Anda di halaman 1dari 11

Tulisan 1

lima jalan membuktikan eksistensi Tuhan menurut St. Thomas Aquinas (Summa Theologiae, I, q.
2, a. 3). Ada 5 argumen, yaitu: (1) gerak (2) penyebab efisien (3) keberadaan niscaya (4)
kesempurnaan, dan (5) keteraturan/order.

Yang pertama adalah tentang gerak (motion). Gerak itu berarti berubah, yaitu perubahan dari
potensi ke actus. Hal ini berdasarkan teori Aristoteles tentang actus potensi. Apa itu potensi?
Potensi adalah sesuatu dari benda yang belum menjadi realitas namun punya kemungkinan untuk
menjadi sesuatu, misalnya: air berpotensi menjadi uap. Seorang dosen berpotensi menjadi
seorang profesor. Sementara actus adalah sesuatu yang telah menjadi realitas. Potensi ini akan
menjadi actus melalui agent of change. Tidak mungkin potensi ini berubah sendiri tanpa ada
agen perubahan. Misalnya air tidak akan menjadi uap, walau dia berpotensi menjadi uap, tanpa
adanya panas hingga 100 derajat celsius yang membuat air menjadi uap.

Contoh lain adalah, jika diumpamakan kita mengatur sebuah susunan domino balok yang
berjajar, di mana ketika satu balok jatuh akan membuat balok di depannya jatuh. Maka jika satu
dijatuhkan maka semua balok domino ini akan jatuh. Itu artinya, domino A bergerak jatuh
menyebabkan domino B bergerak jatuh dan menimpa domino C, demikian seterusnya.
Pertanyaan filsafatnya adalah, kita melihat bahwa alam semesta ini selalu berubah (ibarat
domino jatuh), sehingga bagaimana atau apa yang mem buat jatuhnya domino pertama? Thomas
Aquinas yang mengembangkan filsafat Aristoteles, menyebut hal itu sebagai the first mover.
First mover ini menurut Thomas Aquinas adalah supreme being, sementara menurut aristoteles
adalah energia. Dengan pemikiran ini, maka harus ada penggerak pertama, dan itu bukti
eksistensi supreme being, di mana supreme being ini kalau menurut agama adalah Tuhan. Itu
dalil yang pertama...

Dalil kedua adalah penyebab efisien (efficient cause). Sesuatu itu ada karena disebabkan oleh
yang lain. Misalnya, api itu ada karena ada korek, atau karena ada lilin. Dalil kedua ini dalil yang
sering dibicarakan orang, yaitu misalnya kita ada karena orang tua kita, orang tua kita ada karena
orang tuanya lagi. Demikian seterusnya sehingga dengan dalil  yang kedua ini, jika ditarik bahwa
eksistensi sesuatu disebabkan karena yang lain, maka secara logika tentunya ada yang pertama,
di mana ada yang eksistensinya tidak ditentukan oleh yang lain.  Nah ini yang menurut
thomas Aquinas adalah Tuhan (being yang eksistensinya tidak disebabkan oleh yang lain).

Yang ketiga adalah keberadaan niscaya (nessecary). Artinya niscaya adalah selalu ada, tidak
pernah menjadi dan tidak pernah berakhir untuk ada. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Kita
ada saat ini, suatu saat akan menjadi tiada. Dulu belum ada laptop, sekarang ada laptop, dan
suatu saat pasti laptop ini juga tidak ada lagi (digantikan yang lain). Dulu ada dinosaurus,
sekarang tidak ada. Dulu belum ada manusia, sekarang ada manusia. Padahal, untuk mengadakan
ini, perlu ada sesuatu yang harus selalu ada, dan tidak pernah diciptakan dan tidak pernah ada
matinya (tidak akan musnah). Itu dalil ketiga, bahwa harus ada yang selalu ada, dan itu disebut
sebagai supreme being, atau Tuhan jika menurut agama katolik, agamanya Thomas Aquinas.
Dalil keempat adalah kesempurnaan. Kita sering menganggap bahwa itu manusia sempurna.
Tapi mengapa kita tahu bahwa kita sempurna? Ini berarti kita tahu ada yang tidak sempurna, ada
yang kurang sempurna, ada yang cukup sempurna, ada yang lumayan sempurna, ada yang sangat
sempurna dan ada yang mutlak sempurna. Contoh lain misalnya, anjing yang sempurna itu
bagaimana? Anjing yang sempurna misalnya yang berkaki empat, matanya dua, punya mulut,
hidung, ekor. Tapi kalaupun ada ajing yang misalnya kakinya hanya tiga, dia tetap anjing, kan?
Namun dia akan disebut anjing yang kurang sempurna.

Nah, di sini kita punya konsep bagaimana yang dimaksud sempurna itu. St. Thomas Aquinas
memang menggunakan dalil ini dengan pola pikir Plato. Ada idea yang sempurna. Semakin
mendekati "kesempurnaan", kita mengetahui bahwa sesuatu itu makin sempurna. Thomas
Aquinas juga menunjukkan bahwa dengan keberadaan reaitas yang ada, kita bisa mengatakan
bahwa sebenarnya eksistensinya belum mutlak sempurna. Namun karena kita punya konsep
kesempurnaan, tentunya ada yang mutlak sempurna.  Lalu... yang kesempurnaan itu sendiri apa?
Siapa? Itu yang oleh Thomas Aquinas disebutkan sebagai supreme being, sesuatu yang
eksistensinya harus mutlak sempurna.

Dalil yang kelima adalah dalil keteraturan (order by intelligence).  Perjalanan semua hal di
alam semesta ini berjalan menuju akhir. Tapi dalam perjalanan menuju akhir ini, ada
keteraturan... yang berarti, semua yang terjadi ini mempunyai tujuan. Bahkan cacing tanah pun
eksistensinya punya tujuan. Hal lain misalnya, kalau kita mengalami penderitaan, itu juga ada
tujuannya. Keteraturan ini, menurut Thomas Aquinas, tentunya diatur oleh sesuatu yang sangat
cerdas. Bayangkan kalau dunia kita ini tidak teratur. Obat A yang harusnya menyembuhkan
penyakit B, tapi karena tidak teraturnya alam semesta ini, maka obat A tidak mesti
menyembuhkan penyakit B. Contoh keteraturan lain, jika saya menekan keyboard laptop huruf
G, maka yang keluar di layar juga G.  Nah, alam semesta juga bekerja dengan keteraturan dan
setiap kejadian punya tujuan. Semua diatur oleh yg cerdas. Jadi, yang cerdas ini siapa? Thomas
Aquinas menunjukkan bahwa ini bukti eksistensi supreme being.

Supreme being itu apa atau siapa? Kalangan new age mungkin akan menyebut ini sebagai energi
alam. Mungkin juga The Law. Tapi sebagai orang katolik atau beragama, kita menyebutnya itu
sebagai Tuhan. Ini adalah masalah terminologi kata. Semua itu sebenarnya sama, namun orang
sering terjebak dalam esensialisme yang berusaha mendefinisi tentang Tuhan yang kemudian
membatasinya sehingga nampak berbeda.

Manusia memang makhluk yang mencari pengertian. Man's search for meaning. Ingin mengerti


tentang alam semesta ini, ingin paham tentang dirinya, dari mana dia dan akan kemana. Jika
orang tidak mempunyai dasar yang kuat dan menelan mentah-mentah, kita tidak bisa berpikir
kritis dan open minded.  Romo Adrian Adiredjo juga menjelaskan, ketika seseorang kurang
memahami dasar-dasar sebuah ajaran, sering jatuh pada fideisme. Apa itu fideisme? Fideisme
adalah kepercayaan buta, namun karena dia hanya comot sana comot sini ajaran yang cocok
dengan dirinya, atau yang mudah dipahami (yang pas dengan dirinya), maka meski dia tampak
mengimani sungguh-sungguh keyakinannya, namun dasarnya sangat lemah. Orang mungkin
menonton film The Secret, kemudian merasa cocok, maka diimani sebagai kebenaran. Melihat
film “What the bleep”, kemudian cocok, maka diimani, bahkan mungkin nonton film The Matrix,
jika merasa cocok akan diimani juga sebagai sebuah kebenaran. Tentu bukan suatu hal yang
terlarang untuk mencerna informasi, namun ada baiknya kita tetap berpikir secara kritis. Bahkan
menurut Romo Adrian, agama yang baik juga harus siap dikritik. 

Tulisan 2
Dalam tulisan ini saya mengulas lima jalan pembuktian eksistensi Allah menurut Thomas
Aquinas. Lima jalan pembuktian itu berdasarkan pada pengalaman akan dunia material yang
menuntun kita kepada pengenalan bahwa Allah ada. 
Berhadapan dengan arus ateisme yang berkedok ilmu pengetahuan dan filsafat serta
realitas kejahatan dan penderitaan yang bisa menimbulkan kesulitan besar bagi orang-orang
beriman, terutama pada tingkat emosional, lima jalan pembuktian keberadaan Allah Thomas
Aquinas merupakan sesuatu yang mesti dipeluk dan dikedepankan. Tulisan ini bertujuan yaitu
mendalami dan memahami lima jalan pembuktian Allah Thomas Aquinas dan relevansinya bagi
dewasa ini. Tulisan ini merupakan pengembangan dari salah satu bagian dalam
materi Filsafat Ketuhanan tentang catatan pembuktian Thomas Aquinas tentang adanya Allah.
I. Pengantar

Kita hidup hidup dalam zaman ateisme yang sudah meluas. Para mahasiswa sering kali
berhadapan pada ateisme yang berkedok ilmu pengetahuan dan filsafat. Kadang-kadang mereka
dicekoki dengan pandangan bahwa seorang terdidik tidak lagi membutuhkan penopang agama. 

Pada abad ke-20, miliaran orang hidup di negara-negara dimana ateisme menjadi agama negara.
Di negara-negara lain, partai sosialis memerintah dengan mentalitas ateisme yang utuh,
meskipun mereka tidak menuliskan hal itu dalam konstitusi mereka karena alasan-alasan prakis
dan politis.
Demikian pula ketika orang berhadapan dengan relitas kejahatan. Orang melai mempertanyakan
keberadaan Allah. Kaum ateis sering kali melihat kejahatan dan penderitaan di dunia sebagai
bukti tidak adanya Allah. Argumen mereka biasanya demikian, "Seandainya Allah yang
mahabaik, mahatahu, dan mahakuasa sungguh-sungguh ada, tidak ada kejahatan di dunia ini"
Kejahatan dan penderitaan memang bisa menimbulkan kesulitan besar bagi orang-orang
beriman, terutama pada tingkat emosional.

Berhadapan dengan problem di atas kita membutuhkan filsafat yang masuk akal juga
memungkinkan kita untuk menemukan jawaban yang tepat mengenai persoalan-persoalan
keberadaan manusia. 
Dalam ensiklinya Fides et Ratio, Paus Yohanes Pulus II menekankan kita untuk memperlajari
filsafat yang masuk akal. Paus menemukan banyak kesalahan serius zaman ini yang berasal dari
filsafat yang tidak masuk akal. Ia menunjukan bahwa banyak filsafat yang tidak masuk akal,
seperti rasionalisme dan ateisme, berakar pada kesalahan filosofis periode pencerahan.

2. Thomas Aquinas

Salah satu tokoh Kristiani yang sangat berpengaruh dalam pemikiran filosofis di abad
pertengahan adalah Thomas Aquinas. Thomas lahir di Roccaseca tahun 1225/1226. Pendidikan
pertama di biara Montecassino. Tahun 1243 masuk Ordo Dominikan di Napoli dan dari sana ia
dikirim belajar di Paris menjadi murid Albertus Magnus. 

Dua karya Thomas yang berbicara tentang pembuktian akan adanya Allah yaitu, "Summa Contra
Gentiles" yang ditulisnya sekitar 1259-1264 dan "Summa Theologiae" yang ditulis antara 1266-
1271.[1] Topik kita tentang pembuktian akan adanya Allah diangkat dari "Summa Theologiae".

 Keistimewaan Thomas terletak dalam kemampuan dan kemahirannya dalam mengolah


pemikiran Aristotelian. Melalui pemikiran Aristoteles, Aquinas menjadikan pemikiran tentang
Allah Kristiani bukan hanya sampai pada proses beriman saja namun bisa sampai pada proses
mengetahui apa yang diimani. 

Tuhan adalah sempurna keberadaannya dan tidak berkembang. Dalam ajaran ini, essensi dan
esketia tentang Tuhan adalah ada dan satu.[2] Filsafat ini membedakan Tuhan dengan makhluk
ciptaan-Nya, dimana Tuhan ada satu, sedangkan makluknya tidak bersifat satu. Menurut
Thomas, Allah (Tuhan) merupakan aktus paling umum yang disebut dengan actus purus (aktus
murni), dimana Tuhan dinyatakan nyata adanya dan bersifat tunggal (Esa).[3]

Dengan melihat ketergantungan keberadaan ciptaan pada Sang Pengada Thomas Aquinas
membuka juga sebuah prospek untuk mengenal Allah. Manusia dapat mengenal-Nya entah
melalui wahyu khusus maupun lewat alam raya (wahyu umum). Kemudian, keberadaan Tuhan
menurut Aquinas dibuktikan dengan pengalaman keseharian manusia: pertama, gerak yang
digerakkan; 
kedua, hubungan sebab-akibat; ketiga, adanya sesuatu dari ketiadaan; keempat, sesuatu yang
sempurna; kelima, eksistensi yang berkemampuan mengarahkan sampai ke tujuan. Setelah
bernalar tentang Tuhan, lantas membicarakan-Nya menggunakan tiga cara: pertama, melihat sifat
baik manusia yang adalah sifat Tuhan; kedua, sifat keadilan Tuhan berbeda dengan sifat keadilan
manusia; ketiga, mengatakan bahwa Tuhan lebih unggul dari manusia. Oleh karena itu, saya
akan mencoba untuk menjelaskan argumen-argumen dan pemikiaran Thomas Aquinas tentang
eksistensi Tuhan.

3. Lima Jalan Pembuktian Eksistensi Allah

Thomas Aquinas mengemukakan lima jalan untuk membuktikan keberadaan Allah, yang
pemikirannya tersebut memiliki persamaan dengan pemikiran Aristoteles serta tiga jalan atau
cara yang dapat membantu kita untuk membicarakan Tuhan. Lima jalan pembuktian ini
berdasarkan pada pengalaman akan dunia material (metode induktif) yang menuntun kita kepada
pengenalan bahwa Allah ada.[4] Lima jalan pembuktian itu adalah demikian.

Pertama, Adanya penggerak pertama. Dalam kehidupan ini, Aquinas menegaskan bahwa banyak
hal yang bisa ditemukan dalam gerak. Tidak ada sesuatu pun yang mampu bergerak dengan
sendirinya. Sesuatu yang ditemukan dalam gerak, menurutnya membutuhkan penggerak awal
yang menjadikan sesuatu yang lain itu bergerak. Dapat dikatakan bahwa di dalam sesuatu yang
lain itu terdapat potensi untuk bergerak, tetapi terhadap penggerak awal tidak terdapat potensi
untuk bergerak namun sudah punya aktualitas untuk menggerakkan. 

Sejumlah hal tidak diragukan lagi bergerak, kendati tidak dapat menyebabkan pergerakannya
sendiri. Karena, sebagaimana diyakini Thomas, tidak ada rantai penyebab pergerakan yang tiada
batas, tentu ada Penggerak Pertama yang tidak digerakkan oleh segala hal lain. Penggerak
pertama itu harus berupa kekuatan yang maha besar, jadi pasti bukan manusia atau makhluk
serupa manusia. Penggerak pertama tidak lagi menjadi pngerak yang digerakan.  Penggerak
pertama yang tidak lagi digerkan ini adalah Allah.  Lebih lanjut mengenai hal ini, Armada
Riyanto mengatakan demikian:

Allah adalah motor immobilis (latin :penggerak yang tidak digerakkan oleh yang lain). Allah
adalah dia yang  memungkinkan segalanya bergerak. Gerak yang dimaksudkan berkaitan dengan
kebenaran bahwa  Allah adalah asal, tidak ada yang dikecualikan, semuanya Dialah yang
membuatnya. Manusia dengan segala ciptaan :bergerak"  menuju dan terarah kepada Sang
penggerak ini.Allah adalah segalanya dan semuanya. Ia yang memungkinkan segala apa yanga
ada ini tercipta. [5]
Kedua, hubungan sebab-akibat. Dalam menjelaskan jalan kedua ini pembahasannya akan sampai
pada akhirnya penyebab awal segala sesuatu itu adalah Tuhan. Sebagaimana dalam kasus gerak,
tidak ada ciptaan yang dapat menjadi penyebab dirinya sendiri, dan rantai kausalitas yang tiada
batas adalah mustahil, sehingga tentu ada Penyebab Pertama, yang disebut Allah. 

Thomas Aquinas telah menggunakan prinsip kausalitas dalam membuktikan akan eksistensi
Tuhan dalam quinque viae.[6] Di dalam contoh, seorang pastor walaupun ia hidup sendiri
(selibat, tidak menikah) tetapi tetap saja seorang pastor itu disebabkan oleh orangtuanya.
Maksudnya ialah, seorang pastor adalah akibat dan penyebabnya terjadi akibat adalah ibu dari
pastor itu sendiri. 

Namun jika hanya mengikuti rentetan silsilah kelahiran yang demikian, maka akan muncul terus
pertanyaan-pertanyaan yang mencari tahu siapa sebenarnya yang menjadi penyebab awal atau
penyebab efisien dari akibat adanya seorang pastor. Itulah yang ditegaskan oleh Aquinas bahwa
pemikiran dan pencarian yang demikian akan terarah atau tiba pada satu Penyebab Efisien
Pertama yang dikenal dan disebut orang sebagai Tuhan.

 Ketiga, adanya sesuatu dari ketiadaan. Pemahaman yang dimaksudkan di sini adalah sesuatu itu
dapat tidak ada dan juga dapat ada sewaktu-waktu, namun yang sudah ada itupun dapat menjadi
tidak ada lagi. Keberadaan semua hal yang teramati tampaknya seolah-olah mungkin saja tidak
ada. Apabila semua hal dapat tidak ada, tentunya pernah terjadi ketiadaan segalanya, dan jika
demikian segalanya akan senantiasa tidak ada. Karenanya tentu ada keberadaan yang memiliki
keniscayaan dari dirinya sendiri, penyebab dari keberadaan semua hal. Misalnya, saya
mengangkat topik ayam dan telur. Kebanyakan orang bertanya mana terlebih dahulu ada ayam
atau telur, dan kebanyakan orangpun bingung untuk menjawab pertanyaan itu. 
Dari hasil reset penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Inggris pada musim panas tahun
2010 dengan meretakkan telur ayam sampai akhirnya mereka menemukan bahwa protein yang
dibutuhkan untuk membentuk cangkang telur itu secara eksklusif hanya ditemukan di ovarium
ayam. Dari contoh itu, saya mau menunjukkan adanya ayam atau telur yang lebih dulu itu
menjadi pertanyaan sentral dan sudah ada penelitian yang menyatakan bahwa ayam terlebih
dahulu. 

Namun dari segi pemikiran Aquinas bisa dikatakan bahwa pasti ada sesuatu yang memiliki
eksistensi yang bersifat niscaya; eksistensinya bersifat keharusan karena harus memberikan
eksistensi kepada yang lain, dan dalam hal contoh di atas memberikan eksistensi kepada ayam.
Dan realitas eksistensi itulah yang disebut oleh semua orang dengan nama "Tuhan".
 Keempat, sesuatu yang sempurna. Dibalik adanya sesuatu yang kurang baik, kurang mulia dan
segala sesuatu yang menurut penilaian kurang, pasti ada yang paling baik, paling mulia dan
segala sesuatu yang paling baik. Teori ini mau menunjukkan keseharian pengalaman manusia
yang kurang akan banyak hal, memberikan gambaran adanya sesuatu yang memiliki kelebihan
yang bisa dikatakan sempurna. Tidak mungkin yang kurang baik memberikan yang kurang baik
kepada manusia.[7] Tentulah yang paling baik yang memberikannya. Dengan adanya hal itu,
menurut Aquinas ada suatu realitas yang paling sempurna. Dan itulah yang disebut "Tuhan". 

Kelima, eksistensi yang berkemampuan mengarahkan sampai ke tujuan. Manusia diciptakan


pasti mempunyai tujuan yang harus dipenuhi atau dicapai. Arah semua aksi menuju suatu akhir
dapat diamati dalam semua hal dan terjadi seturut hukum kodrat atau alam. Segala sesuatu yang
tanpa intelek memiliki kecenderungan yang terarah kepada suatu tujuan berdasarkan panduan
dari sesuatu yang intelek.[8] Ini disebut Allah. Kebanyakan dari manusia kurang
mempertanyakan siapa yang membuat hidup kita mempunyai tujuan? 

Apakah sejak dari bayi kita sudah memiliki kemampuan untuk menentukan arah hidup kita?
Harus ada eksistensi intelegen atau berkemampuan yang olehnya segala sesuatu yang alamiah
diarahkan secara tertib menuju tujuannya dan eksistensi yang dimaksud itu ialah Tuhan. 

Pemikiran filsafat Thomas Aquinas yang tidak kalah penting dari yang lain adalah filsafat
tentang teori penciptaan. Penciptaan merupakan perbuatan Allah secara kontinu dan
berkelanjutan. Adapun makluk-makhluk dan benda-benda ciptaan-Nya bersifat fana. Dari
kekekalan, Allah menciptakan jagat raya dan waktu. Penciptaan yang terjadi secara kontinu
untuk menciptakan para makhluk untuk dipelihara. Dengan demuikian tidak ada dualisme Allah
dan para makhluk-Nya, seperti manusia dan alam semesta. Menurut ajaran ini, Allah
menciptakan dati "yang tiada" yang biasa disebut ex nihilo.

Dari kelima bukti di atas, kita dapat mengetahui bahwa ada suatu tokoh yang menyebabkan
adanya segala sesuatu, actus purus yang berada karena diriNya sendiri, yaitu Tuhan (Allah),
tetapi semua itu tidak dapat membuktikan hakikat Allah yang sebenarnya kepada manusia. Para
insan tahu sebatas bahwa Allah ada tanpa mengetahui wujud riil-Nya. 

Namun, pada dasarnya para manusia memang memiliki beberapa pengetahuan filsafat tentang
Allah. ada tiga cara menurut Aquinas yang dipakai dalam membicarakan Tuhan. Pertama, dilihat
dari sisi positif. Cara ini mengakui adanya kesamaan dari sikap manusia dengan sikap Tuhan.
Kesamaannya terdapat pada praktek sikap hidup baik yang dilakukan oleh manusia yang
tentunya sama dengan sikap Tuhan. Adanya kejahatan karena manusia menyalahgunakan
kebebasan yang diberikan Tuhan.

Kedua, membicarakan Tuhan dilihat dari sikap keadilan yang dimiliki manusia. Tuhan dan
manusia punya keadilan, namun keadilan yang ada pada manusia berbeda dengan keadilan yang
ada pada Tuhan. Kemungkinan yang bisa terjadi yaitu keadilan manusia bisa saja berpihak
sebelah, tetapi keadilan Tuhan tidak berpihak sebelah.

Ketiga, berbicara tentang keunggulan Tuhan. Ada pepatah mengatakan murid tak bisa
melampaui guru. Itulah yang terjadi dengan cara membicarakan Tuhan yang ketiga ini. Sehebat-
hebatnya manusia tetap akan mengakui bahwa ada yang lebih hebat darinya. Sekuat-kuatnya
manusia tetap akan mengakui ada yang lebih hebat darinya. Semua yang melebihi dari manusia
itu atau yang lebih unggul dari manusia itu pada akhirnya disebut Tuhan.

4. Hubungan Tuhan dengan Manusia 

 Keberadaan Tuhan yang bisa dikatakan transendental, memungkinkan manusia mencari


eksistensi-Nya. Pencarian itu pun tak lepas dari usaha manusia dalam menggunakan akal
budinya. Aquinas dalam menerangkan keberadaan Tuhan, menggunakan akal budi yang
didasarkan atas pengalaman keseharian atau apa yang ia alami. Dalam menjelaskan partisipasi
manusia terhadap Tuhan untuk membuktikan keberadaan Tuhan, Aquinas mengembangkan
gagasan dari Plato (seorang filsuf murid dari Sokrates) yakni dua dunia, dunia ide dan dunia riil.
[9] Plato juga menambahkan bahwa suatu obyek yang berpartisipasi pada ide yang abadi tidaklah
kekal. 

Obyek itu dapat berubah-ubah yang tentunya berbeda dengan ide abadi yang tak pernah berubah.
[10] Gagasan Plato ini memang digunakan oleh Aquinas, namun Aquinas mengembangkan lebih
lagi bahwa suatu obyek yang berpartisipasi pada ide yang abadi itu tentunya juga memiliki
keabadian seperti ide yang abadi itu. Tuhan merupakan pengada yang sempurna, manusia
walaupun hanya berpartisipasi dari Tuhan namun ia juga adalah bagian dari Tuhan. Karena
Tuhan memiliki kesempurnaan yang tidak terbatas, maka manusia memiliki kesempurnaan yang
terbatas.

 Selalu dikatakan bahwa manusia berpartisipasi pada eksistensi Tuhan atau menerima eksistensi
dari Tuhan.[11] Apa yang dimiliki Tuhan adalah juga dimiliki manusia namun dalam cara yang
terbatas. Tentang kesamaan dan perbedaan sudah disinggung pada bagian sebelumnya yakni
pada bagian tiga cara membicarakan Tuhan. Pada Tuhan dan manusia mempunyai kesamaan
namun juga mempunyai perbedaan. Selain itu juga, Aquinas menegaskan bahwa kehati-hatian
perlulah dalam membicarakan Tuhan. Segala sesuatu yang bereksistensi di dunia ini adalah
partisipasi dari Tuhan. 

Baca juga: Lima Argumen Thomas Aquinas (1225-1274)

Manusia, hewan, tumbuhan, benda; semuanya diciptakan menurut esensinya dan esensi manusia
berada di tatanan teratas. Ketika menyandangkan kata lain sebagai pembentuk pengada,
hendaklah jangan menyamakan dengan Tuhan. Misalnya, anjing saya baik. Karena memegang
prinsip bahwa segala sesuatu yang bereksistensi adalah juga partisipasi dari esse maka akan
menyamakan kebaikan yang disandangkan kepada anjing. Meskipun memiliki kesamaan namun
tingkat atau derajat atau esensi dari Tuhan melebihi semua yang bereksistensi di dunia ini.   

Tidak terlepas dari hubungan dan kehidupan manusia, filsafat etika teologis yang disampaikan
oleh Santo Thomas Aquinas ini mengajarkan tentang moral. Etika mencakup moral yang
diberlakukan bagi manusia sebagai individu maupun kelompok/masyarakat, menurut ajaran ini
merupakan cahaya yang diturunkan oleh Allah dari cahaya manusia atau diturunkan dari tabiat
manusia sebagai makhluk sosial yang hidup dalam lingkungan masyarakat. 

Menurut Thomas aquinas tindakan yang mengerakkan manusia kepada tujuan akhir berkaitan
dengan kegiatan manusiawi bukan dengan kegiatan manusia. Perintah moral yang paling dasar
adalah melakukan yang baik, menghindari yang jahat.mengenai hal ini, Armada Riyanto dalam
buku "menjadi mencintai" mengatakan demikian:

Thomas aquinas lebih dulu berkata baik itu berasal dari Tuhan sendiri. dan karena kodrat
manusia adalah baik, akal budi manusia selalu merindukan sumber itu sendiri. dengan kata lain,
manusia selalu dalam penziarahannya menggapai Sang baik itu sendiri, yaitu Allah. Baik adalah
itu yang segala bentuk perbuatan manusia ingin mengejarnya. Kehendak manusia jelas selalu
ingin meraih kebaikan. [12]

Berbeda dengan khalayak pada era kehidupannya, St. Thomas Aquinas menganut pola pikir dan
metode induktif. Dia menyesuaikan etika dengan kenyataan hidup. Etikanya bersifat teologis,
etika yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah sebagai Sang Pencipta. Namun demikian,
etika teologis yang dia sampaikan tidak membuat ciri khas filosofis bahwa etika mempunyai
kecenderungan untuk mengarahkan manusia menemukan garis hidup dan akalnya lenyap begitu
saja. 
Realisaasinya adalah mewujudkan tujuan paling akhir dari kehidupan manusia yaitu secara
perorangan manusia meyakini Allah dan secara sosial masyarakat, manusia harus diatur sesuai
dengan tuntutan tabiat manusia untuk dapat saling membantu sesama manusia dalam
mengendalikan nafsu yang tidak lepas dari diri dan jiwa mereka. Menurut St. Thomas Aquinas,
pada dasarnya semua baik adanya.[13] 

V. Penutup

Tuhan merupakan penggerak utama yang tidak digerakkan; penyebab utama yang tidak
disebabkan; pengada yang tidak diadakan, Ia tidak terbatas seperti manusia yang bereksistensi
karena berpastisipasi pada Esse; eksistensi Tuhan adalah esensi-Nya sendiri. Sejalan dengan
pemikiran Aquinas, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini ada dan bergerak bukan tanpa
penggerak, bukan tanpa penyebab, dan bukan tanpa pengada. Melainkan ada sesuatu yang
menjadi dasar segala sesuatu, baik untuk menggerakkan, menyebabkan, maupun mengadakan
dengan tidak bergantung atau berpartisipasi pada yang lain atau menerima eksistensinya dari
yang lain, sesuatu yang lain itu adalah Tuhan.

Menurut Aquinas, sebagai aktus mengada yang orisinal (murni, asli), Tuhan adalah dasar paling
radikal bagi segala sesuatu yang bereksistensi. Seperti yang dikatakannya dalam bukunya,
"Harus dikatakan bahwa setiap pengada, bagaimanapun caranya bereksistensi, berasal dari
Tuhan... Lepas dari Tuhan tidak satupun pengada bereksistensi. 

Semua pengada dapat bereksistensi karena berpartisipasi dalam Tuhan". Itu berarti eksistensi
manusia tergantung dari Tuhan sebagai esse, dengan cara berpartisipasi terhadap esse itu sendiri.
Kemudian, keberadaan Tuhan menurut Aquinas dibuktikan dengan pengalaman keseharian
manusia: pertama, gerak yang digerakkan; kedua, hubungan sebab-akibat; ketiga, adanya sesuatu
dari ketiadaan; keempat, sesuatu yang sempurna; kelima, eksistensi yang berkemampuan
mengarahkan sampai ke tujuan. Setelah bernalar tentang Tuhan, lantas membicarakan-Nya
menggunakan tiga cara: pertama, melihat sifat baik manusia yang adalah sifat Tuhan; kedua,
sifat keadilan Tuhan berbeda dengan sifat keadilan manusia; ketiga, mengatakan bahwa Tuhan
lebih unggul dari manusia.

Daftar Pustaka

Bagus, Lorens Metafisika, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1991.


Ohoitimur, Johanis. Metafisika Sebagai Hermeneutika. Jakarta: Obor, 2006

Riyanto, F. X. Armada,  Pengantar Metafisika, Diktat Kuliah, Malang : STFT Widya Sasana
Malang, 2003.

__________________, "Mendesain Riset Filosofis-Fenomologis Dalam Rangka


Mengembangkan Berfilsafat Indonesia", dalam Tjatur Raharso dan Yustinus (eds.), Metodologi
Riset Studi Filsafat Teologi ,  Malang : Dioma, 2018.

__________________, Relasionalitas, Malang : Kanisius, 2018.

__________________, Menjadi Mencintai, Yogyakarta: Kanisius, 2013.

__________________,Filsafat Divinitas (Keilahian) Atau "Teologi". Jurnal Teologi, 4(1), 57-72.


2017

Anda mungkin juga menyukai