Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

“PEMIKIRAN KALAM ALIRAN MATURIDIYAH”

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tauhid dan Ilmu Kalam

Dosen Pengampu: Rizki Hidayatullah, S.H.I, M.Sos

Disusun oleh:

Siti Muaza (211960)

Rizky Adewiska Amanda (211963)

MATA KULIAH TAUHID DAN ILMU KALAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

STAIN SULTAN ABDURRAHMAN KEPULAUAN RIAU

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan Alhamdulillah kepada Allah SWT, yang mana sudah
melimpahkan rahmat, dan ridho-nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini yang
berjudul “Pemikiran Kalam Aliran Maturidiyah” dengan baik serta tepat waktu. Adapun tujuan
penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Tauhid dan Ilmu Kalam
dari Bapak Rizki Hidayatullah, S.H.I, M.Sos. Makalah ini juga bertujuan untuk menambah
pengetahuan dan wawasan tentang pemikiran kalam aliran Maturidiyah, bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa pemikiran kalam aliran Maturidiyah adalah aliran
yang merujuk kepada Ahlusunnah Wal Jama'ah yang dimana hampir sama dengan aliran
Asy'ariyah dalam pembahasan sebelumnya namun tetap terdapat perbedaan di antara keduanya.
Namun aliran ini ialah aliran yang merupakan pihak tengah dari aliran-aliran yang lain yang
dimana aliran ini lebih mayoritas banyak kebaikannya dari aliran-aliran yang lain.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwasanya
makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Atas perhatian serta
waktunya, kami sampaikan banyak terima kasih.

Bintan, 22 November 2022

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 3
BAB I .............................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 5
C. Tujuan .................................................................................................................................. 5
BAB II ............................................................................................................................................ 6
PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 6
A. Definisi Maturidiyah .............................................................................................................. 6
B. Sejarah munculnya al-maturidiyah ....................................................................................... 11
C. Pokok Ajaran Al-Maturidiyah .............................................................................................. 17
D. Kondisi Sosio Kultur Masyarakat Pada Al-Maturidi ........................................................... 20
E. Sekte-Sekte aliran Al-Maturidiyah dan Para Tokohnya ....................................................... 21
F. Doktrin Teologi Al-Maturidiyah .......................................................................................... 27
G. Perbedaan atau Perbandingan Asy'ari dan Maturidiyah ....................................................... 32
BAB III......................................................................................................................................... 34
PENUTUP .................................................................................................................................... 34
A. KESIMPULAN .................................................................................................................... 34
B. SARAN................................................................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 36
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perdebatan tentang prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, yang memuncak pada abad
ke-2 dan ke-3 Hijrah (abad ke-8 dan ke-9 M), mendorong para ulama untuk menoleh ketika
membahas Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia menggunakan argumen rasional.
dan alam semesta. Hal ini menyebabkan munculnya ilmu baru di bidang pemikiran Islam
yang dikenal dengan “Ilm al-Kalam”. Mu'tazilah mungkin adalah kelompok yang awalnya
menekankan penggunaan akal (ra'yu) dalam teologi Islam. Di puncak perkembangan
mereka, kaum Mu'tazilah mengkritik bagian-bagian penting dari keyakinan ortodoks. Dan
tentu saja kelompok ulama salaf tidak tinggal diam, dipimpin oleh Ahmad bin Hambal
mereka menentang sistem dan cara berpikir Mu'tazilah. Kelompok ini sangat berpegang
teguh pada sumber Naql dan menolak penggunaan ra'yu dalam kajian masalah agama.

Dalam perkembangan selanjutnya, muncul sekolah menengah bernama Ahl al-


Sunnah wa al-Jama'ah yang menggunakan pendekatan Ransum (ra'yu) dan Nash (naql)
dalam metode Kalamnya. Tokoh-tokohnya yang paling menonjol adalah Abu Hasan
Asy'ari (w. 324/935) di Irak dan Abu Mansur Maturidi (w. 333/944) di Samarkand, yang
pertama melahirkan sekolah Ash'ariyah dan yang terakhir Ash'. . sekolah Arya. Sekolah
Maturidiyah (Grunebaum, 1970):130). Meskipun kedua mazhab Mu'tazilah ini
berseberangan dan sama-sama menggunakan pendekatan ra'yu dan naql, namun keduanya
juga memiliki perbedaan. Dalam konteks tersebut, artikel ini mencoba membahas
bagaimana salah satu aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah muncul dan berkembang, yaitu
aliran Maturidiyah; dan apa metode aliran dan hasil pemikiran.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam makalah ini mencoba membahas
bagaimana munculnya dan berkembangnya salah satu aliran dalam Ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah, yaitu aliran Maturidiyah, dan seperti apa metode dan hasil pemikiran dari aliran
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian Maturidiyah ?
2. Jelaskan sejarah munculnya Maturidiyah ?
3. Bagaimana pokok ajaran Maturidiyah ?
4. Bagaimana kondisi masyarakat pada masa Al-Maturidi ?
5. Sebutkan dan Jelaskan Sekte-Sekte Maturidiyah dan para tokohnya ?
6. Bagaimana Doktrin Teologi Al-Maturdiyah ?
7. Jelaskan Perbedaan Asy'ariyah dan Maturidiyah ?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Maturidiyah.
2. Mengetahui Sejarah munculnya Maturidiyah.
3. Memahami ajaran pokok Maturudiyah .
4. Mengetahui Kondisi Sosial Budaya Al-Maturidi.
5. Mengetahui Sekte-Sekte Maturidiyah dan tokohnya.
6. Memahami Doktrin Maturidiyah.
7. Memahami perbedaan Asy'ariyah dan Maturidiyah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Maturidiyah
Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional.
Nama aliran itu dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad Al-
Maturi. di Aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu
Mansur Al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli
kalami. Aliran Maturidiyah digolongkan dalam aliran Ahlussunnah Wal Jamaah yang
merupakan ajaran yang bercorak rasional. Dilihat dari metode berpikir aliran
Maturidiyah, berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak
bertentangan dengan syara‟. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara‟, maka
akal harus tunduk kepada keputusan syara‟.
Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran al-Quran
yaitu kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al-
Quran. Aliran Maturidiyah ini ialah aliran yang di latar belakangi Ahlusunnah Wal
Jama'ah yang dimana dengan aliran Asy'ariyah di dalamnya terdapat perbedaan yang
sedikit sekali. Ahlusunnah Wal Jamaah yang dalam artian ialah mereka yang
menempuh seperti apa yang oernah di tempuh oleh Rasullullah Saw dan para
Sahabatnnya. Asy'ariyah dan Maturidiyah ini lazim di gabung dalam satu nama Ahl al-
Sunnah wa al-jama'ah. Kalau Asy'ariyah di anut oleh mayoritas umah yang
bermazhab fikih syafi'iah, maka maturidiyah di anut oleh kebanyakan umat mazhab
Hanafiah. Namun di antara kedua aliran kalam ini lebih memperlihatkan persamaan
dari pada perbedaan. Namun dalam pemahamn umum, nama Ahl al-Sunnah wa al-
jama'ah ini lebih dominan menunjuk kepada Asy'ariyah.
Dan disebut Ahlusunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba'
(mengikuti) Sunnah Nabi Saw dan para Sahabatnya. Disebut al-Jama'ah, karena
mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama,
berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haqq
(kebenaran), tidak mau keluar dari jama'ah mereka dan mengikuti apa yang telah
menjadi kesepakatan Salaful Ummah.1
Khalaf pada Ahlusunnah Wal Jamaah biasanya digunakan untuk merujuk para
ulama yang lahir setelah abad keIII H dengan karakteristik yang bertolak belakang
dengan yang dimiliki salaf. Karakteristik yang paling menonjol dari khalaf adalah
penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian
yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya. Adapun ungkapan Ahlusunnah
(sering disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum
dan khusus. Dalam pengertian ini, Mu‟tazilah – sebagaimana juga Asy‟ariah – masuk
dalam barisan Sunni. Adapun Sunni dalam pengertian Khusus adalah mazhab yang
berada dalam barisan Asy‟ariah dan merupakan lawan Mu‟tazilah. Selanjutnya,
termasuk Ahlusunnah banyak digunakan sesudah timbulnya aliran Asy‟ariah dan
Maturidiah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu‟tazilah. Dalam hubungan ini,
Harun Nasution –dengan meminjam keterangan. Tasy Kubra Zadahmenjelaskan
bahwa aliran Ahlusunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan AlAsy‟ari
sekitar tahun 300 H.
2
Aliran Maturidiyyah yang dikatakan tampil sebagai reaksi terhadap pemikiran-
pemikiran mu‟tazzilah yang rasional itu, tidaklah seluruhnya sejalan dengan pemikiran
yang yang diberikan oleh al-asy‟ari. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa
pemikiran teologi asy‟ari sangat banyak menggunakan makna teks nash agama (Quran
dan Sunnah), maka Maturidiyyah dengan latar belakang mazhab Habafi yang
dianutnya banyak menggunakan takwil.3
Aliran al-Maturidiyah adalah salah satu aliran dalam Islam yang masuk dalam
kategori ahlussunnah wal jama‟ah. Aliran ini muncul pada awal abad ke 4 H. Nama
aliran al-Maturidi sendiri diidentikan dengan nama Abu Mansur Muhammad Ibnu
Mahmud al-Maturidi (w.333 H) sebagai pendirinya. Dalam aliran al-Maturidiyah, akal
atau rasio memiliki peranan penting dalam konsep teologi dan ajaran agamanya.

1
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah,(Jakarta, Pustaka Imam asy-Syafi'I,
2006), hlm 36-37
2
Amari Ma‟ruf, Sudiyanto, M.Khamzah, Buku Guru Ilmu Kalam, (Jakarta, Direktorat Pendidikan Madrasah, 2014),
hlm 134
3
Eri Susanti, Aliran-Aliran dalam Pemikiran Kalam : Jurnal Ad-Dirasah: Jurnal Hasil Pembelajaran Ilmu-ilmu
Keislaman, (Pontianak, IAIN Pontianak, 2018), hlm 38 Vol 1, No 1
Aliran ini berpendapat bahwa akal dapat membantu memahami keesaan Allah, sifat
dan zatNya. Akal juga menurut al-Maturidi dapat digunakan untuk memahami ayat-
ayat al-Qur‟an dan hal lain yang berkaitan dengan pemahaman teologi. Dalam
perkembangannya, aliran ini terbagi dalam dua kelompok, yaitu maturidiyah
samarkand dibawah pimpinan Abu Mansur al-Maturidy dan Aliran maturidiyah
bukhara dipimpin oleh Abu Yusr Muhammad al-Bazdawi (w.439 h).4
Nama aliran ini identik dengan pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad Ibnu
Mahmud al-Maturidy. Dalam faham teologinya, al-Maturidy banyak terpengaruh oleh
pemikiran Imam Abu Hanifah, yang juga banyak menggunakan rasio dalam
pandangan keagamaannya. Meski demikian, sistem pemikiran teologinya masih dalam
kategori Ahlu Sunnah. Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah berpendapat bahwa
iman adalah tashdiq bi al-qalb (meyakini dengan hati), bukan semata-mata iqrar bi al-
lisan (mengucapkan dengan lisan). Ia berargumentasi dengan ayat al-Qur‟an, surat al-
Hujarat (49) ayat 14:
‫سولَهُ ال‬
ُ ‫َّللاَ َو َر‬ ْ َ ‫اة آ َمنَّب قُ ْل لَ ْم ت ُؤْ ِمنُوا َولَ ِك ْه قُولُوا أ‬
َّ ‫سلَ ْمنَب َولَ َّمب يَ ْد ُخ ِل اإلي َمبنُ فِي قُلُوبِ ُك ْم َوإِ ْن ت ُِطيعُوا‬ ُ ‫ت األع َْر‬ ِ َ‫قَبل‬
)٤١ ‫ور َر ِيي رم‬ َ َ‫َّللا‬
‫ف ُو ر‬ َّ َّ‫ش ْيئ ًب إِن‬َ ‫يَ ِلتْ ُك ْم ِم ْه أ َ ْع َمب ِل ُك ْم‬
Artinya:
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu
belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke
dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan
mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang."

Ayat tersebut difahami Al Maturidi sebagai usaha penegasan bahwa keimanan itu
tidak cukup hanya dengan perkataan saja, tanpa di yakini oleh hati. Apa yang
diucapkan oleh lisan dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal apabila hati tidak
mengakuinya. 5

4
Hudallah, Buku Guru Ilmu Kalam, (Jakarta, Direktorat Pendidikan Madrasah, 2016), hlm 7
5
Nur Hadi, Ilmu Kalam, (Bandung, 2013), hlm 16
Maturidiyah berpendapat, bahwa orang yang berdosa besar itu tidak dapat
dikatakan kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat.
hal itu di karenakan Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada
manusia sesuai dengan perbuatannya sedangkan balasan bagi orang yang berbuat dosa
syirik adalah kekal dalam neraka.

a) Biografi Al-Maturidi
Abu masnsyur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota
kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah
yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahi
secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia
wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqh dan teologi
bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Ia
hidup pada masa AlMutawakkil yang memerintah tahun 232-274 H/847-
861 M. Karier pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk
menekuni bidang teologi daripada fiqh, sebagai usaha memperkuat
pengetahuannya untuk menghadapi paham-paham teologi yang banyak
berkembang dalam masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai
dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara‟.
Pemikiran-pemikirannya sudah banyak dituangkan dalam bentuk
karya tulis, di antaranya adalah Kitab Tauhid, Ta‟wil Al-Qur‟an, Ma‟khaz,
Asy-Syara‟I, Al-Jadl, Ushul fi ushul Ad-Din, Maqalatat fi Al-Ahkam,
Radd Awa‟il Al-Adillah li Al-Ka‟bi, Radd Al-Ushul Al-Khamisah li Abu
Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah li al-Ba‟ad Ar-Rawafidh, dan
Kitab Radd „ala Al-Qaramithah. Selain itu, ada pula karangan-karangan
yang dikatakan dan diduga ditulis oleh Al-Maturidi, yaitu Risalah fi Al-
Aqaid dan Syarh Fiqh Al-Akbar. 6
Riwayat hidup Abu Mansur (Al-Maturidi) tidak banyak diketahui
orang. Begitu juga halnya ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran
Maturidiah tidak banyak dibukukan atau ditulis orang. Di antara sekian

6
Ilmi Kalam : Aliran-Aliran dan Pemikiran
banyak buku yang membahas aliran-aliran keagamaan, seperti buku
karangan Al-Syahrastani, Ibnu Hazm, AlBaghdadi, dan Lainnya tidak
memuat keterangan-keterangan tentang Al-Maturidi atau pengikut-
pengikutnya. Sedangkan karangan-karangan Al-Maturidi sendiri masih
belum dicetak dan tetap dalam bentuk naskah. Di antara naskah itu adalah
Kitab AlTauhid dan Kitab Ta‟wil al-Qur‟an. Selain itu ada lagi
karangankarangan yang kabarnya disusun oleh Al-Maturidi, yaitu Risalah
Fi al-Aqaid dan Syarh al-Fiqh al-Akbar.
Adapun keteranganketerangan mengenai pendapat Al-Maturidi
dapat diperoleh lebih lanjut dari buku-buku yang dikarang oleh para
pengikutnya, seperti: Isyarat al-Maram oleh Al-Bayadi, dan Ushul al-Din
oleh Al Bazdawi. Al-Maturidi dikenal sebagai pengikut Abu Hanifah.
Sebagai pengikut Abu Hanifah, ia banyak menggunakan ratio dalam
pandangan keagamaan, di samping itu ia banyak pula menggunakan akal
dalam sistem teologinya. Menurut para ulama Hanafiah hasil pemikiran
Al-Maturidi, khususnya dalam bidang aqidah mirip dengan pendapat Abu
Hanifah.
Dapat dikatakan bahwa pikiran-pikiran Al-Maturidi dalam hal ini
merupakan penguraian yang lebih luas dari pikiran-pikiran Abu Hanifah.
Tokoh-tokoh aliran Maturidiah terdiri dari para pengikut aliran fiqh
Hanafiah. Mereka tidak sekuat para tokoh aliran Asy‟ariah. Para tokoh
aliran Maturidiah antara lain: Al-Bazdawi, Al-Taftazani, An Nasafi, dan
Ibnul Hammam. Di antara mereka yang paling terkenal adalah Al-
Bazdawi, sehingga dalam aliran Maturidiah terdapat dua golongan, yaitu
golongan Maturidiah Samarkand yang dipelopori oleh Abu Mansur Al-
Maturidi dan golongan Maturidiah Bukhara oleh Abu Yusuf Muhammad
Al-Bazdawi.7

7
Hasan Basri, ILMU KALAM ; SEJARAH DAN POKOK PIKIRAN ALIRAN-ALIRAN, (Bandung, Azkia Pustaka
Utama, 2016), hlm 60
B. Sejarah munculnya al-maturidiyah
Dari perspektif Islam, aspek politik dan akidah termasuk persoalan serius yang
banyak menguras energi para pemikiran dan politikus muslim semenjak Rasulullah
wafat. Kedua hal tersebut terkait dan saling berkorelasi. Karena dari persoalan politik
tersebut meningkat menjadi persoalan akidah, seperti tentang dosa besar, kafir dan
mukmin yang kemudian melahirkan beberapa aliran teologi seperti Khawarji, Murjiah
dan Mu‟tazilah. Mu‟tazilah adalah golongan yang membawa masalah-masalah teologi
yang lebih radikal dan bersifat filosofis dari pada problem-problem yang di bawa
kaum Khawarij dan Murji‟ah, sehingga banyak produk pemikiran tidak sejalan dengan
pandangan kaum tradisional. Reaksi keras kaum tradisional mencuat menentang
Mu‟tazilah. Pada akhirnya terwujud dalam bentuk aliran teologi yang di kenal dengan
nama Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.
Dengan tokoh utamanya Hasan al-Asy‟ari dan Abu Mansur al-Maturidi.1 Kedua
tokoh tersebut menonjol pada akhir abad ketiga Hijriyah yaitu Abu Hasan Al-Asy‟ari
di Basrah dan Abu Mansur al-Maturidi di Samarkhan. Mereka bersatu untuk
membantah atau menentang terhadap Mu‟tazilah, meskipun al-Asy‟ari dan al-Maturidi
terdapat perbedaan paham. Aliran Maturidiyah berdiri atas prakarsa al-Maturidi pada
tahun pertama abad ke 4 H. Al-Maturidi muncul dari faham teologi Ahl al-Sunnah wa
al-Jamaah, yang berpegang teguh pada sunnah, yang berbeda dengan Mu‟tazilah yang
tidak kuat berpegang teguh pada sunnah. Oleh karena itu golongan Ahli Sunnah wal
Jamaah merupakan golongan yang mayoritas dan golongan Mu‟tazilah yang
merupakan golongan minoritas.
Sehingga yang dimaksud dengan Ahl Sunnah Wal Jamaah didalam lapangan
teologi Islam adalah Asy‟ari dan Maturidi. Al-Maturidi dan Asy‟ari tampil bersama
dalam satu sosial dan pemikiran yang sama. Al-Asy‟ari dan al-Maturidi datang untuk
memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari
ekstriminasi kaum rasional yang berada dibarisan paling depan adalah Mu‟tazilah,
maupun ekstriminitas kaum tekstualitas yang berada dibarisan paling depan adalah
kaum Hanabilah (para pengikut Imam Ibn Hambal).5 Sesungguhnya al-Maturidi
sebaya dengan al-Asy‟ari, akan tetapi berbeda tempat tinggal. Al-Asy‟ari hidup di
Basrah Irak, sebagai pengikut Imam Syafi‟i, sedang al-Maturidi bertempat tinggal di
Samarkhan, sebagai pengikut mazhab Hanafi. Oleh karena itu tidak heran kalau
pengikut Asy‟ari pada umumnya bermazhab Syafi‟i, dan pengikut al-Maturidi
bermazhab Hanafi.
Pemikiran-pemikiran al-Maturidi bertujuan untuk membendung paham
Mu‟tazilah seperti juga aliran Asy‟ariyah. Namun demikian tidak seluruh
pemikirannya bertentangan dengan Mu‟tazilah. Bahkan dalam beberapa hal
pemikirannya hampir sama dengan pendapat Mutazilah. Oleh karena itu, sering kali
al-Maturidi disebut “berada di antara teologi Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah”.7 Dalam
perkembangan selanjutnya aliran alMaturidi terbagi menjadi 2 sekte yakni sekte al-
Maturidiyah Samarkhan (Abu Mansur al-Maturidiyah) dan al-Maturidiyah al Bukhara
(Abu al-Yusr Muhammad Bazdawi).8
Tokoh pertama dari aliran Maturidiyah adalah al-Maturidi sendiri. Sebagai
pemikir yang tampil dalam menghadapi pemikiran Muktazilah, almaturidi banyak
menyerang pemikiran mu‟tazillah. Namun karena ia memiliki latar belakang
intelektual pandangan-pandangan rasional Abu Hanifahm dicelah-celah perbedaan itu
terdapat pula kesamaan. Murid terpenting dari Al-Maturidi adalah Abu al-Yusuf
Muhammad alBazdawi. Ia dilahirkan pada tahun 421 H dan meninggal pada tahun 439
H. Sebagai diketahui bahwa nenek Al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi. Al-
Bazwadi sendiri mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Agaknya
pewarisan paham yang sudah melalui tiga jenjang terhadap AlBazdawi sendiri tidak
urung membuat berbagai perbedaan antara al-bazdawi dengan al-maturidi
Apalagi bila hal itu dikaitkan dengan kebebasan intelektual di kalangan ulama
masa lampau. Inilah kemudian yang membuat terdapatnya dua cabang aliran dalam
Maturidiyyah, yaitu cabang Samarkand dengan tokoh Maturidi sendiri dan cabang
Bukhara dengan tokoh utama al-Bazdawi.9 Aliran Maturidiah juga muncul sebagai
reaksi terhadap aliran Mu‟tazilah. Oleh sebab itu, pendapat-pendapat Maturidiah
memiliki kesamaan ajaran prinsip dengan aliran Asy‟ariah, karena munculnya kedua
aliran tersebut dengan latar belakang yang sama. Sunggguhpun demikian, antara
teologi Maturidiah dengan teologi Asy‟ariah memiliki perbedaan-perbedaan.

8
Muhammad Hasbi, ILMU KALAM , (Yogyakarta, Trustmedia Publishing, 2015), hlm 90
9
Eri Susanti, Aliran-Aliran dalam Pemikiran Kalam : Jurnal Ad-Dirasah: Jurnal Hasil Pembelajaran Ilmu-ilmu
Keislaman, (Pontianak, IAIN Pontianak, 2018), hlm 38 Vol 1, No 1
a. Mazhab al-Maturidiyah
Syaikh Muhammad Abu Zahrah membandingkan antara pengikut
Asy'ari dan pengikut Al-Maturidi dengan mengatakan, "Penganut Asy'ari
berada dalam garis antara Mu'tazilah, ahli hadits, dan ahli fikih.
Sedangkan penganut Al-Maturidi berada dalam garis antara Mu'tazilah
dan penganut Asy'ari. Dalam hal ini Abu Zahrah mengikuti Syaikh Al-
Kautsari dalam menetapkan pertengahan ini pada dua belah pihak.
Analisis seperti ini juga kita temui pada peneliti-peneliti kontemporer. Dr.
Ali Abdul Fattah meringkas sumber-sumber yang menyebutkan beberapa
sisi perbedaan antara Asy'ari dan Al-Maturidi, di mana Al-Maqrizi
menyebutkan perbedaan antara keduanya dalam belasan masalah.
Madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Abu Manshur Al-Maturidi,
tapi asal usul madzhab ini dinisbatkan lebih jauh lagi kepada Imam Abu
Hanifah, dan lingkarannya lebih luas lagi sehingga mencakup kelompok
para imam besar yang mensyarah Kitab Al-Fiqh Al-Akbar karya Abu
Hanifah, seperti Imam Ath-Thahawi, Abu Al-Laits As-Samarqandi, Abu
Al-Qasim As-Samarqandi, Abu Al-Mu'In An-Nasafi, dan Al-Bayadhi.
As-Subki juga menyebutkan jumlahyang sama, sebagian ada yang
perbedaannya dari segi kalimatnya saja, ia juga menulisnya dalam bait
syair. Imam Al-Bayadhi menyebutkan bahwa perbedaan antara keduanya
mencapai lima puluh masalah. Sebagian ulama yang menyebutkan
perbedaan antara keduanya lebih merrdukung Al-Maturidi seperti Syaikh
Zadah dalam kitabnyaNazhm Al-Fara-id wa lama' At-Fawa'id. Ada
sebagian yang mendukung Asy'ari seperti Abu Udzbah dalam kitabnya
Ar-Raudhah Al-Bahiyyah fi Ma Baina Al-Asya',irah wa At-
Maturidiyah.338 Perbedaan-perbedaan ini tidak bisa dijadikan alasan
untuk mengkafirkan atau membid'ahkan. Lalu apakah Al-Maturidiyah
lebih sedikit daripada Asy'ari dalam hal penggunaan akal di medan ilmu
akidah.?
Kita hampir tidak menemukan apa yan8 menguatkan pertanyaan
tersebut, dan mungkin kita bisa mengulang lagi apa yang sebelumnya
telah disebutkan ketika membandingkan penganut Asy'ari dengan
Mu'tazilah: Dua kelompok ini-berdasarkan kematangan yang mereka
capai-tidak konsisten baik secara metodologis maupun tematis terhadap
pokok asal pertama yaitu prinsip keterbatasan akal karena keduanya tidak
peduli dengan kritikan yang dilontarkan pada akal secara filsafat,
keduanya dalam melupakan kritikan ini berlandaskan pada akal teori yakni
prinsip keharusan praktik. Dengan demikian, mereka juga menyepelekan
pokok asal kedua dan ketiga.10

b. Sejarah Aqidah Maturidiyah di Indonesia

Aqaid an-Nasafi, Sumber Aqidah Maturidiyah di Indonesia


Aqaid an-Nasafi ditemukan beserta dengan lima manuskrip lain
yang ada di alam melayu dahulu yang semulanya ditemukan oleh Thomas
Erpenius, seorang ilmuwan belanda. Karena berbagai dinamika dan
perpindahan tangan, ia berakhir di Perpustakaan Cambridge University.
Aqaid an-Nasafi ditulis oleh Abu Hafs Umar Najmuddin Al-Nasafi,
sebagaimana ia ditulis dalam latin oleh pemilik manuskrip tersebut,
Andreas Mullerus Greiffenhagius. Greiffenhagius menulis nama
penulisnya sebagai „Umar Abu Hafs, putra Muhammad, putra Ahmad,
Nasafi‟, yang kemudian diinterpretasi oleh Syed Muhammad Naquib Al-
Attas dalam Aqaid An-Nasafi: The Oldest Manuscript Known in Malay
World bahwa nama tersebut merujuk pada salah satu sosok Sunni-
Hanafiyah dengan aqidah Maturidiyah, Abu Hafs Umar Najmuddin Al-
Nasafi (m. 537H/1142M). Penulisan Aqaid an-Nasafi miliknya adalah
karya tulis yang membahas seputar aspek-aspek inti aqidah dengan singkat
dan populer hingga banyak syarahnya yang ditulis.
Syarahnya telah ditulis oleh Saaduddin Al-Taftazani, Al-Raniri,
dan juga Bukhari Al-Jawhari dalam bukunya Taj al-Salatin, sebagaimana
disadur dari jurnal berjudul The Spread and Persistence of Māturīdi Kalām

10
Masturi Irham, Ensiklopedi Aliran Dan Mazhab di Dunia Islam, (Pustaka Al-Kautsar), hlm 162
and Underlying Dynamics oleh Bruckmayr. Estafet Fungsi Risalah dan
Imamah Merujuk pada bagian akhir manuskrip tersebut, Abu Hafs An-
Nasafi menulis bahwa ia menyelesaikan penulisan buku tersebut pada hari
Sabtu, hari keempat di bulan Rabiul Akhir pada tahun 998 H. Menurut
kalkulasi Al-Attas, ia sama dengan hari Sabtu, tanggal 10 pada bulan
Februari 1590 M.
Dengan fakta ini, maka ia bisa dibilang sebagai manuskrip aqidah
Maturidiyah di alam melayu paling tua yang pernah ditemukan, di antara
enam manuskrip lain yang ditemukan Erpenius tersebut. Penilaian ini
berdasar pada perbandingan Al-Attas pada hipotesis G.W.J Drewes, sosok
yang menulis terjemahan melayu Burdah milik al-Busiri sebagai salah satu
dari beberapa manuskrip melayu tertua. Berbagai manuskrip melayu yang
telah diketahui pada kala itu ditulis pada akhir abad 16 dengan argumen
yang sifatnya sangat umum dan bisa diberlakukan pada seluruh manuskrip
melayu yang lain. Menurut Al-Attas, argumen ini sifatnya lemah
dibandingkan dengan temuan secara literal dari Abu Hafs akan catatan
penyelesaian penulisan Aqaid an-Nasafi miliknya.

Pengaruh Turki Utsmani dalam Sejarah Aqidah


Adapun untuk mengetahui di daerah Indonesia mana Aqaid an-
Nasafi tertulis, sangat penting untuk mengetahui konteks penjajahan
Portugis di alam melayu pada waktu tersebut. Menurut Al-Attas, ia tidak
bisa dilepaskan dari pembahasan asal mula manuskrip tersebut bermula.
Saat Portugis menjajah Malaka pada tahun 1511, pusat perkembangan
komunitas muslim dan jalur perdagangan kapal pedagang muslim yang
sebelumnya terpusat di Malaka, berpindah ke Aceh. Akibat perpindahan
jalur perdagangan masyarakat muslim dunia menuju Aceh, para pedagang
dari Gujarati dari masa kesultanan Turki Utsmani pun turut datang ke
Aceh untuk berdagang.
Selain berdagang, pihak Turki Utsmani juga memberikan bantuan
berupa persenjataan militer untuk membantu masyarakat Melayu melawan
penjajah Portugis pada kala itu. Hubungan antara kesultanan Aceh pada
waktu itu dengan Turki Utsmani menjadi penting dalam pembahasan ini.
Ia bisa menjadi penjelasan latar sejarah aqidah Maturidiyah bisa ada di
Aceh akibat datangnya pengaruh dan tokoh-tokoh Turki yang
kecenderungan mazhab fikih dan akidahnya adalah Hanafiyah-
Maturidiyah. Pada tahun 1580, berbagai figur besar di bidang ilmu-ilmu
laduni muncul di Aceh, mengajarkan ilmu-ilmu sunah, ijma, atsar, mantik,
bayan, tasawwuf, dan lainnya.
Dengan fenomena ini, maka untuk mengklaim bahwa Aqaid an-
Nasafi tertulis di Malaka bisa jadi dianggap sebagai argumen yang lemah.
Penjajahan Portugis di Malaka telah meredam perkembangan umat
muslim di Malaka baik secara intelektual, yang terbukti dengan peralihan
pusat perdagangan dan perkembangan intelektual di Aceh. Menurut Al-
Attas, penulisan muatan Aqaid an-Nasafi memerlukan iklim intelektual
yang mendukung beserta dengan daerah yang cukup berwawasan untuk
mampu menerima pengajaran Aqaid an-Nasafi tersebut.
Hal ini sangat cocok dengan situasi Aceh pada waktu itu. Maka
dengan ini, kemungkinan terbesar bisa dikatakan bahwa penulisan Aqaid
an-Nasafi ialah bermula di Aceh, dalam konteks sosio-politik yang
mendukung akibat perpindahan pusat perkembangan komunitas muslim
dari Malaka ke Aceh.

Aqidah Maturidiyah di Pesantren Indonesia


Kendati waktunya kedatangan pengaruhnya yang sangat dini, hal
ini berbeda dengan realita konteks masyarakat di Indonesia sekarang yang
kecenderungan aqidah dan fikihnya secara mayoritas berpegang pada
Asyariyah-Syafi‟iyah. Menurut Martin van Bruinessen, kitab-kitab yang
secara langsung merujuk pada referensi kitab dan manuskrip Maturidiyah
seperti Aqaid an-Nasafi dan sebagainya tidak ditemukan dalam pesantren-
pesantren Indonesia. Hal ini dapat kita rujuk dari tulisan Muhammad
Asrori Yusuf dalam Pengkajian Kitab Akidah di Pesantren.
Kendati demikian, dari berbagai kitab aqidah yang digunakan
sebagai referensi pesantren, terdapat satu kitab yang mengikuti aqidah
Maturidiyah. Kitab tersebut adalah Husnun al-Hamidiyah yang ditulis oleh
Sayyid Husain bin Muhammad al-Jisr al-Tharabilisi, sosok ulama yang
hidup pada masa Turki Utsmani. Kitab tersebut terhitung sangat baru,
terhitung sejak pada abad 1900-an, dan fakta bahwa pesantren sebagai
sistem pendidikan tradisional yang kita kenal hari ini belum menjadi
budaya yang merebak luas sebelum abad 18.
Walaupun manuskrip tua Maturidiyah yang digunakan sebagai
kitab pesantren lebih jarang dibandingkan dengan kitab-kitab Asy‟ariyah,
pengaruh aqidah Maturidiyah tidak sepenuhnya lepas dalam tradisi
pesantren. Ia tersintesis bersama dengan pemikiran Asy‟ariyah dalam
konteks Ahlu Sunnah wal Jamaah dalam berbagai kitab-kitab yang
digunakan di pesantren Indonesia, dirujuk lebih kepada figur-figur Ahlu
Sunnah wal Jamaah, daripada sebagai tokoh Maturidiyah atau Asy‟ariyah
secara spesifik.11

C. Pokok Ajaran Al-Maturidiyah


Metode berpikir al-Maturidi dalam penetapan kewajiban ma‟rifah terhadap Allah
dapat dijangkau berdasarkan kemampuan akal untuk menalar. Oleh karena itu,
terhadap sesuatu dapat dinilai dengan penilaian akal. Menurut al-Maturidi, ilmu
semacam keragu-raguan karena ilmu mengembalikan pada persoalan yang
memungkinkan dari dua persoalan sehingga perlu adanya penalaran. Ilmu pada
hakekatnya mencakup terhadap sesuatu bagian-bagian yang nampak dari sesuatu.
Selain itu, alMaturidi berpendapat bahwa ilmu dan ma‟rifah mengandung makna yang
sama, sehingga tidak dibedakan. Oleh karena itu, apabila ma‟rifah dihubungkan
dengaan ilmu maka sama halnya dengan pembenaran. Golongan Samarkhan lebih
rasional karena ciri pemikiran yang lebih mengandalkan rasio.

11
Sumber Artikel : Sejarah Aqidah Maturidiyah di Indonesia https://ibtimes.id/?p=48648
Mereka beranggapan bahwa akal mempunyai daya yang lebih mengandalkan
memberikan interprestasi secara liberal terhadap teks ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis
serta lebih bebas bergerak dalam menyesuaikan hidup dengan peredaran zaman dan
perubahan kondisi dalam masyarakat bagi penganutnya. Berbeda dengan golongan
Bukhara yang sedikit agak tradisional karena sikap yang tidak bebas artinya terikat
pada dogma-dogma, tetapi juga pada ayat-ayat dahulu yang mempunyai arti zanni.
Dalam memecahkan masalah mereka terlebih dahulu berpegang pada teks wahyu dan
kemudian membawa argumen-argumen rasional untuk teks tersebut. Dengan
demikian, aliran Maturidiyah berada di antara aliran Mu‟tazilah dan al-Asy‟ariyah.
Dalam membicarakan kedudukan pelaku dosa besar, aliran Maturidiyah
Samarkhan sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Asy‟ariyah. Bagi mereka amal
tidak dianggap sebagai komponen utama dari imam. Oleh karena itu, orang yang
melakukan dosa besar tidak keluar dari imam. Oleh karena itu, orang yang melakukan
dosa besar tidak keluar dari imam, meskipun amalnya tetap dihisab dan ia akan
mendapat siksa, serta Allah dapat saja mencurahkan rahmat-Nya kepada pelaku dosa
besar. Itulah sebabnya al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kekal di
neraka, diserahkan pada kebijaksanaan Allah.
Selanjutnya al-Maturidi mengatakan bahwa yang benar mengenai orang yang
berdosa ialah menyerahkan persoalan mereka kepada Allah. Jika Allah menghendaki,
maka Dia mengampuni mereka sebagai karunia, kebaikan dan rahmat-Nya. Sebaliknya
jika Allah menghendaki, maka Dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar orang
mukmin berada di antara harapan dan kecemasan. Allah boleh saja menghukum
pelaku dosa kecil dan mengampuni pelaku dosa besar. Ulama sepakat bahwa seorang
mukmin tidak akan kekal dalam neraka. Sekalipun telah terjadi perbedaan pendapat di
antara mereka tentang siapa mereka sebenarnya orang mukmin yang kekal dalam
neraka.12
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa aliran Maturidiah dan aliran
Asy‟ariah muncul dalam suasana yang sama, yakni dalam rangka membendung laju
berkembangnya aliran Mu‟tazilah. Oleh sebab itu untuk mengetahui ajaran-ajaran
aliran Maturidiah, tidak dapat begitu saja kita melupakan ajaran-ajaran Asy‟ariah dan

12
Muhammad Hasbi, ILMU KALAM , (Yogyakarta, Trustmedia Publishing, 2015), hlm 97
aliran Mu‟tazilah Meskipun aliran Maturidah dan Asy‟ariah timbul sebagai reaksi dari
aliran Mu‟tazilah, namun teologi yang ditimbulkan oleh AlMaturidi ada perbedaannya
dengan teologi Asy‟ariah. Berikut ini dikemukakan beberapa pemikiran atau ajaran
Maturidiah. Mengenai sifat-sifat Tuhan, terdapat persamaan antara ajaran Maturidiah
dan ajaran Asy‟ariah.
Bagi mereka, Tuhan memiliki sifat-sifat. Tuhan mengetahui bukan dengan zat,
melainkan dengan sifat-Nya (Pengetahuan-Nya), begitu juga Tuhan berkuasa bukan
dengan zat-Nya, melainkan dengan kekuasaan-Nya. Mengenai perbuatan Manusia,
aliran Maturidiah sependapat dengan aliran Mu‟tazilah. Mereka mengatakan bahwa
manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian,
maka paham Maturidiah dalam hal ini sejalan dengan paham Qadariah atau Mu‟tazilah
bukan paham Jabariah atau Kasb Asy‟ariah. Mengenai kedudukan Al-Qur‟an,
Maturidiah tidak sepaham dengan Mu‟tazilah.
Aliran Maturidiah sebagaimana aliran Asy‟ariah berpendapat bahwa Al-Qur‟an
(Kalamullah) itu diciptakan, tetapi bersifat qadim. Begitu pula mengenai kewajiban
Tuhan mewujudkan perbuatan yang baik dan yang terbaik sebagaimana pendapat
Mu‟tazilah, ditolak oleh AlMaturidi. Menurut Al-Maturidi, perbuatan Tuhan itu tidak
bisa dikatakan wajib, karena perbuatan wajib itu mengandung unsur paksaan,
sedangkan perbuatan Tuhan itu jika karena terpaksa bertentangan dengan sifat Iradah-
Nya. Namun demikian, AlMaturidi percaya bahwa Tuhan berbuat tidak sia-sia.
Perbuatan Tuhan itu ada tujuannya. Dalam soal dosa besar, Al Maturidi sepaham
dengan Asy‟ari, yaitu bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin.
Mengenai balasan tentang dosa besar itu akan ditentukan Tuhan di akhirat kelak.
Al-Maturidi juga menolak paham posisi di antara dua posisi seperti ajaran
Mu‟tazilah. Mengenai janji dan ancaman (al wa‟ad wal wa‟id), aliran ini sepaham
dengan aliran Mu‟tazilah. Janji dan ancaman Tuhan kelak akan terjadi. Demikian juga
dalam hal anthromorfisme (tajassum) Maturidiah sependapat dengan Mu‟tazilah.
Aliran Maturidiah tidak sependapat dengan Asy‟ariah yang mengatakan bahwa ayat-
ayat yang menggambarkan Tuhan yang mempunyai bentuk tidak dapat diberi
interpretasi atau ta‟wil. Menurut pendapat Al-Maturidi, tangan Tuhan, wajah Tuhan,
dan sebagainya mesti diberi arti majazi atau kiasan bukan dalam arti ta‟wil. Kebaikan
dan keburukan menurut akal bagi kaum Maturidiah ada tiga bagian.
Sebagian adalah suatu perbuatan yang kebaikannya dapat diketahui oleh akal.
Sebagian yaitu perbuatan yang keburukannya dapat diketahui oleh akal. Dan sebagian
lagi adalah perbuatan yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal. Kebaikan
dan keburukan terakhir ini hanya dapat diketahui melalui syara‟. Menurut aliran
Mu‟tazilah bahwa apa yang diketahui kebaikannya oleh akal, maka harus dikerjakan
menurut perintah akal. Begitu juga jika diketahui keburukannya oleh akal, maka harus
ditinggalkan menurut keharusan akal.
AlMaturidi tidak mengikuti aliran Mu‟tazilah, tetapi mengikuti pendapat Abu
Hanifah yang mengatakan, bahwa meskipun akal sanggup mengetahui, datangnya
perintah yang mewajibkan itu dari syara‟, karena akal tidak dapat bertindak sendiri
dalam kewajiban-kewajiban agama, dan yang mengeluarkan perintah agama hanyalah
Tuhan. Masih dalam kaitan soal kebaikan dan keburukan, Aliran Maturidiah tidak
sejalan dengan aliran Asy‟ariah yang mengatakan bahwa sesuatu tidak mempunyai
kebaikan atau keburukan. Kebaikan ada karena adanya perintah syara‟ dan keburukan
juga ada karena adanya larangan syara‟. Kebaikan dan keburukan itu tergantung pada
Tuhan. Jadi, paham Maturidiah dalam hal ini berada di tengah-tengah antara paham
Mu‟tazilah dan paham Asy‟ariah.13

D. Kondisi Sosio Kultur Masyarakat Pada Al-Maturidi


Pada abad ke-3 dan ke-4 (abad ke-9 dan ke-10), saat di mana al-Maturidi hidup,
kondisi politik dalam dunia Islam yang berpusat di Bagdad, tengah mengalami
disintegrasi, terutama sejak masa Kekhalifahan al-Ma‟mum (198-218 H/813-833 M).
Hal ini kemudian mengakibatkan lahirnya dinasti-dinasti kecil di wilayah kekuasaan
Abbasiyah. Daerah Asia Tengah juga tidak terlepas dari kondisi ini. Pada awal abad
ke-3/9 di Khurasan berdiri dinasti Tahiriyah (205-259 H/827-873 M). Setelah itu
digantikan oleh dinasti Samaniyah (261-389 H/874-999 M) yang berpusat di Bukhara,

13
Hasan Basri, ILMU KALAM ; SEJARAH DAN POKOK PIKIRAN ALIRAN-ALIRAN, (Bandung, Azkia Pustaka
Utama, 2016), hlm 64
kekuasaannya meliputi Khurasan dan Transoxiana. Di bawah pemerintahan dinasti
inilah al-Maturidi menghabiskan sebagian besar dari umurnya.14
Penduduk yang berdiam di Asia Tengah terdiri dari orang-orang Iran, Turki dan Arab.
Mayoritas muslim mengikuti mazhab Hanafi di samping juga ada beberapa pengikut
Syafi‟i. Di daerah Khurasan, terdapat aliran Khawarij di Sajistan dan Mu‟tazilah di
Naisabur. Aliran Syi‟ah Qaramithah juga terdapat di daerah ini.15 Abu Zahrah
menegaskan, Samarqand merupakan tempat diskusi para ulama fiqh, ushul fiqh dan
para muhadditsin dan mutakallimin dari berbagai aliran mazhab. Al-Maturidi hidup di
tengah-tengah perlombaan yang berlangsung ketat dalam rangka menghasilkan
penalaran dan pemikiran. 16

E. Sekte-Sekte aliran Al-Maturidiyah dan Para Tokohnya


a) Sekte Samarkand dan Tokohnya
Golongan ini dalah pengikut Al-Maturidi sendiri, golongan ini cenderung
ke arah paham Mu'tazilah. Aliran maturidiyah samarkand dalam pemikiran
teologinya sama dengan alAsy‟ari, yaitu kepada al-Qur‟an dan akal. Namun al-
Maturidyah memberikan porsi yang lebih besar kepada akal dibandingkan
dengan aliran asy‟ariyah. Dalam pandangannya tentang kekuasaan akal dan
fungsi wahyu, maturidiyah samarkand berpendapat bahwa mengetahui tuhan
dan kewajiban mengetahui tuhan dapat diketahui dengan akal. Hal ini
dikarenakan Allah sendiri yang memerintahkan manusia untuk menggunakan
akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan iman kepada Allah Swt.
melalui pengamatan dan pengetahuan yang mendalam tentang makhluk
yang diciptakanNya. Jika akal tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui
hal tersebut, maka Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk
melakukannya. Hal ini menunjukan bahwa jika manusia tidak menggunakan
akalnya untuk mengetahui Allah dan beriman kepadaNya, maka manusia
14
Hasan Ibrahim, Tarikh al-Islam, (Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Mishriyyah, 1965), Juz 3, Cet. 7, hlm. 82
15
Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), hlm. 24-25
16
Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Pent: Abdul Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta:
Logos Publishing House, 1996), Cet. 1, hlm. 207.
tersebut telah lalai dengan apa yang telah diperintah olehNya. Akan tetapi, akal
tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya melainkan dengan
bimbingan wahyu. Begitu pula mengenai baik dan buruk, akal pun dapat
mengetahui sifat baik yang terdapat di dalamnya, dan sifat buruk yang terdapat
dalam yang buruk.
Dengan demikian, akal juga dapat mengetahui bahwa yang buruk adalah
buruk dan berbuat baik adalah baik. Akal selanjutnya akan membawa kepada
kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang
membawa kepada kerendahan. Perintah dan larangan dengan demikian menjadi
wajib dengan kemestian akal. Namun, yang diketahui akal hanyalah sebab
wajibnya perintah dan larangan itu. Adapun mengenai kewajiban berbuat baik
dan menjauhi yang buruk, akal tidak berdaya untuk mewajibkannya.
Karena kewajiban tersebut hanya dapat diketahui oleh wahyu. Dari uraian
tersebut di atas, dapat dipahami bahwa aliran maturidiyah samarkand
berpendapat, bahwa akal dapat mengetahui tiga dari empat persoalan pokok
tersebut, yakni: mengetahui tuhan; kewajiban mengetahui tuhan (berterima
kasih kepada tuhan); serta mengetahui baik dan buruk. Sedangkan yang
terakhir, kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat
adalah wewenang wahyu atau tuhan.
Tokoh al-Maturidiyah Samarkhan
Nama aslinya Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Abu Mansur
al-Maturidi. Asalnya dari Maturidi yaitu sesuatu daerah di Samarkhan.
Sehingga terkadang namanya disandarkan pada Samarkhan dan biasa di
panggil Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi as-
Samarkhani.8 Beliau dilahirkan tepatnya di Maturid, Uzbekistan para paruh
kedua abad ke 9 M.9 Sebenarnya tahun kelahirannya tidak diketahui secara
pasti, namun Muhammad Abu Zahrah menuliskan, diperkirakan pada
pertengahan abad ke 3 H. karena beliau mereguk ilmu fikih mazhab Hanafi dan
ilmu kalam dari Nasr Ibn Yahya al-Balkhi yang wafat pada tahun 268 H.
Abu Mansur al-Maturidi merupakan seorang teologian (mutakallimin)
pembentuk ilmu kalam dari Nasr Ibn Yahya al-Balkhi yang wafat pada tahun
268 H. Pandangan lain mengatakan bahwa Abu Mansur al-Maturidi merupakan
seorang teologian (mutakillimin) pembentuk ilmu kalam (teologi Islam) yang
wafat pada tahun 333 H./944 M. Beliau hidup pada sekitar abad ketiga dan
keempat Hijriyah atau pada pertengahan abad kesembilan sampai dengan
pertengahan abad kesepuluh Masehi Semasa hidupnya al-Maturidi menerima
ilmu dari banyak guru, di antaranya dari Abu Nashr Ahmad ibn al-Abbas al-
Bayadi, Ahmad ibn Ishak al-Jurjani dan Nashr ibn Yahya al-Balkhi yang
merupakan ulama terkemuka dalam mazhab Hanafiah.
Al-Maturidi dalam bidang yang dikajinya menyusun sejumlah kitab yang
cukup banyak. Di antaranya adalah : “Kitab Ta„wil al-Qur‟an, Kitab al-
Ma„khuz al-Syara„i, Kitab al-Jadal, Kitab al-Usul fi Usul al-Din, Kitab
alMaqalat fi al-Kalam, Kitab Radd Tahdzib al-Jadal li al-Ka‟bi, Kitab Radd al-
Usul al-khamsah li Abi Muhammad al-Babili, Radd Kitab al-Imamah li Ba‟dhi
al-Rawafid dan al-Radd „ala al-Qaramitah” Al-Maturidi merupakan pengikut
setia dari Abu Hanifah yang terkenal ketat dengan keabsahan pendapat akal.
Sehingga al-Maturidi banyak memakai komparasi akal dalam
penyelesaikan problem keagamaan (teologi). Pengikut dari al-Maturidi, salah
satunya adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek al-
Bazdawi merupakan murid dari al-Maturidi, dan ajaran al-Maturidi dari orang
tuanya. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan al-Maturidi. Perbedaan
pendapat di antara mereka menyebabkan aliran al-Maturidi terbagi menjadi dua
golongan, golongan Samarkhan dan golongan Bukhara.
b) Sekte Bukhara
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu al-Yusr Muhammad al-
Bazdawi. Dia merupakan pengikut al-Maturidi yang penting dan penerus yang
baik dalam pemikirannya. Sekte Bukhara adalah pengikut-pengikut al-Bazdawi
di dalam aliran al-Maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada
pendapat pendapat al-Asy‟ary. Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (w. 493
H) adalah seorang ulama terkemuka ahli fikih mazhab hanafiyah dan ahli
teologi Islam. Dalam bidang teologi, al-Bazdawi tidak belajar langsung dari al-
Maturidi, ataupun dari al-Asy‟ari.
Al-Bazdawi lebih banyak belajar dari ayahnya yang juga belajar dari
kakeknya Abdul Karim. Dalam bidang teologi, al-Bazdawi tidak sepenuhnya
sepaham dengan al-Maturidi pendahulunya. Al-Bazdawi mengatakan bahwa
akal tidak dapat mengetahui kewajiban mengetahui tuhan dan kewajiban
mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat
mengetahui tuhan, dan mengetahui baik dan buruk saja. Akal hanya mampu
mengetahui tuhan, tetapi ia tidak dapat mengetahui dan menentukan kewajiban
mengetahui tuhan.
Dalam hal ini, yang mengetahui dan menentukannya adalah wahyu.
Demikian halnya dengan menentukan kewajiban mengenai yang baik dan
buruk itu adalah perintah tuhan melalui wahyu. Dari uraian di atas dapat
diketahui bahwa, akal menurut paham aliran maturidiyah bukhara, tidak dapat
mengetahui kewajiban-kewajiban, melainkan hanya dapat mengetahui sebab-
sebab dari proses kewajiban itu menjadi wajib.
Oleh karenanya, mengetahui tuhan dalam arti berterima kasih kepada
tuhan, sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia. Bahkan mereka
(para alim ulama Bukhara) berpendapat bahwa sebelum datangnya rasul,
percaya kepada tuhan tidaklah wajib dan tidak percaya kepada tuhan bukanlah
suatu dosa. Dengan demikian dapat diketahui bahwa al-Bazdawi tidak
sepenuhnya sepaham dengan al-Maturidi dan al-Asy‟ari dalam hal otoritas akal
dan wahyu dalam keempat persoalan tersebut.
Al-Bazdawi lahir di Hudud sebuah negeri di Bazdah akhir 400 H/1010 M.
Nama lengkapnya Ali ibn Abi Muhammad ibn al-Husaein ibn Abd alKarim ibn
Musa ibn Isa ibn Mujahis al-Bazdawi. Al-Bazdawi adalah seorang tokoh besar
yang berpengaruh pada zaman itu. Hal ini terlihat dengan keberhasilannya
menjadi sub aliran Maturidiyah yang kemudian di kenal dengan nama
Maturidiyah Bukhara. Di samping itu, al-Bazdawi memiliki beberapa gelar
yaitu al-Mujtahid fi al-Masail (mujtahid yang tidak berjtihad sepanjang masih
ada pendapat imamnya, tetapi apabila ada masalah hukum yang belum dibahas
oleh imamnya, maka mereka berjitihad untuk memecahkannya), huffadz al-
mazhab al-Hanafi (pelestari mazhab Hanafi), kebanggan Islam, dan Abu al-
Usr‟ (bapak kesulitan).
Keberhasilan-keberhasilan itu dicapainya dengan menorehkan beberapa
hasil pemikirannya sesuai dengan bidang ilmu yang diketahuinya, di antaranya
sebagai berikut:
a. Menurutnya ilmu terbagi atas 2 yakni pertama, ilmu tauhid dan sifat,
ilmu ini pada prinsipnya berpegang teguh pada al-Qur‟an dan hadis serta
menghindari dari hawa nafsu dan bid‟ah. Umat Islam harus mengikuti
terikat (cara-cara yang ditempuh) sunnah atau jamaah yang ditempuh oleh
sahabat, tabi‟in dan orang-orang saleh, sebagaimana diajarkan oleh ulama
sebelumnya. Kedua, ilmu syariat dan hukum.
b. Bidang usul fikih, al-Bazdawi mengajukan pemikiran di sekitar ijma‟.
Baginya ada beberapa tingkatan ijma‟, yakni
1). Ijma‟ sahabat, kedudukannya sama dengan ayat dan khabar
mutawatir
2). Ijma‟ orang-orang sesudah sahabat, kedudukannya sama
dengan hadis masyhur, dan
3). Ijma‟ mujtahid, yakni pada masa salaf, kedudukannya sama
dengan hadis ahad. Menurutnya ijmak dapat dinasakh oleh ijma‟
yang setaraf. Inilah yang membuat perbedaan dengan ulama-ulama
usul fikih lainnya yang menyatakan bahwa ijma‟ tidak dapat
dibatalkan dengan ijma‟.
c. Dalam bidang fikih, bahwa fikih dari tiga sumber yaitu kitab, sunnah
dan ijma‟, sedangkan qiyas di istinbat-kan dari asal yang tiga tersebut.
Hukum-hukum syara‟ hanya diketahui dengan mengetahui peraturan dan
pengertian (nazham wa al-ma‟na) yang terdiri dari empat bagian. Pertama,
dalam bentuk peraturan adalah sighat dan bahasa. Kedua, penjelasan
peraturan, ketiga mempergunakan peraturan dalam bab bayan (penjelasan),
dan keempat, mengetahui batas maksud dan makna karena keluasannya
dan banyak kemungkinannya.
Dalam bidang ilmu fikih, al-Bazdawi termasuk pengikut mazhab Hanafi
yang ditempatkan pada posisi paling tinggi. Karena Imam Hanafi
menurutnya berani menasakh al-Qur‟an dengan hadis dan mengamalkan
hadis mursal dan beranggapan beramal dengan hadis mursal lebih baik dari
pada beramal dengan ra‟yi (pemikiran hasil ijtihad).
d. Pemikirannya yang sulit dipahami oleh Abdul Azis Bukhari ketika
menulis Kasyf al-Asrar adalah ungkapan wa lamma haza al-kitab kasyifan
„an sammaituhu ghawamid muhtajibah „an alabsar, nasib „an sammaituhu
kasyif al-asrar. (berhubung karena kitab ini berfungsi sebagai usaha untuk
menyikap masalah yang tidak terjangkau oleh pengertian [sulit sekali],
maka tepatlah apabila aku memberinya judul Menyingkap Rahasia.
Selain dari itu, al-Bazdawi semasa hidupnya memiliki karya-karya
yang terbilang tidak sedikit jumlahnya antara lain :
1). Al-Mabsut (yang terbentang),
2). Syar Jami‟ al-Kabir (komentar terhadap al-Jami‟ al-Kabir karangan al-
Syaibani),
3). Syarh al-Jami‟ al-Sagir (komentar terhadap al-Jami‟ al-Sagir karangan
al-Syaibani).
4). Syarh al-Ziyadah al-Ziyadat (komentar terhadap buku Ziyadah al-
Ziyadat karangan al-Syaibani,
5). Usul al-Bazdawi (pokok-pokok pikiran al-Bazdawi).
6). Usul al-Din (pokokpokok agama),
7). Kasyf al-Asrar fi Tafsir al-Qur‟an (menyikap tabir dalam tafsir al-
Qur‟an),
8). Amali Tafsir al-Qur‟an (beberapa ide tentang tafsir al-Qur‟an),
9). Sirah al-Mazhab fi Sifah al-Adab, (tentang sejarah, tokoh, dan aliran
sastra),
10). Syarh Taqwim al-Adillah (komentar terhadap buku Taqwim al-
Adillah),
11). Syarh al-Jami‟ al-Sahih li al-Fuqaha (senandung ahli fikih) dan
12). Al-Waqiat (buku yang berisi mengenai keputusan pengadilan).
Al-Bazdawi semasa hidupnya pernah menjabat sebagai hakim dan
mengajarkan ilmunya kepada para murid-muridnya, salah satu muridnya
ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-573 H.) serta mengajarkan
ajarannya terutama mengenai teologi Maturidiyah Bukhara sampai
menjelang tutup usia pada tahun 493 H.17

F. Doktrin Teologi Al-Maturidiyah


a. Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur‟an
dan akal. Dalam hal ini, ia sama denggan Al-Asy‟ari. Akan tetapi, porsi yang
diberikan pada akal lebih besar daripada yang diberikan oleh Al-Asy‟ari. Menurut
Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui
dengan akal. Kemampuan akal mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-
ayat Al-Qur‟an yang mengandung perintah agar manusia menggunakan akal
dalam usaha memperoleh pengetahuan dan iman terhadap Allah melalui
pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya.
Apabila akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut,
Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Orang yang tidak
mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai
Allah berarrti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut.
Menurut Al-Maturidi, akal tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban
lainnya, kecuali dengan bimbingan dari wahyu. Al-Maturidi membagi sesuatu
yang berkitan dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1) Akal hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
2) Akal hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;
3) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburuksn sesuatu, kecuali dengan
petunjuk ajaran wahyu.
Mengetahu kebaikan atau keburukan sesuatu dengan akal, Al-Maturidi
sependapat dengan Mu‟Tazilah. Perbedaannya, Mu‟tazilah mengatakan bahwa

17
Muhammad Hasbi, ILMU KALAM , (Yogyakarta, Trustmedia Publishing, 2015), hlm 88
perintah kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk
didasarkan pada pengetahuan akal. Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban
tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu. Dalam persoalan ini, Al-
Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy‟ari. Menurut Al-Asy‟ari, baik atau
buruk tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang baik atau
buruk karena perintah syara‟ dan dipandang buruk karena larangan syara‟. Jadi,
yang baik itu baik karena perintah Allah dan yang buruk karena larangan Allah.
Pada konteks ini, ternyata Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari
Mu‟tazilah dan AlAsy‟ari.
b. Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena
segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan
manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia
memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepadanya dappat dilaksanakan. Dalam hal ini, Al-Maturidi
mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dengan qudrat Tuhan
sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri
manusia dan manusia bebas menggunakannya. Daya-daya tersebut diciptakan
dengan perbuatan manusia.
Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang
menciptakan perbuatan manusia dengan ikhtiar yang ada pada manusia.
Kemudian, karena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang
dilakukan adalah perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya sehingga daya itu
daya manusia.iBerbeda dengan Al-Maturidi, Al-Asy‟ari mengatakan bahwa daya
tersebut adalah daya Tuhan karena ia memandang perbuatan manuisa adalah
perbuatan Tuhan.
Berbeda pula dengan Mu‟tazilah yang memandang daya sebagai daya
manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri. Dalam hal pemakain daya,
Al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah, yaitu adnya masyi‟ah (kehendak) dan
rida (kerelaan), kebebasab manusia dalam melakukan baik atau buruk tetap dalam
kehendak Tuhan. Tetapi memilih yang diridai-Nya atau yang tidak diridai-Nya.
Manuisa berbuat baik atas kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak
Tuhan, tetapi tidak ada kerelaan-Nya. Dengan demikian, manusia dalam paham
Al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam pahara Mu‟tazilah.
c. Kekuasaan dan Kehendak mutlak Tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu
dalam wujud ini, yang baik atau buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi,
pernyataan ini menurut AlMaturidi bukan berate Tuhan berkehendak dan berbuat
dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya, karena qudrat Tuhan tidak
sewenang-wenang (absolut),tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung
sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
d. Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan antara
pemikiran Al-Maturidi dengan Al-Asy‟ari. Seperti halnya Al-Asy‟ari, ia
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama‟bashar, dan
sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda
dengan Al-Asy‟ari. AlAsy‟ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang
bukan dzat. Menurut Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya. Sifat-
sifat Tuhan Tuhan itu mulazamah (ad bersama, baca inherent) dzat tanpa terpisah
(innaha lam takun „ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah
tidak harus membawa pada pengertian antropomorfisme karena sifat tidak
berwujud yang terdiri dari dzat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa
pada berbilangnya yang qadim(taaddud al-qudama).
Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung
mendekati paham Mu‟tazilah. Perbedan keduanya terletak pada pengakuan Al-
Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu‟tazilah menolak adanya
sifat-sifat Tuhan.
e. Tuhan
Melihat Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan.
Tentang melihat Tuhan ini dibeeritakan oleh Al-Qur‟an, diantara lain firman Allah
dalam surat AlQiyamah ayat 22 dan 23. Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan
bajwa Tuhan kelak di akhirat dapat ditangkap dengan penglihatan karena Tuhan
mempunyai wujud, walaupun ia immaterial. Melihat Tuhan kelak di akhirat tidak
meperkenalkan bentuknya (bila kaifa) karena keadaan diakhirat tidak sama
dengan keadaan di dunia.
f. Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan
bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam
nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan
suara adalah baharu(hadis). Al-Qur‟an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf
dan kata-kata adalah baharu (hadis). Kalam nafsi dan manusia tidak dapat
mendengar atau membacanya, kecuali dengan perantara.i Menurut Al-Maturidi,
Mu‟tazilah memandang Al-Quran sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan
kata-kata, sedangkan Al-Asy‟ari memandang nya dari segi makna abstrak.
Berdasarkan setiap pandangan tersebut, kalam Allah menurut Mu‟tazilah bukan
sifat-Nya dan bukan pula lain dari dzat-Nya.
Al-Qur‟an sebagai sabda Tuhan bukan sifat, melainkan perbuatan yang
diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat Mu‟tazilah ini diterima Al-
Maturidi, tetapi AlMaturidi lebih suka menggunakan istilah hadis sebagai ganti
Makhluk untuk sebutan Al-Quran. Dalam konteks ini, pendapat Al-Asy‟ari juga
ada kesamaan dengan pendapat Al-Maturidi karena yang dimaksud Al-Asy‟ari
dengan sabda adalah makna abstrak, tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-
Maturidi dan itu sifat kekal Tuhan.
g. Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini,
kecuali semua adalah dalam kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan tidak ada yang
memaksa atau membatasinya, kecuali ada hikmah dan keadiln yang ditentukan
oleh kehendak-Nya. Oleh karena itu, Tuhan idak wajib bagi-Nya berbuat ash-
ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia). Setiap perbuatan Tuhan yang
bersifat mencipta atau kewajibankewajiban yang dibebankan kepada manusia
tidak terlepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendakinya. Kewajiban-
kewajiban tersebut antara lain.
(1) Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia
diluar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan,
dan manusia juga diberi Tuhan kemerdekaan dalam kemampuan dan
perbuatannya.
(2) Hukuman atau ancaman dan janji pasti terjadi karena yang demikian
merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
h. Pengutusan Rasul
Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui hal baik dan buruk
serta kewajiban lainnya dari syariat yang dibebankan kepada manusia. Al-
Maturidi berpendapat bahwa akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk
dapat mengetahui kewajibankewajiban tersebut. Jadi, pengutusan Rasul adalah hal
niscaya yang berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu
yang disampaikan Rasul, berarti manusia membebankan akalnya pada sesuatu
yang berada diluar kemampuannya. Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda
dengan pandangan Mu‟tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke
tengah-tengah umatnya adalah Kewajiban Tuhan, agar manuisa dapat berbuat baik
dan terbaik dalam kehidupannya dengan ajaran para Rasul.
i. Pelaku dosa besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa tidak kafir dan tidak
kekal didalama neraka, walaupun ia meninggal sebelum bertobat. Hal ini karena
Tuhan telah menjanjikan akan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat
dosa syirik. Berbuat dosa besar selain syirik tidak akan kekal di dalam neraka.
Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidak menjadikan seseorang
kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar.
Adapun amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan
menambah atau mengurangi esesnsi iman, kecuali menambah atau mengurangi
pada sifatnya.18

18
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran
G. Perbedaan atau Perbandingan Asy'ari dan Maturidiyah
Merujuk pada uraian keempat aliran teologi Islam tersebut di atas, maka dapat
dinyatakan bahwa pandangan masing-masing aliran tidaklah sama antara satu dengan
yang lainnya. Masing-masing aliran memberikan porsi tersendiri dalam menempatkan
peranan akal dan wahyu. Mu‟tazilah misalnya, memberikan porsi paling besar kepada
akal, dibanding dengan ketiga aliran lainnya. Bagi mu‟tazilah, keempat masalah yang
diperbincangkan itu, semuanya dapat diperoleh melalui akal. Hal ini berarti, bahwa porsi
kekuatan wahyu bagi mu‟tazilah lebih kecil dibanding dengan akal. Berbeda dengan
mu‟tazilah, aliran asy‟ariyah justru memberikan porsi yang besar kepada wahyu jika
dibanding dengan ketiga aliran lainnya.
Menurut kaum asy‟ariyah, hanya satu di antara keempat pengetahuan itu yang
dapat diketahui oleh akal. Sedangkan tiga yang lainnya, hanya bisa dicapai dengan
wahyu. Hal ini berarti, bahwa aliran asy‟ariyah memberikan porsi paling besar kepada
wahyu dan paling kecil kepada akal. Sedangkan aliran maturidiyah yang terdiri dari dua
cabang itu, menempati posisi tengah antara mu‟tazilah dan asy‟ariyah. Meski demikian,
kedua cabang maturidiyah tersebut sedikit mempunyai perbedaan. Maturidiyah
samarkand lebih dekat kepada mu‟tazilah, karena aliran ini berpendapat bahwa dari
keempat pokok masalah tersebut, tiga diantaranya dapat diketahui oleh akal, sedangkan
yang satunya hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Adapun maturidiyah bukhara, dalam pandangannya terhadap akal dan wahyu,
lebih mendekati pemikiran asy‟ariyah. Meskipun pada kenyataannya memberikan porsi
yang sama antara akal dan wahyu. Dalam hal ini, dari empat masalah pokok tersebut, dua
di antaranya dapat diketahui oleh akal, sedangkan dua yang lainnya lagi hanya dapat
diketahui melalui wahyu.
Maturidiyah
Asy’ariyah
Samarkhand Bukhara

akal wahyu akal wahyu akal


wahyu

Mengetah   
ui Tuhan

Kewajiban   
mengetahu
i tuhan

Mengetah   
ui baik
dan buruk

Kewajiban   
melaksana
kan yang
baik dan
menjauhi
yang buuk
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Maturidiyah adalah aliran tengah atau penengah yang berlatar belakang ahlu
sunnah wal jama'ah yang dimana banyak persamaan dengan aliran asy'ariyah namun tetap
terlihat perbedaan di antara keduanya. Para ulama menggunakan aliran ini baik Nadhlatul
ulama dan Muhammadiyah sebagai akidah mereka dan fiqih nya fikih imam syafi'i. dan Dari
uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni sebagai berikut.
1) Nama Al-Maturidiyah diambil dari Nama pendirinya, Al-Maturidi yakni, Abu Mansur
Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Hanafi al-Maturidi al-Samarkandi. Beliau
dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Transoxiana di
Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan.
2) Munculnya Aliran Al-Maturidiyah disebabkan yaitu: (1) Ketidakpuasan terhadap konsep
teologi Mu‟tazilah yang terlalu berlebihan dalam memberikan otoritas pada akal; dan (2)
Kekhawatiran atas meluasnya ajaran Syi‟ah terutama aliran Qaramithah yang dengan
keras menentang ulama-ulama salaf. Khusus di wilayah Asia Tengah aliran ini banyak
dipengaruhi oleh paham Mazdakisme.
3) Ajaran-ajaran Al-Maturidiyah (Samarkand) yakni sebagai berikut
a. Akal sanggup mengetahui perbuatan baik dan buruk, namun tuntutan kewajiban
untuk melakukan ataupun meninggalkan suatu perbuatan datangnya dari Tuhan,
bukan dari akal itu sendiri.
b. Manusia mewujudkan perbuatannya sendiri.
c. Tuhan mempunyai sifat.
d. Tuhan akan dapat dilihat dengan mata, kepala di akhirat nanti. Ini karena tuhan
memiliki sifat-sifat antropomorphis (tajassum) walaupun sifat tersebut tidak sama
dengan sifat jasmaniah manusia yang ada dalam alam materi ini.
e. Al-Qur‟an (Kalamullah) bersifat Qadim.
f. Orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia
mati sebelum bertobat.
g. Pengutusan rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan.
h.

B. SARAN
Dengan adanya materi ini, diharapkan pembaca dapat mengerti dan memahami secara
baik. Penyusun juga berharap adanya pengembangan materi yang terus berlanjut untuk
mengembangkan materi pembahasan tentang aliran Syi‟ah ini agar menjadi lebih efisien dan
fleksibel.
Dan di sini kami sangat menyadari bahwasanya masih banyak kekurangan dalam
menyusun makalah ini. Tentunya, kami sebagai seorang penyusun akan terus memperbaiki
makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan nantinya. Oleh
karena itu, kami sebagai seorang penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun tentang makalah ini. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Hasbi, Muhammad. ILMU KALAM, Yogyakarta : Trustmedia Publishing, 2015


Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung : CV Pustaka Setia
Irham, Masturi. Ensiklopedi Aliran dan Mazhab di Dunia Islam, : Pustaka Al-Kautsar
Ulum, Bahrul. Dinamika Ilmu Kalam Sunni, Surabaya : STAI YPBWI
Eri, Susanti. Aliran-Aliran Dalam Pemikiran Kalam, Pontianak : IAIN Pontianak
Basri, Hasan. ILMU KALAM; Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran, Bandung :
Azkia Pustaka Utama, 2006
Hudallah, ILMU KALAM, Jakarta : Direktorat Pendidikan Madrasah, 2016
Yazid, Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi'I,
2006
Ma'ruf, Amari. ILMU KALAM, Jakarta : Direktorat Pendidikan Madrasah, 2013
Hadi, Nur. ILMU KALAM, Bandung : 2013
Hasbi, Muhammad. Ilmu Kalam Memotret Berbagai Aliran Teologi Dalam
Islam. Watampone: Trustmedia Publishing, 2015.
Ibrahim Hasan, Tarikh Al Islam (Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Mishriyyah, 1965)
Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah, (Yogyakarta: PLP2M, 1985)
Zahrah Abu, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos Publishing House,
1996)

Anda mungkin juga menyukai