Anda di halaman 1dari 4

Membuktikan keberadaan Tuhan dengan dasar filosofi dari St. Thomas Aquinas.

Ketika berbicara tentang Tuhan, pasti muncul pertanyaan-pertanyaan yang begitu


mendasar, antara lain: Mengapa kita harus percaya kepada Tuhan? Dan kalau kita
percaya, Tuhan yang mana yang harus kita percayai? Apakah banyak tuhan ataukah Tuhan
yang esa? Mungkin ada banyak orang yang tidak pernah terlintas untuk memikirkan atau
mencoba untuk menjawab pertanyaan ini. Hal ini disebabkan karena agama sudah mendarah
daging di dalam masyarakat. Dan karena itu, untuk mempertanyakan hal ini kepada orang
tua, mungkin ada rasa jengah, bertanya kepada guru atau pastor, takut dikira tidak punya
iman. Namun pertanyaan mendasar seperti ini patut diberikan jawaban yang dapat
dipertanggungjawabkan, karena manusia pada dasarnya mempunyai kodrat untuk ‘ingin
tahu’. Titik tolak pemahaman itu ialah, bahwasannya Tuhan tidak terbukti atau nyata dengan
sendirinya kepada manusia, melainkan menuntut bukti!
‘Faith seeking understanding’ atau ‘Iman yang mencari pengertian’ kiranya menjadi
seruan yang cocok untuk kita dalam memahami tentang Tuhan yang kita imani. Dari hal ini,
kita bertolak pada pemikiran Thomas Aquinas terhadap usahanya untuk membuktikan
eksistensi Tuhan, sehingga menjadi sesuatu yang logis atau dapat dimengerti dengan akal
budi. Akal budi menjadi bagian integral manusia dan mempunyai kapasitas untuk
menginginkan pencapaian suatu kebenaran. Berlatarkan pemahaman prinsip filosofis
Aristoteles1, maka St. Thomas Aquinas di dalam bukunya “Summa Theology,” memberikan
lima metode (jalan), yang terdiri dari: 1) prinsip pergerakan, 2) prinsip sebab-akibat, 3)
ketidakkekalan dan kekekalan, 4) derajat kesempurnaan, dan 5) desain dunia ini. Dari lima
jalan itu tiga jalan pertama disebut sebagai argumen kosmologis karena bertitik tolak dari
salah satu aspek “dunia” (kosmos). Jalan keempat disebut sebagai argumen ontologis karena
titik tolaknya adalah “ada” (on=ada). Dan jalan kelima disebut sebagai argument teleologis
karena bertolak dari aturan semesta alam dan tujuan aturan tersebut.
Bagian ini hanya akan memfokuskan diri pada dua jalan atau dua prinsip dari lima
jalan yang dikemukakan, yakni: “Prinsip Penggerak” dan “Prinsip sebab-akibat”. Kedua
prinsip ini merupakan hasil sumbangsih pemikiran arsitoteles untuk membuktikan eksistensi
Tuhan (logos universal) sebagai suatu pengada yang absolut. Aquinas kemudian
memposisikan atau menghubungkan kedua prinsip ini dalam pengertiannya sebagai berikut:
 Bukti I: Prinsip pergerakan (The unmoved mover)
1
Aquinas menguasai dengan baik pemikiran Aristoteles. Dia mendapatkan terjemahan karya Aristoteles dari
seorang sahabatnya dan memberi banyak komentar. Lih. Miswari, Filsafat Terakhir: Evaluasi Filsafat
Sepanjang Sejarah,: (Aceh: Unimal Press 2006), hlm. 6.
Gerak (motion) berarti berubah, yaitu perubahan dari potensi ke actus. Hal ini
berdasarkan teori Aristoteles tentang actus potensi. Apa itu potensi? Potensi adalah sesuatu
dari benda yang belum menjadi realitas namun punya kemungkinan untuk menjadi sesuatu,
misalnya: air berpotensi menjadi uap. Seorang dosen berpotensi menjadi seorang profesor.
Sementara actus adalah sesuatu yang telah menjadi realitas. Potensi ini akan menjadi actus
melalui agent of change. Tidak mungkin potensi ini berubah sendiri tanpa ada agen
perubahan. Demikianlah St. Thomas mengambil contoh dari pergerakan, karena pergerakan
terjadi dimana saja, kapan saja, dan bisa diamati dalam kejadian sehari-hari. Misalnya air
tidak akan menjadi uap, walau dia berpotensi menjadi uap, tanpa adanya panas hingga 100
derajat celsius yang membuat air menjadi uap.
Berhubungan dengan itu, dibahas juga mengenai segala yang ada sejauh ada (ens in
quantum ens) baik itu 'ada sebagai ciptaan' (adanya di-ada-kan) maupun ‘ada sebagai
pencipta’ (ada tidak di-ada-kan). Sebab menurut Aquinas, pencipta dan ciptaan punya kaitan;
ciptaan ambil bagian dan berpartisipas dalam ada pencipta sehingga setelah ciptaan di-ada-
kan dari ketiadaan (creatio ex nihilo) ciptaan memiliki adanya sendiri. First mover ini
menurut Thomas Aquinas adalah supreme being, sementara menurut aristoteles adalah
energia. Dengan pemikiran ini, maka harus ada penggerak pertama, dan itu bukti eksistensi
supreme being, di mana supreme being2 ini kalau menurut agama adalah Tuhan.

St. Thomas mengambil contoh dari pergerakan, karena pergerakan terjadi dimana
saja, kapan saja, dan bisa diamati dalam kejadian sehari-hari. Sebagai contoh, pada waktu
mobil saya mogok, tetap bisa bergerak karena mobil saya ditarik oleh mobil derek. Namun
mobil derek ini bisa bergerak karena adanya koordinasi sistem mesin yang begitu rumit.
Walaupun demikian, mobil tidak akan bergerak, kalau tidak ada tangan manusia yang
memasukkan kunci dan “menstarter” mobil itu. Tangan digerakkan oleh sistem kerja tubuh
yang melibatkan miliaran sel, dimana dikoordinasikan oleh otak. Namun siapa yang
menggerakkan otak? Karena ada kehidupan, ada jiwa yang tinggal di dalam tubuh manusia.
Siapa yang membuat kehidupan dan jiwa tetap bertahan dan seterusnya, sampai ada suatu
titik, kita dapat mengambil kesimpulan ada “unmoved mover” atau penggerak yang tidak
digerakkan oleh yang lain, karena Dia adalah sumber dari pergerakan itu. Sumber pergerakan
inilah yang dinamakan “Tuhan”.

Bukti 2: Prinsip sebab akibat (The Efficient Cause)

2
Bdk. Bonnette Dennis, Aquinas Proofs for God’s Existence, (Netherlands: Martinus Nijhoff, 1972), p. 148.
Semua orang di dunia ini tahu kalau sesuatu terjadi dikarenakan oleh sesuatu. Prinsip
ini begitu sederhana, sehingga dapat dicontohkan sebagai berikut: Komitmen untuk
membentuk rumah tangga dikarenakan keinginan untuk mendapatkan kebahagian. Dan
kebahagiaan, kalau ditelusuri terus-menerus akan sampai pada suatu titik, yang disebabkan
oleh “uncaused cause” atau penyebab yang tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Thomas
Aquinas berkesimpulan bahwa “akibat” bisa dilacak ke satu “penyebab awal” yang
merupakan sebab efisien yaitu Tuhan. Maka, harus ada sebab yang Pertama, yaitu Tuhan.
Dengan demikian, sumber dari penyebab inilah yang disebut orang “Tuhan“.

Sebagaimana suatu sebab dapat diketahui paling tidak sebagian melalui akibatnya,
demikian pula Kausa Pertama alam semesta dapat diketahui melalui tatanan ciptaan. Setiap
gerak di alam selalu memiliki sebab. Segala sesuatu yang bergerak pasti harus digerakkan
oleh sesuatu yang lain. Hal ini juga berlaku untuk hal-hal yang menggerakkan dirinya sendiri,
karena “hal yang menggerakkan dirinya sendiri” itu pun memiliki sebabnya. Artinya, ia
digerakkan oleh sebabnya itu. Gerak dan menggerakkan itu tidak dapat berjalan tanpa batas
sampai tak terhingga. Harus ada penggerak pertama. Oleh karena itu, semua sebab yang
berdayaguna menghasilkan sesuatu yang lain. Mengingat bahwa sebab yang berdayaguna itu
juga tidak dapat ditarik hingga tiada batasnya, kesimpulannya harus ada sebab berdayaguna
yang pertama. Sebab berdayaguna yang pertama itu adalah Tuhan.

Thomas Aquinas mengembangkan lebih lanjut pandangan Aristoteles, tapi dalam


konteks iman dan teologi kristiani di masa abad pertangahan. Dalam komentarnya atas
pemikiran Aristoteles, Aquinas membahas pengertian “Metafisika”. Pertama, mengikuti
Aristoteles, Metafisika disebut filsafat pertama, karena cabang filsafat ini mempelajari
tentang sebab terdasar realitas atau pengada sebagai pengada. Menurut Aquinas, metafisika
pun membahas karakteristik atau aspek-aspek transcendental pengada seperti kesatuan,
kebenaran, kebaikan dan keindahan. Kedua, metafisika disebut juga teologi dalam arti divine
science, karena memperlajari tentang substansi immaterial seperti malaikat dan Tuhan.
Namun, Aquinas membedakan dua jenis teologi, yaitu teologi kodrati (natural or
philosophical theology) dan teologi suci (sacred theology).3 natural or philosophical
theology adalah pengetahuan tentang Tuhan yang dicapai melalui akal budi manusia dengan
sumber dayanya sendiri; yaitu, melalui persepsi indra, pemahaman, dan penyimpulan, yang
bersama-sama menghasilkan bukti yang pada prinsipnya dapat diakses oleh semua, terlepas
dari wahyu. Sebaliknya, sacred theology adalah pengetahuan tentang Tuhan yang terutama
3
Lih. K. Bertens, dkk. Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2018), hlm. 73.
didasarkan pada apa yang diyakini telah diungkapkan kepada kita tentang diri-Nya melalui
perkataan dan perbuatan, yang diyakini teolog hanya dapat diterima melalui iman.

a. Natural or philosophical theology

Secara umum, teologi natural (NT) adalah disiplin ilmu yang berusaha menunjukkan
keberadaan atau aspek kodrat Tuhan melalui akal dan pengalaman manusia. Titik tolaknya
adalah apa yang dapat dipastikan indera atau metode penyelidikan rasional. Jadi NT pada
dasarnya adalah usaha filosofis. Namun adalah kesalahan menafsirkan NT sebagai cabang
penyelidikan otonom. Faktanya, memisahkan NT dari wahyu ilahi tidak merugikan sifat
teologis proyek Aquinas secara keseluruhan. Aquinas tidak puas hanya dengan
mendemonstrasikan fakta keberadaan Tuhan. Dia bertanya apakah pengetahuan tentang
Tuhan membutuhkan sesuatu yang lebih dari investigasi filosofis? Jawabannya ya: meskipun
akal manusia dapat memberi tahu sedikit tentang Tuhan, ia tidak dapat memberi pengetahuan
yang menyelamatkan, “Untuk keselamatan manusia, kebenaran tertentu yang melebihi akal
manusia harus melalui wahyu ilahi”.

NT semula tidak berkenaan kepada teologi tentang dunia secara fisik, tetapi lebih
kepada epistemologi perbedaan antara apa yang dapat diketahui melalui apa yang dapat
diketahui (di dalam Alkitab atau melalui keajaiban Illahi) dan apa yang dapat diketahui
melalui arti “natural” (aplikasi dari alasan manusia). Tetapi karena alasan manusia adalah
diarahkan pada dunia fisik, kearah alami manusia, dan karena investigasi dunia fisik, serta
diri manusia keduanya berarti memperoleh pengetahuan lebih lagi kepada ke-Tuhan-an.
Dengan itu, natural theology datang untuk menyerahkan pemahaman kepada jalan
pengetahuan (menggunakan alasan kemampuan manusia) serta juga untuk satu objek utama
dari penyelidikan (Natural dunia fisik).

b. Sacred theology

Anda mungkin juga menyukai