Hal-hal yang kita hadapi hari ini bukan lagi suatu perkara yang baru, anasir kebaruan
mungkin hanya keasingan kita memahami pola-pola dalam sejarah yang senantiasa
keseharian tak bisa dimungkiri akan meletupkan tanda tanya diatas kepala, bukan sekedar
menunjukan tanda-tanda kebingungan dalam memahami tindak-tanduk yang terjadi, kendati juga
gagap reaksi akan hal apa yang harus dilakukan dihadapan hal-hal asing tersebut.
Menanggapi kebaruan, seluruh umat manusia dipenjuru dunia, dengan ragam serta tanpa kepercayaan,
memiliki institusi yang dijadikan kanal-kanal hukum yang kelak mereka akan terapkan dalam
kehidupan mereka. Tutur Cicero: Ubi Societas Ibi Ius—Dimana ada Masyarakat, Disitu ada Hukum.
Tiada maksud melakukan supremasi atas Hukum sebagai upaya pengentasan masalah di bumi
manusia ini, ibarat Scientific Knowledge yang menurut Popper adalah “the best and most important
kind of knowledge we have—though I am far from regarding it as theonly one”, bolehlah kiranya kita
sebut berdasarkan beragam fakta-fakta studi historis yang hadir dari atmosfir studi humaniora, bahwa,
Hukum—dengan dasar pendekatan apapun merupakan —the best and most important mechanism of
order we have—though I am far from regarding it as the only one. Demikian pula Sains yang tidak
terlepas dari bisingnya perdebatan dan saling bantah, agaknya Hukum lebih tenang dan sunyi,
mungkin hanya saling todong, bakar, dan bungkam jika ada perbedaan pendapat disana.
masyarakat terhadap penemuan-penemuan yang baru, bisa jadi penemuan itu berupa entitas benda
atau atau fenomena yang dirasakan masyarakat luas. Sebutlah hal-hal yang sekiranya Penemuan umat
manusia dan menjadi polemik adalah Praktik In Vitro Fertilization atau Bayi Tabung, merupakan
penemuan sains yang dimaksudkan membantu pasangan yang kesulitan dalam memiliki anak. Secara
universal tidak terlalu memunculkan perdebatan etis—terutama di dunia barat dan sekuler—kecuali
dalam hal efektifitas dan keakuratan penerapannya, hal-hal teknis yang jadi perdebatan disana.
Berbeda corak masyarakat dan budaya yang ada, walakin di Indonesia, IVF (In Vitro Fertilization)
bukannya menjadi alternatif solusi melahirkan manusia, malah melahirkan perdebatan dikalangan
semacam itu, hingga MUI, NU, Majlis Mujamma’ Fiqih Islami, bahkan Juhmur Ulama’ Malaysia ikut
andil dalam memberikan fatwa-fatwa yang sebetulnya tidak terlalu kontradiktif satu sama lain dan
basisnya hanya sekedar Ashlul asya’a Al-Ibahah (Muasal suatu perkara adalah boleh) dengan
lanjutan-lanjutan yang bisa di temukan di Kitab-kitab klasik yang pada dasarnya merupakan jawaban
jika implikasi kelahiran si bayi tabung ini akan menimbulkan masalah Hak Waris.
Pada masanya, data, informasi serta pengelolaan dua hal itu menjadi suatu gagasan
merupakan hal yang sangat mahal dan berharga, “Knowledge is Power” kalau kata Francis Bacon.
Hanya sedikit orang yang mau dan mampu menelusuri sumber-sumber otoritatif hukum-hukum islam
dan yurisprudensi ulama’ terdahulu, kendatipun mampu dan bisa, belum tentu mereka punya waktu
untuk melakukan analisa dan perhitungan mendalam dalam upaya menjawab tantangan zaman
Artificial Intelligence
Artificial Intelligence mungkin jadi buzzword paling populer dalam dua dekade terakhir.
Artificial Intelligence atau Kecerdasan buatan sederhananya adalah Program Komputasi yang
mensimulasikan cara kerja Kecerdasan manusia. Hingga hari ini, secara eksponensial menjadi sebuah
mesin kecerdasan yang mampu mengungguli kemampuan spesifik manusia, bisa kita sebut Specialize
Artificial Inteligence (SAI). Dalam hal mengungguli kemampuan pikir manusia pada permain
pemikiran dan strategi seperti DeepBlue v. Garry Kasparrov dalam Kompetisi Catur, atau AlphaGo v.
Lee Sedol dalam permainan Go. Jika hanya sekedar mengalahkan kecerdasan Lee dan Garry mungkin
AI terlalu hebat dalam hal itu, namun apa jadinya jika Lee dan Garry menyiramkan Air ke sumber
menaklukan alam dan fenomena yang ada, anekdot diatas bisa menggambarkan hal itu, AlphaGo atau
DeepBlue tidak bisa memprediksi hal generik, bahwa dirinya akan di de-aktivasi oleh Lee atau Garry
dengan cara disiram dengan air, karena mereka belum sampai pada level pemrograman General
Artificial Intelligence, yang gambarannya mungkin seperti Ava di Film Ex Machina (2014) yang
mampu melakukan pemberontakan atau David di Film AI (2001) yang memiliki obsesi akan kasih
sayang. Sehingga—harusnya— belum sampailah kita pada paranoia semu bak Sarah Connor kepada
Namun, dalam hal yang sifatnya spesialis, mungkin kehilangan profesi akan lebih
menakutkan ketimbang kehilangan nyawa. CICERO merupakan program kecerdasan buatan besutan
Meta yang berfokus pada pengembangan Kecerdasan pada level manusia dalam hal Permainan
Strategi dan Diplomasi. dia telah berhasil mengalahkan 7 v. 1 Strategical Diplomacy Game. Meta
melanslir secara resmi bahwa CICERO dibekali dengan Strategic Reasoning dan Natural Language
Processing sebagai tulang-punggung proses berfikir dan strukturisasi output kata-kata yang dilakukan
melalui chat. CICERO jelas menjadi suatu Ancaman bagi karir para Diplomat dan Negosiator
medioker, meskipun masih dalam pengembangan dan tidak open-public seperti Program dari OpenAI
layaknya ChatGPT atau GPT-4 yang basisnya hanya language machine yang mampu memberikan
respon dari propmt atau pertanyaan yang dilontarkan, namun renungkanlah, mampukah mereka,
ChatGPT atau GPT-4 memberi pendapat hukum—tidak perlu mengikat, cukup seperti fatwa.
Sebelum menjawab mampu atau tak mampu menjawab fatwa, Apa yang terlintas dibenak
kalian ketika disebut nama, Imam Ahmad bin Hanbal? Prestasinya yang paling gemilang—walau
beberapa orang meragukan riwayat ini— adalah ia seorang ulama yang dalam catatan telah menghafal
700.000 (tujuh ratus ribu) hadis, bahkan dalam riwayat lain 1.000.000 hadis telah bersemayam dalam
memori beliau, seorang ahli fiqih yang merupakan salah satu mufti dan imam besar dari 4 madzhab
yang populer hingga saat ini, selain Maliki, Hanafi, dan Syafi’i. Jika Ahmad bin Hanbal kurang
familiar bagi pembaca awam, dari 4 madzhab tersebut, mungkin masyarakat indonesia akan lebih
familiar dengan Imam Syafi’i, yang lahir dan besar dengan nama lengkap Abu Idris Muhammad
As-Syafi’i, Seorang brilian sedari belia, al-quraan dan muwatha karya Imam Malik—juga seorang
mufti makkah—adalah konsumsi usia dini baginya. Dengan pesat ia beranjak menuju jenjang mufti
dalam yurisdiksi hijaz pada masa itu, Sya’fi muda—di usia ke 15 Tahunnya—telah merumuskan
metode yurisprudensi hukum islam yang paling umum di praktikan terutama di indonesia, beliau juga
salah satu guru dari Imam Ahmad, Sang penghafal sejuta hadis.
Kedua orang tersebut merupakan manusia pilihan, dua dari sekian banyak umat muslim yang
hidup, yang telah mencapai titik maksimal dalam eksploitasi kemampuan kecerdasannya dalam upaya
mengembangkan khazanah hukum dan islam saat ini. Ratusan ribu hadis yang berhasil di eksplorasi
dan dianalisis, serta puluhan ribu fatwa yang menetas pada masa itu, menyimbolkan kekuatan dan
Tak pantas membandingkan sebilah tongkat kayu dengan Damascus Sword, begitupun sebilah
Damascus Sword dengan AK-47, semua bergantung pada konteks yang ada—perkembangan zaman,
namun basisnya adalah kekuatan dalam persenjataan manusia dari masa ke masa. Izinkan saya
membawa yang demikian pada konteks Kecerdasan Kognitif Peradaban Kita—Peradaban Muslim
khususnya.
Ambilah kompetensi, Imam Ahmad bin Hanbal dalam penghafalan Satu Juta Hadiist, jika kita
taksir satu juta hadis, dalam ukuran kilobyte, sebagai perbandingan, mari kita asumsikan bahwa setiap
hadis memiliki panjang sekitar 200 kata, dan kita menggunakan format dokumen sederhana seperti
format teks mentah tanpa adanya format atau markup khusus. Dalam hal ini, ukuran file dokumen
yang berisi 1.000.000 juta hadis dapat dihitung dengan cara berikut:
Jika kita mengasumsikan rata-rata rata-rata panjang kata dalam bahasa arab adalah sekitar
6-7 huruf, yang setara dengan sekitar 12-14 byte, tergantung pada cara encoding yang
digunakan. dalam hal ini, kita akan menggunakan rata-rata 13 byte per kata sebagai dasar
perhitungan. jumlah total kata dalam dokumen = 1.000.000 x 200 = 200.000.000 kata,
2,6 gigabyte.
Tanpa bermaksud mengecilkan pihak manapun, manusia secara umum memiliki kapasitas
otak dengan kemampuan memori dan plastisitasnya hingga kurang lebih mampu menyimpan hingga
kapasitas tertinggi 2.5 Juta gigabyte. sedangkan Dataset yang dijadikan resources training ChatGPT
berjumlah 800 Gb, dan diperkirakan GPT-4 memiliki dataset yang lebih luas dan berkembang dari itu.
2,6 GB berbanding 800GB adalah hal kecil dalam hal konteks simpanan memori, kemampuan
large languange model juga mengembangkan logika dan sistematika dalam menjawab pertanyaan
secara cepat dan tepat. lantas, apa yang bisa kita andalkan kepada para penghafal ilmu-ilmu dan
asing—musabab kebaruannya?
Intelligence—pun bisa?
Kalau hanya sekedar memecah belah umat dengan fatwa kontroversial, error dan bias, large
Menilik kembali ke CICERO, jika permograman dalam hal Diplomasi atau Negosiasi para
pengembang dan enjiner hari ini sudah mampu untuk mengeksekusinya, bagaimana dengan hal yang
Kebingungan umat, dalam konteks ini Umat Muslim, akan senantiasa terjawab dan
hendaknya dicukupkan saat para Ulama’ otoritatif memberikan Fatwa. Seorang atau Segelitir Umat
yang mengajukan pertanyaan (Istifta) kepada Orang yang Otoritatif (Mufti) disebut dengan (Mustafti).
Kalimat ‘Orang yang otoritatif’ disini mungkin bisa dibaca menggunakan pendekatan Hukum dimana
ada Orang yang Naturlijke Persoon (Secara Biologis manusia) seperti Kiyai, atau Mujtahid, dan
Orang yang Recht Persoon (Secara Institutif atau Kolektif melembaga atau menjadi sebuah Badan)
dalam konteks ini seperti Muhammadiyyah, Nahdhatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia, atau
Lembaga serta badan Keislaman lainnya. Mereka adalah Individu atau Kolektif yang mengemban
tanggungjawab Ijtihad setelah medapuk klaim publik sebagai Individu atau Lembaga yang Kompeten
dalam hal mengeluarkan Pendapat atau Pandangan Hukum atas suatu perkara.
Manusia dan kepongahannya dihadapan problematika realitas kehidupan ini, membentuk
sebuah identitas yang asali dari manusia yakni sebuah Kebodohan Alami—terutama dalam lingkup
kolektif. Problematika ini akan saya tutup dengan menyadari Natuur dari Manusia. Kita lahir sebagai
Tabula Rasa— kita naif, polos, dan tidak berdaya tanpa pada sifat hakikatnya. melalui pendekatan
Kreasionisme Islam, alama adamal asmaa’ jadi momen Intelejensia kita hari ini adalah buatan atau
Saya ingin menyampaikan bahwa perkembangan fatwa sebagai living law adalah mekanisme
alamiah dalam menjawab kebodohan alami manusia, mekanisme paling dekat dengan mekanisme
korektif sains. hampir semua kebingungan umat dijawab lewat majelis-majelis ilmu dan proses ijma’
serta istinbathul ahkam para Alamah. menciptakan fatwa yang mengikat namun tidak final, dapat
dirujuk tapi tidak menjadi dogma. Tapi sayang sungguh sayang jika mekanisme ini hanya sekedar jadi
kebanggaan tunggal para Ustadz-ustadz masa kini, fenomena yang ada memperlihatkan hal yang
sangat berbeda dengan ideal-nya penjelasan saya mengenai mekanisme fatwa dan faidahnya (diatas).
Antar majelis atau kelompok agama malah terkesan tidak korektif akan tetapi takfiri, bukan sekedar
menciptakan Ikhtilaf Ulama’ (berbeda pendapat Ulama)—yang menjadi rahmat bagi Ummat—malah
menciptakan Iftiraaqul Ummah (pemisahan sesama umat). Secara hipotetis saya mengajukan Teori
Max Weber tentang Otoritas, dimana tiap lini majelis atau kelompok Agama sebagai Sub-kelompok
dari kelompok besar yang disebut Agama terpecah karena tendesi Kepemimpinan (Otoritas) yang
kharismatik. Kharisma yang muncul akibat jenjang antara pengikut yang minim pengetahuan
dibandingkan Pemimpinnya yang sedikit lebih tau atau lebih mampu—atau bahkan hanya terlihat
mampu—menyelesaikan masalah pada konteks zamannya. Bisa dibayangkan jika ada Sejumlah
Charismatic Authority dalam Kelompok (Agama) dengan Agenda masing-masing, ditambah tendenis
untuk mengajak orang lain masuk ke dalam Sub-kelompoknya, itulah yang akan menciptakan
Iftiraaqul Ummah. Dimana semua pengetahuan dan keselamatan menjadi transaksi keimanan umat, di
tengah masyarakat modern yang ingin fatwa singkat tegas dan jelas, ini jadi politik kuasa oleh para
kharismatik yang hal-hal demikian muncul dari gejolak jiwa mereka, tapi bayangkanlah, Pemimpin
algoritmik oleh Kecerdasan Buatan. Daya Upaya pemecahan masalah yang terkonsentrasi membuat
AI mampu memecahkan masalah 40 tahun lebih cepat dari manusia. Lee Sedol perlu puluhan tahun
berlatih hanya untuk menjadi seorang Profesional Dunia dalam permainan Strategi Go, sedangkan
AlphaGo hanya perlu 100.000 input data set Strategi Go dan Simulasi mandiri (Self-sparring
Simulation) selama beberapa minggu, bahkan yang lebih mengejutkan, AlphaGo Zero—update dari
AlphaGo—hanya perlu 3 hari untuk mengalahkan AlphaGo, tanpa input dataset, hanya self-sparring
simulation dan ia mampu menciptakan Strategi ‘khas’-nya sendiri. Lagi-lagi saya tidak mengajak
anda terlalu terjurumus dalam lembah technologism trap—jebakan berfikir bahwa segala masalah
solusinya teknologi— tapi lihatlah perkembangan eksponensial dari sistem kecerdasan buatan
terspesialisasi (Specialized Artificial Intelligence) ini, dalam hal menciptakan AI dalam memberi
Fatwa-fatwa sistematis dan adaptif pada manusia, andai kita mau—karena perkara ‘mampu’ teknologi
dan arsip manusia saat ini sudah cukup—semua itu bisa saja dikerjakan, yang tentu dalam
perkembangan, dimana proses Istifta terjadi seperti ingin mencari solusi membetulkan kipas angin di
youtube, sekedar isi pertanyaan di kolom prompt seketika AI akan menjawab dan memberi Jawaban,
kalian—para Ustadz dan Pemuka Agama—yang hanya menghafal kitab-kitab tipis, tidak cakap
berlogika dan menalar masalah, tidak peka pada keadaan sosial, kemampuan bahasa dan membaca
literatur rendah, akan segera tergantikan jika tidak berbenah dan memperbaiki diri. Matilah kalian,
Kabar Gembiranya adalah, dinamika permasalahan yang muncul di bumi manusia ini sangat
lah kompleks dan tumpang-iris satu sama lain. Agama bisa saja jadi titik-temu antar problematika,
atau ternyata agama—terutama umatnya— adalah benang-kusut dari problematika dunia. Kecerdasan
buatan masih perlu 10-20 tahun lagi untuk bisa mengimbangi populeritas kalkulator di tahun 1966
yang membuat Guru Matematika dan Akuntansi keteteran, atau mesin penyalin (copy machine) yang
menggantikan Penulis dan Kaligrafer pada masa lalu. Kendati ingatlah, setiap yang manusia ciptakan
hanyalah alat, Ahli matematika dan Akuntasi menunggangi Kalkulator sebagai alat hitung praktis
sehingga mereka mampu memanfaatkan waktu untuk berfikir hal-hal konseptual dan abstrak. mesin
penyalin seperti Gutenberg Machine mampu mengeskalasi penyebaran gagasan dari tulisan-tulisan,
serta membangkitkan revolusi di berbagai macam negara. AI Linguistic Models seperti GPT-4 dan
semacamnya, hendaknya menjadi alat yang ditunggangi para Ulama-ulama dimasa depan,
mesin-mesin itu tak terlepas dari misinformasi, halusinasi sumber, dan kesalahan lain, tapi itu mampu
mempermudah kita, menjadi lebih manusiawi, berhenti menggerogoti memori kita dengan kolase
data-data yang tumpang tindih, kita bisa mulai menikmati hidup, melihat sekitar, memahami konteks
masyarakat.
Kembali teringat Kisah sang Imam Islam seperti Abu Idris As-syafi’i atau Imam Ahmad bin
Hanbal yang luput karena sekadar terpana dengan kejeniusannya, Dalam bidayah wa nihayah karya
Ibn Khathir diriwayatkan: Imam Syafi’i, kendati di fase kemasyhurannya, senantiasa memupuk sabar
dan mengubur jumawa saat berguru dengan Imam Waki’ Dalam Siyar a’lam An-Nubala terekam
kerendahan hati Imam Ahmad bin Hanbal tatkala pemuda menyerukan namanya tanpa gelar
‘Al-Imam’, dan malah sekarang semua orang pasang dada, berebut gelar ‘imam besar’, entah sebesar
apa wawasan dan kemuliannya jika dibandingkan dengan Ahmad bin Hanbal.
Akhlak, etika, suri tauladan, mungkin terlalu relatif—dalam kacamata moralitas hari ini,
namun ketenangan, penerimaan, adaptasi dan semua cinta yang hidup, adalah hal yang mengotentikan
manusia dengan kehidupan. karena kehidupan, adalah alasan kita ada, dan kita bertanggung jawab
Semoga Kecerdasan buatan, mampu memfasilitasi kita waktu luang—terutama para Ulama
dan Mufti—untuk sekedar memahami masyarakat, tanpa perlu menghakimi. berproseslah dengan
segala yang ada, bisa jadi yang asing hari ini adalah yang memajukan peradaban, menawarkan