Anda di halaman 1dari 11

KONSEP KETUHANAN

DALAM ISLAM
Pengantar

 Topik ini berisi pembahasan tentang masalah keimanan dan pengkajian


kembali dalam masalah tersebut
 Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta
mengabdikan diri dan tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai
keutamaan yang perlu diperhatikan dan harus diutamakan dalam
menyempurnakan cabang-cabang keimanan
 Sesungguhnya amalan lahiriah berupa
ibadah mahdhah dan muamalah tidak akan mencapai kesempurnaan,
kecuali jika didasari dan diramu dengan nilai keutamaan tersebut. Sebab
nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang dalam
setiap gerak serta perilaku keseharian
 Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar, pandangan
akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam berinteraksi dengan
Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka mana yang lebih dahulu
berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya
 Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun
kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola pikir teologis yang
menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi akidah, Islam hanya
menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai ajaran
akidah yang benar dan lurus
 Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tercermin dalam aturan muamalat dan
dalam memberikan solusi serta terapi bagi persoalan yang dihadapi.
 Selain itu Islam adalah agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas
kesucian hati yang dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari dorongan
hawa nafsu, egoisme, dan sikap ingin menang sendiri.
 Agama seseorang tidak sempurna, jika kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak
disertai dengan pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman
ibarat pentingnya mata bagi orang yang sedang berjalan
Siapakah Tuhan itu?
 Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai untuk
menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya
dalam surat al-Furqan ayat 43

 25:43. Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya


sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?,

 Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya
sendiri:
 28:38. Dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan
bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat[1124] kemudian
buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan
Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-
orang pendusta."
 Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa
mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi
maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja).
Perkataan ilah dalam al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad:
ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan
nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti tentang
definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika al-Qur’an adalah sebagai
berikut:
 Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya
 Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya
yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan
kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan
mendatangkan bahaya atau kerugian
 Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
 Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya
tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal
kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan
menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (M.
Imaduddin, 1989: 56).
 Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa
berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak
mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika al-Qur’an setiap
manusia pasti mempunyai sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan demikian,
orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah
ideologi atau angan-angan (utopia) mereka
 Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat tersebut
dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan
suatu penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus
membersihkan dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya
hanya satu Tuhan yang bernama Allah.
Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
 Pemikiran barat (evolutif)
 Dinamisme
 Animisme
 Politeisme
 Henoteisme
 Monoteisme
 Pemikiran Islam (aqidah)
 Jabariyah (Ekstrim kiri)
 Qodariyah (Ekstrim kanan)
 Ahlussunnah (pertengahan)
Konsep Ketuhanan dalam Islam
 Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang
menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia
 Orang yang mematuhinya di sebut abdun (hamba)
 Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran konotasinya ada dua kemungkinan,
yaitu Allah, dan selain Allah
 Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung,
pohon, binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah
seperti dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:
 2:165. Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-
tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.
Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika
seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu[106] mengetahui ketika mereka
melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya,
dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
 Orang Kafir Quraish sudah mengenal Allah sebelum Nabi Muhammad SAW diutus
menjadi Rasulullah

 29:61. Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang
menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka
akan menjawab: "Allah", maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan
yang benar).
 Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu
berarti orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik
dinyatakan bertuhan kepada Allah jika ia telah memenuhi segala yang
dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam
Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam kehidupan
sehari-hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta, melainkan juga
pengatur alam semesta
 Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah
sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah
pernyataan lain sebagai jawaban atas perintah yang dijaukan pada surat Al-
Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus terbayang dalam kesadaran
manusia yang bertuhan Allah adalah disamping Allah sebagai Zat, juga Al-
Quran sebagai ajaran serta Rasullullah sebagai Uswah hasanah
Referensi
 1. Abdurrahim, Muhammad, Imaduddin, Kuliah Tauhid, (Jakarta: Yayasan Sari
Insan, 1989), h. 16-21, 54-56.
 2. Al-Ghazali, Muhammad Selalu Melibatkan Allah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2001), h. 28-39.
 3. Jusuf, Zaghlul, Dr, SH., Studi Islam, (Jakarta: Ikhwan, 1993), h. 26-37.
 4. Kadir, Muhammad Mahmud Abdul, Dr. Biologi Iman, (Jakarta: al-Hidayah,
1981), h. 9-11.
 5. Khan, Waheduddin, Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1983), h. 39-101.
 6. Suryana, Toto, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Tiga Mutiara, 1996), h.
67-77.
 7. Daradjat, Zakiah, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1996), h. 55-152.

Anda mungkin juga menyukai