Anda di halaman 1dari 12

Kata pengantar

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang yang telah memberi rahmat serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “Bukti rasional Keesaan Allah”. Kami menyadari
bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan karena masih dalam tahap
belajar. Oleh karena itu, kami dengan siap akan menerima saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat yang baik
bagi kami sebagai penulis dan juga para pembaca makalah ini. Kami sangat berterimakasih
kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah membimbing dan juga memberikan ilmu yang baik
dan bermanfaat kepada kami sehingga kami dapat memperoleh kebenaran dalam urusan kami
dan juga telah membantu serta mempermudah kami dalam menyelesaikan makalah ini. Kami
berterimakasih juga kepada dosen kami yang terhormat, yaitu bapak Drs. Nanang Gojali M.Ag.
selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu Tauhid di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung
Djati Bandung. Semoga ilmu-ilmu baik beliau yang telah tersalurkan kepada kami agar
mendapat imbalannya yang lebih baik oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semoga Tuhan Yang Maha
Esa selalu memberikan keberkahan dan kemudahan serta kebaikan untuk kehidupan kita semua.

i
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Pembahasan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Arguementasi Eksistensi Allah

2.2 Argumentasi Keesaan Allah

2.3 Argumentatif tentang keesaan Allah

BAB III PENUTUP

3.2 Kesimpulan

3.3 Saran

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pada dasarnya Secara istilah, pengertian Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas
tentang Allah SWT, sifat-sifat yang wajib pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-
Nya, dan sifat-sifat yang sama sekali harus ditiadakan daripada-Nya. Tetapi dalam makalah kali
ini kita akan memfokuskan kajian ilmu tauhid mengenai Bukti rasionalitas keesaan Allah. Bukti
rasionalitas merupakan bukti yang muncul dari Ide-ide yang diuraikan dalam larutan rasional
melalui pembentukan implikasi mengumpulkan bukti (data). Memperkuat bukti tentang ide-ide
tersebut dan menyimpulkan melalui kesaksian atau percobaan. kemudian timbul dari solusi yang
mungkin dalam bentuk spekulatif, hipotesis, inferensi atau teori. Ilmu tauhid dengan bukti
rasionalitas keesaan Allah memiliki keterkaitan yang kuat. Ilmu tauhid membahas tentang
keesaan allah dan bagaimana cara kita agar memperkuat akidah untuk mempercayai keesaan
allah. Sedangkan bukti rasionalitas keesaan Allah merupakan bukti atas keesaan yang terjadi di
muka bumi ini. Bukti rasionalitas keesaan Allah memiliki berbagai argumentasi , seperti
argumentasi tentang eksistensi Allah dan argumentasi tentang keesaan Allah. Tentu terdapat
banyak pertentangan terkait bukti rasionalitas tersebut. Maka inilah yang melatar belakangi ilmu
tauhid sebagai ilmu yang tepat untuk mengatasi pertentangan mengenai bukti rasionalitas
keesaan Allah.
1

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat kami rumuskan permasalahan yang
akan dibahas sebagai berikut :

1. Bagaimana argumentasi tentang eksistensi Allah?


2. Bagaimana argumentasi tentang keesaan Allah?
3. Apakah terdapat kekeliruan argumentatif tentang keesaan Allah?

1.3 Tujuan Pembahasan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, makalah ini disusun dengan tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui argumentasi eksistensi Allah


2. Untuk mengetahui argumentasi keesaan Allah
3. Untuk mengetahui keterdapatan kekeliruan argumentatif tentang keesaan Allah

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Argumentasi tentang eksistensi Allah

1.Argumen kosmologis

Argumen kosmologis adalah salah satu argumen yang sering digunakan dalam ilmu teologi dan
filsafat. Argumen ini digunakan untuk membuktikan eksistensi Tuhan berdasarkan fakta atau
klaim yang berhubungan dengan alam semesta.

Dari sekian argumen yang dilayangkan oleh para filsuf, mungkin yang paling terkenal datang
dari Thomas Aquinas, seorang filsuf-pendeta yang hidup pada Abad Pertengahan. Pemikiran
Aquinas sendiri dipengaruhi oleh Agustinus dari Hippo, Aristoteles, dan Plato.

2.Argumen Ontologis

Argumen ontologis pertama kali dirumuskan oleh St. Anselmus, Uskup Agung Canterbury, dan
kemudian diambil oleh Alvin Plantinga. "Tuhan ada, asalkan secara logis ada kemungkinan
baginya untuk ada."

Argumen ini cukup berani dalam kesederhanaannya. Tidak hanya membutuhkan kepercayaan
pada Tuhan, argumen ini juga menekankan kepercayaan pada kebutuhan makhluk ciptaan akan
sosok penciptanya. Jika kita yakin kalau Tuhan diperlukan dalam dunia ini, maka kita harus
percaya kalau Tuhan ada.

Namun para kritikus menganggap kalau argumen ini hanya berputar-putar dari sebuah premis ke
kesimpulan yang berumpu pada premis yang mengandalkan kesimpulan.

3.Argumen dari moralitas

Argumen ini sudah sangat tua, yang menyatakan kalau Tuhan pasti ada karena alasan berikut:

1. Tuhan selalu "memantau" aspek moralitas manusia


2. Percaya kepada Tuhan adalah opsi terbaik dari segi moralitas daripada opsi lainnya
3. Dengan demikian, percaya pada Tuhan lebih disukai oleh-Nya daripada tidak percaya
pada Tuhan
3

Argumen ini secara teknis valid, asalkan ketiga poin di atas diterima. Namun, sebagian besar
kritikus sudah menyangkal poin pertama sejak awal. Menurut mereka, moralitas tidak universal.
Thomas Hobbes sendiri berpendapat kalau moralitas didasarkan pada masyarakat yang hidup di
sekitarnya. Oleh karena itu, moralitas lebih bersifat subjektif.

Misalnya, para prajurit Perang Salib Pertama melakukan pembantaian atas nama agama, di mana
mereka membunuh setiap pria, wanita, dan anak-anak di Yerusalem pada tahun 1099. Dari sudut
pandang mereka, apa yang mereka lakukan adalah benar secara moral

4.Argumen dari alasan

C.S. Lewis, penulis The Lion, the Witch, and the Wardrobe, terkenal lewat argumen ini. Pada
dasarnya, ia berpendapat bahwa Tuhan pasti ada, lalu dia berpendapat:

"Seandainya tidak ada kecerdasan atau pikiran kreatif di balik alam semesta, maka tidak ada
yang merancang otak saya agar bisa digunakan untuk berpikir."

Kedengarannya memang sangat masuk akal? Namun titik lemah dari argument from
reason adalah, dalam arti yang paling sempit, tujuan yang diberikan kepada otak manusia
bukanlah bukti dari keberadaan Tuhan. Semua ini tidak ada hubungannya dengan keberadaan
Tuhan. Dalam hal ini, Lewis mengarah ke strawman fallacy.

Dengan demikian, argumen tersebut lebih mengarah pada pembantahan materialisme


naturalistik. Namun mengingat sebagian besar ateis menggunakan materialisme naturalistik
sebagai dasar dari ateisme, maka tak heran kalau argumen ini sering digunakan untuk
menyangkal mereka.

5.Argumen dari derajat

Argumen dari derajat, juga dikenal sebagai argumen henologis, adalah salah satu dari "Lima
Bukti Tuhan" Thomas Aquinas.

Lima bukti tersebut termasuk argumen dari sebab-pertama (yang sudah dijelaskan di poin
pertama), argumen dari sebab-akibat, argumen dari kontingensi, argumen dari derajat (degree),
dan argumen dari sebab-terakhir atau argumen teleologis.

Kritik paling umum untuk argumen ini menganggap bahwa kita tidak harus percaya pada objek
dengan derajat yang lebih tinggi untuk percaya pada objek dengan derajat yang lebih rendah.

Richard Dawkins, salah satu kritikus kreasionisme yang paling terkenal saat ini, berpendapat
bahwa hanya karena kita menemukan sebuah objek yang memiliki "bau," kita tidak harus
percaya kalau ada "bau tak tertandingi" di luar sana.
4

2.2 Argumentasi tentang Keesaan Allah

Esa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah "Tunggal", "Satu".
Keesaan Allah Subhanahuwataala adalah meyakini bahwa hanya Allah lah satu-satunya
tuhan yang menciptakan alam semesta ini dan satu-satunya Tuhan yang wajib kita
ibadahi. Banyak orang yang mengaku dirinya beragama Islam, namun pemahamannya
tentang ke Esaan Alloh masih sangat kurang, bahkan sedikit sekali orang yang dapat
menjawab dengan benar apabila ditanya tentang keEsaan Alloh. Di sisi lain seseorang
mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang disembahnya, tidak
mengetahui bagaimana sifat-sifat Allah, tidak mengetahui nama-nama Allah, tidak
mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya. Yang akibatnya, tidak
mentauhidkan Allah dengan benar, bahkan mensyirikkanNya dan keimanan terhadap Nya
pun sangat kurang, sehingga kepasrahan terhadap Alloh swt pun mengambang. Maka
sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, dan
menyimak tentang ke Esaan Alloh langsung dari Kalam Alloh yang telah ditulis di dalam
Al Quran khususnya dalam surat Al-‘An’am, karena didalam surat al-An’am ini
mengandung bukti-bukti keesaan Alloh swt. Bahkan ilmu Tauhid inilah ilmu yang paling
pertama dan utama yang harus diketahui terlebih dahulu oleh setiap muslim. Oleh karena
itu, setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu tersebut, karena
merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang nama-nama-Nya, sifat-
sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba- Nya.Bukti-Bukti Keesaan Allah Dalam Surah
Al-An’aam Ayat 1-83 Menurut Para Mufassir Berikut pendapat beberapa mufassir
tentang ke-esaan Allah dalam ayat tersebut: Fakhru al-Razi dalam tafsir al-Kabir
menjelaskan, bahwa,9 Surah al- An’aam memiliki dua keutamaan/kekhususan
dibandingkan dengan surah-surah lain dalam al-Qur’an Surah al-An’am diturunkan
sempurna sebelum hijrah dan termasuk surat Makkiyah terkecuali 6 ayat yang
Madaniyah. Yang menyertai di saat diturunkannya surah ini adalah 70 ribu malaikat.

Hal ini disebabkan karena surah al-An’aam itu menyangkut dalil tauhid, keadilan,
kenabian, kebangkitan, dan aliran-aliran sesat dan mulahhidin.
5

Lebih jauh lagi Al-Razi juga mengungkapkan, bahwa turunnya surah al- An’aam dengan
cara satu kali ini menunjukkan betapa sangat tinggi kedudukannya ilmu Ushuluddin. Itu
pula sebabnya pengetahuan tentang ilmu dasar agama (ilmu tauhid) segera menjadi
kewajiban untuk diketahui oleh umat, dibandingkan dengan ilmu hukum yang penerapan
dan pengaturannya oleh al- Qur’an dilakukan secara bertahap, dan hal ini sangat
disesuaikan dengan kondisi umat.
Di dalam surat al-An’aam ini menampakkkan betapa Allah menunjukkan keMaha
Esaan Nya, sehingga dalam surah ini menjadi ulasan yang paling utama. Di awal surah
dimulai dengan kata “al-Hamdu li Allah”. Menurut al-Razi, hal ini adalah merupakan
suatu pernyataan yang sangat jelas bahwa sesungguhnya yang menciptakan dan yang
menentukan adanya alam ini adalah “Yang Maha Pencipta”, yang menciptakan dengan
kekuasaan dan kehendak-Nya, dan tiada suatu sebab yang mewajibkan diri-Nya untuk
mewujudkannya, dan pula tiada suatu keraguan dan sangkalan akan faedah yang begitu
besar dari apa yang diciptakan bagi agama. Kemudian di uraikan juga bahwa, karena
kehendak dan keEsaan-Nya. Itulah, kenapa awal surah ini bukan dimulai dengan kata
“syukur” (terima kasih), karena Tuhan yang mengadakan bukan untuk kebutuhanNya
kepada apa yang Ia ciptakan.
Jika seorang hamba berterimakasih (bersyukur) kepadaNya atas sampainya
nikmat ciptaan Allah kepada manusia, hal demikian menunjukkan karena memang
manusialah sesungguhnya yang butuh kepadaNya. Kata “Hamdalah” memang wajar bagi
seorang hamba untuk memberikan pujian kepadaNya, karena Dia-lah yang Maha Haq
untuk dipuji, bukan karena Dia telah menyampaikan suatu nikmat kepada hambaNya,
melainkan kata “Hamdalah” ,lebih merupakan suatu perwujudan rasa keikhlasan yang
sempurna.
6
Menurut Al-Razi, Ada beberapa hal yang menyebabkan dalam penciptaan langit
dan bumi itu memakai kata “khalaqa”, yaitu merupakan suatu gambaran akan
kemahakuasaan Allah, kemahatahuan Allah dari segala yang ada, baik yang dalam
bentuk mujmal atau terperinci, karena kata “khalaqa” menunjukkan kepada suatu sifat
ilmu. Kata “khalaqa”, merupakan gambaran kemahakuasaan Allah dan kemahatahuan-
Nya dengan segala yang diketahui-Nya, jauh telah mengetahui tentang langit dan bumi
sebelum Ia menciptakannya. Beberapa hal lain yang diungkap oleh al-Razi dalam ayat 1
ini, adalah kata “as-Samaa’” dan “al-Ardh”, dengan mengkaji kenapa kata as-Samaa’
didahulukan dari kata al-Ardh, dan menurutnya, bahwa kata “as-Samaa’ laksana suatu
lingkaran, sementara al-Ardh laksana markas, berhasilnya suatu putaran mewajibkan
adanya suatu markaz, dan bukan sebaliknya.

Dua bukti keesaaan Allah Subhanahu Wataala adalah:


1. Allah menciptakan Langit beserta isinya. Langit yang kita sering lihat pandang
tersebut dapat berdiri tegak tanpa ada tiang penyangga satupun. Jika melihat ke langit,
tidak ada sedikitpun kecacatan dan keretakan sedikitpun. Bagaimana matahari dan bulan
bergerak konstan di peredarannya. Bayangkan jika Tuhan ada 2 atau lebih, maka setiap
tuhan akan punya kepentingan masing-masing dalam menjalankan langit beserta isinya,
dan apa yang akan terjadi tentu adalah kekacauan.
2. Allah menciptakan Bumi beserta isinya. Bumi yang terhampar yang dijadikan
tempat tinggal manusia dan makhluk lainnya, menyimpan bukti keesaan Allah
Subhanahuwataala. Bagaimana Oksigen yang kita hirup ini sudah ada jauh sebelum kita
diciptakan. Begitu banyak hewan dan tumbuhan yang dijadikan makanan oleh manusia
dan tidak pernah habis. Bagaimana tubuh kita dapat terbentuk begitu sempurna dengan
organ-organ di dalamnya yang bergerak tanpa henti siang dan malam.Bayangkan jika
Tuhan ada 2 atau lebih, maka setiap tuhan akan membuat makhluk di bumi ini sesuia
keinginan masing-masing dan tentunya akan terjadi ketidaksempurnaan dan kekacauan.
7

2.3 kekeliruan argumentatif tentang keesaan Allah

Manusia dalam kehidupan di dunia pana ini selalu mencari segala yang dianggap
sempurna. Demi terwujudnya kesempurnaan pada dirinya, berbagai sarana ia gunakan.
Cinta kesempurnaan merupakan satu hal yang wajar dan bersifat alami (baca: Fitrah)
bagi setiap makhluk di muka bumi ini, khususnya makhluk yang dinamakan manusia,
baik kecintaan itu bersumber dari hal- hal yang bersifat natural maupun dari kebebasan
berkehendak (free will) yang dimilikinya. Sehubungan dengan makhluk manusia, telah
terbukti bahwa setiap manusia selalu berusaha untuk memenuhi segala kekurangan yang
ada pada dirinya. Dan sebelum ia berhasil merealisasikan hal itu, kita saksikan, biasanya
ia selalu menutup-nutupi segala kekurangan yang dimilikinya di hadapan orang lain.
Dengan potensi akal yang dimilikinya, manusia akan terus mencari segala bentuk
kesempurnaan dirinya. Dengan itu, ia berusaha mencari berbagai bentuk sarana
penunjang demi tercapainya kesempurnaan yang ia harapkan. Meskipun sering kita
jumpai betapa banyaknya orang-orang yang salah dalam menentukan wujud rill
kesempurnaan tersebut. Hal itu disebabkan kekeliruan mereka dalam mendefinisikan
hakikat kesempurnaan diri, atau karena sebab-sebab eksternal yang bersifat negatif
yang banyak mempengaruhinya, seperti lingkungan, pendidikan dan sebagainya. Stigma
yang belum tersingkap dari berbagai macam fenomena alam menunjukkan
kelemahan eksperimen inderawi manusia.
Lantas, apakah selama teka-teki tersebut tidak dapat dipecahkan dengan jalan akal
pikiran, kita harus mengingkari keberadaannya di alam semesta ini? Kemudian jika
telah dibuktikan keberadaannya melalui eksperimen, maka sesuatu yang semula kita
ingkari keberadaannya itu lantas menjadi ada. Bukankah ungkapan tadi dapat diartikan
bahwa ada dan tiadanya sesuatu itu sangat bergantung kepada eksperimen? Padahal
banyak sekali hal- hal yang bersifat materi yang telah ada, namun belum bisa terungkap
karena keterbatasan sarana yang dimiliki. Dan eksperimen memiliki banyak
keterbatasan yang tidak mungkin dijadikan satu-satunya tolok ukur dalam menjawab
teka-teki alam semesta ini.

Setelah kita meyakini keberadaan supra-natural di alam semesta ini, termasuk pada
diri manusia yang biasanya disebut dengan ruh, jiwa, akal, hati sanubari, fitrah dan
sebagainya, maka muncul pertanyaan dalam hati kita; dari manakah asal- muasal
eksistensi supra-natural tersebut yang dari sisi tingkat kesempurnaannya di atas
eksistensi material? Dari sinilah mulai muncul pembahasan tentang ketuhanan. Tuhan
yang oleh setiap pemeluk agama diyakini sebagai sumber segala eksistensi.

Tuhan merupakan eksistensi absolut, oleh karena itu konsekwensi logisnya adalah
bahwa Dia dari segala sisi-Nya termasuk semua atribut yang ada pada eksistensi dzat-
Nya- bersifat absolut juga. Karena mustahil sesuatu yang terbatas terdapat pada sesuatu
yang tidak terbatas dan bersifat absolut. Tuhan dengan keabsolutan-Nya, menjadi kausa
prima dari alam semesta ini, baik yang bersifat materi maupun yang bersifat non-
materi.
9

BAB III

PENUTUP

Al-‘akkad, Abbas Mahmoud, 1970, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama-agama dan Pemikiran
Manusia. alih bahasa A. Hanafi. Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang,

Al-Rahman, Fazlur, 1983, Tema pokok Al-qur’an. Terj. Anas Mahyuddin. Cet. I. Bandung :
Pustaka

Anda mungkin juga menyukai