ISBN 978-602-7788-12-1
WITHOUT A DOUBT
MENJAWAB 20 PERTANYAAN TERSULIT TENTANG IMAN
Oleh: Kenneth R. Samples
Diterbitkan oleh
LITERATUR SAAT
Jalan Anggrek Merpati 12, Malang 65141
Telp. (0341) 490750, Fax. (0341) 494129
website: www.literatursaat.org
Dilarang memproduksi sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
Penerbit.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 7
Ucapan Terima Kasih 9
Pendahuluan: Mengutak-atik Dua Puluh Pertanyaan tentang
Kehidupan 13
Catatan 341
DAFTAR TABEL
Manusia tidak pernah bersikap netral berkaitan dengan Allah. Kita dapat
menyembah Allah sebagai Pencipta dan Tuhan, atau sebaliknya, kita dapat
berpaling dari Allah. Karena hati ditujukan kepada Allah atau sebaliknya,
menentang-Nya, maka pemikiran teoretis tidak pernah menjadi semurni atau
bisa berdiri sendiri seperti yang ingin dipikirkan oleh banyak orang.
––Ronald H. Nash, Worldviews in Conflict
A pakah Allah itu ada? Apakah Dia menciptakan manusia atau apakah
manusia menciptakan Dia? Pertanyaan tentang keberadaan Allah
ini mungkin merupakan pokok dari apa yang disebut para filsuf sebagai
“pertanyaan besar tentang kehidupan.” Apa yang orang anggap sebagai
riil, benar, tepat, berharga, dan bermakna ternyata secara dramatis dipe-
ngaruhi oleh pandangan mereka tentang apakah Allah itu nyata atau
tidak. Karena perspektif ini membentuk konteks keseluruhan pan-
dangan, maka kaum ateis dan umat Kristen memandang semua realitas
dengan cara pandang yang berbeda. Bagi umat Kristen, Allah di dalam
Alkitab menetapkan konteks utama bagi semua kehidupan dan pemikiran
(lih. bab 16). Adakah alasan yang benar untuk memercayai bahwa Dia
ada?
21
22 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH
akal budi berasal dari sumber yang tidak memiliki kemampuan dan
kualitas yang mendalam ini. Ini tentu akan menjadi akibat yang jauh
lebih besar daripada penyebabnya!
Dalam tabel 1.1, dua model penjelasan menunjukkan kredibilitas
posisi pandangan secara alkitabiah dan secara ateistis:
Tabel 1.1
Pandangan naturalistis dan alkitabiah
untuk menjelaskan tentang kehidupan dan alam semesta
signifikansi, dan nilai sejati dalam kehidupan, dengan cara yang sementara
sekalipun?
Mempertimbangkan pertanyaan ini, kaum ateis cenderung terbagi
menjadi dua kubu, ada yang optimistis dan ada yang pesimistis. Kaum
ateis yang optimistis cenderung sangat menekankan manfaat-manfaat
yang dirasakan oleh keyakinan ateistis (mis., otonomi pribadi). Namun,
filsuf-filsuf eksistensial ateistis seperti Jean-Paul Sartre (1905-1980) dan
Albert Camus (1913-1960) mengatakan bahwa pemikiran atas skenario
ini (makna tujuan) menyebabkan kecemasan filosofis, keputusasaan, dan
ketakutan.20 Menurut eksistensialis ateistis, manusia itu sendirian di
alam semesta, dan sendirian menghadapi kesulitan eksistensial kosmis.
Namun, tiga hal di dalam diri manusia bertentangan dengan pers-
pektif orang yang tidak bertuhan dan nihilistik ini. Pertama, kebanyakan
manusia secara intuitif merasakan bahwa hidup mereka memiliki makna
dan tujuan yang nyata dan objektif. Mungkin orang hanya tidak secara
serius dan filosofis merenungkan kondisi mereka di dalam kehidupan.
Namun, bahkan andaikata mereka tidak senang dengan apa yang mengisi
kehidupan mereka masing-masing, umat manusia secara umum hidup
dengan pengertian bahwa sesuatu yang berarti terjadi di belakang layar.
Kedua, orang merindukan makna dan tujuan hidup yang berlang-
sung sampai pada kehidupan setelah kematian. Bagi kebanyakan orang,
keinginan dan pencarian atas suatu makna yang utama akan sampai pada
keyakinan akan adanya kehidupan setelah kematian, dan biasanya meli-
batkan kepercayaan kepada Allah. Manusia mungkin saja menggunakan
bentuk kosmis keyakinan yang keliru, tetapi ilmu antropologi dan sosio-
logi memperlihatkan bahwa manusia selalu memiliki intuisi spiritual yang
mendalam tentang signifikansi yang kekal—sebenarnya sejak hari per-
tama manusia diciptakan. Intuisi ini unik bagi manusia dan sangat sulit
dijelaskan bila dikaitkan dengan evolusi Darwin. Sesungguhnya wajar
bahwa pencarian makna dan tujuan merupakan salah satu karakteristik
yang menentukan dari spesies yang dikenal sebagai Homo sapiens. Teolog
filosofis Amerika Paul Tillich (1886-1965) telah menyatakan bahwa setiap
orang, termasuk kaum ateis, mencari tujuan akhir dalam hidup.
Ketiga, jika dunia benar-benar tidak bermakna, maka kehidupan
manusia pun tidak bermakna. Namun, konsep ini tidak cocok dengan
alam pikiran. Bagaimana mungkin orang yang tinggal di dunia yang tidak
BAGAIMANA ORANG DAPAT MENGETAHUI BAHWA ALLAH ITU ADA? 31
Argumen Kumulatif
Argumen-argumen di dalam bab ini membutuhkan keberadaan
Allah di dalam Alkitab sebagai sarana untuk menjelaskan realitas (pemi-
kiran untuk penjelasan hipotesis yang terbaik). Argumen-argumen ini
juga dapat dilihat sebagai argumen kumulatif dari bukti-bukti kuat ten-
tang Allah di dalam Alkitab. Artinya, meskipun setiap argumen memiliki
kekuatan logis atau bukti tertentu sendiri, argumen-argumen ini tetap
BAGAIMANA ORANG DAPAT MENGETAHUI BAHWA ALLAH ITU ADA? 37
Pertanyaan Diskusi
1. Bagaimana agar percaya kepada Allah memberikan landasan
filosofis untuk realitas-realitas kehidupan yang bermakna?
2. Mengapa alam semesta membutuhkan penyebab untuk menje-
laskan keberadaannya?
3. Mengapa realitas yang bermakna tentang kehidupan tidak dapat
berasal dari peristiwa yang acak dan alami?
4. Bagaimana kekristenan menjelaskan tentang kondisi manusia
dengan cara yang lebih baik daripada pandangan-pandangan lain-
nya di dunia?
5. Dengan dasar apakah orang bisa diyakinkan bahwa Yesus Kristus
adalah Allah?
Miethe, Terry L., dan Gary R. Habermas. Why Believe? God Exists! Rethink-
ing the Case for God and Christianity (Joplin, MO: College Press, 1999).
Miller, Ed L. God and Reason: An Invitation to Philosophical Theology, edisi
ke-2 (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1994).
Moreland, J. P. Scaling the Secular City: A Defense of Christianity (Grand
Rapids: Baker, 1987).
Moreland, J. P., dan William Lane Craig. Philosophical Foundations for a Chris-
tian Worldview (Downers Grove, IL: InterVarsity, 2003).
Swinburne, Richard. Is There a God? (Oxford: Oxford University Press, 1996).
BAGAIMANA SAYA MEMERCAYAI ALLAH YANG
TIDAK DAPAT SAYA LIHAT?
Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari
segala sesuatu yang tidak kita lihat. Karena iman kita mengerti, bahwa alam
semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah
terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat.
––Ibrani 11:1, 3
Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat
dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan
tangan kami tentang Firman hidup-itulah yang kami tuliskan kepada kamu.
Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami
bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal, yang ada
bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami.
––1 Yohanes 1:1-2
J ika Allah itu ada, mengapa saya tidak dapat melihat-Nya? Jika Dia
menampakkan diri dan orang-orang benar-benar dapat melihat-Nya—
atau jika saya bisa melihat-Nya melakukan mukjizat—maka saya akan
percaya. Namun, jika tidak begitu, saya tidak dapat percaya kepada
Allah. Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat.” Kegalauan umum
ini menimbulkan pertanyaan mengenai apa yang riil (metafisika) dan
bagaimana orang dapat mengetahui realitas (epistemologi). Dua per-
tanyaan muncul dalam pikiran: Apakah masuk akal untuk percaya pada
sesuatu yang tidak dapat dilihat, terutama memercayai Allah yang tak
terlihat? Dan jika Allah memang ada, mengapa Dia tidak membuat diri-
39
40 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH
tidak dapat dilihat. Dengan kata lain, jika orang percaya pada pernyataan
“Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat,” maka ia tidak akan percaya
pada pernyataan itu sendiri karena kepercayaan tersebut tidak dapat
dilihat. Pernyataan “Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat” men-
jadi kemustahilan.
dan ateistis Sagan yang berani itu mustahil hanya berasal dari metode
ilmiah induktif yang begitu diidolakannya.9 Sebenarnya, sebuah kon-
sensus ilmiah yang sedang berkembang menegaskan bahwa studi yang
cermat tentang alam semesta memperlihatkan sebuah kosmos yang terus
disempurnakan (kosmologi ledakan dahsyat, prinsip antropik)—yang
membutuhkan penyebab utama yang cerdas di balik hal itu.10 Aktivitas
ilmu pengetahuan menganggap sejumlah kebenaran dasar tidak sepe-
nuhnya berasal dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Agar aktivitas ilmiah
dapat berlangsung dan berkembang, beberapa asumsi nonempiris ten-
tang dunia harus benar (lih. bab 14).
4. “Saya tidak dapat percaya kepada Allah yang tidak dapat saya
lihat” masuk dalam kesalahan kategori.
J. P. Moreland mendefinisikan kesalahan kategori dan menjelaskan
mengapa sikap yang menuntut untuk melihat Allah yang ada di dalam
Alkitab itu tergolong dalam kesalahan tersebut:
Sebuah kesalahan kategori adalah kesalahan menempatkan suatu
karakteristik pada sesuatu yang hanya berlaku bagi objek dari kategori
yang lain. Sebagai contoh, disebut salah kategori ketika kita menetap-
kan warna untuk nada C. Suara tidak berwarna. Juga disebut salah
kategori ketika kita menyalahkan warna karena tidak berbau, hal-hal
yang universal karena tidak terletak pada satu tempat saja, dan Allah
karena tidak memiliki sebuah entitas empiris. Jika Allah itu ada, menu-
rut definisinya (dalam kekristenan ortodoks), Allah itu merupakan
Roh yang tidak terbatas. Kodrat roh bukan untuk terlihat secara empi-
ris seperti halnya objek yang bersifat materi. Disebut kesalahan kate-
gori ketika kita memberlakukan hal-hal yang berhubungan dengan
pancaindra untuk Tuhan, atau menyalahkan-Nya karena bukan menjadi
objek yang terlihat.11
Moreland mengamati pandangan Kristen historis, yakni bahwa Allah
adalah Roh yang kekal dan tidak terbatas. Jika ada alasan yang kuat
untuk memercayai kebenaran penyataan kekristenan (betapa Allah telah
menyatakan diri-Nya), maka seseorang harus dipersiapkan untuk mene-
rima Allah apa adanya. Bersikeras bahwa Sang Pencipta harus memenuhi
persyaratan epistemologis makhluk yang diciptakan-Nya mungkin meru-
pakan sikap yang gegabah dan sesat secara spiritual. Walaupun pengu-
jian intelektual, kearifan, dan pemikiran logis sangat tepat dalam upaya
44 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH
terutama melalui Yesus Kristus (lih. bab 3). Penyataan umum Allah saja
menyatakan secara meyakinkan bahwa “karakteristik tak terlihat pada
diri Allah—kuasa-Nya yang kekal dan keilahian-Nya—telah terlihat
dengan jelas dan dapat dipahami melalui ciptaan-Nya sehingga semua
orang tidak dapat mengelak” (Rm. 1:20).
Jadi, bagaimana dengan mereka yang menyatakan bahwa tidak ada
bukti yang cukup untuk membuktikan keberadaan Allah? Sebagian
orang berpendapat bahwa bagi mereka yang sadar secara spiritual dan
berpandangan terbuka, ada banyak bukti terpapar agar manusia dapat
percaya pada keberadaan Allah. Namun, bagi orang skeptis yang secara
spiritual tidak sensitif dan berpikiran sempit, masih ada cukup ketidak-
jelasan, setidaknya dalam pikirannya, yang membuat mereka tetap meng-
ungkapkan alasan ketidakpercayaan mereka. Menurut Alkitab, kejatuhan
manusia dalam dosa (pemberontakan Adam) berpengaruh pada kero-
hanian (kemampuan kognitif dan/atau pembentukan kepercayaan), yakni
dosa itu telah membutakan pikiran manusia tentang keberadaan Allah
(Ef. 2:1-3; 4:17-19).
Tanpa dosa, keberadaan Allah akan sangat jelas bagi semua orang.
Dari sudut pandang alkitabiah, orang-orang yang tidak percaya tidak
melihat betapa kekerasan hati mereka (kedegilan rohani dan moral)
menahan mereka untuk percaya kepada Allah. Ketidakpercayaan mereka
berakar dari pemberontakan dan kecongkakan, yang pada dasarnya
merupakan ibadah palsu (1Sam. 15:22-23). Kejahatan seperti itu menim-
bulkan penyembahan berhala dan amoralitas. Meskipun Allah telah mem-
berikan tanda-tanda yang kuat tentang keberadaan-Nya, orang yang
skeptis sengaja mengabaikan dan/atau menahan tanda-tanda tersebut
(Mzm. 14, 19; Rm. 1). Faktor-faktor manusiawi yang tidak rasional
seperti kesombongan dan hasrat untuk tidak bergantung pada siapa pun
menghalangi mereka untuk percaya kepada Allah. Penolakan terhadap
Allah tidak membuktikan bahwa keberadaan-Nya kurang dinyatakan.
suki dunia waktu dan ruang. Doktrin inkarnasi (lih. bab 9) mengajar-
kan bahwa Yesus Kristus datang ke dunia dengan berbalutkan daging
manusia—satu-satunya theanthropos (Allah-manusia) (lih. Yoh. 1:1,14;
Flp. 2: 6-8; Kol. 2:9).
Seorang ahli PB, Craig Blomberg, mengomentari natur historis dari
inkarnasi ini, “Iman yang alkitabiah pada dasarnya merupakan komitmen
kepada Allah yang berintervensi di dalam sejarah umat manusia dengan
memperlihatkan aktivitas-Nya untuk penelitian sejarah.”13 Injil meng-
ungkapkan kehidupan Yesus Kristus dan dimaksudkan untuk menyatakan
peristiwa-peristiwa bersejarah (lih. bab 7). Meskipun para rasul tidak
dapat benar-benar melihat natur Ilahi Yesus (karena Allah dalam hakikat-
Nya adalah Roh Tritunggal yang tidak terbatas), mereka tetap menyim-
pulkan keilahian-Nya dari karakter pribadi-Nya yang tak tertandingi,
penggenapan nubuat tentang Mesias, dan karya-karya-Nya yang ajaib
(terutama kebangkitan-Nya sendiri, lih. bab 10). Mereka juga menya-
takan diri mengalami perjumpaan dengan Kristus yang telah dibang-
kitkan. Rasul Yohanes menulis bahwa ia melihat, mendengar, dan
menyentuh Tuhan yang telah bangkit (1Yoh. 1:1-3). Para rasul lain
memiliki pengalaman serupa (Luk. 24:36-43; Yoh. 20:24-31; Kis. 9:
1-9).
Pemikir Kristen ternama, C. S. Lewis, mendorong orang untuk
memikirkan realitas munculnya Allah di dunia:
Pribadi kedua Allah, Sang Putra, menjadi manusia, lahir ke dunia sebagai
manusia sejati—seorang manusia sejati dengan tinggi badan tertentu,
dengan rambut berwarna tertentu, berbicara dalam bahasa tertentu,
dengan berat tubuh tertentu. Pribadi yang kekal itu, yang mahatahu
dan yang menciptakan alam semesta, bukan sekadar menjadi manusia,
melainkan (sebelum itu) menjadi bayi, dan sebelumnya lagi menjadi
janin di dalam tubuh seorang Perempuan.14
(Tujuan dari penampakan-Nya dibahas lebih lanjut di bab 9.)
Mata manusia tidak dapat melihat banyak hal penting yang tidak
diragukan lagi kebenarannya. Secara metafisika, hal yang tidak dapat
dilihat menjadi dasar bagi hal yang dapat dilihat. Sebagai Sosok spritual
yang tidak terbatas dan kekal, esensi Allah tidak dapat dilihat oleh
mata. Namun, itu berarti bahwa Allah kurang menyatakan diri-Nya
kepada manusia. Pernyataan Yesus kepada Filipus menjelaskan, “Barang-
48 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH
siapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh. 14:9). Penjelasan
lebih lanjut tentang bagaimana Allah telah menyatakan diri-Nya akan
dibahas di dalam bab berikutnya.
Pertanyaan Diskusi
1. Mengapa pernyataan “Saya hanya percaya pada apa yang saya
lihat” melawan dirinya sendiri?
2. Mengapa realitas-realitas abstrak dan nonempiris lebih sesuai
dengan teisme Kristen daripada dengan naturalisme?
3. Bagaimana keberadaan Allah bisa lebih disukai daripada ateisme
untuk menjelaskan tentang dunia dan kehidupan?
4. Bagaimana pandangan Kristen tentang wahyu Allah dalam
menanggapi penolakan akan keberadaan Allah?
5. Bagaimana doktrin inkarnasi membuat penyataan Allah itu
menjadi unik?
“Kami ada di sini untuk memberitakan Injil kepada kamu, supaya kamu
meninggalkan perbuatan sia-sia ini dan berbalik kepada Allah yang hidup,
yang telah menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya. Dalam zaman
yang lampau Allah membiarkan semua bangsa menuruti jalannya masing-
masing, namun Ia bukan tidak menyatakan diri-Nya dengan berbagai-bagai
kebajikan, yaitu dengan menurunkan hujan dari langit dan dengan memberikan
musim-musim subur bagi kamu. Ia memuaskan hatimu dengan makanan dan
kegembiraan.”
––Kisah Para Rasul 14:15-17
Manusia tidak pernah bersikap netral berkaitan dengan Allah. Kita dapat
menyembah Allah sebagai Pencipta dan Tuhan, atau sebaliknya, kita dapat
berpaling dari Allah. Karena hati ditujukan kepada Allah atau sebaliknya,
menentang-Nya, maka pemikiran teoretis tidak pernah menjadi semurni atau
bisa berdiri sendiri seperti yang ingin dipikirkan oleh banyak orang.
––Benjamin Breckinridge Warfield,
The Inspiration and Authority of the Bible
B agaimana orang tahu bahwa Allah itu ada? Jika Dia benar-benar ada,
apa yang bisa diketahui tentang diri-Nya, natur-Nya, dan kuasa-Nya?
Dan bagaimana Allah berelasi dengan dunia?
Jawaban kristiani yang historis untuk pertanyaan-pertanyaan ini
ditemukan di dalam doktrin pewahyuan. Pengajaran ini menggambarkan
penyingkapan atas sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui atau yang
tidak sepenuhnya diketahui. Iman Kristen menyatakan bahwa Allah
mengambil inisiatif untuk menyatakan diri-Nya secara dinamis dan tegas.
Dengan demikian, kekristenan merupakan sistem kepercayaan yang
49
50 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH
Wahyu Umum
Keberadaan, kuasa, hikmat, keagungan, kebenaran, dan kemuliaan
Allah diperlihatkan kepada semua orang di segala zaman dan tempat
melalui tatanan yang tercipta, yang meliputi alam, sejarah, dan hati nurani
manusia.4
Pernyataan inklusif ini mengambil dua bentuk yang berbeda. Pertama,
wahyu umum eksternal yang terdiri dari tatanan yang tercipta, atau alam
(yang memperlihatkan karya Allah selaku Pencipta dunia yang transenden
dan penuh kepedulian), dan urutan sejarah yang sudah ditentukan-Nya
(yang memperlihatkan karya Allah sebagai Pemelihara dunia yang ber-
daulat). Kedua, wahyu umum internal yang meliputi perasaan yang
dibawa sejak lahir atau kesadaran akan adanya Allah, dan hukum moral
di dalam hati manusia.
Wahyu umum internal secara langsung berhubungan dengan ajaran
Alkitab tentang imago Dei (gambar Allah: Kej. 1:26-27). Sebagai puncak
ciptaan Allah, manusia secara unik menampilkan citra Allah dengan
kemampuan rasionalnya, kehendak moralnya, keistimewaan relasional-
nya, kualitas spiritualnya yang unik, dan kekuasaannya atas alam. Sebagai
satu-satunya makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah,
umat manusia mencerminkan keagungan Pencipta mereka, namun dengan
cara yang terbatas. Dan setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, citra
ini menjadi ternoda.
Wahyu Khusus
Penyataan diri Allah yang lebih spesifik dan khusus diwujudkan di
dalam dan melalui tindakan-tindakan penebusan-Nya yang agung, ber-
bagai peristiwa, dan firman-Nya.5 Bentuk penyataan khusus ini muncul
di waktu-waktu dan di tempat-tempat yang khusus. Penyingkapan kebe-
radaan-Nya yang detail ini muncul dalam dua tahap: Pertama, Allah
menyatakan diri melalui umat perjanjian-Nya seperti para bapa leluhur,
nabi, dan raja Ibrani (sebagaimana dicatat dan ditafsirkan oleh para nabi
dalam PL). Kedua, wahyu Allah secara tegas mencapai puncaknya dalam
inkarnasi Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia. Kehidupan, kema-
tian, dan kebangkitan Yesus Kristus (sebagaimana dicatat dan ditafsirkan
oleh para rasul dalam PB) mencatat puncak masuknya Allah ke dalam
sejarah manusia.6
52 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH
Firman-Nya yang kudus dan ilahi, sebanyak yang kita butuhkan dalam
hidup ini, bagi kemuliaan-Nya dan demi keselamatan milik-Nya.9
Perjanjian Baru
Ayat Alkitab pendukung terpenting yang berhubungan dengan
pertanyaan tentang wahyu umum dan khusus, adalah Roma 1:18-21.15
Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman
manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman. Karena apa yang
dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah
telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak
dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat
nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga
mereka tidak dapat berdalih.
Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan
Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran
mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.
Pernyataan rasul Paulus di bagian ini sangat jelas. Ia menegaskan
bahwa semua orang “melihat” kemuliaan Allah tercermin dalam tatanan
yang tercipta. Mereka “memahami” maksud ilahi, dan dengan demikian
“tahu” bahwa Sang Pencipta itu ada (ay. 19-20).16 Dua kali Paulus mene-
kankan suatu bentuk kata Yunani ginosko (“mengetahui” lewat penga-
laman pribadi): di ayat 19—“Apa yang dapat mereka ketahui tentang
Allah” (gnoston tou theou), dan sekali lagi di ayat 21—“Sebab sekalipun
mereka mengenal Allah” (gnontes ton theon). Setidaknya empat kali,
dalam konteks yang lebih luas di ayat 18-32, ia menyebutkan bahwa
manusia mengenal Allah. Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Yunani ini
menyatakan bahwa semua orang memiliki pengetahuan yang autentik,
objektif, dan akurat tentang Allah meskipun mungkin masih berupa pema-
haman yang sederhana.
Sebuah penafsiran yang cermat terhadap pernyataan-pernyataan
Paulus mengungkapkan bahwa setidaknya kesadaran dasar tentang kebe-
radaan Allah itu nyata bagi semua orang, dan pengetahuan ini tidak kabur
56 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH
Pertanyaan Diskusi
1. Mengapa wahyu menjadi konsep yang begitu penting dalam
kekristenan yang bersejarah ini?
2. Apa perbedaan antara wahyu umum dan wahyu khusus?
3. Mengapa akan menjadi masalah bila kita melebih-lebihkan atau
sebaliknya meremehkan wahyu umum?
4. Bagaimana hubungan antara wahyu umum dan wahyu khusus?
5. Bagaimana Yesus Kristus bisa menjadi wahyu tertinggi dari
Allah?
BAGAIMANA ALLAH MENYATAKAN DIRI-NYA? 61
Orang-orang yang tidak bisa mengingat masa lalu harus mengulangi masa
lalu itu.
––George Santayana, Reason in Common Sense
Dalam hal rohani kita berutang budi kepada masa lalu yang tidak dapat kita
abaikan.
––Gerald Bray, Creeds, Councils and Christ
63
64 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH
Kredo-kredo Kekristenan
Baris pembukaan dalam Pengakuan Iman Rasuli dalam bahasa Latin
berbunyi Credo in Deum—“Aku percaya kepada Allah.” Istilah penga-
kuan iman berasal dari kata kredo dalam bahasa Latin, yang berarti “aku
percaya.” Banyak istilah teologis Inggris penting yang berasal dari bahasa
Latin karena bahasa gerejawi umat Kristen di negara Barat secara eks-
klusif menggunakan bahasa Latin selama lebih dari seribu tahun.1
Pengakuan iman dianggap sebagai pernyataan resmi yang, dalam
bentuk ringkasan, menetapkan keyakinan-keyakinan penting atau ajaran-
ajaran iman Kristen yang bersejarah. Jadi, pengakuan iman biasanya
dimulai dengan pernyataan singkat yang berusaha menangkap esensi
sistem kepercayaan Kristen. Empat pengakuan iman resmi telah dikenal
sebagai pengakuan iman ekumenis umat Kristen. Pengakuan iman ini,
yang dirumuskan dalam berbagai peristiwa sejarah gereja, meliputi
Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea, Kredo Athanasius, dan
Kredo Kalsedon.2 Pernyataan-pernyataan yang bersifat doktrinal ini
dapat ditemukan secara keseluruhan di akhir bab ini.
Pertanyaan Diskusi
1. Mengapa sebuah kajian tentang sejarah Kristen sangat penting?
2. Masalah-masalah apakah di zaman sekarang yang ada dalam
gereja yang mungkin dapat dibantu dengan penelitian serius
terhadap kredo-kredo Kristen kuno?
3. Apa hubungan antara kredo-kredo kuno dan Alkitab?
4. Bagaimana studi tentang tentang doktrin dan teologi itu dapat
menjadi sangat penting untuk pertumbuhan rohani?
5. Bagaimana studi tentang kredo dapat membantu penginjilan dan
apologetika?
Kredo Athanasius
Barangsiapa ingin diselamatkan,
harus memegang iman katolik di atas segalanya.
Jika seseorang tidak menjaganya dengan jujur dan murni,
dia akan binasa.
Iman katolik yaitu:
Kita menyembah satu Allah dalam Tritunggal
dan tritunggal dalam satu,
tanpa mencampur pribadi-pribadi
tanpa memisahkan hakikat.
Sebab pribadi Bapa adalah lain,
pribadi Putra adalah lain,
pribadi Roh Kudus adalah lain.
Tetapi ke-Allahan Bapa, Putra dan Roh Kudus satu,
dan sama dalam kemuliaan, dan kehormatan yang sama dan kekal.
BUKANKAH KREDO MERUPAKAN BAGIAN MASA LALU? 73
Sedemikian Bapa, demikian juga Putra dan demikian juga Roh Kudus.
Bapa tidak diciptakan,
Putra tidak diciptakan,
dan Roh Kudus tidak diciptakan;
Bapa tidak terhingga,
Putra tidak terhingga,
dan Roh Kudus tidak terhingga;
Bapa adalah kekal,
Putra adalah kekal,
dan Roh Kudus adalah kekal;
Meskipun demikian tidak ada tiga yang kekal;
tetapi satu yang kekal.
Tidak ada tiga yang tidak diciptakan dan yang tidak terhingga;
tetapi satu yang tidak diciptakan dan satu yang tidak terhingga.
Demikian juga Bapa mahakuasa,
Putra mahakuasa,
dan Roh Kudus mahakuasa.
Meskipun demikian tidak ada tiga yang mahakuasa;
tetapi satu yang mahakuasa.
Demikian juga Bapa adalah Allah,
Putra adalah Allah,
dan Roh Kudus adalah Allah;
Meskipun demikian tidak ada tiga Allah;
tetapi satu Allah.
Demikian juga Bapa adalah Tuhan,
Putra adalah Tuhan,
dan Roh Kudus adalah Tuhan.
Meskipun demikian tidak ada tiga Tuhan;
tetapi satu Tuhan.
Seperti kita diperintahkan oleh kebenaran Kristen
untuk menyebut setiap pribadi
adalah Allah dan Tuhan,
demikian juga kita dilarang oleh iman katolik
untuk mengatakan ada tiga Allah dan Tuhan.
Bapa tidak dijadikan siapapun dan tidak diciptakan dan tidak
dilahirkan.
74 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH
Dia satu,
bukan dengan mencampur hakikat,
tetapi dengan kesatuan pribadi.
Seperti jiwa berakal dan tubuh adalah satu manusia,
demikian juga Allah dan manusia adalah satu Kristus.
Dia menderita sengsara untuk keselamatan kita;
turun ke tempat penantian;
Dia bangkit dari kematian;
Dia naik ke surga;
dan Dia duduk di sebelah kanan Allah Bapa;
dari sana Dia akan datang untuk mengadili orang hidup dan mati.
Pada hari kedatangan-Nya semua orang akan bangkit dengan
badannya
dan mereka akan mempertanggungjawabkan perbuatan mereka
masing-masing.
Bagi yang telah berbuat baik akan masuk ke dalam kehidupan kekal,
dan yang telah berbuat jahat akan masuk ke dalam api yang kekal.
Inilah iman katolik:
barangsiapa tidak menjaganya dengan setia dan teguh, dia tidak dapat
diselamatkan.12
Kredo Kalsedon
Kita semua dengan satu suara mengakui bahwa Tuhan kita Yesus
Kristus adalah satu dan Sang Anak, yang sempurna dalam keilahian dan
kemanusiaan, Allah sejati dan manusia sejati, yang terdiri atas jiwa yang
rasional dan tubuh, yang menjadi satu substansi dengan Bapa dalam
kaitan dengan keilahian-Nya, dan menjadi satu substansi dengan kita
dalam kaitan dengan kemanusiaan-Nya, dan seperti kita dalam segala
hal kecuali dalam hal keberdosaan (Ibr. 4:15). Yesus berasal dari Bapa
sebelum ada zaman dalam kaitannya dengan keilahian-Nya, dan kemudian
lahir dari Perawan Maria, ibu dari Allah. Hidup-Nya adalah bagi kita
dan untuk keselamatan kita. Dalam kaitannya dengan manusia, Dia
adalah satu, Kristus, Sang Anak, Tuhan, Putra tunggal, yang harus diakui
dalam dua natur, tanpa kekeliruan, tanpa perubahan, tanpa pembagian,
dan tanpa pemisahan. Perbedaan natur sama sekali tidak dihapuskan
karena persatuan ini, tetapi justru ciri-ciri masing-masing natur dipeli-
hara, dan bertindak bersamaan menjadi satu Pribadi dan satu kesatuan
76 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH
Doktrin Trinitas . . . adalah kebenaran bagi hati. Fakta bahwa doktrin ini tidak
bisa dijelaskan secara memuaskan, tidak bertentangan dengan doktrin itu
sendiri, melainkan justru mendukungnya. Kebenaran semacam itu harus diberi-
takan, tak seorang pun dapat membayangkannya.
––A. W. Tozer, The Knowledge of the Holy
P
andangan tentang Trinitas mengganggu banyak orang. Kelompok
Saksi-saksi Yehova menolaknya:
Menyembah Allah menurut ketentuan-Nya berarti menolak doktrin
Trinitas. Doktrin ini bertentangan dengan apa yang dipercayai dan
diajarkan oleh para nabi, Yesus, para rasul, dan umat Kristen mula-
mula. Doktrin ini bertentangan dengan apa yang Allah katakan tentang
diri-Nya dalam firman yang diinspirasikan-Nya sendiri.1
Al Qur’an menolaknya:
Orang-orang kafirlah yang berkata, “Allah adalah satu dari tiga.” Allah
itu hanya ada satu. Jika mereka tidak berhenti mengatakan hal itu,
orang-orang kafir itu akan dihukum dengan berat.2
77
78 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH
1. Hanya ada satu Allah (satu esensi atau keberadaan Allah). Trini-
tarianisme adalah sejenis monoteisme yang unik, dan kebenaran
yang mendasari monoteisme berakar di dalam Kitab Suci PL dan
PB. Oleh karena itu, umumnya trinitarianisme ortodoks meno-
lak politeisme dan khususnya triteisme karena keduanya memi-
sahkan satu esensi Allah.
2. Ketiga pribadi Allah masing-masing Ilahi yang utuh, semua memi-
liki satu esensi Ilahi yang sama dan utuh (Allah Bapa, Allah Anak,
dan Allah Roh Kudus). Keilahian ketiga pribadi ini juga dida-
sarkan pada Kitab Suci PL dan PB.
3. Ketiga pribadi Trinitas tidak boleh dipahami sebagai tiga “bagian”
dari Allah. Setiap pribadi sepenuhnya Ilahi dan sama-sama memi-
liki seluruh keberadaan Allah.
4. Istilah “pribadi” yang mengacu pada Trinitas digunakan dalam
arti yang unik. Istilah ini tidak boleh dipahami sebagai entitas
atau keberadaan yang terpisah dan otonom karena hal itu akan
memisahkan esensi Ilahi.
5. Tidak seperti semua ciptaan Allah yang terbatas, Allah memiliki
pluralitas kepribadian di dalam satu keberadaan-Nya yang tidak
terbatas. Trinitas adalah salah satu contoh prinsip teologis yang
dikenal sebagai perbedaan Pencipta/makhluk ciptaan.
6. Para anggota Trinitas secara kualitatif sama dalam karakteristik,
natur, dan kemuliaan. Alkitab mengungkapkan kerelaan sub-
ordinasi di antara pribadi-pribadi Ilahi dalam hal posisi atau peran
(misalnya: Sang Anak tunduk kepada Sang Bapa, Roh Kudus
keluar dari Sang Bapa dan Sang Anak), tetapi di sana sama sekali
tidak ada ketidaksetaraan (inferioritas) esensi atau natur. Oleh
karena itu, pribadi-pribadi tersebut setara dalam keberadaan,
tetapi berbeda (atau menghormati) hanya dalam peran atau
posisi.
7. Para anggota Trinitas itu abadi dan sekaligus berbeda sebagai tiga
pribadi. Dengan kata lain, keilahian selamanya telah ada, kini
ada, dan selamanya akan hidup sebagai tiga pribadi: Bapa, Anak,
dan Roh Kudus. Tak satu pun dari pribadi-pribadi ini yang muncul
atau menjadi Allah pada suatu waktu tertentu. Karena itu trini-
tarianisme ortodoks menolak segala bentuk Arianisme (sebuah
BAGAIMANA ALLAH BISA MENJADI TIGA DAN SATU? 81
Hal ini bukan untuk menyatakan bahwa Kitab Suci berisi doktrin
Trinitas, melainkan Kitab Suci menjadi saksi bagi Allah yang menuntut
untuk dipahami secara Tritunggal . . . Dalam sejarah mungkin ada
bantahan yang mengatakan bahwa doktrin Trinitas terkait erat dengan
perkembangan doktrin keilahian Kristus . . . Sebagaimana yang telah
kita lihat, titik pangkal refleksi kristiani tentang Trinitas adalah kesak-
sian PB tentang keberadaan dan aktivitas Allah di dalam Kristus dan
melalui Roh.9
Meskipun tidak ada pernyataan resmi atau dogmatis yang muncul
di dalam Alkitab mengenai Trinitas, kebenaran-kebenaran yang meng-
hasilkan doktrin ini secara unik berasal dari Kitab Suci. Para rasul dan
bapa gereja yang mengikuti kebenaran-kebenaran ini mau tidak mau
menyadari akan adanya satu Allah yang dinyatakan di dalam tiga pribadi.
Dukungan Alkitab untuk doktrin Trinitas dapat ditelusuri melalui empat
unsur ini:
1. Tritunggal di dalam PL. Kebenaran tentang natur Allah makin
tampak di dalam Kitab Suci. Oleh karena itu, meskipun PL terbatas
dalam hal mendukung secara langsung doktrin Trinitas, Kitab Suci Ibrani
mengakui pandangan tentang pluralitas pribadi di dalam natur tunggal
Allah. Pluralitas ini dibuktikan di dalam fakta bahwa kata benda Ibrani
untuk Allah (’elohim) umumnya ditemukan dalam bentuk jamak, dan di
beberapa bagian PL, kata ganti dan kata kerja jamak digunakan ketika
berbicara tentang Allah.
Kejadian 1 mencatat bahwa tepat sebelum Allah hendak menciptakan
manusia, Dia berkata, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gam-
bar dan rupa Kita” (Kej. 1:26, penekanan kata bercetak miring ditambah-
kan oleh penulis). Ayat berikutnya mendefinisikan “gambar dan rupa
Kita” sebagai “gambar Allah” (Kej. 1:27). Demikian pula, setelah Adam
dan Hawa jatuh ke dalam dosa (Kej. 3), Allah berfirman, “Sesungguhnya
manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang
baik dan yang jahat” (Kej. 3:22, penekanan kata bercetak miring ditam-
bahkan penulis). Dalam konteksnya, referensi tentang Kita merujuk
kembali ke ayat 5 yang diidentifikasi sebagai “seperti Allah.” PL mem-
berikan dua bagian lain yang sifatnya serupa (lih. Kej. 11:7 dan Yes.
6:8). Meskipun ayat-ayat ini dan ayat-ayat lainnya yang menyatakan
pluralitas Allah tidak membuktikan Trinitas, ayat-ayat ini tetap konsisten
84 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH
Namun, ada lebih banyak lagi kebenaran selain Trinitas yang tidak
akan mampu dipahami oleh manusia. Banyak hal yang Allah ungkap-
kan tentang diri-Nya yang tidak dapat diduga, termasuk karakteristik-
Nya yang tidak terbatas. Misteri selalu menyertai perjumpaan manusia
dengan Allah yang transenden di dalam Alkitab. Namun, pertanyaannya
adalah apakah seorang individu akan menerima Allah sebagaimana Dia
mengungkapkan diri-Nya, termasuk misteri itu, atau sudah puas dengan
makhluk yang mereka pikir dapat sepenuhnya mereka pahami. Sayang-
nya, Thomas Jefferson hanya mau menerima Allah yang bisa dipahami
oleh pikirannya. Namun, jika pikiran manusia bisa memahami Allah,
maka Dia tidak benar-benar Allah.
C. S. Lewis menunjukkan bahwa beberapa konsep tentang Allah itu
lebih mudah daripada yang lain:
Jika kekristenan adalah sesuatu yang kita susun, tentu saja kita bisa
membuatnya dengan lebih mudah. Namun, tampaknya tidak demikian.
Kita tidak bisa bersaing, dengan mudah, dengan orang-orang yang
menciptakan agama. Bagaimana mungkin kita bisa bersaing? Kita
berhadapan dengan fakta-fakta. Tentu saja siapa pun bisa mengalami
kemudahan itu jika ia tidak memiliki fakta-fakta yang perlu dipikir-
kannya!20
belas kasihan Sang Bapa yang memungkinkan para pendosa yang berto-
bat terhindar dari penghakiman Allah. Sang Anak yang berinkarnasi
(pribadi kedua Trinitas) mampu melakukan penebusan ini karena Dia
adalah Allah dan manusia (dalam hal ini “dua Apa” dan “satu Siapa”).
Allah yang menjadi manusia ini mengalahkan kematian, dosa, dan neraka
melalui kebangkitan-Nya yang mulia dari antara orang mati. Roh Kudus
bertanggung jawab secara langsung terhadap pendosa yang lahir baru di
dalam Kristus melalui pembaruan jiwa, dan perjalanan hidup orang
percaya dalam pengudusan. Ketiga anggota Ilahi Trinitas memungkinkan
keseluruhan rencana penebusan itu terjadi. Jadi, keselamatan dari awal
sampai akhir secara langsung terkait dengan doktrin Trinitas. Teolog
Bruce Milne mencatat, “Segala sesuatu yang penting dalam agama
Kristen berpegang pada kebenaran kesatuan tritunggal Allah.”24
Pertanyaan Diskusi
1. Apa yang dimaksud dengan definisi yang jelas, singkat, dan benar
tentang Trinitas?
2. Apakah bermasalah bila kata Trinitas tidak ditulis di dalam
Alkitab?
3. Bagaimana doktrin Alkitab tentang Trinitas dapat dinyatakan
dalam lima proposisi?
4. Bagaimana Trinitas bisa berbeda dari modalisme dan triteisme?
5. Bagaimana seharusnya kesadaran akan natur tritunggal Allah
memengaruhi ibadah dan doa umat Kristen?
95
96 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH
Membela Iman
Blaise Pascal tengah menyiapkan buku tentang apologetika Kristen
(Apologie de la religion chrétienne) bagi teman-teman skeptisnya ketika
ia sedang sakit parah. Penderitaannya yang panjang (mungkin meningi-
tis karsinoma) menyebabkan Pascal mengalami kesakitan yang hebat.13
Karena tidak dapat bekerja, ia membaktikan diri dalam kehidupan iba-
dahnya dan untuk membantu orang miskin. Ia meninggal pada tanggal
19 Agustus 1662, dan meninggalkan warisan sebagai salah satu pelopor
besar ilmu pengetahuan modern dan salah satu pemikir Kristen yang
paling orisinal dalam sejarah.
Karya apologetis Pascal yang belum selesai (sebagian besar berupa
catatan, garis besar, dan fragmen) kemudian diterbitkan dengan judul
Pensées dalam bahasa Perancis (kira-kira diterjemahkan “Gagasan”).14
Meskipun Pensées sebenarnya lebih merupakan garis besar dari sebuah
buku yang lengkap, isinya sangat mendalam sehingga tetap menjadi
buku yang terlaris sepanjang masa. Tiga tema yang unik dari Pascal
100 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH
Teka-teki Manusia
Sebagai ilmuwan eksperimental, Pascal sangat menghargai nilai teori
penjelas yang dapat diterima akal sehat. Ia meyakini bahwa agar agama
atau filsafat layak dipercaya, agama atau filsafat harus memperhitungkan
realitas kehidupan yang bermakna. Salah satu realitas utama adalah
teka-teki manusia itu sendiri, yang digambarkan oleh Pascal dalam tanda
seru: “Betapa manusia itu seperti monster! Betapa aneh, betapa menge-
rikan, betapa kacau, betapa paradoks, betapa luar biasanya manusia itu!
Hakim dari segala sesuatu namun sekaligus cacing tanah yang lemah;
gudang kebenaran namun sekaligus bak cuci keraguan, dan kesalahan;
kemuliaan namun sekaligus sampah alam semesta!”15 Menurut Pascal,
manusia adalah perpaduan yang aneh dari “kebesaran dan kemalangan.”
Kebesaran manusia ditunjukkan dalam kemampuannya yang unik untuk
mengenali kemalangannya, sebagai pemikir reflektif.
Pandangan teistis Kristen menjelaskan sifat paradoks manusia
dengan menegaskan bahwa kebesaran manusia adalah akibat langsung
dari imago Dei (gambar dan rupa Allah). Sebagai makhluk yang dicip-
takan menurut gambar dan rupa Allah, manusia mencerminkan kemu-
liaan Penciptanya. Meskipun tentu dengan cara yang terbatas, manusia
tetap menunjukkan karakteristik tertentu seperti yang dimiliki Allah.
Di sisi lain, kemalangan tersebut dapat ditelusuri sampai pada keja-
tuhan manusia pertama ke dalam dosa (Kej. 3). Dosa asal adalah ajaran
Alkitab yang mengatakan bahwa seluruh umat manusia telah mewarisi
dosa, rasa bersalah, dan kebusukan moral dari Adam (Mzm. 51:7; 58:4;
Rm. 5:12, 18-19; 1Kor. 15:22).
Pascal percaya bahwa solusi akhir untuk keadaan kontradiktif manu-
sia adalah menemukan penebusan melalui pribadi Yesus Kristus. Dalam
kata-kata Pascal:
Mengenal Allah tanpa mengetahui kemalangan kita sendiri membuat
kita sombong. Mengetahui kemalangan kita sendiri tanpa mengenal
Allah membuat kita putus asa. Mengenal Yesus Kristus menyeimbang-
kan keduanya karena Dia menunjukkan Allah dan kemalangan kita sen-
diri kepada kita.16
MENGAPA SAYA HARUS BERTARUH TENTANG IMAN? 101
Pertimbangan Hati
Para ahli tidak sepakat tentang cara mengklasifikasikan pandangan
Pascal menyangkut hubungan iman dan akal sehat. Sebagian orang
menyebut Pascal sebagai seorang fideis (didefinisikan secara negatif
bahwa iman tidak memiliki dasar rasional).18 Akan tetapi, posisi Pascal
lebih rumit daripada fideisme sederhana. Ia dengan kukuh menegaskan
bahwa “agama tidak bertentangan dengan akal,”19 dan bahkan berpen-
dapat bahwa ada berbagai bukti yang mendukung kebenaran iman
Kristen. Dia mencatat bukti-bukti semacam itu sebagai nubuat Alkitab,
mukjizat (terutama kebangkitan Kristus), keberadaan bangsa Yahudi,
saksi sejarah gereja Kristen di dunia, dan kekuatan penjelasan yang unik
dari kekristenan.
Pascal memang menyatakan bahwa akal dan penyelidikan ilmiah
memiliki batasan dan bahwa akal memerlukan iluminasi iman dan wahyu
Ilahi. Baginya, bukti-bukti tradisional tentang Allah tidak memadai secara
religius (tidak seperti geometri, bukti-bukti ini secara deduktif tidak pasti).
Ia memandang bukti-bukti ini terlalu rumit dan sulit bagi kebanyakan
orang, dan meskipun bukti-bukti ini dapat memberikan pengetahuan
tentang Allah, namun tetap tidak memberikan pengetahuan tentang
Kristus. Ia menyatakan, “Alangkah jauhnya jalan yang memisahkan antara
mengenal Allah dan mengasihi-Nya.”20 Jadi, “bukti-bukti” memiliki nilai
yang terbatas. Bukti-bukti ini mungkin meyakinkan “pikiran” namun
tidak meyakinkan “hati.”
102 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH
Allah itu ada atau tidak ada. Pandangan mana yang akan kita anut? Akal
tidak bisa memutuskan pertanyaan ini. Ketidakpastian menghantui
kita. Jauh di ujung sana, sebuah koin sedang berputar dan akan jatuh
dengan kepala di atas atau di bawah. Bagaimana Anda akan bertaruh?
Akal tidak dapat membuat Anda memilih salah satu, akal tidak dapat
membuktikan mana yang salah . . . Anda harus bertaruh. Tidak ada
pilihan, Anda sudah terjun ke dalamnya. Lalu, yang mana yang akan
Anda pilih? Perhatikan: karena pilihan harus dibuat, lihatlah tawaran
mana yang paling menarik bagi Anda.29
Pascal hanya menunjukkan dua kemungkinan pilihan: pertama,
percaya kepada Allah dan membuat komitmen religius (tentu saja, ia
berbicara tentang komitmen kepada Allahnya umat Kristen). Dua
kemungkinan akan diperoleh dari pilihan ini: keyakinan seseorang bisa
benar atau salah. Jika seseorang percaya kepada Allah dan Dia benar-
benar ada, maka menurut Pascal, orang yang percaya itu siap untuk men-
dapatkan segalanya. Boleh dikatakan, bagi taruhan yang tepat, akan
mendapatkan imbalan keuntungan yang tak terbatas (hidup kekal ber-
sama Allah di surga). Di sisi lain, jika seseorang memilih untuk beriman
dan ternyata Allah tidak benar-benar ada, maka orang itu tidak akan
kehilangan apa-apa. Dalam istilah analisis biaya-manfaat, orang yang
bertaruh memegang Allah akan beruntung dalam segala hal dan tidak
bakal rugi.
Pilihan kedua adalah bertaruh melawan Allah dengan tidak percaya
kepada-Nya dan menolak membuat komitmen religius. Dua kemung-
kinan juga dapat terjadi dari pilihan ini. Ketidakpercayaan seseorang
bisa juga benar atau salah. Jika seseorang tidak percaya pada Allah dan
Allah memang tidak ada, maka orang yang tidak percaya itu tidak
mendapatkan apa-apa. Di sisi lain, jika orang tidak percaya kepada Al-
lah, tetapi ternyata Tuhan itu benar-benar ada, maka orang yang tidak
percaya itu akan kehilangan segala-galanya. Kekalahan karena salah
bertaruh akan membuat ia menderita kerugian yang tak terhingga (di
neraka karena terpisah selama-lamanya dari kehidupan Allah). Dalam
istilah analisis biaya-manfaat, orang yang bertaruh melawan Allah tidak
akan beruntung dan kalah dalam segala hal.
104 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA ALLAH
Kesimpulan
Tulisan Pascal menawarkan analisis yang tajam tentang kondisi
manusia. Tulisan ini menyusun bukti-bukti absah untuk kebenaran
kekristenan. Wager’s Pascal, meskipun terbuka terhadap kritik, tetap
layak dipertimbangkan dengan bijaksana oleh orang-orang percaya dan
tidak percaya. Bagian 2, yang meliputi lima bab, meneliti kekhasan iman
di dalam Yesus Kristus, yang dimulai dengan Injil.
Pertanyaan Diskusi
1. Menurut Pascal, dengan cara apakah kekristenan menunjukkan
kekuatan penjelasannya yang unggul dibandingkan agama-agama
lainnya?
2. Apakah yang dimaksudkan Pascal dengan “pertimbangan hati”?
3. Apakah konteks Wager’s Pascal?
4. Bagaimana orang seharusnya memakai dengan benar Wager’s
Pascal sebagai alat apologetis?
5. Terhadap kritik-kritik apa Wager’s Pascal rentan?
MENGAPA SAYA HARUS BERTARUH TENTANG IMAN? 109
MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN
TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS
APAKAH KISAH-KISAH DI DALAM INJIL TENTANG
KEHIDUPAN YESUS DAPAT DIPERCAYA?
Bersikap skeptis terhadap teks yang terdapat di kitab PB sama dengan membuat
semua hal yang klasik dari zaman purbakala menyelinap ke dalam ketidak-
jelasan, karena tidak ada dokumen kuno yang teruji secara bibliografi sebaik
PB.
––John Warwick Montgomery, History and Christianity
Skeptisisme berlebihan dari banyak teolog liberal tidak berasal dari penilaian
yang cermat terhadap data yang tersedia, tetapi dari kecenderungan dahsyat
untuk menentang hal-hal yang supranatural.
––Millar Burrows, What Mean These Stones?
111
112 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS
5. Kisah-kisah Injil tidak sesuai dengan gaya atau isi tulisan mitos
lain yang terkenal.
Analisis tentang kisah-kisah Injil mengungkapkan bahwa kisah-kisah
ini tidak memiliki kemiripan, baik dalam gaya maupun isi, dengan model
dan gaya tulisan mitos lainnya yang terkenal.39 Sebagai contoh, mukjizat-
mukjizat di dalam Alkitab tidak aneh atau dangkal seperti yang digam-
barkan di dalam literatur mitologi (mitologi Yunani). Mukjizat-mukjizat
Yesus kerap dilakukan di dalam konteks pelayanan-Nya, khususnya untuk
memuliakan Allah dan untuk memenuhi kebutuhan nyata manusia.
Sejarah dan mukjizat berdampingan di dalam Injil dengan cara sangat
berbeda dengan literatur mitologi.
APAKAH KISAH-KISAH DI DALAM INJIL TENTANG KEHIDUPAN YESUS DAPAT DIPERCAYA? 125
Kesimpulan
Secara ringkas, banyak sekali alasan historis, logis, dan tertulis untuk
menerima Injil sebagaimana adanya. Injil menyampaikan informasi
sejarah dan fakta yang sah tentang peristiwa-peristiwa di seputar kehi-
dupan Yesus. Tidak ada alasan kuat untuk memandang pernyataan,
karakter, dan kualitas Yesus Kristus sebagai mitos semata. Pernyataan-
pernyataan yang mereka munculkan tidak berasal dari analisis sejarah
yang murni (tanpa prasangka), tetapi dari pengandaian dan prasangka
anti hal-hal yang bersifat adikodrati. Tujuan dan maksud khusus dari
Injil dicatat di dalam Yohanes 20:31, “Tetapi semua yang tercantum di
sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak
Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-
Nya.”
Jadi, siapakah Yesus ini? Jati diri-Nya akan disingkapkan pada bab
berikutnya.
126 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS
Pertanyaan Diskusi
1. Bagaimana PB dibandingkan dengan karya-karya klasik zaman
kuno lainnya dalam hal bukti manuskrip?
2. Bagaimana laporan-laporan kuno di luar Alkitab tentang Yesus
dibandingkan dengan kisah-kisah di dalam Injil?
3. Apakah hubungan Injil dengan kesaksian para saksi mata mengenai
Yesus?
4. Mengapa mitos tidak dapat menyusup ke dalam kisah-kisah Injil?
Dalam hal-hal apakah Injil sangat berbeda dengan literatur mitos?
5. Bagaimana masalah prasangka yang antisupranatural dapat meme-
ngaruhi pendekatan seseorang terhadap reliabilitas Injil?
Jika hidup matinya Socrates demi memenuhi panggilannya sebagai filsuf, hidup
matinya Yesus Kristus adalah sebagai Allah.
––Jean Jacques Rousseau, Emile
Kata Yunani untuk “satu” (hen) dalam ayat ini adalah dalam bentuk
netral sehingga tidak menyiratkan bahwa Yesus dan Bapa adalah orang
yang sama. Kalimat ini bisa diterjemahkan: “Aku dan Bapa, kami adalah
satu.” Selain itu, kesatuan antara Yesus dan Bapa lebih dari sekadar
kesatuan tujuan atau tindakan. Kesatuan yang dijelaskan di sini memiliki
nuansa metafisika yang jelas (Allah).4 Orang-orang Yahudi tentu mema-
hami pernyataan Yesus itu mengacu pada Allah, karena lagi-lagi mereka
berusaha untuk melempari-Nya dengan batu.
Imam Besar itu bertanya kepada-Nya sekali lagi, katanya: “Apakah
Engkau Mesias, Anak dari Yang Terpuji?” Jawab Yesus: “Akulah Dia,
dan kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang
Mahakuasa dan datang di tengah-tengah awan-awan di langit.” Maka
Imam Besar itu mengoyakkan pakaiannya dan berkata: “Untuk apa
kita perlu saksi lagi? Kamu sudah mendengar hujat-Nya terhadap
Allah. Bagaimana pendapat kamu?” Lalu dengan suara bulat mereka
memutuskan, bahwa Dia harus dihukum mati. (Mrk. 14:61-64)
Para pemimpin agama Yahudi menangkap, mengadili, dan menja-
tuhkan hukuman mati kepada Yesus untuk kejahatan penghujatan.
Pernyataan-pernyataan-Nya di hadapan imam besar menjadi kesaksian
yang meyakinkan. Perhatikanlah empat hal dalam percakapan singkat
antara Yesus dengan imam besar Israel: (a) Dia dengan tegas meng-
identifikasi diri-Nya sebagai Mesias Israel, (b) Dia menggunakan gelar
“Anak Manusia”, yang dalam konteks-konteks tertentu dipandang sebagai
gelar ilahi (Dan. 7:13-14), (c) Dia menggambarkan diri-Nya duduk di
“sebelah kanan” Allah, yang menyiratkan bahwa Dia memiliki otoritas
Allah, dan (d) Dia mengisyaratkan “kedatangan-Nya di atas awan-awan,”
yang mengidentifikasi diri-Nya sebagai Hakim umat manusia pada masa
yang akan datang.
Penalaran Abduktif
Meskipun ada dua cara dasar penalaran atau perdebatan di dalam
logika (deduktif dan induktif), ahli logika kadang-kadang menggunakan
metode yang kurang dikenal, yang disebut penalaran abduktif.7 Tipe
penalaran ketiga ini berupaya untuk mendapatkan penjelasan terbaik
bagi sebuah peristiwa atau serangkaian fakta tertentu. Tidak seperti
deduksi, penalaran abduktif tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti,
tetapi sebaliknya, seperti induksi, hanya menghasilkan kemungkinan
kebenaran. Namun, berbeda dengan induksi, penalaran abduktif tidak
berusaha memprediksi kemungkinan-kemungkinan spesifik yang akan
terjadi di masa yang akan datang. Sebaliknya, metode ini mencoba untuk
memberikan hipotesis penjelas yang luas dan yang terbaik.
Penalaran abduktif dapat membantu untuk menentukan penjelasan
mana dari sebuah peristiwa tertentu yang mimiliki kans yang paling benar.
Sebagai contoh, pendekatan abduktif dapat digunakan dalam upaya untuk
menentukan skenario yang paling mungkin menjelaskan isu kontrover-
sial pembunuhan Presiden John F. Kennedy (teori penembak tunggal
versus teori konspirasi).8
134 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS
Tidak ada tes yang solid dan cepat untuk mengevaluasi antara hipo-
tesis yang satu dengan hipotesis yang lain. Namun, tujuh kriteria berikut
ini secara umum diterima di kalangan ahli logika.9 Hipotesis penjelas
yang terbaik (1) seimbang antara kompleksitas dan kesederhanaan,
(2) koheren, (3) sesuai dengan fakta, (4) menghindari praduga yang tidak
beralasan dan penjelasan ad hoc, (5) dapat diuji, (6) menghasilkan prediksi
yang bermanfaat, dan (7) dapat menyesuaikan diri untuk mengakomodasi
kemungkinan bukti yang menentang. Hipotesis yang mendapat skor
tertinggi pada kriteria tersebut dapat dikatakan memiliki daya dan
cakupan penjelasan yang benar. Menerapkan skema ini dapat mem-
bantu mengevaluasi berbagai penjelasan tentang kehidupan Yesus.
alasan ini, pandangan ini harus dianggap sebagai hipotesis penjelas yang
tidak masuk akal dan tidak memadai.
Yesus hanya “orang besar,” juga “guru yang hebat,” namun bukan
Allah.
Banyak orang cenderung mengambil posisi ini karena sesuai dengan
kebiasaan dunia alam dan menghindari hal-hal yang supernatural/
adikodrati. Namun, karena gambaran Yesus di dalam PB didasar-
kan pada sumber-sumber sejarah yang kuat, maka memandang Yesus
hanya sebagai orang besar secara intelektual tidak dapat dipertahankan
karena dua hal berikut:
1. Seseorang tidak bisa menjadi “besar” dan membuat jenis per-
nyataan yang Yesus katakan tentang diri-Nya. Pernyataan-pernyataan
semacam itu akan menggambarkan-Nya sebagai seorang megalomaniak.
Mengapa? Karena Yesus berbicara tentang diri-Nya dengan cara yang
muluk-muluk.16 Beberapa pernyataan-Nya “Akulah” di dalam Injil
Yohanes menggambarkan:
“Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku,
ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang
hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-
lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?” (Yoh. 11:25-26).
“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun
yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh. 14:6).
“Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan
berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang
hidup” (Yoh. 8:12).
“Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan
lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus
lagi” (Yoh. 6:35).
Orang besar (yang hanya seorang manusia) tidak akan mengatakan
hal-hal yang Yesus katakan. Bualan-bualan semacam itu akan mendis-
kualifikasi-Nya dan tidak mungkin dipertimbangkan sebagai orang
besar.
138 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS
Tabel 8.1
Jati Diri Yesus: Siapakah Yesus?
Argumen Yesus (penalaran terhadap hipotesis penjelas yang terbaik)
Pertanyaan Diskusi
1. Dengan cara apakah baik langsung maupun tidak langsung Yesus
menyatakan diri-Nya sebagai Allah?
2. Bagaimana penalaran abduktif bisa membantu dalam menguji
berbagai pandangan yang ada tentang identitas Yesus?
3. Mengapa Yesus bukan orang baik jika Dia mengaku sebagai
Allah, padahal tidak demikian?
4. Dapatkah Anda memikirkan alternatif-alternatif masuk akal
lainnya tentang kemungkinan identitas Yesus?
5. Bagaimana orang bisa menggunakan pertanyaan Yesus “Siapa-
kah Aku ini?” sebagai sarana penginjilan dan apologetis yang
efektif kepada orang-orang yang tidak percaya?
148 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS
149
150 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS
padanan katanya dalam bahasa Yunani adalah (1Yoh. 4:2, “Yesus Kristus
telah datang sebagai manusia” [en sarki]). Doktrin inkarnasi merupakan
inti pemberitaan Injil di Alkitab, karena mengungkapkan pribadi dan
natur sejati Tuhan dan Juruselamat Yesus Kristus.
Doktrin ini mengajarkan bahwa Logos yang kekal (Sang Firman),
pribadi kedua Trinitas, tanpa mengurangi keilahian-Nya, telah sepenuh-
nya mengambil natur manusia bagi diri-Nya. Secara lebih spesifik, dok-
trin ini menjelaskan bahwa natur ilahi yang sepenuhnya dan tak berkurang
sedikit pun dan natur manusia yang sepenuhnya dan sempurna telah
bersatu tak terpisahkan di dalam satu pribadi yang historis dan Ilahi,
yakni Yesus dari Nazaret. Menurut Kitab Suci, Yesus Kristus adalah
Anak Allah di dalam daging manusia (theanthropos, Allah-manusia).
Persatuan Hipostasis
Sebagai Anak Allah yang berinkarnasi, Yesus Kristus adalah satu
pribadi dengan dua natur. Sesuai dengan Pengakuan Kalsedon, kedua
natur (Allah dan manusia) “tetap berbeda, utuh, dan tidak berubah, tanpa
campuran atau kekeliruan, sehingga satu pribadi, Yesus Kristus, adalah
Allah sejati dan manusia sejati.”4 Kristus sehakikat (homoousios) dengan
Bapa dalam keilahian-Nya dan sehakikat dengan manusia dalam kemanu-
siaan-Nya. Dua natur yang sempurna bersatu selamanya di dalam satu
pribadi (hipostasis) Yesus Kristus. Oleh karena itu, persatuan hipostasis
yang terjadi mengacu pada persatuan dua kodrat yang berbeda dalam
satu pribadi Yesus Kristus (tanpa membagi pribadi itu atau mengacaukan
kodratnya). Secara filosofis, sebagai Allah-manusia, Yesus Kristus adalah
“dua Apa” (yakni, “apa” yang Ilahi [atau natur] dan “apa” yang manusia
[atau natur]) dan “satu Siapa” (yakni, satu “pribadi” atau “diri”).
Kenosis
Konsep kenosis5 (dari kata Yunani ekenosen: Fil. 2:7 “melepaskan
diri,” atau “mengosongkan diri”) merupakan upaya untuk menjelaskan
bagaimana kedua natur Kristus berhubungan satu sama lain dalam
kaitannya dengan Allah yang menjadi manusia. Meskipun ada banyak
teori yang disebut sebagai teori kenosis di era modern, dua model teori
dipertimbangkan secara singkat di sini.
BAGAIMANA YESUS KRISTUS BISA MENJADI ALLAH SEKALIGUS MANUSIA? 153
1. Yesus Kristus adalah satu pribadi yang memiliki dua natur yang
berbeda: natur yang sepenuhnya Allah dan natur yang sepenuhnya
manusia (kesatuan dalam pribadi dan dualitas dalam natur).
Dengan demikian, pribadi historis Yesus dari Nazaret adalah
Allah-manusia.
2. Meskipun Kristus memiliki dua natur, Dia tetap merupakan
kesatuan pribadi yang tunggal (bukan dua pribadi yang berbeda).
Natur manusia-Nya hanya ada untuk tujuan persatuan ini, dan
tidak memiliki subsistensi personal yang independen. Kristus
adalah pribadi yang sama, baik sebelum dan sesudah inkarnasi.
Perbedaannya sebelum inkarnasi Dia hanya memiliki satu natur,
yakni natur Ilahi. Setelah inkarnasi, Anak Allah ini menambahkan
satu natur lagi pada diri-Nya—natur manusia—yang ada bersama-
sama dengan natur ilahi yang sudah dimiliki-Nya dan senantiasa
dimiliki-Nya. Meskipun Yesus Kristus memiliki kesadaran Ilahi
dan kesadaran manusia (dan dua kehendak, Ilahi dan manusia,
karena adanya dua natur itu), tetapi Dia tetap satu pribadi. Orto-
doksi Kristen menolak bidat Nestorian yang mengajarkan bahwa
ada dua pribadi yang terpisah di dalam Kristus.
3. Melalui natur Ilahi-Nya, Yesus Kristus adalah Anak Allah, pribadi
kedua dari Trinitas yang berinkarnasi, yang dengan sepenuhnya
dan bersama-sama berbagi satu esensi Ilahi dengan Bapa dan Roh
Kudus. Ortodoksi Kristen menolak bidat Arianisme yang meman-
dang Yesus hanya sebagai makhluk yang menyerupai Allah.
4. Melalui natur manusia, Yesus Kristus adalah manusia sepenuh-
nya, dan memiliki semua karakteristik penting manusia sejati.
Ortodoksi Kristen menolak Doketisme, yang menyangkal
kemanusiaan sejati Kristus.
5. Sifat atau karakteristik kedua natur ini mungkin lebih tepat dise-
but sebagai satu pribadi. Dengan kata lain, pribadi Yesus Kristus
yang satu itu mempertahankan semua karakteristik kedua natur
(mis., melalui natur Ilahi-Nya Dia mahatahu, sementara secara
bersamaan melalui natur manusia-Nya Dia mungkin tidak memi-
liki pengetahuan). Melalui konsepsi Kristus yang ajaib [oleh Roh
Kudus], Dia tidak mewarisi natur keberdosaan manusia.
BAGAIMANA YESUS KRISTUS BISA MENJADI ALLAH SEKALIGUS MANUSIA? 155
Pertanyaan-Pertanyaan Penting
Kesepuluh poin esensial dasar ini memicu timbulnya beberapa perta-
nyaan penting tentang doktrin inkarnasi.
tidak ada bagian khusus yang mencatat bahwa Yesus berkata “Akulah
Allah,” setidaknya tujuh (dan mungkin sebanyak sepuluh) referensi spe-
sifik PB menyebut Yesus sebagai Allah (Yun.: theos).9 Alkitab benar-
benar mendukung keilahian dan kemanusiaan Yesus Kristus.
Ratusan ayat mendukung doktrin inkarnasi.10 Sebuah survei singkat
yang mendasari materi doktrin Kristen yang khas dan penting, diberikan
di bawah ini pada “Dukungan alkitabiah terhadap keilahian Kristus”
dan “Dukungan alkitabiah terhadap kemanusiaan Kristus.” Selain teks,
empat bagian khusus secara eksplisit mengajarkan doktrin inkarnasi
(tetapi lih. juga Rm. 1:2-5, 9:5; 1Tim. 3:16; Ibr. 2:14, 5:7; 1Yoh. 1:1-3):
Objek penyembahan (Mat. 28:16-17; Yoh. 5:23; 20:28; Flp. 2:10-11; Ibr. 1:6)
Objek iman yang menyelamatkan (Yoh. 14:1; Kis. 10:43; 16:31; Rm. 10:8-13)
Gambar dan representasi Allah (Kol. 1:15; Ibr. 1:3)
Karakteristik atau sifat Ilahi yang dinyatakan oleh Yesus Kristus atau dikaitkan
dengan-Nya
Keberadaan kekal (Yoh. 1:1, 8:58; 17:5; 1Kor. 10:4; Kol. 1:17; Ibr. 13:8)
Keberadaan diri (Yoh. 1:3; 5:26; Kol. 1:16; Ibr. 1:2)
Kekekalan (Ibr. 1:10-12; 13:8)
Mahahadir (Mat. 18:20; 28:20; Ef. 1:23; 4:10; Kol. 3:11)
Mahatahu (Mrk.2:8; Luk. 9:47; Yoh. 2:25; 4:18; 16:30; Kol. 2:3)
Mahakuasa (Yoh. 1:3; 2:19; Kol. 1:16-17; Ibr. 1:2)
Kedaulatan (Flp. 2:9-11; 1Ptr. 3:22; Why. 19:16)
Otoritas (Mat. 28:18; Ef. 1:22)
Kehidupan di dalam diri-Nya (Yoh. 1:4; 5:26; Kis.3:15)
Yesus Kristus mengalami sakit fisik dan kematian (Mrk. 14:33-36; Luk. 17:25;
22:63; 23:33; Yoh. 19:30)
Yesus Kristus menunjukkan betapa Dia memiliki berbagai macam emosi
manusia
Sukacita (Luk. 10:21; Yoh. 17:13)
Kesedihan (Mat. 26:37)
Persahabatan (Yoh. 11:5)
Belas kasihan (Mrk. 1:40-41)
Menangis (Yoh. 11:35)
Keheranan (Luk. 7:9)
Kemarahan (Mrk. 3:5; 10:14)
Kesepian (Mrk. 14:32-42; 15:34)
Yesus Kristus memiliki semua kualitas esensial manusia
Tubuh (Mat. 26:12)
Tulang (Luk. 24:39)
Daging (Luk. 24:39)
Darah (Mat. 26:28)
Jiwa (Mat. 26:38)
Kehendak (Yoh. 5:30)
Roh (Yoh. 11:33)
Selain dukungan ayat Alkitab di atas, ada empat ayat Alkitab yang
secara khusus mengajarkan doktrin inkarnasi.
1. “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh.
1:14). Injil Yohanes secara eksplisit mengungkapkan bahwa Sang Firman
(Kristus yang sudah ada sebelum berinkarnasi), yang bersama dengan
Allah dan adalah Allah (Yoh. 1:1), kini telah menjadi manusia (sarx
egeneto). Ayat dalam bahasa Yunani itu dapat diterjemahkan secara har-
fiah, “Firman itu telah menjadi daging sebagai seorang manusia dan untuk
sementara tinggal di antara kita.”14
2. “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan
perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam
rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik
yang harus dipertahankan” (Flp. 2:5-6). Di dalam ayat ini, rasul Paulus
berbicara tentang Yesus Kristus yang memiliki natur atau bentuk Allah
(en morphe theou) sebelum menjadi manusia. Dia yang memiliki (dan
tidak perlu “merebut”) hak prerogatif dan status Ilahi, telah merendahkan
BAGAIMANA YESUS KRISTUS BISA MENJADI ALLAH SEKALIGUS MANUSIA? 159
Jika Yesus Kristus adalah Allah dan karena itu natur-Nya setara
dengan Bapa, lalu bagaimana menjelaskan beberapa ayat di dalam
PB yang tampaknya menempatkan Kristus lebih rendah daripada
Bapa?
Kelompok-kelompok tertentu, baik pada zaman dulu maupun seka-
rang, menolak keilahian Kristus (dan tentunya juga doktrin Trinitas)
karena mereka percaya bahwa Kristus lebih rendah (inferior) daripada
Bapa di dalam natur atau esensi. Mereka yang menganut pandangan ini
(subordinasionisme) biasanya menunjukkan beberapa ayat yang, pada
pengujian awal, tampaknya memberi kesan bahwa Kristus lebih rendah
dari Allah Bapa. Namun, ketika dipahami dalam konteks teologis yang
tepat, ayat-ayat ini tidak mendukung pandangan tersebut. Sebelum
menguji beberapa ayat ini, dua syarat teologis harus ditekankan.
Pertama, selama kehidupan-Nya di dunia, Yesus Kristus merendahkan
diri, mengambil peran seorang hamba. Sebagai manusia, Yesus memilih
untuk tidak mempertahankan status dan kemuliaan Allah. Oleh karena
itu, dalam peran-Nya sebagai hamba, Dia menyerahkan kepada Bapa
dan mengatakan bahwa Bapa lebih besar daripada-Nya. Namun, Bapa
lebih besar hanya dalam kedudukan, peran, atau “pangkat” (fungsi), tetapi
tidak lebih besar dalam hal natur (esensi).
160 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS
“anak sulung” (dalam bahasa Yunani, prototokos) dalam konteks ini tidak
berarti “anak pertama.” Sebaliknya, anak sulung di sini mau menerang-
kan tentang yang pertama dalam hal kedudukan, pewaris, atau keung-
gulan. Seperti pewaris sulung dalam keluarga Yahudi, Sang Anak (Kris-
tus) adalah pewaris dari semua ciptaan.
4. “Kepala dari Kristus ialah Allah” (1Kor. 11:3). Rasul Paulus
menulis di dalam 1 Korintus 11:3, “Tetapi aku mau, supaya kamu
mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus,
kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah
Allah.” Ayat ini tidak mengajarkan bahwa Kristus lebih rendah dalam
esensi daripada Bapa. Ayat ini mengajarkan tentang otoritas fungsional
yang sesuai, bukan tentang inferioritas keberadaan. Paulus menyatakan
bahwa kepala (yang berotoritas) dari perempuan adalah laki-laki meski-
pun laki-laki dan perempuan setara sebagai ciptaan karena keduanya
diciptakan menurut gambar Allah (Kej. 1:26-28), dan dengan demikian
sama-sama memiliki martabat dan nilai-nilai moral yang melekat. Namun,
ayat ini menunjukkan bahwa kepatuhan fungsional dan/atau sukarela,
selaras dengan kesetaraan keberadaan. Kristus lebih rendah daripada
Bapa, tetapi kepatuhan ini bersifat sukarela dan merupakan ciri peran
Kristus sebagai hamba ketika berada di Bumi.
Pertanyaan Diskusi
1. Bagaimana doktrin inkarnasi dinyatakan?
2. Apa arti istilah persatuan hipostasis?
3. Bagaimana orang bisa menjawab tuduhan bahwa Kristus bukan
Allah karena Dia lebih rendah daripada Sang Bapa?
BAGAIMANA YESUS KRISTUS BISA MENJADI ALLAH SEKALIGUS MANUSIA? 167
Makna kebangkitan adalah perkara teologis, tetapi fakta dari kebangkitan ada-
lah persoalan historis.
––Wilbur Smith, Therefore Stand: Christian Apologetics
169
170 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS
itu, beberapa rasul Yesus berlari ke kubur itu dan juga mendapati kubur
itu telah kosong dan tubuh Yesus sudah tidak ada lagi.
Selama periode empat puluh hari setelah peristiwa itu, mulai dari
Minggu Paskah, Yesus menampakkan diri, dalam keadaan hidup secara
fisik, di hadapan banyak orang di berbagai tempat. Menurut Injil dan
surat-surat para rasul di PB, Yesus yang telah bangkit itu menampakkan
diri kepada individu-individu, kelompok-kelompok kecil, kumpulan-
kumpulan besar, teman dan musuh, orang-orang percaya dan tidak
percaya, perempuan dan laki-laki, di depan umum maupun secara pribadi.
PB secara khusus menyebutkan adanya dua belas penampakan kebang-
kitan yang berbeda: kepada Maria Magdalena (Yoh. 20:10-18), Maria
dan para perempuan lainnya (Mat. 28:1-10), Petrus (Luk. 24:34; 1Kor.
15:5), dua murid yang sedang dalam perjalanan ke Emaus (Luk. 24:13-
35), sepuluh rasul (Luk. 24:36-49), sebelas rasul (Yoh. 20:24-31), tujuh
rasul (Yoh. 21), semua rasul (Mat. 28:16-20), lima ratus murid (1Kor.
15:6), Yakobus (1Kor. 15:7), sekali lagi kepada semua rasul (Kis. 1:4-8),
dan akhirnya, di kemudian hari, kepada Paulus (Kis.9:1-9; 1Kor. 15:8).
Karakteristik tubuh kebangkitan Yesus juga dapat dicatat. Tangan,
kaki, dan lambung masih meninggalkan tanda-tanda penyaliban-Nya (Yoh.
20:20). Tubuh-Nya yang terdiri dari daging dan tulang bisa dilihat dan
disentuh (Mat. 28:9; Luk. 24:37-40; Yoh. 20:20). Dia bahkan mengun-
dang Tomas untuk menyentuh dan memeriksa tangan dan lambung-Nya
yang terluka (Yoh. 20:27). Yesus juga makan dan minum bersama para
murid-Nya setelah kebangkitan-Nya (Luk. 24:41-43; Kis.10:41). Tubuh
kebangkitan-Nya tentu bersifat jasmaniah, tetapi telah berubah menjadi
tubuh yang mulia, abadi, dan tidak dapat dihancurkan, yang mampu
melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh tubuh biasa: Yesus
bisa muncul dan menghilang dari ruang tertutup dan Dia bisa melawan
gravitasi (naik ke atas melalui awan-awan). Karena itu, ada kontinuitas
dan diskontinuitas antara tubuh Yesus sebelum dan sesudah kebangkitan-
Nya.
Enam Bukti
Mendukung natur historis dan faktual tentang kebangkitan Yesus,
para ahli apologetika Kristen selama berabad-abad telah berbicara ten-
tang beberapa bukti yang kuat.3
174 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS
oleh Kaisar Romawi, Nero (ca. pertengahan tahun 60-an), kematian rasul
Petrus dan Paulus sebagai martir (ca. 64-66 M), dan jatuhnya Yerusalem
di bawah pemimpin militer Romawi Titus (70 M).5 Karena tidak satu
pun peristiwa-peristiwa ini, yang pasti sangat menarik perhatian orang-
orang Kristen, disebutkan di dalam Injil, beberapa ahli PB dengan yakin
berpendapat bahwa Injil Sinoptik sudah ada sejak awal tahun 60-an.
Selain itu, kitab Kisah Para Rasul mengikuti Injil Lukas sebagai karya
pendamping. Karena Kisah Para Rasul tidak menyebutkan tentang
peristiwa-peristiwa yang sangat signifikan ini, Injil sinoptik mungkin
bahkan ditulis jauh sebelum awal tahun 60-an, terutama jika berasumsi
bahwa prioritas Markus itu benar (teori yang dominan dalam ilmu penge-
tahuan modern menyatakan bahwa Markus adalah Injil yang paling awal
ditulis).
Injil-Injil ini tidak saja terlalu dini untuk menjadi mitos, tetapi Injil-
Injil ini juga terhubung ke peristiwa-peristiwa yang dilaporkan, melalui
sebuah jembatan penghubung yang kokoh dari sumber-sumber lisan dan
tertulis. Beberapa surat Rasul Paulus (Galatia 1 dan 2 Tesalonika) mung-
kin ditulis sejak akhir tahun 40-an atau awal tahun 50-an. Kritik terhadap
sumber (studi tentang sumber-sumber di balik teks tertulis) menunjuk-
kan bahwa informasi lisan dan mungkin yang tertulis juga usianya lebih
tua daripada Injil berbahasa Yunani, yang bahkan makin memperkecil
jarak antara peristiwa kehidupan Yesus dan catatan-catatan yang tertulis.
Pengetahuan tentang PB mengungkapkan banyak alasan untuk percaya
bahwa Matius, Markus, dan Lukas menggunakan sumber-sumber
tersebut.6
Teori demitologisasi (ide bahwa mitos telah menyusup ke dalam
fakta-fakta kehidupan Yesus) tampaknya hanya mungkin bila ada yang
sanggup menampilkan beberapa generasi yang di dalamnya mitos itu
pernah tumbuh.7 A. N. Sherwin-White, ahli sejarah Yunani dan Romawi
kuno dari Oxford, telah menyatakan bahwa jarak dua generasi penuh
pun tidak cukup bagi mitos dan legenda untuk berkembang dan mem-
belokkan fakta sejarah.8 Seperti dikatakan sebelumnya, mengingat inter-
val waktu yang singkat antara kehidupan Yesus dan munculnya catatan-
catatan Injil, tidak ada cukup waktu untuk mendistorsi catatan-catatan
itu. Ahli legenda Julius Muller menyatakan bahwa legenda tidak dapat
menggantikan fakta, sepanjang saksi-saksi mata masih hidup.9
APAKAH YESUS KRISTUS BENAR-BENAR BANGKIT DARI KEMATIAN? 179
Hipotesis 2: Para murid bisa saja mencuri tubuh itu dan membuat
cerita bohong.
Menurut catatan Injil, setelah kebangkitan, beberapa pemimpin
agama Yahudi menyuap para penjaga agar mengatakan bahwa mereka
telah jatuh tertidur di kubur dan bahwa rasul-rasul Yesus telah datang
pada malam hari dan mencuri tubuh-Nya (Mat. 28:11-15). Terlepas
dari bagaimana cerita ini dimulai, cerita ini sebenarnya menjadi teori
alternatif naturalistis yang paling awal untuk menjelaskan kebangkitan
Yesus. Berdasarkan hal itu, teori ini layak dianalisis.
Apakah para rasul mampu mencuri tubuh Yesus? Perlu menghindari
para penjaga dan memindahkan batu kubur yang besar yang termeterai;
membuat pencurian ini sangat tidak mungkin, terutama karena para
rasul yang ketakutan setelah Yesus ditangkap. Selain itu, jika para penjaga
sedang tidur, bagaimana mereka tahu siapa yang mencuri tubuh itu?
Dan apa motivasi yang mungkin memicu para rasul untuk mencuri
tubuh Yesus? Tidak ada manfaatnya bagi mereka dan mereka bisa kehi-
langan segala-galanya dengan melakukan hal itu. Mengarang cerita
bohong tentang kebangkitan Yesus hanya akan menyebabkan mereka
mengalami kesulitan, penganiayaan, kematian sebagai martir, dan bahkan
hukuman karena dianggap melakukan penghujatan. Jika ternyata para
rasul telah mencuri tubuh Yesus dan kemudian mereka-reka cerita bohong
mengenai penampakan kebangkitan, apakah mereka bersedia mati seba-
gai martir untuk apa yang mereka ketahui sebagai kebohongan itu?
Konspirasi semacam itu mungkin akan runtuh di bawah tekanan. Banyak
lawan yang sangat ingin membeberkan kemungkinan adanya penipuan.
Para rasul dibenci, dicemooh, dikucilkan, dipenjara, dan disiksa. Selain
APAKAH YESUS KRISTUS BENAR-BENAR BANGKIT DARI KEMATIAN? 181
itu, jika para pengikut terdekat Kristus adalah penipu, maka mereka
melawan segala sesuatu yang Yesus ajarkan tentang kebenaran dan keju-
juran. Mereka digambarkan di dalam Injil sebagai orang-orang yang
jujur dan yang menyatakan kebenaran.
Jika para rasul atau para anggota jemaat yang muncul kemudian
mereka-reka kisah kebangkitan Kristus, cerita ini tidak akan pernah
memasukkan penampakan-Nya kepada kaum perempuan. Israel pada
abad pertama tidak menganggap perempuan sebagai saksi yang dapat
dipercaya. Dan para rasul tidak akan menampilkan diri dalam sorotan
yang kurang baik seperti ini. Detail-detail yang aneh ini tampaknya tidak
konsisten dengan rekaan, tetapi konsisten dengan fakta-fakta.
Ahli apolagetika Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli mencatat, “Jika
mereka [para rasul] mengarang cerita, mereka adalah pengkhayal yang
paling kreatif, pintar, dan cerdas dalam sejarah, jauh melebihi Shakes-
peare, Dante, atau Tolkien. Kisah-kisah fiktif tidak akan sedemikian
rinci, sedemikian meyakinkan, sedemikian mengubahkan hidup, dan
sedemikian abadi seperti kisah yang diceritakan oleh para rasul.”12
Hipotesis ini secara keseluruhan tampaknya sangat tidak masuk
akal, tidak cocok dengan fakta-fakta, dan tidak memiliki kekuatan
penjelas dan ruang lingkup yang benar. Hipotesis ini tidak dapat men-
jelaskan perubahan dramatis dalam diri para rasul. Juga tidak menjelas-
kan penampakan kebangkitan kepada orang lain selain para rasul.
singkat (selama beberapa detik atau menit), yang sering disebabkan oleh
obat-obatan atau secara ekstrem karena tidak makan, minum, atau tidur.13
Halusinasi biasanya terjadi pada orang-orang yang sangat gugup dan/
atau berperasaan sangat halus. Penampakan kebangkitan dialami oleh
berbagai orang, dalam berbagai waktu, di berbagai tempat, dalam ber-
bagai keadaan, selama empat puluh hari. Hipotesis halusinasi tidak bisa
menjelaskan konsistensi data dari keragaman sumber seperti itu. Maria
yang berduka di taman mungkin sejenak rentan terhadap halusinasi,
tetapi bagaimana dengan orang-orang yang ragu-ragu terhadap motif
Yesus, seperti saudara-Nya Yakobus, atau Saulus dari Tarsus yang terang-
terangan memusuhi-Nya? Rasanya mustahil lebih dari 500 orang yang
dilaporkan menyaksikan kebangkitan Kristus (1Kor. 15:6) semuanya
memiliki halusinasi yang sama.
Para murid menggambarkan pertemuan-pertemuan akrab dengan
Yesus yang bangkit, di mana mereka berulang kali melihat, mendengar,
menyentuh, berbincang-bincang, dan bahkan makan dengan-Nya. Ber-
bagai pertemuan pribadi ini cocok dan sesuai dengan hubungan mereka
dengan Kristus sebelum kebangkitan-Nya. Pengalaman semacam ini
berbeda dengan keadaan halusinasi.
Para rasul, karena mereka orang Yahudi ortodoks, tidak siap untuk
percaya kepada Mesias yang telah bangkit. Konsep mereka tentang
kebangkitan terbatas pada kebangkitan umum umat manusia dalam
penghakiman ilahi pada masa yang akan datang. Karena halusinasi hanya
merupakan proyeksi dari apa yang sudah ada di dalam pikiran, dan karena
para rasul tidak memiliki harapan akan kebangkitan, mereka tidak akan
berhalusinasi tentang kebangkitan. Hipotesis ini gagal menjelaskan kubur
yang kosong, dan seperti kebanyakan hipotesis lainnya, gagal memper-
hitungkan fakta-fakta lain juga. Karena itu hipotesis ini tidak memiliki
kekuatan penjelas yang nyata.
Pertanyaan Diskusi
1. Mengapa kebangkitan penting untuk membenarkan pernyataan-
pernyataan Kristus?
2. Mengapa kebangkitan sangat penting bagi setiap orang percaya?
3. Dapatkah Anda membuat daftar dan menjelaskan rangkaian bukti
yang mendukung kebangkitan Kristus?
4. Apakah masalah mendasar dari penjelasan-penjelasan alternatif
tentang kebangkitan Yesus?
5. Bagaimana kebangkitan memenuhi kebutuhan eksistensial
manusia yang terbesar?
186 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS
Penebusan dosa berada di pusat iman Kristen. Kristus telah mati menggantikan
kita, menjadi objek murka Allah dan kutukan hukum, dan menebus keselamatan
bagi semua orang percaya.
––John Jefferson Davis, Handbook of Basic Bible Texts
187
188 MEMIKIRKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG IMAN KEPADA YESUS KRISTUS
ini membuat makna kematian Yesus di kayu salib jauh lebih mudah
dipahami.
Dosa Ditelanjangi
Menurut Alkitab, kebutuhan seseorang untuk mendapatkan kese-
lamatan berasal dari kenyataan bahwa ia adalah orang berdosa. Namun,
hal ini segera memunculkan beberapa pertanyaan penting tentang dosa,
seperti apa dosa itu dan dari mana asalnya. Alkitab menjawab per-
tanyaan-pertanyaan kritis tentang sifat, asal, jenis, efek, dan luasnya dosa.1
Penyelamatan Ilahi
Allah dengan kasih dan belas kasihan-Nya yang tak terbatas mem-
berikan jalan bagi manusia yang berdosa untuk menghindari hukuman
kekal—dan hal itu hanya terjadi di dalam diri Yesus Kristus (Yoh. 14:6;
Kis. 4:12). Keselamatan dapat dicapai dengan bertobat (berpaling) dari
dosa dan percaya (memiliki keyakinan teguh) bahwa Yesus Kristus adalah
Mesias yang Ilahi, bahwa Dia mati di kayu salib sebagai kurban penebusan
dosa, dan bahwa Dia bangkit secara fisik dari kematian (1Kor. 15:3-4).
Keselamatan adalah hadiah langsung dan eksklusif dari kasih karunia
Allah (kebaikan yang tidak layak diterima), yang hanya bisa dipahami
melalui iman, dan yang sepenuhnya ditanggung oleh Yesus Kristus (Ef.
2:8-9).
Sebuah pembahasan singkat tentang doktrin penebusan10 (karya
penebusan Kristus di atas kayu salib) adalah sebagai berikut:
Pertanyaan Diskusi
1. Apakah sebenarnya dosa itu? Bagaimana dosa berbeda dengan
dosa-dosa?
2. Apakah dosa asal itu dan bagaimana hal tersebut memengaruhi
manusia?
3. Kematian Kristus sebenarnya menyelamatkan orang-orang per-
caya dari apa?
4. Bagaimana kematian Kristus menyelesaikan murka Allah terhadap
dosa?
5. Bagaimana identitas Yesus memengaruhi keefektifan karya pene-
busan-Nya?
MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN
TERHADAP IMAN KRISTEN
BUKANKAH SEMUA AGAMA MENUNTUN
KEPADA ALLAH?
Pluralisme adalah salah satu dari tiga atau empat ancaman paling serius ter-
hadap integritas iman Kristen pada akhir abad XX.
––Ronald H. Nash, Is Jesus the Only Savior?
201
202 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong
langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya
kita dapat diselamatkan” (Kis. 4:12).
Alasan yang diungkapkan Hick untuk merangkul pluralisme agama
dan bukannya kekristenan ortodoks yang bersejarah (iman yang dianut-
nya ketika ia masih muda) berasal dari penolakannya terhadap Alkitab
sebagai wahyu proposisional Allah dan dalam kesimpulannya bahwa
doktrin agama Kristen tentang inkarnasi tidak historis dan membi-
ngungkan secara logika.22 Ia bersikeras bahwa inkarnasi itu adalah sebuah
mitos.23 Hick juga memandang eksklusivisme pandangan kekristenan
yang historis itu sempit secara intelektual dan tidak dapat diterima secara
moral. Namun, penolakan Hick yang berani terhadap klaim kebenaran
kekristenan yang historis menciptakan masalah logika bagi pandangan
pluralistiknya yang luas.
Filsuf Kristen C. Stephen Evans menunjukkan bahwa “Bagian pen-
ting dari iman Kristen adalah bahwa Yesus itu Allah secara unik dan
eksklusif. Akibatnya, semua agama tidak bisa sama-sama benar. Jika
semua agama sama-sama benar, maka agama Kristen itu salah, jadi tidak
semua agama benar.”24 Akhirnya, pandangan yang benar harus menjadi
salah satu dari dua hal ini: (1) Kekristenan dan semua agama eksklusif
lainnya salah, dan semua agama lainnya yang inklusif itu benar; atau
(2) semua agama secara metafisika salah. Dengan kata lain, pluralisme
mendefinisikan ulang konsep umum agama tentang transformasi etika
dan menolak setiap pernyataan kebenaran yang konkret yang akhirnya
mungkin akan menimbulkan kontradiksi di antara agama-agama. Seo-
rang pluralis tidak benar-benar dapat menyerap pernyataan kebenaran
dari agama apa pun.
Meskipun Hick tampaknya menganggap pernyataan eksklusif kekris-
tenan yang historis itu picik dan arogan, sebenarnya pernyataan plural-
istisnya sendiri meremehkan hampir semua ciri khas agama-agama. Hal
ini membuat toleransi pandangan pluralistis ini dipertanyakan/dira-
gukan. Bukannya mewujudkan analisis yang netral dan objektif tentang
agama, pandangan tentang sebuah realitas tertinggi yang tak terpahami
ini berhubungan erat dengan pemahaman monistik Timur tentang yang
Allah. Namun, mengapa memilih monisme daripada teisme? Para plu-
ralis seperti Hick tampaknya menganggap bahwa mereka benar-benar
212 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
Pertanyaan Diskusi
1. Apa perbedaan antara pluralisme sosial dan pluralisme metafisika?
2. Masalah-masalah utama apa yang muncul dengan adanya plu-
ralisme agama?
3. Bagaimana pluralisme filosofis Hick berusaha menyelamatkan
pluralisme agama?
4. Dari perspektif kristiani, apa yang salah dengan analogi gajah?
5. Apa yang salah dengan pernyataan Campbell bahwa semua agama
itu benar secara metaforis namun salah secara harfiah?
214 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
Apakah kasih karunia Allah terbatas secara relatif pada segelintir orang yang,
sering kali secara kebetulan dalam hal waktu dan letak geografi, menanggapi
Injil?
––Clark H. Pinnock, More than One Way?
Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab
di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia
yang olehnya kita dapat diselamatkan.
––Kisah Para Rasul 4:12
215
216 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
kekristenan adalah agama wahyu dan wahyu itu sangat penting untuk
mengenal Allah.
Menurut kekristenan historis, Allah telah menyatakan diri-Nya
dalam dua cara yang berbeda (dijelaskan lebih lengkap di dalam bab 3):
(1) melalui dunia ciptaan-Nya, yang disebut sebagai wahyu umum (yang
menyampaikan pengetahuan tentang Allah melalui tatanan yang
diciptakan) dan (2) melalui Firman-Nya yang disebut sebagai wahyu
khusus (yang menyampaikan pengetahuan tentang Allah melalui sejarah
penebusan).
Kebenaran dan realitas Allah yang mengungkapkan diri-Nya kepada
manusia sangat penting untuk membentuk sudut pandang kristiani
tentang agama-agama di dunia. Dari perspektif alkitabiah, Allah tidak
menyembunyikan diri di langit dan meninggalkan manusia mengembara
tanpa tujuan dan mencari-cari dalam kegelapan mengenai keberadaan,
natur, karakteristik, dan kehendak-Nya. Dalam hal ini, perbedaan yang
tajam dapat dilihat antara agama dan wahyu.4
Agama, seperti yang dipahami secara tradisional, biasanya mencer-
minkan pencarian spekulatif dan tidak pasti dari manusia terhadap
Allah yang tidak dungkapkan atau tidak sepenuhnya diungkapkan (misteri
Ilahi). Inisiatif untuk menemukan kebenaran tentang Allah di dalam
agama-agama seperti itu dilakukan oleh makhluk yang terbatas dan tidak
sempurna, yakni manusia. Sebaliknya, wahyu Alkitab mencerminkan
Allah yang menjangkau manusia secara jelas dan spesifik menyatakan
diri-Nya dalam tindakan penciptaan dan penebusan. Menurut Kitab
Suci, inisiatif untuk menemukan kebenaran tentang Allah tidak berasal
dari manusia, tetapi dari Allah sendiri. Meskipun Allah tidak terbatas
dan sempurna, Dia tetap menyatakan diri-Nya dengan cara yang dapat
ditangkap secara signifikan oleh makhluk ciptaan-Nya.
Perbedaan penting lainnya antara agama pada umumnya dan wahyu
alkitabiah terletak pada definisi kebenaran. Dalam banyak tradisi keaga-
maan dunia, terutama agama-agama Timur, kebenaran-kebenaran
tentang Allah bersifat mistis dan esoteris dan karena itu tidak memenuhi
syarat sebagai klaim kebenaran yang proposisional (faktual, logis).
Karena alasan ini, kontradiksi logis dan inkonsistensi faktual di antara
agama-agama di dunia ini dipandang sebagai konsekuensi utama (atau
bahkan sebagai indikasi kedalaman spiritual).
218 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
adalah Allah Putra, Pribadi Kedua Trinitas, yang menjadi manusia, yang
telah datang secara pribadi ke bumi untuk mendamaikan dunia dengan
diri-Nya melalui pengurbanan-Nya di kayu salib (2Kor. 5:19). Yesus
Kristus bukan hanya dinyatakan secara unik sebagai Tuhan dan Juru-
selamat dunia (Rm. 10:9-13; Flp. 2:5-11), tetapi juga seperti Yahweh di
dalam PL yang dinyatakan sebagai Tuhan dan Juruselamat dengan
mengesampingkan semua yang disebut tuhan dan juruselamat (1Kor.
8:5-6; 1Tim. 4:10).
Tabel 13.1
Membandingkan para pemimin agama-agama di dunia
ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong
langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang oleh-
nya kita dapat diselamatkan” (Kis. 4:12, penekanan pada kata bercetak
miring ditambahkan oleh penulis).12
Identitas unik dan klaim eksklusif Yesus Kristus berbeda dengan
identitas dan klaim dari semua pemimpin agama besar lainnya. Hanya
Yesus yang membuat klaim tentang otoritas Ilahi dan menopangnya
dengan hak-hak istimewa dan bukti-bukti keilahian. Doktrin kristosentris
tentang inkarnasi, penebusan, dan kebangkitan membentuk inti kekris-
tenan, dan kebenaran-kebenaran itulah yang membedakan agama Kristen
dari semua agama lainnya.13 Tidak akan ada juruselamat lainnya karena
Allah secara pribadi, akrab, unik, tegas, dan sampai pada kekekalan
dinyatakan di dalam pribadi Yesus Kristus. Semua orang di mana pun
berada, tanpa memandang budaya, ras, atau warisan agama, harus
memandang kepada-Nya untuk mendapatkan keselamatan. Rasul-rasul-
Nya pernah berkata, “Barangsiapa memiliki Anak, ia memiliki hidup ;
barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup” (1Yoh. 5:12).
berdaulat itu berlaku, terlepas dari bagaimana hal itu tampaknya, bahkan
untuk orang-orang yang belum mengenal Injil.
perlakuan yang baik tanpa membedakan ras, jenis kelamin, kelas sosial,
atau keyakinan agama. Umat Kristen dipanggil oleh Allah untuk menjaga
hak individu sesamanya agar orang itu meyakini agama yang telah mereka
pilih, entah apakah keyakinan khusus mereka itu salah, tidak masuk
akal, atau bertentangan dengan kebenaran kristiani. Hal ini pada dasar-
nya sama dengan menghormati kepribadian manusia, kemauan, dan
tanggung jawab moral individual. Umat Kristen bahkan harus menole-
ransi praktik (keagamaan dan yang nonkeagamaan) orang lain, asalkan
praktik-praktik tersebut legal, bermoral, dan bijaksana. Namun, meng-
hormati keyakinan-keyakinan orang lain tidak boleh disalahartikan
sebagai menyetujui keyakinan-keyakinan mereka. Umat Kristen bertang-
gung jawab untuk menggunakan kekuatan persuasif mereka guna meya-
kinkan orang lain tentang kebenaran, terutama kebenaran hakiki tentang
Yesus Kristus. Meskipun bersikap toleran secara sosial, umat Kristen
pada saat yang sama harus tidak toleran secara intelektual terhadap klaim
kebenaran yang bertentangan (lih. bab 17 tentang masalah toleransi).
Cara kita memperlakukan orang akan meninggalkan kesan yang
kuat dan abadi—entah mereka setuju atau menentang kesaksian Injil.
Alkitab meminta orang-orang percaya untuk memberitakan kebenaran
dalam kasih (Ef. 4:15)—dimotivasi oleh kasih dan mengekspresikan kasih
dalam bentuk kata-kata, tindakan, dan sikap.
Inklusivisme agama
Inklusivisme agama ditegaskan di dalam banyak tradisi agama (non-
Kristen) lainnya. Namun, fokus bahasan ini adalah pada inklusivisme
Kristen. Meskipun jelas ada perbedaan-perbedaan di antara para pen-
dukungnya, inklusivisme menegaskan dua hal yang esensial: (1) Kesela-
matan di dalam kekristenan telah digenapi secara sempurna melalui Sang
Juruselamat Yesus Kristus, tetapi (2) orang dapat menemukan anugerah
Allah di semua budaya dan agama dan diselamatkan oleh Kristus secara
anonim, yakni tanpa mengetahui secara spesifik tentang Kristus (dan
karena itu tanpa mempraktikkan iman Kristen secara sadar).17
Dengan menegaskan bahwa iman eksplisit di dalam Yesus Kristus
tidak diperlukan untuk mendapatkan keselamatan, itu berarti inklu-
sivisme menolak ide (didefinisikan dalam eksklusivisme) bahwa orang
harus memiliki iman yang sadar di dalam Yesus Kristus agar diselamat-
kan (dan beberapa bentuk inklusivisme penyangkalannya lebih banyak
lagi).18 Pendukung paling menonjol terhadap inklusivisme Kristen adalah
teolog Katolik Jerman Karl Rahner. Pandangannya memengaruhi Konsili
Vatikan II untuk mengadopsi sebuah pandangan inklusif:19 “Mereka yang
bukan karena kesalahan sendiri masih tidak tahu tentang Injil Kristus
dan Gereja-Nya, namun sungguh-sungguh mencari Allah, dan dengan
bantuan kasih karunia Ilahi berusaha untuk melakukan kehendak-Nya
sebagaimana yang mereka ketahui melalui suara hati nurani mereka,
orang-orang itu dapat mencapai keselamatan kekal.”20 Teolog Clark H.
Pinnock telah mengungkapkan bentuk inklusivisme yang sangat serupa
dengan yang diungkapkan Rahner namun lebih “berorientasi pengin-
jilan.”21
dan natur jahat agama yang dibuat manusia, secara jahat memengaruhi
sifat agama yang berasal dari manusia (lih. poin 3 dan 4, hal. 219-221 di
bawah judul pembahasan “Sebuah Perspektif Alkitabiah tentang Agama-
agama di Dunia”).
Meskipun agama yang bukan Kristen secara kolektif dipandang
sebagai suatu wadah yang berisi keanekaragaman (baik dan buruk, mulia
dan tercela), kritera tetap dibutuhkan untuk memilah antara hal yang
secara teologis baik dan yang secara teologis buruk (peran yang hanya
dapat dimainkan oleh Kitab Suci, 2Tim. 3:15-16).22 Mencampuradukkan
anugerah Allah yang sejati dengan keyakinan dan ritus-ritus berhala
menimbulkan pertanyaan serius apakah inklusivisme bukan merupakan
pintu jebakan menuju pluralisme agama. Kemungkinan ini menyodorkan
masalah yang sangat serius, terutama di dalam pendekatan Rahner yang
cukup liberal terhadap inklusivisme.
Orang dapat beranggapan bahwa menyatakan kebenaran tentang
inklusivisme membuat misi dan penginjilan Kristen tidak perlu, dan tentu
saja tidak wajib. Bahkan, jika inklusivisme benar, tidak ada alasan untuk
tetap mempertahankan kekristenan. Rahner berbicara tentang “orang-
orang Kristen yang anonim,” tetapi istilah ini bertentangan dengan
doktrin Kristen yang historis. Orang juga pasti bertanya-tanya, mung-
kinkah ada “orang-orang Buddha anonim” atau “orang-orang Hindu
anonim?”
Menurut Kitab Suci, keselamatan tergantung pada keyakinan yang
benar. Tujuan kepercayaan itulah yang menyelamatkan, bukan kesung-
guhan pribadi semata. Keyakinan yang salah dapat menyebabkan kutukan
(lih. poin 8, hal. 225-226 di bawah judul pembahasan “Sebuah Perspektif
Alkitabiah tentang Agama-agama di Dunia”).
Sebuah argumen Alkitab yang kuat dapat dibuat bahwa iman yang
diyakini secara sadar dan eksplisit di dalam Kristus diperlukan untuk
mendapatkan keselamatan (lih. poin 6, hal. 223-224 di bawah judul pem-
bahasan “Sebuah Perspektif Alkitabiah tentang Agama-agama di Dunia”).
Jika argumen ini benar, maka inklusivisme salah.
Antropologi para penganut inklusivisme tampaknya memiliki pan-
dangan yang terlalu optimis terhadap manusia dan pandangan yang lemah
terhadap dosa (tidak konsisten dengan doktrin Alkitab tentang kerusakan
total dan ketidakmampuan total manusia—lih. poin 3, hal. 219-220 di
BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KRISTEN MENANGGAPI AGAMA-AGAMA DI DUNIA? 231
Perspektif ini mungkin tidak populer sekarang, tetapi Kitab Suci men-
dukung gagasan bahwa keselamatan yang Allah berikan menurut kemu-
rahan hati-Nya, menjadi fokus yang diperhatikan bukan dunia (lih.
poin 7, hal. 224-225 di bawah judul pembahasan “Sebuah Perspektif
Alkitabiah tentang Agama-agama di Dunia”).
Allah yang penuh kasih tidak akan membiarkan semua orang dalam
sejarah dunia, terlepas dari agama Yahudi dan Kristen yang dangkal,
menjadi kaum yang terhilang. Dia juga tidak akan mengutuk orang-
orang zaman ini yang belum pernah mendengar tentang Kristus
(yang belum diinjili). Karena semua itu bukanlah kasih.
Jawaban: Tujuh poin teologis berikut ini mengandung kesimpulan
kristiani tentang jalan kehidupan orang-orang yang belum diinjili.
1. Dalam hal jumlah, sebagian besar orang yang hidup di bumi ini
masih hidup sampai hari ini. Menjangkau lebih banyak orang dengan
Injil pada masa kini lebih mungkin daripada di masa sebelumnya.
2. Sungguh bukanlah pemikiran yang alkitabiah bila kita berpikir
bahwa orang-orang yang belum diinjili itu bersikap terbuka/netral secara
rohani terhadap hal-hal yang berhubungan dengan Allah. Manusia yang
berdosa memiliki kecenderungan alami yang tertutup dan bahkan
memusuhi kebenaran Allah (lih. poin 3, hal. 219-220 di bawah judul
pembahasan “Sebuah Perspektif Alkitabiah tentang Agama-agama di
234 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
yang luar biasa semacam itu, maka hal ini pasti akan mengarah pada
pertemuan dengan pemberitaan Injil (melalui misionaris, penginjil).
Eksklusivisme nonrestriktif: Karena tidak ada kepastian yang mutlak
tentang nasib orang-orang yang belum diinjili tersebut, para penganut
eksklusivisme yang nonrestriktif menyatakan bahwa Alkitab memberikan
indikasi bahwa Allah dapat dan mungkin menjangkau orang-orang yang
terhilang dengan beberapa cara yang ajaib. Namun, sebagian orang
Kristen tidak melihat perbedaan antara pandangan ini dan inklusivisme.
Hubungan yang tepat antara pemberitaan Injil dan orang-orang yang
belum diinjili merupakan pokok bahasan lanjutan di dalam kelompok
eksklusivis/partikularis.26 Sebagian eksklusivis penginjilan dewasa ini
(para nonrestriktivis) berpendapat bahwa meskipun pemberitaan Injil
diperlukan, sebenarnya Allah yang berdaulat tidak tergantung pada upaya-
upaya manusia yang tidak sempurna untuk memberitakan kabar kesela-
matan kepada orang-orang yang belum diinjili. Mereka berpendapat
bahwa pada kesempatan-kesmepatan yang langka dan istimewa, Allah
dapat menyampaikan kasih karunia-Nya melalui sarana-sarana luar biasa
lainnya (mimpi, visi, wahyu umum yang dihidupkan kembali). Jadi,
mereka beranggapan bahwa orang-orang yang belum pernah secara eks-
plisit mendengar berita Injil, tidak seharusnya dihukum karena kegagalan
gereja untuk melaksanakan Amanat Agung.
Para eksklusivis penginjilan lainnya (para restriktivis) bersikeras
bahwa mendengar dan menanggapi berita Injil secara eksplisit itu penting
dan menjadi satu-satunya cara untuk mengambil bagian dalam kesela-
matan. Mereka berpendapat bahwa Kitab Suci dengan jelas meng-
hubungkan respons iman yang diyakini secara sadar dengan pemberitaan
Injil yang eksplisit. Allah memerintahkan gereja untuk memenuhi
kewajibannya yang universal, yakni memberitakan Injil kepada semua
orang di mana pun berada. Mereka juga menyatakan bahwa ide tentang
Allah yang bertindak melalui cara luar biasa lainnya adalah ide yang
murni bersifat anekdot dan tanpa dukungan alkitabiah yang jelas atau
eksplisit.
Namun, para eksklusivis sepakat bahwa gereja memiliki kewajiban
Ilahi untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia, dan orang-orang harus
memiliki iman yang eksplisit di dalam Kristus. Mandat ini tentunya
mencakup membawa Firman Kristus kepada orang-orang yang terpe-
236 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
Pertanyaan Diskusi
1. Bagaimana konsep wahyu Kristen yang historis memengaruhi
pertanyaan tentang bagaimana cara memandang agama-agama di
dunia?
2. Apakah komitmen terhadap kebenaran unik kekristenan secara
tak langsung menyatakan bahwa setiap agama yang bukan Kristen
itu salah?
3. Mungkinkah anugerah Allah bekerja melalui tradisi-tradisi agama
(bukan Kristen) lainnya? Mengapa mungkin atau mengapa tidak
mungkin?
4. Apakah eksklusivisme Kristen itu arogan atau secara moral men-
jijikkan?
5. Apa saja yang dapat dilakukan oleh seseorang untuk mendukung
misi Amanat Agung?
Halverson, Dean C., editor umum. The Compact Guide to World Religions
(Minneapolis: Bethany, 1996).
Nash, Ronald H. Is Jesus the Only Savior? (Grand Rapids: Zondervan, 1994).
Okholm, Dennis L., dan Timothy R. Phillips, editor. More Than One Way?
Four Views on Salvation in a Pluralistic World (Grand Rapids: Zondervan,
1995).
Sanders, John. No Other Name: An Investigation into the Destiny of the Uneva-
ngelized (Grand Rapids: Eerdmans, 1992).
BUKANKAH KEKRISTENAN DAN ILMU PENGETAHUAN
BERTENTANGAN?
Hanya ada satu pikiran yang lebih besar daripada alam semesta, dan itu adalah
pikiran Penciptanya.
––John Henry Newman, The Idea of a University
239
240 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
Secara historis, sains dan kekristenan selama ini lebih sering menjadi
sekutu daripada musuh. Waktunya telah tiba untuk menunjukkan bagai-
mana pandangan Kristen secara unik sesuai dengan sains, sedangkan
pandangan naturalistis justru memiliki ikatan-sains yang lemah secara
serius. Untuk menemukan dukungan timbal balik antara ilmu penge-
tahuan dan iman Kristen, orang mungkin dapat mulai dengan meninjau
sejarah kegiatan ilmiah.
dan religius sangat berdampak pada cara pandang orang terhadap realitas
fisik. Kepercayaan kaum pagan mengenai realitas mencegah peradaban-
peradaban sebelumnya mengembangkan bentuk mandiri penyelidikan
ilmiah.5 Prasangka-prasangka berikut ini menghalangi munculnya sains
dalam peradaban kuno.
Astrologi
Penjelasan-penjelasan ilmiah-semu untuk fenomena alam telah
menyebar ke seluruh bagian dunia kuno. Astrologi—kepercayaan kuno
bahwa nasib atau takdir individu dan negara ditentukan oleh bintang—
diarahkan jalannya. Meskipun astronomi dikembangkan dari astrologi,
faham fatalisme yang terdapat pada astrologi pada umumnya menekan
inisiatif manusia dan menghalangi penyelidikan ilmiah yang sejati.
Mendewakan Alam
Pandangan metafisika yang mendewakan alam, lazim dilakukan pada
zaman kuno. Keyakinan agama primitif yang disebut animisme meng-
ajarkan bahwa bagian-bagian alam (gunung, laut, angin, dan sebagainya)
dipenuhi dengan roh, sedangkan panteisme (secara harfiah “semua adalah
allah”) dan bentuk paganisme mendewakan dunia secara utuh atau secara
keseluruhan. Bila kita memandang dunia sebagai objek ibadah yang
misterius dan suci, berarti dunia tidak dapat dianalisis secara objektif
dan independen. Oleh karena itu, tidak ada eksperimen yang empiris.
242 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
Menyangkal Alam
Agama Hindu, yang muncul dari peradaban Lembah Sungai Indus
dari India kuno, sangat bergantung pada Upanishad (bagian dari kitab
suci Veda), yang mengajarkan bahwa dunia fisik hanyalah sebuah ilusi.
(Pandangan ini terutama penting bagi cabang agama Hindu yang lebih
filosofis). Salah satu ciri khas agama Hindu adalah pada konsep maya,
keyakinan bahwa indra orang dibombardir dengan pengetahuan palsu.
Menurut kepercayaan Hindu, dunia materi adalah bagian dari realitas
semu. Ilmu pengetahuan tidak bisa dianggap serius ketika pandangan
filosofis yang dominan itu menyangkal realitas alam itu sendiri (ideal-
isme). Bahkan tradisi Yunani, Platonis memandang dunia fisik (dunia
yang terlihat) kurang nyata dibandingkan dunia yang berbentuk tran-
senden (dunia konseptual Plato tentang esensi ideal, dunia realitas).
6. Sebab dunia tidak bersifat ilahi dan oleh karena itu bukan objek
penyembahan yang tepat, maka dunia dapat menjadi objek studi
yang rasional.
Kitab Suci Yahudi-Kristen mengutuk semua sistem kepercayaan yang
mendewakan tatanan alam (mis., animisme, panteisme, paganisme)
sebagai berhala. Sebagai realitas fisik yang independen, alam semesta
adalah objek potensial untuk penelitian yang rasional (eksperimen). Sikap
kekristenan yang mengontrol takhayul tentang alam, membuat sains
dipandang sebagai pengetahuan yang layak dikejar.
“Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu
pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yoh. 1:3).
“Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang
ada di surga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak
kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah,
maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk
Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu
ada di dalam Dia” (Kol. 1:16-17).
“Kasih karunia-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita
dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman” (2Tim. 1:9).
“Pengharapan akan hidup yang kekal yang sebelum permulaan
zaman sudah dijanjikan oleh Allah yang tidak berdusta” (Tit. 1:2).
terjadi, dan sistem galaksi, tata surya, dan bagian-bagian planet yang
dua kali lipat dari jumlah karakteristik kosmis independen (atau lebih)
memerlukan ketepatan sangat tinggi untuk memungkinkan terjadinya
kehidupan di bumi.28 Penyempurnaan karakteristik-karakteristik fisik
yang indah dan penting ini membuat fisikawan pemenang Hadiah Nobel
Arno Penzias berkomentar, “Astronomi membawa kita ke suatu peristiwa
yang unik, alam semesta yang diciptakan dari ketiadaan, alam semesta
dengan keseimbangan sangat halus yang diperlukan dengan tepat menye-
diakan kondisi-kondisi yang memungkinkan adanya kehidupan, dan
alam semesta yang memiliki rencana utama” (bisa juga dikatakan ‘super-
natural’).29
Kesimpulan
Konflik antara kekristenan dan beberapa teori ilmiah telah muncul
dari waktu ke waktu selama bertahun-tahun, dan beberapa masalah tetap
memicu ketegangan sampai hari ini. Namun, jelas bahwa kedua alam
pemikiran itu merupakan sekutu historis yang kuat. Sains berutang secara
khusus kepada kekristenan karena kegiatan ilmiah lahir dan dipupuk di
bawah pengaruh budaya Kristen. Bahkan, cara pandang kristiani men-
dasari sains dengan mengantisipasi, membentuk, mendorong, mem-
benarkan, dan akhirnya mempertahankan karakter umum dan landasan
berpikir sains modern. Selanjutnya, batas-batas sains mendukung per-
nyataan Alkitab tentang alam semesta dan kedudukan manusia di dalam-
nya.
Sains tidak membatalkan kekristenan, dan kekristenan juga tidak
membatalkan sains. Namun, sebagian orang mempertanyakan kekris-
tenan bukan karena sesuatu yang datang dari luar gereja (seperti sains)
tetapi karena sesuatu yang dari dalam—kemunafikan. Topik ini akan
dibahas di bab berikutnya.
Pertanyaan Diskusi
1. Mengapa kemajuan ilmiah tertahan di dunia kuno?
2. Bagaimana kekristenan membentuk dan memengaruhi munculnya
sains modern?
3. Bagaimana bentuk atau ekspresi kekristenan yang menyimpang
telah melumpuhkan sains?
BUKANKAH KEKRISTENAN DAN ILMU PENGETAHUAN BERTENTANGAN? 255
Di zaman yang disebut zaman iman, ketika orang benar-benar percaya pada
agama Kristen dalam segala kesempurnaannya, ada masa Penganiayaan
dengan segala bentuk siksaannya. Jutaan perempuan malang dibakar selaku
penyihir. Segala jenis kekejaman ditimpakan kepada beragam orang dengan
mengatasnamakan agama.
––Bertrand Russell, Why I Am Not a Christian
257
258 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
Tes Logika
Menolak klaim kebenaran Kristen karena “ada terlalu banyak
orang munafik di gereja” atau karena “pengalaman buruk dengan
orang-orang Kristen” berarti melakukan sebuah kekeliruan logis yang
dikenal sebagai penolakan yang tidak signifikan. Dalam studi logika,
penolakan yang tidak signifikan “memfokuskan perhatian secara kritis
terhadap hal yang kurang signifikan dibandingkan hal yang utama atau
tujuan dasar argumen.”1 Kesalahan ini dilakukan ketika si pembicara
menyampaikan kritik minor (dan/atau tidak penting) tentang suatu pan-
dangan tertentu, lalu secara keliru menegaskan bahwa kritik tersebut
berhasil meruntuhkan pandangan tersebut.
Jenis kesalahan ini tentu tidak berarti menganggap sepele rasa sakit
hati yang ditimbulkan oleh orang-orang Kristen (atau yang disangka
orang Kristen). Sakit hati itu bisa sangat hebat dan signifikan dan tidak
boleh dianggap remeh. Namun, menolak sistem kepercayaan dengan
alasan bahwa orang-orang Kristen bertindak munafik atau tidak kon-
sisten dengan nilai-nilai yang mereka anut secara logika merupakan
sebuah kasus minor yang dibesar-besarkan.
Keberhasilan (atau kegagalannya) seorang Kristen dalam menja-
lankan prinsip-prinsip alkitabiah (etika) bukan hal yang krusial untuk
mengevaluasi kebenaran kekristenan. Masalah utamanya adalah apakah
klaim-klaim historis, faktual, dan teologis kekristenan itu benar: Apakah
Yesus dari Nazaret itu adalah sosok yang nyata di dalam sejarah? Apakah
Dia benar-benar Allah yang berinkarnasi, Sang Mesias yang Ilahi?
Apakah kematian-Nya menebus dosa manusia? Apakah Dia benar-benar
bangkit dari kematian?
Secara logis, ketidakkonsistenan moral seorang Kristen (meskipun
tidak untuk ditoleransi dan bisa dimengerti memang mengecewakan)
hanya sedikit atau sama sekali tidak berhubungan dengan klaim kebe-
BUKANKAH KEMUNAFIKAN MEMBUAT KEKRISTENAN TIDAK VALID? 259
jiwa. Panah atau pedang emosional mungkin perlu dicabut keluar, tetapi
harus disertai dengan anestesi, antiseptik, pembalut, dan tindak lanjut.
Orang-orang Kristen yang mewujudkan kasih dan integritas dapat dan
kerap kali membantu membalut luka emosional dan memimpin orang-
orang untuk beriman kepada Kristus.
Si pembawa pesan keselamatan di dalam Kristus harus orang yang
bisa dipercaya—komponen penting dalam penginjilan mengingat cara
sebagian orang mempertimbangkan pernyataan-pernyataan kekristenan.
Orang-orang percaya yang memperlihatkan kebajikan moral dan inte-
lektual yang kuat membuat orang-orang skeptis lebih bersedia mere-
nungkan klaim Kristus. Nyatanya, sebagian besar umat Kristen bukan
orang-orang munafik yang mencolok, yang berpura-pura baik dan ber-
agama. Semua orang Kristen berjuang untuk menghadapi dan mengatasi
ketidakkonsistenan moral mereka, tetapi sebagian besar dari mereka
tulus, tidak bermuka dua, atau bukan aktor yang berpenampilan menipu.
Orang mungkin menerima atau menolak kekristenan berdasarkan
faktor-faktor rasional dan tidak rasional. Perilaku tidak etis dari sebagian
orang Kristen bukan merupakan alasan yang rasional untuk menolak
kekristenan. Namun, ada banyak orang yang merumuskan keyakinan
mereka berdasarkan pengalaman pribadi. Mengetahui hal ini, Allah
memanggil umat Kristen untuk menjalani kehidupan yang transparan
dan memberi teladan, bertobat dari dosa dan dimotivasi dengan hati
yang penuh rasa syukur kepada Tuhan atas kasih sayang-Nya terhadap
mereka (Rm. 12:2; Tit. 2:1-15). Karena kasih karunia Allah, umat Kris-
ten dapat mengakui kemunafikan mereka kepada Allah dan kepada
sesama manusia.
Ketika dihadapkan pada penolakan bahwa ada terlalu banyak orang
munafik di gereja, pertanyaan berikut tampaknya merupakan respons
yang tepat: Tempat mana lagi yang lebih baik bagi orang-orang munafik
selain di gereja di mana kuasa yang mengubahkan dari Allah melalui
Injil dapat terus-menerus mengoreksi, mengampuni, dan memperbarui
mereka dari hari ke hari? Obat terbaik untuk kemunafikan adalah diper-
hadapkan pada Injil Yesus Kristus yang sejati.
268 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
iman Kristen berpusat pada klaim kebenaran oleh dan tentang Yesus
Kristus. Klaim kebenaran itu berfokus pada pribadi dan karya Kristus.
Pertanyaan-pertanyaan logis yang relevan adalah: Apakah Yesus dari
Nazaret itu adalah seorang yang benar-benar nyata? Apakah Dia benar-
benar Mesias yang Ilahi? Apakah kematian-Nya menebus dosa manusia?
Apakah Dia benar-benar bangkit dari kematian?
Yesus sendiri pernah berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan
hidup.” Karena kebenaran yang indah ini—bahwa Yesus-lah, dan bukan
usaha manusia yang membuat manusia bisa menjadi baik—menawarkan
karunia pengampunan dan kebenaran kepada manusia yang berdosa,
maka sebagian umat percaya memiliki pandangan perilaku moral yang
sangat lemah, kurang menekankan pentingnya sikap tunduk pada hukum
moral Allah. Bab berikutnya membahas masalah kebebasan untuk ber-
buat semau “saya” sendiri.
Pertanyaan Diskusi
1. Dari sudut pandang Kristen, bagaimana orang berdosa berbeda
dengan orang munafik?
2. Bagaimana orang percaya bisa membantu orang yang tidak percaya
untuk lebih memahami masalah-masalah pokok kekristenan?
3. Bagaimana orang Kristen seharusnya menangani kemunafikan
di dalam hidupnya sendiri?
4. Mengapa pertanyaan-pertanyaan kebenaran menggantikan perta-
nyaan-pertanyaan tentang akibat-akibat yang praktis?
5. Bagaimana gereja dan individu Kristen dapat membangun per-
tanggungjawaban spiritual dan moral yang lebih besar?
270 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di
dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan
milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar:
Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!
––1 Korintus 6:19-20
Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapa pun yang
memintanya dan juga tidak akan saya sarankan hal seperti itu. Demikian pula,
saya tidak akan memberikan obat kepada seorang wanita untuk menggugurkan
kandungan.
––Sumpah Hippocrates
271
272 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
realitas tentang dan hubungan dengan Tuhan Allah dan Juruselamat alam
semesta ini.
kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita
adalah milik Tuhan” (Rm. 14:7-8).
“Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Ku-
dus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh
dari Allah, —dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab
kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu
muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1Kor. 6:19-20).
Semua yang dimiliki manusia, secara ultimat adalah milik Tuhan,
termasuk tubuh, yang diciptakan menjadi bait Allah (entah orang terse-
but mengundang Allah masuk ke dalamnya atau tidak). Akhirnya, klaim
tentang otonomi manusia merupakan penghinaan langsung kepada
Allah, karena Allah-lah yang menghitung hari-hari seluruh kehidupan
manusia. Kata-kata yang serius mencerminkan kedaulatan Allah sepan-
jang hidup manusia:
“Jikalau hari-harinya sudah pasti, dan jumlah bulannya sudah tentu
pada-Mu, dan batas-batasnya sudah Kautetapkan, sehingga tidak
dapat dilangkahinya” (Ayb. 14:5).
“Mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu
semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu
pun dari padanya” (Mzm. 139:16).
Ayat-ayat ini tidak meniadakan realitas tentang pilihan manusia yang
autentik dan tanggung jawabnya yang sejati (terutama yang berhubungan
dengan tubuhnya). Namun, dari cara pandang alkitabiah, pilihan manusia
akhirnya benar-benar sesuai dengan tujuan Allah yang berdaulat. Masa-
lah kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia mungkin merupakan
masalah yang tidak dapat dimengerti oleh pikiran manusia yang terbatas,
tetapi Alkitab tetap mengajarkan kedua kebenaran itu sebagai hal yang
penting untuk kehidupan.7
XXI tidak boleh melupakan apa yang terjadi di masa kekuasaan Hitler
dan Stalin di Barat atau di masa Mao Tse-tung dan Saddam Hussein di
Timur dan Timur Tengah. Sebuah pandangan yang arogan tentang
kehidupan manusia yang rentan pada saat-saat yang paling awal dan
paling akhir terus berlangsung sampai hari ini—cara pendekatan “Dixie
Cup” (mangkuk kertas sekali pakai—dipakai dan dibuang). Tanggapan
orang Kristen terhadap pernyataan otonomi yang radikal menyajikan
konteks yang penting bagi isu-isu etis yang penting pula: aborsi, hubungan
seksual, dan eutanasia.
Aborsi
Pandangan yang pro-aborsi didasarkan pada seruan otonomi atas
tubuh, dan para pembela aborsi secara rutin memakai argumen tentang
“ketergantungan fisik” si bayi pada ibunya.8 Argumen ini menegaskan
bahwa bayi yang belum lahir itu hanyalah perpanjangan dari tubuh sang
ibu, dan karena si ibu berhak melakukan apa saja yang diinginkannya
dengan tubuhnya sendiri, maka ia memiliki hak alami untuk melakukan
aborsi. Tiga kritik yang signifikan berikut ini menunjukkan bahwa
penalaran ini cacat.
Pertama, bayi yang belum lahir bukan hanya perpanjangan dari tubuh
sang ibu. Di tahap yang sangat awal di dalam pertumbuhannya, janin
memiliki identitasnya sendiri. Identitas ini dibuktikan dengan adanya
fakta bahwa bayi memiliki sidik jarinya sendiri yang berbeda, juga jenis
darah dan jenis kelaminnya sendiri (dan sekitar setengah dari semua
bayi yang ada memiliki golongan darah dan jenis kelamin yang berbeda
dari ibu mereka).9 Susunan genetik janin juga unik sejak awal, dan tidak
identik dengan orangtuanya.
Kedua, seorang ibu tidak berhak melakukan apa pun yang diingin-
kannya dengan tubuhnya. Hukum moral dan hukum sipil membatasi
tindakannya. Dan karena bayi yang belum lahir itu adalah manusia yang
berbeda, pilihan si ibu tentang bagaimana ia menggunakan tubuhnya
harus menghormati hak-hak hidup manusia lain yang berbeda, yang
tumbuh di dalam rahimnya. Fakta bahwa seorang anak tumbuh di dalam
tubuh seorang perempuan tidak membuat keberadaannya sebagai manu-
sia berkurang, hanya saja ia menjadi lebih rentan. Penalaran moral yang
kuat mengungkapkan bahwa hak hidup bagi bayi yang belum lahir harus
280 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
Seksualitas
Dari sudut pandang Kristen tradisional dan dari berbagai penelitian
sosiologis, psikologis, antropologis, sejarah, dan medis, melakukan hal
baik yang sejalan dengan Alkitab mengenai seksualitas dan hubungan
keluarga merupakan cara yang paling sehat. Menurut Kitab Suci, Allah
menciptakan seksualitas manusia (“laki-laki dan perempuan,” Kej. 1:27;
5:2). Allah menciptakan tubuh manusia dan memerintahkan agar
hubungan seks dilakukan di dalam konteks yang benar setelah laki-laki
dan perempuan mengucapkan janji pernikahan.
Alkitab mengungkapkan bahwa keintiman seksual antara suami dan
istri sesungguhnya adalah alegori (kiasan) mengenai hubungan cinta
antara Allah dan umat-Nya (Allah/Israel, Kristus/gereja; sebagai contoh,
lihat kitab Kidung Agung). Natur fisik dan kenikmatan seksual tidak
boleh dipisahkan dari isu-isu penting yang menyertainya seperti cinta,
BUKANKAH SAYA BERHAK MELAKUKAN APA PUN YANG SAYA INGINKAN DENGAN TUBUH SAYA SENDIRI? 281
Eutanasia
Istilah eutanasia secara harfiah berarti “kematian yang baik” atau
“kematian yang bahagia.” Selanjutnya didefinisikan sebagai “Mengambil
nyawa manusia untuk tujuan yang baik, seperti untuk meringankan
penderitaan atau rasa sakit.”10 Oleh karena itu, kadang-kadang disebut
sebagai “pembunuhan karena belas kasihan.”
282 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
Pertanyaan Diskusi
1. Apa implikasi teologis manusia sebagai “makhluk ciptaan”?
2. Bagaimana manusia bergantung pada kehendak Allah?
3. Apa implikasi-implikasi dari prinsip konteks yang utama bagi umat
Kristen?
BUKANKAH SAYA BERHAK MELAKUKAN APA PUN YANG SAYA INGINKAN DENGAN TUBUH SAYA SENDIRI? 285
Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pem-
baruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah:
apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.
––Rasul Paulus (Rm. 12:2)
S eorang rabi dalam program televisi Larry King Live dengan berapi-
api menuding umat Kristen memperlihatkan “sikap tidak toleransi
yang tinggi” ketika mereka menyatakan bahwa orang Yahudi akan
menghadapi penghakiman Allah jika mereka tidak menerima Yesus dari
Nazaret sebagai Mesias mereka.1 Tuduhan semacam itu kerap terjadi.
Semakin banyak orang dalam budaya populer menilai umat Kristen injili
bersalah dalam hal ketidaktoleran mereka karena mereka mengklaim
bahwa kekristenan adalah satu-satunya agama yang benar (untuk pem-
bahasan tentang eksklusivisme agama,2 lih. bab 13).
Menurut PB, Yesus Kristus membuat klaim eksklusif yang belum
pernah ada sebelumnya. Dia berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan
hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak
287
288 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
melalui Aku” (Yoh. 14:6). “Aku berkata kepadamu, bahwa kamu akan
mati dalam dosamu; sebab jikalau kamu tidak percaya, bahwa Akulah
Dia, kamu akan mati dalam dosamu” (Yoh. 8:24). Apakah pernyataan
Yesus merupakan sikap tidak toleran yang sombong atau mungkinkah
pemahaman populer tentang “toleransi” memang benar-benar cacat?
Karena prasangka dan ketidakadilan yang terjadi di masa lalu ter-
hadap kelompok agama dan etnis tertentu, banyak orang dalam budaya
masa kini menerima sikap toleransi sebagai kebajikan moral yang sangat
diperlukan. Dan di Amerika Serikat—bangsa dengan beragam ras,
budaya, dan kelompok agama—toleransi adalah nilai yang terpenting.
Namun, pemahaman yang rumit tentang toleransi menyebabkan banyak
orang mengkritik individu atau kelompok yang mengekspresikan segala
bentuk ketidaktoleranan—kecuali ketidaktoleranan mereka sendiri.
Masalah toleransi yang berhubungan dengan pernyataan kebenaran
Kristen menimbulkan pertanyaan-pertanyaan apologetika kultural yang
penting. Bagaimana orang Kristen menanggapi tuduhan bahwa eksklu-
sivisme iman mereka mendorong ketidaktoleranan masyarakat? Dan
apa hubungannya antara toleransi dan kebenaran?
2. Hak individu lain untuk berpikir sesuka hati mereka dan percaya
apa yang mereka mau, bahkan jika keyakinan tertentu tidak rasional,
salah secara moral, dan/atau bertentangan dengan ajaran Kristen, juga
dihargai. Sistem peradilan membatasi perilaku manusia, bukan pikiran
(meskipun beberapa pandangan ideologis gagal menghargai perbedaan
penting ini).5 Kekristenan mengajarkan sikap menghargai manusia seba-
gai pribadi, kehendak individu, dan tanggung jawab moral pribadi.
Namun, sikap ini tetap menyisakan ruang untuk memberikan pengaruh
yang tepat guna meyakinkan orang lain tentang kebenaran, terutama
kebenaran hakiki mengenai Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat
manusia.
3. Dalam masyarakat yang majemuk, umat Kristen berhak meno-
leransi praktik-praktik (keagamaan maupun yang bukan keagamaan)
orang lain, asalkan praktik-praktik tersebut legal, bermoral, dan secara
umum membawa kebaikan bersama. Norma yang luhur memberikan
kepada semua orang hak sosial dan hak istimewa yang sama. Poin terakhir
ini memang merupakan hal yang paling kontroversial dari ketiganya
karena praktik-praktik orang lain hanya dapat ditoleransi dalam batas-
batas yang wajar. Dalam bentuk pemerintahan yang demokratis, pan-
dangan mayoritas biasanya berlaku.
Singkatnya, umat Kristen injili dapat dan memang menunjukkan
toleransi yang patut dengan menghormati kepribadian dan praktik
orang lain dalam masyarakat. Dukungan terhadap hak asasi dan martabat
manusia merupakan bagian integral dari sistem etika teistik Kristen (abso-
lutisme moral; lihat bab 18).
Poin-poin penjelasan selanjutnya mengenai isu toleransi sudah dapat
diterima.6 Pertama, sikap tidak toleran bukan berarti hanya tidak sepakat
dengan pandangan orang lain. Toleransi juga bisa menerima ketidak-
sepakatan. Seseorang mungkin saja tidak menoleransi orang-orang yang
sepakat dengannya karena adanya ketidaksepakatan. Oleh sebab itu,
toleransi dan ketidaksepakatan berjalan seiring.
Kedua, dalam hal toleransi, harus dibedakan secara hati-hati antara
ide-ide dan orang yang menganut ide-ide itu. Gagasan semua orang
harus dihargai dan disambut, tetapi itu bukan berarti semua ide atau
argumen itu memiliki nilai, validitas, atau kebenaran yang sama. Standar
logika yang objektif, yang mengevaluasi validitas argumen dan logika,
290 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
Dengan kata lain, pasti ada pihak yang salah. Kita tidak mungkin meng-
hindari kesimpulan logis ini.
Bila penalaran ini dikembangkan lebih lanjut, misalnya kemungkinan
ketiga pandangan tentang identitas Yesus itu salah (sebagai contoh, jika
Yesus tidak pernah ada, meskipun dalam kenyataannya hal ini merupakan
pandangan historis yang lemah), maka ketiganya itu juga pasti tidak
mungkin benar.
Namun, budaya populer mengatakan bahwa menyatakan secara
langsung atau tidak langsung bahwa keyakinan agama lainnya itu salah,
berarti tidak toleran, arogan, dan bahkan fanatik. Namun, bagaimana
bisa dikatakan sebagai tidak toleran secara keagamaan bila hal itu menya-
takan apa yang secara logis memang diperlukan dan jelas? Bukankah
kesimpulan logis yang kokoh tak tergoyahkan harus menjadi bukti yang
kuat untuk mengalahkan standar masyarakat kontemporer yang benar-
benar subjektif tentang toleransi? Menyebut orang dengan sebutan-
sebutan yang tidak menyenangkan (seperti fanatik) hanya karena mereka
menarik atau menyimpulkan kesimpulan logis yang tepat tentang klaim-
kebenaran agama, sesungguhnya tidak masuk akal, melakukan serangan
secara moral, dan benar-benar tidak toleran.
Berbeda sekali dengan para pendukung ekstrem toleransi beragama
yang menuntut agar semua pandangan agama sama-sama diterima sebagai
pandangan yang benar, hukum logika bersikeras untuk tidak menoleransi
tatkala menghadapi klaim-kebenaran keagamaan yang kontradiktif.
Sebuah kontradiksi dalam logika mencerminkan hubungan yang khusus.
Bila dua pernyataan bertentangan, maka pernyataan-pernyataan itu memi-
liki nilai kebenaran yang berlawanan (jadi yang satu benar dan yang
lainnya salah). Oleh karena itu, apabila pernyataan dari agama yang
satu secara langsung bertentangan (meniadakan atau menolak) dengan
pernyataan dari agama yang lain, maka kedua pernyataan itu tidak
mungkin sama-sama benar.10
Ketika umat Kristen injili menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah
Allah yang berinkarnasi (Yoh. 1:1, 14, 18; 20:28; Rm. 9:5; Tit. 2:13;
Ibr. 1:8; 2Ptr. 1:1) sehingga Dia menjadi jalan yang eksklusif menuju
keselamatan (Yoh. 14:6; Kis.4:12), sebenarnya mereka tidak lebih into-
leran daripada orang Yahudi dan kaum Muslim yang menyatakan bahwa
Yesus Kristus bukanlah Allah yang berinkarnasi. Klaim-kebenaran yang
292 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
yang hakiki itu ada dan kebenaran itu telah dinyatakan di dalam diri
Yesus Kristus.
Bagi mereka yang memercayai Alkitab secara serius sebagai wahyu
Allah, masalah toleransi beragama yang berlebihan menjadi sangat sulit.
Maksudnya, kekristenan tidak seperti agama lain karena agama cen-
derung membuat manusia mengejar realitas ilahi atau realitas spiritual.
Agama yang berasal dari manusia bisa bersikap toleran dan pluralistis
karena agama tersebut meraba-raba dalam mengejar kebenaran. Seba-
liknya, kekristenan adalah sebuah sistem kepercayaan yang secara lang-
sung dinyatakan oleh Allah sendiri, yang datang ke dunia menjadi manusia
(Yoh. 1:14; Flp. 2:6-8; Kol. 2:9). Orang-orang yang mendukung kekris-
tenan yang historis tidak meragukan misi, pesan, dan maksud Allah bagi
umat manusia. Jika Allah memang secara historis menyatakan diri-Nya
melalui tindakan, peristiwa, dan kata-kata, maka keyakinan yang berten-
tangan dengan wahyu-Nya harus dianggap salah. Pada dasarnya, umat
Kristen mengalami masa yang sulit dengan pluralisme agama dan pan-
dangan yang berlebihan tentang toleransi karena iman mereka mengajar-
kan bahwa Sang Kebenaran yang tertinggi datang secara pribadi dan
menyatakan diri-Nya secara khusus kepada umat manusia. Bukan umat
Kristen, melainkan Allah yang berinkarnasilah yang berkata, “Akulah
jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang
kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh. 14:6).
Pertanyaan Diskusi
1. Dengan cara bagaimana umat Kristen bertoleransi secara positif?
2. Mengapa kita tetap disebut toleran ketika mengatakan bahwa
Yesus adalah satu-satunya jalan kepada Allah?
3. Bagaimana orang bisa menjadi toleran secara sosial dan tidak
toleran secara intelektual?
BUKANKAH KEKRISTENAN MENDORONG SIKAP TIDAK TOLERAN? 295
Sungguh sangat sulit menjadi manusia normal dan tidak berpikir bahwa seba-
gian tindakan itu salah dan sebagian lagi benar.
––Alvin Plantinga, Great Thinkers on Great Questions
297
298 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
Subjektivisme Etis
Meskipun relativisme etis muncul dalam berbagai bentuk,1 dua
varietas yang paling populer adalah (subjektivisme etis) individu dan (kon-
vensionalisme etis) budaya. Subjektivisme etis mengungkapkan bahwa
kriteria untuk menilai benar dan salah secara moral adalah lewat “per-
sepsi, pendapat, pengalaman, kecenderungan, dan keinginan individu
itu.”2 Oleh karena itu, kebenaran moral itu bersifat relatif pada setiap
individu. Tidak ada standar moral yang mutlak, tidak berubah, dan uni-
versal. Sebaliknya, nilai-nilai etis dianggap bersifat pribadi, personal,
individual, dan subjektif. Pernyataan-pernyataan moral seperti “apa pun
yang dipikirkan seseorang sebagai benar, maka hal itu pasti benar”3 hanya
mencerminkan pemikiran atau perasaan subjektif si pembicara.
Subjektivisme etis sangat memikat natur manusia,4 tetapi ia tidak
bisa menahan analisis logis yang ketat yang diperlukan oleh teori etika
resmi mana pun. Sebenarnya, masalah-masalah dengan subjektivisme
etis tidak dapat diatasi. Enam kritik berikut menggambarkan kejatuhan
teori etika ini.
Konvensionalisme Etis
Konvensionalisme etis adalah pandangan bahwa kebenaran etis itu
relatif bagi keseluruhan budaya atau masyarakat, bukan bagi per-
orangan.11 Oleh sebab itu, nilai-nilai moral berakar pada keyakinan,
praktik, preferensi, dan cita-cita dari kelompok budaya tertentu. Kon-
vensionalisme etis menegaskan bahwa orang harus mematuhi aturan-
aturan moral yang ditentukan oleh budaya atau masyarakat mereka, tetapi
aturan-aturan moral itu dari budaya yang satu ke budaya yang lain
mungkin berbeda. Oleh karena itu, seperti halnya subjektivisme etis,
BUKANKAH MORALITAS TERGANTUNG PADA MATA YANG MEMANDANGNYA? 301
tanpa nilai yang objektif, seseorang dapat memilih untuk hidup seperti
Gandhi alih-alih seperti Saddam Hussein, tetapi keputusan itu akan
benar-benar bersifat pribadi dan bebas dari nilai-nilai, sama seperti memi-
lih Coke dan bukan Pepsi.19 Sebenarnya, di dalam dunia etika yang dite-
mukan, masih dapat diterima jika seseorang membentuk kehidupannya
menurut Hussein.
Bentuk-bentuk relativisme moral lainnya mendapatkan kritik serupa.
Dengan relativisme moral yang secara intelektual dan moral tidak dapat
diterima, maka absolutisme moral dengan dasar yang alkitabiah menjadi
alternatif yang menguntungkan, masuk akal, dan bisa diterapkan.
Absolutisme Moral
Meskipun beberapa filsuf membedakan antara objektivisme moral
dan absolutisme moral,20 pembahasan ini hanya berpihak pada pandangan
absolutisme moral. Pandangan ini menegaskan bahwa standar moral
yang objektif, universal, dan tidak berubah itu ada—nilai-nilai yang
menawarkan “Realitas yang tetap dan tidak berubah, yang lazim untuk
semua pihak.”21 Absolutisme menegaskan bahwa nilai-nilai ini berbeda
dan independen dari pikiran dan kehendak manusia. Maka dari itu,
nilai-nilai moral yang objektif ditemukan, bukan diciptakan. Selanjutnya,
absolutisme etis tidak selalu berarti bahwa manusia benar-benar mema-
hami atau menerapkan dengan benar nilai-nilai yang mutlak. Pandangan
ini bahkan mengakui bahwa kesadaran moral dapat berkembang dari
waktu ke waktu, tetapi nilai-nilai inti itu sendiri tetap sama.
yang dapat membenarkan prinsip-prinsip itu. Apa yang baik (etika) tidak
dapat dipisahkan dari apa yang nyata (metafisika) dan apa yang benar
(epistemologi).
Kesimpulan
Realitas kewajiban moral manusia tidak sesuai dengan segala bentuk
relativisme etika (yang mencakup subjektivisme etis dan konvensional-
isme etis). Relativisme etika itu membingungkan sebagai suatu sistem
dan dengan demikian gagal sebagai dasar untuk nilai-nilai moral apa
pun. Etika-etika yang subjektif juga gagal menjelaskan tentang kesadaran
manusia akan kewajiban moral. Refleksi yang cermat tentang kewajiban
moral menunjukkan bahwa kewajiban-kewajiban tersebut pasti lebih dari
sekadar impuls-impuls sementara atau yang dipaksakan secara budaya.
Pada akhirnya, pendekatan moralitas yang subjektif runtuh karena tidak
memiliki dasar metafisika yang memadai (dasar yang transenden dan
sempurna secara moral, seperti Allah yang ada di dalam Alkitab).
Tidak seperti penjelasan sekuler tentang etika, di dalam kekristenan,
sifat Allah yang suci, adil, benar, dan penuh kasih menjadi dasar etika.
Jadi, pandangan kristiani memberikan landasan dan pembenaran bagi
nilai-nilai moral yang mutlak. Salah satu bukti terkuat bahwa kekristenan
itu benar adalah kemampuannya untuk menjelaskan dan membenarkan
realitas kehidupan yang berarti. Dan tidak ada yang lebih penting bagi
keberadaan manusia selain nilai-nilai moral yang mutlak.
Namun, bagaimana dengan masalah kejahatan? Bagaimana Allah
yang suci dan adil bisa membiarkan tindakan-tindakan mengerikan keja-
hatan manusia yang melampaui pengertian kita? Topik ini dibahas di
bab berikutnya.
Pertanyaan Diskusi
1. Mengapa banyak filsuf menganggap subjektivisme etis membi-
ngungkan?
2. Masalah-masalah apa yang timbul ketika orang menegaskan
bahwa prinsip-prinsip moral hanya berasal dan dibenarkan dari
budaya?
3. Jika orang belajar kewajiban-kewajiban moralnya dari budaya,
bukankah itu berarti bahwa moral itu relatif secara budaya?
4. Mengapa standar etika evolusionisme bertentangan dengan
moralitas yang preskriptif?
5. Menurut kekristenan yang historis, apa hubungan antara Allah
dan nilai-nilai moral yang mutlak?
310 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
Apakah Dia [Allah] ingin mencegah kejahatan tetapi tidak mampu? Berarti Dia
tidak berkuasa. Apakah Dia mampu tetapi tidak mau? Artinya Dia jahat. Apa-
kah Dia mampu dan mau? Lalu dari mana kejahatan itu?
––David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion
311
312 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
Pemimpin Mao. Perang Dunia II, yang mengakibatkan lima puluh sam-
pai enam puluh juta kematian, disebut sebagai bencana terbesar dalam
sejarah.4 Perang dunia abad XX membuat pandangan bahwa kejahatan
hanyalah ilusi belaka menjadi masalah yang serius. Mengabaikan keja-
hatan dengan menganggapnya sebagai ilusi sudah merupakan penyim-
pangan serius dari realitas.
Kejahatan itu nyata. Menyakitkan. Dan konsekuensi yang dihasil-
kannya menghancurkan.
Realitas kejahatan yang terjadi di dunia dan khususnya di tengah
umat manusia menimbulkan pertanyaan serius tentang hubungan keja-
hatan itu dengan visi Kristen tentang Allah yang kasih-Nya tak terhingga
dan berkuasa. Sebagian orang berpendapat bahwa kejahatan dan Allah
umat Kristen tidak dapat hidup berdampingan secara logis. Mereka
berpendapat bahwa keberadaan kejahatan pasti akan menyebabkan
penolakan terhadap keberadaan Allah.
Dia ditolak oleh para pemimpin agama dan politik, difitnah, dihukum,
dan kemudian dipukuli serta dieksekusi sebagai penjahat biasa. Yesus
menderita kesengsaraan karena hukuman mati Romawi—penyaliban.
Namun, Allah telah merencanakan ketidakadilan yang luar biasa ini dari
semula (Kis. 2:22-23). Dari peristiwa kejahatan dan penderitaan yang
mengerikan ini muncullah penebusan ilahi bagi orang-orang berdosa.
Allah membawa kebaikan yang terbesar dari kejahatan terbesar yang
telah terjadi.
Perkataan Augustine menjelaskan demikian, “Sebagaimana yang
diakui bahkan oleh orang kafir, karena Tuhan yang mahaesa memiliki
kekuasaan tertinggi atas segala sesuatu, karena diri-Nya sangat baik,
Dia tidak akan pernah mengizinkan adanya sesuatu yang jahat di antara
karya-karya-Nya. Jika Dia tidak sedemikian mahakuasa dan baik Dia
takkan dapat membawa kebaikan bahkan dari hal yang jahat.”30
Pertanyaan Diskusi
1. Mengapa masalah kejahatan menjadi alasan nomor satu untuk
tidak percaya kepada Allah?
2. Mengapa memandang kejahatan sebagai sebuah ilusi merupakan
respons yang lemah?
3. Jika Allah memiliki alasan-alasan yang baik untuk membiarkan
kejahatan, apa alasan-alasan-Nya itu?
4. Bagaimana membedakan antara masalah filosofis kejahatan dan
masalah psikologis kejahatan?
332 MEMIKIRKAN PENOLAKAN-PENOLAKAN TERHADAP IMAN KRISTEN
Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah
pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap
orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan
yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat.
––1 Petrus 3:15
Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang diba-
ngun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami
menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus.
––2 Korintus 10:5
doktrin dari para pengikut Gnostik (1Yoh. 4) dan pengikut agama Yahudi
(Gal. 1) mula-mula, serta filsafat spekulatif dari dunia Yunani-Romawi
(Kis.16-17). Mengingat budaya kita yang pascamodern dan “secara
politik benar,” usaha-usaha apologetis tetap sama pentingnya sekarang
seperti di masa yang lalu.
yang berakar di dalam sikap takut akan Tuhan (Ayb. 28:28; 34:4; Mzm.
111:10; Ams. 1:7; 9:10). Kejelian, refleksi, pengujian, dan pembaruan
intelektual, semuanya itu merupakan amanat Alkitab (lih. Kis. 17:11;
Rm. 12:2; 1Kor. 14:29; Kol. 2:8; 1Tes. 5:21). Dari semua orang,
orang Kristen yang memahami arti imago Dei memiliki alasan—dan
motivasi—untuk menilai, mengolah, dan mencari “kehidupan pikiran.”
Dengan kata lain, pencarian yang berakal budi yang dilakukan orang
Kristen benar-benar pencarian tentang Allah yang tidak terbatas dan
kekal yang menciptakan pikiran itu dan segala sesuatu yang lain di
dalam penciptaan.
Sebutan populer untuk kaum apologet adalah “kepala penginjilan.”
Tentu saja hanya pikiran yang disiapkan dengan baik, pikiran yang
didasari kebenaran Kristenlah yang dapat memberikan penjelasan objektif
tentang iman dan memberikan jawaban yang memuaskan ketika orang
yang tidak percaya melontarkan pertanyaan.
Pertanyaan Diskusi
1. Apakah apologetika itu?
2. Apakah tugas-tugas tertentu yang dicakup oleh kegiatan apolo-
getis?
3. Mengapa orang Kristen harus mengembangkan kehidupan pikiran?
4. Sifat-sifat pribadi apa yang harus menyertai setiap pertemuan apo-
logetis?
5. Mengapa proses tanya-jawab itu begitu penting?
Pendahuluan
1. Untuk pembahasan tentang pandangan apologetis Augustine, lihat karya
Avery Dulles, A History of Apologetics (Eugene, OR: Wipf dan Stock,
1999), 59-69; juga lihat karya Kenneth D. Boa dan Robert M. Bowman Jr,
Faith Has Its Reasons (Colorado Springs: NavPress, 2001), 30-32.
341
342 CATATAN
18. Lihat catatan ceramah oleh Alvin Plantinga, “Two Dozen (or So) Theistic
Arguments,” tersedia di http://www.homestead.com/philofreligion/files/The
isticarguments.html (diakses 23 April 2003).
19. Untuk pembahasan tentang argumen moral, lihat karya Miller, God and
Reason, 89-106; dan C. S. Lewis, The Abolition of Man (New York:
Macmillan, 1955).
20. Untuk penilaian kristiani tentang eksistensialisme, lihat karya C. Stephen
Evans, Existentialism: The Philosophy of Despair and the Quest for Hope
(Grand Rapids: Zondervan, 1984).
21. C. S. Lewis, Mere Christianity (New York: Macmillan, 1952), 45-46.
22. Lihat karya Ron Rhodes, Christ before the Manger: The Life and Times of
the Preincarnate Christ (Grand Rapids: Baker, 1992), 233-237; dan Josh
McDowell, Evidence that Demands a Verdict: Historical Evidences for the
Christian Faith (San Bernardino, CA: Here’s Life, 1979), 141-177.
23. Untuk pembelaan tentang mukjizat dari perspektif kristiani, lihat karya
Douglas Geivett dan Gary R. Habermas, eds., In Defense of Miracles: A
Comprehensive Case for God’s Action in History (Downers Grove, IL:
InterVarsity, 1997).
Bab 2: Bagaimana Saya Dapat Memercayai Allah yang Tidak Dapat Saya Lihat?
1. J. P. Moreland, Scaling the Secular City: A Defense of Christianity (Grand
Rapids: Baker, 1987), 226-228. Moreland menyajikan enam argumen yang
berbeda untuk menolak kritik visibilitas tentang Allah. Empat dari argumen-
argumennya dipakai di dalam bab ini.
2. Untuk pembahasan pendahuluan tentang empirisme sebagai teori epis-
temologis, lihat karya Ed L. Miller, Questions That Matter: An Invitation
to Philosophy, edisi ke-4 (New York: McGraw-Hill, 1996), 233-258.
3. Moreland, Scaling the Secular City, 226.
4. Dikutip oleh teis Kristen William Lane Craig dalam debat dengan ateis
Michael Tooley tentang keberadaan Allah. Lihat “A Classic Debate on the
Existence of God” (debat, University of Colorado, Boulder, CO, Novem-
ber 1994), http://www.leaderu.com/offices/billcraig/docs/craig-tooley0.html
(diakses 12 Januari 2003).
5. Upaya untuk mereduksi pikiran menjadi keadaan otak saja, menghasilkan
suatu bentuk determinisme fisik, sebuah teori absud yang mereferensi diri
sendiri (lih. karya Moreland, Scaling the Secular City, 77-103).
344 CATATAN
6. Untuk pembahasan yang jelas dan mendalam tentang hukum formal logika,
baca karya Ronald H. Nash, The Word of God and the Mind of Man: The
Crisis of Revealed Truth in Contemporary Theology (Grand Rapids:
Zondervan, 1982), 103-112; dan Miller, Questions That Matter, 31-54.
7. Teis Kristen Greg Bahnsen membuat poin ini dalam debatnya yang dire-
kam dengan ateis, Edward Tabash (lih. Covenant Media Foundation, 4425
Jefferson Ave., Texarkana, AR 71854).
8. Greg L. Bahnsen, Always Ready: Directions for Defending the Faith, editor
Robert R. Booth (Texarkana, AR: Covenant Media Foundation, 1996), 188.
9. Untuk mendapatkan ringkasan dari masalah-masalah yang terkait dengan
pandangan naturalistis, lihat karya Ronald H. Nash, Worldviews in Con-
flict: Choosing Christianity in the World of Ideas (Grand Rapids: Zondervan,
1992), 116-129. Untuk melihat kritik filosofis yang rinci tentang natural-
isme dari perspektif teistis, baca karya William Lane Craig and J. P.
Moreland, editor, Naturalism: A Critical Analysis (London: Routledge,
2000).
10. Hugh Ross, The Creator and the Cosmos: How the Greatest Scientific
Discoveries of the Century Reveal God, edisi ke-3 (Colorado Springs:
NavPress, 2001).
11. Moreland, Scaling the Secular City, 227.
12. Richard Swinburne, Is There a God? (Oxford: Oxford University Press,
1996), 2. Untuk pembahasan filosofis tingkat tinggi tentang bagaimana
Allah berfungsi sebagai penjelasan yang memadai bagi realitas, lihat karya
Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford: Clarendon, 1979).
13. Craig Blomberg, The Historical Reliability of the Gospels (Downers Grove,
IL: InterVarsity, 1989), 11.
14. C. S. Lewis, The Joyful Christian (New York: Macmillan, 1977), 51.
22. John Frame, Apologetics to the Glory of God (Phillipsburg, NJ: Presbyte-
rian and Reformed, 1994), 22-26.
23. Ilmu penafsiran Alkitab dinamakan hermeneutika. Untuk teks hermeneu-
tika yang populer, lihat karya R. C. Sproul, Knowing Scripture (Downers
Grove, IL: InterVarsity Press, 1977); untuk karya yang bersifat lebih tek-
nis lihat karya Bernard Ramm, Protestant Biblical Interpretation (Grand
Rapids: Baker, 1970).
24. Untuk mendapatkan pembahasan tentang pembelaan terhadap prinsip
Protestan, Sola Scriptura, lihat karya Kenneth R. Samples, “Does the Bible
Teach Sola Scriptura?,” Christian Research Journal (Musim Gugur 1989):
31; lihat juga karya Kenneth R. Samples, dalam dialog Katolik/Protestan
dengan Fr. Mitchell Pacwa berkenaan dengan pertanyaan tentang otoritas
keagamaan (kaset audio bisa didapat melalui St. Joseph Communications,
Inc., P. O. Box 720, W. Covina, CA 91793, 1-818-331-3549).
25. Sifat dan jangkauan yang tepat dari wahyu umum diperdebatkan di kalangan
teolog Kristen. Sebagian orang menyatakan bahwa wahyu umum ini identik
dengan seluruh fakta dunia atau alam. Sebagian yang lain membedakan
fakta alam dari kebenaran wahyu umum (yaitu, keberadaan dan atribut-
atribut Allah, serta tanggung jawab moral manusia kepada Allah).
26. Robert Saucy menyatakan bahwa wahyu umum memberikan data yang
kemudian harus dihimpun dalam proposisi logis (ditafsirkan), sedangkan
wahyu khusus datang langsung sebagai proposisi logis (sebagai interpretasi
yang diinspirasikan).
27. Henry, “Revelation, Special,” 946.
17. Lihat kritik Injil dari sebuah bentuk kontemporer politeisme dalam karya
Kurt Van Gorden, Mormonism (Grand Rapids: Zondervan, 1995), 31-47.
18. Lihat kritik Injil tentang Unitarianisme dalam karya Alan W. Gomes, Uni-
tarian Universalism (Grand Rapids: Zondervan, 1998).
19. Bowman, Why You Should Believe in the Trinity, 16-17.
20. C. S. Lewis, Mere Christianity (New York: Simon & Schuster, 1952), 145.
21. Untuk pembahasan yang jelas dan luas tentang hukum formal logika, lihat
karya Ronald H. Nash, The Word of God and the Mind of Man (Grand
Rapids: Zondervan, 1982), 103-112; dan Ed L. Miller, Questions That
Matter, edisi ke-4 (New York: McGraw-Hill, 1996), 32-33.
22. Lihat pembahasan Thomas D. Senor yang sangat membantu tentang
perbedaan filosofis ini dalam Reason for the Hope Within, editor Michael
J. Murray (Grand Rapids: Eerdmans, 1999), 239-240.
23. Geoffrey W. Bromiley, “Trinity,” dalam Evangelical Dictionary of Theo-
logy, editor Walter A. Elwell (Grand Rapids: Baker, 1984), 1112.
24. Bruce Milne, Know The Truth (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1982),
62.
25. Norman L. Geisler, “Trinity,” dalam Baker Encyclopedia of Christian
Apologetics (Grand Rapids: Baker, 1999), 736.
26. Kredo Athanasius dalam Ecumenical Creeds, 9-10.
dan Peter Kreeft, Christianity for Modern Pagans: Pascal’s Pensées; Edited,
Outlined and Explained (San Francisco: Ignatius, 1993).
4. Frederick Copleston, A History of Philosophy (New York: Image Books-
Doubleday, 1994), 4:154-155.
5. Cambridge Dictionary of Philosophy, bagian 4, 562.
6. Great Thinkers of the Western World, 210.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Kreeft, Christianity for Modern Pagans, 9.
11. Blaise Pascal, “The Memorial,” Pensées, edisi revisi, diterjemahkan A. J.
Krailsheimer (New York: Penguin, 1995), 285-286.
12. Copleston, History of Philosophy, 4:155.
13. Ibid.
14. Morris, Making Sense of It All, 2.
15. Pascal, Pensées, 131/434. Pensées telah diterjemahkan ke dalam dua versi
dasar. Edisi dari kedua versi itu telah tersedia.
16. Ibid., 192/527.
17. Ibid., 417/548.
18. Fideisme dapat didefinisikan dalam istilah yang lebih positif sebagai pan-
dangan yang mengakui batasan penalaran manusia dan menekankan pen-
tingnya iman. Jika Pascal seorang fideis, maka fideismenya cukup mode-
rat dan seimbang. Lihat karya William J. Wainwright, Philosophy of Reli-
gion (Belmont, CA: Wadsworth, 1988), 132-136; C. Stephen Evans, Faith
Beyond Reason: A Kierkegaardian Account, Reason and Religion (Grand
Rapids: Eerdmans, 1998), 49-52; dan Kenneth D. Boa dan Robert M.
Bowman Jr., Faith Has Its Reasons: An Integrative Approach to Defending
Christianity (Colorado Springs: NavPress, 2001), 367-370.
19. Pascal, Pensées, 12/187.
20. Ibid., 377/280.
21. Wainwright, Philosophy of Religion, 132-133.
22. Pascal, Pensées, 423/277.
23. Ibid., 424/278.
24. Copleston, History of Philosophy, 4:165.
25. Ibid., 165-66.
CATATAN 351
26. Keith Devlin, Goodbye Descartes: The End of Logic and the Search for a
New Cosmology of the Mind (New York: John Wiley, 1997), 183.
27. Untuk mendapatkan analisis yang sangat baik tentang kekuatan dan kele-
mahan dari Pascal’s Wager, lihat karya Stephen T. Davis, God, Reason and
Theistic Proofs (Grand Rapids: Eerdmans, 1997), 156-166.
28. Pascal, Pensées, 429/229.
29. Ibid., 418/233.
30. Ibid.
31. Copleston, History of Philosophy, 4:169-171.
32. Ibid., 156.
33. Untuk pertukaran filosofis yang menarik antara seorang ateis dan seorang
Kristen mengenai taruhan Pascal, lihat karya Alan Carter, “On Pascal’s
Wager; Or Why All Bets Are Off,” Philosophia Christi, seri 2, 3 (2001):
511-516; Douglas Groothuis, “Are All Bets Off? A Defense of Pascal’s Wager,”
Philosophia Christi (2001): 517-523; Alan Carter, “Is the Wager Back On?
A Response to Douglas Groothuis,” Philosophia Christi (2002): 493-500;
dan Douglas Groothuis, “An Unwarranted Farewell to Pascal’s Wager: A
Reply to Alan Carter,” Philosophia Christi (2002): 501-508.
34. Morris, Making Sense of It All, 119.
35. Davis, God, Reason and Theistic Proofs, 164-166.
31. Lihat laporan Guthrie tentang kepengarangan keempat Injil (seperti diku-
tip di atas).
32. Lihat karya Craig L. Blomberg, “The Historical Reliability of the New
Testament” dalam William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth
and Apologetics (Wheaton, IL: Crossway, 1994), 214-221.
33. Moreland, Scaling the Secular City, 151-154; Norman L. Geisler, “New
Testament, Dating of,” Baker Encyclopedia of Christian Apologetics (Grand
Rapids: Baker, 1999), 528.
34. Craig Blomberg, The Historical Reliability of the Gospels (Downers Grove,
IL: InterVarsity, 1987), 18.
35. Richard Purtill, Thinking about Religion (Englewood Cliffs, NJ: Prentice
Hall, 1978), 81-93.
36. A.N. Sherwin-White, Roman Society and Roman Law in the New Testa-
ment (Grand Rapids: Baker, 1978), 186-193.
37. Lihat Craig, Reasonable Faith, 284-285.
38. Bruce, New Testament Documents, 45-46.
39. Blomberg, Historical Reliability of the Gospels, 81-84.
40. Peter Kreeft, Between Heaven and Hell (Downers Grove, IL: InterVarsity,
1982), 74.
Bab 8: Apakah Yesus itu Manusia, Mitos, Orang Gila, Ancaman, Mistik,
Penghuni Mars, atau Mesias?
1. John Hick, “A Pluralist View” dalam More Than One Way? Four Views on
Salvation in a Pluralistic World, editor Dennis L. Okholm dan Timothy
R. Phillips (Grand Rapids: Zondervan, 1995), 54-55.
2. John R. W. Stott, Basic Christianity (Downers Grove, IL: InterVarsity,
1980), 21-34. Beberapa pernyataan deskriptif Scott tentang Yesus (con-
toh, lih. hal. 27) telah diketengahkan di dalam karya ini dan analisisnya
yang alkitabiah telah diperluas.
3. D. A. Carson, The Gospel According to John (Grand Rapids: Eerdmans,
1991), 358.
4. Ibid., 394-395.
5. Lihat Stott, Basic Christianity, 29-32.
6. Lihat Robert L. Reymond, Jesus, Divine Messiah: The New Testament
Witness (Phillipsburg, NJ: Presbyterian and Reformed, 1990).
7. Louis P. Pojman, Philosophy: The Quest for Truth, edisi ke-5 (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 34-37.
354 CATATAN
8. Dua buku yang sangat bagus, yang umumnya mengambil pendekatan abduk-
tif terhadap pembunuhan Presiden Kennedy adalah karya William Man-
chester, The Death of a President (New York: Harper & Row, 1967); dan
Gerald Posner, Case Closed (New York: Random House, 1993).
9. Pojman, Philosophy, 36. Lihat juga tes-tes logis saya untuk pandangan-
pandangan dalam buku Hugh Ross, Kenneth Samples, dan Mark Clark,
Lights in the Sky and Little Green Men (Colorado Springs, CO: NavPress,
2002), 156-158.
10. T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning, edisi ke-4 (Belmont, CA:
Wadsworth, 2001), 115.
11. Lihat karya Josh McDowell, Evidence that Demands a Verdict: Historical
Evidences for the Christian Faith (San Bernardino, CA: Here’s Life, 1979),
103-109. Dalam pembelaan McDowell, ia menyampaikan kemungkinan
alternatif-alternatif lain di bagian-bagian lain dalam buku tersebut.
12. A. N. Sherwin-White, Roman Society and Roman Law in the New Testa-
ment (Grand Rapids: Baker, 1978), 186-193.
13. Lihat bab 7 di dalam buku ini; lihat juga buku Gary R. Habermas, The
Historical Jesus: Ancient Evidence for the Life of Christ (Joplin, MO:
College Press, 1996), 107-114.
14. John Warwick Montgomery, History and Christianity (Minneapolis:
Bethany, 1965), 66-72.
15. R.T. France, The Evidence for Jesus (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1986),
19-58; Habermas, Historical Jesus, 187-228.
16. Stott, Basic Christianity, 23-26.
17. C.S. Lewis, Mere Christianity (New York: Macmillan, 1952), 55-56.
18. Montgomery, History and Christianity, 62-63.
19. Ronald H. Nash, Worldviews in Conflict (Grand Rapids: Zondervan, 1992),
153.
20. Montgomery, History and Christianity, 64.
21. Untuk penilaian tentang Bapa, lihat buku Walter Martin, The Kingdom of
the Cults (Minneapolis: Bethany, 1977), 213-21. Untuk penilaian tentang
David Koresh, lihat buku Kenneth Samples, et al., Prophets of the Apoca-
lypse: David Koresh and Other American Messiahs (Grand Rapids: Baker,
1994). Untuk penilaian tentang Jim Jones, lihat rekaman Walter Martin
“Jonestown, the Death of a Cult,” tersedia di http: //waltermartin.org.
22. Huston Smith, The World’s Religions: Our Great Wisdom Traditions (San
Francisco: Harper-Collins, 1991), 143-144.
CATATAN 355
23. Ibid.
24. James T. Fisher dan Lowell S. Hawley, A Few Buttons Missing (Philadel-
phia: Lippincott, 1951), 273.
25. Untuk penilaian Kristen Injili tentang New Age Movement, lihat karya
Douglas R. Groothuis, Unmasking the New Age Movement (Downers
Grove, IL: InterVarsity, 1986); Elliot Miller, A Crash Course on the New
Age Movement (Grand Rapids: Baker, 1989); dan John P. Newport, The
New Age Movement and the Biblical Worldview (Grand Rapids: Eerdmans,
1998).
26. Untuk penilaian Kristen Injili tentang pernyataan “tahun-tahun Yesus yang
hilang,” lihat karya Ron Rhodes, The Counterfeit Christ of the New Age
Movement (Grand Rapids: Baker, 1990), 27-56; dan Douglas Groothuis,
Revealing the New Age Jesus (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1990),
147-173.
27. Rhodes, Counterfeit Christ, 48.
28. Ibid., 44-46.
29. Ibid., 51.
30. Ibid., 47.
31. Ross, Samples, dan Clark, Lights in the Sky, 147-158.
32. Ibid., 162-163.
33. Ibid., 164.
34. Ibid., 157-158.
24. C. Stephen Evans, Why Believe? Reason and Mystery as Pointers to God
(Grand Rapids: Eerdmans, 1996), 141.
25. Lihat kritik Douglas Groothuis tentang buku Joseph Campbell, The Power
of Myth, in Christian Research Journal (Musim Gugur 1989): 28; lihat
juga buku Tom Snyder, Myth Conceptions: Joseph Campbell and the New
Age (Grand Rapids: Baker, 1995).
26. Ibid.
Bab 16: Bukankah Saya Berhak Melakukan Apa Pun yang Saya Inginkan
dengan Tubuh Saya Sendiri?
1. Libertarianisme memiliki berbagai bentuk (politik, ekonomi, filsafat,
etika), tetapi didefinisikan secara luas sebagai pandangan yang berusaha
memaksimalkan kebebasan dan kemerdekaan individu.
2. Lihat karya Anthony A. Hoekema, Created in God’s Image (Grand Rapids:
Eerdmans, 1986), 5-10.
3. Dosa asal terdiri dari kesalahan, kerusakan moral, dan kerentanan ter-
hadap kematian yang diwariskan kepada keturunan Adam setelah keja-
tuhannya dalam dosa (Kej. 3; Mzm. 51:7, 58:4; Rm. 5:12,18-19; 1Kor.
15:22).
366 CATATAN
Answering the Arguments for Abortion Rights (Grand Rapids: Baker Book
House, 1993), 19-25.
14. C. S. Lewis, Mere Christianity (New York: Macmillan, 1952), 17-21.
15. Pojman, Philosophy, 273.
16. Douglas Groothuis, “Confronting the Challenge of Ethical Relativism” CRI
Statement DE195 (Christian Research Institute, Rancho Santa Margarita,
CA), http://www.equip.org/free/DE195.htm (diakses 18 Desember 2002),
aslinya diterbitkan di dalam Christian Research Journal 14, no. 1; juga
diterbitkan dalam buku Douglas R. Groothuis, Christianity That Counts:
Being a Christian in a Non-Christian World (Grand Rapids: Baker Book
House, 1995), 93-96.
17. G. M. Gilbert, Nuremberg Diary (New York: Da Capo Press, 1995);
Whitney R. Harris, Tyranny on Trial (Dallas: Southern Methodist Univer-
sity Press, 1999).
18. J. P. Moreland, Scaling the Secular City (Grand Rapids: Baker, 1987), 242-
244.
19. Sebagai filsuf, saya memiliki alasan metafisika untuk lebih menyukai Coke
daripada Pepsi: metafisika adalah studi tentang kenyataan, dan bagaimana-
pun, Coke adalah “hal yang riil.”
20. Pojman, Ethics, 30.
21. Miller, Questions That Matter, 406.
22. Keempat alasan untuk mendukung absolutisme moral yang terdaftar di
sini diambil dari buku Moreland dan Geisler, Life and Death Debate, 6-9.
23. Lihat tulisan George Mavrodes, “Religion and the Queerness of Morality”
dalam Rationality, Religious Belief and Moral Commitment: New Essays
in Philosophy of Religion, editor Robert R. Audi dan William Wainwright
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 1986).
Bab 19: Bagaimana Mungkin Allah yang Baik dan Mahakuasa Membiarkan
Kejahatan Terjadi?
1. Untuk mendapatkan informasi umum yang baik tentang agama Hindu,
lihat karya Huston Smith, The World’s Religions (San Francisco: Harper-
Collins, 1991); John A. Hutchison, Paths of Faith, edisi ke-4 (New York:
McGraw-Hill, 1991); dan David S. Noss dan John B. Noss, A History of
the World’s Religions, edisi ke-9 (New York: Macmillan, 1990). Untuk
penilaian kristiani tentang agama Hindu, lihat buku Winfried Corduan,
Neighboring Faiths: A Christian Introduction to World Religions (Downers
370 CATATAN
Grove, IL: InterVarsity, 1998); dan Dean C. Halverson, edisi umum, The
Compact Guide to World Religions (Minneapolis: Bethany, 1996).
2. Lihat karya Karl Menninger, Whatever Became of Sin? (New York: E. P.
Dutton, 1973); dan Kenneth L. Woodward, “What Ever Happened to
Sin?,” Newsweek, 6 Februari, 1995, 23.
3. Richard L. Purtill, Thinking about Religion (Englewood Cliffs, NJ: Pren-
tice Hall), 95-109.
4. Sejarawan Stephen Ambrose menyebut Perang Dunia II sebagai bencana
terbesar dalam sejarah, dalam bagian pendahuluan bukunya American
Heritage New History of World War II (New York: Viking, 1997).
5. Untuk melihat seluruh konteks pernyataan Hume melalui dialog filosofis
yang diciptakannya (Philo), lihat buku David Hume, Dialogues Concern-
ing Natural Religion, editor Henry D. Aiken (New York: Hafner, 1948),
62-64.
6. Untuk analisis lebih lanjut tentang pandangan yang dikenal sebagai god-
isme, lihat tulisan Norman L. Geisler, “Finite Godism,” dalam Baker
Encyclopedia of Christian Apologetics (Grand Rapids: Baker, 1999), 246-
249.
9. Richard Swinburne, “The Problem of Evil,” dalam Great Thinkers on
Great Questions, editor Roy Abraham Varghese (Oxford: Oneworld, 1998),
191.
10. Alvin C. Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids: Eerdmans,
1974), 30.
11. Ibid., 12-29.
12. Untuk mendapatkan beragam jawaban kristiani tentang masalah keja-
hatan, lihat buku Norman L. Geisler, The Roots of Evil (Grand Rapids:
Zondervan, 1978); Michael Peterson, Evil and the Christian God (Grand
Rapids: Baker, 1982); Ronald H. Nash, Faith and Reason: Searching for a
Rational Faith (Grand Rapids: Zondervan, 1988), bab 13-15; dan John M.
Frame, Apologetics to the Glory of God (Phillipsburg, NJ: Presbyterian
and Reformed, 1994), bab 6-7.
11. William L. Rowe, “IX. The Problem of Evil and Some Varieties of Athe-
ism,” American Philosophical Quarterly 16, no. 4 (Oktober 1979), 335
12. Ini adalah bentuk kutipan yang paling sering dipakai. Meskipun bentuk
ini tidak terdapat di dalam buku ini, gagasan tersebut ditemukan di sepan-
jang buku. Lihat buku Fyodor Mikhailovich Dostoevsky, The Brothers
Karamazov, diterjemahkan Constance Garnett, Great Books, vol. 52
CATATAN 371