Makalah Kel.10-1
Makalah Kel.10-1
Disusun Oleh :
Hilda Fairuz Zain 2102036060
Yuyum Khoyummiyah 2102036069
Ahmad Habib Alfan Syihab 2102036075
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini yang berjudul " Tanggungan Atau
Jaminan Dalam Kitab Bidayataul Mujtahid Karya Ibnu Rusyd". Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Bahtsul Kutub Fil Muamalah yang diberikan oleh bapak Mushofihin,
S.H.I., M.S.I.
Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai pihak
sehingga bisa memperlancar pembuatan tugas penulisan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini. Terlepas dari segala hal tersebut, kami menyadari bahwa banyak kekurangan dan
kelemahan pada penyusunan dan penulisan. Demi kesempurnaan makalah ini, kami sangat
berharap adanya perbaikan, kritik, dan saran dari pembaca. Kami harap makalah ini dapat
menambah wawasan serta memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jaminan atau tanggungan sering ditemui pada kegiatan berhutang atau gadai. Agar
orang yang memberi hutang merasa aman dan tidak dirugikan oleh yang berhutang maka
yang berhutang dimintai jaminan suatu barang berharga yang dimiliki. Ada yang
membolehkan adanya jaminan dan ada yang tidak, dengan alasan bahwa hutang adalah
kegiatan tolong menolong jadi tidak boleh menyusahkan satu pihak. Tetapi, disisi lain
pihak yang memberi hutang akan merasa aman jika ada jaminan yang diserahkan karna
untuk menjaga kepercayaan antar pihak juga. Dalam kgiatan perekonomian tentunya
membutuhkan modal atau uang. Untuk dapat melanjutkan kegiatan ekonomi yang
dampaknyabermafaat untuk para pelaku bahkan orang-orang disekitar, terkadang pelaku
usaha mencarti modal dengan berhutang ke orang terdekat atau lembaga keuangan. Orang
yang berhutang di lembaga keuangan atau ke orang lain, biasanya dimitai suatu barang
jaminan untuk menjaga kepercayan dari yang menhutangi.
Jaminan ini kadang diterapkan kadang juga tidak, jika orang berpikir utang itu suatu
tindakan tolong menolong ia tidak akan tega memberi jaminan kepada yang berhutang.
Tetspi, alasan diadakannya jaminan juga memberi rasa aman kepada pemberi hutang jika
suatu saat terjadi ketidak dapatan pengutang membeayar hutangnya. Di masayarakat masih
menerapkan adanya jaminan ini, misalnya saja dalam suatu gadai sawah seseorang
menyerahkan sawahnya untuk jaminan dan ia akan memperoleh hutangan uang yang suatu
saat harus dikembalikan.
Dari berbagai sudut pandang mengenai baik atau tidaknya pemberian jaminan,
masih belum memahaminya. Untuk itu, pemaalah akan menyampakaian terkait jaminan
menurut konsep dari Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid.
B. Rumusan Masalah
4
C. Tujuan Penelitian
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd ialah pemikir Muslim dikenal dengan nama Averoes yang berkemajuan
dalam pemikiran dan mencerahkan dalam berislam. Ia filosof yang berhasil memasukkan
pikiran filsafat dalam diskursus syariat. Ia menjembatani perdebatan tentang ijma’ dengan
argumentasi filsafati yang memberikan kemudahan dalam istinbath hukum Islam. Ibnu
Rusyd lahir di Cordoba, Spanyol, pada 520 H (1126 M) dengan nama lengkap Abu al Walid
Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd. Saat itu, Cordoba
merupakan kota paling menonjol dan terkenal keilmuannya di Andalusia (Spanyol). Ia
paling otoritatif mengomentari karya Aristoteles. Ia seorang dokter, ahli hukum, dan filosof
terpopuler pada periode 700-1200 perkembangan Filsafat Islam.
Ibnu Rusyd berada di tengah keluarga terhormat dan memiliki tradisi keilmuan
yang kuat. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Ia sendiri
pernah menduduki beberapa jabatan: antara lain sebagai qadli (hakim) di Sivilla dan
sebagai qadli al-qudlat (hakim agung) di Cordoba. Sejak kecil, ia mempelajari Alquran,
tafsir, hadits, fikih, dan sastra Arab. Setelah dewasa orientasinya tertuju pada ilmu. Ia
mendalami matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu kedokteran. Ia dikenal
sebagai ahli dalam berbagai cabang ilmu. Popularitas Ibnu Rusyd memuncak pada masa
Khalifah Abu Ya’qub Yusuf bin Abdul Mu’min. Ia dihukum buang karena ada banyaknya
fitnah mengenai ia dan akidahnya. Ia dipenjara di koata Lucana, Spanyol yaitu tempat
orang-orang yang yang dibuang karena pemikiran akidahnya mengganggu ketentraman
negara. Keudian ia diasingkan ke Maraquesh hingga meninggal. Setela ia meninggal tidak
ada lagi filosof muslim di dunia sunni khususnya di Andalusia.1 Ia wafat pada 9 Safar 595
H atau 10 Desember 1198 M di Maroko (Maraquesh).
1
Biografi Ibnu Rusyd, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Diakses Pada 04 November 2023
https://ft.umj.ac.id/ftumj/Detail-Berita-Fakultas/252/biografi-ibnu-rusyd.html
6
Kebesaran dan kejeniusannya tampak pada karya-karyanya. Dalam berbagai
karyanya, ia selalu membagi pembahasannya dalam tiga bentuk, yaitu komentar, kritik,
dan pendapat. Ia adalah seorang komentator sekaligus kritikus ulung. Ulasannya yang
terkenal adalah terhadap karya-karya Aristoteles. Ia tidak semata-mata memberi komentar,
tetapi juga menambahkan pandangannya sendiri, suatu hal yang belum pernah dilakukan
filosof lain sebelumnya. Diantaranya karya-karyanya yang masih ada yaitu:2
• Fashl Al Maqal fima Baina Al Hikmah wa Asy Syari'ah min Al Ittishal (Uraian
tentang Kitan filsafat dan Syari'ah)
• I'tiqad Masyasyin wa Al Mutakallimin (Keyakinan kaum Liberalis dan Pakar Ilmu
Kalam)
• Manahij Al Adillah fi 'Aqaid Al Millah (Beberapa Metode Argumentatif dalam
Akidah Agama), dan lain-lain.
Fikih dan Ushul Fikih :
2
Sejarah Ibnu Rusyd, STIT IBNU RUSYD.Diakses pada 04 November 2023 https://stitibnurusyd-
tgt.ac.id/halaman/30/sejarah-ibnu-rusyd.html
7
• Bidayah Al Muqtashid wa An Nihayah Al Muqtashid (Dasar Mujtahid dan Tujuan
Orang yang Sederhana). Kitab ini diakui oleh Ibnu Jafar Zahabi sebagai buku terbaik
di sekolah ilmu fikih Maliki, dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan
sangat terkenal.
• Ad Dar Al Kamil fi Al Fiqh (Studi Fikih yang Sempurna)
• Risalah Adh Dhahaya (Risalah tentang Kurban), dan lain-lain.
Kedokteran :
• Al Kulliyat fi Ath Thibb (Studi Lengkap tentang Kedokteran). Sebanyak 7 jilid, dan
menjadi rujukan dan buku wajib di berbagai universitas di Eropa. Diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin, Inggris, dan Ibrani.
• Syarh Arjuwizah Ibn Sina fi Ath Thibb. Secara kauntitas kitab ini paling banyak
beredar. Menjadi bahan kajian ilmu kedokteran di Oxford University Leiden dan
Universitas Sourborn Paris.
• Maqalah fi At Tiryaq (Makalah tentang Obat Penolak Racun), yang telah
diterjemahkan ke bahasa Latin, Inggris, dan Ibrani.
• Nasha'ih fi Amr Al Ishal (Nasihat tentang Penyakit Perut dan Mencret), yang telah
diterjemahkan ke bahasa Latin dan Ibrani.
• Mas'alah fi Nawaib Al Humma (Masalah tentang Penyakit Demam)
Ilmu astronomi :
• Maqalah fi Harkah Al Jirm As Samawi (Makalah tentang Gerakan Meteor)
• Kalam 'ala Ru'yah Jirm Ats Tsabitah (Pendapat tentang Melihat Meteor yang Tetap
Tak Bergerak)
Ilmu Nahwu :
• Kitab Adh Dharuri fi An Nahw (Yang Penting dalam Ilmu Nahwu)
• Kalam 'ala Al Kalimah wa Al Ism Al Musytaq (Pendapat tentang Kata dan Isim
Musytaq).
8
Jaminan atau agunan adalah properti yang dimiliki oleh peminjam atau pihak
lain yang dijadikan sebagai jaminan pembayaran jika peminjam gagal memenuhi
kewajibannya kepada pihak ketiga. Konsep jaminan ini tidak hanya terbatas pada aset
yang dijamin, tetapi juga mencakup faktor-faktor lain seperti potensi bisnis yang
dikelola oleh peminjam. Dalam konteks jaminan ini, petugas pembiayaan perlu
memiliki keterampilan analisis untuk mengevaluasi perkembangan bisnis peminjam
dan meningkatkan keyakinan bahwa peminjam memiliki kemampuan untuk
mengembalikan pembiayaan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.3
3
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,
2003), 281.
4
Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 44
9
Perlindungan ini mencakup jaminan akan kepastian hukum atas hak-hak kreditur dan
proses eksekusi yang mudah dan cepat terhadap aset debitur.5
2. Macam-Macam Jaminan
5
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 1991), 3
6
Soebekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, 29.
7
Wahbah Zuhaili, al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, (beirut: Dar al-Fikr, cet. 6, 2002), 414.
8
Dr. Mardani, Hukum Perikatan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Graika, 2013), 189.
10
Menurut ajaran Syara', para ulama memberikan definisi kafalah
dengan berbagai redaksi yang berbeda. Beberapa di antaranya adalah:
11
Secara etimologi, istilah "al-rahn" merujuk pada sesuatu yang tetap,
kekal, dan merupakan jaminan. Dalam konteks hukum positif, perjanjian al-
rahn lebih dikenal dengan istilah barang jaminan atau agunan. Sementara itu,
menurut konsep "ar-rahn," merujuk pada harta yang pemiliknya gunakan
sebagai jaminan untuk utang dengan syarat bahwa jaminan tersebut terikat
dengan utang tersebut.9
Menurut definisi dari ulama madzhab Maliki, objek jaminan bisa berupa
materi atau manfaat, yang keduanya dianggap sebagai harta menurut mayoritas
ulama. Benda yang dijadikan jaminan (agunan) tidak harus diserahkan secara
fisik, tetapi dapat juga diserahkan secara hukum, contohnya dengan menjadikan
sawah sebagai jaminan (agunan), sehingga yang diserahkan adalah surat
jaminannya (sertifikat sawah). Namun, menurut pandangan ulama Syafi'iyah
dan Hanabilah, ar-rahn adalah tindakan menjadikan materi (barang) sebagai
jaminan untuk utang, yang bisa diambil alih sebagai pembayaran utang apabila
orang yang berutang tidak mampu membayar utangnya.10
9
Ad-Dardir,Syarh al-Shagir bi Syarh ash-Shawi, Mesir : Dar al-Fikr, 1978Jilid III, hal. 303
10
Ibnu 'Abidin, Radd al-Muhktar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, Beirut: Dar al-Fikr, 1963, Jilid V, hal. 339, lihat
juga As Sarakhsi, al-Mabsut, Beirut: Dar al Fikr, tt., Jilid XXI, hal. 63.
11
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, II, hal. 268 ; Imam al-Kasani, Op.Cit., hal. 135
dan ad-Dardir, Op.Cit., Jilid III, hal. 264
12
C. Konsep Jaminan menurut Ibnu Rusyd dalam Kitab Hidayatul Mujtahid
Para ulama berbeda pendapat mengenai rnacamnya, waktunya, hukum yang
berlaku dari kafalah (jaminan), syarat-syaratnya dan sifat berlakunya serta objeknya. Dan
kafalah memiliki beberapa narna, yaitlu; Kafalah, hamalah, dhamanah, za'amah. Adapun
macamnya ada dua, yaitu: (hamalah bi an-nafs) memberikan jaminan atas diri (reputasi),
dan (hamalah bi al maal) jaminan dengan harta. Adapun jaminan dengan harta telah
ditetapkan Sunnah, dan disepakati dari generasi yang pertama, serta fuqaha berbagai
negeri. Diriwayatkan dari sekelompok ulama bahwa jaminan dengan harta tidak lazim
dengan menyerupakannya dengan iddah, dan hal tersebut adalah syadz (aneh). Hadits yang
menjadi pegangan junrhur dalam hal tersebut adalah sabda Rasulullah SAW, yang artinya
"Orang yang menjamin adalah yang bertanggung jawab."
Adapun jaminan dengan jiwa (itulah yang dikenal dengan dhaman al wajhi):
Jumhur fuqaha berbagai negeri berpendapat bolehnya hal tersebut secara syariat apabila
disebabkan karena harta. Diriwayatkan dari sebagian mereka keharusan hal tersebut.
Diriwayatkan dari Syaf’i dalam pendapatnya yang baru bahwa jaminan atas diri
tidak boleh dan itulah pendapat Daud. Hujjah mereka adalah firman Allah Ta'ala, "Berkata
Yusuf: "Aku mohon perlindungan kepada Allah daripada menahan seorong, kecuali orang
yang kami ketemukan harta benda kami padanya." (Qs. Yusuf :79)
1. Jumhur ulama yang mengatakan dibolehkannya jaminan dengan jiwa sepakat bahwa
orang yang dijamin apabila meninggal maka tidak ada sesuatupun yang menjadi
keharusan bagi penjamin dengan jiwa. Diriwayatkan dari sebagian mereka keharusan
hal tersebut.
13
2. Sedangkan lbnu Al Qasim membedakan antara seseorang meninggal dalam keadaan
mukim atau dalam keadaan tidak mukim. Ia berkata, "Apabila ia meninggal dalam
keadaan mukim maka tidak ada sesuatupun yang menjadi kewajiban penjamin dan
apabila ia meninggal dalam keadaan tidak mukim (bepergian) maka dilihat dua hal;
apabila jarak antara dua Negara adalah jarak yang memungkinkan bagi penjamin untuk
menghadirkannya dalam tempo yang ditentukan (hal itu seperti dua hingga tiga hari)
kemudian ia melalaikannya maka ia bertanggung jawab, jika tidak maka ia tidak
bertanggung jawab.
Mereka berbeda pendapat apabila orang yang dijamin alfa, maka apa hukum
penjamin dengan jiwa? Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu:
Dalil yang dijadikan landasan Malik adalah bahwa penjamin dengan jiwa
adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pemilik hak, sehingga ia harus
menanggung kerugiannya apabila orang yang dijamin tidak ada, kemungkinan telah
diberikan hujjah bagi mereka dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
"Bahwa seseorang telah meminta kepada yang berutang agar melunasinya atau
14
datangkan penjamin kepadanya, namun ia tidak mampu untuk memenuhi
permintaannya sehingga orang tersebut memperkarakannya kepada Rasulullah
SAW, maka Rasulullah SAW menjadi penjaminnya, kemudian diapun melunasi
utangnya. Mereka mengatakan hal ini adalah denda dalam jaminan mutlak.
Adapun hukum jaminan harta: Para fuqaha telah sepakat bahwa apabila
barang yang dijamin tidak ada atau tidak berada ditempat maka penjamin tersebut
bertanggung jawab.
Dan mereka telah berbeda pendapat apabila orang yang menjamin dan yang
dijamin keduanya telah hadir dalam keadaan mampu:
15
Poin penting dari hadits ini adalah bahwa Nabi SAW membolehkan
meminta-minta bagi penjamin dengan tidak memperhitungkan kondisi orang yang
dijamin.
Adapun objek kafalah adalah harta menurut jumhur ulama, karena sabda
Rasulullah SAW, "Orang yang menjamin adalah yang bertanggung jawab"
(maksudnya, jaminan harta serta jaminan atas diri). Baik harta tersebut terkait dari
sisi sebagai harta atau dari suatu hukuman, seperti harta wajib dalam suatu
pembunuhan tidak disengaja, atau perjanjian damai dalam pembunuhan dengan
sengaja, atau suatu pencurian yang tidak menyebabkan dipotongnya tangan
(maksudnya, yang belum sampai nishab), atau dari hal yang lain.
16
tersebut, kecuali ia menyebutkan bukti yang ada di kota, kemudian
diberikannya kepada penjamin dari lima hingga enam hari. Dan hal tersebut
adalah pendapat Ibnu Al Qasim dari kalangan pengikut Malik.
d. Penduduk Irak berkata, "Seorang penjamin tidak boleh menuntut mereka
sebelum adanya hak, kecuali ia mengklaim adanya bukti yang ada di kota." Ini
sama dengan perkataan Ibnu Al Qasim hanya saja mereka membatasinya
dengan tiga hari, mereka mengatakan, "Apabila ia membawa bukti maka wajib
diberikan kepada seorang penjamin hingga ia menetapkan tuduhannya atau
membatalkan nya."
17
Hadits ini telah ditakhrij oleh Abu Llbaid dalam kitabnya mengenai fikih.
Ia mengatakan, "Sebagian ulama memahaminya bahwa hal tersebut dari Rasulullah
SAW sebagai suatu penahanan, dan hal tersebut tidak mengherankanku karena
tidak boleh ada penahanan hanya dengan suatu tuduhan, menurutku hanya masuk
kategori jaminan suatu hak yang tidak dibolehkan apabila terdapat suatu bukti
dikarenakan adanya kebenaran mereka berdua."
Abu Hanifah berdalil dari sisi bahwa suatu jaminan tidak berhubungan
dengan sesuatu yang tidak ada secara pasti, dan status seorang yang bangkrut
seperti itu. Sedangkan orang yang melihat bahwa jaminan tersebut menjadi
kewajibannya berdalil dengan hadits yang diriwayatkan, "Bahwa Nabi SAW pada
permulaan Islam tidak menshalatkan orang yang meninggal dalam keadaan
memiliki utang hingga ada yang menjaminnya. Sedangkan menurut jumhur
jaminan orang yang ditahan dan orang yang tidak ada diternpat adalah sah,
sedangkan menurut Abu Hanifah tidak sah.
1. Abu Hanifah dan Syaf i mensyaratkan dalam wajibnya penarikan penjamin dari
orang yang dijamin dengan sesuatu yang telah ia tunaikan hendaknya dengan
seizin onrng yang dijamin
2. Sedangkan Malik tidak mensyaratkan hal tersebut.
Menurut Syafi’i tidak boleh ada jaminan orang yang tidak jelas dan suatu
hak yang sama sekali tidak tetap. Semua itu berlaku dan mengikat menurut Malik
serta para sahabatnya.
Adapun sesuatu yang dibolehkan pada jaminan dengan suatu barang dan
yang tidak boleh:
Menurut Malik penjaminan tidak boleh dengan barang yang ada dalam
tanggungan kecuali pembebasan satraya terhadap dirinya, dan tidak boleh
ditangguhkan, serta yang dimiliki sedikit demi sedikit seperti nafkah kepada para
istri dan hal lain yang sepertinya.
18
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Ibnu Rusyd lahir di Cordoba, Spanyol, pada 520 H (1126 M) dengan nama lengkap Abu
al Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd. Ia wafat pada
9 Safar 595 H atau 10 Desember 1198 M di Maroko (Maraquesh). Dalam berbagai
karyanya, ia selalu membagi pembahasannya dalam tiga bentuk, yaitu komentar, kritik,
dan pendapat. Ia adalah seorang komentator sekaligus kritikus ulung.
2. Jaminan atau agunan adalah properti yang dimiliki oleh peminjam atau pihak lain yang
dijadikan sebagai jaminan pembayaran jika peminjam gagal memenuhi kewajibannya
kepada pihak ketiga. Macam-macam jaminan yaitu Kafalah atau Dhamman dan rahn.
3. Konsep Jaminan menurut Ibnu Rusyd dalam Kitab Hidayatul Mujtahid disampaikan
berbagai pendapat dari jumhur ulama yang berbeda-beda, tetapi pada intinya ada dua
macam jaminan yat jaminan atas jiwa dan jaminan atas harta. Jaminan atas jiwa ini ada
yang membeolehkan dan ada yang tidak.
B. Saran
1. Sebagai seorang muslim yang giat mencari ilmu hendaknya meneladani biografi dari
ibnu Rusyd yang pandai dan menguasai berbagai ilmu serta menjadi filusuf muslim yang
terkenal dengan karya-karya baiknya.
2. Hendaknya masyarakat lebih memahami apa itu jaminan dan boleh atau tidaknya
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena sebagai masyarakat kecil tentu jaminan
akan memberatkan mereka, tetapi untuk rasa aman dari pemberi utang atau yang
mendapat jaminan maka praktik pmberian jaminan baik utnuk dilaksanakan
3. Dari berbagai pendapat jumhur ulama mengenai jaminan, hendaknya ikuti sesuai
keyakinan dan mahzab masing-masing.
19
DAFTAR PUSTAKA
20