Anda di halaman 1dari 15

NO BUTIR REFLEKSI RESPON/JAWABAN

A. Al-Asmā al-Husnā: Allah, al-Rahmān dan al-Mālik


1. Pengertian Al-Asmā Al-Husnā
Nama-nama Allah yang Indah atau Al-Asmā al-
Husnā (‫ ) ْسل ُءح ْس َألنى اَأل ْس َأل ُءا‬secara bahasa terdiri dari dua suku
kata, yaitu al-asmā dan al-husnā. Kata asmā merupakan
bentuk jamak dari mufrad (tunggal) ism yang berarti nama
diri atau lafẓun yu‟ayyinu syakhṣan au ḥayawānan au
syaian (nama diri seseorang, binatang, atau sesuatu),
sedangkan al-husnā berarti yang paling bagus, baik,
cantik, jadi secara bahasa al-Asmā' al- Ḥusnā berarti
nama-nama yang terbaik. Namun secara langsung, Atabik
Ali dan Zuhdi Muhdlor dalam Kamus Kontemporer Arab
Indonesia mengartikan al-Asmā' al-Ḥusnā dengan nama-
nama Allah yang berjumlah 99 (sembilanpuluh Sembilan).
Istilah ini diambil dari beberapa ayat al-Qur‟an yang
menegaskan bahwa Allah mempunyai berbagai nama
yang terbaik, melalui nama itu, umat Islam bisa
mengetahui keagungan Allah dan menyeru dengan nama-
nama tersebut ketika berdo‟a atau mengharap kepada-
Nya. Selain itu, kata al-ḥusnā menunjukkan bahwa nama-
nama yang disandang Allah menunjukkan sifat-sifat yang
amat sempurna dan tidak sedikitpun tercemar dengan
Peta Konsep (Beberapa kekurangan. Sebagai contoh, bagi manusia kekuatan
1 istilah dan definisi) di modul diperoleh melalui sesuatu yang bersifat materi seperti
bidang studi otot-otot yang berfungsi dengan baik, dengan kata lain
manusia membutuhkan hal tersebut untuk memiliki
kekuatan, dengan meneladani Allah Yang Maha Kuat (al-
Qawiyyu).
Berkenaan dengan jumlah bilangan al-Asmā' al-
Ḥusnā, para ulama yang merujuk kepada al-Qur‟an
mempunyai hitungan yang berbeda-beda. Sebagaimana
dijelaskan oleh Pakar Tafsir dari Indonesia, Muhammad
Quraish Shihab, bahwa al-Thabathabai dalam tafsirnya Al-
Mīzān menyatakan bahwa jumlah al-Asmā' al-Ḥusnā itu
ada sebanyak 127 (seratus dua puluh tujuh) nama. Ibnu
Barjam al-Andalusi lebih sedikit banyak dari al-
Thabathabai menyebutkan dalam karyanya Syarh al-
Asmā' Al-Husnā dengan menghimpun 132 nama populer
yang termasuk dalam al-Asmā' al-Husnā. Al-Qurthubi
dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ia menghimpun
dalam bukunya Al-Kitab al-Asna fī Syarh al-Asmā' al-
Husnā, hingga mencapai lebih dari dua ratus nama, baik
yang sudah disepakati, maupun yang masih
diperselisihkan dan yang bersumber dari ulama-ulama
sebelumnya. Adapun Riwayat yang populer menyebutkan
bahwa bilangan al-Asmā' al-Ḥusnā adalah sembilan puluh
sembilan.
2. Konsep Al-Asmā' Al-Husnā Tentang Allah
Sebagian ulama Islam berpendapat bahwa kata
Allah (‫ )هللا‬berasal dari kata al-Ilāh. Kata al-Ilāh (‫ ) إله‬berarti
menyembah (‫)عبد‬. Kata al-Ilāh juga dapat diderivasi dari
kata alih (‫ )أله‬yang berarti ketenangan (‫) كن‬, kekhawatiran
(‫ )فزع‬dan rasa cinta yang mendalam (‫)ولع‬. Ketiga makna
kata alih (‫ ) أله‬mengarah kepada makna keharusan untuk
tunduk dan mengagungkan.
Selain itu, kata Allah bisa dilacak dari kata ilāhun
terdiri atas tiga huruf: hamzah, lam, ha, sebagai pecahan
dari kata laha –yalihu– laihan, yang berarti Tuhan yang
Maha Pelindung, Maha Perkasa. Ilāhun, jamaknya
ālihatun, bentuk kata kerjanya adalah alaha, yang artinya
sama dengan „abada, yaitu „mengabdi‟. Dengan demikian
ilāhun artinya sama dengan ma‟budun, „yang diabdi‟.
Lawannya adalah „abdun, „yang mengabdi‟, atau hamba
atau budak. Dalam kamus besar bahasa Arab Lisān Al-
„Arab karya Ibn Manzhur, kata kata ilāhun masih umum,
ketika ditambah dengan lam ma„rifah, maka menjadi Al-
ilāhun yang tiada lain adalah Allah Swt, yaitu zat yang
disembah oleh semua selain-Nya, jamaknya ālihatun.
Dengan demikian ilāhun artinya sama dengan ma‟budun,
„yang diabdi. Quraish Shihab mengatakan kata Ilāh (‫) إله‬
disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad,
ilāhaini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan ālihah dalam
bentuk jamak disebut ulang sebanyak 34 kali. Kata ilāh
(tanpa dhamir) dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 80
kali.
Kata pertama yang dicatat sejarah dalam
pengekspresian ketuhanan adalah kata ilāhah (‫) إالهة‬. Kata
ini merupakan nama bagi dewa matahari yang disembah
oleh masyarakat Arab. Kata ilāhah (‫ ) إالهة‬selanjutnya
digunakan untuk mengekspresikan sifat-sifat matahari.
Salah satunya adalah kata ulāhah (‫ ) الهة‬yang berarti terik
matahari yang panas. Kata ilāhah (‫ ) إالهة‬juga tidak lepas
dari makna keagungan, ketundukan dan bahkan
penyembahan. Sebagaimana dicatat oleh Ibnu Manzhur
bahwa masyarakat menamakan matahari dengan ilāhah
(‫ ) إالهة‬karena mereka menyembah dan mengagungkan
matahari. Dapat disimpulkan bahwa kata ilāh (‫ ) إله‬pada
awalnya berasal dari kata wilāh (‫) واله‬, yang berarti
ketundukan, pengagungan, dan ungkapan penghambaan.
Selanjutnya dari kata wilāh (‫ ) واله‬diderivasikanlah kata
ilāhah (‫ ) إالهة‬yang menjadi nama bagi dewa matahari.
Nama dari dewa matahari tersebut selanjutnya berevolusi
menjadi kata Allah. Menurut Ahmad Husnan, kata Ilāh
yang berbentuk kata Allah mempunyai arti mengherankan
atau menakjubkan, karena segala perbuatan/ciptaan-Nya
menakjubkan atau karena bila dibahas hakikat-Nya, akan
mengherankan akibat ketidaktahuan makhluk tentang
hakikat zat yang Maha Agung itu. Apapun yang terlintas di
dalam benak menyangkut hakikat zat Allah, maka Allah
tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat yang
menyatakan, “Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah
dan jangan berpikir tentang zat-Nya”.
Dalam pandangan Quraish Shihab kata Allah ‫هللا‬,
terulang dalam al-Quran sebanyak 2.698 kali. Ada yang
berpendapat bahwa kata "Allah" disebutkan lebih dari
2679 kali dalam al-Quran. Sedangkan kata "Tuhan" dalam
bahasa Arab adalah Ilāh (‫ ) إله‬disebut ulang sebanyak 111
kali dalam bentuk mufrad, ilāhaini dalam bentuk tatsniyah
2 kali dan ālihah dalam bentuk jama' disebut ulang
sebanyak 34 kali. Hal ini juga menjadi refleksi dari tauhid
Uluhiyah dimana kita mengesakan Allah dengan ibadah,
dimana tidak menjadi hamba bagi selain-Nya, tidak
menyembah malaikat, nabi, wali, bapak-ibu, kita tidak
menyembah kecuali Allah semata. Ibadah kepada Allah
berpijak kepada dua hal, yaitu cinta dan pengagungan.
Dengan kecintaan akan memunculkan keinginan untuk
melaksanakan dan pengagungan akan timbul rasa takut
dan khawatir akan dicampakkan, dihinakan dan disiksa-
Nya. Kata “Allah” merupakan nama Tuhan yang paling
agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan
keagungan Tuhan. Kata Allah merupakan ekspresi
ketuhanan yang paling tinggi dalam Islam, selain
bermakna kemuliaan dan keagungan, kata tersebut juga
mensyaratkan bahwa kata Allah mewajibkan seluruh
bentuk kemuliaan dan menegasikan segala bentuk
kekurangan, kata Allah juga merupakan nama bagi zat
yang wajib wujud yang berhak untuk mendapatkan segala
bentuk pujian. Sedangkan kata ahad merupakan sifat bagi
ketunggulan yang senantiasa abadi dalam keesaannya.
Allah Subhanahu wa Ta‟ala sebagai Tuhan Yang
Maha Esa merupakan titik lokus utama ajaran agama
Islam dalam segala aspeknya, termasuk akidah dan
kalam atau teologi. Oleh karenanya tidaklah berlebihan,
jika khususnya umat Islam Indonesia wajib menjaga
Konstitusi Pancasila. Karena semua sila yang terkandung
dalam Pancasila selaras dengan ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Qur‟an dan Hadis Rasulullah,
terutama Sila Kesatu, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Konsep Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi
setiap agama yang ada, tak terkecuali dengan Islam. Dari
konsep Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa tersebut,
lahirlah konsep-konsep Islamic worldview yang lain,
seperti; konsep tentang wahyu, konsep kenabian, konsep
tentang Mu‟jizat, konsep alam, konsep manusia, konsep
kehidupan, konsep penciptaan, konsep ilmu, dan konsep-
konsep yang lainnya. Dikarenakan begitu sentralnya
konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan mengenai
agama apapun, tidak akan terlepas dari pemahaman
konsep Tuhan. Tuhan diartikan oleh Kamus Besar Bahasa
Indonesia dengan pengertian sebagai sesuatu yang
diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai
Yang Mahakuasa, Mahaperkasa, dan sebagainya.
Konsepsi teologi Islam tentang ketuhanan terangkum
dalam QS. al-Nās/114: 1-3:

Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang


memelihara dan menguasai) manusia; Raja manusia;
Sembahan manusia (QS. al-Nas/114: 1-3).
Berdasarkan penjelasan dalil naqli di atas, konsep
ketuhanan dalam teologi Islam dikenal dengan tiga istilah,
yaitu: Rab (Pemelihara), Malik (Raja), dan Ilāh
(Sesembahan). Kesemua sebutan tersebut untuk
menyebut Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah Subhanahu
wa Ta‟ala. Kata "Allah" dalam al-Qur'an terulang
sebanyak 2697 kali. Belum lagi kata-kata semacam
wahid, ahad, al-Rabb, Al-Ilāh atau kalimat yang menafikan
adanya sekutu bagi-Nya dalam perbuatan atau wewenang
menetapkan hukum atatu kewajaran beribadah kepada
selain-Nya serta penegasian lain yang semuanya
mengarah kepada penjelesan tentang tauhid. Menurut
konsep Islam Tuhan adalah Zat yang Maha Tinggi Yang
Nyata dan Esa. Ia adalah Pencipta yang Maha Kuasa dan
Maha Tahu. Dia abadi yang menentukan takdir dan hakim
semesta Alam, Tuhan dikonseptualisasikan sebagai Yang
Tunggal dan Maha Kuasa, hal ini tercantum dalam surat
Q.S. Al-Ihlas Menurut Maulana Muhammad Ali, Islamolog
asal Lahore Pakistan, kata nama Allah merupakan isim
jamid, tak digubah dari perkataan lain.
Konsep Tuhan dalam Islam bersifat “haq”. Bukan
Istilah nama Allah sebagai nama Tuhan, sangat jelas
identik dengan konsep ketuhanan dalam Islam. Tidak ada
agama lain, kecuali Islam yang tegas dan jelas serta
sepakat menggunakan nama Lafadz Allah untuk
menyebut nama Tuhan mereka. Karena tidak terdapat
problem dalam penyebutan nama Tuhannya, maka
dimana pun, kapan pun, dan siapapun, umat Islam akan
selalu menyebut Tuhannya dengan “Allah”. Hal ini
dikarenakan nama Tuhan dalam Islam ditetapkan
berdasarkan sumber yang utama, wahyu al-Qur‟an, dan
bukan berdasarkan tradisi ataupun budaya, ataupun
konsensus (konsili). Karena itu, umat Islam tidak
mengalami perselisihan tentang nama Tuhan. Dan soal
nama Tuhan tersebut sudah final sejak awal, yaitu Tuhan
umat Islam adalah Allah Yang Maha Esa tiada berbilang.
Allah SWT, merupakan kata agung (Lafadz al-
Jalalah), nama diri (Ism Al-Dzat) Tuhan, nama esensi dan
totalitas-Nya. Kata itu tersusun dari empat huruf, yaitu ‫هللا‬.
Jika huruf pertama, alif dihilangkan, tiga huruf lainnya
merupakan simbol alam semesta, wujud, yang mencakup
alam nyata (dunia) dan langit gaib di atas cakrawala
bintang gemilang; alam kubur (barzakh) dan surga; akhirat
(akhirah). Huruf pertama, alif, merupakan smuber segala
sesuatu, dan huruf terakhir, ha (Dia), adalah sifat Allah
yang paling sempurna, Yang Mahasuci dari semua
sekutu.
Menurut informasi al-Qur‟an, sebutan yang benar
bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan
“Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi
melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini
berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul
Adam di muka bumi. Esa menurut al-Qura‟n adalah esa
yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari
bagian-bagian dan tidak pula dapat dibagi menjadi
bagian-bagian. Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak
dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain.
Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat
La ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah sebagai
prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya.
Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari
al-Qur‟an memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai
kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain
Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik
menjalani kehidupan.
Dalam kaitannya penyebutan Allah sebagai
sebutan Tuhan, kaum musyrik Quraisy dan kaum Yahudi
bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Tuhannya
mengutusnya membawa Risalah Islam. Mereka meminta
beliau menerangkan Tuhannya serta menyebut kan
nasab-Nya. Maka Allah SWT pun mengutus Jibril as.
Dengan membawa surah al-Ikhlash (At-Tauhid). Dalam
surah itu Allah swt berbicara kepada Rasul-Nya dengan
menggunakan kalimat perintah: “Katakanlah: "Dia-lah
Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada
beranak dan tidak pula diperanakkan.”
Surah al-Ikhlash ini berisi sebagian al-„asmā al-
husnā. Pengertian “Allah Ahad‟ adalah Allah itu satu, tak
ada sekutu bagi-Nya, dan tak ada yang setara dengan-
Nya. Ibnu Abbas dan sekelompok mufassir al-Qur‟an
berkomentar bahwa pengertian Allah Ahad adalah Allah
itu satu, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.
Sebagian filsuf Arab, di antaranya Ibnu Sina, berpendapat
bahwa pengertian „Allah Ahad‟‟ adalah bahwa Allah itu
satu (sendiri) dalam ketuhanan-Nya dan keterdahuluan-
Nya, serta tidak ada sesuatupun yang menyertai-Nya
dalam sifat-sifat wajib-Nya. Dia wajib bersifat ada dan
mengetahui segala sesuatu, hidup namun tidak akan mati,
mengubah namun tidak pernah berubah. Menurut
sebagian pakar bahasa, Allah SWT Berfirman, Qul huwa
Allahu Ahad, bukan Qul huwa Allahu Wahīd, karena kata
Wahīd termasuk kategori bilangan sehingga sangat
mungkin yang lainnya juga masuk ke dalamnya. Adapun
kata Ahad tidak dapat dibagi lagi, baik dalam Zat-Nya
maupun pengertian sifat-sifat-Nya.
Kata rabb menunjukkan adanya pemaknaan
mengenai tauhid Rububiyah dimana adanya unsur
mengesakan Allah Swt, dalam mencipta, menguasai, dan
mengatur alam semesta (Q.S: Al-Zumar: 62; al-Fathir: 3;
al-Mulk: 1; al-A‟raf: 54). Menurut Ibnu Qoyyim
konsekuensi Rububiyah adalah adanya perintah dan
larangan kepada hamba, membalas yang berbuat baik
dengan kebaikan, serta menghukum yang jahat atas
kejahatannya. Rabb adalah"Tuhan Sang Maha Pencipta",
yang meciptakan keseluruhan alam ini tidak hanya
sekedar menciptakan tetapi juga di maksudkan sebagai "
Sang Maha Pemelihara". Dan juga setiap kejadian tidak
lepas dari kekuasaan-Nya sebagai" Sang Maha
Pengatur". Dari sisi pengakuan, tidak hanya kaum
muslimin yang mengakui adanya Rabb. Banyak orang di
dunia barat tidak secara formal beragama tetapi mereka
mengakui adanya "Dia" Tuhan Yang Maha Pencipta.

3. Konsep Al-Asmā' Al-Husnā Tentang Al-Rahmān dan Al-


Rahīm
Kata al-Rahmān (‫ ) الرخمن‬berasal dari kata Rahīma
(‫ ) رخيم‬yang artinya menyayangi atau mengasihi yang
terdiri dari huruf Rā, Hā, dan Mim, yang mengandung
makna kelemahlembutan, kasih sayang, dan kehalusan.
Di dalam al-Qur‟an kata al-Rahmān terulang sebanyak 57
kali, sedangkan al-Rahīm (‫ ) لرخيم‬sebanyak 95 kali. Apa
arti al-Rahmān? Dalam bahasa Inggris, seringkali kata
yang digunakan untuk menerjemahkan al-Rahmān adalah
merciful atau benefactory. Namun ada yang perlu kita
pahami, bahwa kedua kata tersebut tidak bisa untuk
secara sempurna menggantikan makna kata al-Rahmān.
Mercy itu maknanya kasih yang diberikan ketika
seseorang melakukan suatu kesalahan, padahal al-
Rahmān itu tidak hanya diberikan setelah seseorang
melakukan kesalahan. Lalu kata benefactory sendiri,
hampir tidak pernah dipakai di keseharian, padahal
seharusnya terjemahan membuat kita lebih paham. Al-
Rahmān salah satunya berasal dari akar kata al-Rahm,
saat seorang perempuan hamil, tempat janin bayinya
disebut dengan rahim. Disebut rahim karena janin
tersebut dirawat, dilindungi, disayangi dalam berbagai hal.
Hubungan sang ibu dan sang bayi kurang lebih seperti ini:
1) Apakah bayi tersebut mengenal/tahu ibunya? Tidak. 2)
Apakah bayi tersebut sudah punya rasa cinta/sayang ke
ibunya? Tidak. 3)Apakah ibunya sudah memperhatikan,
melindungi dan merawat bayinya? Yes, in every way. The
entire life of the child is taken care of by the mother. Dan
bayi tersebut tidak tahu sama sekali bahwa ia sangat
disayangi, bahwa ibunya mau melakukan banyak hal
untuk bayinya, juga melindunginya dari setiap bahaya.
Kata rahim tersebut melahirkan kata al-Rahmān.
Seseorang yang memiliki rahmah, adalah seseorang yang
memiliki rasa kasih sayang kepadamu (have compassion
towards you), seseorang yang lembut dan mempermudah
dirimu (want to be soft and easy with you). Ada saat-saat
dimana kita akan mempertanyakan kasih sayang Allah
kepada kita. Saat itu, mungkin adalah hari berat dalam
hidup kita, saat itu, mungkin iman kita sedang begitu
rendah. Saat itu, mungkin juga kamu perlu lagi menengok
makna al-Rahmān, mencoba berbaik sangka dan
memikirkan kasih sayang dalam bentuk apa yang Allah
sedang berikan kepada kita, juga memikirkan betapa
banyak hal buruk yang bisa terjadi pada kita, namun Allah
menjaga kita dari hal-hal tersebut.
Lafaz al-Rahmān dan al-Rahīm keduanya
merupakan isim yang berakar dari bentuk masdar al-
Rahmān dengan maksud mubalagah; lafaz al-Rahmān
lebih balig (kuat) daripada lafaz al-Rahīm. Di dalam
ungkapan Ibnu Jarir terkandung pengertian yang
menunjukkan adanya riwayat yang menyatakan
kesepakatan ulama atas hal ini. Di dalam kitab tafsir
sebagian ulama Salaf terdapat keterangan yang
menunjukkan kepada pengertian tersebut, seperti yang
telah disebutkan di dalam asar mengenai kisah Nabi Isa
a.s. Disebutkan bahwa dia pernah mengatakan, " al-
Rahmān artinya Yang Maha Pemurah di dunia dan di
akhirat, sedangkan al-Rahīm artinya Yang Maha
Penyayang di akhirat." Sebagian di antara mereka
(ulama) ada yang menduga bahwa lafaz ini tidak ber-
musytaq; karena seandainya ber-musytaq, niscaya tidak
dihubungkan dengan sebutan subyek yang
dibelaskasihani.

4. Konsep Al-Asmā' Al-Husnā Tentang Al-Malik


Setelah al-Rabb, maka sifat Allah yang menyusul
adalah al-Malik (‫) ل لك‬, yang secara umum diartikan raja
atau penguasa. Penempatan susunannya seperti ini
sejalan dengan penempatannya dengan sekian banyak
ayat al-Qur'an, antara lain pada surah al-Fatihah dan
surah al-Hasyar. Oleh karena rahmat yang dicurahkan
Allah kepada hamba-hambaNya dan yang dilukiskan
dengan kata Raḥmān itu disebabkan karena Dia juga
Raḥīm, memiliki sifat Raḥmān yang melekat pada diriNya.
Namun siapa yang memiliki sifat rahmat, belum tentu
memiliki sifat kekuasaan dan hanya Allah yang memiliki
yakni memiliki kekuasaan dan kerajaan serta kepemilikan.
Kata "Malik" mengandung arti penguasaan terhadap
sesuatu disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan
keshahihannya. Kata "Malik" yang biasa diterjemahkan
raja adalah yang menguasai dan menangani perintah dan
larangan, anugerah dan pencabutan. Karena itu, biasanya
kerajaan terarah kepada manusia, tidak kepada barang
yang sifatya tidak dapat menerima perintah dan larangan.
Salah satu kata "Malik" dalam al-Qur'an adalah yang
terdapat dalam surah al-Nās, yakni "Malik al-nās" (Raja
manusia).
Dalam Al-Qur'an, tanda-tanda kepemilikan
kerajaan adalah kehadiran banyak pihak kepadaNya
untuk bermohon agar dipenuhi kebutuhannya atau untuk
menyampaikan persoalan-persoalan besar agar dapat
tertanggulangi. Allah SWT melukiskan betapa Yang Maha
Kuasa itu melayani kebutuhan makhlukNya. Sebagaimana
yang difirmankan dalam al-Qur'an: "Setiap yang di langit
dan di bumi bermohon kepadaNya. Setiap saat dia dalam
kesibukan (memenuhi kebutuhan mereka) (QS. al-
Rahmān ayat 29). Kata "Malik" terdiri dari tiga huruf yakni
Mim, Lam, dan Ka. Yang rangkaiannya mengandung
makna kekuatan dan keshahihan. Kata Malik pada
mulanya berarti ikatan dan penguatan. Kata Malik terulang
di dalam al-Qur'an sebanyak 5 (lima) kali, dua di
antaranya dirangkaikan dengan kata "hak" dalam arti yang
"pasti dan sempurna," yaitu terdapat dalam surah Thaha
ayat 114 dan surah al-Mukminun ayat 122, “Dan adapun
kerajaan Allah mencakup kerajaan lagit dan bumi.” Allah
berfirman dalam surah al-Zukhruf ayat 85: "Maha suci
Allah yang milik-Nya kerajaan/kekuasaan langit dan bumi
dan apa yang ada diantara keduanya. Disisi-Nya
pengetahuan tentang kiamat dan hanya kepada-Nya
kamu di kembalikan". Demikian pula Allah juga pemilik
kerajaan akhirat, hal tersebut terdapat dalam surah al-
an'am ayat 73 dan surah al-Hajj ayat 56: "Dan milikNya
kerajaan/kekuasaan pada hari ditiup sangkakala "
"Kerajaan pada hari itu (kiamat) adalah milik Allah".
Imam Al-Gazali menjelaskan arti "Malik" yang
berarti raja yang merupakan salah satu nama Asmaul
Husna dengan menyatakan bahwa "Malik" adalah yang
tidak butuh pada zat dan sifat-Nya segala yang wujud,
bahkan Dia adalah yang butuh kepadaNya segala sesuatu
yang menyangkut segala sesuatu, baik pada zatNya,
sifatNya, wujudNya dan kesinambungan eksistensinya.
Bahkan wujud segala sesuatu, bersumber dari-Nya, atau
dari sesuatu bersumber dari-Nya. maka segala sesuatu
selain-Nya menjadi milikNya dalam zat dan sifatnya dan
membutuhkanNya. Demikianlah itu raja yang mutlak".
Disini terlihat perbedaan antara "Malik" yang berarti "Raja"
dan "Maalik" yang diartikan "pemilik". Seseorang pemilik
belum tentu menjadi raja, sebaliknya pemilikan seorang
raja biasanya melebihi pemilikan pemilik yang bukan raja.
Oleh karenanya, Allah adalah raja sekaligus pemilik.
Kepemilikan Allah berbeda dengan kepemilikan
makhluk/manusia. Allah swt berwewenang penuh untuk
melakukan apa saja terhdap apa yang dimilikiNya.

B. Mukjizat, Karomah dan Sihir


1. Konsep Tentang Mukjizat
Terma mukjizat berasal dari Bahasa Arab yang
telah dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu al-
Mu‟jizat (‫) ل عجزة‬. Al-mu‟jizat adalah bentuk kata mu‟annas
(female) dari kata mudhakkar (male) al-mu‟jiz. Al-mu‟jiz
adalah isim fā‟il (nama atau sebutan untuk pelaku) dari
kata kerja (fi‟l) a‟jaza (‫) أعجز‬. Kata ini terambil dari akar
kata „ajaza-yu‟jizu-ajzan wa „ajuzan wa ma‟jizan wa
ma‟jizatan/ma‟jazatan ( ‫– و عجز – وعجوز – عجز – يعجز – عجز‬
‫) و عجزة‬, yang secara harfiah antara lain berarti lemah,
tidak mampu, tidak berdaya, tidak sanggup, tidak dapat
(tidak bias), dan tidak kuasa. Al-„ajzu adalah lawan dari
kata al-qudrah yang berarti sanggup, mampu, atau kuasa.
Jadi, al-„ajzu berarti tidak mampu alias tidak berdaya.
Dalam pada itu, istilah mu‟jiz atau mu‟jizat lazim diartikan
dengan al‟ajib (‫) لعجيب‬, maksudnya sesuatu yang ajaib
(menakjubkan atau mengherankan) karena orang atau
pihak lain tidak ada yang sanggup menanding atau
menyamai sesuatu itu. Juga sering diartikan dengan
amrun khāriqun lil-„ādah (‫) للع دة خ رق أ ر‬, yakni sesuatu
yang menyalahi tradisi.
Dalam al-Qur‟an, kata a‟jaza dalam berbagai
bentuk (derivasinya) terulang sebanyak 26 kali dalam 21
surat dan 25 ayat. Dan kata „ajaza dalam al-Qur‟an
digunakan untuk beberapa pengertian, di antaranya “tidak
mampu” seperti terdapat dalam QS. Al-Māidah/5: 31 dan
QS. Al-Jin/72: 12:

“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak


menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya
(Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat
saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa
aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu
aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu
jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.”
Berdasarkan definisi mukjizat di atas, dapat
dikemukakan tiga unsur pokok mukjizat yaitu:
a. Unsur utama dan pertama mukjizat ialah harus
menyalahi tradisi atau adat kebiasaan (khariqun lil
„adah). Sesuatu (mukjizat) yang tidak menyalahi
tradisi, atau kejadiannya sesuai dengan kebiasaan
yang umum atau bahkan lazim berlaku, tidak dapat
dikatakan mukjizat.
b. Unsur pokok kedua dari mukjizat ialah bahwa mukjizat
harus dibarengi dengan perlawanan. Maksudnya,
mukjizat harus diuji dengan melalui pertandingan atau
perlawanan sebagaimana layaknya sebuah
pertandingan.
c. Mukjizat itu tak terkalahkan. Unsur ketiga dari suatu
mukjizat adalah bahwa mukjizat itu setelah dilakukan
perlawanan terhadapnya, ternyata tidak terkalahkan
untuk selama-lamanya.
Mukjizat sendiri dibagi menjadi dua bagian pokok
yaitu: mukjizat yang bersifat material indriawi lagi tidak
kekal, dan mukjizat material, logis, lagi dapat dibuktikan
sepanjang masa. Mukjizat nabi-nabi terdahulu
kesemuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka
bersifat material dan indriawi dalam arti keluarbiasaan
tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat
indara oleh masyarakat tempat nabi tersebut
menyampaikan risalahnya. Contohnya, perahu Nabi Nuh
as yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu
bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang
demikian dahsyat, tidak terbakarnya Nabi Ibrahim as
dalam kobaran api yang sangat besar; tongkat Nabi Musa
as yang beralih wujud menjadi ular, penyembuhan yang
dilakukan oleh Nabi „Isa almasih atas izin Allah, dan lain-
lain.
Kesemuanya bersifat material indiriawi, sekaligus
terbatas pada lokasi tempat Nabi tersebut berada, dan
berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Ini
berbada dengan mukjizat Nabi Muhammad saw. yang
sifatnya bukan indirawi atau meterial, namun dapat
dipahami oleh akal. Karena sifatnya yang demikian, ia
tidak dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu.
Mukjizat Al-Qur‟an dapat dijangkau oleh setiap orang yang
mengunakan akalnya di manapun dan kapan pun.
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok.
Pertama, para nabi sebelum Nabi Muhammad saw,
ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena
itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan
masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini
berbeda dengan Nabi Muhammad Saw. yang diutus untuk
seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti
kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan pada
setiap orang yang ragu di manapun dan kapanpun
mereka berada. Jika demikian halnya, tentu mukjizat
tersebut tidak mungkin bersifat meterial, karena
kematerialan membatasi ruang dan waktunya. Kedua,
manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya.
Sedangkan fungsi mukjizat sendiri adalah sebagai bukti
kebenaran para nabi. Keluarbiasaan yang tampak atau
terjadi melalui mereka itu diibaratkan sebagai ucapan
Tuhan: “Apa yang dinyatakan sang nabi adalah benar. Dia
adalah utusan-Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan
mukjizat itu.”

2. Konsep Tentang Karomah


Karomah sesungguhnya merupakan istilah yang
tidak asing bagi umat muslim, dimana karomah ini
merupakan bagian dari agama Islam. Oleh karena hal
tersebut, maka Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah mempercayai
adanya karomah yang dimana karomah ini datangnya dari
sisi Allah. Karomah ini, mau tidak mau akan membentuk
kharisma seseorang di mata umat. Islam mengakui
tentang konsep karomah. Karomah untuk kiai dan wali
sesungguhnya memanglah ada dan diperbolehkan. Hal ini
dikarenakan karomah dianggap sebagai kejadian yang
bersifat asumtif dan datang bukan dengan tujuan untuk
merusak akidah. Selain itu, Allah menciptakan karomah
adalah untuk kekasih-kekasih-Nya.
Salah satu keyakinan tentang Ahlus Sunnah Wal
Jama‟ah adalah yakin atau percaya sepenuhnya akan
adanya karomah, yang dimana karomah ini datang dari
sisi Allah. Karomah pada dasarnya merupakan suatu hal
yang dianggap bertentangan dengan adat kebiasaan
manusia pada umumnya, dan karomah ini hanya
diberikan kepada hamba-hamba Allah yang sholeh.
Menurut Syekh Akbar Muhammad Fathurahman, karomah
adalah pemberian dari Allah Swt. dalam bentuk
pertolongan-Nya yang diberikan kepada seseorang yang
membela agama Allah. Sifat Karomah adalah kejadian di
luar batas kemampuan manusia pada umumnnya atau
keluar dari kebiasaan pada umumnnya. Karomah
merupakan bagian dari Mawahib (anugerah) Allah yang
didapat tanpa melalui proses usaha juga terjadi hanya
sesekali saja.
Karamah berasal dari bahasa arab ‫ كرم‬berarti
kemuliaan, keluhuran, dan anugerah. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia yang mengistilahkan karomah
dengan keramat diartikan suci dan dapat mengadakan
sesuatu diluar kemampuan manusia biasa karena
ketaqwaanya kepada Tuhan. Menurut ulama sufi,
karamah berarti keadaan luar biasa yang diberikan Allah
SWT kepada para wali-Nya. Wali ialah orang yang
beriman, bertakwa, dan beramal shaleh kepada Allah
SWT. Ulama‟ sufi meyakini bahwa para wali mempunyai
keistimewaan, misalnya kemampuan melihat hal-hal ghaib
yang tidak dimiliki oleh manusia umumnya. Allah SWT
dapat memberi karamah kepada orang beriman, takwa,
dan beramal shaleh menurut kehendaknya. Misalnya,
Kejadian yang Dialami Seorang Ahli Ilmu pada masa Nabi
Sulaiman a.s. Ketika Nabi Sulaiman a.s. sedang duduk di
hadapan dengan para tentaranya yang terdiri atas
manusia, hewan, dan jin, beliau meminta kepada mereka
mendatangkan singgasana Ratu Bulqis. Ada seorang
yang berilmu berkata kepada Nabi Sulaiman a.s. menurut
sebuah keterangan, orang yang berilmu itu bernama Asif.
Perkataan orang berilmu tersebut diabadikan Allah SWT
dalam firman-Nya Q. S. an-Naml: 40,

“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al


Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu
sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman
melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun
berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku
apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-
Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka
sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya
sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka
sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.
Selain itu, kejadian yang Dialami Maryam binti
Imran, Nabi Zakaria a.s. menemukan makanan setiap
hadir di mihrab Maryam binti Imran. Allah berfirman dalam
Q.S. Ali Imran:

“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar)


dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan
pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria
pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui
Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria
berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh
(makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi
Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa
yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.”
Peristiwa yang disaksikan Nabi Zakaria a.s.
merupakan karamah yang dianugerahkan Allah SWT
kepada maryam binti Imran. Allah SWT mentakdirkan
bahwa pengasuh Maryam adalah pamannya sendiri, yakni
Nabi Zakaria a.s. Karomah memang identik dengan hal-
hal yang tidak masuk nalar. Akan tetapi ia adalah nyata
dan haqq, seperti halnya mukjizat para nabi. Bedanya, jika
mukjizat disertai dengan pengakuan kenabian
(nubuwwah), pada karomah hal itu tidak ada. Karomah ini
oleh Allah diberikan kepada para wali yang benar-benar
beriman dan bertakwa hanya kepada Allah.
Pengertian dari karomah itu sendiri menurut Abul
Qasim al-Qusyairi yaitu karomah merupakan suatu
aktivitas yang dianggap sebagai hal yang bertentangan
dengan adat kebiasaan manusia pada umumnya, yaitu
dapat juga dianggap sebagai realitas sifat wali-wali Allah
tentang sebuah makna kebenaran dalam situasi yang
dianggap kurang baik. Karomah ini juga dapat dianggap
sebagai hal yang sangat luar biasa yang diberikan oleh
Allah kepada kekasih-kekasih pilihanNya. Sedangkan
menurut Syeck Ibrahim Al Bajuri dalam kitabnya
dijelaskan bahwa karomah adalah sesuatu luar biasa
yang tampak dari kekuasaan seorang hamba yang telah
jelas kebaikannya yang diteyapkan karena adanya
ketekunan didalam mengikuti syariat nabi.
Selanjutnya, sebagian ciri-ciri seorang hamba
yang memiliki karomah diantaranya yaitu: (1) tidak
memiliki doa-doa khusus sebagai suatu bacaan; (2)
karomah hanya terjadi pada seorang yang sholeh; (3)
seseorang yang memiliki karomah tidak pernah secara
sengaja mengaku-ngaku bahwa dirinya memiliki karomah.
Maksud atau tujuan dari pemberian karomah tersebut
kepada para wali ialah: (1) dapat lebih meningkatkan
keimanan kepada Allah; (2) masyarakat menjadi lebih
percaya kepada seorang wali Allah, yang senantiasa
meneruskan perjuangan nabi Muhammad SAW; dan (3)
karomah merupakan bukti nyata meninggikan derajat
seorang wali agar dirinya selalu tetap istiqomah di jalan
Allah.

3. Konsepsi Tentang Sihir


Sihir dalam bahasa Arab tersusun dari huruf ‫ر‬, ‫ح‬,
‫( س‬siin, ha, dan ra), yang secara bahasa bermakna
segala sesuatu yang sebabnya nampak samar. Oleh
karenanya kita mengenal istilah „waktu sahur‟ yang
memiliki akar kata yang sama, yaitu siin, ha dan ra, yang
artinya waktu ketika segala sesuatu nampak samar dan
remang-remang. Seorang pakar bahasa, al-Azhari
mengatakan bahwa, “Akar kata sihir maknanya adalah
memalingkan sesuatu dari hakikatnya. Maka ketika ada
seorang menampakkan keburukan dengan tampilan
kebaikan dan menampilkan sesuatu dalam tampilan yang
tidak senyatanya maka dikatakan dia telah menyihir
sesuatu”.
Para ulama memiliki pendapat yang beraneka
ragam dalam memaknai kata „sihir‟ secara istilah.
Sebagian ulama mengatakan bahwa sihir adalah benar-
benar terjadi „riil‟, dan memiliki hakikat. Artinya, sihir
memiliki pengaruh yang benar-benar terjadi dan dirasakan
oleh orang yang terkena sihir. Ibnul Qudamah
rahimahullah mengatakan, “Sihir adalah jampi atau
mantra yang memberikan pengaruh baik secara zhohir
maupun batin, semisal membuat orang lain menjadi sakit,
atau bahkan membunuhnya, memisahkan pasangan
suami istri, atau membuat istri orang lain mencintai
dirinya.” Namun ada ulama lain yang menjelaskan bahwa
sihir hanyalah pengelabuan dan tipuan mata semata,
tanpa ada hakikatnya. Sebagaimana dikatakan oleh Abu
Bakr Ar Rozi, “(Sihir) adalah segala sesuatu yang
sebabnya samar dan bersifat mengalabui, tanpa adanya
hakikat, dan terjadi sebagaimana muslihat dan tipu daya
semata.”
Al-Laits mengatakan, Sihir adalah suatu perbuatan
yang dapat mendekatkan diri kepada syaitan dengan
bantuannya. Al-Azhari mengemukakan, Dasar pokok sihir
adalah memalingkan sesuatu dari hakikat yang
sebenarnya kepada yang lainnya. Ibnu Manzur berkata:
Seakan-akan tukang sihir memperlihatkan kebathilan
dalam wujud kebenaran dan menggambarkan sesuatu
tidak seperti hakikat yang sebenarnya. Dengan demikian,
dia telah menyihir sesuatu dari hakikat yang sebenarnya
atau memalingkannya. Syamir meriwayatkan dari Ibnu
Aisyah, dia mengatakan bahwa orang Arab menyebut sihir
itu dengan kata as-Sihr karena ia menghilangkan
kesehatan menjadi sakit.
Ibnu Faris mengemukakan, Sihir berarti
menampakkan kebathilan dalam wujud kebenaran. Di
dalam kitab al-Mu‟jamul Wasīth disebutkan bahwa sihir
adalah sesuatu yang dilakukan secara lembut dan sangat
terselubung. Sedangkan di dalam kitab Muhīthul Muhīth
disebutkan, sihir adalah tindakan memperlihatkan sesuatu
dengan penampilan yang paling bagus, sehingga bisa
menipu manusia. Fakhruddin ar-Razi mengemukakan,
menurut istilah Syari‟at, sihir hanya khusus berkenaan
dengan segala sesuatu yang sebabnya tidak terlihat dan
digambarkan tidak seperti hakikat yang sebenarnya, serta
berlangsung melalui tipu daya.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi mengatakan, Sihir
adalah ikatan-ikatan, jampi-jampi, perkataan yang
dilontarkan secara lisan maupun tulisan, atau melakukan
sesuatu yang mempengaruhi badan, hati atau akal orang
yang terkena sihir tanpa berinteraksi langsung
dengannya. Sihir ini mempunyai hakikat, diantaranya ada
yang bisa mematikan, membuat sakit, membuat seorang
suami tidak dapat mencampuri istrinya atau memisahkan
pasangan suami istri, atau membuat salah satu pihak
membenci lainnya atau membuat kedua belah pihak
saling mencintainya. Ibnul Qayyim mengungkapkan, Sihir
adalah gabungan dari berbagai pengaruh ruh-ruh jahat,
serta interaksi berbagai kekuatan alam dengannya. Dapat
disimpulkan bahwa Sihir adalah kesepakatan antara
tukang sihir dan syaitan dengan ketentuan bahwa tukang
sihir akan melakukan berbagai keharaman atau kesyirikan
dengan imbalan pemberian pertolongan syaitan
kepadanya dan ketaatan untuk melakukan apa saja yang
dimintanya.
Di antara tukang sihir itu ada yang menempelkan
mushhaf di kedua kakinya, kemudian ia memasuki WC.
Ada yang menulis ayat-ayat al-Qur‟an dengan kotoran.
Ada juga yang menulis ayat-ayat al-Qur‟an dengan
menggunakan darah haid. Juga ada yang menulis ayat-
ayat al-Qur‟an di kedua telapak kakinya. Ada juga yang
menulis Surat al-Faatihah terbalik. Juga ada yang
mengerjakan sholat tanpa berwudhu‟. Ada yang tetap
dalam keadaan junub terus-menerus. Serta ada yang
menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada
syaitan dengan dengan tidak menyebut nama Allah pada
saat menyembelih, lalu membuang sembelihan itu ke
suatu tempat yang telah ditentukan syaitan. Dan ada juga
yang berbicara dengan binatang-binatang dan bersujud
kepadanya. Serta ada juga yang menulis mantra dengan
lafazh-lafazh yang mengandung berbagai makna
kekufuran.
Dari sini, tampak jelas oleh kita bahwa jin itu tidak
akan membantu dan tidak juga mengabdi kepada seorang
penyihir kecuali dengan memberikan imbalan. Setiap kali
seorang penyihir meningkatkan kekufuran, maka syaitan
akan lebih taat kepadanya dan lebih cepat melaksanakan
perintahnya. Dan jika tukang sihir tidak sungguh-sungguh
melaksanakan berbagai hal yang bersifat kufur yang
diperintahkan syaitan, maka syaitan akan menolak
mengabdi kepadanya serta menentang perintahnya.
Dengan demikian, tukang sihir dan syaitan merupakan
teman setia yang bertemu dalam rangka perbuatan
kemaksitan kepada Allah.

1. Ibnu al-„Arabi (560-638 H) menyebut dan membedakan


Tuhan yang dipercayai manusia saat ini meliputi “Tuhan
kepercayaan” (ilāh al-mu‟taqad), “Tuhan yang dipercayai”
Daftar materi bidang studi
(al-ilāh al-mu‟taqad), “Tuhan dalam kepercayaan” (al- ilāh fī
2 yang sulit dipahami pada
al-i‟tiqad) “Tuhan Kepercayaan” (al-haqq al-i‟tiqad), Tuhan
modul
yang dalam kepercayaan” (al-haqq al-ladzī fī al-mu‟taqad)
dan “Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan” (al-haqq a-
Makhlūq fī al-i‟tiqad).

1. Orang-orang awam juga berkeyakinan bahwa wali itu adalah


orang yang sudah tidak lagi menjalankan syariat agama,
karena sudah mencapai level teratas dalam agama. Jadi
Daftar materi yang sering mereka orang yang dianggap wali, sudah tidak wajib lagi
3 mengalami miskonsepsi shalat, tidak wajib puasa, tidak wajib menutup aurat, boleh
dalam pembelajaran minum khamr, zina, mencuri, dll. Padahal manusia yang
paling bertaqwa kepada Allah ta‟ala, wali yang paling wali,
Rasulullah Shallallahu‟alaihi Wasallam, tidak pernah
meninggalkan syariat bahkan sampai akhir hidupnya.

Anda mungkin juga menyukai