Anda di halaman 1dari 358

Samples, Kenneth R.

Without a Doubt: Menjawab 20 Pertanyaan Tersulit tentang Iman / Kenneth


R. Samples––Alih bahasa, Ellen Hanafi––Cet. 1––Malang : Literatur SAAT, 2014.
373 hlm. ; 21 cm

ISBN 978-602-7788-12-1

WITHOUT A DOUBT
MENJAWAB 20 PERTANYAAN TERSULIT TENTANG IMAN
Oleh: Kenneth R. Samples

Copyright ©2004 by Kenneth R. Samples


Originally published in English under title
Without a Doubt: Answering the 20 Toughest Faith Questions
by Bethany House, a division of Baker Publishing Group,
Grand Rapids, Michigan, 49516, U.S.A.
All rights reserved

Diterbitkan oleh
LITERATUR SAAT
Jalan Anggrek Merpati 12, Malang 65141
Telp. (0341) 490750, Fax. (0341) 494129
website: www.literatursaat.org

Penulis : Kenneth R. Samples


Alih Bahasa : Ellen Hanafi
Penyunting : Chilianha Jusuf
Penata Letak : Yusak P. Palulungan
Gambar Sampul : Lie Ivan Abimanyu

Edisi terjemahan telah mendapat izin dari penerbit buku asli.


Cetakan Pertama : 2014

Dilarang memproduksi sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
Penerbit.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 7
Ucapan Terima Kasih 9
Pendahuluan: Mengutak-atik Dua Puluh Pertanyaan tentang
Kehidupan 13

Bagian I: Memikirkan Pertanyaan-pertanyaan tentang Iman kepada Allah


1. Bagaimana Orang Dapat Mengetahui Bahwa Allah Itu Ada? 21
2. Bagaimana Saya Dapat Memercayai Allah yang Tidak Dapat
Saya Lihat? 39
3. Bagaimana Allah Menyatakan Diri-Nya? 49
4. Bukankah Kredo Itu Bagian Masa Lalu? 63
5. Bagaimana Allah Bisa Menjadi Tiga dan Satu? 77
6. Mengapa Saya Harus Bertaruh tentang Iman? 95

Bagian II: Memikirkan Pertanyaan-pertanyaan tentang Iman kepada Yesus


Kristus
7. Apakah Kisah-kisah di dalam Injil tentang Kehidupan Yesus
Dapat Dipercaya? 111
8. Apakah Yesus itu Manusia, Mitos, Orang Gila, Ancaman, Mistik,
Penghuni Mars, atau Mesias? 127
9. Bagaimana Yesus Kristus Bisa Menjadi Allah Sekaligus
Manusia? 149
10. Apakah Yesus Kristus Benar-benar Bangkit dari Kematian? 169
11. Mengapa Yesus Kristus Harus Mati? 187
Bagian III: Memikirkan Penolakan-penolakan terhadap Iman Kristen
12. Bukankah Semua Agama Menuntun pada Allah? 201
13. Bagaimana Seharusnya Orang Kristen Menanggapi Agama-
agama di Dunia? 215
14. Bukankah Agama Kristen dan Ilmu Pengetahuan
Bertentangan? 239
15. Bukankah Kemunafikan Membuat Kekristenan
Tidak Berlaku? 257
16. Bukankah Saya Berhak Melakukan Apa Pun yang Saya Inginkan
dengan Tubuh Saya Sendiri? 271
17. Bukankah Kekristenan Mendorong Sikap Tidak Toleran? 287
18. Bukankah Moralitas Tergantung dari Mata yang
Memandangnya? 297
19. Bagaimana Mungkin Allah yang Baik dan Mahakuasa
Membiarkan Kejahatan Terjadi? 311
20. Bagaimana Seorang Kristen Harus Mempersiapkan Diri untuk
Memberikan Penjelasan tentang Iman? 333

Catatan 341

DAFTAR TABEL

1.1 Model naturalistis dan alkitabiah untuk menjelaskan kehidupan


dan alam semesta 26
8.1 Jati Diri Yesus: Siapakah Yesus? 146
13.1 Membandingkan pemimpin-pemimpin agama di dunia 222
BAGAIMANA ORANG DAPAT MENGETAHUI
BAHWA ALLAH ITU ADA?

Saya memercayai kekristenan seperti halnya saya memercayai bahwa matahari


telah terbit, bukan hanya karena saya melihatnya, melainkan karena dengan
adanya matahari itu saya dapat melihat segala sesuatu yang lain.
––C. S. Lewis, The Weight of Glory and Other Addresses

Manusia tidak pernah bersikap netral berkaitan dengan Allah. Kita dapat
menyembah Allah sebagai Pencipta dan Tuhan, atau sebaliknya, kita dapat
berpaling dari Allah. Karena hati ditujukan kepada Allah atau sebaliknya,
menentang-Nya, maka pemikiran teoretis tidak pernah menjadi semurni atau
bisa berdiri sendiri seperti yang ingin dipikirkan oleh banyak orang.
––Ronald H. Nash, Worldviews in Conflict

A pakah Allah itu ada? Apakah Dia menciptakan manusia atau apakah
manusia menciptakan Dia? Pertanyaan tentang keberadaan Allah
ini mungkin merupakan pokok dari apa yang disebut para filsuf sebagai
“pertanyaan besar tentang kehidupan.” Apa yang orang anggap sebagai
riil, benar, tepat, berharga, dan bermakna ternyata secara dramatis dipe-
ngaruhi oleh pandangan mereka tentang apakah Allah itu nyata atau
tidak. Karena perspektif ini membentuk konteks keseluruhan pan-
dangan, maka kaum ateis dan umat Kristen memandang semua realitas
dengan cara pandang yang berbeda. Bagi umat Kristen, Allah di dalam
Alkitab menetapkan konteks utama bagi semua kehidupan dan pemikiran
(lih. bab 16). Adakah alasan yang benar untuk memercayai bahwa Dia
ada?

21
22 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Realitas yang Berarti


Hipotesis yang baik, entah itu ilmiah atau filosofis, diterima karena
memiliki kekuatan penjelasan yang riil. Allah di dalam Alkitab (selan-
jutnya disebut sebagai Allah) memberikan landasan metafisika yang
kokoh dan konsisten untuk menjelaskan realitas dan fenomena penting
yang dihadapi di dalam kehidupan, setidaknya dalam sembilan cara yang
spesifik.1
Allah secara unik menjelaskan awal kejadian alam semesta
Dua konsep kuat bukti ilmiah mengarah pada kesimpulan bahwa
alam semesta memiliki awal.2 Pertama, menurut teori ilmiah yang
berlaku, alam semesta memiliki permulaan kejadian sekitar 14 miliar
tahun yang lalu. Semua materi, energi, waktu, dan ruang muncul dan
dengan cepat berkembang mulai dari volume yang sangat kecil. Ledakan
dahsyat yang panas ini (yang terus berkembang dan disempurnakan)
secara bertahap menjadi dingin dan menyebar dengan baik untuk memung-
kinkan pembentukan galaksi, bintang, planet, dan sebagainya. Model
kosmologi ledakan dahsyat yang mendasar ini dianut oleh sebagian besar
ilmuwan riset karena akumulasi bukti-bukti astronomis yang luas dan
pengujian yang sukses.3 Model kosmologis tersebut menunjukkan bahwa
alam semesta ini tidak kekal, tetapi memiliki awal yang spesifik, pada
suatu periode tertentu di masa yang lalu.
Kedua, Hukum Entropi (juga disebut sebagai Hukum Kedua Termo-
dinamika) memberikan penegasan lebih lanjut bahwa alam semesta
memiliki awal. Prinsip yang mantap ini menunjukkan bahwa energi di
alam semesta hilang secara bertahap dan merata di semua tempat. Jadi,
akan tiba saatnya secara alami perkembangan alam akan terhenti, akan
terjadi, “keseimbangan termal” (semua lokasi di alam semesta memiliki
suhu yang sama)4, dan semua aktivitas fisik akan berhenti. Jika alam
semesta itu abadi, penghentian ini tentu sudah terjadi karena dipaksa.
Oleh karena itu, prinsip entropi mendukung pandangan bahwa alam
semesta telah ada pada suatu periode tertentu.
Dengan melihat bukti-bukti ilmiah yang meyakinkan bahwa alam
semesta memiliki permulaan yang pasti, pertanyaan yang diajukan oleh
matematikawan sekaligus dan filsuf Jerman, Gottfried Leibniz (1646-
1716) makin menggelitik: “Mengapa ada sesuatu dan bukan tidak ada
BAGAIMANA ORANG DAPAT MENGETAHUI BAHWA ALLAH ITU ADA? 23

apa-apa?”5 Mengapa? Mengetahui bahwa alam semesta memiliki awal


tunggal pada periode waktu yang terbatas di masa lalu, membuat kita
sangat sulit menghindari logika sederhana namun menarik dalam Argu-
men Kosmologis Kalam:
1. Apa pun yang mulai ada, memiliki penyebab atas keberadaannya.
2. Alam semesta mulai ada.
3. Oleh karena itu, alam semesta memiliki penyebab atas keberada-
annya.6
Mengingat sifat dari akibat (alam semesta yang tidak pasti), adalah
logis bahwa si penyebab atau Pencipta harus transenden, tidak bersebab,
kekal, dan abadi (Setiap penyebab yang tidak memiliki karakteristik ini
dengan sendirinya akan membutuhkan penyebab, untuk alasan yang
sama bahwa alam semesta ini memerlukan penyebab). Menurut definisi,
allah seperti itu cocok dengan deskripsi umum tentang Allah di dalam
Alkitab, tetapi tidak cocok pada sebagian besar konsep agama lainnya
tentang allah mereka.7 Dan kisah penciptaan di dalam Alkitab sangat
cocok dengan temuan ilmu pengetahuan modern tentang kosmologi (lih.
detail spesifik di bab 14).
Mungkinkah penjelasan tentang awal kejadian alam semesta tidak
melibatkan Pencipta yang Ilahi? Ya, dan penjelasan-penjelasan itu layak
direnungkan.
Opsi pertama adalah bahwa alam semesta disebabkan atau dicipta-
kan oleh dirinya sendiri. Namun, kesimpulan ini tidak rasional karena
agar tercipta, alam semesta itu sendiri harus ada sebelum ia ada—ini
jelas mustahil. Sesuatu itu tidak dapat ada dan tidak ada pada waktu
yang bersamaan dan dengan cara yang sama.
Opsi kedua adalah bahwa alam semesta muncul dan menjadi ada
dari ketiadaan dan oleh ketiadaan (atau tidak dari siapa pun). Namun,
konsep ini juga tidak rasional karena sesuatu itu tidak dapat berasal
dari ketiadaan mutlak (tidak ada energi, tidak ada materi, tidak ada
tenaga, tidak ada akal, tidak ada alasan, dan sebagainya). Suatu akibat
tidak dapat lebih besar daripada penyebabnya, dan dalam hal ini
penyebabnya adalah ketiadaan. Pepatah filosofis dan ilmiah kuno yang
berbunyi ex nihilo nihil fit terasa masuk akal—”dari ketiadaan, tidak
ada sesuatu pun yang muncul.” 8 Bila orang menyimpulkan yang
24 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

sebaliknya, berarti ia melanggar salah satu prinsip dasar aktivitas ilmiah,


yakni kausalitas.
Opsi ketiga yang eksotis dan kuasi-ilmiah menyimpulkan bahwa ada
beberapa alam semesta (kadang-kadang disebut multiverse/banyak alam
semesta9). Kesimpulan ini menyatakan bahwa sebuah mekanisme fisika
yang abadi mungkin dapat memunculkan alam semesta satu demi satu
secara bergiliran. Namun, pandangan provokatif ini tidak berdasarkan
data yang dapat diobservasi secara langsung, tetapi pada spekulasi teo-
retis. Sebagai hipotesis yang salah dan sangat spekulatif, pandangan ini
tidak memberikan penolakan yang berapi-api bahwa alam semesta
memiliki awal.
Opsi keempat mempertimbangkan kosmologi tradisi agama lainnya,
khususnya agama-agama dari Timur. Namun, kosmologi agama dari
Timur dapat disingkirkan dengan cepat karena tidak koheren dan tidak
cocok dengan bukti ilmiah yang terbaik mengenai asal-usul alam semesta.10
Sebagai contoh, beberapa bagian aspek agama Hindu menyangkal kebe-
radaan alam semesta secara fisik.
Kembali pada opsi bahwa Allah adalah sosok yang ada di balik alam
semesta, bukti ilmiah tentang awal kejadian alam semesta sangat cocok
dengan ajaran Alkitab. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan
bumi” (Kej. 1:1). Doktrin Kristen creatio ex nihilo mengajarkan bahwa
tidak ada sesuatu pun selain Allah (roh yang bersifat pribadi, kekal dan
tidak terbatas), dan bahwa Allah dengan hikmat-Nya yang tak terukur
dan kuasa-Nya yang tidak terbatas, menjadikan alam semesta (semua
materi, energi, waktu, dan ruang) dari ketiadaan (bukan dari keberadaan
realitas fisik apa pun yang sudah ada sebelumnya seperti materi) dan
menopang keberadaannya setiap saat (Rm. 4:17; Kol. 1:16-17; Ibr. 11:3).
Oleh sebab itu, Allah di dalam Alkitab adalah Pencipta yang transenden
dan Penopang alam semesta yang penuh kasih pemeliharaan. Allah adalah
penjelasan metafisika yang diperlukan untuk keberadaan alam semesta
yang tidak dapat berdiri sendiri (yang disebabkan, yang bergantung pada,
dan yang tidak dapat dijelaskan).
BAGAIMANA ORANG DAPAT MENGETAHUI BAHWA ALLAH ITU ADA? 25

Allah secara unik menjelaskan tatanan, kompleksitas, dan desain


yang nyata ada di alam semesta.
Bahkan kaum ateis yang paling kukuh sekalipun akan mengakui
bahwa alam semesta menunjukkan tatanan, keteraturan, kompleksitas,
dan kejelasan yang luar biasa. Namun, penerimaan prinsip antropik
(pandangan bahwa alam semesta ada sebagaimana mestinya agar dapat
memungkinkan terjadinya penciptaan manusia sebagai pengamat) oleh
komunitas ilmiah telah meningkatkan intuisi bahwa alam semesta adalah
produk dari Sesosok Perancang kosmis.11 Kerumitan, harmoni, dan
pengaturan kosmos yang menakjubkan untuk memungkinkan munculnya
kehidupan manusia dibuktikan mulai dari penyempurnaan konstanta
fundamental fisika sampai pada sifat galaksi dan tata surya yang “cocok
persis,” hingga komponen sarat informasi yang dikenal sebagai kode
DNA, mungkin hingga pencapaian teleologis (yang terkait dengan desain)
yang terpenting: kompleksitas yang luar biasa dan halus tentang hubungan
antara pikiran dan otak manusia.
Jika seseorang menolak intuisi logis bahwa ada Perancang kosmis di
balik alam semesta, maka ia harus menyimpulkan bahwa semua tatanan,
kompleksitas, dan kejelasan yang terkandung di dalam alam semesta ini
hanyalah kebetulan belaka. Namun, opsi naturalistis, evolusioner, dan
ateistis ini begitu mustahil untuk dibayangkan. Probabilitas statistik
bahwa alam semesta terwujud secara kebetulan dengan sifat-sifatnya
yang dapat mendukung kehidupan, akan benar-benar mengejutkan.12
Namun, kemustahilan pandangan naturalistis dan ateistis ini bukan-
lah satu-satunya hal yang membuatnya tidak dapat dipertahankan secara
rasional. Menganut pandangan evolusioner bahwa organ-organ sensorik
dan kemampuan kognitif manusia adalah hasil dari proses alami yang
acak dan tanpa tujuan, menimbulkan masalah kepercayaan tentang apa
yang diamati. Apakah hasil pengamatan dan pikiran seseorang benar-
benar sesuai dengan realitas?13 Sebagai kebiasaan yang wajar, seseorang
biasanya tidak menerima gagasan bahwa informasi, pengetahuan, dan
kebenaran bisa datang dari sumber yang acak dan tidak disengaja.
Bagaimanakah usaha-usaha rasional seperti logika, matematika, dan ilmu
pengetahuan bisa dibuktikan jika otak dan pikiran manusia adalah hasil
dari kebetulan yang tidak rasional dan ceroboh? Pada dasarnya, natu-
ralisme ingin menyatakan bahwa kehidupan, pikiran, kepribadian, dan
26 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

akal budi berasal dari sumber yang tidak memiliki kemampuan dan
kualitas yang mendalam ini. Ini tentu akan menjadi akibat yang jauh
lebih besar daripada penyebabnya!
Dalam tabel 1.1, dua model penjelasan menunjukkan kredibilitas
posisi pandangan secara alkitabiah dan secara ateistis:

Tabel 1.1
Pandangan naturalistis dan alkitabiah
untuk menjelaskan tentang kehidupan dan alam semesta

Pandangan ateistis naturalistis Pandangan teistis alkitabiah


a . Dunia diciptakan dari ketiadaan a . Dunia diciptakan oleh Sang Pencipta
b. Kehidupan berasal dari b. Kehidupan berasal dari Sang
ketiadaan kehidupan Kehidupan yang tertinggi
c. Manusia tidak ada hubungannya c. Manusia itu ada hubungannya
dengan individu tertentu dengan Individu Tertentu
d. Pikiran berasal dari ketiadaan d. Pikiran berasal dari Sang Pemikir
pikiran yang tertinggi
e. Tatanan berasal dari ketiadaan e. Tatanan berasal dari Sang
tatanan Penyelenggara tatanan
f. Akal budi berasal dari yang tidak f. Akal budi berasal dari suatu
rasional Keberadaan yang rasional
g. Moralitas berasal dari ketidak- g. Moralitas berasal dari Pribadi yang
bermoralan bermoral
h. Informasi itu tanpa pengirim h. Informasi itu dari seorang Pengirim
i. Kode berasal dari sesuatu yang i. Kode berasal dari Sang Pemrogram
tidak terprogram pribadi
j. Kebenaran berasal dari suatu j. Kebenaran dari Kebenaran yang ter-
kebetulan tinggi

Allah secara unik menjelaskan kenyataan realitas-realitas yang


abstrak dan nonfisik
Beberapa realitas kehidupan yang paling menakjubkan dan paling
penting tidak dapat dideteksi oleh akal manusia. Realitas-realitas yang
abstrak dan tak berwujud ini bersifat konseptual di alam dan terdiri dari
hal-hal seperti angka, proposisi, bidang, sifat, hukum logika, nilai-nilai
moral, dan hal-hal yang universal. Realitas-realitas ini dianggap oleh
banyak orang sebagai realitas-realitas yang tak terlihat, universal, dan
objektif.14 Realitas ini tidak tampak secara fisik, dan juga tidak mudah
diminimalkan, atau dijelaskan sehubungan dengan hal-hal fisik dan
BAGAIMANA ORANG DAPAT MENGETAHUI BAHWA ALLAH ITU ADA? 27

prosesnya. Materialisme sebagai teori metafisika, menghadapi beberapa


masalah logika yang tidak dapat diatasi.15 Entitas-entitas konseptual ini
juga tidak tampak sebagai produk kesepakatan (hasil penemuan) manu-
sia. Renungkan dua contoh singkat ini.
Pertama, sifat objektif angka. Gagasan atau ide “serba sembilan”
(nineness) (dilambangkan dengan angka 9) ditemukan dan tentu saja
dimanfaatkan oleh pikiran manusia, tetapi jelas tidak diciptakan oleh
pikiran manusia. Realitas serba sembilan ini ditunjukkan dalam pernya-
taan seperti “Kesembilan planet di tata surya sudah ada sebelum mun-
culnya pikiran manusia yang pertama.” Setidaknya, sembilan planet di
tata surya ini sudah ada sebelum manusia mengakui fakta ini (dan bahkan
sebelum keberadaan manusia). Namun, jika simbol angka sembilan itu
sudah ada sebelum adanya pikiran manusia yang pertama, maka angka
itu membutuhkan sebuah landasan konseptual.
Seorang pemikir Kristen, Augustine dari Hippo (354-430 M) mem-
bantah dengan mengatakan bahwa pikiran manusia sanggup memahami
kebenaran-kebenaran yang universal, objektif, tidak berubah, dan yang
diperlukan, lebih tinggi daripada pikiran manusia itu sendiri.16 Karena
kebenaran harus berada di dalam pikiran, Augustine menjelaskan bahwa
kebenaran-kebenaran kekal ini didasarkan pada pikiran Allah yang kekal.
Jadi, Allah yang kekal itu ada untuk menjelaskan kebenaran-kebenaran
yang kekal ini.
Kedua, hukum dasar logika (sebagai contoh, hukum nonkontradiksi,
tidak termasuk hukum penyisihan jalan tengah dan hukum jati diri) bukan
merupakan hasil ketentuan manusia. Prinsip nonkontradiksi (sesuatu
tidak dapat sekaligus ada dan tidak ada pada waktu yang bersamaan dan
dengan cara yang sama) tidak saja secara kognitif diperlukan dan tak
terbantahkan, tetapi secara ontologis benar. Prinsip ini mendefinisikan
hakikat dari realitas itu sendiri.17 Logika tampaknya juga membutuhkan
fondasi di luar pikiran manusia.
Karena matematika dan logika (dasar ilmu pengetahuan) memiliki
keabsahan dan memberikan pengetahuan nyata tentang dunia kepada
manusia, maka kedua disiplin ilmu konseptual ini tidak bisa sekadar
menjadi gagasan yang subjektif dan dibuat oleh manusia, tetapi harus
berhadapan dengan realitas yang objektif. Namun, jika entitas-entitas
abstrak ini merupakan realitas-realitas yang tak terlihat, nonfisik, dan
28 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

objektif, lalu bagaimana realitas-realitas ini bisa dipertanggungjawabkan


dengan benar? Tentunya pandangan naturalistis—keyakinan bahwa alam
semesta melukiskan semua yang ada di dalamnya—tidak mampu untuk
mempertanggungjawabkannya.
Namun, pandangan teistis Kristen, mendasarkan realitas konseptual
ini di dalam pikiran sosok spiritual yang tak terbatas, kekal, dan pribadi.
Allah adalah Pencipta dari yang terlihat dan yang tidak terlihat, sumber
dari hal yang masuk akal dan dapat dimengerti (Mzm. 148:2-5; Kol.
1:16-17). Dalam sebuah kerangka konseptual kristiani, Allah berfungsi
sebagai dasar metafisika yang mampu menjelaskan entitas-entitas kon-
septual dan epistemologis kritis (realitas independen yang ada).18

Allah secara unik menjelaskan realitas nilai-nilai etis yang objektif


Nilai-nilai moral adalah bagian mendasar dari kehidupan manusia,
yang sama nyatanya seperti hukum gravitasi. Dan pada umumnya,
orang-orang secara intuitif menyadari kewajiban moral mereka. Dalam
hatinya, sesungguhnya manusia merasakan tarikan tugas dan kewajiban
moral yang nyata. Perasaan untuk menunaikan kewajiban moral ini
memang bersifat menentukan di alam ini, dan melampau perasaan sub-
jektif dan pertimbangan pribadi semata (lih. bab 18 tentang bantahan
terhadap kritik untuk relativisme moral). Orang dapat dengan sangat
mudah mengelak atau mencoba untuk mencari-cari alasan atau bahkan
melanggar kewajiban moral mereka (lih. bab 11 tentang doktrin dosa),
tetapi bagaimanapun kewajiban-kewajiban moral ini tetap merupakan
bagian penting dari kehidupan manusia. Intuisi moral mendasar seperti
“Membunuh itu salah” atau “Bersikap mengasihi, jujur, berani, dan penuh
belas kasihan itu benar” membuktikan kebenaran nilai-nilai moral yang
objektif. Nilai-nilai ini tampaknya berdiri sebagai hal yang berbeda dan
tidak tergantung pada pikiran dan kehendak manusia. Dengan kata lain,
nilai-nilai ini ditemukan, bukan diciptakan.
Namun, apa yang menjelaskan keberadaan prinsip-prinsip moral yang
objektif, universal, dan tidak berubah? Apa yang menjamin keabsahan
prinsip-prinsip itu? Dan apa yang menjadi sumber dan dasarnya?
Nilai-nilai moral yang objektif secara logis tidak sesuai dengan segala
bentuk relativisme etis, yang mencakup teori naturalistis, ateistis, evo-
lusioner. Relativisme etis itu membingungkan dan tidak bisa berfungsi
BAGAIMANA ORANG DAPAT MENGETAHUI BAHWA ALLAH ITU ADA? 29

sebagai teori moral yang dapat diterima. Di situ, ketidakhadiran Allah


yang secara moral sempurna, moralitas hanya bersifat tradisional, tidak
berdasarkan akal sehat, dan subjektif.
Prinsip-prinsip etis yang objektif memang ada, tetapi tidak mungkin
ada di tengah kekosongan metafisika. Apa yang baik secara moral (etis)
tidak dapat dipisahkan dari apa yang nyata (metafisika) dan apa yang
benar (epistemologis). Ateisme tidak memiliki dasar untuk melatih kesa-
daran manusia tentang kewajiban moral. Tanpa Allah, nilai-nilai moral
yang objektif tidak memiliki jangkar metafisika dan karena itu tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
Tidak seperti upaya-upaya sekuler untuk menjelaskan tentang morali-
tas, etika teisme Kristen didasarkan pada natur Allah yang sempurna
secara moral, yang secara khusus telah menyatakan kehendak-Nya
kepada umat manusia. Oleh karena itu, Allah adalah sumber dan dasar
bagi nilai-nilai moral yang objektif (lih. bab 18 untuk mendapatkan pen-
jelasan tentang hubungan Allah terhadap etika). Hukum moral yang
mutlak diberikan oleh Sang Pemberi Hukum moral kosmis. Allah yang
dinyatakan di dalam Kitab Suci Yahudi-Kristen adalah Pribadi yang
sempurna secara moral, yang ada di belakang tatanan moral yang objektif,
yang ditemukan di dalam alam semesta.19

Allah secara unik menjelaskan makna, tujuan, dan signifikansi yang


dirasakan dan dirindukan oleh manusia
Jika Allah tidak ada dan alam semesta merupakan produk proses-
proses alam yang tidak beralasan dan tidak bertujuan, maka tidak ada
makna yang objektif bagi kehidupan. Berdasarkan perspektif ini, fakta
bahwa umat manusia itu ada hanyalah sebuah kebetulan evolusi yang
menakjubkan. Umat manusia hidup di planet ini untuk waktu yang sangat
singkat dan kemudian tidak ada lagi (kepunahan permanen). Dengan
pandangan naturalistis yang menyedihkan ini, satu-satunya makna dan
tujuan yang mungkin bisa dinikmati manusia adalah apa yang secara
subjektif mereka buat untuk diri mereka sendiri.
Namun, dengan mengingat kematian diri yang mungkin segera
terjadi, bersama dengan kepunahan spesies yang tak terelakkan dan
kematian seluruh alam semesta karena entropi (hilangnya energi yang
tersedia dalam menjalankan fungsinya), mungkinkah ada makna, tujuan,
30 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

signifikansi, dan nilai sejati dalam kehidupan, dengan cara yang sementara
sekalipun?
Mempertimbangkan pertanyaan ini, kaum ateis cenderung terbagi
menjadi dua kubu, ada yang optimistis dan ada yang pesimistis. Kaum
ateis yang optimistis cenderung sangat menekankan manfaat-manfaat
yang dirasakan oleh keyakinan ateistis (mis., otonomi pribadi). Namun,
filsuf-filsuf eksistensial ateistis seperti Jean-Paul Sartre (1905-1980) dan
Albert Camus (1913-1960) mengatakan bahwa pemikiran atas skenario
ini (makna tujuan) menyebabkan kecemasan filosofis, keputusasaan, dan
ketakutan.20 Menurut eksistensialis ateistis, manusia itu sendirian di
alam semesta, dan sendirian menghadapi kesulitan eksistensial kosmis.
Namun, tiga hal di dalam diri manusia bertentangan dengan pers-
pektif orang yang tidak bertuhan dan nihilistik ini. Pertama, kebanyakan
manusia secara intuitif merasakan bahwa hidup mereka memiliki makna
dan tujuan yang nyata dan objektif. Mungkin orang hanya tidak secara
serius dan filosofis merenungkan kondisi mereka di dalam kehidupan.
Namun, bahkan andaikata mereka tidak senang dengan apa yang mengisi
kehidupan mereka masing-masing, umat manusia secara umum hidup
dengan pengertian bahwa sesuatu yang berarti terjadi di belakang layar.
Kedua, orang merindukan makna dan tujuan hidup yang berlang-
sung sampai pada kehidupan setelah kematian. Bagi kebanyakan orang,
keinginan dan pencarian atas suatu makna yang utama akan sampai pada
keyakinan akan adanya kehidupan setelah kematian, dan biasanya meli-
batkan kepercayaan kepada Allah. Manusia mungkin saja menggunakan
bentuk kosmis keyakinan yang keliru, tetapi ilmu antropologi dan sosio-
logi memperlihatkan bahwa manusia selalu memiliki intuisi spiritual yang
mendalam tentang signifikansi yang kekal—sebenarnya sejak hari per-
tama manusia diciptakan. Intuisi ini unik bagi manusia dan sangat sulit
dijelaskan bila dikaitkan dengan evolusi Darwin. Sesungguhnya wajar
bahwa pencarian makna dan tujuan merupakan salah satu karakteristik
yang menentukan dari spesies yang dikenal sebagai Homo sapiens. Teolog
filosofis Amerika Paul Tillich (1886-1965) telah menyatakan bahwa setiap
orang, termasuk kaum ateis, mencari tujuan akhir dalam hidup.
Ketiga, jika dunia benar-benar tidak bermakna, maka kehidupan
manusia pun tidak bermakna. Namun, konsep ini tidak cocok dengan
alam pikiran. Bagaimana mungkin orang yang tinggal di dunia yang tidak
BAGAIMANA ORANG DAPAT MENGETAHUI BAHWA ALLAH ITU ADA? 31

bermakna bisa melontarkan pengakuan luar biasa bermakna bahwa dunia


ini tidak ada maknanya? Sebagaimana ditunjukkan oleh pemikir Kristen
C. S. Lewis, ciptaan-ciptaan Allah yang tidak bermakna takkan pernah
mendapati diri mereka tidak bermakna.21 Apakah kemampuan unik
manusia untuk merenungkan tentang makna kehidupan menjadi suatu
petunjuk kuat bahwa memang ada sesuatu yang lebih dalam dari kehi-
dupan?
Kesadaran dan kebutuhan manusia yang mendalam akan makna
sangat cocok dengan pernyataan kebenaran Kristen bahwa Allah men-
ciptakan manusia menurut gambar-Nya dan bahwa kebutuhan terbesar
manusia adalah untuk didamaikan dengan Allah dan menikmati per-
sekutuan dengan-Nya untuk selamanya (lih. bab 11). Ajaran unik tentang
penebusan Kristus yang penuh kasih karunia menawarkan makna, tujuan,
dan signifikansi sejati bagi orang-orang berdosa yang terasing dari
Allah, dari sesamanya satu sama lain, dan dari diri mereka sendiri.

Allah secara unik menjelaskan kesadaran manusia tentang hal


yang Ilahi
Kitab Suci menyatakan bahwa di dalam lubuk hatinya manusia tahu
bahwa Allah itu ada. Allah menciptakan manusia menurut gambar diri-
Nya, dengan memberikan kesadaran di dalam batin manusia tentang
Sang Pencipta (lih. bab 3). Dia juga menciptakan lingkungan bagi manusia
yang memicu dan mendorong munculnya kesadaran manusia berdosa
ini akan keberadaan Allah. Oleh sebab itu, kesadaran Ilahi ini nyata
bagi manusia, dengan berlandaskan faktor-faktor eksternal dan internal
yang kuat. Secara eksternal, keberadaan, kekuasaan, kemuliaan, dan
hikmat Allah terbukti bagi umat manusia, dan terwujud dalam lingkup
kosmis yang mengelilinginya, yakni alam semesta (Mzm. 19:2-5). Secara
internal, melalui hati nurani, manusia sangat menyadari akan tanggung
jawab moral mereka kepada Sang Pencipta (Rm. 2:14-15).
Orang melihat, memahami, dan mengetahui bahwa ada Allah yang
kepada-Nya mereka akan betanggung jawab langsung secara moral
(berdasarkan faktor-faktor eksternal dan internal). Namun, dalam keber-
dosaannya, manusia menekan kesadaran akan kebenaran ini (Rm. 1:18).
Dengan demikian, manusia berdosa ini mengalami tarik-menarik antara
kesadaran intelektual dan kesadaran spiritual, ia menginginkan sekaligus
32 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

menolak Allah. Meskipun ia diciptakan untuk tujuan khusus, yakni


bersekutu dengan Penciptanya, manusia berdosa tetap menolak untuk
mengakui Allah yang sejati atau menyetujui pertanggungjawaban moral
kepada Penciptanya. Berlandaskan penyataan eksternal dan internal yang
kuat ini Allah bermaksud menghakimi orang-orang yang tidak percaya
kepada-Nya (Rm. 1:20). Oleh karena itu, kebutuhan terbesar manusia
adalah penebusan (untuk diperdamaikan dengan Allah).
Kesadaran yang melekat dan intuitif akan adanya Allah ini, jika
memang berakar dalam kebenaran, akan sangat menjelaskan tentang
umat manusia. Kesadaran ini menjelaskan adanya dorongan religius
dan moral yang mendalam di dalam diri manusia, serta fenomena uni-
versal akan pengalaman religius. Beberapa orang telah menyebut manusia
sebagai Homo religiosus karena kecenderungan dan natur religius dasar
kita. Pada dasarnya, ateisme tampaknya sangat bertentangan dengan
natur dasar manusia. Pandangan alkitabiah tentang kesadaran manusia
akan Allah sangat cocok dengan pengalaman dan perilaku manusia.

Allah secara unik menjelaskan teka-teki tentang manusia


Kriteria penting untuk menerima agama sebagai hal yang benar
adalah kemampuan agama itu untuk bertanggung jawab dan menjelaskan
realitas-realitas penting yang dihadapi di dalam kehidupan. Salah satu
realitas utama adalah teka-teki tentang manusia itu sendiri. Pemikir
Kristen Blaise Pascal (1623-1662) dalam karya klasiknya, Pensées, meng-
gambarkan manusia sebagai campuran yang tidak lazim antara “kea-
gungan dan kemalangan,” karena pada saat yang sama manusia itu
menjadi “kemuliaan dan sampah alam semesta” (lih. bab 6).
Natur manusia menimbulkan paradoks yang membingungkan.
Meskipun manusia mampu melakukan hal-hal besar di bidang mate-
matika, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, seni, perbuatan-perbuatan
kemanusiaan dan amal, dan sebagainya, ia juga mampu melakukan
tindakan-tindakan yang memalukan dan jahat—pemerkosaan, peram-
pokan, rasisme, perbudakan, dan pembunuhan massal. Menjelaskan
natur manusia menimbulkan suatu tantangan filosofis, psikologis, dan
spiritual yang luar biasa.
BAGAIMANA ORANG DAPAT MENGETAHUI BAHWA ALLAH ITU ADA? 33

Namun, Alkitab memegang rahasia untuk mengungkap teka-teki


tentang manusia.
Pandangan teistis Kristen menegaskan bahwa keagungan manusia
merupakan cerminan langsung dari imago Dei. Sebagai makhluk hidup
yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, manusia mencermin-
kan kemuliaan Penciptanya. Jadi, manusia itu menyerupai Allah dalam
banyak hal, terutama bila dibandingkan dengan binatang.
Di sisi lain, kemalangan dapat ditelusuri sejak kejatuhan manusia
pertama ke dalam dosa (Kej. 3). Adam menyalahgunakan kebebasannya
untuk memberontak terhadap Allah dan sebagai akibatnya ia terpisah
dari Allah dan sepenuhnya menjadi manusia berdosa. Namun, dosa Adam
tidak hanya memengaruhi dirinya sendiri. Doktrin Alkitab menjelaskan
bahwa seluruh umat manusia mewarisi perasaan bersalah dan kerusakan
moral dari manusia pertama, Adam (Mzm. 51:7; 58:4; Rm. 5:12,18-19;
1Kor. 15:22). Dalam keadaan berdosa sekarang ini, manusia mampu
menggunakan kualitas-kualitas yang dikaruniakan kepadanya oleh Allah
untuk tujuan kejahatan.
Baik pandangan naturalistis maupun agama-agama alternatif di dunia
tidak dapat sebaik Alkitab dalam menjelaskan teka-teki terbesar di dunia,
yakni umat manusia.

Allah secara unik menjelaskan pengakuan, karakter, dan mandat


Yesus Kristus
Menurut banyak dokumen PB yang secara historis dapat diandalkan
(lih. bab 7), Yesus dari Nazaret membuat pengakuan-pengakuan yang
tiada bandingnya bahwa Dia memiliki otoritas Allah selama pelayanan-
Nya di tengah masyarakat (lih. bab 8). Dia menyamakan diri-Nya dengan
Yahweh (Allah). Bahkan, secara langsung dan tidak langsung Dia mem-
buat pengakuan bahwa Dia adalah Allah.
Sebagai contoh, di dalam Injil Yohanes, Yesus beberapa kali menye-
but diri-Nya sebagai “Aku,” yang (dalam cara Dia menggunakannya)
jelas merupakan salah satu ungkapan Ilahi yang paling suci dari PL dan
praktis itu sama saja dengan mengaku bahwa “Akulah Allah” (bdk.
penggunaan ungkapan ini oleh Yesus dalam Yoh. 8:24, 28, dan 58 dengan
pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh Yahweh dalam Yes. 41:4; 43:10,
13, 25; 46:4; 48:12).
34 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Orang-orang Yahudi pada waktu itu tentunya memahami hal ini


sebagai pengakuan bahwa Dia adalah Allah. Itulah sebabnya mereka
berusaha melempari Yesus dengan batu karena dianggap melakukan dosa
menghujat Allah (Yoh. 8:59). Demikian pula dalam Injil Markus, Yesus
secara terbuka mengaku sebagai Mesias dengan menyatakan bahwa Dia
memiliki hak-hak istimewa dari Allah (Mrk. 14:61-64). Pengakuan Yesus
secara tidak langsung bahwa Dia adalah Allah dibuktikan ketika secara
unik Dia menggunakan hak-hak istimewa Allah itu (tindakan-tindakan
yang hanya dilakukan oleh Allah saja). Sebagai contoh, Dia menerima
penyembahan (Mat. 4:10; 28:16-17), mengampuni dosa (Mrk. 2:1-12),
menyatakan diri-Nya sebagai Hakim akhir umat manusia (Yoh. 5:22,
27), dan bahkan menegaskan kemampuan-Nya untuk membangkitkan
orang mati (Yoh. 5:21). Pengakuan yang belum pernah terjadi sebelumnya
bahwa Dia adalah Allah menyebabkan Yesus ditangkap, dihukum, dan
disalibkan dengan dakwaan khusus, yakni penghujatan. Dia mengaku
bahwa Dia adalah Allah dalam tubuh manusia. Tidak ada pemimpin
agama besar lainnya di dunia ini yang pernah menyatakan dirinya sebagai
Allah. Namun, apakah ada alasan kuat untuk menerima pengakuan Yesus
sebagai Allah?
Yesus memiliki mandat yang istimewa untuk mendukung pengakuan-
Nya bahwa Dia adalah Allah. Renungkan empat hal singkat berikut ini.
Pertama, Yesus menggenapi puluhan nubuat di PL yang sangat spesifik
tentang jati diri, misi, dan pesan dari Mesias yang akan datang.22 Nubuat-
nubuat ini (yang ditulis ratusan tahun sebelum kelahiran Yesus sendiri)
memberikan detail-detail yang tepat tentang kelahiran, warisan, kehi-
dupan, dan kematian Mesias yang telah lama ditunggu-tunggu. Banyak
dari nubuat ini berada di luar kemampuan alami Yesus sebagai manusia
untuk menggenapinya. Kesempatan yang membuat semua nubuat ini
menjadi kenyataan dalam hidup Yesus benar-benar mengejutkan.
Kedua, menurut banyak catatan Injil yang telah terbukti, Yesus kerap
melakukan mukjizat.23 Dia menyembuhkan penyakit-penyakit yang tak
tersembuhkan, mencelikkan mata orang yang buta, melipatgandakan
sedikit makanan yang dimiliki untuk memberi makan ribuan orang, mene-
nangkan badai, berjalan di atas air, dan bahkan membangkitkan orang
mati. Dan musuh-musuh Yesus tidak meragukan kebenaran perbuatan-
perbuatan-Nya yang ajaib itu. Prasangka yang menolak hal-hal yang
BAGAIMANA ORANG DAPAT MENGETAHUI BAHWA ALLAH ITU ADA? 35

adikodrati kerap kali menahan kaum skeptis modern untuk memper-


timbangkan dengan cermat kehidupan dan perbuatan-perbuatan Yesus.
Namun, prasangka tersebut semestinya tidak menghalangi mereka untuk
menerima peristiwa-peristiwa yang ajaib itu jika peristiwa-peristiwa
tersebut secara historis terkenal. Rasanya masuk akal untuk menyim-
pulkan bahwa jika Allah itu ada (tentu dari sudut pandang rasional),
maka Dia akan melakukan mukjizat-mukjizat bila Dia datang ke bumi.
Ketiga, Yesus menunjukkan karakter moral yang tak tertandingi
selama tiga tahun pelayanan-Nya kepada masyarakat, yang berhasil meng-
ubah dunia untuk selamanya. Para anggota keluarga, teman dekat, dan
musuh bebuyutan tidak bisa sungguh-sungguh menemukan kesalahan
moral pada diri-Nya. Ajaran Yesus berisi wawasan etika yang luar biasa,
dan Dia memberikan teladan moral yang sempurna. Teladan moral pri-
badi Yesus yang murni dan ajaran-ajaran-Nya yang mendalam berhasil
meletakkan dasar bagi banyak teori etika yang dianut dan dipraktikkan
di seluruh peradaban Barat, bahkan di kalangan yang bukan Kristen.
Sebuah alasan kuat untuk menyimpulkan bahwa Yesus memang Allah
yang berinkarnasi adalah bahwa pada dasarnya Dia itu sangat berbeda
dibandingkan semua orang lainnya yang pernah ada di bumi. Bahkan
para filsuf dan pemimpin agama-agama besar di dunia seperti Socrates,
Siddhartha Gautama (Buddha), Konfusius, Musa, dan Salomo akan pudar
bila dibandingkan dengan-Nya. Tidak ada yang memberikan dampak
sebaik itu kepada dunia seperti yang dilakukan oleh Yesus dari Nazaret.
Keempat, berbagai dokumen PB mencatat dengan sangat detail
kesaksian dari tangan pertama tentang kebangkitan Yesus dari antara
orang mati (lih. bab 10). Sampai akhir hayat (kadang-kadang sebagai
martir) para rasul mengaku menjadi saksi mata dari kebangkitan tubuh
Yesus. Mereka secara khusus mengaku telah melihat, mendengar, dan
menyentuh Yesus yang bangkit pada berbagai kesempatan. PB mencatat
banyak penampakan tersebut.
Para penguasa Romawi dan Yahudi tidak bisa membantah kebang-
kitan itu. Bukti-bukti pendukung juga ditemukan di dalam kubur yang
kosong, di banyak penampakan Kristus setelah penyaliban-Nya, peru-
bahan pada diri para rasul yang tadinya penakut menjadi pengikut yang
sangat setia (bahkan sampai martir), pertobatan dramatis Saulus asal
Tarsus yang akhirnya menjadi rasul Paulus, pemunculan gereja Kristen
36 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

mula-mula dulu, perubahan hari resmi ibadah ke hari Minggu untuk


memperingati hari kebangkitan, dan pada fakta bahwa semua penjelasan
naturalistis alternatif tentang peristiwa ini gagal total (lih. bab 10).
Mandat Yesus sebagai Mesias yang Ilahi (Yeshua haMachiach)
memang luar biasa: penggenapan nubuat PL, pelaksanaan berbagai muk-
jizat, karakter pribadi yang tak tertandingi, pengaruh yang tak terhitung
banyaknya dalam sejarah, dan kebangkitan tubuh dari kematian. Bukti-
bukti ini mengarah pada satu kesimpulan yang mengejutkan: Yesus Kristus
adalah Allah. Kita tidak perlu meragukan keberadaan Allah—Dia mem-
buat diri-Nya dikenal di dalam diri Yesus dari Nazaret. Bahkan, Allah
datang ke dunia untuk tinggal bersama kita. Dengan demikian, satu-
satunya penjelasan yang benar-benar masuk akal untuk sejarah kehi-
dupan, kematian, dan kebangkitan Yesus adalah bahwa Dia adalah Allah
di dalam tubuh manusia. Di dalam pribadi Yesus Kristus, Allah secara
klimaks dan tegas membuat diri-Nya dikenal oleh umat manusia.

Allah secara unik menjelaskan realitas-realitas kehidupan yang


bermakna
Sekumpulan hal yang telah dijelaskan sebelumnya dalam buku ini
dipandang sebagai bukti yang lebih kuat untuk menyatakan keberadaan
Allah.
Realitas-realitas yang bermakna dan diperlukan, membutuhkan pen-
jelasan yang memadai. Sebuah pandangan yang dapat diterima memiliki
kekuatan penjelas dan ruang lingkup yang benar. Salah satu alasan ter-
kuat bahwa kebenaran teisme Kristen itu memang benar adalah kemam-
puannya untuk menjelaskan dan membuktikan banyaknya, beragamnya,
dan tak terbantahkannya realitas-realitas kehidupan seperti yang dibahas
di atas. Namun, argumen kolektif akhir patut dipertimbangkan.

Argumen Kumulatif
Argumen-argumen di dalam bab ini membutuhkan keberadaan
Allah di dalam Alkitab sebagai sarana untuk menjelaskan realitas (pemi-
kiran untuk penjelasan hipotesis yang terbaik). Argumen-argumen ini
juga dapat dilihat sebagai argumen kumulatif dari bukti-bukti kuat ten-
tang Allah di dalam Alkitab. Artinya, meskipun setiap argumen memiliki
kekuatan logis atau bukti tertentu sendiri, argumen-argumen ini tetap
BAGAIMANA ORANG DAPAT MENGETAHUI BAHWA ALLAH ITU ADA? 37

secara kolektif memiliki kekuatan pembuktian yang semakin meningkat


dalam mendukung keberadaan Allah.
Melihat realitas-realitas luar biasa yang hadir di dunia dan di dalam
kehidupan manusia akan membuat manusia percaya bahwa Allah di
dalam Alkitab adalah dasar untuk semua realitas dan kebenaran. Di dalam
Kitab Suci dikatakan:
Barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada,
dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh
mencari Dia. (Ibr. 11:6)
Namun, bagaimana orang dapat percaya kepada Allah yang tidak
bisa mereka lihat? Pertanyaan ini merupakan topik yang akan dibahas
pada bab berikutnya.

Pertanyaan Diskusi
1. Bagaimana agar percaya kepada Allah memberikan landasan
filosofis untuk realitas-realitas kehidupan yang bermakna?
2. Mengapa alam semesta membutuhkan penyebab untuk menje-
laskan keberadaannya?
3. Mengapa realitas yang bermakna tentang kehidupan tidak dapat
berasal dari peristiwa yang acak dan alami?
4. Bagaimana kekristenan menjelaskan tentang kondisi manusia
dengan cara yang lebih baik daripada pandangan-pandangan lain-
nya di dunia?
5. Dengan dasar apakah orang bisa diyakinkan bahwa Yesus Kristus
adalah Allah?

Untuk Studi Lebih Lanjut


Boa, Kenneth D., dan Robert M. Bowman Jr. Faith Has Its Reasons: An Inte-
grative Approach to Defending Christianity (Colorado Springs: NavPress,
2001).
________. 20 Compelling Evidences that God Exists: Discover Why Believing in
God Makes So Much Sense (Tulsa, OK: River-Oak, 2002).
Evans, C. Stephen. Why Believe? Reason and Mystery as Pointers to God (Grand
Rapids: Eerdmans, 1996).
Kreeft, Peter, dan Ronald K. Tacelli. Handbook of Christian Apologetics: Hun-
dreds of Answers to Crucial Questions (Downers Grove, IL: InterVarsity,
1994).
38 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Miethe, Terry L., dan Gary R. Habermas. Why Believe? God Exists! Rethink-
ing the Case for God and Christianity (Joplin, MO: College Press, 1999).
Miller, Ed L. God and Reason: An Invitation to Philosophical Theology, edisi
ke-2 (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1994).
Moreland, J. P. Scaling the Secular City: A Defense of Christianity (Grand
Rapids: Baker, 1987).
Moreland, J. P., dan William Lane Craig. Philosophical Foundations for a Chris-
tian Worldview (Downers Grove, IL: InterVarsity, 2003).
Swinburne, Richard. Is There a God? (Oxford: Oxford University Press, 1996).
BAGAIMANA SAYA MEMERCAYAI ALLAH YANG
TIDAK DAPAT SAYA LIHAT?

Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari
segala sesuatu yang tidak kita lihat. Karena iman kita mengerti, bahwa alam
semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah
terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat.
––Ibrani 11:1, 3

Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat
dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan
tangan kami tentang Firman hidup-itulah yang kami tuliskan kepada kamu.
Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami
bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal, yang ada
bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami.
––1 Yohanes 1:1-2

J ika Allah itu ada, mengapa saya tidak dapat melihat-Nya? Jika Dia
menampakkan diri dan orang-orang benar-benar dapat melihat-Nya—
atau jika saya bisa melihat-Nya melakukan mukjizat—maka saya akan
percaya. Namun, jika tidak begitu, saya tidak dapat percaya kepada
Allah. Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat.” Kegalauan umum
ini menimbulkan pertanyaan mengenai apa yang riil (metafisika) dan
bagaimana orang dapat mengetahui realitas (epistemologi). Dua per-
tanyaan muncul dalam pikiran: Apakah masuk akal untuk percaya pada
sesuatu yang tidak dapat dilihat, terutama memercayai Allah yang tak
terlihat? Dan jika Allah memang ada, mengapa Dia tidak membuat diri-

39
40 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Nya dapat dilihat sehingga semua orang dapat percaya kepada-Nya?


Menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentang keberadaan Allah
yang tidak dapat dilihat, sebenarnya menekankan kebenaran doktrin
kekristenan yang khas, yakni bahwa Allah telah muncul ke dunia secara
unik.

Keyakinan yang Logis


Sudut pandang yang digambarkan dalam pernyataan “Saya hanya
percaya pada apa yang saya lihat” memperlihatkan pendekatan terbatas
tertentu pada natur realitas. Teori metafisika (pandangan tentang rea-
litas) mengasumsikan bahwa semua realitas dapat direduksi, atau dije-
laskan oleh hal-hal yang tampak secara fisik—bentuk kasar materialisme.
Dengan kata lain, sesuatu yang ada (nyata) harus dapat dilihat. Jika dapat
dilihat oleh mata, maka sesuatu itu harus hadir nyata secara fisik di alam.
Perspektif ini juga mengungkapkan betapa realitas dapat diketahui.
Filsuf Kristen J. P Moreland menyebut pendekatan ini sebagai “empi-
risme sederhana.”1 Empirisme adalah teori epistemologis (pandangan
tentang pengetahuan) bahwa pengetahuan datang secara eksklusif melalui
pancaindra (melihat, mendengar, mencium, merasakan, menyentuh).2
Ungkapan Jangan percaya sebelum melihat merupakan bentuk empirisme
sederhana karena terbatas dan sederhana sifatnya.
Renungkanlah lima kritik berikut tentang pandangan epistemo-
logis ini:

1. “Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat” adalah


pernyataan yang melawan dirinya sendiri
Pernyataan di atas merupakan pernyataan kontradiktif yang mene-
gaskan namun sekaligus menyangkal makna dasarnya sendiri. Moreland
menunjukkan bahwa “pernyataan ‘Saya hanya percaya pada apa yang
dapat saya lihat’ tidak dapat dilihat.”3 Prinsip metafisika dan epistemo-
logis yang mendasari pernyataan “apa yang nyata dapat dilihat” tidak
dapat dilihat! Pernyataan “Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat”
mengungkapkan prinsip konseptual yang berbeda dengan kalimat yang
ditulis secara harfiah dan karena itu tidak dapat dilihat oleh mata atau
terdeteksi oleh pancaindra lainnya. Jadi, menerima pernyataan “Saya
hanya percaya pada apa yang saya lihat” berarti menerima prinsip yang
BAGAIMANA SAYA DAPAT MEMERCAYAI ALLAH YANG TIDAK DAPAT SAYA LIHAT? 41

tidak dapat dilihat. Dengan kata lain, jika orang percaya pada pernyataan
“Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat,” maka ia tidak akan percaya
pada pernyataan itu sendiri karena kepercayaan tersebut tidak dapat
dilihat. Pernyataan “Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat” men-
jadi kemustahilan.

2. Banyak realitas terpenting dalam kehidupan ini tidak dapat


dilihat
Masalah besar kedua dengan pernyataan yang hanya mau memer-
cayai apa yang dapat dilihat oleh manusia adalah bahwa banyak hal yang
nyata ada kerap tidak dapat diamati. Sejumlah entitas yang terkait
dengan ilmu pengetahuan tidak dapat dilihat tetapi masih dianggap seba-
gai bagian yang penting dari realitas. Magnet, gravitasi, listrik, elektron,
dan neutrino adalah beberapa di antaranya. Nilai-nilai moral seperti
keadilan dan kebaikan itu ada, tetapi itu semua tidak dapat dilihat. Orang
menilai perbuatan manusia sebagai jahat atau baik, tanpa benar-benar
bisa melihat nilai-nilai ini. Konsep kebenaran merupakan realitas yang
tidak terlihat dan tidak terbantahkan. Kasih, suatu realitas kehidupan
yang sangat dibutuhkan, juga tetap tidak dapat dilihat oleh mata. Perasaan
dan emosi itu ada, tetapi tidak dapat dilihat langsung secara empiris.
Pemikiran filosofis yang cermat menunjukkan bahwa entitas-entitas
abstrak yang penting seperti bilangan, bidang, proposisi, dan sifat tidak
dapat dilihat namun riil. Realitas-realitas yang tidak dapat dilihat ini
membutuhkan landasan metafisika. Filsuf Kristen Alvin Plantinga mem-
berikan komentar provokatif perihal sifat abstrak bilangan:
Tampaknya masuk akal bila kita menganggap bilangan itu bergantung
pada atau bahkan dibentuk oleh aktivitas intelektual. Terlalu banyak
bilangan yang muncul sebagai akibat dari aktivitas intelektual manusia.
Oleh karena itu, kita harus menganggap bilangan-bilangan itu sebagai
. . . konsep pikiran yang tidak terbatas: pikiran Ilahi.4
Berlawanan dengan pandangan bahwa Allah itu tidak ada karena
Dia tidak dapat dilihat, banyak filsuf teistik secara bijaksana menganggap
keberadaan-Nya yang tak terlihat sebagai landasan filosofis yang diper-
lukan untuk entitas-entitas abstrak nyata lainnya yang tak dapat disang-
kal. Pandangan Kristen menegaskan bahwa apa yang dapat dilihat sebe-
narnya bergantung pada apa yang tidak dapat dilihat.
42 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Kelemahan utama segala bentuk materialisme, termasuk bentuk


yang paling sederhana, adalah ketidakmampuannya untuk menjelas-
kan komponen-komponen kehidupan yang transenden. Cacat ini benar-
benar unik dalam hubungannya dengan unsur-unsur kognitif atau kon-
septual. Kita tidak dapat melihat pikiran kita. Otak dapat dilihat, tetapi
pikiran tidak dapat dilihat.5 Akan tetapi, kita tidak meragukan realitas
masing-masing. Orang yang menyangkal keberadaan batin dan pikiran
karena keduanya tidak dapat dilihat akan dianggap tidak rasional.
Apakah hukum logika (hukum nonkontradiksi, penyisihan jalan
tengah, dan jati diri) itu bersifat lahiriah, bendawi, atau kasatmata?
Tidak. Namun, hukum nonfisik, abstrak, dan tak terlihat ini adalah
realitas6—inilah yang memungkinkan terbentuknya rasionalitas manusia
dan kejelasan di dunia.
Pada awalnya memang tampak logis bila kita memercayai hal-hal
yang hanya dapat dideteksi oleh pancaindra. Namun, setelah direnungkan
dengan serius, posisi ini tidak memiliki kekuatan penjelas, bahkan untuk
menjelaskan realitas kehidupan yang paling mendasar. Sudut pandang
secara fisik ini malah menjadi puncak ketidakrasionalan.

3. Aktivitas ilmiah bergantung pada hal-hal yang tidak dapat


diamati secara langsung
Para ilmuwan yang menganut naturalisme (alam adalah realitas ter-
tinggi) kerap mengungkapkan, atau secara tidak langsung mengatakan,
“Saya hanya percaya pada apa yang dapat diamati secara empiris, atau
apa yang dapat disimpulkan dari apa yang diamati secara empiris.”
Pernyataan ini juga merupakan pernyataan yang melawan dirinya sendiri.
Filsuf Kristen Greg L. Bahnsen mengulang komentar Moreland tadi:
“Pernyataan ‘Saya hanya percaya pada apa yang dapat diamati secara
empiris, atau apa yang dapat disimpulkan dari apa yang diamati secara
empiris’ mustahil berasal dari pengamatan empiris!”7 Pandangan bahwa
hanya alam saja yang ada tidak mungkin berasal dari penyelidikan ilmiah.
Sebaliknya, anggapan yang bukan empiris atau dogma sekulerisme sering-
kali mengganggu penyelidikan ilmiah.8
Carl Sagan menyatakan dalam pembukaan serial televisi PBS-nya
yang sangat populer, Cosmos, “Kosmos adalah semua yang ada, atau
yang pernah ada, atau yang akan ada.” Namun, pernyataan naturalistis
BAGAIMANA SAYA DAPAT MEMERCAYAI ALLAH YANG TIDAK DAPAT SAYA LIHAT? 43

dan ateistis Sagan yang berani itu mustahil hanya berasal dari metode
ilmiah induktif yang begitu diidolakannya.9 Sebenarnya, sebuah kon-
sensus ilmiah yang sedang berkembang menegaskan bahwa studi yang
cermat tentang alam semesta memperlihatkan sebuah kosmos yang terus
disempurnakan (kosmologi ledakan dahsyat, prinsip antropik)—yang
membutuhkan penyebab utama yang cerdas di balik hal itu.10 Aktivitas
ilmu pengetahuan menganggap sejumlah kebenaran dasar tidak sepe-
nuhnya berasal dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Agar aktivitas ilmiah
dapat berlangsung dan berkembang, beberapa asumsi nonempiris ten-
tang dunia harus benar (lih. bab 14).

4. “Saya tidak dapat percaya kepada Allah yang tidak dapat saya
lihat” masuk dalam kesalahan kategori.
J. P. Moreland mendefinisikan kesalahan kategori dan menjelaskan
mengapa sikap yang menuntut untuk melihat Allah yang ada di dalam
Alkitab itu tergolong dalam kesalahan tersebut:
Sebuah kesalahan kategori adalah kesalahan menempatkan suatu
karakteristik pada sesuatu yang hanya berlaku bagi objek dari kategori
yang lain. Sebagai contoh, disebut salah kategori ketika kita menetap-
kan warna untuk nada C. Suara tidak berwarna. Juga disebut salah
kategori ketika kita menyalahkan warna karena tidak berbau, hal-hal
yang universal karena tidak terletak pada satu tempat saja, dan Allah
karena tidak memiliki sebuah entitas empiris. Jika Allah itu ada, menu-
rut definisinya (dalam kekristenan ortodoks), Allah itu merupakan
Roh yang tidak terbatas. Kodrat roh bukan untuk terlihat secara empi-
ris seperti halnya objek yang bersifat materi. Disebut kesalahan kate-
gori ketika kita memberlakukan hal-hal yang berhubungan dengan
pancaindra untuk Tuhan, atau menyalahkan-Nya karena bukan menjadi
objek yang terlihat.11
Moreland mengamati pandangan Kristen historis, yakni bahwa Allah
adalah Roh yang kekal dan tidak terbatas. Jika ada alasan yang kuat
untuk memercayai kebenaran penyataan kekristenan (betapa Allah telah
menyatakan diri-Nya), maka seseorang harus dipersiapkan untuk mene-
rima Allah apa adanya. Bersikeras bahwa Sang Pencipta harus memenuhi
persyaratan epistemologis makhluk yang diciptakan-Nya mungkin meru-
pakan sikap yang gegabah dan sesat secara spiritual. Walaupun pengu-
jian intelektual, kearifan, dan pemikiran logis sangat tepat dalam upaya
44 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

untuk menjawab kritik-kritik keagamaan, makhluk ciptaan harus belajar


bersikap rendah hati dalam mengakui bahwa Sang Pencipta, jika Dia
ada, natur-Nya pasti sangat berbeda dari ciptaan-Nya dan Dia pasti
memiliki rencana-Nya sendiri yang berdaulat untuk menyatakan diri-
Nya.

5. Memercayai Allah yang dipakai untuk menjelaskan hal yang tidak


dapat dilihat dalam fenomena alam semesta, dapat dibenarkan
Realitas-realitas teoretis (yang tidak terlihat) kerap dikemukakan
untuk menjelaskan apa yang dapat dilihat. Dalam ilmu pengetahuan,
teori dikembangkan untuk menjelaskan keragaman fenomena alam. Hal
serupa terjadi di bidang ilmu filsafat. Teori-teori penjelas yang terbaik
(dalam ilmu pengetahuan atau filsafat) tampak seimbang antara kom-
pleksitas dan kesederhanaannya, bertalian secara logis, sesuai dengan
fakta-fakta, menghindari praduga yang tidak beralasan, dapat diuji,
menghasilkan prediksi, dan dengan demikian memiliki kekuatan pen-
jelasan yang benar. Keberadaan Allah di dalam Alkitab (Sang Pencipta
dan Penebus yang tidak terbatas, kekal, dan bersifat pribadi) menjelaskan
banyak hal yang, tanpa kepercayaan terhadap diri-Nya, sangat sulit untuk
dijelaskan. Filsuf Oxford, Richard Swinburne, tidak setuju jika kebe-
radaan Allah dijadikan sebagai penjelasan untuk fenomena kompleks
yang ditemukan di dunia.
Para ilmuwan, sejarawan, dan penyelidik mengamati data, lalu mereka
masuk ke beberapa teori terbaik yang dianggap dapat menjelaskan
terjadinya data ini . . . Kita mendapati bahwa pandangan tentang adanya
Allah dapat menjelaskan segala sesuatu yang kita amati, bukan sekadar
beberapa kisaran data yang sempit. Hal ini menjelaskan fakta bahwa
alam semesta itu ada, bahwa hukum-hukum ilmiah beroperasi di
dalamnya, bahwa alam semesta berisi hewan dan manusia yang sadar
dengan tubuh yang terorganisasi dengan rumit dan sangat kompleks,
bahwa kita memiliki banyak peluang untuk mengembangkan diri kita
sendiri dan dunia, serta data yang lebih khusus bahwa manusia men-
ceritakan tentang mukjizat-mukjizat yang terjadi dan memiliki penga-
laman religius . . . Kriteria yang sama, yang digunakan para ilmuwan
untuk menjangkau teori mereka sendiri, membawa kita bergerak melam-
paui teori-teori itu menuju Allah Sang Pencipta yang menopang segala
sesuatu yang ada.12
BAGAIMANA SAYA DAPAT MEMERCAYAI ALLAH YANG TIDAK DAPAT SAYA LIHAT? 45

Teisme Kristen yang percaya kepada Allah mampu menjelaskan


sejumlah besar realitas dalam pengalaman manusia (lih. bab 1 tentang
keberadaan Allah). Realitas-realitas ini meluas ke alam semesta (kebe-
radaannya, tatanan, dan keseragamannya), entitas abstrak (bilangan,
proposisi, dan hukum-hukum logika), prinsip-prinsip etis (nilai-nilai
moral yang universal dan objektif), manusia (keberadaan, kesadaran,
dan rasionalitas mereka), dan fenomena religius (peristiwa-peristiwa
mukjizat dalam kekristenan). Jadi, meskipun esensi Allah tidak benar-
benar dapat dilihat, keberadaan-Nya dapat disimpulkan sebagai pen-
jelasan atas realitas yang diperlukan kehidupan. Namun, keberadaan
Allah tidak naif diasumsikan sebagai penjelasan untuk ketidaktahuan
manusia (praduga tentang “Allah kesenjangan”), melainkan sebagai teori
penjelas yang benar dan berlaku untuk natur realitas. Filsafat skeptis
tentang kehidupan benar-benar mengalami kesulitan untuk menjelaskan
dan membenarkan realitas ini.
Lima hal yang dibahas di atas menunjukkan bahwa tidak logis bila
manusia menolak keberadaan Allah hanya karena Allah tidak dapat dilihat
secara empiris. Namun, sebagian orang masih berpikir bahwa jika
Allah memang ada, Dia telah gagal untuk menyatakan diri-Nya seutuh-
nya.

Keberadaan yang Jelas


Memahami sifat dari penyataan/pewahyuan Allah—penyingkapan
akan sesuatu, baik yang tidak diketahui sebelumnya atau yang belum
sepenuhnya diketahui—akan menjawab keluhan tentang mengapa Allah
tidak membuat keberadaan-Nya jelas agar setiap orang akan percaya
kepada-Nya. Kekristenan yang historis terdiri dari kepercayaan tradi-
sional dan ajaran kekristenan sebagaimana yang ditemukan di dalam
Kitab Suci Yahudi-Kristen dan dengan tepat diringkas menjadi sebuah
pengakuan iman rasuli umat Kristen (lih. bab 4). Dengan demikian,
kekristenan yang historis dapat disebut sebagai agama pewahyuan.
Dalam hal ini, penyataan-Nya mengacu pada penyingkapan tentang diri
Allah sendiri. Kekristenan menjelaskan bahwa Allah telah menyatakan
diri-Nya dengan jelas dan penuh makna kepada umat manusia dengan
dua cara yang berbeda: dalam penyataan/wahyu umum melalui alam dan
hati nurani, dan dalam penyataan/wahyu khusus melalui Alkitab dan
46 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

terutama melalui Yesus Kristus (lih. bab 3). Penyataan umum Allah saja
menyatakan secara meyakinkan bahwa “karakteristik tak terlihat pada
diri Allah—kuasa-Nya yang kekal dan keilahian-Nya—telah terlihat
dengan jelas dan dapat dipahami melalui ciptaan-Nya sehingga semua
orang tidak dapat mengelak” (Rm. 1:20).
Jadi, bagaimana dengan mereka yang menyatakan bahwa tidak ada
bukti yang cukup untuk membuktikan keberadaan Allah? Sebagian
orang berpendapat bahwa bagi mereka yang sadar secara spiritual dan
berpandangan terbuka, ada banyak bukti terpapar agar manusia dapat
percaya pada keberadaan Allah. Namun, bagi orang skeptis yang secara
spiritual tidak sensitif dan berpikiran sempit, masih ada cukup ketidak-
jelasan, setidaknya dalam pikirannya, yang membuat mereka tetap meng-
ungkapkan alasan ketidakpercayaan mereka. Menurut Alkitab, kejatuhan
manusia dalam dosa (pemberontakan Adam) berpengaruh pada kero-
hanian (kemampuan kognitif dan/atau pembentukan kepercayaan), yakni
dosa itu telah membutakan pikiran manusia tentang keberadaan Allah
(Ef. 2:1-3; 4:17-19).
Tanpa dosa, keberadaan Allah akan sangat jelas bagi semua orang.
Dari sudut pandang alkitabiah, orang-orang yang tidak percaya tidak
melihat betapa kekerasan hati mereka (kedegilan rohani dan moral)
menahan mereka untuk percaya kepada Allah. Ketidakpercayaan mereka
berakar dari pemberontakan dan kecongkakan, yang pada dasarnya
merupakan ibadah palsu (1Sam. 15:22-23). Kejahatan seperti itu menim-
bulkan penyembahan berhala dan amoralitas. Meskipun Allah telah mem-
berikan tanda-tanda yang kuat tentang keberadaan-Nya, orang yang
skeptis sengaja mengabaikan dan/atau menahan tanda-tanda tersebut
(Mzm. 14, 19; Rm. 1). Faktor-faktor manusiawi yang tidak rasional
seperti kesombongan dan hasrat untuk tidak bergantung pada siapa pun
menghalangi mereka untuk percaya kepada Allah. Penolakan terhadap
Allah tidak membuktikan bahwa keberadaan-Nya kurang dinyatakan.

Kontak Langsung dengan Manusia


Orang-orang yang mengatakan bahwa mereka akan percaya kepada
Allah jika Dia muncul, dapat merenungkan keunikan Yesus Kristus. Dari
semua agama di dunia, hanya agama Kristen-lah yang membuat per-
nyataan yang dapat dibuktikan secara historis bahwa Allah telah mema-
BAGAIMANA SAYA DAPAT MEMERCAYAI ALLAH YANG TIDAK DAPAT SAYA LIHAT? 47

suki dunia waktu dan ruang. Doktrin inkarnasi (lih. bab 9) mengajar-
kan bahwa Yesus Kristus datang ke dunia dengan berbalutkan daging
manusia—satu-satunya theanthropos (Allah-manusia) (lih. Yoh. 1:1,14;
Flp. 2: 6-8; Kol. 2:9).
Seorang ahli PB, Craig Blomberg, mengomentari natur historis dari
inkarnasi ini, “Iman yang alkitabiah pada dasarnya merupakan komitmen
kepada Allah yang berintervensi di dalam sejarah umat manusia dengan
memperlihatkan aktivitas-Nya untuk penelitian sejarah.”13 Injil meng-
ungkapkan kehidupan Yesus Kristus dan dimaksudkan untuk menyatakan
peristiwa-peristiwa bersejarah (lih. bab 7). Meskipun para rasul tidak
dapat benar-benar melihat natur Ilahi Yesus (karena Allah dalam hakikat-
Nya adalah Roh Tritunggal yang tidak terbatas), mereka tetap menyim-
pulkan keilahian-Nya dari karakter pribadi-Nya yang tak tertandingi,
penggenapan nubuat tentang Mesias, dan karya-karya-Nya yang ajaib
(terutama kebangkitan-Nya sendiri, lih. bab 10). Mereka juga menya-
takan diri mengalami perjumpaan dengan Kristus yang telah dibang-
kitkan. Rasul Yohanes menulis bahwa ia melihat, mendengar, dan
menyentuh Tuhan yang telah bangkit (1Yoh. 1:1-3). Para rasul lain
memiliki pengalaman serupa (Luk. 24:36-43; Yoh. 20:24-31; Kis. 9:
1-9).
Pemikir Kristen ternama, C. S. Lewis, mendorong orang untuk
memikirkan realitas munculnya Allah di dunia:
Pribadi kedua Allah, Sang Putra, menjadi manusia, lahir ke dunia sebagai
manusia sejati—seorang manusia sejati dengan tinggi badan tertentu,
dengan rambut berwarna tertentu, berbicara dalam bahasa tertentu,
dengan berat tubuh tertentu. Pribadi yang kekal itu, yang mahatahu
dan yang menciptakan alam semesta, bukan sekadar menjadi manusia,
melainkan (sebelum itu) menjadi bayi, dan sebelumnya lagi menjadi
janin di dalam tubuh seorang Perempuan.14
(Tujuan dari penampakan-Nya dibahas lebih lanjut di bab 9.)
Mata manusia tidak dapat melihat banyak hal penting yang tidak
diragukan lagi kebenarannya. Secara metafisika, hal yang tidak dapat
dilihat menjadi dasar bagi hal yang dapat dilihat. Sebagai Sosok spritual
yang tidak terbatas dan kekal, esensi Allah tidak dapat dilihat oleh
mata. Namun, itu berarti bahwa Allah kurang menyatakan diri-Nya
kepada manusia. Pernyataan Yesus kepada Filipus menjelaskan, “Barang-
48 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

siapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh. 14:9). Penjelasan
lebih lanjut tentang bagaimana Allah telah menyatakan diri-Nya akan
dibahas di dalam bab berikutnya.

Pertanyaan Diskusi
1. Mengapa pernyataan “Saya hanya percaya pada apa yang saya
lihat” melawan dirinya sendiri?
2. Mengapa realitas-realitas abstrak dan nonempiris lebih sesuai
dengan teisme Kristen daripada dengan naturalisme?
3. Bagaimana keberadaan Allah bisa lebih disukai daripada ateisme
untuk menjelaskan tentang dunia dan kehidupan?
4. Bagaimana pandangan Kristen tentang wahyu Allah dalam
menanggapi penolakan akan keberadaan Allah?
5. Bagaimana doktrin inkarnasi membuat penyataan Allah itu
menjadi unik?

Untuk Studi Lebih Lanjut


Erickson, Millard J. The Word Became Flesh: A Contemporary Incarnational
Christology (Grand Rapids: Baker, 1991).
Montgomery, John Warwick. History and Christianity (Minneapolis: Bethany,
1965)
Moreland, J. P. Scaling the Secular City: A Defense of Christianity (Grand
Rapids: Baker Book House, 1987).
Reymond, Robert L. Jesus, Divine Messiah: The New Testament Witness
(Phillipsburg, NJ: Presbyterian and Reformed, 1990).
Swinburne, Richard. Is There A God? (Oxford: Oxford University Press, 1996).
BAGAIMANA ALLAH MENYATAKAN DIRI-NYA?

“Kami ada di sini untuk memberitakan Injil kepada kamu, supaya kamu
meninggalkan perbuatan sia-sia ini dan berbalik kepada Allah yang hidup,
yang telah menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya. Dalam zaman
yang lampau Allah membiarkan semua bangsa menuruti jalannya masing-
masing, namun Ia bukan tidak menyatakan diri-Nya dengan berbagai-bagai
kebajikan, yaitu dengan menurunkan hujan dari langit dan dengan memberikan
musim-musim subur bagi kamu. Ia memuaskan hatimu dengan makanan dan
kegembiraan.”
––Kisah Para Rasul 14:15-17

Manusia tidak pernah bersikap netral berkaitan dengan Allah. Kita dapat
menyembah Allah sebagai Pencipta dan Tuhan, atau sebaliknya, kita dapat
berpaling dari Allah. Karena hati ditujukan kepada Allah atau sebaliknya,
menentang-Nya, maka pemikiran teoretis tidak pernah menjadi semurni atau
bisa berdiri sendiri seperti yang ingin dipikirkan oleh banyak orang.
––Benjamin Breckinridge Warfield,
The Inspiration and Authority of the Bible

B agaimana orang tahu bahwa Allah itu ada? Jika Dia benar-benar ada,
apa yang bisa diketahui tentang diri-Nya, natur-Nya, dan kuasa-Nya?
Dan bagaimana Allah berelasi dengan dunia?
Jawaban kristiani yang historis untuk pertanyaan-pertanyaan ini
ditemukan di dalam doktrin pewahyuan. Pengajaran ini menggambarkan
penyingkapan atas sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui atau yang
tidak sepenuhnya diketahui. Iman Kristen menyatakan bahwa Allah
mengambil inisiatif untuk menyatakan diri-Nya secara dinamis dan tegas.
Dengan demikian, kekristenan merupakan sistem kepercayaan yang

49
50 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

didasarkan pada penyataan diri Allah dan mengajarkan bahwa pewah-


yuan/penyataan diri Allah itu dibutuhkan sepenuhnya oleh individu untuk
mengenal Allah. Teolog injili Millard J. Erickson menjelaskan mengapa
pewahyuan dan hubungan yang terjalin selanjutnya ini harus diprakarsai
oleh Allah, “Karena manusia itu terbatas dan Allah itu tidak terbatas.
Jadi, jika mereka mau mengenal Allah, hal itu harus terjadi melalui
perwujudan Allah sendiri.”1
Menurut sejarah kekristenan, Allah telah menyatakan diri-Nya dalam
dua cara yang berbeda: melalui dunia ciptaan-Nya (wahyu umum—
pengenalan akan Allah melalui tatanan yang diciptakan-Nya) dan Firman-
Nya (wahyu khusus—pengenalan akan Allah melalui sejarah penebusan
oleh Yesus). Kita dapat sekilas menyelidiki konsep kristiani tentang
pewahyuan ganda tersebut dengan memeriksa dua bagian penting dari
Kitab Suci dan dengan merenungkan bagaimana dua bentuk pewahyuan
itu, dunia ciptaan-Nya dan Firman-Nya, berhubungan satu sama lain.

Konsep Teologi Kristen tentang Wahyu Ganda


Selama berabad-abad, para teolog telah melontarkan berbagai pan-
dangan yang saling bertentangan mengenai konsep sebuah wahyu ganda.
Keragaman pendapat ini terutama sangat jelas ketika berbicara tentang
natur, jangkauan, dan keberhasilan wahyu umum.2 Di salah satu ujung
dunia terdapat seorang teolog Swiss Karl Barth (1886-1968), yang tidak
akan menerima wahyu apa pun selain “pengalaman” keselamatan di
dalam Kristus (penolakan terhadap semua wahyu umum atau alami). Di
ujung yang lain, teolog Anglikan William Paley (1743-1805) menciptakan
teologi natural yang meluas (interpretasi manusia tentang wahyu umum
di luar Alkitab). Terlepas dari lingkup keragaman yang luas ini, telah
dan tetap ada suatu kesepakatan bersama di antara sebagian besar teolog
Kristen bahwa Allah telah membuat diri-Nya dikenal melalui wahyu
umum dan khusus.3

Wahyu Dua Kitab


Kelompok Protestan Ortodoks mendefinisikan atau mengklasifi-
kasikan kedua bentuk penyataan diri Allah dengan cara berikut ini:
BAGAIMANA ALLAH MENYATAKAN DIRI-NYA? 51

Wahyu Umum
Keberadaan, kuasa, hikmat, keagungan, kebenaran, dan kemuliaan
Allah diperlihatkan kepada semua orang di segala zaman dan tempat
melalui tatanan yang tercipta, yang meliputi alam, sejarah, dan hati nurani
manusia.4
Pernyataan inklusif ini mengambil dua bentuk yang berbeda. Pertama,
wahyu umum eksternal yang terdiri dari tatanan yang tercipta, atau alam
(yang memperlihatkan karya Allah selaku Pencipta dunia yang transenden
dan penuh kepedulian), dan urutan sejarah yang sudah ditentukan-Nya
(yang memperlihatkan karya Allah sebagai Pemelihara dunia yang ber-
daulat). Kedua, wahyu umum internal yang meliputi perasaan yang
dibawa sejak lahir atau kesadaran akan adanya Allah, dan hukum moral
di dalam hati manusia.
Wahyu umum internal secara langsung berhubungan dengan ajaran
Alkitab tentang imago Dei (gambar Allah: Kej. 1:26-27). Sebagai puncak
ciptaan Allah, manusia secara unik menampilkan citra Allah dengan
kemampuan rasionalnya, kehendak moralnya, keistimewaan relasional-
nya, kualitas spiritualnya yang unik, dan kekuasaannya atas alam. Sebagai
satu-satunya makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah,
umat manusia mencerminkan keagungan Pencipta mereka, namun dengan
cara yang terbatas. Dan setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, citra
ini menjadi ternoda.

Wahyu Khusus
Penyataan diri Allah yang lebih spesifik dan khusus diwujudkan di
dalam dan melalui tindakan-tindakan penebusan-Nya yang agung, ber-
bagai peristiwa, dan firman-Nya.5 Bentuk penyataan khusus ini muncul
di waktu-waktu dan di tempat-tempat yang khusus. Penyingkapan kebe-
radaan-Nya yang detail ini muncul dalam dua tahap: Pertama, Allah
menyatakan diri melalui umat perjanjian-Nya seperti para bapa leluhur,
nabi, dan raja Ibrani (sebagaimana dicatat dan ditafsirkan oleh para nabi
dalam PL). Kedua, wahyu Allah secara tegas mencapai puncaknya dalam
inkarnasi Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia. Kehidupan, kema-
tian, dan kebangkitan Yesus Kristus (sebagaimana dicatat dan ditafsirkan
oleh para rasul dalam PB) mencatat puncak masuknya Allah ke dalam
sejarah manusia.6
52 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Menurut Alkitab, perantara dari seluruh wahyu adalah Yesus


Kristus—Logos yang Ilahi—Firman yang kekal dan Sang Anak yang
“menerangi setiap orang” (Yoh. 1:9). Teolog injili Carl F. H. Henry
menjelaskan fokus kristologis dari wahyu khusus:
Wahyu khusus dalam sejarah yang dipenuhi kekudusan mencapai
puncaknya melalui inkarnasi Sang Firman yang hidup dan penulisan
firman yang diucapkan. Oleh karena itu, Injil penebusan bukan sekadar
serangkaian tulisan abstrak yang tidak berhubungan dengan peristiwa
sejarah tertentu. Injil penebusan merupakan berita dramatis bahwa
Allah telah bertindak untuk menyelamatkan sejarah, yang mencapai
puncaknya melalui Pribadi Kristus yang berinkarnasi dan karya-Nya
(Ibr. 1:2) bagi keselamatan umat manusia yang terhilang.7
Perbedaan wahyu umum/khusus ini, meskipun bermanfaat secara
teologis dan berasal dari Alkitab, tetap tidak sempurna dan dapat diang-
gap artifisial. Pada akhirnya, wahyu Allah menjadi suatu kesatuan sehingga
tak lagi dapat dibedakan terlalu tajam. Allah yang sama telah menyatakan
diri-Nya dengan cara yang umum dan khusus.
Teolog injili Robert Saucy menyatakan bahwa mengenal Allah melalui
kedua wahyu-Nya secara kasar dapat disamakan dengan mengenal seo-
rang seniman.8 Meskipun sesuatu yang signifikan dari si seniman dapat
diketahui dengan melihat pekerjaannya (wahyu umum), pengenalan yang
luas dan lebih spesifik dapat terjadi melalui komunikasi antarpribadi
(wahyu khusus) dengan si seniman.
Para teolog Protestan kadang-kadang menyebut pandangan wahyu
ganda ini sebagai “teori dua kitab.” Allah adalah penulis kitab/buku
abstrak tentang alam (dunia ciptaan-Nya) dan penulis Kitab Suci yang
harfiah (Firman Allah yang tertulis). Pengakuan Iman Rasuli Belgia (Peng-
akuan Iman Rasuli Reformed yang dipersiapkan pada tahun 1561)
menggunakan metafora dua kitab ini dengan djudul “The Means by Which
We Know God” (Cara-cara yang Melaluinya Kita Mengenal Allah):
Kita mengenalnya dengan dua cara: Pertama, melalui penciptaan,
pelestarian, dan pemerintahan alam semesta, karena alam semesta yang
berada di depan mata kita seperti buku yang indah di mana semua ciptaan
Allah, besar maupun kecil, bagaikan surat-surat yang membuat kita
merenungkan hal-hal tentang Allah yang tidak dapat dilihat . . . Kedua,
Dia membuat diri-Nya dikenal oleh kita dengan lebih terbuka melalui
BAGAIMANA ALLAH MENYATAKAN DIRI-NYA? 53

Firman-Nya yang kudus dan ilahi, sebanyak yang kita butuhkan dalam
hidup ini, bagi kemuliaan-Nya dan demi keselamatan milik-Nya.9

Dasar Alkitabiah untuk Wahyu Ganda


Perjanjian Lama
Teks utama yang mendukung konsep wahyu ganda ini adalah Maz-
mur 19:2-5, 8-12.
Langit menceritakan kemuliaan Allah,
dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya;
hari meneruskan berita itu kepada hari,
dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam.
Tidak ada berita dan tidak ada kata,
suara mereka tidak terdengar;
tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia,
dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi.
Taurat TUHAN itu sempurna,
menyegarkan jiwa;
peraturan TUHAN itu teguh,
memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman.
Titah TUHAN itu tepat,
menyukakan hati;
perintah TUHAN itu murni,
membuat mata bercahaya.
Takut akan TUHAN itu suci,
tetap ada untuk selamanya;
hukum-hukum TUHAN itu benar,
adil semuanya,
lebih indah dari pada emas,
bahkan dari pada banyak emas tua;
dan lebih manis dari pada madu,
bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah.
Lagipula hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu,
dan orang yang berpegang padanya mendapat upah yang besar.
Di ayat 2-5, penulis yang diilhami, yakni Raja Daud, membayangkan
kemuliaan Allah yang dinyatakan dalam tatanan yang diciptakan-Nya.
Dari ayat-ayat ini, teolog Kristen, Bruce Demarest menyatakan empat
hal berikut ini:10
54 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Ayat 1—Penciptaan menunjukkan “kemuliaan Ilahi Allah” ([Ibrani]:


kabod).11 Alam dengan jelas dan kuat memperlihatkan kebera-
daan, kekuasaan, kemuliaan, dan keahlian (pekerjaan tangan)
Sang Pencipta.
Ayat 2—Penyataan diri Allah tentunya “abadi dan tidak terputus.”12
Pesan (“perkataan” dan “pengetahuan”) tentang keberadaan dan
karakteristik Allah dalam ciptaan-Nya, terus-menerus dan tak
henti-hentinya membombardir kesadaran manusia.
Ayat 3—Penyataan diri Allah melalui ciptaan-Nya itu “tanpa kata-
kata dan tanpa suara.”13 Namun, pesan yang abadi dan mencolok
dari alam tentang Allah ini terus-menerus dinyatakan. Meskipun
demikian, sifat nonverbal ini tidak mengurangi kejelasan yang
ditampakkan oleh alam kendati menggambarkan pentingnya
sebuah pesan yang aktual dan lisan (wahyu khusus).
Ayat 4—Penyataan diri Allah melalui ciptaan-Nya “telah meluas ke
seluruh dunia.”14 Berita (“suara”) tentang Sang Pencipta dunia
ini bersifat universal (“sampai ke ujung dunia”). Oleh karena
itu, penyataan diri Allah dalam tatanan yang telah diciptakan
seharusnya bisa dimengerti telah menjangkau ke semua orang di
segala zaman dan tempat.
Ketika beralih ke ayat 7-11, Daud merenungkan kesempurnaan dan
kekuatan Hukum Allah yang tertulis. Ia memuji ketetapan, ajaran,
perintah, dan peraturan Allah serta kebaikan yang terjadi akibat meng-
anut dan mengikuti semuanya itu. Wahyu Allah yang tertulis memelihara
kehidupan umat-Nya. Jadi, melalui Firman yang tertulis, Allah secara
unik menghidupkan dan mengembalikan jiwa. Seperti nasihat Rasul
Paulus kepada rekannya, Timotius:
Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang
dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada
keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang
diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyata-
kan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik
orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan
Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. (2Tim. 3:15-17)
BAGAIMANA ALLAH MENYATAKAN DIRI-NYA? 55

Dalam kitab kedua (Alkitab), Allah yang tidak terbatas berkenan


membuat diri-Nya dikenal secara pribadi dan menyampaikan tawaran
keselamatan yang menjadi tujuan-Nya datang ke dunia. Namun, penya-
taan Allah yang ditawarkan ini bersifat khusus—dan dipercayakan kepada
orang-orang yang khusus (Israel, lalu Gereja) pada waktu dan tempat
yang khusus.

Perjanjian Baru
Ayat Alkitab pendukung terpenting yang berhubungan dengan
pertanyaan tentang wahyu umum dan khusus, adalah Roma 1:18-21.15
Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman
manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman. Karena apa yang
dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah
telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak
dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat
nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga
mereka tidak dapat berdalih.
Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan
Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran
mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.
Pernyataan rasul Paulus di bagian ini sangat jelas. Ia menegaskan
bahwa semua orang “melihat” kemuliaan Allah tercermin dalam tatanan
yang tercipta. Mereka “memahami” maksud ilahi, dan dengan demikian
“tahu” bahwa Sang Pencipta itu ada (ay. 19-20).16 Dua kali Paulus mene-
kankan suatu bentuk kata Yunani ginosko (“mengetahui” lewat penga-
laman pribadi): di ayat 19—“Apa yang dapat mereka ketahui tentang
Allah” (gnoston tou theou), dan sekali lagi di ayat 21—“Sebab sekalipun
mereka mengenal Allah” (gnontes ton theon). Setidaknya empat kali,
dalam konteks yang lebih luas di ayat 18-32, ia menyebutkan bahwa
manusia mengenal Allah. Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Yunani ini
menyatakan bahwa semua orang memiliki pengetahuan yang autentik,
objektif, dan akurat tentang Allah meskipun mungkin masih berupa pema-
haman yang sederhana.
Sebuah penafsiran yang cermat terhadap pernyataan-pernyataan
Paulus mengungkapkan bahwa setidaknya kesadaran dasar tentang kebe-
radaan Allah itu nyata bagi semua orang, dan pengetahuan ini tidak kabur
56 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

atau ambigu. “Kekuasaan-Nya yang kekal dan natur keilahian-Nya”


dengan jelas tercermin di alam. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun
yang dapat beralasan, “Saya tidak tahu bahwa Allah itu ada.” Allah tidak
akan membiarkan diri-Nya tanpa saksi (lih. juga Kis. 14:17; 17:24-31).
Meskipun Paulus menunjukkan bahwa setiap orang memiliki
pengetahuan yang benar tentang Allah melalui tatanan yang diciptakan-
Nya, ia juga menegaskan bahwa kecenderungan alami manusia berdosa
adalah menekan pemahaman ini. Kata Yunani untuk “menekan” (kate-
cho) berarti menahan atau menghalangi secara ilegal.17 Keadaan manusia
yang memberontak dan berdosa memaksanya untuk “menindas kebe-
naran.” Meskipun manusia tahu Allah itu ada, mereka berusaha untuk
menghindari pertanggungjawaban moral mereka kepada-Nya.
Kondisi manusia berdosa yang jatuh dalam kebodohan moral dan
spiritual, menumpulkan kemampuan rohaninya (kognitif dan/atau pem-
bentuk kepercayaan). Para ahli Alkitab dan apologet tidak setuju menge-
nai natur dan luasnya jangkauan efek dosa pada manusia. Mereka
mengajukan pertanyaan seperti ini, misalnya: Apakah efek dosa itu masuk
dalam kategori moral atau kognitif, atau keduanya? Apakah cakupan
efeknya sebagian atau total? Millard Erickson memberikan perspektif
berikut ini:
Distorsi dosa pada pemahaman manusia tentang wahyu umum men-
jadi makin besar ketika dosa juga makin dekat menghinggapi hubungan
antara Allah dan manusia. Dengan demikian, dosa menghasilkan efek
yang relatif kecil terhadap pemahaman pada hal-hal yang bersifat fisik,
tetapi besar pada masalah-masalah psikologi dan sosiologi. Namun, di
tempat-tempat munculnya distorsi terbesar itulah pemahaman yang
paling lengkap mungkin terjadi.18
Dengan kata lain, meskipun orang tahu bahwa ada Allah melalui
wahyu umum, terlepas dari kasih karunia khusus Allah yang bekerja di
dalam hidupnya, ia akan memilih untuk tidak percaya (Rm. 3:10-12).
Jadi, respons iman orang berasal dari karya Roh Kudus melalui isi wahyu
khusus (pemberitaan Injil penebusan di dalam Kristus—lih. Rm. 10:17;
Ef. 2:8-9; Tit. 3:5). Kasih karunia Allah memulihkan kehendak manusia
berdosa dan menerangi pikiran, sementara wahyu khusus mengoreksi
kesalahan persepsi orang dan distorsi wahyu umum (Ef. 2:4-6; 4:17-24;
Flp. 2:12-13).
BAGAIMANA ALLAH MENYATAKAN DIRI-NYA? 57

Konsensus di antara para teolog injili Protestan adalah bahwa wahyu


umum sendiri tidak dapat menyelamatkan meskipun dapat dan akan
berfungsi untuk menyalahkan ketidakpercayaan seseorang (Rm. 1:20).
Karena wahyu umum, orang-orang yang mengaku diri sebagai ateis di
dunia ini tidak dapat membuktikan ketidakpercayaan mereka dengan
alasan bahwa Allah tidak cukup memberikan bukti tentang keberadaan-
Nya. Dengan demikian, wahyu khusus memperkuat kebenaran wahyu
umum, dan wahyu umum mendukung kebenaran wahyu khusus. Oleh
sebab itu, dua jenis wahyu Allah ini saling melengkapi.

Sensus Divinitatis Calvin


Reformator Protestan dan ahli Alkitab John Calvin (1509-1564)
menulis tentang orang yang memiliki sensus divinitatis (kesadaran akan
keberadaan Allah). Ia berkata, “Di dalam pikiran manusia, dan sesung-
guhnya melalui naluri alami, manusia sadar akan keberadaan Allah. Hal
inilah yang sebenarnya membuat kita tidak perlu berdebat. Demi men-
cegah orang berlindung di bawah dalih ketidaktahuan, Allah sendiri telah
menanamkan di dalam diri setiap orang pemahaman tertentu tentang
keagungan Ilahi-Nya.”19
Teolog sejarah Richard Muller menjelaskan bahwa Calvin meng-
gunakan istilah sensus divinitatis ini untuk merujuk pada “persepsi dasar
dan intuitif tentang keberadaan ilahi, yang timbul pada semua orang
melalui pertemuan mereka dengan tatanan dunia yang sudah disediakan
oleh Allah.”20 Mempertimbangkan pernyataan-pernyataan Rasul Paulus
yang sudah dikutip sebelumnya dan penafsiran provokatif Calvin tentang
hal ini, muncullah teori apologetis berikut ini mengenai pemahaman
tentang Allah.21
Karena Allah menciptakan umat manusia menurut gambar-Nya,
mereka dilahirkan dengan pengetahuan bawaan atau kesadaran tentang
keberadaan Allah. Pengetahuan ini bersifat intuitif, tidak diskursif (hal
itu merupakan kesadaran langsung atau naluriah ketimbang kesimpulan
logis) meskipun sudah ada sangat banyak bukti rasional yang mendukung
keberadaan Allah. Intuisi bawaan tentang Allah ini dipicu atau menjadi
sangat menonjol ketika manusia mengamati tatanan alam, mengakui
susunan sejarah yang sudah dibentangkan di depan mata, dan mere-
nungkan kewajiban moral melalui hati nurani mereka.
58 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Namun, kejatuhan manusia dalam dosa telah menyebabkan peralatan


rohaninya rusak (menghasilkan distorsi) sehingga manusia menolak
dorongan ilahi yang kuat ini. Maka dari itu, kasih karunia Allah melalui
Roh Kudus harus turun kepada manusia agar mereka menganut penge-
tahuan yang benar, lengkap, dan menyelamatkan tentang Allah. Pem-
beritaan Injil adalah cara normatif yang akan membuat intuisi ini biasanya
diaktualisasikan sebagai iman yang menyelamatkan. Calvin menggam-
barkan Alkitab sebagai “kacamata” yang memungkinkan orang untuk
membaca buku alam dengan benar, yakni agar mereka dapat menarik
kesimpulan spiritual yang benar dari buku tersebut.

Implikasi Teologis dari Wahyu Ganda


Dengan wahyu ganda teologi Kristen, banyak pertanyaan layak
direnungkan dengan saksama. Karena keterbatasan tempat, hanya ada
tiga pertanyaan paling penting yang akan dibahas di bab ini. Yang per-
tama telah dibahas cukup mendetail tadi dan akan dirangkum di bawah
ini. Pertanyaan kedua dan ketiga timbul dari pembahasan yang pertama
tadi.

Apa hubungan antara kedua sumber wahyu?


Kedua bentuk wahyu yang berasal dari Allah yang tidak terbatas
dan sempurna ini sama-sama diilhami oleh-Nya dan saling memperkuat
dan melengkapi. Semua kebenaran adalah kebenaran Allah. Kitab Suci
meminta pembaca untuk menerima pesan wahyu umum dengan serius
(Mzm. 19; Rm. 1). Tatanan yang telah diciptakan menggambarkan
kebutuhan akan kekhususan dan kelengkapan pada pesan wahyu khusus
itu. Dengan kata lain, wahyu umum menunjuk pada wahyu khusus, dan
wahyu umum menyediakan dasar yang rasional untuk menerima wahyu
khusus.
Pada akhirnya, wahyu Allah menjadi satu kesatuan. Kita dapat mem-
bedakan kedua bentuk itu namun takkan pernah dapat memisahkan
keduanya. Melebih-lebihkan atau mengurangi sifat, lingkup, dan keefek-
tifan yang satu atau yang lain akan berdampak negatif terhadap keseim-
bangan di antara keduanya.
BAGAIMANA ALLAH MENYATAKAN DIRI-NYA? 59

Apa yang terjadi ketika sumber-sumber wahyu tampaknya


bertentangan?
Jika benar-benar dipahami dengan baik, sebagai dua wahyu (yang
satu bersifat fisik, yang lain bersifat lisan) dari Allah yang sama, maka
dunia milik Allah (alam) dan firman Allah (Alkitab) tidak pernah berten-
tangan satu sama lain. Fakta-fakta alam tidak bertentangan dengan
pernyataan faktual Kitab Suci. Namun, interpretasi manusia dari sumber-
sumber ini memang mungkin berbenturan. Jika hal ini yang terjadi,
maka dibutuhkan koreksi. Wahyu khusus dapat dan harus menawarkan
koreksi atas kesalahan tafsir manusia tentang wahyu umum. Dan wahyu
umum dapat membantu mengoreksi kesalahan tafsir manusia terhadap
wahyu khusus (mis.: arkeologi, astronomi), meskipun dalam tingkat
kesalahtafsiran yang lebih rendah karena kekhususan Kitab Suci dan
tampilan alam yang unik (yang dinyatakan dalam bentuk pernyataan
kebenaran yang logis; sebuah wahyu faktual dan verbal).22 Wahyu Allah
dalam alam dan Alkitab harus dipahami dengan serius. Penafsiran ter-
hadap keduanya perlu diuji dengan jujur. Mengakui dengan rendah hati
dan bijaksana tentang perbedaan pendapat antara apa dikatakan dalam
teks Alkitab dan apa yang benar-benar dikatakan oleh teks Alkitab, akan
menghantar kita pada wawasan rohani.23 Begitu pula dengan perbedaan
antara keberanian untuk mengikuti kebenaran yang mengarahkan kita
ke mana pun dan selalu sadar bahwa Allah adalah pencipta segala kebe-
naran (Mzm. 33:4; 111:7-8; Yoh. 17:17).

Bagaimanakah konsep wahyu ganda memengaruhi prinsip


Sola Scriptura?
Sola Scriptura24 ( “Hanya Alkitab”) adalah pedoman Protestan yang
mengakui Alkitab sebagai yang memegang otoritas tertulis yang terakhir
dan tertinggi tentang kebenaran. Tentu saja kebenaran-kebenaran pen-
ting dalam wahyu umum tidak secara eksplisit dijabarkan dalam wahyu
khusus (termasuk banyak prinsip matematika, logika, dan ilmiah).25 Dan
perlu ditegaskan bahwa wahyu umum pun seluruhnya diilhamkan oleh
Allah. Namun, dalam semua hal yang disampaikan oleh Kitab Suci,
wahyu khusus harus dianggap sebagai pemegang otoritas terakhir dan
tertinggi bagi gereja dan orang Kristen. Berdasarkan apa? Berdasarkan
kekhususan Kitab Suci itu sendiri dan naturnya yang disampaikan dengan
60 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

unik,26 dan keautentikannya sendiri. Wahyu Allah yang verbal berbicara


bagi diri-Nya sendiri, dan hal ini tidak dilakukan oleh wahyu umum.
Kitab Suci, melalui karya Roh Kudus, mengoreksi respons manusia yang
menyimpang terhadap wahyu umum. Dengan demikian, wahyu khusus
berkorelasi dan menyatukan seluruh wahyu Allah.27 Jadi, pentingnya
wahyu umum dapat diteguhkan sambil menganut prinsip Sola Scriptura.

Sumber Mulia Wahyu Kristen


Penulis kitab Ibrani memberikan gambaran singkat yang tepat menge-
nai penyingkapan tentang keberadaan Allah:
Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara
berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi,
maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan peran-
taraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima
segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta. Ia
adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang
segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. Dan setelah
Ia selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang
Mahabesar, di tempat yang tinggi. (Ibr. 1:1-3)
Wahyu ganda tentang Allah, firman-Nya yang hidup, dan ciptaan-
Nya telah digenapi melalui Yesus Kristus. Pernyataan kebenaran tentang
kekristenan berasal dari pribadi dan karya Yesus. Ketika kita menyelidiki
bagaimana hal ini dapat tercantum di dalam pengakuan iman Kristen
yang bersejarah, hal itu akan menghantar kita pada wawasan tambahan
mengenai keberadaan Allah dan bagaimana Dia berhubungan dengan
dunia ini. Pengakuan iman ini menjadi topik di bab berikutnya.

Pertanyaan Diskusi
1. Mengapa wahyu menjadi konsep yang begitu penting dalam
kekristenan yang bersejarah ini?
2. Apa perbedaan antara wahyu umum dan wahyu khusus?
3. Mengapa akan menjadi masalah bila kita melebih-lebihkan atau
sebaliknya meremehkan wahyu umum?
4. Bagaimana hubungan antara wahyu umum dan wahyu khusus?
5. Bagaimana Yesus Kristus bisa menjadi wahyu tertinggi dari
Allah?
BAGAIMANA ALLAH MENYATAKAN DIRI-NYA? 61

Untuk Studi Lebih Lanjut


Erickson, Millard J. Christian Theology, edisi ke-2, (Grand Rapids: Baker, 1998),
177-223.
Henry, Carl F. H. God, Revelation and Authority, vol. 1-2 (Waco, TX: Word,
1976).
Milne, Bruce. Know The Truth (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1982), 9-27.
Morris, Leon. I Believe in Revelation (London: Hodder & Stoughton, 1976).
Ramm, Bernard. The Pattern of Authority (Grand Rapids: Eerdmans, 1957).
Warfield, Benjamin B. The Inspiration and Authority of the Bible, ed. Samuel G.
Craig (London: Marshall, Morgan & Scott, 1951).
BUKANKAH KREDO MERUPAKAN BAGIAN
MASA LALU?

Orang-orang yang tidak bisa mengingat masa lalu harus mengulangi masa
lalu itu.
––George Santayana, Reason in Common Sense

Dalam hal rohani kita berutang budi kepada masa lalu yang tidak dapat kita
abaikan.
––Gerald Bray, Creeds, Councils and Christ

P ernyataan kebenaran dalam kekristenan, yang berpusat pada Pribadi


dan karya Yesus Kristus, secara unik berakar pada fakta sejarah.
Orang-orang Yahudi menyebut Allah dalam Alkitab sebagai Allah sejarah
yang mengungkapkan kisah penebusan kristiani yang terus meluas.
Kredo/Pengakuan iman Kristen adalah bagian integral dari kisah
penebusan itu. Pengakuan iman dan peristiwa-peristiwa di seputar pem-
bentukannya, bukan hanya sesuatu yang bermanfaat di masa lalu,
melainkan juga dapat memperkaya kehidupan di masa kini. Penggunaan
kredo yang tepat akan meningkatkan pendidikan, ibadah, dan penginjilan
Kristen. Penyelidikan tentang pengakuan-pengakuan iman kuno ini––
asal usul, natur, perkembangan, dan tujuan––memberikan dasar Alkitab
yang kuat yang dibutuhkan oleh iman, bahkan di abad XXI.

63
64 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Kredo-kredo Kekristenan
Baris pembukaan dalam Pengakuan Iman Rasuli dalam bahasa Latin
berbunyi Credo in Deum—“Aku percaya kepada Allah.” Istilah penga-
kuan iman berasal dari kata kredo dalam bahasa Latin, yang berarti “aku
percaya.” Banyak istilah teologis Inggris penting yang berasal dari bahasa
Latin karena bahasa gerejawi umat Kristen di negara Barat secara eks-
klusif menggunakan bahasa Latin selama lebih dari seribu tahun.1
Pengakuan iman dianggap sebagai pernyataan resmi yang, dalam
bentuk ringkasan, menetapkan keyakinan-keyakinan penting atau ajaran-
ajaran iman Kristen yang bersejarah. Jadi, pengakuan iman biasanya
dimulai dengan pernyataan singkat yang berusaha menangkap esensi
sistem kepercayaan Kristen. Empat pengakuan iman resmi telah dikenal
sebagai pengakuan iman ekumenis umat Kristen. Pengakuan iman ini,
yang dirumuskan dalam berbagai peristiwa sejarah gereja, meliputi
Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea, Kredo Athanasius, dan
Kredo Kalsedon.2 Pernyataan-pernyataan yang bersifat doktrinal ini
dapat ditemukan secara keseluruhan di akhir bab ini.

Asal Mula Pengakuan Iman


Pernyataan-pernyataan khusus (yang tercatat di dalam Kitab Suci)
digunakan sebagai pernyataan pengakuan iman, bahkan pada zaman
Alkitab. Sebagai contoh, di dalam PL, bangsa Israel kuno mengguna-
kan Shema3 sebagai kredo. Shema menekankan komitmen mereka yang
tidak berkompromi dengan monoteisme meskipun mereka hidup di
tengah dunia kafir dan politeistis. Bangsa Israel adalah umat Allah yang
unik, dan Allah mereka (Yahweh) itu “esa.” Shema, yang terus dilafalkan
orang Yahudi dalam doa mereka, bahkan sampai saat ini, muncul dalam
Ulangan 6:4-9. Shema adalah kata Ibrani untuk “dengarlah,” dan ayat 4
dengan tepat diawali dengan bunyi sebagai berikut: “Dengarlah, hai
orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” Ayat ini dengan
singkat merangkum esensi Yudaisme kuno. Umat perjanjian Allah
(Israel) menyembah dan melayani Allah yang esa, benar, dan hidup
(Yahweh).
Besar kemungkinan pernyataan pengakuan iman Kristen yang
paling awal adalah pernyataan yang sederhana namun mendalam dari
PB, yakni “Yesus adalah Tuhan!” (Rm. 10:9; 1Kor. 12:3; 2Kor. 4:5; Flp.
BUKANKAH KREDO MERUPAKAN BAGIAN MASA LALU? 65

2:11). Mengatakan “Yesus adalah Tuhan” (Yunani: kyrios Iesous) dalam


bahasa Yunani PB, sama dengan mengatakan “Yesus adalah Yahweh”
(Tuhan Allah).4 Pernyataan tentang keilahian Yesus sebagai Mesias dan
Juruselamat ini memisahkan umat Kristen abad I dari Yudaisme dan dari
penyembahan bangsa Romawi kepada kaisar. Mengakui Yesus sebagai
Tuhan adalah inti iman Kristen.
Bagian penting lainnya dalam PB, yang mempertahankan pengakuan
iman kuno dari zaman para rasul adalah 1 Korintus 15:3-4. Rasul Paulus
menulis, “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu
apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena
dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan,
dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan
Kitab Suci.” Pernyataan ini, yang diterima oleh rasul Paulus dari para
pengikut Yesus mula-mula, kemungkinan disusun sebagai kredo mula-
mula, tak lama setelah kematian dan kebangkitan Yesus (sekitar tahun
30-33 M). Pernyataan di dalam Alkitab ini, yang sebagian dikutip di
dalam Pengakuan Iman Nicea, benar-benar merangkum pesan kesela-
matan kekristenan yang berpusat pada Kristus. Menangkap esensi ajaran
ini menjadi fungsi penting dari sebuah kredo.
Oleh karena itu, penggunaan ungkapan pengakuan iman atau peng-
akuan iman yang mula-mula, dengan jelas memiliki dasar Alkitab. Para
rasul dan umat Kristen mula-mula melihat nilai besar di dalam berbagai
pengakuan iman yang ada dan menggunakannya dalam keadaan-keadaan
yang sangat penting. Kredo-kredo ini meringkas kerygma (pernyataan)
awal gereja Kristen apostolik.
Ketika agama Kristen semakin mendominasi kekaisaran Romawi,
maka dipandang perlu untuk membuat ringkasan yang lebih rinci tentang
keyakinan Kristen bukan hanya sekadar bagian-bagian singkat yang telah
dikutip sebelumnya. Sebuah pengakuan iman yang lebih rinci dapat digu-
nakan sebagai pengakuan iman umum, terutama sebelum pembaptisan.
Pada abad II, umat Kristen mengembangkan versi awal Pengakuan Iman
Rasuli dalam bahasa Latin (dikenal sebagai Kredo Romawi Kuno) yang
dimaksudkan untuk dijadikan sebagai ringkasan hal-hal utama tentang
Injil Yesus Kristus.5 Mereka memandang pengakuan iman ini sebagai
penyaringan singkat kebenaran Kristen, yang diambil dari isi ajaran Kitab
Suci itu sendiri.
66 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Otoritas Pengakuan Iman


Karena setia merangkum kebenaran Alkitab, pengakuan iman diang-
gap memiliki otoritas. Banyak gereja Kristen historis membaca kredo
(terutama Pengakuan Iman Rasuli) sebagai sarana untuk menyatakan
iman mereka selama ibadah. Pengakuan Iman juga merupakan alat yang
berguna dalam studi formal, tertulis, dan sistematis tentang kebenaran
Kristen (katekisasi). Namun, bagi kaum Protestan, otoritas kredo tidak
intrinsik, tetapi berasal dari Kitab Suci. Menurut prinsip Protestan,
Sola Scriptura (lih. bab 3), bahkan kredo tunduk pada otoritas tertinggi—
Firman Allah yang tertulis.6 Meskipun kredo memberikan ringkasan
berharga tentang keyakinan Kristen yang universal, ia tidak diilhami oleh
Allah seperti Alkitab. Kredo setidaknya terbuka untuk diperbaiki,
diperbarui, atau diubah, tetapi selalu berdasarkan Kitab Suci.

Tujuan Utama Pengakuan Iman


Pengakuan iman, yang dikembangkan dengan sejumlah tujuan, telah
menjalankan beberapa fungsi penting selama berabad-abad, termasuk
empat hal berikut ini:
1. Pengakuan iman membantu merumuskan (memberikan definisi
dan struktur) dan secara positif tetap menegaskan doktrin Kristen
yang penting. Sebagai contoh, pengakuan iman berfokus pada
teologi Trinitas yang telah terbentuk sepenuhnya. Pengakuan
Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea, dan Kredo Athanasius meng-
identifikasi tiga Pribadi Tritunggal Allah (Bapa, Anak, dan Roh
Kudus), dengan berfokus pada peran unik ketiganya dalam pene-
busan. Kemudian, pengakuan iman secara khusus berfokus pada
kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus, yang meru-
pakan inti Injil. Sebagaimana ditunjukkan oleh teolog Oxford,
Alister E. McGrath, pengakuan iman “Memungkinkan kita
mengenali dan menghindari versi kekristenan yang tidak memadai
atau tidak lengkap.”7
Karena terlalu banyak gereja Kristen sekarang yang tidak
cukup berfokus pada natur Allah yang sepenuhnya Tritunggal,
maka banyak orang Kristen hidup sebagai unitaris fungsional yang
dengan kuat atau secara eksklusif memfokuskan perhatian hanya
pada satu pribadi Allah (mis., Yesus atau Roh Kudus, lih. bab 5).
BUKANKAH KREDO MERUPAKAN BAGIAN MASA LALU? 67

Pengakuan iman, yang mencerminkan ketritunggalan yang seim-


bang, dapat membantu mengoreksi ketidakseimbangan teologis
masa kini dan kurangnya pelatihan teologis.
2. Pengakuan iman menarik perhatian orang pada warisan Kristen
yang bersejarah dan umum. Membaca dan mengucapkan peng-
akuan iman mengingatkan orang bahwa percaya kepada Kristus
berarti menjadi anggota sebuah komunitas, yakni komunitas
Kristen yang bersejarah. Pengakuan iman menggabungkan umat
percaya di masa kini dengan umat percaya di masa lalu. Pengakuan
Iman Rasuli menyebut ikatan ini sebagai “persekutuan para
orang kudus.” Gabungan pengakuan iman ini (suatu fungsi liturgis
yang tepat) juga dapat membantu memperbaiki individualisme
yang berlebihan yang tampak di beberapa tempat di dalam peng-
injilan. Pelajaran dari sejarah Kristen dapat membantu meme-
cahkan masalah-masalah zaman sekarang di antara para pengikut
Yesus.
3. Pengakuan iman dapat memainkan peran yang berguna dalam
pengajaran katekisasi doktrin Kristen. Pengakuan iman dapat
membantu orang percaya untuk mengembangkan pemahaman
iman yang terorganisasi, tepat, dan benar. Itulah sebabnya peng-
akuan iman sangat membantu ketika seseorang mempelajari
bagian khusus dari iman Kristen. Meski pada suatu waktu kredo
tampaknya menyepelekan isi doktrin, kredo ternyata memberikan
ringkasan penting tentang kebenaran Alkitab. Kemampuan untuk
merangkum esensi pesan kristiani meningkatkan kesiapan umat
percaya untuk menyampaikan pesan tersebut kepada orang lain
(penginjilan).
4. Pengakuan iman juga memiliki kepentingan apologetis langsung.
Keempat pengakuan iman ditulis secara khusus untuk memerangi
bidat-bidat yang sudah muncul pada abad-abad awal gereja.
Bahkan para pelopor Pengakuan Iman Rasuli secara tidak langsung
menentang bidat-bidat kristologis mula-mula (Ebionisme, Gnos-
tisisme, lih. bab 9.). Bapa-bapa gereja, sebagian besar merumus-
kan Pengakuan Iman Nicea untuk mengatasi bidat Arianisme yang
menyangkal keilahian mutlak Yesus Kristus dengan membuat-Nya
hanya sebagai ciptaan Allah. Arianisme masih tampak dewasa
68 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

ini di dalam teologi Saksi-Saksi Yehova, Kristadelfian, dan Iglesia


ni Cristo.
Kredo Athanasius menetapkan doktrin Kristen tentang Trinitas
(tritunggal), dan menolak politeisme (kepercayaan kepada lebih
dari satu allah) dan modalisme (kepercayaan bahwa Allah itu esa/
satu, hanya cara berekspresi-Nya yang bisa berubah-ubah). Poli-
teisme dapat disaksikan sekarang di dalam Mormonisme, dan
modalisme hidup di United Pentecostal Church (hanya ada Yesus).
Kredo Kalsedon menetapkan standar teologis normatif tentang
dua natur Yesus Kristus (sebagai Allah dan manusia) sehingga
menolak berbagai bidat kristologis (seperti Monofisitisme, dok-
trin yang menyatakan bahwa hanya ada satu natur di dalam diri
Kristus, sebuah kepercayaan yang masih dianut oleh Gereja
Koptik). Secara teologis, tidak ada yang baru di bawah matahari;
dan dalam mengatasi bidat-bidat kuno, kredo-kredo ini berbicara
dengan jelas kepada sekte-sekte bidat masa kini (lih. bab 5 dan 9
tentang Trinitas dan inkarnasi).
Oleh sebab itu, kaum apologet masa kini dapat belajar banyak
dari kredo-kredo dan peristiwa-peristiwa di seputar perumusan-
nya (sebagai contoh, bagaimana mempertahankan doktrin-doktrin
esensial semacam Trinitas, inkarnasi, dan kebangkitan Kristus).

Perlawanan terhadap Pengakuan Iman


Sebagian umat Kristen sama sekali menentang penggunaan pengakuan
iman. Ungkapan “Tidak ada kredo selain Kristus” dan “Tidak ada kitab
selain Alkitab” muncul di tengah banyak kelompok Kristen tertentu di
Amerika pada abad XIX dan awal abad XX. Kekhawatiran mereka
adalah bahwa kredo-kredo itu, entah bagaimana, dapat memudarkan
penyataan Alkitab tentang Kristus. Namun, ada empat hal singkat yang
harus dipertimbangkan. Pertama, ada pernyataan tegas bahwa seseorang
tidak memiliki kredo selain Kristus. Namun, pernyataan itu sendiri
adalah sebuah “kredo,” sebuah pengakuan iman pribadi. Pernyataan
kredo memang sulit dihindari. Kedua, pengakuan iman muncul di
Alkitab dan digunakan oleh para rasul. Ketiga, pengakuan iman memi-
liki fungsi yang sangat penting dalam mengidentifikasi dan menjelas-
kan keyakinan. Keempat, tidak mempunyai pernyataan yang resmi dan
BUKANKAH KREDO MERUPAKAN BAGIAN MASA LALU? 69

tertulis tentang keyakinan seseorang dapat menjadi masalah. Ada banyak


kelompok dapat dengan mudah menyembunyikan pandangan doktrin
mereka yang menyimpang, dan keyakinan yang tidak tertulis itu dapat
membuka kesempatan bagi munculnya penafsiran-penafsiran Alkitab yang
subjektif dan tidak sehat.
Umat Kristen dari gereja-gereja yang tanpa kredo atau tanpa peng-
akuan iman kadang-kadang mengungkapkan keprihatinan yang logis
bahwa pengucapan kredo dapat menggantikan iman yang dinamis dan
bersifat pribadi kepada Yesus Kristus. Meskipun pengakuan iman dapat
disalahgunakan dalam hal ini, pengucapan kata-kata yang dihafalkan,
betapapun pentingnya itu, tidak memiliki efek menyelamatkan selain
hanya membuat hati kita berakar di dalam iman dan keyakinan yang
benar. Alister E. McGrath menjawab keprihatinan ini dengan meya-
kinkan:
Pengakuan iman bukanlah, dan tidak pernah dimaksudkan, untuk
menggantikan iman pribadi. Pengakuan iman berusaha untuk memberi
prinsp pada iman pribadi yang sudah ada. Anda tidak bisa menjadi
orang Kristen hanya dengan mengucapkan pengakuan iman. Sebaliknya,
pengakuan iman memberikan ringkasan yang bermanfaat tentang poin-
poin utama iman Anda.8

Deskripsi Dasar Pengakuan Iman


Pengakuan Iman Rasuli: Sebagai pengakuan iman yang tersingkat
dan paling sederhana dari keempat pengakuan iman yang ada, Pengakuan
Iman Rasuli merupakan kredo yang paling diterima secara meluas dan
paling banyak digunakan—baik di masa kini maupun di masa lampau.
Meskipun tidak benar-benar ditulis oleh para rasul, dalam bentuknya
yang lebih awal dan lebih singkat (pada akhir abad II), pengakuan iman
ini disebut “Kredo Romawi Kuno.” Pengakuan iman ini mencapai ben-
tuknya yang sekarang pada abad VIII M. Dengan berfokus pada Trinitas,
pengakuan iman ini memiliki tiga bagian yang mengakui keterlibatan
tiga Pribadi Allah dalam penebusan manusia. Pengakuan Iman Rasuli
yang digunakan oleh umat Katolik dan Protestan ini sering berfungsi
sebagai peneguhan pengakuan iman selama ibadah Kristen.
70 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Pengakuan Iman Nicea: Meskipun lebih panjang dan memiliki lebih


banyak bahasa teknis teologis daripada Pengakuan Iman Rasuli, kredo
ini memiliki fokus dasar yang sama dan berisi muatan doktrin yang sama.
Meskipun tidak berasal langsung dari Konsili Nicea (325 M), Pengakuan
Iman Nicea menekankan kesetaraan penuh Sang Anak dengan Allah Bapa
sehingga menyangkal bidat Arianisme yang berpengaruh (yang melihat
Kristus sebagai ciptaan Allah). Gereja-gereja Katolik, Ortodoks, dan
Anglikan secara signifikan menggunakan pengakuan iman yang klasik
ini.
Kredo Athanasius: Meskipun tidak ditulis oleh bapa gereja Yunani
(Athanasius [yang namanya dipakai untuk nama kredo]) yang hidup pada
abad IV, pengakuan iman ini muncul sekitar abad V. Kredo ini adalah
pengakuan iman yang isinya paling panjang dan paling filosofis dari semua
kredo yang ada, dengan empat puluh pasal individual. Kredo Athanasius
secara eksplisit dan resmi menetapkan doktrin ortodoks mengenai Tri-
nitas dan inkarnasi. Kredo ini tidak diterima oleh gereja-gereja Ortodoks
Timur.
Kredo Kalsedon: Pernyataan teologis teknis ini, yang meletakkan
parameter teologis tentang Kristologi ortodoks, dikeluarkan oleh Konsili
Kalsedon pada tahun 451 M. Kredo Kalsedon tetap merupakan pernya-
taan definitif tentang dua natur Yesus Kristus (sebagai Allah dan manusia).

Sebuah Sumber yang Berharga


Kebijaksanaan kolektif sejarah Kristen, yang dirumuskan di dalam
kredo-kredo ekumenis kuno, menyediakan sumber yang kaya dan abadi
untuk masa kini, terutama dalam ilmu teologi dan apologetika. “Keang-
kuhan kronologis” (istilah yang diciptakan oleh C. S. Lewis untuk asumsi
bahwa orang-orang yang hidup pada masa sekarang memiliki wawasan
lebih luas daripada orang-orang yang hidup pada masa lampau) kerap
membutakan orang-orang Kristen zaman sekarang untuk mengakui
bahwa banyak atau sebagian besar teolog, filsuf, dan apologet agama
Kristen yang terbesar justru hidup pada masa lampau.9 Bertentangan
dengan pesan yang terlalu sering terdengar di gereja-gereja masa kini,
doktrin dan teologi sangat penting untuk pertumbuhan rohani seseo-
rang dan dapat memberikan landasan Alkitab yang sangat dibutuhkan
untuk tetap bertahan.
BUKANKAH KREDO MERUPAKAN BAGIAN MASA LALU? 71

Pertanyaan Diskusi
1. Mengapa sebuah kajian tentang sejarah Kristen sangat penting?
2. Masalah-masalah apakah di zaman sekarang yang ada dalam
gereja yang mungkin dapat dibantu dengan penelitian serius
terhadap kredo-kredo Kristen kuno?
3. Apa hubungan antara kredo-kredo kuno dan Alkitab?
4. Bagaimana studi tentang tentang doktrin dan teologi itu dapat
menjadi sangat penting untuk pertumbuhan rohani?
5. Bagaimana studi tentang kredo dapat membantu penginjilan dan
apologetika?

Untuk Studi Lebih Lanjut


Bowman, Robert M., Jr. Orthodoxy and Heresy (Grand Rapids: Baker, 1992).
Bray, Gerald. Creeds, Councils and Christ (Ross-shire, UK: Mentor, 1984).
Brown, Harold O. J. Heresies (Garden City, NY: Doubleday, 1984).
Kelly, J. N. D. Early Christian Creeds (London: Harlow, 1972).
McGrath, Alister E. I Believe: Understanding and Applying the Apostles’ Creed
(Grand Rapids: Zondervan, 1991).

Pengakuan Iman Ekumenis Umat Kristen


Pengakuan Iman Rasuli
Aku percaya akan Allah, Bapa yang mahakuasa, pencipta langit dan
bumi.
Aku percaya akan Yesus Kristus, Putra-Nya yang tunggal, Tuhan kita,
yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria; yang
menderita sengsara dalam pemerintahan Pontius Pilatus disalibkan, wafat,
dan dimakamkan; yang turun ke tempat penantian pada hari ketiga
bangkit dari antara orang mati.
Yang naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa yang maha-
kuasa; dari situ Ia akan datang mengadili orang yang hidup dan yang
mati.
Aku percaya akan Roh Kudus, Gereja katolik yang kudus, perse-
kutuan para kudus, pengampunan dosa, kebangkitan badan, kehidupan
kekal. Amin.10
72 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Pengakuan Iman Nicea


Aku percaya akan satu Allah, Bapa yang mahakuasa, pencipta langit
dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan.
Dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang tunggal. Ia
lahir dari Bapa sebelum segala abad, Allah dari Allah, Terang dari Terang,
Allah benar dari Allah benar. Ia dilahirkan, bukan dijadikan, sehakikat
dengan Bapa; segala sesuatu dijadikan oleh-Nya. Ia turun dari surga
untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita. Ia dikandung dari Roh
Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria, dan menjadi manusia. Ia pun
disalibkan untuk kita, waktu Pontius Pilatus; Ia menderita sampai wafat
dan dimakamkan. Pada hari ketiga Ia bangkit menurut Kitab Suci. Ia
naik ke surga, duduk di sisi Bapa. Ia akan kembali dengan mulia, meng-
adili orang yang hidup dan yang mati, kerajaan-Nya takkan berakhir.
Aku percaya akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan; Ia ber-
asal dari Bapa dan Putra; Yang serta Bapa dan Putra, disembah dan dimu-
liakan; Ia bersabda dengan perantaraan para nabi. Aku percaya akan
Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Aku mengakui satu
pembaptisan akan pengampunan dosa. Aku menantikan kebangkitan
orang mati dan hidup di akhirat. Amin.11

Kredo Athanasius
Barangsiapa ingin diselamatkan,
harus memegang iman katolik di atas segalanya.
Jika seseorang tidak menjaganya dengan jujur dan murni,
dia akan binasa.
Iman katolik yaitu:
Kita menyembah satu Allah dalam Tritunggal
dan tritunggal dalam satu,
tanpa mencampur pribadi-pribadi
tanpa memisahkan hakikat.
Sebab pribadi Bapa adalah lain,
pribadi Putra adalah lain,
pribadi Roh Kudus adalah lain.
Tetapi ke-Allahan Bapa, Putra dan Roh Kudus satu,
dan sama dalam kemuliaan, dan kehormatan yang sama dan kekal.
BUKANKAH KREDO MERUPAKAN BAGIAN MASA LALU? 73

Sedemikian Bapa, demikian juga Putra dan demikian juga Roh Kudus.
Bapa tidak diciptakan,
Putra tidak diciptakan,
dan Roh Kudus tidak diciptakan;
Bapa tidak terhingga,
Putra tidak terhingga,
dan Roh Kudus tidak terhingga;
Bapa adalah kekal,
Putra adalah kekal,
dan Roh Kudus adalah kekal;
Meskipun demikian tidak ada tiga yang kekal;
tetapi satu yang kekal.
Tidak ada tiga yang tidak diciptakan dan yang tidak terhingga;
tetapi satu yang tidak diciptakan dan satu yang tidak terhingga.
Demikian juga Bapa mahakuasa,
Putra mahakuasa,
dan Roh Kudus mahakuasa.
Meskipun demikian tidak ada tiga yang mahakuasa;
tetapi satu yang mahakuasa.
Demikian juga Bapa adalah Allah,
Putra adalah Allah,
dan Roh Kudus adalah Allah;
Meskipun demikian tidak ada tiga Allah;
tetapi satu Allah.
Demikian juga Bapa adalah Tuhan,
Putra adalah Tuhan,
dan Roh Kudus adalah Tuhan.
Meskipun demikian tidak ada tiga Tuhan;
tetapi satu Tuhan.
Seperti kita diperintahkan oleh kebenaran Kristen
untuk menyebut setiap pribadi
adalah Allah dan Tuhan,
demikian juga kita dilarang oleh iman katolik
untuk mengatakan ada tiga Allah dan Tuhan.
Bapa tidak dijadikan siapapun dan tidak diciptakan dan tidak
dilahirkan.
74 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Putra tidak dijadikan dan tidak diciptakan;


Ia dilahirkan dari Bapa sendiri.
Roh Kudus tidak dijadikan dan tidak diciptakan;
Ia proses dari Bapa dan Putra.
Maka ada satu Bapa, bukan tiga Bapa;
satu Putra, bukan tiga Putra;
dan satu Roh Kudus bukan tiga Roh Kudus.
Dan dalam Tritunggal tidak ada yang lebih dahulu atau kemudian,
tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah;
tetapi mereka keseluruhan adalah tiga pribadi
sama kekal dan sama derajatnya dengan yang lain.
Sehingga di dalam segalanya, seperti dinyatakan di atas,
kita harus menyembah Tritunggal mereka dalam kesatuan mereka
dan kesatuan dalam Tritunggal mereka.
Barangsiapa ingin diselamatkan
harus demikian kepercayaannya mengenai Tritunggal.
Tetapi ini penting bagi keselamatan kekal,
bahwa memercayai pada satu inkarnasi
dari Tuhan kita Yesus Kristus dengan setia.
Iman yang benar:
Karena itu yang kita percaya dan mengakui
bahwa Tuhan kita, Yesus Kristus, Putra Allah,
adalah Allah dan manusia, yang sama.
Dia adalah Allah dari hakikat Bapa-Nya,
dilahirkan sebelum segala zaman;
dan Dia adalah manusia dari hakikat ibu-Nya,
dilahirkan di dalam zaman;
Allah sempurna dan manusia sempurna,
dengan jiwa berakal dan tubuh manusiawi;
setara dengan Bapa dalam ke-Allahan-Nya,
lebih rendah dari Bapa dalam kemanusiaan-Nya.
Meskipun Dia adalah Allah dan manusia,
Dia Kristus bukan dua tetapi satu,
bagaimanapun Dia satu,
bukan dengan mengubah ke-Allahan-Nya menjadi daging,
tetapi dengan mengenakan kemanusiaan-Nya dalam ke-Allahan.
BUKANKAH KREDO MERUPAKAN BAGIAN MASA LALU? 75

Dia satu,
bukan dengan mencampur hakikat,
tetapi dengan kesatuan pribadi.
Seperti jiwa berakal dan tubuh adalah satu manusia,
demikian juga Allah dan manusia adalah satu Kristus.
Dia menderita sengsara untuk keselamatan kita;
turun ke tempat penantian;
Dia bangkit dari kematian;
Dia naik ke surga;
dan Dia duduk di sebelah kanan Allah Bapa;
dari sana Dia akan datang untuk mengadili orang hidup dan mati.
Pada hari kedatangan-Nya semua orang akan bangkit dengan
badannya
dan mereka akan mempertanggungjawabkan perbuatan mereka
masing-masing.
Bagi yang telah berbuat baik akan masuk ke dalam kehidupan kekal,
dan yang telah berbuat jahat akan masuk ke dalam api yang kekal.
Inilah iman katolik:
barangsiapa tidak menjaganya dengan setia dan teguh, dia tidak dapat
diselamatkan.12

Kredo Kalsedon
Kita semua dengan satu suara mengakui bahwa Tuhan kita Yesus
Kristus adalah satu dan Sang Anak, yang sempurna dalam keilahian dan
kemanusiaan, Allah sejati dan manusia sejati, yang terdiri atas jiwa yang
rasional dan tubuh, yang menjadi satu substansi dengan Bapa dalam
kaitan dengan keilahian-Nya, dan menjadi satu substansi dengan kita
dalam kaitan dengan kemanusiaan-Nya, dan seperti kita dalam segala
hal kecuali dalam hal keberdosaan (Ibr. 4:15). Yesus berasal dari Bapa
sebelum ada zaman dalam kaitannya dengan keilahian-Nya, dan kemudian
lahir dari Perawan Maria, ibu dari Allah. Hidup-Nya adalah bagi kita
dan untuk keselamatan kita. Dalam kaitannya dengan manusia, Dia
adalah satu, Kristus, Sang Anak, Tuhan, Putra tunggal, yang harus diakui
dalam dua natur, tanpa kekeliruan, tanpa perubahan, tanpa pembagian,
dan tanpa pemisahan. Perbedaan natur sama sekali tidak dihapuskan
karena persatuan ini, tetapi justru ciri-ciri masing-masing natur dipeli-
hara, dan bertindak bersamaan menjadi satu Pribadi dan satu kesatuan
76 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Ilahi. Jadi, Kristus tidak seolah-olah dipisahkan atau dibagi menjadi


dua sosok manusia, Dia tetap satu dan Allah Anak satu-satunya, Sang
Firman, Tuhan, Yesus Kristus. Dia sama seperti yang sejak awal dikatakan
oleh para nabi tentang Dia, dan yang diajarkan oleh Tuhan kita Yesus
Kristus kepada kita, dan yang diturunkan kepada kita melalui kredo
para Bapa gereja.13
BAGAIMANA ALLAH BISA MENJADI
TIGA DAN SATU?

Doktrin Trinitas . . . adalah kebenaran bagi hati. Fakta bahwa doktrin ini tidak
bisa dijelaskan secara memuaskan, tidak bertentangan dengan doktrin itu
sendiri, melainkan justru mendukungnya. Kebenaran semacam itu harus diberi-
takan, tak seorang pun dapat membayangkannya.
––A. W. Tozer, The Knowledge of the Holy

Bapalah yang mengutus Anak untuk berkorban menggantikan kita. Anaklah


yang memenuhi tuntutan yang adil dan menenangkan murka Bapa. Roh Kudus-
lah yang datang ke dalam hati kita dan memberi kita iman untuk berseru: “Ya
Abba, ya Bapa” sebagai anak-anak angkat Allah.
––Gerald Bray, The Doctrine of God

P
andangan tentang Trinitas mengganggu banyak orang. Kelompok
Saksi-saksi Yehova menolaknya:
Menyembah Allah menurut ketentuan-Nya berarti menolak doktrin
Trinitas. Doktrin ini bertentangan dengan apa yang dipercayai dan
diajarkan oleh para nabi, Yesus, para rasul, dan umat Kristen mula-
mula. Doktrin ini bertentangan dengan apa yang Allah katakan tentang
diri-Nya dalam firman yang diinspirasikan-Nya sendiri.1
Al Qur’an menolaknya:
Orang-orang kafirlah yang berkata, “Allah adalah satu dari tiga.” Allah
itu hanya ada satu. Jika mereka tidak berhenti mengatakan hal itu,
orang-orang kafir itu akan dihukum dengan berat.2

77
78 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Konsep Trinitas bahkan membingungkan Thomas Jefferson:


Kalau kita mengakhiri jargon aritmatika Trinitas yang tidak dapat
dimengerti, bahwa tiga adalah satu, dan satu adalah tiga; . . . dan [sic]
kembali pada ajaran murni dan sederhana yang [Yesus] tanamkan,
maka kita akan sungguh-sungguh layak menjadi murid-murid-Nya.3
Apakah Allah benar-benar bisa menjadi tiga dan satu pada saat yang
bersamaan? Apa artinya itu dan mengapa orang harus bersusah payah
untuk memahami konsep aneh seperti itu?
Doktrin Kristen yang esensial tentang Trinitas memungkinkan
makhluk ciptaan mengintip sedikit ke jendela natur dan kepribadian Allah
yang tidak terbatas. Trinitas merupakan salah satu ajaran yang paling
khas dari semua ajaran Kristen, yang membedakan agama Kristen dari
semua agama lainnya, termasuk agama monoteistis lainnya (seperti
Yudaisme dan Islam). Karena pandangan Kristen tentang Allah itu unik,
misterius, dan ajaib bagi pikiran yang terbatas, maka pandangan ini kerap
disalahmengerti dan disalahtafsirkan. Meneliti apa yang diajarkan oleh
kekristenan historis tentang Trinitas dan menjawab beberapa pertanyaan
kritis tentang asal usul, perkembangan, kejelasan, hubungan, dan
pentingnya pandangan itu, dapat membantu memperbaiki kesalah-
pahaman ini dan melenyapkan kebingungan.

Sejarah Doktrin Kristen tentang Trinitas


Kredo Athanasius, yang terpanjang dan paling filosofis dari kredo-
kredo ekumenis kuno, menetapkan doktrin ortodoks mengenai Trinitas
dalam kata-kata berikut:
Kita menyembah satu Allah dalam Tritunggal dan tritunggal dalam satu;
tanpa mencampur pribadi-pribadi, tanpa memisahkan hakikat. Sebab
pribadi Bapa adalah lain; pribadi Putra adalah lain; pribadi Roh Kudus
adalah lain; tetapi Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus satu, dan sama
dalam kemuliaan, dan kehormatan yang sama dan kekal . . .
Demikian juga Bapa adalah Allah, Putra adalah Allah, dan Roh
Kudus adalah Allah; meskipun demikian tidak ada tiga Allah tetapi satu
Allah.
Demikian juga Bapa adalah Tuhan, Putra adalah Tuhan, dan Roh
Kudus adalah Tuhan; meskipun demikian tidak ada tiga Tuhan tetapi
satu Tuhan.
BAGAIMANA ALLAH BISA MENJADI TIGA DAN SATU? 79

Seperti kita diperintahkan oleh kebenaran kristen untuk menyebut


setiap pribadi adalah Allah dan Tuhan, demikian juga kita dilarang oleh
iman katolik untuk mengatakan ada tiga Allah dan Tuhan.4
Kata “Trinitas” mengacu pada “tiga kesatuan” (tiga dalam satu), yang
hendak menyampaikan kebenaran alkitabiah bahwa ada pluralitas dalam
kesatuan natur Allah (satu Allah dalam tiga “pribadi”). Doktrin Tritunggal
(atau trinitas Allah) harus dipahami dengan benar dalam konteks yang
lebih luas dari pandangan teistis Kristen tentang Allah.5 Allah yang diung-
kapkan di dalam Alkitab (dan yang kemudian dijelaskan di dalam kredo-
kredo kuno dan pengakuan-pengakuan iman umat Kristen) adalah satu-
satunya Tuhan yang berdaulat dan agung. Kekristenan yang bersejarah
meneguhkan kepercayaan kepada satu Allah yang sangat sempurna,
kekal, dan bersifat pribadi (atau superpersonal)—Pencipta transenden
dan Pemelihara yang berdaulat atas alam semesta. Allah yang satu ini
Tritunggal. Dia ada sepanjang masa dan sekaligus merupakan tiga pribadi
yang berbeda dan dapat dibedakan (meskipun tidak dapat dipisahkan):
Bapa, Anak, dan Roh Kudus.
Ketiga pribadi dalam ketuhanan-Nya, atau keilahian-Nya memiliki
satu natur Ilahi yang sama dan utuh. Oleh sebab itu, ketiganya adalah
Allah yang sama—sama kedudukannya dalam karakteristik, natur, dan
kemuliaan. Allah telah mengungkapkan diri-Nya sebagai satu dalam
esensi dan substansi (keberadaan) namun tiga dalam subsistensi (kepri-
badian). Sehubungan dengan apa Allah itu (esensi), Allah hanya ada
satu; sehubungan dengan siapa Allah itu (subsistensi), Allah ada tiga.
Jadi, secara filosofis, Allah adalah “satu Apa” dan “tiga Siapa.”
Bila disusun dalam struktur kalimat negatif, maka ketiga pribadi itu
bukan tiga Allah yang berbeda (triteisme) sebab hal itu akan memisahkan
esensi, melainkan hanya satu Allah (monoteisme). Dan juga bukan satu
pribadi tunggal (monarkianisme, modalisme) karena hal itu akan men-
campuradukkan atau membaurkan pribadi-pribadi itu, melainkan tiga
pribadi yang berbeda dan dapat dibedakan (Tritunggal).

Hal-hal Penting mengenai Trinitas


Sepuluh hal berikut ini menyampaikan informasi esensial tentang
Trinitas.6 Poin-poin ini akan menjelaskan tentang apa yang disebut Tri-
nitas Allah dan apa yang bukan Trinitas Allah.
80 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

1. Hanya ada satu Allah (satu esensi atau keberadaan Allah). Trini-
tarianisme adalah sejenis monoteisme yang unik, dan kebenaran
yang mendasari monoteisme berakar di dalam Kitab Suci PL dan
PB. Oleh karena itu, umumnya trinitarianisme ortodoks meno-
lak politeisme dan khususnya triteisme karena keduanya memi-
sahkan satu esensi Allah.
2. Ketiga pribadi Allah masing-masing Ilahi yang utuh, semua memi-
liki satu esensi Ilahi yang sama dan utuh (Allah Bapa, Allah Anak,
dan Allah Roh Kudus). Keilahian ketiga pribadi ini juga dida-
sarkan pada Kitab Suci PL dan PB.
3. Ketiga pribadi Trinitas tidak boleh dipahami sebagai tiga “bagian”
dari Allah. Setiap pribadi sepenuhnya Ilahi dan sama-sama memi-
liki seluruh keberadaan Allah.
4. Istilah “pribadi” yang mengacu pada Trinitas digunakan dalam
arti yang unik. Istilah ini tidak boleh dipahami sebagai entitas
atau keberadaan yang terpisah dan otonom karena hal itu akan
memisahkan esensi Ilahi.
5. Tidak seperti semua ciptaan Allah yang terbatas, Allah memiliki
pluralitas kepribadian di dalam satu keberadaan-Nya yang tidak
terbatas. Trinitas adalah salah satu contoh prinsip teologis yang
dikenal sebagai perbedaan Pencipta/makhluk ciptaan.
6. Para anggota Trinitas secara kualitatif sama dalam karakteristik,
natur, dan kemuliaan. Alkitab mengungkapkan kerelaan sub-
ordinasi di antara pribadi-pribadi Ilahi dalam hal posisi atau peran
(misalnya: Sang Anak tunduk kepada Sang Bapa, Roh Kudus
keluar dari Sang Bapa dan Sang Anak), tetapi di sana sama sekali
tidak ada ketidaksetaraan (inferioritas) esensi atau natur. Oleh
karena itu, pribadi-pribadi tersebut setara dalam keberadaan,
tetapi berbeda (atau menghormati) hanya dalam peran atau
posisi.
7. Para anggota Trinitas itu abadi dan sekaligus berbeda sebagai tiga
pribadi. Dengan kata lain, keilahian selamanya telah ada, kini
ada, dan selamanya akan hidup sebagai tiga pribadi: Bapa, Anak,
dan Roh Kudus. Tak satu pun dari pribadi-pribadi ini yang muncul
atau menjadi Allah pada suatu waktu tertentu. Karena itu trini-
tarianisme ortodoks menolak segala bentuk Arianisme (sebuah
BAGAIMANA ALLAH BISA MENJADI TIGA DAN SATU? 81

ajaran yang membuat Sang Anak sebagai ciptaan Allah dan


menyangkal kepribadian dan keilahian Roh Kudus).
8. Ketiga anggota dalam keilahian ini adalah pribadi-pribadi yang
berbeda dan dapat dibedakan satu sama lain (mis.: Sang Bapa
bukan Sang Anak, Sang Bapa bukan Roh Kudus, dan Sang Anak
bukan Roh Kudus). Oleh karena itu, trinitarianisme ortodoks
menolak segala bentuk modalisme (yang mencampuradukkan
atau membaurkan pribadi-pribadi itu dengan mendefinisikan
mereka hanya sebagai bentuk eksistensi atau ekspresi).
9. Allah yang “esa” dan “tritunggal”ada dalam hal-hal yang berbeda.
Dengan kata lain, jalur di mana Allah adalah satu (esensi) berbeda
dari jalur di mana Allah adalah tiga (subsistensi). Selama berabad-
abad para teolog dan filsuf Kristen telah menyatakan bahwa
sangat penting untuk membedakan antara esensi Tuhan di satu
sisi dan subsistensi Allah di sisi lain.
10. Jalur di mana Allah adalah satu tidak melanggar jalur di mana
Allah adalah tiga, dan sebaliknya. Perbedaan antara esensi Allah
yang tunggal (keberadaan) dan subsistensi Allah yang jamak
(kepribadian) itu penting untuk menghilangkan kebingungan
tentang doktrin Trinitas.

Menjawab Penolakan-Penolakan Kritis


Karena kata Trinitas tidak muncul di bagian mana pun di dalam
Alkitab, apakah gereja mula-mula hanya menciptakan doktrin itu?
Secara linguistik, istilah trinitas berasal dari kata berbahasa Latin
trinitas. Istilah ini digunakan oleh bapa gereja Tertulianus (sekitar 160-
230 M) yang menulis tentang “Trinitas dari satu Tuhan, Bapa, Anak, dan
Roh Kudus.”7 Meskipun benar bahwa doktrin Trinitas makin ber-
kembang dalam sejarah gereja, hal itu tetap tidak berarti bahwa gereja
telah menciptakan doktrin tersebut. Saksi-Saksi Yehova mempermasa-
lahkan bahwa kata Trinitas tidak muncul di bagian mana pun di dalam
Alkitab. Namun, ketiadaan kata ini sama sekali tidak membatalkan dok-
trin ini. Banyak konsep Alkitab yang penting disampaikan dengan istilah-
istilah yang tidak terdapat di dalam Alkitab, misalnya kata Alkitab, kanon,
dan ineransi (tidak adanya kesalahan). Tentunya di dalam teks itu sen-
diri tidak ada larangan menggunakan istilah tambahan di luar Alkitab
82 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

untuk mengekspresikan makna yang tepat. Meskipun kata Trinitas tidak


muncul, Alkitab dengan jelas mengungkapkan doktrin ini.
Meskipun ratusan ayat dapat disusun untuk mendukung doktrin
Trinitas,8 dasar Alkitab untuk doktrin ini secara singkat diringkas di
bawah ini, “Dasar Alkitab untuk Trinitas: Lima Proposisi.”
Dasar Alkitab untuk Trinitas: Lima Proposisi
1. Hanya ada satu Allah.
Ulangan 4:35,39, 6:4, 32:39; 2 Samuel 7:22; Mazmur 86:10; Yesaya 43:10,
44:6-8, 46:9; Yohanes 5:44, 17:3; Roma 3:29-30, 16:27; 1 Korintus 8:4; Gala-
tia 3:20; Efesus 4:6; 1 Tesalonika 1:9; 1 Timotius 1:17, 2:5; Yakobus 2:19;
1 Yohanes 5:20-21; Yudas 25.
2. Pribadi Sang Bapa adalah Allah.
Yohanes 6:27; Efesus 4:6; Kolose 1:2-3; 2 Petrus 1:17.
3. Pribadi Sang Anak adalah Allah.
Yohanes 1:1, 5:17, 8:58, 10:30, 20:28; Filipi 2:6; Kolose 2:9; Titus 2:13;
Ibrani 1:8; 2 Petrus 1:1.
4. Pribadi Roh Kudus adalah Allah.
Kejadian 1:2; Yohanes 14:26; Kisah Para Rasul 5:3-4, 13:2,4, 28:25; Roma
8:11; Efesus 4:30.
5. Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah pribadi-pribadi yang berbeda dan memang
dapat dibedakan.
Matius 28:19; Lukas 3:22; Yohanes 15:26, 16:13-15; 2 Korintus 13:13.

Proposisi-proposisi Alkitab (yang direferensikan di atas) secara logis


menyiratkan bahwa karena hanya ada satu Allah, dan ketiga pribadi yang
berbeda itu semuanya disebut sebagai Allah, maka ketiga pribadi itu
pasti satu Allah. Doktrin Trinitas tidak diciptakan oleh gereja pada Konsili
Nicea (325 M) atau pada waktu lainnya. Bapa-bapa gereja melihat doktrin
Trinitas ini sebagai kesimpulan yang diperlukan dari Kitab Suci. Doktrin
ini berkembang di tengah jemaat/gereja mula-mula karena begitu banyak-
nya bukti alkitabiah yang mendukung keilahian Yesus Kristus dan keila-
hian Roh Kudus. Teolog injili Alister E. McGrath menjelaskan:
Doktrin Trinitas dapat dianggap sebagai hasil suatu proses refleksi yang
berkelanjutan dan kritis mengenai pola aktivitas Ilahi yang dinyatakan
di dalam Kitab Suci, dan dilanjutkan di dalam pengalaman kristiani.
BAGAIMANA ALLAH BISA MENJADI TIGA DAN SATU? 83

Hal ini bukan untuk menyatakan bahwa Kitab Suci berisi doktrin
Trinitas, melainkan Kitab Suci menjadi saksi bagi Allah yang menuntut
untuk dipahami secara Tritunggal . . . Dalam sejarah mungkin ada
bantahan yang mengatakan bahwa doktrin Trinitas terkait erat dengan
perkembangan doktrin keilahian Kristus . . . Sebagaimana yang telah
kita lihat, titik pangkal refleksi kristiani tentang Trinitas adalah kesak-
sian PB tentang keberadaan dan aktivitas Allah di dalam Kristus dan
melalui Roh.9
Meskipun tidak ada pernyataan resmi atau dogmatis yang muncul
di dalam Alkitab mengenai Trinitas, kebenaran-kebenaran yang meng-
hasilkan doktrin ini secara unik berasal dari Kitab Suci. Para rasul dan
bapa gereja yang mengikuti kebenaran-kebenaran ini mau tidak mau
menyadari akan adanya satu Allah yang dinyatakan di dalam tiga pribadi.
Dukungan Alkitab untuk doktrin Trinitas dapat ditelusuri melalui empat
unsur ini:
1. Tritunggal di dalam PL. Kebenaran tentang natur Allah makin
tampak di dalam Kitab Suci. Oleh karena itu, meskipun PL terbatas
dalam hal mendukung secara langsung doktrin Trinitas, Kitab Suci Ibrani
mengakui pandangan tentang pluralitas pribadi di dalam natur tunggal
Allah. Pluralitas ini dibuktikan di dalam fakta bahwa kata benda Ibrani
untuk Allah (’elohim) umumnya ditemukan dalam bentuk jamak, dan di
beberapa bagian PL, kata ganti dan kata kerja jamak digunakan ketika
berbicara tentang Allah.
Kejadian 1 mencatat bahwa tepat sebelum Allah hendak menciptakan
manusia, Dia berkata, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gam-
bar dan rupa Kita” (Kej. 1:26, penekanan kata bercetak miring ditambah-
kan oleh penulis). Ayat berikutnya mendefinisikan “gambar dan rupa
Kita” sebagai “gambar Allah” (Kej. 1:27). Demikian pula, setelah Adam
dan Hawa jatuh ke dalam dosa (Kej. 3), Allah berfirman, “Sesungguhnya
manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang
baik dan yang jahat” (Kej. 3:22, penekanan kata bercetak miring ditam-
bahkan penulis). Dalam konteksnya, referensi tentang Kita merujuk
kembali ke ayat 5 yang diidentifikasi sebagai “seperti Allah.” PL mem-
berikan dua bagian lain yang sifatnya serupa (lih. Kej. 11:7 dan Yes.
6:8). Meskipun ayat-ayat ini dan ayat-ayat lainnya yang menyatakan
pluralitas Allah tidak membuktikan Trinitas, ayat-ayat ini tetap konsisten
84 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

dengan perubahan para rasul di PB dalam hal pemahaman tradisional


monoteisme Yahudi.10
2. Tritunggal dalam PB. Hal yang hanya dikatakan secara tidak
langsung di dalam PL muncul dengan jelas di dalam PB melalui referensi
eklesiastikal yang dirumuskan tentang Trinitas.11 Dua bacaan Alkitab di
bawah ini membedakan di antara ketiga Pribadi namun sekaligus menghu-
bungkan mereka bersama-sama dalam kesatuan dan kesetaraan yang jelas:
 “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan
baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”
(Mat. 28:19).
 “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan perse-
kutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2Kor. 13:13).
Bahasa, konteks, penggunaan, dan zaman awal penulisan ayat-ayat
ini memberikan indikasi yang jelas bahwa para rasul benar-benar menya-
dari bahwa pemahaman tradisional mereka tentang monoteisme Yahudi
harus dimodifikasi untuk menyertakan realitas tiga Pribadi Allah itu.
Ayat-ayat ini menempatkan Anak dan Roh Kudus pada tingkat yang sama
dengan Bapa dan langsung terhubung pada keyakinan mula-mula doktrin
dan praktik Kristen (pembaptisan, doa berkat eklesiastikal).12
3. Pencatatan Tiga Pribadi secara Bersamaan. Pencatatan tiga pribadi
secara bersamaan (Bapa atau Allah; dan Anak atau Kristus atau Tuhan;
dan Roh Kudus atau Roh)13 sering terjadi di dalam PB. Mereka terutama
dihubungkan bersama dalam kesatuan berkaitan dengan karya penebusan
umat manusia (Rm. 15:16,30; 1Kor. 12:4-6; 2Kor. 1:21-22, 3:3; Gal.
4:6; Ef. 2:18; 4:4-6; 2Tes. 2:13-14; Why. 1:4-6). Meskipun pola tiga
serangkai ini khususnya muncul dalam tulisan-tulisan Paulus, pola ini
juga muncul di bagian-bagian lain di PB (Kis. 2:33,38; Yud. 20-21). Hal
itu tampak di dua bacaan Alkitab berikut ini:
 “Dari Petrus, rasul Yesus Kristus, kepada orang-orang pendatang,
. . . yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah,
Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada
Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya” (1Pet. 1:1-2).
 “Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu
itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung
merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari sorga
BAGAIMANA ALLAH BISA MENJADI TIGA DAN SATU? 85

yang mengatakan: ‘Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah


Aku berkenan’” (Mat. 3:16-17).
Barangkali pernyataan paling jelas dan mendalam tentang kesatuan
dan natur kesetaraan ketiga Pribadi ini terdapat di dalam tulisan Yohanes
(lih. khususnya Injil Yoh. 14-16). Pencatatan nama ketiganya itu sering
muncul (lih. Yoh. 1:33-34; 1Yoh. 4:2, 13-14). (lih. “Trinitas dalam Injil
Yohanes” sebagai ringkasan banyak pernyataan yang berhubungan dengan
tiga Pribadi Allah dalam Trinitas).

Trinitas dalam Injil Yohanes


Bapa dan Firman (Anak) bersama-sama dalam persekutuan sejak
kekekalan (1:1)
Bapa dan Firman (Anak) adalah dua pribadi yang berbeda namun
sama-sama Ilahi (1:1)
Bapa menciptakan dunia melalui Anak (1:3)
Bapa mengutus Anak ke dalam dunia (14:24)
Anak berinkarnasi menjadi manusia (1:14)
Kedudukan Anak dan Bapa setara (5:18)
Anak adalah AKU yang agung (8:58)
Bapa dan Anak adalah satu (10:30)
Anak berbagi kemuliaan dengan Bapa (17:5)
Anak adalah jalan dan kebenaran dan hidup (14:6)
Mengenal Anak sama dengan mengenal Bapa (14:7)
Melihat Anak sama dengan melihat Bapa (14:9)
Anak di dalam Bapa dan Bapa di dalam Anak (14:10)
Perkataan Anak berasal dari perkataan Bapa (14:10)
Membenci Anak sama dengan membenci Bapa (15:23)
Barangsiapa mengasihi Anak sama dengan mengasihi Bapa (14:21)
Anak membawa kemuliaan kepada Bapa (14:13)
Anak berdoa bagi kedatangan Roh Kudus (14:16)
Roh adalah Penolong yang lain seperti Anak (14:16; lih. 1Yoh. 2:1)
Anak pergi untuk mengutus Roh (16:7)
Anak kembali kepada Bapa (16:28)
Anak akan mengutus Roh dari Bapa (15:26)
Bapa mengutus Roh (14:16)
Bapa mengutus Roh dalam nama Anak (14:26)
Roh kebenaran membimbing kita ke dalam seluruh kebenaran
(16:13)
86 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Pelayanan Roh merupakan kelanjutan dari pelayanan Anak (16:


13-14)
Roh membawa kemuliaan bagi Anak (16:14)
Roh bersaksi tentang Anak (15:26)
Semua yang menjadi milik Bapa adalah milik Anak juga (16:15)

Injil Yohanes sendiri memberikan dukungan yang luar biasa untuk


doktrin Trinitas. Yesus sendiri, sebagaimana dicatat oleh Yohanes, menje-
laskan hubungan yang sangat dekat di antara ketiga anggota Trinitas
yang setara ini dalam membawa keselamatan bagi orang berdosa:
“Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh
Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku.” (Yoh.
15:26)
4. Ketiga Pribadi Itu Memiliki Nama, Sifat, dan Melakukan Peker-
jaan-pekerjaan Ilahi. Alkitab membuktikan dengan berbagai cara tentang
keilahian sepenuhnya dan tak bercacat dari Bapa, Anak, dan Roh Kudus
(lih. juga bab 9) (lih. “Dukungan alkitabiah untuk keilahian ketiga Pri-
badi”):

Dukungan Alkitabiah untuk Keilahian Ketiga Pribadi


Ketiga pribadi disebut sebagai Allah:
Bapa (1Pet. 1:2), Anak (Ibr. 1:8 ), Roh Kudus (Kis. 5:3-4)
Ketiga pribadi memiliki sifat atau kualitas Ilahi:
Keberadaan diri: Bapa (Kis. 17:25), Anak (Yoh. 5:26), Roh Kudus (Rm. 8:2)
Keberadaan kekal: Bapa (Mzm. 90:2), Anak (Yoh. 8:58), Roh Kudus (Ibr. 9:14)
Kekekalan: Bapa (Yak. 1:17), Anak (Ibr. 13:8), Roh Kudus (2Kor. 3:18)
Mahahadir: Bapa (Yer. 23:23-24), Anak (Mat. 28:20), Roh Kudus (Mzm. 139:7)
Mahatahu: Bapa (Yes. 40:28), Anak (Kol. 2:3), Roh Kudus (1Kor. 2:10)
Mahakuasa: Bapa (Yer. 32:17), Anak (Kol. 1:16-17), Roh Kudus (1Kor. 2:10-11)
Kebenaran: Bapa (Yoh. 7:28), Anak (Yoh. 14:6), Roh Kudus (1Yoh. 5:6)
Kekudusan: Bapa (Im. 11:44), Anak (Kis. 3:14), Roh Kudus (Yoh. 16:7-8)
Hikmat: Bapa (Mzm. 104:24), Anak (Kol. 2:3), Roh Kudus (1Kor. 2:10-11)
Ketiga pribadi terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan Allah:
Penciptaan dunia: Bapa (Kej. 2:7), Anak (Yoh. 1:3), Roh Kudus (Kej. 1:2)
Inkarnasi Yesus Kristus: Bapa (Ibr. 10:5), Anak (Ibr. 2:14), Roh Kudus (Luk.
1:35)
Kebangkitan Yesus: Bapa (Kis. 2:32 ), Anak (Yoh. 2:19), Roh Kudus (Rm.
1:4)
BAGAIMANA ALLAH BISA MENJADI TIGA DAN SATU? 87

Teolog sistematis Millard J. Erickson memberikan pendapat berikut


ini mengenai bukti alkitabiah tentang Trinitas:
Meskipun doktrin Trinitas tidak dinyatakan secara jelas, Kitab Suci,
khususnya PB, begitu banyak berisi petunjuk mengenai keilahian dan
kesatuan dari ketiga Pribadi itu sehingga kita dapat memahami mengapa
gereja merumuskan doktrin tersebut, dan menyimpulkan bahwa mereka
benar dalam melakukannya.14
Meskipun doktrin Trinitas memiliki dukungan alkitabiah yang jelas
dan persuasif serta berdiri sebagai dasar ortodoksi Kristen, empat peno-
lakan kerap ditanyakan. Dengan demikian, menanggapi penolakan-
penolakan itu sangatlah penting.

Menurut sejarah, apakah tidak ada penentang, baik secara kelompok


maupun individu, terhadap posisi ortodoks Trinitas?
Doktrin Trinitas memiliki sumber alkitabiah, tetapi bentuk, struktur,
dan definisinya berkembang selama beberapa abad pertama dalam sejarah
kekristenan. Perumusan ini berlangsung di tengah penolakan-penolakan
sesat terhadap konsep kristiani tentang Allah. Kredo-kredo ekumenis
Kristen dihasilkan dari refleksi berkelanjutan gereja dalam hal-hal doktrin
yang kritis. Kredo-kredo ini dibentuk melalui debat dan kontroversi
yang muncul serta sebagai respons terhadap kaum bidat. Penjelasan
singkat mengenai bidat-bidat utama Trinitas berikut ini mencakup apa
yang mereka ajarkan tentang Allah, bagaimana ajaran ini berbeda dari
ortodoksi, dan bagaimana ortodoksi Kristen menjawabnya. Para mitra
zaman modern dari bidat-bidat ini juga disebutkan secara singkat (bab 9
berisi daftar bidat-bidat kristologis).
Arianisme: diperjuangkan oleh pemikir Arius dari Alexandria yang
berpengaruh, Arianisme berpendapat bahwa natur atau esensi Kristus
lebih rendah daripada Sang Bapa dan bahwa Kristus adalah ciptaan
Allah. Opini ini menunjukkan penolakan terhadap keilahian Kristus
dan Roh Kudus yang utuh dan tak bersyarat. Bidat ini pertama kali
dikutuk dalam Konsili Nicea (325 M). Pandangan kristologis kelompok-
kelompok zaman modern seperti Saksi-saksi Yehova, Kristadelfian, dan
Iglesia ni Cristo tampak jelas seperti Arianisme.15
88 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Modalisme: Ini sejenis Monarkianisme. Posisi bidat ini menjadi


populer pada abad ketiga. Bidat ini menyatakan bahwa hanya ada satu
Pribadi ilahi, yang muncul dalam tiga bentuk yang berbeda (mis.: Pen-
cipta, Penebus, Roh Kudus). Jadi, pandangan ini menolak bahwa ketiga
anggota Trinitas itu adalah pribadi-pribadi yang berbeda dan sekaligus
dapat dibedakan (mencampuradukkan pribadi-pribadi itu). Sabelianisme
atau Patripasianisme adalah jenis-jenis moralisme historis. Doktrin One-
ness Pentacostals zaman modern mencerminkan sejenis modalisme
dengan pandangan mereka yang mengakui “hanya Yesus” yang ada.16
Sayangnya, bahkan beberapa penginjil memikirkan Trinitas dengan
istilah-istilah modalistis.
Monarkianisme: Muncul pada abad II dan III Masehi, pandangan
ini menekankan kesatuan mutlak Allah sehingga meniadakan kemung-
kinan pluralitas Pribadi sejati Allah (sebagai tiga pribadi yang berbeda).
Dalam berbagai bentuk ajaran bidatnya, Monarkianisme menyatakan
bahwa Allah adalah makhluk dan pribadi yang tunggal.
Politeisme: Pandangan kuno yang populer mengatakan bahwa ada
lebih dari satu, atau banyak allah merupakan pengingkaran langsung
terhadap monoteisme Alkitab (membagi esensi). Sekte Mormonisme
zaman modern (Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman
Akhir atau LDS) menegaskan sejenis politeisme dengan ajarannya tentang
perkembangan manusia menuju keilahian.17
Triteisme: Suatu jenis politeisme, pandangan ini menegaskan bahwa
Allah ada sebagai tiga makhluk yang sama dan independen, jadi sebagai
allah-allah yang berdiri sendiri-sendiri. Beberapa kritikus agama Kristen
historis menuduh doktrin Trinitas sebagai triteistis.
Unitarianisme: Dalam tradisi Monarkianisme, pandangan ini mene-
kankan kesatuan mutlak natur dan pribadi Allah sehingga menolak
doktrin Trinitas. Selain itu, Unitarianisme menyangkal keilahian Kristus.
Pandangan seperti ini diperlihatkan sekarang di dalam Unitarian-
Universalist Church.18
BAGAIMANA ALLAH BISA MENJADI TIGA DAN SATU? 89

Bukankah Trinitas merupakan doktrin yang misterius dan tidak


dapat dipahami, dan karena itu tidak masuk akal?
Sebagai makhluk hidup, manusia tidak akan pernah tahu dan
memahami Allah sebagaimana Allah memahami diri-Nya. Dan meskipun
doktrin Trinitas dalam batas-batas tertentu tampak misterius dan tidak
dapat sepenuhnya dipahami oleh pikiran yang terbatas, doktrin ini dapat
dibahas secara bermakna dan bukan sesuatu yang tidak logis. Trinitas
adalah pengajaran yang dapat dimengerti meskipun manusia tidak per-
nah dapat sepenuhnya memahami betapa Allah itu tritunggal. Namun,
analogi-analogi yang tidak sempurna dapat memberikan wawasan yang
berarti bagi natur-Nya yang tritunggal. Sebagai contoh, sebuah segitiga
dengan tiga sisi atau satu keluarga dengan tiga anggota, dapat dimengerti.
Kesimpulan yang beralasan dan cermat yang diambil dari Kitab Suci
tentang Allah itu rasional meskipun tidak sepenuhnya dapat dimengerti.
Teolog Kristen dan apologet Robert M. Bowman, Jr memberikan pen-
jelasan yang sangat bermanfaat:
Mengatakan bahwa Trinitas tidak dapat dipahami juga tidak tepat, atau
setidaknya bisa menimbulkan salah tafsir. Para teolog Trinitas tidak
bermaksud mengatakan bahwa Trinitas itu omong kosong yang tidak
dapat dimengerti. Sebaliknya, poin yang mereka buat adalah bahwa
Trinitas tidak dapat sepenuhnya dijajaki atau dipahami dengan pikiran
manusia yang terbatas. Ada perbedaan antara mendapatkan pemahaman
yang pada dasarnya benar tentang sesuatu dan memiliki pemahaman
yang lengkap, menyeluruh, mencakup segalanya, dan sempurna tentang
hal itu. Para teolog lainnya menyatakan perbedaan ini dengan mengata-
kan bahwa Trinitas dapat dipahami, atau “ditangkap” tetapi tidak
“terselami.”19
Kesulitan yang dialami manusia dalam menangkap doktrin Trinitas
karena Allah dalam hal-hal tertentu berbeda dari apa pun di dalam tatanan
yang diciptakan. Sebagai contoh, ajaran bahwa satu pribadi hidup sebagai
tiga pribadi yang berbeda, sama sekali bertentangan dengan semua
pengalaman manusia. Hal ini tentunya menjadi lebih sulit dengan ada-
nya analogi manusia tentang Trinitas—Allah dalam beberapa hal, sama
sekali lain.
90 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Namun, ada lebih banyak lagi kebenaran selain Trinitas yang tidak
akan mampu dipahami oleh manusia. Banyak hal yang Allah ungkap-
kan tentang diri-Nya yang tidak dapat diduga, termasuk karakteristik-
Nya yang tidak terbatas. Misteri selalu menyertai perjumpaan manusia
dengan Allah yang transenden di dalam Alkitab. Namun, pertanyaannya
adalah apakah seorang individu akan menerima Allah sebagaimana Dia
mengungkapkan diri-Nya, termasuk misteri itu, atau sudah puas dengan
makhluk yang mereka pikir dapat sepenuhnya mereka pahami. Sayang-
nya, Thomas Jefferson hanya mau menerima Allah yang bisa dipahami
oleh pikirannya. Namun, jika pikiran manusia bisa memahami Allah,
maka Dia tidak benar-benar Allah.
C. S. Lewis menunjukkan bahwa beberapa konsep tentang Allah itu
lebih mudah daripada yang lain:
Jika kekristenan adalah sesuatu yang kita susun, tentu saja kita bisa
membuatnya dengan lebih mudah. Namun, tampaknya tidak demikian.
Kita tidak bisa bersaing, dengan mudah, dengan orang-orang yang
menciptakan agama. Bagaimana mungkin kita bisa bersaing? Kita
berhadapan dengan fakta-fakta. Tentu saja siapa pun bisa mengalami
kemudahan itu jika ia tidak memiliki fakta-fakta yang perlu dipikir-
kannya!20

Bukankah Trinitas merupakan kontradiksi yang logis?


Hukum nonkontradiksi, prinsip dasar untuk semua pemikiran logis,
menegaskan bahwa dua pernyataan yang bertentangan tidak bisa kedua-
nya benar pada saat yang sama dan dalam hal yang sama (A tidak bisa
sama dengan A dan sama dengan non-A). Hukum ini dapat mengambil
bentuk metafisika untuk menunjukkan apa yang ada atau yang tidak
ada: “Ketiadaan tidak bisa ada sekaligus tidak ada pada saat yang sama
dan dalam hal yang sama.” Hukum yang sama ini juga dapat mengambil
bentuk epistemologis untuk menunjukkan apa yang benar atau yang salah:
“Sebuah pernyataan tidak bisa keduanya benar dan salah pada saat yang
sama dan dalam hal yang sama.”21 Sebuah kontradiksi dalam logika
mencerminkan hubungan yang sangat spesifik. Dua pernyataan bersi-
fat kontradiktif jika saling meniadakan atau menolak satu sama lain.
Pernyataan-pernyataan kontradiktif memiliki nilai kebenaran yang ber-
lawanan: satu pernyataan benar, sedangkan pernyataan lainnya salah.
BAGAIMANA ALLAH BISA MENJADI TIGA DAN SATU? 91

Kaum skeptis sering mengkritik bahwa Trinitas merupakan sebuah


kontradiksi dalam dua hal. Beberapa orang menyatakan bahwa Trinitas
melanggar hukum nonkontradiksi atas dasar bahwa doktrin tersebut
mengklaim bahwa Allah adalah satu dan bukan satu, dan bahwa Allah
adalah tiga dan bukan tiga. Namun, kritik ini merupakan argumen yang
lemah karena trinitarianisme ortodoks tidak menyatakan bahwa Allah
adalah satu dan bukan satu, tiga dan bukan tiga. Sebaliknya, doktrin
Trinitas menegaskan bahwa Allah adalah satu (esensi atau keberadaan),
Dia bukan tiga, dan bahwa Allah adalah tiga (subsistensi atau selaku
pribadi), Dia bukan satu. Trinitas menyatakan bahwa orang harus mem-
bedakan antara esensi Allah di satu sisi dan subsistensi Allah di sisi lain.
Allah adalah satu dalam hal yang berbeda dari hal di mana Dia adalah
tiga, dan tiga dalam hal yang berbeda dari hal di mana Dia adalah satu.
Jadi, Trinitas, sebagai satu Apa (esensi) dan tiga Siapa (subsistensi), bukan
merupakan kontradiksi yang kaku.
Para kritikus lainnya menyatakan bahwa perumusan Trinitas memang
melibatkan kontradiksi. Mereka berpendapat sebagai berikut: Karena
Bapa adalah Allah, Anak adalah Allah, dan Roh Kudus adalah Allah.
Dan karena Bapa bukan Anak, maka Bapa bukan Roh Kudus, dan Anak
bukanlah Roh Kudus. Jadi hasilnya adalah bahwa setiap Pribadi secara
bersamaan adalah Allah dan bukan Allah. Menurut mereka, hal ini adalah
pelanggaran terhadap hukum nonkontradiksi.
Evaluasi terhadap perumusan Trinitas ini juga merupakan argumen
yang lemah karena gagal mengenali perbedaan esensi/subsistensi. Semua
anggota Trinitas sama-sama berbagi satu natur Ilahi dan karena itu adalah
satu Allah. Namun, perbedaan hubungan dalam ketuhanan (Bapa, Anak,
Roh Kudus) sama sekali tidak mengurangi natur Ilahi dari masing-masing
Pribadi tersebut. Jadi, ketiga pribadi itu berbeda satu sama lain, tetapi
mereka tetap sepenuhnya dan sama-sama Allah. Bagaimana satu makhluk
bisa secara bersamaan menjadi tiga pribadi adalah suatu misteri yang
tak terselami, tetapi bukan merupakan kontradiksi yang kaku.
Ketegangan yang logis ini dapat diatasi jika orang mengenali apa
yang dikenal sebagai “predikasi/identitas perbedaan.”22 Mengatakan
“Yesus Kristus adalah Allah” berarti mengenakan natur Ilahi pada diri
Yesus Kristus, yang merupakan karakteristik keberadaan, yang dibagi
sama rata dan sepenuhnya dengan Bapa dan Anak. Di sisi lain, untuk
92 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

mengatakan “Yesus Kristus adalah Anak Allah” berarti menyatakan jati


diri, yaitu bahwa pribadi Yesus dari Nazaret adalah pribadi yang sama
(identik) dengan Allah Sang Putra, pribadi kedua Trinitas. Melekatkan
natur keilahian pada kepada ketiga anggota Trinitas (predikasi) itu sekali-
gus menegaskan bahwa mereka memiliki jati diri pribadi yang berbeda:
Bapa, Anak, Roh Kudus (jati diri) bukanlah hal yang kontradiktif.
Kesalahpahaman sering kali dapat dibereskan jika umat Kristen berhati-
hati dalam merumuskan dan mengartikulasikan doktrin Trinitas.
Para kritikus bisa saja mempertanyakan perbedaan esensi/subsistensi,
tetapi jika mereka mengkritik doktrin Trinitas yang historis, mereka harus
memperhitungkan perbedaan penting ini. Selama berabad-abad orang-
orang Kristen telah menegaskan bahwa Trinitas dapat melampaui kelo-
gisan, tetapi tidak pernah melawan kelogisan. Dengan demikian, Trinitas
dapat disebut paradoks namun bukan kontradiksi. Teolog Kristen Geoff-
rey Bromiley menyatakan, “Penolakan kaum rasionalis tentang Trinitas
runtuh karena ternyata mereka bersikeras menafsirkan Sang Pencipta
berdasarkan ukuran sang ciptaan.”23

Mengapa doktrin Trinitas itu penting?


Ada sangat banyak orang Kristen, yang hidup sebagai Unitarian
fungsional, tidak mengerti relevansi Trinitas bagi iman dan kehidupan
kristiani mereka. Doktrin Trinitas itu penting karena mengungkapkan
Apa dan Siapa Allah (satu Allah dalam tiga pribadi), dan wawasan ini
memungkinkan umat Kristen, meskipun dengan cara yang jelas terbatas,
untuk melihat cara kerja intern dari natur dan kepribadian Allah. Doktrin
ini memungkinkan umat Allah, sebagaimana dikatakan oleh Kredo
Athanasius, untuk “menyembah satu Allah dalam ketritunggalan-Nya,
dan tritunggal dalam kesatuan-Nya.” Oleh karena itu, umat Kristen dari
zaman kuno telah menegaskan bahwa jika kita gagal menyembah Allah
Tritunggal berarti kita sama sekali gagal menyembah Allah yang sejati.
Selain itu, doktrin Trinitas, dengan cara yang koheren, menyatukan
kebenaran-kebenaran penting mengenai tindakan-tindakan penebusan
Allah yang bersejarah (yang diselesaikan di dalam dan melalui Bapa, Anak,
dan Roh Kudus). Sebagai contoh, Sang Bapa mengutus Anak-Nya ke
dunia sebagai kurban pendamaian di kayu salib—yakni pengurbanan yang
meredakan murka Sang Bapa terhadap dosa dan mengulurkan kasih dan
BAGAIMANA ALLAH BISA MENJADI TIGA DAN SATU? 93

belas kasihan Sang Bapa yang memungkinkan para pendosa yang berto-
bat terhindar dari penghakiman Allah. Sang Anak yang berinkarnasi
(pribadi kedua Trinitas) mampu melakukan penebusan ini karena Dia
adalah Allah dan manusia (dalam hal ini “dua Apa” dan “satu Siapa”).
Allah yang menjadi manusia ini mengalahkan kematian, dosa, dan neraka
melalui kebangkitan-Nya yang mulia dari antara orang mati. Roh Kudus
bertanggung jawab secara langsung terhadap pendosa yang lahir baru di
dalam Kristus melalui pembaruan jiwa, dan perjalanan hidup orang
percaya dalam pengudusan. Ketiga anggota Ilahi Trinitas memungkinkan
keseluruhan rencana penebusan itu terjadi. Jadi, keselamatan dari awal
sampai akhir secara langsung terkait dengan doktrin Trinitas. Teolog
Bruce Milne mencatat, “Segala sesuatu yang penting dalam agama
Kristen berpegang pada kebenaran kesatuan tritunggal Allah.”24

Doktrin yang Dihargai


Akhirnya, sebagaimana dijelaskan bapa gereja terbesar, Augustine
dari Hippo (354-430 M) dalam karya monumentalnya De Trinitate (On
the Trinity), hanya Allah yang memiliki pluralitas dalam kesatuan itulah
yang dapat menjelaskan dengan baik tentang Allah yang penuh kasih
dan Allah yang mahatahu. Karena jika Allah adalah makhluk yang tunggal
saja, maka sebelum penciptaan, tak ada yang dapat dikasihi-Nya. Dia
juga tidak dapat membedakan antara sosok yang mengetahui dan sosok
yang diketahui (syarat dari pengetahuan diri).25 Dengan demikian,
Trinitas menjadi sangat praktis. Karena manusia diciptakan menurut
gambar dan rupa Allah Tritunggal yang sepenuhnya berhubungan, maka
konsep-konsep seperti kasih, keluarga, dan masyarakat mengambil
dimensi makna dan nilai yang baru. Penebusan di dalam Kristus benar-
benar dipahami sebagai pengangkatan ke dalam keluarga Allah.
Doktrin Trinitas mengungkapkan natur dan kepribadian Allah dan
membedakan agama Kristen dari semua agama lainnya. Orang-orang
percaya masa kini bergabung dengan orang-orang percaya berabad-abad
yang lalu untuk menyembah “satu Allah dalam Trinitas, dan Trinitas dalam
kesatuan.”26
Apakah keyakinan kepada Allah seperti ini layak dipertaruhkan
dalam kehidupan seseorang? Taruhan Blaise Pascal, yang merupakan
topik bab berikutnya, menggumulkan pertanyaan ini dan memberikan
94 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

pemikiran-pemikiran yang signifikan bagi siapa pun yang mengejar


jawabannya.

Pertanyaan Diskusi
1. Apa yang dimaksud dengan definisi yang jelas, singkat, dan benar
tentang Trinitas?
2. Apakah bermasalah bila kata Trinitas tidak ditulis di dalam
Alkitab?
3. Bagaimana doktrin Alkitab tentang Trinitas dapat dinyatakan
dalam lima proposisi?
4. Bagaimana Trinitas bisa berbeda dari modalisme dan triteisme?
5. Bagaimana seharusnya kesadaran akan natur tritunggal Allah
memengaruhi ibadah dan doa umat Kristen?

Untuk Studi Lebih Lanjut


Beisner, E. Calvin. God in Three Persons (Wheaton, IL: Tyndale, 1984).
Bowman, Robert M., Jr. Orthodoxy And Heresy: A Biblical Guide to Doctrinal
Discernment (Grand Rapids: Baker, 1992).
Bray, Gerald. Creeds, Councils and Christ (Ross-shire, Great Britain: Mentor,
1997).
McGrath, Alister E. Understanding the Trinity (Grand Rapids: Zondervan,
1988).
White, James R. The Forgotten Trinity (Minneapolis: Bethany, 1998).
MENGAPA SAYA HARUS BERTARUH
TENTANG IMAN?

Karena tidak sanggup memulihkan kematian, kemalangan, dan kebodohan,


manusia memutuskan untuk tidak memikirkan hal-hal semacam itu agar tetap
bahagia.
––Blaise Pascal, Pensées

Mari kita mempertimbangkan untung-ruginya untuk bertaruh bahwa Allah itu


ada. Mari kita menilai kedua kasus itu: jika Anda menang, Anda memenangkan
segalanya; jika Anda kalah, Anda tidak kehilangan apa-apa. Jadi, jangan ragu:
bertaruhlah bahwa Dia ada.
––Blaise Pascal, Pensées

M anusia berbeda dengan hewan dalam kemampuan berpikir filosofis,


terutama memikirkan isu-isu yang sangat penting. Namun demi-
kian, banyak orang enggan berpikir tentang apa yang disebut sebagai
pertanyaan besar kehidupan: Apakah Tuhan itu ada? Adakah makna
yang objektif dalam kehidupan ini? Apa pengaruh moralitas? Adakah
kehidupan setelah kematian?
Berbagai faktor dapat menjelaskan ketidakpedulian terhadap per-
tanyaan-pertanyaan besar kehidupan ini. Masalah-masalah yang dalam
dan rumit ini membuat banyak orang merasa tidak mampu membentuk
opini tentang hal ini. Jawaban-jawaban telah begitu hangat diperdebat-
kan selama berabad-abad sehingga orang tergoda untuk percaya bahwa
tidak ada jawaban yang benar-benar memuaskan. Sebagian orang tidak
mengenali signifikansi praktis apa pun dari pertanyaan-pertanyaan ini

95
96 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

bagi kehidupan sehari-hari mereka. Apa pun alasan ketidakpedulian


manusia, pertanyaan-pertanyaan filosofis yang mendasar ini tidak akan
hilang.
Alkitab menghubungkan penghindaran manusia dari masalah-
masalah utama (terutama keengganan manusia untuk mengakui pertang-
gungjawaban moralnya kepada Sang Pencipta) dengan keadaan manusia
yang telah jatuh ke dalam dosa (Rm. 3:23). Setelah terputus dari kehi-
dupan Allah, para pendosa secara alami dan terus-menerus terlibat dalam
penyimpangan-penyimpangan spiritual dan moral. Rasul Paulus menga-
takan bahwa orang-orang secara sadar “menindas kebenaran dengan
kelaliman” (Rm. 1:18). Orang-orang mengisi hidup mereka dengan
kegiatan-kegiatan yang memungkinkan mereka mengabaikan atau mene-
kan tanggung jawab moral dan spiritual mereka yang sudah dibawa sejak
lahir.
Pemikir Kristen abad XVII, Blaise Pascal (1623-1662 M) muncul
dengan pendekatan provokatif dan kontroversial untuk mengguncangkan
orang-orang dari penyimpangan mereka. Dalam argumen “Taruhan”-
nya, Pascal memunculkan sebaris penalaran praktis dengan tujuan untuk
menantang setiap orang yang tampaknya tidak peduli dengan isu-isu
kehidupan yang membingungkan.
Sebagai cendekiawan yang berprestasi di berbagai bidang, Pascal
mungkin paling dikenal karena presentasinya tentang Taruhan. Argumen
voluntaristik ini lebih berbicara tentang pertimbangan-pertimbangan
bijaksana dan eksistensial kehendak manusia ketimbang penalaran itu
sendiri. Namun, kaum skeptis zaman modern kerap salah memahami
Taruhan Pascal, dengan memandang argumen itu sebagai argumen yang
berdiri sendiri, dan dengan demikian dianggap tidak menghargai kon-
teks epistemologis, sejarah, dan eksistensialnya yang benar. Konteks ini
ditemukan di dalam kehidupan dan pemikiran Pascal sendiri. Sebuah
penyelidikan singkat tentang beberapa peristiwa besar dalam hidupnya
dan survei tentang kesimpulan-kesimpulannya mengenai kritik-kritik
terhadap kebenaran kekristenan memberikan pertalian hubungan yang
penting ini.
MENGAPA SAYA HARUS BERTARUH TENTANG IMAN? 97

Tokoh Renaisans Klasik


Dalam kurun waktu kehidupan Pascal yang singkat (hanya 39 tahun),
pria asli asal Prancis ini bekerja sebagai matematikawan, fisikawan,
penemu, penulis prosa, filsuf agama, dan terutama sebagai pembela iman
Kristen yang imajinatif dan kontroversial.1 Sebagai salah satu bapa
penemu “ilmu baru,” Pascal mendapatkan pengakuan sebagai salah satu
pemikir paling maju di zamannya.2 Sebagai apologet Kristen yang ter-
kemuka, Pascal memberikan analisis yang tajam dan provokatif tentang
pandangan dunia dan kehidupan Kristen yang lebih luas.3
Pikiran produktif Pascal meletakkan dasar untuk ilmu kalkulus
diferensial, kalkulus integral, dan kalkulus probabilitas.4 Matematika-
wan sekaligus filsuf Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716 M)
menganggap analisis diferensial dan integral Pascal telah menginspirasi
pengembangan kalkulusnya sendiri.5 Pascal juga memberikan kontribusi
untuk pengajaran geometri dan teori bilangan. Filsuf Richard H. Popkin
menulis, “Analisis Pascal tentang sifat sistem matematika tampaknya lebih
dekat dengan logika matematika abad XX daripada logika matematika
pada zamannya.”6
Dianggap sebagai ilmuwan eksperimental yang ulung, Pascal rajin
mempraktikkan metode ilmiah (yang kemudian muncul). Ia memeriksa
atau memutarbalikkan dengan ketat pengamatan dan kesimpulannya
melalui pengujian eksperimental.
Seperti semua penemu besar, intuisi teknologi dan imajinasi produktif
Pascal mendorongnya lebih maju dari zamannya. Eksperimen tekno-
loginya yang kreatif menghasilkan penemuan seperti jarum suntik,
penyedot debu, dan tekanan hidrolik, serta pengembangan sistem trans-
portasi umum pertama di Eropa. Namun, penemuannya yang paling
terkenal muncul ketika ia berusaha menemukan cara untuk memper-
mudah tugas ayahnya untuk menghitung pajak. Pascal meyakini bahwa
jika jam dinding bisa menghitung jam, maka mungkin perangkat lain
bisa melakukan perhitungan matematis dengan baik. Penemuan kalku-
lator digitalnya yang pertama, atau mesin penghitung, dianggap sebagai
salah satu prestasi “terapan” pertama dari awal revolusi ilmiah dan cikal
bakal komputer modern.7
98 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Filsuf Ilmu Pengetahuan


Pascal menunjukkan pemahaman dan penghargaan yang cerdas
terhadap ilmu pengetahuan baru yang lahir dan perlahan-lahan ber-
kembang di Eropa pada abad XVII.8 Sebagai pendukung setia pandangan
Kopernikus dan Galileo, ia berpendapat bahwa penghormatan terhadap
otoritas tidak harus mendahului penalaran analitis dan eksperimen ilmiah.
Pascal menyelidiki sifat metode ilmiah dan kemajuan ilmu pengetahuan,
dan secara khusus berbicara tentang pentingnya data eksperimen serta
perlunya mengembangkan hipotesis penjelas yang logis. Ia menegaskan
bahwa ketika para ilmuwan terus menyelidiki misteri alam, maka
hipotesis-hipotesis yang lebih baru dan mutakhir akan menggantikan
hipotesis-hipotesis yang lebih lama.
Namun, Pascal juga mengakui batas-batas ilmu pengetahuan. Ia
percaya bahwa meskipun teori-teori ilmiah dapat dikonfirmasi atau
dipalsukan, teori-teori itu tidak pernah dapat benar-benar ditetapkan.
Popkin menunjukkan bahwa posisi ini menyerupai posisi yang didukung
oleh filsuf ilmu pengetahuan abad XX yang terkenal, Karl Popper.9
Pascal juga menyadari bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak meng-
ubah sifat manusia, khususnya karena proses yang membentuk keyakinan
dasar manusia jarang bersifat rasional atau empiris saja. Filsuf Kristen
kontemporer Peter Kreeft berkata tentang Pascal, “Ia mengetahui keku-
atan ilmu pengetahuan tetapi juga ketidakmampuan ilmu pengetahuan
untuk membuat kita bijaksana atau bahagia atau baik.”10 Pikiran Pascal
yang maju telah menyebabkan beberapa orang mengacu kepadanya
sebagai manusia modern pertama.

Pengalaman Religius yang Adikodrati


Pascal dibesarkan dalam keluarga Katolik-Roma yang nominal [nomi-
nal maksudnya tidak sungguh-sungguh alias Katolik secara status saja].
Namun, pada usia 31 tahun, saat melintasi Sungai Seine selama badai
berlangsung, ia mendapatkan pengalaman religius yang mendalam.
Pertemuan adikodrati ini menuntunnya untuk mengabdikan sisa hidup-
nya kepada Yesus Kristus dan kebenaran iman Kristen. Meskipun
Pascal tidak pernah berbicara secara terbuka mengenai pertemuan itu,
ia menulis memoar tentang hal tersebut dan membawanya bersama-
nya selama hidupnya—karena kata-kata itu dijahitkan di pakaiannya.
MENGAPA SAYA HARUS BERTARUH TENTANG IMAN? 99

Memoar itu ditemukan setelah kematian Pascal dan disebut sebagai


“Malam Api.” Sepenggal tulisan memoarnya tersebut adalah sebagai
berikut:
Allah Abraham, Allah Ishak, Allah Yakub, bukan dari para filsuf dan
cendekiawan. Kepastian, kepastian, tulus ikhlas, sukacita, damai
sejahtera. Allah Yesus Kristus. Allah Yesus Kristus. Allahku dan Allah-
mu. Allahmu akan menjadi Allahku. Dunia dan segala sesuatu dilupa-
kan, kecuali Allah. Dia hanya dapat ditemukan dengan cara-cara yang
diajarkan di dalam Injil . . . Yesus Kristus. Yesus Kristus . . . Jangan
pernah aku dipisahkan dari-Nya untuk selama-lamanya!11
Setelah pengalaman menakjubkan yang mengubah hidup itu, Pascal
mengabdikan sebagian besar waktunya untuk menulis filsafat dan agama.
Beberapa kritikus agama mengklaim bahwa Pascal berpaling dari ilmu
pengetahuan dan bahkan menanggalkan prestasi ilmiahnya. Namun,
sejarawan filsafat Frederick Copleston menunjukkan bahwa kedua per-
nyataan itu tidak benar, “Dengan menyerahkan diri kepada Allah, ia
tidak menolak semua kepentingan ilmiah dan matematika sebagai
‘keduniawian;’ melainkan ia melihat kepentingan ilmiah itu dalam terang
yang baru, yaitu sebagai bagian dari pelayanannya kepada Allah.”12

Membela Iman
Blaise Pascal tengah menyiapkan buku tentang apologetika Kristen
(Apologie de la religion chrétienne) bagi teman-teman skeptisnya ketika
ia sedang sakit parah. Penderitaannya yang panjang (mungkin meningi-
tis karsinoma) menyebabkan Pascal mengalami kesakitan yang hebat.13
Karena tidak dapat bekerja, ia membaktikan diri dalam kehidupan iba-
dahnya dan untuk membantu orang miskin. Ia meninggal pada tanggal
19 Agustus 1662, dan meninggalkan warisan sebagai salah satu pelopor
besar ilmu pengetahuan modern dan salah satu pemikir Kristen yang
paling orisinal dalam sejarah.
Karya apologetis Pascal yang belum selesai (sebagian besar berupa
catatan, garis besar, dan fragmen) kemudian diterbitkan dengan judul
Pensées dalam bahasa Perancis (kira-kira diterjemahkan “Gagasan”).14
Meskipun Pensées sebenarnya lebih merupakan garis besar dari sebuah
buku yang lengkap, isinya sangat mendalam sehingga tetap menjadi
buku yang terlaris sepanjang masa. Tiga tema yang unik dari Pascal
100 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

diperkenalkan di dalam Pensées: teka-teki manusia, hubungan iman dan


akal budi, dan Wager-nya (Taruhan) yang terkenal.

Teka-teki Manusia
Sebagai ilmuwan eksperimental, Pascal sangat menghargai nilai teori
penjelas yang dapat diterima akal sehat. Ia meyakini bahwa agar agama
atau filsafat layak dipercaya, agama atau filsafat harus memperhitungkan
realitas kehidupan yang bermakna. Salah satu realitas utama adalah
teka-teki manusia itu sendiri, yang digambarkan oleh Pascal dalam tanda
seru: “Betapa manusia itu seperti monster! Betapa aneh, betapa menge-
rikan, betapa kacau, betapa paradoks, betapa luar biasanya manusia itu!
Hakim dari segala sesuatu namun sekaligus cacing tanah yang lemah;
gudang kebenaran namun sekaligus bak cuci keraguan, dan kesalahan;
kemuliaan namun sekaligus sampah alam semesta!”15 Menurut Pascal,
manusia adalah perpaduan yang aneh dari “kebesaran dan kemalangan.”
Kebesaran manusia ditunjukkan dalam kemampuannya yang unik untuk
mengenali kemalangannya, sebagai pemikir reflektif.
Pandangan teistis Kristen menjelaskan sifat paradoks manusia
dengan menegaskan bahwa kebesaran manusia adalah akibat langsung
dari imago Dei (gambar dan rupa Allah). Sebagai makhluk yang dicip-
takan menurut gambar dan rupa Allah, manusia mencerminkan kemu-
liaan Penciptanya. Meskipun tentu dengan cara yang terbatas, manusia
tetap menunjukkan karakteristik tertentu seperti yang dimiliki Allah.
Di sisi lain, kemalangan tersebut dapat ditelusuri sampai pada keja-
tuhan manusia pertama ke dalam dosa (Kej. 3). Dosa asal adalah ajaran
Alkitab yang mengatakan bahwa seluruh umat manusia telah mewarisi
dosa, rasa bersalah, dan kebusukan moral dari Adam (Mzm. 51:7; 58:4;
Rm. 5:12, 18-19; 1Kor. 15:22).
Pascal percaya bahwa solusi akhir untuk keadaan kontradiktif manu-
sia adalah menemukan penebusan melalui pribadi Yesus Kristus. Dalam
kata-kata Pascal:
Mengenal Allah tanpa mengetahui kemalangan kita sendiri membuat
kita sombong. Mengetahui kemalangan kita sendiri tanpa mengenal
Allah membuat kita putus asa. Mengenal Yesus Kristus menyeimbang-
kan keduanya karena Dia menunjukkan Allah dan kemalangan kita sen-
diri kepada kita.16
MENGAPA SAYA HARUS BERTARUH TENTANG IMAN? 101

Bagi Pascal, di dalam perjumpaannya dengan Penebus Yesus Kristus


itulah manusia dapat menemukan dirinya dan Allah. Oleh karena itu,
kekristenan tidak hanya menjelaskan teka-teki natur manusia tetapi juga
memberikan solusi untuk keberadaan manusia yang terasing dari Allah
dan dari dirinya sendiri. Sekali lagi dari Pensées:
Kita bukan hanya mengenal Allah melalui Yesus Kristus saja, tetapi kita
mengenal diri sendiri melalui Yesus Kristus; kita mengenal kehidupan
dan kematian melalui Yesus Kristus. Terlepas dari Yesus Kristus, kita
tidak dapat mengetahui makna kehidupan atau kematian kita, Allah
atau diri kita sendiri.17

Pertimbangan Hati
Para ahli tidak sepakat tentang cara mengklasifikasikan pandangan
Pascal menyangkut hubungan iman dan akal sehat. Sebagian orang
menyebut Pascal sebagai seorang fideis (didefinisikan secara negatif
bahwa iman tidak memiliki dasar rasional).18 Akan tetapi, posisi Pascal
lebih rumit daripada fideisme sederhana. Ia dengan kukuh menegaskan
bahwa “agama tidak bertentangan dengan akal,”19 dan bahkan berpen-
dapat bahwa ada berbagai bukti yang mendukung kebenaran iman
Kristen. Dia mencatat bukti-bukti semacam itu sebagai nubuat Alkitab,
mukjizat (terutama kebangkitan Kristus), keberadaan bangsa Yahudi,
saksi sejarah gereja Kristen di dunia, dan kekuatan penjelasan yang unik
dari kekristenan.
Pascal memang menyatakan bahwa akal dan penyelidikan ilmiah
memiliki batasan dan bahwa akal memerlukan iluminasi iman dan wahyu
Ilahi. Baginya, bukti-bukti tradisional tentang Allah tidak memadai secara
religius (tidak seperti geometri, bukti-bukti ini secara deduktif tidak pasti).
Ia memandang bukti-bukti ini terlalu rumit dan sulit bagi kebanyakan
orang, dan meskipun bukti-bukti ini dapat memberikan pengetahuan
tentang Allah, namun tetap tidak memberikan pengetahuan tentang
Kristus. Ia menyatakan, “Alangkah jauhnya jalan yang memisahkan antara
mengenal Allah dan mengasihi-Nya.”20 Jadi, “bukti-bukti” memiliki nilai
yang terbatas. Bukti-bukti ini mungkin meyakinkan “pikiran” namun
tidak meyakinkan “hati.”
102 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Pascal menggambarkan perbedaan ini, “Hati memiliki alasan-alasan


yang sama sekali tidak diketahui oleh akal.”22 Ia juga menulis, “Hatilah
yang memandang Allah dan bukan akal.”23 Copleston menjelaskan bahwa
bagi Pascal, hati mengacu pada “pengertian tentang kebenaran yang
naluriah, spontan, dan tanpa alasan.”24 Pascal percaya bahwa hati memi-
liki pengetahuan intuitif dan langsung mengenai prinsip-prinsip pertama,
termasuk Allah. Bukan hanya menjadi pusat emosi, sebaliknya hati
menyampaikan rasa intuisi (yang menunjukkan langsung, spontanitas,
dan tepat sasaran). Copleston mendefinisikan pemahaman Pascal ten-
tang hati sebagai “semacam naluri intelektual, berakar di dalam natur
jiwa yang terdalam.”25
Bagi Pascal, tampaknya baik pikiran maupun hati memainkan
peranan penting agar seseorang menjadi beriman. Hati menyediakan
intuisi dasar dalam proses pembentukan keyakinan dasar, sedangkan
pikiran menyediakan penalaran diskursif yang melengkapinya. Sebuah
buku baru tentang cara kerja pikiran manusia menunjukkan bahwa pan-
dangan Pascal tentang pentingnya intuisi dalam pemikiran manusia sejalan
dengan penelitian ilmiah terbaru.26

Taruhan Pascal (Pascal’s Wager)


Pascal merancang Wager bagi teman-teman skeptisnya yang semua-
nya masih tidak yakin pada pernyataan-pernyataan ateisme dan kekris-
tenan.27 Ia percaya bahwa realitas tentang kehidupan memaksa manusia
membuat keputusan mengenai isu-isu seperti apakah yang menanti sese-
orang setelah kematian. Ketidakpastian dan risiko yang melekat pada
keadaan manusia memaksa orang untuk berpikir tentang keberadaan
Allah. Bagaimana orang memutuskan masalah penting ini memiliki kon-
sekuensi potensial dalam kehidupan ini dan mungkin di akhirat. Bagi
Pascal, pertanyaan tentang keberadaan Allah dan kebenaran kekristenan
tidak dapat ditentukan dengan mengacu pada akal semata. Baginya, ada
“terlalu banyak hal yang harus ditolak dan tidak cukup banyak hal yang
dapat disetujui.”28 Oleh karena itu, orang harus membuat taruhan bijak-
sana tentang apakah Allah ada atau tidak ada. Pascal menulis dalam
Pensées:
MENGAPA SAYA HARUS BERTARUH TENTANG IMAN? 103

Allah itu ada atau tidak ada. Pandangan mana yang akan kita anut? Akal
tidak bisa memutuskan pertanyaan ini. Ketidakpastian menghantui
kita. Jauh di ujung sana, sebuah koin sedang berputar dan akan jatuh
dengan kepala di atas atau di bawah. Bagaimana Anda akan bertaruh?
Akal tidak dapat membuat Anda memilih salah satu, akal tidak dapat
membuktikan mana yang salah . . . Anda harus bertaruh. Tidak ada
pilihan, Anda sudah terjun ke dalamnya. Lalu, yang mana yang akan
Anda pilih? Perhatikan: karena pilihan harus dibuat, lihatlah tawaran
mana yang paling menarik bagi Anda.29
Pascal hanya menunjukkan dua kemungkinan pilihan: pertama,
percaya kepada Allah dan membuat komitmen religius (tentu saja, ia
berbicara tentang komitmen kepada Allahnya umat Kristen). Dua
kemungkinan akan diperoleh dari pilihan ini: keyakinan seseorang bisa
benar atau salah. Jika seseorang percaya kepada Allah dan Dia benar-
benar ada, maka menurut Pascal, orang yang percaya itu siap untuk men-
dapatkan segalanya. Boleh dikatakan, bagi taruhan yang tepat, akan
mendapatkan imbalan keuntungan yang tak terbatas (hidup kekal ber-
sama Allah di surga). Di sisi lain, jika seseorang memilih untuk beriman
dan ternyata Allah tidak benar-benar ada, maka orang itu tidak akan
kehilangan apa-apa. Dalam istilah analisis biaya-manfaat, orang yang
bertaruh memegang Allah akan beruntung dalam segala hal dan tidak
bakal rugi.
Pilihan kedua adalah bertaruh melawan Allah dengan tidak percaya
kepada-Nya dan menolak membuat komitmen religius. Dua kemung-
kinan juga dapat terjadi dari pilihan ini. Ketidakpercayaan seseorang
bisa juga benar atau salah. Jika seseorang tidak percaya pada Allah dan
Allah memang tidak ada, maka orang yang tidak percaya itu tidak
mendapatkan apa-apa. Di sisi lain, jika orang tidak percaya kepada Al-
lah, tetapi ternyata Tuhan itu benar-benar ada, maka orang yang tidak
percaya itu akan kehilangan segala-galanya. Kekalahan karena salah
bertaruh akan membuat ia menderita kerugian yang tak terhingga (di
neraka karena terpisah selama-lamanya dari kehidupan Allah). Dalam
istilah analisis biaya-manfaat, orang yang bertaruh melawan Allah tidak
akan beruntung dan kalah dalam segala hal.
104 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

Melihat kedua skenario ini, Pascal menegaskan bahwa taruhan yang


bijaksana adalah memegang Allah. Menganut kekristenan daripada
ateisme adalah keputusan rasional yang bijaksana.30
Konteks di tempat munculnya taruhan ini dan bagaimana Pascal
bermaksud menggunakannya sebagai alat apologetis, sangat penting.
Empat poin membantu mendefinisikan maksudnya.31 Pertama, Taruhan
tidak pernah dimaksudkan untuk berfungsi sebagai bukti rasional bagi
keberadaan Allah, atau sebagai pengganti bukti-bukti kristiani. Kedua,
Wager menyasar para pendengar yang spesifik, yakni orang-orang yang
telah menangguhkan penilaian atas isu-isu utama. Ketiga, Wager mun-
cul dalam konteks sejarah dan epistemologis tertentu. Copleston meng-
gambarkan Perancis abad XVII sebagai “masyarakat yang dipenuhi
dengan humanisme Ilahi dan skeptisisme rasionalis serta pola pikir
bebas.”32 Keempat, Taruhan tampaknya terutama dimaksudkan sebagai
perangkat untuk membantu menyadarkan orang-orang yang tidak peduli
pada isu-isu utama (Allah, kematian, kekekalan).
Sejumlah kritik telah diajukan terhadap Wager’s Pascal ini selama
bertahun-tahun oleh orang-orang skeptis maupun Kristen.33 Reaksi ini,
bersama dengan beberapa tanggapan (mudah-mudahan sesuai dengan
semangat Pascal) perlu dipertimbangkan.

1. Wager’s Pascal mengurangi kasih kita kepada Allah, dan membuat


iman menjadi taruhan yang dingin dan pragmatis.
Jawaban: Wager mungkin tampak sebagai seruan yang tidak ber-
perasaan dan pragmatis, tetapi ia mencapai orang yang tidak percaya
pada titik awal yang realistis. “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya
TUHAN itu!” (Mzm. 34:9) itulah yang mengubah seseorang, oleh karena
kasih karunia Allah. Mungkin Wager harus dipandang sebagai sarana
bagi akal sehat yang membantu seseorang mempersiapkan mental bagi
iman (yang merupakan hadiah Ilahi). Pertimbangan apologetis dimak-
sudkan untuk membangkitkan respons dan membersihkan hambatan
sehingga hati dapat merasa tenteram dan aman di dalam Allah. Berpikir
secara sangat praktis tentang hubungan seseorang dengan Allah belum
tentu tidak rohani. Keinginan praktis untuk menghindari murka Allah
mungkin saja menandakan bahwa orang tersebut sudah mengalami kasih
karunia Allah.
MENGAPA SAYA HARUS BERTARUH TENTANG IMAN? 105

2. Apakah Wager’s Pascal itu sendiri tidak bertentangan dengan


pernyataan Pascal bahwa Allah-lah yang menanamkan iman?
Jawaban: Pascal percaya bahwa meskipun orang tidak dapat mem-
berikan iman yang benar kepada dirinya sendiri, orang dapat mulai
mempersiapkan diri secara intelektual. Kekuatan terbesar dari Wager’s
Pascal ini terletak pada kemampuannya untuk mengguncang orang keluar
dari “ketidakpedulian” spiritualnya. Wager hanya merupakan alat apo-
logetis, bukan tujuan itu sendiri. Namun, jika Wager dapat digunakan
untuk membangkitkan kesadaran seseorang, maka sarana ini bisa men-
jadi alat yang sangat berharga.

3. Melakukan tugas keagamaan tidak membuat orang menjadi


seorang Kristen.
Jawaban: Pascal mendorong orang yang tidak memiliki iman untuk
meniru orang-orang yang memiliki iman. Meskipun melakukan fungsi
keagamaan tertentu tidak membuat orang menjadi percaya kepada
Kristus, banyak orang Kristen percaya bahwa tindakan-tindakan tertentu
adalah sarana kasih karunia (membaca Alkitab, hadir di gereja, mene-
rima sakramen, dan sebagainya). Kasih karunia Allah bekerja melalui
tindakan atau kegiatan tertentu untuk mengubah hati manusia, dan
perubahan ini penting agar perubahan spiritual bisa terjadi.

4. Wager’s Pascal tidak mengakui bahwa orang percaya kehilangan


banyak hal dengan bertaruh memegang Allah jika Dia tidak benar-
benar ada. Bahkan, orang percaya akan kehilangan otonomi dan
menyia-nyiakan hidupnya dalam omong kosong religius itu.
Jawaban: Mungkin lebih akurat untuk mengatakan bahwa orang
yang bertaruh memegang Allah dapat memperoleh segalanya, dan seba-
liknya, kecil kemungkinan untuk rugi. Garis penalaran Wager’s Pascal
tidak melibatkan analisis antara risiko dan imbalan. Namun, jika orang
yang bertaruh memegang Allah itu salah tentang keberadaan Allah sekali-
pun, ia tetap mendapatkan kehidupan yang baik serta semua kenyamanan
dan manfaat lainnya yang menyertai kehidupan iman.
106 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

5. Wager’s Pascal tidak memberikan jaminan, jadi mengapa harus


bertaruh?
Jawaban: Ketidakpastian keberadaan hidup memaksa orang untuk
memilih. Pengalaman hidup tidak memberikan jaminan mutlak tentang
apa pun. Orang yang bertaruh memegang Allah memiliki jaminan kepu-
asan yang nyata. Jika ia salah tentang keberadaan Allah, ia tidak akan
pernah tahu karena mengalami kematian (didefinisikan dalam hal ini
sebagai kepunahan). Di sisi lain, orang yang bertaruh melawan Allah
dan ternyata benar bahwa Allah itu tidak ada, ia akan menghadapi jaminan
ketidakpuasan yang nyata. Jika benar bahwa Tuhan tidak ada, ia tidak
akan pernah tahu karena mengalami kematian (yaitu, kepunahan).34
6. Wager’s Pascal hanya berfungsi baik jika tidak meragukan akan
agama yang benar. Bagaimana jika Anda bertaruh perihal Allah
yang salah?
Jawaban: Pascal mengakui alternatif agama-agama lainnya, tetapi ia
percaya bahwa agama Kristen adalah agama yang paling benar, dengan
melihat pada nubuat, mukjizat, dan kemampuan penjelasnya yang unik.
Wager’s Pascal itu muncul dalam konteks sejarah tertentu. Premisnya
adalah pemikiran yang penting adalah pemikiran bahwa tidak ada Allah
selain Allah-nya orang Kristen adalah riil. Itulah parameter asli yang
memungkinkan Wager dapat berfungsi dengan baik. Wager ini mungkin
tidak memiliki kekuatan yang sama (atau seluas daya tarik) dalam zaman
modern yang pluralistis ini.35 Sekarang, Wager’s Pascal mungkin lebih
tepat digunakan setelah orang mengakui superioritas klaim pernyataan
kebenaran kekristenan dibandingkan agama-agama lainnya, dalam wadah
pengujian yang objektif.
7. Wager’s Pascal juga berlaku bagi semua agama atau sistem keper-
cayaan subjektif yang melontarkan pernyataan-pernyataan besar.
Jawaban: Beberapa agama melontarkan pernyataan yang muluk-
muluk (menjanjikan pahala besar atau kehidupan yang tidak terbatas),
khususnya agama-agama pluralistis. Wager Pascal makin kuat secara
signifikan bila dipadukan dengan argumen tentang keunikan kekristenan
di antara agama-agama dunia. Sekali lagi, Wager Pascal tidak pernah
dimaksudkan untuk dipakai sebagai argumen yang berdiri sendiri untuk
kekristenan.
MENGAPA SAYA HARUS BERTARUH TENTANG IMAN? 107

8. Wager’s Pascal tidak akan meyakinkan kaum ateis yang keras


atau fanatik.
Jawaban: Tidak ada argumen yang dapat meyakinkan semua orang
(terlepas dari kasih karunia Allah). Ada perbedaan antara bukti dan
pengaruh pribadi. Wager itu pertama-tama tidak ditujukan bagi kaum
ateis. Argumen-argumen apologetis Kristen lainnya tersedia bagi mereka
yang menyangkal keberadaan Allah (lih. bab 1).
9. Wager’s Pascal mendorong ketidakjujuran intelektual. Orang
tidak dapat berpura-pura percaya kalau ia benar-benar tidak
percaya.
Jawaban: Wager’s Pascal dapat mendorong pemikiran reflektif ten-
tang apa yang ada di depan (kematian), bukan tentang ketidakjujuran.
Ingat, Pascal menekankan batas-batas akal manusia dan menekankan
pentingnya dan perlunya wahyu dan anugerah iman dari Allah. Kaum
skeptis kadang-kadang melebih-lebihkan kuantitas dan kualitas penge-
tahuan manusia. Selain itu, jika keyakinan tidak bertentangan dengan
akal dan dijamin bijaksana, maka mengapa orang menolak untuk mene-
rimanya? Membuka pikiran orang agar ia dapat diyakinkan, bukan
berarti tidak jujur.
10. Tidakkah Allah yang adil lebih memilih orang skeptis yang jujur
daripada orang Kristen yang murni pragmatis?
Jawaban: Dari cara pandang alkitabiah, orang skeptis tidak melihat
bahwa “kekerasan hati” mencegah orang untuk percaya kepada Allah.
Ketidakpercayaan berakar dari pemberontakan dan kesombongan, yang
pada dasarnya adalah ibadah palsu (1Sam. 15:22-23). Kejahatan seperti
itu menghasilkan penyembahan berhala dan amoralitas. Allah telah
memberikan kepada setiap orang tanda-tanda keberadaan-Nya, tetapi
sebagian orang skeptis mengabaikan dan/atau menindasnya (Mzm. 14,
19; Rm. 1). Orang-orang tidak percaya yang reflektif sebaiknya mem-
pertimbangkan apakah ketidakpercayaan mereka berasal dari faktor-
faktor rasional atau tidak rasional.
108 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH

11. Mengapa kita harus mempertaruhkan manfaat yang terbatas


namun pasti (otonomi manusia) dengan manfaat yang tidak
terbatas namun tidak pasti?
Jawaban: Semua penjudi mengambil risiko yang pasti untuk apa yang
tidak pasti, terutama ketika manfaatnya jauh lebih besar daripada muda-
ratnya. Ada begitu banyak manfaat baik yang diperoleh dari percaya
kepada Allah—bahkan dalam kehidupan ini (kebajikan)—sehingga oto-
nomi yang dikorbankan tampaknya relatif tidak signifikan.

12. Apakah Wager’s Pascal melakukan kekeliruan “ad baculum”—


menarik orang untuk percaya dengan cara berbicara tentang
sebuah ancaman atau bahaya (sebagai contoh, percayalah agar
terhindar dari neraka)?
Jawaban: Beberapa ancaman itu nyata—konsekuensi yang perlu dan
logis dari tindakan seseorang. Jika sesungguhnya Allah adalah Pencipta
dan Pemelihara alam semesta, maka Dia berhak menetapkan aturan.

Kesimpulan
Tulisan Pascal menawarkan analisis yang tajam tentang kondisi
manusia. Tulisan ini menyusun bukti-bukti absah untuk kebenaran
kekristenan. Wager’s Pascal, meskipun terbuka terhadap kritik, tetap
layak dipertimbangkan dengan bijaksana oleh orang-orang percaya dan
tidak percaya. Bagian 2, yang meliputi lima bab, meneliti kekhasan iman
di dalam Yesus Kristus, yang dimulai dengan Injil.

Pertanyaan Diskusi
1. Menurut Pascal, dengan cara apakah kekristenan menunjukkan
kekuatan penjelasannya yang unggul dibandingkan agama-agama
lainnya?
2. Apakah yang dimaksudkan Pascal dengan “pertimbangan hati”?
3. Apakah konteks Wager’s Pascal?
4. Bagaimana orang seharusnya memakai dengan benar Wager’s
Pascal sebagai alat apologetis?
5. Terhadap kritik-kritik apa Wager’s Pascal rentan?
MENGAPA SAYA HARUS BERTARUH TENTANG IMAN? 109

Untuk Studi Lebih Lanjut


Copleston, Frederick. A History of Philosophy, jilid 4 (New York: Image Books–
Doubleday, 1994).
Kreeft, Peter. Christianity For Modern Pagans: Pascal’s Pensées; Edited, Out-
lined and Explained (San Francisco: Ignatius, 1993).
Morris, Thomas V. Making Sense of It All: Pascal and the Meaning of Life
(Grand Rapids: Eerdmans, 1992).
Pascal, Blaise. Pensées, terjemahan A. J. Krailsheimer, edisi revisi (New York:
Penguin, 1995).
BAGIAN DUA

MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN
TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS
APAKAH KISAH-KISAH DI DALAM INJIL TENTANG
KEHIDUPAN YESUS DAPAT DIPERCAYA?

Bersikap skeptis terhadap teks yang terdapat di kitab PB sama dengan membuat
semua hal yang klasik dari zaman purbakala menyelinap ke dalam ketidak-
jelasan, karena tidak ada dokumen kuno yang teruji secara bibliografi sebaik
PB.
––John Warwick Montgomery, History and Christianity

Skeptisisme berlebihan dari banyak teolog liberal tidak berasal dari penilaian
yang cermat terhadap data yang tersedia, tetapi dari kecenderungan dahsyat
untuk menentang hal-hal yang supranatural.
––Millar Burrows, What Mean These Stones?

A pakah kekristenan yang bersejarah berakar kuat di dalam kebenaran?


Apakah Yesus adalah Mesias yang Ilahi, Tuhan, dan Juruselamat
dunia? Apakah Dia benar-benar menggenapi nubuat yang tercatat
dalam Alkitab, melakukan berbagai mukjizat, menderita dan mati di
kayu salib, dan bangkit secara fisik dari kematian? Apakah fakta-fakta
sejarah memvalidasi klaim-klaim-Nya?
Kebenaran iman Kristen bergantung pada natur sejarah dan keaku-
ratan klaim-klaim unik, karakter, dan mandat Yesus Kristus. Karena
tulisan-tulisan di dalam Injil merupakan sumber utama informasi tentang
Dia, maka kekristenan yang historis hanya dapat benar jika tulisan-tulisan
ini menyampaikan informasi faktual yang dapat diandalkan. Sebaliknya,
jika Injil berisi sebagian besar cerita-cerita mitos atau legenda tentang
Yesus, maka klaim-klaim kebenaran ini tidak dapat dipercaya.

111
112 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

Sejarah memberikan argumen yang sahih tentang mengapa kisah-


kisah kehidupan Yesus Kristus layak dipercaya. Selain itu, argumen juga
dapat menunjukkan kekeliruan yang mendalam berkaitan dengan pan-
dangan bahwa Injil mengandung cerita mistis. Menguji keduanya
memberikan alasan yang signifikan bagi kita untuk memercayai Yesus
Kristus dan karya penebusan-Nya yang menakjubkan (kehidupan moral
yang sempurna, kematian yang diurapi di atas kayu salib, dan kebangkitan
tubuh dari kubur).

Reliabilitas Historis Injil


Argumen-argumen berikut ini1 menganalisis bukti-bukti historis dan
objektif mengenai kisah-kisah Injil. Beberapa argumen berhubungan
dengan PB secara keseluruhan, sementara yang lain secara khusus ber-
fokus pada keempat Injil di dalam PB.

1. Dokumen-dokumen PB adalah dokumen-dokumen kuno terbaik


yang seluruh manuskripnya telah teruji.
Secara umum, sangat sedikit manuskrip penulis klasik kuno (Aris-
toteles, Plato, Caesar, Tacitus, Thucydides, Herodotus, dll.) yang masih
bertahan hingga kini.2 Rata-rata hanya sekitar dua puluh manuskrip
yang masih bertahan. Dan jumlah ini umumnya dianggap sebagai kuan-
titas yang luar biasa terkait dengan manuskrip yang telah teruji.3 Namun,
dalam banyak hal, jauh lebih sedikit manuskrip yang masih bertahan.
Sebenarnya, hampir bisa dipastikan, sedikit sekali manuskrip yang masih
tersisa. Namun, dengan standar historiografi, manuskrip-manuskrip itu
bahkan tidak ditolak sebagai karya yang tidak autentik atau tidak dapat
diandalkan karena jumlahnya yang terbatas itu. Kenyataannya beberapa
dokumen kuno diterima sebagai teks yang autentik dengan pengujian
yang sangat minim.
Berbeda sekali dengan karya-karya klasik yang terkenal di atas,
dokumen-dokumen di dalam PB didukung bukti-bukti teks dalam jum-
lah yang menakjubkan. Sebagai contoh, lebih dari 5.000 manuskrip
Yunani individual, yang memuat seluruh bagian atau sebagian dari isi
PB, masih bertahan hingga kini.4 Manuskrip-manuskrip tersebut ditam-
bah dengan lebih dari 8.000 eksemplar Vulgata, sebuah versi Alkitab
yang penting dalam bahasa Latin, yang telah diterjemahkan oleh bapa
APAKAH KISAH-KISAH DI DALAM INJIL TENTANG KEHIDUPAN YESUS DAPAT DIPERCAYA? 113

gereja Barat, Jerome, pada awal abad V. Bukti-bukti lainnya berupa


beberapa ribu manuskrip mula-mula dari PB yang diterjemahkan ke
dalam bahasa-bahasa Timur seperti Suriah, Koptik, Armenia, Slavia, dan
Ethiopia.5
Bahkan tanpa ribuan manuskrip ini, hampir seluruh teks PB dapat
direproduksi dari kutipan-kutipan tertentu Kitab Suci yang terdapat di
dalam khotbah-khotbah, penafsiran-penafsiran tertulis (dan disimpan
dengan baik), dan beragam karya lain dari para bapa gereja mula-mula.6
Para pemimpin Kristen, para apologet, dan para penulis ini melayani
antara abad II dan V. Para penulis Patristik ini, demikian mereka disebut,
mencakup (antara lain) tokoh Kristen terkemuka seperti Tertulianus,
Athanasius, Ambrosius, Chrysostom, Jerome, dan Augustine.
PB merupakan dokumen yang telah teruji dengan sangat baik menge-
nai dunia kuno. Bukti manuskrip yang luar biasa banyaknya itu telah
meningkatkan perkembangan suatu aktivitas krusial yang dikenal sebagai
kritik teks. Dengan pembandingan manuskrip secara cermat dan analisis
di sepanjang sejarah, kritik teks mencoba untuk mengidentifikasi natur
teks asli (seperti yang ditulis oleh para penulis PB).7
Bukti manuskrip yang kuat ini tidak bermaksud untuk membukti-
kan bahwa kisah-kisah tentang kehidupan Yesus yang tercatat di dalam
PB secara faktual akurat dan dapat dipercaya, tetapi hendak menandai
PB sebagai dokumen sejarah yang unik dan layak dipertimbangkan dengan
cermat.

2. Interval antara masa teks asli ditulis dan tanggal salinan


manuskrip PB yang paling awal, sangat singkat.
Semakin pendek periode waktu antara tanggal ditulisnya teks asli
dan tanggal salinan pertama (atau manuskrip) didapat, semakin terper-
caya teks yang diuji. Periode waktu yang singkat menandakan bahwa
hanya ada sedikit waktu bagi dokumen itu untuk dirusak melalui trans-
misi atau interpolasi. Kebanyakan karya klasik yang paling kuno, jarak
rata-ratanya lebih dari 1.000 tahun antara masa karya asli itu dibuat
dan masa salinan paling awal dibuat.8 Dalam beberapa kasus, jaraknya
dapat terbentang sampai 1.400 tahun. Meskipun rentang waktu 700
tahun dianggap baik di antara karya-karya besar zaman dahulu, situasi
teks PB jauh lebih unggul.9
114 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

Berbeda dengan karya-karya klasik, masa penulisan hingga penya-


linan teks awal PB interval sangat singkat. Pemeriksaan beberapa manus-
krip PB yang awal dapat membantu menggambarkan hal ini.
Salinan tertua dari bagian kitab PB yang ada sekarang adalah manus-
krip John Rylands 10 (disebut demikian karena berada di John Rylands
University Library di Manchester, Inggris). Lembaran papirus yang kecil
ini (kertas primitif) hanya berisi beberapa ayat dari Injil Yohanes (Yoh.
18:31-33, 37-38). Manuskrip yang ditemukan di Mesir ini, yang juga
dikenal sebagai P52, tertanggal antara tahun 117-138 M,11 dan filolog
(ahli bahasa) terkemuka Adolf Deissmann membantah dengan menya-
takan bahwa tanggal manuskrip tersebut seharusnya lebih awal.12 Ter-
gantung kapan Injil Yohanes ditulis (ca. antara 60 dan 90 M), faktor
waktu, kira-kira hanya terpaut beberapa dekade. Rentang waktu yang
sangat singkat ini menjadi bukti yang kuat atas kemurnian teks itu.
Penemuan manuskrip ini juga meruntuhkan teori beberapa kritikus yang
menganggap Injil Yohanes ditulis setelah pertengahan abad II.13
Dua koleksi awal dan penting dari manuskrip papirus PB adalah
Papirus Bodmer (P66, P72, dan P75) dan Papirus Chester Beatty (P45,
P46, dan P47). Papirus Bodmer berisi bagian-bagian PB (yang mencakup
sebagian besar Injil Lukas dan Yohanes) dan diterbitkan sekitar tahun
200 M.14 Papirus Beatty mencakup hampir semua PB (termasuk sebagian
besar dari keempat Injil) dan diterbitkan sekitar tahun 250 M.15 Oleh
karena itu, manuskrip-manuskrip ini terpaut sekitar 100 sampai 200
tahun dari masa tulisan yang asli dibuat. Menurut standar tekstual,
rentang waktu ini yang sangat singkat bagi suatu tulisan kuno menjadi
alasan yang kuat bagi kita untuk menerima keautentikan mendasar teks
PB.
Lima manuskrip penting berhuruf Yunani16 (ditulis dalam sejenis
huruf besar) juga memberikan dukungan tekstual yang penting untuk
PB. Manuskrip-manuskrip yang ditulis pada perkamen (kulit binatang
yang ditoreh) dan bukan pada papirus ini berbentuk kodeks (disusun
lebih menyerupai sebuah buku modern), bukan gulungan kitab kuno.
Informasi tekstual penting untuk setiap kodeks tercantum di bawah ini.17
 Kodeks Sinaitikus (a
a): berisi seluruh buku PB dan sebagian PL.
Kodeks ini berada di British Museum dan bertanggal sekitar tahun
340 M.
APAKAH KISAH-KISAH DI DALAM INJIL TENTANG KEHIDUPAN YESUS DAPAT DIPERCAYA? 115

 Kodeks Vatikanus (B): mencakup hampir seluruh Alkitab. Kodeks


ini dapat ditemukan di Vatican Library dan bertanggal tahun 325-
350 M.
 Kodeks Alexandrinus (A): berisi sebagian besar Alkitab dan ber-
ada di British Museum. Kodeks ini bertanggal sekitar tahun 450 M.
 Kodeks Bezae (D): ditulis dalam bahasa Yunani dan Latin, men-
cakup banyak bagian dari PB (dan sebagian besar dari keempat
Injil). Kodeks yang disimpan di Cambridge University Library
ini bertanggal antara tahun 450-550 M.
 Kodeks Efraemi (C): berisi bagian dari PL dan sebagian besar
PB. Kodeks ini berada di French National Library di Paris dan
bertanggal sekitar tahun 400 M.
Masih banyak lagi teks PB yang dapat disebutkan—teks-teks yang
ditulis sekitar awal Abad Pertengahan sampai era Reformasi.18 Namun,
naskah-naskah kuno yang sedang kita bahas ini menggambarkan doku-
men-dokumen PB yang sangat unggul dibandingkan semua karya klasik
kuno lainnya dalam rentang waktu antara masa tulisan asli dan masa
salinan paling awal dibuat. Analisis data ini menyebabkan Sir Frederic
Kenyon, seorang ahli naskah kuno, menyimpulkan demikian:
Jadi, interval antara tanggal penulisan teks asli dan tanggal bukti salinan
paling awal ditemukan menjadi begitu kecilnya, bahkan bisa dianggap
tidak ada, dan fondasi akhir, dan menjadi fondasi yang bertahan atas
keraguan apa pun bahwa Alkitab telah sampai kepada kita secara sub-
stansial karena Alkitab itu ditulis, kini telah dihapus. Keaslian dan
integritas kitab-kitab PB akhirnya dapat diterima.19

3. Klaim-klaim historis tentang Yesus yang dibuat oleh penulis-


penulis kuno non-Kristen sangat cocok dengan catatan Injil.
Penelitian terhadap sepuluh sumber sejarah berikut ini (di luar
Alkitab) mengungkapkan informasi tentang kehidupan Yesus yang sesuai
dengan dan bahkan menguatkan kisah-kisah dalam keempat Injil PB dan
juga kitab Kisah Para Rasul.20
 Tacitus (ca. 55-120 M): sejarawan Romawi, Annals
 Suetonius (ca. 120 M): sejarawan Romawi, Life of Claudius
 Josephus (37-97 M): sejarawan Yahudi, Antiquities
116 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

 Plinius Secundus (112 M): Gubernur Romawi, Epistles X


 Talmud Yahudi (tafsiran tentang hukum Yahudi, diselesaikan pada
tahun 500 M)
 Toledoth Jesu (mencerminkan pemikiran Yahudi awal, diselesai-
kan pada abad V M)
 Lucian (abad II M): satiris Yunani
 Thallus (ca. 52 M): sejarawan kelahiran Samaria, Histories
 Mara Bar-Serapion (ca. 73 M): Surat
 Phlegon (ca. 80 M): sejarawan, kitab Tawarikh (namanya disebut-
sebut oleh Origenes)

Sumber-sumber kuno memberi gambaran tentang Yesus dan umat


Kristen mula-mula:21 (1) Dia seorang guru yang provokatif, orang bijak
dan berbudi luhur dari daerah Yudea. (2) Ada laporan yang menyatakan
bahwa Dia melakukan mukjizat-mukjizat dan membuat klaim-klaim
profetik. (3) Para pemimpin Yahudi mengutuk-Nya karena dianggap mela-
kukan perbuatan-perbuatan sihir dan kemurtadan. (4) Dia disalibkan
oleh wali negeri Romawi Pontius Pilatus pada saat Paska Yahudi, dan
masa pemerintahan Kaisar Tiberius. (5) Para pengikut Yesus, yang dise-
but orang Kristen, melaporkan bahwa Dia telah bangkit dari kematian.
(6) Iman Kristen telah menyebar ke Roma di mana orang-orang Kristen
didakwa melakukan kejahatan dan mendapat penganiayaan yang menge-
rikan. (7) Orang-orang Kristen abad I menyembah Yesus Kristus sebagai
Tuhan dan merayakan Perjamuan Kudus dalam ibadah-ibadah mereka.
(8) Meskipun kadang-kadang orang-orang Romawi menertawakan para
pengikut Kristus sebagai orang-orang yang secara moral lemah, murid-
murid ini sering dikenal karena keberanian dan kebaikan hati mereka.
Pernyataan-pernyataan singkat dan kadang-kadang mengandung
maksud terselubung tentang Yesus, yang dibuat oleh para penulis kuno
yang non-Kristen, tidak membuktikan pernyataan Injil. Namun, di dalam
pernyataan-pernyataan tersebut tidak ada hal yang bertentangan dengan
apa yang dicatat tentang Yesus di dalam Injil. Sumber-sumber sejarah di
luar Alkitab ini pun secara konsisten mengonfirmasi historisitas pesan
Injil.22
APAKAH KISAH-KISAH DI DALAM INJIL TENTANG KEHIDUPAN YESUS DAPAT DIPERCAYA? 117

4. Para penulis keempat Injil bisa jadi merupakan saksi mata


kehidupan Yesus secara langsung atau terkait erat dengan para
saksi mata.
Dalam khotbah-khotbah mereka yang paling awal, para rasul meng-
aku menjadi saksi mata langsung dari peristiwa besar seputar kehidupan
Yesus (Kis. 2:32; 3:15; 5:32; 10:39), dan informasi dari tangan pertama
yang menarik muncul di sepanjang isi PB (Kis. 17:30-31; 1Kor. 15:
1-20; Ibr. 2:3-4; 2Pet. 1:16-18; 1Yoh. 1:1-3). Para penulis Injil juga
mengklaim bahwa mereka sendiri selalu bersama dengan Yesus (Yoh.
1:14; 19:35; 21:24-25) atau mengandalkan perkataan orang-orang yang
telah berjalan dan berbicara dengan Yesus (Luk. 1:2). Kesaksian tentang
sejarah jemaat mula-mula dengan suara bulat mengatakan bahwa dua
Injil ditulis oleh murid-murid Yesus yang pertama (yang kemudian dise-
but rasul), yakni Matius dan Yohanes. Dua Injil lainnya, yaitu Markus
dan Lukas, mengandalkan dan mencerminkan kesaksian rasul Petrus,
Paulus, dan lainnya.23
Meskipun banyak kritikus zaman sekarang menolak keberadaan para
rasul sebagai penulis (atau pengaruh langsung) dari keempat Injil di dalam
Alkitab, masih ada penjelasan historis dan tekstual yang kuat yang dipakai
untuk menyimpulkan bahwa para rasul menulis sendiri Injil itu atau
menjadi sumber di balik penulisan kitab-kitab itu. Selintas kesaksian
para rasul yang ada di balik setiap Injil tampaknya bisa dipercaya.
Injil Matius: Meskipun Injil ini sama sekali tidak mengidentifikasi
penulis teks, sejak zaman awal sejarah gereja, nama “Matius” (rasul
yang mula-mula) secara universal dikaitkan sebagai naratornya. Seti-
daknya, ada dua hal yang mendukung bahwa ia adalah penulisnya:24
Pertama, salinan-salinan manuskrip Injil beredar sejak zaman paling awal
(ca. 125 M) dengan nama Matius terkait di dalamnya, dan nama itu (yang
menandakan kepengarangan) tidak pernah diperdebatkan sampai seka-
rang. Kedua, tradisi kuno yang berasal dari Papias, pemimpin umat
Kristen mula-mula (ca. 60-130 M), menyatakan bahwa Matius, salah
satu dari kedua belas rasul Kristus, menulis Injil ini. Meskipun tradisi
ini menghadapi banyak pertentangan, keberadaan Matius sebagai penulis
juga diterima oleh para bapa gereja mula-mula seperti Irenaeus, Origenes,
dan Eusebius.
118 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

Injil Markus: Jemaat/Gereja mula-mula sepakat bahwa Yohanes yang


disebut juga Markus (Kis. 12:12; 13:13; 15:36-41), kemenakan Barnabas
dan rekan Rasul Paulus adalah penulis kedua (dalam urutan manuskrip)
Injil.25 Bapa-bapa gereja Papias, Irenaeus, Clement dari Alexandria,
Origenes, dan Jerome (antara lain) juga menerima dengan baik bahwa
Injil Markus mencerminkan kesaksian dari rasul Petrus.26 Tradisi awal
ini menyiratkan bahwa Injil Markus mengambil pesan fundamental dari
khotbah Petrus (pengkhotbah utama gereja mula-mula sekaligus saksi
mata) lalu menyusun pesan itu menjadi Injil Markus dalam bentuk tertulis.
Bukti tekstual mengenai ketergantungan Markus kepada Petrus sangat
jelas di dalam Injil itu sendiri. Ahli PB, F. F. Bruce menjelaskan, “Kata
ganti orang pertama yang digunakan oleh Markus dalam narasi yang
melibatkan Petrus tampaknya berulang kali mencerminkan kenangan
rasul itu.”27 Rupanya Petrus adalah narasumber bagi Markus, dan
kesaksian Petus selaku saksi mata melandasi Injil Markus.
Injil Lukas: Keyakinan bahwa Lukas adalah penulis Injil ketiga dan
teman dekat rasul Paulus, ternyata sangat didukung di dalam sejarah
gereja (oleh Irenaeus, Clement dari Alexasandria, Origenes, dan Tertu-
lianus) dan sangat sesuai dengan pertimbangan tekstual intern.28 Penulis
Injil Lukas juga menulis kitab Kisah Para Rasul dan merupakan rekan
Paulus. Unsur-unsur ini meneguhkan Lukas, sang tabib itu, sebagai
penulis Injil ketiga. Meskipun bukan rasul Yesus, Lukas memiliki akses
ke semua tokoh rasul yang utama, yang mencakup Paulus, Petrus, dan
Yakobus (saudara Yesus).29 Oleh sebab itu, Injil Lukas sangat mengan-
dalkan cerita-cerita dari para saksi mata tersebut. Prakata Injil Lukas
berbunyi:
Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-
peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang disampaikan
kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan
Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan
seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membu-
kukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa
segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar. (Luk. 1:1-4)
Injil Yohanes: Penulis Injil Yohanes menampilkan pengetahuan yang
mendetail mengenai budaya, adat, dan teologi Yahudi abad I, serta
pengetahuan yang hebat mengenai geografi Israel kuno. Detail-detail
APAKAH KISAH-KISAH DI DALAM INJIL TENTANG KEHIDUPAN YESUS DAPAT DIPERCAYA? 119

ini memperlihatkan ingatan seorang saksi mata pada peristiwa-peristiwa


kehidupan Yesus (Yoh. 21:24-25). Penulis yang paling didukung oleh
tradisi gereja (Polikarpus, Irenaeus, Tertulianus) dan oleh bukti tekstual
intern adalah Rasul Yohanes,30 anak Zebedeus (Mat. 4:21; Mrk. 1:19),
yang dengan penuh kasih disebut sebagai “murid yang dikasihi [Yesus]”
(Yoh. 13:23, 19:26). Yohanes bukan hanya terhitung sebagai salah satu
dari kedua belas rasul Kristus, ia juga bagian dari lingkaran dalam, yang
hadir di tengah transfigurasi, perjamuan terakhir, dan penyaliban Yesus.
Yohanes juga melihat dengan mata kepalanya sendiri Kristus yang dibang-
kitkan (Yoh. 21:20).
Kritikus-kritikus zaman sekarang meluncurkan banyak penolakan
terhadap pandangan tradisional bahwa kesaksian saksi mata berada di
balik penulisan Injil. Namun, penolakan ini secara keseluruhan terbukti
tidak substansial, dan sudut pandang tradisional tetap merupakan posisi
yang paling dipertahankan dalam penulisan asli Injil.31

5. Para penulis Injil bermaksud menyampaikan dan mampu


menyampaikan informasi sejarah dan fakta tentang Yesus,
dan isi tulisan mereka yang bersejarah telah diteguhkan sampai
pada tingkat yang signifikan.
Setiap penulis Injil itu adalah saksi mata langsung atau menyam-
paikan kesaksian saksi mata langsung tentang Yesus. Dalam kedua hal
ini, masing-masing sepenuhnya mengetahui tentang fakta seputar kehi-
dupan, kematian, dan kebangkitan Yesus dan dengan demikian mampu
menyampaikan sejarah yang dapat dipercaya. Selanjutnya, karena Injil
melaporkan dan menggambarkan peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi
daam satu generasi dan karena Injil mengandalkan sumber-sumber awal,
baik lisan maupun tertulis, maka kredibilitas pesan Injil dianggap sangat
kuat.
Meskipun berbeda dengan biografi-biografi modern, tapi kitab Injil
sesuai dengan genre sastra biografi, terutama yang dipahami di abad I.32
Keempat Injil memberikan informasi yang rinci tentang kehidupan dan
pelayanan Yesus, dengan berfokus utama pada peristiwa-peristiwa pene-
busan agung yang dilakukan Yesus di dalam hidup-Nya (kematian
dan kebangkitan-Nya). Injil sangat mementingkan detail sejarah (ter-
utama Injil Lukas dan kitab Kisah Para Rasul). Injil Yohanes paling banyak
120 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

menyajikan rincian mengenai hal-hal seperti kronologi, geografi, dan


topografi.
Pesan sejarah yang fundamental tentang Yesus (hidup-Nya yang luar
biasa, kematian-Nya yang penuh pengurbanan, kebangkitan tubuh-Nya)
mendapatkan pembenaran di dalam sumber-sumber eksternal yang ter-
batas namun dapat dipakai sebagai bukti dari para penulis non-Kristen
kuno dan para penulis Kristen yang muncul kemudian. Penemuan arkeo-
logi juga mendukung reliabilitas mendasar kisah-kisah Injil. Meskipun
sumber-sumber eksternal tidak dapat membuktikan klaim kebenaran
spesifik kekristenan, sumber-sumber tersebut tetap meneguhkan banyak
fakta sejarah yang terjalin dalam pesan Injil.

6. Kredibilitas para rasul sebagai pencerita kebenaran dikukuhkan


ketika orang mengakui bahwa mereka kurang mendapatkan
manfaat dan bahkan hampir kehilangan segala-galanya dalam
mewartakan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat.
Tindakan kerap dimotivasi oleh antisipasi orang terhadap potensi
untung atau rugi. Para rasul nyaris tidak mendapatkan keuntungan apa-
apa dan sebenarnya kehilangan segala-galanya dengan memberitakan
Yesus sebagai Juruselamat dan Tuhan yang telah bangkit. Para pengikut
dekat Yesus ini adalah penganut monoteisme yang setia, bagian dari
tradisi berabad-abad yang mempraktikkan komitmen yang ketat terhadap
Allah Israel (Yahweh) yang tunggal, benar, dan hidup. Memegang pan-
dangan teologis yang menyimpang membawa konsekuensi pribadi yang
harus dibayar mahal. Mengarang cerita bohong tentang Yesus hanya
akan membuat para rasul mengalami kesulitan, penganiayaan, dan bahkan
kematian sia-sia sebagai martir, belum lagi jiwa mereka mungkin dikutuk
karena dianggap menghujat dan sesat.
Jika para rasul telah mengarang cerita bohong tentang kebangkitan,
apakah mungkin mereka bersedia mati sebagai martir untuk hal yang
mereka tahu tidak benar? Dan, bahkan jika para rasul telah berse-
kongkol membuat cerita bohong tentang kebangkitan, konspirasi itu pasti
sudah hancur berantakan di bawah tekanan yang sangat hebat. Banyak
lawan yang dengan sukarela mengungkapkan setiap kemungkinan kebo-
hongan. Para rasul dibenci, dicemooh, dikucilkan, dipenjara, dan disiksa.
APAKAH KISAH-KISAH DI DALAM INJIL TENTANG KEHIDUPAN YESUS DAPAT DIPERCAYA? 121

Selanjutnya, jika para rasul adalah penipu, mereka melanggar semua


kebenaran dan kejujuran yang Yesus ajarkan. Namun, tidak ada di bagian
mana pun di dalam Injil yang menunjukkan bahwa para rasul adalah
penipu atau pembuat cerita bohong. Mereka justru digambarkan sebagai
orang-orang yang sederhana, jujur, dan menceritakan kebenaran.
Pernyataan para rasul tentang Yesus diperkuat oleh fakta bahwa mereka
tidak memiliki motif untuk berbohong atau menipu.
Alasan-alasan yang kuat di atas mendukung kesimpulan bahwa Injil
dapat diandalkan secara historis. Namun, upaya-upaya untuk meng-
klasifikasikan Injil sebagai kisah legenda juga perlu ditangani.

Injil: Mitos atau Fakta?


Budaya populer, yang bersekongkol dengan beberapa kritikus dan
komentator yang vokal, menunjukkan atau menegaskan bahwa Injil,
sampai pada batas-batas tertentu, adalah mitos atau setidaknya kisah
legenda tentang kehidupan dan pelayanan Yesus. Pertimbangan-pertim-
bangan berikut ini, termasuk waktu dan faktor-faktor praktis lainnya,
membuktikan sebaliknya.

1. Karena awal munculnya Injil dan sumber-sumber di belakangnya,


mitos dan legenda tidak punya cukup waktu untuk berkembang
dan dicatat.
Karena banyak kitab PB (Injil dan berbagai surat) ditulis cukup cepat
setelah peristiwa-peristiwa itu dilaporkan, tidak ada waktu yang memung-
kinkan legenda dan mitos menyusup ke dalamnya. Alasan-alasan sejarah
dan tekstual yang kuat menyimpulkan bahwa sesungguhnya Injil ditulis
pada tanggal yang sangat awal.
Pertama, kematian Yesus di tangan Pontius Pilatus kemungkinan
terjadi antara tahun 30 dan 33 M. Bukti menunjukkan bahwa Injil
Sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas) telah ada pada awal tahun 60-an
(untuk Injil Markus mungkin akhir tahun 50-an)—dalam serangkaian
peristiwa-peristiwa di seputar kehidupan, kematian, dan kebangkitan
Yesus Kristus. Tak satu pun dari Injil ini yang menyebutkan peristiwa-
peristiwa penting yang terjadi antara tahun 60 dan 70 M.33 Ketiga peris-
tiwa penting tersebut adalah: (1) penganiayaan orang-orang Kristen
akibat hasutan Nero, kaisar Romawi yang kejam (ca. pertengahan tahun
122 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

60-an), (2) kematian tiga pemimpin utama jemaat/gereja mula-mula


sebagai martir: Yakobus (saudara Yesus), Petrus, dan Paulus (ca. 62-66
M), dan (3) kejatuhan Yerusalem (termasuk penghancuran Bait Suci
Yahudi) di bawah pemimpin militer Romawi, Titus (tahun 70 M). Karena
tidak ada satu pun dari peristiwa-peristiwa penting yang menyita perhatian
umat Kristen ini disebutkan di dalam Injil, makin banyak ahli kitab PB
menyimpulkan bahwa Injil Sinoptik tentunya telah ada pada awal tahun
60-an.
Kedua, karena kitab Kisah Para Rasul dan Injil Lukas sebagai karya
pendamping (ditulis kepada orang yang sama dan dalam gaya penulisan
yang sama), dan karena Kisah Para Rasul tidak menyebutkan peristiwa-
peristiwa yang disebut sebelumnya, tanggal Injil Sinoptik itu mungkin
lebih awal daripada peristiwa-peristiwa itu, terutama jika memperkira-
kan prioritas Injil Markus (teori yang diterima secara luas bahwa Injil
Markus yang ditulis paling awal). Jika Lukas menggunakan Injil Markus
untuk mempersiapkan tulisannya (asumsi yang masuk akal mengingat
pengaruh saksi mata Petrus terhadap Markus), maka Injil Markus mung-
kin telah ada pada akhir tahun 50-an—waktu yang sangat dekat dengan
peristiwa kehidupan Yesus. Tentunya ada banyak orang yang masih hidup
pada tahap awal ini dan mengalami peristiwa seputar kehidupan dan
kematian Yesus. Pengetahuan langsung tersebut cenderung mencegah
perkembangan mitos dan legenda.
Pertimbangan bahwa sumber-sumber apostolik yang lisan dan tertulis
menjembatani jarak antara saat kematian Yesus dan waktu Injil ditulis,
memperkuat kedua argumen ini. Sebuah tradisi pemberitaan lisan resmi
tentu dihubungkan dengan rasul Petrus. Dan beberapa surat rasul Paulus
(Galatia, 1 dan 2 Tesalonika) ditulis paling awal pada akhir tahun 40-an
dan awal tahun 50-an. Kritik sumber (studi sumber-sumber yang ada di
balik teks tertulis) memastikan ada sumber-sumber lisan dan mungkin
juga sumber-sumber tertulis di balik Injil Yunani yang asli.
Ahli kitab PB, Craig Blomberg menyatakan bahwa ada banyak alasan
untuk memercayai bahwa Matius, Markus, dan Lukas menggunakan
sumber-sumber tersebut, dan menyimpulkan bahwa sumber-sumber ter-
sebut memberikan kredibilitas lebih lanjut bagi penulisan Injil. “Kritik
sumber tidak dapat menunjukkan bahwa kisah-kisah pertama dari ber-
bagai bagian kehidupan Yesus sepenuhnya dapat dipercaya, tetapi dapat
APAKAH KISAH-KISAH DI DALAM INJIL TENTANG KEHIDUPAN YESUS DAPAT DIPERCAYA? 123

menunjukkan bahwa kisah-kisah tersebut muncul pada waktu dan tem-


pat di mana banyak orang yang secara pribadi mengenal Yesus, masih
hidup.”34

2. Teori bahwa Injil merupakan mitos hanya masuk akal jika


sudah melewati beberapa generasi, sehingga memungkinkan
berkembangnya mitologi tentang Yesus.
Gagasan bahwa mitos dan legenda membungkus fakta-fakta sepu-
tar kehidupan Yesus bertumpu pada dalil bahwa setelah beberapa gene-
rasi berlalu (di antara peristiwa dan catatan) maka mitos bisa tumbuh.35
A. N. Sherwin-White, ahli sejarah Yunani dan Romawi kuno dari Oxford,
berpendapat bahwa bahkan rentang waktu dua generasi penuh pun tidak
cukup untuk mengembangkan mitos dan legenda dan memutarbalikkan
fakta-fakta sejarah.36 Ahli legenda Julius Muller menyatakan legenda
tidak dapat menggantikan fakta sepanjang saksi mata masih hidup,37 dan
melihat tanggal awal Injil, saksi-saksi mata (baik orang-orang percaya
maupun orang-orang yang non-Kristen) masih hidup pada kurun waktu
Injil ditulis.

3. Para rasul Yesus mengetahui perbedaan antara mitos dan


kesaksian para saksi mata faktual, dan mereka dengan sungguh-
sungguh menegaskan bahwa mereka adalah saksi mata dari
berbagai peristiwa sejarah.
Alasan lain untuk menolak teori bahwa mitos dan legenda menyusup
ke dalam kisah Injil karena para rasul Yesus mampu mengenali perbedaan
antara mitos dan kesaksian faktual, dan mereka menyatakan diri sebagai
saksi mata peristiwa-peristiwa sejarah yang sebenarnya (Luk. 1:1-4; Yoh.
19:35; 1Kor. 15:3-8; Gal. 1:11-12; 2Pet. 1:16; 1Yoh. 1:1-2). Bukannya
berusaha mempropagandakan penyimpangan atau pernyataan yang ber-
lebihan, para rasul justru berusaha memadamkan rumor dan kebohongan
sebelum menyebar (Yoh. 21:22-25), dan terus bersaksi tentang niat
mereka untuk melaporkan kisah yang dapat dipercaya.
Para penulis Injil juga memperhatikan aspek-aspek sejarah. Mereka
memberikan detail-detail yang sangat cermat yang ada pada zaman Yesus
(termasuk nama, tanggal, lokasi, peristiwa, adat-istiadat, dll.). Secara
historis, agar Injil bisa masuk ke dalam kanon PB jika Injil dapat meme-
124 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

nuhi kriteria yang mengharuskannya muncul dari kalangan para rasul


yang mencakup saksi mata atau rekan saksi mata.

4. Jika para penulis Injil menyimpang dari fakta-fakta sejarah (baik


dengan pernyataan yang berlebih-lebihan atau isapan jempol
semata), saksi-saksi antagonis yang akrab dengan peristiwa
kehidupan Yesus dapat dan akan dapat menyingkapkannya.
Ada bukti kuat yang mendukung kesimpulan bahwa Injil mencer-
minkan sumber-sumber awal tentang kehidupan dan kematian Yesus.
Dengan demikian, jika para penulis Injil menyimpang dari fakta-fakta
sejarah, maka saksi-saksi antagonis yang juga mengetahui peristiwa-
peristiwa yang terjadi dalam kehidupan Yesus tentu akan segera menying-
kapkan kebohongan para rasul. F. F. Bruce menulis bahwa tidak mudah
“Untuk mengada-ada tentang perkataan dan perbuatan Yesus pada tahun-
tahun awal itu ketika ada begitu banyak murid-Nya yang masih hidup,
yang dapat mengingat apa yang telah dan belum terjadi.”38 Musuh-
musuh-Nya bahkan jauh lebih banyak dan secara sosial sangat berkuasa.
Para rasul, yang yakin akan kesaksian mereka, mengingatkan orang-
orang yang tidak percaya bahwa mereka secara langsung mengetahui
fakta-fakta kehidupan Yesus (Kis. 2:22, 26:25-27). Orang juga harus
ingat bahwa khotbah Kristen mula-mula berlangsung di daerah yang sama
di mana Kristus telah hidup dan mati.

5. Kisah-kisah Injil tidak sesuai dengan gaya atau isi tulisan mitos
lain yang terkenal.
Analisis tentang kisah-kisah Injil mengungkapkan bahwa kisah-kisah
ini tidak memiliki kemiripan, baik dalam gaya maupun isi, dengan model
dan gaya tulisan mitos lainnya yang terkenal.39 Sebagai contoh, mukjizat-
mukjizat di dalam Alkitab tidak aneh atau dangkal seperti yang digam-
barkan di dalam literatur mitologi (mitologi Yunani). Mukjizat-mukjizat
Yesus kerap dilakukan di dalam konteks pelayanan-Nya, khususnya untuk
memuliakan Allah dan untuk memenuhi kebutuhan nyata manusia.
Sejarah dan mukjizat berdampingan di dalam Injil dengan cara sangat
berbeda dengan literatur mitologi.
APAKAH KISAH-KISAH DI DALAM INJIL TENTANG KEHIDUPAN YESUS DAPAT DIPERCAYA? 125

6. Argumen untuk menolak Injil sebagai sejarah, berbelit-belit.


Penalaran khas yang memandang Injil sebagai mitos adalah keliru.
Penalaran itu biasanya berdasarkan argumen yang berbelit-belit: Keila-
hian Kristus ditolak karena teks Injil ditolak. Teks Injil ditolak karena
dianggap berdasarkan mitos. Injil dianggap mitos karena adanya berba-
gai peristiwa ajaib yang berbicara tentang Allah yang menjadi manusia
(yakni, keilahian Kristus).40 Penalaran ini jelas menimbulkan pertanyaan
(dasar pemikiran itu secara salah bergantung pada kesimpulan yang dia-
sumsikan) dan memperlihatkan prasangka yang konon anti-adikodrati.
Masalah ini adalah masalah prasangka, bukan fakta sejarah.
Menolak historisitas Injil adalah sikap apriori karena Injil berisi
mukjizat, melanggar standar penalaran yang logis dan historis. Karena
Injil secara historis sudah mapan, kisah-kisah mukjizat yang disampaikan
patut mendapat pertimbangan sejarah yang serius. Satu-satunya cara
untuk mengetahui apakah pernyataan mukjizat dapat dipercaya adalah
dengan menyelidiki hal itu. Penyelidikan ilmu pengetahuan terkemuka
telah menyingkapkan bahwa mukjizat-mukjizat mungkin terjadi. Meno-
lak mukjizat berdasarkan komitmen yang sudah dibuat sebelumnya
terhadap pandangan naturalistis berarti melibatkan diri dalam penalaran
yang berputar-putar.

Kesimpulan
Secara ringkas, banyak sekali alasan historis, logis, dan tertulis untuk
menerima Injil sebagaimana adanya. Injil menyampaikan informasi
sejarah dan fakta yang sah tentang peristiwa-peristiwa di seputar kehi-
dupan Yesus. Tidak ada alasan kuat untuk memandang pernyataan,
karakter, dan kualitas Yesus Kristus sebagai mitos semata. Pernyataan-
pernyataan yang mereka munculkan tidak berasal dari analisis sejarah
yang murni (tanpa prasangka), tetapi dari pengandaian dan prasangka
anti hal-hal yang bersifat adikodrati. Tujuan dan maksud khusus dari
Injil dicatat di dalam Yohanes 20:31, “Tetapi semua yang tercantum di
sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak
Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-
Nya.”
Jadi, siapakah Yesus ini? Jati diri-Nya akan disingkapkan pada bab
berikutnya.
126 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

Pertanyaan Diskusi
1. Bagaimana PB dibandingkan dengan karya-karya klasik zaman
kuno lainnya dalam hal bukti manuskrip?
2. Bagaimana laporan-laporan kuno di luar Alkitab tentang Yesus
dibandingkan dengan kisah-kisah di dalam Injil?
3. Apakah hubungan Injil dengan kesaksian para saksi mata mengenai
Yesus?
4. Mengapa mitos tidak dapat menyusup ke dalam kisah-kisah Injil?
Dalam hal-hal apakah Injil sangat berbeda dengan literatur mitos?
5. Bagaimana masalah prasangka yang antisupranatural dapat meme-
ngaruhi pendekatan seseorang terhadap reliabilitas Injil?

Untuk Studi Lebih Lanjut


Blomberg, Craig. The Historical Reliability of the Gospels (Downers Grove, IL:
InterVarsity, 1987).
Bruce, F. F. The New Testament Documents: Are They Reliable? (Grand Rapids,
Eerdmans, 1960). Cetak ulang, edisi revisi ke-5 (Leicester, England: Inter-
Varsity, 1985).
France, R. T. The Evidence for Jesus (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1986).
Guthrie, Donald. New Testament Introduction (Downers Grove, IL: InterVarsity,
1986).
Habermas, Gary R. The Historical Jesus: Ancient Evidence for the Life of Christ
(Joplin, MO: College Press, 1996).
Metzger, Bruce Manning. The Text of the New Testament: Its Transmission,
Corruption, and Restoration, cetakan ke-2 (New York: Oxford, 1968).
Montgomery, John Warwick. History and Christianity (Minneapolis: Bethany,
1965).
Wilkins, Michael J., dan J. P. Moreland, gen. ed. Jesus Under Fire (Grand Rapids:
Zondervan, 1995).
APAKAH YESUS ITU MANUSIA, MITOS, ORANG GILA,
ANCAMAN, MISTIK, PENGHUNI MARS ATAU MESIAS?

Tapi siapa di antara murid-murid-Nya atau di antara pengikut-pengikut mereka


yang mampu menciptakan firman yang berasal dari Yesus, atau mengkhayalkan
kehidupan dan karakter yang diungkapkan di dalam Injil?
––John Stuart Mill, Three Essays on Religion

Jika hidup matinya Socrates demi memenuhi panggilannya sebagai filsuf, hidup
matinya Yesus Kristus adalah sebagai Allah.
––Jean Jacques Rousseau, Emile

S iapakah Yesus Kristus? Bagaimana jati diri-Nya yang sebenarnya?


Yesus sendiri menantang orang-orang untuk berpikir tentang per-
tanyaan ini di dalam kisah-kisah Injil (Mat. 22:41-46; Yoh. 8:24-28,
53-58). Dia bertanya langsung kepada murid-murid-Nya:
“Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Jawab mereka: “Ada yang
mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan
ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.”
Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku
ini?” Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah
yang hidup!” Kata Yesus kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin
Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melain-
kan Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat. 16:13-17)
Kekristenan yang bersejarah membicarakan semua hal tentang Yesus
—jati diri-Nya, pesan-Nya, dan misi-Nya. Selama kurun waktu dua mile-
nium, gereja Kristen memandang Yesus sebagai Mesias yang kehidupan-
127
128 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

Nya, kematian-Nya, dan kebangkitan-Nya menjadi sarana bagi Allah


untuk mengampuni orang-orang berdosa yang mau bertobat. Inti dari
iman Kristen menyatakan bahwa Yesus, justru karena Dia adalah
penjelmaan dari Allah, benar-benar dapat menebus umat manusia di atas
kayu salib.
Namun, apakah secara intelektual masuk akal jika kita percaya bahwa
Yesus Kristus benar-benar Allah yang berinkarnasi? Apakah ada alter-
natif-alternatif lain yang dapat diterima mengenai jati diri Ilahi-Nya?
Jika inti dari klaim-kebenaran kekristenan—bahwa Yesus adalah Allah
—bertahan dalam uji penalaran dan sejarah, maka iman akan terjamin
dengan kuat. Bila orang memahami bagaimana Yesus memandang diri-
Nya sendiri, apa yang diklaim Alkitab tentang-Nya, dan pengujian ter-
hadap klaim-klaim itu dengan memeriksa enam hipotesis alternatif,
maka semua itu akan memperkuat keyakinan seseorang dan membuat
kesaksian itu jauh lebih persuasif.

Benarkah Yesus Menganggap Diri-Nya sebagai Allah?


Selalu ada individu maupun kelompok (baik pada zaman dulu mau-
pun sekarang) yang membantah gambaran PB tentang Yesus sebagai
Allah yang berinkarnasi (satu Pribadi yang sepenuhnya Allah dan sepe-
nuhnya manusia). Namun, evaluasi yang memadai terhadap data Kitab
Suci tidak meragukan PB yang menegaskan keilahian Yesus (lih. bab 9
untuk mendapatkan ringkasannya). Memandang Yesus Kristus sebagai
Allah-manusia adalah konsensus historis dan ortodoks umat Kristen
(Katolik, Ortodoks, dan Protestan). Namun, bagaimana Yesus meman-
dang diri-Nya? Beberapa kritikus menyatakan bahwa Dia tidak pernah
benar-benar mengaku sebagai Allah dan bahwa gereja Kristen telah keliru
menarik kesimpulan ini.1
Yesus tidak pernah mengucapkan kata-kata “Akulah Allah,” tetapi
Dia sangat menyadari keilahian-Nya dan dengan sengaja menyingkap-
kan keilahian-Nya agar dapat diketahui oleh orang lain. Keempat poin
berikut menggambarkannya:

1. Yesus menyamakan diri-Nya dengan Bapa (Allah Yahweh).


Dalam pelayanan-Nya kepada masyarakat, Yesus mengidentifikasi
diri-Nya begitu dekat dengan Bapa dengan menyatakan secara tidak
APAKAH YESUS ITU MANUSIA, MITOS, ORANG GILA, ANCAMAN, MISTIK, PENGHUNI MARS ATAU MESIAS? 129

langsung bahwa Dia (Yesus) adalah Allah. Dia menyatakan kedekatan-


Nya ini dengan cara berikut:2
 Mengenal Yesus sama dengan mengenal Allah: “Sekiranya kamu
mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku” (Yoh. 14:7).
 Melihat Yesus sama dengan melihat Allah: “Barangsiapa telah
melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh. 14:9).
 Mengalami perjumpaan dengan Yesus sama dengan mengalami
perjumpaan dengan Allah: “Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku
di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yoh. 14:11).
 Percaya kepada Yesus sama dengan percaya kepada Allah: “Perca-
yalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku” (Yoh. 14:1).
 Menyambut Yesus sama dengan menyambut Allah: “Barangsiapa
menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang
mengutus Aku” (Mrk. 9:37).
 Menghormati Yesus sama dengan menghormati Allah: “Supaya
semua orang menghormati Anak sama seperti mereka menghor-
mati Bapa” (Yoh. 5:23).
 Membenci Yesus sama dengan membenci Allah: “Barangsiapa
membenci Aku, ia membenci juga Bapa-Ku” (Yoh. 15:23).
 Datang kepada Yesus sama dengan datang kepada Allah: “Tidak
ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui
Aku” (Yoh. 14:6).
 Mengasihi Yesus sama dengan mengasihi Allah: “Barangsiapa
mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku” (Yoh. 14:21).
 Menaati Yesus sama dengan menaati Allah: “Jika seorang menga-
sihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi
dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama
dengan dia” (Yoh. 14:23).

2. Yesus membuat klaim-klaim langsung yang dianggap menghujat


oleh banyak pemimpin agama Yahudi.
Sebagai kaum monoteis yang fanatik, banyak orang Yahudi pada
zaman Yesus menjadi marah terhadap klaim-klaim-Nya bahwa Dia memi-
liki otoritas Ilahi. Reaksi mereka menunjukkan mereka mengerti bahwa
130 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

Yesus menyatakan diri-Nya sendiri sebagai Allah. Pengakuan inilah yang


dipermasalahkan:
Tetapi Ia berkata kepada mereka: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang,
maka Akupun bekerja juga.” Sebab itu orang-orang Yahudi lebih ber-
usaha lagi untuk membunuh-Nya, bukan saja karena Ia meniadakan
hari Sabat, tetapi juga karena Ia mengatakan bahwa Allah adalah Bapa-
Nya sendiri dan dengan demikian menyamakan diri-Nya dengan Allah.
(Yoh.5:17-18)
Yesus yang berulang kali bersikeras menyatakan bahwa Dia memiliki
hubungan akrab dan khusus dengan Allah Bapa membuat orang banyak
marah. Yesus tidak berbicara tentang Allah sebagai “Bapa kita,” tetapi
sebagai “Bapa-Ku.”
Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” Lalu mereka mengambil batu
untuk melempari Dia. (Yoh. 8:58-59)
Yesus menggunakan kata “Aku” (Yunani, ego eimi) yang sama saja
dengan mengatakan “Akulah Allah”, karena Dia memakai “salah satu
ungkapan ilahi yang paling suci” dari PL untuk diri-Nya.3 Yahweh telah
secara khusus memberi petunjuk tentang diri-Nya sebagai “Aku” atau
“Akulah Dia” (Yes. 41:4; 43:10, 13, 25; 46:4; 48:12). Yesus juga telah
dinyatakan di dalam Keluaran 3:14 di mana Yahweh menyebut Yesus
sebagai “AKU ADALAH AKU” yang luar biasa. Sekali lagi, reaksi dari
pihak orang Yahudi yang melempari Yesus dengan batu (hukuman yang
ditetapkan untuk penghujatan, Im. 24:16) secara kontekstual membe-
narkan adanya pernyataan bahwa Dia menyatakan diri-Nya sebagai
Allah.
“Aku dan Bapa adalah satu.” Sekali lagi orang-orang Yahudi meng-
ambil batu untuk melempari Yesus. Kata Yesus kepada mereka: “Banyak
pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-Ku yang Kuperlihatkan kepadamu;
pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melem-
pari Aku?” Jawab orang-orang Yahudi itu: “Bukan karena suatu pekerjaan
baik maka kami mau melempari Engkau, melainkan karena Engkau
menghujat Allah dan karena Engkau, sekalipun hanya seorang manusia
saja, menyamakan diri-Mu dengan Allah.” (Yoh. 10:30-33)
APAKAH YESUS ITU MANUSIA, MITOS, ORANG GILA, ANCAMAN, MISTIK, PENGHUNI MARS ATAU MESIAS? 131

Kata Yunani untuk “satu” (hen) dalam ayat ini adalah dalam bentuk
netral sehingga tidak menyiratkan bahwa Yesus dan Bapa adalah orang
yang sama. Kalimat ini bisa diterjemahkan: “Aku dan Bapa, kami adalah
satu.” Selain itu, kesatuan antara Yesus dan Bapa lebih dari sekadar
kesatuan tujuan atau tindakan. Kesatuan yang dijelaskan di sini memiliki
nuansa metafisika yang jelas (Allah).4 Orang-orang Yahudi tentu mema-
hami pernyataan Yesus itu mengacu pada Allah, karena lagi-lagi mereka
berusaha untuk melempari-Nya dengan batu.
Imam Besar itu bertanya kepada-Nya sekali lagi, katanya: “Apakah
Engkau Mesias, Anak dari Yang Terpuji?” Jawab Yesus: “Akulah Dia,
dan kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang
Mahakuasa dan datang di tengah-tengah awan-awan di langit.” Maka
Imam Besar itu mengoyakkan pakaiannya dan berkata: “Untuk apa
kita perlu saksi lagi? Kamu sudah mendengar hujat-Nya terhadap
Allah. Bagaimana pendapat kamu?” Lalu dengan suara bulat mereka
memutuskan, bahwa Dia harus dihukum mati. (Mrk. 14:61-64)
Para pemimpin agama Yahudi menangkap, mengadili, dan menja-
tuhkan hukuman mati kepada Yesus untuk kejahatan penghujatan.
Pernyataan-pernyataan-Nya di hadapan imam besar menjadi kesaksian
yang meyakinkan. Perhatikanlah empat hal dalam percakapan singkat
antara Yesus dengan imam besar Israel: (a) Dia dengan tegas meng-
identifikasi diri-Nya sebagai Mesias Israel, (b) Dia menggunakan gelar
“Anak Manusia”, yang dalam konteks-konteks tertentu dipandang sebagai
gelar ilahi (Dan. 7:13-14), (c) Dia menggambarkan diri-Nya duduk di
“sebelah kanan” Allah, yang menyiratkan bahwa Dia memiliki otoritas
Allah, dan (d) Dia mengisyaratkan “kedatangan-Nya di atas awan-awan,”
yang mengidentifikasi diri-Nya sebagai Hakim umat manusia pada masa
yang akan datang.

3. Secara tidak langsung Yesus menyatakan diri sebagai Allah dengan


menerapkan hak-hak prerogatif Allah.
Selama pelayanan-Nya, Yesus terlibat di dalam fungsi-fungsi yang
disediakan khusus bagi Allah saja.5 Dalam konteks monoteisme Yahudi
yang ketat, tindakan tersebut dianggap menghujat bagi siapa pun kecuali
Allah.
132 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

Yesus menyatakan diri berotoritas mengampuni dosa, bahkan dosa


yang tidak dilakukan terhadap diri-Nya secara pribadi:
Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh
itu: “Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!” Tetapi di situ ada juga
duduk beberapa ahli Taurat, mereka berpikir dalam hatinya: “Mengapa
orang ini berkata begitu? Ia menghujat Allah. Siapa yang dapat
mengampuni dosa selain daripada Allah sendiri?” (Mrk. 2:5-7)
Yesus menerima penyembahan dari manusia lain:
Dan kesebelas murid itu berangkat ke Galilea, ke bukit yang telah ditun-
jukkan Yesus kepada mereka. Ketika melihat Dia mereka menyembah-
Nya. (Mat. 26:16-17)
Yesus menyatakan kuasa dan otoritas atas kematian—dan kehidupan:
Sebab sama seperti Bapa membangkitkan orang-orang mati dan meng-
hidupkannya, demikian juga Anak menghidupkan barangsiapa yang
dikehendaki-Nya. (Yoh. 5:21)
Yesus menyatakan otoritas untuk menghakimi umat manusia:
Bapa tidak menghakimi siapa pun, melainkan telah menyerahkan peng-
hakiman itu seluruhnya kepada Anak . . . Dan Ia telah memberikan
kuasa kepada-Nya untuk menghakimi, karena Ia adalah Anak Manusia.
(Yoh. 5:22, 27)

4. Yesus secara tidak langsung mengklaim diri sebagai Allah dengan


mengenakan berbagai sebutan Ilahi pada diri-Nya.
Dalam konteks-konteks tertentu, Yesus menggunakan berbagai
sebutan yang menyiratkan keilahian di PL. Sebutan itu mengacu ke diri-
Nya. Perilaku ini membuat orang-orang Yahudi marah, terutama ketika
Dia menggambarkan diri-Nya sebagai “Anak Allah” dan “Anak Manusia.”
Dalam sidang di hadapan Sanhedrin, penggunaan sebutan-sebutan inilah
yang (antara lain) membuat imam besar Israel mengutuk-Nya sebagai
penghujat yang patut dihukum mati (Mat. 26:62-66) (Untuk
mendapatkan lebih banyak referensi Alkitab mengenai contoh-contoh
berbagai sebutan Ilahi yang dipakai Yesus, lih. Inkarnasi, bab 9.)
Masih banyak lagi yang bisa dikatakan mengenai sebutan-sebutan
provokatif Yesus tentang keilahian-Nya.6 Namun, poin-poin yang telah
dibahas sebelumnya tampaknya sudah cukup untuk mendukung tesis
APAKAH YESUS ITU MANUSIA, MITOS, ORANG GILA, ANCAMAN, MISTIK, PENGHUNI MARS ATAU MESIAS? 133

bahwa Yesus dari Nazaret mengaku sebagai Allah. Dukungan tambahan


untuk klaim kebenaran Yesus sebagai Allah ditemukan di dalam karakter
moral-Nya yang tak tertandingi, penggenapan-Nya yang spesifik pada
nubuat yang telah disebutkan di Alkitab, dan banyak perbuatan-Nya
yang ajaib, yang berkulminasi dalam kebangkitan tubuh-Nya dari antara
orang mati.
Adakah cara lain yang dapat menjelaskan kehidupan dan pribadi
Yesus? Cara untuk menghindari kesimpulan bahwa Dia adalah Allah
yang berinkarnasi? Pandangan alternatif telah diajukan, tetapi evaluasi
yang cermat terhadap data PB membuat interpretasi yang terbaik men-
jadi jelas.

Apa Penjelasan yang Terbaik Terkait Hal Itu?


Sebelum mempertimbangkan pandangan alternatif tertentu, sebuah
tinjauan tentang bagaimana memikirkan hipotesis penjelas yang terbaik
dapat membantu orang untuk terhindar dari kesalahan-kesalahan yang
mengacaukan perspektif logis.

Penalaran Abduktif
Meskipun ada dua cara dasar penalaran atau perdebatan di dalam
logika (deduktif dan induktif), ahli logika kadang-kadang menggunakan
metode yang kurang dikenal, yang disebut penalaran abduktif.7 Tipe
penalaran ketiga ini berupaya untuk mendapatkan penjelasan terbaik
bagi sebuah peristiwa atau serangkaian fakta tertentu. Tidak seperti
deduksi, penalaran abduktif tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti,
tetapi sebaliknya, seperti induksi, hanya menghasilkan kemungkinan
kebenaran. Namun, berbeda dengan induksi, penalaran abduktif tidak
berusaha memprediksi kemungkinan-kemungkinan spesifik yang akan
terjadi di masa yang akan datang. Sebaliknya, metode ini mencoba untuk
memberikan hipotesis penjelas yang luas dan yang terbaik.
Penalaran abduktif dapat membantu untuk menentukan penjelasan
mana dari sebuah peristiwa tertentu yang mimiliki kans yang paling benar.
Sebagai contoh, pendekatan abduktif dapat digunakan dalam upaya untuk
menentukan skenario yang paling mungkin menjelaskan isu kontrover-
sial pembunuhan Presiden John F. Kennedy (teori penembak tunggal
versus teori konspirasi).8
134 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

Tidak ada tes yang solid dan cepat untuk mengevaluasi antara hipo-
tesis yang satu dengan hipotesis yang lain. Namun, tujuh kriteria berikut
ini secara umum diterima di kalangan ahli logika.9 Hipotesis penjelas
yang terbaik (1) seimbang antara kompleksitas dan kesederhanaan,
(2) koheren, (3) sesuai dengan fakta, (4) menghindari praduga yang tidak
beralasan dan penjelasan ad hoc, (5) dapat diuji, (6) menghasilkan prediksi
yang bermanfaat, dan (7) dapat menyesuaikan diri untuk mengakomodasi
kemungkinan bukti yang menentang. Hipotesis yang mendapat skor
tertinggi pada kriteria tersebut dapat dikatakan memiliki daya dan
cakupan penjelasan yang benar. Menerapkan skema ini dapat mem-
bantu mengevaluasi berbagai penjelasan tentang kehidupan Yesus.

Menghindari Kekeliruan Alternatif yang Salah


Meskipun proses eliminasi yang logis dapat membantu menyaring
teori-teori yang berbeda, orang harus berhati-hati agar tidak keliru
memilih alternatif yang salah. Ahli logika T. Edward Damer mende-
finisikan kekeliruan ini sebagai “terlalu menyederhanakan suatu masalah
karena gagal memperhatikan atau setidaknya mengenali semua solusi
alternatif yang masuk akal.”10 Orang keliru memilih alternatif yang salah
ketika ia mengambil terlalu sedikit alternatif dan kemudian mengan-
daikan bahwa salah satu pilihan terbatas ini tentunya benar.
Beberapa apologet injili telah dituduh melakukan kekeliruan ini ketika
mereka berdebat tentang masalah keilahian Yesus. Sebagai contoh,
argumen penjelas untuk jati diri Yesus kadang-kadang dirumuskan dalam
kaitannya dengan sebuah “Trilema.”11 Karena Yesus mengaku sebagai
Allah, Dia tentunya adalah: (1) orang gila, (2) pembohong, atau (3) Tuhan
(Allah). Para kritikus menuding argumen ini mengabaikan alternatif
lainnya yang masuk akal (mis., kemungkinan bahwa Yesus adalah tokoh
mitos).
Kekeliruan alternatif yang salah ini dapat dihindari dengan mem-
berikan pertimbangan yang cermat dalam berbagai pilihan yang lebih
luas—asalkan pilihan-pilihan itu merupakan penjelasan yang masuk akal.
Semua penjelasan yang masuk akal harus dimasukkan. Namun, hanya
sejumlah kecil penjelasan masuk akal mengenai siapa Yesus yang tetap
bertahan.
APAKAH YESUS ITU MANUSIA, MITOS, ORANG GILA, ANCAMAN, MISTIK, PENGHUNI MARS ATAU MESIAS? 135

Juga salah jika orang bersikeras memberikan penilaian terhadap


hipotesis penjelas yang masuk akal hanya karena ia belum menyelesai-
kan semua alternatif yang mungkin terjadi atau yang dapat dipikirkan.
Kadang-kadang kaum skeptis melakukan kekeliruan ad futurus (mengacu
ke masa depan) dengan mengasumsikan bahwa masa depan akan meng-
ungkapkan penjelasan yang sangat alami (atau sekuler) tentang kehi-
dupan Yesus. Kesalahan ini tidak saja menunjukkan iman yang optimistis
namun gegabah terhadap masa depan, tetapi juga mengabaikan bahwa
orang harus hidup dan berpikir pada masa sekarang. Berusaha memi-
kirkan hipotesis penjelas yang terbaik di antara alternatif-alternatif yang
ada, dapat masuk akal, dan jika ditemukan suatu alternatif baru yang
masuk akal, maka analisis kritis dapat dilakukan pada saat itu.

Enam Hipotesis Alternatif tentang Jati Diri Yesus


Para pengikut Yesus menafsirkan pernyataan Yesus sebagai Mesias
lama setelah kejadian itu. Jadi, pernyataan tentang keilahian Yesus
adalah mitos.
Hipotesis ini, meskipun populer di kalangan kaum cendekiawan yang
liberal dan kritis, sangat tidak masuk akal karena alasan berikut:
1. Karena Injil (yang memperkenalkan Yesus sebagai Allah) ditulis
segera setelah peristiwa-peristiwa yang dicatat di dalamnya terjadi (dalam
waktu sekitar satu generasi), maka tidak ada cukup waktu bagi legenda
dan mitos terbentuk dan menyusup ke dalam kisah-kisah Alkitab (lih.
Injil, bab 7). Selanjutnya, sumber-sumber apostolik secara tertulis dan
lisan menjadi jembatan pada masa kematian Yesus (ca. 30 M) dan masa
Injil ditulis (ca. 70 M). Sebagai contoh, beberapa surat rasul Paulus
(Galatia; 1 dan 2 Tesalonika) mungkin ditulis sejak akhir tahun 40-an
atau awal tahun 50-an M. Hipotesis mitos hanya masuk akal jika sudah
melewati beberapa generasi di antara berbagai peristiwa yang terjadi
dan proses penulisannya—itulah masa bagi mitos untuk menggantikan
fakta. Namun, kerangka waktu yang sempit antara saat Yesus hidup dan
saat sumber tertulis muncul, tidak memadai untuk memungkinkan terben-
tuknya hipotesis ini. A. N. Sherwin-White, ahli sejarah Yunani dan
Romawi kuno asal Oxford, berpendapat bahwa rentang waktu dua
generasi penuh sekalipun tidak cukup untuk berkembangnya mitos dan
legenda serta mengubah fakta sejarah.12
136 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

2. Para penulis Alkitab mengenali perbedaan antara mitos dan bukti


dari kesaksian saksi mata faktual. Dan mereka sungguh-sungguh mene-
gaskan bahwa mereka telah menjadi saksi mata atas klaim dan tindakan
Yesus (lih. Luk. 1:1-4; Yoh. 19:35; Kis. 2:22-38; 17:30-31; 1Kor. 15:
3-8; Gal. 1:11-12; 2Pet. 1:16; 1Yoh. 1:1-2). Selain itu, argumen-argumen
kuat dapat disusun untuk menunjukkan bahwa para penulis Injil adalah
rasul-rasul asli Yesus (yang berarti mereka adalah saksi mata) atau memi-
liki hubungan yang dekat dengan para rasul.13
3. Para pengikut Yesus tidak memiliki alasan untuk mendewakan
manusia biasa. Orang-orang Yahudi monoteistis di abad I semestinya
mengetahui bahwa mendewakan manusia akan mengakibatkan pengani-
ayaan, mati sebagai martir, dan bahkan kutukan bagi jiwa mereka.
4. Mengingat jangka waktu yang singkat antara masa terjadinya
peristiwa dan masa penulisannya, jika para penulis Injil menyimpang
dari fakta sejarah (baik dengan melebih-lebihkan atau dengan mem-
bual), maka saksi-saksi mata yang memusuhi mereka—yang masih hidup
dan mengetahui peristiwa kehidupan Yesus—bisa dan akan menelan-
jangi mereka.
5. Jika para pengikut Yesus menciptakan Mesias, mereka tentu akan
cenderung membuat Mesias yang lebih sesuai dengan harapan orang-
orang Yahudi tentang Mesias pada masa itu. Yesus yang digambarkan di
dalam Injil sangat berbeda dengan apa yang diharapkan orang-orang
Yahudi abad pertama tentang Mesias mereka.14
6. Sumber-sumber Yahudi dan sekuler pada abad I dan awal abad II
(sejarawan, pejabat pemerintah, dan penulis keagamaan) menceritakan
informasi umum tentang kehidupan dan pelayanan Yesus yang sesuai
dan yang menguatkan pesan Injil. Eksistensi dan isi sumber-sumber di
luar Alkitab dan non-Kristen pada periode awal menentang teori mitos
mengenai kehidupan Yesus.15
Memitoskan klaim keilahian Yesus berarti mengabaikan sumber-
sumber sejarah yang solid (lisan maupun tertulis) yang berada di balik
klaim tersebut. Hal ini juga berarti mengabaikan jarak waktu yang sing-
kat antara munculnya tulisan-tulisan Injil dan peristiwa-peristiwa aktual
yang ingin digambarkannya. Selain itu, pandangan ini tampaknya berakar
pada prasangka antisupernatural yang tidak didukung. Karena alasan-
APAKAH YESUS ITU MANUSIA, MITOS, ORANG GILA, ANCAMAN, MISTIK, PENGHUNI MARS ATAU MESIAS? 137

alasan ini, pandangan ini harus dianggap sebagai hipotesis penjelas yang
tidak masuk akal dan tidak memadai.

Yesus hanya “orang besar,” juga “guru yang hebat,” namun bukan
Allah.
Banyak orang cenderung mengambil posisi ini karena sesuai dengan
kebiasaan dunia alam dan menghindari hal-hal yang supernatural/
adikodrati. Namun, karena gambaran Yesus di dalam PB didasar-
kan pada sumber-sumber sejarah yang kuat, maka memandang Yesus
hanya sebagai orang besar secara intelektual tidak dapat dipertahankan
karena dua hal berikut:
1. Seseorang tidak bisa menjadi “besar” dan membuat jenis per-
nyataan yang Yesus katakan tentang diri-Nya. Pernyataan-pernyataan
semacam itu akan menggambarkan-Nya sebagai seorang megalomaniak.
Mengapa? Karena Yesus berbicara tentang diri-Nya dengan cara yang
muluk-muluk.16 Beberapa pernyataan-Nya “Akulah” di dalam Injil
Yohanes menggambarkan:
 “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku,
ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang
hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-
lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?” (Yoh. 11:25-26).
 “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun
yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh. 14:6).
 “Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan
berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang
hidup” (Yoh. 8:12).
 “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan
lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus
lagi” (Yoh. 6:35).
Orang besar (yang hanya seorang manusia) tidak akan mengatakan
hal-hal yang Yesus katakan. Bualan-bualan semacam itu akan mendis-
kualifikasi-Nya dan tidak mungkin dipertimbangkan sebagai orang
besar.
138 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

2. Orang tidak bisa menjadi “besar” dan melakukan hal-hal yang


Yesus lakukan. Dia menawarkan untuk mengampuni dosa orang-orang
lain (termasuk pelanggaran-pelanggaran yang tidak dilakukan terhadap
diri-Nya). Yesus membiarkan orang-orang lain menyembah-Nya. Dia
mengajarkan bahwa hidup kekal seseorang tergantung pada apa yang
dipikirkan orang itu secara pribadi tentang Dia. Orang besar (yang hanya
seorang manusia) tidak akan melakukan hal-hal itu.
Yesus tidak bisa serta merta menjadi orang besar jika Dia mengaku
sebagai Allah padahal tidak demikian. Pemikir Kristen C. S. Lewis
membuat komentar yang berwawasan luas ini:
Anda bisa menyuruh-Nya diam bagaikan orang bebal, Anda bisa
meludahi-Nya dan membunuh-Nya sebagai orang yang mengkhayal-
kan dirinya sebagai Allah, atau Anda bisa tersungkur di kaki-Nya dan
memanggil-Nya Tuhan dan Allah. Namun, marilah kita tidak semba-
rangan menyebut-Nya sebagai guru besar umat manusia. Dia tidak
membiarkan kita menyebut-Nya demikian dan Dia tidak ingin disebut
demikian.17
Jadi, jika Yesus mengklaim diri-Nya sebagai Allah (sebagaimana
disampaikan oleh dokumen-dokumen sejarah yang sudah terbukti),
padahal hanyalah seorang manusia, maka Dia mungkin orang yang
bermoral buruk atau orang yang sakit jiwa. Namun, Dia pasti bukan
orang besar.

Yesus mengaku sebagai Mesias yang Ilahi, padahal Dia tahu


diri-Nya bukan Mesias. Karena itu, Dia sengaja menipu dan
menyebarkan ancaman yang jahat.
Kalau Yesus mengatakan dan melakukan hal-hal yang dilakukan-Nya
tadi, padahal Dia tahu Dia hanya manusia biasa, maka Dia seorang
manusia yang sangat jahat. Penipuan spiritual yang disengaja mungkin
merupakan jenis penipuan yang terburuk. Namun, dengan mengingat
segala sesuatu yang diketahui tentang Yesus dari Nazaret, maka anggapan
bahwa Dia merupakan ancaman yang jahat menciptakan kejanggalan
yang sangat serius. Yesus yang digambarkan di dalam Injil mencermin-
kan karakter pribadi dan moral yang patut dicontoh, yang melampaui
kondisi moral manusia yang lemah dan tidak sempurna.
APAKAH YESUS ITU MANUSIA, MITOS, ORANG GILA, ANCAMAN, MISTIK, PENGHUNI MARS ATAU MESIAS? 139

Selama tiga tahun pelayanan-Nya, Yesus secara konsisten menangani


dilema-dilema moral yang menantang, tekanan-tekanan pribadi yang luar
biasa, dan mengalami keadaan-keadaan yang sangat sulit termasuk penyik-
saan fisik dan bahkan kematian. Namun, Dia tidak pernah menunjuk-
kan kelemahan moral apa pun atau salah satu dari berbagai keburukan
yang begitu umum dilakukan oleh umat manusia.
Para pendusta, terutama yang kejam, hampir selalu meninggalkan
petunjuk tentang motivasi mereka yang sebenarnya—biasanya di antara
kalangan sendiri dan terutama ketika berada di bawah tekanan yang
berat. Namun, teman-teman terdekat dari Yesus dan bahkan beberapa
musuh-Nya bersikeras bahwa Dia menghadapi setiap keadaan dengan
keberanian, kejujuran, dan kebajikan moral yang gemilang (Kis. 3:14;
1Pet. 2:22-23; 1Yoh. 3:4-5). Berbeda sekali dengan pendusta-pendusta
lain, Yesus sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda termotivasi oleh
kekayaan, ketenaran, kekuasaan, atau kesenangan. Sebaliknya, cinta,
kebenaran, dan keadilan diperlihatkannya di dalam hidup-Nya yang
menakjubkan. Memandang Yesus sebagai seorang penipu sungguh ber-
tentangan dengan karakter-Nya yang tak bercacat serta pemikiran dan
pengajaran moral-Nya yang sangat mendalam.
Teladan dan pengajaran moral Yesus menjadi dasar bagi banyak teori
etika yang dianut dan dipraktikkan di seluruh peradaban Barat. Dia,
secara luas dianggap, bahkan oleh orang-orang non-Kristen, sebagai pola
ideal kebajikan moral. Apakah masuk akal jika kita menyimpulkan bahwa
orang yang memberikan dampak sedemikian besar dalam sejarah manusia
mengenai kebajikan moral, ternyata adalah seorang pembohong besar?
Sejarah, penalaran, dan akal sehat dengan jelas menyatakan tidak!18
Bagi mereka yang telah meneliti kehidupan Yesus, jauh lebih mudah
menerima Dia sebagai Mesias daripada menyimpulkan bahwa Dia
sebagai penipu moral dan spiritual. Hipotesis penjelas ini sangat lemah
dan karena itu sangat mustahil.

Yesus mengira diri-Nya Mesias, padahal bukan. Dia penderita


psikosis yang delusif, orang gila.
Orang-orang yang mengaku sebagai Allah pada umumnya berada di
lembaga pemulihan kesehatan mental. Delusi keagungan adalah gejala
gangguan mental berat yang membuat orang kehilangan kontak dengan
140 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

realitas. Apakah Yesus menunjukkan tanda-tanda kekacauan seperti itu?


Apakah ada indikator ketidakstabilan emosional dalam hidup-Nya seperti
dalam kasus orang-orang yang menderita penyakit jiwa?
Dari semua orang, Yesus tampaknya sangat menguasai realitas.
Secara konsisten Dia menunjukkan stabilitas mental dan emosional yang
mendalam. Dalam setiap krisis yang dihadapi-Nya—entah diejek dan
diinterogasi oleh musuh-musuh-Nya atau menjalani penyiksaan penya-
liban yang mengerikan—pikiran Yesus mencerminkan kejelasan, kete-
nangan, dan didasarkan pada stabilitas emosional yang luar biasa. Boleh
dikatakan sebagai guru terhebat di dunia, Dia selalu berpikir logis dan
koheren, pikiran-Nya jelas dan bicara-Nya fasih. Yesus mengatasi setiap
kesempatan dengan luwes, tenang, kuat, dan seimbang. Perhatikan apa
yang dikatakan tentang Yesus oleh orang-orang yang mengamati-Nya
dengan saksama ketika Dia bekerja sebagai guru, pengkhotbah, dan
pembuat mukjizat.
 “Setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak
itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka seba-
gai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka”
(Mat. 7:28-29).
 “Setibanya di tempat asal-Nya, Yesus mengajar orang-orang di
situ di rumah ibadat mereka. Maka takjublah mereka dan berkata:
‘Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu dan kuasa untuk menga-
dakan mujizat-mujizat itu?’” (Mat. 13:54).
 “Jawab penjaga-penjaga itu: “Belum pernah seorang manusia
berkata seperti orang itu!” (Yoh. 7:46).
Bahkan musuh-musuh-Nya kagum pada pengajaran dan otoritas
Yesus yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Orang-orang yang
mengenal dan mengamati-Nya tidak memberikan kesan sedikit pun
bahwa mereka berpikir Yesus tidak seimbang secara psikologis.
Namun, mungkin Yesus tidak perlu menjadi orang gila yang meracau
agar sudut pandang yang benar memiliki beberapa kekuatan penjelas.
Mungkin Yesus hanya salah mengungkapkan jati diri-Nya sebagai Allah,
namun Ia pada dasarnya masih waras. Penyakit jiwa bukan berbicara
tentang pernyataan yang diterima atau ditolak. Sebaliknya, ketidak-
stabilan mental diukur berdasarkan tingkat keparahannya. Tokoh-tokoh
APAKAH YESUS ITU MANUSIA, MITOS, ORANG GILA, ANCAMAN, MISTIK, PENGHUNI MARS ATAU MESIAS? 141

agama lainnya telah membuat pernyataan-pernyataan Ilahi (Father Di-


vine, Jim Jones, David Koresh), tetapi mereka juga tidak tampak benar-
benar gila. Jadi, tidak mungkinkah Yesus hanya keliru tentang jati diri-
Nya namun tidak gila? Seperti halnya banyak orang jenius, mungkin
Dia hanya eksentrik, aneh, atau sedikit gila saja.
Filsuf Kristen Ronald Nash menjelaskan hipotesis ini, “Ada kesa-
lahan-kesalahan kecil dan juga kesalahan-kesalahan besar, yang benar-
benar besar.”19 Jika seorang rabi Yahudi abad I yang mulai belajar ajaran
monoteisme Taurat yang keras menyebut diri-Nya Allah, tentu hal ini
merupakan kesalahan besar. Bahkan, kesalahan sebesar ini pasti akan
dirasakan di dalam Yudaisme sebagai pernyataan yang menghujat, dan
karena itu ia akan dijatuhi hukuman mati (Im. 24: 13-16). Jika Yesus
keliru tentang diri-Nya sebagai Mesias Israel, maka hal itu merupakan
penyimpangan realitas yang serius. Seorang apologet Kristen, John
Warwick Montgomery bertanya, “Kemunduran realitas apa yang lebih
besar daripada percaya pada keilahian seseorang yang ternyata bukan
Allah?”20
Meskipun pemimpin-pemimpin sekte tertentu telah menyebut diri
sebagai Allah, ada banyak bukti kuat bahwa mereka sengaja menipu.
Father Divine, Jim Jones, David Koresh, semuanya memberikan tanda-
tanda yang sangat jelas bahwa mereka telah didorong oleh kombinasi
keserakahan, kekuasaan, dan nafsu seksual. 21 Dan tidak satu pun dari
para pemimpin sekte ini dapat dibandingkan dengan Yesus dalam hal
kebajikan intelektual dan moral, apalagi dalam hal mandat Ilahi (mukjizat,
nubuat yang digenapi, kebangkitan).
Namun, bagaimana dengan para pemimpin agama yang berbudi luhur,
yang membuat klaim religius yang luar biasa? Sebagai contoh, Dalai
Lama, pemimpin biksu Tibet, mengaku sebagai Bodhisattva (inkarnasi
yang keempat belas dari tokoh yang menyerupai Buddha).22 Namun,
karena pernyataan yang agung ini, ia menerima Hadiah Nobel Perda-
maian pada tahun 1989. Tidakkah ia membuktikan bahwa pernyataan-
pernyataan keagamaan yang luar biasa tidak perlu disamakan dengan
kegilaan?
Sebenarnya situasi Yesus berbeda dengan Dalai Lama dalam tiga hal
penting. Pertama, meskipun pernyataan Dalai Lama itu agung, ia tidak
mengaku sebagai Allah yang menjadi manusia, Pencipta yang transenden,
142 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

dan Penebus dunia.23 Dalai Lama menyatakan bahwa dirinya hanya


memiliki kesadaran yang dicerahkan atau dibangunkan, tetapi naturnya
tetap manusia. Oleh sebab itu, klaim Yesus sebagai Mesias membawa
dimensi yang lebih besar. Kedua, pernyataan-pernyataan Yesus bahwa
diri-Nya adalah Allah adalah klaim yang terlarang bagi siapa pun dalam
pandangan agama ortodoks saat itu. Yesus tahu bahwa Dia akan meng-
hadapi perlawanan sengit, bahkan kematian. Meskipun Buddha Tibet
telah menderita penganiayaan nyata di wilayah mereka di dunia, hal itu
tidak disebabkan oleh klaim-klaim keagamaan pribadi Dalai Lama.
Pernyataan-pernyataannya tidak menyimpang dari arus utama tradisi
Buddhis. Itulah sebabnya klaim Yesus membawa risiko pribadi yang
jauh lebih besar. Ketiga, meskipun Dalai Lama mungkin orang yang
secara moral baik (berbeda dengan berbagai pemimpin sekte), ia tidak
dapat menandingi keteladanan Yesus yang luhur, dan yang jelas ia tidak
memiliki kualitas Ilahi seperti Yesus—terutama kuasa Yesus atas angin,
gelombang, penyakit, dan kematian—yang mencakup kebangkitan tubuh-
Nya yang bersejarah dari kematian (lih. Kebangkitan, bab 10).
Dan akhirnya, bahkan jika penyakit jiwa diukur menurut taraf kepa-
rahannya, Yesus sedikit pun tidak menunjukkan tanda-tanda ketidak-
stabilan mental atau berperilaku aneh. Bahkan sebaliknya. Psikiater
J. T. Fisher menarik kesimpulan ini:
Jika Anda menjumlahkan semua artikel yang berotoritas, yang pernah
ditulis oleh para psikolog dan psikiater paling andal tentang masalah
kesehatan mental—jika Anda menggabungkan semuanya dan menyaring
semuanya dan membuang hal-hal yang bertele-tele—jika Anda meng-
ambil seluruh dagingnya dan tidak mengambil peterselinya, dan jika
Anda memberikan potongan-potongan ilmu pengetahuan murni yang
tidak tercampur ini agar diungkapkan secara ringkas oleh penyair-
penyair paling andal yang masih hidup, Anda akan memiliki ringkasan
Khotbah di Bukit yang kurang baik dan tidak lengkap. Dan ringkasan
itu sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan Khotbah itu sendiri.
Selama hampir dua ribu tahun dunia Kristen telah menggenggam jawaban
yang lengkap untuk kerinduannya yang resah dan sia-sia.24
Bisakah cetak biru yang telah ditetapkan oleh orang yang sakit jiwa
atau bahkan oleh orang yang sedikit kurang stabil ini mengoptimalkan
kesehatan jiwa? Akal dan analisis informasi psikologis berkata tidak!
APAKAH YESUS ITU MANUSIA, MITOS, ORANG GILA, ANCAMAN, MISTIK, PENGHUNI MARS ATAU MESIAS? 143

Yesus melampaui semua kategori mengenai kesehatan mental manusia,


kestabilan emosi, dan kebajikan moral. Sebuah alasan yang kuat yang
menyimpulkan bahwa Yesus memang Allah yang berinkarnasi karena
Dia secara fundamental berbeda dari setiap manusia lainnya yang pernah
hidup. Bahkan Socrates, Buddha, dan Konghucu tidak dapat diban-
dingkan dengan diri-Nya. Bahkan, standar kebaikan manusia diukur
menurut kehidupan dan karakter-Nya.

Yesus menyebut diri-Nya sebagai Tuhan, tetapi Dia bermaksud


mengatakannya dalam arti mistis Timur bahwa “Semua manusia
bersifat Ilahi.” Oleh karena itu, Dia adalah seorang guru mistik.
Dengan pertumbuhan agama-agama Timur di Barat selama beberapa
dekade terakhir, seiring dengan munculnya New Age Movement, 25
beberapa orang (dan beberapa kelompok) sekarang menunjukkan bahwa
Yesus sesungguhnya adalah orang bijak yang mistis. Pendukung New Age
bahkan menunjukkan bahwa selama tahun-tahun yang konon hilang dalam
kehidupan Yesus (usia 12-30, sebelum pelayanan-Nya kepada masya-
rakat), Dia sebenarnya melakukan perjalanan ke Persia, Timur Dekat,
India, dan Tibet untuk belajar dari berbagai ahli yang terkenal.26 Karena
itu Yesus mengembangkan “kesadaran-Nya sebagai Kristus” dan kemam-
puan-Nya untuk membuat mukjizat selama perjalanan-Nya melalui mis-
tisisme Timur. Bagaimana pandangan yang menyatakan Yesus sebagai
sosok mistis ini dapat bertahan?
Pandangan ini sangat tidak masuk akal karena tiga alasan:
1. Sebagaimana dicatat oleh teolog Kristen sekaligus ahli New Age,
Ron Rhodes, “Tidak ada bukti historis yang menunjukkan bahwa Yesus
pernah pergi ke Timur.”27 Berbagai cerita tentang dugaan perjalanan
Yesus ke Timur bertentangan dan bukan fakta sejarah yang akurat.28
Cerita-cerita itu juga bertentangan dengan sejarah Injil yang mantap,
yang menyiratkan bahwa Yesus menghabiskan masa mudanya di Nazaret,
taat kepada orang tua-Nya dan hukum Yahudi, dan dengan teliti mem-
pelajari Kitab Suci Ibrani (Luk. 2:51-52). Teks-teks Alkitab menunjukkan
bahwa selama pelayanan Yesus kepada masyarakat, orang mengenali Dia
dan keluarga-Nya sebagai warga setempat dan bahkan mengakui Yesus
sebagai anak Yusuf, tukang kayu setempat (Mat. 13:55-56).
144 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

2. Inti keyakinan Yesus sebagai seorang Yahudi ortodoks, yang ber-


ulang kali ditegaskan-Nya, secara langsung bertentangan dengan banyak
keyakinan esensial agama-agama Timur.29 Sebagai contoh, Taurat secara
eksplisit mengutuk keyakinan agama-agama palsu seperti itu sebagai
politeisme dan panteisme (Kel. 20:3, 23; 34:14-15; Ul. 32:17), dan
sebaliknya mengajarkan monoteisme yang ketat (Ul. 4:35, 39; 6:4;
32:39). Kitab-Kitab Ibrani juga mengakui perbedaan yang tajam antara
Pencipta dan makhluk ciptaan (Kej. 1:26-27). Jadi, bertentangan lang-
sung dengan pemikiran Timur, manusia bukanlah allah. Selain itu, wahyu
PL berpusat pada masalah penebusan Ilahi (Mzm. 19:15; Yes. 44:6),
bukan penjelasan atas hal-hal yang bersifat mistis.
3. Para pendukung New Age secara konsisten salah menafsirkan
Alkitab dengan membaca teks berdasarkan konsep-konsep Timur.
Makna-makna semacam itu tidak memiliki dasar objektif dalam wahyu
Yahudi-Kristen. Terutama terlihat ketika para penganut New Age
memakai sistem esoteris mereka untuk menafsirkan Alkitab (menemukan
makna-makna yang mistis),30 mistisisme mengesampingkan rasionalitas
dan mengabaikan upaya-upaya untuk menemukan makna sejarah, tata
bahasa, dan konteks. Memandang Yesus sebagai seorang guru mistis
atau guru spiritual tidak memiliki dasar alkitabiah yang objektif.
Hipotesis penjelas ini tidak koheren, tidak sesuai fakta, dan hampir
secara eksklusif didasarkan pada anggapan yang tidak beralasan. Oleh
karena itu, hipotesis ini tidak bisa dianggap serius sebagai penjelasan
bagi kehidupan dan jati diri Yesus yang berasal dari Nazaret.

Yesus menyebut diri-Nya sebagai Allah, namun sebenarnya Ia


adalah “penghuni Mars,” yakni makhluk luar angkasa.
Beberapa orang mungkin akan terkejut bahwa ada orang yang benar-
benar memandang Yesus sebagai makhluk luar angkasa. Namun,
berbagai agama berbasis UFO telah mendukung cara pandang ini selama
beberapa dekade.31 Mengingat semakin populernya pandangan yang
berkaitan dengan UFO, hipotesis luar angkasa itu patut mendapat tang-
gapan. Keempat poin berikut ini menunjukkan kelemahan pandangan
ini:
APAKAH YESUS ITU MANUSIA, MITOS, ORANG GILA, ANCAMAN, MISTIK, PENGHUNI MARS ATAU MESIAS? 145

1. Pernyataan tentang kultus UFO yang dikaitkan dengan Yesus secara


langsung bertentangan dengan fakta dasar Kitab Suci yang bersejarah.
Menurut wahyu berbasis UFO yang dikatakan orang, Yesus bukanlah
manusia, melainkan pengunjung dari luar angkasa. Namun, kisah Alkitab
menggambarkan Yesus sebagai manusia nyata dengan daging dan darah
meskipun menurut pernyataan-Nya sendiri Dia bukan hanya manusia,
melainkan juga Allah-manusia. Kemanusiaan-Nya jelas ditegaskan di dalam
Injil (lih. Inkarnasi, bab 9). Sebagai contoh, Yesus dikandung secara
adikodrati, tetapi lahir secara alami. Dia memiliki nenek moyang manusia
dan mengalami pertumbuhan dan perkembangan normal sebagai manu-
sia. Yesus hidup dan mati sebagai manusia sejati. Dia sama sekali tidak
mengatakan apa-apa tentang UFO atau dunia lain di luar angkasa.
2. Agama-agama UFO berpusat pada keyakinan dan praktik okul-
tisme yang bertentangan dengan pandangan spesifik Yesus dan secara
tegas dikutuk di dalam Taurat Yahudi. Keyakinan dan praktik yang ter-
kait dengan UFO ini mencakup media “penghubung” yang dikenal dengan
nama makhluk luar angkasa, psikografi, telepati, teleportasi, demate-
rialisasi (proses yang digunakan untuk mengirim seseorang melalui per-
jalanan antarplanet), levitasi (membuat benda melayang melawan gra-
vitasi), dan psikokinesis.32 Semua praktik ini secara eksplisit dikutuk di
dalam Alkitab yang menjadi dasar kehidupan dan pelayanan Yesus (Kel.
22:18; Im.19:31; Ul. 18:10-12). Selanjutnya, pesan-pesan teologis yang
disebarluaskan oleh berbagai kultus UFO lebih cocok dengan mistisisme
New Age daripada pengajaran Alkitab.33
3. Di Alkitab, kultus UFO ditulis sebagai kultus interpretasi yang
bersifat subjektif dan esoteris, yang tidak mempunyai dasar tujuan yang
jelas dan tidak objektif. Akibatnya, Alkitab ditafsirkan berdasarkan
fenomena UFO, bukan menurut prinsip sejarah dan penafsiran yang
masuk akal.
4. Banyak kelompok berbasis UFO yang menganut hipotesis luar
angkasa mengenai piring terbang. Pandangan ini mengatakan bahwa
UFO merupakan realitas fisik yang objektif, dan bahwa kapal-kapal dari
logam dikemudikan oleh pengunjung-pengunjung luar angkasa antar-
planet. Namun, sudut pandang ini mengandung banyak kelemahan
yang tidak dapat diselesaikan secara ilmiah, filosofis, dan dalam hal
pembuktian.34
146 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

Memandang Yesus sebagai makhluk luar angkasa bukanlah teori


intelektual yang dapat dipercaya. Hal ini tidak sesuai dengan fakta,
melibatkan praduga yang luar biasa, dan tidak memiliki hubungan yang
logis.

Apakah Yesus Sebenarnya Mesias yang Ilahi dan Unik (Allah di


dalam Tubuh Manusia)?
Jika enam hipotesis yang telah dibahas adalah satu-satunya alter-
natif tentang identitas sejati Yesus dari Nazaret itu, maka dengan proses
eliminasi yang logis, pernyataan Kristen yang historis bahwa Yesus adalah
Allah yang menjelma menjadi manusia, dapat diterima (lih. tabel 8.1).

Tabel 8.1
Jati Diri Yesus: Siapakah Yesus?
Argumen Yesus (penalaran terhadap hipotesis penjelas yang terbaik)

1. Mitos: Kehidupan Yesus dan pernyataan tentang keilahian-Nya itu adalah


mitos.
Bantahan: Pandangan ini tidak sesuai dengan fakta sejarah yang solid
seputar peristiwa-peristiwa kehidupan dan pernyataan Yesus.
2. Manusia: Yesus hanyalah orang baik atau orang besar.
Bantahan: Pandangan ini tidak konsisten dengan pernyataan-pernyataan
dan tindakan-tindakan ilahi Yesus.
3. Ancaman: Yesus berbohong tentang diri-Nya sebagai Allah yang berinkarnasi.
Bantahan: Pandangan ini tidak konsisten dengan karakter dan pencapaian
Yesus (mukjizat, nubuat).
4. Orang gila: Yesus itu penderita psikotis dan oleh karena itu Dia tidak layak
menyatakan diri-Nya sebagai Allah.
Bantahan: Pandangan ini tidak konsisten dengan karakter dan kehidupan
Yesus.
5. Mistik: Yesus menyatakan diri sebagai Allah, namun dalam pengertian
mistis Timur. Jadi, Dia adalah seorang guru.
Bantahan: Pandangan ini tidak konsisten dengan keyakinan dan ajaran
Yesus.
6. Penghuni Mars: Yesus menyatakan diri sebagai Allah, tetapi sebenarnya Dia
bermaksud mengatakan bahwa Dia adalah penghuni Mars (makhluk luar
angkasa).
Bantahan: Pandangan ini didasarkan pada asumsi yang tidak beralasan
dan tidak sesuai dengan fakta kehidupan dan pengajaran Yesus.
7. Mesias: Sesungguhnya Yesus adalah Mesias. Pandangan ini konsisten
dengan fakta, koheren, dapat diuji, dan dengan demikian menjadi hipotesis
penjelas. Pandangan ini memiliki kekuatan dan kemampuan penjelas
yang riil.
APAKAH YESUS ITU MANUSIA, MITOS, ORANG GILA, ANCAMAN, MISTIK, PENGHUNI MARS ATAU MESIAS? 147

Meskipun penolakan-penolakan terhadap pandangan Kristen tradisional


tetap ada (lih. Inkarnasi, bab 9), penolakan-penolakan tersebut telah
dijawab dengan cukup baik. Jika orang tidak sewenang-wenang meng-
andaikan suatu pandangan dunia yang naturalistis (yang mengundang
pertanyaan), maka Yesus sebagai Allah yang berinkarnasi muncul sebagai
hipotesis penjelas yang unggul. Jika ada alternatif-alternatif lain yang
masuk akal, maka alternatif-alternatif tersebut harus dianalisis dengan
cara yang sama. Namun demikian, memandang Yesus dari Nazaret
sebagai Allah-manusia adalah satu-satunya hipotesis penjelas yang seka-
rang dan untuk selamanya sesuai dengan sejarah, psikologi, logika, intuisi
manusia, dan akal sehat.
Kualitas Yesus sebagai Mesias memang hebat––karakter pribadi yang
tak tertandingi, pengaruh yang tak terhitung jumlahnya dalam sejarah,
penggenapan nubuat, kekuatan untuk melakukan mukjizat, hikmat yang
luar biasa, kebangkitan tubuh, dan sebagainya. Alternatif-alternatif yang
menyangkal keilahian-Nya yang sejati tidak memberi penjelasan yang
memadai atas kualitas-Nya ini. Mengingat warisan-Nya, tampaknya
masuk akal untuk mengajukan pertanyaan yang sama tajamnya seperti
yang pernah Dia ajukan kepada murid-murid-Nya, “Tetapi apa katamu,
siapakah Aku ini?” (Mat. 16:15)
Topik menarik tentang Allah yang masuk ke dalam sejarah manusia
dengan menjadi manusia akan dibahas di dalam bab berikutnya.

Pertanyaan Diskusi
1. Dengan cara apakah baik langsung maupun tidak langsung Yesus
menyatakan diri-Nya sebagai Allah?
2. Bagaimana penalaran abduktif bisa membantu dalam menguji
berbagai pandangan yang ada tentang identitas Yesus?
3. Mengapa Yesus bukan orang baik jika Dia mengaku sebagai
Allah, padahal tidak demikian?
4. Dapatkah Anda memikirkan alternatif-alternatif masuk akal
lainnya tentang kemungkinan identitas Yesus?
5. Bagaimana orang bisa menggunakan pertanyaan Yesus “Siapa-
kah Aku ini?” sebagai sarana penginjilan dan apologetis yang
efektif kepada orang-orang yang tidak percaya?
148 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

Untuk Studi Lebih Lanjut


Corduan, Winfried. No Doubt about It: The Case for Christianity (Nashville:
Broadman & Holman, 1997).
Evans, C. Stephen. Why Believe? Reason and Mystery as Pointers to God (Grand
Rapids: Eerdmans, 1996).
Kreeft, Peter. Between Heaven and Hell (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1982).
Montgomery, John Warwick. History and Christianity (Minneapolis: Bethany,
1965).
Nash, Ronald. Worldviews in Conflict (Grand Rapids: Zondervan Publishing
House, 1992).
Stott, John R. W. Basic Christianity (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1980).
BAGAIMANA YESUS KRISTUS BISA MENJADI ALLAH
SEKALIGUS MANUSIA?

Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan.


––Kolose 2:9

Anak Allah menjadi manusia agar manusia menjadi anak-anak Allah.


––C. S. Lewis

D i seluruh dunia orang-orang merayakan klaim kebenaran kristiani


yang menakjubkan pada hari Natal––Allah menjadi manusia di dalam
diri Yesus dari Nazaret. Mungkin banyak para partisipan di masa liburan
Natal itu tidak memahami signifikansi perayaan itu, tetapi inkarnasi tetap
merupakan doktrin utama iman Kristen. Allah mengambil inisiatif dan
menjadi manusia untuk menebus umat manusia yang penuh dosa.
Ajaran yang menyatakan bahwa Sang Juruselamat dunia itu adalah
Allah sekaligus manusia merupakan klaim yang luar biasa. Meskipun
dalam hal-hal tertentu kebenaran tentang inkarnasi terbuka untuk diana-
lisis secara historis dan logis, fakta itu tetap diselimuti misteri. Untuk
alasan inilah para kritikus sejarah kekristenan kerap salah paham dan
salah menafsirkan inkarnasi tersebut. Watchtower Bible dan Tract Soci-
ety terang-terangan mengatakan bahwa doktrin tersebut bertentangan
dengan Alkitab, “Alkitab itu jelas dan konsisten mengenai hubungan antara
Allah dan Yesus. Allah Yehovah saja yang disebut Allah Yang Mahakuasa.
Dia menciptakan Yesus secara langsung. Jadi, Yesus memiliki awal

149
150 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

sehingga kedudukan-Nya takkan pernah bisa disamakan dengan Allah


dalam hal kekuasaan atau kekekalan.”1
Filsuf pluralis John Hick mempertanyakan kelayakan inkarnasi itu,
“Sampai sekarang hal itu belum dapat dibuktikan, setelah sekitar lima
belas abad upaya pembuktian yang tak putus-putusnya, untuk memper-
jelas pandangan bahwa Yesus memiliki dua natur yang lengkap, yakni
sebagai manusia sekaligus sebagai Allah.”2
Kesalahpahaman dan distorsi seperti ini memunculkan berbagai
pertanyaan kritis tentang dasar Alkitab, makna, perkembangan sejarah,
dan koherensi doktrin inkarnasi. Menanggapi masalah-masalah ini dapat
membantu orang untuk bertumbuh dalam pemahaman dan penghor-
matannya kepada Allah yang sekaligus manusia itu.

Sejarah Doktrin Agama Kristen tentang Inkarnasi


Pernyataan pengakuan iman yang paling penting tentang inkarnasi
adalah Kredo Kalsedon. Konsili Kalsedon (konsili ekumenis IV, tahun
451 M) meletakkan batas-batas dasar bagi pandangan ortodoks tentang
pribadi dan natur Kristus. Menurut konsili ini, Yesus Kristus adalah
pribadi Ilahi dalam dua natur (Allah dan manusia). Kredo Kalsedon
menjadi dan masih menjadi standar normatif bagi doktrin ortodoks ten-
tang Kristus. Seluruh umat Kristen (Katolik-Roma, Ortodoks Timur,
dan Protestan) meneguhkan rumusan Kalsedon bahwa Yesus Kristus
adalah Allah dan manusia. Kredo ini mengungkapkan doktrin tentang
kedua natur Kristus dengan cara sebagai berikut:
Kami sepenuhnya mengakui Kristus Yesus Tuhan kami yang satu dan
Anak Allah yang sama, yang sempurna dalam keilahian dan kema-
nusiaan, Allah dan sekaligus manusia sejati yang terdiri atas tubuh dan
jiwa yang berakal budi, yang sehakikat (konsubstansial) dengan Sang
Bapa dalam keilahian-Nya dan sehakikat dengan kita dalam kemanusiaan-
Nya, sama seperti kita dalam segala hal kecuali dalam hal dosa. Ia
adalah Putra tunggal Bapa yang sudah ada sebelum segala zaman, dan
telah lahir dari perawan Maria, theotokos [bunda Allah], demi kita dan
demi keselamatan kita. Dalam relasinya dengan kemanusiaan, Ia adalah
Kristus yang satu dan yang sama, Putra Allah, Tuhan, Anak Tunggal
Allah yang satu-satunya yang diakui dalam dua natur, yang tidak ter-
campuradukkan, tidak berubah, tidak terbagi, tidak terpisahkan.
Perbedaan antarnatur tidak hilang oleh kebersatuannya, akan tetapi
BAGAIMANA YESUS KRISTUS BISA MENJADI ALLAH SEKALIGUS MANUSIA? 151

karakter masing-masing dari kedua natur itu terlestarikan karena


keduanya berada dalam satu pribadi (prosopon) dan satu subsistensi
(hypostatic union), bukan seolah-olah Kristus telah dipisahkan atau
dibagi menjadi dua pribadi. Dia tetap Sang Putra yang satu dan sama,
dan satu-satunya Anak tunggal Allah, Sang Firman, Tuhan, Yesus Kristus.
Dialah yang sejak mula dibicarakan oleh para nabi, dan yang Tuhan kita
Yesus Kristus ajarkan kepada kami, dan yang Kredo para Bapa turunkan
kepada kami.3
Rumusan Kalsedon tidak menjelaskan bagaimana kedua natur itu
bersatu dalam satu pribadi, tetapi menetapkan parameter-parameter
teologis yang penting bagi Kristologi Alkitab ortodoks (doktrin tentang
pribadi dan natur Kristus). Dengan kata lain, pernyataan ini umumnya
memberitahu apa yang doktrin inkarnasi maksudkan atau tidak maksud-
kan, tetapi tetap membisu tentang betapa Kristus sebenarnya adalah
Allah dan manusia.

Pandangan Teistis Kristen tentang Allah


Doktrin inkarnasi dapat dipahami dengan benar hanya dalam lingkup
teologis yang lebih luas dari pandangan teistis Kristen. Allah yang
disingkapkan di dalam Kitab Suci dan kemudian diucapkan di dalam
kredo-kredo historis dan pengakuan iman Kristen adalah Tuhan satu-
satunya yang berdaulat dan penuh kemulian. Jadi, sejarah kekristenan
ini meneguhkan kepercayaan terhadap satu Allah yang kesempurnaan
dan kekekalan-Nya tidak terbatas, juga kepercayaan kepada Allah dengan
tiga pribadi, Sang Pencipta yang transenden, dan Pemelihara yang ber-
daulat atas alam semesta. Allah tritunggal yang kekal sekaligus eksis
sebagai tiga pribadi yang berbeda dan dapat dibedakan, tetapi bukan
merupakan individu-individu terpisah dan otonom: Bapa, Anak, dan Roh
Kudus (lih. bab 5). Ketiga pribadi itu berada dalam keilahian-Nya, atau
keberadaan-Nya sebagai Allah, yang memiliki satu natur Ilahi yang sama,
dan itu berarti Allah yang sama, yang sama kedudukannya dalam karak-
teristik, natur, dan kemuliaan. Selanjutnya, doktrin inkarnasi muncul
sesuai dengan pengajaran trinitas yang eksplisit ini.
Istilah inkarnasi, yang berasal dari bahasa Latin, secara harfiah berarti
“menjadi daging” (in carne dalam bahasa Latin, en sarki dalam bahasa
Yunani). Meskipun istilah ini tidak terdapat di dalam Kitab Suci sendiri,
152 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

padanan katanya dalam bahasa Yunani adalah (1Yoh. 4:2, “Yesus Kristus
telah datang sebagai manusia” [en sarki]). Doktrin inkarnasi merupakan
inti pemberitaan Injil di Alkitab, karena mengungkapkan pribadi dan
natur sejati Tuhan dan Juruselamat Yesus Kristus.
Doktrin ini mengajarkan bahwa Logos yang kekal (Sang Firman),
pribadi kedua Trinitas, tanpa mengurangi keilahian-Nya, telah sepenuh-
nya mengambil natur manusia bagi diri-Nya. Secara lebih spesifik, dok-
trin ini menjelaskan bahwa natur ilahi yang sepenuhnya dan tak berkurang
sedikit pun dan natur manusia yang sepenuhnya dan sempurna telah
bersatu tak terpisahkan di dalam satu pribadi yang historis dan Ilahi,
yakni Yesus dari Nazaret. Menurut Kitab Suci, Yesus Kristus adalah
Anak Allah di dalam daging manusia (theanthropos, Allah-manusia).

Persatuan Hipostasis
Sebagai Anak Allah yang berinkarnasi, Yesus Kristus adalah satu
pribadi dengan dua natur. Sesuai dengan Pengakuan Kalsedon, kedua
natur (Allah dan manusia) “tetap berbeda, utuh, dan tidak berubah, tanpa
campuran atau kekeliruan, sehingga satu pribadi, Yesus Kristus, adalah
Allah sejati dan manusia sejati.”4 Kristus sehakikat (homoousios) dengan
Bapa dalam keilahian-Nya dan sehakikat dengan manusia dalam kemanu-
siaan-Nya. Dua natur yang sempurna bersatu selamanya di dalam satu
pribadi (hipostasis) Yesus Kristus. Oleh karena itu, persatuan hipostasis
yang terjadi mengacu pada persatuan dua kodrat yang berbeda dalam
satu pribadi Yesus Kristus (tanpa membagi pribadi itu atau mengacaukan
kodratnya). Secara filosofis, sebagai Allah-manusia, Yesus Kristus adalah
“dua Apa” (yakni, “apa” yang Ilahi [atau natur] dan “apa” yang manusia
[atau natur]) dan “satu Siapa” (yakni, satu “pribadi” atau “diri”).

Kenosis
Konsep kenosis5 (dari kata Yunani ekenosen: Fil. 2:7 “melepaskan
diri,” atau “mengosongkan diri”) merupakan upaya untuk menjelaskan
bagaimana kedua natur Kristus berhubungan satu sama lain dalam
kaitannya dengan Allah yang menjadi manusia. Meskipun ada banyak
teori yang disebut sebagai teori kenosis di era modern, dua model teori
dipertimbangkan secara singkat di sini.
BAGAIMANA YESUS KRISTUS BISA MENJADI ALLAH SEKALIGUS MANUSIA? 153

Model kontemporer yang pertama menyatakan bahwa agar Yesus


benar-benar menjadi manusia, Dia harus melepaskan diri dari atribut-
atribut ilahi seperti mahakuasa, mahatahu, dan mahahadir. Teori kenosis
ini menafsirkan “mengosongkan diri” dalam Filipi 2:7 bahwa Kristus
melepaskan atribut-atribut Ilahi. Dengan demikian, Kristus yang ber-
inkarnasi itu lebih rendah daripada Allah, dan oleh sebab itu tidak benar-
benar setara dengan Allah.
Namun, posisi ini harus dianggap sebagai bidat karena jika setiap
atribut ilahi dihilangkan dari Allah Anak, maka Dia jelas bukan Allah.
Teolog Kristen, Bruce Milne mengidentifikasi persamaan bagi teori
kenosis yang sesat ini sebagai “Inkarnasi=Allah minus.”6 Posisi ini ber-
tentangan dengan Kitab Suci, juga bertentangan dengan banyak kredo
yang ada, dan karena itu ditolak oleh umat Kristen yang ortodoks secara
teologis.
Model teori kedua menunjukkan bahwa Kristus tidak melepaskan
atribut-atribut Ilahi-Nya, tetapi mempertahankan semua atribut Ilahi
melalui natur Ilahi-Nya. Namun, dalam persatuan dengan natur manusia,
Dia bisa bebas memilih untuk tidak mengambil atribut tertentu (atau
menggunakannya sesekali saja) selama tinggal di dunia sebagai manusia.
Menurut posisi ini, keilahian Yesus tetap tak berkurang. Pandangan ini
memahami Filipi 2:7 bukan sebagai pengosongan atribut secara harfiah,
melainkan sebagai tanda kerendahan hati Kristus yang telah dengan suka-
rela menyerahkan status dan kemuliaan yang menjadi milik-Nya di surga.
Tindakan ini lebih merupakan penyerahan kedudukan Ilahi daripada
kekuasaan Ilahi. Milne menamakan persamaan untuk pendekatan ini
sebagai “Inkarnasi=Allah Plus”7 karena Kristus mempertahankan keila-
hian-Nya namun mengenakan natur manusia sejati pada diri-Nya. Model
teori kedua ini memiliki dukungan alkitabiah dan tetap konsisten dengan
ortodoksi pengakuan iman.

Sepuluh Hal Penting tentang Inkarnasi


Sepuluh poin berikut ini meringkas informasi penting tentang inkar-
nasi dan dapat membantu orang berpikir melalui unsur-unsur doktrin
yang paling penting:8
154 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

1. Yesus Kristus adalah satu pribadi yang memiliki dua natur yang
berbeda: natur yang sepenuhnya Allah dan natur yang sepenuhnya
manusia (kesatuan dalam pribadi dan dualitas dalam natur).
Dengan demikian, pribadi historis Yesus dari Nazaret adalah
Allah-manusia.
2. Meskipun Kristus memiliki dua natur, Dia tetap merupakan
kesatuan pribadi yang tunggal (bukan dua pribadi yang berbeda).
Natur manusia-Nya hanya ada untuk tujuan persatuan ini, dan
tidak memiliki subsistensi personal yang independen. Kristus
adalah pribadi yang sama, baik sebelum dan sesudah inkarnasi.
Perbedaannya sebelum inkarnasi Dia hanya memiliki satu natur,
yakni natur Ilahi. Setelah inkarnasi, Anak Allah ini menambahkan
satu natur lagi pada diri-Nya—natur manusia—yang ada bersama-
sama dengan natur ilahi yang sudah dimiliki-Nya dan senantiasa
dimiliki-Nya. Meskipun Yesus Kristus memiliki kesadaran Ilahi
dan kesadaran manusia (dan dua kehendak, Ilahi dan manusia,
karena adanya dua natur itu), tetapi Dia tetap satu pribadi. Orto-
doksi Kristen menolak bidat Nestorian yang mengajarkan bahwa
ada dua pribadi yang terpisah di dalam Kristus.
3. Melalui natur Ilahi-Nya, Yesus Kristus adalah Anak Allah, pribadi
kedua dari Trinitas yang berinkarnasi, yang dengan sepenuhnya
dan bersama-sama berbagi satu esensi Ilahi dengan Bapa dan Roh
Kudus. Ortodoksi Kristen menolak bidat Arianisme yang meman-
dang Yesus hanya sebagai makhluk yang menyerupai Allah.
4. Melalui natur manusia, Yesus Kristus adalah manusia sepenuh-
nya, dan memiliki semua karakteristik penting manusia sejati.
Ortodoksi Kristen menolak Doketisme, yang menyangkal
kemanusiaan sejati Kristus.
5. Sifat atau karakteristik kedua natur ini mungkin lebih tepat dise-
but sebagai satu pribadi. Dengan kata lain, pribadi Yesus Kristus
yang satu itu mempertahankan semua karakteristik kedua natur
(mis., melalui natur Ilahi-Nya Dia mahatahu, sementara secara
bersamaan melalui natur manusia-Nya Dia mungkin tidak memi-
liki pengetahuan). Melalui konsepsi Kristus yang ajaib [oleh Roh
Kudus], Dia tidak mewarisi natur keberdosaan manusia.
BAGAIMANA YESUS KRISTUS BISA MENJADI ALLAH SEKALIGUS MANUSIA? 155

6. Persatuan kedua natur itu berbicara tentang persatuan pribadi,


tidak sampai masuk ke dalam batin, atau kontak sekadarnya atau
keberadaan dalam ruang. Hal ini mirip dengan penyatuan tubuh
dan jiwa di dalam diri manusia.
7. Kedua natur itu sebagai satu substansi (coinhere) atau saling mema-
hami (interpenetrate) dalam persatuan yang sempurna sehingga
manusia tidak pernah tanpa Allah atau Allah tanpa manusia.
Namun, natur-natur itu tidak bercampur atau berbaur.
8. Kedua natur, sebagai Allah dan manusia, berbeda tetapi bersatu
dan tak terpisahkan dalam satu pribadi. Kedua natur memper-
tahankan atribut atau sifatnya masing-masing dan dengan demi-
kian tidak bercampur baur. Ortodoksi Kristen menolak bidat
Eutychian yang mencampur dua natur Kristus bersama-sama
untuk membentuk satu natur hibrida (Monofisitisme: satu natur).
9. Natur manusia tidak di-Allah-kan, dan natur dari Allah tidak
di-manusia-kan atau tunduk pada keterbatasan manusia.
10. Kata natur mengacu pada esensi atau hakikat, dan kedua natur
ini tidak dapat dipisahkan, tidak dapat bercampur, dan tidak dapat
berubah.

Pertanyaan-Pertanyaan Penting
Kesepuluh poin esensial dasar ini memicu timbulnya beberapa perta-
nyaan penting tentang doktrin inkarnasi.

Karena tidak ada bagian di dalam PB yang menunjukkan Yesus


Kristus benar-benar berkata “Akulah Allah,” bagaimana kekristenan
merumuskan doktrin inkarnasi?
Doktrin ini muncul dari refleksi yang kritis dan berkelanjutan dari
gereja Kristen terhadap bukti alkitabiah yang berlimpah yang menyatakan
bahwa Yesus memang Allah dan manusia. Para rasul [Yesus] adalah
penganut-penganut monoteisme Yahudi, tetapi mereka tetap yakin bahwa
meskipun Yesus seorang manusia, Dia bukan hanya sekadar seorang
manusia. Bahkan, rasul-rasul yang sama ini menempatkan Yesus sebagai
Yahweh dalam tulisan-tulisan mereka di Kitab Suci. Mereka sampai
pada keyakinan menakjubkan bahwa bertemu dengan Yesus dari Nazaret
sama dengan bertemu dengan Allah dalam rupa manusia. Meskipun
156 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

tidak ada bagian khusus yang mencatat bahwa Yesus berkata “Akulah
Allah,” setidaknya tujuh (dan mungkin sebanyak sepuluh) referensi spe-
sifik PB menyebut Yesus sebagai Allah (Yun.: theos).9 Alkitab benar-
benar mendukung keilahian dan kemanusiaan Yesus Kristus.
Ratusan ayat mendukung doktrin inkarnasi.10 Sebuah survei singkat
yang mendasari materi doktrin Kristen yang khas dan penting, diberikan
di bawah ini pada “Dukungan alkitabiah terhadap keilahian Kristus”
dan “Dukungan alkitabiah terhadap kemanusiaan Kristus.” Selain teks,
empat bagian khusus secara eksplisit mengajarkan doktrin inkarnasi
(tetapi lih. juga Rm. 1:2-5, 9:5; 1Tim. 3:16; Ibr. 2:14, 5:7; 1Yoh. 1:1-3):

Dukungan alkitabiah terhadap keilahian Kristus


Alkitab membuktikan dengan berbagai cara tentang keilahian sepenuhnya dan tidak
berkurang sedikit pun pada diri Yesus Kristus. Materi berikut ini hanya mewakili
sebagian:11
Sebutan Ilahi yang dinyatakan oleh Yesus Kristus atau dikaitkan dengan-Nya12
Allah (Yoh. 1:1, 18; 20:28; Rm. 9:5; Tit. 2:13; Ibr. 1:8; 2Ptr. 1:1)
Tuhan (Mrk. 12:35-37; Yoh. 20:28; Rm. 10:9-13; 1Kor. 8:5-6; 12:3; Flp. 2:11)
Mesias (Mat. 16:16; Mrk. 14:61; Yoh. 20:31)
Anak Allah (Mat. 11:27; Mrk. 15:39; Yoh. 1:18; Rm. 1:4; Gal. 4:4; Ibr. 1:2)
Anak Manusia (Mat. 16:28; 24:30; Mrk. 8:38; 14:62-64; Kis. 7:56; bdk. Dan. 7:
13-14)
Hak prerogatif atau tindakan Allah di dalam PL yang dinyatakan oleh Yesus
Kristus atau dikaitkan dengan-Nya
Ibadah Allah (Yes. 45:23 / Flp. 2:10-11)
Keselamatan Allah (Yl. 2:32 / Rm. 10:13)
Penghakiman Allah (Yes. 6:10 / Yoh. 12:41)
Kodrat Allah (Kel. 3:14 / Yoh. 8:58)
Kemenangan Allah (Mzm. 68:19 / Ef. 4:8)
Nama, perbuatan, atau peran Ilahi yang dinyatakan oleh Yesus Kristus atau
dikaitkan dengan-Nya
Pencipta (Yoh. 1:3; Kol. 1:16; Ibr. 1:2,10-12)
Pemelihara (1Kor. 8:6; Kol. 1:17; Ibr. 1:3)
Penguasa yang universal (Mat. 28:18; Rm. 14:9; Why. 1:5)
Pemberi pengampunan dosa (Mrk. 2:5-7; Luk. 24:47; Kis. 5:31; Kol. 3:13)
Yang membangkitkan orang mati (Luk. 7:11-17; Yoh. 5:21; 6:40)
Objek doa (Yoh. 14:14; Kis.1 :24; 7:59-60; 1Kor. 1:2; 2Kor. 12:8-9)
BAGAIMANA YESUS KRISTUS BISA MENJADI ALLAH SEKALIGUS MANUSIA? 157

Objek penyembahan (Mat. 28:16-17; Yoh. 5:23; 20:28; Flp. 2:10-11; Ibr. 1:6)
Objek iman yang menyelamatkan (Yoh. 14:1; Kis. 10:43; 16:31; Rm. 10:8-13)
Gambar dan representasi Allah (Kol. 1:15; Ibr. 1:3)
Karakteristik atau sifat Ilahi yang dinyatakan oleh Yesus Kristus atau dikaitkan
dengan-Nya
Keberadaan kekal (Yoh. 1:1, 8:58; 17:5; 1Kor. 10:4; Kol. 1:17; Ibr. 13:8)
Keberadaan diri (Yoh. 1:3; 5:26; Kol. 1:16; Ibr. 1:2)
Kekekalan (Ibr. 1:10-12; 13:8)
Mahahadir (Mat. 18:20; 28:20; Ef. 1:23; 4:10; Kol. 3:11)
Mahatahu (Mrk.2:8; Luk. 9:47; Yoh. 2:25; 4:18; 16:30; Kol. 2:3)
Mahakuasa (Yoh. 1:3; 2:19; Kol. 1:16-17; Ibr. 1:2)
Kedaulatan (Flp. 2:9-11; 1Ptr. 3:22; Why. 19:16)
Otoritas (Mat. 28:18; Ef. 1:22)
Kehidupan di dalam diri-Nya (Yoh. 1:4; 5:26; Kis.3:15)

Dukungan alkitabiah terhadap kemanusiaan Kristus


Alkitab membuktikan dengan berbagai cara tentang kemanusiaan sepenuhnya dan
esensial pada diri Yesus Kristus. Materi berikut ini merupakan dukungan
alkitabiah terhadap kemanusiaan Kristus:13
Yesus Kristus menyebut diri-Nya (atau orang lain menyebut Dia sebagai)
seorang manusia
Selama pelayanan-Nya di dunia (Yoh. 8:40; Kis. 2:22; 1Kor. 15:21; Flp. 2:7-8)
Setelah kebangkitan-Nya (Kis. 17:31; 1Kor. 15:47; 1Tim. 2:5; Ibr. 2:14)
Yesus Kristus dikandung secara adikodrati namun lahir secara alami (Mat.
1:25; Luk. 2:7; Gal. 4:4)
Yesus Kristus memiliki garis keturunan (Mat. 1; Luk. 3)
Yesus Kristus mengalami pertumbuhan dan perkembangan normal (Luk. 2:
40-52; Ibr. 5:8)
Yesus Kristus tunduk pada keterbatasan fisik yang nyata
Kelelahan (Yoh. 4:6)
Kelaparan (Mat. 21:18)
Perlu untuk tidur (Mat. 8:24)
Haus (Yoh. 19:28)
Berkeringat (Luk. 22:44)
Mengalami pencobaan (Mat. 4:1-11)
Kurang pengetahuan (Mrk. 5:30-32; 13:32)
158 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

Yesus Kristus mengalami sakit fisik dan kematian (Mrk. 14:33-36; Luk. 17:25;
22:63; 23:33; Yoh. 19:30)
Yesus Kristus menunjukkan betapa Dia memiliki berbagai macam emosi
manusia
Sukacita (Luk. 10:21; Yoh. 17:13)
Kesedihan (Mat. 26:37)
Persahabatan (Yoh. 11:5)
Belas kasihan (Mrk. 1:40-41)
Menangis (Yoh. 11:35)
Keheranan (Luk. 7:9)
Kemarahan (Mrk. 3:5; 10:14)
Kesepian (Mrk. 14:32-42; 15:34)
Yesus Kristus memiliki semua kualitas esensial manusia
Tubuh (Mat. 26:12)
Tulang (Luk. 24:39)
Daging (Luk. 24:39)
Darah (Mat. 26:28)
Jiwa (Mat. 26:38)
Kehendak (Yoh. 5:30)
Roh (Yoh. 11:33)

Selain dukungan ayat Alkitab di atas, ada empat ayat Alkitab yang
secara khusus mengajarkan doktrin inkarnasi.
1. “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh.
1:14). Injil Yohanes secara eksplisit mengungkapkan bahwa Sang Firman
(Kristus yang sudah ada sebelum berinkarnasi), yang bersama dengan
Allah dan adalah Allah (Yoh. 1:1), kini telah menjadi manusia (sarx
egeneto). Ayat dalam bahasa Yunani itu dapat diterjemahkan secara har-
fiah, “Firman itu telah menjadi daging sebagai seorang manusia dan untuk
sementara tinggal di antara kita.”14
2. “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan
perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam
rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik
yang harus dipertahankan” (Flp. 2:5-6). Di dalam ayat ini, rasul Paulus
berbicara tentang Yesus Kristus yang memiliki natur atau bentuk Allah
(en morphe theou) sebelum menjadi manusia. Dia yang memiliki (dan
tidak perlu “merebut”) hak prerogatif dan status Ilahi, telah merendahkan
BAGAIMANA YESUS KRISTUS BISA MENJADI ALLAH SEKALIGUS MANUSIA? 159

diri-Nya dan, sebagai tindakan pelayanan, sepenuhnya mengambil natur


manusia bagi diri-Nya.
3. “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan
ke-Allahan” (Kol. 2:9). Rasul Paulus menyatakan dengan tegas di sini
bahwa esensi-Nya yang sepenuhnya Allah itu berada dalam persatuan
dengan natur manusia Yesus Kristus. Dalam konteksnya, Paulus menang-
gapi langsung bidat Gnostik, yang mentah-mentah membantah bahwa
Kristus telah datang sebagai manusia. Doktrin inkarnasi jelas merupakan
ciri utama pengajaran Rasul Paulus.
4. “Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku,
bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah,”
(1Yoh. 4:2). Di sini Rasul Yohanes juga menanggapi ajaran Gnostik
dengan menegaskan bahwa ajaran Kristen yang benar harus mencakup
doktrin inkarnasi. Bahkan, ia menegaskan bahwa inkarnasi adalah tes
ortodoksi Kristen (keyakinan yang benar).

Jika Yesus Kristus adalah Allah dan karena itu natur-Nya setara
dengan Bapa, lalu bagaimana menjelaskan beberapa ayat di dalam
PB yang tampaknya menempatkan Kristus lebih rendah daripada
Bapa?
Kelompok-kelompok tertentu, baik pada zaman dulu maupun seka-
rang, menolak keilahian Kristus (dan tentunya juga doktrin Trinitas)
karena mereka percaya bahwa Kristus lebih rendah (inferior) daripada
Bapa di dalam natur atau esensi. Mereka yang menganut pandangan ini
(subordinasionisme) biasanya menunjukkan beberapa ayat yang, pada
pengujian awal, tampaknya memberi kesan bahwa Kristus lebih rendah
dari Allah Bapa. Namun, ketika dipahami dalam konteks teologis yang
tepat, ayat-ayat ini tidak mendukung pandangan tersebut. Sebelum
menguji beberapa ayat ini, dua syarat teologis harus ditekankan.
Pertama, selama kehidupan-Nya di dunia, Yesus Kristus merendahkan
diri, mengambil peran seorang hamba. Sebagai manusia, Yesus memilih
untuk tidak mempertahankan status dan kemuliaan Allah. Oleh karena
itu, dalam peran-Nya sebagai hamba, Dia menyerahkan kepada Bapa
dan mengatakan bahwa Bapa lebih besar daripada-Nya. Namun, Bapa
lebih besar hanya dalam kedudukan, peran, atau “pangkat” (fungsi), tetapi
tidak lebih besar dalam hal natur (esensi).
160 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

Kedua, sebagai seorang manusia (melalui natur manusianya), Yesus


Kristus selalu menghormati Bapa sebagai Allah-Nya. Kredo Athanasius
menyatakan bahwa Kristus “setara dengan Bapa dalam keilahian-Nya,
lebih rendah dari Bapa dalam kemanusiaan-Nya.”
Empat ayat yang disebut subordinasionis dan berbagai tanggapan
atas keempatnya itu adalah sebagai berikut:15
1. “Bapa lebih besar daripada Aku” (Yoh. 14:28). Ketika Yesus
mengucapkan kata-kata ini kepada para murid pada saat berbicara di
ruang atas (Yoh. 14), Dia secara langsung mengungkapkan suatu natur
atau esensi yang lebih rendah. Di banyak kejadian yang dicatat di dalam
Injil Yohanes, Yesus dengan jelas menempatkan diri-Nya setingkat dengan
Yahweh (Yoh. 5:17; 8:58, 10:30). Sebaliknya, Dia juga berbicara tentang
Bapa yang lebih besar daripada diri-Nya. Karena dengan berinkarnasi,
Yesus telah merendahkan diri-Nya untuk melayani Bapa-Nya demi meme-
nuhi rencana penebusan Ilahi. Dengan melepaskan hak-hak istimewa
sebagai Allah dan menyelubungi kemuliaan Ilahi-Nya, Yesus menerima
peran atau posisi sebagai manusia, lebih rendah daripada Bapa dalam
hal pangkat, tetapi tidak pernah lebih rendah dalam hal esensi.
2. “Allah-Ku dan Allahmu” (Yoh. 20:17). Setelah Yesus bangkit dari
kematian dan menampakkan diri kepada Maria, Dia kemudian berkata,
“Sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-
Ku dan Allahmu” (Yoh. 20:17). Bagaimana mungkin Yesus bisa menyebut
Bapa “Allah-ku” jika Dia adalah Allah? Jawabannya cukup sederhana.
Yesus Kristus juga memiliki natur manusia, dan sebagai manusia Dia
dapat menyebut Bapa sebagai Allah-Nya. Kredo Kalsedon dan Athanasius
menyatakan bahwa berkenaan dengan kemanusiaan Kristus, Dia lebih
rendah daripada Bapa di dalam natur. Bagian ini tidak mengungkapkan
penolakan terhadap penyebutan Yesus Kristus sebagai Allah Anak di
dalam agama Kristen yang historis itu.
3. “Yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan” (Kol. 1:15).
Mengenai Yesus Kristus, Rasul Paulus berkata, “Ia adalah gambar Allah
yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang dicip-
takan.” Sebagian orang menafsirkan ayat ini sebagai penegasan bahwa
Yesus Kristus memiliki awal dalam waktu dan karena itu Dia adalah
makhluk yang diciptakan oleh Allah. Namun, penelitian yang cermat
terhadap ayat ini menunjukkan bahwa penafsiran seperti itu keliru. Kata
BAGAIMANA YESUS KRISTUS BISA MENJADI ALLAH SEKALIGUS MANUSIA? 161

“anak sulung” (dalam bahasa Yunani, prototokos) dalam konteks ini tidak
berarti “anak pertama.” Sebaliknya, anak sulung di sini mau menerang-
kan tentang yang pertama dalam hal kedudukan, pewaris, atau keung-
gulan. Seperti pewaris sulung dalam keluarga Yahudi, Sang Anak (Kris-
tus) adalah pewaris dari semua ciptaan.
4. “Kepala dari Kristus ialah Allah” (1Kor. 11:3). Rasul Paulus
menulis di dalam 1 Korintus 11:3, “Tetapi aku mau, supaya kamu
mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus,
kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah
Allah.” Ayat ini tidak mengajarkan bahwa Kristus lebih rendah dalam
esensi daripada Bapa. Ayat ini mengajarkan tentang otoritas fungsional
yang sesuai, bukan tentang inferioritas keberadaan. Paulus menyatakan
bahwa kepala (yang berotoritas) dari perempuan adalah laki-laki meski-
pun laki-laki dan perempuan setara sebagai ciptaan karena keduanya
diciptakan menurut gambar Allah (Kej. 1:26-28), dan dengan demikian
sama-sama memiliki martabat dan nilai-nilai moral yang melekat. Namun,
ayat ini menunjukkan bahwa kepatuhan fungsional dan/atau sukarela,
selaras dengan kesetaraan keberadaan. Kristus lebih rendah daripada
Bapa, tetapi kepatuhan ini bersifat sukarela dan merupakan ciri peran
Kristus sebagai hamba ketika berada di Bumi.

Mengapa doktrin inkarnasi itu penting?


Telah dikatakan sebelumnya bahwa “kekristenan itu adalah Kristus.”
Pernyataan ini berarti bahwa Kristus adalah pusat sejarah dari iman
Kristen. Berita Injil adalah segala sesuatu tentang pribadi, natur, dan
karya Yesus Kristus. Sebaliknya, jika Buddha atau Confusius, misalnya,
dicabut dari masing-masing agama mereka, agama-agama itu akan
mempertahankan esensi pengajaran moral Buddha maupun Confusius.
Namun, jika pribadi Kristus dicabut dari agama Kristen, maka takkan
ada kekhasan yang tersisa.
Menurut kristosentris ini, doktrin inkarnasi sangat bermakna bagi
orang Kristen. Secara langsung karena identitas-Nya (sebagai Allah-
manusia) Yesus mampu melakukan karya penebusan-Nya (lih. pada bab
11). Allah Putra, pribadi kedua Trinitas, mengambil natur manusia dan
memasuki dunia ruang dan waktu. Dengan hidup dan bersikap terbuka
terhadap investigasi historis, Dia berkurban bagi umat manusia yang
162 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

berdosa. Sebagai Allah-manusia, Yesus sendiri mampu mewakili Allah


dan manusia dan memberikan penebusan melalui kehidupan-Nya yang
sempurna, kematian-Nya yang penuh pengurbanan, dan kebangkitan
tubuh-Nya yang mulia dari kematian.
Karena Kristus adalah inti doktrin dan kebenaran Kristen, identitas-
Nya sangat penting. Oleh sebab itu, doktrin inkarnasi, yang meng-
ungkapkan identitas-Nya, menjadi dasar dari semua ajaran Kristen.
Analisis menyeluruh dari beberapa prinsip utama kekristenan menun-
jukkan hubungan inti ini:16
 Keberadaan dan karakteristik Allah: Orang mungkin mengetahui
banyak hal penting tentang Allah melalui wahyu umum (melalui
tatanan yang diciptakan, urutan sejarah yang sudah diberikan oleh
Allah, dan hati nurani manusia). Namun, tanpa inkarnasi, ber-
bicara tentang Allah dengan berlandaskan itu saja akan sangat
spekulatif dan mengenal Allah secara pribadi menjadi nyaris
mustahil. Allah diungkapkan secara pribadi, intim, unik, dan tegas
di dalam inkarnasi Yesus Kristus. Sifat-sifat Allah ditunjukkan
secara pribadi di dalam hidup-Nya.
 Trinitas: Dua pribadi lain dari keallahan-Nya—Bapa dan Roh
Kudus—secara unik dipahami dan dihargai dalam hubungannya
dengan pribadi dan natur Kristus yang telah dinyatakan. Inkarnasi
menjelaskan kebenaran besar tentang natur Tritunggal Allah.
 Penebusan: Hanya Yesus Kristus, Allah dan manusia, yang mampu
memberikan diri-Nya sebagai kurban yang efektif, yang menda-
maikan Allah yang kudus dengan manusia yang berdosa. Kristus
dapat melakukan apa yang dilakukan-Nya sebagai Penebus (seba-
gai Juruselamat) karena natur-Nya (Allah-manusia).
 Kebangkitan: Makhluk ciptaan biasa tidak memiliki kuasa atas
kematian. Kebangkitan tubuh yang mengalahkan kematian hanya
mungkin dilakukan oleh Allah-manusia (Yoh. 2:19; Kis.2:24; Rm.
1:3-4).
 Pembenaran: Manusia dibenarkan di hadapan Allah melalui iman
(kepercayaan pribadi) kepada pribadi Yesus Kristus. Dasar pene-
busan umat manusia di hadapan Bapa secara langsung terkait
dengan tindakan Juruselamat Allah-manusia di kayu salib.
BAGAIMANA YESUS KRISTUS BISA MENJADI ALLAH SEKALIGUS MANUSIA? 163

Doktrin inkarnasi menyentuh dan memengaruhi setiap bidang


teologi Kristen. Mengubah atau merusak identitas Yesus Kristus sama
dengan mengubah dan menghancurkan esensi iman Kristen (2Kor. 11:
3-4; Gal. 1:6-9). Yesus secara khusus memerintahkan murid-murid-
Nya dan orang-orang lainnya untuk mempertimbangkan dan merenung-
kan identitas-Nya (Mat. 16:13-16; 22:41-46; bdk. Mzm.110). Yesus
memperingatkan beberapa pemimpin Yahudi pada zaman-Nya bahwa
tujuan kekekalan mereka tergantung pada apakah mereka akan meng-
akui dan menerima-Nya sebagaimana Dia yang sebenarnya (Yoh. 8:
23-24, 28, 52-53, 57-58). Yesus dan para rasul juga memperingatkan
jemaat tentang bahaya Kristus-Kristus palsu yang akan selalu muncul
(Mat. 24:4-5, 11, 23-24; 2Kor. 11:3-4, 13-14; Gal. 1:6-9; 1Tim. 4:1-2;
2Tim. 4:3; 2Ptr. 2:1-2; 1Yoh. 2:22-23; 4:1-3; Yud. 3).

Bukankah ada individu-individu dan kelompok-kelompok yang


pada awalnya menantang dan/atau menolak pandangan ortodoks
mengenai pribadi dan natur Kristus?
Kontroversi-kontroversi doktrinal yang utama pada beberapa abad
I dalam sejarah gereja Kristen berfokus pada isu-isu kristologis (perta-
nyaan mengenai pribadi dan natur Kristus). Penjelasan singkat tentang
bidat-bidat ini, yang mencakup apa yang mereka ajarkan tentang Kristus,
bagaimana mereka berbeda dari ortodoksi, dan bagaimana ortodoksi
Kristen menanggapinya (lih. bab 5 untuk bidat-bidat Trinitas) adalah
sebagai berikut:
Bidat-bidat Kristologis Kuno
 Doketisme: Sebagai bentuk awal Gnostisisme, pandangan ini
menegaskan semacam dualisme (keyakinan bahwa materi itu jahat
dan roh itu baik).17 Para penganut doketisme bersikeras bahwa
Yesus hanya tampaknya manusia (dari bahasa Yunani dokeo—
”tampaknya”), dan menyatakan bahwa Yesus memiliki “tubuh
seperti hantu” dan menyangkal bahwa Dia benar-benar manusia.
Para rasul menemukan bidat ini pada abad I dan tanggapan mereka
muncul dalam 1 Yohanes 4:1-3.
 Ebionisme: Menurut pandangan ini, Yesus adalah manusia biasa,
nabi, tetapi anak Yusuf dan Maria (bukan kelahiran dari seorang
perawan). Jadi Ebionisme (pandangan yang ditelusuri sampai
164 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

abad II) dengan tegas menyangkal keilahian sejati Kristus. Posisi


ini ditolak oleh pengakuan-pengakuan iman Kristen yang muncul
kemudian.
 Arianisme: Arius dari Alexandria (256-336 M ) membantah
dengan mengatakan bahwa Yesus itu seperti sehakikat (homo-
iousios) dengan Bapa, tetapi bukan dari hakikat yang sama (homo-
ousios). Yesus dipandang sebagai ciptaan yang pertama dan ter-
besar dari Allah, jadi bukan sebagai Allah yang sejati. Bidat yang
berpengaruh ini, yang berhasil ditundukkan oleh bapa gereja
kuno Athanasius (ca. 296-373 M), untuk pertama kali dikutuk
secara resmi di dalam Konsili Nicea (325 M).
 Apolinarianisme: Mengikuti Apolinarius (lahir ca. 310 M), uskup
Laodikia, beberapa teolog mengajarkan bahwa dalam inkarnasi,
Logos Ilahi mengambil tempat di dalam jiwa manusia atau jiwa
Kristus. Yesus adalah manusia hanya dalam tubuh jasmani-Nya,
tetapi tidak dalam hal lainnya. Jadi, Apolinarianisme menegas-
kan keilahian Kristus tetapi membantah kemanusiaan-Nya yang
sejati dan utuh. Bidat ini dikutuk pada Konsili Konstantinopel
(381 M).
 Nestorianisme: Pandangan ini, yang terkait dengan Nestorius
(meninggal 451 M), menegaskan keilahian dan kemanusiaan
Kristus, tetapi melihat persatuan di antara natur-Nya hanya sebagai
persatuan moral dan/atau simpatik, dan bukan sebagai persatuan
pribadi yang sesungguhnya. Posisi ini merupakan penekanan yang
berlebihan pada kekhasan dari kedua natur. Akibatnya, Yesus
menjadi dua pribadi dengan dua natur, sedangkan pandangan
ortodoks memandang-Nya sebagai satu pribadi dengan dua natur.
Bidat ini dikutuk pada Konsili Efesus (431 M).
 Eutikhianisme: Dikembangkan oleh Eutychianisme (ca. 378-
454 M), pandangan ini menyatakan bahwa Kristus memiliki satu
natur campuran atau senyawa. Dua natur bergabung untuk mem-
bentuk natur tunggal yang bukan Ilahi dan bukan manusia (zat
ketiga). Pandangan ini merupakan penekanan yang berlebihan
pada persatuan natur. Bidat ini dikutuk dalam Konsili Kalsedon
(451 M) dan sekali lagi di Konsili III di Konstantinopel (680 M).
BAGAIMANA YESUS KRISTUS BISA MENJADI ALLAH SEKALIGUS MANUSIA? 165

 Monofisitisme: Pandangan ini menyatakan bahwa Kristus hanya


memiliki satu natur, dengan alasan bahwa natur manusia-Nya
diserap ke dalam natur Ilahi-Nya. Bidat ini dikutuk pada Konsili
III di Konstantinopel (680 M).
 Monotelitisme: Pandangan ini menyatakan bahwa Kristus hanya
memiliki satu kehendak. Pandangan ortodoks menyatakan bahwa
jika Kristus memiliki dua natur, Dia pasti memiliki dua kehendak
meskipun kehendak manusia-Nya akan menyesuaikan diri dalam
segala hal dengan kehendak Ilahi-Nya. Monotelitisme juga diku-
tuk dalam Konsili III di Konstantinopel.

Bukankah konsep inkarnasi (satu pribadi dalam natur sebagai


Allah dan manusia) secara logis tidak koheren?
Doktrin inkarnasi, di mana natur Allah bersatu dengan natur manusia
di dalam satu pribadi, Yesus Kristus, tetap merupakan misteri yang tidak
terbayangkan. Hal ini mungkin memang misteri Kristen yang paling
mendalam dari semuanya. Namun, meskipun inkarnasi tidak bisa dime-
ngerti oleh pikiran yang terbatas, hal itu tidak dapat ditolak dengan meng-
anggapnya sebagai sesuatu yang membingungkan atau tidak masuk akal.
Kebenaran yang diwahyukan memang di luar akal sehat, tetapi tidak
pernah melawan akal sehat karena Allah adalah sumber dan dasar rasio-
nalitas itu sendiri.
Beberapa orang berpendapat bahwa inkarnasi tidak masuk akal
karena menegaskan bahwa hal yang tidak terbatas (natur Ilahi) terkan-
dung di dalam hal yang terbatas (natur manusia). Namun, inkarnasi
tidak sependapat dengan pernyataan ini.18 Kritik ini jelas lemah (distorsi
atau keliru). Natur Ilahi Kristus tidak terbatas pada natur manusia (atau
tubuh fisik Kristus). Meskipun natur ilahi berada di dalam persatuan
dengan natur manusia dalam satu pribadi, natur Ilahi pasti melam-
paui batas natur manusia.19 Bapa Pembaru Protestan John Calvin men-
jelaskan:
Bahkan jika Sang Firman, dalam esensinya yang tak dapat diukur, ber-
satu dengan natur manusia menjadi satu pribadi, kita tidak memba-
yangkan bahwa Dia terbatas di dalamnya. Dan inilah yang menakjub-
kan: Anak Allah turun dari surga dengan cara sedemikian rupa sehingga
tanpa meninggalkan surga, Dia menghendaki diri-Nya dilahirkan di
166 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

dalam rahim seorang perawan, tinggal di bumi, dan tergantung di atas


kayu salib. Namun, Dia terus mengisi dunia dengan apa yang telah
dilakukan-Nya dari semula.20
Inkarnasi harus dipahami sebagai “Allah plus” (Allah Putra
ditambah natur manusia), bukan sebagai “Allah minus” (kehilangan
keilahian atau karakteristik Ilahi) atau “Allah yang terbatas” (yang tidak
terbatas berada di dalam yang terbatas). Inkarnasi harus dianggap
sebagai Logos Ilahi, pribadi yang sudah ada sebelumnya (dalam keke-
kalan), dan mengambil natur manusia bagi diri-Nya, tanpa mengesam-
pingkan keilahian-Nya.
Inkarnasi masih merupakan misteri. Yang tidak dapat dimengerti
sepenuhnya oleh manusia adalah bagaimana pribadi Kristus memiliki
kesadaran Ilahi dan kesadaran manusia, namun tetap merupakan satu
pribadi. Namun, doktrin ini telah dirumuskan di dalam sejarah gereja
sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan logika. Gagasan
tentang dua natur yang bersatu di dalam satu pribadi mungkin sulit
dipahami dan benar-benar paradoks, tetapi tidak kontradiksi.

Makna Sejati Natal


Di sepanjang musim Natal, umat Kristen merayakan peristiwa besar
—dan kebenaran—inkarnasi. Di masa kanak-kanak Kristus di Betlehem,
Tuhan memasuki sejarah manusia dan mengungkapkan diri-Nya secara
dekat dan pribadi. Kebenaran ini menakjubkan karena di dalam diri
Yesus Kristus, manusia berjumpa dengan Allah dengan cara yang nyata,
pribadi, historis, dan konkret. Makna utama Natal adalah bahwa Allah
Anak yang tidak terbatas dan kekal meninggalkan takhta kemuliaan-
Nya di surga. Dia menerima kehidupan—dan kematian—sebagai manusia
yang secara pribadi memberikan kasih dan pengampunan bagi orang-
orang berdosa. Bab berikutnya membuktikan keilahian Kristus sebagai-
mana yang ditemukan di dalam kematian dan kebangkitan-Nya.

Pertanyaan Diskusi
1. Bagaimana doktrin inkarnasi dinyatakan?
2. Apa arti istilah persatuan hipostasis?
3. Bagaimana orang bisa menjawab tuduhan bahwa Kristus bukan
Allah karena Dia lebih rendah daripada Sang Bapa?
BAGAIMANA YESUS KRISTUS BISA MENJADI ALLAH SEKALIGUS MANUSIA? 167

4. Mengapa doktrin inkarnasi penting bagi semua teologi Kristen


lainnya?
5. Mengapa inkarnasi merupakan suatu paradoks, bukan kontra-
diksi logis?

Untuk Studi Lebih Lanjut


Erickson, Millard J. The Word Became Flesh (Grand Rapids: Baker, 1991).
Grudem, Wayne. Systematic Theology, (Grand Rapids: Zondervan, 1994), lihat
hal. 529-567.
Morris, Thomas V. The Logic of God Incarnate (Ithaca, NY: Cornell, 1986).
Reymond, Robert L. Jesus, Divine Messiah: The New Testament Witness
(Phillipsburg, NJ: Presbyterian and Reformed, 1990).
Rhodes, Ron. Christ before the Manger: The Life and Times of the Preincarnate
Christ (Grand Rapids: Baker, 1992).
Warfield, Benjamin B. The Person and Work of Christ (Philadelphia: Presbyte-
rian and Reformed, 1950).
APAKAH YESUS KRISTUS BENAR-BENAR
BANGKIT DARI KEMATIAN?

Kekristenan tidak menjadikan kebangkitan sebagai salah satu dari sekian


banyak ajaran keyakinan. Tanpa iman dalam kebangkitan, kekristenan tidak
akan pernah ada.
––Michael Green, Man Alive

Makna kebangkitan adalah perkara teologis, tetapi fakta dari kebangkitan ada-
lah persoalan historis.
––Wilbur Smith, Therefore Stand: Christian Apologetics

D ari cara pandang Kristen yang historis, keunikan dan kebenaran


kekristenan bersandar pada kebangkitan tubuh Yesus Kristus dari
antara orang mati. Yesus Kristus bangkit dari kematian setelah tiga hari
dihukum mati merupakan ajaran Kristen (doktrin) dan fakta ultimat yang
mendukung kekristenan (apologetika).
Hampir dua ribu tahun yang lalu rasul Paulus mengakui bahwa jatuh
bangunnya kekristenan bergantung pada kebangkitan Kristus. Ia berkata,
“Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pembe-
ritaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu . . . jika Kristus tidak
dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup
dalam dosamu” (1Kor. 15:14-17).
Karena klaim kebenaran kekristenan sangat bergantung pada peris-
tiwa kebangkitan, maka kisah-kisah PB tentang hal itu memerlukan
analisis dan refleksi yang cermat. Para penulis PB tidak hanya melaporkan

169
170 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

kebangkitan-Nya sebagai peristiwa faktual, tetapi juga menempatkan


fenomena tersebut dalam konteks teologis dan menjelaskan signifikan-
sinya secara menyeluruh dalam rencana penebusan Allah yang bersejarah
itu. Meringkas pentingnya kebangkitan secara teologis, menyelidiki
maknanya, dan memeriksa beberapa penjelasan naturalistis alternatif
secara kritis, diperlukan untuk benar-benar mengevaluasi validitas iman
Kristen.

Signifikansi Teologis Kebangkitan


Jika Kristus memang bangkit dari antara orang mati, maka semua
dasar klaim kebenaran kekristenan terbukti benar. Identitas, misi, dan
pesan Yesus tergantung pada realitas kebangkitan-Nya. Seluruh PB ditulis
sehubungan dengan hal itu dan setiap kitab menjadi saksi atas faktualitas-
nya. Memang, fungsi penting para rasul adalah menjadi saksi dari peris-
tiwa ini (Kis.1:22; 1Kor. 9:1).
Menurut Alkitab, kebangkitan itu bukanlah hidup kembali dari
kematian—mati suri atau pengalaman nyaris mati. Kebangkitan juga
bukan merupakan sesuatu yang mirip dengan reinkarnasi. Sebaliknya,
Yesus dibangkitkan menuju suatu bentuk baru kehidupan manusia—
kehidupan kekal dengan tubuh fisik yang diubahkan dan mulia, yang
tidak lagi tunduk pada kelemahan, kesakitan, penyakit, atau kematian.
Dalam kebangkitan-Nya, Yesus Kristus sepenuhnya dan benar-benar telah
menaklukkan maut untuk selama-lamanya.

Sepuluh Kebenaran Penting tentang Kebangkitan


Sepuluh hal berikut ini menyampaikan informasi teologis yang esen-
sial tentang kebangkitan Kristus1 dan mengungkapkan implikasi kristo-
logisnya.
1. Kebangkitan adalah konfirmasi akhir dari identitas Yesus sebagai
Mesias, Juruselamat, dan Tuhan (Rm. 1:3-4; 14:9). Hal ini mem-
buktikan bahwa perkataan Yesus tentang diri-Nya benar adanya.
Dengan membangkitkan Yesus dari antara orang mati, Allah Bapa
membuktikan kebenaran misi dan berita penebusan Yesus Kristus
(Mat. 16:21; 28:6). Kebangkitan meneguhkan kebenaran dari
semua perkataan Yesus.
APAKAH YESUS KRISTUS BENAR-BENAR BANGKIT DARI KEMATIAN? 171

2. Karena Yesus Kristus bangkit dari antara orang mati sebagai


manusia—dengan tubuh fisik sebagai bagian dari natur manusia—
Dia menghubungkan diri-Nya secara permanen dengan umat
manusia dan merupakan Allah-manusia untuk selama-lamanya.
Kebangkitan bukanlah upaya melarikan diri dari kondisi sebagai
manusia, melainkan merupakan pemulihan dan penggenapannya
yang mulia.
3. Ketika Allah membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati
(Kis. 2:24; 3:15), ketiga anggota Trinitas terlibat: Bapa (Rm. 6:4;
1Kor. 6:14; Gal. 1:1; Ef. 1:20), Anak (Yoh. 10:17-18; 11:25; Ibr.
7:16), dan Roh Kudus (Rm. 8:11). Kebangkitan menegaskan
keterlibatan penuh Allah—sebagai Allah Bapa, Anak, dan Roh
Kudus—di dalam upaya penyelamatan manusia.
4. Kebangkitan menunjuk Yesus Kristus sebagai kepala gereja Kristen
yang hidup untuk selama-lamanya (Ef. 1:19-22). Maka dari itu,
gereja Kristen yang historis beribadah dan diperintah oleh Sang
Juruselamat yang hidup.
5. Kuasa kebangkitan Kristus aktif menjamin keselamatan kekal
orang percaya (Rm. 4:25, 10:9-10; Ef. 2:5-6; Flp. 3:10). Berita
Injil keselamatan di dalam Kristus bersandar pada kebenaran
kebangkitan.
6. Kuasa kebangkitan Kristus tersedia untuk memberdayakan semua
orang percaya yang berusaha hidup dalam ketaatan dan rasa syu-
kur kepada Allah (Rm. 6:12-13). Kuasa dosa yang melemahkan
umat manusia telah dipatahkan oleh kebangkitan-Nya.
7. Kebangkitan Kristus adalah janji sekaligus paradigma bagi kebang-
kitan tubuh semua orang percaya di masa yang akan datang (1Kor.
6:14; 15:20; 2Kor. 9:14; Flp. 3:21; Kol. 1:18; 1Tes. 4:14). Sama
seperti Dia bangkit, orang-orang percaya juga akan bangkit.
8. Kebangkitan Kristus adalah jawaban untuk dilema eksistensial
terbesar umat manusia, yang dihantui oleh kematian. Di sini, di
dalam bayang-bayang kematian, kebangkitan memberikan peng-
harapan, tujuan, makna, dan kepercayaan diri untuk menghadapi
kematian (Yoh. 11:25-26; Rm. 14:7-8).
172 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

9. Kebangkitan Yesus Kristus adalah tema utama pemberitaan dan


pengajaran mula-mula para rasul (Kis.1:22; 2:31; 4:2,33; 17:18),
dan secara keseluruhan merupakan prinsip utama doktrin PB.
“Dia telah bangkit” adalah seruan pengakuan gereja mula-mula.
10. Kebenaran atau kesalahan Injil Kristen tergantung pada kebang-
kitan tubuh Yesus Kristus (1Kor. 15:14-18). Klaim-klaim kebe-
naran kekristenan dapat diuji melalui pengujian terhadap fakta
sejarah kebangkitan Yesus dari antara orang mati.

Gambaran tentang Kebangkitan di dalam PB


Keempat Injil dan berbagai surat PB mengungkapkan narasi berikut
ini mengenai kematian dan kebangkitan Yesus Kristus2 (lih. Mat. 26:47-
28:20; Mrk. 14:43-16:8; Luk. 22:47-24:53; Yoh. 18:1-21:25; Kis.9:
1-19; 1Kor. 15:1-58).
Para pemimpin agama Yahudi (para imam kepala dan tua-tua)
menangkap dan mengadili Yesus dari Nazaret dengan tuduhan peng-
hujatan. Selanjutnya, Yesus dinyatakan bersalah di hadapan Sanhedrin,
lalu dibawa oleh orang-orang Yahudi kepada gubernur Romawi di Yudea,
Pontius Pilatus, dan mendesak agar Yesus dihukum mati. Pilatus dengan
segan menghukum mati Yesus sebagai seorang pemberontak. Yesus
dipukuli dan disalibkan oleh tentara Romawi dan akhirnya meninggal.
Tubuh Yesus yang tidak bernyawa diturunkan dari salib, dibungkus
dengan kain kafan, dan diletakkan di liang kubur yang masih baru,
milik Yusuf Arimatea (seorang anggota Sanhedrin yang kaya dan ter-
kemuka). Sebuah batu besar diletakkan di pintu masuk kubur, dan
penjaga Romawi ditempatkan di sana untuk memastikan tubuh Yesus
tidak diganggu.
Tiga hari kemudian pada hari Minggu pagi (“hari pertama pada pekan
itu”) dini hari, gempa bumi yang hebat mengguncang kubur. Malaikat
Tuhan muncul dan menggulingkan batu itu. Karena ketakutan melihat
malaikat itu, para penjaga menjadi lumpuh.
Kemudian (setelah para penjaga melarikan diri), beberapa wanita
pengikut Yesus tiba di kuburan dan mendapati kubur itu telah kosong.
Para wanita itu bertemu dengan malaikat yang menyampaikan berita
bahwa Yesus sudah tidak ada di sana lagi, dan bahwa Dia telah bangkit
dari kematian. Setelah mendengar tentang pertemuan para perempuan
APAKAH YESUS KRISTUS BENAR-BENAR BANGKIT DARI KEMATIAN? 173

itu, beberapa rasul Yesus berlari ke kubur itu dan juga mendapati kubur
itu telah kosong dan tubuh Yesus sudah tidak ada lagi.
Selama periode empat puluh hari setelah peristiwa itu, mulai dari
Minggu Paskah, Yesus menampakkan diri, dalam keadaan hidup secara
fisik, di hadapan banyak orang di berbagai tempat. Menurut Injil dan
surat-surat para rasul di PB, Yesus yang telah bangkit itu menampakkan
diri kepada individu-individu, kelompok-kelompok kecil, kumpulan-
kumpulan besar, teman dan musuh, orang-orang percaya dan tidak
percaya, perempuan dan laki-laki, di depan umum maupun secara pribadi.
PB secara khusus menyebutkan adanya dua belas penampakan kebang-
kitan yang berbeda: kepada Maria Magdalena (Yoh. 20:10-18), Maria
dan para perempuan lainnya (Mat. 28:1-10), Petrus (Luk. 24:34; 1Kor.
15:5), dua murid yang sedang dalam perjalanan ke Emaus (Luk. 24:13-
35), sepuluh rasul (Luk. 24:36-49), sebelas rasul (Yoh. 20:24-31), tujuh
rasul (Yoh. 21), semua rasul (Mat. 28:16-20), lima ratus murid (1Kor.
15:6), Yakobus (1Kor. 15:7), sekali lagi kepada semua rasul (Kis. 1:4-8),
dan akhirnya, di kemudian hari, kepada Paulus (Kis.9:1-9; 1Kor. 15:8).
Karakteristik tubuh kebangkitan Yesus juga dapat dicatat. Tangan,
kaki, dan lambung masih meninggalkan tanda-tanda penyaliban-Nya (Yoh.
20:20). Tubuh-Nya yang terdiri dari daging dan tulang bisa dilihat dan
disentuh (Mat. 28:9; Luk. 24:37-40; Yoh. 20:20). Dia bahkan mengun-
dang Tomas untuk menyentuh dan memeriksa tangan dan lambung-Nya
yang terluka (Yoh. 20:27). Yesus juga makan dan minum bersama para
murid-Nya setelah kebangkitan-Nya (Luk. 24:41-43; Kis.10:41). Tubuh
kebangkitan-Nya tentu bersifat jasmaniah, tetapi telah berubah menjadi
tubuh yang mulia, abadi, dan tidak dapat dihancurkan, yang mampu
melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh tubuh biasa: Yesus
bisa muncul dan menghilang dari ruang tertutup dan Dia bisa melawan
gravitasi (naik ke atas melalui awan-awan). Karena itu, ada kontinuitas
dan diskontinuitas antara tubuh Yesus sebelum dan sesudah kebangkitan-
Nya.

Enam Bukti
Mendukung natur historis dan faktual tentang kebangkitan Yesus,
para ahli apologetika Kristen selama berabad-abad telah berbicara ten-
tang beberapa bukti yang kuat.3
174 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

Kubur yang Kosong


Salah satu fakta pendukung terbaik di seputar kebangkitan Yesus
adalah kubur yang kosong. Kebanyakan ahli PB, bahkan beberapa
cendekiawan liberal, setuju bahwa fakta sejarah yang solid berada di
balik pernyataan Injil bahwa kubur Yesus itu kosong pada pagi Paskah
yang mula-mula. Detail-detail alami kisah ini sangat sesuai dengan apa
yang dikenal sejarah. Berbeda dengan mitos atau legenda, laporan ten-
tang kubur yang kosong bertanggalkan sangat dini, sesuai dengan data
arkeologi (adat penguburan, pembangunan kuburan, waktu acara sere-
monial), dan tidak pernah diragukan, apalagi dibantah, oleh musuh-musuh
dan pengkritik-pengkritik agama Kristen sezaman.
Selain itu, orang-orang Yahudi atau Roma semestinya bisa segera
menundukkan kekristenan dengan cara memperlihatkan tubuh Kristus.
Para murid tidak bisa menyatakan kebangkitan tubuh jika tubuh itu bisa
ditunjukkan. Dalam Yudaisme kuno, konsep kebangkitan hanya diang-
gap secara fisik, bukan spiritual. Karena Yudaisme hanya tahu tentang
kebangkitan “tubuh,” harus ada “kubur yang nyata,” yang benar-benar
kosong. Kubur kosong ini membutuhkan penjelasan yang memadai.
Orang-orang Kristen selama dua ribu tahun telah membuktikan bahwa
satu-satunya penjelasan yang konsisten bagi kubur yang kosong adalah
bahwa Yesus bangkit secara fisik dari kematian (lih. pengujian terhadap
teori-teori naturalistis di bawah ini).

Penampakan Setelah Penyaliban


Menurut PB, banyak orang (sebanyak 500 orang) telah berjumpa
secara akrab dan empiris dengan Yesus Kristus setelah kematian-Nya di
kayu salib. Penampakan-penampakan ini dilaporkan oleh berbagai
orang, di berbagai waktu, tempat, dan keadaan. Para saksi kebangkitan
mengaku telah melihat, mendengar, dan menyentuh Kristus yang dimu-
liakan. Orang yang sama, yang telah mereka lihat dihukum mati tiga
hari sebelumnya, kini hidup dan berada di tengah mereka. Dia bahkan
menunjukkan tanda-tanda fisik penyaliban. Penampakan-penampakan
fisik dalam waktu dan ruang ini, yang dilaporkan segera setelah kejadian
yang sebenarnya, tidak masuk akal jika dianggap sebagai peristiwa yang
berbau mistis atau psikologis (lih. pemeriksaan teori naturalistik). Bebe-
rapa penampakan Yesus setelah penyaliban-Nya digabungkan dengan
APAKAH YESUS KRISTUS BENAR-BENAR BANGKIT DARI KEMATIAN? 175

bukti kubur yang kosong, memperkuat kebenaran objektif tentang


kebangkitan. Dengan demikian juga menunjukkan kebenaran objektif
berita Injil Kristen secara keseluruhan.

Transformasi Para Rasul


Kitab Kisah Para Rasul menggambarkan suatu transformasi dramatis
dan abadi dari sebelas orang. Mengerikan, para rasul yang kecut hatinya
dan ketakutan, setelah penyaliban Yesus (sebagaimana diungkapkan di
dalam Injil), berubah menjadi pengkhotbah yang berani dan, dalam
beberapa kasus, rela mati sebagai martir. Mereka ini menjadi sangat
berani melawan orang-orang Yahudi dan Romawi yang memusuhi mereka,
bahkan menghadapi penyiksaan dan kematian. Perubahan yang radikal
dan meluas seperti ini layak mendapat penjelasan yang memadai, karena
sebenarnya karakter dan perilaku manusia tidak dapat sering ataupun
dengan mudah berubah. Fakta bahwa para rasul melarikan diri dan
bahkan menyangkal pernah mengenal Yesus setelah Dia ditangkap,
membuat keberanian mereka dalam menghadapi penganiayaan bahkan
lebih mencengangkan. Para rasul menghubungkan kekuatan karakter
baru mereka dengan perjumpaan pribadi mereka secara langsung dengan
Kristus yang telah bangkit. Dalam kebangkitan Kristus, para rasul mene-
mukan alasan yang tak tergoyahkan untuk hidup dan mati demi membe-
ritakan kebenaran tentang Yesus yang telah bangkit.

Pertobatan Saulus dari Tarsus


Saulus dari Tarsus adalah ahli hukum Taurat Ibrani terkemuka pada
abad pertama, anggota kelompok orang-orang Farisi Yahudi, dan warga
negara Romawi (Kis. 21:37-22:3). Karena giat dalam pengabdiannya
kepada Allah dan keinginannya untuk melindungi Yudaisme kuno dari
apa yang dianggapnya sebagai ajaran sesat dan berbahaya, ia menjadi
tokoh antagonis utama terhadap gereja Kristen mula-mula. Saulus meng-
ungkapkan kebenciannya yang berkobar-kobar terhadap orang Kristen
dengan meminta mereka ditangkap. Dia bahkan menghasut dan menye-
tujui penganiayaan fisik dan eksekusi terhadap orang-orang percaya,
termasuk terhadap Stefanus (Kis. 7:54-8:3; Gal. 1:13-14). Dalam per-
jalanan ke Damsyik (ca. 33 M) untuk melaksanakan rencana pengani-
ayaan terhadap jemaat, Saulus mengalami perjumpaan yang mengubah-
176 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

kan hidupnya. Ia mengaku telah melihat dan berbicara dengan Yesus


dari Nazaret yang telah bangkit (Kis. 9:1-30; 22:5-13). Setelah perto-
batan dramatis dan kemudian ia memeluk iman yang dulu dibencinya,
Saulus menggunakan nama bukan Yahudi, yakni “Paulus” dan menjadi
sosok protagonis terbesar pada gereja Kristen yang berkembang pesat.
Rasul Paulus mungkin adalah tokoh paling penting kedua dalam
sejarah agama Kristen (setelah Yesus Kristus). Paulus menjadi misionaris,
teolog, dan ahli apologetika Kristen yang terbesar, serta penulis dari
tiga belas kitab PB yang diilhami oleh Allah. Apa yang menyebabkan
pertobatan Paulus—mungkin pertobatan religius terbesar dalam sejarah?
Menurut Paulus sendiri, transformasi yang luar biasa itu disebabkan oleh
pertemuan tatap muka yang menyilaukan dengan Yesus Kristus yang telah
bangkit. Pertobatan yang mengejutkan ini, juga kehidupan dan prestasi
rasul Paulus selanjutnya yang menakjubkan, tampaknya benar-benar
tidak dapat dijelaskan jika dipisahkan dari fakta kebangkitan.

Munculnya Gereja Kristen


Peristiwa khusus apakah di dalam sejarah yang bisa memulai sebuah
gerakan yang dalam 400 tahun mendominasi seluruh kekaisaran Romawi
dan selama dua ribu tahun mendominasi semua peradaban Barat? Dalam
waktu yang sangat singkat kekristenan mengembangkan identitas budaya
dan teologis yang berbeda dengan Yudaisme tradisional. Menurut PB,
iman yang unik ini (Kristen) segera muncul karena kebangkitan Yesus
Kristus. Munculnya gereja Kristen secara luar biasa dan bersejarah ini
menuntut penjelasan. Menurut PB, para rasul mengubah keadaan dunia
dengan memberitakan kebenaran kebangkitan sehingga gereja yang ber-
jarah muncul.

Peralihan ke Hari Minggu sebagai Hari Ibadah


Orang-orang Yahudi beribadah pada hari Sabat—hari ketujuh dalam
sepekan (mulai dari matahari terbenam pada hari Jumat sampai mata-
hari terbenam pada hari Sabtu). Namun, gereja Kristen mula-mula secara
bertahap mengubah hari ibadah mereka dari hari ketujuh menjadi hari
pertama dalam sepekan (Minggu: “Hari Tuhan,” Kis. 20:7; 1Kor. 16:2;
Why. 1:10).4 Perubahan ini diadakan untuk memperingati kebangkitan
Yesus dari antara orang mati. Kebangkitan-Nya menuju kehidupan kekal
APAKAH YESUS KRISTUS BENAR-BENAR BANGKIT DARI KEMATIAN? 177

mengubah (melalui refleksi) ibadah Kristen, dan secara unik memenga-


ruhi perumusan sakramen-sakramen gereja mula-mula (baptisan dan
komuni). Itulah yang membedakan iman Kristen (dalam teologi dan
praktiknya) dari Yudaisme tradisional. Terlepas dari kebangkitan-Nya,
tidak ada alasan bagi orang-orang Kristen mula-mula (sebagai sekte Yuda-
isme) untuk memandang hari Minggu (hari pertama dalam pekan) memi-
liki signifikansi teologis atau seremonial yang abadi. Terlepas dari
kebangkitan-Nya, tidak ada dorongan untuk meninggalkan praktik iba-
dah Yudaisme.

Penjelasan Naturalistis Alternatif


Kaum skeptis, terutama mereka yang memiliki prasangka anti-
supranatural yang kuat, sering mencoba untuk menjelaskan peristiwa
seputar kebangkitan Kristus sebagai murni fenomena alami. Enam hipo-
tesis naturalistis telah populer selama bertahun-tahun, tetapi masing-
masing dapat dikritik dengan standar yang objektif. Konsistensi logis,
kekuatan penjelas dan ruang lingkup, kemurnian fakta yang diketahui,
menghindari asumsi yang tidak beralasan, dan testabilitas (membuat klaim
yang dapat diuji dan dibuktikan benar atau salah) merupakan ciri hipo-
tesis penjelas yang baik.

Hipotesis 1: Kebangkitan Yesus bisa saja merupakan legenda


atau mitos.
Karena pertanyaan tentang cerita-cerita mitos telah dibahas tuntas
dalam bab 7, maka hanya ada beberapa materi yang dirangkum di sini.
Banyak kitab PB (Injil dan berbagai surat-surat) ditulis cukup dekat
dengan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang dilaporkan atau digam-
barkan di dalamnya. Legenda dan mitos tidak cukup waktu untuk menyu-
sup ke dalam kisah-kisah Alkitab.
Meskipun kematian Yesus terjadi pada tahun 30 atau 33 M, ada alasan
kuat untuk percaya bahwa Injil Sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas)
sudah ada pada awal tahun 60-an (mungkin Injil Markus ada pada akhir
tahun 50-an), satu generasi dengan peristiwa-peristiwa seputar kehi-
dupan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus. Baik Injil maupun
kitab Kisah Para Rasul menyebutkan tiga peristiwa bersejarah yang ter-
jadi antara tahun 60 dan 70 M: penganiayaan terhadap orang Kristen
178 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

oleh Kaisar Romawi, Nero (ca. pertengahan tahun 60-an), kematian rasul
Petrus dan Paulus sebagai martir (ca. 64-66 M), dan jatuhnya Yerusalem
di bawah pemimpin militer Romawi Titus (70 M).5 Karena tidak satu
pun peristiwa-peristiwa ini, yang pasti sangat menarik perhatian orang-
orang Kristen, disebutkan di dalam Injil, beberapa ahli PB dengan yakin
berpendapat bahwa Injil Sinoptik sudah ada sejak awal tahun 60-an.
Selain itu, kitab Kisah Para Rasul mengikuti Injil Lukas sebagai karya
pendamping. Karena Kisah Para Rasul tidak menyebutkan tentang
peristiwa-peristiwa yang sangat signifikan ini, Injil sinoptik mungkin
bahkan ditulis jauh sebelum awal tahun 60-an, terutama jika berasumsi
bahwa prioritas Markus itu benar (teori yang dominan dalam ilmu penge-
tahuan modern menyatakan bahwa Markus adalah Injil yang paling awal
ditulis).
Injil-Injil ini tidak saja terlalu dini untuk menjadi mitos, tetapi Injil-
Injil ini juga terhubung ke peristiwa-peristiwa yang dilaporkan, melalui
sebuah jembatan penghubung yang kokoh dari sumber-sumber lisan dan
tertulis. Beberapa surat Rasul Paulus (Galatia 1 dan 2 Tesalonika) mung-
kin ditulis sejak akhir tahun 40-an atau awal tahun 50-an. Kritik terhadap
sumber (studi tentang sumber-sumber di balik teks tertulis) menunjuk-
kan bahwa informasi lisan dan mungkin yang tertulis juga usianya lebih
tua daripada Injil berbahasa Yunani, yang bahkan makin memperkecil
jarak antara peristiwa kehidupan Yesus dan catatan-catatan yang tertulis.
Pengetahuan tentang PB mengungkapkan banyak alasan untuk percaya
bahwa Matius, Markus, dan Lukas menggunakan sumber-sumber
tersebut.6
Teori demitologisasi (ide bahwa mitos telah menyusup ke dalam
fakta-fakta kehidupan Yesus) tampaknya hanya mungkin bila ada yang
sanggup menampilkan beberapa generasi yang di dalamnya mitos itu
pernah tumbuh.7 A. N. Sherwin-White, ahli sejarah Yunani dan Romawi
kuno dari Oxford, telah menyatakan bahwa jarak dua generasi penuh
pun tidak cukup bagi mitos dan legenda untuk berkembang dan mem-
belokkan fakta sejarah.8 Seperti dikatakan sebelumnya, mengingat inter-
val waktu yang singkat antara kehidupan Yesus dan munculnya catatan-
catatan Injil, tidak ada cukup waktu untuk mendistorsi catatan-catatan
itu. Ahli legenda Julius Muller menyatakan bahwa legenda tidak dapat
menggantikan fakta, sepanjang saksi-saksi mata masih hidup.9
APAKAH YESUS KRISTUS BENAR-BENAR BANGKIT DARI KEMATIAN? 179

Alasan selanjutnya untuk menolak teori mitos dan legenda adalah


bahwa para rasul mengerti perbedaan antara mitos dan kesaksian saksi
mata faktual, dan mereka dengan sabar menegaskan (dengan risiko
pribadi yang besar) bahwa mereka adalah saksi mata dari peristiwa-
peristiwa sejarah yang sebenarnya (Luk. 1:1-4; Yoh. 19:35; 1Kor. 15:
3-8; Gal. 1:11-12; 2Ptr. 1:16; 1Yoh. 1:1-2). Alih-alih mereka-rekakan
cerita mereka, para rasul justru secara aktif berusaha memadamkan
rumor dan kebohongan yang berkembang di masyarakat (Yoh. 21:
22-25). Mereka dengan jujur menyatakan ketidakpercayaan mereka
sendiri ketika dihadapkan pada bukti kebangkitan Kristus.
Para penulis Injil sangat memperhatikan detail-detail sejarah. Mereka
mencatat detail-detail sejarah yang mereka ketahui terjadi pada periode
Yesus (termasuk nama, tanggal, peristiwa, adat istiadat, dll.). Secara
historis, kriteria utama untuk memasukkan Injil dalam kanon PB adalah
Injil ini harus muncul dari kalangan para rasul (saksi mata atau yang ada
hubungannya dengan saksi mata).
Gaya bahasa dan isi dari kisah-kisah Injil juga berbeda jika diban-
dingkan dengan tulisan mitos yang dikenal.10 Mukjizat-mukjizat di dalam
Alkitab tidak aneh atau sembrono seperti yang ditemukan dalam literatur
mitologis (mis., dalam mitologi Yunani). Mukjizat-mukjizat Yesus selalu
dilakukan dalam konteks pelayanan-Nya, khususnya untuk kemuliaan
Allah, dan biasanya untuk menanggapi kebutuhan nyata manusia. Sejarah
dan mukjizat-Nya bersama-sama bersinergi di dalam Injil dengan cara
yang berbeda dengan literatur mitologi lainnya.
Beberapa orang berusaha menghubungkan kebangkitan Yesus dengan
penyembahan dewa-dewa kesuburan yang konon dibangkitkan dalam
agama-agama pagan kuno (Osiris, Adonis, Attis, Mithra, dsb.).11 Namun,
perbandingan-perbandingan ini terbukti dangkal, tidak tepat, dan sering
berpijak pada sumber-sumber yang muncul belakangan. Dengan demi-
kian, perbandingan-perbandingan ini tidak memiliki hubungan sejarah
atau pengaruh pada kekristenan. Tak satu pun dari cerita-cerita agama
pagan ini memiliki landasan historis yang mendukung kebangkitan Yesus
Kristus.
Ada bukti kuat yang mendukung kesimpulan bahwa Injil mencer-
minkan sumber-sumber awal mengenai kehidupan dan kematian Yesus.
Jika para penulis Injil menyimpang dari fakta-fakta sejarah kebangkitan,
180 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

maka saksi-saksi musuh yang mengetahui peristiwa-peristiwa yang ter-


jadi pada waktu itu bisa dan akan menelanjangi mereka.
Memandang kebangkitan Yesus Kristus sebagai legenda atau mitos
berarti mengabaikan dukungan sejarah yang solid di balik peristiwa
tersebut, dan tampaknya berakar dalam prasangka-prasangka anti-
supranatural yang tidak kuat, serta gagal mengenali interval waktu yang
singkat antara munculnya tulisan-tulisan Injil itu sendiri dan peristiwa-
peristiwa sebenarnya yang ingin dilaporkan dan dijelaskan. Dengan
demikian, hal ini harus dianggap sebagai hipotesis penjelas yang lemah.

Hipotesis 2: Para murid bisa saja mencuri tubuh itu dan membuat
cerita bohong.
Menurut catatan Injil, setelah kebangkitan, beberapa pemimpin
agama Yahudi menyuap para penjaga agar mengatakan bahwa mereka
telah jatuh tertidur di kubur dan bahwa rasul-rasul Yesus telah datang
pada malam hari dan mencuri tubuh-Nya (Mat. 28:11-15). Terlepas
dari bagaimana cerita ini dimulai, cerita ini sebenarnya menjadi teori
alternatif naturalistis yang paling awal untuk menjelaskan kebangkitan
Yesus. Berdasarkan hal itu, teori ini layak dianalisis.
Apakah para rasul mampu mencuri tubuh Yesus? Perlu menghindari
para penjaga dan memindahkan batu kubur yang besar yang termeterai;
membuat pencurian ini sangat tidak mungkin, terutama karena para
rasul yang ketakutan setelah Yesus ditangkap. Selain itu, jika para penjaga
sedang tidur, bagaimana mereka tahu siapa yang mencuri tubuh itu?
Dan apa motivasi yang mungkin memicu para rasul untuk mencuri
tubuh Yesus? Tidak ada manfaatnya bagi mereka dan mereka bisa kehi-
langan segala-galanya dengan melakukan hal itu. Mengarang cerita
bohong tentang kebangkitan Yesus hanya akan menyebabkan mereka
mengalami kesulitan, penganiayaan, kematian sebagai martir, dan bahkan
hukuman karena dianggap melakukan penghujatan. Jika ternyata para
rasul telah mencuri tubuh Yesus dan kemudian mereka-reka cerita bohong
mengenai penampakan kebangkitan, apakah mereka bersedia mati seba-
gai martir untuk apa yang mereka ketahui sebagai kebohongan itu?
Konspirasi semacam itu mungkin akan runtuh di bawah tekanan. Banyak
lawan yang sangat ingin membeberkan kemungkinan adanya penipuan.
Para rasul dibenci, dicemooh, dikucilkan, dipenjara, dan disiksa. Selain
APAKAH YESUS KRISTUS BENAR-BENAR BANGKIT DARI KEMATIAN? 181

itu, jika para pengikut terdekat Kristus adalah penipu, maka mereka
melawan segala sesuatu yang Yesus ajarkan tentang kebenaran dan keju-
juran. Mereka digambarkan di dalam Injil sebagai orang-orang yang
jujur dan yang menyatakan kebenaran.
Jika para rasul atau para anggota jemaat yang muncul kemudian
mereka-reka kisah kebangkitan Kristus, cerita ini tidak akan pernah
memasukkan penampakan-Nya kepada kaum perempuan. Israel pada
abad pertama tidak menganggap perempuan sebagai saksi yang dapat
dipercaya. Dan para rasul tidak akan menampilkan diri dalam sorotan
yang kurang baik seperti ini. Detail-detail yang aneh ini tampaknya tidak
konsisten dengan rekaan, tetapi konsisten dengan fakta-fakta.
Ahli apolagetika Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli mencatat, “Jika
mereka [para rasul] mengarang cerita, mereka adalah pengkhayal yang
paling kreatif, pintar, dan cerdas dalam sejarah, jauh melebihi Shakes-
peare, Dante, atau Tolkien. Kisah-kisah fiktif tidak akan sedemikian
rinci, sedemikian meyakinkan, sedemikian mengubahkan hidup, dan
sedemikian abadi seperti kisah yang diceritakan oleh para rasul.”12
Hipotesis ini secara keseluruhan tampaknya sangat tidak masuk
akal, tidak cocok dengan fakta-fakta, dan tidak memiliki kekuatan
penjelas dan ruang lingkup yang benar. Hipotesis ini tidak dapat men-
jelaskan perubahan dramatis dalam diri para rasul. Juga tidak menjelas-
kan penampakan kebangkitan kepada orang lain selain para rasul.

Hipotesis 3: Perempuan-perempuan itu pergi ke kubur yang salah.


Bisa jadi setelah penyaliban Yesus, dalam kesedihan dan kekalutan,
perempuan-perempuan yang mengasihi-Nya mungkin telah pergi ke
kubur yang salah. Namun, di sisi lain, menurut catatan Injil, perempuan-
perempuan itu tahu lokasi kubur itu. Bahkan jika mereka pergi ke tempat
yang salah, Yusuf dari Arimatea pasti tahu letak kubur miliknya. Dan,
tampaknya masuk akal bahwa para rasul akan bersikeras mengoreksi
keraguan atau kebingungan tentang lokasi tersebut.
Para pejabat Yahudi dan Romawi termotivasi untuk mendiskreditkan
kekristenan. Jika tubuh Yesus benar-benar terbaring di kubur yang lain,
mereka memiliki cara dan sarana untuk mencari dan menggali kubur
itu. Tanpa kebangkitan, kekristenan akan lenyap sebelum benar-benar
dimulai. Namun, tubuh itu memang tidak pernah diperlihatkan.
182 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

Hipotesis tentang kubur yang salah ini tidak memberikan penjelasan


bagi penampakan kebangkitan, transformasi para rasul, atau pemben-
tukan gereja Kristen di lingkungan agama dan politik yang memusuhinya.
Hipotesis ini terlalu ceroboh dan tidak cocok dengan fakta-fakta, terlalu
sederhana, dan tidak memiliki kekuatan penjelas dan ruang lingkup.
Hipotesis 4: Mungkin Yesus tidak benar-benar mati. Mungkin Dia
hanya tampak mati, tetapi kemudian dihidupkan
kembali di dalam kubur dan menampakkan diri kepada
murid-murid-Nya sebagai “Tuhan yang bangkit.”
Para algojo Romawi sangat terlatih dalam tugas mereka. Mereka
melakukannya di bawah ancaman hukuman mati jika membiarkan
seorang tahanan melarikan diri. Menurut kisah-kisah Injil, para prajurit
Romawi menegaskan bahwa Yesus benar-benar telah mati di kayu salib
karena mereka menikamkan tombak ke lambung-Nya. Darah dan air
mengalir dari hati yang tertembus (Yoh. 19:34-35). Karena konfirmasi
tentang kematian ini, mereka tidak merasa perlu mematahkan kaki-Nya
untuk mempercepat kematian-Nya melalui mati lemas (Yoh. 19:36-37).
Mungkinkah Yesus selamat setelah menderita penyiksaan berat,
penyaliban, dan telanjang di sebuah kubur yang dingin tanpa perawatan
medis? Mungkinkah para penjaga—atau batu yang besar—dikalahkan
oleh orang yang sedang sekarat? Mungkinkah Yesus kemudian meya-
kinkan murid-murid-Nya bahwa Dia telah bangkit dari kematian dengan
mulia dan penuh kemenangan ketika kondisi medis-Nya tergolong
“kritis?” Dan jika cerita yang tidak masuk akal ini benar, ke mana Yesus?
Teori yang disebut jatuh pingsan ini menimbulkan banyak per-
tanyaan tanpa jawaban. Teori ini menuding Yesus dari Nazaret sebagai
penipu, yang sengaja berdusta. Namun, tak ada sesuatu pun dari diri
Yesus yang historis ini yang mengarah pada keyakinan bahwa Dia adalah
penipu. Hipotesis ini tidak sesuai fakta, sangat tidak masuk akal, dan
tidak memiliki kekuatan penjelas yang nyata.
Hipotesis 5: Para pengikut Yesus bisa saja berhalusinasi,
bukan benar-benar melihat Dia setelah kematian-Nya.
Halusinasi dipahami sebagai pengalaman jiwa yang bersifat pribadi,
subjektif, dan individual (atau proyeksi) yang tidak sesuai dengan realitas
yang objektif. Halusinasi biasanya juga merupakan pengalaman yang
APAKAH YESUS KRISTUS BENAR-BENAR BANGKIT DARI KEMATIAN? 183

singkat (selama beberapa detik atau menit), yang sering disebabkan oleh
obat-obatan atau secara ekstrem karena tidak makan, minum, atau tidur.13
Halusinasi biasanya terjadi pada orang-orang yang sangat gugup dan/
atau berperasaan sangat halus. Penampakan kebangkitan dialami oleh
berbagai orang, dalam berbagai waktu, di berbagai tempat, dalam ber-
bagai keadaan, selama empat puluh hari. Hipotesis halusinasi tidak bisa
menjelaskan konsistensi data dari keragaman sumber seperti itu. Maria
yang berduka di taman mungkin sejenak rentan terhadap halusinasi,
tetapi bagaimana dengan orang-orang yang ragu-ragu terhadap motif
Yesus, seperti saudara-Nya Yakobus, atau Saulus dari Tarsus yang terang-
terangan memusuhi-Nya? Rasanya mustahil lebih dari 500 orang yang
dilaporkan menyaksikan kebangkitan Kristus (1Kor. 15:6) semuanya
memiliki halusinasi yang sama.
Para murid menggambarkan pertemuan-pertemuan akrab dengan
Yesus yang bangkit, di mana mereka berulang kali melihat, mendengar,
menyentuh, berbincang-bincang, dan bahkan makan dengan-Nya. Ber-
bagai pertemuan pribadi ini cocok dan sesuai dengan hubungan mereka
dengan Kristus sebelum kebangkitan-Nya. Pengalaman semacam ini
berbeda dengan keadaan halusinasi.
Para rasul, karena mereka orang Yahudi ortodoks, tidak siap untuk
percaya kepada Mesias yang telah bangkit. Konsep mereka tentang
kebangkitan terbatas pada kebangkitan umum umat manusia dalam
penghakiman ilahi pada masa yang akan datang. Karena halusinasi hanya
merupakan proyeksi dari apa yang sudah ada di dalam pikiran, dan karena
para rasul tidak memiliki harapan akan kebangkitan, mereka tidak akan
berhalusinasi tentang kebangkitan. Hipotesis ini gagal menjelaskan kubur
yang kosong, dan seperti kebanyakan hipotesis lainnya, gagal memper-
hitungkan fakta-fakta lain juga. Karena itu hipotesis ini tidak memiliki
kekuatan penjelas yang nyata.

Hipotesis 6: Yesus bisa saja memiliki saudara kembar identik yang


terpisah sejak lahir tapi kemudian kembali untuk
berperan sebagai Kristus yang bangkit.
Bayangkan keadaan luar biasa yang dibutuhkan oleh hipotesis ini.14
Seseorang yang seperti Yesus, entah bagaimana menemukan orang
yang benar-benar mirip dengan Yesus dari Nazaret. Tentunya ia harus
184 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

mempelajari pelayanan Yesus dalam masyarakat, kemudian bersem-


bunyi sambil menunggu kematian Yesus, dan kemudian memperke-
nalkan dirinya sebagai Kristus yang telah bangkit. Namun, pertama-
tama ia harus melewati para penjaga dan memindahkan batu besar
yang memeterai kubur itu untuk mencuri tubuh Yesus. Apakah ada
orang-orang yang bersekongkol membantunya? Apakah tanda-tanda
penyaliban di tangan, kaki, dan lambung dibuat-Nya sendiri dengan
sengaja? Dan bagaimana ia sanggup muncul dan menghilang dalam
ruang tertutup? Setelah penampakan selama empat puluh hari, orang
ini kemudian harus benar-benar menghilang untuk selama-lamanya.
Bagaimana? Mengapa? Dan apa yang memotivasi orang untuk mela-
kukan hal-hal seperti itu?
Hipotesis naturalistis “inventif ” yang muncul belakangan ini tidak
memiliki dasar dalam kisah-kisah Injil. Bahkan, bertentangan dengan
data pribadi yang diungkapkan tentang kelahiran Yesus (seorang anak
tunggal yang lahir dari Maria dan Yusuf di Betlehem, Luk. 2:1-20).
Seperti beberapa hipotesis lain yang diuji, hipotesis ini tidak lebih dari
sebuah hipotesis ad hoc yang muncul dari prasangka antisupranatural.
Ketika orang menganggap mukjizat tidak bisa dan tidak terjadi, satu-
satunya jalan adalah memberikan penjelasan alami, tidak peduli seberapa
aneh dan tidak masuk akalnya penjelasan itu.
Setelah hampir dua ribu tahun, satu-satunya penjelasan yang benar-
benar masuk akal untuk peristiwa seputar kematian Yesus adalah bahwa
para rasul mengatakan yang sebenarnya, dan Yesus bangkit secara fisik
dari kematian. Kebangkitan ini sesuai dengan pernyataan-pernyataan
spesifik Kristus. Yesus tidak saja berkali-kali memprediksi hal kebang-
kitan-Nya sendiri (Mat. 16:21; Mrk.9:10; Luk. 9:22-27; Yoh. 2:19-22),
tetapi kebangkitan itu juga masuk akal mengingat karakter pribadi Yesus
yang tak tertandingi, penggenapan nubuat PL tentang Mesias, dan kuasa
adikodrati-Nya. Pengikut Yesus mengaku menjadi saksi mata sejarah
kebangkitan-Nya (Kis. 2:32; 3:15; 5:32; 10:39), dan perubahan hidup
mereka selanjutnya menjadi saksi atas kebenaran klaim tersebut.
Cara yang tepat untuk menguji klaim ajaib semacam ini adalah
dengan menelisik buktinya dan menelusuri penyebabnya. Menolak
kebangkitan secara apriori akan tidak sah secara logika berdasarkan
komitmen naturalisme yang sudah terbentuk sebelumnya (yang meng-
APAKAH YESUS KRISTUS BENAR-BENAR BANGKIT DARI KEMATIAN? 185

undang pertanyaan). Meskipun terdengar menakjubkan, kebangkitan


tampaknya benar dalam berbagai tingkatan.
Kekuatan penjelas sejati membuat kebangkitan Kristus, seperti yang
dinyatakan oleh para rasul, lebih unggul dari semua alternatif natural-
istis. Ahli apologetika Kristen William Lane Craig menjelaskan, “Salah
satu kelemahan terbesar dari penjelasan-penjelasan alternatif tentang
kebangkitan adalah ketidaklengkapannya: penjelasan-penjelasan itu gagal
menjelaskan semua data secara lengkap. Sebaliknya, kebangkitan mem-
berikan sebuah penjelasan yang sederhana namun menyeluruh dari
semua fakta yang ada tanpa memutarbalikkannya. Oleh karena itu,
kebangkitan-Nya adalah penjelasan yang lebih baik”15
Pertanyaan tentang kebangkitan memiliki signifikansi praktis yang
sangat besar. Perenungan seseorang tentang kematian yang tak terelakkan
dan mungkin segera terjadi, akan langsung menyebabkan kecemasan
eksistensial, rasa takut, dan putus asa. Hanya janji Tuhan yang telah
bangkit, yang kebangkitan-Nya adalah fakta sejarah, yang dapat menye-
lamatkan orang dari keadaan yang mengerikan ini.
“Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia
akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan
yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah
engkau akan hal ini?” (Yoh. 11:25-26)
Penyelamatan dari kematian ini terjadi tidak hanya melalui kebenaran
dan kuasa kebangkitan, tetapi juga karena keefektifan penebusan Kristus
—topik dari bab berikutnya.

Pertanyaan Diskusi
1. Mengapa kebangkitan penting untuk membenarkan pernyataan-
pernyataan Kristus?
2. Mengapa kebangkitan sangat penting bagi setiap orang percaya?
3. Dapatkah Anda membuat daftar dan menjelaskan rangkaian bukti
yang mendukung kebangkitan Kristus?
4. Apakah masalah mendasar dari penjelasan-penjelasan alternatif
tentang kebangkitan Yesus?
5. Bagaimana kebangkitan memenuhi kebutuhan eksistensial
manusia yang terbesar?
186 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

Untuk Studi Lebih Lanjut


Craig, William Lane. Knowing the Truth about the Resurrection (Ann Arbor, MI:
Servant, 1988).
Habermas, Gary R. The Resurrection of Jesus (Grand Rapids: Baker, 1980).
Habermas, Gary R., dan Antony G. N. Flew. Did Jesus Rise from The Dead?
The Resurrection Debate, editor Terry L. Miethe (San Francisco: Harper &
Row, 1987).
Ladd, George E. I Believe in the Resurrection of Jesus (Grand Rapids: Eerdmans,
1975).
Tenney, Merrill C. The Reality of the Resurrection (New York: Harper & Row,
1963).
MENGAPA YESUS KRISTUS
HARUS MATI?

Penebusan dosa (Rekonsiliasi antara Tuhan dan umat manusia) berakar di


dalam kasih dan keadilan Allah: kasih menawarkan jalan keluar bagi orang-
orang berdosa, dan keadilan menuntut dipenuhinya persyaratan hukum.
––Louis Berkhof, Summary of Christian Doctrine

Penebusan dosa berada di pusat iman Kristen. Kristus telah mati menggantikan
kita, menjadi objek murka Allah dan kutukan hukum, dan menebus keselamatan
bagi semua orang percaya.
––John Jefferson Davis, Handbook of Basic Bible Texts

K ekristenan adalah agama, bukan buku panduan tetapi bentuk


penyelamatan Ilahi. Pesan utama dari PB adalah Allah Putra datang
ke Bumi di dalam pribadi Yesus Kristus untuk menyelamatkan manusia
yang berdosa dari murka Allah Bapa yang adil. Dengan demikian, Injil
mengungkapkan bahwa manusia diselamatkan oleh Allah dan dari
Allah. Injil juga mengungkapkan bahwa keselamatan khusus disediakan
melalui kematian Yesus Kristus di atas kayu salib. Jadi, salib Kristus
adalah crux dari agama Kristen (crux dalam bahasa Inggris berarti “titik
penting,” tetapi dalam bahasa Latin berarti “salib”).
Untuk memahami “penebusan dosa,” orang harus terlebih dahulu
memahami kondisi manusia yang berdosa dan murka Allah yang setim-
pal terhadap dosa karena tanpa dosa tidak ada murka Allah, dan tanpa
murka Allah tidak ada yang perlu diselamatkan. Konteks yang penting

187
188 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

ini membuat makna kematian Yesus di kayu salib jauh lebih mudah
dipahami.

Dosa Ditelanjangi
Menurut Alkitab, kebutuhan seseorang untuk mendapatkan kese-
lamatan berasal dari kenyataan bahwa ia adalah orang berdosa. Namun,
hal ini segera memunculkan beberapa pertanyaan penting tentang dosa,
seperti apa dosa itu dan dari mana asalnya. Alkitab menjawab per-
tanyaan-pertanyaan kritis tentang sifat, asal, jenis, efek, dan luasnya dosa.1

Apakah dosa itu?


Intinya, dosa adalah pernyataan tentang otonomi spiritual (kemer-
dekaan yang dinyatakan, bahkan dari Allah)—pelanggaran yang dilakukan
terutama terhadap Allah (Mzm. 51:4-6), meskipun juga dilakukan ter-
hadap manusia. Alkitab menggunakan sejumlah istilah Ibrani dan Yunani
untuk menggambarkan berbagai aspek dan nuansa dosa.2 Namun, istilah
yang paling terkenal—bahasa Ibrani hata,’ dan bahasa Yunani hamartia.
Umumnya semua itu menggambarkan dosa sebagai kehilangan tanda yang
ditetapkan oleh Allah, tersesat dari Allah, dan secara aktif memberontak
melawan Allah. Penyimpangan dari Allah yang disengaja dilakukan oleh
manusia ini sering mengambil bentuk tertentu, melanggar perintah Allah
(Rm. 2:12-14; 4:15; 5:13; Yak. 2:9-10; 1Yoh. 3:4). Karena hukum moral
yang diungkapkan di dalam Kitab Suci merupakan perpanjangan dari
karakter Allah yang kudus dan benar, maka pelanggaran hukum-Nya
merupakan sebuah penghinaan terhadap Allah sendiri. Sehubungan
dengan hal ini, dosa mungkin sepatutnya didefinisikan sebagai sesuatu
(termasuk tindakan, sikap, dan sifat) yang bertentangan dengan karakter
moral dan perintah Allah.3 Cara-cara lain yang mengacu pada dosa men-
cakup ketidakbenaran, kefasikan, dan pelanggaran hukum.
 “Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah
aku dari dosaku! Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku,
aku senantiasa bergumul dengan dosaku. Terhadap Engkau, ter-
hadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang
Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-
Mu, bersih dalam penghukuman-Mu” (Mzm. 51:4-6).
MENGAPA YESUS KRISTUS HARUS MATI? 189

 “Sebab keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah,


karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak
mungkin baginya” (Rm. 8:7).
 “Setiap orang yang berbuat dosa, melanggar juga hukum Allah,
sebab dosa ialah pelanggaran hukum Allah” (1Yoh. 3:4).

Dari mana datangnya dosa?


Dosa berasal dari kehendak makhluk ciptaan Allah (lih. bab 19
tentang masalah kejahatan). Iblis—setelah sebelumnya memimpin pem-
berontakan para malaikat melawan Allah (Yes. 14:12-20)—muncul
sebagai ular di Taman Eden dan menggoda Adam dan Hawa untuk makan
dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat (Kej. 3:1-5). Mereka
memberontak melawan Allah dengan meragukan firman-Nya dan
melanggar perintah-Nya yang melarang mereka makan dari pohon ter-
tentu (Kej. 2:17). Oleh karena itu, manusia pertama menyalahgunakan
kebebasan mereka dengan tidak menaati Pencipta mereka. Adam dan
Hawa berdosa dengan melakukan apa yang mereka inginkan (otonomi),
bukan apa yang Allah inginkan.
 “Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: ‘Semua
pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas,
tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu,
janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakan-
nya, pastilah engkau mati’” (Kej. 2:16-17).
 “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dima-
kan dan sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati
karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya
dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang
bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya” (Kej.
3:6).

Dua jenis dosa apa yang disebutkan di dalam Alkitab?


Dosa asal: Sementara beberapa perbedaan penting tentang doktrin
dosa asal terdapat di antara berbagai tradisi teologi di kalangan umat
Kristen,4 pembahasan berikut memberikan perspektif alkitabiah yang
telah diterima secara luas.
190 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

Adam, dalam hubungannya dengan Allah, bukan hanya sebagai


individu tersendiri. Ia tidak saja manusia pertama, tetapi juga mewakili
manusia.5 Ia mencakup seluruh umat manusia dalam kovenan antara
dirinya dan Allah, yang sering disebut sebagai perjanjian kerja.6 Allah
memilih, sebagai bagian dari perjanjian ini, untuk menganggap perbuatan
Adam (baik dalam ketaatan atau ketidaktaatan) sebagai wakil dari semua
perbuatan manusia. Dengan kata lain, ketika Adam ditempatkan di
taman, ia bertindak atas nama seluruh umat manusia. Maka dari itu,
ketika Adam tidak menaati Allah, maka bukan hanya Adam yang tak lagi
mendapatkan perkenan Allah, melainkan juga semua keturunannya.
Dosa dan rasa bersalah menjalar dari kejatuhan Adam ke semua ketu-
runan Adam (Rm. 5:12; 18-19). Jadi, melalui Adam, semua orang
menjadi berdosa dan bertanggung jawab secara moral kepada Allah.
Dengan demikian, dosa asal, sebagaimana didefinisikan oleh teolog John
Jefferson Davis, mengacu pada “dosa, rasa bersalah, dan kerentanan
terhadap kematian yang diwarisi oleh semua manusia (kecuali Kristus)
dari Adam”7 (Mzm. 51:7; 58:4; 1Kor. 15:22; Ef. 2:3).
Doktrin dosa asal juga menyiratkan bahwa semua keturunan Adam
dikandung dalam dosa dan mewarisi sifat dosa—suatu kekuatan yang
sangat melemahkan meresap ke dalam inti keberadaan orang (Mzm.
51:7, 58:4; Ams. 20:9). Akibatnya, manusia tidak menjadi pendosa hanya
karena kebetulan berdosa, tetapi ia berdosa karena naturnya adalah
pendosa. Sifat yang mendasari dosa menghasilkan dosa-dosa tertentu.
Oleh sebab itu, masalah dosa harus dianggap sebagai kondisi ketimbang
hanya sebagai serangkaian perbuatan yang spesifik.
 “Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa
aku dikandung ibuku” (Mzm. 51:7).
 “Sejak lahir orang-orang fasik telah menyimpang, sejak dari
kandungan pendusta-pendusta telah sesat” (Mzm. 58:4).
 “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh
satu orang , dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu
telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah
berbuat dosa” (Rm. 5:12).
MENGAPA YESUS KRISTUS HARUS MATI? 191

Dosa pribadi: Berbagai macam perbuatan dosa dan kegagalan untuk


berbuat benar—hal-hal inilah yang merupakan dosa pribadi. Dosa-dosa
tersebut berbeda tetapi tetap menurun dari natur dosa warisan, yang
berasal dari dosa asal Adam (1Raj. 8:46; Ams. 20:9; Rm. 3:23; 1Yoh.
1:8). Semua orang melakukan dosa-dosa seperti itu dalam pikiran,
ucapan, dan perbuatan (secara sengaja ataupun tidak sengaja).
 “Siapakah dapat berkata: ‘Aku telah membersihkan hatiku, aku
tahir dari pada dosaku?’” (Ams. 20:9).
 “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu
diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita” (1Yoh.
1:8).

Apa dampak dosa pada manusia?


Pertama-tama dan yang terpenting, menurut Alkitab, dosa secara
negatif memengaruhi hubungan seseorang dengan Allah. Dosa meng-
hasilkan ketidakselarasan dan pemisahan. Namun, dosa juga meme-
ngaruhi hubungan dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan sampai
pada batas tertentu bahkan dengan alam. Seperti disebutkan sebelumnya,
dosa bukan hanya kebiasaan buruk. Sebaliknya, sebagaimana dijelaskan
oleh teolog John Stott, dosa adalah sebuah “kebusukan yang mendalam
di dalam hati.”8 Natur keberdosaan menghasilkan kebutaan rohani,
perbudakan kerusakan moral, kekerasan hati, pelanggaran hukum, dan
selanjutnya kematian fisik dan rohani (Rm. 1:18-22; 5:10; 6:17; 8:7;
2Kor. 4:4; Ef. 2:1-3; 4:11-19). Dosa memang mengasingkan manusia
dari Allah dan mengakibatkan hubungan yang bermusuhan dengan Sang
Pencipta. Karena dosa, manusia menjadi objek yang layak dihakimi oleh
Allah, yaitu oleh murka-Nya yang kudus.
 “Sebab kita tahu, bahwa hukum Taurat adalah rohani, tetapi aku
bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa. Sebab apa yang aku
perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki
yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku
perbuat” (Rm. 7:14-15).
 “Sebab itu kukatakan dan kutegaskan ini kepadamu di dalam
Tuhan: Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak
mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya
192 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena


kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati
mereka” (Ef. 4:17-18).

Seberapa besarkah jangkauan dosa?


Dosa itu universal dan memengaruhi setiap manusia (Mzm. 143:2;
Pkh. 7:20; Yer. 17:9; Gal. 3:22; Yak. 3:2, 4:4). Natur dosa yang diwaris-
kan Adam ini, berada pada inti (batin) manusia (Yer. 17:9; Mat. 15:19),
dan memengaruhi seluruh pribadinya—termasuk pikiran, kehendak,
kasih sayang, dan tubuh manusia (Ef. 2:3; 4:17-19). Jadi, manusia benar-
benar rusak akhlaknya.9 Doktrin kerusakan moral total ini tidak berarti
bahwa manusia benar-benar atau sama sekali jahat, tetapi berarti bahwa
manusia sepenuhnya berdosa (dosa telah memengaruhi seluruh kebera-
daan mereka). Keadaan kerusakan moral total ini tidak memungkinkan
manusia untuk mendapatkan perkenan Allah (Yer. 17:9; Yoh. 5:42; 6:44;
Rm. 7:18; 1Kor. 2:14; Tit. 1:15). Meskipun manusia yang berdosa
mampu melakukan beberapa perbuatan baik secara moral (di bawah
pengaruh kebaikan Allah), natur dosa membuat mereka tidak mampu
hidup dengan cara yang benar-benar berkenan kepada Allah.
 “Sesungguhnya, di bumi tidak ada orang yang saleh: yang berbuat
baik dan tak pernah berbuat dosa!” (Pkh. 7:20).
 “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan
kemuliaan Allah” (Rm. 3:23).
 “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan,
perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat”
(Mat. 15:19).

Mengingat kondisi manusia yang berdosa dan karakter Allah yang


kudus dan benar (Ul. 32:4; Mzm. 98:9; Yes.6:3), manusia takkan bisa
mengelak dari murka Allah yang benar-benar adil (Rm. 1:18; Ef. 2:3).
Allah yang adil harus menghukum orang berdosa yang harus bertang-
gung jawab atas dosanya. Namun, di tengah-tengah keadaan putus asa
manusia (penghakiman Ilahi), Allah campur tangan dan menyediakan
jalan keluar.
MENGAPA YESUS KRISTUS HARUS MATI? 193

Penyelamatan Ilahi
Allah dengan kasih dan belas kasihan-Nya yang tak terbatas mem-
berikan jalan bagi manusia yang berdosa untuk menghindari hukuman
kekal—dan hal itu hanya terjadi di dalam diri Yesus Kristus (Yoh. 14:6;
Kis. 4:12). Keselamatan dapat dicapai dengan bertobat (berpaling) dari
dosa dan percaya (memiliki keyakinan teguh) bahwa Yesus Kristus adalah
Mesias yang Ilahi, bahwa Dia mati di kayu salib sebagai kurban penebusan
dosa, dan bahwa Dia bangkit secara fisik dari kematian (1Kor. 15:3-4).
Keselamatan adalah hadiah langsung dan eksklusif dari kasih karunia
Allah (kebaikan yang tidak layak diterima), yang hanya bisa dipahami
melalui iman, dan yang sepenuhnya ditanggung oleh Yesus Kristus (Ef.
2:8-9).
Sebuah pembahasan singkat tentang doktrin penebusan10 (karya
penebusan Kristus di atas kayu salib) adalah sebagai berikut:

Mengapa Penebusan Diperlukan


Karakter Allah yang sangat kudus, benar, dan adil menuntut Dia
menghukum dosa, orang-orang berdosa, dengan tepat. Dia tidak dapat
begitu saja mengampuni dosa melalui sepatah kata karena keadilan-Nya
yang tidak terbatas harus benar-benar dipenuhi. Sebaliknya, Allah
menyatakan kasih setia-Nya dan memilih untuk menghukum seorang
pengganti yang sepenuhnya memenuhi syarat sehingga memungkinkan
orang-orang berdosa menerima belas kasihan-Nya. Pengganti yang
menanggung murka Ilahi untuk menggantikan orang-orang berdosa
adalah Putra Allah sendiri yang berinkarnasi, Yesus Kristus. Penebusan
manusia jelas ditanggung oleh Allah. Keputusan-Nya untuk menghukum
Anak-Nya sendiri, manusia “Adam” yang taat, dan bukan makhluk-
makhluk ciptaan-Nya yang tidak taat, menyatakan kasih Allah yang
menakjubkan.
Di kayu salib, Yesus Kristus, yang rela menjadi pengganti, menjadi
objek murka Allah yang setimpal terhadap dosa. Korban penebusan
yang luar biasa ini sepenuhnya memuaskan keadilan Allah. Dengan mem-
berikan kesempatan kepada manusia berdosa untuk menerima pengam-
punan yang tepat, kasih-Nya terwujud sepenuhnya.
194 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

Gambaran yang Jelas di dalam Alkitab


Seperti banyak doktrin Kristen lainnya, penebusan mengandung mis-
teri Ilahi yang besar. Kebenaran tentang pengurbanan Kristus di kayu
salib tak habis-habisnya dipikirkan oleh manusia. Keenam metafora
Alkitab berikut ini menggambarkan arti penebusan Kristus:11
1. Hukuman yang digantikan oleh orang lain (penebusan). Yesus
Kristus mati sebagai ganti orang-orang berdosa (menderita keterasingan
dari Allah untuk menggantikan mereka). Namun, dalam proses ini, Dia
menukarkan kebenaran-Nya (yang berasal dari menjalankan hukum
dengan sempurna) dengan kejahatan mereka. Sebagai pewaris-pewaris
keselamatan, orang-orang Kristen menikmati pengampunan dosa mereka
dan anugerah kebenaran Kristus, yang diberikan kepada mereka melalui
iman. Pelopor reformasi Jerman Martin Luther menyebut kematian
penebusan Kristus sebagai “pertukaran yang agung.”
 “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa
karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2Kor.
5:21).
 “Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia
yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia mem-
bawa kita kepada Allah” (1Ptr. 3:18).
2. Pendamaian. Tema dasar penebusan dalam PL berpusat pada
gagasan pendamaian—mengalihkan murka Allah yang kudus kepada
umat Allah pada saat mereka berbuat dosa. Gagasan ini terutama diung-
kapkan dengan dua cara: Pertama, dalam penderitaan bangsa Israel yang
terang-terangan melanggar hukum Allah, membuat-Nya marah, dan patut
untuk mati.
Dalam beberapa kasus, khususnya di padang gurun, Allah memang
membawa kematian kepada sebagian orang (Bil. 11:1, 10; 25: 3-4),
meskipun Dia mengecualikan bangsa Israel secara keseluruhan sebagai
tanggapan atas mediasi Musa (Kel. 32:10-14; 30-35). Kejadian-kejadian
ini menegaskan poin bahwa pada akhirnya dosa manusia harus dihu-
kum.
MENGAPA YESUS KRISTUS HARUS MATI? 195

Kedua, Allah menyediakan “penebusan” (selubung) bagi dosa-dosa


umat-Nya melalui pengorbanan darah hewan yang tahir (Im. 4-6; 16:
1-34; 23:26-32). Pengorbanan-pergorbanan di dalam PL ini tidak benar-
benar mengalihkan murka Allah, tetapi merupakan gambaran tentang
pengurbanan final dan akhir yang kelak diberikan oleh Sang Mesias,
yakni Yesus (Ibr. 9:11-14,28, 10:1-14). Dengan mencurahkan darah-Nya
sendiri di kayu salib di Kalvari, Yesus Kristus menanggung murka Allah
yang ditujukan kepada orang berdosa.
 “Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu
jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat dosa, kita
mempunyai seorang pengantara pada Bapa, yaitu Yesus Kristus,
yang adil. Dan Ia adalah pendamaian untuk segala dosa kita, dan
bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia”
(1Yoh. 2:1-2).
 “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian
karena iman, dalam darah-Nya” (Rm. 3:25).
3. Rekonsiliasi. Dosa menciptakan penghalang antara Allah dan
manusia, dan sepenuhnya mengasingkan manusia dari Allah. Perseteruan
dan permusuhan, yang memang sudah sepatutnya diperlihatkan Allah,
menggambarkan hubungan itu. Alkitab mengacu pada orang-orang
berdosa sebagai musuh Allah dan sasaran murka-Nya yang kudus.
Namun, kematian Kristus meredakan murka Allah dan merobohkan
tembok antara manusia dan Allah. Kasih Allah bagi umat manusia
diwujudkan, bahkan ketika mereka masih sangat berdosa.
 “Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-
Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah. Sebab jikalau
kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh
kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diper-
damaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!” (Rm. 5:
9-10).
 “Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus
dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah
memercayakan berita pendamaian itu kepada kami” (2Kor.
5:19).
196 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

4. Penebusan. Menurut Alkitab, kekuatan dosa menguasai manusia


di dalam cengkeramannya. Boleh dikatakan, manusia tersandera oleh
dosa dan tidak dapat membebaskan dirinya sendiri. Mirip dengan kasus
penculikan, kematian Yesus Kristus di kayu salib membayar harga tebusan
untuk membebaskan manusia dari dosa, maut, dan Iblis. Kurban pene-
busan Kristus membebaskan orang-orang yang ditawan oleh dosa.
 “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani,
melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya
menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk. 10:45).
 “Karena itu Ia adalah Pengantara dari suatu perjanjian yang baru,
supaya mereka yang telah terpanggil dapat menerima bagian
kekal yang dijanjikan” (Ibr. 9:15).
5. Pembenaran. Sebagai pelanggar-pelanggar tetap hukum Allah
yang sempurna, manusia bersalah di hadapan Sang Pencipta mereka yang
kudus dan dihukum untuk terpisah selama-lamanya dari-Nya. Namun,
Sang Hakim Ilahi membuat putusan dengan mempertimbangkan pengur-
banan Yesus Kristus sebagai tebusan. Pembenaran itu mengacu pada
tindakan yudisial (hukum) Allah yang membebaskan orang percaya dari
kesalahan, dan membenarkan orang percaya itu di mata-Nya ber-
dasarkan kebenaran sempurna yang diperhitungkan (dan berbeda) yang
dimiliki oleh Yesus Kristus (Luk. 18:14; Kis.13:39; Rm. 3:20, 23-24,
28; 5:1-2; Gal. 2:16; 3:24; Tit. 3:5, 7). Pernyataan Ilahi tentang pem-
benaran ini secara eksklusif berasal dari kasih karunia Allah, melalui
sarana iman manusia saja, dan semata-mata karena jasa Kristus.
Pembenaran berarti bahwa orang-orang yang percaya kepada
Yesus “telah dibayar lunas dari hukuman dosa,” Allah tidak akan
menanggungkan dosa-dosa mereka kepada mereka. Orang-orang ber-
dosa, melalui iman kepada Kristus, menerima status kebenaran di
hadapan Allah sebagai anugerah. Dia kini memandang anak-anak-
Nya “sama seperti seolah-olah mereka tidak pernah berbuat dosa.”
Pembenaran oleh kasih karunia, melalui iman, karena karya penebusan
Yesus Kristus di kayu salib, merupakan poin pusat ajaran Kristen yang
bersejarah. 12
MENGAPA YESUS KRISTUS HARUS MATI? 197

Meskipun pembenaran melibatkan perubahan status hukum sese-


orang di hadapan Allah (keberadaannya dibenarkan), pengudusan, secara
khusus, adalah proses pembaruan moral batiniah (yang dibuat benar)
seumur hidup, yang diprakarsai oleh Roh Kudus. (Proses pengudusan
kristiani akan dibahas lebih lanjut di bab 15)
 “Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus
datang, supaya kita dibenarkan karena iman” (Gal. 3:24).
 “Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam
damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus
Kristus. Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada
kasih karunia ini” (Rm. 5:1-2).
 “Dan di dalam Dialah setiap orang yang percaya memperoleh
pembebasan dari segala dosa, yang tidak dapat kamu peroleh dari
hukum Musa” (Kis. 13:39).
6. Adopsi. Karena dosa mencabut hak waris seseorang sebagai
anak Allah, maka orang itu, dalam pengertian ini menjadi yatim piatu.
Namun, Alkitab menunjukkan bahwa kepercayaan seseorang di dalam
Yesus Kristus membuatnya diangkat sebagai anak di dalam keluarga
Allah (Yoh. 1:12; Rm. 8:15-16; Gal. 4:6; 1Yoh. 3:1). Orang-orang yang
ditebus diberi status penuh sebagai anak-anak Allah dan karena itu
menikmati semua hak istimewa yang diberikan kepada anak-anak Raja
yang mahatinggi. Adopsi memberikan perspektif kekeluargaan menge-
nai karunia keselamatan Allah yang agung.
 “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya
menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-
Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari
daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-
laki, melainkan dari Allah” (Yoh. 1:12-13).

Yesus Kristus, Solusi untuk Masalah Terbesar Manusia


Kematian Yesus Kristus melalui penyaliban di tangan Pontius Pilatus
adalah fakta sejarah yang benar-benar terbukti (lih. bab 7). Bagaimana-
pun, Orang yang mati di kayu salib Kalvari bukan orang biasa, dan
kematian-Nya pun bukan karena hukuman mati biasa. Mesias yang Ilahi
mati di atas salib Romawi dan kematian-Nya merupakan pengurbanan
198 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS

bagi dosa manusia, sekali untuk selama-lamanya. Solusi untuk masalah


terbesar manusia—dosa yang memisahkan manusia dari Allah—dite-
mukan di dalam kehidupan yang sempurna, kematian sebagai kurban,
dan kebangkitan yang mulia dari Allah-manusia, Yesus Kristus. Umat
Kristen dapat merasa terhibur, karena betapa pun besarnya dosa mereka,
karunia keselamatan Allah dalam kematian Kristus yang menebus dosa
benar-benar memadai dan kekal. Kasih Allah yang sempurna dan kea-
dilan-Nya bersatu padu untuk menjumpai semua orang di dalam pene-
busan. Sebagaimana yang dikatakan oleh rasul Yohanes:
Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah
yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai
pendamaian bagi dosa-dosa kita. (1Yoh. 4:10)
Bagaimanapun, klaim-kebenaran Kristen bukan tanpa saingan. Tidak
bisakah semua agama mengarah pada Allah yang sama? Sebuah diskusi
tentang pluralisme agama, yang merupakan topik bab berikutnya, dimulai
pada bagian 3—Penolakan-penolakan terhadap iman Kristen.

Pertanyaan Diskusi
1. Apakah sebenarnya dosa itu? Bagaimana dosa berbeda dengan
dosa-dosa?
2. Apakah dosa asal itu dan bagaimana hal tersebut memengaruhi
manusia?
3. Kematian Kristus sebenarnya menyelamatkan orang-orang per-
caya dari apa?
4. Bagaimana kematian Kristus menyelesaikan murka Allah terhadap
dosa?
5. Bagaimana identitas Yesus memengaruhi keefektifan karya pene-
busan-Nya?

Untuk Studi Lebih Lanjut


Hoekema, Anthony. Saved By Grace (Grand Rapids: Eerdmans, 1989).
Milne, Bruce. Know The Truth (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1982).
Morris, Leon. The Atonement: Its Meaning and Significance (Downers Grove,
IL: InterVarsity, 1983).
–––––––. The Apostolic Preaching of the Cross (Grand Rapids: Eerdmans, 1955.
Dicetak kembali, 1992).
MENGAPA YESUS KRISTUS HARUS MATI? 199

Murray, John. Redemption: Accomplished and Applied (Grand Rapids:


Eerdmans, 1955. Dicetak kembali, 1955).
Piper, John. Counted Righteous in Christ (Wheaton, IL: Crossway, 2002).
BAGIAN TIGA

MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN
TERHADAP IMAN KRISTEN
BUKANKAH SEMUA AGAMA MENUNTUN
KEPADA ALLAH?

Dalam lingkup masalah-masalah yang bergantung pada pikiran dan keputusan


individu, pluralisme hanya diinginkan dan ditoleransi di area-area yang ber-
hubungan dengan masalah selera bukan masalah kebenaran.
––Mortimer J. Adler, Truth in Religion

Pluralisme adalah salah satu dari tiga atau empat ancaman paling serius ter-
hadap integritas iman Kristen pada akhir abad XX.
––Ronald H. Nash, Is Jesus the Only Savior?

S etelah peristiwa bencana 11 September 2001, Presiden George W.


Bush menyerukan penyelenggaraan hari doa nasional. Ia mendesak
orang-orang dari semua agama untuk berdoa bagi Amerika. Ibadah-
ibadah antaragama melibatkan para pemimpin umat dari agama Yahudi,
Kristen, Islam, Buddha, dan Hindu. Doa-doa secara kolektif menyebut
Allah sebagai “Allah Abraham, Allah Muhammad, dan Bapa Yesus
Kristus.” Sebuah ibadah yang diselenggarakan di New York City dipimpin
oleh tokoh televisi populer Oprah Winfrey, yang dengan berani menya-
takan bahwa semua orang berdoa kepada Allah yang sama.
Apakah Oprah benar? Apakah kita semua berdoa kepada Allah yang
sama? Apakah ini berarti bahwa semua agama sama-sama merupakan
jalan spiritual yang benar?

201
202 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Pluralisme agama adalah pandangan bahwa semua jalan agama—


tentu agama-agama besar atau beradab—bermuara kepada Allah atau
realitas dan keselamatan tertinggi. Mengingat lingkungan budaya saat
ini, yang ditandai dengan globalisasi, multikulturalisme, relativisme, dan
perspektif pascamodern tentang kebenaran, pluralisme agama merupa-
kan tantangan yang serius dan makin berkembang terhadap iman Kristen.
Dengan mengidentifikasi dua tipe tertentu dari pluralisme agama dan
meninjau masing-masing dari sudut pandang logis dan teologis, ber-
kembanglah respons yang masuk akal bagi masalah dahsyat ini.

Pluralisme Sosial versus Pluralisme Metafisika


Keberagaman etnis, ras, budaya, dan agama yang signifikan dapat
ditemukan di kebanyakan kota besar di Amerika dan banyak kota besar
lainnya di seluruh dunia. Tetangga-tetangga dekat rumah mungkin ber-
asal dari Asia Tenggara, Australia, India, Afrika, Eropa, atau Timur
Tengah. Negara-negara demokratis khususnya, menilai prinsip toleransi
itu penting, terutama toleransi dalam ekspresi keagamaan. Sebagai
contoh, di Amerika Serikat. Perjanjian Hak Asasi Manusia menjamin
hak warga negara untuk bebas menjalankan agama.
Sayangnya, sebagian orang yang menganggap gagasan toleransi yang
sama dalam ekspresi keagamaan mengartikan bahwa semua agama sama-
sama benar sehingga jalan yang harus ditempuh untuk sampai kepada
Allah juga sama. Sebenarnya, demokrasi telah diterapkan bagi kebenaran
hakiki.1 Pendekatan agama yang tampaknya “secara politis benar” ini,
meskipun populer, merupakan pemikiran yang sangat berbelit-belit.
Penerimaan pluralisme sosial (toleransi terhadap berbagai ekspresi keaga-
maan) secara tidak logis menyiratkan kebenaran pluralisme metafisika
(bahwa semua pernyataan kebenaran itu sama-sama berlaku dan sekali-
gus benar).

Respons terhadap Pluralisme Metafisika


Pendapat yang sedang populer bahwa semua agama itu benar meng-
abaikan tiga hal penting. Dalam rangka memikirkan dan menanggapi
pandangan tentang pluralisme agama, ketiganya harus dikenali dan
dipahami.
BUKANKAH SEMUA AGAMA MENUNTUN KEPADA ALLAH? 203

1. Agama-agama di dunia pada dasarnya berbeda. Banyak agama


mungkin saja sama-sama memiliki beberapa keyakinan yang umum, dan
khususnya nilai-nilai moral, tetapi perbedaan-perbedaan yang mendasar
dan tidak terjembatani ini memisahkan dengan jelas agama-agama itu
dalam banyak isu-isu pokok. Perbedaan-perbedaan ini mencakup natur
Allah, sumber dan fokus wahyu, keadaan manusia, natur keselamatan,
dan garis kehidupan umat manusia.2 Ada sangat banyak pandangan
mengenai natur Allah (atau realitas yang tertinggi) saja. Beberapa agama
menegaskan monoteisme (satu Allah), sebagian lainnya menganut poli-
teisme (banyak allah), dan lainnya lagi menganut panteisme (semua adalah
Allah), dan bahkan setidaknya satu agama menegaskan ateisme (tidak
ada Allah).3 Dalam Yudaisme4 dan Islam, Allah adalah pribadi (dan
tunggal); dalam agama Kristen, Allah lebih dari sekadar pribadi dan
tunggal (superpersonal dan Tritunggal; lih. bab 5); dalam agama Hindu
dan Buddha, Allah bukan pribadi dan bukan tunggal (apersonal dan
menyebar).5
Beberapa tradisi keagamaan dunia memandang Allah sepenuhnya
transenden (di luar dunia), sebagian lainnya memandang Allah sepenuh-
nya imanen (di dalam dunia), dan yang lainnya lagi memandang Allah
transenden sekaligus imanen. Beberapa agama memandang Allah itu
tidak terbatas dalam natur dan berbeda dengan dunia, sedangkan dalam
agama-agama lainnya menganggap Allah itu terbatas dan identik dengan
dunia. Jelas, tidak ada kesepakatan universal di antara agama-agama
dunia tentang siapa atau bagaimana Allah itu sebenarnya. Seorang cende-
kiawan misionaris Harold A. Netland berkata, “Penelitian saksama
tentang prinsip-prinsip dasar dari berbagai tradisi keagamaan menunjuk-
kan, alih-alih mengajarkan hal yang sama, agama-agama besar secara
radikal memiliki perspektif yang berbeda dalam prinsip dasar agama.” 6
Keyakinan tentang masalah pokok manusia (dosa, ketidaktahuan,
kurangnya pencerahan) dan perlunya respons manusia (iman, ketaatan,
perenungan), belum lagi bagaimana dilema itu harus diselesaikan sehu-
bungan dengan perjumpaan dengan sesuatu yang bersifat Ilahi (kesela-
matan, pembebasan, pencerahan) menunjukkan perbedaan yang men-
colok di antara agama-agama. Perbedaan yang paling dramatis ada di
antara agama yang dominan di Barat (kekristenan) dan agama yang
dominan di Timur (Hinduisme).7
204 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Kekristenan menegaskan bahwa masalah utama manusia adalah


keterpisahan dari Allah karena ketidaktaatan Adam dan Hawa (nenek
moyang manusia), dengan kesalahan dan kerusakan moral yang mereka
wariskan ke seluruh umat manusia (dosa asal). Pengampunan dosa dan
pendamaian dengan Allah hanya datang melalui pengurbanan penebusan
yang penuh kasih dari Allah, yang secara pribadi dilakukan oleh Allah-
manusia Yesus Kristus. Namun, anugerah pengampunan itu harus dite-
rima melalui pertobatan dan iman. Dengan demikian, keselamatan bagi
orang percaya mencapai puncaknya dalam hubungan yang abadi dan
pribadi dengan Allah, yang berlanjut sampai ke alam baka.
Di sisi lain, Hinduisme menyatakan bahwa masalah utama manusia
tidak terlalu banyak terkait dengan dosa, tetapi dengan ketidaktahuan
dan kurangnya pencerahan. Manusia harus menjalani siklus-siklus kela-
hiran kembali untuk menghilangkan karma (efek perilaku yang tidak
baik dalam kehidupan sebelumnya). Rangkaian kehidupan ini akhirnya
mengarah pada moksa, penyerapan kesadaran seseorang sebagai individu
ke dalam “Allah,” atau realitas tertinggi (Brahmana yang adil). Dari
sudut pandang ini, semua adalah Allah dan Allah adalah semua.
Perbandingan dari kedua agama ini menggambarkan perbedaan
pandangan yang mencolok antara teisme dan panteisme. Dan satu hal
yang sangat jelas: visi-visi yang berbeda dari realitas kebenaran yang
tertinggi ini tidak bisa sama-sama benar karena secara logis tidak tere-
konsiliasikan.
2. Upaya untuk menyamakan semua agama itu sia-sia belaka.
Agama-agama di dunia sangat beragam dalam hal keyakinan dan orientasi
pandangan sehingga agama-agama itu menentang upaya penyamaan agar
memiliki pandangan dan esensi tunggal. Memang, mengingat keragaman
yang luas dan kompleks tentang cara pandang keagamaan, reduksionisme
agama akan tampak sebagai spekulasi yang meragukan, atau malah
mustahil dilakukan. Teolog Oxford, Alister E. McGrath mencatat, “Ada
konsensus yang berkembang dan secara serius menyesatkan, yang meng-
anggap berbagai tradisi agama dunia sebagai variasi dari satu tema tung-
gal.”8 Netland menarik kesimpulan yang sama tentang adanya upaya-
upaya untuk menunjukkan bahwa semua agama menyodorkan tujuan
yang sama untuk menyelamatkan umat manusia, “Sungguh sangat
menyesatkan, seolah-olah semua agama menyodorkan tujuan soteriologis
BUKANKAH SEMUA AGAMA MENUNTUN KEPADA ALLAH? 205

(keselamatan) umum dan hanya berbeda pada cara untuk mencapai


hal itu.”9
Upaya untuk menyamakan semua agama ke dalam denominator
mereka yang paling rendah, biasanya hanya berhasil menyesatkan agama-
agama itu sendiri. Homogenisasi agama adalah harga mahal yang harus
dibayar untuk menghilangkan keragaman agama, karena akhirnya agama-
agama itu harus mengorbankan ciri yang justru membuat mereka unik
dan menarik.
Selain itu, berbagai agama itu tidak mudah menyesuaikan diri dengan
setiap kategori reduksionistik tertentu. Beberapa agama memang meng-
identifikasi nilai-nilai etika yang sama sebagai sebuah motif umum.
Namun, pemeriksaan yang lebih teliti mengungkapkan bahwa bahkan
prinsip-prinsip moral yang sama termotivasi dan didasarkan pada
pandangan-pandangan yang secara fundamental berbeda dalam hal natur
realitas. Agama tidak dapat begitu saja direduksi menjadi etika karena
agama berakar di dalam pernyataan tentang natur realitas tertinggi
(metafisika), yang kepadanya sistem-sistem etika membutuhkan pembe-
naran. Seorang ahli yang terkenal dalam hal agama-agama dunia, Profesor
Huston Smith dari University of California-Berkeley, menyimpulkan
bahwa semua agama pada dasarnya tidak sama, “Karena ia [gagasan
kesamaan] bergerak melampaui generalisasi-generalisasi yang kabur—
‘setiap agama memiliki versinya sendiri-sendiri tentang hukum Kasih’—
gagasan itu gagal menghadapi fakta bahwa agama-agama berbeda dalam
esensinya dan tidak bisa ditawar-tawar.”10
Nilai-nilai etika serupa yang diberikan oleh agama-agama seperti
Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu tidak dapat dipisahkan dari
kekhasan doktrin yang mendefinisikan agama-agama ini. Kekhasan ini
terutama berlaku untuk agama Kristen historis, yang bukan merupakan
sebuah sistem etika. Etika Kristen mengalir dari hubungan penebusan
dengan Allah melalui pribadi Yesus Kristus. Oleh karena itu, ajaran-
ajaran etika dari Yesus di PB tidak dapat dipisahkan dari doktrin Kristen
yang unik, yang langsung muncul dari peristiwa-peristwa penebusan
agung dalam kehidupan Yesus (inkarnasi, penebusan, dan kebangkitan).
Dengan kata lain, kebenaran etika Kristen terkait erat dengan kebenaran
teologi Kristen.
206 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

3. Keyakinan keagamaan yang berbeda-beda tetap tidak dapat


disamakan secara logis. Hukum logika yang formal menunjukkan bahwa
tidak mungkin semua pernyataan kebenaran agama itu benar pada waktu
yang sama dan dengan cara yang sama. Sebagai contoh, Yesus Kristus
tidak mungkin menjadi Allah yang berinkarnasi (Kristen) sekaligus bukan
Allah yang berinkarnasi (Yudaisme, Islam) pada waktu yang sama dan
dalam hal yang sama (hukum nonkontradiksi: A tidak mungkin sama
dengan A dan non-A).
Pernyataan-pernyataan keagamaan yang bertentangan memiliki nilai
kebenaran yang berlawanan, yang berarti bahwa mereka saling menia-
dakan atau menolak satu sama lain. Dengan demikian, itu berarti yang
satu pasti benar dan yang satunya pasti salah. Oleh sebab itu, Yesus
Kristus haruslah Allah yang berinkarnasi atau sebaliknya bukan Allah
yang berinkarnasi, tidak mungkin ada posisi tengah (hukum penyisihan
jalan tengah: A atau non-A).
Karena orang-orang Yahudi, Kristen, dan Muslim semua memahami
identitas Yesus dari Nazaret secara berbeda (guru yang adalah manusia,
penghujat; Allah yang berinkarnasi, nabi manusia), maka secara logis
pikiran mereka tidak mungkin semuanya benar. Meskipun dalam
hubungan yang berlawanan secara logika mungkin bahwa ketiga pan-
dangan itu semuanya salah (mis., jika ternyata Dia sama sekali tidak
pernah ada), mereka tetap tidak mungkin semuanya benar. Jadi,
pernyataan-pernyataan tentang pluralisme keagamaan yang populer tidak
mungkin selaras dengan hukum logika yang dapat membuktikan diri-
nya sendiri. Pengamatan ini menyebabkan filsuf Kristen Ronald H. Nash
menyimpulkan bahwa “setiap orang yang ingin menjadi pluralis harus
terlebih dahulu meninggalkan prinsip-prinsip logika yang membuat semua
pikiran, tindakan, dan komunikasi yang signifikan menjadi mungkin.”11
Berlawanan langsung dengan pandangan “toleran” yang sering disua-
rakan oleh para pluralis populer, hukum logika dengan tegas mengata-
kan bahwa orang harus “tidak toleran” dan kaku bila sudah berkaitan
dengan kekacauan pernyataan-pernyataan kebenaran keagamaan yang
bertentangan (lih. bab 17 untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut
tentang toleransi). Apabila pernyataan dari satu agama secara langsung
bertentangan (meniadakan atau menolak) pernyataan agama yang lain,
maka kedua pernyataan itu tidak mungkin benar.
BUKANKAH SEMUA AGAMA MENUNTUN KEPADA ALLAH? 207

Sebagian orang berpendapat bahwa logika tidak berlaku untuk


agama. Mereka bersikeras bahwa kebenaran yang utama hanya muncul
melalui suatu bentuk intuisi yang tidak rasional. Namun, argumen mereka
mengkhianati diri mereka sendiri, karena ketika berdebat melawan
logika, mereka terlebih dahulu harus memunculkan hukum logika dalam
upaya menyanggah. Dan melakukan hal itu bertentangan dengan
pandangannya sendiri bahwa logika tidak berlaku untuk agama. Bahkan
mereka yang menyatakan “Logika tidak berlaku untuk Allah,” harus
menggunakan logika dalam perumusan pernyataan tersebut. Tidak masuk
akal bila kita memakai logika untuk merendahkan atau menolak logika.
Mungkinkah hukum logika berlaku untuk semua bidang kehidupan
lainnya, kecuali agama? Jawabannya tidak. Untuk memisahkan diri
dari hukum yang dapat membuktikan dirinya sendiri, bila hal itu berbicara
tentang realitas yang tertinggi, maka itu berarti tunduk pada ketidak-
rasionalan. Netland menjawab bahwa hal ini terlalu mahal sebab pemi-
kiran ini akan “kehilangan kemungkinan penegasan yang bermakna atau
pernyataan tentang apa saja—termasuk pernyataan tentang inti keaga-
maan. Orang yang menolak prinsip nonkontradiksi akan terdiam karena
ia telah meninggalkan kondisi yang diperlukan untuk mendapatkan pan-
dangan apa pun yang koheren atau bermakna.”12

Usaha untuk Merasionalisasi Pluralisme


Beberapa filsuf dan ahli agama percaya bahwa memang ada cara
untuk membuat pluralisme agama dipertahankan secara intelektual.
Mereka mengusulkan bahwa mungkin kontradiksi antara agama-agama
di dunia hanya kelihatannya saja ada namun tidak benar-benar ada.
Semua agama mengalami realitas Ilahi yang sama, tetapi dengan cara
yang berbeda. Bagaimanapun, perjumpaan dengan Allah yang misterius
dan tak terduga merupakan inti dari sebagian besar agama. Tentunya
Allah melampaui pikiran manusia yang terbatas.
Pemikir pluralis terkemuka John Hick13 memakai cara Timur yang
umum untuk menggambarkan kemungkinan ini, yang disebut analogi
gajah. Dalam gambaran ini, beberapa orang buta untuk pertama kalinya
bertemu dengan seekor gajah. Masing-masing merasakan bagian yang
berbeda dari binatang itu dan kemudian mencoba untuk menentukan
kebenaran tentang esensi keberadaan si gajah itu. Seorang laki-laki
208 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

menepuk kaki gajah itu dan membayangkan si gajah sebagai “pilar


hidup.” Seorang lainnya menangkap belalai gajah dan ia berpikir bahwa
ia telah menemukan seekor ular. Seorang yang menggosokkan tangan-
nya ke gading gajah menggambarkan gajah itu sebagai “mata bajak yang
tajam.” Meskipun setiap individu mengungkapkan salah satu aspek
penting dari seluruh realitas, tidak ada yang memahami entitas gajah
secara lengkap.14
Menurut analogi ini, perbedaan di antara agama-agama di dunia
dikaitkan dengan ketidakmampuan manusia untuk memahami realitas
Allah yang tidak terbatas. Hick menerapkan perbedaan subjektif/objek-
tif Kant yang terkenal tentang dunia sebagaimana adanya (dunia yang
objektif, numenal), dari dunia sebagaimana tampaknya pada kesadaran
manusia (dunia yang subjektif, fenomenal) hingga masalah keragaman
agama. Ia berpendapat bahwa orang harus membedakan antara realitas
tertinggi sebagaimana adanya (numena Ilahi), dari realitas tertinggi seba-
gaimana dialami oleh manusia yang terbatas (fenomena Ilahi).15
Teori pluralistis Hick menempatkan realitas ilahi tertinggi melam-
paui allah-allah dari berbagai agama. Realitas Ilahi ini tidak dialami
secara langsung, tetapi disaring melalui berbagai lensa sejarah dan budaya
umat manusia. Dengan demikian, orang menghadapi realitas Ilahi yang
sama (melalui Krishna, Yesus atau tokoh lainnya) dengan cara yang
berbeda karena perbedaan persepsi dan bias sejarah, budaya atau filsafat
mereka. Dia lebih jauh berpendapat:
Jadi personae yang berbeda ini sebagian merupakan proyeksi-proyeksi
Realitas Ilahi ke dalam kesadaran manusia, dan sebagian merupakan
proyeksi-proyeksi kesadaran manusia itu sendiri, seperti yang telah
dibentuk oleh budaya-budaya historis tertentu.16
Menurut Hick, setiap agama itu valid karena setiap iman percaya
menyajikan perjumpaan yang sejati dengan realitas yang tertinggi meski-
pun jelas secara terbatas. Agama-agama dunia menunjukkan “berbagai
‘wajah’ atau ‘topeng’ atau personae Allah, Sang Realitas Tertinggi.”17
Dan, karena Hick berpikir bahwa agama itu terutama berbicara tentang
transformasi eksistensial (etika) dan bukan tentang keyakinan doktrin
tertentu, maka semua jalan agama dapat diterima karena semua agama
besar mampu mengubah seseorang dari “berpusat pada diri sendiri”
menjadi “berpusat pada Allah.” Hick memandang pluralisme agama
BUKANKAH SEMUA AGAMA MENUNTUN KEPADA ALLAH? 209

sebagai hipotesis yang jauh lebih menarik daripada “skeptisisme” total


terhadap agama atau “dogmatisme” keagamaan tradisional (seperti
kekristenan ortodoks yang historis).

Kritik tentang Pendekatan Hick


Visi pluralistis Hick menarik bagi banyak orang karena toleransinya
yang tampak jelas dan usahanya untuk menyatukan agama. Namun,
gagasannya tetap sarat dengan masalah serius. Masalah-masalah ini
mulai muncul setelah dilakukan penelitian yang cermat tentang analogi
gajah.
Meskipun tidak ada yang meragukan tentang realitas yang bias dan
pengetahuan yang terbatas di pihak manusia ketika mengalami perjum-
paan dengan Allah, pengakuan-pengakuan ini tidak dapat menopang
kelemahan sentral analogi gajah dalam kaitannya dengan pluralisme.
Analogi gajah menyiratkan skeptisisme radikal sehubungan dengan
pengenalan akan Allah, yakni bahwa tidak ada seorang pun, atau dalam
hal ini tidak ada agama, yang bisa benar-benar mengenal Allah dengan
sempurna.18 Namun, jika Allah benar-benar tidak dapat diketahui,
lalu bagaimana orang dapat mengetahui bahwa Allah tidak dapat dike-
tahui?19 Bahkan, dalam hal ini, apakah ada orang yang tahu bahwa
Allah itu ada? Bagaimana seorang filsuf, manusia biasa tahu begitu banyak
tentang seluk-beluk realitas yang tertinggi yang tidak dapat dipahami?
Terutama karena realitas tertinggi ini—dalam pandangan Hick—tidak
menampakkan diri-Nya di dalam natur atau proposisi.
Ironisnya, meskipun analogi gajah mencoba untuk memvalidasi
kebenaran semua agama, tetapi jika analogi itu diterapkan pada kesim-
pulan logis, cerita itu benar-benar menunjukkan bahwa semua agama
gagal untuk mengidentifikasi Allah secara memadai. Jadi bukannya
menegaskan kebenaran agama, analogi itu justru menyiratkan bahwa
semua agama, setidaknya sebagian besar, didasarkan pada pernyataan
yang salah atau menyesatkan.20
Agama memang dapat memberikan nilai-nilai etika yang penting,
tetapi seperti disebutkan sebelumnya, nilai-nilai moral ini dimotivasi dan
didasarkan pada pandangan-pandangan yang pada dasarnya berbeda
tentang natur realitas. Dalam agama, etika tidak dapat dipisahkan dari
pernyataan tentang kebenaran metafisika. Apa yang baik harus dipahami
210 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

dengan mempertimbangkan apa yang nyata dan benar. Tindakan/per-


buatan tidak dapat dipisahkan dari kebenaran. Analogi gajah sangat
lemah bila dilihat dari sudut pandang kekristenan ortodoks yang historis.
Menurut kekristenan, Allah secara pribadi telah menyatakan diri-Nya
dengan memasuki dunia ruang dan waktu di dalam pribadi historis Yesus
Kristus (Yoh. 1:1, 14, 18; Kol. 2:9; Flp. 2:6-8). Yesus yang sama ini
membuat pernyataan-pernyataan eksklusif tentang otoritas Ilahi dan
memiliki hak-hak istimewa dari Allah (contoh, Yoh. 8:58; 10:30), yang
tidak sesuai dengan pandangan para pluralis agama yang menyeragamkan
dan mengakomodasi semua agama (lih. bab 9 tentang inkarnasi).
Untuk mengakomodasi Allah yang tidak dipahami oleh pluralisme,
kekristenan terpaksa meninggalkan dasar pewahyuannya, Alkitab, dan
semua doktrinnya yang berbeda, yang meliputi inkarnasi, Trinitas, dan
penebusan. Sebagaimana dicatat oleh Alister McGrath, “Identitas Kristen
terkait erat dengan keunikan Kristus, yang pada gilirannya didasarkan
pada kebangkitan dan Inkarnasi.”21 Jika analogi itu harus mencermin-
kan kekristenan yang historis, si gajah akan menyembuhkan kebutaan
orang-orang yang menyentuhnya itu dan secara pribadi memperkenalkan
dirinya, karena kekristenan mengungkapkan bahwa Allah dinyatakan
secara pribadi, akrab, unik, dan menentukan di dalam diri Yesus Kristus.
Satu-satunya cara agar analogi gajah itu dapat berhasil mengesahkan
pluralisme agama adalah jika pernyataan-pernyataan kekristenan yang
historis itu salah. Menurut perkataan Yesus dalam PB, “Barangsiapa
telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh. 14:9). “Sekiranya kamu
mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku” (Yoh. 14:7). Sekali
lagi, inti pesan kekristenan yang historis adalah pernyataan yang menak-
jubkan bahwa Allah datang ke bumi di dalam daging manusia dan secara
pribadi telah dikenal di kalangan umat manusia.
Kata-kata rasul Paulus secara langsung meringkas inti kebenaran
Kristen ini, “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh
kepenuhan ke-Allahan” (Kol. 2:9). Selain itu, sebuah ayat bacaan di PB
mengungkapkan bahwa iman di dalam Yesus Kristus dianggap sebagai
cara yang unik dan jalan satu-satunya untuk bertemu dengan Allah. “Kata
Yesus kepadanya: ‘Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada
seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku’” (Yoh.
14:6). Rasul Petrus berkata tentang Yesus, “Dan keselamatan tidak ada
BUKANKAH SEMUA AGAMA MENUNTUN KEPADA ALLAH? 211

di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong
langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya
kita dapat diselamatkan” (Kis. 4:12).
Alasan yang diungkapkan Hick untuk merangkul pluralisme agama
dan bukannya kekristenan ortodoks yang bersejarah (iman yang dianut-
nya ketika ia masih muda) berasal dari penolakannya terhadap Alkitab
sebagai wahyu proposisional Allah dan dalam kesimpulannya bahwa
doktrin agama Kristen tentang inkarnasi tidak historis dan membi-
ngungkan secara logika.22 Ia bersikeras bahwa inkarnasi itu adalah sebuah
mitos.23 Hick juga memandang eksklusivisme pandangan kekristenan
yang historis itu sempit secara intelektual dan tidak dapat diterima secara
moral. Namun, penolakan Hick yang berani terhadap klaim kebenaran
kekristenan yang historis menciptakan masalah logika bagi pandangan
pluralistiknya yang luas.
Filsuf Kristen C. Stephen Evans menunjukkan bahwa “Bagian pen-
ting dari iman Kristen adalah bahwa Yesus itu Allah secara unik dan
eksklusif. Akibatnya, semua agama tidak bisa sama-sama benar. Jika
semua agama sama-sama benar, maka agama Kristen itu salah, jadi tidak
semua agama benar.”24 Akhirnya, pandangan yang benar harus menjadi
salah satu dari dua hal ini: (1) Kekristenan dan semua agama eksklusif
lainnya salah, dan semua agama lainnya yang inklusif itu benar; atau
(2) semua agama secara metafisika salah. Dengan kata lain, pluralisme
mendefinisikan ulang konsep umum agama tentang transformasi etika
dan menolak setiap pernyataan kebenaran yang konkret yang akhirnya
mungkin akan menimbulkan kontradiksi di antara agama-agama. Seo-
rang pluralis tidak benar-benar dapat menyerap pernyataan kebenaran
dari agama apa pun.
Meskipun Hick tampaknya menganggap pernyataan eksklusif kekris-
tenan yang historis itu picik dan arogan, sebenarnya pernyataan plural-
istisnya sendiri meremehkan hampir semua ciri khas agama-agama. Hal
ini membuat toleransi pandangan pluralistis ini dipertanyakan/dira-
gukan. Bukannya mewujudkan analisis yang netral dan objektif tentang
agama, pandangan tentang sebuah realitas tertinggi yang tak terpahami
ini berhubungan erat dengan pemahaman monistik Timur tentang yang
Allah. Namun, mengapa memilih monisme daripada teisme? Para plu-
ralis seperti Hick tampaknya menganggap bahwa mereka benar-benar
212 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

tahu tentang gajah itu, tidak seperti agama-agama di dunia. Pernyataan


kekristenan yang historis tampaknya jauh lebih dapat dipercaya daripada
menciptakan kembali agama yang secara politis benar.

Pernyataan Mitos atau Kebenaran Faktual?


Pendekatan lain untuk pluralisme, yang dianjurkan oleh Joseph
Campbell (salah satunya), berargumen bahwa semua agama dapat secara
bersamaan benar karena semua agama hanya membuat klaim mitos dan/
atau puitis, bukan klaim kebenaran faktual dan historis. Pernyataan ini
menandakan bahwa agama-agama di dunia, seperti mitologi seluruhnya
benar secara metaforis namun salah secara harfiah.25
Dalam buku terlarisnya The Power of Myth, Campbell melakukan
banyak kesalahan logika sama seperti Hick. Campbell berani mencipta-
kan kembali dan/atau mendefinisikan ulang semua agama (bahkan agama-
agama yang bersejarah) sebagai mitos. Dalam satu gebrakan ia sama
sekali menolak pernyataan kebenaran keagamaan (termasuk proposisi-
onal). Ia juga berakhir dengan menemukan hal yang bertentangan dengan
apa yang dimaksudkannya. Bukannya memberi cara agar semua agama
menjadi benar, ia malah menunjukkan bahwa dalam cara yang paling
penting—mengenai kebenaran universal, objektif, mutlak—semua agama
benar-benar salah. Meskipun ia secara pribadi berpendapat bahwa
Allah atau realitas tertinggi sepenuhnya transenden dan tidak dapat
diketahui “di luar nama dan bentuk,”26 Campbell tetap menegaskan allah
impersonal dan amoral yang tidak berbeda dengan konsep monistik dan
panteistik agama Timur. Orang tidak bisa menahan diri untuk bertanya-
tanya bagaimana Campbell mengira dirinya tahu begitu banyak tentang
alam yang seharusnya tidak dapat diketahui. Pada akhirnya, kesimpulan
Campbell yang terlalu dini tentang semua agama dan tentang realitas
tertinggi itu sendiri tampaknya lebih lancang dan arogan daripada kaum
fundamentalis dan literalis agama eksklusif yang dihakiminya dengan keji.
Entah orang cenderung untuk menerimanya atau tidak, pernyataan-
pernyataan kebenaran kristiani itu bersifat historis dan faktual. Keempat
Injil (Matius, Markus, Lukas, Yohanes) menegaskan bahwa seorang ber-
nama Yesus dari Nazaret dilahirkan di bawah pemerintahan kaisar
Romawi, Kaisar Agustus dan bahwa Yesus menderita dan mati di tangan
gubernur Romawi yang sama-sama nyata, Pontius Pilatus (temuan arkeo-
BUKANKAH SEMUA AGAMA MENUNTUN KEPADA ALLAH? 213

logis dengan tegas mengukuhkan keberadaan bersejarah Pilatus). Keem-


pat Injil dan kitab Kisah Para Rasul memperkenalkan diri sebagai kisah
bersejarah, bukan sebagai literatur puitis atau mitos (Luk. 1:1-4).
Iman Kristen yang historis secara konsisten menolak dan menentang
semua upaya untuk menyeragamkan dan memitologikan tokoh-tokoh
utama dan klaim kebenarannya. Para rasul telah mengalami sendiri per-
jumpaan secara empiris dengan Yesus yang telah dibangkitkan dan telah
melaporkan hal itu sebagai peristiwa yang bersejarah dan faktual (1Kor.
15:3-8). Para murid secara konsisten menyebut diri mereka sebagai
“saksi” atau “saksi mata” peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan
kehidupan Yesus (Kis. 2:32; 3:15; 5:32; 10:39). Sebagaimana dikatakan
oleh Rasul Petrus, “Sebab kami tidak mengikuti dongeng-dongeng isapan
jempol manusia, ketika kami memberitahukan kepadamu kuasa dan
kedatangan Tuhan kita, Yesus Kristus sebagai raja, tetapi kami adalah
saksi mata dari kebesaran-Nya” (2Ptr. 1:16).
Perkataan rasul Paulus yang serius kepada jemaat yang di Korintus
menyatakan bahwa kebenaran faktual benar-benar berarti, “Tetapi
andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami
dan sia-sialah juga kepercayaan kamu . . . Dan jika Kristus tidak dibang-
kitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam
dosamu” (1Kor. 15:14, 17).
Menurut hukum logika dan realitas historis Kitab Suci, pluralisme
agama (tidak peduli seberapa populer dan menariknya) tidak mungkin
benar. Bab berikutnya menyatakan cara yang tepat untuk memandang
agama-agama di dunia melalui lensa kekristenan.

Pertanyaan Diskusi
1. Apa perbedaan antara pluralisme sosial dan pluralisme metafisika?
2. Masalah-masalah utama apa yang muncul dengan adanya plu-
ralisme agama?
3. Bagaimana pluralisme filosofis Hick berusaha menyelamatkan
pluralisme agama?
4. Dari perspektif kristiani, apa yang salah dengan analogi gajah?
5. Apa yang salah dengan pernyataan Campbell bahwa semua agama
itu benar secara metaforis namun salah secara harfiah?
214 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Untuk Studi Lebih Lanjut


Adler, Mortimer J. Truth in Religion (New York: Macmillan, 1990).
Green, Michael. “But Don’t All Religions Lead To God?” (Grand Rapids: Baker,
2002).
Nash, Ronald H. Is Jesus the Only Savior? (Grand Rapids: Zondervan, 1994).
Okholm, Dennis L., dan Timothy R. Phillips, editor. More Than One Way?
Four Views on Salvation in a Pluralistic World (Grand Rapids: Zondervan,
1995).
BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KRISTEN
MENANGGAPI AGAMA-AGAMA DI DUNIA?

Apakah kasih karunia Allah terbatas secara relatif pada segelintir orang yang,
sering kali secara kebetulan dalam hal waktu dan letak geografi, menanggapi
Injil?
––Clark H. Pinnock, More than One Way?

Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab
di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia
yang olehnya kita dapat diselamatkan.
––Kisah Para Rasul 4:12

M iliaran orang di seluruh dunia mengikuti sistem-sistem kepercayaan


yang jelas berbeda. Sepuluh agama besar dunia yang bukan Kristen
dapat diidentifikasi dewasa ini: Buddha, Konghucu, Hindu, Islam, Jaina,
Yahudi, Shinto, Sikh, Tao, dan Zoroaster.1 Yang disebut sebagai agama-
agama minoritas terlalu banyak untuk dihitung (yang meliputi agama
Pribumi Amerika, Amerika Selatan, Afrika, Asia, dan berbagai agama
utama atau agama rakyat lainnya).2
Yesus berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada
seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh.
14:6). Dengan merenungkan kata-kata-Nya, bagaimana orang Kristen
harus menanggapi semua agama lain ini dan orang-orang yang memeluk
agama-agama itu?3 Dan di mana kekacauan yang membingungkan
dan bertentangan tentang klaim keagamaan ini dapat bersinergi dengan
pernyataan-pernyataan kebenaran kekristenan?

215
216 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Mengingat iklim budaya pluralisme, multikulturalisme, relativisme,


dan pascamodernisme dewasa ini, jawaban yang cermat untuk perta-
nyaan-pertanyaan yang senantiasa membingungkan ini dapat memper-
lengkapi seorang Kristen dengan respons yang tepat terhadap perbe-
daan-perbedaan agama yang mengganggu. Tanpa terlalu menyeder-
hanakan masalah-masalah pokok apologetis, prinsip-prinsip alkitabiah
yang kuat dapat membangun dasar untuk perspektif Kristen dan
hubungan yang tepat dengan agama-agama di dunia. Sebuah kritik
singkat tentang pluralisme dan inklusivisme dari perspektif eksklu-
sivisme Kristen yang bersejarah, bersama dengan jawaban-jawaban atas
penolakan-penolakan umum terhadap eksklusivisme, membantu mem-
bangun fondasi itu.

Sebuah Perspektif Alkitabiah tentang Agama-agama di Dunia


Menilai dan mengklasifikasi agama-agama di dunia dari perspektif
Kristen yang jelas merupakan tugas yang kompleks. Tidak semua orang
Kristen sepakat dengan sistem atau pendekatan yang benar. Namun,
wahyu khusus Allah di dalam Alkitab menyajikan pedoman untuk meng-
hadapi isu-isu rumit seperti ini. Sepuluh prinsip teologis yang diidentifi-
kasi di dalam Alkitab dapat membantu membentuk analisis kristiani yang
meyakinkan terhadap beragam agama umat manusia. Kebenaran-
kebenaran alkitabiah ini dicatat dan direferensikan dari Kitab Suci, dan
kepentingan apologetika serta evangelistiknya dijelaskan dengan singkat.
Perumusan dan artikulasi dari prinsip-prinsip teologis ini mencermin-
kan tradisi atau konsensus teologis Augustinian-Reformed.

1. Allah telah menyatakan diri-Nya.


Sang Pencipta Dunia sekaligus Sang Penebus dunia telah mengambil
inisiatif yang dinamis dan tegas untuk menyatakan diri kepada manusia
(Mzm. 19:2-5; 8-12; Kis. 14:17; Rm. 1:18-20; 2Tim. 3:16-17; Ibr. 1:
1-3). Jadi, wahyu diprakarsai Allah, bukan usaha manusia.
Doktrin wahyu adalah fitur sentral kekristenan yang bersejarah.
Penyingkapan atas sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui atau belum
sepenuhnya diketahui ini (penyingkapan oleh Allah sendiri) adalah
keunikan doktrin Kristen. Iman Kristen menyatakan bahwa Allah telah
menyatakan diri dengan jelas dan bermakna kepada umat manusia. Jadi
BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KRISTEN MENANGGAPI AGAMA-AGAMA DI DUNIA? 217

kekristenan adalah agama wahyu dan wahyu itu sangat penting untuk
mengenal Allah.
Menurut kekristenan historis, Allah telah menyatakan diri-Nya
dalam dua cara yang berbeda (dijelaskan lebih lengkap di dalam bab 3):
(1) melalui dunia ciptaan-Nya, yang disebut sebagai wahyu umum (yang
menyampaikan pengetahuan tentang Allah melalui tatanan yang
diciptakan) dan (2) melalui Firman-Nya yang disebut sebagai wahyu
khusus (yang menyampaikan pengetahuan tentang Allah melalui sejarah
penebusan).
Kebenaran dan realitas Allah yang mengungkapkan diri-Nya kepada
manusia sangat penting untuk membentuk sudut pandang kristiani
tentang agama-agama di dunia. Dari perspektif alkitabiah, Allah tidak
menyembunyikan diri di langit dan meninggalkan manusia mengembara
tanpa tujuan dan mencari-cari dalam kegelapan mengenai keberadaan,
natur, karakteristik, dan kehendak-Nya. Dalam hal ini, perbedaan yang
tajam dapat dilihat antara agama dan wahyu.4
Agama, seperti yang dipahami secara tradisional, biasanya mencer-
minkan pencarian spekulatif dan tidak pasti dari manusia terhadap
Allah yang tidak dungkapkan atau tidak sepenuhnya diungkapkan (misteri
Ilahi). Inisiatif untuk menemukan kebenaran tentang Allah di dalam
agama-agama seperti itu dilakukan oleh makhluk yang terbatas dan tidak
sempurna, yakni manusia. Sebaliknya, wahyu Alkitab mencerminkan
Allah yang menjangkau manusia secara jelas dan spesifik menyatakan
diri-Nya dalam tindakan penciptaan dan penebusan. Menurut Kitab
Suci, inisiatif untuk menemukan kebenaran tentang Allah tidak berasal
dari manusia, tetapi dari Allah sendiri. Meskipun Allah tidak terbatas
dan sempurna, Dia tetap menyatakan diri-Nya dengan cara yang dapat
ditangkap secara signifikan oleh makhluk ciptaan-Nya.
Perbedaan penting lainnya antara agama pada umumnya dan wahyu
alkitabiah terletak pada definisi kebenaran. Dalam banyak tradisi keaga-
maan dunia, terutama agama-agama Timur, kebenaran-kebenaran
tentang Allah bersifat mistis dan esoteris dan karena itu tidak memenuhi
syarat sebagai klaim kebenaran yang proposisional (faktual, logis).
Karena alasan ini, kontradiksi logis dan inkonsistensi faktual di antara
agama-agama di dunia ini dipandang sebagai konsekuensi utama (atau
bahkan sebagai indikasi kedalaman spiritual).
218 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Sebaliknya, meskipun Allah di dalam Alkitab itu tampak misterius


dan akhirnya sama sekali tidak dapat diduga oleh pikiran manusia yang
terbatas, Dia telah berkomunikasi dan dapat dimengerti dalam bentuk
yang proposisional (pernyataan yang berisi tuntutan benar atau salah).
Bahkan sebelum datang secara pribadi, Dia juga secara khusus telah
menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri dengan
akal budi yang mampu menangkap kebenaran proposisional. Oleh karena
itu, di dalam kekristenan, kebenaran tentang Allah harus sesuai dengan
kategori yang rasional dan logis, dan karena sifat-Nya yang rasional,
Allah tidak mungkin bertentangan dengan diri-Nya sendiri. Pernyataan-
pernyataan kebenaran keagamaan yang kontradiktif (yang berlimpah-
limpah di dalam agama-agama dunia) dengan demikian tidak konsisten
dengan konsep alkitabiah tentang wahyu ilahi yang “jujur.”

2. Wahyu umum tersedia bagi semua orang.


Pengetahuan dasar tentang keberadaan dan natur Allah yang sejati
dinyatakan kepada semua orang dengan jelas (lih. Mzm.19:2-5; Rm.
1:18-20; Kis. 17:25-27; Rm. 2:14-15). Menurut teologi Kristen, wahyu
umum Allah mengambil dua bentuk (lih. bab 3 tentang wahyu):5 pertama,
wahyu umum eksternal, yang terdiri dari tatanan yang diciptakan, atau
alam, dan urutan sejarah yang sudah digariskan oleh Allah; kedua, wahyu
umum internal yang meliputi perasaan yang dibawa sejak lahir atau
kesadaran akan keberadaan Allah dan hukum moral-Nya, yakni hati
nurani. Jadi, setiap orang dan budaya dapat mengaksesnya.
Wahyu umum internal berhubungan langsung dengan pemahaman
kristiani tentang imago Dei (gambar dan rupa Allah: Kej. 1:26-27).
Sebagai puncak penciptaan Allah, manusia dengan kapasitas rasional,
kemauan moral, aspek relasional, dan kualitas spiritualnya yang berbeda,
secara unik mencerminkan gambar dan rupa Allah. Sebagai makhluk
yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, manusia dengan cara
yang terbatas mencerminkan kemuliaan Penciptanya meskipun sejak
kejatuhan manusia ke dalam dosa, refleksi ini tentu telah menjadi buram.
Karena wahyu umum, baik yang internal maupun yang eksternal,
ciri-ciri tertentu dari agama-agama yang bukan Kristen bisa benar. Hal
itu karena Allah menciptakan alam semesta dan kemudian menciptakan
setiap manusia tertentu menurut gambar dan rupa-Nya—jejak autentik
BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KRISTEN MENANGGAPI AGAMA-AGAMA DI DUNIA? 219

tentang diri-Nya dapat ditemukan di dalam semua budaya, di antara


semua bangsa, dan, dengan beberapa kualifikasi penting, bahkan di antara
semua agama.6 Ciptaan secara kuat, terus-menerus, senyap, dan uni-
versal mencerminkan Sang Pencipta.
Alkitab juga mengungkapkan bahwa sebagai makhluk ciptaan Allah
yang istimewa, manusia pasti tahu di dalam lubuk hati mereka yang
terdalam bahwa ada Allah yang kepada-Nya mereka bertanggung jawab
secara moral. Pemahaman yang melekat dan intuitif tentang Allah ini
menjelaskan adanya dorongan keagamaan dan moral yang mendalam
pada manusia. Manusia bahkan disebut homo religiosus karena kecen-
derungan religius intrinsik mereka. Temuan antropologis dan sosiologis
mengonfirmasi bahwa agama telah menjadi fenomena universal di
sepanjang sejarah manusia.7 Bahkan orang yang terang-terangan menya-
takan diri ateis, akhirnya cenderung mengejar dan mendukung jawaban-
jawaban eksistensial atas pertanyaan-pertanyaan utama kehidupan, sering
dengan cara “religius” (filsafat-filsafat eksistensialisme ateistis dan Marx-
isme, sebagai contoh). Wahyu umum menjelaskan fenomena religiusitas
manusia yang kuat ini (atau apa yang dewasa ini disebut sebagai “spiri-
tualitas”) dan membeberkan mengapa banyak agama di dunia mene-
mukan landasan bersama di dalam isu-isu tertentu, khususnya di dalam
masalah etika.

3. Dosa menghasilkan distorsi.


Kondisi manusia yang telah jatuh ke dalam dosa (berdosa) telah
merusak kemampuan rohaninya (kognitif dan/atau pembentuk keya-
kinannya) sehingga mengakibatkan kebebalan moral dan spiritual. Jadi,
kecenderungan alamiah manusia adalah menekan dan mendistorsi
pengetahuan tentang Allah yang tersedia di dalam wahyu umum (lih.
Rm. 1:18-25; Ef. 4:17-19).
Sementara para penganut agama-agama di dunia memiliki penge-
tahuan yang riil (kendati belum sempurna) tentang Allah yang ada di
dalam Alkitab melalui wahyu umum, kondisi mereka yang kini berdosa
(karena kejatuhan ke dalam dosa, Kej. 3) menyebabkan mereka menekan
kebenaran ini. Jadi, manusia berdosa menderita sejenis penyakit yang
mungkin dapat disebut “Skizofrenia spiritual”8 yang menginginkan dan
sekaligus menolak Allah. Sementara manusia diciptakan untuk berse-
220 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

kutu dengan Penciptanya, natur dosanya terus menahannya untuk meng-


akui atau menyembah Allah yang benar dan menerima pertanggung-
jawaban moral di hadapan-Nya. Di dalam doanya yang sangat mendalam,
Augustine mengutarakan kebutuhan manusia untuk berelasi dengan
Allah: “Memikirkan-Mu menggugah hatinya begitu dalam sehingga ia
tidak puas jika tidak memuji-Mu, karena Engkau menciptakan kami untuk
diri-Mu dan hati kami tidak menemukan kedamaian sebelum berlabuh
dalam-Mu.”9
Karena kesadaran ilahi yang kuat di dalam diri manusia ini tidak
bisa sepenuhnya dimatikan, kesadaran itu pasti akan muncul. Namun,
terlepas dari anugerah Allah, dorongan ini sering salah arah, sering
menyimpang ke dalam pemujaan berhala. Hasil penyimpangan spiritual
ini terlihat di dalam berbagai sistem kepercayaan dunia: animisme,
sinkretisme, politeisme, panteisme, godisme terbatas, okultisme, dan
humanisme. Dalam pertemuan yang terkenal di Bukit Areopagus
(Atena), rasul Paulus menghadapi situasi keagamaan pluralistis serupa
pada abad I (Kis.17:16-34).
Jadi, meskipun manusia tahu melalui wahyu umum bahwa ada
Allah, terlepas dari kasih karunia istimewa dari Allah yang bekerja di
dalam hidupnya, ia pasti akan memilih untuk tidak percaya kepada
Allah yang benar (Rm. 3:10-12).10 Ironisnya, ketika menolak Allah,
dorongan keagamaan manusia dapat mendorongnya untuk meninggikan
hampir setiap berhala atau “dewa” di tempat Allah. Untuk alasan ini,
kebanyakan penginjil Protestan berpendapat bahwa wahyu umum sendiri
tidak dapat menyelamatkan—meskipun dapat menyingkirkan semua
alasan untuk menolak Allah. Hal itu karena orang-orang di dalam agama-
agama yang bukan Kristen juga memiliki akses ke wahyu yang benar,
dan wahyu itu akhirnya membuat mereka bertanggung jawab di hadapan
Pencipta mereka.

4. Iblis menyebabkan semakin banyak penyimpangan.


Meskipun beberapa pandangan keagamaan mungkin merupakan
hasil spekulasi manusia belaka, setidaknya beberapa bentuk agama
dimotivasi oleh Iblis dan antek-anteknya (Mat. 24:24; 1Kor. 10:14-22;
2Kor. 4:4; 2Tes. 2:9-10; 1Tim. 4:1; Why. 2:9, 12:9).
BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KRISTEN MENANGGAPI AGAMA-AGAMA DI DUNIA? 221

Kitab Suci menunjukkan bahwa Iblis dan/atau para pengikutnya (para


malaikat yang berpihak pada Iblis untuk memberontak bersama-sama)
berada di balik penyembahan berhala dan aktif membutakan pikiran
orang yang tidak percaya. Niat mereka selalu menyesatkan umat manusia
dengan kepalsuan spiritual yang kuat. Ajaran sesat dan doktrin palsu
kadang-kadang dikaitkan dengan pengaruh setan (1Tim. 4:1-2). Beberapa
praktik tersembunyi secara eksplisit dikutuk di dalam Alkitab sebagai
kekejian bagi Allah (Ul. 18) karena praktik-praktik ini berhubungan
dengan aktivitas setan. Dengan kata lain, tidak semua agama bukan
Kristen adalah produk perjuangan manusia yang sesat, tetapi beberapa
di antaranya memiliki sumber spiritual yang benar-benar jahat.
Sebagai akibat dosa manusia dan aktivitas setan, tidak ada manusia
yang berada di ranah spiritual yang sungguh-sungguh netral. Meskipun
dimensi setan dari berbagai agama berhala dapat dilebih-lebihkan, pepe-
rangan rohani harus diakui sebagai realitas yang ada di balik layar agama-
agama dunia, terutama yang berakar di dalam praktik okultisme.11

5. Kristus dan klaim eksklusif-Nya di dalam wahyu khusus itu unik.


PB mengungkapkan Yesus Kristus sebagai Allah yang menjadi manu-
sia (Yoh. 1:1; 8:58-59; 10:29-31; 14:8-9; 20:28; Flp. 2:5-7; Kol. 2:9;
Tit. 2:13; Ibr. 1:8; 2Ptr. 1:1), dan dengan demikian sebagai satu-satunya
Juruselamat umat manusia (Mat. 11:27; Yoh. 1:18; 3:36; 14:6; Kis. 4:12;
1Yoh. 5:11-12).
Penyataan diri Allah yang lebih spesifik dan khusus—wahyu khusus—
hadir di dalam dan melalui tindakan penebusan, peristiwa-peristiwa, dan
firman-Nya yang unik (lih. bab 3). Bentuk wahyu ini datang pada waktu
yang khusus, di tempat-tempat khusus, dan dalam dua tahap. Pertama,
Allah memanifestasikan diri-Nya melalui umat perjanjian-Nya seperti
para leluhur, nabi-nabi, dan raja-raja Yahudi (PL). Kedua, wahyu Allah
mencapai puncaknya dengan jelas dalam inkarnasi Yesus Kristus, Allah-
manusia. Klimaks masuknya Allah dalam sejarah manusia dicatat dalam
kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus (PB).
Menurut PB (termasuk firman-Nya sendiri yang tercatat), Yesus
Kristus bukanlah salah satu jalan di antara banyak jalan menuju Allah
(lih. tabel 13.1). Dia juga bukan hanya seorang nabi atau rasul yang
menunjukkan jalan kepada orang lain menuju Allah. Sebaliknya, Yesus
222 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

adalah Allah Putra, Pribadi Kedua Trinitas, yang menjadi manusia, yang
telah datang secara pribadi ke bumi untuk mendamaikan dunia dengan
diri-Nya melalui pengurbanan-Nya di kayu salib (2Kor. 5:19). Yesus
Kristus bukan hanya dinyatakan secara unik sebagai Tuhan dan Juru-
selamat dunia (Rm. 10:9-13; Flp. 2:5-11), tetapi juga seperti Yahweh di
dalam PL yang dinyatakan sebagai Tuhan dan Juruselamat dengan
mengesampingkan semua yang disebut tuhan dan juruselamat (1Kor.
8:5-6; 1Tim. 4:10).

Tabel 13.1
Membandingkan para pemimin agama-agama di dunia

Agama Pemimpin Status Misi


1. Buddha Buddha (Gautama) Sosok yang diberi Memimpin orang lain
pencerahan ke Nirwana
2. Konghucu Konfusius Guru etika Membangun masyara-
kat yang bermoral
3. Hindu Krishna Awatara yang Ilahi Menginspirasi selaku
pahlawan
4. Tao Lao-Tse Sosok yang bijak- Mengajarkan (jalan)
sana Tao
5. Jaiza Mahavira Tokoh heroik Mengajar asketisme
(bertapa)
6. Yahudi Musa Nabi Menyampaikan kehen-
dak dan hukum Yahweh
7. I s l a m Muhammad Nabi Terakhir Menyampaikan kehen-
dak Allah
8. Zoroaster Zoroaster Nabi Menyampaikan kehen-
dak Ahura-Mazda
9. Kristen Yesus Allah yang berinkar- Menebus umat manu-
nasi (Tuhan, Mesias, sia
Juruselamat)

Pernyataan Yesus yang eksklusif tentang jalan menuju keselamatan


itu tegas, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang
pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh. 14:6,
penekanan kata bercetak miring ditambahkan oleh penulis). Rasul Petrus
menegaskan eksklusivitas kristologis yang sama, “Dan keselamatan tidak
BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KRISTEN MENANGGAPI AGAMA-AGAMA DI DUNIA? 223

ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong
langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang oleh-
nya kita dapat diselamatkan” (Kis. 4:12, penekanan pada kata bercetak
miring ditambahkan oleh penulis).12
Identitas unik dan klaim eksklusif Yesus Kristus berbeda dengan
identitas dan klaim dari semua pemimpin agama besar lainnya. Hanya
Yesus yang membuat klaim tentang otoritas Ilahi dan menopangnya
dengan hak-hak istimewa dan bukti-bukti keilahian. Doktrin kristosentris
tentang inkarnasi, penebusan, dan kebangkitan membentuk inti kekris-
tenan, dan kebenaran-kebenaran itulah yang membedakan agama Kristen
dari semua agama lainnya.13 Tidak akan ada juruselamat lainnya karena
Allah secara pribadi, akrab, unik, tegas, dan sampai pada kekekalan
dinyatakan di dalam pribadi Yesus Kristus. Semua orang di mana pun
berada, tanpa memandang budaya, ras, atau warisan agama, harus
memandang kepada-Nya untuk mendapatkan keselamatan. Rasul-rasul-
Nya pernah berkata, “Barangsiapa memiliki Anak, ia memiliki hidup ;
barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup” (1Yoh. 5:12).

6. Mengimani Kristus adalah respons yang dibutuhkan untuk Injil.


Orang mengalami keselamatan melalui iman yang diyakini secara
sadar ketika merespons pemberitaan Injil yang eksplisit (lih. Luk. 24:
46-47; Yoh. 3:15-16, 20:31; Kis. 4:12; 11:14; 16:31; Rm. 10:9-10;
13-18; 1Kor. 15:1-4; Gal. 3:2, 5, 16; Ef. 1:13; 1Tim. 2:5-6; 2Tim. 3:15;
Ibr. 4:2; 1Ptr. 1:23-25; 1Yoh. 2:23; 5:12).
Allah membawa keselamatan melalui Injil, Kabar Baik tentang kurban
penebusan Kristus bagi dosa manusia. Orang-orang menanggapi dengan
iman yang sadar terhadap pesan yang diserukan berkenaan dengan
kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus. Kitab Suci secara
langsung menghubungkan apa yang didengar dalam pemberitaan Injil
dengan iman yang sadar dari orang-orang percaya, yang kemudian meng-
hasilkan keselamatan. Tak ada satu bagian pun di dalam PB yang menga-
takan atau bahkan menunjukkan bahwa seseorang dapat diselamatkan
tanpa iman di dalam Kristus. Bahkan, rasul Paulus tampaknya memban-
tah tentang perlunya orang mendengar Kabar Baik agar dapat diselamat-
kan:
224 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

 “Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka


tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya
kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana
mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberi-
takan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya,
jika mereka tidak diutus? Seperti ada tertulis: ‘Betapa indahnya
kedatangan mereka yang membawa kabar baik!’ . . . Jadi, iman
timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus”
(Rm. 10:14-15, 17).

7. Kasih karunia Allah yang berdaulat membawa orang-orang


beriman kepada Yesus Kristus.
Allah Bapa memanggil dan secara adikodrati membawa orang-
orang kepada Yesus Kristus (Yoh. 6:37, 44, 65; 12:32; 15:16; Kis. 13:48;
Rm. 8:29; Ef. 1:4) dan Roh Kudus menyampaikan karunia iman kepada
mereka melalui pemberitaan Injil (Rm. 10:17; 12:3; 1Kor. 12:3; 2Kor.
4:13; Ef. 6:23; Flp. 1:29; 1Tes. 2:13; Ibr. 12:2).
Karena jatuh dalam dosa, manusia menderita kerusakan total,
artinya dosa telah memperbudak manusia secara total—jiwa, pikiran,
kehendak, dan tubuh (Mzm. 51:7; Mat. 15:19; Rm. 7:14-15; Ef. 4:
17-19). Akibat dari kerusakan yang tak terelakkan ini adalah ketidak-
mampuan total (orang berdosa untuk merespons Allah dengan iman,
baik dari dalam dan dari diri mereka sendiri, Rm. 8:7-8; 1Kor. 2:14).
Oleh karena itu, anugerah Allah, khususnya pekerjaan Roh Kudus
melalui isi wahyu khusus (pemberitaan Injil penebusan di dalam Kristus,
Yoh. 20:31; Rm. 10:17), menghasilkan respons iman manusia (Ef. 2:
8-9; Tit. 3:5). Kasih karunia Allah memulihkan kehendak manusia yang
telah jatuh ke dalam dosa, menerangi pikiran, melembutkan hati, dan
melalui wahyu khusus mengoreksi penyimpangan yang tak terelakkan
yang dilakukan orang terhadap wahyu umum (Ef. 2:4-6; 4:17-24; Flp.
2:12-13). Oleh sebab itu, respons iman manusia berakar pada inisiatif
dan regeneratif kekuasaan Allah.
Allah digambarkan sebagai pencipta dan penentu keselamatan, dan
Kitab Suci menjanjikan bahwa semua orang yang dipanggil oleh Allah
akan diselamatkan (Kis.13:48). Kasih karunia dan kehendak-Nya yang
BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KRISTEN MENANGGAPI AGAMA-AGAMA DI DUNIA? 225

berdaulat itu berlaku, terlepas dari bagaimana hal itu tampaknya, bahkan
untuk orang-orang yang belum mengenal Injil.

8. (Kebenaran) keyakinan yang benar itu penting.


Keselamatan tergantung pada kebenaran objektif, kebenaran yang
seseorang percayai (Yoh. 3:36; 8:24; 2Kor. 11:4; Gal. 1:8-9; 1Tim. 1:
3-4,18-19; 6:3; Tit. 1:9; 2Ptr. 2:1; 1Yoh. 2:22-23; 4:1-3; 2Yoh. 7-11;
Yud. 3-4).
Menurut Kitab Suci, keselamatan menuntut lebih dari sekadar
kesungguhan pribadi. Keselamatan juga membutuhkan kebenaran objek-
tif dari keyakinan yang diimani oleh seseorang. Kebenaran doktrinal itu
penting karena doktrin yang salah menenggelamkan iman dan memba-
hayakan jiwa. Mengimani Allah yang palsu atau Kristus yang palsu atau
Injil yang palsu tidak akan menyelamatkan manusia. Untuk mendapat-
kan keselamatan, sangat penting bagi kita untuk mengimani Allah dan
Juruselamat yang sejati dan untuk memercayai pribadi, natur, dan karya
Kristus yang sejati.
Orang-orang percaya mungkin tidak sepenuhnya memahami atau
mungkin mereka sungguh salah paham atau bahkan terbatas pengenalan
mereka akan kebenaran Kristen. Akan tetapi, ada parameter-parameter
doktrinal yang tidak dapat dilanggar oleh manusia tanpa menyebabkan
kemurtadan dan penghakiman Ilahi. Menganut Kristus palsu dan/atau
Injil palsu mendatangkan konsekuensi yang mengerikan. Peringatan
rasul Paulus kepada jemaat Galatia tentang adanya injil yang berbeda,
secara dramatis menekankan pentingnya doktrin (Alkitab) yang kuat:
 “Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari surga yang
memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil
yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia. Seperti
yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi:
jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang
berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia”
(Gal. 1:8-9).
Agama-agama di dunia menyeret manusia kepada allah-allah yang
salah, Kristus-kristus yang salah, dan injil yang salah. Tonggak spiritual
yang utama adalah respons seseorang kepada Yesus Kristus. Sebagaimana
226 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

dinyatakan oleh Rasul Yohanes, “Barangsiapa percaya kepada Anak, ia


beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia
tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya”
(Yoh. 3:36).

9. Kekristenan memerlukan respons apologetis.


Dalam rangka membimbing orang melewati penghalang-penghalang
iman dan menyingkapkan agama-agama yang salah karena bahaya yang
mereka hadirkan, orang-orang Kristen bertanggung jawab untuk mem-
pelajari ajaran-ajaran dan perspektif agama-agama di dunia serta mem-
berikan kritik yang sopan dan sehat (Kis. 17:22-31; 2Kor. 10:4-5; Tit.
1:9; 1Ptr. 3:15; Yud. 3).
Para ahli apologetika Kristen harus menyikapi agama-agama di dunia
dengan serius. Untuk melakukan hal itu diperlukan penelitian yang
saksama terhadap sejarah agama dan asal-usul, sumber otoritas, kategori,
ajaran, argumen, dan orientasi pandangan. Ahli apologetika yang efektif
akan mengenal dan benar-benar menguasai secara mendalam agama-
agama yang lain dan pengikut mereka sehingga ia dapat mengungkapkan
kelemahan-kelemahan agama tertentu berdasarkan kebenaran kristiani
yang esensial.14 Bukan tugas yang mudah bagi para apologet tersebut
karena penyingkapan yang baik efeknya sangat dahsyat. Upaya apolo-
getika inilah yang tampaknya dituntut oleh Kitab Suci. “Kami mema-
tahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun
oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami
menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus” (2Kor.
10:5). Tantangan serius yang ditimbulkan oleh agama-agama bukan
Kristen di dunia perlu ditanggapi dengan upaya apologetika kekristenan
yang optimal.

10. Manusia layak mendapatkan respek yang benar.


Karena semua orang menyandang gambar dan rupa Allah sendiri,
orang Kristen harus menunjukkan kepada orang-orang dari agama lain
respek pribadi yang tepat (Kej. 1:26-27; 9:6; Yak. 3:9).
Sebagai makhluk ciptaan Allah, semua orang menyandang imago
Dei dan karena itu memiliki martabat dan nilai moral yang diwarisi dari-
Nya. Oleh karena itu, setiap orang layak mendapatkan hormat dan
BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KRISTEN MENANGGAPI AGAMA-AGAMA DI DUNIA? 227

perlakuan yang baik tanpa membedakan ras, jenis kelamin, kelas sosial,
atau keyakinan agama. Umat Kristen dipanggil oleh Allah untuk menjaga
hak individu sesamanya agar orang itu meyakini agama yang telah mereka
pilih, entah apakah keyakinan khusus mereka itu salah, tidak masuk
akal, atau bertentangan dengan kebenaran kristiani. Hal ini pada dasar-
nya sama dengan menghormati kepribadian manusia, kemauan, dan
tanggung jawab moral individual. Umat Kristen bahkan harus menole-
ransi praktik (keagamaan dan yang nonkeagamaan) orang lain, asalkan
praktik-praktik tersebut legal, bermoral, dan bijaksana. Namun, meng-
hormati keyakinan-keyakinan orang lain tidak boleh disalahartikan
sebagai menyetujui keyakinan-keyakinan mereka. Umat Kristen bertang-
gung jawab untuk menggunakan kekuatan persuasif mereka guna meya-
kinkan orang lain tentang kebenaran, terutama kebenaran hakiki tentang
Yesus Kristus. Meskipun bersikap toleran secara sosial, umat Kristen
pada saat yang sama harus tidak toleran secara intelektual terhadap klaim
kebenaran yang bertentangan (lih. bab 17 tentang masalah toleransi).
Cara kita memperlakukan orang akan meninggalkan kesan yang
kuat dan abadi—entah mereka setuju atau menentang kesaksian Injil.
Alkitab meminta orang-orang percaya untuk memberitakan kebenaran
dalam kasih (Ef. 4:15)—dimotivasi oleh kasih dan mengekspresikan kasih
dalam bentuk kata-kata, tindakan, dan sikap.

Para Penentang Eksklusivisme Kristen Zaman Sekarang


Data Alkitab yang telah dibahas sebelumnya mendukung apa yang
secara historis disebut sebagai eksklusivisme Kristen. Beberapa penginjil
dewasa ini lebih suka menyebutnya sebagai “partikularisme.”15 Apa pun
sebutan orang untuk hal itu, tiga poin teologis menegaskan pandangan
ini: (1) Iman Kristen adalah iman eksklusif yang benar, (2) Yesus Kristus
adalah satu-satunya Juruselamat manusia, dan (3) agar diselamatkan,
orang perlu beriman kepada Yesus Kristus secara sadar. Pandangan his-
toris gereja Kristen ini dapat dibedakan dari dua pandangan yang saling
bertentangan dewasa ini mengenai hubungan agama Kristen dengan
agama-agama lainnya—pluralisme dan inklusivisme.
228 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Masalah dengan Pluralitas Agama


Karena kritik yang menyeluruh tentang pluralisme telah dibahas di
bab 12, bagian ini hanya berisi ringkasan kritik yang singkat.
Pertama, sekadar untuk mengingatkan beberapa definisi: Pluralisme
populer (disebut demikian karena popularitasnya di tengah budaya masa
kini) menegaskan bahwa semua agama sama-sama sah sekaligus benar.
Pluralisme filosofis (disampaikan dan ditegaskan oleh filsuf-filsuf agama)
menegaskan bahwa semua agama besar atau etika adalah jalan yang sama-
sama sah menuju kepada Allah atau Realitas Tertinggi. Filsuf agama
John Hick adalah perwakilan yang paling terkenal dari pluralisme filo-
sofis.16 Dengan menegaskan bahwa semua agama besar adalah benar,
pluralisme filosofis menyangkal ketiga poin yang mendefinisikan eksklu-
sivisme Kristen.
Namun, perbedaan-perbedaan yang mendasar dan tak terdamaikan
memisahkan agama-agama di dunia dalam banyak isu penting. Karena
perbedaan-perbedaan ini, agama-agama menentang upaya untuk disama-
kan ke dalam tema umum atau esensi yang tunggal. Dengan melihat
keragaman agama ini, pluralisme populer tentu salah dalam pernya-
taannya bahwa semua agama sama-sama benar karena dalam kekacauan
klaim kebenaran keagamaan, ada sangat banyak kontradiksi menyolok
yang muncul ke permukaan. Sebagai contoh, secara logis tidak mungkin
bagi Yesus Kristus untuk menjadi Allah yang berinkarnasi (Kristen)
sekaligus dan tidak menjadi Allah yang berinkarnasi (Yahudi, Islam). Dia
adalah Allah yang berinkarnasi atau tidak berinkarnasi, dan tidak ada
pilihan logis lainnya. Meneliti pernyataan-pernyataan pluralisme agama
populer secara logis menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan itu
tidak masuk akal.
Pluralisme filosofis berupaya untuk menghindari kesulitan-kesulitan
logis ini, tetapi malah menimbulkan semakin banyak masalah: Pluralisme
secara tidak langsung menyatakan skeptisisme radikal tentang Allah,
menunjukkan semua pernyataan kebenaran keagamaan yang utama itu
salah, sewenang-wenang mengubah natur agama, menolak untuk mene-
rima pernyataan kebenaran Kristen yang historis ini dengan serius, dan
bertentangan dengan pernyataan pluralistisnya karena pada akhirnya
menganut satu perspektif keagamaan tertentu (biasanya jenis monisme
Timur).
BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KRISTEN MENANGGAPI AGAMA-AGAMA DI DUNIA? 229

Pluralisme jelas bertentangan dengan doktrin khas agama Kristen


yang historis tentang wahyu, Trinitas, inkarnasi, penebusan, dan kebang-
kitan. Doktrin-doktrin ini tidak cocok dengan agenda pluralisme yang
homogen dan akomodatif.

Inklusivisme agama
Inklusivisme agama ditegaskan di dalam banyak tradisi agama (non-
Kristen) lainnya. Namun, fokus bahasan ini adalah pada inklusivisme
Kristen. Meskipun jelas ada perbedaan-perbedaan di antara para pen-
dukungnya, inklusivisme menegaskan dua hal yang esensial: (1) Kesela-
matan di dalam kekristenan telah digenapi secara sempurna melalui Sang
Juruselamat Yesus Kristus, tetapi (2) orang dapat menemukan anugerah
Allah di semua budaya dan agama dan diselamatkan oleh Kristus secara
anonim, yakni tanpa mengetahui secara spesifik tentang Kristus (dan
karena itu tanpa mempraktikkan iman Kristen secara sadar).17
Dengan menegaskan bahwa iman eksplisit di dalam Yesus Kristus
tidak diperlukan untuk mendapatkan keselamatan, itu berarti inklu-
sivisme menolak ide (didefinisikan dalam eksklusivisme) bahwa orang
harus memiliki iman yang sadar di dalam Yesus Kristus agar diselamat-
kan (dan beberapa bentuk inklusivisme penyangkalannya lebih banyak
lagi).18 Pendukung paling menonjol terhadap inklusivisme Kristen adalah
teolog Katolik Jerman Karl Rahner. Pandangannya memengaruhi Konsili
Vatikan II untuk mengadopsi sebuah pandangan inklusif:19 “Mereka yang
bukan karena kesalahan sendiri masih tidak tahu tentang Injil Kristus
dan Gereja-Nya, namun sungguh-sungguh mencari Allah, dan dengan
bantuan kasih karunia Ilahi berusaha untuk melakukan kehendak-Nya
sebagaimana yang mereka ketahui melalui suara hati nurani mereka,
orang-orang itu dapat mencapai keselamatan kekal.”20 Teolog Clark H.
Pinnock telah mengungkapkan bentuk inklusivisme yang sangat serupa
dengan yang diungkapkan Rahner namun lebih “berorientasi pengin-
jilan.”21

Masalah yang ada dalam Inklusisme Kristen


Dengan menegaskan bahwa kasih karunia Allah yang menyelamatkan
di dalam Kristus itu bekerja di dalam agama-agama yang bukan Kristen,
bertentangan dengan apa yang Alkitab ungkapkan tentang natur berhala
230 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

dan natur jahat agama yang dibuat manusia, secara jahat memengaruhi
sifat agama yang berasal dari manusia (lih. poin 3 dan 4, hal. 219-221 di
bawah judul pembahasan “Sebuah Perspektif Alkitabiah tentang Agama-
agama di Dunia”).
Meskipun agama yang bukan Kristen secara kolektif dipandang
sebagai suatu wadah yang berisi keanekaragaman (baik dan buruk, mulia
dan tercela), kritera tetap dibutuhkan untuk memilah antara hal yang
secara teologis baik dan yang secara teologis buruk (peran yang hanya
dapat dimainkan oleh Kitab Suci, 2Tim. 3:15-16).22 Mencampuradukkan
anugerah Allah yang sejati dengan keyakinan dan ritus-ritus berhala
menimbulkan pertanyaan serius apakah inklusivisme bukan merupakan
pintu jebakan menuju pluralisme agama. Kemungkinan ini menyodorkan
masalah yang sangat serius, terutama di dalam pendekatan Rahner yang
cukup liberal terhadap inklusivisme.
Orang dapat beranggapan bahwa menyatakan kebenaran tentang
inklusivisme membuat misi dan penginjilan Kristen tidak perlu, dan tentu
saja tidak wajib. Bahkan, jika inklusivisme benar, tidak ada alasan untuk
tetap mempertahankan kekristenan. Rahner berbicara tentang “orang-
orang Kristen yang anonim,” tetapi istilah ini bertentangan dengan
doktrin Kristen yang historis. Orang juga pasti bertanya-tanya, mung-
kinkah ada “orang-orang Buddha anonim” atau “orang-orang Hindu
anonim?”
Menurut Kitab Suci, keselamatan tergantung pada keyakinan yang
benar. Tujuan kepercayaan itulah yang menyelamatkan, bukan kesung-
guhan pribadi semata. Keyakinan yang salah dapat menyebabkan kutukan
(lih. poin 8, hal. 225-226 di bawah judul pembahasan “Sebuah Perspektif
Alkitabiah tentang Agama-agama di Dunia”).
Sebuah argumen Alkitab yang kuat dapat dibuat bahwa iman yang
diyakini secara sadar dan eksplisit di dalam Kristus diperlukan untuk
mendapatkan keselamatan (lih. poin 6, hal. 223-224 di bawah judul pem-
bahasan “Sebuah Perspektif Alkitabiah tentang Agama-agama di Dunia”).
Jika argumen ini benar, maka inklusivisme salah.
Antropologi para penganut inklusivisme tampaknya memiliki pan-
dangan yang terlalu optimis terhadap manusia dan pandangan yang lemah
terhadap dosa (tidak konsisten dengan doktrin Alkitab tentang kerusakan
total dan ketidakmampuan total manusia—lih. poin 3, hal. 219-220 di
BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KRISTEN MENANGGAPI AGAMA-AGAMA DI DUNIA? 231

bawah judul pembahasan “Sebuah Perspektif Alkitabiah tentang Agama-


agama di Dunia”).
Akhirnya, inklusivisme tidak mendapatkan dukungan alkitabiah yang
kuat, dan kesimpulan-kesimpulan utamanya tampak dipaksakan di dalam
teks. Masalah yang sangat penting ini layak mendapatkan dukungan
alkitabiah yang kuat.

Tantangan terhadap Eksklusivisme


Beberapa orang tampaknya menyukai inklusivisme terutama karena
adanya kelemahan-kelemahan yang dirasakan di dalam pandangan
eksklusivisme semata. Daftar penolakan khas terhadap eksklusivisme
beserta respons eksklusifnya akan disampaikan berikut ini. Namun,
perlu diingat, juga ada perbedaan-perbedaan pandangan di antara orang-
orang yang menganut eksklusivisme. Bentuk eksklusivisme yang diper-
juangkan di dalam bab ini mencerminkan komitmen terhadap tradisi
atau konsensus teologis Reformed, Augustine. Para penganut eksklu-
sivisme yang berorientasi pada Armenius ini dapat menjawab beberapa
penolakan di bawah ini dengan cara yang sangat berbeda.

Eksklusivisme secara tak langsung menyatakan bahwa Allah itu pilih


kasih. Dia membatasi anugerah-Nya hanya kepada sebagian orang
yang membuka diri kepada Injil, dan tidak kepada yang lainnya.
Bukankah hal ini tidak adil?
Jawaban: Menurut Alkitab, sesungguhnya semua orang telah meno-
lak otoritas Allah melalui hubungan mereka dengan Adam (melalui dosa
asal, Rm. 5:12,18-19). Jadi, yang benar-benar dibutuhkan manusia adalah
kesempatan kedua yang berupa kasih karunia Allah, dan Dia memberi-
kannya, menurut kebijaksanaan-Nya. Akhirnya, setiap orang yang berada
di bawah penghakiman Allah akan mendapatkan apa yang layak baginya
(keadilan). Sebenarnya, Allah bisa saja mengutuk semua orang dan tetap
bisa disebut adil. Dia tidak berutang kepada siapa pun untuk memberi-
kan kesempatan kedua, apalagi kesempatan pertama. Penyaluran anu-
gerah Allah mungkin tampaknya tidak masuk akal, tetapi hal itu tidak
bisa diartikan tidak adil. Memberikan pengampunan dan kasih karunia-
Nya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya adalah semata-mata kebi-
jaksanaan Allah dan hak prerogatif-Nya sebagai Raja yang berdaulat.
232 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Perspektif ini mungkin tidak populer sekarang, tetapi Kitab Suci men-
dukung gagasan bahwa keselamatan yang Allah berikan menurut kemu-
rahan hati-Nya, menjadi fokus yang diperhatikan bukan dunia (lih.
poin 7, hal. 224-225 di bawah judul pembahasan “Sebuah Perspektif
Alkitabiah tentang Agama-agama di Dunia”).

Eksklusivisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan keselamatan


dibutuhkan iman di dalam Kristus. Namun, orang-orang Yahudi
di dalam PL diselamatkan tanpa mengimani Yesus Kristus.
Jadi, mengapa hal itu tidak dapat berlaku bagi orang-orang pada
zaman ini?
Jawaban: Orang-orang percaya pada zaman PL diselamatkan di
bawah perjanjian kasih karunia. Mereka percaya pada belas kasihan
Yahweh dan setidaknya memiliki dasar pemahaman bahwa Mesias Allah
akan memberikan penebusan yang mendamaikan atau kurban pengganti
(Mzm. 22; Yes. 53).23 Umat Yahudi diselamatkan melalui iman prospektif
(menantikan kedatangan Kristus), sedangkan umat Kristen saat ini dise-
lamatkan melalui iman retrospektif (mengingat kembali kedatangan
Kristus yang telah terjadi). Masalah-masalah yang berkaitan dengan
natur progresif wahyu dan sejarah keselamatan (dari PL ke PB, dari agama
Yahudi ke agama Kristen) tidak dapat diberlakukan pada agama-agama
dunia secara keseluruhan karena tidak berlandaskan wahyu tersebut.

Karena ada beberapa penyembah berhala yang disebut kudus di


dalam Alkitab (Melkisedek, Ayub, Yitro, Naaman) yang hidup
sebelum adanya penyembahan orang Yahudi kepada Yahweh dan
tentu saja sebelum Kristus, apakah tidak ada orang seperti itu di
zaman sekarang?
Jawaban: Orang-orang ini diberi wahyu khusus (bukan hanya wahyu
umum) oleh Allah dan tahu banyak hal tentang Yahweh dan janji pene-
busan-Nya.24 Mereka adalah bagian unik dari sejarah keselamatan
(memiliki iman prospektif) dan Kitab Suci tidak memberikan dasar untuk
berpikir bahwa apa yang berlaku bagi mereka harus berlaku juga bagi
orang yang sekarang belum diinjili. Wahyu khusus diberikan kepada
beberapa orang yang khusus pula.
BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KRISTEN MENANGGAPI AGAMA-AGAMA DI DUNIA? 233

Jika keselamatan eksklusif untuk agama Kristen saja, berarti tidak


ada cara lain untuk membenarkan orang-orang kudus di dalam agama-
agama lainnya (Buddha, Gandhi, Dalai Lama, dsb.).
Jawaban: Ada tiga poin yang berlaku: Pertama, daya tarik yang
berhubungan dengan moralitas tidak menjawab pertanyaan tentang
kebenaran.25 Orang yang tampaknya mengagumkan secara moral tidak
berarti memiliki keyakinan iman yang benar. Kedua, kekristenan itu
pada dasarnya bukan sistem etika, melainkan sebuah agama yang ber-
bicara tentang penebusan Ilahi. Masalahnya bukan terletak pada sebe-
rapa bermoralnya seseorang dibandingkan dengan orang-orang lainnya,
melainkan pada apakah moral seseorang dapat disetarakan dengan
kesempurnaan moral Allah. Tidak ada manusia biasa yang tanpa dosa.
Alkitab mengajarkan bahwa semua orang telah berbuat dosa dan mem-
butuhkan anugerah pengampunan Allah yang pemurah di dalam Kristus.
Menurut Alkitab, orang Kristen dapat datang ke hadirat Bapa karena
mereka diselubungi oleh anugerah kebenaran Kristus (2Kor. 5:21).
Ketiga, tidak ada orang yang disebut suci di agama-agama di dunia yang
secara moral dapat dibandingkan dengan Yesus Kristus dalam hal kesem-
purnaan atau kuasa.

Allah yang penuh kasih tidak akan membiarkan semua orang dalam
sejarah dunia, terlepas dari agama Yahudi dan Kristen yang dangkal,
menjadi kaum yang terhilang. Dia juga tidak akan mengutuk orang-
orang zaman ini yang belum pernah mendengar tentang Kristus
(yang belum diinjili). Karena semua itu bukanlah kasih.
Jawaban: Tujuh poin teologis berikut ini mengandung kesimpulan
kristiani tentang jalan kehidupan orang-orang yang belum diinjili.
1. Dalam hal jumlah, sebagian besar orang yang hidup di bumi ini
masih hidup sampai hari ini. Menjangkau lebih banyak orang dengan
Injil pada masa kini lebih mungkin daripada di masa sebelumnya.
2. Sungguh bukanlah pemikiran yang alkitabiah bila kita berpikir
bahwa orang-orang yang belum diinjili itu bersikap terbuka/netral secara
rohani terhadap hal-hal yang berhubungan dengan Allah. Manusia yang
berdosa memiliki kecenderungan alami yang tertutup dan bahkan
memusuhi kebenaran Allah (lih. poin 3, hal. 219-220 di bawah judul
pembahasan “Sebuah Perspektif Alkitabiah tentang Agama-agama di
234 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Dunia”). Karena kebanyakan orang yang mendengar Injil menolaknya,


tidak ada alasan bahwa orang yang belum mendengar Injil itu bisa men-
dapatkan dispensasi.
3. Orang-orang yang belum diinjili telah berdosa di dalam Adam
sehingga menolak kasih karunia Allah dan menderita alienasi spiritual.
Secara alkitabiah, salah bila kita mengatakan bahwa orang-orang yang
belum diinjili binasa bukan karena kesalahan mereka sendiri.
4. Wahyu umum Allah, yang tidak menjadi sarana penyelamatan,
sebenarnya menghukum orang-orang yang belum diinjili yang secara
alami cenderung menindas kebenaran secara tidak adil (lih. poin 3, hal.
219-220 di bawah judul pembahasan “Sebuah Perspektif Alkitabiah ten-
tang Agama-agama di Dunia”).
5. Laporan-laporan bahwa orang-orang yang belum diinjili telah
mengenal Kristus (analogi penebusan, dsb.) sebelum bertemu dengan
misionaris-misionaris Kristen patut diragukan kebenarannya. Laporan-
laporan tersebut bukan dasar yang memadai untuk menetapkan doktrin,
khususnya dengan tidak adanya dukungan alkitabiah yang kuat.
6. Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa iman yang diyakini secara
sadar di dalam Kristus diperlukan untuk mendapatkan keselamatan (lih.
poin 6, hal. 223-224 di bawah judul pembahasan “Sebuah Perspektif
Alkitabiah tentang Agama-agama di Dunia”).
7. Para penganut eksklusivisme tidak mencapai kata sepakat seutuh-
nya mengenai nasib orang-orang yang belum diinjili. Tiga pandangan
tetap terbuka untuk direnungkan.
Eksklusivisme restriktif: Menegaskan bahwa iman yang secara sadar
diyakini di dalam Kristus tidak saja bersifat normatif, tetapi memang
dibutuhkan untuk mendapatkan keselamatan. Pandangan ini meman-
dang orang-orang yang belum diinjili sebagai orang-orang yang pasti ter-
hilang.
Eksklusivisme pesimistis: Meskipun belum ada kepastian tentang
nasib orang-orang yang belum diinjili, sikap ini memandang orang-
orang yang tanpa Kristus sebagai kaum yang terhilang. Allah dapat mela-
kukan pekerjaan kasih karunia yang luar biasa, di luar pemberitaan Injil
secara eksplisit. Namun, tidak ada dukungan alkitabiah yang langsung
bahwa Dia akan melakukan hal itu. Banyak orang yang menganut pan-
dangan ini berpikir bahwa jika Allah melakukan karya kasih karunia
BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KRISTEN MENANGGAPI AGAMA-AGAMA DI DUNIA? 235

yang luar biasa semacam itu, maka hal ini pasti akan mengarah pada
pertemuan dengan pemberitaan Injil (melalui misionaris, penginjil).
Eksklusivisme nonrestriktif: Karena tidak ada kepastian yang mutlak
tentang nasib orang-orang yang belum diinjili tersebut, para penganut
eksklusivisme yang nonrestriktif menyatakan bahwa Alkitab memberikan
indikasi bahwa Allah dapat dan mungkin menjangkau orang-orang yang
terhilang dengan beberapa cara yang ajaib. Namun, sebagian orang
Kristen tidak melihat perbedaan antara pandangan ini dan inklusivisme.
Hubungan yang tepat antara pemberitaan Injil dan orang-orang yang
belum diinjili merupakan pokok bahasan lanjutan di dalam kelompok
eksklusivis/partikularis.26 Sebagian eksklusivis penginjilan dewasa ini
(para nonrestriktivis) berpendapat bahwa meskipun pemberitaan Injil
diperlukan, sebenarnya Allah yang berdaulat tidak tergantung pada upaya-
upaya manusia yang tidak sempurna untuk memberitakan kabar kesela-
matan kepada orang-orang yang belum diinjili. Mereka berpendapat
bahwa pada kesempatan-kesmepatan yang langka dan istimewa, Allah
dapat menyampaikan kasih karunia-Nya melalui sarana-sarana luar biasa
lainnya (mimpi, visi, wahyu umum yang dihidupkan kembali). Jadi,
mereka beranggapan bahwa orang-orang yang belum pernah secara eks-
plisit mendengar berita Injil, tidak seharusnya dihukum karena kegagalan
gereja untuk melaksanakan Amanat Agung.
Para eksklusivis penginjilan lainnya (para restriktivis) bersikeras
bahwa mendengar dan menanggapi berita Injil secara eksplisit itu penting
dan menjadi satu-satunya cara untuk mengambil bagian dalam kesela-
matan. Mereka berpendapat bahwa Kitab Suci dengan jelas meng-
hubungkan respons iman yang diyakini secara sadar dengan pemberitaan
Injil yang eksplisit. Allah memerintahkan gereja untuk memenuhi
kewajibannya yang universal, yakni memberitakan Injil kepada semua
orang di mana pun berada. Mereka juga menyatakan bahwa ide tentang
Allah yang bertindak melalui cara luar biasa lainnya adalah ide yang
murni bersifat anekdot dan tanpa dukungan alkitabiah yang jelas atau
eksplisit.
Namun, para eksklusivis sepakat bahwa gereja memiliki kewajiban
Ilahi untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia, dan orang-orang harus
memiliki iman yang eksplisit di dalam Kristus. Mandat ini tentunya
mencakup membawa Firman Kristus kepada orang-orang yang terpe-
236 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

rangkap di dalam sistem kepercayaan agama-agama dunia yang keliru.


Umat Kristen mendapatkan mandat untuk merenungkan dengan serius,
cara-cara yang bisa diterapkan untuk melaksanakan Amanat Agung.
Upaya-upaya misi, penginjilan, dan apologetis yang kuat layak menda-
patkan dukungan penuh untuk membawa Injil kepada orang-orang yang
belum percaya. Ironisnya, masyarakat yang pluralistis dan global men-
dapatkan salah satu keuntungan karena orang-orang yang belum diinjili
makin banyak yang datang ke tempat-tempat di mana Injil diberitakan
secara terbuka. Eksklusivisme menuntut komitmen terhadap Amanat
Agung:
“Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena
itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka
dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka mela-
kukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan keta-
huilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
(Mat. 28:18-20)

Pertanyaan Diskusi
1. Bagaimana konsep wahyu Kristen yang historis memengaruhi
pertanyaan tentang bagaimana cara memandang agama-agama di
dunia?
2. Apakah komitmen terhadap kebenaran unik kekristenan secara
tak langsung menyatakan bahwa setiap agama yang bukan Kristen
itu salah?
3. Mungkinkah anugerah Allah bekerja melalui tradisi-tradisi agama
(bukan Kristen) lainnya? Mengapa mungkin atau mengapa tidak
mungkin?
4. Apakah eksklusivisme Kristen itu arogan atau secara moral men-
jijikkan?
5. Apa saja yang dapat dilakukan oleh seseorang untuk mendukung
misi Amanat Agung?

Untuk Studi Lebih Lanjut


Anderson, Norman. Christianity and World Religions (Downers Grove, IL:
InterVarsity, 1984).
Corduan, Winfried. Neighboring Faiths: A Christian Introduction to World Reli-
gions (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1988).
BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KRISTEN MENANGGAPI AGAMA-AGAMA DI DUNIA? 237

Halverson, Dean C., editor umum. The Compact Guide to World Religions
(Minneapolis: Bethany, 1996).
Nash, Ronald H. Is Jesus the Only Savior? (Grand Rapids: Zondervan, 1994).
Okholm, Dennis L., dan Timothy R. Phillips, editor. More Than One Way?
Four Views on Salvation in a Pluralistic World (Grand Rapids: Zondervan,
1995).
Sanders, John. No Other Name: An Investigation into the Destiny of the Uneva-
ngelized (Grand Rapids: Eerdmans, 1992).
BUKANKAH KEKRISTENAN DAN ILMU PENGETAHUAN
BERTENTANGAN?

Hanya ada satu pikiran yang lebih besar daripada alam semesta, dan itu adalah
pikiran Penciptanya.
––John Henry Newman, The Idea of a University

Ilmu pengetahuan modern dikandung, dilahirkan, dan berkembang di dalam


matriks teisme Kristen.
––Alvin Plantinga, “Darwin, Mind and Meaning”

M atematikawan sekaligus filsuf Inggris Bertrand Russell pernah


berkata, “Saya sangat yakin bahwa agama-agama melakukan kesa-
lahan seperti saya, bahwa agama-agama itu tidak benar.”1 Dalam
karyanya yang populer dan kontroversial Why I Am Not a Christian,
Russell menuduh kekristenan telah menjadi musuh bagi kemajuan inte-
lektual, terutama di bidang ilmu pengetahuan.2 Pendukung-pendukung
vokal lainnya yang pandangannya murni naturalistis telah menggaungkan
klaim Russell, dengan menegaskan bahwa agama Kristen tidak sesuai
dengan—dan bahkan memusuhi—pencapaian dan temuan ilmu penge-
tahuan modern. Banyak orang memandang kekristenan itu tidak ilmiah
dan bahkan antiilmiah.
Konflik antara beberapa teori ilmiah dan iman Kristen memang ada,
tetapi tingkat pertentangan itu telah dibesar-besarkan. Dan, pengaruh
positif kekristenan terhadap sains jarang diakui.3

239
240 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Secara historis, sains dan kekristenan selama ini lebih sering menjadi
sekutu daripada musuh. Waktunya telah tiba untuk menunjukkan bagai-
mana pandangan Kristen secara unik sesuai dengan sains, sedangkan
pandangan naturalistis justru memiliki ikatan-sains yang lemah secara
serius. Untuk menemukan dukungan timbal balik antara ilmu penge-
tahuan dan iman Kristen, orang mungkin dapat mulai dengan meninjau
sejarah kegiatan ilmiah.

Ilmu Pengetahuan yang Baru Muncul


Pendatang baru dalam kancah sejarah manusia, Sains modern,
muncul di Eropa sekitar pertengahan abad XVII. Namun, mengapa tidak
muncul lebih cepat, menerobos ke seluruh dunia? Upaya ilmiah hanya
dapat berakar di lahan subur pandangan tertentu (kerangka kerja konsep-
tual untuk menafsirkan realitas). Dan tidak setiap kebudayaan menganut
pandangan yang kondusif terhadap ilmu pengetahuan. Bahkan, pemikiran
filsafat dasar di dalam banyak budaya historis jelas menghambat kema-
juan pandangan ilmiah.
Meskipun beberapa peradaban besar dunia kuno (Mesopotamia,
India, China, Mesir, Yunani, Roma) mengembangkan beberapa penca-
paian teknologi yang signifikan dan dengan cara-cara kecil memberikan
kontribusi bagi pemikiran prailmiah, masyarakat kuno pada masa itu
tidak memiliki kerangka filosofis yang diperlukan untuk melahirkan
kegiatan eksperimental yang sekarang dikenal sebagai sains modern.
Bahkan orang-orang Yunani kuno, dengan prestasi mereka yang signifikan
di bidang matematika dan logika dan mencapai puncaknya pada zaman
Aristoteles (384-322 SM), tidak memiliki penekanan eksperimental dan
pengujian yang begitu penting bagi sains Barat modern.

Hambatan dari Penyembahan Berhala Menyebabkan Kematian Sains


Sebelum Berkembang
Sejarawan terkemuka sekaligus filsuf sains Stanley Jaki berpendapat
bahwa ilmu pengetahuan “mati sebelum berkembang” dalam peradaban-
peradaban besar lainnya di luar Eropa yang menganut kekristenan karena
ide-ide yang tersebar luas tidak hanya gagal memelihara, tetapi juga
mematikan perkembangan sains itu.4 Ide-ide mendasar (apa yang nyata,
benar, dan baik) memengaruhi lahirnya sains karena presuposisi filosofis
BUKANKAH KEKRISTENAN DAN ILMU PENGETAHUAN BERTENTANGAN? 241

dan religius sangat berdampak pada cara pandang orang terhadap realitas
fisik. Kepercayaan kaum pagan mengenai realitas mencegah peradaban-
peradaban sebelumnya mengembangkan bentuk mandiri penyelidikan
ilmiah.5 Prasangka-prasangka berikut ini menghalangi munculnya sains
dalam peradaban kuno.

Sebuah Pandangan Bersiklus tentang Waktu


Hampir semua peradaban kuno menganut pandangan bersiklus (ber-
ulang secara konstan) tentang waktu. Tidak seperti pandangan waktu
linier (dari awal sampai akhir), yang diperkenalkan di Barat oleh Augus-
tine (354-430 M), pendekatan bersiklus tentang waktu itu sungguh
menentukan. Dengan demikian, hal itu dapat menghambat kemajuan,
meningkatkan kepuasan diri, dan tidak memberikan dasar yang cukup
untuk menyelidiki atau mempertanyakan hubungan sebab-akibat. Kon-
sep agama Timur seperti karma (siklus keadilan) dan reinkarnasi (siklus
kelahiran kembali) mencerminkan pandangan siklus atau kejadian yang
berulang ini.

Astrologi
Penjelasan-penjelasan ilmiah-semu untuk fenomena alam telah
menyebar ke seluruh bagian dunia kuno. Astrologi—kepercayaan kuno
bahwa nasib atau takdir individu dan negara ditentukan oleh bintang—
diarahkan jalannya. Meskipun astronomi dikembangkan dari astrologi,
faham fatalisme yang terdapat pada astrologi pada umumnya menekan
inisiatif manusia dan menghalangi penyelidikan ilmiah yang sejati.

Mendewakan Alam
Pandangan metafisika yang mendewakan alam, lazim dilakukan pada
zaman kuno. Keyakinan agama primitif yang disebut animisme meng-
ajarkan bahwa bagian-bagian alam (gunung, laut, angin, dan sebagainya)
dipenuhi dengan roh, sedangkan panteisme (secara harfiah “semua adalah
allah”) dan bentuk paganisme mendewakan dunia secara utuh atau secara
keseluruhan. Bila kita memandang dunia sebagai objek ibadah yang
misterius dan suci, berarti dunia tidak dapat dianalisis secara objektif
dan independen. Oleh karena itu, tidak ada eksperimen yang empiris.
242 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Menyangkal Alam
Agama Hindu, yang muncul dari peradaban Lembah Sungai Indus
dari India kuno, sangat bergantung pada Upanishad (bagian dari kitab
suci Veda), yang mengajarkan bahwa dunia fisik hanyalah sebuah ilusi.
(Pandangan ini terutama penting bagi cabang agama Hindu yang lebih
filosofis). Salah satu ciri khas agama Hindu adalah pada konsep maya,
keyakinan bahwa indra orang dibombardir dengan pengetahuan palsu.
Menurut kepercayaan Hindu, dunia materi adalah bagian dari realitas
semu. Ilmu pengetahuan tidak bisa dianggap serius ketika pandangan
filosofis yang dominan itu menyangkal realitas alam itu sendiri (ideal-
isme). Bahkan tradisi Yunani, Platonis memandang dunia fisik (dunia
yang terlihat) kurang nyata dibandingkan dunia yang berbentuk tran-
senden (dunia konseptual Plato tentang esensi ideal, dunia realitas).

Natur Ilah-ilah yang Aneh dan Tidak Lazim


Para dewa peradaban kuno biasanya berubah-ubah dan tidak logis
sebagaimana yang dijelaskan dalam interaksi mereka yang konon dila-
kukan dengan manusia dan dunia. Menurut kepercayaan kuno, keadaan
fisik dunia diserahkan pada kehendak para dewa yang tak terduga dan
tidak bisa diandalkan (semacam bentuk kuno dari relativisme). Ilmu
pengetahuan tidak bisa berakar di dunia yang tidak tertata dan tidak
beraturan. Bahkan kebudayaan Arab yang sudah maju pada abad per-
tengahan mengalami kesulitan karena adanya kepercayaan kepada natur
yang tidak logis yang dikaitkan dengan Allah mereka.

Sains di Zaman Kegelapan


Banyak orang sekuler setuju bahwa takhayul dunia kuno mencegah
lahirnya penyelidikan ilmiah yang mandiri. Namun, banyak dari mereka
ini menganggap Abad Pertengahan (yang disebut sebagai “zaman gereja”)
sebagai “zaman kegelapan,” periode yang menghambat kemajuan sains.
Sebagian orang telah menyatakan bahwa kesadaran kolektif dunia Abad
Pertengahan memburuk karena orang terlalu memikirkan surga dan
sedikit yang duniawi.6 Namun, hal ini tampaknya merupakan penilaian
yang terlalu berlebihan.
BUKANKAH KEKRISTENAN DAN ILMU PENGETAHUAN BERTENTANGAN? 243

Bagian awal Abad Pertengahan (ca. 500-800 M) memang membuat


pengajaran Yunani-Romawi (klasik) menjadi suram (sehingga dinama-
kan zaman “gelap”) dan kemunduran tajam terjadi dalam kebudayaan
di Eropa Barat, tetapi sisa era Abad Pertengahan tidak sedikit lebih cerah.
Bahkan, ahli-ahli terkemuka dalam sejarah intelektual Abad Pertengahan
telah menunjukkan bahwa revolusi ilmiah, yang datang pada abad XVI
dan XVII, berakar pada puncak Abad Pertengahan.7
Teolog sekaligus ilmuwan Oxford, Alister McGrath mengidentifikasi
tiga perkembangan Abad Pertengahan yang memelopori munculnya sains
di kemudian hari. Kemajuan ini meliputi: (1) penerjemahan teks-teks
penting dalam bahasa Yunani dan Arab yang berhubungan dengan sains,
ke dalam bahasa Latin, (2) pendirian universitas-universitas besar di
Eropa Barat (dengan program-program studi di bidang sains yang ber-
kembang), dan (3) penegasan para teolog dan filsuf Kristen yang belajar
di universitas tentang nilai dan pentingnya mempelajari dunia alam, yang
diciptakan oleh Allah.8 Oleh sebab itu, sintesis intelektual dalam dunia
Abad Pertengahan membuka jalan bagi ilmu pengetahuan eksperimental
yang datang kemudian.9

Dalam Buaian Peradaban Kristen


Kekristenan secara unik dan tegas membentuk iklim intelektual yang
memunculkan ilmu pengetahuan modern (kira-kira tiga setengah abad
yang lalu).10 Bahkan benar jika dikatakan bahwa ilmu pengetahuan
modern lahir di dalam buaian peradaban Kristen. Tidak saja hampir
semua pendiri ilmu pengetahuan adalah orang-orang Kristen yang taat
(termasuk Kopernikus, Kepler, Galileo, Newton, Boyle, dan Pascal),11
tetapi dunia Kristen juga menyediakan landasan bagi sains modern untuk
muncul dan berkembang.
Teisme Kristen menegaskan bahwa Allah yang tak terbatas, kekal,
dan bersifat pribadi itu menciptakan dunia ex nihilo (secara harfiah ber-
arti “dari ketiadaan”). Maka dari itu, penciptaan, yang mencerminkan
natur rasional Sang Pencipta, ditata dengan rapi dan seragam (sebagai-
mana yang difirmankan Allah sebagai “baik” adanya). Selanjutnya, manu-
sia dipandang sebagai “diciptakan menurut gambar Allah” (Kej. 1:
26-27) sehingga mampu mengamati, memikirkan, dan akhirnya mene-
mukan kejelasan dari tatanan yang diciptakan-Nya. Pada dasarnya, dunia
244 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Kristen mendukung prinsip-prinsip penting yang membuat penyelidikan


ilmiah mungkin dilakukan dan diminati.
Alkitab sendiri berperan dalam perkembangan metode ilmiah.
Prinsip-prinsip yang mendasari metode ilmiah (dapat diuji, diverifikasi
dan dipalsukan) secara unik sesuai dengan kualitas intelektual yang
ditegaskan di dalam Kitab Suci Yahudi Kristen. Doktrin Kristen mem-
bantu menyuburkan metode eksperimental.12 Karena orang-orang Kris-
ten pendiri ilmu pengetahuan modern percaya bahwa langit benar-benar
menyatakan kemuliaan Allah (Mzm. 19:2), maka mereka memiliki
kerangka konseptual dan insentif spiritual yang diperlukan untuk menye-
lidiki misteri alam dengan berani. Menurut teisme Kristen, Allah meng-
ungkapkan diri-Nya tidak saja di dalam Alkitab (“firman Allah”), tetapi
juga melalui “wahyu umum” Allah (melalui perbuatan-perbuatan kreatif)
yang dapat ditemukan di alam (“Dunia Allah”) (untuk mendapatkan
informasi lebih lanjut tentang hal ini, lih. bab 3). Para ilmuwan Puritan
di Inggris dan Amerika memandang studi ilmu pengetahuan sebagai upaya
suci untuk “memikirkan pikiran-pikiran Allah.”
Kitab-kitab yang berbicara tentang hikmat di dalam PL secara kon-
sisten mendesak umat Allah untuk mengejar “hikmat, pengetahuan, dan
pengertian,” yang semuanya berakar pada “takut akan TUHAN” (Ayb.
28:28; 34:4; Mzm. 111:10; Ams. 1:7; 9:10). Dan kebajikan intelektual
berupa kecermatan, refleksi, dan pengujian merupakan mandat alkitabiah
(Kis. 17:11; Rm. 12:2; 1Kor. 14:29; Kol. 2:8; 1Tes. 5:21; 1Yoh. 4:1;
Why. 2:2). Prinsip-prinsip penting yang dianut oleh kaum naturalis
teologis mula-mula ini (para ilmuwan mula-mula) melatarbelakangi mun-
culnya metode eksperimental.13

Kondisi yang Diperlukan untuk Sains


Para ilmuwan gemar mengatakan bahwa salah satu ciri dasar sains
adalah ilmu itu bekerja. Namun, pengoperasian ilmu pengetahuan
menerima kebenaran-kebenaran mendasar tertentu yang tidak sepenuh-
nya berasal dari sains itu sendiri. Agar usaha eksperimental ini bekerja
dan berkembang, asumsi-asumsi nonempiris tertentu tentang dunia harus
benar. Dengan kata lain, dibutuhkan jenis dunia tertentu agar sains
dapat beroperasi dengan baik.14 Proses ilmiah tidak dapat bekerja di
setiap bidang. Bahkan salah satu alasan sains modern, mulainya begitu
BUKANKAH KEKRISTENAN DAN ILMU PENGETAHUAN BERTENTANGAN? 245

terlambat karena pandangan filosofis (kerangka konseptual) budaya


sebelumnya yang tidak memadai untuk membenarkan dan memper-
tahankan prasyarat yang diperlukan untuk kemajuan ilmiah.
Sains lahir, dipupuk dan akhirnya berkembang di tengah peradaban
Kristen Eropa karena visi Kristen tentang realitas memiliki semua asumsi
yang dibutuhkan untuk mendasari kegiatan ilmiah. Poin-poin berikut
ini15 mencerminkan bagaimana pandangan kristiani mengantisipasi, mem-
bentuk, mendorong, membenarkan, dan menopang karakter umum dan
asumsi sains modern.
Pandangan kristiani menjadi dasar sains karena pengakuannya atas
sepuluh kebenaran berikut ini:
1. Alam semesta merupakan realitas yang khas dan objektif.
Melalui hikmat-Nya yang tak terukur dan kuasa-Nya yang menak-
jubkan, Allah menciptakan alam semesta (materi, energi, waktu, dan
ruang) ex nihilo. Oleh karena itu, alam semesta sendiri memiliki kebe-
radaan yang khas (terpisah dari pikiran dan kehendak si pengamat atau
manusia), yang bergantung pada kekuasaan Allah yang kreatif dan
menopang. Jika alam semesta bukan merupakan suatu realitas objektif,
seperti yang diungkapkan oleh kebudayaan dan tradisi filsafat yang lain,
maka hal itu berarti sains tidak berguna. Allah transenden yang diung-
kapkan di dalam Kitab Suci adalah penyebab penting bagi kesatuan alam
semesta.

2. Hukum alam menunjukkan tatanan, pola, dan keteraturan.


Karena Tuhan sendiri yang merancang alam semesta untuk men-
cerminkan rasionalitas yang menjadi sifat-Nya, maka dunia menunjuk-
kan tatanan yang serasi, pola yang terdeteksi, dan keteraturan yang dapat
diandalkan. Sifat-sifat teleologis (yang sangat berarti) ini esensial untuk
natur sains karena memungkinkan terciptanya teori-teori ilmiah yang
konsisten. Karena mencerminkan pikiran Sang Pencipta, kosmos
merefleksikan keindahan dan koherensi. Filsuf sains Del Ratzsch ber-
komentar, “Mengingat kosmos menghentikan kekacauan yang funda-
mental, kita menuntut teori-teori yang konsisten, dan karena kita ber-
harap bahwa pola-pola itu luas dan terpadu, kita berharap bahwa teori-
teori yang bahkan kira-kira benar akan cocok satu sama lain.”16
246 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

3. Hukum alam itu konsisten di seluruh alam semesta.


Karena pengaturan dan pemerintahan Allah, maka tatanan dan
keteraturan alam tampak di seluruh alam semesta ini. Universalitas
hukum-hukum yang penting untuk kegiatan ilmiah, menjamin hasil dup-
likasi sains dapat diprediksi dan mungkin dilakukan. Konsistensi alam
meyakinkan para ilmuwan bahwa hubungan kausal besok akan sesuai
dengan hubungan kausal hari ini. Metode induktif dan penalaran infe-
rensial tergantung pada konsistensi hukum alam, dan universalitas itu
sesuai dengan harapan bila kita melihat melalui lensa pandangan teistis
Kristen.

4. Alam semesta ini dapat dimengerti.


Karena dunia ini mencerminkan hikmat Penciptanya, tatanan dan
pola alam semesta dapat dimengerti dan dipahami. Itulah sebabnya dunia
fisik dapat dipelajari secara objektif sehingga memungkinkan munculnya
sains. Dunia yang mudah dipahami yang menakjubkan ini membuat fisi-
kawan Inggris, John Polkinghorne mencatat, “Kita sangat akrab dengan
fakta yang menunjukkan bahwa kita dapat memahami dunia yang kerap
kita terima begitu saja. Hal itulah yang memungkinkan munculnya sains.
Namun, bisa juga terjadi yang sebaliknya. Alam semesta bisa saja menjadi
tatanan yang kacau, bukan kosmos yang teratur.”17

5. Dunia ini baik, berharga, dan layak dipelajari dengan cermat.


Allah menyebut ciptaan-Nya “sungguh amat baik” (Kej. 1:31).
Tatanan yang diciptakan-Nya bersaksi tentang keberadaan, kuasa, hik-
mat, keagungan, kebenaran, dan kemuliaan Allah. Oleh karena itu, mem-
pelajari alam dapat mengungkapkan kebenaran tentang Allah. Dunia
ini juga tempat di mana umat manusia menjalani garis kehidupan mereka.
Penelitian tentang alam sangat bermanfaat bagi umat manusia (medis,
teknologi, ekonomi dan spiritual), dan umat manusia sebagai puncak
ciptaan diwajibkan Allah untuk mengelola kehidupan dan sumber daya
yang hidup dan yang tak hidup di planet ini (Kej. 1:28).
BUKANKAH KEKRISTENAN DAN ILMU PENGETAHUAN BERTENTANGAN? 247

6. Sebab dunia tidak bersifat ilahi dan oleh karena itu bukan objek
penyembahan yang tepat, maka dunia dapat menjadi objek studi
yang rasional.
Kitab Suci Yahudi-Kristen mengutuk semua sistem kepercayaan yang
mendewakan tatanan alam (mis., animisme, panteisme, paganisme)
sebagai berhala. Sebagai realitas fisik yang independen, alam semesta
adalah objek potensial untuk penelitian yang rasional (eksperimen). Sikap
kekristenan yang mengontrol takhayul tentang alam, membuat sains
dipandang sebagai pengetahuan yang layak dikejar.

7. Manusia mampu menemukan kejelasan di alam semesta.


Karena imago Dei, manusia memiliki kapasitas rasional yang men-
dalam dan penting. Allah menciptakan manusia yang secara khusus
mampu mengenali dan membedakan kebenaran. Dia menciptakan
manusia dengan kemampuan kognitif dan sensorik yang diperlukan untuk
memperhatikan, memikirkan, dan akhirnya mengenali tatanan yang jelas
dari dunia ciptaan-Nya. Dia juga memberi manusia kemampuan untuk
berinteraksi di level intelektual sehingga dapat memeriksa kesimpulan
dari pihak lain (memungkinkan praktik ilmiah atau evaluasi ilmiah dari
orang yang bekerja di bidang yang sama). Sebagai perancang dunia dan
pikiran manusia, Allah membuat keselarasan tercipta di antara kedua-
nya. Dengan demikian, Dia menjamin validitas kebenaran sama seperti
halnya validitas ilmu matematika, logika, dan bahasa.
Keselarasan antara alam dan pikiran manusia tersebut adalah saksi
kuat bagi kebenaran rancangan Ilahi sebagaimana dinyatakan di dalam
sejarah kekristenan. McGrath menjelaskan pentingnya hubungan ini,
“Ada keselarasan yang mendalam antara rasionalitas di dalam pikiran
kita, dan rasionalitas—keteraturan—yang ada di dalam dunia. Jadi,
struktur matematika murni yang abstrak—hasil swakreasi manusia—
menjadi petunjuk penting untuk memahami dunia.”18

8. Tindakan bebas Sang Pencipta membuat metode empiris


diperlukan.
Pola kreatif Allah bisa saja muncul dari berbagai jalur. Karena manu-
sia tidak memiliki pengetahuan sebelumnya tentang pola-pola yang sudah
ditetapkan itu, metode empiris dengan proses eksperimennya diperlukan.
248 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Penciptaan menggambarkan bahwa Allah adalah seniman yang suka


berkelakar. Sebagai contoh, Allah menciptakan varietas yang berbeda
dalam satu tanaman tertentu atau spesies hewan yang satu sama lain
memiliki kemiripan namun tetap dapat dibedakan satu sama lain untuk
diteliti dengan cermat dan untuk membangkitkan rasa ingin tahu. Bunga
mawar dan bunga dari pohon ganja sangat berbeda, tetapi keduanya
adalah bunga. Kelelawar dan beruang sama sekali tidak dapat diban-
dingkan, tetapi keduanya adalah mamalia.

9. Allah mendukung ilmu pengetahuan melalui perintah-Nya kepada


manusia agar mereka berkuasa atas alam.
Allah tidak saja menciptakan manusia dengan kemampuan untuk
mempelajari alam, tetapi Dia juga memerintahkan manusia pertama,
Adam, untuk ikut mengelola alam. Interaksi Adam dengan alam (merawat
taman dan memberi nama kepada binatang-binatang) melibatkan pengu-
asaan dan klasifikasi alam tertentu. Kewajiban yang Allah berikan kepada
manusia untuk “menundukkan” alam tentu membutuhkan kegiatan
ilmiah.

10. Sifat-sifat intelektual yang esensial untuk melaksanakan kegiatan


ilmiah merupakan bagian dari Hukum moral Allah.
Ilmu pengetahuan harus dipraktikkan dengan cara tertentu untuk
mengembangkan dan memperlengkapi keturunan Adam berkenaan dengan
tugas yang diberikan Allah. Ilmu pengetahuan yang baik harus melibatkan
sifat-sifat intelektual seperti kejujuran, integritas, kearifan, kerendahan
hati, dan keberanian.19 Sifat-sifat moral ini merupakan bagian dari hukum
moral Allah yang ditujukan kepada umat manusia. Prinsip-prinsip moral
harus didasarkan pada sesuatu yang objektif (lih. bab 18 tentang rela-
tivisme).

Dapatkah Naturalisme Membenarkan Prasyarat Sains?


Prasyarat sains yang krusial cocok dengan klaim kebenaran teisme
Kristen tentang Pencipta yang tidak terbatas, kekal, dan bersifat pribadi
yang dengan cermat memerintah alam semesta dan memberikan kepada
manusia akal budi dan sistem sensorik yang sesuai dengan kejelasan alam
semesta ini. Skema kristiani ini memberikan inspirasi dan dasar per-
BUKANKAH KEKRISTENAN DAN ILMU PENGETAHUAN BERTENTANGAN? 249

kembangan intelektual bagi sains modern. Namun, bagaimana dengan


naturalisme? Dapatkah naturalisme menjelaskan prasyarat-prasyarat
yang sains perlukan?
Naturalisme adalah sistem kepercayaan yang menganggap alam
semesta bersifat alami, material dan fisik sebagai satu-satunya realitas.
Alam adalah peraga yang utuh. Sudut pandang ini sering ditandai dengan
keyakinan-keyakinan berkonsekuensi seperti monisme (semua realitas
adalah satuan tunggal), materialisme (realitas pada akhirnya kebendaan
semata-mata), anti-supranaturalisme (semua penjelasan yang bersifat
supranatural harus ditolak a priori), saintisme (hanya metode ilmiah yang
menghasilkan “kebenaran”), dan humanisme (kemanusiaan adalah hasil
akhir yang paling penting, karena itu “nilai”). Menurut naturalisme,
segala sesuatu (benda, orang, dan peristiwa) dapat direduksi menjadi
“zat yang bergerak.” Semua yang berhubungan dengan fenomena alam
mendasar tertentu (fisika, kimia, dan biologi) dapat direduksi, atau
dijelaskan. Carl Sagan mengemukakan pandangan naturalisme yang kuat
dalam sebuah pernyataannya yang terkenal di serial televisi Cosmos:
“Kosmos adalah semua yang ada, yang pernah ada, atau yang akan ada.”
Jika naturalisme harus diterima sebagai pandangan yang cukup
lengkap, maka ia harus memiliki kekuatan penjelas yang sejati. Namun,
beberapa pertanyaan yang sulit muncul dan menantang kebenaran yang
diakui sebagai pandangan yang murni naturalistis.20
 Bagaimana mungkin sebuah dunia yang merupakan produk dari
proses-proses alami yang tidak beralasan, tidak bertujuan, dan
acak itu menjelaskan dan membenarkan kondisi-kondisi krusial
yang memungkinkan terjadinya kegiatan ilmiah?
 Bukankah tatanan, keteraturan, dan konsistensi alam, tidak tepat
berada (pada kondisi kebetulan yang tidak dapat dijelaskan dan
sia-sia) di dalam dunia yang murni naturalistis, yang bisa dengan
mudah menjadi alam semesta yang acak dan kacau?
 Apa yang menjelaskan keberadaan entitas yang abstrak dan
nonempiris seperti angka, proposisi, hukum logika, dan kesim-
pulan induktif di dunia yang merupakan produk dari proses kebe-
tulan yang tidak disengaja?
250 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

 Jika organ-organ sensorik dan kemampuan kognitif manusia


adalah hasil dari kebetulan dan kemungkinan, bagaimana organ-
organ dan kemampuan ini bisa dipercaya untuk menghasilkan
data yang koheren, apalagi “kebenaran” yang objektif?21
 Karena naturalisme menyiratkan sejenis determinisme fisik (segala
sesuatu adalah produk dari faktor-faktor genetik, kimia, dan
lingkungan), maka bukankah itu berarti menolak hal-hal semacam
itu sebagai gagasan yang disengaja dan bukan kebetulan?
 Karena determinisme ini tidak sesuai dengan pemikiran rasional,
kehendak bebas, dan keputusan moral, mungkinkah naturalisme
menghancurkan dirinya sendiri?
Filsuf Kristen Greg L. Bahnsen menyatakan bahwa bukannya mem-
benarkan presuposisi mendasar mereka, para naturalis secara tidak sah
menyandarkan pekerjaan ilmiah mereka pada prinsip-prinsip teistis
Kristen.22 Naturalis meminjam modal filosofis/epistemologis Kristen.
Naturalisme tampaknya tidak dapat menjelaskan asumsi-asumsi yang
memungkinkan terciptanya sains modern. Naturalisme tampaknya juga
bertentangan dengan praktik sains. Disiplin sains menerima pandangan
yang serupa dengan pandangan Alkitab. Fisikawan dan penulis sains
populer Paul Davies memberikan pengamatan ini:
Dalam tiga ratus tahun berikut dimensi teologis sains telah memudar.
Orang-orang menerima begitu saja bahwa dunia itu diatur dan logis.
Tatanan utama di alam—hukum fisika—diterima sebagai hal yang biasa,
sebagai fakta yang gamblang. Tidak ada yang bertanya dari mana
datangnya, setidaknya pertanyaan ini tidak diajukan di dalam pertemuan
yang berbudaya. Namun, ilmuwan paling ateis sekalipun menerima-
nya sebagai tindakan iman bahwa alam semesta ini tidak mustahil, bahwa
ada dasar yang rasional bagi keberadaan fisik alam yang diwujudkan
sebagai tatanan alamiah, yang setidaknya sebagian dapat kita pahami.
Jadi, ilmu pengetahuan dapat dilanjutkan hanya jika si ilmuwan meng-
adopsi pandangan yang secara esensi bersifat teologis.23
Dapatkah ilmu pengetahuan muncul jika pandangan metafisika
yang dominan yang saat itu bersifat naturalistis dan materialistis? Dan
apakah naturalisme akan dapat mempertahankan kegiatan ilmiah yang
dilahirkan oleh teisme Kristen? Orang yang rasional tentu mempertanya-
kannya.
BUKANKAH KEKRISTENAN DAN ILMU PENGETAHUAN BERTENTANGAN? 251

Apakah Kekristenan Sesuai dengan Pandangan-pandangan Sains


yang Kuat?
Jelas bahwa kekristenan berkontribusi dalam peluncuran ilmu penge-
tahuan modern. Namun, pertanyaan ini kerap muncul dewasa ini:
Bagaimana pandangan ilmiah yang berhubungan dengan alam semesta
bisa selaras dengan Kitab Suci? Sebuah perenungan singkat tentang
ledakan dahsyat kosmologi dan munculnya “prinsip antropik” (penyem-
purnaan untuk kepentingan kehidupan manusia) akan membantu men-
jawab pertanyaan ini.

Permulaan Terjadinya Alam Semesta


Kosmologi dari semua kitab suci kuno bertentangan dengan temuan
sains modern, kecuali satu. Sesuai dengan kesimpulan yang mapan, Kitab
Suci mengungkapkan hal-hal ini (di antara lainnya) tentang alam
semesta:24
1. Alam semesta memiliki awal yang tunggal ex nihilo (Kej. 1:1;
Yoh. 1:3; Rm. 4:17; Kol. 1:16-17; Ibr. 11:3; Why. 4:11).
 “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej. 1:1).
 “Allah yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan
dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada” (Rm. 4:17).
 “Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan
oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari
apa yang tidak dapat kita lihat” (Ibr. 11:3).

2. Alam semesta terus berkembang (Ayb. 9:8; Mzm.104:2).


 “Yang seorang diri membentangkan langit, dan melangkah di atas
gelombang-gelombang laut” (Ayb. 9:8).
 “Yang berselimutkan terang seperti kain, yang membentangkan
langit seperti tenda” (Mzm. 104:2).
 “Beginilah firman Allah, TUHAN, yang menciptakan langit dan
membentangkannya” (Yes. 42:5).

3. Materi, energi, ruang, dan waktu memiliki awal yang spesifik


(Yoh. 1:3; Kol. 1:16-17; 2Tim. 1:9; Tit. 1:2).
252 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

 “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu
pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yoh. 1:3).
 “Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang
ada di surga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak
kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah,
maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk
Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu
ada di dalam Dia” (Kol. 1:16-17).
 “Kasih karunia-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita
dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman” (2Tim. 1:9).
 “Pengharapan akan hidup yang kekal yang sebelum permulaan
zaman sudah dijanjikan oleh Allah yang tidak berdusta” (Tit. 1:2).

4. Alam semesta mengalami kebinasaan (hukum kedua termodi-


namika, Rm. 8:21).
 “Makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan
kebinasaan” (Rm. 8:21).

5. Alam semesta akan berakhir (2Ptr. 3:7; 10,13; Why. 21:1).


 “Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat
dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi
dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap” (2 Ptr. 3:10).
 “Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab
langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan
laut pun tidak ada lagi” (Why. 21:1).
Karena alam semesta memiliki awal (tunggal), maka masuk akal bila
kita menanyakan penyebab terjadinya alam semesta itu. Secara logis,
segala sesuatu yang dimulai harus memiliki penyebab. Pertanyaan klasik
Gottfried Leibniz, “Mengapa ada sesuatu dan bukan tidak ada apa-apa?”
tampaknya merupakan pertanyaan yang lebih provokatif mengingat apa
yang sekarang dikenal dengan big bang alam semesta. Memercayai bahwa
alam semesta muncul dari ketiadaan oleh ketiadaan tampaknya jauh lebih
tidak masuk akal daripada memercayai bahwa alam semesta muncul dari
tangan Pribadi yang transenden.
BUKANKAH KEKRISTENAN DAN ILMU PENGETAHUAN BERTENTANGAN? 253

Alam Semesta yang Tepat untuk Kehidupan Manusia


Kata Yunani untuk alam semesta adalah kosmos. Kata ini di dalam
PB menyatakan sebuah dunia yang diciptakan oleh Allah dan karena itu
ditandai dengan tatanan, tujuan, dan kompleksitas. Tuhan menciptakan
kosmos dengan menggunakan pengetahuan dan hikmat yang tidak ter-
batas. Berbagai ayat di dalam Kitab Suci menegaskan keterlibatan aktif
Allah di dalam rancangan-Nya:
 “Oleh firman TUHAN langit telah dijadikan, oleh napas dari mulut-
Nya segala tentaranya” (Mzm. 33:6).
 “Betapa banyak perbuatan-Mu, ya TUHAN, sekaliannya Kau-
jadikan dengan kebijaksanaan, bumi penuh dengan ciptaan-Mu”
(Mzm. 104:24).
 “Dengan hikmat TUHAN telah meletakkan dasar bumi, dengan
pengertian ditetapkan-Nya langit” (Ams. 3:19).
 “Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian
dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala
sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan
diciptakan” (Why. 4:11).
Prinsip antropik (yang dikenal dan diterima dalam komunitas ilmiah)
mengacu pada pengamatan ilmiah bahwa alam semesta menunjukkan
semua kualitas dan karakteristik yang diperlukan untuk memungkinkan
manusia hidup di dalamnya.25 Konstanta kosmologis mendasar dari alam
yang sangat sempurna memungkinkan alam semesta di mana saja dan
kapan saja cocok untuk kehidupan manusia. Keempat konstanta utama
meliputi gaya nuklir yang kuat, gaya nuklir lemah, gaya gravitasi, dan
gaya elektromagnetik. Jika nilai konstanta-konstanta yang terukur tidak
tepat, sedikit lebih besar atau lebih kecil, maka tidak mungkin ada atau
pernah ada kehidupan di mana pun di alam semesta ini.26 Fisikawan
Paul Davies berkomentar, “Ketepatan nilai-nilai numerik yang tampaknya
ajaib, yang telah ditugaskan alam kepada konstanta-konstanta funda-
mentalnya, harus tetap menjadi bukti yang paling menarik tentang sebuah
elemen pada rancangan kosmis.”27
Seorang ahli astronomi sekaligus ahli apologetika Kristen, Hugh
Ross, telah membuat daftar lebih dari tiga lusin karakteristik kosmis
independen yang harus terus disempurnakan agar kehidupan dapat
254 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

terjadi, dan sistem galaksi, tata surya, dan bagian-bagian planet yang
dua kali lipat dari jumlah karakteristik kosmis independen (atau lebih)
memerlukan ketepatan sangat tinggi untuk memungkinkan terjadinya
kehidupan di bumi.28 Penyempurnaan karakteristik-karakteristik fisik
yang indah dan penting ini membuat fisikawan pemenang Hadiah Nobel
Arno Penzias berkomentar, “Astronomi membawa kita ke suatu peristiwa
yang unik, alam semesta yang diciptakan dari ketiadaan, alam semesta
dengan keseimbangan sangat halus yang diperlukan dengan tepat menye-
diakan kondisi-kondisi yang memungkinkan adanya kehidupan, dan
alam semesta yang memiliki rencana utama” (bisa juga dikatakan ‘super-
natural’).29

Kesimpulan
Konflik antara kekristenan dan beberapa teori ilmiah telah muncul
dari waktu ke waktu selama bertahun-tahun, dan beberapa masalah tetap
memicu ketegangan sampai hari ini. Namun, jelas bahwa kedua alam
pemikiran itu merupakan sekutu historis yang kuat. Sains berutang secara
khusus kepada kekristenan karena kegiatan ilmiah lahir dan dipupuk di
bawah pengaruh budaya Kristen. Bahkan, cara pandang kristiani men-
dasari sains dengan mengantisipasi, membentuk, mendorong, mem-
benarkan, dan akhirnya mempertahankan karakter umum dan landasan
berpikir sains modern. Selanjutnya, batas-batas sains mendukung per-
nyataan Alkitab tentang alam semesta dan kedudukan manusia di dalam-
nya.
Sains tidak membatalkan kekristenan, dan kekristenan juga tidak
membatalkan sains. Namun, sebagian orang mempertanyakan kekris-
tenan bukan karena sesuatu yang datang dari luar gereja (seperti sains)
tetapi karena sesuatu yang dari dalam—kemunafikan. Topik ini akan
dibahas di bab berikutnya.

Pertanyaan Diskusi
1. Mengapa kemajuan ilmiah tertahan di dunia kuno?
2. Bagaimana kekristenan membentuk dan memengaruhi munculnya
sains modern?
3. Bagaimana bentuk atau ekspresi kekristenan yang menyimpang
telah melumpuhkan sains?
BUKANKAH KEKRISTENAN DAN ILMU PENGETAHUAN BERTENTANGAN? 255

4. Dalam dunia seperti apa sains dapat bekerja?


5. Bagaimana Anda menggambarkan hubungan antara kekristenan
sekarang dan sains?

Untuk Studi Lebih Lanjut


Hummel, Charles E. The Galileo Connection (Downers Grove, IL: InterVarsity,
1986).
Jaki, Stanley L. The Savior of Science (Grand Rapids: Eerdmans, 2000).
McGrath, Alister E. Science and Religion (Oxford: Blackwell, 1999).
Moreland, J. P . Christianity and the Nature of Science (Grand Rapids: Baker,
1989).
Moreland, J. P., editor. The Creation Hypothesis (Downers Grove, IL: Inter-
Varsity, 1994).
Pearcey, Nancy R., dan Charles B. Thaxton. The Soul of Science (Wheaton, IL:
Crossway, 1994).
Ratzsch, Del. Science and Its Limits: The Natural Sciences in Christian Perspec-
tive, edisi ke-2 (Downers Grove, IL: InterVarsity, 2000).
Ross, Hugh. The Creator and the Cosmos (Colorado Springs, CO: NavPress,
1993).
Torrance, Thomas F. Reality and Scientific Theology (Edinburgh, U.K.: Scottish
Academic Press, 1985).
BUKANKAH KEMUNAFIKAN
MEMBUAT KEKRISTENAN TIDAK VALID?

Di zaman yang disebut zaman iman, ketika orang benar-benar percaya pada
agama Kristen dalam segala kesempurnaannya, ada masa Penganiayaan
dengan segala bentuk siksaannya. Jutaan perempuan malang dibakar selaku
penyihir. Segala jenis kekejaman ditimpakan kepada beragam orang dengan
mengatasnamakan agama.
––Bertrand Russell, Why I Am Not a Christian

Kekristenan . . . tidak selalu dipahami oleh orang-orang yang berada di luar


kekristenan. Sebenarnya, ini mungkin salah satu tugas terberat yang dihadapi
para ahli apologetika––mengurangi kesalahpahaman terhadap kekristenan.
––Alister E. McGrath,
Intellectuals Don’t Need God and Other Modern Myths

D apat dimengerti bahwa kegagalan moral yang mencolok dari umat


Kristen zaman sekarang dan ketidakadilan yang terjadi di sepan-
jang sejarah dengan mengatasnamakan Kristus menghalangi sebagian
orang untuk merenungkan klaim-kebenaran Yesus dari Nazaret itu.
Alasan yang paling umum dikutip orang untuk menolak kekristenan
adalah adanya kemunafikan di dalam kekristenan. Terkadang inti dari
berbagai bentuk penolakan mengerucut pada kemunafikan dan kegagalan
moral yang mengatasnamakan Kristus membuat kekristenan gagal atau
dianggap tidak valid. Respons yang tepat terhadap penolakan ini meli-
batkan empat unsur: (1) menunjukkan bahwa alasan itu tidak logis,

257
258 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

(2) memperbaiki beberapa kesalahpahaman umum tentang Injil Yesus


Kristus, (3) menunjukkan kasih dalam menanggapi isu-isu yang tidak
rasional (kerap kali emosional) yang sering berada di balik alasan, dan
(4) menegaskan perlunya gereja-gereja Kristen secara serius dan terus-
menerus menentang kemunafikan yang mencolok di tengah kelompok
mereka sendiri.

Tes Logika
Menolak klaim kebenaran Kristen karena “ada terlalu banyak
orang munafik di gereja” atau karena “pengalaman buruk dengan
orang-orang Kristen” berarti melakukan sebuah kekeliruan logis yang
dikenal sebagai penolakan yang tidak signifikan. Dalam studi logika,
penolakan yang tidak signifikan “memfokuskan perhatian secara kritis
terhadap hal yang kurang signifikan dibandingkan hal yang utama atau
tujuan dasar argumen.”1 Kesalahan ini dilakukan ketika si pembicara
menyampaikan kritik minor (dan/atau tidak penting) tentang suatu pan-
dangan tertentu, lalu secara keliru menegaskan bahwa kritik tersebut
berhasil meruntuhkan pandangan tersebut.
Jenis kesalahan ini tentu tidak berarti menganggap sepele rasa sakit
hati yang ditimbulkan oleh orang-orang Kristen (atau yang disangka
orang Kristen). Sakit hati itu bisa sangat hebat dan signifikan dan tidak
boleh dianggap remeh. Namun, menolak sistem kepercayaan dengan
alasan bahwa orang-orang Kristen bertindak munafik atau tidak kon-
sisten dengan nilai-nilai yang mereka anut secara logika merupakan
sebuah kasus minor yang dibesar-besarkan.
Keberhasilan (atau kegagalannya) seorang Kristen dalam menja-
lankan prinsip-prinsip alkitabiah (etika) bukan hal yang krusial untuk
mengevaluasi kebenaran kekristenan. Masalah utamanya adalah apakah
klaim-klaim historis, faktual, dan teologis kekristenan itu benar: Apakah
Yesus dari Nazaret itu adalah sosok yang nyata di dalam sejarah? Apakah
Dia benar-benar Allah yang berinkarnasi, Sang Mesias yang Ilahi?
Apakah kematian-Nya menebus dosa manusia? Apakah Dia benar-benar
bangkit dari kematian?
Secara logis, ketidakkonsistenan moral seorang Kristen (meskipun
tidak untuk ditoleransi dan bisa dimengerti memang mengecewakan)
hanya sedikit atau sama sekali tidak berhubungan dengan klaim kebe-
BUKANKAH KEMUNAFIKAN MEMBUAT KEKRISTENAN TIDAK VALID? 259

naran kekristenan yang objektif. Atau lebih tepatnya, perbuatan-per-


buatan negatif, berdosa, atau perbuatan yang jahat dari orang-orang
Kristen (yang riil atau yang masih berupa dugaan) tidak membuat klaim
historis tentang Kristus menjadi palsu—kehidupan-Nya yang sempurna,
kematian-Nya yang penuh pengurbanan, dan kebangkitan tubuh-Nya
yang menakjubkan. Karena ada beberapa orang Kristen bertindak
munafik, tidak berarti bahwa Yesus tak lagi menjadi Anak Allah dan
Juruselamat dunia.
Kemunafikan yang mencolok di antara orang-orang Kristen tentu
menyakitkan hati Allah (lih. Mat. 23) dan sesama manusia. Sayangnya,
perbuatan-perbuatan yang tidak konsisten ini meruntuhkan kepercayaan
dan membuat orang yang tidak percaya kian sulit menerima kesaksian
Kristen berkenaan dengan kebenaran iman. Akibatnya, kemunafikan
menguras potensi argumen-argumen apologetis yang sah. Akan tetapi,
masalah ini secara logis tidak membatalkan pernyataan kebenaran
kristiani yang objektif. Sebagaimana pernah disindir oleh ahli apologetika
Kristen John Warwick Montgomery, “Jika Albert Einstein ditangkap
karena mencuri, apakah hal itu akan membuat E=mc2 salah?” Sebuah
pesan atau pengajaran masih bisa benar bahkan jika si pembawa pesan
itu secara moral cacat.

Mendapatkan Injil yang Benar


Kebingungan yang meluas tentang natur sejati iman Kristen mem-
peruncing penolakan terhadap kemunafikan. Banyak orang melihat
kekristenan sebagai sistem etika. Dalam pemikiran mereka, menjadi
“Kristen” berarti harus mengikuti prinsip-prinsip etika tertentu yang
pasti mengakibatkan individu menjadi “orang yang lebih baik.” Konsep
ini merupakan distorsi yang serius. Kekristenan pada intinya berbicara
tentang Yesus Kristus: siapa Dia (Allah yang berinkarnasi, lih. bab 9)
dan apa yang Dia lakukan (penebusan, lih. bab 11).
Teolog Inggris Alister E. McGrath dengan singkat menggambarkan
inti kristologis kekristenan, “Jika ada yang menjadi pusat pada kekris-
tenan, maka pusatnya adalah Yesus Kristus. Orang Kristen tidak mungkin
berbicara tentang Allah, keselamatan, atau ibadah tanpa membawa Yesus
ke dalam diskusi itu, baik secara eksplisit maupun implisit. Bagi para
penulis PB, Yesus adalah jendela yang memungkinkan kita melihat natur,
260 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

karakter, dan tujuan Allah.”2 Kekristenan yang historis, pertama-tama


dan terutama berbicara tentang apa yang telah Yesus Kristus lakukan,
bukan tentang apa yang telah dilakukan atau yang belum dilakukan oleh
para pengikut-Nya secara moral—meskipun tentunya nilai-nilai moral
yang tepat dan perlu memang berasal dari hubungan dengan Kristus
yang memberikan penebusan. Memahami hal ini sangat penting bagi
orang-orang yang bukan Kristen.
Dua kesalahpahaman cenderung tidak berfokus pada Yesus Kristus
dan menggoda orang berpikir bahwa kekristenan hanya sebatas daftar
aturan moral. Kesalahpahaman ini telah meluas dan menyesatkan.

Kesalahpahaman # 1: Dosa hanyalah perilaku atau kebiasaan buruk.


Sebuah kesalahpahaman serius tentang natur dan dampak dosa tentu
menimbulkan cemooh yang tajam dari orang-orang yang tidak percaya,
yang terungkap ketika mereka berhadapan dengan ketidakkonsistenan
moral orang percaya. Dosa, yang secara meluas didefinisikan melalui
cara pandang Alkitab, adalah sesuatu yang bertentangan dengan (atau di
bawah) karakter kudus dan Hukum Allah yang sempurna (lih. bab 11).
Meskipun banyak orang memandang “dosa” hanya sebatas perbuatan
atau kebiasaan buruk, Alkitab menggambarkan dosa sebagai kekuatan
yang melemahkan, yang menembus hati setiap manusia (Mzm. 51:7;
58:4; Ams. 20:9). Bahkan, manusia bukan orang berdosa yang hanya
karena kebetulan melakukan dosa. Sebaliknya, masalah ini jauh lebih
mendalam. Manusia berdosa karena mereka orang berdosa menurut
natur bawaan dari manusia pertama.
Menurut Alkitab, semua manusia menanggung dosa asal, mewarisi
sifat dosa dari nenek moyang mereka, Adam (Rm. 5:12, 18-19). Natur
dosa ini berada di hati (batin) manusia (Yer. 17:9; Mat. 15:19), dan
dengan demikian memengaruhi seluruh kepribadian—termasuk pikiran,
kasih sayang, dan tubuh (Ef. 2:3; 4:17-19). Akibatnya, semua orang
secara pribadi berdosa dan karena itu secara moral bertanggung jawab
kepada Allah (Rm. 3:23).
Namun, Yesus Kristus menawarkan solusi bagi masalah dosa manusia.
Injil menyampaikan berita pengampunan Ilahi—yang dapat diterima
melalui pertobatan pribadi atas dosa dan melalui iman kepada Yesus
Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat (Rm. 5:1, 6:23, lih. bab 11).
BUKANKAH KEMUNAFIKAN MEMBUAT KEKRISTENAN TIDAK VALID? 261

Melalui iman, dosa-dosa orang percaya diampuni dan kebenaran Yesus


Kristus yang sempurna dianugerahkan kepadanya (2Kor. 5:21). Dengan
demikian, orang-orang Kristen dibenarkan di hadapan Allah.
Setelah regenerasi (kelahiran kembali secara spiritual, Yoh. 3:3), Roh
Kudus memasukkan natur kebenaran yang baru di dalam diri orang
berdosa yang dibenarkan karena iman. Namun, natur dosa asal seseorang
tetap ada, bahkan setelah pertobatan sehingga orang Kristen masih
berdosa (1Yoh. 1:8-10). Pertobatan adalah awal—bukan akhir—dari
proses panjang transformasi yang disebut pengudusan (dikhususkan
untuk melakukan kehendak Allah). Menurut Alkitab, kesempurnaan
moral dan etika tidak terjadi secara instan, atau bahkan tidak dapat
dicapai di dalam hidup ini (1Raj. 8:46; 1Yoh. 1:8). Jadi, ketidakmatangan
dan ketidaksempurnaan dalam tingkat tertentu, termasuk kemunafikan
(meskipun selalu disesalkan) dapat dilakukan oleh orang-orang percaya
(Yak. 3:2).
Orang-orang Kristen menghabiskan seumur hidup mereka untuk
berjuang, bukan untuk mendapatkan kebebasan dari hukuman dosa
(seperti yang dilakukan oleh Kristus di kayu salib), melainkan kebebasan
dari kuasa dosa atas sikap, niat, dan tindakan mereka. Transformasi
terakhir, yakni pemuliaan sesuai gambar dan rupa Kristus, menanti umat
Kristen di masa kekekalan di waktu mendatang. Teolog injili, John
Jefferson Davis memberikan pandangan alkitabiah yang seimbang
tentang proses pengudusan, “Kekudusan dimulai sejak regenerasi dan
pertobatan, dan bertumbuh di sepanjang kehidupan orang percaya mela-
lui pelayanan Firman dan Roh Kudus dan melalui iman pribadi dan keta-
atan.”3
Stiker bernada kristiani yang umumnya ditempelkan di bemper
mobil, “Orang-orang Kristen mendapatkan pengampunan, tetapi tetap
tidak sempurna” memiliki arti teologis yang nyata. Orang-orang Kristen
secara hukum telah dibenarkan melalui iman di dalam Kristus dengan
pembenaran Ilahi (Rm. 3:28, 5:1) yang menghapuskan kesalahan dosa.
Dan mereka makin dibenarkan melalui proses pengudusan yang dipimpin
oleh Roh (2Kor. 7:1; 1Tes. 5:23.), yang mulai menyingkirkan polutan
moral dosa.
262 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Kesalahpahaman # 2: Kekristenan secara esensial berbicara tentang


peraturan moral.
Sayangnya, ada sangat banyak orang Kristen sendiri yang mendo-
rong dan memperkuat pandangan yang keliru bahwa kekristenan itu pada
dasarnya adalah sistem etika. Mereka kerap melakukan hal ini dengan
menempatkan penekanan yang tidak sehat tentang aturan perilaku.
Pesan yang disampaikan acapkali seperti berikut ini, “Menjadi seorang
Kristen berarti tidak menenggak minuman keras, merokok, berdansa,
pergi ke bioskop, atau mendengarkan musik rock.” Kekristenan yang
berorientasi aturan itu dipandang oleh orang non-Kristen sebagai sikap
yang memuakkan karena umat Kristen itu merasa “lebih suci daripada
orang lain.”
Ada tiga masalah yang timbul dengan adanya penekanan peraturan
ini: Pertama, larangan yang diperdebatkan tersebut terkait dengan masa-
lah hati nurani dan/atau pilihan, yang tentu bukan kebajikan Kristen
yang utama. Kedua, bahkan ketika aturan itu diterapkan ke hal-hal yang
lebih substantif, Yesus bukanlah contoh moral Kristen yang pertama dan
terutama. Sebaliknya, Dia adalah Tuhan dan Juruselamat umat percaya.
Perilaku yang benar adalah manifestasi dari karya kasih karunia-Nya.
Ketiga, sebagai makhluk yang berdosa, meskipun telah ditebus di dalam
Kristus, manusia tidak dapat secara sempurna dan konsisten meniru
contoh moral Yesus Kristus (meskipun Allah memotivasi dan mendorong
upaya seseorang). Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak orang
Kristen terdorong untuk bertanya, di tengah berbagai situasi yang sulit,
“Apa yang Akan Yesus Lakukan?” Namun, keinginan dan tujuan yang
luhur ini merupakan standar yang sungguh-sungguh berada di luar
kemampuan moral manusia. Lebih baik bertanya, “Apa yang Yesus ingin
saya lakukan mengingat apa yang telah dilakukan-Nya bagi saya di atas
kayu salib dan di kubur?” “Apa yang Dia ingin saya lakukan mengingat
kuasa kebangkitan-Nya dan kehidupan baru yang dihasilkan di dalam
diri saya oleh Roh Kudus-Nya?” Orang-orang percaya dipanggil dan
diperintahkan untuk bertumbuh dalam kesalehan dan kedewasaan, tetapi
perintah tentang perilaku harus memperhitungkan bahwa umat Kristen
masih bergumul dengan natur dosa bahkan setelah menerima kesela-
matan.
BUKANKAH KEMUNAFIKAN MEMBUAT KEKRISTENAN TIDAK VALID? 263

Memang komitmen terhadap ketuhanan Yesus Kristus menuntut


ketaatan umat Kristen kepada perintah Allah, tetapi kadang-kadang
orang Kristen merancukan dan melebih-lebihkan kemampuan mereka
yang “benar.” Mereka kemudian salah menggambarkan kekristenan
sebagai agama yang “swadaya” (membersihkan perbuatan Anda melalui
kedisiplinan yang kaku), bukan sebagai agama “penyelamatan Ilahi” yang
sejati (Yesus Kristus telah menyelamatkan umat percaya dari hukuman
dosa melalui kehidupan, kematian, dan kebangkitan-Nya).
McGrath memberikan beberapa klarifikasi yang bermanfaat,
“Kekristenan adalah iman etis yang kuat. Namun, tidak berarti bahwa
kekristenan berbicara tentang seperangkat aturan yang di dalamnya umat
Kristen secara mekanis menyesuaikan diri dengan serangkaian instruksi.
Sebaliknya, kekristenan merupakan serangkaian nilai yang timbul dari
karya penebusan.”4 Orang-orang Kristen tidak akan mendapatkan
penebusan atau status yang baik bersama Allah hanya dengan “menjadi
bermoral.” Sebaliknya, karena mereka telah ditebus (diampuni dan
diperdamaikan dengan Allah) oleh kasih karunia Allah melalui iman di
dalam Kristus, mereka ingin dan berusaha menyesuaikan hidup mereka
untuk memperlihatkan nilai-nilai moral ilahi (Ef. 2:8-10; Tit. 3:5,7).
Kasih karunia, yang merupakan berkat Allah yang tidak layak kita terima,
adalah sumber dan alasan bagi keselamatan orang-orang percaya dan
kemajuan mereka dalam pengudusan (Tit. 2:11-14).
Kenaifan teologis di antara umat Kristen dapat memperburuk dam-
pak yang mereka inginkan bagi orang-orang yang belum percaya. Dua
hal akan memperkuat kesaksian umat percaya dan mengurangi masalah
kemunafikan. Pertama, orang Kristen dapat berhati-hati menyampaikan
kebenaran tentang Kristus sebagai inti dari iman Kristen. Kedua, mereka
dapat berusaha menambah pengetahuan alkitabiah tentang bagaimana
pilihan-pilihan pribadi dan perilaku dihubungkan dengan kebenaran Injil
(mis., memahami bagaimana pembenaran dari Tuhan berhubungan
dengan pengudusan).
264 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Bagaimana dengan Semua Kejahatan yang Dilakukan dalam


Nama Kristus?
Yang terkait erat dengan tuduhan kemunafikan adalah penolakan
yang lebih kompleks dan menyedihkan tentang semua kejahatan yang
dilakukan di sepanjang sejarah yang mengatasnamakan kekristenan
(Perang Salib, Inkuisisi/penganiayaan [pengadilan agama terhadap orang-
orang tertentu yang dituduh sebagai bidat], dan perang antara Katolik
dan Protestan). Bukankah dibenarkan untuk mengevaluasi agama berda-
sarkan buah moral yang dihasilkannya? Apakah buah kolektif kekris-
tenan lebih banyak mengandung racun daripada nutrisi?
Umat Kristen harus menerima kenyataan bahwa sejarah mereka
memiliki sisi gelap. Namun, mengatakan bahwa semua orang yang mela-
kukan kejahatan dalam nama Kristus adalah benar-benar orang Kristen
atau bahwa mereka yang jahat itu mengikuti ajaran Kristus, pernyataan
demikian tentu keliru. Tindakan para pelaku kejahatan merupakan anti-
tesis dari kehendak yang diungkapkan Allah. Filsuf Kristen Thomas V.
Morris berkata, “Tentu saja organisasi-organisasi yang menyebut diri
mereka ‘Kristen’ kerap memiliki efek yang merusak dan bahkan meng-
hancurkan. Namun, gerakan-gerakan semacam itu jelas telah menyim-
pang jauh dari Injil Kristus karena mereka juga tidak bisa mengontrol
moralitas umum. Domba tidak seharusnya dihakimi karena perbuatan
serigala yang berbulu domba.”5
Umumnya agama, dan kekristenan khususnya, dapat memikat
orang-orang yang tidak bermoral untuk memangsa dan mengeksploitasi
jiwa-jiwa yang tulus dan mudah percaya di dalam komunitas iman.
Domba-domba palsu (serigala) kerap menimbulkan kerusakan hebat di
dalam gereja, dan menodai reputasi gereja di tengah orang-orang non-
Kristen.
Menyalahkan apa yang disebut sebagai perang agama terhadap agama
secara eksklusif dan khususnya terhadap kekristenan, sama artinya dengan
melakukan kekeliruan karena terlalu menyederhanakan penyebabnya.
Hal ini boleh dikatakan, naif. Di sepanjang sejarah peradaban Barat,
hubungan antara kekuatan politik dan gereja telah menjadi urusan yang
rumit. Perang agama di masa lampau dan masa sekarang lebih banyak
disebabkan oleh konflik ekonomi, politik, dan sosial daripada oleh agama
itu sendiri. Hal ini sesungguhnya terjadi pada saat Perang Salib di abad
BUKANKAH KEMUNAFIKAN MEMBUAT KEKRISTENAN TIDAK VALID? 265

pertengahan dan perang Eropa setelah Reformasi, dan berlanjut dalam


konflik-konflik zaman sekarang seperti konflik di Irlandia Utara dan di
Timur Tengah. Hanya karena kekristenan memegang kekuasaan selama
periode-periode sejarah dengan peristiwa-peristiwa yang mengerikan
tersebut, tidak berarti bahwa kekuasaan politik atau gerejawi pada waktu
itu berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip moral atau etika Kristen.
Ironisnya, ketika orang Kristen melanggar prinsip-prinsip moral
alkitabiah, pandangan mereka sendiri menjadi dasar bagi penilaian moral
dan koreksi. Kemunafikan di kalangan umat Kristen kerap mudah
dideteksi dan dikutuk karena natur superlatif, kejelasan, dan koherensi
etika Kristen secara keseluruhan. Prinsip-prinsip etika Kristen bersifat
objektif, universal, tidak berubah, dan absolut. Itulah sebabnya prinsip-
prinsip itu dapat dengan mudah mengidentifikasi dan mengoreksi
pelanggaran-pelanggaran moralitas. Orang-orang non-Kristen yang ber-
pengetahuan luas tahu bahwa sisi gelap kekristenan bertentangan dengan
ajaran-ajaran spesifik Pendirinya.
Sebaliknya, filsafat-filsafat non-Kristen tidak memiliki pijakan yang
kuat untuk mengoreksi ketidakadilan. Sebagai contoh, dasar apakah
yang dimiliki oleh revolusi Perancis yang dipimpin oleh kaum sekuler
atau filsafat ateistis yang dianut komunisme Soviet dan China untuk
menilai perilaku moral? Lalu, bagaimana nilai-nilai moral dapat dibe-
narkan tanpa berelasi dengan sumber yang transenden yang memiliki
moral yang mutlak? (Pertanyaan penting ini dibahas di bab 18.)
Jika kekristenan dihakimi sesuai dengan buah moral dan etika yang
dihasilkannya, maka semua kebajikan yang telah dilakukan umat Kristen
selama dua milenium terakhir juga harus dipertimbangkan. Faktanya
adalah bahwa pandangan-pandangan keadilan sosial kontemporer ber-
akar pada tradisi Yahudi Kristen.6 Sebagai contoh, pandangan bahwa
semua orang diberkati dengan martabat dan moral yang sama dan
mendasar, berakar pada kebenaran alkitabiah yang abadi bahwa manu-
sia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah Yang Mahakuasa (Kej.
1:26-27).
Perintah moral seperti “yang kuat harus membantu yang lemah” dan
“yang kaya harus membantu yang miskin” dan “perlakukan orang lain
seperti kamu ingin diperlakukan” juga didasarkan pada visi Kristen ten-
tang realitas.7 Pengakuan terhadap nilai intrinsik semua manusia itu
266 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

penting di dalam Alkitab, dan jarang ditegaskan atau dipraktikkan oleh


budaya dan agama lain dalam sejarah.8 Oleh karena itu, tidak meng-
herankan bahwa kelompok-kelompok agama (terutama Kristen) meng-
awali sebagian besar organisasi amal di dunia. Sebaliknya, relatif sedikit
organisasi amal yang diprakarsai oleh masyakarat ateis.
Menilai suatu agama atau sistem kepercayaan berdasarkan buah
etika/moral yang dihasilkan memang memiliki beberapa validitas sekun-
der. Namun, kalau mau adil, evaluasi itu harus mempertimbangkan
pengaruh luas agama tersebut, yang baik dan yang buruk, dan apakah
agama itu dijalankan dengan benar. Pemimpin-pemimpin sekte seperti
Jim Jones dan David Koresh membuahkan tindakan-tindakan mengerikan
yang berdampak mematikan dengan mengatasnamakan Kristus, tetapi
ternyata mereka adalah serigala. Kepercayaan, motif, dan niat mereka
berlawanan dengan Kitab Suci dan kekristenan yang bersejarah. Mereka
bukan orang Kristen sejati.
Pertimbangan utama tetap sama: buah moral yang baik dari suatu
agama hanya menguatkan apa yang sudah didukung sebagai kebenaran.
Pertanyaan apakah suatu keyakinan atau suatu sistem kepercayaan itu
benar secara faktual dan secara objektif harus menggantikan pertanyaan
penting apakah keyakinan itu menghasilkan efek yang baik dan berman-
faat. Apakah kekristenan dapat dilaksanakan (secara moral) merupakan
pertanyaan yang penting, tetapi pertanyaan itu tidak sepenting apakah
klaim kebenaran kekristenan itu riil dan benar. Apa yang baik secara
etika/moral tidak dapat dipisahkan dengan apa yang riil secara metafisika
dan benar secara epistemologis. Kemungkinan pelaksanaannya harus
dievaluasi berkaitan dengan apa yang pertama-tama terbukti riil dan
benar.

Merespons Faktor-faktor Emosional


Sebuah diskusi tentang logika (dan hal yang tidak logis) bersamaan
dengan penjelasan tentang bagaimana menjadi seorang Kristen yang
seharusnya dan yang tidak seharusnya mungkin merupakan langkah-
langkah penting untuk menemukan—dan mendiskusikan—alasan-alasan
yang lebih dalam dan sering kali lebih emosional dari seseorang yang
menolak kekristenan. Di sini orang harus melakukan dengan hati-hati
dan penuh kasih sayang ibarat mengobati luka-luka yang mengancam
BUKANKAH KEMUNAFIKAN MEMBUAT KEKRISTENAN TIDAK VALID? 267

jiwa. Panah atau pedang emosional mungkin perlu dicabut keluar, tetapi
harus disertai dengan anestesi, antiseptik, pembalut, dan tindak lanjut.
Orang-orang Kristen yang mewujudkan kasih dan integritas dapat dan
kerap kali membantu membalut luka emosional dan memimpin orang-
orang untuk beriman kepada Kristus.
Si pembawa pesan keselamatan di dalam Kristus harus orang yang
bisa dipercaya—komponen penting dalam penginjilan mengingat cara
sebagian orang mempertimbangkan pernyataan-pernyataan kekristenan.
Orang-orang percaya yang memperlihatkan kebajikan moral dan inte-
lektual yang kuat membuat orang-orang skeptis lebih bersedia mere-
nungkan klaim Kristus. Nyatanya, sebagian besar umat Kristen bukan
orang-orang munafik yang mencolok, yang berpura-pura baik dan ber-
agama. Semua orang Kristen berjuang untuk menghadapi dan mengatasi
ketidakkonsistenan moral mereka, tetapi sebagian besar dari mereka
tulus, tidak bermuka dua, atau bukan aktor yang berpenampilan menipu.
Orang mungkin menerima atau menolak kekristenan berdasarkan
faktor-faktor rasional dan tidak rasional. Perilaku tidak etis dari sebagian
orang Kristen bukan merupakan alasan yang rasional untuk menolak
kekristenan. Namun, ada banyak orang yang merumuskan keyakinan
mereka berdasarkan pengalaman pribadi. Mengetahui hal ini, Allah
memanggil umat Kristen untuk menjalani kehidupan yang transparan
dan memberi teladan, bertobat dari dosa dan dimotivasi dengan hati
yang penuh rasa syukur kepada Tuhan atas kasih sayang-Nya terhadap
mereka (Rm. 12:2; Tit. 2:1-15). Karena kasih karunia Allah, umat Kris-
ten dapat mengakui kemunafikan mereka kepada Allah dan kepada
sesama manusia.
Ketika dihadapkan pada penolakan bahwa ada terlalu banyak orang
munafik di gereja, pertanyaan berikut tampaknya merupakan respons
yang tepat: Tempat mana lagi yang lebih baik bagi orang-orang munafik
selain di gereja di mana kuasa yang mengubahkan dari Allah melalui
Injil dapat terus-menerus mengoreksi, mengampuni, dan memperbarui
mereka dari hari ke hari? Obat terbaik untuk kemunafikan adalah diper-
hadapkan pada Injil Yesus Kristus yang sejati.
268 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Menjaga Martabat melalui Disiplinan Gereja yang Tepat


Para pemimpin atau para gembala di gereja Kristen memiliki tanggung
jawab spiritual dan moral untuk mengawasi kawanan domba mereka.
Kewajiban mereka adalah melindungi, mengajar, membimbing, membina,
dan jika perlu, dengan penuh kasih mendisiplinkan jemaat mereka. Para
pemimpin ini harus berhati-hati menjalani kehidupan dengan menghin-
dari celaan moral (1Tim. 3:1-10; Tit. 1:5-9). Para jemaat di gereja juga
memiliki tanggung jawab, termasuk memilih atau mengangkat pemimpin-
pemimpin yang saleh dan matang secara rohani, dan tunduk pada tun-
tunan Kitab Suci, termasuk disiplin gereja yang tepat. Kemudian, gereja,
baik pemimpin maupun anggota jemaatnya, harus bekerja sama untuk
menjaga martabat dan reputasi moral gereja di hadapan dunia yang bukan
Kristen.
Apabila gereja-gereja Kristen dihadapkan dengan pelanggaran moral
yang mencolok dan/atau bersifat pidana seperti pelecehan seksual atau
ketidakberesan keuangan (baik di antara pendeta atau jemaat awam),
para pemimpin gereja harus berhati-hati bertindak dengan benar, adil,
dan tegas untuk melindungi orang yang tidak bersalah dan berusaha agar
orang yang bersalah dibawa ke pengadilan. Hanya pejabat-pejabat gereja
yang bersedia bekerja keras yang dapat dengan efektif mengatasi masalah-
masalah semacam itu sehingga melindungi jemaat mereka dan menanam-
kan kepercayaan kepada masyarakat tentang penilaian dan tanggung
jawab moral gereja. Sayangnya, di tengah jumlah jemaat yang terlalu
banyak, keanggotaan gereja, kalaupun terdaftar, menjadi kurang efektif
dan disiplin gereja pun longgar. Banyak pemimpin dan anggota gereja
menghindari disiplin gereja dan menjalani kehidupan mereka begitu saja.
Jadi, orang-orang menghindari tanggung jawab pribadi yang hakiki dan
kesempatan-kesempatan penting untuk bertumbuh. Ketika gereja gagal
melaksanakan tanggung jawab spiritual dan moral menurut Alkitab,
maka gereja menyiramkan bensin ke dalam api kemunafikan.

Fokus pada Masalah yang Riil


Tak seorang pun berhak menilai Allah berdasarkan tindakan orang-
orang yang menyebut diri sebagai pengikut-Nya. Menolak kekristenan
karena adanya kemunafikan di antara umat Kristen berarti menggunakan
bentuk pemikiran yang tidak logis. Ujian sesungguhnya untuk keabsahan
BUKANKAH KEMUNAFIKAN MEMBUAT KEKRISTENAN TIDAK VALID? 269

iman Kristen berpusat pada klaim kebenaran oleh dan tentang Yesus
Kristus. Klaim kebenaran itu berfokus pada pribadi dan karya Kristus.
Pertanyaan-pertanyaan logis yang relevan adalah: Apakah Yesus dari
Nazaret itu adalah seorang yang benar-benar nyata? Apakah Dia benar-
benar Mesias yang Ilahi? Apakah kematian-Nya menebus dosa manusia?
Apakah Dia benar-benar bangkit dari kematian?
Yesus sendiri pernah berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan
hidup.” Karena kebenaran yang indah ini—bahwa Yesus-lah, dan bukan
usaha manusia yang membuat manusia bisa menjadi baik—menawarkan
karunia pengampunan dan kebenaran kepada manusia yang berdosa,
maka sebagian umat percaya memiliki pandangan perilaku moral yang
sangat lemah, kurang menekankan pentingnya sikap tunduk pada hukum
moral Allah. Bab berikutnya membahas masalah kebebasan untuk ber-
buat semau “saya” sendiri.

Ayat-ayat Penting di dalam Alkitab


 Mengenai dosa: Mazmur 51:7, 58:4, Amsal 20:9; Yeremia 17:9;
Roma 3:23; Efesus 2:3; 1 Yohanes 1:8.
 Mengenai pembenaran Allah melalui anugerah semata, melalui
iman semata, melalui Kristus sendiri: Lukas 18:14; Kis.13:39;
Roma 3:23-24,28, 5:1; Efesus 2:8-10; Galatia 2:16, 3:24; Titus
3:5,7.

Pertanyaan Diskusi
1. Dari sudut pandang Kristen, bagaimana orang berdosa berbeda
dengan orang munafik?
2. Bagaimana orang percaya bisa membantu orang yang tidak percaya
untuk lebih memahami masalah-masalah pokok kekristenan?
3. Bagaimana orang Kristen seharusnya menangani kemunafikan
di dalam hidupnya sendiri?
4. Mengapa pertanyaan-pertanyaan kebenaran menggantikan perta-
nyaan-pertanyaan tentang akibat-akibat yang praktis?
5. Bagaimana gereja dan individu Kristen dapat membangun per-
tanggungjawaban spiritual dan moral yang lebih besar?
270 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Untuk Studi Lebih Lanjut


Corduan, Winfried. No Doubt about It: The Case For Christianity (Nashville:
Broadman & Holman,1997).
Evans, C. Stephen. Why Believe? Reason and Mystery as Pointers to God (Grand
Rapids: Eerdmans, 1996).
Hoekema, Anthony A. Saved By Grace (Grand Rapids: Eerdmans, 1989).
McGrath, Alister E. Introduction to Christianity (Cambridge, MA: Blackwell
Publishers, 1997).
Shelley, Bruce L. Church History In Plain Language, edisi ke-2 (Dallas: Word,
1995).
BUKANKAH SAYA BERHAK MELAKUKAN APA PUN
YANG SAYA INGINKAN DENGAN TUBUH SAYA SENDIRI?

Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di
dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan
milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar:
Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!
––1 Korintus 6:19-20

Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapa pun yang
memintanya dan juga tidak akan saya sarankan hal seperti itu. Demikian pula,
saya tidak akan memberikan obat kepada seorang wanita untuk menggugurkan
kandungan.
––Sumpah Hippocrates

K emerdekaan, kebebasan, dan kemandirian individu tampaknya fun-


damental bagi manusia, terutama bagi mereka yang lahir dan dibe-
sarkan di alam demokrasi negara-negara Barat. Selama tidak menyakiti
orang lain, mengapa “saya” tidak boleh melakukan berbagai hal dengan
cara saya? Bahkan di antara orang-orang Kristen kadang-kadang ada
yang bersikap antinomian (menentang semua hukum/peraturan) dengan
beranggapan bahwa “karena Yesus telah membayar hukuman atas dosa
saya, saya bisa melakukan apa pun yang saya inginkan.”
Namun, apakah klaim untuk menentukan nasib sendiri (self-deter-
mination) itu bisa mendorong orang bertindak kelewat batas? Tidak
adakah batas-batas yang tepat terhadap otonomi manusia? Zeitgeist
atau “semangat zaman” (iklim intelektual, moral, dan budaya umum)

271
272 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Amerika mencerminkan sekularisasi yang makin meningkat. Banyak


orang menganggap diri benar-benar independen, pasti sanggup mengatur
diri sendiri, dan sebagai pribadi yang benar-benar bebas.
Semangat baru otonomi manusia yang radikal ini melebihi standar-
standar tradisional kebebasan dan kemerdekaan manusia yang telah
diterima sebelumnya. Dewasa ini, otonomi kerap kali berisi kemerdekaan
yang didapat dari manusia lain dan bahkan dari Allah. Kebebasan yang
semau gue ini jelas terlihat dalam respons budaya populer pengikut paham
kebebasan1 terhadap masalah-masalah etika dan sosial seperti aborsi,
infantisida, homoseksualitas, bunuh diri yang dibantu oleh dokter, euta-
nasia, penyalahgunaan obat dan alkohol, prostitusi, dan hampir segala
macam perilaku seksual. Klaim otonomi ini kerap diungkapkan demikian,
“Selama perbuatan saya tidak merugikan siapa pun, saya bebas melakukan
apa pun sesuka hati saya dengan tubuh saya sendiri.”
Walaupun pemikiran ini menyebar ke dalam budaya Barat, banyak
umat Kristen mengaku tidak tahu harus berbuat apa untuk menanggapi
klaim yang berani ini. Sementara kekristenan mengajarkan bahwa
orang patut membuat pilihan yang autentik, memikul tanggung jawab
yang nyata, dan menikmati kebebasan pribadi sampai pada tingkat
tertentu, klaim otonomi yang radikal ini tidak sesuai dengan kebenaran
dan nilai-nilai kristiani. Bahkan, pemikiran ini tidak konsisten dengan
realitas, terutama faktor yang merusak.
Sebuah kritik yang efektif terhadap klaim otonomi ini dari sudut
pandang Kristen klasik harus diluncurkan terhadap klaim bahwa orang
bebas melakukan apa pun dengan tubuh mereka sendiri. Mengapa?
Karena klaim otonomi ini makin berdampak pada masyarakat di seluruh
dunia melalui praktik-praktik kontroversial seperti aborsi dan eutanasia
dan yang lebih baru lagi, homoseksualitas dan hidup bersama tanpa
ikatan. Sebuah diskusi singkat tentang pandangan alkitabiah, terutama
yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, adalah poin untuk
memulai kritik penting ini.

Hubungan Manusia dengan Allah


Menurut Alkitab, manusia diciptakan menurut gambar Allah yang
tidak terbatas, kekal, adil, berhikmat, suci, penuh kasih, dan pemurah
(Kej. 1:26-27). Sebagai puncak penciptaan, gambar Allah (imago Dei)
BUKANKAH SAYA BERHAK MELAKUKAN APA PUN YANG SAYA INGINKAN DENGAN TUBUH SAYA SENDIRI? 273

tercermin di dalam kapasitas manusia yang rasional, berkehendak, saling


berelasi, dan spiritual, juga di dalam kemampuannya yang unik untuk
berkuasa atas dunia tumbuhan dan hewan.
Kisah penciptaan di dalam kitab Kejadian mengungkapkan bahwa
manusia itu jenis yang berbeda dari dunia hewan, jadi bukan hanya
berbeda dalam hal derajat. Dan sementara manusia serupa dengan
Allah sebagai makhluk yang terbatas (baik hewan maupun malaikat tidak
pernah disebutkan sebagai makhluk yang menyandang gambar Allah),
mereka hanya makhluk ciptaan yang jelas berbeda dari Pencipta mereka
yang tak terbatas. Dalam teologi Kristen, perbedaan ini dikenal sebagai
“perbedaan antara Pencipta dan ciptaan-Nya.”
Alkitab secara unik memperkenalkan umat manusia sebagai “orang
yang diciptakan.”2 Sudut pandang antropologi ini menjadi sebuah para-
doks. Karena menurut naturnya, makhluk ciptaan (manusia) itu mutlak
bergantung pada Allah. Namun di sisi lain, manusia memiliki keman-
dirian (otonomi) relatif dari Allah. Manusia itu bukan boneka. Namun,
tanpa penjelasan, Alkitab menetapkan keberadaan manusia sebagai
makhluk-ciptaan (tidak seperti Allah) dan pribadi (seperti Allah) disan-
dingkan sebagai kebenaran yang sepadan. Dalam hal ini, antropologi
Alkitab berbeda dari semua pandangan filosofis dan religius lainnya
tentang umat manusia.
Kitab Suci juga mengungkapkan bahwa manusia pertama menyalah-
gunakan kebebasan yang diberikan Allah dan sengaja memilih untuk
memberontak melawan Allah dan menjalankan otonomi mereka sendiri.
Adam dan Hawa memilih untuk mengejar pengetahuan, keindahan, dan
kesenangan di luar Allah dan perintah-perintah-Nya yang spesifik.
Mereka memercayai kata-kata si ular dan mengikuti keinginan mereka
sendiri. Penolakan manusia terhadap otoritas dan perintah Allah disebut
di dalam Alkitab sebagai “dosa.” Menurut Alkitab, dosa adalah segala
sesuatu yang berbeda atau bertentangan dengan natur dan kehendak
Allah. Alkitab berulang kali berbicara tentang dosa sebagai perbuatan
yang melanggar hukum Allah (Rm. 8:7-8; Yak. 2:9-11; 1Yoh. 3:4).
Pemberontakan ini mengakibatkan (melalui dosa asal3) semua umat
manusia secara adil dihukum di hadapan Allah dan hukum-Nya yang
suci. Namun Allah, dengan kemurahan-Nya yang tak terbatas, telah
menyediakan penebusan4 bagi orang-orang berdosa yang bertobat
274 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

melalui kehidupan, kematian, dan kebangkitan Allah-manusia, Yesus


Kristus (lih. Penebusan, bab 11).
Oleh karena itu, dari perspektif Kristen, manusia sangat bergantung
kepada Allah dari setidaknya tiga sudut pandang yang kritis: Pertama,
keberadaan manusia sebagai makhluk fisik, intelektual, dan spiritual
berasal dari karya Allah selaku Pencipta yang transenden atas alam
semesta. Kejadian 2:7 dengan luar biasa menggambarkan Allah men-
ciptakan manusia secara istimewa, “Ketika itulah TUHAN Allah mem-
bentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup
ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang
hidup.” Dibuat dalam citra Allah berarti bahwa manusia memiliki tubuh,
pikiran, dan jiwa.
Kedua, eksistensi umat manusia dimungkinkan tetap berlangsung
(termasuk membutuhkan gravitasi, oksigen, makanan, tempat tinggal,
pakaian, dsb.) karena karya Allah sebagai Sang Pemelihara alam semesta.
Manusia bergantung pada pemeliharaan dan perlindungan Allah setiap
saat. Rasul Paulus secara khusus memohon pemeliharaan unik Allah
bagi umat manusia ketika ia berkhotbah di bukit Ares kepada para filsuf
Yunani abad pertama, “Dan [Allah] juga tidak dilayani oleh tangan
manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang mem-
berikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang” (Kis.
17:25).
Ketiga, dari awal hingga akhir, keselamatan umat percaya berasal
dari karya kasih karunia Allah di dalam dan melalui karya Sang Juru-
selamat yang Ilahi, Yesus Kristus. Keselamatan secara eksklusif adalah
anugerah Allah melalui iman dan karena Kristus semata. Rasul Paulus
bersaksi tentang tindakan penebusan Allah yang berdaulat dan penuh
kasih dalam perkataan ini, “Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh
karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah
menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah
mati oleh kesalahan-kesalahan kita—oleh kasih karunia kamu disela-
matkan (Ef. 2:4-5).
Pengakuan orang percaya atas ketergantungan sepenuhnya kepada
Allah selaku Pencipta, Pemelihara, dan Juruselamat, akan membawa-
nya menuju kehidupan yang penuh rasa syukur, ketaatan, dan penyem-
bahan. Bagi orang Kristen, konteks utama kehidupan itu sendiri adalah
BUKANKAH SAYA BERHAK MELAKUKAN APA PUN YANG SAYA INGINKAN DENGAN TUBUH SAYA SENDIRI? 275

realitas tentang dan hubungan dengan Tuhan Allah dan Juruselamat alam
semesta ini.

Respons Orang Kristen


Dari sudut pandang Alkitab, klaim bahwa manusia itu secara radikal
bebas melakukan apa saja yang mereka kehendaki dengan tubuh mereka
sendiri, sungguh aneh dan sombong. Ada banyak pemikiran yang meng-
ungkapkan perbedaan antara antropologi sekuler dan alkitabiah. Tiga
respons berikut membahas berbagai unsur pandangan otonomi yang
berbeda.
1. Ketika orang mengatakan bahwa mereka bisa melakukan apa saja
yang mereka inginkan selama mereka tidak merugikan orang lain, umat
Kristen dapat mengajukan dua pertanyaan seperti Socrates, “Apakah
‘orang lain’ yang Anda bicarakan itu termasuk Allah? Apakah Anda
sedemikian yakin dengan realitas tertinggi sehingga Anda dapat menge-
cualikan Allah dengan aman?”
Daya tarik otonomi mengabaikan konteks kehidupan utama orang
Kristen. Jika Allah di dalam Alkitab benar-benar ada sebagai realitas
yang objektif (lih. keberadaan Allah, bab 1), maka pernyataan otonomi
manusia yang radikal ini menjadi distorsi yang merusak dan berakibat
fatal, baik di dalam kehidupan di dunia sekarang ini maupun yang akan
datang. Filsuf Kristen Thomas V. Morris menjelaskan:
Pertanyaan tentang eksistensi Allah bukan sekadar pertanyaan tentang
apakah masih ada hal lain lagi di dalam daftar realitas. Ini adalah
pertanyaan yang berbicara tentang konteks utama untuk segala hal.
Kaum teis dan ateis harus memandang segala sesuatu secara berbeda.
Dengan cara yang sama, pertanyaan tentang apakah ada kehidupan sete-
lah kematian seharusnya tidak sekadar pertanyaan yang berbicara ten-
tang apakah kita mengharapkan satu segmen kehidupan lagi, meski lama,
setelah kematian tubuh. Pertanyaan ini harus dilihat sebagai pertanyaan
yang berbicara tentang konteks menyeluruh untuk semua tindakan kita
dalam hidup ini. Akankah kita hidup selamanya atau tidak? Itulah
yang seharusnya memengaruhi kita, tidak hanya untuk masa mendatang,
tetapi juga untuk masa kini. Dan orang-orang yang percaya adanya
kehidupan setelah kematian, berdasarkan keyakinan mereka, tidak akan
menurunkan nilai kehidupan ini. Sebaliknya, mereka menganut kon-
teks yang lebih besar, yang menanamkan nilai yang jauh lebih besar ke
dalam hal-hal kecil kehidupan ini.5
276 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Refleksi filosofis merupakan bagian yang tak terhindarkan dari


kehidupan manusia. Mengajukan pertanyaan yang bernada menyelidik
tentang apa yang pada hakikatnya riil (metafisika), benar (epistemologi),
dan baik (etika) adalah bagian penting dari kehidupan yang rasional dan
kontemplatif. Hanya untuk mendapatkan kenyamanan pribadi saja,
orang perlu merenungkan pertanyaan-pertanyaan penting seperti
kemungkinan adanya Allah dan kekekalan manusia. Dan jika jawaban
tertentu atas pertanyaan-pertanyaan penting ini tidak bertentangan
dengan nalar, bukankah orang juga akan bertanya dengan hati-hati apakah
pilihan dan perbuatannya dalam kehidupan ini berhubungan dengan
apa yang pada hakikatnya nyata?
Melakukan apa pun sesuka hati dengan tubuhnya sendiri dapat
membahayakan, bahkan bisa menimbulkan kerusakan yang tidak dapat
diperbaiki lagi bagi tubuh di dalam kehidupan sekarang ini dan bagi
jiwanya di masa depan. Pilihan seseorang mungkin bisa menimbulkan
risiko yang lebih besar daripada apa yang ia pikirkan sebelumnya. Sebagai
makhluk yang memiliki pengetahuan dan cara pandang yang terbatas,
menjalani kehidupan dengan hati-hati terkait keterbatasan dirinya dalam
menentukan pilihan-pilihannya, tampaknya masuk akal.
2. Ketika orang menyatakan bahwa mereka bebas melakukan apa
yang mereka inginkan selama mereka tidak merugikan orang lain, orang
Kristen dapat kembali mengajukan dua pertanyaan: “Bagaimana Anda
bisa yakin bahwa perbuatan Anda tidak akan merugikan orang lain—
kini maupun di masa yang akan datang? Jika menyakiti orang lain adalah
tindakan yang salah, mengapa tindakan menyakiti diri sendiri tidak
dianggap tindakan yang salah (seperti dalam kasus eutanasia aktif atau
penyalahgunaan narkoba dan alkohol?”
Menurut kekristenan, Allah telah menciptakan komunitas manusia
yang saling berhubungan. “Tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri
seperti sebuah pulau,” penulis John Donne mengingatkan. Ilmu penge-
tahuan, sosiologi, psikologi, dan ilmu politik memberikan kesaksian riil
bahwa manusia itu saling bergantung secara kompleks. Mencoba mem-
prediksi bagaimana konsekuensi perbuatan seseorang memengaruhi
orang lain merupakan perkara yang sangat rumit. Jadi, apa yang dise-
but sebagai kejahatan tanpa korban (mis. prostitusi, penyalahgunaan
narkoba) jarang ada, kalaupun ada, benar-benar tanpa korban. Ketika
BUKANKAH SAYA BERHAK MELAKUKAN APA PUN YANG SAYA INGINKAN DENGAN TUBUH SAYA SENDIRI? 277

orang secara pribadi berperilaku sembrono dan berasumsi bahwa peri-


laku mereka hanya memengaruhi dirinya sendiri, maka biasanya ada
orang lain (keluarga, masyarakat) yang menderita dan akhirnya harus
memperbaiki kerusakan akibat pilihan-pilihan yang narsis ini.
Kekristenan menegaskan bahwa karena manusia diciptakan menurut
gambar Allah, maka seluruh kehidupan manusia itu kudus (dikaruniai
oleh Allah, layak dihormati dan dihargai, berharga, tidak dapat diulang).
Oleh sebab itu, seperti halnya salah secara moral bila orang membunuh
atau menghancurkan kehidupan orang lain karena mereka menyandang
citra Allah (Kej. 9:6; Yak. 3:9 ), demikian pula secara moral salah bila
orang membunuh atau merusak kehidupannya sendiri. Sebagai contoh,
bunuh diri adalah pembunuhan terhadap diri sendiri. Umat Kristen
harus meminta penjelasan kepada orang-orang yang menganut pandangan
otonomi ini: atas dasar apakah mereka dapat menyatakan bahwa mereka
salah bila menyakiti orang lain namun tidak merasa salah bila menyakiti
diri sendiri. Bukankah merugikan orang lain yang dilarang secara hukum
dan moral juga logis diterapkan bagi diri sendiri?
3. Ketika orang berkata, “Ini tubuhku sendiri kok,” orang Kristen
bisa sekali lagi mengajukan dua pertanyaan yang menyelidik: “Bentuk
kepemilikan seperti apakah yang benar-benar Anda miliki atas tubuh
Anda? Tentang penciptaan tubuh Anda saja Anda tidak berhak berkata
apa-apa, apa yang membuat Anda berpikir bahwa Anda mutlak berhak
atas apa yang terjadi sekarang pada tubuh Anda?” Orang-orang Kristen
dapat bertanya, atas dasar apakah orang-orang berpikir bahwa mereka
berkuasa atas jalan hidup mereka sendiri.
Teolog injili, John Jefferson Davis mencatat bahwa sementara banyak
orang memandang diri mereka sebagai tuan atas kehidupan mereka
sendiri, “Orang Kristen memandang kehidupan manusia sebagai anugerah
dari Allah, dan amanat ini harus dipelihara di sepanjang hidup manusia
di bumi.”6 Menurut Alkitab, semua orang menerima hidup mereka dari
Allah. PB menegaskan bahwa tubuh dan jiwa umat Kristen adalah milik
Allah. Rasul Paulus menyampaikan pesan ini dengan sangat jelas:
 “Sebab tidak ada seorang pun di antara kita yang hidup untuk
dirinya sendiri, dan tidak ada seorang pun yang mati untuk dirinya
sendiri. Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika
278 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita
adalah milik Tuhan” (Rm. 14:7-8).
 “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Ku-
dus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh
dari Allah, —dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab
kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu
muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1Kor. 6:19-20).
Semua yang dimiliki manusia, secara ultimat adalah milik Tuhan,
termasuk tubuh, yang diciptakan menjadi bait Allah (entah orang terse-
but mengundang Allah masuk ke dalamnya atau tidak). Akhirnya, klaim
tentang otonomi manusia merupakan penghinaan langsung kepada
Allah, karena Allah-lah yang menghitung hari-hari seluruh kehidupan
manusia. Kata-kata yang serius mencerminkan kedaulatan Allah sepan-
jang hidup manusia:
 “Jikalau hari-harinya sudah pasti, dan jumlah bulannya sudah tentu
pada-Mu, dan batas-batasnya sudah Kautetapkan, sehingga tidak
dapat dilangkahinya” (Ayb. 14:5).
 “Mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu
semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu
pun dari padanya” (Mzm. 139:16).
Ayat-ayat ini tidak meniadakan realitas tentang pilihan manusia yang
autentik dan tanggung jawabnya yang sejati (terutama yang berhubungan
dengan tubuhnya). Namun, dari cara pandang alkitabiah, pilihan manusia
akhirnya benar-benar sesuai dengan tujuan Allah yang berdaulat. Masa-
lah kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia mungkin merupakan
masalah yang tidak dapat dimengerti oleh pikiran manusia yang terbatas,
tetapi Alkitab tetap mengajarkan kedua kebenaran itu sebagai hal yang
penting untuk kehidupan.7

Dampak yang Kuat


Sebuah cara pandang alkitabiah tentang nilai yang melekat pada
kehidupan manusia dan tentang martabat yang melekat pada tubuh, dapat
berdampak besar pada masyarakat mana pun. Seseorang pernah ber-
kata bahwa suatu budaya harus dinilai dari cara budaya itu memper-
lakukan anggota masyarakatnya yang paling rentan. Dunia pada abad
BUKANKAH SAYA BERHAK MELAKUKAN APA PUN YANG SAYA INGINKAN DENGAN TUBUH SAYA SENDIRI? 279

XXI tidak boleh melupakan apa yang terjadi di masa kekuasaan Hitler
dan Stalin di Barat atau di masa Mao Tse-tung dan Saddam Hussein di
Timur dan Timur Tengah. Sebuah pandangan yang arogan tentang
kehidupan manusia yang rentan pada saat-saat yang paling awal dan
paling akhir terus berlangsung sampai hari ini—cara pendekatan “Dixie
Cup” (mangkuk kertas sekali pakai—dipakai dan dibuang). Tanggapan
orang Kristen terhadap pernyataan otonomi yang radikal menyajikan
konteks yang penting bagi isu-isu etis yang penting pula: aborsi, hubungan
seksual, dan eutanasia.

Aborsi
Pandangan yang pro-aborsi didasarkan pada seruan otonomi atas
tubuh, dan para pembela aborsi secara rutin memakai argumen tentang
“ketergantungan fisik” si bayi pada ibunya.8 Argumen ini menegaskan
bahwa bayi yang belum lahir itu hanyalah perpanjangan dari tubuh sang
ibu, dan karena si ibu berhak melakukan apa saja yang diinginkannya
dengan tubuhnya sendiri, maka ia memiliki hak alami untuk melakukan
aborsi. Tiga kritik yang signifikan berikut ini menunjukkan bahwa
penalaran ini cacat.
Pertama, bayi yang belum lahir bukan hanya perpanjangan dari tubuh
sang ibu. Di tahap yang sangat awal di dalam pertumbuhannya, janin
memiliki identitasnya sendiri. Identitas ini dibuktikan dengan adanya
fakta bahwa bayi memiliki sidik jarinya sendiri yang berbeda, juga jenis
darah dan jenis kelaminnya sendiri (dan sekitar setengah dari semua
bayi yang ada memiliki golongan darah dan jenis kelamin yang berbeda
dari ibu mereka).9 Susunan genetik janin juga unik sejak awal, dan tidak
identik dengan orangtuanya.
Kedua, seorang ibu tidak berhak melakukan apa pun yang diingin-
kannya dengan tubuhnya. Hukum moral dan hukum sipil membatasi
tindakannya. Dan karena bayi yang belum lahir itu adalah manusia yang
berbeda, pilihan si ibu tentang bagaimana ia menggunakan tubuhnya
harus menghormati hak-hak hidup manusia lain yang berbeda, yang
tumbuh di dalam rahimnya. Fakta bahwa seorang anak tumbuh di dalam
tubuh seorang perempuan tidak membuat keberadaannya sebagai manu-
sia berkurang, hanya saja ia menjadi lebih rentan. Penalaran moral yang
kuat mengungkapkan bahwa hak hidup bagi bayi yang belum lahir harus
280 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

lebih besar daripada hak sewenang-wenang sang ibu untuk mencabut


nyawa si bayi. Sudah jelas bahwa masalah hidup dan mati lebih prioritas
daripada hal-hal privasi dan kenyamanan pribadi (atau sosial).
Ketiga, tindakan moral yang baik bagi perempuan hamil yang
merasa tidak sanggup membesarkan anaknya adalah dengan tetap
mengandung bayinya sampai genap bulannya dan membiarkan anak itu
diadopsi. Dengan demikian, di satu sisi, ia memang akan mencapai
tujuannya untuk menghindari tanggung jawab sebagai orang tua. Di sisi
lain, dia juga akan melestarikan kehidupan manusia lain dan memberikan
kesempatan kepada keluarga lain untuk membesarkan anak yang ber-
harga itu. Dalam hal ini, si ibu bermurah hati secara moral, dan lebih
mementingkan kesejahteraan anak daripada dirinya sendiri. Sebagian
besar aborsi dilakukan oleh perempuan-perempuan muda karena alasan
kenyamanan (pengendalian kelahiran), bukan karena hal-hal yang jarang
terjadi yang berhubungan dengan kesehatan ibu, atau kasus yang lebih
jarang lagi, yakni kehamilan karena pemerkosaan atau inses (Ironisnya,
jumlah permintaan untuk mengadopsi anak setiap tahun di Amerika
Serikat kira-kira sama dengan jumlah aborsi. Dan pada umumnya, dalam
kehidupan, kesejahteraan anak-anak yang diadopsi sama baiknya dengan
anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua biologis mereka). Adopsi
adalah alternatif moral yang nyata untuk menghadapi wabah aborsi.

Seksualitas
Dari sudut pandang Kristen tradisional dan dari berbagai penelitian
sosiologis, psikologis, antropologis, sejarah, dan medis, melakukan hal
baik yang sejalan dengan Alkitab mengenai seksualitas dan hubungan
keluarga merupakan cara yang paling sehat. Menurut Kitab Suci, Allah
menciptakan seksualitas manusia (“laki-laki dan perempuan,” Kej. 1:27;
5:2). Allah menciptakan tubuh manusia dan memerintahkan agar
hubungan seks dilakukan di dalam konteks yang benar setelah laki-laki
dan perempuan mengucapkan janji pernikahan.
Alkitab mengungkapkan bahwa keintiman seksual antara suami dan
istri sesungguhnya adalah alegori (kiasan) mengenai hubungan cinta
antara Allah dan umat-Nya (Allah/Israel, Kristus/gereja; sebagai contoh,
lihat kitab Kidung Agung). Natur fisik dan kenikmatan seksual tidak
boleh dipisahkan dari isu-isu penting yang menyertainya seperti cinta,
BUKANKAH SAYA BERHAK MELAKUKAN APA PUN YANG SAYA INGINKAN DENGAN TUBUH SAYA SENDIRI? 281

komitmen (pernikahan), keintiman pribadi, dan prokreasi. Karena seks


adalah simbol keintiman spiritual yang lebih besar antara Allah dan
manusia, dan karena seks merupakan sarana prokreasi, maka seks tidak
boleh dipraktikkan secara iseng-iseng atau di luar konteks janji perni-
kahan yang benar.
Larangan Alkitab terhadap percabulan, perzinaan, homoseksualitas,
dan hubungan seks dengan binatang/bestialitas (Kel. 20:14; Ef. 5:3; 1Tes.
4:3-4) tidak hanya mengajar orang tentang perilaku seksual apa yang
diterima dan yang menjijikkan di mata Allah, tetapi juga berfungsi untuk
melindungi orang dari konsekuensi-konsekuensi yang menghancurkan
secara fisik, psikologis, sosial, dan spiritual yang cenderung menyertai
gaya hidup seks “bebas.” “Kebebasan” semacam itu gagal memberikan
hasil yang telah dipropagandakan. Sama seperti aborsi telah gagal
mengurangi tindak kekerasan pada anak, kumpul kebo/hidup bersama
dan keintiman seksual sebelum menikah juga telah gagal mengurangi
angka perceraian dan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga). Homo-
seksualitas mungkin tampak menghasilkan kebahagiaan yang lebih besar
untuk sebagian orang; tetapi tingkat bunuh diri, penyalahgunaan narkoba,
alkohol, dan penyakit di antara kaum homoseksual aktif, melonjak tinggi
di atas angka rata-rata seluruh populasi.
Mengikuti perintah Alkitab berkenaan dengan seks dan pernikahan
akan mengurangi masalah-masalah pribadi dan sosial—dan biaya. Selan-
jutnya, prinsip-prinsip moral Allah akan bermanfaat bagi orang-orang
yang taat, baik di dalam kehidupan sekarang ini maupun di kehidupan
mendatang. Pendekatan seksualitas yang bijaksana dan kudus disertai
dengan sikap menghargai pengorbanan-diri (berbeda dengan asketisme)
akan sangat bermanfaat bagi masyarakat mana pun.

Eutanasia
Istilah eutanasia secara harfiah berarti “kematian yang baik” atau
“kematian yang bahagia.” Selanjutnya didefinisikan sebagai “Mengambil
nyawa manusia untuk tujuan yang baik, seperti untuk meringankan
penderitaan atau rasa sakit.”10 Oleh karena itu, kadang-kadang disebut
sebagai “pembunuhan karena belas kasihan.”
282 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Bentuk eutanasia dapat dipertimbangkan ketika orang sudah sekarat


atau menderita penyakit terminal. Ahli-ahli etika telah mengidentifikasi
dua tipe dasar eutanasia: aktif dan pasif.11
1. Eutanasia aktif (termasuk bunuh diri dan bunuh diri yang dibantu):
Dengan sengaja dan/atau secara aktif mengambil nyawa seorang pasien
yang sakit parah, baik oleh si pasien sendiri (bunuh diri) atau dengan
bantuan orang lain (mungkin seorang dokter, anggota keluarga, atau
teman). Eutanasia aktif benar-benar menghasilkan atau menyebabkan
kematian. Ini berarti bahwa kematian pasien bukan berasal dari penyakit
yang mematikan itu sendiri, tetapi dari tindakan spesifik eutanasia (dosis
obat yang mematikan, tembakan, dll.).
2. Eutanasia pasif: Membiarkan pasien yang sakit parah meninggal
secara alami tanpa campur tangan, biasanya dengan cara tidak membe-
rikan atau mencabut perawatan (artifisial) untuk memperpanjang hidup.
Eutanasia pasif memungkinkan kematian berjalan secara alami tetapi
bukan menjadi penyebab kematian yang sesungguhnya.
Pandangan tradisional Kristen: Sebagian besar teolog dan ahli etika
yang memegang cara pandang Kristen tradisional atau historis mene-
rima perbedaan antara eutanasia aktif dan pasif secara logis dan moral.
Namun, mereka memandang eutanasia aktif sebagai tindakan yang sadis
dan tidak dapat diterima secara moral. Tindakan tersebut melanggar
prinsip alkitabiah yang melarang tindakan bunuh diri dan pembunuhan—
dengan sengaja mengambil nyawa manusia yang “tidak bersalah” (lih.
Kel. 20:13 dan Ul. 5:17). Banyak ahli etika Kristen percaya bahwa
mengingat keadaan dosa manusia (dosa asal, kerusakan total: Mzm.
51:7; 58:4; Ams. 20:9), eutanasia aktif tidak menghargai nyawa manusia
dan akan menjadi preseden yang berbahaya.12
Di sisi lain, eutanasia pasif telah diterima secara umum oleh para
teolog Kristen tradisional dan ahli etika, tetapi dengan beberapa kua-
lifikasi yang cermat. Eutanasia pasif dapat diterima jika langkah-langkah
mempertahankan hidup secara alami (udara, air, makanan) sudah tidak
memungkinkan (meskipun langkah-langkah artifisial mungkin tidak wajib
dilakukan). Kondisi-kondisi lebih lanjut yang disebutkan untuk mem-
benarkan eutanasia pasif adalah ketika kondisi fisik pasien tidak dapat
diubah, kematian sudah dekat, dan perawatan lebih lanjut hanya akan
memperpanjang penderitaan.
BUKANKAH SAYA BERHAK MELAKUKAN APA PUN YANG SAYA INGINKAN DENGAN TUBUH SAYA SENDIRI? 283

Alternatif alkitabiah: Sebagian orang atau mungkin banyak orang


mendukung eutanasia aktif karena mereka percaya bahwa orang harus
diizinkan untuk mengakhiri hidup daripada tetap hidup namun menderita
kesakitan fisik yang dahsyat. Namun, alasan ini menyimpang dari fakta-
fakta medis tentang penyakit terminal. Menurut American Medical Asso-
ciation, kesakitan fisik dari kebanyakan pasien yang menderita penyakit
yang mengancam jiwa dapat diatasi dengan obat-obatan. Kemajuan dunia
obat-obatan dan teknologi kedokteran telah memungkinkan dokter
membantu mengontrol penderitaan fisik kebanyakan pasien. Namun,
mungkin orang akan bertanya, “Bagaimana dengan beberapa orang yang
rasa sakitnya tidak begitu berhasil dikendalikan?” Memang ada jalan
bermoral dan praktis bagi mereka dan keluarga mereka (yang lebih baik
daripada bunuh diri), yakni dengan mengirim si sakit ke tempat pera-
watan paliatif.
Rumah perawatan paliatif, yang berakar Kristen (lih. Kis. 6:1-7),
memberikan perawatan khusus bagi orang-orang yang hampir meninggal.
Pasien-pasien yang menderita penyakit yang mematikan memang tidak
dapat disembuhkan dari penyakitnya tetapi dapat dirawat dan diberi
penghiburan (perawatan paliatif: “dari pengobatan menjadi perawatan”).13
Berbeda dengan perawatan medis konvensional yang menekankan “per-
panjangan hidup,” rumah perawatan memusatkan perhatian pada “kua-
litas hidup” bagi orang-orang yang menghadapi kematian. Para pasien
dijaga agar sebisa mungkin merasa nyaman dan bebas dari rasa sakit, dan
direlakan meninggal dalam keadaan tetap menghargai dirinya. Perawatan
di rumah perawatan kerap melibatkan tim pemerhati, termasuk dokter,
perawat, pekerja sosial, paramedis, pendeta, relawan gereja, anggota
keluarga, dan teman-teman. Ketika orang tahu bahwa mereka dicintai
dan dirawat selama proses panjang menuju kematian, meski kerap diser-
tai suatu rasa sakit secara fisik, eutanasia aktif telah kehilangan daya
tariknya. Bagi sebagian besar orang, kesedihan karena tidak memiliki
seorang pun yang mencintai dan merawat mereka jauh lebih buruk
daripada kesakitan fisik yang diderita karena penyakit mereka. Rumah
perawatan adalah alternatif moral untuk menangani kebutuhan orang-
orang yang hampir meninggal.
284 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Prinsip-prinsip etika yang berasal dari Kitab Suci memberikan solusi


nyata untuk masalah-masalah masyarakat yang sulit—tetapi prinsip-
prinsip itu harus dilaksanakan.

Menemukan Kebebasan di dalam Tubuh dan Jiwa


Kemampuan berpikir rasional dan kemampuan mengambil kepu-
tusan yang dimiliki oleh manusia adalah karena manusia diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah. Namun, manusia menyalahgunakan
kebebasan yang diberikan oleh Allah dan akibatnya manusia diperbudak
oleh dosa. Kebebasan sejati hanya bisa diperoleh melalui penebusan
dosa, dan penebusan itu secara unik berasal dari karya penyelamatan
Yesus Kristus. Hanya di dalam Kristus, manusia bebas dari konsekuensi
dosa yang menghancurkan dan dengan demikian bebas untuk menaati
Allah, bukan natur keinginan daging mereka.
Menjawab pertanyaan, “Bukankah saya dapat melakukan apa pun
sesuka hati saya dengan tubuh saya sendiri?”, hikmat dari berabad-
abad yang lalu memberikan jawaban yang terbaik. Katekismus Heidel-
berg (sebuah pernyataan iman Reformed yang diterbitkan pada tahun
1563) bertanya sekaligus menyatakan:
Apa yang menjadi penghiburan Anda satu-satunya dalam kehidupan
dan kematian?
Bahwa saya bukan milik saya sendiri, melainkan tubuh dan jiwa,
kehidupan dan kematian—milik Juruselamat saya yang setia Yesus
Kristus . . .14
Bagi orang Kristen, konteks utama kehidupan dan kematian dite-
mukan di dalam realitas tentang dan dalam hubungannya dengan Tuhan
dan Sang Juruselamat yang berdaulat bagi manusia. Namun, bukankah
pandangan itu tampak tidak toleran terhadap pandangan yang lain? Bab
selanjutnya tentang pernyataan kebenaran kekristenan yang “eksklusif ”
membicarakan tantangan ini.

Pertanyaan Diskusi
1. Apa implikasi teologis manusia sebagai “makhluk ciptaan”?
2. Bagaimana manusia bergantung pada kehendak Allah?
3. Apa implikasi-implikasi dari prinsip konteks yang utama bagi umat
Kristen?
BUKANKAH SAYA BERHAK MELAKUKAN APA PUN YANG SAYA INGINKAN DENGAN TUBUH SAYA SENDIRI? 285

4. Bagaimana adopsi menjadi respons yang berarti dan praktis dalam


menghadapi kontroversi tentang aborsi?
5. Mengapa rumah perawatan paliatif menjadi respons yang berarti
dan praktis dalam menghadapi kontroversi tentang eutanasia?

Untuk Studi Lebih Lanjut


Beckwith, Francis. Politically Correct Death (Grand Rapids: Baker, 1993).
Beckwith, Francis J., dan Norman L. Geisler. Matters of Life and Death (Grand
Rapids: Baker, 1991).
Davis, John Jefferson. Evangelical Ethics (Phillipsburg, NJ: Presbyterian and
Reformed, 1985).
Moreland, J. P., dan Norman L. Geisler. The Life and Death Debate (New York:
Praeger, 1990).
Rae, Scott B. Moral Choices: An Introduction to Ethics (Grand Rapids: Zon-
dervan, 1995).
BUKANKAH KEKRISTENAN MENDORONG
SIKAP TIDAK TOLERAN?

Aturan klasik toleransi masih menjadi pedoman yang baik: Bertoleransilah


kepada orang-orang dalam segala situasi dengan menghormati dan bersikap
sopan kepada mereka. Menoleransi (menghargai) perilaku yang bermoral dan
konsisten dengan kepentingan umum, dan menoleransi (menyetujui) ide-ide
yang sehat.
––Gregory Koukl, Relativism

Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pem-
baruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah:
apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.
––Rasul Paulus (Rm. 12:2)

S eorang rabi dalam program televisi Larry King Live dengan berapi-
api menuding umat Kristen memperlihatkan “sikap tidak toleransi
yang tinggi” ketika mereka menyatakan bahwa orang Yahudi akan
menghadapi penghakiman Allah jika mereka tidak menerima Yesus dari
Nazaret sebagai Mesias mereka.1 Tuduhan semacam itu kerap terjadi.
Semakin banyak orang dalam budaya populer menilai umat Kristen injili
bersalah dalam hal ketidaktoleran mereka karena mereka mengklaim
bahwa kekristenan adalah satu-satunya agama yang benar (untuk pem-
bahasan tentang eksklusivisme agama,2 lih. bab 13).
Menurut PB, Yesus Kristus membuat klaim eksklusif yang belum
pernah ada sebelumnya. Dia berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan
hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak

287
288 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

melalui Aku” (Yoh. 14:6). “Aku berkata kepadamu, bahwa kamu akan
mati dalam dosamu; sebab jikalau kamu tidak percaya, bahwa Akulah
Dia, kamu akan mati dalam dosamu” (Yoh. 8:24). Apakah pernyataan
Yesus merupakan sikap tidak toleran yang sombong atau mungkinkah
pemahaman populer tentang “toleransi” memang benar-benar cacat?
Karena prasangka dan ketidakadilan yang terjadi di masa lalu ter-
hadap kelompok agama dan etnis tertentu, banyak orang dalam budaya
masa kini menerima sikap toleransi sebagai kebajikan moral yang sangat
diperlukan. Dan di Amerika Serikat—bangsa dengan beragam ras,
budaya, dan kelompok agama—toleransi adalah nilai yang terpenting.
Namun, pemahaman yang rumit tentang toleransi menyebabkan banyak
orang mengkritik individu atau kelompok yang mengekspresikan segala
bentuk ketidaktoleranan—kecuali ketidaktoleranan mereka sendiri.
Masalah toleransi yang berhubungan dengan pernyataan kebenaran
Kristen menimbulkan pertanyaan-pertanyaan apologetika kultural yang
penting. Bagaimana orang Kristen menanggapi tuduhan bahwa eksklu-
sivisme iman mereka mendorong ketidaktoleranan masyarakat? Dan
apa hubungannya antara toleransi dan kebenaran?

Bagaimana Umat Kristen Injili Memandang “Toleransi”?


Kata toleransi mengalami ambiguitas (makna ganda) dan ketidak-
jelasan (ketidaktepatan) dalam penggunaannya dewasa ini, tetapi Ameri-
can Heritage Dictionary of the English Language mendefinisikannya
sebagai praktik “menghormati natur, keyakinan, atau perilaku orang
lain.”3 Meskipun selama berabad-abad telah ada pertentangan yang kuat
antara orang Kristen tentang bagaimana gereja harus menoleransi atau
berelasi dengan masyarakat sekuler atau dunia, banyak atau sebagian
besar umat Kristen Injili menerima tiga hal berikut ini.
1. Menurut Alkitab, semua orang diciptakan dalam rupa Allah (Kej.
1:26-27, 9:5-6; Yak. 3:9-10). Oleh karena itu, setiap orang layak dihor-
mati. Karena imago Dei, semua orang memiliki martabat dan nilai moral
yang melekat, tak peduli apa budaya, ras, jenis kelamin, atau kelas sosial
mereka (Mzm. 8:4-7). Filsuf Kristen Richard Purtill menunjukkan bahwa
dasar bagi sebagian besar pandangan kontemporer tentang keadilan
sosial, berakar dari tradisi keagamaan Yahudi-Kristen.4 Menghargai kehi-
dupan dan martabat setiap individu merupakan inti ajaran Kristen.
BUKANKAH KEKRISTENAN MENDORONG SIKAP TIDAK TOLERAN? 289

2. Hak individu lain untuk berpikir sesuka hati mereka dan percaya
apa yang mereka mau, bahkan jika keyakinan tertentu tidak rasional,
salah secara moral, dan/atau bertentangan dengan ajaran Kristen, juga
dihargai. Sistem peradilan membatasi perilaku manusia, bukan pikiran
(meskipun beberapa pandangan ideologis gagal menghargai perbedaan
penting ini).5 Kekristenan mengajarkan sikap menghargai manusia seba-
gai pribadi, kehendak individu, dan tanggung jawab moral pribadi.
Namun, sikap ini tetap menyisakan ruang untuk memberikan pengaruh
yang tepat guna meyakinkan orang lain tentang kebenaran, terutama
kebenaran hakiki mengenai Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat
manusia.
3. Dalam masyarakat yang majemuk, umat Kristen berhak meno-
leransi praktik-praktik (keagamaan maupun yang bukan keagamaan)
orang lain, asalkan praktik-praktik tersebut legal, bermoral, dan secara
umum membawa kebaikan bersama. Norma yang luhur memberikan
kepada semua orang hak sosial dan hak istimewa yang sama. Poin terakhir
ini memang merupakan hal yang paling kontroversial dari ketiganya
karena praktik-praktik orang lain hanya dapat ditoleransi dalam batas-
batas yang wajar. Dalam bentuk pemerintahan yang demokratis, pan-
dangan mayoritas biasanya berlaku.
Singkatnya, umat Kristen injili dapat dan memang menunjukkan
toleransi yang patut dengan menghormati kepribadian dan praktik
orang lain dalam masyarakat. Dukungan terhadap hak asasi dan martabat
manusia merupakan bagian integral dari sistem etika teistik Kristen (abso-
lutisme moral; lihat bab 18).
Poin-poin penjelasan selanjutnya mengenai isu toleransi sudah dapat
diterima.6 Pertama, sikap tidak toleran bukan berarti hanya tidak sepakat
dengan pandangan orang lain. Toleransi juga bisa menerima ketidak-
sepakatan. Seseorang mungkin saja tidak menoleransi orang-orang yang
sepakat dengannya karena adanya ketidaksepakatan. Oleh sebab itu,
toleransi dan ketidaksepakatan berjalan seiring.
Kedua, dalam hal toleransi, harus dibedakan secara hati-hati antara
ide-ide dan orang yang menganut ide-ide itu. Gagasan semua orang
harus dihargai dan disambut, tetapi itu bukan berarti semua ide atau
argumen itu memiliki nilai, validitas, atau kebenaran yang sama. Standar
logika yang objektif, yang mengevaluasi validitas argumen dan logika,
290 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

pada dasarnya bersifat “tidak toleran” secara intelektual. Mengkritik


ide-ide dan argumen itu perlu dan sangat tepat dilakukan. Ahli apolo-
getika Kristen Gregory Koukl menyimpulkan, “Menyatakan bahwa
beberapa pandangan itu salah, tidak bermoral, atau konyol tidak melang-
gar standar toleransi yang berarti.”7
Ketiga, toleransi hanya dapat menjadi nilai yang positif jika ada moral
yang absolut (yang mendukung toleransi). Sebuah prinsip universal yang
membutuhkan toleransi tidak konsisten dengan relativisme moral. Ironis-
nya, banyak orang menggadang-gadang apa yang disebut standar toleransi
untuk membela ideologi politik mereka yang benar, justru menganut
relativisme moral.

Apakah Ini Merupakan Sikap “Tidak Toleran” Jika Mengklaim Yesus


Kristus sebagai Satu-satunya Jalan Menuju Allah?
Pada dasarnya, klaim-kebenaran yang logis itu tidak toleran. Mengapa?
Karena klaim-kebenaran itu pada dasarnya cuma satu: benar atau salah.
Hukum formal logika8 tidak memungkinkan klaim-kebenaran dari semua
agama benar pada waktu dan dalam hal yang sama. Sebagai contoh,
Yesus Kristus tidak dapat menjadi Allah yang berinkarnasi (pandangan
Kristen) sekaligus tidak menjadi Allah yang berinkarnasi (pandangan
Yahudi9 dan Muslim) pada waktu yang sama dan dalam hal yang sama.
Kedua pernyataan tentang Yesus itu tidak mungkin benar pada waktu
yang sama dan dalam hal yang sama persis, tanpa melanggar hukum
nonkontradiksi (A tidak bisa sama dengan A dan juga sama dengan non-
A). Selain itu, Yesus Kristus harus menjadi Allah yang berinkarnasi atau
sebaliknya menjadi Allah yang tidak berinkarnasi, sebab hukum-jalan-
tengah (salah satu: A atau non-A) membuktikan bahwa tidak mungkin
ada pandangan abu-abu yang secara logika benar.
Dengan mempertimbangkan penalaran yang diperlukan ini, kesim-
pulan tertentu harus ditarik mengenai Yesus dari Nazaret tersebut.
Karena orang Yahudi, orang Kristen, dan kaum Muslim mengidentifikasi
Yesus dengan cara yang berbeda (orang Yahudi memandang-Nya sebagai
guru atau penghujat, umat Kristen memandang-Nya sebagai Allah yang
berinkarnasi, umat Islam memandang-Nya sebagai nabi), maka secara
logika cara pandang agama-agama ini tidak mungkin semuanya benar.
BUKANKAH KEKRISTENAN MENDORONG SIKAP TIDAK TOLERAN? 291

Dengan kata lain, pasti ada pihak yang salah. Kita tidak mungkin meng-
hindari kesimpulan logis ini.
Bila penalaran ini dikembangkan lebih lanjut, misalnya kemungkinan
ketiga pandangan tentang identitas Yesus itu salah (sebagai contoh, jika
Yesus tidak pernah ada, meskipun dalam kenyataannya hal ini merupakan
pandangan historis yang lemah), maka ketiganya itu juga pasti tidak
mungkin benar.
Namun, budaya populer mengatakan bahwa menyatakan secara
langsung atau tidak langsung bahwa keyakinan agama lainnya itu salah,
berarti tidak toleran, arogan, dan bahkan fanatik. Namun, bagaimana
bisa dikatakan sebagai tidak toleran secara keagamaan bila hal itu menya-
takan apa yang secara logis memang diperlukan dan jelas? Bukankah
kesimpulan logis yang kokoh tak tergoyahkan harus menjadi bukti yang
kuat untuk mengalahkan standar masyarakat kontemporer yang benar-
benar subjektif tentang toleransi? Menyebut orang dengan sebutan-
sebutan yang tidak menyenangkan (seperti fanatik) hanya karena mereka
menarik atau menyimpulkan kesimpulan logis yang tepat tentang klaim-
kebenaran agama, sesungguhnya tidak masuk akal, melakukan serangan
secara moral, dan benar-benar tidak toleran.
Berbeda sekali dengan para pendukung ekstrem toleransi beragama
yang menuntut agar semua pandangan agama sama-sama diterima sebagai
pandangan yang benar, hukum logika bersikeras untuk tidak menoleransi
tatkala menghadapi klaim-kebenaran keagamaan yang kontradiktif.
Sebuah kontradiksi dalam logika mencerminkan hubungan yang khusus.
Bila dua pernyataan bertentangan, maka pernyataan-pernyataan itu memi-
liki nilai kebenaran yang berlawanan (jadi yang satu benar dan yang
lainnya salah). Oleh karena itu, apabila pernyataan dari agama yang
satu secara langsung bertentangan (meniadakan atau menolak) dengan
pernyataan dari agama yang lain, maka kedua pernyataan itu tidak
mungkin sama-sama benar.10
Ketika umat Kristen injili menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah
Allah yang berinkarnasi (Yoh. 1:1, 14, 18; 20:28; Rm. 9:5; Tit. 2:13;
Ibr. 1:8; 2Ptr. 1:1) sehingga Dia menjadi jalan yang eksklusif menuju
keselamatan (Yoh. 14:6; Kis.4:12), sebenarnya mereka tidak lebih into-
leran daripada orang Yahudi dan kaum Muslim yang menyatakan bahwa
Yesus Kristus bukanlah Allah yang berinkarnasi. Klaim-kebenaran yang
292 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

berlawanan pada dasarnya bertentangan. Eksklusivisme dan bentuk


intoleransi intelektual yang tepat, secara logis tak terhindarkan bila ber-
bicara tentang klaim-kebenaran. Banyak orang yang berbicara tentang
toleransi dalam hal-hal keagamaan gagal mengenali bahwa seseorang
bisa secara pribadi dan sosial bersikap toleran namun sekaligus tidak
toleran secara intelektual (dengan tepat). Sikap yang terakhir ini meng-
haruskan kita membuat pembedaan antara orang dan ide atau argumen.
Sebenarnya, eksklusivisme tidak dapat dihindarkan dalam hal kebenaran
agama karena bahkan kaum pluralis agama menegaskan suatu keyakinan
eksklusif bahwa semua agama adalah benar.
Eksklusivisme adalah pandangan historis gereja Kristen ketika mem-
bahas pertanyaan tentang kebenaran agama lain. Oleh sebab itu, para
eksklusivis injili hanya setia pada tradisi mereka dan pada apa yang mereka
yakini diajarkan oleh Kitab Suci. Agama Kristen yang historis adalah
sebuah agama yang eksklusif sifatnya. Jika umat Kristen tidak membe-
ritakan klaim eksklusif Kristus kepada dunia dan menyesuaikan diri
dengan standar toleransi zaman sekarang, berarti mereka mengompro-
mikan iman.
Kekristenan dengan jelas dan tegas mengafirmasi toleransi sosial.
Namun, ketika Zeitgeist (semangat zaman) Amerika menekan umat
Kristen Injili untuk mengadopsi pandangan kebenaran yang toleran
secara intelektual, inklusivistis, dan/atau pluralistis, hal ini tentunya akan
membuat umat Kristen mengkhianati hakekat keyakinan iman mereka.
Seberapa tolerankah (hormatkah) hal itu?
Keyakinan Kristen tentang kebenaran yang hakiki harus melebihi
standar toleransi masyarakat yang berubah-ubah. Toleransi adalah nilai
positif Kristen yang penting, tetapi hanya selama toleransi itu tidak
mengompromi kebenaran. Tanpa kebenaran, toleransi tidak berarti.
Tuduhan bahwa klaim-kebenaran kekristenan yang eksklusif menim-
bulkan sikap intoleransi pada orang-orang yang ragu atau menolak
konsep kebenaran yang hakiki. Mereka juga menyangkali realitas kebe-
naran yang objektif dengan menerima bentuk “multikulturalisme yang
keras” (keyakinan bahwa semua budaya masing-masing memiliki kebe-
naran),11 atau mereka percaya bahwa tidak ada yang benar-benar tahu
tentang adanya kebenaran yang hakiki sehingga mereka menganut skep-
tisisme. Namun, kekristenan yang historis menegaskan bahwa kebenaran
BUKANKAH KEKRISTENAN MENDORONG SIKAP TIDAK TOLERAN? 293

yang hakiki itu ada dan kebenaran itu telah dinyatakan di dalam diri
Yesus Kristus.
Bagi mereka yang memercayai Alkitab secara serius sebagai wahyu
Allah, masalah toleransi beragama yang berlebihan menjadi sangat sulit.
Maksudnya, kekristenan tidak seperti agama lain karena agama cen-
derung membuat manusia mengejar realitas ilahi atau realitas spiritual.
Agama yang berasal dari manusia bisa bersikap toleran dan pluralistis
karena agama tersebut meraba-raba dalam mengejar kebenaran. Seba-
liknya, kekristenan adalah sebuah sistem kepercayaan yang secara lang-
sung dinyatakan oleh Allah sendiri, yang datang ke dunia menjadi manusia
(Yoh. 1:14; Flp. 2:6-8; Kol. 2:9). Orang-orang yang mendukung kekris-
tenan yang historis tidak meragukan misi, pesan, dan maksud Allah bagi
umat manusia. Jika Allah memang secara historis menyatakan diri-Nya
melalui tindakan, peristiwa, dan kata-kata, maka keyakinan yang berten-
tangan dengan wahyu-Nya harus dianggap salah. Pada dasarnya, umat
Kristen mengalami masa yang sulit dengan pluralisme agama dan pan-
dangan yang berlebihan tentang toleransi karena iman mereka mengajar-
kan bahwa Sang Kebenaran yang tertinggi datang secara pribadi dan
menyatakan diri-Nya secara khusus kepada umat manusia. Bukan umat
Kristen, melainkan Allah yang berinkarnasilah yang berkata, “Akulah
jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang
kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh. 14:6).

Bagaimana Merespons Tantangan Toleransi?


Umat Kristen dapat melakukan lima hal penting dalam menanggapi
toleransi. Pertama, mereka dapat menunjukkan bahwa kebenaran itu
ada dan benar-benar penting.12 Kasih dan toleransi tidak pernah boleh
dipisahkan dari kebenaran, terutama dari konsep kebenaran yang hakiki.
Semua penolakan tentang kebenaran yang objektif akan merusak diri
sendiri.13
Kedua, umat Kristen dapat menunjukkan bahwa logika yang sehat
mensyaratkan bahwa klaim-kebenaran keagamaan yang bertentangan
tidak dapat benar secara bersamaan. Oleh karena itu, akal sehat bukan
merupakan pelanggaran terhadap standar toleransi yang dapat dite-
rima.
294 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Ketiga, umat Kristen dapat dengan baik memperkenalkan kasus


apologetis mereka yang khusus untuk kebenaran kekristenan. Mereka
dapat memberikan argumen persuasif untuk membela kebenaran Injil
Yesus Kristus (1Ptr. 3:15; Yud. 3) dan menunjukkan kesulitan yang ada
di tengah sistem kepercayaan alternatif yang bukan Kristen (2Kor.
10:5) tanpa menunjukkan sikap arogan atau sikap menjengkelkan lainnya.
Keempat, umat Kristen dapat dengan jujur mengakui bahwa masya-
rakat Barat kadang-kadang telah mendorong atau membiarkan bentuk
intoleransi yang tidak dapat diterima (mis., anti-Semitisme pada abad
XX di Eropa). Umat Kristen adalah orang berdosa yang telah dibenar-
kan, dan secara pribadi dan bersama-sama harus mengakui pergumulan
mereka dengan dosa (lih. bab 15). Namun, mereka dapat menunjukkan
bahwa kekristenan meneguhkan toleransi sosial yang sejati sebagai suatu
kebajikan, yang mengakui hak setiap individu untuk memercayai
pilihannya dan melaksanakan keyakinannya dalam batas-batas hukum
moral dan sipil.
Kelima, umat Kristen dipanggil untuk bersaksi tentang kebenaran
Injil Yesus Kristus melalui perkataan (khotbah) dan kehidupan (peri-
laku, teladan) mereka. Dunia harus melihat kuasa kebenaran yang hidup.
Kesaksian ini dapat terlaksana ketika umat Kristen secara pribadi dan
sosial bersikap toleran, tetapi tidak toleran secara intelektual terhadap
pernyataan kebenaran yang bertentangan.
Inti iman Kristen adalah keyakinan bahwa “Yesus Kristus adalah
Tuhan” (Mrk. 12:35-37; Yoh. 20:28; Rm. 10:9-13; 1Kor. 8:5-6; 12:03;
Flp. 2:11). Pernyataan eksklusif ini tidak lebih populer atau diminati
pada zaman sekarang dibandingkan dua ribu tahun yang lalu di zaman
kekaisaran Romawi kuno. Pernyataan ini bukan hanya tidak mungkin
menerima klaim kebenaran yang bertentangan, melainkan juga berdam-
pak besar terhadap moralitas. Bab berikutnya membahas subjek ini.

Pertanyaan Diskusi
1. Dengan cara bagaimana umat Kristen bertoleransi secara positif?
2. Mengapa kita tetap disebut toleran ketika mengatakan bahwa
Yesus adalah satu-satunya jalan kepada Allah?
3. Bagaimana orang bisa menjadi toleran secara sosial dan tidak
toleran secara intelektual?
BUKANKAH KEKRISTENAN MENDORONG SIKAP TIDAK TOLERAN? 295

4. Bagaimana ketidaktoleranan agama yang murni berkontribusi


pada timbulnya gerakan toleransi dewasa ini?
5. Bagaimana pernyataan kebenaran kekristenan harus tidak toleran
secara logika?

Untuk Studi Lebih Lanjut


Adler, Mortimer J. Truth in Religion (New York: Macmillan, 1990).
Beckwith, Francis. Politically Correct Death (Grand Rapids: Baker, 1993).
Beckwith, Francis J., dan Michael Bauman, editor. Are You Politically Correct?
Debating America’s Cultural Standards (Buffalo: Prometheus, 1993).
Beckwith, Francis J., dan Gregory Koukl. Relativism: Feet Firmly Planted in
Mid-Air (Grand Rapids: Baker, 1998).
Corduan, Winfried. No Doubt about It: The Case For Christianity (Nashville:
Broadman & Holman, 1997).
Green, Michael. “But Don’t All Religions Lead To God?” (Grand Rapids: Baker,
2002).
Kreeft, Peter, dan Ronald K. Tacelli. Handbook of Christian Apologetics
(Downers Grove, IL: InterVarsity, 1994).
Nash, Ronald H. Is Jesus the Only Savior? (Grand Rapids: Zondervan, 1994).
BUKANKAH MORALITAS TERGANTUNG PADA
MATA YANG MEMANDANGNYA?

Etika, meskipun mengandung unsur kreativitas dan keahlian manusia, sebe-


narnya lebih tepat disebut penemuan, bukan buatan kita sendiri.
––Louis P. Pojman, Ethics

Sungguh sangat sulit menjadi manusia normal dan tidak berpikir bahwa seba-
gian tindakan itu salah dan sebagian lagi benar.
––Alvin Plantinga, Great Thinkers on Great Questions

B anyak ungkapan yang terkenal menangkap esensi relativisme masa


kini—penolakan atas kebenaran mutlak atau objektif dan moralitas.
“Setiap orang mempunyai caranya sendiri untuk melakukan segala
sesuatu atau melakukan pendekatan terhadap kehidupan ini.” “Hal itu
benar bagimu tetapi tidak bagiku.” “Moralitas itu seperti kecantikan,
tergantung pada mata yang memandangnya.”
Pemikiran relativistis menembus banyak pemikiran di Amerika saat
ini dan di banyak bagian lainnya di dunia Barat. Secara kultural, pemi-
kiran ini muncul dalam beragam bentuk. Penilaian relativistis dapat
ditemukan di tengah tren kontemporer seperti pluralisme agama, multi-
kulturalisme, kebenaran politik, dan apa yang disebut sebagai toleransi
(lih. bab 12 tentang pluralisme agama, dan bab 17 tentang toleransi).
Pola pikir yang relativistis dan skeptis ini berkenaan dengan apa yang
nyata, benar, dan baik, berfungsi sebagai fondasi untuk fenomena-
fenomena yang disebut pascamodernisme.

297
298 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Relativisme, sehubungan dengan kebenaran dan etika, secara lang-


sung menantang—bahkan bertentangan dengan—iman Kristen yang his-
toris. Memahami masalah-masalah relativisme etis lewat kritik singkat
terhadap bentuknya yang subjektif dan konvensional, dapat membantu
umat Kristen berdiri teguh menghadapi kencangnya angin perubahan.
Mengembangkan moral yang absolut, yang sesuai dengan wahyu yang
alkitabiah, dapat membuka jalan bagi pandangan Kristen yang lebih luas.

Subjektivisme Etis
Meskipun relativisme etis muncul dalam berbagai bentuk,1 dua
varietas yang paling populer adalah (subjektivisme etis) individu dan (kon-
vensionalisme etis) budaya. Subjektivisme etis mengungkapkan bahwa
kriteria untuk menilai benar dan salah secara moral adalah lewat “per-
sepsi, pendapat, pengalaman, kecenderungan, dan keinginan individu
itu.”2 Oleh karena itu, kebenaran moral itu bersifat relatif pada setiap
individu. Tidak ada standar moral yang mutlak, tidak berubah, dan uni-
versal. Sebaliknya, nilai-nilai etis dianggap bersifat pribadi, personal,
individual, dan subjektif. Pernyataan-pernyataan moral seperti “apa pun
yang dipikirkan seseorang sebagai benar, maka hal itu pasti benar”3 hanya
mencerminkan pemikiran atau perasaan subjektif si pembicara.
Subjektivisme etis sangat memikat natur manusia,4 tetapi ia tidak
bisa menahan analisis logis yang ketat yang diperlukan oleh teori etika
resmi mana pun. Sebenarnya, masalah-masalah dengan subjektivisme
etis tidak dapat diatasi. Enam kritik berikut menggambarkan kejatuhan
teori etika ini.

Enam Alasan Menolak Subjektivisme Etis


1. Jika subjektivisme etis itu benar, maka tak seorang pun bisa salah
dalam pandangan moralnya. Filsuf Ed Miller menunjukkan, “Jika individu
menjadi dasar kebenaran moral, maka tak seorang pun dari kita bisa
keliru dalam pendapat-pendapat moral kita, karena apa pun yang kita
percayai pasti benar.”5 Namun, bila orang berpikir hal itu benar dan
sudah pasti benar, maka tidak ada yang bisa salah.
Apakah masuk akal bila kita menyimpulkan bahwa institusi per-
budakan itu tepat sekaligus tercela secara bersamaan? Apakah logis
bila kita menyimpulkan bahwa Martin Luther King, Jr dan Ku Klux
BUKANKAH MORALITAS TERGANTUNG PADA MATA YANG MEMANDANGNYA? 299

Klan sama-sama benar berkenaan dengan hak-hak sipil? Dapatkah teori


etika yang mendukung pandangan semua orang tentang holocaust (pem-
basmian orang-orang Yahudi) sebagai hal yang benar, termasuk pan-
dangan Adolf Hitler, dapat diterima? Apakah memperlakukan anak-
anak dengan kejam itu baik hanya karena si pelaku berpikir demikian?
Jika orang salah dalam pemikiran etis mereka (yang tampaknya secara
intuitif jelas), maka subjektivisme etis pasti salah.
2. Kekurangan yang krusial dalam subjektivisme etis adalah kega-
galannya untuk membedakan antara pendapat dan spekulasi seseorang
tentang moralitas dan kebenaran moralitas itu sendiri.6 Sebagian orang
mungkin keberatan bahwa kritik ini tampaknya meragukan pandangan
ini. Namun, perbedaan penting ini adalah bagian yang esensial dari semua
pertimbangan moral. Ketika melakukan pemikiran etis yang autentik
dan menilai sudut pandang-sudut pandang alternatif, maka orang harus
membedakan antara pendapatnya mengenai moralitas dan kebenaran
moral itu sendiri. Jika tidak, maka tidak ada pertimbangan moral.
3. Subjektivisme etis mereduksi moralitas dan pertimbangan moral
menjadi selera pribadi—sehingga menghilangkan kemungkinan adanya
argumen rasional yang mendukung keputusan moral. Filsuf moral Louis
P. Pojman menjelaskan, “Bentuk subjektivisme moral ini memiliki kon-
sekuensi yang menyedihkan: Bentuk ini membuat konsep moralitas tidak
berguna, karena dalam prinsip-prinsipnya, hanya ada sedikit atau tidak
ada sama sekali kritik atau penilaian antarpribadi yang logis.”7 Jika
moralitas ini identik dengan perasaan seseorang, rasa suka, atau rasa
tidak suka, maka pertimbangan rasional tidak diterapkan dengan tepat.
Dengan demikian, karena subjektivisme etis tidak memberi tempat untuk
analisis dan argumen yang logis, maka pendukung subjektivisme etis tidak
pernah dapat berdebat untuk mendukung sudut pandang moralnya.
4. Subjektivisme etis melemahkan konsep moralitas dengan meng-
hapus natur normatif atau preskriptifnya. Moralitas melibatkan konsep-
konsep seperti “harus” dan “seharusnya.” Subjektivisme etis mengurangi
moralitas menjadi preferensi pribadi semata. Alih-alih menjadi pernya-
taan preskriptif, subjektivisme etis malah menjadi pernyataan moralitas
yang deskriptif. Sebagaimana yang telah dicatat oleh lebih dari satu
filsuf moral, tampaknya ada kontradiksi logis antara subjektivisme etis
dan pandangan moralitas itu sendiri.8
300 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

5. Subjektivisme etis gagal membedakan antara kebajikan dan kebu-


rukan. Menurut teori ini, pemimpin Nazi Adolf Hitler sama bermoral-
nya seperti Bunda Teresa. Masing-masing melakukan apa yang dipikirnya
benar. Tindakan individual tertentu dari kedua orang ini (dan konse-
kuensinya yang tak terelakkan) menjadi pertimbangan yang tidak relevan
bagi ahli subjektivisme etis. Dapatkah seseorang atau peradaban mana
pun mempertahankan sebuah teori yang membuat pandangan semua
moral setara?
6. Subjektivisme etis tidak dapat dijalankan. Membenarkan subjek-
tivisme etis berarti tidak dapat menyalahkan keputusan dan tindakan
moral orang lain. Namun, orang dapat menyalahkan. Dalam batas-
batas tertentu, setiap orang memaksakan moralitasnya kepada orang
lain.9 Penilaian dan evaluasi moral terus-menerus dipaksakan. Sebagai
contoh, melakukan diskriminasi terhadap orang lain semata-mata berda-
sarkan ras itu salah. Namun, menurut subjektivisme etis, tidak ada yang
berhak menyalahkan tindakan tersebut. Itulah sebabnya mustahil bagi
kita untuk dapat hidup dengan konsisten di dalam pengakuan subjek-
tivisme etis.
Subjektivisme etis adalah pendekatan yang dangkal dan membi-
ngungkan terhadap nilai-nilai moral. Jenis relativisme individualistis ini
menenggelamkan logika dan moral bahwa tidak ada manusia yang lebih
baik (lebih berbudi luhur) daripada sesamanya yang lain, dan tidak ada
prinsip moral yang lebih baik daripada prinsip moral lainnya. Semua
pilihan etis sama-sama baik.10 Mengingat pentingnya moralitas, tak
seorang pun puas dengan pandangan ini. Bentuk relativisme moral yang
individualistis ini secara logis kacau dan secara moral tidak berkualitas.

Konvensionalisme Etis
Konvensionalisme etis adalah pandangan bahwa kebenaran etis itu
relatif bagi keseluruhan budaya atau masyarakat, bukan bagi per-
orangan.11 Oleh sebab itu, nilai-nilai moral berakar pada keyakinan,
praktik, preferensi, dan cita-cita dari kelompok budaya tertentu. Kon-
vensionalisme etis menegaskan bahwa orang harus mematuhi aturan-
aturan moral yang ditentukan oleh budaya atau masyarakat mereka, tetapi
aturan-aturan moral itu dari budaya yang satu ke budaya yang lain
mungkin berbeda. Oleh karena itu, seperti halnya subjektivisme etis,
BUKANKAH MORALITAS TERGANTUNG PADA MATA YANG MEMANDANGNYA? 301

konvensionalisme etis menyangkal keberadaan standar moral yang


mutlak, tidak berubah, dan universal. Sebuah pernyataan khas pan-
dangan dari ahli konvensionalisme etis adalah: “Apa pun yang dikatakan
benar menurut budaya seseorang, maka hal itu pasti benar.”
Konvensionalisme etis memiliki beberapa masalah yang sama seperti
subjektivisme etis. Namun, karena pandangan kaum konvensionalis
biasanya terlihat sebagai teori relativitas yang lebih substantif daripada
subjektivisme etis yang lebih individualistis, empat pernyataan yang
mendukungnya mendapat kritik. Empat alasan positif untuk menolak
konvensionalisme etis sebagai teori moral yang tidak memadai akan
dijelaskan kemudian.

Mendukung Konvensionalisme Etis


Sebuah relativisme moral yang didefinisikan secara kultural didukung
oleh fakta bahwa semua orang mempelajari prinsip-prinsip dasar moral
mereka dari lingkungan budaya mereka (keluarga, sekolah, teman sebaya,
gereja, dan sebagainya).
Jawaban: Budaya dapat berfungsi sebagai instrumen atau sarana
agar orang dapat mengetahui kewajiban moral mereka tanpa perlu
menjadi dasar, sumber, atau pembenaran nilai-nilai tersebut.12 Orang
belajar banyak hal melalui budayanya, tetapi kebenaran dari hal-hal itu
tidak selalu bergantung pada budaya. Kebenaran logis dan matematis
yang universal dapat dipelajari melalui lembaga pendidikan, tetapi
kebenaran ilmu logika dan matematika itu sendiri jelas tidak bergantung
pada institusi tersebut. Orang tua mengajarkan kepada anak-anak
mereka bahwa 5+7=12, tetapi kebenaran ilmu aritmatika itu sendiri
tidak bergantung pada orang tua.
Para bapa pendiri negara Amerika Serikat mengakui bahwa nilai-
nilai moral membutuhkan dasar dan pembenaran di luar budaya semata.
Menurut Deklarasi Kemerdekaan, hak-hak individu didasarkan pada
Allah Sang Pencipta yang melampaui budaya.
Sebuah relativisme moral yang didefinisikan secara kultural didu-
kung oleh adanya pendapat dan praktik moral yang beragam di antara
berbagai budaya di dunia.
302 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Jawaban: Fakta bahwa ada orang-orang yang tidak sepakat mengenai


suatu masalah tidak berarti tidak ada pandangan yang benar secara objek-
tif tentang masalah itu (sebagai contoh, orang-orang biasanya berkeras
memperdebatkan tentang apakah alam semesta memiliki awal atau tidak).
Perbedaan etis mungkin berasal dari penerapan nilai-nilai moral yang
sulit, bukan dari perbedaan yang riil mengenai nilai-nilai inti.13 Pemikir
Kristen C. S. Lewis secara persuasif berpendapat bahwa kesepakatan
umum tentang isu-isu moral telah ada sejak dulu di antara beragam per-
adaban dan budaya yang historis. 14
Sebuah relativisme moral yang didefinisikan secara kultural harus
menjadi sudut pandang yang lebih disukai karena berhasil mengem-
bangkan kebajikan penting toleransi.
Jawaban: Toleransi adalah kebajikan yang sejati hanya selama tidak
menghalangi kebenaran, realitas, dan kebaikan moral (lih. bab 17). Nilai-
nilai objektif dan lintas budaya dapat mengekang ekses etnosentrisme
(superioritas budaya) jauh lebih baik daripada relativisme yang didefi-
nisikan secara kultural. Namun, jika konvensionalisme etis benar,
mengapa etnosentrisme menjadi masalah? Louis Pojman bertanya dengan
tepat, “Jika [sebagaimana dikatakan relativisme] tidak ada prinsip-prinsip
moral yang berlaku secara universal, bagaimana toleransi bisa berlaku
secara universal?”15 Logika mengatakan bahwa orang yang memuji
kebaikan keragaman budaya dan toleransi harus bersedia menoleransi
ketidaktoleranan budaya-budaya lainnya.
Bukankah demokrasi itu sendiri membutuhkan bentuk pemikiran
relativistis budaya?
Jawaban: Perbedaan pendapat atau cara pandang, yang mencer-
minkan kebebasan mendasar individu, dapat ditoleransi tanpa kehilangan
realitas kebenaran yang objektif. Bentuk persuasi moral yang superior
kerap kali datang melalui pertukaran ide yang bebas. Kebenaran dapat
ditemukan melalui proses yang berlangsung demokratis dalam penyeli-
dikan, dialog, dan perdebatan yang terjadi di dunia ide-ide.16

Menentang Konvensionalisme Etis


Empat hal berikut dengan jelas menunjukkan bahwa konvensio-
nalisme etis tidak dapat diterima secara logis dan moral.
BUKANKAH MORALITAS TERGANTUNG PADA MATA YANG MEMANDANGNYA? 303

1. Penerimaan konvensionalisme etis (“apa pun yang dikatakan


budaya seseorang sebagai benar adalah benar”) berarti bahwa
satu budaya tidak bisa mengkritik tindakan moral budaya lain.
Namun, jika konsep ini benar (bergantung pada bagaimana budaya
dan/atau masyarakat didefinisikan), maka orang-orang Amerika
tidak pernah bisa mengutuk perlakuan Taliban terhadap kaum
perempuan Afghanistan atau tindakan genosida yang dilakukan
oleh Nazi Jerman terhadap orang-orang Yahudi dalam Holokaus
selama Perang Dunia II. Namun bagaimana mungkin orang dapat
menerima sistem moralitas, yang tidak memungkinkan membawa
orang-orang kejam, seperti Nazi, ke pengadilan?
Bentuk relativisme budaya memang akan membuat Peradilan
Nuremberg mustahil digelar. Konvensionalisme etis juga akan
mengampuni tindakan Nazi, Rudolf Höss, komandan kamp
konsentrasi Auschwitz, yang mengaku telah membasmi lebih dari
dua juta orang. Höss tentunya bisa membela diri bahwa ia hanya
mengikuti konsensus moral dari kebudayaannya. Ironisnya,
tangan kanan Hitler, Hermann Göring, bersikeras di Peradilan
Nuremberg (1945-1946) bahwa Sekutu tidak punya hak moral
untuk menilai tindakan dari budaya Jerman yang lebih besar.17
Untuk mengadili tiran-tiran yang mengerikan di dalam sejarah
dibutuhkan nilai-nilai moral yang objektif dan mutlak.
2. Konvensionalisme etis tidak memungkinkan terjadinya reformasi
moral sebuah budaya. Jika apa yang dipikirkan budaya tertentu
sebagai hal yang benar itu pasti benar, maka budaya itu tidak
perlu memperbaiki atau merevisi sudut pandang moralnya.
Kesimpulan ini juga bertentangan dengan fakta sejarah. Budaya
telah sering terbukti membutuhkan reformasi moral (perbudakan,
hak-hak perempuan, segregasi/tindakan pemisahan). Pandangan
konvensionalisme etis akan benar-benar tidak mengacuhkan kebu-
tuhan para tokoh reformasi moral seperti Moses, Wilberforce,
Gandhi, dan King. Mengubah masyarakat dan hukum yang tidak
adil melalui musyawarah yang tepat dan pembangkangan sipil,
sama sekali tidak perlu.
304 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

3. Konvensionalisme etis mengalami dilema praktis yang serius.


Kebudayaan dan masyarakat merupakan konsep-konsep yang sulit
didefinisikan, terutama di tengah masyarakat pluralistis masa
kini.18 Seorang individu mungkin masuk di dalam lebih dari satu
kelompok, budaya, atau subkultur secara bersamaan. Jadi, bagai-
mana orang dapat mengidentifikasi kewajiban moral mereka jika
mereka sekaligus tercakup ke dalam banyak kelompok dengan
sudut pandang moral yang bertentangan? Seorang anggota partai
Demokrat yang terdaftar di Amerika Serikat saat ini, yang ber-
afiliasi dengan kelompok hak-hak bagi perempuan namun
dibesarkan di tengah keluarga tradisional Katolik-Roma, ditarik
ke arah prinsip moral yang kontradiktif ketika berhadapan dengan
masalah aborsi. Kelompok mana yang nantinya akan mendefi-
nisikan sudut pandang moralnya?
4. Dari perspektif Kristen yang historis, konvensionalisme etis meng-
abaikan Hukum Allah yang lintas budaya, yang tertulis di hati
semua manusia (hukum alam: Rm. 2:14-15). Menurut Alkitab,
semua orang tahu bahwa tindakan tertentu itu salah, terlepas
dari apa yang dikatakan oleh budaya tertentu. “Jangan membu-
nuh” adalah kewajiban moral lintas budaya. Pandangan moral
budaya seseorang dapat bertentangan dengan kesadaran moral-
nya yang bersifat intuitif atau hati nurani pribadi.

Moralitas—Diciptakan atau Ditemukan?


Bentuk relativisme etika (subjektivisme dan konvensionalisme) ber-
gantung pada pandangan yang lemah, bahwa nilai-nilai positif diciptakan,
bukan ditemukan. Jika moralitas hanyalah sebuah konvensi manusia, ia
tidak memiliki landasan yang objektif dan tidak benar-benar dapat dipa-
hami sebagai moralitas yang preskriptif. Jika moralitas diciptakan, maka
tidak ada yang sungguh-sungguh benar atau sungguh-sungguh salah.
Bertindak dengan cara yang praktis atau nyaman atau pragmatis, tidak
sama dengan moralitas preskriptif. Penting untuk dipahami, terutama
oleh kaum sekuler, bahwa meskipun kepentingan dan moralitas pres-
kriptif mungkin tumpang tindih, keduanya tidak persis sama. Etika ber-
dasarkan kebijaksanaan konvensional tidak memberikan alasan kuat
bagi orang untuk menjadi bermoral. Di dalam dunia yang benar-benar
BUKANKAH MORALITAS TERGANTUNG PADA MATA YANG MEMANDANGNYA? 305

tanpa nilai yang objektif, seseorang dapat memilih untuk hidup seperti
Gandhi alih-alih seperti Saddam Hussein, tetapi keputusan itu akan
benar-benar bersifat pribadi dan bebas dari nilai-nilai, sama seperti memi-
lih Coke dan bukan Pepsi.19 Sebenarnya, di dalam dunia etika yang dite-
mukan, masih dapat diterima jika seseorang membentuk kehidupannya
menurut Hussein.
Bentuk-bentuk relativisme moral lainnya mendapatkan kritik serupa.
Dengan relativisme moral yang secara intelektual dan moral tidak dapat
diterima, maka absolutisme moral dengan dasar yang alkitabiah menjadi
alternatif yang menguntungkan, masuk akal, dan bisa diterapkan.

Absolutisme Moral
Meskipun beberapa filsuf membedakan antara objektivisme moral
dan absolutisme moral,20 pembahasan ini hanya berpihak pada pandangan
absolutisme moral. Pandangan ini menegaskan bahwa standar moral
yang objektif, universal, dan tidak berubah itu ada—nilai-nilai yang
menawarkan “Realitas yang tetap dan tidak berubah, yang lazim untuk
semua pihak.”21 Absolutisme menegaskan bahwa nilai-nilai ini berbeda
dan independen dari pikiran dan kehendak manusia. Maka dari itu,
nilai-nilai moral yang objektif ditemukan, bukan diciptakan. Selanjutnya,
absolutisme etis tidak selalu berarti bahwa manusia benar-benar mema-
hami atau menerapkan dengan benar nilai-nilai yang mutlak. Pandangan
ini bahkan mengakui bahwa kesadaran moral dapat berkembang dari
waktu ke waktu, tetapi nilai-nilai inti itu sendiri tetap sama.

Alasan untuk Mendukung Absolutisme Moral


1. Hanya ada satu pilihan: Prinsip-prinsip etika bisa relatif sifatnya
atau tidak (tidak ada alternatif ketiga: hukum penyisihan jalan tengah).22
Oleh karena itu, jika relativisme (moral) etis itu salah (yang tampaknya
memang demikian), maka objektivitas etis atau absolutisme etis pasti
benar.
2. Pengingkaran nilai-nilai moral yang absolut/mutlak mengarah pada
pandangan yang tidak rasional dan disintegrasi moral. Contoh-contoh
tertentu yang dibahas dalam subjektivisme etis menjelaskan hal ini.
306 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

3. Nilai-nilai moral yang mutlak mewakili sebagian pandangan ter-


tentu (misalnya, teisme) yang perlu dan diharapkan. Seseorang bahkan
dapat berpendapat bahwa pandangan yang rasional dan didukung dengan
baik, dengan sendirinya merupakan bukti moral yang mutlak.
4. Intuisi-intuisi moral (kesadaran moral yang segera dan langsung,
serta pemahaman akan kata “harus”) bersaksi tentang kebenaran nilai-
nilai moral yang objektif. Pada umumnya, manusia secara intuitif menya-
dari kewajiban moral mereka yang objektif. Di dasar hati mereka yang
terdalam, orang menyadari bahwa ada hal-hal tertentu yang harus atau
seharusnya dilakukan, dan hal-hal lain yang tidak harus atau tidak
seharusnya dilakukan. Kewajiban-kewajiban moral ini tidak mencer-
minkan cara orang berperilaku (deskriptif), tetapi cara orang harus
bersikap (preskriptif). Orang bisa menyangkal, mengabaikan, atau
mencari-cari dalih untuk menghindari kewajiban moral mereka, tetapi
bagaimanapun, kewajiban-kewajiban ini tetap merupakan bagian yang
nyata dan diperlukan dari pengalaman hidup dan eksistensi manusia.
Orang bisa dan benar-benar memilih untuk melanggar intuisi moral
mereka, tetapi dari perspektif Alkitab, pilihan ini mencerminkan kondisi
manusia yang berdosa (lih. bab 11).

Kewajiban Moral yang Objektif


Berikut ini adalah tiga contoh intuisi moral yang absolut:
 “Bagi setiap orang di sepanjang zaman dan di mana saja, tindakan
menyiksa anak-anak adalah tindakan yang salah.”
 “Bagi setiap orang di sepanjang zaman dan di mana saja, tindakan
membunuh orang lain yang tidak bersalah dengan sengaja adalah
tindakan yang salah.”
 “Mengatakan yang sebenarnya, jujur, adil, dan berani adalah sikap
yang benar.”

Bagaimana keberadaan nilai-nilai moral yang objektif ini dapat


dijelaskan? Dari mana datangnya? Apa yang menjamin validitas nilai-
nilai ini? Apa yang disampaikan oleh nilai-nilai ini tentang natur realitas?
Adanya kewajiban moral yang objektif membutuhkan sumber atau dasar.
Prinsip-prinsip etika tidak bisa berada di dalam kekosongan metafisika
atau epistemologis. Prinsip-prinsip ini membutuhkan dasar atau fondasi
BUKANKAH MORALITAS TERGANTUNG PADA MATA YANG MEMANDANGNYA? 307

yang dapat membenarkan prinsip-prinsip itu. Apa yang baik (etika) tidak
dapat dipisahkan dari apa yang nyata (metafisika) dan apa yang benar
(epistemologi).

Dasar untuk Kemutlakan Etis


Kemutlakan etis tidak sejalan dengan pandangan naturalistis: nilai-
nilai moral yang objektif tampak jelas tidak sesuai dengan naturalisme
metafisika, materialisme, dan teori evolusi ateistik, setidaknya dalam
lima alasan.23
1. Jika semuanya dapat direduksi, atau dijelaskan sehubungan
dengan hal-hal yang bersifat fisik, maka tidak ada dasar untuk
realitas-realitas yang abstrak, nonfisik, universal, dan tidak
pernah berubah, seperti prinsip-prinsip moral yang objektif.
Kemutlakan moral tidak memiliki tempat di dunia fisikalisme
[pandangan filsafat yang menyatakan bahwa semua yang ada tak
lebih dari properti fisik saja].
2. Jika manusia dapat direduksi menjadi “materi yang bergerak,”
yakni materi dan sifat-sifat fisiknya (proses-proses fisik, kimiawi,
dan biologis), maka orang tidak bisa terlepas dari bentuk deter-
minisme fisik. Ia tidak mampu melakukan pilihan moral yang
disengaja. Pertimbangan moral tidak sejalan dengan pola peri-
laku yang sudah tertanam secara genetis (fisikalisme evolusi).
3. Keberadaan kemutlakan moral yang objektif bertentangan dengan
gagasan bahwa manusia adalah hasil dari proses evolusi yang buta,
tanpa tujuan, dan tanpa arah. Kemutlakan etis tidak ada artinya
di dalam dunia yang tanpa tujuan.
4. Evolusi tertentu dari “naluri mempertahankan hidup” (kemajuan
manusia yang berkembang melalui seleksi alam) tidak sama
dengan moralitas preskriptif. Bertindak sesuai kepentingan pri-
badi atau dengan cara yang nyaman atau pragmatis tidak sama
dengan moralitas preskriptif. Berdasarkan teori evolusi, orang
dapat memilih untuk mengikuti Hukum Kasih sembari berharap
hukum itu mendukung kelangsungan hidup. Namun, orang bisa
juga memilih untuk membunuh sembari mengharapkan hal yang
sama. Evolusi tidak memberikan dasar untuk moralitas yang
objektif dan tidak memberikan alasan yang meyakinkan untuk
308 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

bertindak dengan cara yang etis. Tindakan-tindakan heroik (altru-


istis) tidak dijelaskan dalam kerangka evolusi.
5. Dalam dunia evolusi yang ateistis dan materialistis, bagaimana
prinsip-prinsip moral bisa menjadi apa pun selain menjadi prin-
sip yang ditemukan, konvensional, dan subjektif? Namun, etika-
etika relativistis yang subjektif, membingungkan dan tidak sesuai
dengan realitas kewajiban moral.
Kemutlakan etis tidak sesuai dengan pandangan panteisme: Kewa-
jiban-kewajiban moral yang objektif (absolut/mutlak) tidak sesuai dengan
realitas transendental yang tidak bersifat pribadi dan tidak bermoral.
Prinsip-prinsip moral membutuhkan keberadaan suatu pribadi (seseorang
dengan pikiran dan kehendak). Dalam beberapa agama Timur, Allah
(atau realitas tertinggi) itu tidak bersifat pribadi sehingga berada di luar
konsep-konsep seperti “yang baik dan yang jahat.”
Kemutlakan etis sesuai dengan pandangan teisme Kristen: Kewa-
jiban-kewajiban moral yang objektif sesuai dengan keberadaan Allah yang
tidak terbatas, kekal, bersifat pribadi, suci, penuh kasih, dan adil sebagai-
mana yang ditunjukkan hal-hal berikut ini dari cara pandang alkitabiah:
1. Nilai-nilai moral yang mutlak berakar pada keberadaan Sang
Pencipta alam semesta yang transenden, yang juga berinkarnasi
sebagai Penebus umat manusia yang berdosa.
2. Nilai-nilai moral berasal dari karakter moral Allah. Allah tidak
sewenang-wenang menciptakan prinsip-prinsip etika ataupun
menciptakan nilai-nilai yang melampaui keberadaan Allah.
3. Allah adalah Pribadi yang sempurna secara moral, yang memiliki
sifat-sifat moral seperti kesucian, kasih, hikmat, kemurahan,
kebaikan, kebenaran, kejujuran, dan keadilan yang utuh dan
sempurna.
4. Allah telah menyatakan prinsip-prinsip moral-Nya melalui hati
nurani manusia dan pernyataan-pernyatan historis yang eks-
plisit (Sepuluh Perintah Allah, Hukum Kasih, dan Khotbah di
Bukit).
5. Alkitab mengungkapkan prinsip-prinsip moral yang objektif,
universal, dan tidak berubah (mutlak).
BUKANKAH MORALITAS TERGANTUNG PADA MATA YANG MEMANDANGNYA? 309

Kesimpulan
Realitas kewajiban moral manusia tidak sesuai dengan segala bentuk
relativisme etika (yang mencakup subjektivisme etis dan konvensional-
isme etis). Relativisme etika itu membingungkan sebagai suatu sistem
dan dengan demikian gagal sebagai dasar untuk nilai-nilai moral apa
pun. Etika-etika yang subjektif juga gagal menjelaskan tentang kesadaran
manusia akan kewajiban moral. Refleksi yang cermat tentang kewajiban
moral menunjukkan bahwa kewajiban-kewajiban tersebut pasti lebih dari
sekadar impuls-impuls sementara atau yang dipaksakan secara budaya.
Pada akhirnya, pendekatan moralitas yang subjektif runtuh karena tidak
memiliki dasar metafisika yang memadai (dasar yang transenden dan
sempurna secara moral, seperti Allah yang ada di dalam Alkitab).
Tidak seperti penjelasan sekuler tentang etika, di dalam kekristenan,
sifat Allah yang suci, adil, benar, dan penuh kasih menjadi dasar etika.
Jadi, pandangan kristiani memberikan landasan dan pembenaran bagi
nilai-nilai moral yang mutlak. Salah satu bukti terkuat bahwa kekristenan
itu benar adalah kemampuannya untuk menjelaskan dan membenarkan
realitas kehidupan yang berarti. Dan tidak ada yang lebih penting bagi
keberadaan manusia selain nilai-nilai moral yang mutlak.
Namun, bagaimana dengan masalah kejahatan? Bagaimana Allah
yang suci dan adil bisa membiarkan tindakan-tindakan mengerikan keja-
hatan manusia yang melampaui pengertian kita? Topik ini dibahas di
bab berikutnya.

Pertanyaan Diskusi
1. Mengapa banyak filsuf menganggap subjektivisme etis membi-
ngungkan?
2. Masalah-masalah apa yang timbul ketika orang menegaskan
bahwa prinsip-prinsip moral hanya berasal dan dibenarkan dari
budaya?
3. Jika orang belajar kewajiban-kewajiban moralnya dari budaya,
bukankah itu berarti bahwa moral itu relatif secara budaya?
4. Mengapa standar etika evolusionisme bertentangan dengan
moralitas yang preskriptif?
5. Menurut kekristenan yang historis, apa hubungan antara Allah
dan nilai-nilai moral yang mutlak?
310 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Untuk Studi Lebih Lanjut


Beckwith, Francis J., dan Gregory Koukl. Relativism: Feet Firmly Planted in
Mid-Air (Grand Rapids: Baker, 1998).
Corduan, Winfried. No Doubt about It: The Case for Christianity (Nashville:
Broadman & Holman, 1997).
Lutzer, Erwin. The Necessity of Ethical Absolutes (Grand Rapids: Zondervan,
1981).
Pojman, Louis P. Ethics: Discovering Right and Wrong (Belmont, CA: Wadsworth,
1990).
Purtill, Richard L. Thinking about Ethics (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall,
1976).
Rae, Scott B. Moral Choices: An Introduction to Ethics (Grand Rapids: Zon-
dervan, 1995).
BAGAIMANA MUNGKIN ALLAH YANG BAIK DAN
MAHAKUASA MEMBIARKAN KEJAHATAN TERJADI?

Apakah Dia [Allah] ingin mencegah kejahatan tetapi tidak mampu? Berarti Dia
tidak berkuasa. Apakah Dia mampu tetapi tidak mau? Artinya Dia jahat. Apa-
kah Dia mampu dan mau? Lalu dari mana kejahatan itu?
––David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion

Dari mana kejahatan itu? Dari mana asal-usulnya? Bagaimana kejahatan


bisa menyusup ke dalam dunia? . . . Dari mana asal kejahatan jika Allah-lah
yang menciptakan segala sesuatu dan menjadikan semua ciptaan-Nya baik
adanya karena Dia baik.
––Augustine dari Hippo, Confessions

S eorang ibu menenggelamkan kelima anaknya. Kuburan massal


ditemukan di Irak. Seorang penembak jitu mengintai dan siap
menembak, menyandera sekumpulan orang. Jika Allah itu baik dan
mahakuasa, bagaimana mungkin Dia membiarkan kekejaman seperti itu
berlangsung? Apakah Dia menutup mata-Nya? Apakah Dia tidak dapat
ditemukan di mana pun? Apakah beberapa hal berada di luar kendali-
Nya?
Mungkin tantangan terbesar bagi kebenaran kekristenan terletak
pada masalah kejahatan yang tak pernah berhenti. Dilema kejahatan
menimbulkan pertanyaan tentang apakah konsep kristiani tentang Allah
masuk akal. Banyak orang mengutip keberadaan kejahatan dan pen-
deritaan sebagai alasan nomor satu untuk menolak percaya kepada

311
312 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Allah umat Kristen. Itulah sebabnya tantangan ini layak dipikirkan


dengan saksama.
Banyak yang dapat dan harus dikatakan tentang topik ini. Buku-
buku sudah banyak yang membahas tentang hal ini. Namun, bahkan
dengan memeriksa sudut pandang non-Kristen secara singkat dan menye-
lidiki natur dan tujuan kejahatan, kita dapat mengembangkan respons
kristiani yang mendasar hingga tantangan apologetis yang penting ini.
Sementara masalah kejahatan dan penderitaan menimbulkan pertanyaan-
pertanyaan yang sulit, kekristenan yang historis menyediakan jawaban-
jawaban yang unik dan kuat untuk pertanyaan-pertanyaan ini.

Benarkah Ada Kejahatan di Dunia?


Sebagian orang pada zaman sekarang menyangkal bahwa kejahatan
nyata ada di dunia. Beberapa kaum profesional di bidang kesehatan
jiwa berpikir bahwa kejahatan adalah konsep yang telah usang dan sesat.
Mereka mengklaim bahwa pada dasarnya manusia itu baik, atau seburuk-
buruknya, netral. Dengan demikian, perilaku yang negatif atau keras
berasal dari faktor-faktor fisiologis atau lingkungan. Banyak psikolog
dan psikiater menyatakan bahwa kejahatan keji yang dilakukan di tengah
masyarakat tidak dilakukan oleh orang-orang yang jahat, tetapi oleh
orang-orang yang sakit jiwa. Dalam pandangan mereka, kejahatan
memiliki penyebab patologis yang mendasar, bukan penyebab moral.
Umumnya, psikologi dan psikiatri sekuler menolak pandangan bahwa
dosa dan kejahatan moral secara aktif memengaruhi natur manusia.
Namun, sementara mempertanyakan eksistensi kejahatan, orang-orang
yang sama dipaksa untuk percaya pada penderitaan manusia karena hal
itu jelas tampak di sekitar mereka.
Beberapa bentuk agama Timur menganggap kejahatan sebagai ilusi
belaka. Unsur agama Hindu yang lebih filosofis1 menganut monisme,
idealisme, dan panteisme. Monisme adalah perspektif bahwa semua
realitas adalah satu, sedangkan idealisme menegaskan bahwa satu-satunya
realitas adalah pikiran, ide, atau roh. Menurut tulisan-tulisan Hindu
yang dikenal sebagai Upanishad, dunia fisik adalah ilusi dan semua reali-
tas pada akhirnya adalah roh atau allah. Jadi, mereka mengajarkan
panteisme: “semua adalah Allah dan allah adalah semua.”
BAGAIMANA MUNGKIN ALLAH YANG BAIK DAN MAHAKUASA MEMBIARKAN KEJAHATAN TERJADI? 313

Menurut pemikiran Hindu, begitu seseorang mencapai kesadaran


mistis yang tepat, maka kejahatan itu tidak ada. Realitas tertinggi tidak
hanya berada di luar penampilan fisik, tetapi juga di luar kategori-kategori
rasional dan moral yang baik dan jahat. Dalam agama Hindu, keper-
cayaan ini menjadi bagian dari prinsip yang lebih luas yang disebut maya,
yang di dalamnya penampilan dan ilusi menghalangi pemahaman realitas
atau kebenaran yang lebih dalam.
Kelompok-kelompok ilmu pikiran seperti Christian Science dan
Religious Science serta spiritualitas New Age yang populer menganut
pandangan yang sama. Pemikiran Hindu telah memengaruhi ketiga
kelompok Barat tersebut, yakni bahwa masalah utama manusia adalah
ketidaktahuan atau kurangnya pencerahan, bukan dosa atau kejahatan
moral.
Bagaimanapun, kejahatan tidak dapat dengan mudah dihentikan atau
disingkirkan. Salah satu alasan untuk menolak kesimpulan dari banyak
psikologi sekuler modern dan mistisisme Timur adalah bahwa pandangan
mereka tentang natur manusia tidak sesuai dengan pengalaman keba-
nyakan orang di dunia. Kejahatan dan penderitaan adalah realitas jelas
di dalam kehidupan. Keduanya tidak dapat direduksi ataupun dijelas-
kan sebagai kejadian-kejadian patologis atau mistis. Teori-teori psikologi
modern telah merusak kebenaran yang menyatakan bahwa setiap orang
memiliki tanggung jawab moral yang mendasar.2 Dan konsep Hindu
maya gagal menjelaskan dari mana asalnya apa yang disebut sebagai
ilusi itu atau mengapa kejahatan tetap menjadi bagian dari pengalaman
manusia yang dominan dan universal. Maya, di bawah pengamatan yang
logis, tereduksi menjadi absurditas.3
Sejarah abad XX sendiri menggambarkan kenyataan pahit tentang
kejahatan dan penderitaan. Rezim totalitarian Adolf Hitler, Josef Stalin,
dan Mao Tse-tung memberikan segudang bukti objektif bahwa kejahatan
itu sungguh ada, seperti yang ditunjukkan di kamp-kamp kematian Nazi,
kamp kerja paksa Soviet, dan revolusi kebudayaan China. Perlu dicatat
bahwa dari sekitar enam juta orang Yahudi yang dibasmi secara sistema-
tis oleh Nazi selama Perang Dunia II, satu setengah juta di antaranya
adalah anak-anak. Jumlah orang yang dibunuh dalam pembersihan Stalin
di Uni Soviet diperkirakan sekitar puluhan juta. Jumlah orang-orang
China yang sama banyaknya (atau lebih banyak) dibunuh atas perintah
314 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Pemimpin Mao. Perang Dunia II, yang mengakibatkan lima puluh sam-
pai enam puluh juta kematian, disebut sebagai bencana terbesar dalam
sejarah.4 Perang dunia abad XX membuat pandangan bahwa kejahatan
hanyalah ilusi belaka menjadi masalah yang serius. Mengabaikan keja-
hatan dengan menganggapnya sebagai ilusi sudah merupakan penyim-
pangan serius dari realitas.
Kejahatan itu nyata. Menyakitkan. Dan konsekuensi yang dihasil-
kannya menghancurkan.
Realitas kejahatan yang terjadi di dunia dan khususnya di tengah
umat manusia menimbulkan pertanyaan serius tentang hubungan keja-
hatan itu dengan visi Kristen tentang Allah yang kasih-Nya tak terhingga
dan berkuasa. Sebagian orang berpendapat bahwa kejahatan dan Allah
umat Kristen tidak dapat hidup berdampingan secara logis. Mereka
berpendapat bahwa keberadaan kejahatan pasti akan menyebabkan
penolakan terhadap keberadaan Allah.

Apakah Keberadaan Allah Tidak Sesuai dengan Kejahatan?


Menyangkal Allah menjadi tugas epistemologis yang sangat sulit
karena ada batasan-batasan tertentu bagi penyangkalan. Namun, konsep-
konsep yang tidak logis tentang Allah dapat dianggap salah karena apa
pun yang benar-benar kacau (tidak rasional) tidak mungkin benar (sebagai
contoh, lingkaran mustahil menjadi persegi). Sebagian orang skeptis
dan ateis percaya bahwa masalah kejahatan menciptakan masalah kohe-
rensi untuk konsep Kristen tentang Allah. Pertanyaan orang skeptis
asal Skotlandia David Hume pada abad XVIII menggambarkan dilema
yang dirasakan banyak orang, “Apakah Dia [Allah] ingin mencegah keja-
hatan tetapi tidak mampu? Itu berarti Dia tidak berkuasa. Apakah Dia
mampu tetapi tidak mau? Itu berarti Dia jahat. Apakah Dia mampu
dan mau? Tetapi itu berarti dari mana kejahatan itu berasal?”5
Hume mengungkapkan apa yang disebut oleh sebagian orang skeptis
sebagai “Trio yang tidak konsisten.” Berlandaskan Kitab Suci, orang
Kristen percaya bahwa Allah itu mahapengasih (sangat baik) dan maha-
kuasa (benar-benar berkuasa). Namun, kedua sifat Ilahi ini, jika dipa-
dankan dengan realitas kejahatan, mengakibatkan ketidakcocokan yang
logis. Penalaran Hume kerap kali mengikuti pola ini:
BAGAIMANA MUNGKIN ALLAH YANG BAIK DAN MAHAKUASA MEMBIARKAN KEJAHATAN TERJADI? 315

 Allah yang mahapengasih ingin melenyapkan kejahatan.


 Allah yang mahakuasa akan mampu melenyapkan kejahatan.
 Namun, kejahatan secara mencolok tetap ada.
Ketegangan yang logis ini tampak jelas. Bagaimana mungkin keja-
hatan masih ada di dunia bila Allah memiliki keinginan dan kuasa untuk
menghilangkannya? Tiga penalaran yang tidak konsisten ini membuat
kesimpulan berikut tampak masuk akal:
1. Allah ingin melenyapkan kejahatan tetapi tidak mampu. Oleh
sebab itu, Allah impoten (tidak berkuasa).
2. Allah mampu melenyapkan kejahatan tetapi tidak mau. Oleh
sebab itu, Allah jahat (tidak baik).
3. Allah yang mahakuasa dan mahapengasih itu pasti tidak ada.
Penalaran ini menghantar sebagian kaum skeptis dan ateis mene-
rima alur pemikiran argumentatif berikut: Karena kemahapengasihan,
kemahakuasaan, dan kejahatan tidak sejalan secara logika, dan karena
ketiganya pasti ada ketika orang menerima Allahnya umat Kristen, maka
konsep Kristen tentang Allah secara logis membingungkan dan karena
itu tidak mungkin benar.
Masalah kejahatan ini telah digunakan sebagai senjata ampuh kaum
ateis untuk melawan teisme Kristen selama beberapa abad terakhir.
Namun, sangat sedikit orang yang bersedia menerima opsi bahwa Allah
sebenarnya jahat. Bagaimanapun, dalam respons langsung terhadap
argumen ini, beberapa filsuf agama telah menyetujui dan mengambil pan-
dangan terbatas tentang Allah—pandangan bahwa Allah mau melenyap-
kan kejahatan tetapi tidak benar-benar mampu melakukannya. Dia
membutuhkan dukungan dari manusia. Pandangan ini telah diberi ber-
bagai sebutan (godisme terbatas, teisme terbatas), tetapi karakteristik
intinya adalah bahwa Allah itu terbatas, terutama dalam hal kekuasaan-
Nya. Ideologi ini dianut sekitar seabad yang lalu oleh filsuf-filsuf ter-
kemuka seperti John Stuart Mill, William James, dan Edgar Brightman.
Pandangan serupa tercermin saat ini di dalam buku populer When Bad
Things Happen to Good People karya Rabbi Harold Kushner.
316 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Setidaknya tiga masalah utama muncul dari godisme terbatas dan


sudut pandang yang sejenis.6 Pertama, pandangan ini tidak menjamin
bahwa kejahatan dapat dikalahkan. Jika allah ini tidak memiliki kemam-
puan untuk mengatasi kejahatan dan harus mengandalkan bantuan
manusia, maka dunia berada dalam kekacauan tanpa harapan. Kedua,
allah terbatas ini menciptakan sebuah dunia yang tidak bisa dikendalikan
olehnya. Dia tidak mahakuasa atau mahatahu dan oleh karenanya ia
tampaknya bukan kandidat yang patut disembah oleh manusia. Ketiga,
tidak ada kebutuhan mendesak untuk mengadopsi sebuah pandangan
yang terbatas tentang Allah karena ketiga pandangan yang tidak konsisten
itu secara logis dapat dipatahkan.

Tritunggal yang Konsisten


Tidak ada masalah logika yang tidak dapat diatasi di dalam tiga poin
yang diungkapkan oleh kaum skeptis tentang sifat Allah dan eksistensi
kejahatan.
 Allah yang mahapengasih ingin melenyapkan kejahatan.
 Allah yang mahakuasa akan mampu melenyapkan kejahatan.
 Namun, kejahatan secara mencolok tetap ada.
Ketiga pernyataan ini tidak membentuk kontradiksi yang logis.
Tanggapan singkat berikut ini terhadap argumen yang menentang Allah
teisme Kristen akan menjelaskannya.
Kebenaran dan kewajaran kedua pernyataan pertama masih sangat
perlu dipertanyakan. Pertama, jika kejahatan dan penderitaan dapat
berpotensi menghasilkan kebaikan yang lebih besar, tampaknya masuk
akal jika kita menyimpulkan bahwa Allah yang mahapengasih tidak selalu
ingin melenyapkan semua kejahatan dan penderitaan, setidaknya tidak
segera. Filsuf Kristen Richard Swinburne berpikir bahwa teori kebaikan
yang lebih besar ini adalah kunci untuk menjawab masalah kejahatan.
Ia menjelaskan, “Solusi dasar adalah bahwa semua kejahatan yang kita
jumpai di sekitar kita adalah kondisi logis yang diperlukan untuk ter-
jadinya kebaikan yang lebih besar. Dengan kata lain, kebaikan yang
lebih besar tidak dapat terjadi bila tidak ada kejahatan atau setidaknya
kemungkinan kejahatan.”7
BAGAIMANA MUNGKIN ALLAH YANG BAIK DAN MAHAKUASA MEMBIARKAN KEJAHATAN TERJADI? 317

Secara analogi, orangtua yang bertanggung jawab kerap membiarkan


anak-anak mereka menjalani kesulitan dan kepedihan. Meskipun orang
tua itu bisa melindungi mereka dari beberapa kesulitan, mereka tetap
membiarkan masalah-masalah itu terjadi karena pengalaman hidup
menghasilkan kebaikan yang lebih besar di dalam diri anak-anak—
kemandirian, ketekunan, kekuatan, keberanian, kebijaksanaan, dan
kematangan. Allah yang mahabijak, adil, dan penuh kasih dengan cara
yang sama membiarkan kejahatan dan penderitaan terjadi karena keja-
hatan dan penderitaan itu memberikan tujuan lebih besar bagi manusia
dan alam semesta, dan akhirnya membawa kemuliaan yang lebih besar
bagi Allah sendiri. Keberadaan kejahatan dan segala kebaikan Ilahi tidak
selalu tidak sejalan. Allah bisa jadi memiliki alasan yang baik saat
membiarkan kejahatan dan penderitaan berlangsung untuk sementara
waktu.
Kedua, Allah yang mahakuasa, yang telah menciptakan makhluk-
makhluk yang bertanggung jawab secara moral, tentunya memutuskan
untuk melenyapkan kejahatan melalui proses yang cermat meski pada
awalnya Dia mengizinkan kejahatan itu terjadi. Dalam konteks Alkitab,
kemahakuasaan tidak berarti bahwa secara harfiah Allah dapat melakukan
segala sesuatu (sebagai contoh, Dia tidak dapat berbuat dosa atau mela-
kukan hal yang tidak logis). Sebaliknya, kemahakuasaan berarti bahwa
Allah dapat melakukan segala sesuatu yang konsisten dengan natur-Nya
yang rasional dan bermoral. Menciptakan orang-orang yang setidaknya
mampu mencapai tingkat kemandirian tertentu dapat secara logis mem-
batasi pilihan Allah. Mengutip perkataan filsuf Kristen Alvin Plantinga,
“Oleh karena itu, agar tercipta makhluk yang mampu melakukan keba-
ikan moral, Dia [Allah] harus menciptakan makhluk yang mampu mela-
kukan kejahatan moral.”8 Kesimpulan yang masuk akal adalah bahwa
jika Allah menciptakan manusia dengan kehendak bebas, maka mele-
nyapkan kebobrokan mungkin harus dilakukan melalui proses yang meli-
batkan kejahatan dan penderitaan. Bahkan bagi Allah, melenyapkan
kejahatan kemungkinan bukanlah tugas yang harus segera dilaksanakan
dan dilalui tanpa rasa sakit. Kejahatan dan penderitaan diperlukan untuk
kebaikan yang lebih besar bagi umat manusia dan dapat lebih memulia-
kan Allah.
318 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Alvin Plantinga telah menyatakan sesuatu seperti alur pemikiran


berikut ini untuk menanggapi masalah kejahatan:9
 Allah itu mahapengasih dan mahakuasa.
 Allah menciptakan dunia yang berisi kejahatan dan memiliki alasan
yang baik untuk melakukannya (untuk tujuan kebaikan yang lebih
besar).
 Oleh karena itu, dunia berisi kejahatan, tetapi kejahatan konsisten
dengan pandangan kristiani tentang Allah.
Pendekatan lainnya akan mencerminkan bagaimana Allah akan
bertindak dari waktu ke waktu berkenaan dengan masalah kejahatan:
 Allah yang mahapengasih ingin melenyapkan kejahatan.
 Allah yang maha kuasa akan mampu melenyapkan kejahatan.
 Meskipun kejahatan masih ada sekarang, Allah akan melenyap-
kannya pada masa yang akan datang.
Sementara jawaban-jawaban ini tentu saja tidak menyelesaikan
semua masalah yang terkait dengan hubungan Allah dan kejahatan,10
pemikiran Swinburne, Plantinga, dan filsuf Kristen lainnya telah berhasil
menunjukkan bahwa kejahatan belum tentu tidak konsisten dengan pan-
dangan Kristen tentang Allah. Jadi, argumen yang menentang keberadaan
atau kemahakuasaan Allah dari sudut pandang kejahatan secara logis
menjadi tidak menarik. Filsuf agama terkemuka, William Rowe, yang
mengaku ateis, mengungkapkan persetujuannya, “Beberapa filsuf ber-
pendapat bahwa keberadaan kejahatan tidak konsisten secara logis dengan
keberadaan Allah yang teistis. Saya kira tidak seorang pun yang bisa
membuat pernyataan yang sehebat itu.”11
Karena seperti banyak orang lainnya, sebagian orang ateis merasa
sakit hati dalam menghadapi kejahatan, sebuah solusi ateistis untuk
masalah kejahatan patut dipertimbangkan. Bisakah kejahatan diatasi di
dalam dunia yang ateis? Atau benarkah sama sekali tidak ada kejahatan
di alam semesta yang tanpa Allah?
BAGAIMANA MUNGKIN ALLAH YANG BAIK DAN MAHAKUASA MEMBIARKAN KEJAHATAN TERJADI? 319

Apakah Ateisme Memberikan Penjelasan yang Koheren?


Kejahatan nyata di dunia yang tak bertuhan sulit dibayangkan. Jika
si ateis menegaskan suatu pandangan naturalistis materialistis, maka ia
harus menerima manusia hanya sebagai sebuah kebetulan kosmis yang
menakjubkan—hanya “materi yang bergerak.” Sebagai produk dari pro-
ses evolusi yang buta dan tanpa tujuan, tidak ada alasan yang kuat untuk
memercayai bahwa manusia memiliki martabat yang esensial dan nilai
moral yang objektif. Namun, jika nilai manusia dipertanyakan, maka
pertimbangan apa yang bisa diungkapkan orang atas tindakan genosida,
pembasmian etnis, dan infantisida? Dari perspektif ateistis, seseorang
tidak dapat berdebat dengan memakai komentar dari Dostoevsky Ivan
Karamazov, “Jika Allah tidak ada, maka semuanya diperbolehkan.”12
Meskipun ateis tertentu mungkin secara pribadi menolak pandangan-
pandangan ini, kaum ateis lainnya mungkin menyetujuinya. Tapi satu
sudut pandang tidak lebih baik daripada yang lain, karena keduanya sama-
sama bersifat subjektif dan membingungkan. Banyak hal terjadi di dalam
dunia yang tak bertuhan dan yang bersifat fisik saja, tetapi siapa yang
bisa mengatakan bahwa semua itu “buruk?”
Kejahatan membutuhkan penilaian moral yang objektif. Namun, di
dalam dunia yang tak bertuhan, pada dasarnya, moral itu tidak logis,
bersifat subjektif, dan relatif sifatnya. Moral itu kekurangan landasan
metafisika yang objektif (lih. Relativisme, bab 18). Oleh karena itu,
tanpa Allah dan hal-hal yang absolut, mungkin akan muncul hambatan,
ketidaknyamanan, dan hal-hal yang tidak menyenangkan terkait keinginan
dan kebutuhan subjektif individu, tetapi hal ini tidak dapat disebut jahat.
Orang-orang ateis dapat memilih untuk bertindak dengan cara yang
bijaksana atau nyaman atau pragmatis. Namun, tindakan tersebut tidak
dapat dianggap sebagai moralitas preskriptif (ada hubungannya dengan
“seharusnya” atau “harus”). Memang moralitas preskriptif diperlukan
untuk konsep kejahatan.
Walaupun demikian, kebanyakan orang ateis mengungkapkan keya-
kinan mereka bahwa beberapa hal atau tindakan di dunia benar-benar
jahat. Mereka mungkin menyadari bahwa ada yang salah secara moral
di dalam alam semesta ini. “Ketidakberesan” atau keganjilan ini akan
memunculkan penolakan mereka terhadap Allah. Banyak orang ateis
320 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

tidak mengakui bahwa ketika mereka menolak kejahatan, mereka pasti


menuntut standar kebaikan yang objektif di luar dunia tak bertuhan
mereka. Sesuatu hanya bisa jahat jika telah melanggar yang baik. Pada
dasarnya, ketidakadilan moral secara tak langsung menyatakan standar
tentang yang benar dan salah, yang baik dan jahat. Gerard J. Hughes
mencatat, “Masalah kejahatan bahkan tidak dapat diungkapkan, cuma
bisa diasumsikan bahwa berbicara tentang kebenaran moral itu adalah
tindakan yang benar. Juga tidak dapat dinyatakan dengan segenap keku-
atan, cuma bisa diasumsikan bahwa moral tidak hanya bergantung pada
standar manusia yang bisa saja sangat berbeda-beda.”13
Semua pertimbangan moral ini menimbulkan kesulitan yang serius
bagi kaum ateis. Logika memaksa mereka untuk menjelaskan tentang
“masalah kebaikan”secara masuk akal. Ironisnya, masalah kejahatan
dapat berfungsi sebagai bukti kuat mengenai keberadaan Allah karena
standar kebaikan yang objektif membutuhkan landasan metafisika yang
memadai. Keberadaan Allah yang teistis menjelaskan tentang keberadaan
kebaikan dan kejahatan.
Beberapa filsuf Kristen telah menunjukkan bahwa ketika kaum ateis
marah perihal adanya kejahatan dan hubungan Allah dengan kejahatan
itu, sebenarnya saat itu mereka sedang meminjam pandangan teistis
Kristen.14 Pandangan mereka sendiri tidak menyediakan dasar yang
cukup untuk membuat pernyataan moral seperti itu. Penilaian terhadap
kebingungan moral orang yang belum percaya ini, sehubungan dengan
kewajibannya pada hukum moral Allah yang esensial, dengan jelas dika-
takan di dalam Kitab Suci (Rm. 1:18-2:16). Menurut Alkitab, skenario
yang bertolak belakang telah dimainkan oleh berbagai pemikir sekuler
dalam keluhan moral mereka terhadap Allah mengenai kejahatan. Sebe-
narnya, si ateis bergantung pada sistem moral kekristenan yang objektif
saat mengungkapkan keberatan moral terhadap Allah umat Kristen. Filsuf
Kristen Greg L. Bahnsen dengan singkat berkata, “Antiteisme menerima
teisme untuk menciptakan dakwaannya.”15
Ateisme tidak memberikan penjelasan yang memadai tentang keja-
hatan dan penderitaan. Kaum ateis bahkan tidak dapat berbicara tentang
kejahatan tanpa mengandalkan kekayaan moral yang dipinjamnya.
Mereka juga tidak dapat menjelaskan konsep tentang kebaikan. Karena
argumen ateisme tentang masalah kejahatan gagal mendakwa Allah,
BAGAIMANA MUNGKIN ALLAH YANG BAIK DAN MAHAKUASA MEMBIARKAN KEJAHATAN TERJADI? 321

maka perlu direnungkan mengapa Allah, khususnya Allah umat Kristen,


mengizinkan kejahatan dan penderitaan terjadi.

Respons Kristiani yang Historis terhadap Kejahatan


Penyataan Kristen tidak memberikan penjelasan yang lengkap dan
utuh untuk masalah kejahatan dan penderitaan. Allah, dengan alasan
yang hanya diketahui oleh diri-Nya sendiri, memutuskan untuk tidak
mengungkapkan atau menjelaskan semua detail rencana kosmis-Nya.
Sang Pencipta adalah Raja yang berdaulat atas alam semesta, sebagaimana
yang dikatakan oleh Kitab Suci, “Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi
TUHAN, Allah kita” (Ul. 29:29). Tak diragukan lagi, banyak misteri akan
tetap ada sampai zaman kekekalan tiba, dan tujuan di balik kejahatan
dan penderitaan mungkin berada di daftar misteri yang paling atas.
Namun, kekristenan memberikan banyak respons yang unik dan memu-
askan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang timbulnya keja-
hatan dan penderitaan. Beberapa respons kristiani yang berbeda-beda
ini disusun dalam bentuk ringkasan.

Apakah Kejahatan Itu Suatu “Barang?”


Salah seorang pemikir terbesar agama Kristen historis, bapa gereja
Afrika Utara Augustine dari Hippo16 (354-430 M), memberikan pemi-
kiran yang luas tentang masalah kejahatan. Kejahatan adalah salah satu
masalah inti yang dulu, di masa awal kehidupan Augustine sempat mem-
buatnya tidak mau menganut agama Kristen.17 Pemikirannya mem-
bawanya pada kesimpulan bahwa kejahatan, meskipun benar-benar nyata,
bukanlah sesuatu atau zat atau benda yang bernama kejahatan.18 Seba-
liknya, kejahatan berarti “ketiadaan” (dalam bahasa Latin: privatio),
yakni ketiadaan akan sesuatu.
Menurut Augustine, kejahatan secara khusus berarti ketiadaan akan
sesuatu yang seharusnya ada di dalam diri seseorang atau sesuatu. Itulah
sebabnya kejahatan didefinisikan dalam pengertian negatif (dalam bahasa
Latin: negatio). Analoginya, orang mengakui kebutaan bukan sebagai
hal yang bersifat fisik, melainkan sebagai ketiadaan penglihatan. Demi-
kian pula, sebuah lubang gigi bukanlah suatu benda yang bernama lubang
gigi, melainkan merupakan ketiadaan enamel di dalam gigi. Namun,
seperti halnya kejahatan, kebutaan dan lubang gigi bukanlah benda,
322 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

melainkan merupakan realitas kehidupan. Harus ditegaskan bahwa


Augustine tidak menyangkal realitas kejahatan.
Augustine menyatakan bahwa kejahatan khususnya merupakan
ketiadaan akan suatu keberadaan dan kebaikan. Tepatnya, kejahatan
adalah ketiadaan kebaikan yang seharusnya ada dalam kehendak makh-
luk ciptaan. Ia menegaskan, “Apa yang disebut kejahatan di dalam jiwa
hanyalah merupakan ketiadaan kebaikan yang bersifat alami.”19 Oleh
sebab itu, kejahatan didefinisikan dengan benar (oleh Augustine) sebagai
ketiadaan atau kerusakan kebaikan—sejenis parasit ontologis pada keba-
ikan.20 Augustine mengungkapkan, “Apakah yang kita sebut sebagai
kejahatan itu kalau bukan tidak adanya kebaikan?”21
Sebuah pernyataan apologetis penting muncul dari alur penalaran
Augustine tentang kejahatan. Jika kejahatan bukan suatu substansi atau
benda yang positif, maka Allah tidak menciptakan kejahatan seperti Dia
menciptakan segala sesuatu yang lain. Sumber kejahatan ditemukan di
dalam kerusakan pada kebaikan yang ejak awal diciptakan Allah.
Pendekatan Augustine yang mendefinisikan kejahatan sebagai ketia-
daan dari keberadaan atau kebaikan belum diterima secara universal di
antara para teolog dan filsuf Kristen, apalagi para pemikir yang bukan
Kristen. Pendekatan ini lebih diterima di antara orang-orang yang seti-
daknya secara umum bersimpati pada teori metafisika Plato (natur reali-
tas). Sejujurnya, definisi Augustine tentang kejahatan gagal menjelaskan
sepenuhnya tentang natur yang dinamis dan fleksibel pada kejahatan
yang dinyatakan secara tidak langsung saat Alkitab menggambarkan ten-
tang dosa. Jadi, definisi Augustine tentang kejahatan ini telah digolongkan
oleh sebagian orang sebagai definisi yang tidak lengkap.
Namun demikian, Augustine melahirkan dua wawasan apologetis
yang mendalam tentang natur kejahatan. Pertama, kesimpulannya bahwa
dalam beberapa hal, kejahatan bergantung seperti parasit pada kebaikan,
memberikan argumen yang kuat bahwa masalah kejahatan menerima
fakta bahwa kebaikan ada sebelum kejahatan. Ia menunjukkan, “Tidak
akan ada kejahatan bila tidak ada kebaikan.”22 Dalam menanggapi
orang-orang yang berusaha menyangkali keberadaan Allah karena adanya
kejahatan, orang dapat mengatakan bahwa pada dasarnya kejahatan
bergantung pada kebaikan.
BAGAIMANA MUNGKIN ALLAH YANG BAIK DAN MAHAKUASA MEMBIARKAN KEJAHATAN TERJADI? 323

Kedua, ia mengakui bahwa kejahatan bukanlah barang atau benda.


Sebaliknya, di satu sisi, kejahatan dianggap sebagai penilaian moral yang
nonfisik dan konseptual (pelanggaran terhadap kebaikan yang telah
diterima). Akan tetapi, realitas-realitas konseptual yang penting seperti
penilaian moral (serta konstruksi matematis dan logis) harus dijelaskan
di dalam dunia umat manusia. Realitas-realitas abstrak ini cocok dengan
pandangan teistis Kristen Augustine, tetapi tampaknya asing dan tidak
dijelaskan dalam pandangan naturalistis dan pandangan yang tidak
bertuhan.

Dari Mana Datangnya Kejahatan?


Kitab Suci dengan jelas mengatakan bahwa pilihan yang diambil oleh
makhluk-makhluk ciptaan Allah ini telah mengakibatkan kejahatan.
Penyalahgunaan kebebasan yang dilakukan oleh ciptaan Allah menghasil-
kan dua pemberontakan yang berbeda. Pertama, ada malaikat bernama
Lucifer. Ia memiliki posisi yang tinggi di antara para malaikat ciptaan
Allah (Yeh.28:12-19). Namun, dalam upayanya untuk merebut otoritas
Allah, ia memimpin pemberontakan di jajaran para malaikat (Yes.14:
12-20). Lucifer, yang sekarang dikenal sebagai Iblis atau setan (bersama
para pengikutnya yang memberontak, setan), secara langsung menentang
kebaikan moral Allah. Iblis adalah pelaku kejahatan. Di banyak bagian
di Alkitab disebutkan tentang pengaruh jahat Iblis di dunia manusia
(Yoh. 12:31; 2Kor. 4:4; Ef. 2:2; 1Yoh. 5:19).
Namun, bagaimana mungkin makhluk yang terbatas yang diciptakan
baik adanya dan yang tidak memiliki kejahatan eksternal apa pun yang
memengaruhinya, dapat memilih hal yang jahat? Augustine kembali mem-
berikan penjelasan yang provokatif. 23 Ia menyatakan bahwa dosa Luci-
fer sebenarnya adalah dosa penyembahan berhala. Lucifer tidak langsung
memilih hal yang jahat. Sebaliknya, ia memilih hal yang baik—dirinya
sendiri—tetapi kemudian ia meninggikan dirinya di atas (menggantikan
dirinya sebagai) kebaikan yang tertinggi, yaitu Allah. Lucifer dikuasai
oleh kesombongan, yang merupakan ekspresi pertama dosa (1Tim. 3:6).
Sebuah pemberontakan serupa terjadi di antara manusia (Kej. 3).
Adam dan Hawa, manusia pertama, menyalahgunakan kebebasan mereka
untuk memberontak terhadap otoritas kedaulatan Allah. Karena tergoda
oleh Iblis, mereka memilih untuk lebih meninggikan pilihan mereka
324 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

sendiri daripada perintah Allah. Ketidaktaatan mereka mengakibatkan


mereka langsung diasingkan oleh Allah—yang diwujudkan dalam kema-
tian rohani dan (selanjutnya) kematian fisik. Namun, karena Adam
mewakili seluruh umat manusia di hadapan Allah, tindakan dan keadaan
yang penuh dosa dari manusia pertama ini telah diturunkan ke seluruh
umat manusia selanjutnya (dosa asal, Rm. 5:12-21). Akibatnya, semua
orang pun berdosa dan mampu berbuat jahat (Mzm.51:7; 58:4; Yer.
17:9; Mat. 15:19).
Boleh dikatakan bahwa sebagian besar kejahatan dan penderitaan
yang menghancurkan dunia secara langsung berasal dari kehendak
makhluk hidup itu sendiri. Kebenaran ini menjelaskan banyak hal ten-
tang kejahatan.

Bagaimana dengan Kedaulatan Allah?


Alkitab menyatakan bahwa Allah tidak hanya Pencipta yang tran-
senden dari segala sesuatu (Kej. 1:1), tetapi juga Pemelihara segala
sesuatu (Kis. 17:25-27; Kol. 1:17; Ibr. 1:3). Tidak ada yang terjadi di
luar pimpinan dan kendali Allah yang berdaulat karena Dia “bekerja
menurut keputusan kehendak-Nya” (Ef. 1:11). Bahkan kejahatan,
bencana, dan penderitaan berada di bawah kuasa Allah, yang dengan
unik menopang dan mengendalikan (Kel. 4:11; Yes.45:7; Rat. 3:38).
Namun, sementara Alkitab mengungkapkan kedaulatan Allah (Ams. 21:1;
Rm. 9:21), Alkitab juga mengungkapkan tanggung jawab moral manusia
atas kesalahan yang dilakukan (Mat. 16:27; Why. 22:12).
Kebenaran-kebenaran yang paradoks ini24 diajarkan di dalam Kitab
Suci, kadang-kadang di ayat yang sama (Luk. 22:22; Kis. 2:23). Alkitab
tidak pernah menjelaskan bagaimana Allah bisa menjadi penyebab dari
semua kejadian dan tindakan, dan juga dengan adil membuat umat
manusia bertanggung jawab atas pilihan dan tindakan mereka. Kedau-
latan Allah dan tanggung jawab manusia merupakan kebenaran yang
selaras, tetapi bagaimana cara kerja Allah, hanya Dia yang tahu. Orang-
orang dalam tradisi Reformed, Augustine akan mengatakan bahwa
jawaban atas misteri besar ini terletak pada hikmat dan kuasa Allah yang
tidak terbatas. Sebagaimana diungkapkan di Kitab Suci, Allah mampu
melakukan segala hal di luar pemahaman manusia biasa (Rm. 9:14-23;
11:30-36)
BAGAIMANA MUNGKIN ALLAH YANG BAIK DAN MAHAKUASA MEMBIARKAN KEJAHATAN TERJADI? 325

Jadi, sementara rencana kosmis Allah diwarnai kejahatan, bencana,


dan penderitaan, Alkitab tidak pernah menunjukkan bahwa Allah sen-
dirilah yang secara langsung melakukan kejahatan itu maupun memaksa
makhluk-makhluk-Nya untuk terlibat dalam kejahatan dan melaku-
kan dosa (Yak. 1:13).25 Dan meskipun kekuasaan pemerintahan Allah
yang berdaulat membuat setiap peristiwa menjadi realitas—bahkan
kejahatan—Kitab Suci menunjukkan bahwa Allah bukanlah pencipta
kejahatan, dan Dia adil dengan membuat makhluk ciptaan-Nya bertang-
gung jawab atas dosa mereka. Pesan yang jelas dari Kitab Suci adalah
bahwa Allah mengarahkan segala sesuatu menuju tujuan akhirnya yang
adil dan benar (Dan. 4:35; Rm. 11:36). Teolog Reformed, Louis Berkhof
berbicara tentang kedaulatan Allah dan realitas dosa:
Keputusan Allah adalah rencana atau tujuan-Nya yang kekal, yang di
dalamnya Dia telah terlebih dahulu menentukan segala sesuatu yang
terjadi . . . Keputusan ini mencakup semua karya Allah dalam penciptaan
dan penebusan, dan juga mencakup tindakan manusia, tanpa menge-
cualikan perbuatan dosa mereka. Namun, sementara keputusan itu
membuka pintu bagi dosa untuk masuk ke dalam dunia, hal itu tidak
berarti Allah patut bertanggung jawab atas perbuatan dosa kita.
Keputusan-Nya berkenaan dengan dosa adalah keputusan yang permi-
sif . . . Namun bisa dikatakan, bahwa keputusan tersebut hanya
menjadikan Allah sebagai pencipta makhluk-makhluk bermoral dengan
kehendak bebas, sedangkan dosa yang mereka timbulkan diciptakan
sendiri oleh mereka. Dosa dipastikan ada melalui keputusan-Nya,
tetapi Allah sendiri tidak berbuat dosa dengan tindakan-Nya. Pada saat
yang sama, harus diakui bahwa masalah tentang hubungan Allah
dengan dosa tetap menjadi misteri yang tidak sepenuhnya dapat kita
pecahkan.26
Kejahatan dan penderitaan di bawah kendali langsung Allah yang
berdaulat, menyebabkan orang bertanya-tanya mengapa Allah membiar-
kan hal-hal mengerikan itu terjadi.

Mengapa Allah Mengizinkan Kejahatan dan Penderitaan Terjadi?


Umat Kristen harus menghindari praduga dan kedangkalan pemi-
kiran mengenai penyebab kejahatan dan penderitaan karena pertanyaan
ini tetap menjadi misteri yang mendalam. Upaya untuk menjelaskan
mengapa ada kejahatan di dunia yang diciptakan oleh Allah yang baik
326 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

disebut teodise (membenarkan jalan Allah). Sementara masih ada banyak


lainnya yang bisa dikatakan mengenai masalah teodisi, tiga hal besar
membahas pertanyaan yang sulit ini.

1. Allah memiliki alasan yang memadai secara moral tetapi belum


sepenuhnya diungkapkan, dalam mengizinkan kejahatan dan
penderitaan terjadi.
Allah meyakinkan umat-Nya bahwa keputusan dan tindakan-Nya
benar dan suci. Kitab Suci banyak sekali menyatakan kesempurnaan
moral Allah dan keadilan-Nya dalam berurusan dengan manusia.
Abraham menyatakan di dalam Kejadian 18:25, “Masakan Hakim
segenap bumi tidak menghukum dengan adil?” Dan pemazmur dalam
Mazmur 89:15 berkata, “Keadilan dan hukum adalah tumpuan takhta-
Mu.” Akan tetapi, sementara Allah memiliki alasan yang dapat dibe-
narkan secara moral untuk semua hal yang dilakukan-Nya, sebagai
Penguasa yang berdaulat atas alam semesta, Dia jarang menjelaskan diri-
Nya kepada makhluk-makhluk ciptaan-Nya.27
Dalam keputusan-Nya, Allah juga tidak tunduk pada kritik manusia
yang terbatas dan tidak sempurna. Bahkan seandainya Allah harus men-
jelaskan tujuan utama-Nya secara mendetail kepada umat manusia,
manusia yang tak lebih dari sekadar makhluk ciptaan, secara realistis
pasti tidak sanggup memahami sepenuhnya cara-cara-Nya yang agung.
Diskusi klasik antara Allah dan Ayub mengenai masalah kejahatan dan
penderitaan kemudian mengungkapkan hikmat Allah yang tidak dapat
dibaca dan pemahaman terbatas Ayub tentang tujuan Sang Pencipta dalam
penciptaan dan penebusan (Ayb. 38:1-11; lih. juga Yes. 55:8-9). Rasul
Paulus berkata:
O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sung-
guh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terse-
lami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan?
Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang
pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus mengganti-
kannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada
Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin. (Rm. 11:
33-36)
BAGAIMANA MUNGKIN ALLAH YANG BAIK DAN MAHAKUASA MEMBIARKAN KEJAHATAN TERJADI? 327

2. Kedaulatan dan kemuliaan Allah akan diperlihatkan melalui


kemenangan-Nya atas kejahatan.
Katekismus Westminster yang lebih singkat28 (pernyataan iman
Reformasi dari tahun 1647) dimulai dengan pertanyaan reflektif: “Apa
tujuan utama manusia?” Jawabannya: “Tujuan utama manusia adalah
untuk memuliakan Allah, dan menikmati kebersamaan dengan-Nya untuk
selama-lamanya.” Semua karya besar Allah (penciptaan dan penebusan)
dimaksudkan untuk menunjukkan kedaulatan dan kemuliaan Allah.
Namun, kemenangan Allah yang terakhir atas kejahatan dan dosa makin
menunjukkan kemuliaan dan kekuasaan-Nya.
Kemenangan ini sudah dimulai dengan kehidupan, kematian, dan
kebangkitan Sang Mesias, Yesus Kristus. Rencana Allah untuk menangani
kejahatan sudah dipersiapkan di dalam penciptaan tetapi dilaksanakan
di dalam penebusan. Iblis dan pasukannya adalah musuh-musuh yang
telah dikalahkan oleh kedatangan Kristus yang pertama sebagai Juru-
selamat (Ibr. 2:14-15), dan semua kejahatan dan dosa manusia akan
dikalahkan untuk selamanya pada kedatangan Kristus yang kedua sebagai
Hakim dan Raja (Why. 21).29 Setelah peristiwa-peristiwa eskatologis
yang dahsyat ini, Allah akan mendatangkan ciptaan baru, yang selamanya
bebas dari kejahatan dan konsekuensi kejahatan.
Wahyu 21:1-3 berbicara tentang Allah yang menciptakan langit dan
bumi baru bersama dengan Kota Suci—Yerusalem Baru. Pada waktu
yang mulia itu, semua dosa, penderitaan, dan kesedihan akan dihapuskan
untuk selamanya. Allah akan membasmi masalah kejahatan. Rasul
Yohanes memberikan sekilas nubuat tentang zaman kekekalan dan kemu-
liaan yang akan datang di dalam kitab Wahyu:
Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut
tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis,
atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu. (Why.
21:4)
3. Tuhan mengizinkan kejahatan dan penderitaan karena keduanya
akan menghasilkan kebaikan yang lebih besar.
Menurut Kitab Suci, kebaikan terbesar bagi umat manusia muncul
dari tindakan kejahatan yang terbesar. Yesus Kristus, yang tak lain adalah
Allah yang menjadi manusia, datang untuk menyatakan kasih Allah
kepada umat manusia. Meskipun Dia sangat kudus dan tak bercacat,
328 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Dia ditolak oleh para pemimpin agama dan politik, difitnah, dihukum,
dan kemudian dipukuli serta dieksekusi sebagai penjahat biasa. Yesus
menderita kesengsaraan karena hukuman mati Romawi—penyaliban.
Namun, Allah telah merencanakan ketidakadilan yang luar biasa ini dari
semula (Kis. 2:22-23). Dari peristiwa kejahatan dan penderitaan yang
mengerikan ini muncullah penebusan ilahi bagi orang-orang berdosa.
Allah membawa kebaikan yang terbesar dari kejahatan terbesar yang
telah terjadi.
Perkataan Augustine menjelaskan demikian, “Sebagaimana yang
diakui bahkan oleh orang kafir, karena Tuhan yang mahaesa memiliki
kekuasaan tertinggi atas segala sesuatu, karena diri-Nya sangat baik,
Dia tidak akan pernah mengizinkan adanya sesuatu yang jahat di antara
karya-karya-Nya. Jika Dia tidak sedemikian mahakuasa dan baik Dia
takkan dapat membawa kebaikan bahkan dari hal yang jahat.”30

Tujuan Allah dengan Adanya Kejahatan dan Penderitaan


Sementara umat Kristen harus berhati-hati dalam mengidentifikasi
tujuan Allah di balik kejadian-kejadian khusus yang berbau ketidakadilan
dan penderitaan, Alkitab memang mengungkapkan wawasan tentang
bagaimana Allah memakai kejahatan dan penderitaan untuk mendatang-
kan kebaikan.

1. Allah dapat memakai kejahatan dan penderitaan untuk menarik


perhatian orang yang tidak percaya dan pada akhirnya menarik
mereka kepada diri-Nya (Zak. 13:7-9; Luk. 13:1-5; Yoh. 9).
Apologet Kristen Walter R. Martin pernah mengatakan bahwa seba-
gian orang tidak akan menengadah sampai mereka jatuh telentang. Keja-
hatan dan penderitaan dapat mengejutkan orang-orang yang hidup
menyimpang dan tidak peduli dengan hal-hal rohani, serta yang kerap
kali berada di luar kontrol diri mereka yang palsu. Dengan cara ini,
masalah-masalah dapat dipakai oleh kasih karunia Allah untuk mem-
bawa seseorang beriman kepada-Nya. C. S. Lewis dengan luwes berkata,
“Allah berbisik kepada kita di dalam kegembiraan kita, berbicara di dalam
hati nurani kita, tetapi berteriak di dalam penderitaan kita. Itulah penge-
ras suara-Nya untuk membangunkan dunia yang tuli.”31
BAGAIMANA MUNGKIN ALLAH YANG BAIK DAN MAHAKUASA MEMBIARKAN KEJAHATAN TERJADI? 329

2. Allah dapat memakai kejahatan dan penderitaan untuk


membangun karakter moral dan spiritual umat-Nya atau untuk
mengungkapkan kedisiplinan seorang ayah (Rm. 5:3; Ibr. 10:36,
12:4-11).
Keberanian hanya dapat ditempa dengan menghadapi ketakutan.
Baja harus dimurnikan dengan api. Agar iman bertumbuh, iman itu harus
kerap diuji dengan ujian kehidupan. Allah lebih memperhatikan karakter
anak-anak-Nya daripada kenyamanan mereka. Oleh karena itu, Allah
memakai kejahatan dan penderitaan untuk memfasilitasi kedewasaan
moral dan spiritual umat percaya. Rasul Paulus, yang mengalami banyak
kejahatan dan penderitaan, menjelaskan hubungan sebab-akibat antara
penderitaan dan karakter, “Kita malah bermegah juga dalam kesengsa-
raan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan kete-
kunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbul-
kan pengharapan” (Rm. 5:3-4).
Seorang ayah duniawi yang penuh kasih mendisiplin anak-anaknya.
Meskipun tidak menyenangkan pada saat itu, kedisiplinan itu krusial
untuk pertumbuhan anak sehingga kelak ia akan menjadi anak yang ber-
tanggung jawab. Allah pun membiarkan kejahatan dan penderitaan
mendisiplin kehidupan anak-anak-Nya. Penulis Ibrani berkata, “Jika
kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti
anak” (Ibr. 12:7). Namun, jaminan yang menenangkan bagi orang Kristen
adalah bahwa Allah tidak membiarkan kejahatan dan penderitaan datang
ke dalam kehidupan umat percaya tanpa menghasilkan kebaikan bagi
orang tersebut. Rasul Paulus menyatakan janji Allah tersebut di dalam
Roma 8:28,
Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu
untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu
bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah
Bagaimanapun, menghadapi kejahatan dan penderitaan tidak pernah
mudah meskipun seseorang tahu bahwa akhirnya Allah-lah yang meme-
gang kendali. Ada beberapa hal praktis yang dapat diingat oleh umat
Kristen selama berada di masa-masa yang sulit.
330 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Jaminan bagi Umat Kristen


Tiga penghiburan penting dapat membantu umat Kristen saat meng-
hadapi kejahatan dan penderitaan. Pertama, umat percaya boleh tahu
bahwa mereka tidak pernah menderita sendirian. Allah mengenal pen-
deritaan karena Allah telah menderita di dalam Kristus. Yesus datang
ke dunia sebagai manusia, menderita bersama umat manusia dan bagi
mereka. Allah sendiri mengalami kejahatan yang menyakitkan dan
buruk. Dari semua agama di dunia, hanya agama Kristen yang mengung-
kapkan Allah yang menderita bersama umat manusia dan bagi umat
manusia! Penderitaan-Nya di dalam kehidupan dan hubungan-Nya di
dunia—dan di atas kayu salib—dapat mengubah penderitaan umat-
Nya.32
Bahkan sekarang Yesus berfungsi sebagai Imam Besar yang agung
yang berdoa syafaat bagi umat percaya selama berbagai ujian kehidupan
dan kesulitan menerpa mereka. Yesus tidak menjauh atau acuh tak acuh
terhadap penderitaan manusia karena Dia telah menderita sebagai manu-
sia sejati. Penulis Ibrani menggambarkan peran Kristus sebagai Imam
Besar yang penuh belas kasihan:
Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melin-
tasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita teguh berpegang
pada pengakuan iman kita. Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah
imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan
kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat
dosa. Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri
takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan
kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya. (Ibr.
4:14-16)
Kedua, Allah memanggil semua anak-Nya untuk menjalani kehidupan
penuh iman (keyakinan dan kepercayaan) dalam kebaikan dan kedaulatan
Allah meskipun kejahatan dan penderitaan hadir di tengah mereka. Kitab
Suci menunjukkan teladan-teladan hebat Abraham, Musa, Ayub, dan
Paulus. Di dalam lirik sebuah lagu terkenal, umat percaya tidak tahu
apa yang akan terjadi di hari esok, tetapi mereka tahu siapa yang meme-
gang hari esok. Iman adalah percaya pada karakter Allah tatkala situasi
terasa menyakitkan dan membingungkan. Orang Kristen dapat memer-
cayai Allah di tengah penderitaan karena mereka mengetahui karakter-
BAGAIMANA MUNGKIN ALLAH YANG BAIK DAN MAHAKUASA MEMBIARKAN KEJAHATAN TERJADI? 331

Nya dan janji-janji-Nya. Rasul Paulus meyakinkan jemaat dengan ber-


tanya dan menjawab pertanyaan yang menyelidik:
Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan
atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan,
atau bahaya, atau pedang? . . . Tetapi dalam semuanya itu kita lebih
daripada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.
(Rm. 8:35,37)
Ketiga, kejahatan dan penderitaan melampaui masalah logis atau
filosofis. Kejahatan dan penderitaan adalah masalah-masalah yang sangat
pribadi dan manusiawi. Ketika orang-orang menghadapi penderitaan,
mereka membutuhkan penghiburan dan ketenteraman hati. Umat Kris-
ten dapat menghadapi kejahatan dan penderitaan dengan cara yang sangat
praktis, yakni dengan menghibur orang-orang yang menderita karena
kejahatan dan dengan meringankan penderitaan orang-orang di sekitar
mereka.
Jawaban kristiani yang historis untuk masalah kejahatan dan pen-
deritaan ditemukan di dalam teladan dan identitas Yesus Kristus. Allah
datang ke dunia menjadi manusia untuk memulihkan penderitaan anak-
anak-Nya, untuk menghibur serta untuk mengajar, dan pada akhirnya
untuk menghancurkan kekuatan kejahatan. Penderitaan Allah di dalam
Kristus menjadi solusi untuk masalah kejahatan yang menerpa manusia.
Pertanyaan-pertanyaan seperti masalah kejahatan (dan pertanyaan
lainnya di dalam buku ini) menyangkut baik orang percaya dan orang
yang tidak percaya. Bagaimana orang Kristen dapat lebih siap untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi topik bab beri-
kutnya.

Pertanyaan Diskusi
1. Mengapa masalah kejahatan menjadi alasan nomor satu untuk
tidak percaya kepada Allah?
2. Mengapa memandang kejahatan sebagai sebuah ilusi merupakan
respons yang lemah?
3. Jika Allah memiliki alasan-alasan yang baik untuk membiarkan
kejahatan, apa alasan-alasan-Nya itu?
4. Bagaimana membedakan antara masalah filosofis kejahatan dan
masalah psikologis kejahatan?
332 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

5. Bagaimana Yesus Kristus menjadi jawaban utama untuk masalah


kejahatan dan penderitaan?

Untuk Studi Lebih Lanjut


A. Masalah filosofis kejahatan dan penderitaan:
Frame, John M. Apologetics to the Glory of God (Phillipsburg, NJ: Presbyterian
and Reformed, 1994). Lihat bab 6-7.
Geisler, Norman L. The Roots of Evil (Grand Rapids: Zondervan, 1978).
Lewis, C. S. The Problem of Pain (New York: Macmillan, 1962).
Nash, Ronald H. Faith and Reason: Searching for a Rational Faith (Grand
Rapids: Zondervan, 1988), lihat bab 13-15.
B. Masalah psikologis kejahatan dan penderitaan:
Plantinga, Alvin C. God, Freedom, and Evil (Grand Rapids: Eerdmans, 1974).
Eareckson Tada, Joni, dan Steve Estes. A Step Further (Grand Rapids: Zon-
dervan, 1978).
Kreeft, Peter. Making Sense Out of Suffering (Ann Arbor, MI: Servant, 1986).
Lewis, C. S. A Grief Observed (London: Faber, 1961) (dicetak kembali, San
Francisco: Harper San Francisco, 2001).
Yancey, Philip. Where Is God When It Hurts?, edisi revisi dan ekspansi (Grand
Rapids: Zondervan, 1997).
BAGAIMANA ORANG KRISTEN HARUS
MEMPERSIAPKAN DIRI UNTUK MEMBERIKAN
PENJELASAN TENTANG IMAN?

Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah
pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap
orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan
yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat.
––1 Petrus 3:15

Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang diba-
ngun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami
menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus.
––2 Korintus 10:5

M emberikan penjelasan tentang iman atau membela kebenaran iman


disebut apologetika (dari bahasa Yunani, apologia). Selama ber-
abad-abad para pemikir Kristen telah terlibat dalam pembelaan rangkap
empat, yang mencakup: (1) memperkenalkan dan menjelaskan per-
nyataan kebenaran inti kekristenan, (2) memberikan bukti positif yang
jelas dan meyakinkan untuk menerima kebenaran Kristen, (3) menjawab
pertanyaan dan keberatan orang-orang mengenai iman, dan (4) mem-
berikan kritik tajam dan sanggahan mengenai sistem pemikiran alternatif
yang tidak kristiani.1
Upaya-upaya apologetis telah memainkan peran penting dalam dua
milenium pertama kekristenan. Para rasul sendiri menggunakan argu-
mentasi yang bijaksana untuk menjaga berita Injil dari penyimpangan
333
334 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

doktrin dari para pengikut Gnostik (1Yoh. 4) dan pengikut agama Yahudi
(Gal. 1) mula-mula, serta filsafat spekulatif dari dunia Yunani-Romawi
(Kis.16-17). Mengingat budaya kita yang pascamodern dan “secara
politik benar,” usaha-usaha apologetis tetap sama pentingnya sekarang
seperti di masa yang lalu.

Mempersiapkan Diri untuk Terlibat dalam Upaya Apologetis


Bagi orang-orang yang ingin terlibat dalam kegiatan yang menarik
dan penting ini, tiga tantangan pribadi di bawah ini akan menghantar
kita pada dialog yang efektif:

1. Menumbuhkan kehidupan pikiran untuk kemuliaan Allah.


“Pikiran adalah hal yang mengerikan untuk dibuang.” Moto United
Negro College Fund menangkap apa yang dipertaruhkan orang Kristen.
Pikiran manusia, yang menjadi bagian dari gambar dan rupa Allah yang
tidak terbatas, kekal, dan bersifat pribadi (Kej. 1:26-27), adalah a for-
tiori (dari bahasa Latin: “dengan kekuatan yang lebih besar,” “lebih-
lebih lagi”) hal yang mengerikan untuk dibuang. Karena jiwa manusia
tetap hidup setelah kematian, mengembangkan kehidupan pikiran untuk
kemuliaan Allah berarti mengambil dimensi yang kekal. Perintah Kitab
Suci agar kita mengasihi Tuhan Allah kita dengan segenap keberadaan
kita (Mat. 22:37) mencakup memakai dan mengembangkan karunia
pikiran yang luar biasa yang Allah berikan.
Kemampuan intelektual manusia mencerminkan status manusia
sebagai puncak penciptaan Allah. Imago Dei (gambar Allah)-lah yang
membedakan manusia dan hewan, dan gambar yang sama inilah yang
membuat kehidupan pikiran menjadi penting. Hanya manusia yang
mengejar, menemukan, dan merenungkan kebenaran logika, matematika,
ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, moralitas, seni, dan pandangan
keagamaan. Hanya manusia yang sadar akan waktu, kebenaran, dan
realitas. Hanya manusia yang mengingat masa lalu, mengakui masa kini,
mengantisipasi masa depan, dan dapat berfilsafat tentang semua itu.
Orang Kristen cenderung menekankan nilai-nilai moral yang dise-
butkan di dalam Alkitab, tetapi kadang-kadang mengabaikan nilai-nilai
positif intelektual yang disebutkan di dalamnya. Umat percaya dipanggil
untuk mencari “kebijaksanaan, pengetahuan, dan pemahaman,” semua
BAGAIMANA ORANG KRISTEN HARUS MEMPERSIAPKAN DIRI UNTUK MEMBERIKAN PEJELASAN TENTANG IMAN? 335

yang berakar di dalam sikap takut akan Tuhan (Ayb. 28:28; 34:4; Mzm.
111:10; Ams. 1:7; 9:10). Kejelian, refleksi, pengujian, dan pembaruan
intelektual, semuanya itu merupakan amanat Alkitab (lih. Kis. 17:11;
Rm. 12:2; 1Kor. 14:29; Kol. 2:8; 1Tes. 5:21). Dari semua orang,
orang Kristen yang memahami arti imago Dei memiliki alasan—dan
motivasi—untuk menilai, mengolah, dan mencari “kehidupan pikiran.”
Dengan kata lain, pencarian yang berakal budi yang dilakukan orang
Kristen benar-benar pencarian tentang Allah yang tidak terbatas dan
kekal yang menciptakan pikiran itu dan segala sesuatu yang lain di
dalam penciptaan.
Sebutan populer untuk kaum apologet adalah “kepala penginjilan.”
Tentu saja hanya pikiran yang disiapkan dengan baik, pikiran yang
didasari kebenaran Kristenlah yang dapat memberikan penjelasan objektif
tentang iman dan memberikan jawaban yang memuaskan ketika orang
yang tidak percaya melontarkan pertanyaan.

2. Memberikan jawaban yang bijaksana dan menawan atas


pertanyaan-pertanyaan orang.
Bertanya dan menjawab pertanyaan merupakan bagian esensial dari
proses pembelajaran yang sehat. Pertanyaan-pertanyaan yang penting
dan tajam mendorong orang untuk mengejar jawaban yang memiliki dasar,
penjelasan, dan dukungan yang sangat baik, karena jawaban seperti itu
benar dan secara logis menarik. Filsuf besar Yunani Socrates mengem-
bangkan cara pendekatan untuk pertanyaan-pertanyaan mendasar yang
disebut sebagai “Metode Socrates.” Socrates mencari keakuratan dalam
mengajukan pertanyaan yang tajam. Ia juga mencari jawaban-jawaban
yang memiliki makna yang dalam dan abadi.
Kekristenan mengklaim memiliki jawaban atas pertanyaan-perta-
nyaan hakiki tentang kehidupan. Apabila orang mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang jujur tentang kebenaran iman, pertanyaan-pertanyaan
itu harus dianggap serius. Pertanyaan-pertanyaan itu layak dipikirkan
dan diperhatikan. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang
iman mereka, orang Kristen terlibat dalam dua tugas penting. Mereka
berpartisipasi aktif dalam penginjilan apologetis (perintah Allah: 1Ptr.
3:15). Mereka juga mengambil kesempatan untuk bertumbuh dalam
pemahaman yang lebih mendalam perihal keyakinan mereka sendiri.
336 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

Pemikir Kristen Augustine (354-430 M) menyebut aktivitas ini sebagai


“iman yang mencari pemahaman.”
Pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan memaksa orang
Kristen untuk meneliti, merenungkan, dan memperluas pemahaman
mereka. Mungkin Allah mengaruniai anak-anak-Nya hak istimewa untuk
memberitakan dan membela Injil (sebagai sarana untuk tujuan-Nya yang
berdaulat) karena penginjilan apologetis sangat bermanfaat bagi mereka.
Ketika menjawab penolakan-penolakan terhadap iman Kristen,
seorang Kristen menemukan pedoman di dalam perintah rasul Petrus
yang cermat. Pemikiran umat Kristen harus didasari dan merupakan
cerminan dari komitmen pribadi kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan
dan Juruselamat. Seorang individu harus dapat berpikir dengan cara
yang konsisten dengan prinsip-prinsip yang ditemukan di dalam
kebenaran yang diungkapkan oleh Allah. Di dalam diskusi dengan
orang-orang non-Kristen, akhirnya argumen apologetis harus menarik
perhatian dan mendukung pernyataan kebenaran Yesus Kristus, terutama
pernyataan-pernyataan-Nya yang unik tentang ketuhanan-Nya.
Alkitab mendesak umat Kristen untuk selalu siap sedia memberikan
penjelasan. Upaya ini membutuhkan telaah dan refleksi yang rajin ter-
hadap pernyataan-pernyataan kebenaran Kristen. Apa yang belum dite-
liti dengan saksama tidak dapat dibela. Bagi orang Kristen, pengem-
bangan dan penggunaan pikiran sangat penting untuk memenuhi amanat
apologetis Allah. Hal ini juga membutuhkan kepercayaan diri dan kebe-
ranian untuk berbicara tentang keyakinan iman, bahkan ketika diha-
dapkan pada ketidakpedulian atau sikap permusuhan. Ketabahan, kebe-
ranian, dan kerendahan hati adalah nilai-nilai positif yang sangat penting
bagi seorang apologet.
Orang Kristen harus selalu menunjukkan sikap lemah lembut dan
hormat. Para apologet harus menahan diri agar tidak tergoda untuk
bertengkar dengan orang lain atau terlibat dalam serangan-serangan ad
hominem (dari bahasa Latin: “terhadap orang”) dan emosional. Seba-
liknya, argumen mereka harus mencerminkan akal sehat dan kehidupan
mereka harus memperlihatkan integritas moral. Orang bukan Kristen
dengan cepat menuding negatif apabila kehidupan umat Kristen tidak
sesuai dengan perkataan mereka. Sungguh kesalahpahaman yang
besar jika orang berpikir bahwa orang Kristen akan menjadi sosok yang
BAGAIMANA ORANG KRISTEN HARUS MEMPERSIAPKAN DIRI UNTUK MEMBERIKAN PEJELASAN TENTANG IMAN? 337

sempurna, tanpa dinodai dengan kemunafikan dan ketidakkonsistenan


di dalam diri mereka (lih. bab 15). Namun, para apologet yang tidak
memisahkan antara argumen mereka dan perbuatan di dalam kehidupan
sehari-hari adalah penginjil-penginjil yang lebih efektif. Argumen dan
kehidupan seseorang diamati oleh orang yang tidak percaya. Integritas
berlaku untuk argumen maupun gaya hidup.

3. Memfokuskan penelitian pada sumber-sumber yang terbaik


untuk mendapatkan jawaban-jawaban alkitabiah yang konsisten,
benar, dan solid.
Untuk menjadi apologet yang efektif pada zaman ini dibutuhkan
persiapan intelektual yang rajin dan bervariasi. Sebagai bagian penting
dari persiapan ini, empat kedisiplinan khusus dapat meningkatkan
kemampuan seseorang untuk mempertahankan iman Kristen:
Pertama, strategi apologetis umat Kristen harus diperkaya dengan
pengetahuan tentang Kitab Suci dan teologi Alkitab yang kuat. Dalam
rangka membela iman, pertama-tama orang harus memiliki pemahaman
yang jelas tentang segala sesuatu yang menyangkut iman. Sangat penting
bagi umat Kristen untuk dilatih (secara profesional atau amatir) dalam
disiplin-disiplin ilmu seperti filsafat, sastra, sejarah, ilmu pengetahuan,
dan hukum, yang akan memakan cukup banyak waktu dan usaha untuk
menguasai doktrin dan teologi. Jika sejak awal kita memutuskan untuk
menggunakan strategi apologetis dan kemudian secara diam-diam
memasukkan teologi, maka pendekatan ini keliru.
Pengetahuan akan kategori-kategori klasik teologi sistematis—Kitab
Suci, Allah, Kristus, dosa, keselamatan, dan sebagainya—dapat mem-
bantu si apologet berpikir tentang kekristenan dengan cara yang logis
dan komprehensif. Pemahaman tentang berbagai cabang teologi (alki-
tabiah, filosofis, dan historis) menyempurnakan dan mendukung bidang
spesialisasi seorang apologet. Meskipun tidak ada yang bisa menguasai
setiap bidang, pemahaman umum yang baik tentang teologi Kristen akan
menyukseskan persiapan apologetis.
Kedua, sarana yang penting dan berguna dalam tugas apologetis,
yang layak mendapat waktu dan perhatian, adalah “berpikir dengan
cara pandang yang luas.” Suatu pandangan dapat didefinisikan sebagai
kerangka konseptual untuk menafsirkan realitas.2 Mengembangkan
338 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN

pandangan melibatkan upaya untuk mengatur keyakinan dasar ke dalam


sistem atau pola yang konsisten sehingga seseorang dapat mengevaluasi
dan menafsirkan realitas dengan benar. Keyakinan-keyakinan itu men-
cakup pandangan seseorang tentang Allah, realitas tertinggi, pengetahuan,
etika, natur manusia, dan jalan hidup manusia. Berpikir dengan cara
pandang yang luas memungkinkan seorang apologet berpikir secara kom-
prehensif tentang berbagai sistem kepercayaan dan mengevaluasi kelo-
gisan sistem-sistem tersebut, kecocokannya dengan kebenaran-kebe-
naran yang sudah teruji, kekuatan penjelas, kesederhanaan, keberadaan
hidup manusia, konsekuensi pragmatis, dan perkiraan-perkiraan yang
diperlukan.
Ketiga, seorang apologet akan mendapat banyak manfaat dari
pengetahuan menyeluruh tentang hukum-hukum logika dan aturan-
aturan resmi tentang argumentasi (mencakup penalaran deduktif, induk-
tif, dan abduktif). Sebuah kajian logika yang cermat dapat membantu
seorang apologet menyusun gagasannya sendiri dan mendeteksi bentuk
penalaran argumen orang lain yang keliru. Menghadapkan seseorang
pada prinsip-prinsip dasar penalaran moral, analogis, hukum, dan ilmiah
akan merombak dan memberi energi pada kehidupan intelektualnya.
Keempat, keterampilan retoris, penggunaan bahasa persuasif, meru-
pakan aset berharga bagi seorang apologet Kristen. Belajar berbicara
dengan jelas, singkat, lembut, dan dengan cara yang tersusun secara logis
akan sangat bermanfaat, terutama ketika berkomunikasi melalui berbagai
media. Mempelajari seni berbicara dan berdebat di depan umum dapat
mengembangkan pemberitaan kebenaran Kristen.

Sebuah Usaha yang Berharga


Allah memanggil umat-Nya untuk menjadi duta-duta iman, dan gereja
membutuhkan pembela-pembela iman yang efektif di setiap zaman dan
generasi. Ketika orang Kristen mengolah pikiran, belajar untuk mem-
berikan respons yang cerdas, dan memfokuskan studi mereka di bidang-
bidang yang sangat penting, maka secara dramatis mereka akan mening-
katkan efektivitas pelayanan apologetisnya. Hal ini berlaku baik bagi
para pemula maupun para ahli apologetis. Meskipun membutuhkan
ketekunan dan refleksi, bidang-bidang ini memperlengkapi umat percaya
untuk membela iman (2Kor. 10:5; 1Ptr. 3:15; Yud. 3) dengan cara mem-
BAGAIMANA ORANG KRISTEN HARUS MEMPERSIAPKAN DIRI UNTUK MEMBERIKAN PEJELASAN TENTANG IMAN? 339

berikan jawaban yang tidak hanya menenteramkan hati, tetapi juga


memuaskan pikiran.

Pertanyaan Diskusi
1. Apakah apologetika itu?
2. Apakah tugas-tugas tertentu yang dicakup oleh kegiatan apolo-
getis?
3. Mengapa orang Kristen harus mengembangkan kehidupan pikiran?
4. Sifat-sifat pribadi apa yang harus menyertai setiap pertemuan apo-
logetis?
5. Mengapa proses tanya-jawab itu begitu penting?

Untuk Studi Lebih Lanjut


Bahnsen, Greg L. Always Ready: Directions For Defending the Faith (Texarkana,
AR: Covenant Media Foundation, 1996).
Boa, Kenneth D., dan Robert M. Bowman Jr. Faith Has Its Reasons: An Inte-
grative Approach to Defending Christianity (Colorado Springs: NavPress,
2001).
Craig, William Lane. Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics
(Wheaton, IL: Crossway, 1994).
Dulles, Avery. A History of Apologetics (Eugene, OR: Wipf and Stock, 199).
Frame, John M. Apologetics to the Glory of God: An Introduction (Phillipsburg,
NJ: Presbyterian and Reformed, 1994).
Nash, Ronald H. Faith and Reason: Searching for a Rational Faith (Grand
Rapids: Zondervan, 1988).
CATATAN

Pendahuluan
1. Untuk pembahasan tentang pandangan apologetis Augustine, lihat karya
Avery Dulles, A History of Apologetics (Eugene, OR: Wipf dan Stock,
1999), 59-69; juga lihat karya Kenneth D. Boa dan Robert M. Bowman Jr,
Faith Has Its Reasons (Colorado Springs: NavPress, 2001), 30-32.

Bab 1: Bagaimana Orang Dapat Mengetahui Bahwa Allah Itu Ada?


1. Pendapat apologet Kristen William Lane Craig tentang keberadaan Allah
adalah penjelasan terbaik untuk realitas kehidupan. Beberapa argumen
saya di dalam bab ini dipengaruhi oleh argumen Craig dalam debatnya
dengan ateis Corey G. Washington. Lihat “The Craig-Washington Debate:
Does God Exist?” (debat, University of Washington, Seattle, WA, 9 Februari
1995), http://www.leaderu.com/offices/billcraig/docs/washdeba-craig1.html
(diakses 7 Mei 2003).
2. Ed L. Miller, God and Reason: An Invitation to Philosophical Theology
(Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1995), 52-54.
3. Untuk mendapatkan penjelasan dan pembelaan tentang kosmologi Big Bang,
lihat karya Hugh Ross, The Creator and the Cosmos: How the Greatest
Scientific Discoveries of the Century Reveal God, edisi ke-3 (Colorado
Springs: NavPress, 2001).
4. Miller, God and Reason, 52. Untuk pembahasan ilmiah yang rinci tentang
topik ini, lihat karya John D. Barrow dan Frank J. Tipler, The Anthropic
Cosmological Principle (New York: Oxford University Press, 1986), 166-
173, 401-403.
5. Gottfried Wilhelm Leibniz, The Principles of Nature and of Grace, Based
on Reason, di dalam Philosophic Classics: Bacon to Kant, editor Walter
Kaufmann (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1961), bagian 7, 256.

341
342 CATATAN

6. Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli, Handbook of Christian Apologetics:


Hundreds of Answers to Crucial Questions (Downers Grove, IL: InterVarsity,
1994), 58. Untuk pembahasan tentang argumen kosmologis Kalam, lihat
karya Moreland, Scaling the Secular City, 18-42; dan William Lane Craig,
The Existence of God and the Beginning of the Universe (San Bernardino,
CA: Here’s Life, 1979).
7. Lihat karya Dean C. Halverson, edisi umum, The Compact Guide to World
Religions (Minneapolis: Bethany, 1996).
8. Terry L. Miethe dan Gary R. Habermas, Why Believe? God Exists! Re-
thinking the Case for God and Christianity (Joplin, MO: College Press,
1993), 74.
9. Ross, The Creator and the Cosmos, 171–74.
10. Untuk mempertimbangkan koherensi pandangan-pandangan Timur tertentu
mengenai Allah, lihat karya Richard Purtill, Thinking about Religion: A
Philosophical Introduction to Religion (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall,
1978), 95–109; dan Mortimer J. Adler, Truth in Religion: The Plurality of
Religions and the Unity of Truth (New York: Macmillan, 1990), 69-92.
11. Untuk pembahasan tentang prinsip antropik, lihat karya Patrick Glynn,
God, The Evidence: The Reconciliation of Faith and Reason in a Postsecular
World (Rocklin, CA: Prima, 1997), 21-55; dan Ross, The Creator and the
Cosmos, 145-167.
12. Untuk angka-angka probabilitas penyempurnaan yang diperlukan bagi
kehidupan di alam semesta, lihat lampiran-lampiran A, B, dan C dalam
Hugh Ross, Kenneth Samples, dan Mark Clark, Lights in the Sky and
Little Green Men: A Rational Christian Look at UFOs and Extraterrestrials
(Colorado Springs: NavPress, 2002).
13. Richard Taylor, Metaphysics, edisi ke-4 (Englewood Cliffs, NJ: Prentice
Hall, 1974), 110-116.
14. Moreland, Scaling the Secular City, 80-82.
15. Ibid., bab 3.
16. Kenneth Richard Samples, “Augustine of Hippo: Rightly Dividing the Truth,”
poin 2 Facts For Faith, no. 6 (Triwulan II, 2001): 34-39, http://www.
augustinefellowship.org (diakses 1 Juni 2003).
17. Mengenai hukum logika, lihat karya Peter A. Angeles, The HarperCollins
Dictionary of Philosophy, edisi ke-2 (New York: HarperCollins, 1992), di
bawah entri “laws of thought, the three;” dan Ronald H. Nash, Life’s
Ultimate Questions: An Introduction to Philosophy (Grand Rapids:
Zondervan, 1999), 193-208.
CATATAN 343

18. Lihat catatan ceramah oleh Alvin Plantinga, “Two Dozen (or So) Theistic
Arguments,” tersedia di http://www.homestead.com/philofreligion/files/The
isticarguments.html (diakses 23 April 2003).
19. Untuk pembahasan tentang argumen moral, lihat karya Miller, God and
Reason, 89-106; dan C. S. Lewis, The Abolition of Man (New York:
Macmillan, 1955).
20. Untuk penilaian kristiani tentang eksistensialisme, lihat karya C. Stephen
Evans, Existentialism: The Philosophy of Despair and the Quest for Hope
(Grand Rapids: Zondervan, 1984).
21. C. S. Lewis, Mere Christianity (New York: Macmillan, 1952), 45-46.
22. Lihat karya Ron Rhodes, Christ before the Manger: The Life and Times of
the Preincarnate Christ (Grand Rapids: Baker, 1992), 233-237; dan Josh
McDowell, Evidence that Demands a Verdict: Historical Evidences for the
Christian Faith (San Bernardino, CA: Here’s Life, 1979), 141-177.
23. Untuk pembelaan tentang mukjizat dari perspektif kristiani, lihat karya
Douglas Geivett dan Gary R. Habermas, eds., In Defense of Miracles: A
Comprehensive Case for God’s Action in History (Downers Grove, IL:
InterVarsity, 1997).

Bab 2: Bagaimana Saya Dapat Memercayai Allah yang Tidak Dapat Saya Lihat?
1. J. P. Moreland, Scaling the Secular City: A Defense of Christianity (Grand
Rapids: Baker, 1987), 226-228. Moreland menyajikan enam argumen yang
berbeda untuk menolak kritik visibilitas tentang Allah. Empat dari argumen-
argumennya dipakai di dalam bab ini.
2. Untuk pembahasan pendahuluan tentang empirisme sebagai teori epis-
temologis, lihat karya Ed L. Miller, Questions That Matter: An Invitation
to Philosophy, edisi ke-4 (New York: McGraw-Hill, 1996), 233-258.
3. Moreland, Scaling the Secular City, 226.
4. Dikutip oleh teis Kristen William Lane Craig dalam debat dengan ateis
Michael Tooley tentang keberadaan Allah. Lihat “A Classic Debate on the
Existence of God” (debat, University of Colorado, Boulder, CO, Novem-
ber 1994), http://www.leaderu.com/offices/billcraig/docs/craig-tooley0.html
(diakses 12 Januari 2003).
5. Upaya untuk mereduksi pikiran menjadi keadaan otak saja, menghasilkan
suatu bentuk determinisme fisik, sebuah teori absud yang mereferensi diri
sendiri (lih. karya Moreland, Scaling the Secular City, 77-103).
344 CATATAN

6. Untuk pembahasan yang jelas dan mendalam tentang hukum formal logika,
baca karya Ronald H. Nash, The Word of God and the Mind of Man: The
Crisis of Revealed Truth in Contemporary Theology (Grand Rapids:
Zondervan, 1982), 103-112; dan Miller, Questions That Matter, 31-54.
7. Teis Kristen Greg Bahnsen membuat poin ini dalam debatnya yang dire-
kam dengan ateis, Edward Tabash (lih. Covenant Media Foundation, 4425
Jefferson Ave., Texarkana, AR 71854).
8. Greg L. Bahnsen, Always Ready: Directions for Defending the Faith, editor
Robert R. Booth (Texarkana, AR: Covenant Media Foundation, 1996), 188.
9. Untuk mendapatkan ringkasan dari masalah-masalah yang terkait dengan
pandangan naturalistis, lihat karya Ronald H. Nash, Worldviews in Con-
flict: Choosing Christianity in the World of Ideas (Grand Rapids: Zondervan,
1992), 116-129. Untuk melihat kritik filosofis yang rinci tentang natural-
isme dari perspektif teistis, baca karya William Lane Craig and J. P.
Moreland, editor, Naturalism: A Critical Analysis (London: Routledge,
2000).
10. Hugh Ross, The Creator and the Cosmos: How the Greatest Scientific
Discoveries of the Century Reveal God, edisi ke-3 (Colorado Springs:
NavPress, 2001).
11. Moreland, Scaling the Secular City, 227.
12. Richard Swinburne, Is There a God? (Oxford: Oxford University Press,
1996), 2. Untuk pembahasan filosofis tingkat tinggi tentang bagaimana
Allah berfungsi sebagai penjelasan yang memadai bagi realitas, lihat karya
Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford: Clarendon, 1979).
13. Craig Blomberg, The Historical Reliability of the Gospels (Downers Grove,
IL: InterVarsity, 1989), 11.
14. C. S. Lewis, The Joyful Christian (New York: Macmillan, 1977), 51.

Bab 3: Bagaimana Allah Menyatakan Diri-Nya?


1. Millard J. Erickson, Christian Theology (Grand Rapids: Baker, 1998), 178.
2. Ibid., 178-199.
3. Bruce A. Demarest, “Revelation, General,” dalam Evangelical Dictionary
of Theology, editor Walter A. Elwell (Grand Rapids: Baker, 1984), 944-
145.
4. Ayat-ayat tentang wahyu umum: “alam” (Ayb. 36:25; 38:1-39:30; Mzm.
19:2-5; 104:1-35; 148:1-14; Kis. 14:15-17; 17:24-31), “sejarah” (Ayb.
12:23; Mzm. 47:8-9, 66:7; Yes. 10:5-13; Dan. 2:21; Kis. 17:26), “hati
nurani” (Kej. 1:26-27; Yoh. 1:9; Rm. 2:11-16).
CATATAN 345

5. Ayat-ayat tentang wahyu khusus: di antaranya: Yohanes 20:31; 2 Timotius


3:15-17; Ibrani 1:1-4.
6. Teolog sekaligus apologet Kristen Robert M. Bowman Jr., menyarankan
cara yang sedikit berbeda tapi perseptif untuk menganalisis wahyu khusus.
Melalui korespondensi pribadi pada tahun 2000 dengan penulis, ia berkata,
“Saya menyarankan untuk berbicara tentang wahyu khusus sebagai wahyu
yang mengambil dua bentuk. Bentuk pertama, sebagai Firman yang hidup,
yang bertindak untuk kepentingan Israel dalam PL dan menjelma dalam
diri Yesus Kristus. Bentuk kedua, sebagai Firman yang lisan, yang disam-
paikan melalui para nabi dan rasul dan ditulis di dalam Kitab Suci.”
7. Carl F. H. Henry, “Revelation, Special,” dalam Evangelical Dictionary of
Theology (lih. catatan 3), 946.
8. Robert Saucy menyampaikan informasi ini dalam perbincangan pribadi
dengan penulis (La Mirada, CA, 1999).
9. Pengakuan Iman Belgia (psl. 2), dalam Ecumenical Creeds and Reformed
Confessions (Grand Rapids: CRC Publications, 1988), 79.
10. Demarest, “Revelation, General,” 945.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.
14. Ibid.
15. Erickson, Christian Theology, 191-194.
16. Demarest, “Revelation, General,” 945.
17. John Jefferson Davis, Handbook of Basic Bible Texts (Grand Rapids:
Zondervan, 1984), 22.
18. Erickson, Christian Theology, 198-199.
19. John Calvin, Institutes of the Christian Religion 1.3.1, editor John T.
McNeill, diterjemahkan Ford Lewis Battles, Library of Christian Classics
(Philadelphia: Westminster Press, 1960), 1:43.
20. Richard A. Muller, Dictionary of Latin and Greek Theological Terms
(Grand Rapids: Baker, 1985), di bawah entri “sensus divinitatis.”
21. Filsuf Kristen kontemporer Alvin Plantinga telah menyajikan sebuah
argumen filosofis yang dibuat berdasarkan pandangan Calvin. Ia menyam-
paikan ceramah tentang topik ini di Biola University, La Miranda, CA, 26
Februari 1999.
346 CATATAN

22. John Frame, Apologetics to the Glory of God (Phillipsburg, NJ: Presbyte-
rian and Reformed, 1994), 22-26.
23. Ilmu penafsiran Alkitab dinamakan hermeneutika. Untuk teks hermeneu-
tika yang populer, lihat karya R. C. Sproul, Knowing Scripture (Downers
Grove, IL: InterVarsity Press, 1977); untuk karya yang bersifat lebih tek-
nis lihat karya Bernard Ramm, Protestant Biblical Interpretation (Grand
Rapids: Baker, 1970).
24. Untuk mendapatkan pembahasan tentang pembelaan terhadap prinsip
Protestan, Sola Scriptura, lihat karya Kenneth R. Samples, “Does the Bible
Teach Sola Scriptura?,” Christian Research Journal (Musim Gugur 1989):
31; lihat juga karya Kenneth R. Samples, dalam dialog Katolik/Protestan
dengan Fr. Mitchell Pacwa berkenaan dengan pertanyaan tentang otoritas
keagamaan (kaset audio bisa didapat melalui St. Joseph Communications,
Inc., P. O. Box 720, W. Covina, CA 91793, 1-818-331-3549).
25. Sifat dan jangkauan yang tepat dari wahyu umum diperdebatkan di kalangan
teolog Kristen. Sebagian orang menyatakan bahwa wahyu umum ini identik
dengan seluruh fakta dunia atau alam. Sebagian yang lain membedakan
fakta alam dari kebenaran wahyu umum (yaitu, keberadaan dan atribut-
atribut Allah, serta tanggung jawab moral manusia kepada Allah).
26. Robert Saucy menyatakan bahwa wahyu umum memberikan data yang
kemudian harus dihimpun dalam proposisi logis (ditafsirkan), sedangkan
wahyu khusus datang langsung sebagai proposisi logis (sebagai interpretasi
yang diinspirasikan).
27. Henry, “Revelation, Special,” 946.

Bab 4: Bukankah Kredo Itu Bagian Masa Lalu?


1. Alister E. McGrath, I Believe: Understanding and Applying the Apostles’
Creed (Grand Rapids: Zondervan, 1991), 10. Bagi orang-orang yang tidak
terbiasa dengan kredo-kredo Kristen, buku McGrath adalah pengenalan
yang sangat baik tentang topik tersebut, khususnya tentang Pengakuan
Iman Rasuli. Beberapa poin McGrath yang perseptif tercermin di dalam
bab ini.
2. Sebuah penggarapan yang rinci dan ilmiah dari kredo-kredo ini dapat
ditemukan di buku J. N. D. Kelly, Early Christian Creeds (London: Harlow,
1972). Berbagai artikel informatif tentang kredo-kredo ini dapat ditemu-
kan di New Dictionary of Theology, editor Sinclair B. Ferguson, J. I. Packer,
dan David F. Wright (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1988); Evangelical
Dictionary of Theology, edisi ke-2, editor Walter A. Elwell (Grand Rapids:
CATATAN 347

Baker, 2001); dan The Dictionary of Historical Theology, editor Trevor A.


Hart (Grand Rapids: Eerdmans, 2000).
3. Geoffrey W. Bromiley, “Creed, Creeds,” dalam Evangelical Dictionary of
Theology, editor Walter A. Elwell (Grand Rapids: Baker, 1984), 283-284.
4. Tidak semua penggunaan kata “Tuhan” yang ditujukan kepada Yesus
menyatakan secara tak langsung tentang Allah, tetapi konteks empat refe-
rensi Kitab Suci yang dikutip di atas jelas menggunakannya. Lihat karya F.
F. Bruce, Jesus: Lord and Savior (Downers Grove, IL: InterVarsity Press,
1986), 203.
5. O. Guy Oliver, Jr., “Apostles’ Creed,” dalam Evangelical Dictionary of
Theology (lih. catatan 3), 72-73.
6. Lihat karya Robert M. Bowman Jr., Orthodoxy and Heresy: A Biblical
Guide to Doctrinal Discernment (Grand Rapids: Baker, 1992), 65-66.
7. McGrath, I Believe, 15.
8. Ibid., 14.
9. Colin Duriez, ed., The C. S. Lewis Encyclopedia: A Complete Guide to
His Life, Thought, and Writings (Edison, NJ: Inspiration Press, 2000), di
bawah entri “chronological snobbery,” 45.
10. Ecumenical Creeds and Reformed Confessions (Grand Rapids: CRC Publi-
cations, 1988), 7.
11. Ibid., 8.
12. Ibid., 9-10.
13. Alister E. McGrath, Introduction to Christianity (Cambridge, MA:
Blackwell, 1997), 131-132.

Bab 5: Bagaimana Allah Bisa Menjadi Tiga dan Satu?


1. Should You Believe in the Trinity? (Brooklyn: Watchtower Bible and Tract
Society, 1989), 31.
2. The Koran, diterjemahkan N. J. Dawood (New York: Penguin, 1993), 87,
Surah 5:70.
3. Thomas Jefferson kepada Timothy Pickering, 27 Februari 1821, dalam
The Writings of Thomas Jefferson, vol. 15, editor Albert Ellery Bergh
(Washington, D.C.: Thomas Jefferson Memorial Association, 1907), 323.
4. Kredo Athanasius, dalam Ecumenical Creeds and Reformed Confessions
(Grand Rapids: CRC Publications, 1988), 9-10.
348 CATATAN

5. Untuk pembahasan tentang sifat-sifat Allah, lihat karya John Jefferson


Davis, Handbook of Basic Bible Texts (Grand Rapids: Zondervan, 1984),
23-39; Louis Berkhof, Systematic Theology, edisi baru (aslinya diterbitkan
dalam dua jilid, 1932 dan 1938; Grand Rapids: Eerdmans, 1996), 29-81;
dan Wayne Grudem, Systematic Theology (Grand Rapids: Zondervan,
1994), 156-225.
6. Poin-poin ini dipengaruhi oleh Robert M. Bowman Jr., Why You Should
Believe in the Trinity (Grand Rapids: Baker, 1989); Millard J. Erickson,
Christian Theology (Grand Rapids: Baker, 1998), 321-142; Richard A.
Muller, Dictionary of Latin and Greek Theological Terms (Grand Rapids:
Baker, 1985), di bawah entri “trinity,” 306-310; dan Wayne Grudem,
Systematic Theology, 226-261.
7. Tertullianus, “On Modesty,” bab 21, Tertullian, Part Fourth; Minucius
Felix; Commodian; Origen, Parts First and Second, jilid 4 dari Ante-Nicene
Fathers, editor Alexander Roberts dan James Donaldson (1885; repr.,
Peabody, MA: Hendrickson, 1994), 9.
8. Lihat karya Robert M. Bowman Jr., “The Biblical Basis of the Doctrine of
the Trinity: An Outline Study” (Pasadena, CA: Apologetics.com, 2002),
http://www.apologetics.com/default.jsp?bodycontent=/articles/doctrinal_
apologetics/bowman-trinity.html (diakses 13 Juni, 2003).
9. Alister E. McGrath, Introduction to Christianity (Cambridge, MA:
Blackwell, 1997), 193-194.
10. Ron Rhodes, Christ before the Manger: The Life and Times of the
Preincarnate Christ (Grand Rapids: Baker, 1999), 19-34.
11. Gerald Bray, The Doctrine of God (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1993),
138-151.
12. D.A. Carson, “Matthew,” dalam The Expositor’s Bible Commentary, edisi
umum, Frank E. Gaebelein (Grand Rapids: Zondervan, 1984), 8:597-598;
Erickson, Christian Theology, 329.
13. Carson, “Matthew,” 598; Bray, Doctrine of God, 146.
14. Erickson, Christian Theology, 332.
15. Lihat kritik Injil dari sebuah bentuk kontemporer Arianisme dalam karya
Robert M. Bowman Jr., Jehovah’s Witnesses (Grand Rapids: Zondervan,
1995), 20-30.
16. Lihat kritik Injil dari sebuah bentuk kontemporer modalisme dalam karya
Gregory A. Boyd, Oneness Pentecostals and the Trinity (Grand Rapids:
Baker, 1992).
CATATAN 349

17. Lihat kritik Injil dari sebuah bentuk kontemporer politeisme dalam karya
Kurt Van Gorden, Mormonism (Grand Rapids: Zondervan, 1995), 31-47.
18. Lihat kritik Injil tentang Unitarianisme dalam karya Alan W. Gomes, Uni-
tarian Universalism (Grand Rapids: Zondervan, 1998).
19. Bowman, Why You Should Believe in the Trinity, 16-17.
20. C. S. Lewis, Mere Christianity (New York: Simon & Schuster, 1952), 145.
21. Untuk pembahasan yang jelas dan luas tentang hukum formal logika, lihat
karya Ronald H. Nash, The Word of God and the Mind of Man (Grand
Rapids: Zondervan, 1982), 103-112; dan Ed L. Miller, Questions That
Matter, edisi ke-4 (New York: McGraw-Hill, 1996), 32-33.
22. Lihat pembahasan Thomas D. Senor yang sangat membantu tentang
perbedaan filosofis ini dalam Reason for the Hope Within, editor Michael
J. Murray (Grand Rapids: Eerdmans, 1999), 239-240.
23. Geoffrey W. Bromiley, “Trinity,” dalam Evangelical Dictionary of Theo-
logy, editor Walter A. Elwell (Grand Rapids: Baker, 1984), 1112.
24. Bruce Milne, Know The Truth (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1982),
62.
25. Norman L. Geisler, “Trinity,” dalam Baker Encyclopedia of Christian
Apologetics (Grand Rapids: Baker, 1999), 736.
26. Kredo Athanasius dalam Ecumenical Creeds, 9-10.

Bab 6: Mengapa Saya Harus Bertaruh tentang Iman?


1. Artikel-artikel pendahuluan yang baik tentang kehidupan dan pemikiran
Pascal ditemukan di The New Encyclopaedia Britannica (Chicago: Ency-
clopaedia Britannica, 1986), di bawah entri “Pascal,” 25:452-254; dan The
Cambridge Dictionary of Philosophy, editor Robert Audi (Cambridge:
Cambridge University Press, 1995), di bawah entri “Blaise Pascal,” 562-
563.
2. Sebuah analisis yang sangat baik tentang prestasi matematika dan ilmiah
Pascal dapat ditemukan di dalam dua artikel Richard H. Popkin dalam
The Encyclopedia of Philosophy, editor Paul Edwards (New York: Mac-
millan, 1972), di bawah entri “Blaise Pascal,” 6:51-55; dan Great Thinkers
of the Western World, editor Ian P. McGreal (New York: Harper Collins,
1992), di bawah entri “Blaise Pascal,” 209-212.
3. Dua karya yang sangat baik oleh filsuf-filsuf Kristen kontemporer yang
telah mengambil tema-tema Pascal dan mengembangkannya ke dalam
sebuah buku tentang apologetis adalah Thomas V. Morris, Making Sense
of It All: Pascal and the Meaning of Life (Grand Rapids: Eerdmans, 1992);
350 CATATAN

dan Peter Kreeft, Christianity for Modern Pagans: Pascal’s Pensées; Edited,
Outlined and Explained (San Francisco: Ignatius, 1993).
4. Frederick Copleston, A History of Philosophy (New York: Image Books-
Doubleday, 1994), 4:154-155.
5. Cambridge Dictionary of Philosophy, bagian 4, 562.
6. Great Thinkers of the Western World, 210.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Kreeft, Christianity for Modern Pagans, 9.
11. Blaise Pascal, “The Memorial,” Pensées, edisi revisi, diterjemahkan A. J.
Krailsheimer (New York: Penguin, 1995), 285-286.
12. Copleston, History of Philosophy, 4:155.
13. Ibid.
14. Morris, Making Sense of It All, 2.
15. Pascal, Pensées, 131/434. Pensées telah diterjemahkan ke dalam dua versi
dasar. Edisi dari kedua versi itu telah tersedia.
16. Ibid., 192/527.
17. Ibid., 417/548.
18. Fideisme dapat didefinisikan dalam istilah yang lebih positif sebagai pan-
dangan yang mengakui batasan penalaran manusia dan menekankan pen-
tingnya iman. Jika Pascal seorang fideis, maka fideismenya cukup mode-
rat dan seimbang. Lihat karya William J. Wainwright, Philosophy of Reli-
gion (Belmont, CA: Wadsworth, 1988), 132-136; C. Stephen Evans, Faith
Beyond Reason: A Kierkegaardian Account, Reason and Religion (Grand
Rapids: Eerdmans, 1998), 49-52; dan Kenneth D. Boa dan Robert M.
Bowman Jr., Faith Has Its Reasons: An Integrative Approach to Defending
Christianity (Colorado Springs: NavPress, 2001), 367-370.
19. Pascal, Pensées, 12/187.
20. Ibid., 377/280.
21. Wainwright, Philosophy of Religion, 132-133.
22. Pascal, Pensées, 423/277.
23. Ibid., 424/278.
24. Copleston, History of Philosophy, 4:165.
25. Ibid., 165-66.
CATATAN 351

26. Keith Devlin, Goodbye Descartes: The End of Logic and the Search for a
New Cosmology of the Mind (New York: John Wiley, 1997), 183.
27. Untuk mendapatkan analisis yang sangat baik tentang kekuatan dan kele-
mahan dari Pascal’s Wager, lihat karya Stephen T. Davis, God, Reason and
Theistic Proofs (Grand Rapids: Eerdmans, 1997), 156-166.
28. Pascal, Pensées, 429/229.
29. Ibid., 418/233.
30. Ibid.
31. Copleston, History of Philosophy, 4:169-171.
32. Ibid., 156.
33. Untuk pertukaran filosofis yang menarik antara seorang ateis dan seorang
Kristen mengenai taruhan Pascal, lihat karya Alan Carter, “On Pascal’s
Wager; Or Why All Bets Are Off,” Philosophia Christi, seri 2, 3 (2001):
511-516; Douglas Groothuis, “Are All Bets Off? A Defense of Pascal’s Wager,”
Philosophia Christi (2001): 517-523; Alan Carter, “Is the Wager Back On?
A Response to Douglas Groothuis,” Philosophia Christi (2002): 493-500;
dan Douglas Groothuis, “An Unwarranted Farewell to Pascal’s Wager: A
Reply to Alan Carter,” Philosophia Christi (2002): 501-508.
34. Morris, Making Sense of It All, 119.
35. Davis, God, Reason and Theistic Proofs, 164-166.

Bab 7: Apakah Kisah-kisah di dalam Injil tentang Kehidupan Yesus Dapat


Dipercaya?
1. Keenam argumen saya dipengaruhi oleh ringkasan apologetis yang sangat
bagus dari Gary R. Habermas tentang sifat PB yang dapat dipercaya, dalam
karya Gary R. Habermas, The Historical Jesus: Ancient Evidence for the
Life of Christ (Joplin, MO: College Press, 1996), 275-279.
2. J. P. Moreland, Scaling the Secular City: A Defense of Christianity (Grand
Rapids: Baker, 1987), 135.
3. Habermas, Historical Jesus, 54-56.
4. Bruce Manning Metzger, The Text of the New Testament: Its Transmission,
Corruption, and Restoration, edisi ke-2 (New York: Oxford, 1968), 36.
Buku Metzger berisi informasi yang sangat kaya tentang teks PB.
5. Ibid., 67-86.
6. Ibid., 86-92.
7. Habermas, Historical Jesus, 54.
352 CATATAN

8. Moreland, Scaling the Secular City, 135.


9. Habermas, Historical Jesus, 55.
10. Metzger, Text of the New Testament, 38–39.
11. Ibid., 39.
12. Ibid.
13. Ibid.
14. Ibid., 39-42.
15. Ibid., 37-38.
16. Ibid., 42-51.
17. Ibid.; Norman Geisler, Christian Apologetics (Grand Rapids: Baker, 1976),
306.
18. Metzger, Text of the New Testament, 42-61.
19. Sir Frederic Kenyon, The Bible and Archaeology (New York: Harper &
Brothers, 1940), 288-289.
20. Habermas, Historical Jesus, 187-228; Geisler, Christian Apologetics, 322-
325; R. T. France, The Evidence for Jesus (Downers Grove, IL: InterVarsity,
1986), 19-58.
21. Ibid.
22. Lihat karya Edwin M. Yamauchi, “Jesus Outside the New Testament: What
Is the Evidence?” dalam Jesus Under Fire, edisi umum., Michael J. Wilkins
dan J. P. Moreland (Grand Rapids: Zondervan, 1995), 207-222.
23. Lihat karya Donald Guthrie, New Testament Introduction (Downers Grove,
IL: InterVarsity, 1986), 33-44, 69-72, 98-109, 241-271; Bruce, New Testa-
ment Documents, 29-61; Craig L. Blomberg, “Where Do We Start Study-
ing Jesus?” dalam Jesus Under Fire, 28-30.
24. Guthrie, New Testament Introduction, 33-44; Leon Morris, The Gospel
According to Matthew (Grand Rapids: Eerdmans, 1992), 12-15.
25. Guthrie, New Testament Introduction, 69-72.
26. Guthrie, New Testament Introduction, 69; Bruce, New Testament Docu-
ments, 36–37.
27. Bruce, New Testament Documents, 36.
28. Guthrie, New Testament Introduction, 98-115.
29. Bruce, New Testament Documents, 42-44.
30. Guthrie, New Testament Introduction, 241-271; Bruce, New Testament
Documents, 49-55.
CATATAN 353

31. Lihat laporan Guthrie tentang kepengarangan keempat Injil (seperti diku-
tip di atas).
32. Lihat karya Craig L. Blomberg, “The Historical Reliability of the New
Testament” dalam William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth
and Apologetics (Wheaton, IL: Crossway, 1994), 214-221.
33. Moreland, Scaling the Secular City, 151-154; Norman L. Geisler, “New
Testament, Dating of,” Baker Encyclopedia of Christian Apologetics (Grand
Rapids: Baker, 1999), 528.
34. Craig Blomberg, The Historical Reliability of the Gospels (Downers Grove,
IL: InterVarsity, 1987), 18.
35. Richard Purtill, Thinking about Religion (Englewood Cliffs, NJ: Prentice
Hall, 1978), 81-93.
36. A.N. Sherwin-White, Roman Society and Roman Law in the New Testa-
ment (Grand Rapids: Baker, 1978), 186-193.
37. Lihat Craig, Reasonable Faith, 284-285.
38. Bruce, New Testament Documents, 45-46.
39. Blomberg, Historical Reliability of the Gospels, 81-84.
40. Peter Kreeft, Between Heaven and Hell (Downers Grove, IL: InterVarsity,
1982), 74.

Bab 8: Apakah Yesus itu Manusia, Mitos, Orang Gila, Ancaman, Mistik,
Penghuni Mars, atau Mesias?
1. John Hick, “A Pluralist View” dalam More Than One Way? Four Views on
Salvation in a Pluralistic World, editor Dennis L. Okholm dan Timothy
R. Phillips (Grand Rapids: Zondervan, 1995), 54-55.
2. John R. W. Stott, Basic Christianity (Downers Grove, IL: InterVarsity,
1980), 21-34. Beberapa pernyataan deskriptif Scott tentang Yesus (con-
toh, lih. hal. 27) telah diketengahkan di dalam karya ini dan analisisnya
yang alkitabiah telah diperluas.
3. D. A. Carson, The Gospel According to John (Grand Rapids: Eerdmans,
1991), 358.
4. Ibid., 394-395.
5. Lihat Stott, Basic Christianity, 29-32.
6. Lihat Robert L. Reymond, Jesus, Divine Messiah: The New Testament
Witness (Phillipsburg, NJ: Presbyterian and Reformed, 1990).
7. Louis P. Pojman, Philosophy: The Quest for Truth, edisi ke-5 (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 34-37.
354 CATATAN

8. Dua buku yang sangat bagus, yang umumnya mengambil pendekatan abduk-
tif terhadap pembunuhan Presiden Kennedy adalah karya William Man-
chester, The Death of a President (New York: Harper & Row, 1967); dan
Gerald Posner, Case Closed (New York: Random House, 1993).
9. Pojman, Philosophy, 36. Lihat juga tes-tes logis saya untuk pandangan-
pandangan dalam buku Hugh Ross, Kenneth Samples, dan Mark Clark,
Lights in the Sky and Little Green Men (Colorado Springs, CO: NavPress,
2002), 156-158.
10. T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning, edisi ke-4 (Belmont, CA:
Wadsworth, 2001), 115.
11. Lihat karya Josh McDowell, Evidence that Demands a Verdict: Historical
Evidences for the Christian Faith (San Bernardino, CA: Here’s Life, 1979),
103-109. Dalam pembelaan McDowell, ia menyampaikan kemungkinan
alternatif-alternatif lain di bagian-bagian lain dalam buku tersebut.
12. A. N. Sherwin-White, Roman Society and Roman Law in the New Testa-
ment (Grand Rapids: Baker, 1978), 186-193.
13. Lihat bab 7 di dalam buku ini; lihat juga buku Gary R. Habermas, The
Historical Jesus: Ancient Evidence for the Life of Christ (Joplin, MO:
College Press, 1996), 107-114.
14. John Warwick Montgomery, History and Christianity (Minneapolis:
Bethany, 1965), 66-72.
15. R.T. France, The Evidence for Jesus (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1986),
19-58; Habermas, Historical Jesus, 187-228.
16. Stott, Basic Christianity, 23-26.
17. C.S. Lewis, Mere Christianity (New York: Macmillan, 1952), 55-56.
18. Montgomery, History and Christianity, 62-63.
19. Ronald H. Nash, Worldviews in Conflict (Grand Rapids: Zondervan, 1992),
153.
20. Montgomery, History and Christianity, 64.
21. Untuk penilaian tentang Bapa, lihat buku Walter Martin, The Kingdom of
the Cults (Minneapolis: Bethany, 1977), 213-21. Untuk penilaian tentang
David Koresh, lihat buku Kenneth Samples, et al., Prophets of the Apoca-
lypse: David Koresh and Other American Messiahs (Grand Rapids: Baker,
1994). Untuk penilaian tentang Jim Jones, lihat rekaman Walter Martin
“Jonestown, the Death of a Cult,” tersedia di http: //waltermartin.org.
22. Huston Smith, The World’s Religions: Our Great Wisdom Traditions (San
Francisco: Harper-Collins, 1991), 143-144.
CATATAN 355

23. Ibid.
24. James T. Fisher dan Lowell S. Hawley, A Few Buttons Missing (Philadel-
phia: Lippincott, 1951), 273.
25. Untuk penilaian Kristen Injili tentang New Age Movement, lihat karya
Douglas R. Groothuis, Unmasking the New Age Movement (Downers
Grove, IL: InterVarsity, 1986); Elliot Miller, A Crash Course on the New
Age Movement (Grand Rapids: Baker, 1989); dan John P. Newport, The
New Age Movement and the Biblical Worldview (Grand Rapids: Eerdmans,
1998).
26. Untuk penilaian Kristen Injili tentang pernyataan “tahun-tahun Yesus yang
hilang,” lihat karya Ron Rhodes, The Counterfeit Christ of the New Age
Movement (Grand Rapids: Baker, 1990), 27-56; dan Douglas Groothuis,
Revealing the New Age Jesus (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1990),
147-173.
27. Rhodes, Counterfeit Christ, 48.
28. Ibid., 44-46.
29. Ibid., 51.
30. Ibid., 47.
31. Ross, Samples, dan Clark, Lights in the Sky, 147-158.
32. Ibid., 162-163.
33. Ibid., 164.
34. Ibid., 157-158.

Bab 9: Bagaimana Yesus Kristus Bisa Menjadi Allah Sekaligus Manusia?


1. Should You Believe in the Trinity? (New York: Watch Tower Bible and
Tract Society, 1989), 16.
2. John Hick, “A Pluralist View” dalam More Than One Way? Four Views on
Salvation in a Pluralistic World, editor Dennis L. Okholm dan Timothy
R. Phillips (Grand Rapids: Zondervan, 1995), 55.
3. Lihat formulasi Kalsedon dalam buku Alister E. McGrath, Introduction
to Christianity (Cambridge, MA: Blackwell, 1997), 131-132.
4. Craig A. Blaising, “Hypostatic Union”, Evangelical Dictionary of Theo-
logy, ed. Walter A. Elwell (Grand Rapids: Baker, 1984), 540.
5. Untuk pembahasan tentang prinsip kenosis, lihat karya Bruce Milne,
Know the Truth (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1982), 146-147;
dan Wayne Grudem, Systematic Theology (Grand Rapids: Zondervan,
1994), 549-552.
356 CATATAN

6. Milne, Know the Truth, 147.


7. Ibid.
8. Poin-poin ini dipengaruhi oleh Richard A. Muller, Dictionary of Latin
and Greek Theological Terms (Grand Rapids: Baker, 1985), di bawah entri
“incarnatio,” “persona Christi,” dan “unio personalis;” Grudem, System-
atic Theology, 529-567; Charles Hodge, Systematic Theology (1952; repr.,
Grand Rapids: Eerdmans, 1986), 2:387-389; Louis Berkhof, Systematic
Theology (Grand Rapids: Eerdmans, 1938), 321-330.
9. Lihat Murray J. Harris, Jesus as God: The New Testament Use of Theos in
Reference to Jesus (Grand Rapids: Baker, 1992).
10. Untuk penggarapan menyeluruh dan substantif tentang dukungan Alki-
tab untuk inkarnasi (terutama tentang keilahian Yesus), lihat buku Harris,
Jesus as God; dan Robert L. Reymond, Jesus, Divine Messiah: The New
Testament Witness (Phillipsburg, NJ: Presbyterian and Reformed, 1990).
Untuk penyelidikan teologis yang rinci tentang doktrin inkarnasi, lihat
buku Benjamin B. Warfield, The Person and Work of Christ (Philadelphia:
Presbyterian and Reformed, 1950); dan Millard J. Erickson, The Word
Became Flesh (Grand Rapids: Baker, 1991).
11. Bahan garis besar untuk mendukung keilahian Yesus Kristus sebagian berasal
dari karya Harris, Jesus as God, 315-317; dan John Jefferson Davis, Hand-
book of Basic Bible Texts (Grand Rapids: Zondervan, 1984), 68-74.
12. Semua judul ini di dalam konteks alkitabiah yang tepat akan mendukung
pandangan bahwa Yesus Kristus adalah pribadi yang Ilahi. Lihat karya
McGrath, Introduction to Christianity, 108-15; dan Reymond, Jesus,
Divine Messiah, 44-126.
13. Bahan garis besar untuk mendukung kemanusiaan Yesus Kristus sebagian
berasal dari karya Milne, Know the Truth, 125.
14. D. A. Carson, The Gospel According to John (Grand Rapids: Eerdmans,
1991), 126-127.
15. Ron Rhodes, Christ before the Manger: The Life and Times of the Pre-
incarnate Christ (Grand Rapids: Baker, 1992), 249-253; Robert M.
Bowman Jr., Why You Should Believe in the Trinity (Grand Rapids:
Baker, 1989), 78-88.
16. Milne, Know the Truth, 125-132.
17. Delapan bidat kristologis kuno yang terdaftar di sini diambil dari buku
H. Wayne House, Charts of Christian Theology and Doctrine (Grand
Rapids: Zondervan, 1992), 55-56; Milne, Know the Truth, 142-145.
CATATAN 357

18. Norman L. Geisler, “Logic,” dalam Baker Encyclopedia of Christian


Apologetics (Grand Rapids: Baker, 1999), 427-429.
19. Blaising, “Hypostatic Union,” 540.
20. John Calvin, Institutes of the Christian Religion 2.13.4, editor John T.
McNeill, diterjemahkan Ford Lewis Battles, Library of Christian Classics
(Philadelphia: Westminster Press, 1960), 1:481.

Bab 10: Apakah Yesus Kristus Benar-benar Bangkit dari Kematian?


1. Poin-poin ini dipengaruhi oleh Wayne Grudem, Systematic Theology
(Grand Rapids: Zondervan, 1994), 608-623; Charles Hodge, Systematic
Theology (1952; repr., Grand Rapids: Eerdmans, 1986), 626-630; dan
Louis Berkhof, Systematic Theology, edisi baru (aslinya diterbitkan dalam
dua jilid, 1932 dan 1938; Grand Rapids: Eerdmans, 1996), 346-349.
2. Untuk harmonisasi yang rinci tentang bahan Injil yang terkait dengan
kebangkitan, lihat buku George E. Ladd, I Believe in the Resurrection of
Jesus (Grand Rapids: Eerdmans, 1975), 79-103; dan John Wenham, Easter
Enigma: Do the Resurrection Accounts Contradict One Another?, edisi
ke-2 (Grand Rapids: Baker, 1993).
3. Untuk bukti apologetis tentang kebangkitan Yesus dan kritik tentang teori
naturalistis alternatif, lihat karya William Lane Craig, Knowing the Truth
about the Resurrection (Ann Arbor, MI: Servant, 1988); William Lane Craig,
Reasonable Faith (Wheaton IL: Crossway Books, 1994), 255-298; William
Lane Craig, Assessing the New Testament Evidence for the Historicity of
the Resurrection of Jesus (Lewiston, NY: Edwin Mellen, 1989); Norman
L. Geisler, The Battle For The Resurrection (Nashville: Thomas Nelson,
1992); J. P. Moreland, Scaling the Secular City (Grand Rapids: Baker,
1987), 159-183; dan Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli, Handbook of
Christian Apologetics (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1994), 175-198.
4. Tentu para pendukung hari Sabat menentang pernyataan ini, tetapi itu
adalah pernyataan yang masuk akal dari Kitab Suci, lihat buku D. A.
Carson, editor From Sabbath to Lord’s Day (Grand Rapids: Zondervan,
1982).
5. Moreland, Scaling the Secular City, 151-154. Nubuat Yesus tentang keja-
tuhan Yerusalem dilaporkan di dalam Injil-injil Sinoptik (Mrk. 13 dan yang
paralel), tetapi si penulis tidak membuat komentar apa pun yang menun-
jukkan bahwa peristiwa itu telah terjadi pada zamannya.
6. Craig Blomberg, The Historical Reliability of the Gospels (Downers
Grove, IL: InterVarsity, 1987), 18.
358 CATATAN

7. Richard Purtill, Thinking about Religion (Englewood Cliffs, NJ: Prentice


Hall, 1978), 81-93.
8. A.N. Sherwin-White, Roman Society and Roman Law in the New Testa-
ment (Grand Rapids: Baker, 1978), 186-193.
9. Lihat buku Craig, Reasonable Faith, 284-285.
10. Blomberg, Historical Reliability of the Gospels, 81-84.
11. Edwin M. Yamauchi, “Easter: Myth, Hallucination, or History?,” http://
www.leaderu.com/everystudent/easter/articles/yama.html (diakses 23
Agustus 2001). Versi online pertama kali diterbitkan dalam karya Edwin
M. Yamauchi, “Easter: Myth, Hallucination, or History?”, poin 1, Chris-
tianity Today 18, no. 12 (15 Maret 1974), 4-7; dan Edwin M. Yamauchi,
“Easter: Myth, Hallucination, or History?,” poin 2, Christianity Today
18, no. 13 (29 Maret 1974), 12-16.
12. Kreeft dan Tacelli, Handbook of Christian Apologetics, 185.
13. Lihat Yamauchi, “Easter.”
14. Hipotesis penjelas ini diperdebatkan di depan umum oleh filsuf-filsuf
Greg Cavin (pendukung) dan William Lane Craig (pengkritik). Tersedia di
http://www.leaderu.com/offices/billcraig (diakses January 8 2002).
15. Craig, Knowing the Truth, 110.

Bab 11: Mengapa Yesus Kristus Harus Mati?


1. Diskusi tentang dosa di bab ini dipengaruhi oleh sumber-sumber berikut:
Alister E. McGrath, Intellectuals Don’t Need God and Other Modern
Myths (Grand Rapids: Zondervan, 1993), 133-143; John R. W. Stott,
Basic Christianity (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1980), 61-80; Louis
Berkhof, Systematic Theology, edisi baru (aslinya diterbitkan dalam dua
jilid, 1932 dan 1938; Grand Rapids: Eerdmans, 1996), 74-79; Bruce
Milne, Know The Truth (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1982), 102-114;
Wayne Grudem, Systematic Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1994),
490-514; Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Chris-
tian Faith (Nashville: Thomas Nelson, 1998), 440-458; dan Millard J.
Erickson, Christian Theology, edisi ke-2 (Grand Rapids: Baker, 1998),
561-658.
2. Erickson, Christian Theology, 564-580.
3. Charles Caldwell Ryrie, Ryrie Study Bible, edisi diperluas (Chicago:
Moody, 1994), 2004-2005; Grudem, Systematic Theology, 490.
4. Erickson, Christian Theology, 781-823.
CATATAN 359

5. Untuk pembahasan singkat tentang pandangan yang dikenal sebagai


federalism, lihat Louis Berkhof, Summary of Christian Doctrine (Grand
Rapids: Eerdmans, 1938), 75-76.
6. Reymond, New Systematic Theology, 430-436.
7. John Jefferson Davis, Handbook of Basic Bible Texts (Grand Rapids:
Zondervan, 1984), 56.
8. Stott, Basic Christianity, 75.
9. Reymond, New Systematic Theology, 450-453.
10. Pembahasan tentang penebusan dosa di dalam bab ini dipengaruhi oleh
sumber-sumber berikut: John Murray, Redemption: Accomplished and
Applied (1955; repr., Grand Rapids: Eerdmans, 1975); Leon Morris, The
Atonement: Its Meaning and Significance (Downers Grove, IL: Inter-
Varsity, 1983); Berkhof, Systematic Theology, 113-117; Milne, Know The
Truth, 150-163; Erickson, Christian Theology, 761-841.
11. Lihat pembahasan-pembahasan melalui Murray, Redemption dan Morris,
Atonement.
12. Lihat karya Thomas C. Oden, The Justification Reader (Grand Rapids:
Eerdmans, 2002).

Bab 12: Bukankah Semua Agama Menuntun pada Allah?


1. Peter Kreeft, Fundamentals of the Faith (San Francisco: Ignatius, 1988), 74-
75; R. C. Sproul, Reason to Believe (Grand Rapids: Zondervan, 1982), 35.
2. William L. Rowe, Philosophy of Religion, edisi ke-2 (Belmont, CA:
Wadsworth, 1993), 174-715.
3. Bentuk paling primitif dari Buddhisme, “Theravada,” adalah keperca-
yaan yang tak bertuhan.
4. Saya mengacu di sini pada para penganut tradisional agama Yahudi. Ada
beberapa kelompok Yahudi (Yahudi Mesianik) yang mempertahankan
warisan dan tradisi Yahudi mereka namun memeluk Yesus Kristus (Yeshua
haMachiach) sebagai Mesias dan Juruselamat mereka.
5. Richard L. Purtill, Thinking about Religion (Englewood Cliffs, NJ: Prentice
Hall, 1978), 105-106.
6. Harold A. Netland, Dissonant Voices (Grand Rapids: Eerdmans, 1991),
37.
7. Pembedaan yang saya lakukan antara agama Kristen dan agama Hindu
sebagian dipengaruhi oleh perbandingan William Rowe tentang kedua
agama tersebut dalam buku Rowe, Philosophy of Religion, 175.
360 CATATAN

8. Alister E. McGrath, Introduction to Christianity (Cambridge, MA:


Blackwell Publishers, 1997), 155.
9. Netland, Dissonant Voices, 160.
10. Huston Smith, The Illustrated World’s Religions (New York: HarperCollins,
1994), 245.
11. Ronald H. Nash, Is Jesus the Only Savior? (Grand Rapids: Zondervan,
1994), 55. Untuk pembahasan yang jelas dan perseptif tentang hukum
logika yang formal, lihat karya Ronald H. Nash, The Word of God and the
Mind of Man (Grand Rapids: Zondervan, 1982), 103-112; dan Ed L.
Miller, Questions That Matter: An Invitation to Philosophy, edisi ke-4
(New York: McGraw-Hill, 1996), 31-54.
12. Harold Netland, “Exclusivism, Tolerance, and Truth,” Missiology 15,
no. 2 (April 1987), 84-85.
13. Karya-karya Hick tentang pluralism termasuk buku John Hick, God and
the Universe of Faiths (London: Macmillan, 1977); dan editor John Hick,
Problems of Religious Pluralism (New York: St. Martin’s Press, 1985).
14. Hick, God and the Universe of Faiths, 140.
15. John Hick, Philosophy of Religion, edisi ke-4 (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall, 1990), 117-119.
16. Ibid., 119.
17. John Hick, “A Pluralist View” dalam More Than One Way? Four Views on
Salvation in a Pluralistic World, editor Dennis L. Okholm dan Timothy
R. Phillips (Grand Rapids: Zondervan, 1995), 39.
18. Lihat buku C. Stephen Evans, Philosophy of Religion: Thinking about Faith
(Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1985).
19. Nash, Is Jesus the Only Savior?, 36.
20. Michael Peterson, dan lainnya, Reason and Religious Belief (New York:
Oxford University Press,1991), 226.
21. Alister E. McGrath, Intellectuals Don’t Need God and Other Modern
Myths (Grand Rapids: Zondervan, 1993), 119.
22. John Hick, “A Pluralist View” dalam More Than One Way?, 29-59.
23. John Hick, editor, The Myth of God Incarnate (London: SCM, 1977).
Untuk pembelaan filosofis terhadap doktrin Kristen tentang inkarnasi,
lihat buku Thomas V. Morris, The Logic of God Incarnate (Ithaca, NY:
Cornell University Press, 1986).
CATATAN 361

24. C. Stephen Evans, Why Believe? Reason and Mystery as Pointers to God
(Grand Rapids: Eerdmans, 1996), 141.
25. Lihat kritik Douglas Groothuis tentang buku Joseph Campbell, The Power
of Myth, in Christian Research Journal (Musim Gugur 1989): 28; lihat
juga buku Tom Snyder, Myth Conceptions: Joseph Campbell and the New
Age (Grand Rapids: Baker, 1995).
26. Ibid.

Bab 13: Bagaimana Seharusnya Orang Kristen Menanggapi Agama-agama


di Dunia?
1. Untuk informasi umum yang baik tentang sepuluh agama di dunia, baca
buku Huston Smith, The World’s Religions (New York: HarperCollins,
1991); John A. Hutchison, Paths of Faith, edisi ke-4 (New York: McGraw-
Hill, 1991); David S. Noss, A History of the World’s Religions, edisi ke-
11 (New York: Macmillan, 2002); Lewis M. Hopfe, Religions of the World,
edisi ke-8, editor Mark R. Woodward (Englewood Cliffs, NJ: Prentice
Hall, 2000); dan Robert S. Ellwood, Many Peoples, Many Faiths: Women
and Men in the World Religions, edisi ke-7 (Englewood Cliffs, NJ: Pren-
tice Hall, 2001).
2. Buku Hopfe, Religions of the World, juga mempunyai beberapa informasi
umum yang baik tentang beberapa agama minoritas. Untuk pengenalan
tentang agama-agama dasar dan banyak agama yang sudah silam, lihat
karya Mircea Eliade, dan Ioan P. Couliano, dengan Hillary S. Wiesner, The
HarperCollins Concise Guide to World Religions (San Francisco: Harper-
SanFrancisco, 1991).
3. Untuk penilaian kristiani tentang agama-agama di dunia, lihat karya
Winfried Corduan, Neighboring Faiths: A Christian Introduction to World
Religions (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1998); Dean C. Halverson,
edisi umum, The Compact Guide to World Religions (Minneapolis: Bethany,
1996); Norman Anderson, editor, The World’s Religions (Grand Rapids:
Eerdmans, 1983); dan Norman Anderson, Christianity and World Reli-
gions (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1984). Buku Corduan juga meng-
evaluasi beberapa agama dasar atau tradisional di dunia. Untuk evaluasi
tentang beberapa agama yang sudah silam (termasuk agama-agama misteri)
yang bersaing dengan agama Kristen primitif, lihat buku Jack Finegan,
Myth and Mystery (Grand Rapids: Baker, 1989).
4. Karl Barth, The Doctrine of the Word of God, jilid. 1, buku 2 dari Church
Dogmatics, editor, G. W. Bromiley dan T.F. Torrance (New York: Scribner’s,
1956), 303.
362 CATATAN

5. Lihat karya Millard J. Erickson, Christian Theology (Grand Rapids: Baker,


1998), 177-223.
6. Alister E. McGrath, Intellectuals Don’t Need God and Other Modern
Myths (Grand Rapids: Zondervan, 1993), 116.
7. Lihat karya Hopfe, Religions of the World, edisi ke-7 (Upper Saddle River,
NJ: Prentice Hall, 1998), 6.
8. Halverson, Compact Guide to World Religions, 16.
9. Augustine, Confessions, diterjemahkan R. S. Pine-Coffin (New York: Barnes
& Noble, 1992), buku 3, bagian 1, 21.
10. Untuk pembahasan tentang hubungan yang tepat antara wahyu umum dan
wahyu khusus, lihat bab 3 tentang wahyu di dalam buku ini.
11. Clinton E. Arnold, Powers of Darkness (Downers Grove, IL: InterVarsity,
1992).
12. Lihat analisis tentang bagian-bagian ini oleh Douglas Geivett dan W. Gary
Phillips, “A Particularist View: An Evidentialist Approach” dalam More
Than One Way? Four Views on Salvation in a Pluralistic World, editor
Dennis L. Okholm dan Timothy R. Phillips (Grand Rapids: Zondervan,
1995), 230-37; dan “Response to R. Douglas Geivett and W. Gary Phillips”
oleh Clark H. Pinnock, 251–55.
13. McGrath, Intellectuals Don’t Need God, 119.
14. Strategi apologetis ini diketengahkan dalam Curtis Chang, Engaging Un-
belief: A Captivating Strategy from Augustine and Aquinas (Downers
Grove, IL: Inter-Varsity Press, 2000).
15. Lihat masing-masing pandangan Alister McGrath, “A Particularist View:
A Post-Enlightenment Approach” dan R. Douglas Geivett dan W. Gary
Phillips, “A Particularist View: An Evidential Approach” dalam More Than
One Way?, 151-180, 213-245.
16. Karya-karya Hick tentang pluralism mencakup buku John Hick, God and
the Universe of Faiths (London: Macmillan, 1977); John Hick, Problems
of Religious Pluralism (New York: St. Martin’s, 1985); Paul F. Knitter dan
John Hick, editor, The Myth of Christian Uniqueness: Toward a Pluralistic
Theology of Religions (Maryknoll, NY: Orbis, 1987).
17. Lihat penggarapan yang diberikan dalam pandangan oleh Clark H.
Pinnock, “An Inclusivist View” dalam More Than One Way?, 95-123.
18. Ronald H. Nash, Is Jesus the Only Savior? (Grand Rapids: Zondervan,
1994), 11-12. Nash mengkritik pluralisme dan inklusivisme, tetapi mem-
bela eksklusivisme.
CATATAN 363

19. Karl Rahner, “Christianity and the Non-Christian Religions,” Theological


Investigations, jilid 5 (London: Darton, Longman & Todd, 1966).
20. The Documents of Vatican II, edisi umum. Walter M. Abbott, diterjemah-
kan Joseph Gallagher (New York: Guild, 1966), 35; Dogmatic Constitu-
tion on the Church, Article 16.
21. Clark H. Pinnock, A Wideness in God’s Mercy: The Finality of Jesus Christ
in a World of Religions (Grand Rapids: Zondervan, 1992).
22. McGrath, “Response to Clark H. Pinnock” dalam More Than One Way?,
131.
23. Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith
(Nashville: Thomas Nelson, 1998), 1090.
24. Ibid.
25. Pinnock, “Response to John Hick” dalam More Than One Way?, 61-62.
26. Lihat interaksi antara tulisan McGrath, “Response to R. Douglas Geivett
and W. Gary Phillips” dan tulisan Geivett dan Phillips, “Conclusion”
dalam More Than One Way?, 256-258, 258-270; lihat juga buku John
Sanders, No Other Name: An Investigation into the Destiny of the
Unevangelized (Grand Rapids: Eerdmans, 1992).

Bab 14: Bukankah Agama Kristen dan Ilmu Pengetahuan Bertentangan?


1. Bertrand Russell, Why I Am Not a Christian (New York: Simon & Schuster,
1957), vi.
2. Ibid., 22-26.
3. Lihat karya Charles E. Hummel, The Galileo Connection (Downers Grove,
IL: InterVarsity Press, 1986).
4. Lihat Stanley L. Jaki, Science and Creation: From Eternal Cycles to an
Oscillating Universe (Scottish Academic Press, 1974); R. Hooykaas,
Religion and the Rise of Modern Science (Grand Rapids: Eerdmans, 1972);
dan Stanley L. Jaki, The Savior of Science (Grand Rapids: Eerdmans, 2000),
22-48.
5. Eric V. Snow, “Christianity: A Cause of Modern Science?” Impact, no.
298, April 1998, tersedia di http:www.icr.org/pubs/imp/imp-298.htm,
(diakses 7 Januari 2003).
6. Lihat karya Charles Van Doren, A History of Knowledge (New York:
Ballantine, 1991).
7. Alister E. McGrath, Science and Religion (Oxford: Blackwell, 1999), 1-2.
8. Ibid., 2-3.
364 CATATAN

9. Ibid., 1-6; Michael Bumbulis, “Christianity and the Birth of Science,”


http://bex.nsstc.uah.edu/RbS/CLONE/jaki5.html (diakses 7 Januari 2003).
10. Nancy R. Pearcey dan Charles B. Thaxton, The Soul of Science (Wheaton,
IL: Crossway, 1994), 17-42; Hooykaas, Religion and the Rise of Modern
Science, seluruhnya.
11. Meskipun Newton mahasiswa yang serius dalam Alkitab, pertanyaan serius
telah diajukan mengenai apakah pandangan teologisnya benar-benar orto-
doks. Lihat karya Hummel, The Galileo Connection, 126-148.
12. Hugh Ross, The Genesis Question, edisi ke-2 (Colorado Springs, CO:
NavPress, 2001), 195-197; Hooykaas, Religion and the Rise of Modern
Science, seluruhnya.
13. Kenneth L Woodward, “How the Heavens Go,” Newsweek, 20 Juli 1998,
52.
14. Lihat karya Michael Peterson, dan lainnya, Reason and Religious Belief
(New York: Oxford University Press, 1991), 210-214.
15. Poin-poin ini dipengaruhi oleh Delvin Lee Ratzsch, Science and Its
Limits: The Natural Sciences in Christian Perspective (Downers Grove,
IL: InterVarsity, 2000), 36; dan Pearcey dan Thaxton, The Soul of Science.
16. Ratzsch, Science and Its Limits, 138.
17. John Polkinghorne, Science and Creation (Boston: Shambhala, New Sci-
ence Library, 1988), 20.
18. Alister E. McGrath, An Introduction to Christianity (Cambridge, MA:
Blackwell, 1997), 166.
19. Ratzsch, Science and Its Limits, 139.
20. Untuk kritik filosofis yang menyeluruh terhadap naturalisme, lihat Natu-
ralism: A Critical Analysis, editor. William Lane Craig dan J. P. Moreland
(2000; repr., London: Routledge, 2002).
21. Lihat karya Richard Taylor, Metaphysics, edisi ke-4 (Englewood Cliffs,
NJ: Prentice Hall, 1992), 110-112.
22. Greg Bahnsen menyampaikan hal ini kepada saya dalam percakapan pri-
badi di Irvine, California sekitar tahun 1992.
23. Paul Davies, “Physics and the Mind of God: The Templeton Prize
Address,” First Things 55 (Agustus/September 1995): 31-35, http://
www.firstthings.com/ftissues/ft9508/davies.html (diakses 14 Januari 2004).
24. Hugh Ross, The Creator and the Cosmos, edisi ke-3 (Colorado Springs,
CO: NavPress, 2001), 23-29.
CATATAN 365

25. Ibid., 92.


26. Ibid., 118-121.
27. Paul Davies, God and the New Physics (New York: Simon & Schuster,
Touchstone, 1983), 189.
28. Hugh Ross, Kenneth Samples, dan Mark Clark, Lights in the Sky and
Little Green Men (Colorado Springs, CO: NavPress, 2002), 171-192.
29. Arno Penzias, “Creation Is Supported by All the Data So Far” dalam
Cosmos, Bios, Theos, editor Henry Margenau dan Roy Abraham Varghese
(Chicago: Open Court, 1992), 83.

Bab 15: Bukankah Kemunafikan Membuat Kekristenan Tidak Berlaku?


1. T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning, edisi ke-3 (Belmont, CA:
Wadsworth, 1995), 159-161.
2. Alister E. McGrath, Introduction to Christianity (Cambridge, MA:
Blackwell, 1997), 75.
3. John Jefferson Davis, Handbook of Basic Bible Texts (Grand Rapids:
Zondervan, 1984), 94.
4. McGrath, Introduction to Christianity, xix-xx.
5. Thomas V. Morris, Making Sense of It All: Pascal and the Meaning of Life
(Grand Rapids: Eerdmans, 1992), 152.
6. Richard Purtill, Thinking about Ethics (Englewood Cliffs, NJ: Prentice
Hall, 1976), 136.
7. Ibid.; lihat Matius 7:12; Roma 15:1; Yakobus 2:14-26.
8. Ibid.

Bab 16: Bukankah Saya Berhak Melakukan Apa Pun yang Saya Inginkan
dengan Tubuh Saya Sendiri?
1. Libertarianisme memiliki berbagai bentuk (politik, ekonomi, filsafat,
etika), tetapi didefinisikan secara luas sebagai pandangan yang berusaha
memaksimalkan kebebasan dan kemerdekaan individu.
2. Lihat karya Anthony A. Hoekema, Created in God’s Image (Grand Rapids:
Eerdmans, 1986), 5-10.
3. Dosa asal terdiri dari kesalahan, kerusakan moral, dan kerentanan ter-
hadap kematian yang diwariskan kepada keturunan Adam setelah keja-
tuhannya dalam dosa (Kej. 3; Mzm. 51:7, 58:4; Rm. 5:12,18-19; 1Kor.
15:22).
366 CATATAN

4. Penebusan dosa mengacu pada Yesus Kristus yang membebaskan umat


manusia dari penghakiman Ilahi dengan memikul sendiri hukuman atas
dosa manusia di atas kayu salib.
5. Thomas V. Morris, Making Sense of It All: Pascal and the Meaning of Life
(Grand Rapids: Eerdmans, 1992), 25.
6. John Jefferson Davis, Evangelical Ethics (Phillipsburg, NJ: Presbyterian
and Reformed, 1985), 191.
7. Kedaulatan Allah (Ams. 21:1; Rm. 9:21; Ef. 1:11) dan tanggung jawab
manusia (Mat. 16:27; Yoh. 3:36; Why. 22:12) diajarkan di dalam Kitab
Suci, kadang-kadang bahkan di dalam ayat yang sama (Luk. 22:22; Kis.
2:23). Untuk pembahasan yang bermanfaat tentang paradoks alkitabiah
dan teologis ini, lihat karya Anthony A. Hoekema, Saved by Grace (Grand
Rapids: Eerdmans, 1989), 3-10.
8. J. P. Moreland dan Norman L. Geisler, Life and Death Debate (New York:
Praeger, 1990), 27. Bab Moreland dan Geisler tentang aborsi menampilkan
argumen-argumen dan kritik-kritik dari segala sisi kontroversi aborsi (lih.
25-42).
9. Ibid., 28.
10. Francis J. Beckwith dan Norman L. Geisler, Matters of Life and Death
(Grand Rapids: Baker, 1991), 141.
11. Moreland dan Geisler, Life and Death Debate, 65. Bab Moreland dan
Geisler tentang eutanasia menampilkan argumen-argumen dan kritik-kritik
untuk “Libertarian View” dan “Traditional View” (lih. 63-82).
12. Ibid., 76-78.
13. Lihat karya Lynne Ann DeSpelder dan Albert Lee Strickland, The Last
Dance: Encountering Death and Dying, edisi ke-4 (Mountain View, CA:
Mayfield, 1996), 151-160.
14. Pertanyaan 1 dari Katekismus Heidelberg, sebagaimana dikutip di dalam
Ecumenical Creeds and Reformed Confessions (Grand Rapids: CRC Pub-
lications, 1988), 13.

Bab 17: Bukankah Kekristenan Mendorong Sikap Tidak Toleran?


1. Rabbi Yahudi, diwawancarai oleh Larry King, “Should Christians Stop
Trying to Convert Jews?,” Larry King Live, CNN, 12 Januari 2000.
2. Eksklusivisme Kristen menegaskan tiga prinsip berikut ini: (a) Agama Kris-
ten adalah satu-satunya agama yang benar, (b) Yesus Kristus adalah satu-
satunya Juruselamat, dan (c) orang harus memiliki iman yang eksplisit
(sadar) di dalam Yesus Kristus agar diselamatkan (lih. bab 13 di dalam
CATATAN 367

buku ini). Untuk pembelaan terhadap eksklusivisme sebuku penuh, lihat


buku Ronald H. Nash, Is Jesus the Only Savior? (Grand Rapids: Zondervan,
1994).
3. American Heritage Dictionary of the English Language, New College Edi-
tion, di bawah entri “tolerance.”
4. Richard L. Purtill, Thinking about Ethics (Englewood Cliffs, NJ: Prentice
Hall, 1976), 136.
5. Lihat kritik tentang gerakan kebenaran politik di Amerika dalam buku
Francis J. Beckwith dan Gregory Koukl, Relativism: Feet Firmly Planted in
Mid-Air (Grand Rapids: Baker, 1998), 79-91.
6. Ketiga poin penjelasan ini dipengaruhi oleh Francis J. Beckwith dan
Gregory Koukl, Relativism, 149-150.
7. Ibid., 150.
8. Untuk pembahasan yang jelas dan perseptif tentang hukum logika formal,
lihat karya Ronald H. Nash, The Word of God and the Mind of Man (Grand
Rapids: Zondervan, 1982), 103-112; dan Ed L. Miller, Questions That
Matter: An Invitation to Philosophy (New York: McGraw-Hill, 1996),
31-54.
9. Saya mengacu pada para penganut tradisional agama Yahudi dengan
denominasi-denominasi utamanya yaitu ortodoks, konservatif, dan
reformasi. Ada beberapa kelompok Yahudi (Yahudi Mesianik) yang
mempertahankan warisan dan tradisi Yahudi mereka namun menganut
Yesus Kristus (Yeshua haMashiach) sebagai Mesias dan Juruselamat mereka.
10. Pernyataan-pernyataan agama yang “berlawanan” mempunyai nilai
kebenaran yang bertentangan, yang berarti bahwa ada satu yang benar dan
yang lain adalah salah. Sebagian pernyataan keagamaan dapat memiliki
hubungan yang “bertentangan” satu sama lain. Artinya, sementara kedua-
nya tidak bisa sama-sama benar, keduanya bisa sama-sama salah.
11. Lihat kritik tentang multikulturalisme di Amerika dalam buku Beckwith
dan Koukl, Relativism, 79-91.
12. Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli Handbook of Christian Apologetics
(Downers Grove, IL: InterVarsity, 1994), 361-383.
13. Untuk pembahasan tentang mengapa menolak kebenaran itu merusak
diri sendiri, lihat karya Ronald Nash, Faith and Reason (Grand Rapids:
Zondervan, 1988), 161-67.
368 CATATAN

Bab 18: Bukankah Moralitas Tergantung dari Mata yang Memandangnya?


1. Relativisme moral setidaknya muncul dalam empat bentuk yang berbeda;
lihat karya J. P. Moreland dan Norman L. Geisler, The Life and Death
Debate (New York: Praeger, 1990), 3-6.
2. Ed L. Miller, Questions That Matter: An Invitation to Philosophy, edisi
ke-4 (New York: McGraw-Hill, 1996), 403. Buku ini (yang dipakai sebagai
buku pelajaran untuk kuliah-kuliah filsafat yang saya ajarkan) adalah pen-
dahuluan yang sangat baik tentang subjek tersebut. Buku ini berisi pem-
bahasan yang singkat namun jelas tentang relativisme etis (lih. 402-406).
3. Richard L. Purtill, Thinking about Ethics (Englewood Cliffs, NJ: Prentice
Hall, 1976), 3. Buku ini berisi pembahasan pendahuluan yang baik ten-
tang subjektivisme etis (lih. 1-15).
4. Filsuf moral Louis Pojman membahas lima alasan mengapa relativisme
moral menarik bagi banyak orang pada zaman sekarang, dalam buku Louis
P. Pojman, Ethics: Discovering Right and Wrong (Belmont, CA: Wadsworth,
1990), 34-37.
5. Miller, Questions That Matter, 405.
6. Ibid.
7. Louis P. Pojman, Philosophy: The Pursuit of Wisdom, edisi ke-2 (Belmont,
CA: Wadsworth, 1998), 271. Buku ini (dipakai sebagai buku pelajaran
untuk kuliah-kuliah filsafat yang saya ajarkan) adalah pendahuluan yang
sangat baik pada materi pelajaran dan berisi pembahasan yang sangat baik
tentang relativisme etis (lih. 270-76).
8. Pojman, Ethics, 22-23; Miller, Questions That Matter, 406.
9. Ronald H. Nash, Life’s Ultimate Questions (Grand Rapids: Zondervan,
1999), 345-46; Miller, Questions That Matter, 406.
10. Nash, Life’s Ultimate Questions, 345-346.
11. Untuk analisis tentang konvensionalisme, baca Moreland dan Geisler, Life
and Death Debate, 3-6; Pojman, Ethics, 23-29.
12. Ed L. Miller, God and Reason, edisi ke-2 (Upper Saddle River, NJ: Prentice
Hall, 1995), 95-96.
13. Francis J. Beckwith, “Philosophical Problems with Moral Relativism,”
CRI Statement DA241 (Christian Research Institute, Rancho Santa Margarita,
CA), http://www.equip.org/free/DA241.htm (diakses 18 Desember 2002).
Versi online secara signifikan direvisi dari sebuah bab yang awalnya diter-
bitkan di dalam buku Francis J. Beckwith, Politically Correct Death:
CATATAN 369

Answering the Arguments for Abortion Rights (Grand Rapids: Baker Book
House, 1993), 19-25.
14. C. S. Lewis, Mere Christianity (New York: Macmillan, 1952), 17-21.
15. Pojman, Philosophy, 273.
16. Douglas Groothuis, “Confronting the Challenge of Ethical Relativism” CRI
Statement DE195 (Christian Research Institute, Rancho Santa Margarita,
CA), http://www.equip.org/free/DE195.htm (diakses 18 Desember 2002),
aslinya diterbitkan di dalam Christian Research Journal 14, no. 1; juga
diterbitkan dalam buku Douglas R. Groothuis, Christianity That Counts:
Being a Christian in a Non-Christian World (Grand Rapids: Baker Book
House, 1995), 93-96.
17. G. M. Gilbert, Nuremberg Diary (New York: Da Capo Press, 1995);
Whitney R. Harris, Tyranny on Trial (Dallas: Southern Methodist Univer-
sity Press, 1999).
18. J. P. Moreland, Scaling the Secular City (Grand Rapids: Baker, 1987), 242-
244.
19. Sebagai filsuf, saya memiliki alasan metafisika untuk lebih menyukai Coke
daripada Pepsi: metafisika adalah studi tentang kenyataan, dan bagaimana-
pun, Coke adalah “hal yang riil.”
20. Pojman, Ethics, 30.
21. Miller, Questions That Matter, 406.
22. Keempat alasan untuk mendukung absolutisme moral yang terdaftar di
sini diambil dari buku Moreland dan Geisler, Life and Death Debate, 6-9.
23. Lihat tulisan George Mavrodes, “Religion and the Queerness of Morality”
dalam Rationality, Religious Belief and Moral Commitment: New Essays
in Philosophy of Religion, editor Robert R. Audi dan William Wainwright
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 1986).

Bab 19: Bagaimana Mungkin Allah yang Baik dan Mahakuasa Membiarkan
Kejahatan Terjadi?
1. Untuk mendapatkan informasi umum yang baik tentang agama Hindu,
lihat karya Huston Smith, The World’s Religions (San Francisco: Harper-
Collins, 1991); John A. Hutchison, Paths of Faith, edisi ke-4 (New York:
McGraw-Hill, 1991); dan David S. Noss dan John B. Noss, A History of
the World’s Religions, edisi ke-9 (New York: Macmillan, 1990). Untuk
penilaian kristiani tentang agama Hindu, lihat buku Winfried Corduan,
Neighboring Faiths: A Christian Introduction to World Religions (Downers
370 CATATAN

Grove, IL: InterVarsity, 1998); dan Dean C. Halverson, edisi umum, The
Compact Guide to World Religions (Minneapolis: Bethany, 1996).
2. Lihat karya Karl Menninger, Whatever Became of Sin? (New York: E. P.
Dutton, 1973); dan Kenneth L. Woodward, “What Ever Happened to
Sin?,” Newsweek, 6 Februari, 1995, 23.
3. Richard L. Purtill, Thinking about Religion (Englewood Cliffs, NJ: Pren-
tice Hall), 95-109.
4. Sejarawan Stephen Ambrose menyebut Perang Dunia II sebagai bencana
terbesar dalam sejarah, dalam bagian pendahuluan bukunya American
Heritage New History of World War II (New York: Viking, 1997).
5. Untuk melihat seluruh konteks pernyataan Hume melalui dialog filosofis
yang diciptakannya (Philo), lihat buku David Hume, Dialogues Concern-
ing Natural Religion, editor Henry D. Aiken (New York: Hafner, 1948),
62-64.
6. Untuk analisis lebih lanjut tentang pandangan yang dikenal sebagai god-
isme, lihat tulisan Norman L. Geisler, “Finite Godism,” dalam Baker
Encyclopedia of Christian Apologetics (Grand Rapids: Baker, 1999), 246-
249.
9. Richard Swinburne, “The Problem of Evil,” dalam Great Thinkers on
Great Questions, editor Roy Abraham Varghese (Oxford: Oneworld, 1998),
191.
10. Alvin C. Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids: Eerdmans,
1974), 30.
11. Ibid., 12-29.
12. Untuk mendapatkan beragam jawaban kristiani tentang masalah keja-
hatan, lihat buku Norman L. Geisler, The Roots of Evil (Grand Rapids:
Zondervan, 1978); Michael Peterson, Evil and the Christian God (Grand
Rapids: Baker, 1982); Ronald H. Nash, Faith and Reason: Searching for a
Rational Faith (Grand Rapids: Zondervan, 1988), bab 13-15; dan John M.
Frame, Apologetics to the Glory of God (Phillipsburg, NJ: Presbyterian
and Reformed, 1994), bab 6-7.
11. William L. Rowe, “IX. The Problem of Evil and Some Varieties of Athe-
ism,” American Philosophical Quarterly 16, no. 4 (Oktober 1979), 335
12. Ini adalah bentuk kutipan yang paling sering dipakai. Meskipun bentuk
ini tidak terdapat di dalam buku ini, gagasan tersebut ditemukan di sepan-
jang buku. Lihat buku Fyodor Mikhailovich Dostoevsky, The Brothers
Karamazov, diterjemahkan Constance Garnett, Great Books, vol. 52
CATATAN 371

(Chicago: University of Chicago and Encyclopedia Britannica, 1952),


buku 2, bab 6, 33-34; buku 2, bab 7, 40; buku 5, bab. 5, 136-137; buku
11, bab 4, 312; buku 11, bab 9, 345.
13. Gerard J. Hughes, “The Problem of Evil,” dalam Great Thinkers on Great
Questions, ed. Roy Abraham Varghese (Oxford: Oneworld, 1998), 194.
14. Lihat karya Greg L. Bahnsen, Always Ready: Directions For Defending the
Faith, editor Robert R. Booth (Texarkana, AR: Covenant Media Founda-
tion, 1996), 170.
15. Ibid.
16. Untuk artikel-artikel pendahuluan tentang kehidupan dan pemikiran
Augustine, lihat tulisan Kenneth Richard Samples, “Augustine of Hippo:
From Pagan, to Cultist, to Skeptic, to Christian Sage,” poin 1, Facts for
Faith no. 5 (Triwulan I, 2001): 36-41; Kenneth Richard Samples, “Augus-
tine of Hippo: Rightly Dividing the Truth,” poin 2, Facts for Faith no. 6
(Triwulan II, 2001): 34-39. Artikel-artikel ini juga dapat diakses di inter-
net di http://www.augustinefellowship.org
17. Augustine, Confessions, diterjemahkan R. S. PineCoffin (New York: Barnes
& Noble, 1992), buku 7, bagian 5, 138-139.
18. Untuk pembahasan yang bermanfaat tentang pandangan Augustine ten-
tang kejahatan, lihat buku Ed L. Miller, God and Reason: An Invitation to
Philosophical Theology, edisi ke-2 (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall,
1995), 163-170.
19. Augustine, The Enchiridion on Faith, Hope, and Love, bab 11, dalam
Basic Writings of Saint Augustine, jilid 1, editor Whitney J. Oates (Grand
Rapids: Baker, 1992).
20. Frame, Apologetics to the Glory of God, 155-156.
21. Augustine, Enchiridion, bab 11.
22. Ibid., bab 13.
23. Lihat Augustine through the Ages, edisi umum Allan D. Fitzgerald (Grand
Rapids: Eerdmans, 1999), di bawah entri “Evil.”
24. Untuk pembahasan tentang natur paradok kedaulatan Allah dan tanggung
jawab manusia, lihat buku Anthony A. Hoekema, Saved by Grace (Grand
Rapids: Eerdmans, 1989), 5-10.
25. Untuk pembahasan yang bermanfaat tentang bagaimana kejahatan terkait
dengan pemeliharaan Allah, lihat buku Wayne Grudem, Systematic Theo-
logy (Grand Rapids: Zondervan, 1994), 322-330.
372 CATATAN

26. Louis Berkhof, Summary of Christian Doctrine (Grand Rapids: Eerdmans,


1938), 46-47.
27. Bahnsen, Always Ready, 172.
28. Pertanyaan 1 dan Jawaban 1 dalam Westminster Shorter Catechism, seba-
gaimana dikutip dalam Reformed Confessions Harmonized, editor Joel R.
Beeke dan Sinclair B. Ferguson (Grand Rapids: Baker, 1999), 3.
29. Kaum premilenialis percaya bahwa kejahatan akhirnya akan dihapuskan
setelah seribu tahun Kristus berada di dunia. Untuk interpretasi amilienial
(lawan dari premilenial) tentang peristiwa-peristiwa eskatologis, lihat
buku Anthony A. Hoekema, The Bible and the Future (Grand Rapids:
Eerdmans, 1979). Untuk interpretasi premilenial, lihat buku George Eldon
Ladd, The Last Things: An Eschatology for Laymen (Grand Rapids:
Eerdmans, 1978).
30. Augustine, Enchiridion, bab 11.
31. C. S. Lewis, The Problem of Pain (New York: Macmillan, 1962), 93.
32. Alister E. McGrath, Intellectuals Don’t Need God and Other Modern
Myths (Grand Rapids: Zondervan, 1993), 104-105.

Bab 20: Bagaimana Seorang Kristen Harus Mempersiapkan Diri untuk


Memberikan Penjelasan tentang Iman?
1. John M. Frame, Apologetics to the Glory of God: An Introduction (Phillips-
burg, NJ: Presbyterian and Reformed, 1994), 1-3.
2. Lihatlah karya Ronald H. Nash, Worldviews in Conflict (Grand Rapids:
Zondervan, 1992), 16-33.
Kenneth Richard Samples melayani sebagai wakil presiden bidang Apolo-
getika teologis dan filosofis di Reasons To Believe, sebuah organisasi nirlaba
dan interdenominasi yang melakukan riset dan pengajaran tentang kesela-
rasan antara penyataan Allah di dalam firman-Nya di Alkitab dan fakta-
fakta di alam. Ia juga seorang pendiri sekaligus presiden dari Augustine
Fellowship Study Center (AFSC), sebuah pusat pendidikan nirlaba untuk
penelitian filosofis dan keagamaan, yang berlokasi di California bagian
Selatan.
Sebagai seorang pengajar dan pendidik yang berpengalaman, Kenneth
telah mengajarkan banyak pelajaran di bidang filsafat dan agama di beberapa
college. Ia juga menjadi dosen untuk tingkat pendidikan magister di pro-
gram kesenian di bidang Apologetika Kristen di Biola University, La Mirada,
California. Ia mengajarkan mata pelajaran di bidang filsafat dan agama dalam
program pendidikan untuk orang dewasa bagi para pekerja di Pacific Bell,
Chrysler Corporation, General Motors, dan Ford Motor Company. Ia juga
telah memberikan banyak ceramah dan mengajarkan banyak pelajaran di
berbagai gereja lintas negara.
Kenneth bekerja sebagai konsultan riset senior dan editor koresponden
di Christian Research Institute (CRI) selama hampir tujuh tahun. Sementara
itu, ia juga rutin menjadi penyiar pendamping dalam program radio yang
terkenal Bible Answer Man. Ia juga menjadi pengasuh acara radio Perspec-
tive. Sebagai pembicara dan pedebat yang vokal, Kenneth telah muncul di
banyak acara radio lintas negara, yang mencakup acara Religion On The
Line, The White Horse Inn, Talk New York, dan Issues Etc. Ia telah berpar-
tisipasi dalam perdebatan dan dialog mengenai banyak topik beragam yang
berhubungan dengan apologetika Kristen, termasuk tentang eksistensi Allah.
Kenneth menulis bersama dengan penulis lain untuk beberapa buku dan
telah menerbitkan banyak artikel di Christianity Today, Christian Research
Journal, dan Facts for Faith. Ia menjadi anggota dari American Philoso-
phical Association, Evangelical Philosophical Society, Evangelical Theologi-
cal Society, dan Evangelical Press Association. Ia meraih gelar sarjana di
bidang filsafat dan ilmu sosial dan gelar magister di bidang penelitian teo-
logis.
Kini Kenneth tinggal di Caifornia bagian Selatan bersama istrinya, Joan,
dan ketiga anaknya.

Anda mungkin juga menyukai