Anda di halaman 1dari 25

TUGAS MAKALAH

KETUHAN DALAM ISLAM

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam

Dosen : Baharuddin S.Sos. I.M.A

KELOMPOK 1

Andi Nur Ilmi Batari [452206166]

Aziza Nurul Islami Abdi [4522060204]

Alia Kalsum [4522060098]

Nuramini Rukmama wanti muslimin [4522060033]

Andi Emilia rahmadana [4522060051]

Annurarifin [4522060019]

Akbar Arif Mallinrungi [4521060148]

Progam Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum

Universitas Bosowa

2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah nya sehingga kami
dapat merampungkan penyusunan makalah pendidikan Agama Islam dengan judul “Ketuhanan dalam
Islam’’ tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak,
sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan makalah ini.

Namun tidak lepas darir semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi penyusunan bahasa dan aspek lain. Oleh karna itu, dengan lapang dada kami membuka selebar
lebarnya pintu bagi para pendengar atau pembaca yang imgim memberi saran maupun kritik demi
memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini, setidaknya dapat diambil
manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pendengar untuk mengangkat
permasalahan lain yang relevan pada maklah makalah selanjutnya.

Makassar, 21 September 2022


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aspek keimanan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah aspek kejiwaan dan nilai. Aspek ini
belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek lainnya. Kecintaan kepada Allah iklas
beramal hanya karna Allah, serta mengabdikan diri dan tawakal sepenuhnya kepadanya, merupakan
nilai keutamaan yang perlu diperhatikan dan di utamakan dalam menyempurnakan cabang cabang
keimanan.
Sesungguhnya amalah lahiriyah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak akan mencapai
kesempurnaan, kecuali jika didasari dan diramu dengan nilai keutamaan tersebut.. Sebab nilai nilai
tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang dalam setiap gerak serta perilaku keseharian.
Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah dan pengaruhnya
telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak pandai membina jiwa generasi
mendatang, ‘’dengan menanamkan nilai- nilai keimanan dalam nalar,pikir dan akal budi mereka’’ . Maka
mereka tidak akan selamat dari pengaruh negative pendidikan modern. Mungkin mereka merasa ada yg
kurang dalam misi spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari sumber-sumber lain.Bila ini
terjadi ,maka perlu segera di ambil tindakan , Agar pintu spritualitas yang terbuka tidak di isi oleh ajaran
lain yang bukan berasal dari ajaran spritualitasnya.

B. Rumusan Masalah
1. Menerangkan dan membahas ketuhanan ayat yg menjeskan Aqidah dan keyakinan tentang
Allah Swt Tuhan sebagai sembahan.
2. Penjelasan terperinci tentang Ketuhanan Dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN

A. AGAMA ISLAM
Dalam konsep islam, Tuhan disebut Allah dan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi yang nyata dan
Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir dan Hakim bagi semesta
alam.
Secara etimologis kata Allah diderivasi dari kata ilah yang berarti menyembah. Kata Allah juga
dapat diderivasi dari kata alih yang berarti ketenangan, kekhawatiran dan rasa cinta yang mendalam.
Ketiga makna kata alih mengarah kepada makna keharusan untuk tunduk dan mengungkapkan.
Kata pertama yang dicatat sejarah dalam pengekspresian ketuhanan adalah kata ilahah. Kata ini
merupakan nama bagi dewa matahari yang disembah oleh masyarakat Arab. Kata ilahah selanjutnya
digunakan untuk mengekspresian sifat-sifat matahari. Salah satunya adalah ulahah yang berarti terik
matahari panas. Kata ilahah juga tidak lepas dari makna kegunaan, ketundukan dan bahkan
penyembahan. Sebagaimana dicatat oleh Ibnu Manzhur bahwa masyarakat menamakan matahari ilahah
karena mereka menyembah dan mengagungkan matahari. Dapat disimpulkan bahwa kata ilah dan kata
Allah pada awalnya berasal dari kata wilah, yang berarti ketundukan, pengagungan, dan ungkapan
penghambaan. Selanjutkan dari kata wilah diderivasikanlah kata ilahah yang menjadi nama bagi dewa
matahari. Nama dari dewa matahari tersebut selanjutnya berevolusi menjadi kata Allah. Menurut
Ahmad Husnankata ilah yang berbentuk kata Allah mempunyai arti mengherankan atau menakjubkan,
karena segala perbuatan/ciptaan-Nya menakjubkan atau karena bila dibahas hakikat-Nya akan
mengherankan akibat ketidaktahuan makhluk tentang hakikat zat yang Maha Agung itu. Apapun yang
terlintas didalam benak menyangkut hakikat zat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya
ditemukan riwayat yang menyatakan, “Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir
tentang zat-Nya”.
Betapapun terjadi perbedaan pendapat itu, namun agaknya dapat disepakati bahwa kata Allah
mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh kata lain selain-Nya; ia adalah kata yang sempurna
huruf-hurufnya, sempurna maknanya, serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya, sehingga
sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang dinamai ismullah al-A’zam (nama Allah yang
paling mulia), yang bila diucapkan dalam do’a, Allah akan mengabulkannya. Bahkan secara tegas Tuhan
yang Maha Esa itu sendiri yang menamai dirinya Allah. Seperti dalam surah Thaha ayat 14 yaitu

Artinya: Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan (yang hak) selain aku, maka sembahlah aku
dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku. (Quran surah Thaha: 14)
Dia juga dalam Al-Qur’an yang bertanya :

Artinya: Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan dia (yang patut disembah)?
Dari beberapa pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kata Allah adalah kata khusus yang
tidak dimiliki oleh kata lain selain-Nya; ia adalah kata yang sempurna huruf-hurufnya, sempurna
maknanya, serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya, karena hanya tuhan yang Maha Esa
yang wajib wujud-Nya itu yang berhak menyandang nama tersebut, selain-Nya tidak ada, bahkan tidak
boleh. Hanya dia juga yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan mutlak, sebagaimana
tidak ada nama yang lebih agung dari nama-Nya itu.

B. PENGGUNAAN KATA TUHAN DAN ALLAH DALAM AL-QURAN


1. Kata Tuhan Dalam Al-Quran
Kata Tuhan berasalah dari kata ilahum terdiriatas tiga huruf: hamzah, lam, ha, sebagai pecahan
dari kata laha –yalihu-laihan, yang berarti Tuhan yang Maha Pelindung, Maha Perkasa. Ilahun, jamaknya
alihatun, bentuk kata kerjanya adalah alaha, yang artinya sama dengan ‘abada, yaitu ‘mengabdi’.
Dengan demikian ilahun artinya sama dengan ma’budun, ‘yang diabdi’. Lawannya adalah ‘abdun’, ‘yang
mengabdi’, atau ‘hamba’, atau ‘budak’.
Dalam kamus besar Bahasa Arab Lisan Al-‘Arab karya Ibn Manzhur, kata kata ilahun masih
umum, ketika ditambah dengan lam ma’rifah maka Alilahun yang tiada lain adalah Alah Swt, yaitu zat
yang disembah oleh semua selain-Nya, jamaknya alihatun. Dengan demikian ilahun artinya sama dengan
ma’budun, ‘yang diabdi’. Quraish Shihab mengatakan kata ilah disebut ulang sebanyak 111 kali dalam
bentuk mufrad, ilahaini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan alihah dalam bentuk jamak disebut ulang
sebanyak 34 kali. Kata ilah (tanpa dhamir) dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 80 kali.
Selain ilahun, dalam Al-Quran juga terdapat kata rabbun yang digunakan untuk menyebut
Tuhan. Kata rabbun terdiri atas dua huruf: ra dan ba, adalah pecahan dari kata tarbiyah, yang artinya
Tuhan yang Maha Pengasih. Secara harfiah rabbun berarti pembimbing, atau pengendali. Selain
dimaknai Allah, kata rabbun juga digunakan untuk sebutan Tuhan selain Allah, seperti arbaban min
dunillah, menjadikan pendeta, pastur, dan Isa Al-Masih sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Tuhan (Rabb)
adalah bentuk masdar (kata kerja atas kejadian yang dibuat oleh pelaku), yang berarti “mengembangkan
sesuatu dari satu keadaan pada keadaan lain, sampai pada keadaan yang sempurna”. Jadi Rabb adalah
kata masdar yang dipinjam untuk fa’il (pelaku). Kata-kata Al-Rabb tidak disebut sendirian, kecuali untuk
Allah yang menjamin kemaslahatan seluruh makhluk, contoh dari hal ini adalah rabbal ‘alamin yaitu
Tuhan pencipta alam semesta.
Kata Rabb menunjukkan adanya pemaknaan mengenai tauhid Rububiyah dimana adanya unsur
mengesankan Allah Swt, dalam mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta (Q.S: Az-Zumar: 62;
Fathir: 3; Al-Mulk: 1; Al-A’raf: 54). Menurut Ibnu Qoyyim konsekuensi Rububiyah adalah adanya perintah
dan larangan kepada hamba, membalas yang berbuat baik dengan kebaikan, serta menghukum yang
jahat atas kejahatannya.
Dalam Al-Quran kata ilahun juga dipakai untuk menyebut berhala, hawa nafsu, dewa. Semua
istilah tersebut dalam Al-Quran menggunakan kata ilahun, jamaknya alihatun.
a. Allah Swt. menyatakan Dia sebagai ilahun

“…Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Esa, Mahasuci Allah dari mempunyai anak. Semua yang ada
di langit dan di bumi hanyalah milik-Nya. Cukuplah Allah sebagai saksi atas kebenaran keesaan-Nya” (Qs.
An-Nisaa’ 4:171)

b. Allah Swt. menyatakan hawa nafsu yang diikuti orang kafir sebagai ilahun.

“Wahai Muhammad, apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang kafir yang menuhankan hawa
nafsunya? Apakah kamu punya kekuasaan untuk memberi hidayah kepada mereka?”
(Qs. Al-Furqan, 25: 43)

c. Allah Swt. menyatakan sesembahan orang musyrik sebagai ilahun.

“… Maka Tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah itu tidak dapat menolong mereka sedikit pun
ketika datang adzab dari Tuhanmu. Tuhan-tuhan itu justru menambah kerugian yang sangat besar.”
(QS. Hud, 11: 101)
d. Allah Swt. menyatakan para pendeta sebagai rabbun

“Kaum Yahudi dan Nusrani telah menjadikan pendeta-pendeta mereka, pastur-pastur mereka, dan Al-
Masih bin Maryam sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Padahal mereka hanya diperintah untuk beribadah
kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Allah Maha Suci Allah dari semua keyakinan syirik
yang mereka buat-buat.” (QS. At-Taubah, 9:31)

Kata ilahun dan rabbun sesungguhnya warisan Bahasa Arab jahiliyah yang dipertahankan
penggunaannya dalam Al-Quran, sebagaimana contoh di atas. Orang-orang Arab sebelum Islam,
memahami makna kata ilahun sebagai dewa atau berhala, dan mereka gunakan dalam percakapan
sehari-hari. Apabila orang Arab Jahiliyah menyebut dewa cinta, maka mereka mengatakan ilahul hubbi,
dan ilahatul hubbi untuk menyebut dewi cinta. Kaum penyembah berhala (animism), atau aliran
kepercayaan di zaman kita sekarang, sebagaimana orang-orang Arab jahiliyah, menganggap tuhan
mereka berjenis kelamin, laki dan perempuan.

2. Kata Allah Dalam Al-Quran


Allah dalam terminology Bahasa Arab pada awalnya berasal dari kata wilah, yang berarti
ketundukan, pengangungan, dan ungkapan penghambatan. Ada yang berpendapat bahwa Allah berasal
dari kata “Al” dan “Illah” yang artinya Maha Sesembahan. Jadi, dapat diartikan dari kata ini, Allah adalah
Sesembahan yang Tertinggi dari segala sesuatu, baik yang ada didalam dan bagi yang hidup, kehidupan
dan penghidupan. Allah adalah yang patut dijadikan pengabdian dari segala makhluk atau sesuatu yang
lain.
Dalam pandangan Quraish Shihab kata Allah ini terulang dalam Al-Quran sebanyak 2.698 kali.
Ada yang berpendapat bahwa kata “Allah” disebutkan lebih dari 2679 kali dalam Al-Quran. Sedangkan
kata “Tuhan” dalam Bahasa Arab adalah ilah disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad,
ilahaini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan alihah dalam bentuk jama’ disebut ulang sebanyak 34 kali.
Hal ini juga menjadi refleksi dari tauhid Uluhiyah dimana kita mengesakan Allah dengan ibadah,
dimana tidak menjadi hamba bagi selain-Nya, tidak menyembah malaikat, nabi, wali, bapak-ibu, kita
tidak menyembah kecuali Allah semata. Ibadah kepada Allah berpijak kepada dua hal, yaitu cinta dan
pengagungan. Dengan kecintaan akan memunculkan keinginan untuk melaksanakan dan pengagungan
akan timbul rasa takut dan khawatir akan dicampakkan, dihinakan dan disiksa-Nya.
Inilah yang membedakan antara istilah “Tuhan (rabb)” dengan “Allah” dimana ada suatu
pengakuan bahwa Allah-lah yang menjadi sesembahan kita satu-satunya dalam peribadatan, tidak ada
yang lain, yang menjadi pembaharuan yang menggilas kejahiliaan kaum yang sombong dan merasa
benar sendiri.
Banyak sekali riwayat dan ayat-ayat dalam Al-Quran dan Sunnah yang menceritakan bahwa
kaum dizaman sebelum Rasulullah dan saat Rasulullah datang kaum dizaman sebelum mengakui secara
pasti bahwa Allah lah satu-satunya dalam peribadatan, tidak ada yang lain, yang menjadi pembaharuan
yang menggilas kejahilian kaum yang sombong dan merasa benar sendiri.
Banyak sekali riwayat dan ayat-ayat dalam Al-Quran dan Sunnah yang menceritakan bahwa kaum
dizaman sebelum Rasulullah dan saat Rasulullah datang itu mengetahui dan mengakui secara pasti
bahwa Allah lah satu-satunya pencipta. Dialah yang menciptakan langit dan bumi. Dialah yang mengatur
segala urusan. Hal ini terpatri dalam firman Allah :

“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”,
niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui”. (Q.S Az-Zukhruf:9)

Allah juga berfirman:

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka
menjawab: “Allah”, Maka Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)? (Q.S Az-
Zukhruf:87)
Dari ayat ini bisa kita lihat bahwa sebenarnya orang-orang musyrik dan kafir zaman dahulu
ketika Rasulullah memahami bahwa segala sesuatu yang ada adalah ciptaan Allah Swt., tiada selain-Nya.

C. TAUHID DALAM KONSEP KETUHANAN ISLAM


Sebelumnya telah dijelaskan bahwa kata “Allah Swt.” merupakan nama Tuhan yang paling agung
yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan Tuhan. Kata Allah merupakan ekspresi ketuhanan
yang paling tinggi dalam Islam, selain bermakna kemuliaan dan keagungan, kata tersebut juga
mensyaratkan bahwa kata Allah mewajibkan seluruh bentuk kemuliaan dan menegasikan segala bentuk
kekurangan, kata Allah juga merupakan nama bagi zat yang wajib wujud yang berhak untuk
mendapatkan segala bentuk pujian. Sedangkan kata ahad merupakan sifat bagi ketunggulan yang
senantiasa abadi dalam keesaannya.
Dalam tafsirnya, Razi berpendapat, bahwa kedua kata tersebut ketika digabungkan maka akan
melahirkan dua bentuk makna yang simetris satu sama lain. Maka Allah melahirkan makna positif, yaitu
penetapan sifat kesempurnaan, keagungan, dan kebesaran kepada zat Tuhan. Dengan menggunakan
kata Allah, berarti mengisyaratkan bahwa zat Tuhan merupakan zat yang paling agung, paling sempurna
dan paling berkuasa. Namun keagungan, kesempurnaan dan kebesarannya belum mampu memberikan
makna yang signifikan jika, dalam benak manusia belum jelas, apakah keagungan, kesempurnaan dan
kebesaran itu hanya dimiliki-Nya sendiri, atau ada zat lain yang berkongsi dengan-Nya dalam
kepemilikan terhadap sifat-sifat tersebut. Dengan menambahkan kata ahad, maka segala kemungkinan
tersebut ditepis, dan bahkan sifat ini justru semakin menambah kesempurnaan dan kemuliaan Tuhan.
Dia sendiri dalam keagungan yang tak butuh kepada apa pun. Dia tunggal dalam kesempurnaan dan tak
bergantung terhadap apapun. Dia esa dalam kebesaran-Nya yang tak satupun mampu menandingi-Nya.
Sehingga kesempurnaan kemuliaan dan kebesaran-Nya merupakan sesuatu yang mutlak.
Dengan adanya sifat Ahad ini, akan menambah kemutlakan terhadap otoritas Tuhan. Dia adalah
satu-satunya yang berhak mendapatkan atribut ketuhanan di semesta raya ini. Eksistensi yang hakiki
hanya dimiliki oleh Tuhan, sedangkan keberadaan sesuatu yang lain hanyalah merupakan pancaran dari
keberadaan Tuhan. Segala sesuatu membutuhkan Tuhan untuk eksistensinya, namun Tuhan tak
membutuhkan apa-apa dalam mewujudkan eksistensinya.
Jika ditelisik secara filosofis makna kalimat (‫) أحد هلال‬, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu
Sina, bahwa Allah Ahad, bermakna bahwa Tuhan esa dalam segala aspek, dan tak pernah sekalipun
mengandung pluralitas. Baik itu pluralitas maknawi, sebagai mana yang ada dalam genus dan karakter,
ataupun pluralitas yang real, sebagai mana yang Nampak dalam dunia materi. Keesaan ini juga
menegasikan dan mensucikan Tuhan dari hal-hal yang mengindikasikan bahwa Tuhan memiliki
bentuk,kualitas, kuantitas, warna dan segala jenis gambaran akal yang mampu merusak kebersahajaan
yang satu. Demikian juga, ‘Ahad’ mengindikasikan bahwa tak ada sesuatupun yang menyamai-Nya.
Seluruh keyakinan dan kepercayaan ini merupakan landasan yang paling fundamental dalam
pembentukan dan konstruksi akidah tauhid yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Bahkan seluruh
ajaran risalah kenabian berporos pada konsep tauhid ini.
Di dalam bukunya “Wawasan Al-Quran”, M. Quraisy Shihab memaparkan ayat-ayat tauhidiyah
yang tergambar dalam lintasan sejarah para Nabi dan Rasul yang bersumber dari Al-Quran yang di
dalamnya dapat ditemukan bahwa para Nabi dan Rasul selalu membawa ajaran tauhid.
Ucapan Nabi Nuh, Hud, Shaleh dan Syu’aib diabadikan dalam Al-Quran masing-masing secara
berurut dalam surah Al-A’raf (7):59, 65, 73, dan 85. Demikian juga ajaran yang diterima Nabi Musa a.s
langsung dari Allah: “Aku yang memilihmu, maka dengarkan dengan tekun apa yang akan diwahyukan
(kepadamu): “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Sembahlah Aku, dan
dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”. Nabi Isa juga mengajarkan prinsip di bawah ini kepada
Tuhannya: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al-
Masih putra Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku
dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu
seorang penolong pun”.
Namun, walaupun semua nabi membawa ajaran tauhid, terlihat melalui ayat-ayat Al-Quran
bahwa ada perbedaan dalam pemaparan mereka tentang prinsip tauhid. Jelas sekali bahwa Nabi
Muhammad Saw., melalui Al-Quran diperkaya oleh Allah dengan aneka penjelasan dan bukti, serta
jawaban yang membungkam siapapun yang mempersekutukan Tuhan. Allah Swt menyesuaikan
tuntunan yang dianugerahkan kepada para Nabi-Nya sesuai dengan tingkat kedewasaan berfikir umat
mereka. Karena itu tidak ada bukti-bukti logis yang di kemukakan oleh Nabi Nuh kepada umatnya, dan
pada akhirnya setelah mereka membangkang, jatuhlah sanksi yang memusnahkan mereka: “Maka topan
membinasakan mereka, dan mereka adalah orang-orang aniaya. (QS Al-‘Ankabut (29):14)”.
Ketika tiba masa Nabi Hud a.s -yang masanya belum terlalu jauh dari Nuh- pemaparan beliau
hampir tidak berbeda, tetapi di sana sini telah jelas bahwa masyarakat yang diajaknya berdialog,
memiliki kemampuan berpikir sedikit di atas umat Nuh. Karena itu, pemaparan tentang tauhid yang
dikemukakan oleh Hud a.s disertai dengan peringatan tentang nikmat-nikmat Allah yang mereka
dapatkan.
Nabi Shaleh yang datang sesudah Nabi Hud a.s lebih luas dan rinci penjelasannya, karena
wawasan umatnya lebih luas pula. Misalnya mereka diingatkan tentang asal kejadian mereka dari tanah,
dan tugas mereka memakmurkan bumi (QS Hud (11):61). Akal yang mampu mencerna dapat memahami
bahwa asal kejadian manusia berasal dari tanah, dalam arti bahwa sperma yang dituangkan ke Rahim
istri berasal dari makanan yang dihasilkan oleh bumi. Manusia yang memiliki akal dapat mencerna ini
atau walau hanya memahaminya secara umum, pastilah lebih mampu dari mereka yang sekedar
dipaparkan kepadanya nikmat-nikmat ilahi, sebagaimana kaum Hud dan Nuh. Di samping itu ada bukti
lain yang dikemukakan Nabi Shaleh.
Ketika tiba masa Syu’aib, ajakan dakwahnya lebih luas lagi, melampaui batas yang disinggung
oleh ketiga Nabi sebelumnya. Kali ini ajaran tauhid tidak saja dikaitkan dengan bukti-bukti, tetapi juga
dirangkaikan dengan hokum-hukum syariat. Ayat ini bahkan menggugah jiwa dan menuntut mereka
untuk membangun satu masyarakat yang penuh dengan kemakmuran dan keadilan.
Setelah itu, datang ajakan Nabi Ibrahim, yang merupakan periode baru dari tuntunan tentang
ketuhanan Yang Maha Esa. Nabi Ibrahim a.s dikenal sebagai “Bapak para nabi”, “Bapak Monoteisme”,
serta “Proklamator keadilan ilahi” karena agama-agama samawi terbesar dewasa ini merujuk kepada
agama beliau.
Ibrahim menemukan dan membina keyakinannya melalui pencarian dan pengalaman-
pengalaman keruhanian yang dilaluinya dan hal ini di dalam Al-Quran dibuktikan bukan saja dalam
penemuannya tentang keesaan Tuhan seru sekalian alam, sebagaimana dalam surah Al-An’am ayat 75,
tetapi juga dalam keyakinan tentang hari kebangkitan bahkan beliau satu-satunya Nabi yang disebut Al-
Quran bermohon kepada Allah untuk diperlihatkan bagaimana cara-Nya menghidupkan yang mati, dan
permintaan beliau dikabulkan Allah (QS Al-Baqarah (2):260).
Para ilmuwan seringkali berbicara tentang penemuan-penemuan manusia yang mempengaruhi
atau bahkan mengubah jalannya sejarah kemanusiaan. Tetapi, seperti ditulis Abbas Al-‘Aqqad dalam
bukunya “Abu Al-Anbiya” menuliskan bahwa; penemuan yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim a.s
merupakan penemuan manusia yang terbesar, dan yang tidak dapat diabaikan oleh para ilmuan atau
sejarawan. Ia tidak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom;
betapa besarnya pun penemuan-penemuan tersebut, dikuasai oleh manusia. Penemuan Ibrahim
menguasai jiwa dan raga manusia. Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya tunduk kepada
alam menjadi menguasai alam, serta menilai baik buruknya. Penemuan manusia dapat menjadikannya
berlaku sewenang-wenang, tetapi sewenang-wenangnya tidak mungkin dilakukannya, selama
penemuan Ibrahim a.s tetap menghiasi jiwanya. Penemuan tersebut berkaitan dengan apa yang
diketahui dan tidak diketahuinya berkaitan kedudukannya sebagai makhluk, dan hubungan makhluk ini
dengan Tuhan, alam raya, dan makhluk-makhluk sesamanya.
Demikianlah tahap baru dalam uraian tauhid, oleh karena itu Abdul Karim Al Khatib dalam
bukunya “Qadiyat Al-Uluhiyah baina al-Falsafah wa al-Din” menuliskan bahwa sejak Nabi Ibrahim,
sampai dengan Nabi-nabi sesudahnya tidak dikenal lagi pemusnahan total bagi umat satu Nabi
sebagaimana yang terjadi terhadap umat-umat sebelumnya.
Pemaparan tauhid pun dari hari ke hari semakin mantap dan jelas hingga mencapai puncaknya
dengan kehadiran Nabi Muhammad Saw. Uraian Al-Quran tentang Tuhan kepada umat Nabi
Muhammad Saw. Dimulai dengan pengenalan tentang perbuatan dan sifat-Nya. Ini terlihat secara jelas
ketika wahyu pertama turun

Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang maha pemurah, yang mengajar (manusia)
dengan perantara Kalam, mengajar manusia apa yang tidak diketahui-(nya) (QS Al-‘Alaq (96);1-5).

Dalam rangkaian wahyu-wahyu pertama Al-Quran menunjuk kepada Tuhan yang Maha Esa
dengan kata Rabbuka (Tuhan) pemeliharamu (wahai Muhammad), bukan kata “Allah”. Hal ini untuk
menggarisbawahi wujud Tuhan yang Maha Esa, yang dapat dibuktikan melalui ciptaan atau perbuatan-
Nya.
Demikianlah doktrinisasi mengenai ketauhidan Allah yang didakwahkan pada masa Nabi
Muhammad Saw yang jelas terlihat perbedaan penyampaian gaya Bahasa maupun ketegasan pada masa
ini dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Kendatipun menggunakan gaya Bahasa dan tingkat
ketegasan yang berbeda, dari seluruh seruan para Nabi intinya adalah mengajak kaumnya untuk
meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah sang pencipta segala makhluk, satu-satunya yang patut
disembah dan dimintai pertolongan.

D. BUKTI-BUKTI KEESAAN TUHAN


Ada sementara orang yang menuntut bukti wujud dan keesaan Tuhan dengan pembuktian
material. Mereka ingin segera melihat-Nya di dunia ini. Nabi Musa a.s suatu ketika pernah bermohon
agar Tuhan menampakkan diri-Nya kepadanya, sehingga Tuhan berfirman sebagai jawaban atas
permohonannya,

Artinya: “Engkau sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku. Tetapi lihatlah ke bukit itu, jika ia tetap di
tempatnya (seperti keadaannya semula), niscaya kamu dapat melihat-Ku. ‘Tatkala Tuhannya tampak
bagi gunung itu, kejadian tersebut menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.
Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, ‘Maha suci Engkau, aku bertobat kepada-Mu, dan aku
orang yang pertama (dari kelompok) orang beriman” (QS Al-A’raf (7):143).
Menurut Quraish Shihab, ada dua factor yang menjadikan makhluk tidak dapat melihat sesuatu.
Pertama, Karena sesuatu yang akan dilihat terlalu kecil apalagi dalam kegelapan. Sebutir pasir lebih-
lebih di malam yang kelam tidak mungkin ditemukan oleh seseorang. Namun kegagalan itu tidak berarti
pasir yang dicari tidak ada wujudnya. Faktor kedua adalah karena sesuatu itu sangat terang. Bukankah
kelelawar tidak dapat melihat di siang hari, karena sedemikian terangnya cahaya matahari disbanding
dengan kemampuan matanya untuk melihat? Tetapi bila malam tiba, dengan mudah ia dapat melihat.
Demikian pula manusia tidak sanggup menatap matahari dalam beberapa saat saja, bahkan sesaat
setelah menatapnya ia akan menemukan kegelapan. Kalau demikian wajar jika mata kepalanya tak
mampu melihat Tuhan pencipta matahari itu.
Sayyidina Ali r.a pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah
Anda pernah menyembah yang tidak pernah saya lihat?” “Bagaimana anda melihat-Nya?” tanyanya
kembali. Imam Ali menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat, tetapi
bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan…” Mata hati jauh lebih tajam dan dapat lebih
meyakinkan daripada pandangan mata. Bukankah mata sering manipu kita? Kayu yang lurus terlihat
bengkok di dalam sungai, bintang yang besar terlihat kecil dari kejauhan.
Dalam kaitan dengan argument-argumen dan bukti-bukti logika, kita dapat menyatakan oleh
para filosof tentang wujud dan keesaan Tuhan yang tidak dikemukakan Al-Quran. Yang berbeda bahwa
kalimat-kalimat yang digunakan Al-Quran sedemikian sederhana dan mudah ditangkap, berbeda dengan
para filosof yang seringkali berbelit-belit.
Bukti-bukti yang dipaparkan di atas, dikemukakan oleh Al-Quran dengan berbagai cara, baik
tersurat maupun tersirat. Secara umum kita dapat membagi uraian Al-Quran tentang bukti keesaan
Tuhan dengan tiga bagian pokok, yaitu: kenyataan wujud yang tampak, rasa yang terdapat dalam jiwa
manusia, dan dalil-dalil logika.

1. Kenyataan wujud yang Nampak


Dalam konteks ini Al-Quran menggunakan seluruh wujud sebagai buktim khususnya keberadaan
alam raya ini dengan segala isinya. Berkali-kali manusia diperintahkan untuk melakukan nazar, fikr, serta
berjalan di permukaan bumi guna melihat betapa alam raya ini tidak mungkin terwujud tanpa ada yang
mewujudkannya. Dalam uraian Al-Quran tentang kenyataan wujud, dikemukakannya keindahan dan
keserasian alam raya. “Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka,
bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit
pun?.

Artinya: “(Allah) yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sama sekali tidak melihat pada
ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah
sesuatu yang kamu lihat tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan
kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu pun yang cacat, dan penglihatanmu itu pun dalam
keadaan payah” (QS Al-Mulk (67):3-4).

2. Rasa yang terdapat dalam jiwa manusia


Dalam konteks ini, Al-Quran misalnya mengingatkan manusia,

Artinya: “Katakanlah (hai Muhammad kepada yang mempersekutukan Tuhan), ‘Jelaskanlah kepadaku
jika datang siksaan Allah kepadamu, atau datang hari kiamat, apakah kamu menyeru (Tuhan) selain
Allah, jika kamu orang-orang yang benar?’ Tidak! Tetapi hanya kepada-Nya kamu bermohon, maka Dia
menyisihkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki, dan kamu
tinggalkan sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allah)” (QS Al-An‘am (6):40-41).

Demikian Al-Quran menggambarkan hati manusia. Karena itu sungguh tepat pandangan
sementara filosof yang menyatakan bahwa manusia dapat dipastikan akan terus mengenal dari
berhubungan dengan Tuhan sampai akhir zaman, walaupun ilmu pengetahuan membuktikan lawan dari
hal tersebut. Ini selama tabiat kemanusiaan masih sama seperti sediakala, yakni memiliki naluri
mengharap, cemas, dan takut, karena kepada siapa lagi jiwanya akan mengarah jika rasa takut atau
harapannya tidak lagi dapat dipenuhi oleh makhluk, sedangkan harapan dan rasa takut manusia tidak
pernah akan putus.

3. Dalil-dalil logika
Bertebaran ayat-ayat yang menguraikan dalil-dalil Aqilah tentang keesaan tuhan, misalnya,

Artinya: “Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal dia tidak mempunyai istri. Dia yang menciptakan
segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu” (QS Al-An’am (6):101)

Artinya: “Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada dua Tuhan, maka pastilah keduanya binasa…”
(QS Al-Anbiya’ (21):22)

Maksud ayat ini adalah seandainya ada dua pencipta maka akan kacau ciptaannya, karena jika
masing-masing pencipta menghendaki sesuatu yang tidak dikehendaki oleh yang lain, maka kalua
keduanya berkuasa, ciptaan pun akan kacau atau tidak akan mewujud; kalua salah satu mengalahkan
yang lain, maka akan kalah bukan Tuhan; dan apabila mereka berdua bersepakat, maka itu merupakan
bukti kebutuhan dan kelemahan mereka, sehingga keduanya bukan Tuhan, karena Tuhan tidak mungkin
membutuhkan sesuatu atau lemah atas sesuatu.
Dalam menanggapi ayat di atas, Fazlur Rahman mengatakan, secara logis hanya ada satu Tuhan.
Apabila Tuhan lebih dari satu maka hanya satu saja yang tampil sebagai yang pertama. “Allah berfirman:
Janganlah mengambil dua Tuhan karena Dia adalah Esa” (16:51); “Allah bersaksi: tiada Tuhan selain dari
pada Dia” (3:18); “Katakanlah (wahai Muhammad): jika memang ada tuhan-tuhan lain selain Dia, seperti
yang mereka katakana, niscaya semuanya akan menghadap kepada Tuhan yang memiliki tahta (‘Arays)”
(17:42).
Di samping mengemukakan dalil-dalil di atas, Al-Quran juga mengajak mereka yang
mempersekutukan Tuhan untuk memaparkan hujjah mereka, diantaranya;

Artinya: “Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah, ‘Kemukakan bukti kalian!”
(QS Al-Anbiya’ (21):24)

Artinya: “Katakanlah, ‘Jelaskanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan
kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dan bumi ini, atau adakah mereka berserikat (dengan
Allah) dalam (penciptaan) langit. Bawalah kepadaku kitab sebelum (Al-Quran) ini, atau peninggalan dan
pengetahuan (orang-orang dahulu) jika kamu adalah orang-orang yang benar” (QS Al-Ahqaf (46):4).

E. FILSAFAT KETUHANAN (TEOLOGI)


Falsafah berasal dari Bahasa yunani, yaitu philo-sophia. Philo atau philein berarti cinta, Sophia
berarti kebijaksanaan. Gabungan kedua kata dimaksud berarti cinta kebijaksanaan. Philosophos adalah
pecinta kebijaksanaan. Dalam Bahasa arab disebut failasuf, kemudian ditransfer ke dalam Bahasa
Indonesia menjadi failasuf dan filsuf.
Antara falsafah dengan sejarah tidak dapat diceraipisahkan, karena sejarah falsafah sudah
merupakan falsafah itu sendiri. Ketika satu demi satu ilmu pengetahuan memisahkan diri dari falsafah
sebagai induknya, akhirnya sisa dua bidang yang tetap melekat pada falsafah itu.
Kedua pernyataan itu merupakan inti dari falsafat, yang pembahasannya meliputi tiga realitas
masalah, yaitu (1) Tuhan, (2)manusia, (3) alam. Karena falsafat adalah pengetahuan tentang yang benar
(knowledge of thuth), sehingga falsafat dengan agama yang mempunyai kesamaan, yaitu tujuan filsafat,
yaitu menerangkan apa yang benar dan apa yang baik.
Yang benar pertama (alhaqqul awwalu) menurut Al-Kindi seperti yang dikutip oleh Harun
Nasution adalah Tuhan. Falsafah yang paling tinggi adalah falsafat tentang Tuhan. Oleh karena itu, Al-
Kindi mengungkapkan bahwa falsafat yang termuia dan tertinggi derajatnya adalah falsafat utama, yaitu
ilmu tentang Yang Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar. Sebagai contoh dapat
diungkapkan mengenai “Filsafat Ketuhanan”. Dalam falsafat ketuhanan yang diuraikan oleh al-kindi. Ia
membagi ilmu pengetahuan kepada dua bagian, yaitu sebagai berikut.
1. Pengetahuan Ilahi
Pengetahuan Ilahi, yaitu ajaran yang tercantum dalam Al-Quran. Oleh karena itu, Nabi
Muhammad memperoleh pengetahuan dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan
(keimanan).
2. Pengetahuan manusia atau falsafat
Dasar filsafat adalah pemikiran. Argument yang dibawa oleh al-quran lebih meyakinkan daripada
argument yang ditimbulkan oleh falsafat. Namun falsafat dan Al-Quran bertentangan dengan kebenaran
yang dibawa oleh falsafat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kajian Alquran adalah berangkat dari
keyakinan untuk mencari pembenaran melalui akal pemikiran; sedangkan kajian filsafat berngkat dari
keraguan untuk menuju suatu kebenaran melalui akal pemikiran.
Selain itu, ajaran agama Islam memberikan konsep yang jelas antara makhluk (yang diciptakan)
dan Khalik (yang menciptakan). Khalik atau yang menciptakan adalah Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.
Ia Esa dalam menciptakan, Esa dalam menentukan dan Esa dalam mengambil keputusan, baik yang
besar maupun yang kecil. Hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatu selain Allah disebut makhluk atau
yang diciptakan, termasuk manusia (baik Nabi maupun Rasul), yang bukan manusia (setan, jin, dan
malaikat) maupun makhluk lainnya yang sekecil apa pun. Demikian juga gerak bumi, bulan, planet
lainnya, dan system tertentu yang bergerak yang terjadi di alam ini, dalam diri manusia, dalam diri
seekor serangga sehingga menggigit dan sebagainya. Oleh karena itu, setiap gerakan dan segala sesuatu
yang terjadi di ala mini merupakan ciptaan Allah SWT yang disebut makhluk. Konsep makhluk yang
demikian bersumber dari Firman Allah dalam Surah An-Nuur (24) ayat 45 sebagai berikut

Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagiannya ada yang berjalan di atas
perutnya, sebagiannya ada yang berjalan dengan dua kaki, dan sebagiannya ada yang berjalan dengan
empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
Selain konsep makhluk dalam berbagai bentuk dan jenis yang telah diungkapkan di atas, Alquran
juga membicarakan alam semesta dalam bentuk isyarat-isyarat yang menggambarkan penciptanya
melalui enam tahapan (Alquran surah Hud (11) ayat 7). Tahapan dimaksud, tidak diuraikan secara rinci di
dalam Alquran dan tidak dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw. Di dalam sunnahnya (Alhadis), sehinggah
melahirkan perbedaan pendapat di antara para ilmuwan mengenai waktu penciptanya. Namun,para
ilmuwan sepakat bahwa langit dan bumi serta segala isi dan peristiwa yang terjadi di dalamnya (alkaun
atau universum) adalah ciptaan Allah. Bumi dan langit dalam proses kejadian-nya melalui enam tahapan.
Proses kejadian dimaksud, berasal dari suatu kesatuan yang disebut alkaun (Alquran surah Al-anibiyaa
(21) ayat 30).
Berdasarkan hakikat ayat Al-Quran diatas, para ilmuan berbeda pendapat mengenai penciptaan
alam semesta, yaitu di satu pihak ada yang berpendapat atas dasar penemuan ahli astronom bahwa
alam semesta ini statis, yaitu dari awal penciptanya sampai saat ini tidak berubah sedikit pun. Di pihak
lain ada yang berpendapat bahwa alam semesta ini dinamis, yaitu berubah-ubah.
Namun pendapat yang terakhir ini juga di dasari oleh adanya penemuan astronom dan di
tunjang oleh ilmu pengetahuan modern. Mereka beranggapan alam semesta ini mula-mula berdasarkan
satu sama lain dalam suhu dan kepadatan yang sangat tinggi, sehingga proton, newtron, dan elektron,
tidak mampu membentuk susunan lebih berat yang mengakibatkan suatu ledakan dahsyat. Inti dari
ledakan itu, tercipta matahari sebagai pusatnya (intinya), dan percikannya menjadi planet-planet (bumi,
bulan, saturnus, Uranus, neptunus, mars, yupiter, pluto) dan sebagainya.
Planet-planet tersebut berputar pada porosnya mengelilingi matahari sehingga terjadi
pergantian siang dan malam, minggu, bulan, tahun, abad. Hal ini menunjukkan bahwa antara satu planet
dan planet lainnya berjalan sesuai hukum alam ciptaan Tuhan sehingga tidak ada tabrakan. Planet-
planet dan segala isinya ada yang dapat di lihat oleh manusia yang disebut alam nyata dan ada yang
tidak dapat di lihat oleh manusia yang disebut alam ghaib. Namun keduanya disebut alma semesta.

F. PERAN AKAL DALAM FILASAFAT KETUHANAN


Apabila membicarakan pera akal dalam filasafat ketuhanan untuk mengetahui bahwa tuhan itu
ada berarti membicarakan peningkatan kualitas manusia sebagai subjek dan objek pembangunan.
Dalam sejarah kehidupan manusia ditemukan pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh
agama tauhid tampak bahwa ilmu pengetahuan fardhu ‘ain yang menjadi asas atau titik tolaknya.
Berdasarkan pengetahuan fardhu ‘ain itu, kemudian dikaji ilmu pengetahuan fardhu kifayah untuk
menerangkan dan menjelaskan masalah dan duduk asal masalahnya melalui metode dan kata tanya: (a)
apa (mencari identifikasi), (b) sebab apa atau mengapa (mencari latar belakang), dan (c) bagaimana, dari
apa dan untuk apa (proses aplikasi dan pengembangan daya nalar dalam mencari alternatif lain).
Metode inilah yang pertama dilakukan dan diletakkan asasnya oleh Nabiyullah Ibrahim as. dalam
mencari dan menemukan agama tauhid, sehingga Nabiyullah Muhammad saw. dan umatnya diminta
oleh Allah untuk menjadikannya sebagai millat (Alquran Surah An-Nahl (16) ayat 123).
Secara kronologis yang sistematis Nabiyullah Ibrahim as. menemukan agama tauhid seperti yang
tercantum di dalam Alquran, di antaranya diuraikan sebagai berikut.

1) Pertama, analisis fenomena melalui metode retorika yang logis sistematis.


Analisis metode retorika yang logis sistematis yang dilakukan oleh Nabiyullah Ibrahim as.,
diuraikan dialog dengan ayahnya antara lain: “adakah pantas yang engkau jadikan berhala-berhala
sebagai Tuhan? Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu jelas tersesat dari jalan yang lurus” (Surah
Al-An’aam (6) ayat 74).
Lanjutan dialog tersebut, dapat dilihat dalam Alquran Surah Maryam (16) ayat 42-43. Nabiyullah
Ibrahim mengungkapkan: “Hai Ayahku! Mengapa engkau sembah sesuatu yan tidak mendengar, tidak
melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?” (Surah Maryam (9) ayat 42). Hai ayahku
sesungguhnya aku ini mempunyai ilmu pengetahuan dan tidak ada pada engkau. Oleh karena itu,
ikutilah aku, nanti kutunjuki engkau suatu jalan pikiran yang lurus” (ayat 43). Hai ayahku janganlah
engkau menyembah setan, sesungguhnya setan itu sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih
(ayat 44). Hai ayahku, sesungguhnya aku khawatir kalau engkau akan ditimpa oleh siksaan Tuhan Yang
Maha Pengasih karena kemusyrikanmu, yang berakibat kamu menjadi kawan setan dalam neraka” (ayat
45).
Ayahnya menjawab: “Apakah engkau benci kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika engkau
tidak mau berhenti menyanggahnya niscaya kulempari engkau dengan batu, dan tinggalkanlah aku
selama-lamanya” (ayat 46). Ibrahim menjawab: “Selamat sejahtera atasmu, aku akan memohonkan
ampunan untukmu kepada Tuhanku. Sesungguhnya dia sangat baik kepadaku” (ayat 47). Dan aku akan
menyingkirkan daripadamu, begitu pula dari apa yang kamu sembah selain Allah, dan aku selalu
memohon kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak kecewa dalam berdoa kepada-Nya” (ayat 48).
Dialog Ibrahim dengan kaumnya (selanjutnya kata Ibrahim menggunakan symbol (a) dan kata
kaumnya menggunakan symbol (b) diuraikan secara singkat dalam Alquran Surah Al-Anbiyaa’ (21) ayat
51-70 di antaranya sebagai berikut.
a) Patung-patung apa ini yang kalian sembah dengan serius dan tekun (ayat 52)
b) Kami lakukan pemujaan terhadap petung-patung ini karena kami telah mendapati juga nenek
moyang kami menyembahnya (ayat 53)
a) Kalian beserta nenek moyang kalian, betul-betul dalam kesesatan (ayat 54)
b) Apakah kedatanganmu ke sini bersungguh-sungguh atau bergurau saja (ayat 55)
a) Sebenarnya Tuhan yang wajib kamu sembah ialah Tuhannya langit dan bumi. Dia yang
menciptakan semuanya. Dan aku adalah salah seorang yang dapat menunjukkan bukti terhadap
hal yang demikian (ayat 56).
Sesudah Ibrahim berdialog dengan kaumnya, ia membuat siasat atau strategi untuk
menghancurkan berhala-berhala itu sampai berkeping-keping, kecuali yang paling besar ia biarkan tetap
utuh (ayat 57-58). Setelah mereka kembali berdasarkan apa yang diinginkan oleh Ibrahim, mereka
gempar sambal bertanya: Siapa kira-kira yang berani berbuat onar terhadap tuhan-tuhan kita? Kami
dengar ada seorang pemuda yang selalu mencela berhala kita. Panggil dia. Setelah diajukan pertanyaan
kepada Ibrahim, Ibrahim menjawab: “Sebenarnya yang melakukan adalah berhala yang paling besar ini.
Tanyailah dia kalau ia pandai berbicara. “Jawaban Ibrahim sebenarnya untuk menyadarkan mereka
mengenai kebodohannya, tetapi setelah berpikir mereka berkata: Sebenarnya kamu sudah tahu ini
Ibrahim bahwa berhala-berhala itu tidak pandai berbicara. Oleh karena itu, jawab Ibrahim: “Kalau
begitu, mengapa kalian menyembah selain Allah, menggantungkan harapan kepada benda yang tidak
mampu memberi manfaat apa-apa kepada kalian (ayat 59-67). Akhirnya, mereka menghukum Ibrahim
dengan jalan membakarnya, tetapi Allah memerintahkan kepada api dengan firmannya: Ya naar kuuni
bardan wasalaman ‘ala Ibrahim (hai api, mendinginlah, dan jadilah penyelamat Ibrahim).
Dialog yang diungkapkan di atas, menunjukkan bahwa Ibrahim mengembangkan daya nalarnya
sebagai orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang mampu mematahkan hujjah yang sifatnya dogmatis
dengan data empiris yang rasional. Patung sebagai benda mati, tidak dapat berbicara, tidak mendengar,
tidak bergerak, tidak makan atau minum, tidak dapat memberi rezeki, dan sebagai-nya. Mengapa mesti
disembah? Selain itu, tampak pula bahwa Ibrahim memanfaatkan pengetahuan fardhu ‘ain yang
dimilikinya untuk menjelaskan tanda-tanda atau fenomena alam, benda-benda, dan lingkungan hidup
(ilmu pengetahuan fardhu kifayah) untuk mematahkan argument kaumnya.
2) Kedua, Ibrahim mencari Tuhan melalui hipotesis.
Ibrahim mencari Tuhan dengan menggunakan metode hipotesis. Metode dimaksud dijelaskan di
dalam Alquran Surah Al-An’aam (6) ayat 74-79. Tatkala malam telah gelap, dilihatnya sebuah bintang,
lalu ia berkata: “Inikah Tuhanku?” Akan tetapi, tatkala bintang menghilang di balik kaki langit dia
berkata: Aku tidak suka kepada sesuatu yang dapat menghilang” (ayat 76). Ketika dilihatnya bulan terbit
di ufuk timur, dia berkata: “Inikah Tuhanku?” Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata lagi:
“Sekiranya Tuhanku tidak memberiku petunjuk, tentulah aku termasuk orang-orang yang sesat” (ayat
77). Dan ketika dilihatnya matahari terbit, dia berkata: “Inikah Tuhanku?” Bahkan ini lebih besar dari
yang tadi (bulan)”. Akan tetapi, setelah matahari itu terbenam juga, dia berkata lagi: “Hai kaumku!
Sesungguhnya aku bebas dari apa yang kamu persekutukan” (ayat 78).
Sesungguhnya aku bulatkan hatiku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan
setulus hati cenderung kepada agama yang cinta tauhid. Dan aku tidak termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan (ayat 79). Demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan
bumi agar dia termasuk orang-orang yang benar-benar yakin (ayat 75). Hal ini menunjukkan ujian
hipotesis yang dilakukan oleh Ibrahim melalui fenomena alam yang berubah secara teratur dan
berkesinambungan yang memerlukan “Pengatur”.
3) Ketiga, metode peningkatan keyakinan melalui percobaan (eksperimen).
Metode peningkatan keyakinan melalui percobaan dimaksud, dijelaskan oleh Allah di dalam
Alquran Surah Al-Baqarah (2) ayat 260, yaitu “Dan ingat pulalah ketika Ibrahim berkata: Wahai Tuhanku
perlihatkanlah kepadaku, bagaimana caranya Engkau menghidupkan orang-orang yang sudah mati.
“Allah berfirman (menjawab): “Apakah engkau masih belum percaya?” Ibrahim menjawab: “Bukan aku
tidak percaya tetapi demi ketentraman jiwaku.” Allah berfirman (menjawab pertanyaan Ibrahim) kalua
begitu tangkaplah empat ekor burung lalu jinakkanlah sampai menurut kepada perintahmu! Kemudian
letakkanlah seekor burung itu pada tiap-tiap bukit, sesudah itu panggillah! Nanti kesemuanya akan
berdatangan kepadamu dengan segera. Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa dan Bijaksana”. Dialog
antara Ibrahim dengan Allah dalam bentuk percobaan menunjukkan suatu norma bahwa peningkatan
iman dapat dilakukan melalui percobaan terhadap burung (binatang) dan bukan manusia.
Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa Islam mencari, menemukan, dan mengembangkan
iptek untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah baik melalui cara memahami dan
menjelaskan fenomena alam maupun melalui percobaan-percobaan. Adanya perintah Allah dalam
bentuk Iqra’ (baca telaah, analisis) dan 5 ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
(Al-‘Alaq ayat 1-5) umat Islam disuruh mulai mempelajari Allah sebagai pencipta, proses kejadian
manusia, ciptaan Allah dan makhluk lainnya serta mencari tahu apa yang tidak diketahuinya. Selain itu,
Allah berfirman di dalam Surah Al-Ankabut ayat 49: “Dan perumpamaan itu kami sajikan kepada
manusia; dan tidak ada yang dapat memahaminya, kecuali orang-orang yang berilmu pengetahuan.”
Dasar inilah yang mendorong Khalifah Umayyah di Damaskus Darul Hikmah (tahun 661), kemudian
Khalifah Abbasyiah di Bagdad (tahun 749) mendirikan Darul Hikmah tahun 829 dan observatorium
astronom (tahun 829), kemudian berkembang ke khalifahan Fatimiyah di Mesir yang mendirikan Darul
ilm (tahun 995) dan menyebrang ke Eropa melalui ke khalifahan di Cardova (Spanyol) yang mendirikan
perpustakaan dan akademi ilmu pengetahuan pada tahun 970.
Uraian di atas, menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mewujudkan
peningkatan kualitas keimanan dan/atau pembangunan manusia seutuhnya (jasmani dan rohani).
TUHAN YANG MAHA ESA DAN KETUHANAN
A. TUHAN YANG MAHA ESA
Tuhan Yang Maha Esa dan Ketuhanan adalah penghayatan kepada asmaul husna (nama Allah
yang berjumlah sembilan puluh sembilan). Penghayatan itu, tampak bahwa Allah itu Maha Esa dalam
Zat, Esa dalam sifat, dan Esa dalam perbuatan-Nya. Oleh karena itu, agama Islam adalah agama tauhid.
Konsep ketauhidan yang dimaksud merupakan realisasi dari ucapan dua kalimat syahadat (syahadatain).
Hal ini berdasarkan firman Allah yang termaktub dalam Surah Al-Ikhlas (112) ayat 1-4 sebagai berikut.

Katakanlah: Dialah Allah. Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan
Dia.
Konsep tauhid berdasarkan ayat Alquran di atas melahirkan sifat tauhid, pola perilaku kompetisi,
dan hasil karya dan cipta pada setiap nilai hidup tertentu. Oleh Karena itu, sikap dan perilaku muslim
dapat diungkapkan di antaranya sebagai berikut.
1) Sebagai muslim harus mampu menolak dan tidak menyembah selain Allah. Hal ini diungkapkan oleh
Allah dalam Alquran Surah Al-Fatihah (1) ayat 5.
2) Memohon pertolongan atau berdoa hanya kepada Allah. Hal ini diungkapkan oleh Allah dalam
Alquran Surah Al-Fatihah (1) ayat 5.
3) Menjadikan hukum Allah sebagai pedoman hidup. Hal ini diungkapkan oleh Allah dalam Alquran
Surah Al-An’aam (6) ayat 57.
4) Tidak ada yang ditakuti kecuali Allah. Hal ini diungkapkan oleh Allah dalam Alquran Surah At-Taubah
(9) ayat 19.
5) Tidak mencintai sesuatu atau seseorang melebihi cintanya kepada Allah dan berjuang di jalan Allah.
Hal ini diungkapkan oleh Allah dalam Alquran Surah At-Taubah (9) ayat 29.
6) Meyakini bahwa setiap yang hidup pasti diberikan oleh Allah rezeki dan hanya Allah yang
menentukan rezeki. Hal ini diungkapkan olah Allah dalam Alquran Surah Al-Huud (11) ayat 6.
7) Mengakui kekuasaan Allah yang mutlak dan kekuasaan yang ada pada manusia itu nisbi serta
ditentukan oleh Allah yang memberi dan yang mengambil kembali kekuasaan itu dari siapa yang
dikehendaki-Nya. Hal ini diungkapkan oleh Allah dalam Alquran Surah Ali Imran (3) ayat 26
8) Meyakini bahwa yang menentukan hidup dan mati itu hanya Allah. Demikian juga, hidup dan mati
itu hanya untuk Allah. Hal ini diungkapkan oleh Allah dalam Alquran Surah Ali Imran (3) ayat 145.
9) Meyakini bahwa shalat (ibadah dalam arti khusus) sebagai pengabdian, hidup dan mati hanya untuk
Allah semata. Hal ini diungkapkan oleh Allah dalam Alquran Surah Al-An’aam (6) ayat 126.

B. KEIMANAN DAN KETAKWAAN


1. Pengertian Keimanan
Membicarakan keimanan berarti membicarakan persoalan akidah dalam islam. Pengertian
akidah (aqidah dalam Bahasa Arab) secara etimologi adalah ikatan dan/atau sangkutan. Akidah dalam
pengertian terminology adalah iman, keyakinan yang menjadi pegangan hidup bagi setiap pemeluk
agama Islam. Oleh karena itu, akidah selalu ditautkan dengan rukum iman atau arkan al-iman yang
merupakan asas bagi ajaran Islam.
Islam adalah agama tauhid. Perkataan tauhid erat hubungannya dengan kata wahid (satu atau
esa) dalam Bahasa Arab. Sebagai istilah yang dipergunakan dalam membahas ketuhanan (segala sesuatu
mengenai Tuhan). Tauhid adalah keyakinan akan keesaan Tuhan yang dalam ajaran Islam disebut Allah.
Allah adalah penamaan khusus Islam pada Tuhannya. Allah itu berjumlah, berzat, bersifat, dan berbuat
esa (unicum). Artinya, jumlah-Nya, zat-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya adalah satu, satu-satunya,
tidak ada duanya, lain daripada yang lain. Tidak sama dan tidak ada persamaannya dengan yang ada.
Tauhid merupakan prima causa (asal yang pertama, asal dari segala-galanya) dari seluruh
keyakinan Islam lainnya, maka pokok-pokok keyakinan yang disebut rukum iman yang lain merupakan
akibat yang logis dari penerimaan tauhid tersebut. Kalua orang yakin kepada Allah yang Esa dalam sifat
dan perbuatan-Nya (antara lain mempunyai kehendak, berkuasa) ia akan meyakini pula adanya para
malaikat yang diciptakan Allah khusus untuk melaksanakan tugas yang ditetapkan-Nya, di antaranya
untuk menyampaikan kehendak-Nya kepada umat manusia.
Kehendak Allah disampaikan oleh Malaikat Jibril tersebut, kini dihimpun dalam kitab suci. Yang
masih murni dan asli hanyalah kehendak Allah berupa firman-Nya yang kini terdapat dalam Alquran.
Konsekuensinya adalah meyakini adanya kitab suci yang memuat firman Allah yang disampaikan oleh
Malaikat Jibril, walaupun isinya, menurut keyakinan Islam, ada yang tidak asli lagi.
Firman Allah tersebut, disampaikan kepada manusia melalui manusia pilihan Tuhan yang disebut
rasul Allah atau utusan-Nya. Konsekuensinya adalah meyakini adanya para rasul yang dijadikan utusan-
Nya untuk menyampaikan kehendak Allah kepada umat manusia guna dijadikan pedoman dalam hidup
dan kehidupan. Hidup dan kehidupan ini pasti akan berakhir pada suatu ketika; sebagaimana dinyatakan
dengan tegas oleh para rasul Allah dalam kitab suci. Akibat logisnya adalah meyakini pula adanya hari
akhir atau yaumil akhir. Pada waktu itu Allah Yang Maha Esa akan menciptakan kehidupan baru yang
sifatnya baqa (abadi), tidak fana (sementara) seperti yang dialami oleh manusia saat ini.
Untuk mengetahui alam baqa nanti, manusia yang diciptakan untuk mengabdi dan menjadi
khalifah Allah di bumi sekarang ini akan dihidupkan kembali oleh Allah yang Maha Esa, yang unique
dalam perbuatan-Nya. Selain itu, ia akan dimintai pertanggungan jawab individual mengenai keyakinan,
sikap, dan tingkah lakunya selama hidup di dunia: apakah sesuai dengan pedoman yang diberikan oleh
Allah melalui keteladanan rasul-Nya. Yakin pada adanya peraturan dan ketentuan Allah yang
mempengaruhi hidup dan kehidupan manusia di dunia ini, yang berakibat juga pada kehidupan sesudah
mati kelak, membawa konsekuensi pada keyakinan adanya qada dan qadar Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Mengenai perkataan qada dan qadar ini perlu diberikan penjelasan. Di dalam sejarah kehidupan
orang Islam di Indonesia, perkataan ini perlu diberikan penjelasan. Di dalam sejarah kehidupan orang
Islam di Indonesia, perkataan qada dan qadar yang biasa juga disebut takdir, pernah disalahpahami oleh
umat manusia terhadap rukum iman yang keenam. Sebab, perkataan takdir diartikan sikap yang pasrah
kepada nasib tanpa usaha dan ikhtiar. Oleh karena itu, untuk menghindari kesalahpahaman, perlu
dimengerti benar makna yang dikandung oleh kedua perkataan tersebut. Qada adalah aturan umum
tentang sesuatu menurut hukum tertentu, sedangkan qadar adalah ketentuan sebagai akibat
pelaksanaan hukum tertentu. Dapat pula dikatakan bahwa qada adalah ketentuan, sedangkan qadar
adalah pelaksanaan ketentuan itu. Dengan demikian, qada dan qadar adalah aturan umum yang
dilaksanakan menurut ukuran atau ketentuan tertentu.
Untuk memahami qada dan qadar atau yang biasa disebut takdir, manusia harus berikhtiar,
sebab dalam kehidupan sehari-hari ternyata takdir tuhan berkaitan erat dengan usaha manusia. Usaha
manusia itu haruslah optimal dan maksimal, diiringi doa dan tawakal. Tawakal adalah menyerahkan
nasib diri dan kesudahan usaha kepada tuhan. Inilah makna takdir yang benar, berlangsung melalui
proses usaha (ikhtiar), doa, dan tawakal. Paham tersebut, berkembang dan dapat dipahami bahwa qada
dan qadar bermakna tuhan telah menentukan jalan yang baik atau jalan dimurkai-Nya. Oleh karena itu,
manusia menentukann pilihannya, yaitu jalan yang baik atau jalan tidak baik. Hal ini berarti manusia
menentukan masa depannya atau takdir yang akan dijalani.
Berdasarkan uraian akidah tersebut, terlihat gambaran logis dan sistematis mengenai kerangka
dasar dalam bentuk akidah islam atau keyakinan islam yang terangkum dalam rukum iman. Dasar
keyakinan ini merupakan asas dari seluruh ajaran Islam. Islam sebagai agama tauhid tidak memisahkan
urusan dunia dengan urusan akhirat, bahkan tidak menceraipisahkan pengetahuan umum dengan
pengetahuan agama.
Pengertian iman secara luas ialah keyakinan penuh yang dibenarkan oleh hati, diucapkan oleh
lidah, dan diwujudkan oleh amal perbuatan. Lain halnya pengertian akidah secara khusus, yaitu
mengandung pengertian rukun iman yang memuat keyakinan kepada: (1) Allah, (2) Malaikat-Nya, (3)
Kitab-Nya, (4) Rasul-Nya, (5) hari akhir, dan (6) qada dan qadar. Oleh karena itu, kompetensi iman
seseorang yang sempurna antara lain menunjukkan sifat-sifat sebagai berikut.
1) Segala perilaku merasa disaksikan oleh Allah SWT sebagai pencipta. Hal ini dijelaskan oleh Allah
dalam surah Al-Mu’minun (23) ayat 2-9.
2) Memelihara shalat dan amanat serta memenuhi janji. Dasar hukumnya dijelaskan oleh Allah dalam
surah Al-Mu’minun (23) ayat 2-9.
3) Berusaha menghindari perbuatan maksiat. Hal ini diungkapkan oleh Allah dalam surah Al-Mu’minun
(23) ayat 2-9.
4) Menaati segala apa yang diperintahkan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh Allah. Hal ini
dijelaskan oleh Allah dalam surah Al-Hujuraat (49) ayat 13.
5) Apabila mendapatkan kebahagiaan, dia bersyukur sebagai firman Allah dalam surah An-Nisaa’ (4)
ayat 147.
6) Apabila mendapat musibah (penderitaan) dia bersabar. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam surah Al-
Baqarah (2) ayat 155-156.
7) Apabila mempunyai rencana, ia berusaha memenuhi rencananya dan bertawakal kepada Allah SWT.
Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam surah Al-Imran (3) ayat 159

Selain kompetensi keimanan tersebut, perlu diungkapkan tingkatan keimanan bila dilihat dari
segi:

1) Komitmen terhadap agama Islam, yaitu (1) iman, (2) amal, (3) ilmu, (4) dakwah, dan (5) sabar. Dasar
hukumnya adalah Firman Allah dalam Surah Al-‘Ashr (103) ayat 1-3.
2) Kualitas sikap yaitu
a) Mencegah sesuatu dengan kekuasaan;
b) Mencegah sesuatu dengan lisan;
c) Mencegah sesuatu dengan hati.
3) Motivasi perilaku, yaitu
a) Ikhlas, dan
b) Riya. Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 138-139, 207, 264,272 dan Surah An-Nisaa’
ayat 38.
4) Kemampuan melaksanakan amal, yaitu
a) Melaksanakan keseluruhan syariat;
b) Melaksanakan hanya sebagian syariat;
c) Tidak melaksanakan syariat padahal ia menyatakan keimanannya.

Berdasarkan tingkat keimanan atau stratifikasi keimanan pada setiap muslim, yang amat berperan
dalam tingkatan tersebut adalah factor-faktor pembinaan iman, sebagai berikut:

1) Ilmu;
2) Amal saleh;
3) Jihad;
4) Penyerahan diri dengan menyeluruh;
5) Keridhaan Allah;
6) Memakmurkan masjid;
7) Kesediaan mendengar bacaan Al-Quran;
8) Zikir dan piker.

2. Ketakwaan
a. Pengertian Takwa
Para ilmuwan berbeda pendapat mengenai pengertian takwa, di satu pihak ada yang memberi
pengertian kata takwa adalah takut dan di pihak lainnya ada yang memberi pengertian memelihara.
Namun, yang penting ialah mengetahui kandungan makna kata takwa itu, tanpa harus menerjemahkan
secara harfiah. Oleh karena itu, penulis cenderung berpendapat bahwa takwa adalah sikap hidup
manusia yang memelihara hubungan dengan Allah, hubungan dengan manusia, dan makhluk lainnya.
Memelihara hubungan dimaksud adalah melaksanakan perintah-Nya dan menghentikan larangan-Nya.
Berdasarkan hal tersebut, penulis cenderung memberikan pengertian sebagai berikut.
Takwa dalam pengertian etimologi adalah pemeliharaan. Takwa dalam pengertian terminology
adalah iman yang sudah ada di dalam diri setiap muslim terpelihara sehingga tercapai tujuan hidupnya,
yaitu mengabdi kepada Tuhan. Pengabdian itulah yang mewujudkan kebahagian di dunia dan di akhirat
(QS Ali Imran (3) ayat 102). Oleh Karena itu, ayat-ayat Al-Quran yang sudah disampaikan oleh Nabi
Muhammad saw. Dan di teruskan oleh generasi berikutnya sampai akhir zaman, sehingga manusia
menjadi beriman atau mempercayai bahwa Allah itu ada. Allah yang memberikan nikmat karunia kepada
manusia. Kepercayaan itu, bukan hanya tahu dan meyakini adanya Allah, melainkan lebih dari itu, yaitu
merasakan hubungan erat dengan Allah. Keeratan hubungan dimaksud, manusia merasakan
hubungannya dengan Allah secara terus-menerus melalui ibadah, baik melalui ibadah khusus maupun
ibadah umum. Hubungan yang terus-menerus itulah yang disebut takwa.
Apabila manusia sudah bertakwa kepada Allah SWT berarti manusia itu selalu memupuk
imannya. Oleh karena itu, kepercayaan akan adanya Allah akan membentuk sikap hidup manusia
menjadi memiliki perilaku hidup yang berkarakteristik sifat-sifat terpuji, baik terpuji dari Allah maupun
terpuji dari sesame manusia dan makhluk lainnya berdasarkan indicator ketentuan Al-Quran dan Alhadis
atau perilaku yang pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul.

b. Ruang Lingkup Takwa


Takwa mempunyai ruang lingkup yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan manusia dan makhluk lainnya. Hubungan dimaksud, mempunyai substansi
keimanan kepada Allah yang mengambil bentuk perilaku atau sikap ketaatan manusia kepada perintah
Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, ketakwaan adalah sifat manusia yang terpuji, baik terpuji dari Allah
maupun terpuji dari sesame makhluk berdasarkan indicator Al-Quran dan Alhadis.
Berdasarkan ruang lingkup takwa tersebut, dapat diungkapkan pokok-pokoknya sebagai berikut:
1) Pelaksanaan iman dan amal saleh;
2) Pemeliharaan hubungan dengan Tuhan, bukan saja karena takut, melainkan lebih dari itu, karena
adanya kesadaran diri sebagai hamba Allah. Memelihara hubungan manusia dengan Tuhan
termasuk di dalamnya memelihara hubungan dengan ciptaan Tuhan.
Mengenai perilaku ketakwaan dimaksud, Allah SWT memberi janji kepada manusia (hamba-Nya)
berdasarkan Al-Quran Surah Al-A’raaf ayat 96 sebagai berikut

Seandainya penduduk suatu negeri benar-benar beriman dan bertakwa, maka akan Kami limpahkan
berkah (barokah) dari langit dan bumi; tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat) Kami maka Kami siksa
mereka karena perbuatan tangan mereka sendiri.
BAB III

PENUTUPAN

A. KESIMPULAN
Dalam Al-Quran kata “Tuhan” dipakai untuk sebutan tuhan selain Allah, seperti menyebut
berhala, hawa nafsu, dan dewa. Namun kata “Allah” adalah sebutan khusus dan tidak dimiliki oleh kata
lain selain-Nya, karena hanya Tuhan yang Maha Esa yang wajib wujud-Nya itu yang berhak menyandang
nama tersebut, selain-Nya tidak ada, bahkan tidak boleh. Hanya Dia juga yang berhak memperoleh
keagungan dan kesempurnaan mutlak, sebagaimana tidak ada nama yang lebih agung dari nama-Nya
itu.
Karena kesempatan Allah itulah maka makhluk-Nya termasuk manusia tidak mampu melihat
wujud Allah. Namun bukan berarti wujud Allah tidak ada, justru Al-Quran mengisyaratkan kehadiran
Tuhan ada dalam diri setiap insan, dan hal tersebut merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal
kejadiannya, wujud Tuhan dapat juga dibuktikan lewat ciptaan-Nya, dan bukti wujud Tuhan juga dapat
dibuktikan bahwa Allah Swt. sebagai sebab dasar dari segala sebab.
Allah Swt dalam pandangan Islam adalah Allah Ahad, bermakna bahwa Tuhan esa dalam segala
aspek, dan tak pernah sekalipun mengandung pluralitas. Baik itu pluralitas maknawi, sebagai mana yang
ada dalam genus dan karakter, ataupun pluralitas yang real, sebagaimana yang Nampak dalam dunia
materi. Keesaan ini juga menegasikan dan mensucikan Tuhan dari hal-hal yang mengindikasikan bahwa
Tuhan memiliki bentuk, kualitas, kuantitas, warna dan segala jenis gambaran akal yang mampu merusak
kebersahajaan yang satu. Demikian juga, ahad mengindikasikan bahwa taka da sesuatupun yang
menyamai-Nya.
Keesaan Allah dapat di buktikan dengan tiga bagian pokok, yaitu: kenyataan wujud yang tampak,
rasa yang terdapat dalam jiwa manusia, dan dalil-dalil logika. Kenyataan wujud yang tampak Al-Quran
menggunakan seluruh wujud sebagai bukti, khususnya keberadaan alam raya ini dengan segala isinya.
Berkali-kali manusia diperintahkan untuk melakukan nazar, fikr, serta berjalan di permukaan bumi guna
melihat betapa alam raya ini tidak mungkin terwujud tanpa ada yang mewujudkannya.
Rasa yang terdapat dalam jiwa manusia yang selalu memiliki naluri mengharap, cemas, dan
takut, karena kepada siapa lagi jiwanya akan mengarah jika rasa takut atau harapannya tidak lagi dapat
dipenuhi oleh makhluk, sedangkan harapan dan rasa takut manusia tidak pernah akan putus. Sementara
pembuktian logika Allah mengandaikan dua Tuhan. Secara logis hanya ada satu Tuhan. Apabila tuhan
lebih dari satu maka hanya satu saja yang tampil sebagai yang pertama, dan juga seandainya ada dua
pencipta, maka akan kacau ciptaan, karena jika masing-masing pencipta menghendaki sesuatu yang
tidak dikehendaki oleh yang lain, maka kalua keduanya berkuasa, ciptaan pun akan kacau atau tidak
akan mewujud; kalua salah satu mengalahkan yang lain, maka yang kalah bukan Tuhan; dan apabila
mereka berdua bersepakat, maka itu merupakan bukti kebutuhan dan kelemahan mereka, sehingga
keduanya bukan Tuhan, karena Tuhan tidak mungkin membutuhkan sesuatu atau lemah atas sesuatu.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, Sejarah Agama, Solo: CV. Ramadhani, 1991

Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997

Al-Mu’jam, Fuad Abdul Baqi, Al-Mufahras Li Alfazal-Quran, Kairo: Dar al-Kutub Al-Mishriyah

Ar-Razi, Fakhruddin, Mafatih al-Ghaib, juz 1, Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyyah, 1981

Al-Tahir bin 'Asyur, Syeikh Muhammad, Tafsir Al-Tahrir Wa al-Tanwir, Tunis: Dar At-Tunisiyah,
1984

Böwering, Gerhard. "God and his Attributes ." Encyclopaedia of the Qurʾān

Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Jumanatul Ali-ART, 2005

Encyclopædia Britannica. 2007. Encyclopædia Britannica Online

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990

Husnan. Ahmad, Meluruskan Pemikiran Pakar Muslim. Cetakan Pertama, Surakarta:Al Husna,
2005

Manaf, Mudjahid Abdul, Sejarah Agama-Agama, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994

Manzur, Ibnu, Lisan al-‘Arab,Beirut : Darul Fikri, 1386H Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam:
(Lanjutan) Teori dan Praktik, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010

Qadir, C.A., Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Yayasan Obor, Jakarta, 1991

Shihab, M. Quraisy, Membumikan Al Qur'an, Mizan, Bandung, 1999

------------------------, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera Hati, 2007

------------------------, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat , cetakan
XXIII, Bandung:Mizan, 1996

Watt, W. Montgomery, The influence of Islam on Modreveal Europe, England Edinburg


University, Press Ltd, 1994

Anda mungkin juga menyukai