Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN BELAJAR MANDIRI

FILSAFAT

TOPIK 11

Disusun Oleh:
FITRI SAKINAH
( 23124036 )

Dosen Pengampu Mata Kuliah


Dr. Hj. Yanti Fitria, S.Pd.,
M.Pd
No Aspek yang Dinilai Skor KET
1 2 3 4 5
1 Tampilan Sistematika
2 Kelengkapan Sistematika
3 Kedalaman dan Ketajaman Topik
4 Praktik Kreatifitas Penerapan Konsep Kajian
dalam bentuk contoh di kehidupan.
5 Latihan Soal dan Kunci Jawaban
6 Kelengkapan Referensi
7 Kemutakhiran Referensi
8 Jumlah Peserta yang menanggapi permasalahan

PENDIDIKAN DASAR
UNIVERSITAS NEGERI
PADANG 2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan karena berbagai keterbatasan kemampuan dan fasilitas yang
dimiliki oleh penulis. Laporan ini dibuat dengan tujuan agar pembaca dapat
lebih memahami, mengerti dan menambah ilmu pengetahuan tentang
hakekat dan model evaluasi yang kami sajikan dari berbagai sumber baik itu
dari sumber internet, buku, dan pemikiran.
Semoga Tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca ataupun
pendengar. Mudah-mudahan dapat memberikan atau menambah wawasan
yang lebih luas lagi. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah
satu tugas Mata Kuliah Filsafat. Kami menyadari masih banyak kekurangan
baik isi maupun penulisan tata bahasa dalam makalah ini. Untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca guna
kesempurnaan makalah ini. Agar makalah ini dapat berguna bagi semua
orang. Akhir kata kami mengucapkan banyak terima kasih.

Padang, Oktober 2023


Pengantar
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perbedaan manusia dan binatang
terletak pada kemampuan manusia untuk mengambil jalan melingkar dalam mencapai tujuannya.
Kita sering melihat seekor monyet yang menjangkau secara sia-sisa benda yang dia inginkan,
sedangkan manusia yang paling primitif pun telah tahu menggunakan berbagai sarana seperti
tongkat, tali, atau dengan melempar batu untuk memperoleh benda yang diinginkannya sehingga
manusia disebut mahluk yang membuat alat (homo faber). Untuk membuat alat manusia
memerlukan pengetahuan, begitu juga adanya alat-alat dapat pula membantu meningkatkan
pengetahuan manusia.
Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik dan benar diperlukan juga sarana berpikir.
Tersedianya sarana berpikir tersebut memungkinkan dilakukannya penelitian ilmiah secara teratur
dan cermat. Penguasaan sarana berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat imperatif
bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah yang baik tak akan bisa
terlaksana. Beberapa sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, logika, matematika, dan statistika
dibahas berikut ini.

Bahasa Ilmiah
Dapatkah anda bayangkan seandainya binatang dapat berbicara seperti manusia? Jika
Astri sedang makan burger, maka anjing Astri akan melongok saja melihat Si Astri makan,
melainkan akan berkata ”Astri bagi-bagi dong biar aku tahu rasanya!!”. Dan bukan sampai disitu,
dia akan mencari tempat orang menjual untuk membeli burger dengan membawa uang karena dia
menguasai bahasa dan memiliki pengetahuan berbelanja. Sehingga tidak salah kata Wittgentein
yang mengatakan Die Grenzen meiner Sprache die Grenzen meiner Welt yang artinya
“Bahasaku adalah batas duniaku“.
Keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya,
melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Ernst Cassierr menyebut manusia sebagai
Animal Symbolicum, mahluk yang mempergunakan simbol. Tanpa mempunyai kemampuan
berbahasa ini maka kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur tidak mungkin dapat dilakukan.
Lebih lanjut lagi, tanpa kemampuan berbahasa ini maka manusia tidak mungkin mengembangkan
kebudayaannya, sebab tanpa memiliki kemampuan berbahasa maka sulit dapat menruskan nilai-
nilai kepada generasi berikutnya. Tak salah kata Aldous Huxley, “Tanpa Bahasa manusia tak
berbeda dengan anjing atau monyet”.
Pertanyaannya, apakah bahasa itu? Pertama, bahasa dapat dicirikan sebagai rangkaian
bunyi. Dalam hal ini kita mempergunakan bunyi sebagai alat untuk berkomunikasi. Sebenarnya
kita juga bisa berkomunikasi tanpa bunyi, misalnya dengan bahasa isyarat. Tetapi manusia
menggunakan bunyi sebagai alat komunikasi yang utama. Komunikaksi dengan menggunakan
bunyi ini disebut sebagai komunikasi verbal. Dan masyarakat yang menggunakana alat
komunikasi verbal disebut dengan masyarakat
verbal. Kedua, bahasa merupakan lambang di mana rangkaian bunyi ini membentuk suatu arti
tertentu. Perkataan gunung dan burung merpati sebenarnya merupakan lambang yang kita
berikan kepada dua objek tersebut. Kiranya patut disadari bahwa kita memberikan lambang
kepada kedua objek tersebut tadi secara begitu saja, di mana tiap bangsa dengan bahasanya yang
berbeda memberikan lambang yang berbeda pula. Bagi kita objek tersebut lambangkan dengan
bunyi ”gunung” sedangkan bagi orang Inggris dilambangkan dengan ”mountain” atau ”jaba”
dalam bahasa Arab. Begitu juga tanpa bahasa kita sulit memahami dan mengkomunikasikan
hukum grafitasi Newton dan dalil Phytagoras.
Jadi dengan bahasa bukan saja manusia dapat berpikir secara teratur, namun juga dapat
mengkomunikasikan apa yang sedang kita pikirkan kepada orang lain. Namun bukan itu saja,
dengan bahasa kitapun dapat mengekspresikan sikap dan perasaan kita. Seseorang yang
mempunyai pengalaman hidup yang berkesan dapat mengekspresikannya dengan bernyanyi, atau
menulis novel yang tebal yang mencakup puluhan ribu kalimat, atau menulis puisi yang berisi
beberapa bait bila ia seorang sastrawan.
Komunikasi ilmiah mensyaratkan bentuk komunikasi yang sangat berbeda dengan
komunikasi estetik. Komunikasi ilmiah bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berupa
pengetahuan. Agar komunikasi ilmiah ini berjalan dengan baik maka bahasa yang digunakan
harus bebas dari unsur-unsur emotif. Komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif, artinya bila si
penyampai menyampaikan informasi berupa X maka si penerima informasi harus menerima
informasi yang berupa X pula. Informasi X yang diterima harus merupakan reproduksi yang
benar-benar sama dari informasi X yang dikirim. Artinya tidak terjadi miskomunikasi. Contoh:
seorang guru fisika ingin menjelaskan usaha, maka ia harus menjalaskan kata usaha dalam
konteks fisika, yang tentu berbeda jauh dengan kata usaha dalam kehidupan sehari-hari.
Berbahasa dengan jelas artinya juga mengemukakan pendapat atau jalan pikiran secara
jelas. Kalau kita teliti lebih lanjut kalimat-kalimat dalam sebuah karya ilmiah pada dasarnya
merupakan suatu pernyataan. Pernyataan melambangkan suatu pengetahuan yang ingin kita
komunikasikan kepada orang lain. Kalimat seperti ”Logam kalau dipanaskan akan memuai”,
merupakan suatu hakikat pernyataan yang mengandung pengetahuan tentang sebab-akibat antara
panas (kalor) dan pemuaian.
Untuk mampu mengkomunikasikan pengetahuan atau jalan pikiran yang jelas maka
seseorang harus menguasai tata bahasa dengan baik. Penguasaan tata bahasa yang baik
merupakan syarat mutlak bagi suatu komunikasi ilmiah yang benar. Usahakan juga kalimat-
kalimat yang digunakan terbebas dari sifat emosional. Di saping itu, karya ilmiah juga mematuhi
format-format penulisan tertentu, seperti jenis huruf, margin, pengutipan, penulisan daftar
pustaka, dan sebaginya.
Logika
Alkisah, dalam humor ilmiah, diceritakan seorang peneliti ingin menemukan apa yang
sebenarnya menyebabkan manusia mabuk. Untuk itu dia mengadakan penyelidikan dangan
mencampur berbagai minuman keras. Mula-mula ia mencampur air dengan wiski luar negeri yang
setelah diteguknya maka ia terkapar mabuk. Setelah ia sadar ia mencampur air dengan arak lokal,
setelah diminumnya ia pun terkapar mabuk juga. Terakhir ia mencampu air dengan tuak lokal,
maka ia pun mabuk juga dan sempoyongan. Berdasarkan penelitiannya ini maka dia
menyimpulkan bahwa airlah yang menyebabkan ia mabuk. Benar-benar masuk akal, bukan?,
namun apakah hal itu benar?
Kejadian di atas menunjukkan bahwa penalaran merupakan suatu proses berpikir yang
membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar
kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan
kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan
menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, di mana logika
secara luas dapat didefinisikan sebagai ”pengkajian untuk berpikir secara sahih”.
Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, namun untuk sesuai dengan
tujuan yang memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, kita akan melakukan penelaahan yang
seksama hanya terhadap dua jenis cara penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika
deduktif. Logika induktif erat kaitannya dengan penarikan kesimpulan kasus-kasus individual
(khusus) nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Di pihak lain, logika deduktif, yang
membantu kita dalam menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menjadi kasus yang
bersifat individual (khusus).
Induktif merupakan cara berpikir di mana ditarik kesimpulan yang bersifat umum dari
berbagai kasus yang bersifat khusus. Penalaran induktif dimulai dengan mengemukakan
pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun
argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Contoh: Dari hasil
penyelidikan diperoleh fakta empirik sebagai berikut :
Besi bila dipanaskan memuai (khusus)
Seng dipanaskan memuai (khusus)
Tembaga dipanaskan memuai (khusus)
Aluminium dipanaskan juga memuai (khusus).
Oleh karena besi, seng, tembaga, dan aluminium termasuk kelompok logam. Maka dapat ditarik
kesimpulan dari fakta-fakta khusus tersebut yaitu ”logam bila dipanaskan akan memuai”
(kesimpulan bersifat umum).
Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir sebaliknya dari penalaran induktif. Dedukdi
adalah cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat
khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir
silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan
yang mendukung silogismus disebut premis yang
kemudian dapat dibedakan menjadi premis mayor dan premis minor. Contoh:

Semua mahluk hidup mempunyai mata (premis mayor)


Si Badu adalah seorang mahluk hidup (premis minor)
Jadi, Si Badu memiliki mata (kesimpulan).
Kesimpulan yang diambil bahwa Si Badu memiliki mata adalah sah menurut penalaran
deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya.
Pernyataan apakah kesimpulan itu benar maka hal ini harus dikembalikan kepada kebenaran
premis yang mendahuluinya. Sekiranya kedua premis yang mendukungnya benar, maka dapat
dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga benar. Seandainya kesimpulan itu salah,
meskipun premis pendukungnya benar, maka penarikan kesimpulannya dikatakan tidak sah.

Matematika
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang
ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial”, yang baru mempunyai
arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu maka matematikan hanya merupakan
kumpulan rumus-rumus yang mati. Yang paling sukar untuk menjelaskan kepada seseorang yang
baru belajar matematika adalah bahwa X itu sama sekali tidak berarti, kata Alfred Nort
Whitehead.
Bahasa verbal seperti telah kita pelajari sebelumnya mempunyai beberapa kekurangan
yang sangat mengganggu, seperti majemuk dan emotif. Untuk mengatasi kekurangan yang
terdapat pada bahasa maka kita berpaling kepada matematika. Dalam konteks ini, matematika
adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat emotif dan majemuk dari bahasa verbal.
Lambang-lambang matematika dibikin artifisial dan khusus yang merupakan perjanjian yang
berlaku khusus untuk masalah yang sedang kita kaji. Contoh, kita ingin menghitung kecepatan
seorang pelari yang bergerak dalam waktu tertentu dengan jarak yang ditempuh tertentu pula.
Jarak yang ditempuh anak dapat kita lambangkan dengan x, waktu yang diperlukan untuk
menempuh jarak tersebut dilambangkan dengan t, maka kecepatan orang tersebut v dapat
dihitung dengan rumus
x
v .
t
Di samping kelebihan tersebut, matematika memiliki kelebihan lain dibandingkan
bahasa verbal yakni bahasa mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita
melakukan pengukuran. Dengan bahasa verbal kita akan mengalami kesulitan untuk
membandingkan anak yang kena sakit demam dengan anak sehat. Kalau kita ingin mengetahui
lebih lanjut berapa derajat suhu anak yang demam, tentu kita akan mengalami kesulitan
menggunakan bahasa verbal.
Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Dengan
bahasa verbal kita hanya dapat mengatakan ”logam kalau dipanaskan akan memuai”. Seberapa
besar pemuaiannya yang terjadi bila diberikan panas tertentu, tidak
dapat dijelaskan dan diprediksi secara eksak. Jadi, penjelasan dan ramalan yang diberikan serta
kontrol ilmu menjadi kurang cermat dan tepat. Matematika dapat mengatasi permasalahan ini
dengan menggambarkan dengan pernyataan matematika :

L  Lo (1 t) , di mana L = panjang logam setelah pemanasan


dengan temperatur t
Lo= panjang logam awal
α = koefien muai logam
t = temperatur
Jadi, sifat kuantitatif matematika dapat meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari
ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan
masalah secara lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami
perkembangan dari tahap kualitatif menjadi kuantitatif.
Beberapa disiplin ilmu, seperti ilmu sosial dan humaniora, agak mengalami kesukaran
dalam perkembangan yang bersumber pada masalah teknis dalam pengukuran. Kesukaran ini
secara bertahap telah mulai dapat diatasi, dan akahir-akhir ini kita dapat melihat perkembangan
yang menggembirakan, di mana ilmu-ilmu sosial dan humaniora telah mulai memasuki tahap
yang bersifat kuantitatif. Contoh: sekarang ini mahasiswa ekonomi telah mempelajari matematika
ekonomi. Dengan demikian, matematika berperan untuk melayani semua disiplin keilmuan untuk
dapat meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu tersebut.

Statistika
Alkisah, diceritakan seorang anak bernama I Belog disuruh membeli sebungkus korek
api oleh ibunya. Ibunya berpesan agar dia membeli korek api yang baik atau mudah menyala.
Tidak lama kemudia I Belog datang dengan wajah sumingrah menghadap ibunya dan
menyerahkan sebungkus korek api yang semuanya sudah dicobanya, dengan berkata Bu, korek
apinya benar-benar bagus bu!, semua sudah saya coba menyalakannya dan semuanya menyala
dengan baik.
Tak seorangpun dapat menyalahkan kesahihan penarikan kesimpulan yang dilakukan
oleh I Belog. Bila penarikan kesimpulan seperti itu dilakukan tentu tidak akan ada pedagang
durian yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan. Untuk memenangkan undian kupon
berhadiah, apakah kita harus membeli semua kupon undiannya? Begitu juga, seorang peneliti,
ingin mengetahui pandangan penduduk Bali terhadap terorisme setelah Bom Bali I dan II harus
menanyai 2,5 juta penduduk Bali?, tentu tidak demikian. Untuk mengatasi persoalan ini maka
Prancis Blaise Pascal (1623- 1662), seorang jenius dalam bidang matematika yang pada usia 16
tahun telah menghasilkan karya-karya ilmiah yang mengagumkan telah menghasilkan teori
peluang (probability).
Peluang yang merupakan dasar teori statistika, merupakan konsep baru yang tidak dikenal
dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi dan bahkan Eropa pada abad pertengahan. Begitu dasar-
dasar peluang ini berkembang, maka ilmu-statistika mengalami perkembangan pesat.
Penelitian ilmiah, baik yang berupa survei maupun eksperimen, dilakukan dengan lebih
cermat dan teliti mempergunakan teknik-teknik statistika yang diperkembangkan sesuai dengan
kebutuhan. Statistika juga memberikan kemampuan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu
hubungan kausalitas antara dua variabel atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar
terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris. Sebagai contoh, mahasiswa memberikan
perlakuan terhadap satu kelas siswa SMP dengan memberikan tugas portofolio dalam
pembelajaran mengarang (Bahasa Indonesia). Berdasarkan kajian teoritis dengan memberikan
tugas portofolio mengakibatkan prestasi siswa menjadi lebih baik. Untuk mengetes apakah
pemberian tugas portofolio kepada siswa dapat meningkatkan prestasi belajarnya maka dilakukan
uji statistik, seperti uji korelasi atau uji regresi, atau uji beda-t bila ada kelas kontrolnya.
Penarikan kesimpulan secara statistik memungkinkan kita untuk melakukan kegiatan
ilmiah secara ekonomis, di mana tanpa statistika hal ini tak mungkin dilakukan. Statistik
memungkinkan kita untuk menarik kesimpulan secara induktif berdasarkan peluang tersebut.
Mereka yang berkecimpung dalam kegiatan ilmiah harus dibekali dengan penguasaan statistika
yang cukup agar kesimpulan yang ditariknya merupakan kesimpulan yang sah.

Rangkuman
RangkumanRa
Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik dan benar dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan diperlukan sarana berpikir, yaitu bahasa, logika, matematika, dan
statistika. Tersedianya sarana berpikir tersebut memungkinkan dilakukannya penelitian
ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan sarana berpikir ilmiah ini merupakan suatu
hal yang bersifat imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini maka
kegiatan ilmiah yang baik tak akan bisa terlaksana.

Soal Latihan

(1) Jelaskan kenapa sarana berpikir merupakan bagian penting dalam


mengembangkan ilmu pengetahuan.
(2) Jelaskan peranan bahasa dalam pengembangan ilmu
(3) Apakah matematika tergolong ilmu ? Berikan penjelasan jawaban anda.
(4) Jelaskan peranan logika dalam pengembangan ilmu.
(5) Kenapa statistik penting untuk kemajuan ilmu pengetahuan?

Anda mungkin juga menyukai