Anda di halaman 1dari 9

Mufti itu bernama Artificial Intelligence

Fas-aluu ahla dzikri, in kuntum la ta’lamuun (QS. Al-Anbiya’: 21-7)

Hal-hal yang kita hadapi hari ini bukan lagi suatu perkara yang baru, anasir kebaruan

mungkin hanya keasingan kita memahami pola-pola dalam sejarah yang senantiasa

berulang-bermutasi-berkembang. keasingan dalam menghadapi hal-hal muhdast—Kekinian—dalam

keseharian tak bisa dimungkiri akan meletupkan tanda tanya diatas kepala, bukan sekedar

menunjukan tanda-tanda kebingungan dalam memahami tindak-tanduk yang terjadi, kendati juga

gagap reaksi akan hal apa yang harus dilakukan dihadapan hal-hal asing tersebut.

Tanda tanya merupakan indikator penting dalam berkembangnya kognisi manusia.

Menanggapi kebaruan, seluruh umat manusia dipenjuru dunia, dengan ragam serta tanpa kepercayaan,

memiliki institusi yang dijadikan kanal-kanal hukum yang kelak mereka akan terapkan dalam

kehidupan mereka. Tutur Cicero: Ubi Societas Ibi Ius—Dimana ada Masyarakat, Disitu ada Hukum.

Tiada maksud melakukan supremasi atas Hukum sebagai upaya pengentasan masalah di bumi

manusia ini, ibarat Scientific Knowledge yang menurut Popper adalah “the best and most important

kind of knowledge we have—though I am far from regarding it as theonly one”, bolehlah kiranya kita

sebut berdasarkan beragam fakta-fakta studi historis yang hadir dari atmosfir studi humaniora, bahwa,

Hukum—dengan dasar pendekatan apapun merupakan —the best and most important mechanism of

order we have—though I am far from regarding it as the only one. Demikian pula Sains yang tidak

terlepas dari bisingnya perdebatan dan saling bantah, agaknya Hukum lebih tenang dan sunyi,

mungkin hanya saling todong, bakar, dan bungkam jika ada perbedaan pendapat disana.

Hukum dan Progresifitasnya menjadi penting tatkala dihadapkan dengan keasingan

masyarakat terhadap penemuan-penemuan yang baru, bisa jadi penemuan itu berupa entitas benda

atau atau fenomena yang dirasakan masyarakat luas. Sebutlah hal-hal yang sekiranya Penemuan umat

manusia dan menjadi polemik adalah Praktik In Vitro Fertilization atau Bayi Tabung, merupakan

penemuan sains yang dimaksudkan membantu pasangan yang kesulitan dalam memiliki anak. Secara
universal tidak terlalu memunculkan perdebatan etis—terutama di dunia barat dan sekuler—kecuali

dalam hal efektifitas dan keakuratan penerapannya, hal-hal teknis yang jadi perdebatan disana.

Berbeda corak masyarakat dan budaya yang ada, walakin di Indonesia, IVF (In Vitro Fertilization)

bukannya menjadi alternatif solusi melahirkan manusia, malah melahirkan perdebatan dikalangan

masyarakat. Pro-Kontra dimasyarakat menjadi bising, menatap kebingungan dihadapan fenomena

semacam itu, hingga MUI, NU, Majlis Mujamma’ Fiqih Islami, bahkan Juhmur Ulama’ Malaysia ikut

andil dalam memberikan fatwa-fatwa yang sebetulnya tidak terlalu kontradiktif satu sama lain dan

basisnya hanya sekedar Ashlul asya’a Al-Ibahah (Muasal suatu perkara adalah boleh) dengan

lanjutan-lanjutan yang bisa di temukan di Kitab-kitab klasik yang pada dasarnya merupakan jawaban

jika implikasi kelahiran si bayi tabung ini akan menimbulkan masalah Hak Waris.

Pada masanya, data, informasi serta pengelolaan dua hal itu menjadi suatu gagasan

merupakan hal yang sangat mahal dan berharga, “Knowledge is Power” kalau kata Francis Bacon.

Hanya sedikit orang yang mau dan mampu menelusuri sumber-sumber otoritatif hukum-hukum islam

dan yurisprudensi ulama’ terdahulu, kendatipun mampu dan bisa, belum tentu mereka punya waktu

untuk melakukan analisa dan perhitungan mendalam dalam upaya menjawab tantangan zaman

tersebut, dalam menawarkan fatwa-fatwa, namun apa jadinya hari ini?

Artificial Intelligence

Artificial Intelligence mungkin jadi buzzword paling populer dalam dua dekade terakhir.

Artificial Intelligence atau Kecerdasan buatan sederhananya adalah Program Komputasi yang

mensimulasikan cara kerja Kecerdasan manusia. Hingga hari ini, secara eksponensial menjadi sebuah

mesin kecerdasan yang mampu mengungguli kemampuan spesifik manusia, bisa kita sebut Specialize

Artificial Inteligence (SAI). Dalam hal mengungguli kemampuan pikir manusia pada permain

pemikiran dan strategi seperti DeepBlue v. Garry Kasparrov dalam Kompetisi Catur, atau AlphaGo v.

Lee Sedol dalam permainan Go. Jika hanya sekedar mengalahkan kecerdasan Lee dan Garry mungkin

AI terlalu hebat dalam hal itu, namun apa jadinya jika Lee dan Garry menyiramkan Air ke sumber

daya AI tersebut, mampukan AlphaGo atau DeepBlue mencegahnya?


Kecerdasan umum—yang juga melibatkan emosional—- Manusia juga terlibat besar dalam

menaklukan alam dan fenomena yang ada, anekdot diatas bisa menggambarkan hal itu, AlphaGo atau

DeepBlue tidak bisa memprediksi hal generik, bahwa dirinya akan di de-aktivasi oleh Lee atau Garry

dengan cara disiram dengan air, karena mereka belum sampai pada level pemrograman General

Artificial Intelligence, yang gambarannya mungkin seperti Ava di Film Ex Machina (2014) yang

mampu melakukan pemberontakan atau David di Film AI (2001) yang memiliki obsesi akan kasih

sayang. Sehingga—harusnya— belum sampailah kita pada paranoia semu bak Sarah Connor kepada

Skynet dan Robot Militeristik ala Trilogi Klasik Terminator.

Namun, dalam hal yang sifatnya spesialis, mungkin kehilangan profesi akan lebih

menakutkan ketimbang kehilangan nyawa. CICERO merupakan program kecerdasan buatan besutan

Meta yang berfokus pada pengembangan Kecerdasan pada level manusia dalam hal Permainan

Strategi dan Diplomasi. dia telah berhasil mengalahkan 7 v. 1 Strategical Diplomacy Game. Meta

melanslir secara resmi bahwa CICERO dibekali dengan Strategic Reasoning dan Natural Language

Processing sebagai tulang-punggung proses berfikir dan strukturisasi output kata-kata yang dilakukan

melalui chat. CICERO jelas menjadi suatu Ancaman bagi karir para Diplomat dan Negosiator

medioker, meskipun masih dalam pengembangan dan tidak open-public seperti Program dari OpenAI

layaknya ChatGPT atau GPT-4 yang basisnya hanya language machine yang mampu memberikan

respon dari propmt atau pertanyaan yang dilontarkan, namun renungkanlah, mampukah mereka,

ChatGPT atau GPT-4 memberi pendapat hukum—tidak perlu mengikat, cukup seperti fatwa.

Sebelum menjawab mampu atau tak mampu menjawab fatwa, Apa yang terlintas dibenak

kalian ketika disebut nama, Imam Ahmad bin Hanbal? Prestasinya yang paling gemilang—walau

beberapa orang meragukan riwayat ini— adalah ia seorang ulama yang dalam catatan telah menghafal

700.000 (tujuh ratus ribu) hadis, bahkan dalam riwayat lain 1.000.000 hadis telah bersemayam dalam

memori beliau, seorang ahli fiqih yang merupakan salah satu mufti dan imam besar dari 4 madzhab

yang populer hingga saat ini, selain Maliki, Hanafi, dan Syafi’i. Jika Ahmad bin Hanbal kurang

familiar bagi pembaca awam, dari 4 madzhab tersebut, mungkin masyarakat indonesia akan lebih

familiar dengan Imam Syafi’i, yang lahir dan besar dengan nama lengkap Abu Idris Muhammad

As-Syafi’i, Seorang brilian sedari belia, al-quraan dan muwatha karya Imam Malik—juga seorang
mufti makkah—adalah konsumsi usia dini baginya. Dengan pesat ia beranjak menuju jenjang mufti

dalam yurisdiksi hijaz pada masa itu, Sya’fi muda—di usia ke 15 Tahunnya—telah merumuskan

metode yurisprudensi hukum islam yang paling umum di praktikan terutama di indonesia, beliau juga

salah satu guru dari Imam Ahmad, Sang penghafal sejuta hadis.

Kedua orang tersebut merupakan manusia pilihan, dua dari sekian banyak umat muslim yang

hidup, yang telah mencapai titik maksimal dalam eksploitasi kemampuan kecerdasannya dalam upaya

mengembangkan khazanah hukum dan islam saat ini. Ratusan ribu hadis yang berhasil di eksplorasi

dan dianalisis, serta puluhan ribu fatwa yang menetas pada masa itu, menyimbolkan kekuatan dan

kemampuan Intelektualitas Muslim. Terdengar hebat bukan?

Tak pantas membandingkan sebilah tongkat kayu dengan Damascus Sword, begitupun sebilah

Damascus Sword dengan AK-47, semua bergantung pada konteks yang ada—perkembangan zaman,

namun basisnya adalah kekuatan dalam persenjataan manusia dari masa ke masa. Izinkan saya

membawa yang demikian pada konteks Kecerdasan Kognitif Peradaban Kita—Peradaban Muslim

khususnya.

Ambilah kompetensi, Imam Ahmad bin Hanbal dalam penghafalan Satu Juta Hadiist, jika kita

taksir satu juta hadis, dalam ukuran kilobyte, sebagai perbandingan, mari kita asumsikan bahwa setiap

hadis memiliki panjang sekitar 200 kata, dan kita menggunakan format dokumen sederhana seperti

format teks mentah tanpa adanya format atau markup khusus. Dalam hal ini, ukuran file dokumen

yang berisi 1.000.000 juta hadis dapat dihitung dengan cara berikut:

Jumlah total kata dalam dokumen = 1.000.000 x 200 = 200.000.000 kata.

Jika kita mengasumsikan rata-rata rata-rata panjang kata dalam bahasa arab adalah sekitar

6-7 huruf, yang setara dengan sekitar 12-14 byte, tergantung pada cara encoding yang

digunakan. dalam hal ini, kita akan menggunakan rata-rata 13 byte per kata sebagai dasar

perhitungan. jumlah total kata dalam dokumen = 1.000.000 x 200 = 200.000.000 kata,

ukuran file dokumen = (200.000.000 kata x 13 byte) / 1.000 = 2.600.000 kb = 2.600 mb =

2,6 gigabyte.
Tanpa bermaksud mengecilkan pihak manapun, manusia secara umum memiliki kapasitas

otak dengan kemampuan memori dan plastisitasnya hingga kurang lebih mampu menyimpan hingga

kapasitas tertinggi 2.5 Juta gigabyte. sedangkan Dataset yang dijadikan resources training ChatGPT

berjumlah 800 Gb, dan diperkirakan GPT-4 memiliki dataset yang lebih luas dan berkembang dari itu.

2,6 GB berbanding 800GB adalah hal kecil dalam hal konteks simpanan memori, kemampuan

large languange model juga mengembangkan logika dan sistematika dalam menjawab pertanyaan

secara cepat dan tepat. lantas, apa yang bisa kita andalkan kepada para penghafal ilmu-ilmu dan

kata-kata kalau hanya dihadapkan dengan problematika menjawab pertanyaan-pertanyaan yang

asing—musabab kebaruannya?

Kalau hanya sekedar menjawab tanya, GPT-4—sebagai Specialized Artificial

Intelligence—pun bisa?

Kalau hanya sekedar memecah belah umat dengan fatwa kontroversial, error dan bias, large

language model (LLMs) hari ini pun bisa?

Kecerdasan Buatan vs Kebodohan Alami

Menilik kembali ke CICERO, jika permograman dalam hal Diplomasi atau Negosiasi para

pengembang dan enjiner hari ini sudah mampu untuk mengeksekusinya, bagaimana dengan hal yang

hanya sekedar menjawab pertanyaan?

Kebingungan umat, dalam konteks ini Umat Muslim, akan senantiasa terjawab dan

hendaknya dicukupkan saat para Ulama’ otoritatif memberikan Fatwa. Seorang atau Segelitir Umat

yang mengajukan pertanyaan (Istifta) kepada Orang yang Otoritatif (Mufti) disebut dengan (Mustafti).

Kalimat ‘Orang yang otoritatif’ disini mungkin bisa dibaca menggunakan pendekatan Hukum dimana

ada Orang yang Naturlijke Persoon (Secara Biologis manusia) seperti Kiyai, atau Mujtahid, dan

Orang yang Recht Persoon (Secara Institutif atau Kolektif melembaga atau menjadi sebuah Badan)

dalam konteks ini seperti Muhammadiyyah, Nahdhatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia, atau

Lembaga serta badan Keislaman lainnya. Mereka adalah Individu atau Kolektif yang mengemban

tanggungjawab Ijtihad setelah medapuk klaim publik sebagai Individu atau Lembaga yang Kompeten

dalam hal mengeluarkan Pendapat atau Pandangan Hukum atas suatu perkara.
Manusia dan kepongahannya dihadapan problematika realitas kehidupan ini, membentuk

sebuah identitas yang asali dari manusia yakni sebuah Kebodohan Alami—terutama dalam lingkup

kolektif. Problematika ini akan saya tutup dengan menyadari Natuur dari Manusia. Kita lahir sebagai

Tabula Rasa— kita naif, polos, dan tidak berdaya tanpa pada sifat hakikatnya. melalui pendekatan

Kreasionisme Islam, alama adamal asmaa’ jadi momen Intelejensia kita hari ini adalah buatan atau

pemberian Tuhan. Lalu apa maksudnya semua ini?

Saya ingin menyampaikan bahwa perkembangan fatwa sebagai living law adalah mekanisme

alamiah dalam menjawab kebodohan alami manusia, mekanisme paling dekat dengan mekanisme

korektif sains. hampir semua kebingungan umat dijawab lewat majelis-majelis ilmu dan proses ijma’

serta istinbathul ahkam para Alamah. menciptakan fatwa yang mengikat namun tidak final, dapat

dirujuk tapi tidak menjadi dogma. Tapi sayang sungguh sayang jika mekanisme ini hanya sekedar jadi

kebanggaan tunggal para Ustadz-ustadz masa kini, fenomena yang ada memperlihatkan hal yang

sangat berbeda dengan ideal-nya penjelasan saya mengenai mekanisme fatwa dan faidahnya (diatas).

Antar majelis atau kelompok agama malah terkesan tidak korektif akan tetapi takfiri, bukan sekedar

menciptakan Ikhtilaf Ulama’ (berbeda pendapat Ulama)—yang menjadi rahmat bagi Ummat—malah

menciptakan Iftiraaqul Ummah (pemisahan sesama umat). Secara hipotetis saya mengajukan Teori

Max Weber tentang Otoritas, dimana tiap lini majelis atau kelompok Agama sebagai Sub-kelompok

dari kelompok besar yang disebut Agama terpecah karena tendesi Kepemimpinan (Otoritas) yang

kharismatik. Kharisma yang muncul akibat jenjang antara pengikut yang minim pengetahuan

dibandingkan Pemimpinnya yang sedikit lebih tau atau lebih mampu—atau bahkan hanya terlihat

mampu—menyelesaikan masalah pada konteks zamannya. Bisa dibayangkan jika ada Sejumlah

Charismatic Authority dalam Kelompok (Agama) dengan Agenda masing-masing, ditambah tendenis

untuk mengajak orang lain masuk ke dalam Sub-kelompoknya, itulah yang akan menciptakan

Iftiraaqul Ummah. Dimana semua pengetahuan dan keselamatan menjadi transaksi keimanan umat, di

tengah masyarakat modern yang ingin fatwa singkat tegas dan jelas, ini jadi politik kuasa oleh para

kharismatik yang hal-hal demikian muncul dari gejolak jiwa mereka, tapi bayangkanlah, Pemimpin

atau Pemberi Fatwa tanpa Jiwa?


Benar, AI jawabannya. Sesuai penjabaran pada Bagian sebelumnya, hal-hal menjawab

pertanyaan hari ini berhasil sedikit-demi-sedikit di pecahkan melalui pemecahan kode-kode

algoritmik oleh Kecerdasan Buatan. Daya Upaya pemecahan masalah yang terkonsentrasi membuat

AI mampu memecahkan masalah 40 tahun lebih cepat dari manusia. Lee Sedol perlu puluhan tahun

berlatih hanya untuk menjadi seorang Profesional Dunia dalam permainan Strategi Go, sedangkan

AlphaGo hanya perlu 100.000 input data set Strategi Go dan Simulasi mandiri (Self-sparring

Simulation) selama beberapa minggu, bahkan yang lebih mengejutkan, AlphaGo Zero—update dari

AlphaGo—hanya perlu 3 hari untuk mengalahkan AlphaGo, tanpa input dataset, hanya self-sparring

simulation dan ia mampu menciptakan Strategi ‘khas’-nya sendiri. Lagi-lagi saya tidak mengajak

anda terlalu terjurumus dalam lembah technologism trap—jebakan berfikir bahwa segala masalah

solusinya teknologi— tapi lihatlah perkembangan eksponensial dari sistem kecerdasan buatan

terspesialisasi (Specialized Artificial Intelligence) ini, dalam hal menciptakan AI dalam memberi

Fatwa-fatwa sistematis dan adaptif pada manusia, andai kita mau—karena perkara ‘mampu’ teknologi

dan arsip manusia saat ini sudah cukup—semua itu bisa saja dikerjakan, yang tentu dalam

perkembangan, dimana proses Istifta terjadi seperti ingin mencari solusi membetulkan kipas angin di

youtube, sekedar isi pertanyaan di kolom prompt seketika AI akan menjawab dan memberi Jawaban,

kalian—para Ustadz dan Pemuka Agama—yang hanya menghafal kitab-kitab tipis, tidak cakap

berlogika dan menalar masalah, tidak peka pada keadaan sosial, kemampuan bahasa dan membaca

literatur rendah, akan segera tergantikan jika tidak berbenah dan memperbaiki diri. Matilah kalian,

dibunuh entitas anti-kharismatik, digilas kecerdasan buatan, wahai kebodohan alami!

Kabar Gembiranya adalah, dinamika permasalahan yang muncul di bumi manusia ini sangat

lah kompleks dan tumpang-iris satu sama lain. Agama bisa saja jadi titik-temu antar problematika,

atau ternyata agama—terutama umatnya— adalah benang-kusut dari problematika dunia. Kecerdasan

buatan masih perlu 10-20 tahun lagi untuk bisa mengimbangi populeritas kalkulator di tahun 1966

yang membuat Guru Matematika dan Akuntansi keteteran, atau mesin penyalin (copy machine) yang

menggantikan Penulis dan Kaligrafer pada masa lalu. Kendati ingatlah, setiap yang manusia ciptakan

hanyalah alat, Ahli matematika dan Akuntasi menunggangi Kalkulator sebagai alat hitung praktis

sehingga mereka mampu memanfaatkan waktu untuk berfikir hal-hal konseptual dan abstrak. mesin
penyalin seperti Gutenberg Machine mampu mengeskalasi penyebaran gagasan dari tulisan-tulisan,

serta membangkitkan revolusi di berbagai macam negara. AI Linguistic Models seperti GPT-4 dan

semacamnya, hendaknya menjadi alat yang ditunggangi para Ulama-ulama dimasa depan,

mesin-mesin itu tak terlepas dari misinformasi, halusinasi sumber, dan kesalahan lain, tapi itu mampu

mempermudah kita, menjadi lebih manusiawi, berhenti menggerogoti memori kita dengan kolase

data-data yang tumpang tindih, kita bisa mulai menikmati hidup, melihat sekitar, memahami konteks

masyarakat.

Kembali teringat Kisah sang Imam Islam seperti Abu Idris As-syafi’i atau Imam Ahmad bin

Hanbal yang luput karena sekadar terpana dengan kejeniusannya, Dalam bidayah wa nihayah karya

Ibn Khathir diriwayatkan: Imam Syafi’i, kendati di fase kemasyhurannya, senantiasa memupuk sabar

dan mengubur jumawa saat berguru dengan Imam Waki’ Dalam Siyar a’lam An-Nubala terekam

kerendahan hati Imam Ahmad bin Hanbal tatkala pemuda menyerukan namanya tanpa gelar

‘Al-Imam’, dan malah sekarang semua orang pasang dada, berebut gelar ‘imam besar’, entah sebesar

apa wawasan dan kemuliannya jika dibandingkan dengan Ahmad bin Hanbal.

Akhlak, etika, suri tauladan, mungkin terlalu relatif—dalam kacamata moralitas hari ini,

namun ketenangan, penerimaan, adaptasi dan semua cinta yang hidup, adalah hal yang mengotentikan

manusia dengan kehidupan. karena kehidupan, adalah alasan kita ada, dan kita bertanggung jawab

atas alasan itu

Semoga Kecerdasan buatan, mampu memfasilitasi kita waktu luang—terutama para Ulama

dan Mufti—untuk sekedar memahami masyarakat, tanpa perlu menghakimi. berproseslah dengan

segala yang ada, bisa jadi yang asing hari ini adalah yang memajukan peradaban, menawarkan

kedamaian, dan menyajikan kebahagiaan.

Anda mungkin juga menyukai