Anda di halaman 1dari 28

Pertayaan yang sering ditanyakan Atheis bagi umat Kristen

1. Siapakah yang menciptakan Allah?


Jawab. dalam Alkitab, keberadaan Allah dipresuposisikan, bukan
dispekulasikan,dan bukan diargumentasikan.
2. Mengapa tidak mempercayai agama?
3.
4.
“Tuhan adalah hasil imajinasi manusia.” “Bukan Tuhan yang menciptakan manusia sesuai
gambar-Nya tetapi manusia yang menciptakan Tuhan sesuai aspirasi manusia itu sendiri” (bdk.
konsep Feuerbach). “Agama hanyalah produk budaya dan Allah produk akal manusia.” “Allah
ada secara sukbyetif dalam pikiran/imajinasi manusia tetapi bukan dalam realita obyektif.”
Begitulah kira-kira cara saya memulai pelajaran filsafat agama.

Pertanyaan: Apakah Allah itu ada? Apakah ada bukti tentang keberadaan Allah?

Jawaban: Keberadaan Allah tidak dapat dibuktikan ada atau tidak ada. Alkitab
menyatakan bahwa kita harus menerima fakta bahwa Allah itu ada melalui iman:
"Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa
berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi
upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia" (Ibrani 11:6). Jika Allah
menghendakinya, Ia dapat muncul dan membuktikan kepada seluruh dunia bahwa Ia
benar-benar ada. Tetapi jika Ia berlaku demikian, tidak akan ada kebutuhan beriman.
"Kata Yesus kepadanya: 'Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya.
Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya'" (Yohanes 20:29).

Ini tidak berarti bahwa sama sekali tidak ada bukti tentang keberadaan Allah. Alkitab
menyatakan, "Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan
pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam
menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. Tidak ada berita dan tidak ada kata,
suara mereka tidak terdengar; tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan
perkataan mereka sampai ke ujung bumi" (Mazmur 19:1-4a). Ketika kita melihat
bintang-bintang, memperhatikan luasnya alam semesta, mengamati keajaiban alam,
melihat keindahan matahari terbenam - semuanya ini menunjuk kepada Allah Sang
Pencipta. Jika semua ini belum cukup, adapula bukti tentang keberadaan Allah dalam
hati kita. Pengkhotbah 3:11 menyatakan, "...Ia memberikan kekekalan dalam hati
mereka." Di dalam diri kita ada kesadaran tentang sesuatu yang menanti di luar
kehidupan ini dan di luar bumi ini. Kita dapat menolak pengetahuan ini secara
intelektual, tetapi kehadiran Allah di dalam dan di sekitar diri kita terlalu jelas.
Namun, Alkitab menghimbau bahwa akan ada orang yang masih menolak keberadaan
Allah: "Orang bebal berkata dalam hatinya: 'Tidak ada Allah'" (Mazmur 14:1). Karena
sebagian besar manusia di sepanjang sejarah, berbagai kebudayaan, dan di setiap
belahan dunia mempercayai keberadaan Allah, maka tentunya ada sesuatu yang
menyebabkan keyakinan tersebut.

Selain argumen alkitabiah tentang keberadaan Allah, adapun argumentasi logika.


Pertama, argumen ontologis yang menyangkut filsafat keberadaan dan realita harus
dipertimbangkan. Argumen ontologis yang paling populer menggunakan konsep Allah
untuk membuktikan keberadaan Allah. Ia dimulai dengan definisi Allah sebagai "sosok
yang terbesar yang tandingannya tidak ada." Alur argumentasinya adalah bahwa
keberadaan adalah lebih agung daripada ke-tidakberadaan, sehingga sosok terbesar
yang dapat dibayangkan harus ada. Jika Allah tidak ada, maka Allah tidak mungkin
menjadi sosok terbesar yang dapat dibayangkan, dan itu berkontradiksi dengan
definisi Allah.

Argumen kedua adalah argumen teleologis, yang mencakup pelajaran tentang sifat
segala sesuatu menurut tujuan atau perintah terhadapnya. Argumen teleologis
menyatakan bahwa alam semesta menunjukkan sebuah rancangan yang begitu luar
biasa sehingga pastilah ada seorang Perancang illahi. Sebagai contoh, jika bumi lebih
dekat atau lebih jauh jaraknya dari matahari, maka bumi tidak dapat mendukung
banyaknya kehidupan di atasnya seperti saat ini. Jika elemen dalam atmosfir kita
berbeda sedikit, maka hampir setiap makhluk hidup di bumi ini akan mati.
Kemungkinan sebuah molekul protein tunggal tercipta secara acak adalah 1:10243
(yakni angka 1 diikuti oleh 243 angka nol). Satu sel tunggal terdiri dari jutaan molekul
protein.

Argumen logika ketika bagi keberadaan Allah adalah argumen kosmologis. Setiap
akibat harus ada sebabnya. Inilah alam semesta dan semua di dalamnya adalah
akibat. Dengan demikian haruslah ada sebuah sebab yang mengkibatkan segala
sesuatu itu hadir. Dan haruslah ada pula suatu faktor yang "tanpa sebab" yang
mengakibatkan adanya segala sesuatu. Faktor "tanpa sebab" itu dikenal sebagai Allah.

Argumen keempat dikenal sebagai argumen moralita. Setiap kebudayaan sepanjang


sejarah masing-masing mempunyai suatu bentuk hukum. Semua orang mempunyai
kesadaran akan hal yang benar dan salah. Membunuh, berdusta, mencuri, dan
tindakan asusila secara umum ditolak. Darimanakah munculnya kesadaran benar dan
salah ini jika bukan dari Allah yang kudus?

Meskipun dengan semua argumen ini, Alkitab memberitahu kita bahwa manusia akan
menolak pengetahuan tetnang Allah yang begitu jelas dan sebaliknya mempercayai
dusta. Roma 1:25 menyatakan, "Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan
dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang
harus dipuji selama-lamanya, amin." Alkitab juga menyatakan bahwa manusia tidak
beralasan atas ketidakpercayaannya terhadap Allah: "Sebab apa yang tidak nampak
dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak
kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat
berdalih" (Roma 1:20).

Banyak orang yang mengklaim menolak keberadaan Allah karena "tidak ilmiah" atau
"karena tidak ada bukti." Namun kenyataannya adalah ketika mereka mengakui
adanya Allah, mereka harus menyadari bahwa mereka harus bertanggung jawab pada-
Nya dan membutuhkan pengampunan dari-Nya (Roma 3:23, 6:23). Jika Allah, maka
kita harus mempertanggung-jawabkan segala perbuatan kita pada-Nya. Jika Allah
tidak ada, maka kita dapat melakukan apa saja tanpa harus khawatir akan
hukuman/penghakiman Allah. Itulah mengapa banyak memilih untuk menolak
keberadaan Allah dan memegang erat teori evolusi naturalis - karena hal itu menjadi
alternatif terhadap kepercayaan dalam Allah Pencipta. Allah itu ada dan semua orang
pada dasarnya menyadari keberadaan-Nya. Fakta bahwa ada kaum yang begitu gencar
berusaha menyangkal keberadaan-Nya secara tidak sengaja malah membenarkan
keberadaan-Nya.

Bagaimana caranya kita tahu bahwa Allah itu ada? Sebagai orang Kristen, kita tahu
bahwa Allah itu ada karena kita berbicara pada-Nya setiap hari. Kita tidak mendengar
suara dengan telinga, tetapi kita menyadari kehadiran-Nya, kita merasakan
bimbingan-Nya, kita merasakan kasih-Nya, kita rindu menerima kasih karunia-Nya.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan kita menghapuskan segala
penjelasan alternatif lain selain Allah. Begitu ajaibnya Allah telah menyelamatkan
kita dan merubah kehidupan kita sehingga kita tidak dapat berbuat apapun selain
mengakui dan memuji keberadaan-Nya. Semua argumen ini tidak dapat meyakinkan
orang yang sudah berketetapan menolak hal yang sudah sangat jelas. Pada akhirnya,
keberadaan Allah harus diterima melalui iman (Ibrani 11:6). Iman di dalam Allah
bukanlah lompatan di dalam kegelapan; melainkan pijakan ke dalam ruangan yang
terang dimana sebagaian besar orang sudah hadir.
Tentang Kami  Cari  Pernyataan  Bertanya

Bagaimana hendaknya
umat Kristen memandang
logika?

Pertanyaan: Bagaimana hendaknya umat Kristen memandang logika?

Jawaban: Logika adalah sains menyimpulkan kebenaran melalui analisa


fakta-fakta baik secara langsung (deduktif) maupun secara tidak langsung
(induktif). Logika mengambil semua persangkaan, menganalisa hubungan,
dan menghubungkannya dengan berbagai faktor lain, sehingga mencapai
kesimpulan yang sebelumnya tidak diketahui. Logika adalah matematik yang
menggunakan ide sebagai gantinya angka. Ialah seni mengenali hubungan
yang ada antara ide atau gagasan yang berbeda.

Rupanya logika adalah salah satu hukum alam yang telah ditetapkan Allah
dalam menciptakan alam semesta. Kemudian, Allah menciptakan manusia
dengan pikiran dan kemampuan untuk bernalar. Sebagai ciptaan Allah,
logika adalah hal baik yang, ketika digunakan pada tempatnya, dapat
mengarahkan kita pada Allah. Sayangnya, adalah sangat mudah
menyalahgunakan logika.

Sains ilmu logika menciptakan formula hubungan antara berbagai ide.


Sebagaimana kasusnya dengan angka di dalam matematika, ide dapat
dimasukkan ke dalam fomula sehingga kita menemukan keterkaitannya
dengan ide yang lain. Argumen modern seringkali dipenuhi dengan emosi,
sehingga dialog yang bermanfaat sering terhambat dan solusi tidak
didapatkan. Semangat seringkali menghambat upaya pencarian kebenaran.
Seringkali, kebenaran disembunyikan di balik kesalahan logis - argumentasi
yang didasari logika yang salah dan penalaran yang keliru. Kesalahan logis
adalah taktik gertakan, dan tidak mendukung diskusi yang menguntungkan.

Secara praktis, logika melibatkan baik formula maupun fakta. Formula


menguraikan hubungan yang ada, namun harus disertai oleh ide-ide pokok
yang dapat dianalisa oleh formula itu. Walaupun relatifisme seringkali
menggerogoti sebagian besar asumsi dasar, sebagian besar orang masih
menantikan bukti yang empiris - data yang didapatkan melalui indera
mereka. Sebagian besar orang yakin di kala menyatakan "Saya ada" dan
"Meja itu ada." Logika mengambil data tersebut dan menghadirkan
kebenaran yang lebih dalam. "Segala sesuatu yang mempunyai permulaan
haruslah diciptakan oleh sesuatu yang lain" adalah pernyataan yg di deduksi
secara logis. Analisa yang lebih dalam dapat mengungkapkan kebenaran
yang lebih rumit, contohnya "Allah itu ada."

Sayangnya, sebagian besar perdebatan melibatkan kekeliruan logis karena


mereka tidak memulai dari permulan. Yakni, mereka menggunakan sangkaan
yang belum dibuktikan sebagai pengganti sebuah fakta. Para pemeluk
evolusi memulai dengan evolusi alami sebagai dasar argumentasi mereka
karena mereka tidak mengakui kemungkinan adanya mujizat. Banyak agama
yang menolak bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi manusia, menolak
karena mereka memulai dari Gnostikisme (semua jasmani bersifat jahat;
semua rohani bersifat baik). Para pemeluk sekulerisme yang bersikeras
bahwa agama adalah respon naluriah terhadap ketakutan mati, bermula dari
asumsi bahwa Allah tidak ada.

Kenyataannya, sebagian besar orang tidak akan dipengaruhi logika untuk


mempercayai sesuatu yang bertolakan dengan keyakinan mereka. Pada
umumnya, sentimen melampaui logika. Dan, walaupun Yesus maupun para
rasul merupakan orang logis, logika bukanlah pendekatan yang utama
mereka. Ketika Petrus menghimbau "...siap sedialah pada segala waktu
untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta
pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu" (1
Petrus 3:15), ia tidak bermaksud supaya kita memulai dengan argumentasi
ontologis tentang keberadaan Allah. Ia bermaksud supaya kita sudah
mempersiapkan kisah hubungan pribadi dengan Allah, beserta dengan
harapan yang kita peroleh dari hubungan itu. Barangsiapa yang mendasari
kepercayaannya pada perasaan tidak akan dapat mengikuti dialog yang logis.
Logika, jika digunakan oleh seorang apologis, adalah alat yang berkuasa.
Namun, "bukti empiris" dari kehidupan Kristen juga sama-sama berbobot.
Kita adalah "terang dunia" (Matius 5:14); walaupun kegelapan tidak
menyukai terang, ia tidak dapat mengabaikan keberadaannya. Sebagaimana
Paulus mengingatkan Titus, "... jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan
dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam
pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga
lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka
sebarkan tentang kita" (Titus 2:7-8).

Bagaimana pemikiran tentang


penciptaan vs. evolusi
berdampak pada pandangan
hidup seseorang?

Pertanyaan: Bagaimana pemikiran tentang penciptaan vs. evolusi berdampak pada


pandangan hidup seseorang?

Jawaban: Perbedaan antara naratif penciptaan dan evolusi bersangkut-paut dengan


segala yang kita anggap pasti tentang kehidupan. Coba dipertimbangkan: jika kelima
indera kita serta otak kita merupakan hasil dari evolusi yang acak dan tanpa tujuan,
bagaimana kita dapat memastikan bahwa yang kita amati memang benar sesuai
keadaan nyatanya? Yang dianggap sebagai warna "merah" oleh mata dan otak Anda
mungkin malah saya amati sebagai warna "biru," namun Anda menganggapnya "merah"
karena itulah yang diajarkan kepada Anda selama ini. (Warnanya sendiri tidak
berubah, karena terdiri dari frekuensi elektromagnetik tertentu yang konstan.)
Dengan demikian, kita tak bisa memastikan bahwa kita membahas hal yang sama atau
tidak.

Atau ambillah contoh jika Anda melihat sebuah batu yang berpahatkan tulisan
"Jakarta: 100km." Bayangkan jika Anda percaya bahwa tulisan tersebut tidak lebih
dari sekedarnya erosi yang disebabkan oleh hujan dan angin, yang secara kebetulan
menyerupai tulisan. Mengikuti pola pikir tersebut, dapatkah Anda yakin bahwa
Jakarta hanya berjarak 100 kilometer dari patok tersebut?

Bagaimana jika Anda mengetahui bahwa setiap pasang mata dan otak dirancang untuk
mengenali frekuensi elektromagnetik tertentu sebagai "merah"? Pengetahuan
semacam itu memberi kita kepastian bahwa yang kita amati benar-benar berwarna
merah. Dan bagaimana jika Anda tahu bahwa seseorang telah mengukur jarak 100km
dari Jakarta kemudian menandainya di atas patok tersebut? Maka Anda dapat yakin
bahwa patokan tersebut memberi informasi yang tepat.

Perbedaan lain yang diakibatkan oleh sudut pandang penciptaan vs. evolusi
bersangkut-paut dengan moralitas. Jika kita memang merupakan akibat dari evolusi
yang acak dan tanpa tujuan, maka, apakah yang sebetulnya kita maksud oleh "baik"
dan "jahat"? Apa yang kita bandingkan dengan "baik"? Apa yang kita bandingkan
dengan "jahat"? Tanpa adanya tolak ukur (sifat Allah), kita sebetulnya tidak
mempunyai basis untuk menyatakan sesuatu baik atau jahat; yang kita miliki hanyalah
opini, yang tidak berbobot dalam menilai tindakan diri sendiri atau tindakan orang
lain. Dengan pengertian tersebut, bedanya antara Suster Teresa dan Yosef Stalin
hanyalah pilihan mereka. Tidak ada jawaban yang pasti bagi pertanyaan "Kata siapa
(itu baik atau buruk)" dalam membedakan kebenaran dan kesalahan. Dan walaupun
para ateis dan pemeluk evolusi lainnya dapat hidup secara moral - sebenarnya mereka
tidak mempunyai alasan untuk hidup baik jika mereka benar-benar yakin dengan
kepercayaan mereka - dan mereka juga tidak mempunyai basis untuk menyatakan
tindakan orang lain "salah."

Namun jika ada Allah yang menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya, maka
kita tidak hanya diciptakan dengan kemampuan membedakan kebenaran dan
kesalahan, kita juga mendapatkan jawaban pada pertanyaan "Kata siapa?" Kebaikan
adalah segala sesuatu yang selaras dengan sifat Allah, dan kejahatan adalah segala
sesuatu diluarnya.
Apakah agama merupakan
candu bagi masyarakat?

Pertanyaan: Apakah agama merupakan candu bagi masyarakat?

Jawaban: Menyatakan agama Kristen (atau agama lain) sebagai “candu bagi


masyarakat” adalah taktik yang sering digunakan mereka yang mengabaikan agama.
Penggunaan ungkapan ini merupakan cara menyingkirkan topik agama tanpa
membahas atau memperdebatkannya. Karl Marx bukanlah pencipta ungkapan ini,
namun ialah yang diingat ketika frasa ini digunakan. Argumen Marx ialah bahwa
agama memberi manusia kebahagiaan palsu yang dibuat-buat – sama kasusnya dengan
seorang pecandu – dan membebaskan manusia dari ilusi yang tidak realistis itu
merupakan bagian dari pembangunan masyarakat yang lebih baik.

Walaupun mulai menjadi populer melalui Marx, tuduhan “candu bagi masyarakat” itu
kerap digunakan oleh para ateis. Karena mereka telah menolak keberadaan Allah,
mereka harus menjelaskan keberadaan agama yang bertahan. Mereka tidak
menganggap agama diperlukan, sehingga mereka tidak memahami mengapa orang lain
membutuhkan agama. Marx tidak mengkhususkan umat Kristen dalam penolakannya
terhadap agama. Sebaliknya, ia mengecam agama secara garis besar dengan
mengkaitkan “orang” dengan mereka yang miskin, bebal, dan mudah ditipu. Argumen
“candu bagi masyarakat” ini mengandung ide bahwa agama diperuntukkan bagi
mereka yang lemah otak dan terganggu jiwanya, yang membutuhkan kruk untuk
menjalani kehidupan. Kaum ateis pada jaman ini juga mengulangi klaim tersebut,
melalui tuduhan mereka bahwa “Allah adalah teman khayalan bagi orang dewasa.”

Jadi, apakah benar agama hanyalah “candu bagi masyarakat”? Apakah agama hanya
menghasilkan penopang emosional bagi orang yang daya pikirnya lemah? Beberapa
fakta sederhana dapat menangkis pertanyaan ini dengan jawaban “tidak” yang
mutlak. (1) Ada berbagai argumen yang logis, ilmiah, dan filosofis bagi keberadaan
Allah. (2) Fakta bahwa secara bawaan umat manusia rusak dan butuh diselamatkan
(pokok pesan agama) sudah nyata disaksikan dimana-mana. (3) Dalam sejarah
kemanusiaan, mayoritas penulis dan pemikir yang tajam mempercayai Allah. Apakah
ada orang yang menggunakan agama sebagai kruk? Ya, ada. Apakah itu berarti bahwa
semua klaim yang telah dibuat agama adalah salah? Tidak. Agama adalah respon alami
terhadap bukti keberadaan Allah serta kesadaran bahwa kita adalah ciptaan yang
rusak, yang perlu diperbaiki.

Secara bersamaan, kita perlu membedakan antara agama keliru yang memberi rasa
aman yang palsu – sama dengan candu yang menyumbang rasa nikmat – dan
keKristenan, satu-satunya agama yang benar dan harapan bagi umat manusia. Agama
yang palsu berdasar pada ide bahwa manusia, melalui upaya pribadi dapat
melayakkan diri bagi Allah. Hanya agama Kristen yang meyakini bahwa manusia “mati
karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosa” dan tidak mampu melakukan apapun
juga untuk melayakkan diri pada kekekalan di surga. Hanya keKristenan menyediakan
solusi bagi ketidakmampuan manusia – kematian Yesus Kristus di atas salib sebagai
pengganti kita.
Pertanyaan: Apa yang terjadi setelah kematian?

Jawaban: Di dalam kekristenan, ada cukup banyak simpang siur mengenai apa yang terjadi
setelah kematian.

Ada yang menyakini bahwa setelah meninggal, roh setiap orang akan "tertidur" sampai dengan
hari Penghakiman Terakhir, ketika semua orang akan dipilah-pilah untuk dikirim ke surga atau
neraka.

Ada juga yang percaya bahwa pada saat meninggal, manusia langsung dihakimi dan dikirim ke
tempat tujuan kekalnya. Ada juga yang mengklaim bahwa ketika orang meninggal, roh/jiwa
mereka dikirim ke neraka atau surga "sementara," sambil menunggu kebangkitan akhir,
penghakiman agung, dan kepastian tempat tujuan akhir mereka.

Jadi, apa yang dikatakan Alkitab tentang nasib manusia setelah meninggal?

Pertama, bagi orang yang percaya kepada Yesus Kristus, Alkitab menyatakan bahwa setelah
kematian, roh/jiwa orang-percaya dibawa ke surga karena dosa mereka telah diampuni;
karena mereka sudah menerima Kristus sebagai Juruselamat (Yohanes 3:16,18,36).

Bagi orang-percaya, kematian digambarkan "beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan"
(2 Korintus 5:6-8; Filipi 1:23). Akan tetapi, di ayat seperti 1 Korintus 15:50-54 dan 1
Tesalonika 4:13-17 justru menggambarkan orang-percaya dibangkitkan dan diberi tubuh yang
mulia.

Jika orang-percaya pergi untuk bersama Kristus setelah kematian, apakah tujuan kebangkitan
tersebut? Menurut tafsir kami, walaupun roh/jiwa orang-percaya pergi untuk bersama dengan
Kristus setelah kematian, tubuh jasmani mereka berdiam di kubur "tertidur." Pada
kebangkitan orang percaya, tubuh jasmani mereka dibangkitkan, dimuliakan, dan
dipersatukan kembali dengan roh/jiwa.

Persatuan kembali antara roh-jiwa-tubuh ini akan menjadi bagian orang percaya selamanya di
dalam langit dan bumi baru (Wahyu 21-22).

Kedua, bagi mereka yang belum menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat, kematian
berarti hukuman kekal. Sama halnya dengan takdir orang-percaya, orang tidak percaya juga
sepertinya dikirim ke tempat penampungan sementara, sambil menunggu kebangkitan mereka
kepada penghakiman, dan nasib kekal.

Lukas 16:22-23 menggambarkan orang kaya yang langsung menderita setelah mati. Wahyu
20:11-15 menggambarkan semua orang tidak percaya dibangkitkan dari kematian, dihakimi di
takhta putih agung, dan kemudian dilemparkan ke danau api. Jika demikian, orang tidak
percaya tidak langsung dikirim ke neraka (danau api) setelah kematian, melainkan mereka
berada di suatu tempat penghakiman sebagai tertuduh.

Meskipun orang tidak percaya tidak langsung dikirim ke danau api, nasib mereka setelah
kematian bukan kondisi yang nyaman. Orang kaya itu berteriak, "aku sangat kesakitan dalam
nyala api ini" (Lukas 16:24).
Jadi, setelah kematian, seseorang berdiam di dalam surga atau neraka "sementara." Dari
tempat penampungan sementara ini, pada kebangkitan akhir, takdir seseorang tidak akan
berubah. "Lokasi" tujuan akhir itu yang berubah.

Orang-percaya akan diperbolehkan masuk ke dalam langit dan bumi baru (Wahyu 21:1). Orang
tidak percaya pada akhirnya dikirim ke danau berapi-api (Wahyu 20:11-15). Ini adalah tujuan
akhir yang kekal bagi semua orang – yang berdasarkan apakah mereka mempercayai Yesus
Kristus untuk keselamatan mereka (Matius 25:46; Yohanes 3:36).

Apakah surga itu nyata?

Pertanyaan: Apakah surga itu nyata?

Jawaban: Surga itu benar-benar sebuah tempat yang nyata. Alkitab memberitahukan


kita bahwa surga itu takhta Allah (Yesaya 66:1; Kisah 7:48-49; Matius 5:34-35).

Sesudah kebangkitan dan penampakan Yesus di bumi kepada murid-murid-Nya,


“terangkatlah Ia ke surga, lalu duduk di sebelah kanan Allah” (Markus 16:19; Kisah
7:55-56).

“Kristus bukan masuk ke dalam tempat kudus buatan tangan manusia yang hanya
merupakan gambaran saja dari yang sebenarnya, tetapi ke dalam surga sendiri untuk
menghadap hadirat Allah guna kepentingan kita” (Ibrani 9:24).

Yesus bukan saja telah masuk sebelum kita, bagi kita, tetapi Ia hidup dan mempunyai
pelayanan di surga, sebagai imam besar kita di dalam kemah sejati yang didirikan oleh
Allah (Ibrani 6:19-20; 8:1-2).
Kita juga diberitahu oleh Yesus sendiri bahwa ada banyak tempat dalam rumah Allah
dan Dia telah pergi sebelum kita untuk menyediakan tempat bagi kita.

Kita mempunyai jaminan atas perkataan-Nya bahwa suatu hari Dia akan datang
kembali ke bumi dan membawa kita ke tempat di mana Dia berada di surga (Yohanes
14:1-4). Kepercayaan kita kepada rumah kekal di surga didasarkan kepada janji Yesus
yang secara tegas disampaikan.

Surga itu tempat yang nyata. Surga itu benar-benar ada.

Ketika orang menyangkal keberadaan surga, mereka bukan saja menyangkal Firman
Allah yang tertulis, tetapi juga menyangkal kerinduan dari hati mereka sendiri yang
terdalam. Paulus membicarakan topik ini di dalam suratnya kepada orang-orang
Korintus, mendorong mereka untuk berpegang teguh kepada pengharapan akan surga
supaya mereka tidak menjadi tawar hati.

Walaupun kita “mengerang dan mengeluh” dalam situasi keduniawian kita, kita
memiliki pengharapan tentang sorga selalu di hadapan kita dan kita rindu untuk ke
sana (2 Korintus 5:1-4). Paulus mendesak orang-orang Korintus untuk merindukan
rumah kekal mereka di surga, suatu pengharapan yang akan memampukan mereka
untuk menanggung kesulitan dan kekecewaan di dalam hidup ini.

“Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal
yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami. Sebab
kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang
kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2 Korintus
4:17-18).

Sebagaimana Allah telah menaruh dalam hati manusia pengetahuan akan keberadaan
Dia (Roma 1:19-20), demikian pula kita telah diprogram untuk menginginkan sorga. Ini
adalah tema dari buku-buku, lagu-lagu, karya-karya seni yang tak terhitung
banyaknya. Sayangnya, dosa telah menghalangi jalan ke surga.

Karena surga itu merupakan tempat tinggal Allah yang suci dan sempurna, dosa tidak
bisa ada di sana, sama sekali tidak dapat ditoleransi. Untungnya, Allah menyediakan
bagi kita kunci untuk membuka pintu-pintu surga— melalui Yesus Kristus (Yohanes
14:6).

Semua orang yang percaya kepada-Nya dan mencari pengampunan dosa akan
mendapati pintu-pintu surga terbuka lebar-lebar bagi mereka. Kiranya kemuliaan dari
rumah kekal kita di masa depan memotivasi kita semua untuk melayani Allah dengan
setia dan segenap hati.
“Oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat
kudus, karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui
tabir, yaitu diri-Nya sendiri, dan kita mempunyai seorang Imam Besar sebagai kepala
Rumah Allah. Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas
dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati
nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni” (Ibrani 10:19-
22).

Tentang Kami  Cari  Pernyataan  Bertanya

Apa ajaran Alkitab


mengenai Tritunggal?

Pertanyaan: Apa ajaran Alkitab mengenai Tritunggal?

Jawaban: Hal yang paling sulit dipahami mengenai Tritunggal adalah tidak


adanya penjelasan yang cukup untuk itu. Tritunggal adalah konsep yang
tidak mungkin dapat dimengerti secara penuh oleh manusia, apalagi untuk
dijelaskan.

Allah jauh lebih besar dan agung dari kita, karena itu jangan berharap
bahwa manusia dapat memahamiNya secara utuh.

Alkitab mengajarkan bahwa Bapa adalah Allah, Yesus adalah Allah, dan Roh
Kudus adalah Allah. Alkitab juga mengajarkan bahwa hanya ada satu Allah.
Meskipun kita memahami beberapa hal mengenai hubungan antar Pribadi
dalam Tritunggal ini, pada akhirnya kita tetap tidak dapat mengerti secara
utuh. Namun demikian, tidak berarti bahwa Tritunggal bukan konsep yang
salah atau tidak alkitabiah.

Ketika mempelajari topik ini, kita perlu ingat bahwa kosakata “Tritunggal
(Trinitas)” tidak pernah sekalipun digunakan dalam Alkitab. Istilah ini
digunakan untuk menjelaskan ketritunggalan Allah, yaitu Allah yang terdiri
dari tiga Pribadi yang berada bersama dalam kekekalan.

Harus benar-benar dimengerti bahwa ini TIDAK berarti ada tiga Allah.

Tritunggal berarti satu Allah yang terdiri dari tiga Pribadi. Tidak ada
salahnya menggunakan istilah Tritunggal, walaupun istilah ini tidak
ditemukan dalam Alkitab. Lebih gampang mengucapkan “Tritunggal”
daripada mengatakan “Allah yang Esa yang terdiri dari tiga Pribadi yang
berada bersama dalam kekekalan.”

Jika Anda keberatan dengan ini, coba pertimbangkan: kata kakek juga tidak
ada dalam Alkitab walaupun kita tahu bahwa dalam Alkitab ada banyak
kakek. Abraham adalah kakek dari Yakub. Jadi, mari kita jangan berhenti
pada istilah “Tritunggal” itu saja.

Apa yang terpenting adalah konsep yang diwakili oleh kata “Tritunggal” ada
dalam Alkitab. Setelah pendahuluan ini, kita baru akan melihat ayat-ayat
Alkitab yang mendiskusikan Tritunggal.

1) Allah itu Esa: Ulangan 6:4; 1 Korintus 8:4; Galatia 3:20; 1 Timotius 2:5

2) Tritunggal terdiri dari tiga Pribadi: Kejadian 1:1; 1:26; 3:22; 11:7; Yesaya
6:8; 48:16; 61:1; Matius 3:16-17; Matius 28:19; 2 Korintus 13:14.

Untuk ayat-ayat dari Perjanjian Lama, pemahaman atas bahasa Ibrani


sangatlah menolong. Dalam Kejadian 1:1, kata “Elohim” merupakan bentuk
jamak. Dalam Kejadian 1:26; 3:22; 11:7 dan Yesaya 6:8, kata jamak “kita”
yang digunakan.

Dalam bahasa Inggris hanya ada dua bentuk kata, tunggal dan jamak. Dalam
bahasa Ibrani ada tiga macam bentuk kata: tunggal, dual dan jamak. Dalam
bahasa Ibrani, bentuk dual digunakan untuk hal-hal yang berpasangan,
seperti mata, telinga dan tangan.

Kata “Elohim” dan kata ganti “kita” dalam bentuk jamak- yang jelas berarti
lebih dari dua – dan merujuk pada tiga atau lebih dari tiga (Bapa, Putera,
dan Roh Kudus).

Dalam Yesaya 48:16 dan 61:1 sang Putera berbicara dan merujuk pada Bapa
dan Roh Kudus. Bandingkan Yesaya 61:1 dengan Lukas 4:14-19 untuk melihat
bahwa yang berbicara adalah Putera.

Matius 3:16-17 menggambarkan peristiwa pembaptisan Yesus. Dalam


peristiwa ini kelihatan bahwa Allah Roh Kudus turun ke atas Allah Putera
sementara pada saat bersamaan Allah Bapa menyatakan bagaimana Dia
berkenan dengan sang Putera. Matius 28:19 dan 2 Korintus 13:14 adalah
contoh ayat yang membahas mengenai tiga Pribadi berbeda dalam
Tritunggal.

3) Pribadi-Pribadi dalam Tritunggal dibedakan dari satu dengan yang lainnya


dalam berbagai ayat. Dalam Perjanjian Lama, “TUHAN” berbeda dari
“Tuhan” (Kejadian 19:24; Hosea 1:4).

TUHAN memiliki “Anak” (Mazmur 2:7; 12; Amsal 30:2-4). Roh Kudus
dibedakan dari “TUHAN” (Bilangan 27:18) dan dari “Allah” (Mazmur 51:12-
14). Allah Putera dibedakan dari Allah Bapa (Mazmur 45:7-8; Ibrani 1:8-9).

Dalam Perjanjian Baru, Yohanes 14:16-17, Yesus berbicara kepada Bapa


tentang mengutus Sang Penolong, yaitu Roh Kudus. Hal ini menunjukkan
bahwa Yesus tidak memandang diriNya sebagai Bapa atau Roh Kudus.

Perhatikan pula saat-saat lain dalam kitab-kitab Injil ketika Yesus berbicara
kepada Bapa. Apakah Dia berbicara kepada diri sendiri? Tidak. Dia berbicara
kepada Pribadi lainnya dalam Tritunggal, - Sang Bapa.

4) Setiap Pribadi dalam Tritunggal adalah Allah. Bapa adalah Allah: Yohanes
6:27; Roma 1:7; 1 Petrus 1:2. Putera adalah Allah: Yohanes 1:1, 14; Roma
9:5; Kolose 2:9; Ibrani 1:8; Yohanes 5:20. Roh Kudus adalah Allah: Kisah
Rasul 5:3-4; 1 Korintus 3:16 (Yang mendiami adalah Roh Kudus – Roma 8:9;
Yohanes 14:16-17; Kisah Rasul 2:1-4).

5) Subordinasi dalam Tritunggal: Alkitab memperlihatkan bahwa Roh Kudus


tunduk (subordinasi) kepada Bapa dan Putera, dan Putera tunduk
(subordinasi) kepada Bapa. Ini adalah relasi internal dan tidak mengurangi
atau membatalkan keilahian dari setiap Pribadi dalam Tritunggal.

Ini mungkin bagian dari Allah yang tidak terbatas yang tidak dapat
dimengerti oleh pikiran kita yang terbatas.

Mengenai Putera, lihat Lukas 22:42; Yohanes 5:36; Yohanes 20:21; 1 Yohanes
4:14.

Mengenai Roh Kudus lihat Yohanes 14:16; 14:26; 15:26; 16:7, dan khususnya
Yohanes 16:13-14.

6) Pekerjaan dari setiap Pribadi dalam Tritunggal: Bapa adalah Sumber


utama atau Penyebab utama dari a) alam semesta (1 Korintus 8:6; Yohanes
1:3; Kolose 1:16-17); b) pewahyuan illahi (Yohanes 1:1; Matius 11:27;
Yohanes 16:12-15; Wahyu 1:1); c) keselamatan (Yohanes 3:16-17); dan d)
pekerjaan Yesus sebagai manusia (Yohanes 5:17; 14:10). Bapa MEMULAI
semua ini.

Putera adalah agen yang melalui diriNya Bapa melakukan karya-karya sbb: a)
penciptaan dan memelihara alam semesta (1 Korintus 8:6; Yohanes 1:3;
Kolose 1:16-17); b) pewahyuan illahi (Yohanes 1:1; Matius 11:27; Yohanes
16:12-15; Wahyu 1:1); c) keselamatan (2 Korintus 5:19; Matius 1:21; Yohanes
4:42).

Bapa melakukan semua ini melalui Putera yang berfungsi sebagai agen Allah.
Roh Kudus adalah alat yang dipakai Bapa untuk melakukan karya-karya
berikut ini: a) penciptaan dan memelihara alam semesta (Kejadian 1:2; Ayub
26:13; Mazmur 104:30); b) pewahyuan illahi (Yohanes 16:12-15; Efesus 3:5; 2
Petrus 1:21); dan c) keselamatan (Yohanes 3:6; Titus 3:5; 1 Petrus 1:2); dan
pekerjaan-pekerjaan Yesus (Yesaya 61:1; Kisah Rasul 10:38). Bapa
melakukan semua ini dengan kuasa Roh Kudus.

Tidak ada ilustrasi-ilustrasi yang dengan akurat bisa menjelaskan Tritunggal.


Telur (atau apel) tidak tepat karena kulit telur, putih telur dan kuning telur,
semua adalah bagian dari telur dan bukan telur itu sendiri.

Bapa, Putera, dan Roh Kudus bukanlah bagian dari Allah namun setiap
Pribadi ini adalah Allah.

Ilustrasi yang menggunakan air sedikit lebih bagus dalam menjelaskan


Tritunggal, namun tetap tidak memadai. Cairan, uap, dan es adalah bentuk-
bentuk dari air. Bapa, Putera dan Roh Kudus bukanlah bentuk-bentuk dari
Allah, karena setiap Pribadi itu adalah Allah.

Dengan demikian, walaupun ilustrasi-ilustrasi ini memberi gambaran


mengenai Tritunggal, gambaran yang diberikan tidak akurat. Allah yang
tidak terbatas tidak dapat digambarkan secara penuh dengan ilustrasi yang
terbatas.

Daripada menfokuskan diri pada konsep Tritunggal, cobalah memfokuskan


diri pada kebesaran Allah dan kenyataan bahwa Dia jauh lebih agung dari
kita.

“Oh, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh


tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-
jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah
yang pernah menjadi penasihat-Nya?” (Roma 11:33-34).
Apa itu Alkitab?

Pertanyaan: Apa itu Alkitab?

Jawaban: Kata “Bible” (Alkitab) berasal dari Bahasa Latin dan Yunani yang berarti “kitab,”
nama yang pantas karena Alkitab adalah Kitab bagi semua orang, bagi segala zaman. Ini
adalah Kitab yang tidak ada bandingannya, kitab satu-satunya.

Enam puluh enam kitab berbeda membentuk Alkitab. Termasuk di dalamnya kitab Taurat
seperti Imamat dan Ulangan; kitab-kitab sejarah, seperti Ezra dan Kisah Para Rasul; kitab-
kitab puisi seperti Mazmur dan Pengkhotbah; kitab-kitab nubuat, seperti Yesaya dan Wahyu;
biografi, seperti Matius dan Yohanes, dan surat-surat, seperti Titus dan Ibrani.

Apa itu Alkitab? – Para Penulis

Kurang lebih, 40 orang menjadi penulis Alkitab, ditulis dalam periode sekitar 1.500 tahun.
Para penulis ini adalah raja, nelayan, imam, pejabat pemerintah, petani, gembala, dan
dokter. Dari keanekaragaman ini muncul kesatuan yang luar biasa, dengan kesatuan tema
yang dianyam dalam keseluruhan kitab.

Kesatuan tema Alkitab itu bisa terjadi karena pada dasarnya Alkitab hanya memiliki satu
Penulis, yaitu Allah sendiri. Alkitab “dinafaskan oleh Allah” (2 Timotius 3:16).

Manusia selaku penulis menuliskan secara tepat apa yang Allah ingin mereka tuliskan, dan
hasilnya adalah Firman Allah yang suci dan sempurna (Mazmur 12:6; 2 Petrus 1:21).

Apa itu Alkitab? - Pembagian

Alkitab dibagi dalam dua bagian utama: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Secara ringkas,
Perjanjian Lama adalah kisah mengenai suatu bangsa, dan Perjanjian Baru adalah cerita
mengenai seorang Anak Manusia. Bangsa itu adalah cara Allah untuk membawa Anak Manusia
itu ke dalam dunia.

Perjanjian Lama menggambarkan berdirinya dan dipeliharanya bangsa Israel. Allah berjanji
menggunakan Israel untuk memberkati seluruh dunia (Kejadian 12:2-3).

Begitu Israel menjadi suatu bangsa, Allah membangkitkan satu keluarga dalam bangsa itu
yang melaluinya berkat akan datang: keluarga Daud (Mazmur 89:3-4). Kemudian dari
keturunan keluarga Daud dijanjikan seorang Manusia yang akan membawa berkat yang
dijanjikan itu (Yesaya 11:1-10).

Perjanjian Baru memerinci datangnya Anak Manusia yang dijanjikan itu. Namanya adalah
Yesus, dan Dia menggenapi nubuat-nubuat Perjanjian Lama saat Dia menghidupi hidup yang
tak berdosa, mati menjadi Juruselamat, dan bangkit dari antara orang mati.

Apa itu Alkitab? – Tokoh Utama

Yesus adalah tokoh utama dalam Alkitab – karena seluruh kitab pada dasarnya adalah
mengenai Dia. Perjanjian Lama menubuatkan kedatanganNya dan mempersiapkan
kedatanganNya ke dalam dunia. Perjanjian Baru menggambarkan kedatangan dan karya
keselamatan yang dibawaNya ke dalam dunia yang berdosa ini.

Yesus bukan sekedar figur sejarah; kenyataannya, Dia lebih dari sekedar seorang manusia.

Dia adalah Allah dalam wujud manusia, dan kedatanganNya adalah peristiwa terpenting dalam
sejarah dunia. Allah menjadi manusia demi memberi kita gambaran yang jelas dan dapat
dimengerti mengenai siapa Dia.

Allah seperti apa? Dia seperti Yesus; Yesus adalah Allah dalam wujud manusia (Yohanes 1:14;
14:9).

Apa itu Alkitab? - Ringkasan

Allah menciptakan manusia dan menempatkannya dalam lingkungan yang sempurna; namun,
manusia memberontak melawan Allah; jauh dari apa yang ditentukan Allah sejak semula.

Allah menempatkan dunia di bawah kutuk karena dosa, namun segera menjalankan rencana
untuk memulihkan manusia dan segala ciptaan pada kemuliaan sebelumnya.

Sebagai bagian dari rencana penebusanNya, Allah memanggil Abraham keluar dari Babilonia
menuju Kanaan (sekitar tahun 2000 SM). Allah berjanji kepada Abraham, anaknya Ishak dan
cucunya Yakub (juga disebut Israel) bahwa Dia akan memberkati dunia melalui seorang
Keturunan mereka. Keluarga Israel pindah dari Kanaan ke Mesir, di mana mereka bertumbuh
menjadi sebuah bangsa.

Sekitar tahun 1400 SM, Allah memimpin keturunan Israel keluar dari Mesir di bawah pimpinan
Musa dan memberi Tanah Perjanjian, Kanaan, menjadi milik mereka.

Melalui Musa, Allah memberi umat Israel hukum Taurat dan membuat perjanjian dengan
mereka: jika mereka setia kepada Allah dan tidak mengikuti berhala dari bangsa-bangsa
sekeliling mereka, maka mereka akan makmur. Kalau mereka meninggalkan Allah dan
menyembah berhala, maka Allah akan menghancurkan bangsa mereka.

Kurang lebih 400 tahun kemudian, pada masa pemerintahan Daud dan putranya Salomo, Israel
mengokohkan diri sebagai kerajaan yang besar dan kuat. Allah berjanji kepada Daud dan
Salomo bahwa dari keturunan mereka akan lahir seseorang yang memerintah sebagai Raja
kekal.
Setelah pemerintahan Salomo, bangsa Israel terpecah. Sepuluh suku di Utara dinamakan
“Israel,” dan mereka bertahan kurang lebih 200 tahun sebelum Allah menghakimi mereka
karena penyembahan berhala: Assyria menawan Israel sekitar tahun 721 SM. Dua suku di
Selatan dinamai “Yehuda,” dan mereka bertahan sedikit lebih lama, namun pada akhirnya
mereka juga berbalik dari Allah. Babilon menawan mereka sekitar tahun 600 SM.

Sekitar 70 tahun kemudian, Allah dengan murah hati membawa sisa-sisa dari orang-orang
tawanan ini kembali ke tanah air mereka. Ibukota, Yerusalem, dibangun kembali sekitar tahun
444 SM, dan Israel sekali lagi memperoleh identitas nasional mereka. Demikianlah Perjanjian
Lama berakhir.

Perjanjian Baru dimulai sekitar 400 tahun kemudian dengan kelahiran Yesus Kristus di Yudea.

Yesus adalah keturunan yang dijanjikan kepada Abraham dan Daud itu, seseorang yang akan
menggenapi rencana Allah untuk menebus umat manusia dan memulihkan ciptaan.

Dengan setia, Yesus menyelesaikan pekerjaanNya: Dia mati bagi dosa dan bangkit dari antara
orang mati. Kematian Kristus menjadi dasar bagi perjanjian baru dengan dunia: semua yang
beriman kepada Yesus akan diselamatkan dari dosa dan hidup untuk selama-lamanya.

Setelah kebangkitanNya, Yesus mengutus para muridNya memberitakan kabar mengenai hidup
dan kuasaNya untuk menyelamatkan ini. Murid-murid Yesus pergi ke seluruh penjuru dunia
menyebarkan kabar baik mengenai Yesus dan keselamatan.

Mereka menjelajahi Asia Kecil, Yunani dan seluruh Kekaisaran Romawi. Perjanjian Baru
diakhiri dengan nubuat mengenai kembalinya Yesus untuk menghakimi dunia yang tidak
percaya kepadaNya dan membebaskan semua ciptaan dari dosa.
Apa itu Gereja?

Pertanyaan: Apa itu Gereja?

Jawaban: Banyak orang memandang Gereja sebagai gedung. Ini bukanlah pengertian Alkitab
mengenai Gereja.

Kata Gereja berasal dari kata dalam bahasa Yunani “Ekklesia” yang didefinisikan sebagai
“perkumpulan” atau “orang-orang yang dipanggil keluar.” Akar kata ”Gereja” tidak
berhubungan dengan gedung, tetapi dengan orang.

Menjadi ironis bahwa saat Saudara bertanya kepada orang mereka pergi ke gereja mana,
biasanya mereka akan mengatakan Baptis, Metodis, atau denominasi lainnya. Seringkali
mereka merujuk pada denominasi atau pada suatu bangunan.

Roma 16:5 berkata, “Salam juga kepada jemaat di rumah mereka...” Paulus merujuk pada
Gereja di rumah mereka, bukan pada gedung gereja, namun kumpulan orang-orang percaya.

Gereja itu tubuh Kristus. Efesus 1:22-23 mengatakan, “Dan segala sesuatu telah diletakkan-
Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari
segala yang ada. Jemaat yang adalah tubuh-Nya, yaitu kepenuhan Dia, yang memenuhi semua
dan segala sesuatu.”

Tubuh Kristus terdiri dari semua orang percaya, mulai dari Pentakosta sampai Pengangkatan.
Tubuh Kristus terdiri dari dua aspek:

(1) Gereja universal/sedunia, yaitu Gereja yang terdiri dari semua orang yang memiliki
hubungan pribadi dengan Yesus Kristus. 1 Korintus 12:13-14 mengatakan “Sebab dalam satu
Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang
merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.
Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota.”

Kita melihat bahwa siapa pun yang percaya langsung menjadi bagian dari tubuh Kristus.
Gereja Tuhan yang sebenarnya bukanlah bangunan gereja atau denominasi tertentu. Gereja
Tuhan yang universal/sedunia adalah semua orang yang telah menerima keselamatan melalui
iman di dalam Yesus Kristus.

(2) Gereja lokal digambarkan dalam Galatia 1:1-2, “Dari Paulus, seorang rasul, ... dan dari
semua saudara yang ada bersama-sama dengan aku, kepada jemaat-jemaat di Galatia.”
Di sini kita melihat bahwa di propinsi Galatia saat itu ada banyak gereja – apa yang kita sebut
sebagai gereja lokal. Gereja Baptis, gereja Lutheran, gereja Katolik, dan sebagainya bukanlah
gereja sebagaimana Gereja universal, namun hanyalah gereja lokal.

Gereja universal/sedunia terdiri dari mereka-mereka yang telah percaya pada Yesus untuk
keselamatan mereka. Anggota-anggota Gereja universal/sedunia ini sepatutnya mencari
persekutuan dan pembinaan dalam gereja lokal.

Secara ringkas, gereja bukanlah bangunan atau denominasi.

Menurut Alkitab, gereja itu Tubuh Kristus – setiap mereka yang telah menempatkan iman
kepada Yesus Kristus untuk keselamatannya (Yohanes 3:16; 1 Korintus 12:13). Dalam gereja-
gereja lokal terdapat anggota-anggota dari Gereja universal/sedunia (Tubuh Kristus).

Apakah agama masih relevan


di zaman ini?

Pertanyaan: Apakah agama masih relevan di zaman ini?

Jawaban: Kamus menawarkan definisi ini untuk ”agama” – ”kepercayaan kepada Allah atau
ilah yang biasanya diwujudkan dalam perbuatan dan upacara; suatu sistem kepercayaan,
penyembahan, dll., seringkali dengan kode etik tertentu.”

Dalam definisi ini, Alkitab berbicara mengenai agama yang diorganisir, dan dalam banyak
kasus, tujuan dan dampak dari ”agama yang diorganisir” bukanlah sesuatu yang
menyenangkan Allah. Berikut ini beberapa contoh di mana agama yang diorganisir disebut-
sebut.

Kejadian 11:1-9: Barangkali ini adalah contoh paling awal mengenai agama yang diorganisir.
Keturunan Nuh mengorganisasikan diri mereka membangun menara karena percaya bahwa
jika mereka dapat membangun menara yang cukup tinggi, maka mereka dapat diselamatkan.

Mereka percaya bahwa kesatuan mereka lebih penting daripada hubungan mereka dengan
Allah. Allah turun tangan dan mengacaukan bahasa mereka sehingga memecahkan agama ini.
Keluaran 6 dan seterusnya: Allah telah menjanjikan Abram (Abraham) hubungan yang khusus
antara keturunannya dan Allah. Hal ini ”diatur” bagi sebuah bangsa, diawali pada saat
keluarnya mereka dari Mesir dan terus berlanjut sepanjang sejarah orang-orang Israel.
Sepuluh Hukum, Tabernakel, sistem korban, dll, semua diatur oleh Allah supaya diikuti oleh
orang-orang Israel.

Studi lebih lanjut terhadap Perjanjian Baru memperjelas bahwa tujuan akhir dari agama ini
adalah untuk membawa para pengikutnya kepada Kristus (Galatia 3; Roma 7).

Namun demikian, banyak yang salah mengerti dan menyembah elemen-elemennya, bukannya
Allah yang sejati.

Hakim-Hakim dan seterusnya: Banyak konflik yang dialami oleh orang-orang Israel melibatkan
konflik dari agama yang diorganisir. Contoh-contohnya meliputi Baal (Hakim-Hakim 6; 1 Raja-
Raja 18); Dagon (1 Samuel 5), Molekh (2 Raja-Raja 23:10). Allah menggunakan agama-agama
ini untuk menyatakan kuasaNya dengan mengalahkan mereka.

Kitab-Kitab Injil: Orang-orang Farisi dan Saduki mewakili agama yang diatur pada zaman
Kristus. Yesus terus menerus menegur kesalahan pengajaran mereka dan kemunafikan cara
hidup mereka. Banyak dari antara mereka yang bertobat dari agama yang diorganisir ini –
Paulus adalah salah satu contoh.

Surat-surat: Ada kelompok-kelompok yang mencampur-adukkan Injil dengan tuntutan-


tuntutan perbuatan-perbuatan baik tertentu. Mereka juga mendesak dan menekan orang-
orang percaya untuk mengubah dan menerima agama baru ini. Jemaat-jemaat di Galatia dan
Kolose diperingatkan soal ini.

Wahyu: Bahkan pada zaman akhir agama yang diorganisir akan memiliki dampak yaitu saat
Antikristus mendirikan satu agama untuk seluruh dunia.

Pada umumnya, hasil dari ”agama yang diorganisir” itu mengacaukan orang dari rencana
Allah. Namun, Alkitab juga berbicara mengenai orang-orang Kristen yang diorganisir (orang-
orang percaya) itu sebagai bagian dari rencanaNya. Dia menyebut mereka Gereja.

Penggambaran dalam Kitab Kisah Para Rasul dan Surat-Surat memberi petunjuk bahwa Gereja
perlu diatur dan saling bergantung satu dengan yang lain. Organisasi menghasilkan
perlindungan, produktifitas dan kemampuan untuk menjangkau keluar (Kisah Para Rasul 2:41-
47).

Dalam hal ini, Gereja lebih tepat disebut ”relasi yang diatur.”

Tidak ada kemauan untuk mencari Allah, karena Allah yang berinisiatif menjangkau mereka.
Tidak ada kesombongan, karena semua diterima sebagai anugerah. Sepantasnya, tidak ada
percekcokan mengenai kepemimpinan, karena Kristus adalah Kepala Gereja (Kolose 1:18).

Seharusnya tidak ada prasangka, karena kita semua satu di dalam Kristus (Galatia 3:28).
Masalahnya bukan soal diorganisir, tapi hidup sekedar mengikuti ritual agama.
Apakah kita terdiri dari tiga
bagian? Apakah kita terdiri
dari tubuh, jiwa dan roh –
atau – tubuh, jiwa-roh?

Pertanyaan: Apakah kita terdiri dari tiga bagian? Apakah kita terdiri dari tubuh, jiwa dan
roh – atau – tubuh, jiwa-roh?

Jawaban: Kejadian 1:26-27 menyatakan, “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan


manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang
melata yang merayap di bumi."

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-
Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.”

Ayat-ayat ini mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang membedakan manusia dari ciptaan-
ciptaan lainnya. Manusia diciptakan untuk memiliki relasi dengan Allah. Karena itu, Allah
menciptakan kita dengan aspek materi dan non-materi.

Aspek materi itu sesuatu yang dapat diraba, seperti tubuh fisik, organ-organ tubuh, dan
sebagainya. Dapat dikatakan, kalau ia hanya ada selama orang bersangkutan masih hidup.
Bagian non-materi itu bagian yang tidak dapat dilihat: jiwa, roh, intelek, keinginan, hati
nurani, dan sebagainya. Semua ini dianggap akan tetap ada, melampaui masa hidup
seseorang.

Semua manusia memiliki bagian materi dan non-materi dalam keberadaan mereka. Jelas,
bahwa setiap orang memiliki tubuh yang terdiri dari daging, darah, tulang belulang, organ-
organ dan sel-sel. Namun, bagian yang tidak dapat dilihat dari manusia inilah yang sering
diperdebatkan.

Apa yang dikatakan Alkitab mengenai hal ini? Kejadian 2:7 mengatakan bahwa manusia
diciptakan sebagai makhluk yang hidup.

Bilangan 16:22 - “Tetapi sujudlah mereka berdua dan berkata: "Ya Allah, Allah dari roh segala
makhluk! Satu orang saja berdosa, masakan Engkau murka terhadap segenap perkumpulan
ini?" Ayat ini menyebut Allah sebagai Allah dari roh segala makhluk.

Amsal 4:23 - “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar
kehidupan.” Ayat ini mengindikasikan bahwa hati itu pusat dari kehendak dan perasaan
manusia.

Kisah Para Rasul 23:1 - “Sambil menatap anggota-anggota Mahkamah Agama, Paulus berkata:
"Hai saudara-saudaraku, sampai kepada hari ini aku tetap hidup dengan hati nurani yang
murni di hadapan Allah."

Roma 12:1 “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu,
supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan
yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.

Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan
budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang
berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”

Di sini, kita dapat melihat berbagai aspek non-materi dari diri manusia, dan bahwa setiap
manusia memiliki hal-hal yang bersifat materi dan non-materi. Daftar di atas hanyalah
beberapa saja yang dinyatakan Alkitab.

Jadi, walaupun kebanyakan diskusi mengenai aspek non-materi dari manusia berpusat pada
jiwa dan roh, Alkitab menggambarkan hal yang melebihi kedua hal tersebut. Entah
bagaimana, aspek-aspek yang disebutkan di atas (jiwa, roh, hati, hati nurani dan akal budi)
bersangkut paut jadi satu dengan yang lainnya. Jiwa dan roh, jelas menjadi bagian non-materi
yang utama dari diri manusia.

Kemungkinan besar keduanya meliputi aspek-aspek lainnya. Dengan memahami kenyataan ini,
apakah manusia bersifat dikotomi (terbagi dua: tubuh/jiwa-roh) atau trikotomi (terbagi tiga:
tubuh/jiwa/roh)?

Sulit untuk bersikap dogmatis. Kedua pandangan diatas memiliki dasar masing-masing. Ayat
kunci bisa ditemukan pada Ibrani 4:12, “Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam
dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa
dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati
kita.”

Ayat ini memberitahukan kita dua hal (1) jiwa dan roh dapat dipisahkan. (2) Perbedaan antara
jiwa dan roh itu sesuatu yang hanya dapat dilakukan oleh Firman Tuhan.
Sebagai manusia, kita tahu pasti bahwa kita memiliki tubuh, jiwa, dan roh. Daripada
memusatkan diri pada aspek-aspek ini, lebih baik memusatkan diri pada Sang Pencipta, yang
karenaNya kita dijadikan dengan “dahsyat dan ajaib” (Mazmur 139:14).

Apa beda antara jiwa dan roh


manusia?

Pertanyaan: Apa beda antara jiwa dan roh manusia?

Jawaban: Apa perbedaan antara roh dan jiwa? Kata “roh” merujuk pada aspek non-materi
dari manusia. Manusia memiliki roh, namun kita bukan roh.

Namun, di dalam Alkitab, dikatakan bahwa hanya orang-percaya, mereka yang didiami oleh
Roh Kudus, yang disebut sebagai “makhluk hidup secara rohani” (1 Korintus 2:11; Ibrani 4:12;
Yakobus 2:26).

Orang-orang yang tidak percaya itu sudah “mati secara rohani” (Efesus 2:1-5; Kolose 2:13).
Dalam tulisan Paulus, “roh” sangat penting bagi kehidupan rohani orang percaya (1 Korintus
2:14; 3:1; 15:45; Efesus 1:13; 5:19; Kolose 1:9; 3:16). Roh itu elemen dalam diri manusia yang
memungkinkan dia memiliki hubungan yang dekat dengan Allah.

Setiap kali kata “roh” dipergunakan, biasanya kata itu merujuk pada bagian non-materi dari
manusia, termasuk jiwanya.

Kata “jiwa” merujuk bukan saja pada bagian non-materi dari manusia, namun juga bagian
materi. Berbeda dengan manusia yang memiliki “roh,” manusia adalah jiwa.

Arti kata “jiwa” yang paling mendasar adalah “hidup.” Namun demikian, dalam Alkitab, kata
tersebut bukan hanya berarti “hidup” namun juga memiliki pengertian-pengertian lain.

Salah satunya itu termasuk keinginan manusia untuk berbuat dosa (Lukas 12:26). Pada
dasarnya, manusia itu jahat dan jiwanya telah dikotori. Hidup berakhir pada saat kematian
fisik (Kejadian 35:18; Yeremia 15:2). “Jiwa” dan “roh” itu pusat dari banyak pengalaman
rohani dan emosional (Ayub 30:25; Mazmur 43:5; Yeremia 13:17).

Setiap kali kata “roh” dipergunakan, kata tersebut dapat merujuk pada pribadi orang itu
secara keseluruhan; hidup maupun setelah kematian.

“Jiwa” dan “roh” itu sama dalam hal penggunaaannya dalam kehidupan rohani orang-percaya.
Perbedaannya itu dalam hal acuannya.

“Jiwa” itu pandangan manusia secara horizontal kepada dunia. “Roh” itu pandangan manusia
secara vertikal kepada Allah.

Penting untuk memahami bahwa keduanya merujuk pada bagian non-materi dari manusia,
namun hanya “roh” yang merujuk pada kehidupan manusia dengan Allah.

“Jiwa” merujuk pada kehidupan manusia dalam dunia, baik secara materi maupun non-
materi.

Dari mana asal mula berbagai


ras?

Pertanyaan: Dari mana asal mula berbagai ras?

Jawaban: Alkitab tidak secara tertulis menjelaskan kepada kita asal mula berbagai “ras” atau
warna kulit manusia. Dalam kenyataannya, sebenarnya hanya ada satu ras, yaitu ras manusia.

Dalam ras manusia ini ada perbedaan besar dalam warna kulit dan karakteristik fisik lainnya.
Sebagian orang berspekulasi bahwa ketika Allah mengacaukan bahasa manusia di Menara
Babel (Kejadian 11:1-9), Dia juga menetapkan keanekaragaman ras.

Mungkin Allah mengadakan perubahan genetik pada umat manusia dalam rangka membantu
manusia bertahan hidup dalam lingkungan ekologi yang berbeda-beda. Misalnya, orang-orang
Afrika yang “diperlengkapi” secara genetik untuk bertahan hidup di panas yang tinggi di
Afrika.

Menurut pandangan ini, Allah mengacaukan bahasa sehingga manusia berkelompok


berdasarkan bahasa. Kemudian, Allah menciptakan gen untuk ras yang berbeda berdasarkan di
mana setiap ras itu akan berdiam secara geografis.

Walaupun ini mungkin, dalam Alkitab tidak ada dasar yang jelas untuk pandangan ini.
Ras/warna kulit manusia sama sekali tidak pernah dihubungkan dengan Menara Babel.

Penjelasan yang paling memungkinkan itu bahwa Adam dan Hawa memiliki gen yang dapat
menghasilkan keturunan dengan warna kulit hitam, coklat dan putih (dan campuran).

Ini sama dengan orang yang kawin campur dari ras yang berbeda dapat memiliki anak-anak
yang warna kulitnya berbeda satu dengan lainnya. Karena jelas bahwa Allah menghendaki
manusia memiliki rupa yang berbeda-beda, masuk akal jika Allah memberi Adam dan Hawa
kemampuan untuk menghasilkan anak-anak dengan warna kulit yang berbeda-beda.

Di kemudian hari, satu-satunya yang selamat dari air bah adalah Nuh dan istrinya, ketiga
putra nuh dan istri mereka, seluruhnya ada elapan orang (Kejadian 7:13).

Mungkin istri Sem, Ham dan Yafet berasal dari ras yang berbeda-beda. Mungkin saja istri Nuh
berbeda ras dengan Nuh. Mungkin saja mereka berdelapan semua adalah dari ras campuran,
yang berarti mereka memiliki gen untuk menghasilkan anak-anak dengan ras yang berbeda-
beda.

Apapun penjelasannya, aspek yang paling penting dari pertanyaan ini adalah kenyataan bahwa
kita semua berasal dari ras yang sama, diciptakan oleh Allah yang sama, dan diciptakan untuk
maksud yang sama.

Anda mungkin juga menyukai