuk kemudian disampaikan kepada orang lain.7

B. Periwayatan Hadits Dengan Lafazh dan Makna

1. Periwayatan Hadits Dengan Lafazh

Utang Ranuwijaya mengatakan periwayatan hadits dengan lafzah adalah


periwayatan hadits yang redaksi atau atau matannya persis sama seperti yang
diwurudkan oleh Rasulullah SAW. Menurut defenisi ini berarti apa yang
diriwayatkan oleh para perawi harus sama dengan apa yang disebutkan oleh Nabi
SAW, tanpa ada penambahan atau pengurangan walaupun satu huruf.8

Mengenai periwayatan secara lafazh ini, sangat disukai para sahabat, seperti
yang disebut oleh Muhammad Ajjaj Al-Khatib, bahwa sebenarnya seluruh sahabat
Nabi SAW menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi bukan dengan
ma’nawi. Keinginan mereka itu tentunya mempunyai sebab tersendiri, yang salah
satu sebabnya adalah adanaya ancaman Nabi SAW bagi orang yang berdusta atas
dirinya (membuat hadits palsu). Dalam hal ini Nabi mengancam dengan siksaan
yang pedih di neraka. Oleh karena pentingnya periwayatan dengan lafazh ini, maka
Umar bin Khaththab pernah berkata “Barang siapa yang pernah mendengar hadits
dari Rasulullah SAW, kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar,
orang itu selamat.” Ucapan Umar ini merupakan peringatan kepada perawi hadits
untuk meriwayatkan hadits Nabi sesuai dengan yang didengar yakni periwayatan
secara lafazh, sehingga mereka terhindar dari ancaman api neraka.9

Di antara para sahabat Nabi yang paling keras mengharuskan periwayatan hadits
dengan jalan lafazh ialah Ibnu Umar yang pernah suatu hari ketika seorang sahabat
(Ubay bin Abi Amir) menyebutkan hadits lima prinsip dasar Islam, ia meletakkan
zakat pada urutan ketiga, Ibnu Umar langsung menyuruh ia meletakkan pada urutan
keempat sebagamana yang ia (Ibnu Umar) dengar dari Rasulullah SAW.10

2. Periwayatan Hadits Dengan Makna

Periwayatan hadits dengan makna atau dikenal dengan periwayatan ma’nawi


6
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, (Malang: UIN-Malang Press, 2006), hal 173
7
Ibid
8
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 69
9
Ibid, hal 71
10
Ibid, hal 71-72
artinya adalah periwayatan yang redaksi matannya tidak persis sama dengan yang
didengar perawi dari Rasulullah SAW, namun isi atau maknanya sesuai dengan
makna yang dimaksud oleh Rasulullah SAW tanpa ada perubahan sedikitpun. Dari
defenisi di atas tersebut dapat dipahami bahwa periwayatan dengan makna adalah
periwayatan dengan lafazh, dalam hal ini yang dipelihara adalah makna hadits bukan
lafazhnya.11

Di antara para sahabat yang membolehkan periwayatan dengan makna ini


adalah: Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abu Darda’, dan
Abu Hurairah. Kemudian dari kalangan tabi’in: Hasan Al-Bashri, Asy-Sya’bi, Amr
bin Dinar, Ibrahim An-Nakha’i, Mujahid, dan Ikrimah. Ibnu Sirin seperti yang
dikutip Utang Ranuwijaya, telah berkata: Aku mendengar hadits dari sepuluh orang
dalam makna yang sama, akan tetapi dengan redaksi lafazh yang berbeda. Pendapat
ini mengindikasikan bahwa jenis hadits yang diriwayatkan dengan cara inilah yang
banyak jumlahnya.12

Jumhur ulama, termasuk Imam Mazhab yang empat, berpendapat bolehnya


meriwayatkan hadits dengan makna bagi orang yang berkecimpung dalam ilmu
hadits dan selektif dalam mengidentifikasi karakter lafal-lafal hadits manakala
bercampur aduk, sebab hadits yang dapat diriwayatkan dengan maknanya saja harus
memenuhi dua kriteria, yaitu lafal hadits bukan bacaan ibadah dan hadits tersebut
tidak termasuk jawami’ al-kalim (kata-kata yang sarat makna) yang diucapkan Nabi
SAW.13

Para Ulama sependapat mengatakan bahwa seorang perawi yang tidak


mempunyai ilmu yang dalam mengenai lafazh-lafazh hadits, madlul-madlulnya, dan
maksud-maksudnya, dan tidak mempunyai pengetahuan mengenai hal-hal yang
memalingkan makna hadits, tidak mempunyai pengetahuan tentang kadar-kadar
perbedaan, tidak boleh meriwayatkan hadits dengan makna, wajiblah ia
menyampaikan menurut lafazh yang ia dengar. Demikian menurut nukilan Ibnu
Shalah dan An-Nawawi.14

Adapun mengenai periwayatan hadits dengan makna ini ada dua pendapat,
yaitu:

a. Tidak Boleh

Inilah pendapat segolongan ulama hadits, fuqaha’, dan ushuliyyin. Di antara


yang tidak membolehkan adalah Ibnu Sirin, Tsa’lab, Abu Bakar Ar-Razi, dan
lain-lain.15

b. Boleh

Dengan syarat:

11
Ibid, hal 72
12
Ibid, hal 72-73
13
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, hal 223
14
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
hal 91
15
Ibid
1) Kalau yang diriwayatkan itu bukan hadits marfu’, kalau hadits
marfu’tidak dibolehkan. Inilah pendapat Malik menurut nukilan
Al-Khalil bin Ahmad dan Baihaqi dalam al-madkhal.16
2) Apabila hadits tersebut sesuai dengan makna hadits yang didengar.
Inilah yang ditunjukkan oleh para sahabat dan ulama salaf, mereka
sering meriwayatkan sesuatu riwayat dengan bermacam lafazh.17
3) Jika si perawi tidak ingat lagi dengan lafazh, jika ia masih ingat lafazh
aslinya tidak dibolehkan.18
4) Harus diganti dengan lafazh yang muradif.19
5) Jika hadits itu mengenai ilmu, seperti i’tiqad. Kalau mengenai amal
tidak dibolehkan.20
6) Orang yang menyampaiakan hadits tersebut memiliki pengetahuan
Bahasa Arab yang tinggi.21
7) Matan hadits hendaknya didahului (ditambah) dengan kata-kata
‫ او كم&&ا ق&&ال‬atau ‫ او نح&&و ه&&ذا‬atau kata yang lain yang mempunyai makna
yang sama.22

C. Tahammul dan Ada’ Al-Hadits

Ada dua unsur penting dalam periwayatan hadits yang tidak boleh diabaikan, yaitu
penerimaan dan penyampaian. Unsur ini dikenal dengan tahammul al-hadits wa ada’ al-
hadits. Dalam masalah tahammul dan ada’ ini para ulama pada umumnya membagi
kedalam delapan bentuk, penerimaan sekaligus merupakan bentuk penyamapaian. Ini
dilakukan karena setiap penerimaan suatu hadits berarti di saat itu pun berlangsung
peristiwa penyampaian. Seorang murid menerima suatu hadits dari gurunya dan disisi
lain gurunya tersebut telah melakukan penyampaian suatu hadits yang dimilikinya
kepada muridnya.23

1. Pengertian Tahammul dan Ada’ Al-Hadits

Kata tahammul merupakan bentuk mashdar dari kata ‫تحمال‬-‫يتحم&&ل‬-‫ تحمل‬, yang
berarti menerima.24 Sedangkan secara istilah adalah:

‫بيان طرق اخذ الحديث عن الشيخ‬


“Penjelasan mengenai cara-cara para periwayat dalam mengambil atau menerima
hadits dari gurunya”.25

Muhammad Ajjaj Al-Khatib dalam kitabnya Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa


Mushthalahuhu menjelaskan, bahwa tahammul al-hadits adalah:

16
Ibid
17
Ibid, hal 92
18
Ibid, hal 93
19
Ibid
20
Ibid
21
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 74
22
Ibid
23
Ibid, hal 60
24
Umi Sumbulah, Studi Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hal 64
25
Ibid
‫اخذ الحديث عن الشيخ بطريق من طرق التحمل‬
“Kegiatan mengambil hadits dari seorang guru dengan menggunakan cara-cara
tertentu”.26

Atau tahammul al-hadits adalah cara-cara menerima hadits dan mengambilnya


dari syaikh.27

Kemudian ada’ al-hadits, kata ada’ merupakan isim mashdar dari kata
‫اداء‬-‫يأدى‬-‫ ادى‬yang berarti menyampaikan atau menunaikan.28 Sedangkan menurut
istilah adalah:

‫بيان طرق اداء الحديث او رواية الحديث و اعطائه للطالب‬


“Penjelasan mengenai cara-cara menyampaikan hadits yang diterima oleh para
periwayat hadits dari syaikh atau gurunya”.29

Atau, ada’ al hadits adalah:

‫رواية الحديث وتبليغه‬


“Meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada orang lain”.30

2. Syarat-Syarat Tahammul dan Ada’ Al-Hadits

a. Syarat-Syarat Tahammul Al-Hadits

Abdul Majid Khon mengatakan bahwa syarat tahammul al-hadits adalah


keahlian dalam periwayatan. Meskipun demikian, ulama pada umumnya tidak
memberikan syarat untuk tahammul sebagaimana ada’. Hal ini diibaratkan
dengan orang yang mengikuti mejelis ta’lim. Semua orang boleh mengikutinya,
sekalipun nonmuslim dan belum baligh. Berbeda dengan ada’, tidak semua
penyampaian hadits dapat diterima. Dengan demikian, persyaratan ada’ lebih
berat daripada tahammul.31

Senada dengan Abdul Majid Khon, Abdul Qadir Hassan juga menyatakan
hal yang sama, beliau berkata “Adapaun orang yang mendengar/menerima
hadits tidak disyaratkan apa-apa.”32 Siapa pun boleh mendengarkan hadits dari
seorang syekh (guru), akan tetapi tidak semua orang boleh menyampaikan hadits
kepada orang lain. Kemudian, yang menjadi persoalan dalam pembahasan ini
adalah bagaimana dengan (tahammul) penerimaan hadits yang dilakukan oleh
anak-anak, orang kafir, dan orang fasik.

26
Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1989), hal 227
27
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hal 181
28
Umi Sumbulah, Studi Kritis Ilmu Hadis, hal 64
29
Ibid
30
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, hal 60
31
Ibid, hal 61
32
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 2007), hal 368
1) Anak-Anak

Jumhur ulama ahli hadits berpendapat, bahwa penerimaaan periwayatan


suatu hadits oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf) dianggap
sah bila periwayatan hadits tersebut disampaikan kepada orang lain pada
waktu sudah mukallaf. Hal ini didasarkan kepada keadaan para sahabat,
tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya yang menerima periwayatan hadits, seperti
Hasan bin Ali, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Abbas, Nu’man bin
Basyir, Salib bin Yazid, dan lain-lain dengan tanpa mempermasalahkan
apakah mereka telah baligh atau belum. Namun mereka berbeda pendapat
mengenai batas minimal usia anak yang diperbolehkan bertahammul, sebab
permasalahan ini tidak terlepas dari ketamyizan anak tersebut.33

Al-Qadhi ‘Iyadh menetapkan, bahwa batas minimal usia anak


diperbolehkan bertahammul paling tidak sudah berusia lima tahun, karena
pada usia ini anak sudah mampu menghafal apa yang didengar dan
mengingat-ingat apa yang dihafal.34 Pendapat ini didasarkan pada hadits
riwayat Bukhari dari sahabat Mahmud bin Ar-Ruba’i:

‫عقلت من النبي صلى هللا عليه وسلم مجة مجها في وجهي من دلو‬
)‫وانا ابن خمس سنين (رواه البخري‬
“Saya ingat Nabi SAW melemparkan air yang diambilnya dari timba ke
mukaku, sedang pada saat itu saya berusia lima tahun” (HR Bukhari)35

Abu Abdullah Az-Zuba’i mengatakan, bahwa sebaiknya anak


diperbolehkan menulis hadits pada saat usia mereka telah mencapai umur
sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna,
dalam arti bahwa mereka telah mempunyai kemampuan untuk mengahafal
dan mengingat hafalannya dan mulai menginjak dewasa. Yahya bin Ma’in
menetapkan usia lima belas tahun, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar:
“Saya dihadapkan kepada Rasulullah SAW pada waktu Perang Uhud, di
saat itu saya baru berusia empat belas tahun, beliau tidak
memperkenankan aku. Kemudian aku dihadapkan kepada Nabi SAW pada
saat Perang Khandak, di saat aku berumur lima belas tahun dan beliau
memperkenankan aku”.36

2) Orang Kafir

Jumhur ulama ahli hadits menganggap sah, asalkan hadits tersebut


diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan
bertaubat. Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang
mereka saksikan dan banyaknya para sahabat yang mendengar sabda
Rasulullah SAW sebelum mereka masuk Islam.37

33
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal 195
34
Ibid, hal 195-196
35
Ibid, hal 196
36
Ibid
37
Ibid, hal 197
Contohnya, seperti Tanuchi utusan Heraclius, ia pernah mendengar
sabda-sabda Nabi SAW sebelum masuk Islam, kemudian setelah Rasulullah
SAW wafat, ia masuk Islam dan meriwayatkan hadits. Begitu juga halnya
dengan Jubair bin Muth’im. Riwayat mereka ini semua teranggap maushul,
karena waktu mendengar atau menyaksikan sesuatu, mereka sudah
dianggap ahli.38

3) Orang Fasiq

Apabila penerimaan hadits oleh orang kafir yang kemudian


disampaikannya setelah masuk Islam dapat diterima, maka sudah barang
tentu dianggap sah penerimaan hadits oleh orang fasiq yang
diriwayatkannya setelah dia bertaubat.39

Yang dikatkan fasiq adalah orang yang melanggar perintah-perintah


atau mengerjakan larangan-larangan agama yang besar-besar. Orang yang
fasiq waktu menerima hadits, apabila ia riwayatkan sesudah bertaubat, lagi
kepercayaan, diterima haditsnya. Tetapi kalau ia berdusta dalam riwayat,
kebanyakan ulama tidak mau menerima haditsnya, walaupun ia bertaubat
atas dustanya tadi.40

b. Syarat-Syarat Ada’ Al-Hadits

Sebagaimana telah disebutkan bahwa ada’ al-hadits adalah menyampaikan


atau meriwayatkan hadits kepada orang lain. Oleh karenanya, ia mempunyai
peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu menuntut
pertanggungjawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadits
juga sangat tergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli
hadits, ahli ushul, dan ahli fiqih menetapkan beberapa syarat bagi
periwayatan/penyampaian hadits.41 Syarat-Syarat itu adalah:

1) Islam

Pada waktu meriwayatkan suatu hadits, maka seorang perawi harus


muslim, dan menurut ijma’ periwayatan orang kafir tidak sah. Seandainya
perawinya orang fasiq saja kita disuruh ber-tawaqquf, maka lebih-lebih
perawi yang kafir.42

Kaitannya dalam masalah ini bisa kita bandingkan dengan firman Allah
dalam surat al-hujurat ayat 6:

‫ياايها الذين امنوا ان جاءكم فاسق بنبئ فتبينوا ان تصيبوا قوما‬


‫بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang-orang
38
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 369
39
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hal 197-198
40
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 369
41
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hal 204
42
Ibid, hal 205
fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu
tidak menimpakan sesuatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesa atas perbuatanmu
itu” (QS Al-Hujurat 49:6)

2) Baligh

Yang dimaksud dengan baligh adalah perawinya cukup usia ketika ia


meriwayatkan hadits, walau penerimanya belum baligh. Hal ini didasarkan
kepada Rasululla SAW:

‫رفع القلم عن ثالثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق‬


)‫وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم (رواه ابو دود‬
“Hilang kewajiban menjalankan syari’at Islam dari tiga golongan, yaitu:
orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai dia bangun, dan
anak-anak sampai ia mimpi”.43

3) ‘Adalah

Yang dimaksud dengan ‘adalah ialah suatu sifat yang melekat pada jiwa
seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut tetap
taqwa, menjaga kepribadian, dan percaya pada diri sendiri dengan
kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan
menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik, dan
selalu menjaga kepribadian.44

4) Dhabit

Dhabit adalah teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman


suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga
menyampaikannya. Cara untuk mengetahui kedhabitan perawi adalah
dengan jalan i’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang
tsiqat dan memberikan keyakinan.45

Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana


disebutkan di atas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung,
hadits yang disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil, dan tidak bertentangan
dengan hadits-hadits yang lebih kuat dan ayat-ayat al-qur’an.46

2. Bentuk-Bentuk Tahammul dan Ada’ Al-Hadits

Bentuk-bentuk tahammul dan ada’ al-hadits ada delapan, yaitu:

a. As-Sima’

43
Ibid, hal 205-206
44
Ibid, hal 206
45
Ibid
46
Ibid
As-Sima’ artinya mendengarkan, maksudnya disini adalah seorang rawi
mendengarkan lafazh syaikhnya di waktu syaikh membaca atau menyebut hadits
atau hadits bersama sanadnya.47 Atau As-Sima’ adalah penerimaan hadits dengan
cara mendengar langsung lafal hadits yang dibaca guru hadits, baik yang dibaca
itu berdasar hafalannya atau catatannya, baik dicatat atau tidak oleh si
penerimanya.48

Cara periwayatan bentuk ini oleh mayoritas ulama hadits dinilai cara yang
tertinggi kualitasnya. Hal ini karena berdasarkan pendapat jumhur ulama hadits
bahwa cara penerimaan riwayat dengan as-sima’ ini sebagai cara yang paling
dipercaya. Adapun shighat-shighat (kata-kata) yang digunakan untuk cara
penerimaan dengan as-sima’ ini bervariasi, diantaranya adalah:
‫ ذكر لنا‬,‫ قال لنا‬,‫ اخبرنا‬,‫ حدثني‬,‫ حدثنا‬,‫سمعت‬, dan lain-lain.49

b. Al-Qira’ah / Al-’Aradh

Al-Qira’ah adalah membaca dengan hafalan.50 Sebagian besar ulama


menamakannya dengan ‘Aradh, maksudnya adalah seorang murid (periwayat)
membaca riwayat hadits di hadapan guru hadits, baik dibaca sendiri atau dibaca
orang lain dan dia mendengarnya, baik berdasarkan hahalannya atau catatannya.
Guru hadits tersebut aktif menyimaknya, baik melalui hafalannya sendiri atau
catatannya atau dipercayakan kepada orang lain.51

Periwayatan seperti ini mirip dengan pemeriksaan hafalan seorang


penghafal Al-Qur’an kepada guru penghafal Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan
penerima riwayat lebih aktif dari pada sang guru. Adapun kata-kata yang
digunakan dalam periwayatan dengan cara al-qira’ah ini ada yang disepakati dan
ada yang tidak disepakati. Kata-kata yang disepakati adalah: ‫قرأت على فالن‬,
‫ق&&رأت على فالن وان&&&ا اس&&مع ف&&&اقر به‬. Sedangkan kata-kata yang tidak disepakati
pemakaiannya antara lain adalah: ‫ ح&&&دثنا‬,‫اخبرنا‬, yang tidak diikuti oleh
kata-kata lain.52

Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan al-qira’ah ini, yaitu:

1) Sejajar dengan as-sima’, ini menurut Imam Malik, Imam Bukhari, dan
sebagian besar Ulama Hijaz dan Kufah.53
2) Lebih rendah dari as-sima’, ini menurut sebagian besar ulama Maroko
(pendapat yang shahih).54
3) Lebih tinggi dari as-sima’, ini menurut Abu Hanifah, Abu Dzi’b, dan
sebagian riwayat Imam Malik.55

c. Al-Ijazah

47
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 363
48
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 175
49
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 61
50
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 363
51
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 176
52
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 61
53
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 177
54
Ibid
55
Ibid
Al-Ijazah artinya mengizinkan, yaitu seorang syekh mengizinkan muridnya
meriwayatkan hadits atau riwayat, baik izin itu dengan ucapan maupun dengan
tulisan.56 Contohnya seperti perkataan seorang guru kepada salah satu muridnya:

‫اجزت لك ان تروي عني صحيح البخري‬


“Saya beri izin kamu untuk meriwayatkan hadits-hadits yang ada pada kitab
shahih Al-Bukhari”57

Cara penerimaan hadits dengan cara al-ijazah ini secara global ada dua
macam, yaitu:

1) Ijazah bersama al-munawalah58, ini bentuknya ada dua macam:

a) Seorang guru hadits menyodorkan kepada muridnya hadits yang


ada padanya, kemudian berkata “Anda saya beri ijazah untuk
meriwayatkan hadits yang saya peroleh ini”.59
b) Seorang murid menyodorkan hadits kepada guru hadits, kemudian
guru itu memerikasanya dan setelah guru itu memaklumi bahwa dia
juga meriwayatkannya, maka dia berkata “Hadits ini telah saya
terima dari guru saya dan anda saya beri ijazah untuk
meriwayatkannya”.60

2) Ijazah murni atau al-ijazah al-mujarradah.61

Al-Qadhi ‘Iyadh membagi al-ijazah ini menjadi enam macam,


sedangkan Ibnu Ash-Shalah menambahkan satu macam lagi, sehingga
menjadi tujuh macam. Ketujuh macam al-ijazah itu adalah sebagai berikut:

a) Seorang guru mengijazahkan kepada seseorang atau beberapa orang


tertentu sebuah kitab yang dia sebutkan kepada mereka. Al-ijazah
seperti ini diperbolehkan menurut jumhur.62
b) Bentuk ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu
yang tidak tertentu, seperti “Aku ijazahkan kepadamu sesuatu yang
saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan.” Cara seperti ini menurut
jumhur tergolong yang diperbolehkan.63
c) Bentuk al-ijazah secara umum, seperti ungkapan “Aku ijazahkan
kepada kaum muslimin atau kepada orang-orang yang ada
(hadir)”.64
d) Bentuk al-ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk
meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Cara seperti ini dianggap
fasid.65
56
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 364
57
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 178
58
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 62
59
Ibid
60
Ibid
61
Ibid
62
Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal 185
63
Ibid, hal 186
64
Ibid
65
Ibid
e)
Bentuk al-ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti
mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan.
Bentuk ijazah seperti ini tidak sah.66
f) Bentuk al-ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan
kepada penerima ijazah, seperti ungkapan “Aku ijazahkan
kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku sesuatu yang akan
kudengarkan.” Cara seperti ini dianggap batal.67
g) Bentuk al-ijazah al-mujaz, seperti perkataan guru “Aku ijazahkan
kepadamu ijazahku”.68

d. Al-Munawalah

Al-Munawalah artinya memberi, menyerahkan.69 Secara istilah al-


munawalah adalah seorang guru memberikan kepada seorang murid, kitab asli
yang didengar dari gurunya, atau satu salinan yang sudah dicontoh seraya ia
berkata “inilah hadits yang telah aku dengar dari si fulan, maka riwayatkanlah
dia daripadaku dan aku telah mengijazahkan kepada engkau untuk
meriwayatkannya”.70

Al-Munawalah terbagi kepada dua macam, yaitu:

1) Al-Munawalah al-maqrunah bi al-ijazah

Yaitu al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah. Prakteknya, seorang


guru hadits menyodorkan kepada muridnya hadits yang ada padanya,
kemudian guru tadi berkata “Anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan
hadits yang saya peroleh ini”, atau seorang murid menyodorkan hadits
kepada guru hadits, kemudian guru itu memeriksanya dan setelah guru
memaklumi bahwa dia juga meriwayatkannya, maka dia berkata “Hadits ini
telah saya terima dari guru-guru saya dan anda saya beri ijazah untuk
meriwayatkan hadits ini dari saya”. Bentuk ijzah ini dinilai paling tinggi
kualitasnya diantara bentuk ijazah yang lain.71

2) Al-Munawalah al-mujarradah ‘an al-ijazah

Yaitu al-munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah. Prakteknya,


seorang guru menyodorkan kitab hadits kepada muridnya sambil berkata
“Ini hadits yang pernah saya dengar” atau “Ini hadits yang telah saya
riwayatkan”.72

Periwayatan dengan cara al-munawalah yang pertama hukumnya boleh, tapi


kualitasnya lebih rendah dari as-sima’ dan al-qira’ah. Periwayatan dengan cara
al-munawalah yang kedua menurut pendapat yang shahih tidak boleh. Adapun
kata-kata yang digunakan untuk al-munawalah al-maqrunah bi al-ijazah adalah

66
Ibid
67
Ibid
68
Ibid
69
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 365
70
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 63
71
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 180
72
Ibid
‫ناولني او ناولني و اجاز لي‬, boleh juga memakai ibarat as-sima’ atau al-qira’ah yang
dikaitkan dengan kata munawalah dan ijazah seperti ‫حدثنا مناولة او اخبرنا مناولة و‬
‫اج&&ازة‬.73 Adapun kata-kata yang digunakan untuk cara penerimaaan riwayat
dengan al-munawalah tanpa ijazah adalah
‫ناولني او ناولنا‬.74

e. Al-Kitabah

Al-Kitabah artinya bertulis-tulis surat.75 Secara istilah, al-kitabah adalah


seorang guru menulis hadits yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada
orang tertentu, atau untuk orang yang jauh dan dikirim surat kepadanya, baik dia
tulis sendiri ataupun dia suruh orang lain menuliskannya.76

Al-Kitabah ada dua macam, yaitu:

1) Al-Kitabah yang dibarengi dengan ijazah

Yaitu ketika sang guru menuliskan beberapa hadits untuk diberikan


kepada muridnya, ia mengatakan “Ini adalah hasil periwayatanku, maka
riwayatkanlah atau aku ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan kepada
orang lain”. Kedudukan al-kitabah dalam bentuk ini sama halnya dengan al-
munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yakni dapat diterima.77

2) Al-Kitabah yang tidak dibarengi dengan ijazah

Yakni guru menuliskan hadits untuk diberikan kepada muridnya tanpa


disertai perintah untuk meriwayatkan atau mengijazahkannya. Al-Kitabah
dalam bentuk ini diperselisihkan oleh para ulama. Ayyub, Manshur, Al-
Laits, dan tidak sedikit dari ulama Syafi’iyah dan ulama ushul menganggap
sah periwayatan dengan cara ini, sedangkan Al-Mawardi menganggap tidak
sah.78

Contoh ungkapan yang dipakai dalam periwayatan al-kitabah adalah dengan


jelas memakai lafal al-kitabah, seperti perkataan ‫كتب الي فالن‬. Atau memakai lafal
as-sima’ atau al-qira’ah yang dikaitkan dengan lafal al-kitabah, seperti perkataan
‫حدثني فالن او اخبرني كتابة‬.79

f. Al-I’lam

Al-I’lam artinya memberitahu.80 Al-I’lam secara istilah adalah seorang guru


memberitahukan kepada seorang murid bahwa sesuatu hadits atau sesuatu kitab,
itulah riwayat dari gurunya si fulan tanpa izin si murid meriwayatkannya.81

73
Ibid, hal 180-181
74
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 63
75
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 366
76
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 63
77
Mudasir, Ilmu Hadis, hal 187
78
Ibid
79
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 182
80
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 366
81
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 64
Mengenai periwayatan dengan cara al-i’lam ini ada dua pendapat, yaitu:

1) Kebanyakan ulama hadits, fiqih dan ushul fiqih membolehkan


periwayatan dengan cara al-i’lam.82
2) Sebagian menyatakan tidak boleh, sebab hadits yang diberitahukan itu
ada cacatnya, karenanya guru tersebut tidak meyuruh muridnya untuk
meriwayatkannya, ini pendapat yang shahih.83

Terlepas dari pro dan kontra pendapat tersebut, masalah keabsahan


periwayatan jenis ini sebenarnya dapat dilihat dari sisi lain, yaitu untuk apa
seorang memperdengarkan suatu hadits kepada muridnya jika tidak untuk
diriwayatkan oleh si murid tersebut, dan juga tidaklah mungkin seorang guru
mau mencelakakan muridnya dengan memperdengarkan hadits yang cacat.
Mungkin seorang guru mengemukakan suatu hadits yang cacat dihadapan
muridnya tapi dengan tujuan untuk dipelajari (keilmuan) bukan untuk
diriwayatkan.84

Adapun kata-kata yang dipakai untuk periwayatan dengan cara al-i’lam ini
adalah ‫اخبرنا اعالما‬.85

g. Al-Washiyah

Al-Washiyah artinya memesan atau mewasiati.86 Sedangkan secara istilah


adalah seorang guru menjelang wafatnya atau sebelum bepergian, ia
memberikan wasiat kepada seseorang untuk sebuah kitab hadits yang pernah
diriwayatkan.87

Ulama masih berbeda pendapat mengenai boleh atau tidaknya periwayatan


dengan metode al-washiyah ini, diantaranya adalah:

1) Menurut sebagian ulama salaf boleh periwayatan dengan cara


al-washiyah. Pendapat ini salah, karena yang diwasiatkan itu
kitabnya bukan wasiat untuk meriwayatkannya.88
2) Menurut pendapat yang benar adalah tidak boleh periwayatan hadits
dengan cara al-washiyah.89

Adapun kata-kata yang dipakai dalam periwayatan dengan al-washiyah


adalah ‫اوصى الي فالن بكذا او حدثني فالن وصية‬.90

h. Al-Wijadah

Al-Wijadah artinya mendapat.91 Secara istilah adalah Seseorang yang


82
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 182
83
Ibid, hal 182-183
84
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 65
85
Ibid
86
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 367
87
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 183
88
Ibid
89
Ibid
90
Ibid
91
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 367
melalui tidak sama’ (mendengar) atau ijazah, mendapati hadits-hadits yang
ditulis oleh perawinya. Orang yang mendapati tulisan itu boleh jadi ia semasa
atau tidak semasa dengan penulis hadits tersebut, pernah atau tidak pernah
bertemu, pernah atau tidak pernah meriwayatkan hadits dari penulis yang
dimaksud.92

Cara ini menurut Ahmad Muhammad Syakir merupakan pemindahan


riwayat secara dusta, dan tentu hal ini sangat berlawanan dengan nilai-nilai
Islam. Namun disisi lain ada ulama yang membolehkan periwayatan melalui
cara ini, dalam hal ini mereka menetapkan beberapa syarat sehingga cara ini
diperbolehkan untuk meriwayatkan suatu hadits.93 Syarat-syarat tersebut adalah:

1) Tulisan hadits yang didapati haruslah telah diketahui secara pasti siapa
periwayat sesungguhnya.94
2) Kata-kata yang dipakai untuk periwayat lebih lanjut haruslah kata-kata
yang menunjukkan bahwa asal hadits itu diperbolehkan secara
al-wijadah.95

Adapun kata-kata atau pernyataan yang dipakai untuk periwayatan al-


wijadah adalah ‫ وجدت في كتاب فالن بخ&&ط ح&&دثنا فالن‬,‫وجدت بخط فالن حدثنا فالن‬, dan lain-
lain.96

92
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 66
93
Ibid
94
Ibid, hal 67
95
Ibid
96
Ibid
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu. Beirut: Dar Al-
Fikr. 1989.
Al-Ma’luf, Louwis bin Naqula Dhahir. Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam. Beirut: Dar Al-
Masyriq. 1975.
Al-Qaththan, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasby. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid II.
Jakarta: Bulan Bintang. 1976.
_________________, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra. 2009.
Hassan, Abdul Qadir. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: Diponegoro. 2007.
Husti, Ilyas. Studi Ilmu Hadis. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau. 2007.
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulumul Hadis. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2012.
Khon, Abdul Majid. Takhrij dan Metode Memahami Hadis. Jakarta: Amzah. 2014.
Mudasir, Ilmu Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia. 1999.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press. 2010.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
Thahhan, Mahmud. Intisari Ilmu Hadits. Malang: UIN-Malang Press. 2006.

Anda mungkin juga menyukai