Disusun untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Bahtsul Kutub Tafsir II
Disusun Oleh:
M. Teo Renaldi NIM. 201450
Metta Apriyani NIM. 201456
Dosen Pengampu:
Dian Rahmawati, S.Th.I,MA.
KATA PENGANTAR
Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tidak akan ada yang mampu
menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan Allah, tidak akan ada yang mampu
memberi petunjuk kepadanya.
Makalah ini penulis susun guna memenuhi tugas pada Mata Kuliah Bahtsul
Kutub Tafsir II yang mana diampu oleh Ibu Dian Rahmawati, S.Th.I,MA.
Alhamdulillah makalah yang berjudul “Kitab Tafsir Al-Manar” telah selesai penulis
kerjakan.
Kelompok 11
II
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan.....................................................................................................13
B. Saran...............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tafsir merupakan bidang ilmu yang sangat penting dalam Islam. Hal ini karena
tafsir adalah bidang keilmuan yang berusaha menjelaskan makna isi Al-Qur'an,
pedoman terpenting bagi umat Islam. Dengan banyaknya karya tafsir yang digagas
oleh para ulama terdahulu, diharapkan dapat membantu dalam memahami Al-Qur'an
dan menjadikannya panduan dan pedoman dalam hidup. Tanpa upaya para ulama
terdahulu untuk menafsirkan Al-Qur'an, akan muncul banyak kelompok yang akan
berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara sewenang-wenang dan tanpa arah, baik untuk
keuntungan pribadi maupun kelompok. Tidak hanya itu, dengan adanya penafsiran
AlQur'an dapat membantu kondisi pada suatu masyarakat.
Contohnya saja ditengah kondisi Mesir yang sedang dilanda kebekuan akal dan
tertutupnya pintu ijtihad, muncullah sosok pembaharu dalam dunia tafsir yaitu
Muhammad Abduh dan muridnya yang bernama Muhammad Rasyid Ridha dengan
mengedepankan corak tafsir baru. Yang dari pemikiran mereka dapat menghasilkan
suatu kitab tafsir yang biasanya kita kenal dengan Tafsir Al-Manar.
Tafsir Al-Manar, diakui telah memberikan kontribusi dan pencerahan bagi
khazanah keilmuan Islam, khususnya ilmu tafsir. Betapa tidak, kedua ulama
terkemuka ini mampu memukau dunia Islam dengan kelugasan dan keluasan
wawasannya. Maka dari itu untuk mengenal kedua sosok tersebut dan beberapa butir
pemikiran serta kapasitas tafsir mereka, akan dikemukakan dalam pembahasan singkat
berikut ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang melatarbelakangi Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
menuliskan tafsirnya?
2. Apa metode dan corak yang digunakan di dalam Tafsir Al-Manar?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan memahami latar belakang penulisan pada Tafsir
AlManar.
2. Untuk mengetahui metode dan corak yang digunakan di dalam Tafsir
AlManar.
BAB II PEMBAHASAN
Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah yang biasa kita kenal dengan
Syekh Muhammad Abduh, dilahirkan di desa Mahallat Nashr, Kabupaten Al-
Buhairah-Mesir pada tahun 1849 M. Ia tidak berasal dari keluarga yang kaya, tidak
juga bangsawan, namun ayahnya sangat dihormati di desa tersebut karena suka
memberi pertolongan. Muhammad Abduh hidup dalam keluarga petani. Semua
saudaranya adalah petani yang kesehariannya membantu ayah mereka dalam bidang
pertanian, tetapi berbeda dengan Muhammad Abduh yang hanya ditugasi oleh
ayahnya untuk mencari ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1866 M, Muhammad Abduh dinikahkan oleh ayahnya dan menjalani
hidup dengan berumah tangga. Akan tetapi, sekitar 40 hari pernikahannya, Abduh
dipaksa ayahnya untuk melanjutkan pendidikannya di Thanta. Di dalam perjalanannya
menuju Thanta, Abduh mengubah haluan menuju Desa Kanisah untuk bertemu dengan
pamannya, Syaikh Darwis Khidr yang mempunyai pengetahuan begitu luas, karena
banyak melakukan perjalanan ke luar Mesir. Muhammad Abduh banyak belajar pada
Syeikh Darwis. Dan ilmu yang ditekuninya pun kebanyakan menyangkut tasawuf1.
Pada tahun yang bersamaan, Abduh merasa tidak menemukan sesuatu yang baru
dari itu. Materi dan metode pengajaran yang di dapatkan pun tidak jauh berbeda
dengan
1 . Khasan Bisri, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar Karya M.Abduh dan
M. Rasyid Ridha, (Bandung: Nusamedia, 2021), h. 15.
3
apa yang ia dapatkan di Thanta. Dengan mengikuti saran dari Syeikh Darwis, Abduh
pun mencari ilmu lagi kepada ulama yang berada di luar Al-Azhar yaitu Syeikh Hasan
at-Tawil. Dari beliau Abduh mempelajari ilmu filsafat, logika dan matematika. Abduh
dan teman-temannya pun berkesempatan pula berdialog dengan tokoh pembaharu
yaitu
“Jamaluddin al Afgani”. Disinilah awal pertemuan Abduh dengan Jamaluddin yang
kemudian menjadi gurunya. Lewat Jamaluddin, Abduh semakin banyak mendalami
ilmu seperti filsafat, matematika, teologi, politik dan jurnalistik.
Setelah tamat dari Al-Azhar pada tahun 1877, Abduh memulai karirnya sebagai
guru. Di Universitas Dar al-Ulum Abduh mengajar sejarah sedangkan di Al-Azhar ia
mengajar logika, teologi dan filsafat. Selain berprofesi sebagai guru, Abduh juga
menekuni bidang jurnalistik. Ia menulis berbagai artikel untuk surat kabar, terutama
AlAhram (Piramid) mulai tahun 1876. Pada bidang jurnalistik ini Abduh dipercayai
menjadi pemimpin Redaksi al-Qaqa’i al-Mishriyah.
Pada saat itu juga, di Mesir muncul gerakan yang menentang penetrasi
kekuasaan Barat dengan nama Gerakan Nasional Mesir dan selama tiga bulan Abduh
dipenjarakan kemudian diasingkan keluar negeri yakni ke Beirut dan ke Paris. Di
Paris, Abduh dan Jamaluddin Al-Afgani membentuk gerakan “Al-Urwah al-Wutsqa”.
Salah satu kegiatannya yaitu menerbitkan majalah dengan nama tersebut di tahun
1884. Pada tahun 1888 Abduh kembali diizinkan ke Mesir, kemudian menjadi hakim
di Pengadilan Negeri di Benha. Selanjutnya pada tahun 1890 Abduh menjadi
penasehat pada Mahkamah Tinggi dan pada tahun 1899 ia diangkat menjadi Mufti
Mesir juga menjadi anggota majelis Syura, dewan legislatif Mesir2.
1. Risalat al-Ridat
2. Hasyiah-Syarah Al-Jalal al-Dawwani Lil Aqa'id Al-Adhudhiyah
3. Tafsir Juz Amma
4. Tafsir Surah wal-'Ashr
2 . Al-Daulah, Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan, Vol.1 No.1, Desember 2013, ISSN:
2580-5797, h. 36.
4
5. Tafsir Al-Qur'an bermula dari al-Fatihah smapai dengan ayat 129 surah
alNisa3.
Muhammad Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn Muhammad Syamsuddin Ibn Muhammad
Bahauddin Ibn Manla Ali Khalifah yang biasanya kita kenal dengan Muhammad
Rasyid Ridha lahir di Qalmun pada tanggal 18 Oktober 1865 M dan meninggal di usia
-+ 70 tahun karena mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju Kairo.
Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungan sekitarnya sebagai keluarga yang taat
beragama dan menguasai berbagai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka dikenal dengan
sebutan "Syaikh". Sayyid Syaikh Ahmad adalah kakek Rasyid Ridha yang sangat
wara' sehingga hampir seluruh waktunya ia gunakan untuk membaca Al-Quran dan
beribadah. Ketika Rasyid Ridha beranjak mencapai umur remaja, ayahnya telah
mewarisi kedudukan, wibawa serta ilmu sang kakek, sehingga Ridha sangat
terpengaruh dan juga belajar dari ayahnya.
Lalu Rasyid Ridha pun pindah ke sekolah Islam Negeri yang merupakan sekolah
terbaik pada saat itu dengan bahasa arab sebagai bahasa pengantarnya. Sekolah ini
didirikan dan dipimpin oleh Syekh Husein al-Jisr dari Syam, seorang ulama' besar
ketika itu. Syekh Husein al-Jisr mempunyai andil sangat besar terhadap perkembangan
pemikiran Rasyid Ridha, karena hubungan diantara keduanya tidak terhenti walaupun
3 . Abdullah Muaz, dkk, Khazanah Mufassir Nusantara, (Jakarta: Program Studi Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir (PTIQ), 2020), cetakan 1, h. 173.
5
sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Syekh Husein al-Jisr juga memberikan
kesempatan kepada Rasyid Ridha untuk menulis di beberapa surat kabar di Tripoli.
Selama hidupnya Muhammad Rasyid Ridha telah menulis karya dalam berbagai
disiplin ilmu, baik dari bidang fiqh hingga tafsir. Di antara karya beliau:
Berawal dari ketidakpuasan dan kegelisahan Abduh yang selama ini menilai
tafsir dengan sangat gersang dan kaku, karena penafsirnya hanya mengarahkan pada
pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab. Inilah yang membuat
Abduh tergugah keinginannya untuk menafsirkan Al-Quran yang sesuai dengan
konteks zaman yang dialaminya. Abduh berkeinginan menafsirkan Al-Qur’an dengan
mengoptimalkan kerja akal (rasio) dan mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat
sebagai jalan untuk mencari petunjuk Al-Qur’an6.
4 . Hermeneutik, Jurnal llmu Al-Qur’an dan Tafsir, Vol.9, No.2, Desember 2015, ISSN: 2502-
6402, h. 322.
5 . Abdul Muaz, ddk,op.cit, h. 176.
6 . Khasan Bisri, op.cit, h. 4.
6
Abduh pernah mendirikan sebuah majalah yang mengupas tentang keislaman, sosial
dan kemoderan, yang diberi nama al-Urwah al-Wutsqa. Dalam perjalanannya
kemudian, Muhammad Abduh bersama Rasyid Rida mendirikan majalah yang diberi
nama Al-Manar7. Yang mana ini berawal dari penafsiran-penafsiran Abduh yang
disampaikan dalam kajiannya di Masjid Al-Azhar Kairo dalam bentuk ceramah.
Abduh berasumsi bahwa menjelaskan tafsir melalui ceramah jauh lebih mudah
diterima daripada melalui tulisan. M. Rasyid Ridha pun mencatat point-point penting
ceramah yang disampaikan Abduh dan kemudian dikembangkannya. Dari catatan
Rasyid Ridha itulah kemudian dimuat dalam majalah Al-Manar8. Untuk
menyebarluaskan pemikiran dari gurunya itu, Ridha tidak hanya menulis dalam
majalah al-Manar yang diterbitkannya saja, tetapi juga menulis tafsir Al-Qur’an
sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para penafsir untuk memperkuat pemikiran
mereka. Kemudian dalam perkembangannya, diterbitkan pula dalam bentuk buku yang
diberi judul “Tafsir AlQur’an Al-Hakim”. Namun lebih dikenal dengan Tafsir Al-
Manar9.
Tafsir Al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang tokoh Islam,
yaitu Jamaluddin Al Afgani, M. Abduh dan Rasyid Ridha. Al-Afgani menanamkan
gagasan-gagasan perbaikan masyarakat kepada Abduh dan Abduh menerima,
mengolah, kemudian disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat Al-Quran kepada
Rasyid Ridha dan kemudian oleh Ridha ditulis dalam bentuk ringkasan dan
penjelasan. Sebelum wafatnya, Abduh dengan ceramahnya baru menjelaskan uraian
tafsir dari
Surah al-Fatihah sampai Surah an-Nisa' ayat 126 atau hampir lima juz pertama dari
AlQuran. Kemudian Rasyid Ridha meneruskannya sampai ia meninggal dan baru
menyelesaikan tafsirnya sampai surah Yusuf ayat 101. Namun Tafsir Al-Manar yang
diterbitkan dalam bentuk buku hanya memuat penafsiran Ridha sampai QS. Yusuf
ayat 52. Bahjat al-Bithar teman Rasyid Ridha dari Syria berinisiatif untuk menerbitkan
secara utuh QS. Yusuf sampai ayat terakhir. Ia menerbitkannya dengan
mengatasnamakan Rasyid Ridha walaupun ia sendiri yang menyusunnya. Dari segi
jumlah ayatnya, tafsir ini lebih wajar jika dinisbatkan kepada Rasyid Ridha daripada
Abduh. Abduh hanya menafsirkan kurang lebih 5 jilid atau 413 ayat, sedangkan
Rasyid Ridha 7 jilid atau 930 ayat 10. Tafsir Al-Manar terdiri dari 12 jilid dan terbit
untuk pertama kalinya pada tanggal 22 Syawal 1315 H/17 Maret 1898 M11.
Sebagai sebuah kitab tafsir yang lahir pada abad modern, tentunya penulis tafsir
Al-Manar dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an menggunakan suatu metode
penelitian tafsir yang telah ada. Yaitu metode yang telah dipergunakan oleh para
ulama tafsir sebelumnya dan sudah masyhur dikalangan para mufassir. Adapun
metodemetode tersebut ialah ijmali, tahlili, maudhu'i dan muqarran yang tentunya
seluruh kitab tafsir menggunakan metode-metode ini sesuai dengan karakteristik nya.
Mengenai metode yang digunakan pada penulisan Tafsir al-Manar, beliau
menggunakan metode tahlili dalam penafsirannya. Adapun mengenai sistematika
penulisan dalam tafsir alManar yaitu menggunakan tartib mushafi. Sebagaimana dapat
kita lihat bahwasanya dalam penafsiran tafsir al-Manar dimulai dari surat al-Fatihah
dan diakhiri dengan anNas12.
G. Corak Penafsiran
Setiap tafsir Al-Qur’an pasti memberikan corak haluan dari pribadi penafsirnya.
Tidak menutup kemungkinan pada tafsir Al-Manar. Adapun corak yang digunakan
pada tafsir al-Manar ialah corak adabi ijtima’i atau yang lebih dikenal dengan corak
sosial kemasyarakatan. Tafsir ini menggunakan corak adabi ijtima’i tentunya memiliki
alasan sehingga penulisnya bisa menggolongkan adabi ijtima’i ini kedalam corak
penafsirannya. Adapun alasannya yaitu supaya Al-Qur’an bukan lagi dianggap sebagai
kitab suci yang memiliki sastra tinggi saja namun Al-Qur’an juga berfungsi
sebagaimana tujuan utama bagi masyarakat (umat Islam), yakni sebagai petunjuk
dalam hidup. Dikarenakan di dalam Al-Qur’an sangat jelas pembahasannya termasuk
mengenai kemasyarakatan. Hal inilah yang menjadikan titik perbedaan tafsir al-
Manar sebagai bibit modern13.
H. Contoh Penafsiran
Contoh penafsiran Muhammad Abduh yaitu pada surah Al-Baqarah ayat ke 3031
Kajian pertama Abduh terfokus pada makna dan konsep tentang hakikat
malaikat. Abduh menyatakan dalam hal ini ia lebih ke pendapat Salaf. Malaikat
menurut Salaf adalah makhluk yang diberitakan oleh Allah mengenai eksistensi dan
tugas-tugasnya yang semuanya wajib diimani. Abduh tidak berpretensi untuk
menjelaskan hakikat malaikat lebih rinci karena menurutnya hanya Allah yang
mengetahuinya. Ketika ada dalil yang menjelaskan malaikat memiliki sayap,
menurutnya harus diyakini, namun sayap itu bukan seperti sayap seperti burung dan
sebagainya.
Selanjutnya Muhammad Abduh juga melontarkan kritikan terhadap ulama yang
memandang sifat malaikat itu dengan hakikat, karena hal demikian menurut beliau
hanya sekedar diimani saja tidak perlu membandingkan jika malaikat itu punya sayap
bahwa sayap itu adalah seperti burung. Hal inilah yang membuat keliru.
Berikutnya adalah pandangan Abduh terkait dialog yang terjadi antara Allah dan
Malaikat di dalam kisah Adam, yang terdapat pada ayat: ف ُّ ا َم ْن-ل فِ ْي َه-
ْ ي ُ قاالوا اَتَ ْج َع
ْ
ِ ۚۤ ِ
ال
َ َلك ۗ ق
َ س ِ
ُ بح ْمد َك َون َق د
َ حُ نسب
َ نح ُن ُ يس ِف
ْ ك ال د َم ٰا َء َو
ِ ِ
ْ س ُد ف ْي َها َو
kandungan dan pesan-pesan serta faedah yang dituju oleh Allah yang ada kaitannya
dengan kebutuhan dan keutamaan manusia.
Terkait ayat, “Kenapa Engkau akan (mengangkat khalifah) di bumi dengan
orang yang membuat kerusakan di sana dan menumpahkan darah?” Menurut Abduh,
pertanyaan dan pernyataan ini lahir dari dua kemungkinan kuat. Pertama, dari adanya
pemahaman malaikat yang sudah terbentuk tentang beberapa hal, yakni tentang makna
khalifah, tentang kebutuhan manusia kepada ilmu yang tanpa batas dan keinginan
yang bebas, tentang ketiadaan penguasaan ilmu akan membawa kepada perilaku
hasad, serta tentang adanya pertumpahan darah oleh makhluk sebelumnya. Kedua,
karena Allah tidak memberikan ilmu yang luas kepada malaikat sehingga ada sisi-sisi
ketidaktahuan mereka. Ini mirip dengan prinsip pada manusia bahwa ‘setiap manusia
mengetahui satu ilmu maka dia akan menyadari kebodohannya sendiri dan akan
semakin terlihat pula kekurangan akalnya.’ Jadi, dialog Allah dan Malaikat itu
memberikan bukti bahwa hanya Allah yang maha mengetahui tentang segala hikmah
dan rahasia, termasuk ketika menjadikan manusia sebagai khalifah. Sebab kemampuan
malaikat, ilmu dan perbuatan mereka berbeda dengan perbuatan manusia yang serba
keterbatasan.
Abduh, mengemukakan faedah di balik kisah di dalam Al-Quran tentang dialog
antara malaikat dan Allah, yaitu: Pertama, Allah dengan segala kemuliaan-Nya
memperkenankan hamba-Nya untuk bertanya tentang hikmah ciptaan-Nya yang tidak
mereka ketahui. Ketika seseorang sedang kagum, pertanyaannya bisa saja
diekspresikan dengan kata-kata dan bisa pula melalui perbuatan serta dengan sikap
serius. Dialog antara malaikat dan Allah pada kisah Adam ini adalah salah satu cara
Allah untuk mengajarkan kepada manusia tentang metode di dalam menimba ilmu
yang belum diketahuinya. Kedua, jika rahasia dan hikmah Allah tidak diketahui oleh
malaikat, maka tentu saja manusia lebih tidak bisa mengetahuinya. Ketiga,
Sesungguhnya ketika Allah berfirman kepada para malaikat yang di saat itu mereka
heran atas kekhalifahan Adam, lalu Allah menjawab pertanyaan mereka, semua itu
bertujuan untuk menegakkan dalil bahwa apapun perintah-Nya harus tunduk dan
patuh.
Pada pembahasan selanjutnya, Abduh membicarakan perihal manusia yang
dijadikan Allah sebagai khalifah. Manusia memang lemah dalam pandangan Abduh,
lemahnya manusia dapat berubah menjadi makhluk yang kuat. Manusia lahir sebagai
10
makhluk yang mengetahui mana yang berguna dan mana yang berbahaya. Dalam
waktu tertentu kemampuannya bertambah, meskipun ketika lahir ia hanya bisa
menangis, melalui perkembangannya ia mampu berusaha dan menaklukkan alam ini.
Itulah yang dinamakan dengan kekuatan akal, manusia bisa mempunyai karya dalam
mengelola alam ini. Manusia memang layak dijadikan Allah sebagai khalifah.
Menurut Abduh, manusia dengan segala potensinya bisa bermanfaat di alam ini.
Manusia diberi Allah potensi-potensi dan hukum-hukum alam agar mengetahui
rahasia ciptaan dan kekuasaan-Nya di bumi. Allah pun memberi manusia hukum-
hukum syariat untuk membatasi perbuatan dan akhlak mereka agar antara satu
individu dan kelompok tidak saling menganiaya, melainkan saling membantu guna
mencapai kesempurnaan. Justru itulah manusia dijadikan Allah sebagai khalifah-Nya
di bumi, sebagai ahsanu ttaqwim.
صدقِ ْي َن
ِ
Artinya: Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian
Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku
nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!” (QS. Al-Baqarah [2]:31).
Maksud dari ayat ini menurut Abduh adalah bahwa Allah menempatkan dalam
diri Adam ilmu tentang segala sesuatu, melalui suatu pengajaran terhadap nama-nama
benda.
Dari ayat tersebut Adam mengungkapkannya kepada mereka (malaikat). Nah disini
menurut Abduh, bahwa Adam menyebutkan kepada malaikat tentang kumpulan
sesuatu (benda). Menyampaikan kepada para malaikat semua benda-benda itu dan
menanyakannya kembali kepada mereka untuk menunjukkannya, ternyata malaikat
tidak mampu. Inilah yang disebut ta`jiz (membungkam lawan) yang dilakukan Allah
terhadap malaikat.
Makna ayat; Sampaikanlah kepada-Ku nama-nama (sesuatu) ini, menurut
Abduh tujuannya adalah untuk menunjukkan sejauh mana pengetahuan malaikat
11
tentang benda-benda yang ditunjukkan kepada mereka, sesuai akhir ayat; jika kamu
yang benar. Maksudnya; jika malaikat heran dan merasa aneh dengan adanya khalifah
di bumi dari jenis manusia, maka mereka diuji Allah untuk menyampaikan nama-nama
yang sudah diberikan Adam tersebut. Malaikat ternyata hanya mampu menjawab:
“Mahasuci Engkau” Dari ungkapan malaikat demikian berarti mereka mengakui
bahwa Allah itu Mahamulia karena ilmu-Nya yang tak terbatas, sedangkan ilmu
mereka terbatas.
Menurut Abduh, makna sesungguhnya dari semua pernyataan, tanya jawab dan
diskusi antara malaikat dan Allah dalam kisah ini, tetap diserahkan kepada Allah 14.
Dari data-data yang sudah dikemukakan, terlihat bahwa metode atau langkah tafsir
yang digunakan atau sumber-sumber interprestasi yang digunakan Abduh dalam
menafsirkan kisah Adam pada QS. Al-Baqarah ayat 30-31 ini, konsisten dengan
prinsip yang dianutnya. Dalam hal ini, simpulan besar yang bisa dicatat adalah:
Pertama, Abduh dari tinjauan metode tafsirnya, terbukti lebih cenderung untuk
mengambil makna literal ayat, seraya menyerahkan makna sesungguhnya kepada
Allah atau menyatakan bahwa makna ayat sudah jelas dan lalu menyatakan ‘kita’
hanya bisa mengambil hikmahnya. Abduh mengajak pembaca untuk mengambil
pelajaran atau hikmah dari kisah, tanpa menjelaskan maksud ayat secara detail. Ia
tidak mau menggunakan takwil atau menggunakan sumber penafsiran lain yang
lemah.
Kedua, sebagai mufassir yang dikenal menggunakan corak tafsir al-adabi
ijtima’I, terlihat sikap dan metode serta penafsiran Abduh tentang kisah Adam cukup
konsisten pada analisa segi-segi ketelitian redaksional ayat, berupaya mengungkap
kandungan ayat dengan sederhana dalam suatu redaksi yang padat, menonjolkan
tujuan utama AlQuran sebagai petunjuk. Abduh sudah mulai menekankan kajian kisah
sebagai sumber pelajaran. Selain itu, Abduh juga menegaskan kisah Adam di dalam
Al-Quran tidak bisa disamakan dengan kisah di dalam Taurat dan Injil.
Ketiga, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orientasi tafsir Abduh dalam
menafsirkan kisah Adam dalam QS.al-Baqarah: 30-31 ini memang sudah mulai
terfokus kepada upaya untuk mengungkap ‘ibrah dan meluruskan pemahaman yang
dianggapnya menyalahi zahir ayat dan tujuan hidayah Al-Quran. Kajian ini
menunjukkan bahwa Abduh dalam menafsirkan kisah Adam ini sudah fokus kepada
hikmah atau `ibrah.
J. Analisis
Dari penafsirannya terhadap Al-Qur’an, Muhammad Abduh mengunakaan
corak al-adab al ijtima’i atau yang sering kita sebut dengan tafsir yang berorientasi
terhadap sastra, budaya dan kemasyarakatan. Selanjutnya mengenai mazhab fiqih atau
aliran kalam beliau tidak terpengaruh kepada mazhab tertentu. Mengenai metode yang
digunakan Muhammad Abduh adalah tahlili yang disini mengabarkan jika beliau
menafsirkan suatu ayat banyak aspek yang dikaji dan dikaitkan.
13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun yang melatarbelakangi Abduh dan Ridha untuk menuliskan tafsirnya
yaitu berawal dari ketidakpuasan dan kegelisahan Abduh yang selama ini menilai tafsir
dengan sangat gersang dan kaku, karena penafsirnya hanya mengarahkan pada
pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab. Inilah yang membuat
Abduh tergugah keinginannya untuk menafsirkan Al-Quran yang sesuai dengan
konteks zaman yang dialaminya.
Sebelumnya Muhammad Abduh bersama Rasyid Ridha mendirikan majalah
yang diberi nama Al-Manar. Yang mana ini berawal dari penafsiran-penafsiran Abduh
yang disampaikan dalam kajiannya di Masjid Al-Azhar Kairo dalam bentuk ceramah.
M. Rasyid Ridha pun mencatat point-point penting ceramah yang disampaikan Abduh
dan kemudian dikembangkannya. Untuk menyebarluaskan pemikiran dari gurunya itu,
Ridha tidak hanya menulis dalam majalah al-Manar yang diterbitkannya saja, tetapi
juga menulis tafsir Al-Qur’an yang memang dilatarbelakangi oleh keinginan Rasyid
Ridha untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang menyelesaikan masalah sosial
budaya dan agama.
Adapun metode yang digunakan di dalam Tafsir Al-Manar yaitu metode tahlili.
Dan sistematika penulisannya menggunakan tartib mushafi. Yang bisa kita lihat pada
penafsirannya berurutan dari surah Al-Fatihah-An-Nas. Sedangkan corak yang
digunakan yaitu Adabi Ijtima’i.
B. Saran
Dalam penulisan ini masih banyak sekali kekurangan-kekurangan dalam
penulisan dan penelitian. Oleh karena itu saran penulis kepada pembaca agar
melakukan penelitian lebih lanjut lagi. Karena tulisan ini tidak hanya yang terdapat
disini, masih banyak yang belum dikaji. Oleh karena itu, demi kesempurnaan penulisan
ini dan untuk menambah wawasan pengetahuan, alangkah baiknya diadakan penelitian
lebih lanjut. Oleh karena itu hanya kritik dan saran dari para pembacalah yang akan
menilai kapasitas penulisan ini. Terakhir semoga makalah ini bermanfaat dan
memberikan sedikit pengetahuan untuk penulis khususnya dan para pembaca
umumnya. Aamiin…
13
DAFTAR PUSTAKA
Athaillah, A. 2016. Rasyid Ridha Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar.
Jakarta: Erlangga.
Bisri, Khasan. 2021. Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar Karya
Lingkarkalam, 2020. Buku Pintar Al-Qur’an: Segala Hal yang Perlu Kita Ketahui
Muaz, Abdullah, dkk. 2020. Khazanah Mufassir Nusantara. Jakarta: Program Studi
Hasanah, U. 2015. Model dan Karakteristik Penafsiran Muhammad Abduh dan Rasyid
Rida dalam Tafsir Al-Manar. Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. 9 (2): 322.
Junaidi, M. 2021. Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Rasyid
Rida. Jurnal Studi Keagamaan, Pendidikan dan Humaniora. 8 (1): 158
14