Anda di halaman 1dari 8

1

Sumber: http://perpin.wordpress.com/category/manajemen/

Ilmu Perpustakaan & Informasi


diskusi dan ulasan ringkas

Arsip untuk ‘Manajemen’ Kategori


Who you know is what you know
Ditulis oleh putubuku di/pada Februari 8, 2009

Kalau dipikir-pikir, sebagian besar pengetahuan yang sekarang kita miliki adalah hasil pergaulan
dengan orang-orang yang relatif dekat. Hanya sebagian kecil dari apa yang kita ketahui adalah hasil
hubungan jauh. Hampir semua pengetahuan manusia datang lewat hubungan sosial (social
interaction), dan hampir tak ada pengetahuan yang muncul dalam keterisolasian manusia. Mungkin ini
tak berlaku bagi seorang petapa, atau seorang yang mengasingkan dirinya di sebuah pulau tak
berpenduduk. Tapi, berapa orang, sih, yang kayak gitu di sekitar kita? Dan apa, sih, pengetahuan
mereka -kita, kan, nggak tahu juga.

Kalau saya atau Anda mengaku memiliki sebuah pengetahuan, maka hampir pasti “sebuah
pengetahuan” itu dimiliki juga oleh orang lain selain saya dan Anda. Coba, deh, hitung-hitung sendiri:
berapa banyak hal yang kita ketahui dan tidak diketahui orang lain? Pasti nggak ada! Bahkan untuk
seseorang yang mengaku ”menemukan” sebuah pengetahuan baru (sering dikatakan “temuan baru”),
pasti ada bagian dari yang “baru” itu adalah “lama”, dan kalau tidak ada yang “lama” maka tidak
mungkin ada yang “baru”. Semua pengetahuan didahului oleh pengetahuan sebelumnya, dan hampir
pasti “pengetahuan sebelumnya” ini datang dari orang lain.

Maka amatlah penting bagi para peneliti maupun praktisi yang bergerak dalam bidang informasi dan
pengetahuan untuk memahami hubungan sosial atau pergaulan sosial sebagai bagian dari
perkembangan pengetahuan. Untuk awalan, simaklah pendapat Nahapiet dan Goshal (1998)
yang mengentarai ada tiga dimensi dalam sebuah hubungan atau interaksi sosial: dimensi struktural,
relasional dan kognitif. Secara ringkas, begini penjelasannya:

1. Dimensi struktural. Setiap sistem masyarakat mengandung ciri-ciri alias properties yang
memperlihatkan konfigurasi (tatanan) hubungan antar manusia atau antar kelompok.
Konfigurasi ini langsung memengaruhi pembentukan pengetahuan, karena menentukan akses
seseorang ke sumber pengetahuan. Orang yang punya koneksi adalah orang yang lebih
banyak punya akses ke sumber pengetahuan. Semakin bagus koneksinya, semakin besar
kemungkinannya mengakses pengetahuan orang lain. Nggak percaya? Coba, deh, berteman
baik dengan seorang pustakawan… hehehehe. Koneksi ini tak harus bersifat fisik; dapat pula
berupa koneksi virtual lewat telekomunikasi. Misalnya, lewat blog ini (ehm!) atau lewat
Facebook, MySpace, Plurk, dan sebagainya. Dalam rumus singkat, pengaruh koneksi terhadap
pengetahuan ini berbunyi: “who you know is what you know“. Lebih jauh lagi, koneksi dan
pergaulan sehari-hari dapat mempermurah biaya akses pengetahuan. Nggak percaya? Coba,
deh, berteman dengan seorang pustakawan… hehehehe (lagi).
2. Dimensi relasional. Setiap hubungan antar manusia selalu melalui semacam “sejarah”, tidak
ujug-ujug terjadi begitu saja. Dalam dimensi relasional antar manusia ada tiga hal penting
yang terbangun sejalan dengan waktu, yaitu penghargaan (respect), pertemanan
(friendship) dan keterikatan (bond). Ketiganya menentukan sejauh mana ada kepedulian
(level of care), pengaturan kerjasama (norms of cooperations) dan rasa kebersamaan (sense
of identification). Kalau sudah ada kepedulian, maka muncul saling-percaya (mutual trust),
empati, bantuan, dan toleransi. Semua ini tentu saja mempermudah kerjasama dan akhirnya
mempermudah pengembangan pengetahuan antar sesama. Semakin erat hubungan antar
manusia, semakin mudah bagi manusia-manusia itu untuk bertukar pikiran, dan semakin
hebatlah perkembangan pengetahuan di antara mereka. Hal ini sebenarnya sangat manusiawi,
tapi sayang sekali banyak orang yang mengabaikannya. Sebuah masyarakat yang penuh
saling curiga, yang enggan bekerja sama, dan tak punya empati seringkali adalah masyarakat
yang juga tak punya pengetahuan, tak berkembangan pengetahuannya, dan akhirnya menjadi
masyarakat terkebelakang.
2

3. Dimensi kognitif. Setiap hubungan antar-manusia tentu saja adalah hubungan antar-pikiran
pula, dan pikiran-pikiran manusia dapat saling dipertukarkan melalui sistem bahasa yang
mengandung simbol atau representasi (representations), cara memahami (interpretations),
dan pemaknaan (meaning). Dimensi kognitif, dengan demikian, terlihat dalam bentuk
kesamaan bahasa dan kesepahaman antar manusia. Amatlah lumrah bahwa dimensi kognitif
ini jadi hal penting dalam pertukaran dan perkembangan pengetahuan. Setiap butir
pengetahuan merasuk ke dalam benak kita melalui bahasa. Sepintar-pintarnya seseorang, ia
memerlukan cara sederhana untuk memasukkan pengetahuan ke dalam pikirannya, dan untuk
itu ia perlu simbol, kata, istilah yang dapat ia pertukarkan dengan orang lain. Semakin mudah
seseorang memahami orang lain, semakin mudah pula ia mempertukarkan pengetahuannya.
Itulah sebabnya, dalam setiap upaya belajar seringkali hal pertama yang dilakukan seseorang
adalah mempelajari semua istilah-istilah khas dari apa yang dipelajarinya itu.

Dari penjelasan Nahapiet dan Goshal di atas, kita dapat melihat betapa sifat dan karakteristik
hubungan sosial dalam sebuah kelompok, organisasi, atau masyarakat amat menentukan jenis dan
perkembangan pengetahuan manusia-manusia yang menjadi anggotanya. Hubungan sosial yang
rileks, intim, dan saling menghargai akan menciptakan anggota-anggota yang berpengetahuan
fleksibel, mudah mengembangkan pengetahuan pribadinya, dan bersama-sama menciptakan
solusi atau inovasi dalam kehidupan mereka. Sebaliknya, hubungan sosial yang tegang, penuh konflik,
dan saling menyalahkan cenderung menghambat perkembangan pengetahuan, atau membuat
anggotanya sulit mengembangkan diri. Begitu pula, ketiadaan hubungan sosial mempersulit
perkembangan pengetahuan.

Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya semua itu sangatlah lumrah dan mudah dipahami. Kenapa manusia
sepertinya menyukai konflik dan cenderung berkelahi? Nah, pengetahuan tentang inilah yang harus
kita perbanyak pula!

Bacaan:

Nahapiet, J. and Ghoshal, S. (1998), “Social capital, intellectual capital, and the organizational
advantage’, Academy of Management, The Academy of Management Review, Vol. 23 No. 2, pp. 242-
66.

Ditulis dalam Kajian Pemakai, Manajemen | Bertanda: Manajemen pengetahuan, Hubungan sosial |

Evaluasi Sebelum Devaluasi


Ditulis oleh putubuku di/pada Oktober 30, 2008

Tanpa harus menjadi nyinyir kita perlu mengakui bahwa eksistensi perpustakaan dan sistem informasi
di masyarakat sangat rentan terhadap pertanyaan sinis: buat apa sih sebenarnya institusi-institusi itu?
Pada umumnya orang awam lebih terkesima oleh gemerlap teknologi yang ada di institusi tersebut,
dan hanya akan mengatakan bahwa perpustakaan atau sistem informasi bernilai sesuai nilai teknologi
yang ada di dalamnya. Semakin baru teknologinya, semakin baik citra perpustakaan atau sistem
informasi yang bersangkutan.

Stereotip yang mengecilkan hati itu sebenarnya cukup beralasan. Baik orang awam maupun kaum
profesional sebenarnya sama-sama menemui kesulitan jika harus sungguh-sungguh memastikan: apa
sebenarnya kegunaan dari membangun gedung penuh koleksi buku yang kita namakan perpustakaan
itu? Bagaimana menentukan aspek mana dari perpustakaan itu yang sebenarnya berguna bagi suatu
kegiatan tertentu. Apakah koleksinya mempengaruhi prestasi belajar? Apakah kinerja pustakawannya
meringankan beban pengajar? Apakah tata-ruangnya membantu pengunjung tidur lebih nyenyak?

Serupa walau tak sama, orang juga sering bertanya: apa gunanya membangun sistem informasi yang
begitu canggih di sebuah bank yang akhirnya bangkrut karena dikorupsi pemiliknya? Atau yang lebih
seram: bagaimana sebuah sistem informasi yang konon mampu mencegah perang nuklir dapat
meloloskan dua pesawat sipil untuk dihantamkan ke the Twin Tower?
3

Dari pertanyaan yang sepele sampai yang fundamental di atas muncullah motivasi untuk salah
satu jenis penelitian paling populer di bidang informasi, yaitu penelitian evaluasi alias evaluation
research. Penelitian jenis ini seringkali mengandung maksud meyakinkan orang lain maupun diri
sendiri bahwa apa yang kita kerjakan memang patut dikerjakan. Khusus di bidang perpustakaan dan
informasi, jenis penelitian ini amat populer. Tulisan Powell (2006) memaparkan berbagai variasi jenis
penelitian ini dan membuat daftar berisi sedikitnya 10 alasan kuat untuk melakukan penelitian
evaluasi. Selain untuk mendukung proses pengambilan keputusan di sebuah organisasi, penelitian
evaluasi seringkali juga didorong oleh keinginan menghindari pengulangan kesalahan yang pernah
dibuat, dan untuk meningkatkan citra di kalangan pengguna.

Mengutip berbagai pendapat, Powell mengungkapkan bahwa penelitian evaluasi sebenarnya bukanlah
tujuan akhir dari sebuah proses perbaikan kinerja. Seringkali penelitian evaluasi justru menjadi awal
dari berbagai penelitian berikutnya, termasuk penelitian operasi (operation research) dan uji-coba atau
eksperimen. Pada umumnya penelitian evaluasi memang ingin menguji efektivitas dan efisiensi kerja
sehingga sangat berurusan dengan pengukuran (measurement). Itu sebabnya penelitian evaluasi
seringkali memakai pendekatan kuantitatif. Banyak pula penelitian evaluasi, –khususnya di bidang
perpustakaan dan informasi– dimotivasi oleh keinginan mengukur kinerja (performance) dan kualitas
jasa (service quality). Salah satu jenis penelitian ini yang amat populer adalah yang berbasis SERV-
QUAL dan dimodifikasi untuk perpustakaan dengan nama LibQUAL. Silakan lihat situs
tentang metode tersebut di sini: http://www.libqual.org/

Penggunaan standar kinerja dan benchmarking juga amat populer di bidang perpustakaan.
Berbagai jenis perpustakaan menggunakan standar-standar yang dibuat oleh asosiasi profesi.
Misalnya, untuk profesi pustakawan umum (public librarians) di Australia tersedia puluhan standar
kinerja (lihat di sini http://www.alia.org.au/governance/committees/public.libraries/standards.html).
Di situs mereka terdaftar sedikitnya ada 11 kategori standar, yaitu:

1. Free access to information


2. Information as a commodity
3. Joint-use libraries
4. Library and information sector: core knowledge, skills and attributes
5. Library and information services appointments
6. Libraries and privacy guidelines
7. Non-standard employment
8. Professional conduct
9. Public library services
10. Employer roles and responsibilities in education and professional development
11. Senior library staff and information services appointments

Masing-masing dari 11 standar itu dapat menjadi landasan untuk melakukan penelitian evaluasi.
Misalnya, standar tentang “information as a commodity” sangat bagus untuk melakukan evaluasi
apakah sebuah perpustakaan umum sudah patut menjual informasi, dan kalau menjual berapa harga
yang patut. Tentu saja ini semua memperhitungkan pula kenyataan bahwa perpustakaan umum
adalah lembaga publik yang didanai pemerintah.

Untuk jenis penelitian evaluasi yang menggunakan standar, para peneliti perlu menyadari bahwa
standar-standar tersebut sebenarnya cocok untuk konteks sosial-kultural masyarakat tertentu. Sebab
itu, jika ingin mengadopsi sebuah standar untuk mengukur kinerja perpustakaan, seorang peneliti
perlu memeriksa kecocokan konteks ini. Salah satu kelemahan penelitian evaluasi yang menggunakan
standar dan pengukuran kuantitatif ini adalah pengabaian konteks. Maka dari itu sebuah penelitian
evaluasi perlu membuka kemungkinan penggunaan metode kualitatif, dan ini bukan sesuatu yang
di-”haram”-kan dalam penelitian evaluasi. Seringkali, metode kualitatif dipakai terlebih dahulu untuk
membangun pemahaman tentang konteks sosial-budaya, sebelum kemudian membuat atau
mengadopsi sebuah standar dari negara lain.

Bacaan:

Powell, Ronald R. (2006), “Evaluation research: an overview” Library Trends, vol. 55 no. 1, hal. 102-
120.

Ditulis dalam Kepustakawanan, Manajemen, Organisasi | Bertanda: Manajemen |


4

“Membaca” sang Pembaca


Ditulis oleh putubuku di/pada Maret 20, 2009

Tradisi kepustakawanan dan ilmu perpustakaan seringkali memfokuskan diri pada buku dan bacaan,
katimbang membaca dan pembacanya. Sampai sekarang fokus ini masih ada: alih-alih memahami
pengguna perpustakaan, banyak pustakawan berkonsentrasi pada nilai-baik yang ada di buku; alih-
alih menyediakan buku yang dibutuhkan, banyak pustakawan menitikberatkan kegiatan mereka pada
“buku yang baik” atau “buku yang positif”. Kegiatan seleksi dan pengembangan koleksi seringkali
berdasarkan “nilai baik” dengan asumsi bahwa buku yang baik akan menghasilkan masyarakat yang
baik.

Dalam tradisi literasi atau sastra (terutama di Amerika Serikat), pandangan seperti ini memang juga
ada, didukung oleh berbagai model tentang text-active yang menjadi bagian dari teori new criticism
-sebuah teori yang dibangun tahun 1940-an oleh John Crowe Ransom. Teori ini berasumsi bahwa teks
(atau buku) dapat dilihat sebagai dirinya sendiri (self contained), terlepas dari respon pembaca,
maksud penulis, atau konteks historis-kulturalnya. Para penganut new criticism melakukan close
reading dan percaya bahwa struktur dan makna sebuah teks adalah satu kesatuan. Konsentrasi
sepenuhnya dicurahkan pada mengutak-atik (atau “mengulik” istilah sekarangnya) teks itu
sendiri. Pada tahun 1954, William K. Wimsatt dan Monroe Beardsley menegaskan bahwa dengan
berkonsentrasi pada apa yang sudah tertera di atas kertas, maka maksud si penulisnya tidaklah terlalu
relevan lagi. Bagi new criticism teks adalah segalanya. [Di blog ini close reading sudah pernah ditulis;
silakan klik di sini]

Teori new criticism pada gilirannya mendapat kritik lagi dari sebuah aliran baru, yaitu reader-response
criticism. Aliran baru ini malah mengedepankan kenyataan bahwa seorang pembaca memiliki peran
besar dalam menetapkan makna sebuah bacaan. Dengan kata lain, apa yang terkandung dalam
sebuah bacaan mungkin saja tidak terdapat di dalam bacaan itu sendiri, melainkan di dalam konstruksi
(construct) pembacanya. Pada tahun 1980-an, tiga buku penting muncul di kancah penelitian tentang
bacaan dan membaca, yaitu:

1. Fish, S. (1980). Is There a Text in This class? The Authority of Interpretive Communites,
Cambridge : Harvard University Press.
2. Suleiman, S.R. dan Crosman, I. (ed.) (1980). The Reader in the Text : Essays on Audience and
Interpretation, Princeton : Princeton University Press.
3. Tompkins, J.P. (ed.) (1980). Reader-response Criticism : from Normalism to Post-
structuralism, London : John Hopkins University Press.

Ketiga buku ini menegaskan pentingnya peran pembaca yang “membawa makna ke dalam tulisan”.
Artinya, sebuah teks bukanlah satu-satunya sumber makna. Seorang pembaca menggunakan akal-
budi dan pengalamannya ketika membaca sebuah teks. Apa yang ia maknai pada sebuah teks ikut
ditentukan oleh pengalaman sebelumnya, persepsi, imajinasi, dan bahkan juga harapan-
harapannya. Beberapa peneliti juga menekankan pada kemungkinan seorang pembaca “menemukan”
maknanya sendiri, yang barangkali berbeda dari yang ditemukan orang lain, atau dari yang tertera di
atas kertas. Toh, sejak lama kita sudah kenal frasa to read between the lines. Pada intinya, teori
reader-response atau teori reception (karena berkonsentrasi pada pembaca sebagai “penerima” teks)
mengangap bahwa teks tertulis harus dilihat secara dinamis, dan belum “jadi”. Setelah ada
pembacanya, barulah teks itu membentuk makna.

Apa pengaruh teori ini pada bidang perpustakaan? Jelas adalah pada pengalihan perhatian: dari teks di
atas kertas (atau di dalam buku) ke manusia yang membacanya. Dalam penelitian yang
berorientasi buku, kita tak terlalu peduli pada bagaimana buku itu sesungguhnya dibaca. Sebaliknya
dalam penelitian berorientasi pada pembaca, kita mengutamakan pengkajian terhadap perilaku,
situasi, kondisi, dan makna-makna yang dibangun oleh manusia-pembaca. Kajian ini dapat dilakukan
terhadap individu-individu, maupun terhadap sekelompok orang dalam sebuah masyarakat. Dengan
kata lain, kita bermaksud “membaca” sang pembaca.

Pendekatan kualitatif, khususnya etnografi, dapat digunakan untuk memahami bagaimana masyarakat
mengenakan nilai atau makna kepada bacaan mereka. Buku yang amat menarik tentang penelitian
etnografi ini adalah The Ethnography of Reading, yang dieditori Jonathan Boyarin, terbitan University
of California Press, tahun 1993.

Bacaan:

Ross, C.S. (2005), “Reader response theory”, dalam Theories of Information Behavior, Fisher, K.E,
Erdelez, S. dan McKechnie, L. (ed.), Medford : Information Today, hal. 303 – 307.
Ditulis dalam Kepustakawanan, Masyarakat Informasi, Perilaku informasi | Bertanda: Bahasa, filsafat
bahasa |
5

Perilaku Informasi di Tempat Kerja


Ditulis oleh putubuku di/pada Maret 3, 2009

Katriina Byström dan kawan-kawan mengusulkan sebuah teori tentang pencarian informasi di tempat
kerja yang diberinya nama teori Information Activities in Work Tasks (IAWT), atau kalau
diindonesiakan: Kegiatan Informasi dalam Tugas Kerja. Teori ini dibuat berdasarkan penelitian yang
menggabungkan perspektif Ilmu Perpustakaan & Informasi dan Kajian Organisasi (Organizational
Studies). Sebagaimana namanya, teori ini ingin menjelaskan fenomena di tempat kerja, khususnya
ketika para pegawai mencari dan menggunakan informasi untuk keperluan menyelesaikan tugas
(task). Fokus teori ini adalah pada upaya mengaitkan antara keragaman jenis tugas, kebutuhan
informasi, dan upaya penemuan-kembali (information retrieval). Dengan demikian, teori ini berupaya
lebih spesifik dibandingkan teori perilaku informasi umum yang -misalnya- diusung oleh Wilson.

Dalam teori IAWT, sebuah task atau tugas bukanlah hanya merupakan sesuatu yang eksternal
(sesuatu yang diluar kendali seorang pekerja), dan juga bukan melulu internal (sesuatu yang ada di
pikiran seorang pekerja), melainkan juga sebuah “konstruksi sosial” dalam konteks kegiatan yang
sesungguhnya (real life). Dengan kata lain, sebuah tugas di tempat kerja (misalnya, tugas meliput
berita di kantor berita, atau tugas menyerbu benteng musuh di kalangan tentara) merupakan sesuatu
yang disadari dan dimaknai (perceived) dalam kaitannya dengan keadaan atau situasi tempat kerja.
Seorang wartawan akan menyadari dan memaknai tugasnya secara berbeda dari seorang anggota
pasukan buru-sergap, sebab ”lapangan” mereka berbeda.

Selanjutnya, teori IAWT mengaitkan antara jenis informasi yang dicari dan ragam sumber
informasi yang digunakan dalam bekerja. Di sini informasi dianggap sebagai sebuah “perangkat yang
abstrak (tidak nyata)” untuk membantu seseorang menyelesaikan tugasnya. Selain itu, terjadi pula
pergeseran fokus dari “menyelesaikan masalah” (problem solving) ke “menyelesaikan tugas” (task
solving), sehingga sebuah “informasi tentang tugas” (task information) selalu merujuk ke sebuah
tugas tertentu yang jelas batas-batasnya (misalnya meliput berita, menyerbu benteng musuh,
membuat laporan penelitian). Informasi tentang tugas ini biasanya mengandung fakta (apa yang
terjadi, siapa saja yang terlibat, kapan, di mana) selain juga mengandung keterangan tentang domain
sebuah tugas, baik yang bersifat faktual (misalnya, peristiwa pelantikan Presiden Obama yang harus
diliput, benteng di daerah pemukiman yang harus diserbu, lingkup penelitian yang harus dibuat)
maupun yang bersifat interpretasi (apa makna Obama bagi hubungan AS – Indonesia, bagaimana
mengurangi korban sipil dalam perang di dalam kota, sejauh mana penelitian bermafaat bagi
masyarakat). Teori IAWT kemudian juga membedakan antara saluran dan sumber informasi yang
digunakan di tempat kerja. Menurut Byström, sebuah “saluran” menjalankan fungsi menuntun seorang
pekerja menuju “sumber” yang mengandung informasi tentang sebuah tugas.

Byström dan kawan-kawan lebih jauh lagi mengaitkan jenis informasi, sumber informasi, dan tugas.

Perhatian pertama diberikan pada kondisi tugas itu; seberapa rumitkah tugas itu bagi seseorang. Ini

dinamakan task complexity. Kemudian tingkat kerumitan ini dikaitkan dengan berbagai kemungkinan,

yaitu:

1. Jika seseorang merasa tak memerlukan informasi sewaktu bekerja, maka sebuah tugas
dimaknai secara pasif berdasarkan dokumentasi yang ada. Tugas seperti ini biasanya adalah
tugas-tugas rutin.
2. Sumber-sumber informasi tentang pekerjaan seringkali adalah orang-orang yang terlibat
dalam suatu tugas, selain dokumen-dokumen di kantor.
3. Sebuah aktivitas (event) maupun sebuah kunjungan kerja juga dapat menjadi sumber
informasi.
4. Informasi tentang domain kerja biasanya diperoleh dari literatur, dari pertemuan dengan
pakar, dan dari pertemuan atau rapat.
5. Pakar dan pertemuan atau rapat seringkali merupakan sumber informasi yang paling sering
digunakan untuk menyelesaikan tugas.

Ketika untuk sebuah tugas tertentu seseorang merasa memerlukan banyak jenis informasi,

maka terjadi 3 kemungkinan:

1. Ia menggunakan banyak sumber, tetapi mengurangi variasi jenis informasi.


2. Ia akan lebih banyak menggunakan rekan kerja sebagai sumber.
3. Ia akan lebih sering mencari dokumen eksternal.
6

Sementara itu kalau seseorang berpendapat bahwa tugas yang harus dikerjakannya semakin kompleks

alias rumit, maka terjadi 3 kemungkinan:

1. Ia akan cenderung ingin menggunakan jenis informasi yang beragam.


2. Ia akan semakin ragu menetapkan apa sebenarnya yang ia inginkan.
3. Para pakar di kantor akan menjadi pihak yang semakin dihandalkan.

Sampai di sini kita melihat bahwa teori IAWT sangatlah “biasa” sebab secara umum menjelaskan hal-

hal yang sudah nampak wajar. Misalnya, adalah wajar jika dalam bekerja kita lebih mengandalkan

teman sebagai sumber informasi daripada dokumen, sebab membaca dokumen tentu lebih

merepotkan dibandingkan mendengarkan penjelasan seorang teman. Juga adalah wajar, jika

kompleksitas pekerjaan meningkat maka jenis informasi yang dibutuhkan pun menjadi semakin

beragam. Namun teori ini juga amat berguna karena membantu mengingatkan kita bahwa sebuah

“tempat kerja” sebenarnya adalah juga sebuah “lapangan informasi”. Selama ini, kita selalu

menghubungkan informasi dengan pengambilan keputusan atau penyelesaian masalah, bukan dengan

penyelesaian kerja. Teori IAWT membantu kita mengalihkan perhatian pada hal-hal praktis yang

terjadi di sebuah tempat kerja.

Sumber bacaan

Byström, K. (2002). “Information and information sources in tasks of varying complexity” dalam
Journal of the American Society for Information Science and Technology , vol. 53, hal. 581 – 591.

Ditulis dalam Kajian Pemakai, Organisasi, Perilaku informasi, Teori | 3 Komentar - komentar »
7

 10 Tulisan Termutakhir
o “Membaca” sang Pembaca
o Perilaku Informasi di Tempat Kerja
o Social Computing dan Perpustakaan Digital
o Who you know is what you know
o Tabik. Lama tak Jumpa. Maaf.
o Evaluasi Sebelum Devaluasi
o Polling!! Polling!!
o Analisis Sitasi : Mengukur Mengutip
o Gaya Belajar dan Perilaku Informasi
o Informasi : Dibutuhkan, Diinginkan, Diperlukan

 Tulisan Terpopuler
o Interdisiplin
o Mengenal Teori Shannon-Weaver
o Prakata
o Ragam Perilaku Informasi
o Kepustakawanan

 Di Sini Terima Komentar!


o myu pada “Membaca” sang Pembaca
o Made Yogiswara pada Modal Sosial, Ongkos Informasi
o zafirah pada Lestarikan Pusaka Digitalmu
o ardelia pada Prakata
o Rhoni Rodin pada Perilaku Informasi di Tempat Kerja
o mei pada Language Model
o Adi Hasriadi pada Prakata
o bayu s pambudi pada “Membaca” sang Pembaca
o Dunia Perpustakaan pada Mengenal Teori Shannon-Weaver
o jame'z pada Definisi Richard Rubin
o Alam pada kua(Nt/L)itatif
o Mempertanyakan Profesi Pustakawan « Lembaga Kajian Perpustakaan dan
Masyarakat – Untuk Indonesia pada Prakata
o meelonelee pada Recall & Precision
o riki pada Periodisasi Information Retrieval
o Membaca « Khairunniza Etikasari pada Baca, lah! Taat, lah!

 Kategori Umum
o Definisi (5)
o Ilmu informasi (10)
o Information Retrieval (9)
o Kajian Pemakai (16)
o Kepustakawanan (24)
o Kognisi (9)
o Manajemen (14)
o Masyarakat Informasi (22)
o Organisasi (17)
o Perilaku informasi (2)
o Teori (26)
o Uncategorized (3)

 Kumpulan Istilah

Bahasa Bibliometrik Budaya Clustering Cognitive viewpoint Complex


Boolean

systems D.M. MacKay data retrieval Disain sistem Diskursus Fenomenologi filsafat
bahasa Filsafat informasi Informetrika Internet Kebijakan publik
Kebutuhan informasi Kognisi Komisi Bacaan Rakyat Komunikasi
Komunikasi ilmuwan Linguistik Manajemen informasi Manajemen
pengetahuan Markov Process Model matematik Negara online searching OPAC
Pencarian informasi Pendidikan pustakawan Pengindeksan Perilaku
8

informasi Peta kognitif Profesi informasi Ranganathan Relevansi Sejarah Shannon-


Weaver Sistem bertujuan Stand-point epistemology TD Wilson Topik penelitian Vektor

Anda mungkin juga menyukai