PEMBAHASAN
Periwayatan Hadits
Kata riwayat berasal dari Bahasa Arab yaitu رواية. Kata روايةadalah bentuk mashdar
dari kata رواية- يروى- روىsemakna dengan kata نقال- ينقل- نقلdan
رواية الح&&&&&ديث. ذك&&&&&را- ي&&&&&ذكر- ذكرartinya adalah ( نقله وذك&&&&&رهmemindahkannya dan
menyebutkannya).1
Riwayat menurut bahasa adalah memindahkan dan menukilkan berita dari seseorang
kepada orang lain. Menurut ilmu hadits adalah memindahkan hadits dari seorang guru
kepada orang lain, atau membukukannya ke dalam kumpulan hadits. Pemindah hadits itu
dinamai rawi, rawi pertama adalah shahabi dan rawi terakhir adalah orang yang
membukukannya.2
Pengertian periwayatan secara umum adalah seperti yang dikemukakan oleh Abdul
Majid Khon dalam bukunya Takhrij dan Metode Memahami Hadis, beliau mengutip
pendapat dari Muhammad Ibrahim Al-Hafrawi mengatakan, bahwa riwayah adalah:
الرواية عند المحدثين حمل الحديث ونقله واسناده الى من عزي اليه بصيغة
من صيغ االداء
“Periwayatan (hadits) menurut para ahli hadits (muhadditsin) adalah membawa dan
menyampaikan hadits dengan menyandarkannya kepada orang yang menjadi
sandarannya, dengan menggunakan salah satu bentuk kalimat periwayatan”.4
Periwayatan hadits itu adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits kepada
serangkaian periwayatan dengan bentuk-bentuk tertentu.5
Atau periwayatan hadits adalah tata cara penerimaan, penyampaian dan pelestarian
1
Louwis bin Naqula Dhahir Al-Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam, (Beirut: Dar Al- Masyriq, 1975), hal 289
2
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2009), hal 148
3
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), hal 22
4
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2012), hal 179
5
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2007), hal 59
hadits. Dalam defenisi di atas ada tiga komponen penting dalam periwayatan hadits,
yaitu mendengar/menerima hadits (sima’/tahammul al-hadits), menyampaikan hadits
(ada’ al-hadits) dan dhabthul hadits (melestarikan hadits).6
Mengenai periwayatan secara lafazh ini, sangat disukai para sahabat, seperti
yang disebut oleh Muhammad Ajjaj Al-Khatib, bahwa sebenarnya seluruh sahabat
Nabi SAW menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi bukan dengan
ma’nawi. Keinginan mereka itu tentunya mempunyai sebab tersendiri, yang salah
satu sebabnya adalah adanaya ancaman Nabi SAW bagi orang yang berdusta atas
dirinya (membuat hadits palsu). Dalam hal ini Nabi mengancam dengan siksaan
yang pedih di neraka. Oleh karena pentingnya periwayatan dengan lafazh ini, maka
Umar bin Khaththab pernah berkata “Barang siapa yang pernah mendengar hadits
dari Rasulullah SAW, kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar,
orang itu selamat.” Ucapan Umar ini merupakan peringatan kepada perawi hadits
untuk meriwayatkan hadits Nabi sesuai dengan yang didengar yakni periwayatan
secara lafazh, sehingga mereka terhindar dari ancaman api neraka.9
Di antara para sahabat Nabi yang paling keras mengharuskan periwayatan hadits
dengan jalan lafazh ialah Ibnu Umar yang pernah suatu hari ketika seorang sahabat
(Ubay bin Abi Amir) menyebutkan hadits lima prinsip dasar Islam, ia meletakkan
zakat pada urutan ketiga, Ibnu Umar langsung menyuruh ia meletakkan pada urutan
keempat sebagamana yang ia (Ibnu Umar) dengar dari Rasulullah SAW.10
Adapun mengenai periwayatan hadits dengan makna ini ada dua pendapat,
yaitu:
a. Tidak Boleh
b. Boleh
Dengan syarat:
11
Ibid, hal 72
12
Ibid, hal 72-73
13
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, hal 223
14
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
hal 91
15
Ibid
1) Kalau yang diriwayatkan itu bukan hadits marfu’, kalau hadits
marfu’tidak dibolehkan. Inilah pendapat Malik menurut nukilan
Al-Khalil bin Ahmad dan Baihaqi dalam al-madkhal.16
2) Apabila hadits tersebut sesuai dengan makna hadits yang didengar.
Inilah yang ditunjukkan oleh para sahabat dan ulama salaf, mereka
sering meriwayatkan sesuatu riwayat dengan bermacam lafazh.17
3) Jika si perawi tidak ingat lagi dengan lafazh, jika ia masih ingat lafazh
aslinya tidak dibolehkan.18
4) Harus diganti dengan lafazh yang muradif.19
5) Jika hadits itu mengenai ilmu, seperti i’tiqad. Kalau mengenai amal
tidak dibolehkan.20
6) Orang yang menyampaiakan hadits tersebut memiliki pengetahuan
Bahasa Arab yang tinggi.21
7) Matan hadits hendaknya didahului (ditambah) dengan kata-kata
او كم&&ا ق&&الatau او نح&&و ه&&ذاatau kata yang lain yang mempunyai makna
yang sama.22
Ada dua unsur penting dalam periwayatan hadits yang tidak boleh diabaikan, yaitu
penerimaan dan penyampaian. Unsur ini dikenal dengan tahammul al-hadits wa ada’ al-
hadits. Dalam masalah tahammul dan ada’ ini para ulama pada umumnya membagi
kedalam delapan bentuk, penerimaan sekaligus merupakan bentuk penyamapaian. Ini
dilakukan karena setiap penerimaan suatu hadits berarti di saat itu pun berlangsung
peristiwa penyampaian. Seorang murid menerima suatu hadits dari gurunya dan disisi
lain gurunya tersebut telah melakukan penyampaian suatu hadits yang dimilikinya
kepada muridnya.23
Kata tahammul merupakan bentuk mashdar dari kata تحمال-يتحم&&ل- تحمل, yang
berarti menerima.24 Sedangkan secara istilah adalah:
16
Ibid
17
Ibid, hal 92
18
Ibid, hal 93
19
Ibid
20
Ibid
21
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 74
22
Ibid
23
Ibid, hal 60
24
Umi Sumbulah, Studi Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hal 64
25
Ibid
اخذ الحديث عن الشيخ بطريق من طرق التحمل
“Kegiatan mengambil hadits dari seorang guru dengan menggunakan cara-cara
tertentu”.26
Kemudian ada’ al-hadits, kata ada’ merupakan isim mashdar dari kata
اداء-يأدى- ادىyang berarti menyampaikan atau menunaikan.28 Sedangkan menurut
istilah adalah:
Senada dengan Abdul Majid Khon, Abdul Qadir Hassan juga menyatakan
hal yang sama, beliau berkata “Adapaun orang yang mendengar/menerima
hadits tidak disyaratkan apa-apa.”32 Siapa pun boleh mendengarkan hadits dari
seorang syekh (guru), akan tetapi tidak semua orang boleh menyampaikan hadits
kepada orang lain. Kemudian, yang menjadi persoalan dalam pembahasan ini
adalah bagaimana dengan (tahammul) penerimaan hadits yang dilakukan oleh
anak-anak, orang kafir, dan orang fasik.
26
Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1989), hal 227
27
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hal 181
28
Umi Sumbulah, Studi Kritis Ilmu Hadis, hal 64
29
Ibid
30
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, hal 60
31
Ibid, hal 61
32
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 2007), hal 368
1) Anak-Anak
عقلت من النبي صلى هللا عليه وسلم مجة مجها في وجهي من دلو
)وانا ابن خمس سنين (رواه البخري
“Saya ingat Nabi SAW melemparkan air yang diambilnya dari timba ke
mukaku, sedang pada saat itu saya berusia lima tahun” (HR Bukhari)35
2) Orang Kafir
33
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal 195
34
Ibid, hal 195-196
35
Ibid, hal 196
36
Ibid
37
Ibid, hal 197
Contohnya, seperti Tanuchi utusan Heraclius, ia pernah mendengar
sabda-sabda Nabi SAW sebelum masuk Islam, kemudian setelah Rasulullah
SAW wafat, ia masuk Islam dan meriwayatkan hadits. Begitu juga halnya
dengan Jubair bin Muth’im. Riwayat mereka ini semua teranggap maushul,
karena waktu mendengar atau menyaksikan sesuatu, mereka sudah
dianggap ahli.38
3) Orang Fasiq
1) Islam
Kaitannya dalam masalah ini bisa kita bandingkan dengan firman Allah
dalam surat al-hujurat ayat 6:
2) Baligh
3) ‘Adalah
Yang dimaksud dengan ‘adalah ialah suatu sifat yang melekat pada jiwa
seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut tetap
taqwa, menjaga kepribadian, dan percaya pada diri sendiri dengan
kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan
menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik, dan
selalu menjaga kepribadian.44
4) Dhabit
a. As-Sima’
43
Ibid, hal 205-206
44
Ibid, hal 206
45
Ibid
46
Ibid
As-Sima’ artinya mendengarkan, maksudnya disini adalah seorang rawi
mendengarkan lafazh syaikhnya di waktu syaikh membaca atau menyebut hadits
atau hadits bersama sanadnya.47 Atau As-Sima’ adalah penerimaan hadits dengan
cara mendengar langsung lafal hadits yang dibaca guru hadits, baik yang dibaca
itu berdasar hafalannya atau catatannya, baik dicatat atau tidak oleh si
penerimanya.48
Cara periwayatan bentuk ini oleh mayoritas ulama hadits dinilai cara yang
tertinggi kualitasnya. Hal ini karena berdasarkan pendapat jumhur ulama hadits
bahwa cara penerimaan riwayat dengan as-sima’ ini sebagai cara yang paling
dipercaya. Adapun shighat-shighat (kata-kata) yang digunakan untuk cara
penerimaan dengan as-sima’ ini bervariasi, diantaranya adalah:
ذكر لنا, قال لنا, اخبرنا, حدثني, حدثنا,سمعت, dan lain-lain.49
b. Al-Qira’ah / Al-’Aradh
1) Sejajar dengan as-sima’, ini menurut Imam Malik, Imam Bukhari, dan
sebagian besar Ulama Hijaz dan Kufah.53
2) Lebih rendah dari as-sima’, ini menurut sebagian besar ulama Maroko
(pendapat yang shahih).54
3) Lebih tinggi dari as-sima’, ini menurut Abu Hanifah, Abu Dzi’b, dan
sebagian riwayat Imam Malik.55
c. Al-Ijazah
47
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 363
48
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 175
49
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 61
50
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 363
51
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 176
52
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 61
53
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 177
54
Ibid
55
Ibid
Al-Ijazah artinya mengizinkan, yaitu seorang syekh mengizinkan muridnya
meriwayatkan hadits atau riwayat, baik izin itu dengan ucapan maupun dengan
tulisan.56 Contohnya seperti perkataan seorang guru kepada salah satu muridnya:
Cara penerimaan hadits dengan cara al-ijazah ini secara global ada dua
macam, yaitu:
d. Al-Munawalah
66
Ibid
67
Ibid
68
Ibid
69
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 365
70
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 63
71
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 180
72
Ibid
ناولني او ناولني و اجاز لي, boleh juga memakai ibarat as-sima’ atau al-qira’ah yang
dikaitkan dengan kata munawalah dan ijazah seperti حدثنا مناولة او اخبرنا مناولة و
اج&&ازة.73 Adapun kata-kata yang digunakan untuk cara penerimaaan riwayat
dengan al-munawalah tanpa ijazah adalah
ناولني او ناولنا.74
e. Al-Kitabah
f. Al-I’lam
73
Ibid, hal 180-181
74
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 63
75
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 366
76
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 63
77
Mudasir, Ilmu Hadis, hal 187
78
Ibid
79
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 182
80
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 366
81
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 64
Mengenai periwayatan dengan cara al-i’lam ini ada dua pendapat, yaitu:
Adapun kata-kata yang dipakai untuk periwayatan dengan cara al-i’lam ini
adalah اخبرنا اعالما.85
g. Al-Washiyah
h. Al-Wijadah
1) Tulisan hadits yang didapati haruslah telah diketahui secara pasti siapa
periwayat sesungguhnya.94
2) Kata-kata yang dipakai untuk periwayat lebih lanjut haruslah kata-kata
yang menunjukkan bahwa asal hadits itu diperbolehkan secara
al-wijadah.95
92
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 66
93
Ibid
94
Ibid, hal 67
95
Ibid
96
Ibid
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu. Beirut: Dar Al-
Fikr. 1989.
Al-Ma’luf, Louwis bin Naqula Dhahir. Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam. Beirut: Dar Al-
Masyriq. 1975.
Al-Qaththan, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasby. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid II.
Jakarta: Bulan Bintang. 1976.
_________________, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra. 2009.
Hassan, Abdul Qadir. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: Diponegoro. 2007.
Husti, Ilyas. Studi Ilmu Hadis. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau. 2007.
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulumul Hadis. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2012.
Khon, Abdul Majid. Takhrij dan Metode Memahami Hadis. Jakarta: Amzah. 2014.
Mudasir, Ilmu Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia. 1999.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press. 2010.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
Thahhan, Mahmud. Intisari Ilmu Hadits. Malang: UIN-Malang Press. 2006.