A. Al-Asmā al-Husnā: Allah, al-Rahmān dan al-Mālik
1. Pengertian Al-Asmā Al-Husnā Nama-nama Allah yang Indah atau Al-Asmā al- Husnā ( ) ْسل ُءح ْس َألنى اَأل ْس َأل ُءاsecara bahasa terdiri dari dua suku kata, yaitu al-asmā dan al-husnā. Kata asmā merupakan bentuk jamak dari mufrad (tunggal) ism yang berarti nama diri atau lafẓun yu‟ayyinu syakhṣan au ḥayawānan au syaian (nama diri seseorang, binatang, atau sesuatu), sedangkan al-husnā berarti yang paling bagus, baik, cantik, jadi secara bahasa al-Asmā' al- Ḥusnā berarti nama-nama yang terbaik. Namun secara langsung, Atabik Ali dan Zuhdi Muhdlor dalam Kamus Kontemporer Arab Indonesia mengartikan al-Asmā' al-Ḥusnā dengan nama- nama Allah yang berjumlah 99 (sembilanpuluh Sembilan). Istilah ini diambil dari beberapa ayat al-Qur‟an yang menegaskan bahwa Allah mempunyai berbagai nama yang terbaik, melalui nama itu, umat Islam bisa mengetahui keagungan Allah dan menyeru dengan nama- nama tersebut ketika berdo‟a atau mengharap kepada- Nya. Selain itu, kata al-ḥusnā menunjukkan bahwa nama- nama yang disandang Allah menunjukkan sifat-sifat yang amat sempurna dan tidak sedikitpun tercemar dengan Peta Konsep (Beberapa kekurangan. Sebagai contoh, bagi manusia kekuatan 1 istilah dan definisi) di modul diperoleh melalui sesuatu yang bersifat materi seperti bidang studi otot-otot yang berfungsi dengan baik, dengan kata lain manusia membutuhkan hal tersebut untuk memiliki kekuatan, dengan meneladani Allah Yang Maha Kuat (al- Qawiyyu). Berkenaan dengan jumlah bilangan al-Asmā' al- Ḥusnā, para ulama yang merujuk kepada al-Qur‟an mempunyai hitungan yang berbeda-beda. Sebagaimana dijelaskan oleh Pakar Tafsir dari Indonesia, Muhammad Quraish Shihab, bahwa al-Thabathabai dalam tafsirnya Al- Mīzān menyatakan bahwa jumlah al-Asmā' al-Ḥusnā itu ada sebanyak 127 (seratus dua puluh tujuh) nama. Ibnu Barjam al-Andalusi lebih sedikit banyak dari al- Thabathabai menyebutkan dalam karyanya Syarh al- Asmā' Al-Husnā dengan menghimpun 132 nama populer yang termasuk dalam al-Asmā' al-Husnā. Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ia menghimpun dalam bukunya Al-Kitab al-Asna fī Syarh al-Asmā' al- Husnā, hingga mencapai lebih dari dua ratus nama, baik yang sudah disepakati, maupun yang masih diperselisihkan dan yang bersumber dari ulama-ulama sebelumnya. Adapun Riwayat yang populer menyebutkan bahwa bilangan al-Asmā' al-Ḥusnā adalah sembilan puluh sembilan. 2. Konsep Al-Asmā' Al-Husnā Tentang Allah Sebagian ulama Islam berpendapat bahwa kata Allah ( )هللاberasal dari kata al-Ilāh. Kata al-Ilāh ( ) إلهberarti menyembah ()عبد. Kata al-Ilāh juga dapat diderivasi dari kata alih ( )ألهyang berarti ketenangan () كن, kekhawatiran ( )فزعdan rasa cinta yang mendalam ()ولع. Ketiga makna kata alih ( ) ألهmengarah kepada makna keharusan untuk tunduk dan mengagungkan. Selain itu, kata Allah bisa dilacak dari kata ilāhun terdiri atas tiga huruf: hamzah, lam, ha, sebagai pecahan dari kata laha –yalihu– laihan, yang berarti Tuhan yang Maha Pelindung, Maha Perkasa. Ilāhun, jamaknya ālihatun, bentuk kata kerjanya adalah alaha, yang artinya sama dengan „abada, yaitu „mengabdi‟. Dengan demikian ilāhun artinya sama dengan ma‟budun, „yang diabdi‟. Lawannya adalah „abdun, „yang mengabdi‟, atau hamba atau budak. Dalam kamus besar bahasa Arab Lisān Al- „Arab karya Ibn Manzhur, kata kata ilāhun masih umum, ketika ditambah dengan lam ma„rifah, maka menjadi Al- ilāhun yang tiada lain adalah Allah Swt, yaitu zat yang disembah oleh semua selain-Nya, jamaknya ālihatun. Dengan demikian ilāhun artinya sama dengan ma‟budun, „yang diabdi. Quraish Shihab mengatakan kata Ilāh () إله disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilāhaini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan ālihah dalam bentuk jamak disebut ulang sebanyak 34 kali. Kata ilāh (tanpa dhamir) dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 80 kali. Kata pertama yang dicatat sejarah dalam pengekspresian ketuhanan adalah kata ilāhah () إالهة. Kata ini merupakan nama bagi dewa matahari yang disembah oleh masyarakat Arab. Kata ilāhah ( ) إالهةselanjutnya digunakan untuk mengekspresikan sifat-sifat matahari. Salah satunya adalah kata ulāhah ( ) الهةyang berarti terik matahari yang panas. Kata ilāhah ( ) إالهةjuga tidak lepas dari makna keagungan, ketundukan dan bahkan penyembahan. Sebagaimana dicatat oleh Ibnu Manzhur bahwa masyarakat menamakan matahari dengan ilāhah ( ) إالهةkarena mereka menyembah dan mengagungkan matahari. Dapat disimpulkan bahwa kata ilāh ( ) إلهpada awalnya berasal dari kata wilāh () واله, yang berarti ketundukan, pengagungan, dan ungkapan penghambaan. Selanjutnya dari kata wilāh ( ) والهdiderivasikanlah kata ilāhah ( ) إالهةyang menjadi nama bagi dewa matahari. Nama dari dewa matahari tersebut selanjutnya berevolusi menjadi kata Allah. Menurut Ahmad Husnan, kata Ilāh yang berbentuk kata Allah mempunyai arti mengherankan atau menakjubkan, karena segala perbuatan/ciptaan-Nya menakjubkan atau karena bila dibahas hakikat-Nya, akan mengherankan akibat ketidaktahuan makhluk tentang hakikat zat yang Maha Agung itu. Apapun yang terlintas di dalam benak menyangkut hakikat zat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan, “Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir tentang zat-Nya”. Dalam pandangan Quraish Shihab kata Allah هللا, terulang dalam al-Quran sebanyak 2.698 kali. Ada yang berpendapat bahwa kata "Allah" disebutkan lebih dari 2679 kali dalam al-Quran. Sedangkan kata "Tuhan" dalam bahasa Arab adalah Ilāh ( ) إلهdisebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilāhaini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan ālihah dalam bentuk jama' disebut ulang sebanyak 34 kali. Hal ini juga menjadi refleksi dari tauhid Uluhiyah dimana kita mengesakan Allah dengan ibadah, dimana tidak menjadi hamba bagi selain-Nya, tidak menyembah malaikat, nabi, wali, bapak-ibu, kita tidak menyembah kecuali Allah semata. Ibadah kepada Allah berpijak kepada dua hal, yaitu cinta dan pengagungan. Dengan kecintaan akan memunculkan keinginan untuk melaksanakan dan pengagungan akan timbul rasa takut dan khawatir akan dicampakkan, dihinakan dan disiksa- Nya. Kata “Allah” merupakan nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan Tuhan. Kata Allah merupakan ekspresi ketuhanan yang paling tinggi dalam Islam, selain bermakna kemuliaan dan keagungan, kata tersebut juga mensyaratkan bahwa kata Allah mewajibkan seluruh bentuk kemuliaan dan menegasikan segala bentuk kekurangan, kata Allah juga merupakan nama bagi zat yang wajib wujud yang berhak untuk mendapatkan segala bentuk pujian. Sedangkan kata ahad merupakan sifat bagi ketunggulan yang senantiasa abadi dalam keesaannya. Allah Subhanahu wa Ta‟ala sebagai Tuhan Yang Maha Esa merupakan titik lokus utama ajaran agama Islam dalam segala aspeknya, termasuk akidah dan kalam atau teologi. Oleh karenanya tidaklah berlebihan, jika khususnya umat Islam Indonesia wajib menjaga Konstitusi Pancasila. Karena semua sila yang terkandung dalam Pancasila selaras dengan ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur‟an dan Hadis Rasulullah, terutama Sila Kesatu, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Konsep Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi setiap agama yang ada, tak terkecuali dengan Islam. Dari konsep Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa tersebut, lahirlah konsep-konsep Islamic worldview yang lain, seperti; konsep tentang wahyu, konsep kenabian, konsep tentang Mu‟jizat, konsep alam, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep penciptaan, konsep ilmu, dan konsep- konsep yang lainnya. Dikarenakan begitu sentralnya konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan mengenai agama apapun, tidak akan terlepas dari pemahaman konsep Tuhan. Tuhan diartikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan pengertian sebagai sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai Yang Mahakuasa, Mahaperkasa, dan sebagainya. Konsepsi teologi Islam tentang ketuhanan terangkum dalam QS. al-Nās/114: 1-3:
Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang
memelihara dan menguasai) manusia; Raja manusia; Sembahan manusia (QS. al-Nas/114: 1-3). Berdasarkan penjelasan dalil naqli di atas, konsep ketuhanan dalam teologi Islam dikenal dengan tiga istilah, yaitu: Rab (Pemelihara), Malik (Raja), dan Ilāh (Sesembahan). Kesemua sebutan tersebut untuk menyebut Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Kata "Allah" dalam al-Qur'an terulang sebanyak 2697 kali. Belum lagi kata-kata semacam wahid, ahad, al-Rabb, Al-Ilāh atau kalimat yang menafikan adanya sekutu bagi-Nya dalam perbuatan atau wewenang menetapkan hukum atatu kewajaran beribadah kepada selain-Nya serta penegasian lain yang semuanya mengarah kepada penjelesan tentang tauhid. Menurut konsep Islam Tuhan adalah Zat yang Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa. Ia adalah Pencipta yang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Dia abadi yang menentukan takdir dan hakim semesta Alam, Tuhan dikonseptualisasikan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa, hal ini tercantum dalam surat Q.S. Al-Ihlas Menurut Maulana Muhammad Ali, Islamolog asal Lahore Pakistan, kata nama Allah merupakan isim jamid, tak digubah dari perkataan lain. Konsep Tuhan dalam Islam bersifat “haq”. Bukan Istilah nama Allah sebagai nama Tuhan, sangat jelas identik dengan konsep ketuhanan dalam Islam. Tidak ada agama lain, kecuali Islam yang tegas dan jelas serta sepakat menggunakan nama Lafadz Allah untuk menyebut nama Tuhan mereka. Karena tidak terdapat problem dalam penyebutan nama Tuhannya, maka dimana pun, kapan pun, dan siapapun, umat Islam akan selalu menyebut Tuhannya dengan “Allah”. Hal ini dikarenakan nama Tuhan dalam Islam ditetapkan berdasarkan sumber yang utama, wahyu al-Qur‟an, dan bukan berdasarkan tradisi ataupun budaya, ataupun konsensus (konsili). Karena itu, umat Islam tidak mengalami perselisihan tentang nama Tuhan. Dan soal nama Tuhan tersebut sudah final sejak awal, yaitu Tuhan umat Islam adalah Allah Yang Maha Esa tiada berbilang. Allah SWT, merupakan kata agung (Lafadz al- Jalalah), nama diri (Ism Al-Dzat) Tuhan, nama esensi dan totalitas-Nya. Kata itu tersusun dari empat huruf, yaitu هللا. Jika huruf pertama, alif dihilangkan, tiga huruf lainnya merupakan simbol alam semesta, wujud, yang mencakup alam nyata (dunia) dan langit gaib di atas cakrawala bintang gemilang; alam kubur (barzakh) dan surga; akhirat (akhirah). Huruf pertama, alif, merupakan smuber segala sesuatu, dan huruf terakhir, ha (Dia), adalah sifat Allah yang paling sempurna, Yang Mahasuci dari semua sekutu. Menurut informasi al-Qur‟an, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Qura‟n adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagian dan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian. Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya. Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari al-Qur‟an memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan. Dalam kaitannya penyebutan Allah sebagai sebutan Tuhan, kaum musyrik Quraisy dan kaum Yahudi bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Tuhannya mengutusnya membawa Risalah Islam. Mereka meminta beliau menerangkan Tuhannya serta menyebut kan nasab-Nya. Maka Allah SWT pun mengutus Jibril as. Dengan membawa surah al-Ikhlash (At-Tauhid). Dalam surah itu Allah swt berbicara kepada Rasul-Nya dengan menggunakan kalimat perintah: “Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.” Surah al-Ikhlash ini berisi sebagian al-„asmā al- husnā. Pengertian “Allah Ahad‟ adalah Allah itu satu, tak ada sekutu bagi-Nya, dan tak ada yang setara dengan- Nya. Ibnu Abbas dan sekelompok mufassir al-Qur‟an berkomentar bahwa pengertian Allah Ahad adalah Allah itu satu, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Sebagian filsuf Arab, di antaranya Ibnu Sina, berpendapat bahwa pengertian „Allah Ahad‟‟ adalah bahwa Allah itu satu (sendiri) dalam ketuhanan-Nya dan keterdahuluan- Nya, serta tidak ada sesuatupun yang menyertai-Nya dalam sifat-sifat wajib-Nya. Dia wajib bersifat ada dan mengetahui segala sesuatu, hidup namun tidak akan mati, mengubah namun tidak pernah berubah. Menurut sebagian pakar bahasa, Allah SWT Berfirman, Qul huwa Allahu Ahad, bukan Qul huwa Allahu Wahīd, karena kata Wahīd termasuk kategori bilangan sehingga sangat mungkin yang lainnya juga masuk ke dalamnya. Adapun kata Ahad tidak dapat dibagi lagi, baik dalam Zat-Nya maupun pengertian sifat-sifat-Nya. Kata rabb menunjukkan adanya pemaknaan mengenai tauhid Rububiyah dimana adanya unsur mengesakan Allah Swt, dalam mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta (Q.S: Al-Zumar: 62; al-Fathir: 3; al-Mulk: 1; al-A‟raf: 54). Menurut Ibnu Qoyyim konsekuensi Rububiyah adalah adanya perintah dan larangan kepada hamba, membalas yang berbuat baik dengan kebaikan, serta menghukum yang jahat atas kejahatannya. Rabb adalah"Tuhan Sang Maha Pencipta", yang meciptakan keseluruhan alam ini tidak hanya sekedar menciptakan tetapi juga di maksudkan sebagai " Sang Maha Pemelihara". Dan juga setiap kejadian tidak lepas dari kekuasaan-Nya sebagai" Sang Maha Pengatur". Dari sisi pengakuan, tidak hanya kaum muslimin yang mengakui adanya Rabb. Banyak orang di dunia barat tidak secara formal beragama tetapi mereka mengakui adanya "Dia" Tuhan Yang Maha Pencipta.
3. Konsep Al-Asmā' Al-Husnā Tentang Al-Rahmān dan Al-
Rahīm Kata al-Rahmān ( ) الرخمنberasal dari kata Rahīma ( ) رخيمyang artinya menyayangi atau mengasihi yang terdiri dari huruf Rā, Hā, dan Mim, yang mengandung makna kelemahlembutan, kasih sayang, dan kehalusan. Di dalam al-Qur‟an kata al-Rahmān terulang sebanyak 57 kali, sedangkan al-Rahīm ( ) لرخيمsebanyak 95 kali. Apa arti al-Rahmān? Dalam bahasa Inggris, seringkali kata yang digunakan untuk menerjemahkan al-Rahmān adalah merciful atau benefactory. Namun ada yang perlu kita pahami, bahwa kedua kata tersebut tidak bisa untuk secara sempurna menggantikan makna kata al-Rahmān. Mercy itu maknanya kasih yang diberikan ketika seseorang melakukan suatu kesalahan, padahal al- Rahmān itu tidak hanya diberikan setelah seseorang melakukan kesalahan. Lalu kata benefactory sendiri, hampir tidak pernah dipakai di keseharian, padahal seharusnya terjemahan membuat kita lebih paham. Al- Rahmān salah satunya berasal dari akar kata al-Rahm, saat seorang perempuan hamil, tempat janin bayinya disebut dengan rahim. Disebut rahim karena janin tersebut dirawat, dilindungi, disayangi dalam berbagai hal. Hubungan sang ibu dan sang bayi kurang lebih seperti ini: 1) Apakah bayi tersebut mengenal/tahu ibunya? Tidak. 2) Apakah bayi tersebut sudah punya rasa cinta/sayang ke ibunya? Tidak. 3)Apakah ibunya sudah memperhatikan, melindungi dan merawat bayinya? Yes, in every way. The entire life of the child is taken care of by the mother. Dan bayi tersebut tidak tahu sama sekali bahwa ia sangat disayangi, bahwa ibunya mau melakukan banyak hal untuk bayinya, juga melindunginya dari setiap bahaya. Kata rahim tersebut melahirkan kata al-Rahmān. Seseorang yang memiliki rahmah, adalah seseorang yang memiliki rasa kasih sayang kepadamu (have compassion towards you), seseorang yang lembut dan mempermudah dirimu (want to be soft and easy with you). Ada saat-saat dimana kita akan mempertanyakan kasih sayang Allah kepada kita. Saat itu, mungkin adalah hari berat dalam hidup kita, saat itu, mungkin iman kita sedang begitu rendah. Saat itu, mungkin juga kamu perlu lagi menengok makna al-Rahmān, mencoba berbaik sangka dan memikirkan kasih sayang dalam bentuk apa yang Allah sedang berikan kepada kita, juga memikirkan betapa banyak hal buruk yang bisa terjadi pada kita, namun Allah menjaga kita dari hal-hal tersebut. Lafaz al-Rahmān dan al-Rahīm keduanya merupakan isim yang berakar dari bentuk masdar al- Rahmān dengan maksud mubalagah; lafaz al-Rahmān lebih balig (kuat) daripada lafaz al-Rahīm. Di dalam ungkapan Ibnu Jarir terkandung pengertian yang menunjukkan adanya riwayat yang menyatakan kesepakatan ulama atas hal ini. Di dalam kitab tafsir sebagian ulama Salaf terdapat keterangan yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, seperti yang telah disebutkan di dalam asar mengenai kisah Nabi Isa a.s. Disebutkan bahwa dia pernah mengatakan, " al- Rahmān artinya Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan al-Rahīm artinya Yang Maha Penyayang di akhirat." Sebagian di antara mereka (ulama) ada yang menduga bahwa lafaz ini tidak ber- musytaq; karena seandainya ber-musytaq, niscaya tidak dihubungkan dengan sebutan subyek yang dibelaskasihani.
4. Konsep Al-Asmā' Al-Husnā Tentang Al-Malik
Setelah al-Rabb, maka sifat Allah yang menyusul adalah al-Malik () ل لك, yang secara umum diartikan raja atau penguasa. Penempatan susunannya seperti ini sejalan dengan penempatannya dengan sekian banyak ayat al-Qur'an, antara lain pada surah al-Fatihah dan surah al-Hasyar. Oleh karena rahmat yang dicurahkan Allah kepada hamba-hambaNya dan yang dilukiskan dengan kata Raḥmān itu disebabkan karena Dia juga Raḥīm, memiliki sifat Raḥmān yang melekat pada diriNya. Namun siapa yang memiliki sifat rahmat, belum tentu memiliki sifat kekuasaan dan hanya Allah yang memiliki yakni memiliki kekuasaan dan kerajaan serta kepemilikan. Kata "Malik" mengandung arti penguasaan terhadap sesuatu disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya. Kata "Malik" yang biasa diterjemahkan raja adalah yang menguasai dan menangani perintah dan larangan, anugerah dan pencabutan. Karena itu, biasanya kerajaan terarah kepada manusia, tidak kepada barang yang sifatya tidak dapat menerima perintah dan larangan. Salah satu kata "Malik" dalam al-Qur'an adalah yang terdapat dalam surah al-Nās, yakni "Malik al-nās" (Raja manusia). Dalam Al-Qur'an, tanda-tanda kepemilikan kerajaan adalah kehadiran banyak pihak kepadaNya untuk bermohon agar dipenuhi kebutuhannya atau untuk menyampaikan persoalan-persoalan besar agar dapat tertanggulangi. Allah SWT melukiskan betapa Yang Maha Kuasa itu melayani kebutuhan makhlukNya. Sebagaimana yang difirmankan dalam al-Qur'an: "Setiap yang di langit dan di bumi bermohon kepadaNya. Setiap saat dia dalam kesibukan (memenuhi kebutuhan mereka) (QS. al- Rahmān ayat 29). Kata "Malik" terdiri dari tiga huruf yakni Mim, Lam, dan Ka. Yang rangkaiannya mengandung makna kekuatan dan keshahihan. Kata Malik pada mulanya berarti ikatan dan penguatan. Kata Malik terulang di dalam al-Qur'an sebanyak 5 (lima) kali, dua di antaranya dirangkaikan dengan kata "hak" dalam arti yang "pasti dan sempurna," yaitu terdapat dalam surah Thaha ayat 114 dan surah al-Mukminun ayat 122, “Dan adapun kerajaan Allah mencakup kerajaan lagit dan bumi.” Allah berfirman dalam surah al-Zukhruf ayat 85: "Maha suci Allah yang milik-Nya kerajaan/kekuasaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya. Disisi-Nya pengetahuan tentang kiamat dan hanya kepada-Nya kamu di kembalikan". Demikian pula Allah juga pemilik kerajaan akhirat, hal tersebut terdapat dalam surah al- an'am ayat 73 dan surah al-Hajj ayat 56: "Dan milikNya kerajaan/kekuasaan pada hari ditiup sangkakala " "Kerajaan pada hari itu (kiamat) adalah milik Allah". Imam Al-Gazali menjelaskan arti "Malik" yang berarti raja yang merupakan salah satu nama Asmaul Husna dengan menyatakan bahwa "Malik" adalah yang tidak butuh pada zat dan sifat-Nya segala yang wujud, bahkan Dia adalah yang butuh kepadaNya segala sesuatu yang menyangkut segala sesuatu, baik pada zatNya, sifatNya, wujudNya dan kesinambungan eksistensinya. Bahkan wujud segala sesuatu, bersumber dari-Nya, atau dari sesuatu bersumber dari-Nya. maka segala sesuatu selain-Nya menjadi milikNya dalam zat dan sifatnya dan membutuhkanNya. Demikianlah itu raja yang mutlak". Disini terlihat perbedaan antara "Malik" yang berarti "Raja" dan "Maalik" yang diartikan "pemilik". Seseorang pemilik belum tentu menjadi raja, sebaliknya pemilikan seorang raja biasanya melebihi pemilikan pemilik yang bukan raja. Oleh karenanya, Allah adalah raja sekaligus pemilik. Kepemilikan Allah berbeda dengan kepemilikan makhluk/manusia. Allah swt berwewenang penuh untuk melakukan apa saja terhdap apa yang dimilikiNya.
B. Mukjizat, Karomah dan Sihir
1. Konsep Tentang Mukjizat Terma mukjizat berasal dari Bahasa Arab yang telah dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu al- Mu‟jizat () ل عجزة. Al-mu‟jizat adalah bentuk kata mu‟annas (female) dari kata mudhakkar (male) al-mu‟jiz. Al-mu‟jiz adalah isim fā‟il (nama atau sebutan untuk pelaku) dari kata kerja (fi‟l) a‟jaza () أعجز. Kata ini terambil dari akar kata „ajaza-yu‟jizu-ajzan wa „ajuzan wa ma‟jizan wa ma‟jizatan/ma‟jazatan ( – و عجز – وعجوز – عجز – يعجز – عجز ) و عجزة, yang secara harfiah antara lain berarti lemah, tidak mampu, tidak berdaya, tidak sanggup, tidak dapat (tidak bias), dan tidak kuasa. Al-„ajzu adalah lawan dari kata al-qudrah yang berarti sanggup, mampu, atau kuasa. Jadi, al-„ajzu berarti tidak mampu alias tidak berdaya. Dalam pada itu, istilah mu‟jiz atau mu‟jizat lazim diartikan dengan al‟ajib () لعجيب, maksudnya sesuatu yang ajaib (menakjubkan atau mengherankan) karena orang atau pihak lain tidak ada yang sanggup menanding atau menyamai sesuatu itu. Juga sering diartikan dengan amrun khāriqun lil-„ādah () للع دة خ رق أ ر, yakni sesuatu yang menyalahi tradisi. Dalam al-Qur‟an, kata a‟jaza dalam berbagai bentuk (derivasinya) terulang sebanyak 26 kali dalam 21 surat dan 25 ayat. Dan kata „ajaza dalam al-Qur‟an digunakan untuk beberapa pengertian, di antaranya “tidak mampu” seperti terdapat dalam QS. Al-Māidah/5: 31 dan QS. Al-Jin/72: 12:
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak
menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.” Berdasarkan definisi mukjizat di atas, dapat dikemukakan tiga unsur pokok mukjizat yaitu: a. Unsur utama dan pertama mukjizat ialah harus menyalahi tradisi atau adat kebiasaan (khariqun lil „adah). Sesuatu (mukjizat) yang tidak menyalahi tradisi, atau kejadiannya sesuai dengan kebiasaan yang umum atau bahkan lazim berlaku, tidak dapat dikatakan mukjizat. b. Unsur pokok kedua dari mukjizat ialah bahwa mukjizat harus dibarengi dengan perlawanan. Maksudnya, mukjizat harus diuji dengan melalui pertandingan atau perlawanan sebagaimana layaknya sebuah pertandingan. c. Mukjizat itu tak terkalahkan. Unsur ketiga dari suatu mukjizat adalah bahwa mukjizat itu setelah dilakukan perlawanan terhadapnya, ternyata tidak terkalahkan untuk selama-lamanya. Mukjizat sendiri dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu: mukjizat yang bersifat material indriawi lagi tidak kekal, dan mukjizat material, logis, lagi dapat dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat nabi-nabi terdahulu kesemuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indriawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indara oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya. Contohnya, perahu Nabi Nuh as yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat, tidak terbakarnya Nabi Ibrahim as dalam kobaran api yang sangat besar; tongkat Nabi Musa as yang beralih wujud menjadi ular, penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi „Isa almasih atas izin Allah, dan lain- lain. Kesemuanya bersifat material indiriawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat Nabi tersebut berada, dan berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Ini berbada dengan mukjizat Nabi Muhammad saw. yang sifatnya bukan indirawi atau meterial, namun dapat dipahami oleh akal. Karena sifatnya yang demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat Al-Qur‟an dapat dijangkau oleh setiap orang yang mengunakan akalnya di manapun dan kapan pun. Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, para nabi sebelum Nabi Muhammad saw, ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan Nabi Muhammad Saw. yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan pada setiap orang yang ragu di manapun dan kapanpun mereka berada. Jika demikian halnya, tentu mukjizat tersebut tidak mungkin bersifat meterial, karena kematerialan membatasi ruang dan waktunya. Kedua, manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Sedangkan fungsi mukjizat sendiri adalah sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluarbiasaan yang tampak atau terjadi melalui mereka itu diibaratkan sebagai ucapan Tuhan: “Apa yang dinyatakan sang nabi adalah benar. Dia adalah utusan-Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat itu.”
2. Konsep Tentang Karomah
Karomah sesungguhnya merupakan istilah yang tidak asing bagi umat muslim, dimana karomah ini merupakan bagian dari agama Islam. Oleh karena hal tersebut, maka Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah mempercayai adanya karomah yang dimana karomah ini datangnya dari sisi Allah. Karomah ini, mau tidak mau akan membentuk kharisma seseorang di mata umat. Islam mengakui tentang konsep karomah. Karomah untuk kiai dan wali sesungguhnya memanglah ada dan diperbolehkan. Hal ini dikarenakan karomah dianggap sebagai kejadian yang bersifat asumtif dan datang bukan dengan tujuan untuk merusak akidah. Selain itu, Allah menciptakan karomah adalah untuk kekasih-kekasih-Nya. Salah satu keyakinan tentang Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah adalah yakin atau percaya sepenuhnya akan adanya karomah, yang dimana karomah ini datang dari sisi Allah. Karomah pada dasarnya merupakan suatu hal yang dianggap bertentangan dengan adat kebiasaan manusia pada umumnya, dan karomah ini hanya diberikan kepada hamba-hamba Allah yang sholeh. Menurut Syekh Akbar Muhammad Fathurahman, karomah adalah pemberian dari Allah Swt. dalam bentuk pertolongan-Nya yang diberikan kepada seseorang yang membela agama Allah. Sifat Karomah adalah kejadian di luar batas kemampuan manusia pada umumnnya atau keluar dari kebiasaan pada umumnnya. Karomah merupakan bagian dari Mawahib (anugerah) Allah yang didapat tanpa melalui proses usaha juga terjadi hanya sesekali saja. Karamah berasal dari bahasa arab كرمberarti kemuliaan, keluhuran, dan anugerah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengistilahkan karomah dengan keramat diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu diluar kemampuan manusia biasa karena ketaqwaanya kepada Tuhan. Menurut ulama sufi, karamah berarti keadaan luar biasa yang diberikan Allah SWT kepada para wali-Nya. Wali ialah orang yang beriman, bertakwa, dan beramal shaleh kepada Allah SWT. Ulama‟ sufi meyakini bahwa para wali mempunyai keistimewaan, misalnya kemampuan melihat hal-hal ghaib yang tidak dimiliki oleh manusia umumnya. Allah SWT dapat memberi karamah kepada orang beriman, takwa, dan beramal shaleh menurut kehendaknya. Misalnya, Kejadian yang Dialami Seorang Ahli Ilmu pada masa Nabi Sulaiman a.s. Ketika Nabi Sulaiman a.s. sedang duduk di hadapan dengan para tentaranya yang terdiri atas manusia, hewan, dan jin, beliau meminta kepada mereka mendatangkan singgasana Ratu Bulqis. Ada seorang yang berilmu berkata kepada Nabi Sulaiman a.s. menurut sebuah keterangan, orang yang berilmu itu bernama Asif. Perkataan orang berilmu tersebut diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya Q. S. an-Naml: 40,
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al
Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat- Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. Selain itu, kejadian yang Dialami Maryam binti Imran, Nabi Zakaria a.s. menemukan makanan setiap hadir di mihrab Maryam binti Imran. Allah berfirman dalam Q.S. Ali Imran:
“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar)
dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” Peristiwa yang disaksikan Nabi Zakaria a.s. merupakan karamah yang dianugerahkan Allah SWT kepada maryam binti Imran. Allah SWT mentakdirkan bahwa pengasuh Maryam adalah pamannya sendiri, yakni Nabi Zakaria a.s. Karomah memang identik dengan hal- hal yang tidak masuk nalar. Akan tetapi ia adalah nyata dan haqq, seperti halnya mukjizat para nabi. Bedanya, jika mukjizat disertai dengan pengakuan kenabian (nubuwwah), pada karomah hal itu tidak ada. Karomah ini oleh Allah diberikan kepada para wali yang benar-benar beriman dan bertakwa hanya kepada Allah. Pengertian dari karomah itu sendiri menurut Abul Qasim al-Qusyairi yaitu karomah merupakan suatu aktivitas yang dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan adat kebiasaan manusia pada umumnya, yaitu dapat juga dianggap sebagai realitas sifat wali-wali Allah tentang sebuah makna kebenaran dalam situasi yang dianggap kurang baik. Karomah ini juga dapat dianggap sebagai hal yang sangat luar biasa yang diberikan oleh Allah kepada kekasih-kekasih pilihanNya. Sedangkan menurut Syeck Ibrahim Al Bajuri dalam kitabnya dijelaskan bahwa karomah adalah sesuatu luar biasa yang tampak dari kekuasaan seorang hamba yang telah jelas kebaikannya yang diteyapkan karena adanya ketekunan didalam mengikuti syariat nabi. Selanjutnya, sebagian ciri-ciri seorang hamba yang memiliki karomah diantaranya yaitu: (1) tidak memiliki doa-doa khusus sebagai suatu bacaan; (2) karomah hanya terjadi pada seorang yang sholeh; (3) seseorang yang memiliki karomah tidak pernah secara sengaja mengaku-ngaku bahwa dirinya memiliki karomah. Maksud atau tujuan dari pemberian karomah tersebut kepada para wali ialah: (1) dapat lebih meningkatkan keimanan kepada Allah; (2) masyarakat menjadi lebih percaya kepada seorang wali Allah, yang senantiasa meneruskan perjuangan nabi Muhammad SAW; dan (3) karomah merupakan bukti nyata meninggikan derajat seorang wali agar dirinya selalu tetap istiqomah di jalan Allah.
3. Konsepsi Tentang Sihir
Sihir dalam bahasa Arab tersusun dari huruf ر, ح, ( سsiin, ha, dan ra), yang secara bahasa bermakna segala sesuatu yang sebabnya nampak samar. Oleh karenanya kita mengenal istilah „waktu sahur‟ yang memiliki akar kata yang sama, yaitu siin, ha dan ra, yang artinya waktu ketika segala sesuatu nampak samar dan remang-remang. Seorang pakar bahasa, al-Azhari mengatakan bahwa, “Akar kata sihir maknanya adalah memalingkan sesuatu dari hakikatnya. Maka ketika ada seorang menampakkan keburukan dengan tampilan kebaikan dan menampilkan sesuatu dalam tampilan yang tidak senyatanya maka dikatakan dia telah menyihir sesuatu”. Para ulama memiliki pendapat yang beraneka ragam dalam memaknai kata „sihir‟ secara istilah. Sebagian ulama mengatakan bahwa sihir adalah benar- benar terjadi „riil‟, dan memiliki hakikat. Artinya, sihir memiliki pengaruh yang benar-benar terjadi dan dirasakan oleh orang yang terkena sihir. Ibnul Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sihir adalah jampi atau mantra yang memberikan pengaruh baik secara zhohir maupun batin, semisal membuat orang lain menjadi sakit, atau bahkan membunuhnya, memisahkan pasangan suami istri, atau membuat istri orang lain mencintai dirinya.” Namun ada ulama lain yang menjelaskan bahwa sihir hanyalah pengelabuan dan tipuan mata semata, tanpa ada hakikatnya. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakr Ar Rozi, “(Sihir) adalah segala sesuatu yang sebabnya samar dan bersifat mengalabui, tanpa adanya hakikat, dan terjadi sebagaimana muslihat dan tipu daya semata.” Al-Laits mengatakan, Sihir adalah suatu perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada syaitan dengan bantuannya. Al-Azhari mengemukakan, Dasar pokok sihir adalah memalingkan sesuatu dari hakikat yang sebenarnya kepada yang lainnya. Ibnu Manzur berkata: Seakan-akan tukang sihir memperlihatkan kebathilan dalam wujud kebenaran dan menggambarkan sesuatu tidak seperti hakikat yang sebenarnya. Dengan demikian, dia telah menyihir sesuatu dari hakikat yang sebenarnya atau memalingkannya. Syamir meriwayatkan dari Ibnu Aisyah, dia mengatakan bahwa orang Arab menyebut sihir itu dengan kata as-Sihr karena ia menghilangkan kesehatan menjadi sakit. Ibnu Faris mengemukakan, Sihir berarti menampakkan kebathilan dalam wujud kebenaran. Di dalam kitab al-Mu‟jamul Wasīth disebutkan bahwa sihir adalah sesuatu yang dilakukan secara lembut dan sangat terselubung. Sedangkan di dalam kitab Muhīthul Muhīth disebutkan, sihir adalah tindakan memperlihatkan sesuatu dengan penampilan yang paling bagus, sehingga bisa menipu manusia. Fakhruddin ar-Razi mengemukakan, menurut istilah Syari‟at, sihir hanya khusus berkenaan dengan segala sesuatu yang sebabnya tidak terlihat dan digambarkan tidak seperti hakikat yang sebenarnya, serta berlangsung melalui tipu daya. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi mengatakan, Sihir adalah ikatan-ikatan, jampi-jampi, perkataan yang dilontarkan secara lisan maupun tulisan, atau melakukan sesuatu yang mempengaruhi badan, hati atau akal orang yang terkena sihir tanpa berinteraksi langsung dengannya. Sihir ini mempunyai hakikat, diantaranya ada yang bisa mematikan, membuat sakit, membuat seorang suami tidak dapat mencampuri istrinya atau memisahkan pasangan suami istri, atau membuat salah satu pihak membenci lainnya atau membuat kedua belah pihak saling mencintainya. Ibnul Qayyim mengungkapkan, Sihir adalah gabungan dari berbagai pengaruh ruh-ruh jahat, serta interaksi berbagai kekuatan alam dengannya. Dapat disimpulkan bahwa Sihir adalah kesepakatan antara tukang sihir dan syaitan dengan ketentuan bahwa tukang sihir akan melakukan berbagai keharaman atau kesyirikan dengan imbalan pemberian pertolongan syaitan kepadanya dan ketaatan untuk melakukan apa saja yang dimintanya. Di antara tukang sihir itu ada yang menempelkan mushhaf di kedua kakinya, kemudian ia memasuki WC. Ada yang menulis ayat-ayat al-Qur‟an dengan kotoran. Ada juga yang menulis ayat-ayat al-Qur‟an dengan menggunakan darah haid. Juga ada yang menulis ayat- ayat al-Qur‟an di kedua telapak kakinya. Ada juga yang menulis Surat al-Faatihah terbalik. Juga ada yang mengerjakan sholat tanpa berwudhu‟. Ada yang tetap dalam keadaan junub terus-menerus. Serta ada yang menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada syaitan dengan dengan tidak menyebut nama Allah pada saat menyembelih, lalu membuang sembelihan itu ke suatu tempat yang telah ditentukan syaitan. Dan ada juga yang berbicara dengan binatang-binatang dan bersujud kepadanya. Serta ada juga yang menulis mantra dengan lafazh-lafazh yang mengandung berbagai makna kekufuran. Dari sini, tampak jelas oleh kita bahwa jin itu tidak akan membantu dan tidak juga mengabdi kepada seorang penyihir kecuali dengan memberikan imbalan. Setiap kali seorang penyihir meningkatkan kekufuran, maka syaitan akan lebih taat kepadanya dan lebih cepat melaksanakan perintahnya. Dan jika tukang sihir tidak sungguh-sungguh melaksanakan berbagai hal yang bersifat kufur yang diperintahkan syaitan, maka syaitan akan menolak mengabdi kepadanya serta menentang perintahnya. Dengan demikian, tukang sihir dan syaitan merupakan teman setia yang bertemu dalam rangka perbuatan kemaksitan kepada Allah.
1. Ibnu al-„Arabi (560-638 H) menyebut dan membedakan
Tuhan yang dipercayai manusia saat ini meliputi “Tuhan kepercayaan” (ilāh al-mu‟taqad), “Tuhan yang dipercayai” Daftar materi bidang studi (al-ilāh al-mu‟taqad), “Tuhan dalam kepercayaan” (al- ilāh fī 2 yang sulit dipahami pada al-i‟tiqad) “Tuhan Kepercayaan” (al-haqq al-i‟tiqad), Tuhan modul yang dalam kepercayaan” (al-haqq al-ladzī fī al-mu‟taqad) dan “Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan” (al-haqq a- Makhlūq fī al-i‟tiqad).
1. Orang-orang awam juga berkeyakinan bahwa wali itu adalah
orang yang sudah tidak lagi menjalankan syariat agama, karena sudah mencapai level teratas dalam agama. Jadi Daftar materi yang sering mereka orang yang dianggap wali, sudah tidak wajib lagi 3 mengalami miskonsepsi shalat, tidak wajib puasa, tidak wajib menutup aurat, boleh dalam pembelajaran minum khamr, zina, mencuri, dll. Padahal manusia yang paling bertaqwa kepada Allah ta‟ala, wali yang paling wali, Rasulullah Shallallahu‟alaihi Wasallam, tidak pernah meninggalkan syariat bahkan sampai akhir hidupnya.