Anda di halaman 1dari 15

MEMBUKTIKAN KEBERADAAN ALLAH

WHY ATHEISM DOESNT MAKE SENSE

MAKALAH

Ditulis oleh: Joice Limpo (12120080039)

Fakultas Psikologi Universitas Pelita Harapan Surabaya 2009

MEMBUKTIKAN KEBERADAAN ALLAH


1. Pendahuluan Sejak zaman dahulu, sudah terdapat orang-orang yang berusaha untuk mengingkari keberadaan Allah, atau paling tidak mengingkari kuasa yang dimilikiNya atas hidup seseorang. Akan tetapi, pemikiran ini berkembang bagaikan virus yang dengan cepat menginfeksi manusia, terutama orang muda. Berpikir bebas dan keterbukaan dalam mengemukakan pendapat sudah menjadi trend di kalangan masyarakat, bahkan sudah secara perlahan memasuki Indonesia. Hal ini bukanlah hal yang buruk, namun demikian, begitu banyak orang muda yang berpikir yang kemudian terjebak oleh berbagai teori sekuler. Mungkin kebanyakan teori tersebut terlihat seperti sains, namun bila ditilik lebih jauh, akan diketahui bahwa teori itu terlalu muluk, bahkan untuk menopang dirinya sendiri. Akan tetapi, didorong oleh keinginan dasar manusia untuk menolak Tuhan dan dengan bujukan teori yang tampaknya seperti kebenaran biologi ataupun astronomi, mereka mengubah status menjadi seorang ateis. Mereka berusaha menyingkirkan Allah dari dalam hidup mereka. Seorang ateis yang paling rendah hati akan pada saatnya mengakui bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Allah tidak ada, yang benar adalah dia tidak mau Allah ada, adapun Allah dia tidak akan mau mengakuinya. Untuk tujuan tersebut, penulis berusaha memaparkan bukti-bukti yang menceritakan kebesaran Allah yang tersebar di seluruh bumi, agar yang membaca dapat melihat, ada suatu titik kandas dalam berbagai teori yang tidak mengikutkan Tuhan di dalamnya, seperti teori Big Bang dan evolusi. Selain itu, penulis akan memaparkan argumen-argumen mengenai kritik kaum ateis yang ingin membuktikan Allah tidak ada dengan mempertentangkan fakta-fakta yang terjadi di dunia dan sifat-sifat Allah. Jatuh dalam kategori ini adalah keberatan mereka tentang penderitaan. Karena itu, mari menilik lebih jauh tentang apa yang sesungguhnya terjadi, apakah kebenaran itu. Semoga pembaca menikmati membaca tulisan ini sebanyak penulis menikmati menyusunnya.

2. Asal Muasal Salah satu bukti kuat akan keberadaan Allah adalah keberadaan itu sendiri. Mengapa ada banyak hal? Mengapa ada semesta, matahari, bumi, atau bahkan kehidupan? Mengapa ada waktu dan ruang? Dari manakah semuanya datang? Dalam menjelaskan mengenai asal-muasal segala sesuatu, manusia telah sampai ke titik stagnasi. Tidak ada penjelasan logis apapun tentang asal muasal segala sesuatu bila tidak bermuara pada pengakuan akan adanya Allah, yang secara teliti dan brilian mendesain segala sesuatunya dalam semesta ini. Banyak peneliti dan orang pintar dunia yang telah mengajukan berbagai macam teori, yang berusaha untuk menjauhkan Allah ataupun mengingkari keberadaan-Nya, namun tidak ada satupun yang bertahan. 2.1 Asal Muasal Alam Semesta Salah satu pertanyaan yang mutlak akan membawa kita pada pengakuan akan keberadaan Allah adalah pertanyaan mengenai asal muasal semesta. Bagi orang-orang yang tidak mengakui adanya Allah, atau dengan kata lain, ateis, akan berusaha menyingkirkan segala pemikiran mengenai entitas supernatural yang mungkin ada. Dalam hal ini, mereka tidak memiliki pilihan lain selain mengingkari adanya Pencipta yang menciptakan alam dan isinya sedemikian rupa, seperti yang tercatat dalam Kejadian pasal pertama. Untuk menjelaskan akan keberadaan Allah, mari kita mencoba memandang hal dari sudut seorang ateis, dan dengan sendirinya kita akan menemukan berbagai kontradiksi dalam kerangka pikir mereka. Seorang ateis tidak akan dapat mempertahankan pendapatnya, sebab Allah memang benar-benar ada. Sebelum memperdebatkan mengenai bagaimana alam semesta terbentuk, baiklah kita memperjelas bahwa alam semesta memiliki permulaan. Karena bila hal ini belum dikonfirmasi, maka akan ada pendapat-pendapat yang berusaha mengutarakan bahwa alam semesta tidak memiliki awal mula, karena itu, untuk apa membicarakan mengenai penciptaan? Sebelum penemuan radiasi latar gelombang mikro kosmik pada tahun 1965, para ilmuwan memegang keyakinan bahwa alam semesta selalu konstan, tidak memiliki awal atau bahkan akhir.1 Penemuan radiasi latar tersebut telah mengubah pendirian para ilmuwan dan telah diakui sebagai bukti
1

Lee Strobel, The Case for Faith (e-book), hlm. 63

bahwa alam semesta memiliki permulaan. Berdasarkan penemuan ini, dibangunlah hipotesis mengenai teori Big Bang, sebagai penjelasan atas sebab terjadinya semesta. Pada masa itu diyakini bahwa proses Big Bang adalah proses siklis, yang dapat terjadi berulang-ulang, di mana ketika semesta yang kini ditempati berakhir dan runtuh, akan terulang kembali proses penciptaan dunia. Ide awal Big Bang adalah semesta yang terus meluas hingga terjadinya suatu ledakan besar, yang kemudian menyebabkan terbentuknya sistem semesta. Dengan adanya sistem semesta dan gravitasi, perluasan semesta akan melambat, hingga saatnya perluasan tersebut berhenti, dan bintangbintang akan saling bertabrakan, dan kembali mengalami big bang. Akan tetapi satu penemuan kembali mengguncang dunia kosmologi pada tahun 1998. Dua tim astronom yang telah mengobservasi supernova (ledakan bintang) secara teliti selama 10 tahun menemukan bahwa perluasan semesta semakin cepat berlangsung seiring waktu.2 Apa implikasi penemuan ini? Ini membuktikan bahwa bilapun ada proses yang disebut Big Bang, hal itu tidak mungkin terjadi secara berulang. Bintang-bintang tidak akan bertabrakan, dan tidak memungkinkan terjadinya big bang lagi. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa semesta ada hanya satu kali, semesta memiliki satu permulaan, dan suatu saat semesta akan berakhir.3 Karena kita sudah dapat sampai pada kesimpulan bahwa alam semesta memiliki permulaan dan sedang menuju akhir, dan tidak akan terbentuk alam semesta baru, marilah kita melihat masalah utamanya, bagaimana semesta diciptakan. Kaum ateis yang dipaksa menerima kenyataan bahwa semesta memiliki permulaan kini menghadapi tantangan baru. Sebab segala sesuatu yang memiliki permulaan pasti memiliki sebab yang membuatnya bermula.4 Seorang ateis yang tidak percaya Tuhan tentu tidak akan mengakui terjadinya penciptaan. Alternatif terbaik bagi mereka adalah menggunakan teori Big Bang, yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun demikian, teori ini pun akan terbentur pada satu pertanyaan dasar yang tidak mungkin terjawab, bila memang dunia berawal dari suatu ledakan besar, apa yang menyebabkan terjadinya ledakan tersebut?5 Serentetan peristiwa pasti memiliki serentetan penyebab pula. Dengan demikian, peristiwa pertama yang terjadi dalam waktu, atau dengan kata lain, permulaan semesta
2 3

Karen Fox, The Big Bang Theory: What it is, where it came from, and why it works, hlm. 1 The Universe Will Expand Forever, http://www.harvardhouse.com/Accelerating_Universe.htm 4 Craig, W.L. Armstrong, W.S. God?: A Debate between a Christian and an Atheist, hlm. 5 5 Antony Flew, There is A God, hlm. 138

pasti juga memiliki sebab pertama.6 Sebab pertama yang mungkin hanyalah suatu Oknum supernatural, yang tidak bermula karenanya tidak disebabkan oleh apapun, tidak terikat oleh waktu dan kekal, karena Dialah yang menciptakan waktu. Karena Dia juga menciptakan ruang, maka Dia pasti melebihi ruang, dan karena itu Dia bukan materi seperti manusia. Lebih jauhnya lagi, juga dapat disimpulkan bahwa Dia adalah pribadi.7 Mengapa demikian? Mari coba kita pikirkan, di dunia yang kita tinggali, ada suatu hukum yang berlaku tetap (tidak terpengaruh waktu), seperti suhu pembekuan air, namun banyak pula yang bersifat tidak tetap dan terpengaruh oleh waktu. Yang mungkin menciptakan hukum alam yang tidak berubah, sekaligus makhluk hidup yang tidak kekal, hanyalah Pencipta yang berpribadi, yang dapat memilih sesuai dengan kehendak-Nya untuk menempatkan ciptaan-Nya dalam pengaruh waktu atau tidak. Dibandingkan dengan penjelasan dan alur pikir ateis yang berujung pada deadend, adalah lebih logis dan rasional ketika kita melihat awal mula semesta dari sudut pandang biblikal. Kejadian 1:1, diawali dengan kata Pada mulanya..., mengimplikasikan bahwa semesta memiliki permulaan (terbukti pada tahun 1998), dilanjutkan dengan Allah menciptakan langit dan bumi, mengimplikasikan bahwa ada Pencipta, satu-satunya penjelasan masuk akal terhadap sebab terjadinya semesta. Apa yang diributkan dan menjadi bahan perbincangan hangat di antara para ilmuwan telah sejak semula dijawab oleh Tuhan. Kesimpulan yang telah dicapai para ilmuwan telah menunjuk kepada Tuhan Allah. Bilakah seorang masih mengatakan bahwa bukti ini tidak cukup untuk mengetahui keberadaan Tuhan, baiklah kita beranjak kepada bukti berikutnya. 2.2 Asal Muasal Kehidupan Setelah semesta telah ada dan bumi memungkinkan untuk ditinggali, ada kehidupan di dalamnya. Inilah fakta, bahwa ada kehidupan di dunia, namun kembali muncul pertanyaan mendasar, apa yang menyebabkan terjadinya kehidupan? Mengenai asal muasal kehidupan, klaim kekristenan sudah teguh menyatakan bahwa segala makhluk merupakan ciptaan Allah. Allah yang menciptakan adalah Allah yang melebihi pikiran manusia, yang dengan luar biasa telah mengatur segala sesuatunya
6 7

Theodore Schick, Jr, The Big Bang Argument for The Existence of God, hlm. 2 Craig, W.L. Armstrong, W.S. God?: A Debate between a Christian and an Atheist, hlm. 5

dengan tepat dan indah. Namun demikian, penjelasan apakah yang mungkin ditawarkan oleh kaum ateis? Teori yang masih sering digunakan untuk meniadakan Allah dalam hal permulaan kehidupan adalah teori evolusi dari Charles Darwin yang terkenal. Evolusi yang dibahas oleh Darwin adalah evolusi biologis, yaitu proses yang menjelaskan tentang perubahan organisme dari waktu ke waktu. Secara lebih spesifik, terdapat dua tipe evolusi biologis, yaitu mikroevolusi dan makroevolusi. 8 Mikroevolusi merupakan evolusi yang terjadi dalam jangka waktu pendek yang meliputi perubahan-perubahan kecil. Mikroevolusi adalah prinsip yang memang terjadi dalam dunia nyata, prinsip inilah yang dapat menjelaskan mengapa terdapat banyak variasi bunga dan hewan yang berasal dari perkawinan silang. Di sisi lain, makroevolusi adalah evolusi yang terjadi dalam waktu yang sangat panjang yang melibatkan perubahan-perubahan besar. Dalam konsepnya ini, Darwin berhipotesis bahwa kehidupan berawal dari sebuah organisme yang sangat sederhana, yang seiring waktu berevolusi menjadi organisme yang sangat kompleks. Salah satu tantangan terbesar yang sulit dijawab oleh pemegang teori evolusi adalah bagaimana sebuah semesta yang tidak memiliki pemikiran dapat menghasilkan suatu organisme yang memiliki pemikiran kompleks, bagaimana mungkin dunia yang ada (yang bukan diciptakan dengan tujuan tertentu) dapat menghasilkan manusia yang terobsesi pada apa yang disebut dengan tujuan? Terlalu banyak bagaimana-bagaimana lainnya yang dapat memojokkan seorang ateis hingga yang tersisa darinya adalah dalih. Kini, saatnya mengekspos pertanyaan terbesar bagi teori evolusi, bila organisme kompleks merupakan hasil evolusi organisme sederhana, dari manakah asalnya organisme sederhana tersebut? Dari manakah asal mula kehidupan? Di manakah akarnya? Pertanyaan ini benar telah dijawab oleh sang teoris sendiri, dengan menyebutkan bahwa kehidupan bisa berasal dari yang tidak hidup, misal bahan-bahan kimia tertentu yang berada pada kondisi lingkungan yang tepat.9 Namun demikian, apa yang disebutkan oleh Darwin tersebut bukanlah berasal dari penelitian, melainkan dari sebuah spekulasi yang lahir dari pemikiran sederhana pada zamannya, di mana orang menganggap bahwa belatung akan lahir apabila daging dibiarkan busuk. Baru setelahnya ditemukan bahwa apa yang dikira lahir dari benda mati sesungguhnya
8 9

Greg Krukonis, Evolution for Dummies, hlm. 12 Lee Strobel, The Case for Faith (e-book), hlm. 59

berasal dari makhluk hidup, contohnya, belatung di daging yang membusuk bukan berasal dari daging itu, tapi dari lalat yang datang menghinggapi daging tersebut. Karena itulah, jawaban Darwin ini sama sekali tidak valid, namun demikian kenyataan ini tidak mencegah ilmuwan untuk membuktikan bisanya terjadi kehidupan dari pencampuran bahan-bahan kimia. Berbagai eksperimen telah dilakukan, dan yang paling berhasil di antaranya adalah eksperimen Stanley Miller.10 Dari ide bahwa gas dan bahan kimia yang ada pada masa bumi primitif mungkin saja bereaksi dengan gas dari atmosfer bumi dan menciptakan kehidupan, Miller mencobakannya pada laboratorium. Percobaannya terbilang berhasil, memang terjadi reaksi antara gas-gas yang dihipotesiskan sebagai komponen yang mengisi bumi pada zaman dahulu. Dunia ilmuwan terguncang, seolah membuka pintu kemungkinan untuk menyingkirkan mitos tentang penciptaan. Namun tidak lama kemudian para ilmuwan kembali pada akal sehat mereka dan menyadari bahwa gas yang digunakan dalam percobaan Miller tidak mungkin ditemukan pada bumi zaman dulu. Gas-gas itu benar bereaksi, namun tidak ada kemungkinan bagi reaksi itu untuk terjadi, karena gas tersebut tidak pernah bertemu secara natural di bumi. Semuanya hanya dapat terjadi dalam eksperimen. Konsep bahan kimia yang berinteraksi dan menghasilkan kehidupan adalah suatu konsep yang mungkin terjadi, karena DNA manusia terdiri dari asam amino. Namun sayangnya, probabilitas terbentuknya protein yang membangun DNA dari asam-asam amino tersebut hampir tidak ada. Karena itu, dapat dipastikan bahwa kehidupan tidak mungkin terjadi karena kebetulan saja. Untuk membentuk satu protein saja dibutuhkan usaha yang melebihi jumlah atom yang ada di seluruh bintang dari seluruh galaksi di dalam seluruh jagad raya yang kita kenal (1040.000 ),11 terlebih lagi untuk membentuk satu sel yang terdiri dari rangkaian DNA, yang berisikan berbagai informasi yang kompleks yang dapat membuat sel tersebut bertahan hidup dan bisa bereproduksi. Seorang awam pun mengerti bahwa adalah satu hal yang mustahil untuk membentuk suatu makhluk hidup dengan kemampuan manusia yang inteligen, apalagi hanya dengan kebetulan yang terjadi dalam alam yang sama sekali tidak memiliki pikiran. Adalah suatu keanehan bagi seorang ilmuwan apabila setelah mendalami keajaiban-keajaiban yang ada dalam tiap makhluk dan masih belum menyadari bahwa semuanya dalah suatu rancangan. Rancangan itu terorganisir,
10

Stanley L. Miller (1953), A Production of Amino Acids Under Possible Primitive Earth Condition, Science vol. 117 hlm. 528 11 Ravi Zacharias, Jesus Among Other Gods, hlm. 48

sistematis, dan memiliki tujuan. Rancangan itu dijadikan oleh sang Pencipta, yang keberadaan dan inteligensi-Nya jauh di atas manusia. Sekali lagi, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa investigasi yang jujur dan menyeluruh terhadap alam dan kehidupan dalam dunia akan membawa kita pada pengakuan dan kekaguman akan kebesaran sang Pencipta. 3. Penderitaan dan Kejahatan Salah satu keberatan ateis yang paling sulit dijelaskan adalah mengenai penderitaan dan kejahatan. Penderitaan memang terjadi di dunia ini, bukan hanya di satu tempat saja, tetapi secara universal, begitu pula kejahatan. Banyak orang yang mengalami hal pahit dalam hidupnya, seperti kematian orang yang dicintai, menderita penyakit, hidup dalam kemiskinan, serta luka-luka hati lainnya. Banyak bentuk kejahatan yang terjadi, bahkan hingga yang rasanya tidak mungkin ada yang tega melakukannya. Pembunuhan, perampokan, mutilasi, pemerkosaan, bahkan makan daging manusia (kanibal), sudah terealisasi. Nampaknya, masyarakat dunia sudah sangat bobrok secara moral dan hal ini membuat kita sulit percaya bahwa ada Pencipta yang Maha Pengasih di balik semuanya itu. Kenyataan ini pun tidak semakin mudah diterima dengan adanya bencana alam di mana-mana. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah sesungguhnya dunia ini tidak diciptakan dengan kasih sebagai tujuannya? Apakah Allah sesungguhnya bukan Maha Pengasih sehingga Dia tega membiarkan manusia menderita, atau sebaliknya, Dia tidak Maha Kuasa sehingga tidak mampu menolong? Tetapi sebelumnya kita harus mengajukan pertanyaan, apakah eksistensi penderitaan dan kejahatan meniadakan eksistensi Allah? Dalam menjelaskan mengenai penderitaan, seolah kita akan terbentur pada suatu kesimpulan yang tidak logis, bagaimana mungkin dunia yang penuh penderitaan dan kejahatan mengimplikasikan adanya Tuhan yang Maha Pengasih yang memiliki segala kuasa dalam tangan-Nya. Dalam bukunya Jesus Among Other Gods, Ravi Zacharias mengidentifikasi dua pemikiran populer dalam menjelaskan eksistensi penderitaan yang kemudian bermuara pada pertanyaan mengenai eksistensi Allah.12 Pemikiran 1: Allah Tidak Ada

12

Ibid., hlm. 76

Karena penderitaan nyata terjadi, maka Allah yang pengasih tidak mungkin ada. Penjelasan ini merupakan pilihan yang bahkan sulit untuk menjadi pilihan. Mengapa demikian? Karena pada akhirnya, pernyataan bahwa adanya kejahatan dan penderitaan menghilangkan kemungkinan keberadaan Allah akan mengkontradiksi dirinya sendiri. Mari kita berpikir. Disebutkan bahwa di dunia ini ada kejahatan, tapi apakah yang dimaksud dengan kejahatan? Dengan standar apa orang menunjukkan apa yang benar dan apa yang salah? Bila ada yang dikategorikan sebagai kejahatan, tentu ada yang disebut dengan kebaikan. Bila ada kejahatan dan kebaikan yang terjadi secara universal, maka ada standar moral yang juga berlaku universal. Bila ada standar moral yang berlaku universal, mengimplikasikan adanya Kebaikan Tertinggi, atau dengan kata lain, ada Tuhan yang menanamkan nilai moral itu pada setiap manusia yang diciptakan-Nya. Sudahkah terlihat kontradiksi dari pernyataan ini? Menjadikan penderitaan sebagai titik mula membuktikan ketiadaan Allah akan bermuara pada pembuktian adanya Allah. Namun demikian, masih terdapat pertanyaan yang tertinggal untuk dijawab. Apakah adanya nilai moral harus mengimplikasikan adanya Tuhan? Sesungguhnya, moral adalah suatu eksistensi yang tidak bisa dipelajari secara sains. Mengapa demikian? Karena suatu sains bisa terjadi tanpa moral, contohnya, eksperimen tanpa etika. Karena itu, ilmuwan tak dapat menjelaskan moral dan asal muasalnya. Namun demikian, dapat dikonfirmasi bahwa standar yang sama berlaku pada seluruh manusia. Seperti yang tertulis dalam Alkitab, hukum Allah tertulis dalam hati tiap-tiap orang. Inilah standar yang dibicarakan di sini. Contohnya, seluruh orang di dunia akan mengerti bahwa memutilasi anak kecil demi kesenangan pribadi adalah hal yang salah untuk dilakukan. Mengapa salah? Mengapa jawaban banyak orang dari berbagai kebudayaan bisa sama? Apakah semuanya hanya kebetulan? Sesungguhnya, bukti mengenai eksistensi standar moral terlalu jelas untuk disangkal oleh kaum ateis sekalipun. Sekali lagi ditekankan, standar moral tidak mungkin ada bila tidak ada Pencipta yang menuliskannya. Argumen ini dapat dirangkum dalam analogi yang digunakan oleh Ravi Zacharias13:
13

Nilai moral objektif hanya ada bila Tuhan ada Nilai moral objektif ada
Ravi Zacharias, The End of Reason, hlm. 56

Karena itu, Tuhan ada

Secara simpel, argumen ini akan sampai pada konklusi akan keberadaan Allah. Bila ditinjau satu-persatu premis yang diberikan, tidak ada celah bagi seseorang bahkan untuk menyatakan ketiadaan Allah, setidaknya tidak dari topik mengenai penderitaan. Setelah melihat akan adanya penderitaan mengacu kepada adanya nilai moral objektif, dan pada akhirnya menyatakan adanya Tuhan, maka seorang penganut ateis tentu tidak akan mengangkat topik ini sebagai titik mula perdebatan. Seorang ateis sejati, yang bertindak sesuai dengan yang filosofi hidupnya, menurut analogi di atas tidak akan melihat segala sesuatu sebagai baik ataupun jahat, karena mereka tidak akan mengakui adanya nilai moral yang objektif. Ketika orang tidak mengakui bahwa ada perbuatan yang baik dan ada yang jahat, maka mereka bisa saja membenarkan segala perbuatan mereka, bahkan yang terburuk sekalipun. Mereka akan merasa memiliki kebebasan untuk memperlakukan manusia secara semena-mena, tidak ada yang berhak menilai mereka. Karena implikasi inilah, seringkali orang memilih untuk meniadakan Tuhan, agar mereka tidak dihakimi oleh standar moral yang ada. Pemikiran 2: Menuntut Kontradiksi Allah Pemikiran populer yang lain adalah menuntut kontradiksi dari Allah dengan menanyakan Bila Allah MahaKuasa, mengapa tidak mengatur agar semua orang melakukan hal yang baik, agar tidak ada kejahatan di dunia?. Sebelum membahas pemikiran ini, mari kita menyamakan cara pandang. Allah adalah Maha Kuasa, namun tidak dapat mengkontradiksi diri-Nya sendiri.14 Kedua pernyataan ini pun tidak berkontradiksi. Sebaliknya, secara logika, karena keMaha Kuasaan-Nya lah, Allah tidak mungkin melakukan self-contradict, karena hanya makhluk yang tidak sempurnalah yang mungkin melakukan kesalahan seperti itu. Contohnya, Allah tidak dapat Maha Ada, tapi dengan kuasa-Nya Dia membuat Diri-Nya menghilang. Setelah sepakat dalam hal di atas, mari kita lanjut kepada pertanyaan sebelumnya, mengapa Allah tidak mengatur agar semua orang melakukan hal yang baik sehingga tidak ada kejahatan? Dapatkah terlihat usaha untuk mengkontradiksi Allah di sini? Ya, dengan pertanyaan ini seseorang jelas menginginkan agar Allah yang memberikan kehendak bebas (free will) pada manusia untuk membatasi kehendak tersebut dengan kuasa-Nya. Allah tidak bisa menciptakan manusia yang
14

Lee Strobel, The Case for Faith (e-book), hlm. 22

10

berkehendak bebas namun diatur dan dipaksa (dan tidak bebas lagi). Karenanya, pemikiran ini pun sampai ke titik kandas karena Allah tidak mungkin mengkotradiksi diri-Nya sendiri. Namun demikian, ada baiknya bila kita mencoba melakukan simulasi dengan menggunakan cara yang disebutkan dalam pemikiran ini. Bayangkan bahwa manusia tidak memiliki free will, bayangkan bahwa setiap orang selalu memilih hal yang baik untuk dilakukan dan tidak sekalipun salah. Apa yang akan terjadi? Manusia akan menjadi mesin, tidak ada kata pilihan dalam kamusnya, semuanya terjadi secara otomatis. Dalam dunia seperti ini, mungkin saja tidak ada yang berbuat jahat. Juga tidak ada penderitaan yang disebabkan kejahatan orang lain. Akan tetapi, kita pun tidak akan menemukan cinta, yang merupakan nilai tertinggi dalam dunia ini, atau setidaknya, cinta kehilangan maknanya. Mengapa? Karena cinta adalah sebuah pilihan, pilihan untuk mencintai dan bukan membenci. Apa yang akan kita rasakan ketika orang yang kita cintai ternyata mencintai kita karena tidak memiliki pilihan lain? Kita tentu akan bertanya, apakah itu benar-benar cinta. Setelah bermain-main sebentar dengan imajinasi kita, tentu kita dapat melihat bahwa bahkan dunia hipotesis yang kita buat akan jatuh secara kualitas dibandingkan dunia yang diciptakan Allah, meskipun sekarang dunia ini telah jatuh dalam dosa. Inilah keterbatasan manusia. Skenario terbaik dari kita tidak akan sebaik yang dirancang oleh Allah. Karena itu, mari kita beralih pada sudut pandang orang percaya, bagaimana seharusnya seorang Kristen memandang dan menjelaskan penderitaan? Pemikiran Kristen: Jawaban terhadap Penderitaan Dalam wawancaranya dengan Peter Kreeft, Lee Strobel memaparkan jawaban sang profesor mengenai bagaimana memandang Allah sebagai Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Pengasih dan menyelaraskannya dengan kenyataan akan adanya kejahatan dan penderitaan.15 Allah Maha Kuasa Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Allah adalah Maha Kuasa, namun tidak dapat mengkontradiksi diri-Nya. Allah Maha Kuasa, apakah Dia yang menciptakan penderitaan dan kejahatan? Bagi pertanyaan ini, Peter Kreeft menjelaskan
15

Ibid., hlm 21-25

11

bahwa Allah menciptakan potensi terjadinya kejahatan yang satu paket dengan penciptaan kehendak bebas manusia, namun manusialah yang merealisasikan kejahatan itu sendiri. Karenanya, kesalahan terletak pada manusia, karena Allah sudah melakukan bagian-Nya, dan adalah pilihan manusia untuk tetap setia pada Allah atau justru menjauh dan mengkhianati-Nya. Melihat keadaan dunia sekarang, sudah jelas terlihat keputusan yang dipilih manusia. Kejahatan yang terjadi kini merupakan hasil dari pilihan manusia, untuk membunuh, memerkosa, ataupun merampok. Allah Maha Tahu Inilah sifat Allah yang sangat penting untuk dipahami agar kita mengetahui misteri di balik penderitaan. Allah adalah Maha Tahu, mengimplikasikan bahwa bukan hanya masa kini yang diketahui-Nya, tetapi Dia dapat melihat jauh ke depan. Dia tahu apa yang telah terjadi dan akan terjadi. Dia dapat mentoleransi hal-hal buruk yang terjadi, seperti kelaparan, karena Dia dapat melihat adanya kebahagiaan dan kebaikan yang lebih besar bila hal tersebut dibiarkan daripada bila Tuhan mengintervensi dengan mukjizat. Untuk menjelaskan poinnya, Peter Kreeft mengambil contoh tragedi terbesar dalam sejarah manusia yang berakhir pada kebaikan terbesar, yaitu kematian dan kebangkitan Yesus. Yesus Kristus mati di kayu salib, meninggalkan murid-murid-Nya yang tidak dapat melihat adanya hal baik yang mungkin didatangkan dari penyaliban gurunya. Namun demikian, pada akhirnya Yesus dibangkitkan dan membawa keselamatan bagi seluruh bangsa. Karenanya, dapat disimpulkan bahwa penderitaan diizinkan oleh Allah terjadi karena satu tujuan tertentu. Allah Maha Pengasih Allah adalah Maha Pengasih, mengimplikasikan bahwa apa yang direncanakan dan dilakukan-Nya akan bermuara pada kebaikan. Kebaikan menurut standar manusia tentu jauh berbeda dari yang dipandang Tuhan. Karena itu, apa yang menurut pandangan manusia adalah hal yang buruk belum tentu buruk dalam pandangan Tuhan. Contohnya, ketika seorang ayah memperhatikan anaknya yang masih kecil sedang berusaha menusukkan jarum ke brownies. Anaknya terusmenerus gagal, dan bahkan beberapa kali menusuk jarinya sendiri. Sang ayah semula ingin membantu ketika melihat anaknya berdarah, namun dia menahan diri. Beberapa menit kemudian, usaha anaknya membuahkan hasil, dan dengan

12

gembira ia menunjukkan hasil pekerjaannya kepada ayahnya. Di dalam kegembiraan ini, sang anak sudah tidak memikirkan lagi jarinya yang ditusuk jarum beberapa kali. Ia berhasil melewati kesusahan itu dan kini telah berhasil. Apakah tindakan sang ayah dengan tidak membantu anaknya yang tertusuk jarum adalah tindakan yang buruk? Bila dipandang tanpa memperhatikan masa depan, jawabannya adalah ya. Namun ketika sang ayah menahan diri dan memberikan kepercayaan pada anaknya untuk melewati kesusahan tersebut, kegembiraan dan kebaikan yang didatangkan jauh lebih besar daripada bila sang ayah langsung turun tangan membantunya. Cerita ini pun dapat dianalogikan pada hubungan Tuhan dan manusia. Tuhan adalah ayah dan guru bagi kita, Dia berusaha mengajarkan sesuatu pada kita melalui kesusahan yang kita alami. Setelah membaca penjelasan Peter Kreeft, tentu pikiran kita sudah terbuka. Kita paham bahwa Tuhan dapat melihat lebih jauh daripada yang kita lihat. Karenanya, kita pun paham bahwa penderitaan terjadi dalam hidup karena suatu tujuan baik, yaitu pertobatan. Pertobatan adalah suatu hal yang seringkali tidak dapat dilakukan oleh manusia ketika dia berada dalam keadaan segalanya baik, kadang penderitaanlah yang dibutuhkan seseorang untuk mau tunduk dan mengakui bahwa dia harus bergantung pada yang Maha Kuasa. Seperti yang dikatakan C.S Lewis, rasa sakit sebagai megafon Tuhan adalah instrumen yang sangat buruk, yang mungkin membawa manusia pada pemberontakan yang final dan tidak disesali. Tetapi rasa sakit adalah satu-satunya kesempatan yang dimiliki orang yang berdosa untuk bertobat. Rasa sakit menghilangkan selubung; rasa sakit menanamkan bendera kebenaran dalam benteng jiwa seorang pemberontak.16 Rasa sakit, atau penderitaan merupakan megafon Allah, untuk menyadarkan manusia dan membawanya pada pertobatan, karena hanya dalam penderitaanlah orang dapat serempak mencari Allah, setelah menyadari tak ada yang mampu menolongnya selain Dia. Akan tetapi, penjelasan di atas akan menimbulkan pertanyaan lain. Bukankah Allah mencintai manusia, bukankah penderitaan manusia pun akan membuat-Nya bersedih? Bagaimana mungkin Allah bisa bertoleransi dengan semua penderitaan yang terjadi di dunia, dari seluruh zaman? Bukankah akan terlalu berat bagi-Nya? Namun ternyata, yang berat bagi kita tidaklah tidak mungkin bagi-Nya. Allah mungkin bertoleransi dengan semua penderitaan yang terjadi dalam sejarah manusia,
16

C.S. Lewis, The Problem of Pain, hlm. 93-94

13

bahkan pada kenyataannya, Dia telah menanggungnya. Penyaliban dan kematian Kristus adalah peristiwa paling tragis dalam sejarah dunia, karena pada saat itulah Tuhan menanggung segala penderitaan dan rasa sakit seluruh dunia dari segala zaman. Penderitaan dan sakit yang terjadi karena kejatuhan manusia ke dalam dosa. Bila kita kembali melihat peristiwa termulia dalam sejarah manusia itu, maka kita akan tahu, Tuhan bukanlah Tuhan yang hanya akan melihat dari atas apa yang terjadi pada manusia, dan bersedih akan penderitaan mereka. Dia adalah Tuhan yang turun ke dalam dunia, bersedia merendahkan diri-Nya hingga mati di kayu salib, kematian yang paling hina bagi seseorang. Penderitaan manusia yang mana yang belum pernah dirasakan-Nya? Dia pernah dikhianati, disiksa, dicaci maki, bahkan saking menderitanya, Dia bahkan berseru pada Bapa, Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?. Tuhan adalah pribadi di mana kita dapat kembali padaNya ketika kita merasakan penderitaan. Dia tahu apa itu penderitaan, Dia pernah mengalaminya, dan Dia tahu apa yang kita butuhkan. Jadi, apakah jawaban Tuhan terhadap penderitaan? Jawabannya bukanlah penjelasan. Jawabannya adalah pribadi Tuhan sendiri. Setelah melewati segala aral rintangan, segalanya tidak akan berarti ketika pada akhirnya kita bertemu dengan Tuhan. Sama seperti Ayub, yang merupakan orang benar di mata Tuhan, namun tetap mengalami begitu banyak penderitaan, pada akhirnya dia bertemu Tuhan dan bersukacita. Dia tidak lagi mengingat penderitaan itu, karena dia telah bertemu Tuhan, sumber sukacita. Karena itu, ketika kita mengalami penderitaan, mungkin kita akan merasakan bahwa hal itu sangat berat dan sulit, dan hampir tidak mungkin untuk kita tanggung. Akan tetapi, ketika kita tetap teguh dan mengikuti petunjuk yang diberikan Tuhan, maka kita akan menemukan-Nya, dan sukacita yang akan kita rasakan akan membuat seluruh penderitaan tadi nampak sangat kecil. Dialah jawaban dari penderitaan yang diizinkan-Nya terjadi. Dia tahu, Dia dapat mendatangkan kebaikan bahkan dari kejahatan. 4. Penutup Setelah berpikir mengenai hal-hal yang dipaparkan penulis, bukanlah hal yang aneh bila pembaca sampai pada kesimpulan, ateisme tidak masuk akal, bahkan ketika mereka mengklaim akal sebagai sumber kebenaran. Premis-premis yang mereka ajukan dengan usaha jelas untuk menyingkirkan Tuhan, seringkali akan berakhir pada 14

kontradiksi. Sekali lagi, hanya orang bodoh yang melakukan kesalahan seperti selfcontradiction. Karena itu, menjadi seorang ateis bukanlah pilihan inteligen, namun terkadang merupakan pilihan orang-orang yang belum berpikir secara menyeluruh. Penulis berharap, agar dengan tulisan ini para pembaca dapat kembali berpikir, manakah yang benar, pernyataan Tuhan itu ada, atau pernyataan Tuhan tidak ada, dengan mempertimbangkan segala konsekuensi dan implikasi yang mungkin dikandung dalam pernyataan tersebut. Setelah memandang secara menyeluruh, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan itu ada. Tuhan itu masuk akal, namun seringkali melebihi akal manusia. Akan tetapi, bukti akan keberadaan Tuhan lebih dari cukup bertebaran di seluruh jagad raya. Ilmuwan yang mempelajari alam ini pasti lebih tahu dari siapapun, bahwa langit dan bumi menyatkan kebesaran Allah. Referensi:
Craig, W.L. Armstrong, W.S. 2004. God?: A Debate between A Christian and An Atheist. New York: Oxford University Press. Flew, Antony. 2007. There is A God. USA: HarperCollins e-books. Krukonis, Greg. 2008. Evolution for Dummies. Canada: Wiley Publishing, Inc. Lewis, C.S. 1996. The Problem of Pain. USA: HarperCollins e-books. Miller, S.L. 1953. A Production of Amino Acids Under Possible Primitive Earth Condition. Science, vol. 117, p. 528. Schick, Theodore. 1998. The Big Bang Argument for the Existence of God. Indianapolis: Hackett Publishing. Strobel, Lee. 2002. The Case for Faith. USA: Zondervan e-book. The Universe Will Expand Forever. http://www.harvardhouse.com/Accelerating_Universe.htm. Diunduh tanggal 28 November 2009. Zacharias, Ravi. 2000. Jesus Among Other Gods. USA: Zondervan Publishing House. Zacharias, Ravi. 2008. The End of Reason. USA: Zondervan e-book.

15

Anda mungkin juga menyukai