Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

TANGGUNGAN ATAU JAMINAN DALAM KITAB BIDAYATUL


MUJTAHID KARYA IBNU RUSYD
Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Bahtsul Kutub Fil Muamalah

Dosen Pengampu : Mushofihin, S.H.I., M.S.I.

Disusun Oleh :
Hilda Fairuz Zain 2102036060
Yuyum Khoyummiyah 2102036069
Ahmad Habib Alfan Syihab 2102036075

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini yang berjudul " Tanggungan Atau
Jaminan Dalam Kitab Bidayataul Mujtahid Karya Ibnu Rusyd". Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Bahtsul Kutub Fil Muamalah yang diberikan oleh bapak Mushofihin,
S.H.I., M.S.I.

Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai pihak
sehingga bisa memperlancar pembuatan tugas penulisan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini. Terlepas dari segala hal tersebut, kami menyadari bahwa banyak kekurangan dan
kelemahan pada penyusunan dan penulisan. Demi kesempurnaan makalah ini, kami sangat
berharap adanya perbaikan, kritik, dan saran dari pembaca. Kami harap makalah ini dapat
menambah wawasan serta memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.

Semarang, 04 November 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................................... 3


BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 6
A. Biografi Ibnu Rusyd ............................................................................................................. 6
B. Pengertian dan Macam-Macam Jaminan atau Tanggungan ................................................. 8
C. Konsep Jaminan menurut Ibnu Rusyd dalam Kitab Hidayatul Mujtahid .......................... 13
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 19
A. Simpulan ............................................................................................................................ 19
B. Saran .................................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 20

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jaminan atau tanggungan sering ditemui pada kegiatan berhutang atau gadai. Agar
orang yang memberi hutang merasa aman dan tidak dirugikan oleh yang berhutang maka
yang berhutang dimintai jaminan suatu barang berharga yang dimiliki. Ada yang
membolehkan adanya jaminan dan ada yang tidak, dengan alasan bahwa hutang adalah
kegiatan tolong menolong jadi tidak boleh menyusahkan satu pihak. Tetapi, disisi lain
pihak yang memberi hutang akan merasa aman jika ada jaminan yang diserahkan karna
untuk menjaga kepercayaan antar pihak juga. Dalam kgiatan perekonomian tentunya
membutuhkan modal atau uang. Untuk dapat melanjutkan kegiatan ekonomi yang
dampaknyabermafaat untuk para pelaku bahkan orang-orang disekitar, terkadang pelaku
usaha mencarti modal dengan berhutang ke orang terdekat atau lembaga keuangan. Orang
yang berhutang di lembaga keuangan atau ke orang lain, biasanya dimitai suatu barang
jaminan untuk menjaga kepercayan dari yang menhutangi.

Jaminan ini kadang diterapkan kadang juga tidak, jika orang berpikir utang itu suatu
tindakan tolong menolong ia tidak akan tega memberi jaminan kepada yang berhutang.
Tetspi, alasan diadakannya jaminan juga memberi rasa aman kepada pemberi hutang jika
suatu saat terjadi ketidak dapatan pengutang membeayar hutangnya. Di masayarakat masih
menerapkan adanya jaminan ini, misalnya saja dalam suatu gadai sawah seseorang
menyerahkan sawahnya untuk jaminan dan ia akan memperoleh hutangan uang yang suatu
saat harus dikembalikan.

Dari berbagai sudut pandang mengenai baik atau tidaknya pemberian jaminan,
masih belum memahaminya. Untuk itu, pemaalah akan menyampakaian terkait jaminan
menurut konsep dari Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Biografi Ibnu Rusyd?


2. Bagaimana Pengertian dan Macam-Macam Jaminan atau Tanggungan?
3. Bagaimana Konsep Jaminan menurut Ibnu Rusyd dalam Kitab Hidayatul Mujtahid?

4
C. Tujuan Penelitian

1. Memahami Biografi Ibnu Rusyd


2. Memahami Pengertian dan Macam-Macam Jaminan atau Tanggungan
3. Memahami Konsep Jaminan menurut Ibnu Rusyd dalam Kitab Hidayatul Mujtahid

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd ialah pemikir Muslim dikenal dengan nama Averoes yang berkemajuan
dalam pemikiran dan mencerahkan dalam berislam. Ia filosof yang berhasil memasukkan
pikiran filsafat dalam diskursus syariat. Ia menjembatani perdebatan tentang ijma’ dengan
argumentasi filsafati yang memberikan kemudahan dalam istinbath hukum Islam. Ibnu
Rusyd lahir di Cordoba, Spanyol, pada 520 H (1126 M) dengan nama lengkap Abu al Walid
Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd. Saat itu, Cordoba
merupakan kota paling menonjol dan terkenal keilmuannya di Andalusia (Spanyol). Ia
paling otoritatif mengomentari karya Aristoteles. Ia seorang dokter, ahli hukum, dan filosof
terpopuler pada periode 700-1200 perkembangan Filsafat Islam.

Ibnu Rusyd berada di tengah keluarga terhormat dan memiliki tradisi keilmuan
yang kuat. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Ia sendiri
pernah menduduki beberapa jabatan: antara lain sebagai qadli (hakim) di Sivilla dan
sebagai qadli al-qudlat (hakim agung) di Cordoba. Sejak kecil, ia mempelajari Alquran,
tafsir, hadits, fikih, dan sastra Arab. Setelah dewasa orientasinya tertuju pada ilmu. Ia
mendalami matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu kedokteran. Ia dikenal
sebagai ahli dalam berbagai cabang ilmu. Popularitas Ibnu Rusyd memuncak pada masa
Khalifah Abu Ya’qub Yusuf bin Abdul Mu’min. Ia dihukum buang karena ada banyaknya
fitnah mengenai ia dan akidahnya. Ia dipenjara di koata Lucana, Spanyol yaitu tempat
orang-orang yang yang dibuang karena pemikiran akidahnya mengganggu ketentraman
negara. Keudian ia diasingkan ke Maraquesh hingga meninggal. Setela ia meninggal tidak
ada lagi filosof muslim di dunia sunni khususnya di Andalusia.1 Ia wafat pada 9 Safar 595
H atau 10 Desember 1198 M di Maroko (Maraquesh).

1
Biografi Ibnu Rusyd, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Diakses Pada 04 November 2023
https://ft.umj.ac.id/ftumj/Detail-Berita-Fakultas/252/biografi-ibnu-rusyd.html

6
Kebesaran dan kejeniusannya tampak pada karya-karyanya. Dalam berbagai
karyanya, ia selalu membagi pembahasannya dalam tiga bentuk, yaitu komentar, kritik,
dan pendapat. Ia adalah seorang komentator sekaligus kritikus ulung. Ulasannya yang
terkenal adalah terhadap karya-karya Aristoteles. Ia tidak semata-mata memberi komentar,
tetapi juga menambahkan pandangannya sendiri, suatu hal yang belum pernah dilakukan
filosof lain sebelumnya. Diantaranya karya-karyanya yang masih ada yaitu:2

Filsafat dan Hikmah :

• Tahafut At Tahafut (kerancuan dalam Kerancuan) adalah tanggapan atas buku Al


Ghazali Tahafut Al Falasifah (Kerancuan Para Filosof)
• Jauhar Al Ajram As Samawiyah (Struktur Benda-benda Langit)
• Ittishal Al 'Aql Al Mufarriq bi Al Insan (Komunikasi Akal yang Membedakan dengan
Manusia)
• Masa'il fi Mukhtalif Aqsam Al Manthiq (Beberapa Masalah tentang Aneka Bagian
Logika)
• Syuruh Katsirah 'ala Al Farabi fi Masa'il Al Manthiqi Aristha (Beberapa Komentar
terhadap Pemikiran Aristoteles)
• Maqalah fi Ar Radd 'ala Abi Ali bin Sina (Makalah Jawaban untuk Ibnu Sina), dan
lainnya banyak sekali.
Ilmu Kalam :

• Fashl Al Maqal fima Baina Al Hikmah wa Asy Syari'ah min Al Ittishal (Uraian
tentang Kitan filsafat dan Syari'ah)
• I'tiqad Masyasyin wa Al Mutakallimin (Keyakinan kaum Liberalis dan Pakar Ilmu
Kalam)
• Manahij Al Adillah fi 'Aqaid Al Millah (Beberapa Metode Argumentatif dalam
Akidah Agama), dan lain-lain.
Fikih dan Ushul Fikih :

2
Sejarah Ibnu Rusyd, STIT IBNU RUSYD.Diakses pada 04 November 2023 https://stitibnurusyd-
tgt.ac.id/halaman/30/sejarah-ibnu-rusyd.html

7
• Bidayah Al Muqtashid wa An Nihayah Al Muqtashid (Dasar Mujtahid dan Tujuan
Orang yang Sederhana). Kitab ini diakui oleh Ibnu Jafar Zahabi sebagai buku terbaik
di sekolah ilmu fikih Maliki, dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan
sangat terkenal.
• Ad Dar Al Kamil fi Al Fiqh (Studi Fikih yang Sempurna)
• Risalah Adh Dhahaya (Risalah tentang Kurban), dan lain-lain.
Kedokteran :
• Al Kulliyat fi Ath Thibb (Studi Lengkap tentang Kedokteran). Sebanyak 7 jilid, dan
menjadi rujukan dan buku wajib di berbagai universitas di Eropa. Diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin, Inggris, dan Ibrani.
• Syarh Arjuwizah Ibn Sina fi Ath Thibb. Secara kauntitas kitab ini paling banyak
beredar. Menjadi bahan kajian ilmu kedokteran di Oxford University Leiden dan
Universitas Sourborn Paris.
• Maqalah fi At Tiryaq (Makalah tentang Obat Penolak Racun), yang telah
diterjemahkan ke bahasa Latin, Inggris, dan Ibrani.
• Nasha'ih fi Amr Al Ishal (Nasihat tentang Penyakit Perut dan Mencret), yang telah
diterjemahkan ke bahasa Latin dan Ibrani.
• Mas'alah fi Nawaib Al Humma (Masalah tentang Penyakit Demam)
Ilmu astronomi :
• Maqalah fi Harkah Al Jirm As Samawi (Makalah tentang Gerakan Meteor)
• Kalam 'ala Ru'yah Jirm Ats Tsabitah (Pendapat tentang Melihat Meteor yang Tetap
Tak Bergerak)
Ilmu Nahwu :
• Kitab Adh Dharuri fi An Nahw (Yang Penting dalam Ilmu Nahwu)
• Kalam 'ala Al Kalimah wa Al Ism Al Musytaq (Pendapat tentang Kata dan Isim
Musytaq).

B. Pengertian dan Macam-Macam Jaminan atau Tanggungan

1. Pengertian Jaminan atau Tanggungan

8
Jaminan atau agunan adalah properti yang dimiliki oleh peminjam atau pihak
lain yang dijadikan sebagai jaminan pembayaran jika peminjam gagal memenuhi
kewajibannya kepada pihak ketiga. Konsep jaminan ini tidak hanya terbatas pada aset
yang dijamin, tetapi juga mencakup faktor-faktor lain seperti potensi bisnis yang
dikelola oleh peminjam. Dalam konteks jaminan ini, petugas pembiayaan perlu
memiliki keterampilan analisis untuk mengevaluasi perkembangan bisnis peminjam
dan meningkatkan keyakinan bahwa peminjam memiliki kemampuan untuk
mengembalikan pembiayaan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.3

Jaminan dalam pembiayaan memiliki dua peran utama. Pertama, digunakan


sebagai sarana untuk membayar utang jika pihak ketiga mengalami wanprestasi
dengan cara mengkonversi atau menjual jaminan tersebut. Kedua, sebagai hasil dari
fungsi pertama atau sebagai petunjuk untuk menentukan jumlah pembiayaan yang
akan diberikan kepada debitur. Penyaluran pembiayaan tidak boleh melebihi nilai
jaminan yang diberikan. Secara umum, jaminan bertindak sebagai jaminan pelunasan
kredit atau pembiayaan. Jaminan pembiayaan dapat berupa karakter, kemampuan,
modal, dan prospek bisnis yang dimiliki oleh debitur, yang merupakan jaminan non-
materiil yang berfungsi sebagai solusi utama. Dengan jaminan non-materiil ini,
diharapkan debitur dapat mengelola bisnisnya dengan baik, menghasilkan pendapatan
yang cukup untuk membayar pembiayaan sesuai kesepakatan. Sementara itu, jaminan
pembiayaan berupa agunan adalah jaminan materiil yang berperan sebagai solusi
kedua. Pelaksanaan penjualan atau eksekusi agunan baru dapat dilakukan jika debitur
gagal memenuhi kewajibannya melalui solusi utama.4

Peminjaman dan pemberian pinjaman merupakan tindakan hukum yang


melibatkan risiko, terkadang debitur tidak memenuhi kewajiban pembayaran, yang
umumnya dikenal sebagai kredit macet. Oleh karena itu, penting untuk memiliki
perlindungan hukum yang dapat melindungi kreditur terhadap debiturnya.

3
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,
2003), 281.
4
Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 44

9
Perlindungan ini mencakup jaminan akan kepastian hukum atas hak-hak kreditur dan
proses eksekusi yang mudah dan cepat terhadap aset debitur.5

Partisipasi lembaga jaminan dalam pembangunan ekonomi suatu negara sangat


vital, karena lembaga-lembaga ini memiliki peran penting dalam memajukan ekonomi.
Sebagai contoh, lembaga jaminan memiliki tanggung jawab untuk memperlancar dan
mengamankan pemberian kredit. Oleh karena itu, sebuah jaminan dianggap baik jika
memenuhi tiga kriteria utama. Pertama, jaminan harus memudahkan pihak yang
membutuhkan kredit dalam mendapatkannya dengan mudah. Kedua, jaminan tidak
boleh melemahkan kemampuan pencari kredit untuk melanjutkan usahanya. Ketiga,
jaminan harus memberikan kepastian kepada pemberi kredit, artinya aset jaminan
harus selalu tersedia untuk dieksekusi, sehingga jika perlu, dapat dengan mudah dijual
untuk melunasi utang penerima kredit.6

2. Macam-Macam Jaminan

Secara keseluruhan, dalam konteks hukum Islam, jaminan dapat dibedakan


menjadi dua jenis, yaitu jaminan berupa individu dan jaminan berupa properti. Jaminan
berupa individu sering disebut dengan dhamman atau kafalah, sementara jaminan
berupa properti dikenal dengan istilah rahn :

1. Kafalah atau Dhamman

Secara etimologi, istilah "kafalah" memiliki akar kata dari al-damanah,


hamalah, dan za’amah, yang semuanya memiliki makna yang sama, yaitu
memberikan jaminan atau menanggung.7 Namun, dalam terminologi resmi,
kafalah didefinisikan sebagai jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil)
kepada pihak ketiga untuk menjamin kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak
kedua (tertanggung).8

5
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 1991), 3
6
Soebekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, 29.
7
Wahbah Zuhaili, al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, (beirut: Dar al-Fikr, cet. 6, 2002), 414.
8
Dr. Mardani, Hukum Perikatan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Graika, 2013), 189.

10
Menurut ajaran Syara', para ulama memberikan definisi kafalah
dengan berbagai redaksi yang berbeda. Beberapa di antaranya adalah:

a. Menurut Mazhab Hanafi, kafalah memiliki dua pengertian. Pertama,


kafalah berarti menggabungkan tanggungan dengan tanggungan lain
dalam penagihan yang melibatkan jiwa, utang, atau harta. Kedua,
kafalah berarti menggabungkan tanggungan dengan tanggungan lain
dalam asal pokok (utang).
b. Menurut Mazhab Maliki, kafalah merujuk kepada seseorang yang
memiliki hak untuk menjalankan tanggungan dari pemberi beban dan
juga tanggungan dari dirinya sendiri, yang dapat mencakup tanggungan
pekerjaan yang sesuai atau pekerjaan yang berbeda.
c. Menurut Mazhab Syafi'i, kafalah adalah perjanjian yang menetapkan
kewajiban hak yang tetap pada tanggungan orang lain atau melibatkan
kehadiran zat benda yang dibebankan atau menghadirkan beban oleh
orang yang berhak melakukannya.
d. Menurut Mazhab Hambali, kafalah adalah komitmen untuk memenuhi
sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain dan juga melibatkan
kekekalan benda yang dibebankan atau komitmen orang yang memiliki
hak untuk membawa dua harta (pemiliknya) kepada orang yang
memiliki hak yang sama.

Rukun dan syarat Kafalah :

a. Pihak penjamin (al-kafil) : cakap hukum, mengetahui objek yang


dijaminnya,
b. Objek yang dijamin (al-makful bihi) : hutang atau barang harta yang
statusnya tertanggung dan jelas
c. Pihak yang dijamin (al-makful ‘anhu) : mempunyai kemapuan
menyerahkan objeknya
d. Sighat atau ijab qabul : persetujuan para pihak melaksanakan kafalah.
2. Rahn

11
Secara etimologi, istilah "al-rahn" merujuk pada sesuatu yang tetap,
kekal, dan merupakan jaminan. Dalam konteks hukum positif, perjanjian al-
rahn lebih dikenal dengan istilah barang jaminan atau agunan. Sementara itu,
menurut konsep "ar-rahn," merujuk pada harta yang pemiliknya gunakan
sebagai jaminan untuk utang dengan syarat bahwa jaminan tersebut terikat
dengan utang tersebut.9

Menurut definisi dari ulama madzhab Maliki, objek jaminan bisa berupa
materi atau manfaat, yang keduanya dianggap sebagai harta menurut mayoritas
ulama. Benda yang dijadikan jaminan (agunan) tidak harus diserahkan secara
fisik, tetapi dapat juga diserahkan secara hukum, contohnya dengan menjadikan
sawah sebagai jaminan (agunan), sehingga yang diserahkan adalah surat
jaminannya (sertifikat sawah). Namun, menurut pandangan ulama Syafi'iyah
dan Hanabilah, ar-rahn adalah tindakan menjadikan materi (barang) sebagai
jaminan untuk utang, yang bisa diambil alih sebagai pembayaran utang apabila
orang yang berutang tidak mampu membayar utangnya.10

Definisi ini menyiratkan bahwa barang yang dapat dijadikan jaminan


utang (agunan) hanya bersifat materi, tidak mencakup manfaat seperti yang
dijelaskan oleh ulama madzhab Maliki. Barang jaminan dapat dijual jika utang
tidak dapat dibayar dalam waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Namun, menurut pendapat Ibnu Rusyd, jika pemberi utang telah menguasai
barang yang dijadikan jaminan, maka perjanjian ar-rahn menjadi mengikat bagi
kedua belah pihak. Oleh karena itu, utang terkait dengan barang jaminan
tersebut, sehingga jika utang tidak dapat diselesaikan, barang jaminan bisa
dijual untuk membayar utang tersebut. Jika dalam penjualan barang jaminan
terdapat kelebihan, maka kelebihan tersebut harus dikembalikan kepada
pemiliknya.11

9
Ad-Dardir,Syarh al-Shagir bi Syarh ash-Shawi, Mesir : Dar al-Fikr, 1978Jilid III, hal. 303
10
Ibnu 'Abidin, Radd al-Muhktar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, Beirut: Dar al-Fikr, 1963, Jilid V, hal. 339, lihat
juga As Sarakhsi, al-Mabsut, Beirut: Dar al Fikr, tt., Jilid XXI, hal. 63.
11
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, II, hal. 268 ; Imam al-Kasani, Op.Cit., hal. 135
dan ad-Dardir, Op.Cit., Jilid III, hal. 264

12
C. Konsep Jaminan menurut Ibnu Rusyd dalam Kitab Hidayatul Mujtahid
Para ulama berbeda pendapat mengenai rnacamnya, waktunya, hukum yang
berlaku dari kafalah (jaminan), syarat-syaratnya dan sifat berlakunya serta objeknya. Dan
kafalah memiliki beberapa narna, yaitlu; Kafalah, hamalah, dhamanah, za'amah. Adapun
macamnya ada dua, yaitu: (hamalah bi an-nafs) memberikan jaminan atas diri (reputasi),
dan (hamalah bi al maal) jaminan dengan harta. Adapun jaminan dengan harta telah
ditetapkan Sunnah, dan disepakati dari generasi yang pertama, serta fuqaha berbagai
negeri. Diriwayatkan dari sekelompok ulama bahwa jaminan dengan harta tidak lazim
dengan menyerupakannya dengan iddah, dan hal tersebut adalah syadz (aneh). Hadits yang
menjadi pegangan junrhur dalam hal tersebut adalah sabda Rasulullah SAW, yang artinya
"Orang yang menjamin adalah yang bertanggung jawab."

Adapun jaminan dengan jiwa (itulah yang dikenal dengan dhaman al wajhi):
Jumhur fuqaha berbagai negeri berpendapat bolehnya hal tersebut secara syariat apabila
disebabkan karena harta. Diriwayatkan dari sebagian mereka keharusan hal tersebut.

Diriwayatkan dari Syaf’i dalam pendapatnya yang baru bahwa jaminan atas diri
tidak boleh dan itulah pendapat Daud. Hujjah mereka adalah firman Allah Ta'ala, "Berkata
Yusuf: "Aku mohon perlindungan kepada Allah daripada menahan seorong, kecuali orang
yang kami ketemukan harta benda kami padanya." (Qs. Yusuf :79)

Karena hal tersebut merupakan tanggungan dengan jiwa sehingga menyerupai


tanggungan dalam perkara hudud (hukuman). Dan hujjah orang yang membolehkannya
adalah keumuman sabda Rasulullah SAW, "Orang yang menjamin adalah yang
bertanggung jawab." Dan mereka memberikan komentar bahwa dalam hal tersebut terdapat
suatu kemaslahatan, dan hal tersebut telah diriwayatkan dari generasi pertama.

Adapun hukum wajib dari kafalah:

1. Jumhur ulama yang mengatakan dibolehkannya jaminan dengan jiwa sepakat bahwa
orang yang dijamin apabila meninggal maka tidak ada sesuatupun yang menjadi
keharusan bagi penjamin dengan jiwa. Diriwayatkan dari sebagian mereka keharusan
hal tersebut.

13
2. Sedangkan lbnu Al Qasim membedakan antara seseorang meninggal dalam keadaan
mukim atau dalam keadaan tidak mukim. Ia berkata, "Apabila ia meninggal dalam
keadaan mukim maka tidak ada sesuatupun yang menjadi kewajiban penjamin dan
apabila ia meninggal dalam keadaan tidak mukim (bepergian) maka dilihat dua hal;
apabila jarak antara dua Negara adalah jarak yang memungkinkan bagi penjamin untuk
menghadirkannya dalam tempo yang ditentukan (hal itu seperti dua hingga tiga hari)
kemudian ia melalaikannya maka ia bertanggung jawab, jika tidak maka ia tidak
bertanggung jawab.

Mereka berbeda pendapat apabila orang yang dijamin alfa, maka apa hukum
penjamin dengan jiwa? Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu:

1. Wajib baginya untuk menghadirkannya atau ia bertanggung jawab. Ini merupakan


pendapat Malik, para sahabatnya serta penduduk Madinah.
2. Penjamin tersebut ditahan hingga ia dapat membawanya atau diketahui
meninggalnya orang yang dijamin tersebut. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah
dan penduduk lrak.
3. Tidak ada kewajiban baginya kecuali untuk mendatangkannya apabila diketahui
tempatnya, dengan arti lain, ia tidak dibebani untuk menghadirkannya kecuali telah
diketahui bahwa ia mampu untuk menghadirkannya. Apabila orang yang menuntut
tersebut menuduh bahwa penjamin mengetahui tempat orang yang dijamin dan
penjamin tersebut mengingkarinya maka penuntut tersebut diminta untuk
menjelaskannya. Mereka berkata, "penjamin tidaklah ditahan melainkan apabila
orang yang dijamin telah diketahui tempatnya, sehingga saat itu ia diwajibkan
untuk menghadirkannya." Pendapat ini telah disebutkan oleh Abu ubaid Al Qasim
bin Salam dalam kitabnya mengenai masalah fikih dari sejumlah orang dan ia telah
memilih pendapat tersebut.

Dalil yang dijadikan landasan Malik adalah bahwa penjamin dengan jiwa
adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pemilik hak, sehingga ia harus
menanggung kerugiannya apabila orang yang dijamin tidak ada, kemungkinan telah
diberikan hujjah bagi mereka dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
"Bahwa seseorang telah meminta kepada yang berutang agar melunasinya atau

14
datangkan penjamin kepadanya, namun ia tidak mampu untuk memenuhi
permintaannya sehingga orang tersebut memperkarakannya kepada Rasulullah
SAW, maka Rasulullah SAW menjadi penjaminnya, kemudian diapun melunasi
utangnya. Mereka mengatakan hal ini adalah denda dalam jaminan mutlak.

Adapun hukum jaminan harta: Para fuqaha telah sepakat bahwa apabila
barang yang dijamin tidak ada atau tidak berada ditempat maka penjamin tersebut
bertanggung jawab.

Dan mereka telah berbeda pendapat apabila orang yang menjamin dan yang
dijamin keduanya telah hadir dalam keadaan mampu:

a. Syaf’i, Abu Hanifah, para sahabat keduanya, Ats-Tsauri, Al Auza'i, Ahmad,


serta Ishaq berkata, "Bagi penuntut berhak meminta kepada siapa saja,
penjamin atau orang yang dijamin."
b. Malik dalam salah satu pendapatnya mengatakan, "Ia tidak berhak untuk
menuntut penjamin padahal ada orang yang dijamin." Dan ia memiliki pendapat
lain seperti pendapat jumhur.
c. Abu Tsaur berkata, "AI hamalah dan al kafalah adalah satu, barang siapa yang
menjamin harta seseorang maka ia wajib membayamya dan orang yang dijamin
telah lepas dari kewajiban, dan tidak boleh harta seseorang dibebankan kepada
dua orang." Dan hal tersebut merupakan pendapat Ibnu Abu Laila serta Ibnu
Syubrumah.

Di atara hujjah yang menjadi pendapatnya bahwa penuntut dibolehkan


menuntut penjamin, baik orang yang dijamin tidak ada ditempat atau hadir
(ditempat), kaya atau miskin, sesuai hadits qubaishah bin Al Mukhariqi, ia berkata,
"Saya menjadi penjamin sesuatu, kemudian saya datang kepada Nabi SAW dan
bertanya kepada beliau mengenai hal tersebut, maka beliau bersabda, 'Kami akan
mengeluarkannya mewakilimu dari unta sedekah wahai Qubaishah, sesungguhrya
meminta-minta itu tidak dibolehkan kecuali dalam tiga hal..." dan beriau
menyebutkan, "Seorang penjamin suatu jaminan seseorong sehingga ia mampu
menunaikannya".

15
Poin penting dari hadits ini adalah bahwa Nabi SAW membolehkan
meminta-minta bagi penjamin dengan tidak memperhitungkan kondisi orang yang
dijamin.

Adapun objek kafalah adalah harta menurut jumhur ulama, karena sabda
Rasulullah SAW, "Orang yang menjamin adalah yang bertanggung jawab"
(maksudnya, jaminan harta serta jaminan atas diri). Baik harta tersebut terkait dari
sisi sebagai harta atau dari suatu hukuman, seperti harta wajib dalam suatu
pembunuhan tidak disengaja, atau perjanjian damai dalam pembunuhan dengan
sengaja, atau suatu pencurian yang tidak menyebabkan dipotongnya tangan
(maksudnya, yang belum sampai nishab), atau dari hal yang lain.

Diriwayatkan dari Abu Hanifah, dibolehkannya kafarah dalam hudud


(hukuman) serta qishas, atau dalam qishash tanpa hudud, dan hal tersebut
merupakan pendapat utsman Al Batti (maksudnya, kafalah atas diri).

Adapun waktu kewajiban jaminan dengan harta (maksudnya,


penuntutannya dari penjamin). Para ulama sepakat bahwa hal tersebut terjadi
setelah adanya suatu hak atas orang yang dijamin baik dengan suatu pengakuan
atau dengan bukti.

Adapun waktu kewajiban jaminan atas diri: Para ulama berbeda


pendapat, apakah jaminan tersebut menjadi suatu kewajiban sebelum adanya suatu
hak atau tidak?:

a. Sekelompok ulama berpendapat, "Bahwa jaminan tersebut tidak wajib sebelum


adanya hak dengan kondisi bagaimanapun." Ini merupakan pendapat Qadhi
Syuraih dan Asy-Sya'bi dan Sahnun dari kalangan pengikut Malik berpendapat.
b. Sekelompok ulama lainnya mengatakan, "Melainkan penjamin atas diri
menuntut penetapan suatu hak." Dan mereka berbeda pendapat kapankah hal
tersebut wajib? Dan hingga berapa lama kewajiban tersebut?
c. Sebagian ulama mengatakan, "Apabila ia membawa suatu bukti yang kuat
seperti seorang saksi maka wajib diberikan kepada penjamin atas diri sehingga
nampak haknya, jika tidak ada maka tidak harus diberikan kepada penjamin

16
tersebut, kecuali ia menyebutkan bukti yang ada di kota, kemudian
diberikannya kepada penjamin dari lima hingga enam hari. Dan hal tersebut
adalah pendapat Ibnu Al Qasim dari kalangan pengikut Malik.
d. Penduduk Irak berkata, "Seorang penjamin tidak boleh menuntut mereka
sebelum adanya hak, kecuali ia mengklaim adanya bukti yang ada di kota." Ini
sama dengan perkataan Ibnu Al Qasim hanya saja mereka membatasinya
dengan tiga hari, mereka mengatakan, "Apabila ia membawa bukti maka wajib
diberikan kepada seorang penjamin hingga ia menetapkan tuduhannya atau
membatalkan nya."

Mereka mengingkari adanya perbedaan dalam hal tersebut serta perbedaan


antara orang yang memiliki bukti di tempat dan yang tidak ada di tempat, mereka
mengatakan tidak boleh ada seorang penjaminpun yang dituntut kecuali dengan
suatu bukti hingga jelas kebenaran dakwaannya atau pembatalannya.

Sebab perbedaan pendapat: Kontradiksi dalil kedua pendapat dalam


masalah ini. Apabila seorang penjamin tidak dituntut dengan sekedar dakwaan
maka tidak akan dirasakan aman dari ketidakberadaannya, sehingga orang yang
menuntut menjadi kesulitan, dan apabila ia dituntut maka tidak aman dari kondisi
dakwaan tersebut sehingga orang yang dituntut menjadi kesulitan, oleh karena itu
dibedakan antara bukti yang ada di tempat dengan yang tidak ada di tempat.

Diriwayatkan dari 'Arak bin Malik, ia berkata, "Beberapa orang dari


kalangan badui datang membawa harta yang banyak, lalu ada dua lelaki (tak
dikenal) ikut bersama mereka dan keduanya bermalam bersama mereka. Pada pagi
harinya mereka kehilangan unta sejumlah demikian dan demikian, lalu Rasulullah
SAW bersabda kepada salah seorang dari kedua lelaki tersebut, 'Pergi dan carilah'
dan beliau menahan lelaki yang lain. Kemudian ia (lelaki yang pergi tadi) datang
membawa sesuatu, lalu Rasulullah SAW bersabda kepada salah seorang dari kedua
lelaki tersebut, 'Mintakan ampun untukku', maka ia berkata, 'Allah telah
mengampuni Anda,' beliau bersabda, 'Dan engkau semoga Allah mengampunimu
dan mematikanmu di jalan-Nya'."

17
Hadits ini telah ditakhrij oleh Abu Llbaid dalam kitabnya mengenai fikih.
Ia mengatakan, "Sebagian ulama memahaminya bahwa hal tersebut dari Rasulullah
SAW sebagai suatu penahanan, dan hal tersebut tidak mengherankanku karena
tidak boleh ada penahanan hanya dengan suatu tuduhan, menurutku hanya masuk
kategori jaminan suatu hak yang tidak dibolehkan apabila terdapat suatu bukti
dikarenakan adanya kebenaran mereka berdua."

Abu Hanifah berdalil dari sisi bahwa suatu jaminan tidak berhubungan
dengan sesuatu yang tidak ada secara pasti, dan status seorang yang bangkrut
seperti itu. Sedangkan orang yang melihat bahwa jaminan tersebut menjadi
kewajibannya berdalil dengan hadits yang diriwayatkan, "Bahwa Nabi SAW pada
permulaan Islam tidak menshalatkan orang yang meninggal dalam keadaan
memiliki utang hingga ada yang menjaminnya. Sedangkan menurut jumhur
jaminan orang yang ditahan dan orang yang tidak ada diternpat adalah sah,
sedangkan menurut Abu Hanifah tidak sah.

Adapun syarat-syarat suatu jaminan:

1. Abu Hanifah dan Syaf i mensyaratkan dalam wajibnya penarikan penjamin dari
orang yang dijamin dengan sesuatu yang telah ia tunaikan hendaknya dengan
seizin onrng yang dijamin
2. Sedangkan Malik tidak mensyaratkan hal tersebut.

Menurut Syafi’i tidak boleh ada jaminan orang yang tidak jelas dan suatu
hak yang sama sekali tidak tetap. Semua itu berlaku dan mengikat menurut Malik
serta para sahabatnya.

Adapun sesuatu yang dibolehkan pada jaminan dengan suatu barang dan
yang tidak boleh:

Menurut Malik penjaminan tidak boleh dengan barang yang ada dalam
tanggungan kecuali pembebasan satraya terhadap dirinya, dan tidak boleh
ditangguhkan, serta yang dimiliki sedikit demi sedikit seperti nafkah kepada para
istri dan hal lain yang sepertinya.

18
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Ibnu Rusyd lahir di Cordoba, Spanyol, pada 520 H (1126 M) dengan nama lengkap Abu
al Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd. Ia wafat pada
9 Safar 595 H atau 10 Desember 1198 M di Maroko (Maraquesh). Dalam berbagai
karyanya, ia selalu membagi pembahasannya dalam tiga bentuk, yaitu komentar, kritik,
dan pendapat. Ia adalah seorang komentator sekaligus kritikus ulung.
2. Jaminan atau agunan adalah properti yang dimiliki oleh peminjam atau pihak lain yang
dijadikan sebagai jaminan pembayaran jika peminjam gagal memenuhi kewajibannya
kepada pihak ketiga. Macam-macam jaminan yaitu Kafalah atau Dhamman dan rahn.
3. Konsep Jaminan menurut Ibnu Rusyd dalam Kitab Hidayatul Mujtahid disampaikan
berbagai pendapat dari jumhur ulama yang berbeda-beda, tetapi pada intinya ada dua
macam jaminan yat jaminan atas jiwa dan jaminan atas harta. Jaminan atas jiwa ini ada
yang membeolehkan dan ada yang tidak.

B. Saran
1. Sebagai seorang muslim yang giat mencari ilmu hendaknya meneladani biografi dari
ibnu Rusyd yang pandai dan menguasai berbagai ilmu serta menjadi filusuf muslim yang
terkenal dengan karya-karya baiknya.
2. Hendaknya masyarakat lebih memahami apa itu jaminan dan boleh atau tidaknya
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena sebagai masyarakat kecil tentu jaminan
akan memberatkan mereka, tetapi untuk rasa aman dari pemberi utang atau yang
mendapat jaminan maka praktik pmberian jaminan baik utnuk dilaksanakan
3. Dari berbagai pendapat jumhur ulama mengenai jaminan, hendaknya ikuti sesuai
keyakinan dan mahzab masing-masing.

19
DAFTAR PUSTAKA

Biografi Ibnu Rusyd, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Diakses Pada 04 November


2023 https://ft.umj.ac.id/ftumj/Detail-Berita-Fakultas/252/biografi-ibnu-
rusyd.html
Sejarah Ibnu Rusyd, STIT IBNU RUSYD.Diakses pada 04 November 2023
https://stitibnurusyd-tgt.ac.id/halaman/30/sejarah-ibnu-rusyd.html
Usman, Rachmadi .Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2003)
Djamil , Faturrahman, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, Jakarta:
Sinar Grafika
Satrio, J. Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan (Bandung: PT. Citra Aditya
Bhakti, 1991)
Soebekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,
Zuhaili, Wahbah, al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, (beirut: Dar al-Fikr, cet. 6, 2002)
Mardani, Hukum Perikatan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Graika, 2013)
Ad-Dardir,Syarh al-Shagir bi Syarh ash-Shawi, Mesir : Dar al-Fikr, 1978Jilid III,
'Abidin, Ibnu, Radd al-Muhktar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, Beirut: Dar al-Fikr, 1963, Jilid
V, hal. 339, lihat juga As Sarakhsi, al-Mabsut, Beirut: Dar al Fikr, tt., Jilid XXI
Rusyd,Ibn .Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, II, hal. 268 ; Imam al-Kasani,
Op.Cit., hal. 135 dan ad-Dardir, Op.Cit., Jilid III

20

Anda mungkin juga menyukai