Anda di halaman 1dari 69

ILMU LOGIKA

Oleh Dr. Fariz Pari

I. Pendahuluan
Banyak buku logika yang beredar di masyarakat, yang membicarakan tentang
ilmu cara berpikir yang benar. Buku ini akan menjelaskan proses akal pikiran pada diri
manusia, bukan sebagai proses medis biologis atau reaksi fisiko-kimiawi, tetapi proses
cara kerja berpikir manusia sebagai logika. Dalam konteks ini logika didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari proses beripikir, yaitu yang menggambarkan proses
pikiran setiap manusia. Dengan demikian, logika tidak didefinisikan dengan ilmu yang
mempelajari cara berpikir benar atau tepat, sebagaimana yang ada dalam buku-buku
logika yang lain. Penegasan ini penting, karena pada umumnya manusia tidak mengerti
proses berpikir dirinya sendiri, walaupun sudah pandai menggunakannya. Hal ini tidak
berarti bahwa dalam buku ini tidak dibicarakan benar atau salahnya pikiran. Namun,
bagaimana kita bisa mengerti benar-salah pikiran, sementara dirinya tidak mengerti
proses pikirannya sendiri, dan ironisnya, hal ini yang terjadi pada kehidupan kita sehari-
hari. Sehingga pada dasarnya, benar-salah pikiran yang ditujukan, baik pada diri sendiri
ataupun orang lain, yang dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari, hanya merupakan
doktrin yang tidak dimengerti.
D samping itu, secara isi material tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Hanya
sedikit buku logika yang dapat dipetanggung-jawabkan. Kekeliruan yang banyak terjadi
dalam buku-buku logika adalah mencampur-adukkan antara ilmu logika dengan ilmu
bahasa, sehingga di antaranya ada yang membicarakan tentang makna denotasi dan
konotasi dalam proses kegiatan berpikir ilmu logika. Padahal konteks pembicaraan
denotasi dan konotasi merupakan wilayah ilmu bahasa. Hal ini membuat rancu dan
membingungkan pembaca, karena tidak ada perbedaan yang jelas antara ilmu logika
dengan ilmu bahasa.
Cara membedakan antara ilmu logika dengan ilmu bahasa adalah dengan
membedakan antara proses dan isi logika. Oleh karena itu dalam buku ini dibedakan
antara proses logika dengan isi logika. Antara proses dan isi logika tidak dapat
dipisahkan, namun dapat dibedakan. Proses logika ini yang menjadi fokus kajian logika.
Proses logika menunjukkan apa yang terjadi pada diri manusia ketika pikirannya
berproses atau bekerja. Sedangkan isi logika menunjukkan apa yang terdapat dalam
logika (pikiran) atau kandungan dalam pikiran ketika logika bekerja.
Dalam konteks logika Aristoteles, antara logika dan bahasa tidak dapat
dipisahkan, namun dapat dibedakan, sebagaimana akan ditunjukkan dalam buku ini.
Bahkan dalam konteks semiotik yang dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce,
seorang pendiri (bapak) filsafat Pragmatisme dan salah satu pendiri (bapak) semiotik1,
mendefinisikan semiotik sebagai ilmu logika. Semiotik Peirce berpandangan bahwa
apapun adalah tanda (anything is sign) yang disebut “Pan Semiotik”, sehingga manusia
berpikir dengan tanda, dan bahasa hanya salah satu bagian saja dari tanda.
Logika sebagai ilmu pengetahuan merupakan salah satu cabang dari ilmu
filsafat. Ilmu filsafat secara garis besar mempunyai tiga objek kajian, yaitu, pertama;
ontologi (mabhas al-wujud) yang membahas tentang hakekat yang ada (being/wujûd).

1
Pendiri ilmu semiotik yang lain adalah Ferdinand de Saussure yang menyebutnya dengan
semiologi, dan Saussure juga dikenal sebagai pendiri Strukturalisme bahasa yang berkembang di
Perancis.

1
Kedua; epistemologi (al-nazhriyah al-ma”rifah) yang membahas tentang cara untuk
memperoleh pengetahuan. Ketiga; aksiologi (al-qayyim al-ulyâ) yang membahas
tentang nilai-nilai baik-buruk sebagai etika, dan indah-jelek sebagai estetika. Dengan
demikian logika merupakan ilmu filsafat yang berada di wilayah objek kajian
epistemologi.
Sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat membenarkan dan
menyalahkan pikiran diri kita sendiri ataupun orang lain. Oleh karena itu perlu
ditegaskan bahwa pembahasan tetang benar-salah merupakan objek kajian epistemologi.
Sehingga dalam ilmu logika pun dibicarakan tentang benar-salah.2
Dalam sejarahnya, ilmu logika yang dibangun oleh Aristoteles diterjemahkan
dan diuraikan oleh para filosof Muslim, dan mereka menerjemahkan logika menjadi
mantiq dalam bahasa Arab, yang sekarang dipelajari di pesantren-pesantren tradisional
di Indonesia. Oleh karena itu, dalam buku ini diupayakan ada padanan istilah antara
logika dan mantiq.
Di samping itu buku ini diupayakan disusun tidak dimulai dari pengertian atau
definisi dari suatu istilah atau term kemudian baru diuraikan penjelasannya. Buku ini
berupaya memulai penjelasannya dari realitas apa yang dibicarakan atau dijelaskan
dalam logika, yang kemudian baru menunjukkan istilah yang digunakan untuk realitas
yang dibicarakan tersebut dalam logika. Atau dengan kata lain, buku ini mulai dari
proses realitas yang menunjukkan bagaimana suatu istilah tertentu muncul dalam logika
atau mengapa istilah itu ada dalam logika. Cara seperti ini digunakan dengan tujuan
untuk lebih memudahkan mengerti atau memahami konteks yang dibicarakan atau
dijelaskan dalam ilmu tersebut. Sehingga tidak terjebak dengan menghapal istilah dan
maksud dari istilah tersebut. Di samping itu, karena dalam buku ini dipadankan dengan
istilah dalam mantiq, maka upaya mendahulukan proses dan realitas yang dibicarakan
dari pada istilah penunjukkannya, untuk mereduksi kesalahpahaman dalam memahami
istilah-istilah yang digunakan tersebut. Karena jika mendahulukan istilah dan tentunya
istilah yang digunakan antara logika dan mantiq berbeda, kemudian menjelaskan
definisi dari istilah tersebut, tentunya dapat ditemukan perbedaan definisi dan
penjelasan yang berbeda antara logika dan mantiq, walaupun maksud atau realitas yang
dibicarakannya sama.

II. SEJARAH
Pada sekitar abad 5 SM, di Yunani ada sekelompok filosof yang dikenal sebagai
kaum Sofis. Kata sofis di ambil dari kata sophia, yang merupakan pasangan kata
philosophia. Dengan kata lain, secara etimologi, kata philosophia berasal dari kata philo
dan sophia, dari bahasa Latin. Kata philo berarti cinta, dan kata sophia berarti bijaksana.
Sehingga kata philosophia berarti cinta kebijaksanaan. Namun demikian philosophia
sering diartikan dengan cinta (ilmu) pengetahuan.

2
Para sarjana klasik memasukkan mantiq menjadi bagian dari aksiologi. Sebab menurut mereka
cakupan aksiologi adalah baik-buruk, indah-jelek, dan benar salah. Benar salah adalah kajian dari logika.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, para filosof sudah mulai untuk memetakkan kembali, yaitu
benar dan salah bukan bagian dari aksiologi. Jadi, mantiq bukan menjadi bagian dari aksiologi lagi. Selain
itu, perubahan ini terjadi juga karena adanya pergeseran definisi mantiq dari tradisional ke definisi yang
kontemporer. Untuk keterangan lebih lanjut ada pada, Yahya Huwaidi, Mantiq al-Burhan, (Kairo:
Maktabah al-Qahirah al-Haditsah, 1980), h. 3-53, Taufiq al-Thawil, Usus al-Falsafah (Kairo: Dar al-
Nahdhah, 1979), h. 88-89 dan 406-

2
Penalaran dari perubahan arti tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Syarat
mutlak untuk dapat menjadi orang yang bijaksana adalah mempunyai pengetahuan yang
luas. Artinya, jika seseorang tidak mempunyai pengetahuan yang luas tidak dapat
berbuat bijaksana. Bijaksana adalah buah hasil dari pengetahuan yang luas. Orang yang
berpengetahuan luas akan menjadi rujukan tempat bertanya orang-orang untuk
memperoleh jawaban dari permasalahan yang dihadapi. Untuk dapat menjawab masalah
yang ditanyakan kepadanya, tentunya, filosof tersebut harus sudah mempunyai
pengetahuan tentang permasalahan tersebut, sehingga dapat memberi jawaban yang
tepat kepada penanyanya. Jika sebaliknya, filosof tersebut tidak mempunyai
pengetahuan, tentunya ia tidak akan dapat menjawab permasalahan yang ditanyakan.
Oleh karena itu, syarat untuk menjadi orang yang bijaksana adalah mempunyai (ilmu)
pengetahuan yang luas. Sedangkan untuk memperoleh (ilmu) pengetahuan yang luas,
orang tersebut perlu memiliki kecintaan terlebih dahulu terhadap (ilmu) pengetahuan,
sehingga ia tidak akan pernah bosan dalam bergelut, mengembang, dan meluaskan
(ilmu) pengetahuan.
Kaum sofis pada masa itu dikenal pintar-pintar dan ahli dalam berdebat dalam
membahas berbagai masalah. Namun, karena masing-masing merasa yakin dan benar
dengan (ilmu) pengetahuan yang dimilikinya dan argumentasi yang dikemukakannya,
mengakibatkan kebingungan di masyarakat umum. Karena, di antara para sofis tersebut
mempunyai jawaban dan argumentasi yang berbeda-beda, sesuai dengan pengetahuan
dan latar belakang masing-masing para sofis tersebut. Sehingga membingungkan
masyarakat umum untuk memilih dan menentukan kebenaran jawaban dan argumentasi
yang dikemukakan oleh para sofis tersebut.
Aristoteles (Aristotle) yang juga hidup masa tersebut (abad 5SM), kemudian,
menyusun ilmu logika ini dalam karyanya, untuk menjadi panduan berpikir dan
memberi argumentasi, sehingga dapat diketahui apakah pikiran dan cara berpikirnya
dapat dipertanggung-jawabkan atau tidak. Sehingga Aristoteles ini yang dianggap
sebagai penyusun pertama ilmu logika. Pada dasarnya, ilmu logika membahas cara
berpikir manusia yang sistematis, sehingga dapat dipertanggung-jawabkan. Dengan kata
lain pertanggung-jawaban cara berpikir manusia adalah pada sistematis-nya pikiran.
Kata term “penyusun” pertama bagi Aristoteles dipilih, untuk menunjukkan
bahwa logika sebagai proses berpikir telah dilakukan atau digunakan oleh setiap
individu manusia, baik oleh anak kecil maupun orang dewasa, tanpa kecuali apakah
individu tersebut berpendidikan ataupun tidak, namun proses berpikirnya pada
umumnya belum sistematis. Aristoteles menyusun cara berpikir yang sistematis dalam
karyanya tersebut.
Logika sebagai bagian dari berfikir sudah ada sejak manusia ada. Manusia
dilahirkan membawa bekal akal untuk berfikir. Oleh karena itu, manusia dapat
dibedakan dengan yang lain karena proses berfikir tersebut. Irwin D.J. Bros
menyatakan bahwa manusia adalah hewan yang mengambil putusan.3 Manusia berfikir
ini digambarkan sebagai proses pencarian diri. Dalam al-Qur”an dikenal cerita
Ibrahim dalam pergolakannya mencari jati dirinya dan mencari Tuhannya
menggunakan media ilmu yang ia punyai. Ia dalam mencari itu menggunakan

3
Pemikiran bahwa manusia adalah makhluk homo sapiens ini menurut Andi Hakim nasution
sudah ada sejak masa Adam, sedangkan manusia yang sebelum Adam seperti manusia Cro Magnon,
Neanderthal dan pithecanthropus tidak dianggap sebagai kaum Adam dan bukan bagian dari Homo
sapiens. Andi Hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1999), h.
4.

3
kerbaungka berfikir positivistik yaitu menggunakan rasio dan empiris.4 Bukti dari cara
berfikir positivistik adalah ketika mencoba untuk memahami hakekat Tuhan dan
mendobrak cara berfikir mengenai Tuhan pada masanya. Ibrahim mencoba melihat
fenomena alam dengan penglihatan panca indera, sampai panca indera itu dapat
menemukan sebuah kebenaran bahwa Tuhan bukan sesuatu yang dapat diindra.5
Sedangkan khusus mengenai logika/mantiq dalam pembahasan ini, menurut
beberapa ahli berasal dari tokoh yang dimulai dari Yunani,6 mereka yang pertama
menggunakan ini adalah kaum sofis yang selalu membuat argumen agar pendapat dan
pemikiran unggul walaupun hal itu salah. Setelah itu muncul Plato yang mencoba
untuk memberikan argumentasi yang logis walaupun masih dalam tataran sederhana.
Kemudian muncul Aristoteles (384-322 SM) yang mengumpulkan dan
mensistematisasikan dalam bentuk karya yang biasa disebut dengan organon.
Pemikiran ini berkembang dan terus berjalan dengan baik sampai kemudian ditemukan
oleh beberapa sarjana Muslim yang kemudian berkembang di dunia Islam. Sementara
itu, didunia barat logika juga tetap berjalan.
Perjalanan menjadi logika ini secara lebih terperinci adalah bermula dari
tokoh stoa yaitu Zeno dari Citium (340-265 SM) yang pertama kali menggunakan
istilah logika. Namun begitu akar logika sudah ada dalam pikiran dialektis para filosof
mazhab Elea (490 SM). Mereka telah melihat identitas dan perlawanan asas dan
realitas. Tetapi, secara eksplisit pemikiran muncul pada masa sopistik terutama pada
Gorgias dan Lionti yang mempermasalahkan penggunaan bahasa dalam kegiatan
pemikiran.
Kemudian muncul Sokrates (470-399) dengan metode ironi dan maiutika
yang berarti mengembangkan metode induktif. Dalam motede ini dikumpulkan contoh
dan peristiwa konkret untuk kemudian dicari ciri umumnya. Pemikiran ini
dikembangkan oleh Plato, di mana menurutnya ide adalah bentuk model yang bersifat
umum dan sempurna (prototype), sedangkan benda individual duniawi hanya
merupakan bentuk tiruan yang tidak sempurna, yang disebut dengan ectypa. Dasar ide
inilah yang mengilhami munculnya logika yang kemudian dijadikan sebagai bagian
dari ilmu oleh Aristoteles.

4
Ibrahim adalah Nabi yang dianggap sebagai bapak dari agama-agama langit. Ia hidup kurang
lebih abad ke dua puluh sebelum Masehi, namun ada juga yang menyatakan bahwa ia ada pada abad 3
sebelum masehi. Karen Amstrong, Sejarah Tuhan (Bandung: Mizan, 2001), h. 37
5
Cerita ibrahim ini direkam dengan bahasa yang baik dalam al-Qur”an yaitu pada surat al-
An”am/6: 74-78.
6
Secara garis besar membicarakan sejarah perkembangan logika dapat dibagi menjadi beberapa
peride, yaitu periode logika klasik, logika India, logika China, logika Arab, logika abad pertengahan
Eropa, interegnum (logika antara abad pertengahan dan modern), menginjak modern, logika modern,
pengaruh Kant dan John Stuart Mill dan logika modern saat ini. Periode tersebut mempunyai tokoh
sendiri-sendiri. Contohnya pada logika klasik muncul tokoh Aristoteles, Zeno, Plato, theophratus dan lain
sebagainya. Logika India biasa merujuk pada buku Nyaya, Mimansa, vaisesika dan lain sebagainya.
Logika Cina muncul pada masa Moist pada abad kelima sebelum Masehi, kemudian berkembang seperti
munculnya pemikiran Hsun tzu (313-238 SM) dan Neo-Taoism. Di Arab muncul al-Farabi, Ibn Sina, Ibn
Taimiyyah dan lain sebagainya. Pada masa abad pertengahan Eropa muncul Peter Damian (1007-1072),
Peter Abelard (1079-1142)Thomas Aquinas (1224-1274) dan lain sebagainya. Pada masa Interregnum
yaitu masa antara skolastik pertengahan dan logika matematika modern. Tokoh yang muncul yaitu
Lorenzo Valla (1407-1457), Melanchon (1497-1560), Peter Ramus dan lain sebagainya. Logika pada
awal modern tokoh yang muncul adalah Wilhelm Leibniz (1646-1716), Leonhard Euler (1707-1783),
Johann Heinrich Lambert (1728-1777) dan lain sebagainya. Sedangkan masa modern muncul Hamilton,
william Stanley Jevons dan lain sebagainya. Mereka semua mempunyai ciri khas dan kontribusi pada
masanya sendiri. Untuk keterangan secara sederhana dapat dilihat pada, Paul Edward (ed), Encyclopedia
of Philosophy (London: Macmillan Publiser, 1967), vol. 4., h. 513-562.

4
Karya Aristoteles ini dikenal dengan organon yang membahas mengenai
categoris, de Interpretatione, prior analityc, pasteriol analityc, topics dan de
sophisticis elenchis. Karya Aristoteles dan beberapa pengembangan setelahnya inilah
yang dikenal oleh para sarjana Islam (arab) awal.
Perkenalan awal ini dimulai pada masa Bani Umaiyah (40/661- 132/750).7
Pada masa itu terjadi invasi ke daerah lain yang sampai pada daerah Mesir, Syam
bahkan sampai pada Irak dan Persia, di mana daerah tersebut telah terkena Helenisasi.
Dalam perluasan itu mengakibatkan adanya interaksi antara kelompok yang menang
dan kalah, dan tidak mengenal agama dan suku. Mereka dapat berinteraksi secara
bebas dan saling menghargai.8
Pada abad ke-7 M, karya-karya Aristoteles dibaca dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab oleh para sarjana Muslim, termasuk “Logika” di samping karya-karya
lainnya, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, khususnya pada masa kerbaujaan
Abbasiyah. Para sarjana Muslim tersebut selain menerjemahkan juga memberi komentar
pada karya Aristoteles tersebut, bahkan, Ibnu Sina memberi komentar sebanyak 9 jilid
untuk “Ilmu Logika” tersebut. Padahal ilmu logika Aristoteles dalam “Interpretation”
tidak mencapai 100 halaman isinya. Di Indonesia, ilmu logika ini di pelajari di
pesantren-pesantren yang dikenal dengan nama “MANTIQ”, sebagai terjemahan dari
kata “LOGIKA”, bahkan kaidah-kaidah dalam mantiq disusun dalam bentuk syair,
dalam buku yang disebut di kalangan pesantren Indonesia sebagai “kitab kuning”.
Penerjemahan, komentar, dan penggunaan sekarang di pesantren-pesantren tradisional
di Indonesia, jika ditinjau isinya, tidak ada perbedaan mendasar antara logika dan
mantiq. Hal ini menunjukkan ada unsur-unsur universal dalam logika yang disusun oleh
Aristoteles, sebagaimana nanti akan ditunjukkan dalam buku ini. Atau, setidaknya ada
kesesuaian proses berpikir antara yang digambarkan oleh Aristoteles dengan yang
dialami dan diamati oleh individu muslim itu sendiri.
Dalam interaksi dengan daerah-daerah tersebut, orang-orang Muslim (Arab)
dapat mempelajari filsafat terutama filsafat Neoplatonisme dan Aristotelian dan
beberapa cabangnya. Hanya saja ketika sudah masuk dalam pemikiran Islam banyak
mengalami perubahan. Contohnya filsafat Neoplatonisme yang pada awalnya adalah
filsafat orang yang pagan (musyrik) ketika masuk ke dalam Islam menjadi filsafat
yang bernuansa tauhid. Neoplatonisme pertama diajarkan Plotinus (205-270) di mana
ajaran ini adalah ajaran Plato yang sudah mulai berinteraksi dengan agama wahyu.
Sebab Plotinus, yang diperkirakan orang Mesir hulu yang sudah mulai terkena
pengaruh Helenisme, mengajarkan tentang konsep the one sebagai prinsip tertinggi
atau sumber segala. Lebih dari itu Plotinus dianggap sebagai missapi yang telah
menyatu kepada Tuhan.9
Aristotelian juga salah satu yang mempengaruhi pemikiran filsafat Arab, di
mana hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pengakuan bahwa Aristoteles adalah

7
Sebetulnya para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai sejarah ini, ada yang menetapkan pada
masa Abbasiyyah dan ada pula yang menyatakan pada masa Umayyah. Seyyed Hossein Nasr & Oliver
Leaman, (ed) History of Islamic Philosophy (London: Routledge, 1996), h. 802. Hal ini dilihat dari segi
sejarah. Artinya dalam sejarah orang Islam baru mengenal ilmu pengetahuan dari luar setelah mereka
berinteraksi dengan orang-orang di luar Arab. Namun jika di lihat dari semangat ideologi, sebenarnya
masalah seperti ini sudah disinggung dalam al-QurӉn walaupun ada beberapa perbedaan dan juga sudah
dalam struktur bahasa Arab asli (nahwu) juga dengan beberapa perbedaannya.
8
Hal ini sebagaimana analisa Cak Nur yang berdasarkan catatan Halkin, Nurchalish Madjid,
Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta:Paramadina, 1996), h. 221-222.
9
Bahkan Syaikh al-Isyrâq Suhrawardî tidak mengakui kepaganan Plato, menurutnya Plato itu
adalah termasuk orang yang beriman. Syihâb al-Dîn Suhrawardî, Majmû”ah Mushannifât Syaikh al-
Isyrâq (Tehran: Institut d”Etudes et des Recherches Culturelles, 1993), jilid 2., h. 10.

5
guru pertama (al-mu”alim al-awwal). Hanya saja ada sarjana yang menyatakan bahwa
filsafat Aristoteles yang dipahami oleh kaum Muslim itu bukan yang asli namun ajaran
para penafsirnya (Aristotelisme).10 Sehingga yang masuk dalam dunia Islam adalah
filsafat yang bersifat pedagogik yang bermetode skolalistik dan kecenderungannya
logik dan metafisik. Khusus mengenai logika ini sangat berpengaruh dalam dunia
Islam dengan munculnya Ilmu Kalam11 dan Ushûl Fiqh.12
Sedangkan yang membuat kelompok Islam mau menerima filsafat atau
khususnya logika ini adalah; pertama, adanya kebebasan berfikir dari kalangan umat
Islam kepada orang-orang yang telah dikalahkan, bahkan terjadi interaksi atas mereka
mengenai beberapa hal sampai pada masalah yang mendasar (I”tiqâd). Kedua,
kelompok Muslim menerima ilmu dari kelompok Yunani walaupun mereka tidak
menerima ajaran itu sepenuhnya.13
Perjalanan ilmu menurut al-Fârâbî pertama terdapat di kalangan orang-orang
Kaldea, yang merupakan bangsa Irak, kemudian bangsa Mesir. Dari sini lantas
diteruskan pada bangsa Yunani dan bertahan di situ hingga diwariskan pada bangsa
Syiria dan Iskandariyah yang kemudian menuju Anthaqiya. Kemudian ilmu itu berada
di situ dalam beberapa tahun. Pada masa itu yang ada hanya satu guru dan dua murid.
Di antara orang itu adalah Yuhana Ibn Haikan yang kemudian pindah ke Baghdad.14
Adapun filosof Islam pertama dari Arab adalah al-Kindi.15 Khusus mengenai logika
yang diperoleh kaum Muslim dapat dibuktikan dengan pertama adanya pemahaman
dan pengaruh ilmu Kalam di mana metodologinya terpengaruh oleh logika Aristoteles.
Kedua orang Islam pertama menerjemahkan logika dengan bahasa Organon.16 Artinya
organon bahasa Asli yang diperoleh dari bahasa Yunani bukan dari bahasa lainnya.
Permulaan penerjemahan ketika khalifah Khâlid ibn Yazîd (w. 704 M) memerintahkan
orang-orang Yunani yang tinggal di Iskandariyah untuk menerjemahkan teks dari
bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab.17

10
Di antaranya adalah Peter, di mana ia mengutip dari kitab Fihris yang menyatakan bahwa yang
ditemukan oleh orang muslim itu adalah sebuah rumah kosong yang berisi buku. Selain itu pendapat ini
juga di dukung oleh adanya rentang waktu yang begitu jauh antara Islam dan Yunani dan dalam rentang
waktu itu, filsafat telah diobrak abrik oleh kelompok Helenisme dan Yahudi. F.E. Peters, Aristotle and the
Arabs (New York: New York University Press, 1968), h. 7.
11
Dalam Kalam, salah satu contoh adalah Abû Hudzail al-”Allâf dan al-Nizhâm, di mana hidup
pada masa al-Kindî dan dalam mengungkapkan pendapatnya selalu menggunakan logika Aristoteles. Abû
al-Fath Muhammad Ibn “Abd al-Karîm Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dâr al-Kutub al-
”Ilmiyah, tt), h. 44.
12 Ungkapan ushul fiqh mencakup juga masalah fiqh. Dalam Ushul dapat ditemukan pembahasan

mengenai Qiyâs dan begitu juga beberapa metode penetapan hukum Fiqh yang dilakukan oleh Imam
Madzhab. Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Jam”al-Jawâmi”(Semarang: Thaha Putra, tt), h. 202-356. Muhammad
“Âli al-Sâyis, Târikh al-Fiqh al-Islâmi (Makkah: Ihya” al-Turâts al-Islâmî, tt), h. 96.
13 “Ali Syâmi al-Nasyâr, Manâhij al-Bahts `Inda Mufakkirî al-Islâm (Beirut: Dâr al-Fikr al-

”Arabî,1947),h. 6
14 Pada Yuhana itu juga al-Fârâbî belajar Mantiq Aristoteles sampai pada bab burhan. “Abd al-

Rahmân al-Badawi (ed), al-Turats al-Yûnânî fi al-Hadhârah al-Islâmiyah (Kairo: Dâr al-Nahdhah al-
”Arabiyah, 1965), h. 61-62.
15 Abd al-Rahman al-Badawi, al-Turats, h. 60.
16 “Ali Syâmi al-Nasyâr, Manâhij al-Bahts `Inda Mufakkirî al-Islâm (Beirut: Dâr al-Fikr al-

”Arabî,1947), h. 7.
17 Dalam catatan al-Jâbirî yang dikutip dari Ibn Nadim bahwa penerjemahan yang dilakukan oleh

para ahli itu terutama adalah masalah kedokteran, kimia dan perbintangan. Ini menunjukkan sebenarnya
pengaruh hermenenis ada terlebih dahulu dibanding lainnya. Sedangkan pemikiran Aristoteles,
khususnya logika dan merupakan yang pertama dikenal muncul belakang. Muhammad “Abid al-Jâbirî,
Takwîn al-”Aql al-”Arabi (Beirut: al-Markaz al-Tsiqâfi al-”Arabî, 1991), h. 194 dan 221.

6
Berdasarkan logika ini juga para filosof mempunyai pandangan dan
pemikiran yang begitu modern pada saat itu. Akan tetapi perkembangan berfikir
mengenai logika tidak berjalan begitu mulus. Sebab pada masa tertentu ada beberapa
ulama yang mengharamkan berkembangnya logika, karena dikhawatirkan orang yang
mempelajari menjadi zindiq, kufur dan istilah lainya yang intinya menyalahi aturan
Islam. Pelarangan logika di mulai dari perintah Manshur ibn Abi Amir untuk
membakar seluruh kitab logika dan ilmu perbintangan, dan puncak dari pengharaman
ini ada pada ibn Shalah al-Syaharzuri yang memberi fatwa bahwa logika haram
dengan menggunakan logika berfikir sebagai berikut: “ adapun mantiq adalah
pengantar ke Filsafat dan pengantar ke arah yang jelek adalah jelek. Mempelajari dan
mengajarkannya bukanlah sesuatu yang diperkenankan oleh agama dan tidak ada salah
seorang sahabat, tabiin, para Imam, mujtahid dan kelompok salaf yang
mempelajarinya.18 Oleh karena itu, maka tidaklah mengherankan logika yang
berkembang di Islam tidak dapat berkembang dengan baik, sementara di dunia lain,
kritik dan bangunan logika terus berjalan sampai pada masa Abad modern
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Itulah sedikit mulai adanya pergolakan berfikir secara logis yang ada dalam
sejarah. Proses berfikir ini dalam pandangan al-Farabi (257/870-339/948) dimulai dari
keadaan manusia yang mempunyai potensi (fitrah) untuk bergerak dan berkreasi.
Selain itu, dengan kemampuan untuk berbuat seperti itu, manusia juga mempunyai
potensi untuk memikirkan, mengimajinasi, mengabtraksi dan menalar setiap yang ada.
Setelah itu, manusia mencoba untuk memilah dan membeda satu sama lain yang
kemudian untuk dapat dibedakan mulai dari bentuk yang sederhana sampai pada yang
kompleks dan begitu selanjutnya proses berfikir mulai ada dan berkembang sehingga
memunculkan cara berfikir dan bernalar sampai sekarang.19

2.1. Kedudukan logika dalam filsafat Islam


Dalam membahas ini akan dijelaskan dari sebagian para filosof saja. Hal ini
dimaksudkan untuk menunjukkan sebagai contoh besarnya perhatian para filosof
terhadap logika.
1. al-Farabi. Dalam salah satu karyanya, ia mendeskripsikan mengenai bagian-
bagian dari ilmu. Bagian ilmu yang klasifikasikan menjadi lima kelompok besar,
yaitu ilmu bahasa, logika, ilmu matematika, fisika dan metafisika, dan terakhir
ilmu politik.20
Khusus mengenai logika ia membagi menjadi delapan. Pertama, kategoris
(ma”qulat) yaitu membahas mengenai kaidah-kaidah yang mengatur
pengetahuan-pengetahuan atau gagasan-gagasan dan lafal-lafal sederhana yang
menyatakan pengetahuan-pengetahuan ini. Kedua, ibarah (interpretation) yaitu
kaidah-kaidah yang mengatur pernyataan atau proposisi sederhana yang
tersusun atas dua atau lebih pengetahuan sederhana. Ketiga, qiyas (prior
analitic) yaitu kaidah silogisme umum bagi lima seni silogistik-demonstratif
(burhan), dialektis (jadal), sofistik (safshathi), retorik (khatbiyah), dan puitis
(syi”ir). Keempat, posterior analitic (burhan) kaidah bukti demonstratif dan
18
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Tawfiq al-Thawil, Usus al-Falsafah, h. 413, lihat juga
pada, Muhammad ibn “Ali al-Shubban, (Surabaya: Maktabah al-Hidayah, tt), h. 40-4i
19 Untuk keterangan lebih lanjut ada pada, Abu Nashr al-Farabi, Kitâb al-Hurûf (Beirut: Dar al-

Masyriq, 1990), h. 131-137


20
Dari lima pembagian ini, al-Farabi masih membagi menjadi bagian-bagian terperinci dengan
berbagai kasus dan contohnya. Untuk keterangan lebih lanjut ada pada, Abu Nashr al-Farabi, Ihsha al-
Ulum (Kairo: Maktabah al-Anjalu, 1968),

7
kaidah-kaidah khusus yang mengatur seni filosofik. Kelima, topics (jadaliyah)
yaitu alat bantu untuk menemukan bukti dialektik, pertanyaan serta jawaban dan
kaidah-kadiah yang mengatur seni dialektik. Keenam, safsathi (sophistic
refutation) yaitu kaidah yang mengatur masalah yang dapat memalingkan
manusia dari kebenaran kepada kesalahan/kesesatan. Ketujuh, retoric (jadal)
berhubungan dengan kaidah yang dapat menguji dan mengevaluasi pernyataan
retoris. Kedelapan, poetic (syi”ir) kaidah yang membahas mengenai puisi
sebagai bentuk untuk mencari kebenaran.21
Penjelasan di atas menunjukkan betapa ketat pemikiran al-Farabi mengenai
logika. Baginya logika adalah pengetahuan sejauh ditunjukkan oleh lafal-lafal
dan berhubungan dengan lafal-lafal sejauh menunjukkan pengetahuan-
pengetahuan. Pada sisi lain ia menyebutkan bahwa logika adalah pemikiran-
pemikiran sebagaimana yang dinyatakan dalam lafal-lafal dan sebagaimana yang
dikaitkan dengan hal-hal. Logika tidak berhubungan dengan hal-hal
sebagaimana adanya atau dengan pengetahuan yang ada dalam pikiran itu. Akan
tetapi logika berhubungan dengan keadaan mental dan pengetahuan tak terduga
yang datang kemudian sebagaimana dinyatakan oleh subjek atau predikat ,
universalitas dan partikularitas predikasi dan esensialitas dan aksidentalitas
predikasi. Logika juga tidak berhubungan dengan lagal kebahasaan pada dirinya.
Namun logika hanya berhubungan dengan lafal sejauh lafal itu umum bagi
setiap bahasa. Logika berkaitan dengan penerbitan dan penyusunan
pengetahuan-dalam pikiran- yang dinyatakan dalam lafal.
Tujuan dari logika adalah untuk mengatur dan menuntun akal ke arah
pemikiran yang benar dalam hubungannya dengan setiap pengetahuan yang
mungkin salah; untuk melindungi pengetahuan tersebut dari kemungkinan salah;
memberikan suatu alat bantu dalam menguji atau memeriksa pengetahuan yang
mungkin tidak bebas dari kesalahan.22
Logika dalam pandangan al-Farabi tidak masuk bagian dari ilmu filosofis,
tetapi logika merupakan alat atau instrumen ilmu filosofis. Karena logika
sebagai ilmu maka harus mencakup setiap bentuk penalaran. Meskipun
penalaran demonstratif merupakan tujuan utama logika, namun penalaran selain
demontratif juga harus difahami. Hal ini dikarenakan dengan memahami yang
non demonstratif akan membantu seseorang untuk mengetahui dan membantu
memelihara dirinya agar tidak jatuh ke dalam pemakaian metode yang
menjerumuskan kepada kesalahan, tidak masuk kedalam opini dan khayalan
kebenaran belaka.
2. Ibn Sina. Ibn Sina sebagaimana al-Farabi juga menganggap logika bukan dari
filsafat namun merupakan alat untuk berfilsafat.23 Dalam membagi logika, Ibn
Sina menambah dari yang dibahas oleh al-Farabi yaitu menjadi sembilan,
dengan tambahan di bagian pertama dengan al-Alfazh al-Mufradah.24

21
Delapan cabang itu mempunyai bahasan-bahasan yang banyak, namun dalam hal ini hanya
disebutkan saja hanya untuk memberikan informasi, untuk keterangan lebih lanjut ada pada Abu Nashr al-
Farabi, Ihsha al-Ulum, h. 67-100
22
Abu Nashr al-Farabi, Ihsha al-Ulum h. 67
23
Pembahasan mengenai logika Ibn Sina dapat ditemukan hampir setiap dari karyanya. Dalam
membahas pokok filsafat ibn Sina tidak lupa untuk menulis mengenai logika dan bagian-bagiannya
walaupun dengan tingkat pembahasan yang berbeda. Contohnya dalam Uyun al-hikmah, al-Ta”liqat, al-
Syifa dan karya lainnya. pemikiran bahwa logika alat untuk berfilsafat juga dinyatakan oleh Ikhwan al-
Shafa dalam rasailnya.
24
Dalam hal ini Ibn Sina sudah mencoba untuk memasukkan bahasa dalam logika. Untuk
keterangan mengenai yang dimaksud dan bagian-bagian dari lafal ini dapat dilihat pada Contohnya, Ibn

8
3. al-Ghazali. Selama ini orang mengklaim adalah sarjana pertama yang
menghancurkan sistem pemikiran Islam dengan berbagai kritiknya, terutama
kritiknya yang terdapat dalam karyanya tahafut al-falasifah. Akan tetapi kritik
seperti itu tidak mempunyai alasan yang kuat. Sebab, tulisan al-ghazali ini
adalah bentuk atau ekspresi dari pergulatan intelektual anak zamannya.
Berkaitan dengan logika, al-Ghazali menulis setidaknya ada lima buku, yaitu
Maqashid al-Falasifah, Mi”yar al-Ilmi, Mahak al-Nazhar, al-Qisthas al-
Mustaqim, dan al-Mustashfa. Kelima buku tersebut membahas mengenai logika.
Buku pertama maqashid membahas mengenai logika, ilmu alam dan metafisika.
Buku ini ditulis di baghdad dan dimaksudkan untuk menjelaskan kekeliruan para
filosof hanya saja tidak sampai menyalahkan atau membenarkan. Buku kedua
mi”yar al-ilm adalah buku yang membahas khusus mengenai logika. Buku ini
juga ditulis di baghdad, tujuannya adalah untuk memberikan landasan berfikir
yang benar dan lurus bagi kaum muslim.25

Masih banyak lain lagi yang memperhatikan logika ini, namun ada yang
memberikan dukungan seperti Ibn Rusyd yang begitu kuat dalam menyarankan
penggunaan logika dan ada juga yang memberikan kritikan seperti yang telah
dijelaskan di atas.

2.2. Perubahan kedudukan logika


Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa logika ada yang mendudukan sebagai alat
untuk berfilsafat. Namun kemudian para ahli filsafat tradisional menjadikan logika
bagian dari aksiologi. Hal ini dikarenakan dalam aksiologi terdapat term benar dan
salah. Kemudian sesuai dengan perkembangan zaman, maka logika kemudian dianggap
sebagai bagian dari epistemologi. Sebab, salah satu kajian aksiologi-benar dan salah-
letaknya dianggap sebagai bagian dari epistemologi sehingga logika juga berubah
kedudukannya. Perubahan ini juga bermula dari perubahan dan perkembangan
mengenai definisi dan fungsi dari logika itu sendiri. Jadi, jika logika masih dianggap
bagian dari aksiologi maka yang terjadi adanya campur baur antara keindahan dan
kebenaran, akan terjadi keos antara bahasa dan logika. Padahal logika jelas-jelas lebih
universal dari kaidah bahasa dan bahasa hanyalah perantara untuk mengungkapkan
pemikiran. Bukan sebaliknya, bahasa menjadi menjadi prioritas dalam membahas
logika.
Akan tetapi secara tradisional logika adalah bagian dari ilmu yang mempersoalkan
pemikiran dan beberapa proses pembantunya. Dengan yang metodis dan sistematis ilmu
ini mempelajari syarat-syarat yang mesti dipenuhi agar supaya pikiran itu benar dan
kesalahan-kesalahan yang ada dapat ditemukan di hindari. Itulah sebabnya, berfikir
secara logis lebih baik daripada berfikir biasa, karena lebih sistematis dan lebih tepat.
Logika adalah ilmu dimana pokok persoalannya adalah pemikiran dan proses
pembantunya. Ilmu dengan cara yang sistematis mempelajari syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk dapat berfikir valid, dapat menghindari serta mengetahui kesalahan-
kesalahan yang terjadi. Logika adalah ilmu normatif karena ia tidak membicarakan
berfikir sebagaimana adanya, namun mengajarkan berfikir sebagaimana seharusnya, dan

Sina, “Uyun al-Hikmah (Beirut: Dar al-Qalam, 1980), h. 1-2. pemikiran ini juga diikuti oleh al-
Khawarizmi. Keterangan lebih lanjut ada pada Muhammad ibn Ahmad ibn Yusuf al-Khatib al-
Khawarizmi, Mafatih al-Ulum (Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, tt), h. 84-92
25
Sedangkan qisthas adalah logika berdasarkan al-Qur”an, al-mustashfa sebenarnya buku ushul
fiqh namun didepannya dituliskan mengenai perbedaan ushul dan logika. Untuk melihat perbandingan ini
dapat dilihat pada masing-masing buku. Akan tetapi secara sederhana dan mudah dapat dilihat pada Rafiq
al-”Ajam, al-Manthiq inda al-Ghazali (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h.

9
bagaimana berfikir yang baik. Ilmu ini memberikan norma-norma atau gagasan-gagasan
yaitu gagasan kebenaran, dan mencoba mengetahu syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk mencapai gagasan kebenaran itu.
Logika disebut bagian ilmu apabila memenuhi sepuluh syarat.26 Apabila telah
memenuhi sepuluh syarat dasar ini berarti ia sah dianggap sebagai ilmu. Seiring dengan
perkembangan pemikiran, maka logika juga berkembang. Untuk saat ini saja logika
dapat dipecah menjadi Contohnya; logika deduktif yaitu suatu usaha sistematis untuk
merumuskan aturan-aturan penarikan kesimpulan yang konsisten dan lengkap, juga
untuk menerapkan pada argumen-argumen yang disajikan secara formal. Selain itu juga
untuk menentukan apakah kesimpulannya dapat ditarik secara sah atau tidak sah dari
premis-premis.27
Logika deontik yaitu logika yang berkaitan dengan konsep-konsep seperti
kewajiban, permisibilitas, dan nonpemisibilitas, keharusan, kepatutan, kelayakan
kesifah koheren.
Logika dialektis, yaitu logika yang digunakan sebagai proses dialektis bukan
sebagai suatu analisis tentang bagaimana bentuk dapat diterapkan pada isi. Bentuk dan
isi bersatu secara tidak dapat dipisahkan di dalam suatu gerakan yang bukan saja
menggambarkan pola pikiran manusia melainkan juga melukiskan tiga keadaan yang
memungkinkan peristiwa-peristiwa alam terjadi. Tiga gerakan itu adalah tesis, sintesis
dan antitesis. Logika merupakan bagian tak terpisahkan dari materialisme dialektis, di
mana merupakan ilmu tentang hukum-hukum dan bentuk refleksi mental terhadap
perkembangan dunia objektif. Ia juga merupakan ilmu tentang hukum yang mengatur
kognisi tentang kebenaran.28
Logika formal yaitu ilmu yang mempejari bentuk-bentuk pemikiran (konsep,
putusan, dan pembuktian) berkenaan degan struktur logis, yaitu dengan abstraksi isi
konkret dari pikiran-pikiran dan menonjolkan hanya cara-cara umum yang olehnya
memungkinkan bagian-bagian dari isi itu berhubungan. Tugas pokok logika formal
adalah merumuskan hukum-hukum dan prinsip-prinsip . ketaatan terhadap hukum-
hukum dan prinsip ini merupakan suatu syarat untuk mencapai hasil-hasil yang sahih
dalam mengejar pengetahuan dengan deduksi.29
Logika induktifi yaitu logika yang berusaha untuk merumuskan aturan-aturan
yang memungkinkan pernyataan-pernyataan dapat ditentukan sebagai kuat atau
probabel secara empiris, juga untuk merumuskan prosedur-prosedur sistematis untuk
mengemukakan penarikan-penarikan kesimpulan atau argumen non deduktif. Logika ini
juga untuk menentukan derajat konfirmasi atau probabilitas yang mungkin untuk
ditentukan bagi premis-premisnya. Selain itu, juga untuk menarik kesimpulan bukan
dari pernyataan umum melainkan dari pernyataan khusus.30 Dan masih banyak lagi
mengenai bentuk-bentuk logika ini.

26
Dalam tradisi Islam klasik ada sepuluh hal yang harus dipenuhi apabila ia dianggap ilmu.
Sepuluh syarat itu biasa dilagukan dengan
‫مسائل‬+ ‫ واالسم االستمداد حكم الشارع‬+‫وفضله ونسبة والواضع‬+ ‫ الحد والموضوع ثم الثمرة‬+ ‫ان مبادء كل فن عشره‬
‫ومن درى الجميع حاز الشرف‬+ ‫والبعض بالبعض اكتفى‬
Untuk keterangan lebih lanjut ada pada, Ali Shiban, Sullam Mulawwi h.35
27
Tokoh-tokoh dari ini adalah................
28
Tokoh utama dari logika ini adalah Hegel, Karl Marx dan Engels.
29
Logika ini biasa juga disebutk dengan logika tradisional di mana tokoh utamanya adalah
Aristoteles dan yang paling banyak dikenal dan dikembangkan oleh sarjana Muslim pada masa
perkembangan pemikiran Islam.
30
Logika ini dimotori oleh John Stuart Mill, W. Whewel dan beberapa tokoh lain.

10
III. Rasio-Akal: Antara Isi (kontekstual) dan Proses
(Universal)
Manusia sampai saat ini merasa sebagai satu-satunya makhluk yang paling
unggul dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain di muka bumi ini. Bukti paling
unggul yang paling dibanggakan adalah karena memiliki akal atau rasio.
Akal oleh manusia dianggap sebagai essensi manusia, yaitu yang menjadikan
manusia menjadi manusia dan yang membedakan manusia dengan yang lainnya.
Artinya, kita sebagai manusia disebut manusia karena akalnya. Jika akalnya hilang
maka hilang juga statusnya sebagai manusia, sehingga ia tidak layak disebut manusia
lagi dan diberi sebutan lain seperti nama-nama hewan, atau disebut gila atau tidak
waras, bahkan devil.
Pengagungan terhadap akal yang berlebihan mengakibatkan unsur-unsur
manusia yang lain menjadi dikesampingkan, sehingga dalam kehidupan sehari-hari
dianggap sebagai bukan bagian dari diri manusia. Walaupun ada yang menganggap
sebagai bagian dari manusia, sebagai sasuatu yang buruk atau negatif dalam diri
manusia, Contohnya emosi, dengan ungkapan “wah kamu emosional dan tidak rasional”
atau “kamu emosional sehingga tidak rasional”. Sehingga perempuan yang dianggap
sering dianggap sebagai orang yang lebih didominasi oleh perasaannya menjadi
dianggap lemah.
Beruntung sekarang telah berkembang penelitian dan teori tentang kecerdasan
emosi (Emotional Quest) yang dikembangkan di antaranya oleh Daniel Coleman dan
epistemologi feminis, yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosi lebih unggul,
khususnya dalam pergaulan dengan sesama, dari kecerdasan akal yang diindikasikan
kecerdasan IQ (Intellectual Quest), yang dikembangkan dalam tradisi Barat. Dalam
tradisi Islam kecerdasan emosi dikembangkan dalam tradisi Sufi yang disebut dengan
dzawq (rasa) yang mempunyai kemampuan untuk dapat berhubungan dengan Tuhan,
yang tidak dimiliki oleh kemampuan rasional. Penggambaran ini dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa kecerdasan manusia tidak hanya akal saja, tetapi ada kecerdasan-
kecerdasan lain dalam diri manusia. Walaupun demikian, penggambaran ini juga tidak
dimasudkan untuk penegasian kecerdasan akal, tetapi untuk menempatkannya pada
fungsi dan kedudukannya masing-masing.
Buku ini akan menjelaskan proses akal pikiran pada diri manusia, bukan sebagai
proses medis biologis atau reaksi fisiko-kimiawi, tetapi proses cara kerja berpikir
manusia sebagai logika. Dalam konteks ini logika didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari proses beripikir, yaitu yang menggambarkan proses pikiran setiap manusia.
Dengan demikian, logika tidak didefinisikan dengan ilmu yang mempelajari cara
berpikir benar atau tepat, sebagaimana yang ada dalam buku-buku logika yang lain.
Penegasan ini penting, karena pada umumnya manusia tidak mengerti proses berpikir
dirinya sendiri, walaupun sudah pandai menggunakannya. Hal ini tidak berarti bahwa
dalam buku ini tidak dibicarakan benar atau salahnya pikiran. Namun, bagaimana kita
bisa mengerti benar-salah pikiran, sementara dirinya tidak mengerti proses pikirannya
sendiri, dan ironisnya, hal ini yang terjadi pada kehidupan kita sehari-hari.
Dalam konteks logika ada dua hal yang tidak dapat dipisahkan sebagai satu
kesatuan, tetapi dapat dibedakan, yaitu antara proses berpikir logika dengan isi pikiran
logika. Di antara keduanya tidak dapat dipisahkan karena di dalam proses berpikir
terkandung di dalamnya isi pikiran, artinya tidak bisa menjelaskan proses pikiran tanpa
melibatkan isi pikiran. Demikian juga sebaliknya, tidak bisa menjelaskan isi pikiran
tanpa melibatkan proses pikiran. Namun demikian antara keduanya, proses dan isi
pikiran, dapat dibedakan. Pembedaan ini penting karena ada perbedaan yang mendasar
11
antara isi dan proses pikiran. Ketidakmampuan membedakan akan membuat rancu
kekhususan ilmu logika dengan ilmu lain yang berkaitan dengan logika, seperti
Contohnya ilmu bahasa.
Isi akal pikiran bersifat kontekstual, artinya dapat berbeda antara satu individu
dengan individu lain, atau antara individu dengan kelompok individunya, atau antara
satu kelompok individu dengan kelompok individu lain, antara satu kelompok
masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya, antara satu konteks wilayah dengan
wilayah lainnya. Sedangkan proses berpikir bersifat universal, artinya proses berpikir
tersebut sama bagi setiap individu, walaupun berbeda usia atau budaya, ataupun jenjang
pendidikan.

IV. Isi Akal (Kontekstual)


Akal atau rasio manusia hanya berisi dua unsur yaitu : gambaran pengalaman
inderawi dan simbol-simbol yang merepresentasikan gambaran-gambaran pengalaman
inderawi. Gambaran pengalaman inderawi dalam bahasa Inggris disebut concept,
sedangkan dalam bahasa Arab disebut tashawwur. Gambaran pengalaman inderawi ini
diperoleh melalui panca indera dalam peristiwa pengalaman hidup sehari-hari. Dengan
demikian ada 3 (tiga) realitas yaitu: 1. Realitas alam; 2. Realitas gambaran pengalaman
yang ada di dalam pikiran; 3. simbol. Realitas alam berada di luar diri manusia
sedangkan realitas gambaran pengalaman dan simbol berada di dalam diri manusia.
Ketiga realitas ini saling berhubungan satu dengan lainnya.

Realitas Konsep (tashawwur)

Realitas Alam Relitas Bahasa (symbol)

Berdasarkan hubungan ketiga realitas tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut.


Ada yang memiliki ketiga (semua) unsur–unsur realitas tersebut, artinya diketahui
realitas alamnya, realitas konsep atau gambaran pikiran, dan realitas nama. Contoh yang
menggambarkan kelengkapan ketiga realitas tersebut diantaranya realitas alam “pohon”
, realitas gambaran atau konsep pohon yang terekam di dalam pikiran manusia, dan
realitas simbol bahasa berupa nama / kata “pohon”.

Konsep (tashawwur)

Alam Bahasa (symbol)

Ada yang diketahui hanya realitas nama dan realitas pikiran, tetapi tidak ada
realitas alamnya (dalam arti nominalisme). Contoh yang tidak ada realitas alamnya
diantaranya adalah realitas simbol bahasa kata: cinta, adil, idea, abstrak, dll. Sedangkan
realitas gambaran atau konsep-nya ada di dalam pikiran manusia.

12
Konsep (tashawwur)

Alam Bahasa (symbol)

Di samping itu ada yang diketahui realitas kata/nama dan realitas alam, tetapi
tidak diketahui realitas konsep pikiran. Contohnya: realitas simbol bahasa: oksigen,
frekwensi/gelombang, tuhan, ruh, jiwa, dll.

Konsep (tashawwur)

Alam Bahasa (symbol)

Dan dapat juga terjadi diketahui realitas alam dan realitas konsep gambaran
pikiran, namun tidak ada realitas bahasanya Contohnya: pengalaman-pengalaman baru
yang tidak pernah dialami sebelumnya.

Konsep (tashawwur)

Alam Bahasa (symbol)

Gambaran pengalaman merupakan representasi (goresan memori) dari realitas


alam yang dialami oleh manusia. Sedangkan simbol merupakan representasi dari
keduanya, baik realitas alam maupun gambaran pengalaman. Dalam kehidupan sehari-
hari dalam kehidupan manusia pada umumnya simbol hanya merupakan representasi
dari realitas alam yang ada di luar diri manusia. Padahal dalam proses peristiwa yang
terjadi dalam diri manusia, simbol berelasi langsung dengan gambaran pengalaman
bukan dengan realitas alam yang ada di luar diri manusia. Hubungan antara simbol
dengan gambaran pengalaman (concept) dan bukan dengan realitas alam dikemukakan
oleh Ferdinand de Sausure dalam konteks teori bahasa. Bukti dari hubungan tersebut
adalah jika kita mendengar atau membaca kata kursi, maka secara otomatis dalam
pikiran kita tergambar gambar kursi, walaupun kursi secara realitas fisik tidak ada di
tempat tersebut. Bahkan jika kita mendengar atau membaca kata ibu, maka gambaran
ibu terbayang dalam pikiran kita walaupun ibu tersebut telah meninggal dunia.
Berdasarkan uraian di atas isi akal manusia tidak terlepas dari pengalaman
inderawi, artinya kemampuan manusia juga tidak terlepas dari pengalaman inderawi
dalam kehidupan sehari-hari. Manusia hanya mampu menggabungkan bagian-bagian
(serpihan) dari banyak ragam pengalaman hidup yang terpilah-pilah menjadi satu
khayalan (imajinasi) yang utuh yang dianggap sebagai sesuatu yang baru yang belum
pernah dialami. Contohnya, khayalan tentang manusia terbang seperti “Superman” yang
dapat menjelajahi ruang angkasa dan mempunyai semua kekuatan super, manusia laba-
laba “Spiderman” yang dapat berjalan dan menempel di dinding vertikal dan langit-
langit seperti laba-laba. Hewan-hewan dan bahkan tumbuhan yang dapat berbahasa
manusia sesuai dengan lokasi tempat tinggal atau orang yang ada di sekitarnya. Contoh-

13
contoh khayalan manusia yang tidak ada realitas alamnya banyak ditemukan dalam
film-film kartun atau animasi, gambar-gambar komik ataupun karikatur.
Di samping itu, hal tersebut juga menunjukkan bahwa isi akal manusia
tergantung pada pengalamannya. Pengalaman manusia bersifat individual. Pengalaman
individu manusia dibatasi oleh ruang dan waktu. Ruang adalah tempat individu tersebut
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Contohnya, seorang individu tinggal di
Jakarta. Waktu adalah lamanya individu tersebut hidup di dunia. Dengan demikian, jika
seorang individu manusia yang tinggal di Jakarta dan belum pernah pergi ke luar negeri
yang terdapat hujan salju serta tidak pernah nonton TV yang menunjukkan hujan salju,
tidak dapat menggambarkan dan membayangkan adanya beragam jenis hujan salju, dan
bahkan tidak tahu apa itu salju, demikian juga sebaliknya. Hal ini menunjukkan
keterbatasan dari akal pikiran manusia, yang tidak dapat berpikir tanpa ada unsur
pengalamannya. Hal ini pun menunjukkan bahwa isi akal pikiran manusia bersifat
kontekstual sesuai dengan konteks pengalamannya.

V. Logika-Proses Nalar dalam Akal (Universal)


5.1. Dilalah sebagai Proses Epistemologis
Proses nalar dimulai dari pencerapan realitas alam melalui indera yang
membentuk gambaran ( tashawwur / concept) di dalam pikiran manusia yang terpisah
dari realitas alam. Dalam konteks mantiq proses nalar yang pertama ini disebut dilalah,
yang dapat diartikan dengan fenomena. Proses terbentuknya gambaran realitas alam di
dalam pikiran dapat diilustrasikan seperti cara bekerjanya sebuah camera atau video
digital dalam merekam suatu peristiwa. Ketika berlangsungnya proses perekaman kita
dapat melihat peristiwa tersebut melalui monitor yang ada di kedua alat tersebut. Kita
dapat melihat rekaman peristiwa tersebut berulang-ulang setelah disimpan di dalam alat
penyimpan. Seperti itulah salah satu proses kerja pikiran manusia dalam merekam
realitas alam dalam peristiwa sehari-hari melalui pencerapan inderawinya. Manusiapun
dapat mengulang (mengingat) realitas alam (peristiwa kehidupan sehari-hari) kembali
secara berulang kali.
Ada dua realitas, yaitu realitas dalam alam dan realitas dalam pikiran. Realitas
alam dan gambaran pikiran diberi nama/kata yang menjadi representasi dari keduanya.
Nama atau kata tersebut merupakan tanda bahasa (atau sering disebut juga simbol
bahasa) yang berada di dalam pikiran manusia. Hubungan antara tanda bahasa dengan
yang direpesentasikannya bersifat bebas /mana suka; dalam konteks linguistik disebut
arbitrair dan dalam konteks mantiq disebut wadl”iyyah. Artinya dalam sifat
nama/simbol bahasa dengan objek realitas maupun gambaran dalam pikiran tidak ada
hubungan kausalitas. Tidak ada keharusan objek realitas kursi ataupun gambar kursi
diberi nama kursi. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemberian nama atau kata dalam
bahasa asing yang berbeda terhadap realitas objek yang direpresentasikannya, seperti
dalam bahasa inggris memberi nama terhadap objek kursi dengan chair. Simbol bahasa
yang lain juga memberi nama / kata yang berbeda terhadap objek realitas yang sama.
Dengan demikian simbol bahasa, pemberian nama terhadap objek realitas dipengaruhi
oleh kebudayaan manusia. Setiap budaya dapat memberi nama atau kata yang berbeda-
beda terhadap objek realitas yang sama, bahkan dalam budaya yang sama pun dapat
membuat nama atau kata dalam simbol bahasanya yang beragam terhadap objek realitas
yang sama. Contohnya objek realitas pohon diberi nama simbol bahasa pohon dengan
nama “pohon” dan “tangkal”. Perlu ditegaskan dengan objek realitas dalam konteks ini

14
adalah yang dimaksud dengan objek realitas disini adalah merujuk kepada baik realitas
alam maupun realitas pikiran.

5.2. TERM (LAFADZ), PENGERTIAN DAN RUJUKAN


Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kata atau nama sebagai realitas
tanda bahasa mewakili (representasi) realitas pikiran dan realitas alam. Kata dalam
konteks logika disebut dengan term (atau lafadz dalam mantiq). Dengan demikian term
dapat merujuk atau menunjukkan pada realitas pikiran dan dapat juga pada realitas
alam. Dengan kata lain, dalam setiap kata atau term terkandung di dalamnya realitas
pikiran atau realitas alam atau kedua realitas tersebut. Term yang merujuk pada realitas
gambaran dalam pikiran disebut dengan isi (komprehensi) atau pengertian (atau mafhum
dalam mantiq; mafhum artinya dipahami atau dimengerti). Sedangkan term yang
merujuk pada pada realitas alam disebut dengan luas atau extensi (mashadaq dalam
mantiq; mashadaq artinya tempat benar). Contohnya kata /pohon/, secara isi pengertian
(komprehensi/mafhum) merujuk pada gambaran pohon yang ada dalam pikiran manusia,
gambaran pohon yang bersifat umum, karena pada umumnya yang tergambar gambaran
batang pohon dan daunnya, belum ada spesifikasi jenis-jenis pohon. Sedangkan secara
luas (ekstensi/mashadaq) kata /pohon/ merujuk pada pohon-pohon yang di alam ini.
Demikian juga dengan, sebagai contoh lain, kata /manusia/. Secara isi merujuk pada
gambaran manusia dalam realitas pikiran kita, yang biasanya tergambar orang.
Sedangkan secara luas merujuk pada diri kita sendiri serta orang-orang lain di dunia ini.
Ketiga unsur tersebut mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Hubungan pertama adalah antara kata dengan isi (komprehensi/mafhum).
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa, setiap kata yang diterima oleh diri kita akan
memunculkan gambaran (concept/tashawwur) di dalam pikiran kita. Secara umum, satu
kata akan menimbulkan satu gambaran pikiran, sebagaimana contoh di atas dengan kata
pohon dan manusia, kecuali pada kata majemuk seperti kata sapu tangan, rumah sakit.
Sebagai contoh dari gabungan beberapa kata yang bukan kata majemuk, di antaranya,
kata /kursi kayu/ akan menghadirkan dua gambaran dalam pikiran, yaitu gambaran kursi
dan gambaran kayu. Jika ada tiga rangkaian kata, seperti /kursi kayu coklat/ akan
menghadirkan tiga gambaran gambaran dalam pikiran, yaitu kursi, kayu, dan warna
coklat, demikian seterusnya. Semakin banyak rangkaian kata-kata akan menghadirkan
semakin banyak gambaran dalam pikiran.
Bagaimana hubungan antara kata dan isi pikiran (sebagai kesatuan) dengan luas
(ekstensi/mashadaq)? Sebagaimana telah dijelaskan bahwa luas merupakan realitas
yang ada di alam raya, yang dirujuk oleh kata dan digambarkan dalam pikiran. Seperti
kata /kursi/ dan /manusia/ yang dicontohkan di atas menghadirkan gambaran kursi dan
manusia dalam pikiran sebagai isi (komprehensi/mafhum), sedangkan secara luas
(ekstensi/ mashadaq) merujuk pada kursi dan manusia yang ada di alam ini (atau yang
ada di luar pikiran manusia). Kursi yang dirujuk oleh kata /kursi/ yang menghadirkan
satu gambaran kursi dalam pikiran adalah semua kursi yang ada di alam ini dengan
segala jenis dan bentuk kursi. Demikian juga manusia yang dirujuk oleh kata /manusia/
yang menghadirkan satu gambaran manusia dalam pikiran adalah semua manusia yang
ada di alam ini tanpa melihat bentuk, rupa dan suku bangsa.
Dalam kasus kata /kursi kayu/ yang menghadirkan gambaran kursi dan kayu
dalam pikiran (artinya, ada dua gambaran), secara luas merujuk hanya pada jenis kursi
kayu saja, sedangkan jenis-jenis kursi lain, seperti kursi sofa, kursi besi, atau kursi-kursi
lain yang bukan dari kayu, tidak dirujuk oleh kata /kursi kayu/ tersebut. Demikian juga
dengan kata /kursi kayu coklat/ yang menghadirkan tiga gambaran, yaitu kursi, kayu

15
dan warna coklat, merujuk hanya pada jenis kursi kayu yang berwarna coklat saja,
sehingga warna-warna lain dari kursi kayu tidak menjadi rujukan kata /kursi kayu
coklat/, apalagi kursi-kursi yang bukan dari kayu secara otomatis tidak menjadi rujukan
dari kata tersebut.
Dengan demikian, semakin banyak kata-kata yang berangkai sebagai satu
rangkaian kata akan menghadirkan semakin banyak gambaran dalam pikiran, sehingga
hubungan antara kata atau rangkaian kata dengan gambaran yang hadir dalam pikiran
sebagai representasi dari kata setara. Sedangkan rujukan yang ditunjuk oleh kata atau
rangkaian kata tersebut, sebagai luas (ekstensi atau mashadaq), berbanding terbalik
dengan isi atau pengertian dari kata atau rangkaian kata tersebut. Artinya, semakin
sedikit gambaran dalam pikiran sebagai representasi kata, semakin banyak luas yang
ditunjuk sebagai objek rujukan dari kata dan isi dalam pikiran. Demikian juga
sebaliknya, semakin banyak isi gambaran dalam pikiran sebagai representasi kata,
secara luas semakin sedikit objek rujukan yang ditunjuknya.
Sehingga, hubungan antara isi atau pengertian (komprehensi/ mafhum) dengan
luas (ekstensi/ mashadaq) dalam kaitannya dengan kata (term/lafadz) dapat
digambarkan sebagai berikut.
1. Jika isi sedikit, maka luas banyak.
2. Jika isi banyak, maka luas sedikit.

Kata jika dilihat dari isi dapat dibagi dalam beberapa kelompok bagian:
1. Abstrak dan konkrit
Kata abstrak adalah kata yang tidak ada rujukan secara langsung pada
objek tertentu secara indrawi, yaitu luas-nya, Contohnya kata /cinta/,
/kemanusiaan/.

Konsep (tashawwur)

Bahasa (symbol) Alam (realitas objek)

Sedangkan kata konkrit adalah kata yang ada rujukan secara langsung
pada objek tertentu secara indrawi, Contohnya, kata /hewan/, /pohon/, /manusia/.

Konsep (tashawwur)

Bahasa (symbol) Alam (realitas objek)

2. Kolektif dan individual


Kata bersifat kolektif yaitu yang merujuk pada objek tertentu yang
bersifat kelompok, seperti, polisi. Sedangkan kata individual adalah kata yang
menunjukkan satu individual saja, Contohnya, kata /Ujang/ yang menunjukkan
seseorang yang bernama Ujang.
3. Sederhana dan jamak

16
Kata yang bersifat sederhana yaitu kata yang tidak dapat diuraikan lagi,
hanya mempunyai satu ciri saja. Contohnya kata /ada/. Sedangkan kata yang
bersifat jamak yaitu yang mempunyai beberapa atau banyak ciri.

Kata jika dilihat dari luas (bahasan logika/mantiq dominannya adalah pada kata
dalam konteks luas ini) terdiri dari:
1. Term singular (lafadz syakhsyi), yaitu, yang menunjukkan (dengan tegas)
satu individu, Contohnya, kata /Ahmad/ yang menujukkan seseorang, kata
/kesebelasan Liverpool/, kata /kota Jakarta/, kata /kecamatan Ciputat/, kata
/Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatillah/, dan lain-lain.
2. Term partikular (lafadz juz`i), yaitu, yang menunjukkan hanya sebagian saja
dari seluruh luas yang ditunjuknya. Contohnya, kata /beberapa mahasiswa/
menujukkan sebagian mahasiwa saja dari seluruh mahasiswa yang ada, kata
/sepuluh wanita UIN Syahid/, dan lain-lain.
3. Term universal (lafadz kulli), yaitu, yang menunjukkan seluruh realitas yang
ditunjuknya. Mislanya, kata /semua manusia/, kata /semua dosen/, kata
/semua mahasiswa/.

Kata, jika dilihat dari segi arti, terdiri dari:


1. Univok, yaitu, kata yang mempunyai suara sama dan artinya juga sama.
Contohnya, kata /kucing/ menunjukkan arti pada hewan yang bernama
kucing.
2. Ekuivok, yaitu, kata yang mempunyai suara yang sama, tetapi mempunyai
arti tidak sama. Contohnya, kata /genting/ dapat menunjukkan arti kata “atap
rumah”, atau dapat juga berarti “situasi gawat”. Tulisan kata /apel/ dapat
berarti “buah apel” atau dapat juga berarti “upacara”.
3. Analog, yaitu, kata yang mempunyai suara sama, namun artinya ada
kesamaannya dan sekaligus ada perbedaannya. Mislanya, kata /ada/ dapat
digunakan pada batu, tumbuhan, manusia, Tuhan. Arti /ada/nya tersebut
sama, yaitu semuanya ada, namun keberadaannya masing-masing berbeda.

5.3. TAQSIM (PEMBAGIAN) dan PENGGOLONGAN


Proses kerja pikiran selanjutnya adalah melakukan pembagian terhadap objek
realitas. Istilah pembagian dalam mantiq disebut taqsim. Dalam proses pembagian dapat
terjadi pemilahan yang bekerja berdasarkan (prinsip) perbedaaan. Di samping itu dapat
juga terjadi pengelompokan yang bekerja berdasarkan prinsip persamaan. Sehingga
dalam konteks logika ada yang menyebut dengan proses pembagian ada juga menyebut
dengan proses pengelompokan, artinya keduanya dapat diterima karena kedua proses
tersebut pada dasarnya terjadi pada saat yang bersamaan, artinya ketika dilakukan
proses pengelompokkan pada saat yang sama terjadi juga proses pembagian baik
disadari atau tidak disadari oleh manusia. Demikian juga sebaliknya, dalam proses
pembedaan pada saat yang sama sebetulnya juga dilakukan proses persamaan.
Sehingga, ada orang yang lebih suka menggunakan istilah “pembagian”, dan ada juga
yang lebih suka menggunakan istilah “penggolongan” untuk pokok yang dibicarakan
sekarang. Di sini kedua istilah itu digunakan. Keduanya sebenarnya menunjukkan hal
yang satu dan sama saja.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa antara pembagian dan penggolongan
adalah satu dan sama. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan juga, sebagai

17
konsekuensinya, bahwa antara sama dan beda menunjukkan hal yang satu dan sama saja
realitasnya. Dengan kata lain, sama dan beda adalah sama (realitasnya). Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa, dua hal yang secara logis saling bertentangan hadir bersamaan.
Dalam peristiwa sehari-hari pencerapan realitas alam oleh indera tidak pernah
bersifat tunggal tetapi sekaligus banyak (plural). Indera kita dapat menangkap banyak
objek realitas alam dalam satu waktu peristiwa pencerapan, Contohnya indera mata
ketika melihat kedepan dia tidak hanya melihat satu objek realitas, tetapi melihat
banyak objek realitas yang ada dihadapannya.
Secara otomatis pikiran kita melakukan pembedaan terhadap realitas objek-
objek tersebut sehingga realitas objek-objek tersebut terpilah. Proses nalar ini pada
umumnya tidak disadari oleh pelakunya. Sebagai contoh: ketika melihat kedepan, indera
mata kita menangkap berbagai objek, seperti : mobil, pohon, lampu jalan, burung, dan
lain-lain, Contohnya ketika kita mengendarai kendaraan atau berada di jalan. Akal kita
langsung membagi berbagai realitas objek yang ada berdasarkan perbedaan. Terhadap
satu realias objek pun proses pembagian dilakukan oleh akal. Contohnya, ketika melihat
satu objek realitas pohon pikiran kita membagi-bagi ada batang, daun, buah, bunga,
bahkan antara batang dengan ranting dan cabang yang sesungguhnya merupakan satu
bagian dengan materi/ bahan yang sama pun terjadi proses pembagian juga dengan cara
membeda-bedakan dengan berbagai cara. Pembedaan antara batang, daun, bunga, dan
buah dilakukan berdasarkan bentuknya, sedangkan antara batang, ranting dan cabang
proses pembedaan dilakukan bedasarkan ukuran. Ketika melihat satu objek realitas
manusia, akal/pikiran kita membagi-bagi tubuh manusia menjadi beberapa bagian yang
lebih kecil. Ada bagian kepala, badan, tangan dan kaki, bahkan bagian kepala pun
dibagi-bagi lagi menjadi ada mata, hidung, telinga dll. Begitu pula bagian tangan terbagi
menjadi lengan, siku, dan jari tangan, dan jari-jari tangan pun terbagi lagi menjadi: ibu
jari, kelingking, jari manis, telunjuk dan jari tengah.
Dengan demikian, pada prinsipnya pada proses pembagian adalah menguraikan
(memilah-milah) satu realitas objek menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Semakin
kecil proses pembagiannya akan semakin detil/rinci atau dapat dikatakan semakin teliti
dalam melakukan proses pembagian. Kegiatan tersebut dalam bahasa inggris disebut to
analyze dan diadopsi kedalam bahasa indonesia menjadi analisa/ analisis. Semakin detil
menganalisa dianggap semakin teliti, dan dianggap semakin baik, dan orang yang
melakukannya dianggap jeli. Sebagai contoh: kulit atau rambut dianalisa (dibagi-bagi)
menjadi bagian yang lebih kecil maka dijumpai unsur warna/pigmen, unsur protein,
unsur lemak,dll, kemudian dalam unsur protein dianalisa (dibagi-bagi) lagi maka
ditemukan unsur DNA, kromosom, nukleotida, dll. Hasil-hasil proses pembagian yang
terakhir sudah tidak dapat dicerap oleh indera mata secara langsung, tetapi harus
menggunakan alat- alat yang dapat memperbesar unsur/zat itu beberapa ribu kali
seperti: mikroskop. Bahkan untuk dapat membeda-bedakan realitas objek kulit atau
rambut tadi digunakan bahan kimia (ditambahkan dari luar objek) yang dapat
memisahkan unsur-unsur tersebut sehingga menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan
dapat dibedakan.
Objek-objek realitas yang terbagi menjadi bagian yang (sangat) kecil-kecil
bahkan tidak dapat tercerap secara langsung oleh indera, diberi nama dan menjadi objek
realitas yang baru.

5.3.1. Pembagian Aristoteles


Aristoteles membagi (membuat klasifikasi) terhadap yang ada di bumi ini dalam
dua klasifikasi besar, yaitu terdiri dari; 1) benda mati; 2) benda hidup. Pengklasifikasian
dibuat berdasarkan (adanya) perbedaan. Perbedaan benda hidup dan benda mati adalah

18
dari dapat tumbuh atau berkembangnya benda-benda tersebut. Benda mati tidak dapat
tumbuh atau berkembang, seperti batu, besi, tanah, air jika kita temukan atau disimpan
di tempat tertentu sebesar ukuran tertentu, maka pada satu tahun berikutnya kita akan
mendapatkan benda-benda tersebut dengan ukuran yang sama di tempat yang sama.
Sedangkan benda hidup, jika ditempatkan pada suatu tempat yang sesuai, maka
pada tahun berikutnya benda tersebut telah berubah menjadi lebih besar dari waktu
sebelumnya. Benda hidup dibagi lagi menjadi benda hidup bergerak dengan tidak
bergerak. Benda hidup tidak bergerak adalah tumbuhan, sedangkan benda hidup
bergerak adalah hewan dan manusia. Sehingga manusia adalah sejenis dengan hewan.
Hasil dari proses pembagian diantaranya adalah klasifikasi dan kategori. Antara
klasifikasi dan kategori pada prinsipnya adalah sama, yaitu kegiatan
pembagian/pengelompokan. Yang membedakan diantara keduanya adalah pada
prosesnya.
Klasifikasi adalah hasil proses pembagian terhadap data-data beberapa realitas
objek yang dibuat oleh akal/ pikiran manusia setelah melalui pengalaman.
Sedangkan kategori adalah hasil proses pembagian yang dilakukan oleh
akal/pikiran tanpa melalui pengalaman inderawi sebelumnya. Data-data objek realitas
yang ada dimasukan kedalam kategori-kategori yang telah dibuat sebelumnya. Contoh
kategori yang dibuat Aristoteles adalah: Genus (al-jins), Species (al-naw”), Diferrence
(al-fashl), sifat umum (aksiden/”ardh “am), sifat khusus (proprium/”aradh khash).
Kategori yang dibuat oleh Aristoteles digunakan untuk membuat definisi, contohnya
definisi tentang “manusia” adalah hewan rasional. Manusia kategori species, hewan
kategori genus, rasional merupakan kategori diferrence/pembeda. Dapat juga membuat
definisi dengan kategori yang bersifat umum, contohnya “manusia” adalah hewan
berjalan. Contoh dengan menggunakan sifat khusus diantaranya manusia adalah hewan
yang berbicara.
Dalam proses pemikiran dan ilmu pengetahuan, pembagian (penggolongan) ini
memegang peranan yang sangat penting, sebab tidak mudah mengupas suatu masalah
tanpa dapat menangkap bagian-bagiannya. Juga tidak mudah menghadapi suatu
persoalan tanpa menguraikan unsur-unsur yang menyusunnya. Demikian juga dalam
setiap ilmu pengetahuan. Oleh karena itu perlu kita menguasai keterampilan untuk
menemukan pembagian (penggolongan) tersebut. Contohnya, untuk membaca suatu
buku dengan berhasil, kita perlu menemukan pembagian itu dan menyusun jalan pikiran
yang terkandung di dalamnya dalam suatu bagan atau skema. Kalau tidak, maka sulitlah
mempelajari serta menguasainya secara berhasil dan memuaskan.

5.3.2. Prinsip Pembagian (Penggolongan)


Ada beberapa cara untuk melakukan pembagian (penggolongan). Bagaimana
pun juga setiap cara mempunyai kelebihan dan kekurangannya, kekuatan dan
kelemahannya. Contohnya, kita membagi sebuah kueh yang berbentuk persegi panjang,
maka cara membaginya ada beberapa cara, di antaranya, memanjang, melintang,
ataupun yang lainnya. Masing-masing cara tersebut akan menghasilkan potongan kueh
yang berbeda-beda. Oleh karena itu perlu diketahui beberapa prinsip aturan yang perlu
ditepati sehubungan dengan pembagian (penggolongan) tersebut.
1. Pembagian (penggolongan) harus lengkap. Artinya, kalau kita membagi-
bagikan suatu hal, maka bagian-bagian yang diperincikan harus mencakup semua
bagiannya. Bagian-bagian tersebut tidak hanya mencakup beberapa bagiannya saja.
Maka, kalau bagian-bagian itu dijumlah, hasilnya tidak kurang dan tidak lebih dari
kesatuan yang dibagi-bagikan tadi. Pembagian (penggolongan) itu juga harus cukup

19
terperinci. Sehingga, pembagian (penggolongan) itu dapat menampung segala
kemungkinan.
2. Pembagian (penggolongan) tersebut benar-benar berfungsi memisahkan.
Artinya, bagian yang satu tidak boleh memuat bagian yang lain, dan tidak boleh terjadi
adanya tumpang tindih antara bagian yang satu dengan bagian yang lain. Oleh karena
itu antara bagian-bagian yang mau dirinci tersebut terdapat suatu “perlawanan”.
Sehingga kelompok yang satu dapat dibedakan dengan jelas dari kelompok yang lain.
3. Pembagian (penggolongan) itu harus menggunakan dasar, prinsip, atau sudut
pandang yang sama. Artinya, dalam suatu pembagian (penggolongan) yang sama tidak
boleh digunakan dua atau lebih dari dua dasar, prinsip, ataupun beberapa sudut pandang
sekaligus secara bersamaan. Menggunakan dua dasar atau lebih dalam satu pembagian
(penggolongan) hanyalah menunjukkan tidak adanya sikap yang konsisten dalam
pembagian.
4. Pembagian (penggolongan) yang dibuat harus sesuai dengan tujuan yang mau
dicapai melalui pembagian tersebut.

Di samping itu perlu juga diperhatikan dalam melakukan proses pembagian,


beberapa hal yang dapat mengakibatkan hasil pembagian menjadi tidak tepat. Artinya
semua yang dikatakan tentang proses pembagian (penggolongan) tersebut di atas
bukanlah tanpa kesulitan. Ada beberapa kesulitan yang dapat timbul karena kurang
perhatian tehadap hal-hal yang berikut.
1. Apa yang benar untuk keseluruhan, juga benar untuk bagian-bagiannya.
Tetapi tidak sebaliknya, yang benar untuk bagian-bagiannya belum tentu benar untuk
keseluruhannya. Demikian juga dalam konteks penegasian, sesuatu yang dinegasikan
untuk keseluruhan, juga negasi untuk bagian-bagiannya. Namun, sesuatu yang
dinegasikan untuk bagian-bagian, belum tentu negasi untuk keseluruhannya. Kesalahan
sering kali terjadi karena tidak adanya pemahaman yang tepat mengenai hubungan
antara bagian-bagian dan keseluruhannya.
2. Ada kerbaugu-raguan tentang apa atau siapa yang sebenarnya masuk ke dalam
kelompok tertentu. Hal ini terjadi karena tidak mudah membedakan antara golongan
yang satu dari golongan yang lainnya dengan jelas dan berbeda (clear and distinc).
3. Terlalu sederhana dalam melakukan pemilahan, karena tidak berpikir panjang,
sehingga kita cenderung mengambil jalan pintas. Jalan pintas itu sering kali berbentuk:
menggolongkan barang, benda, dan orang hanya atas dua golongan saja. Artinya, orang
membuat penggolongan yang bersifat kanan dan kiri atau hitam dan putih saja.
Penggolongan yang seperti ini sering kali melupakan “bentuk-bentuk antara”, “bentuk-
bentuk peralihan”, yang terdapat di antara kedua ekstrim tersebut.

5.4. PUTUSAN (PROPOSISI/QADHIYAH)


Kegiatan manusia setelah melakukan pembagian adalah menghubungkannya
kembali realitas objek yang telah dipilah-pilah tersebut. Contohnya dalam contoh
definisi diatas. Kegiatan menghubungkan objek realitas yang terpilah itu menghasilkan
suatu putusan yang dalam konteks logika disebut proposisi, sedangkan dalam mantiq
disebut qodhiyah. Untuk membuat putusan yang menghubungkan dua objek realitas
yang dipisahkan dibutuhkan pengikat yang dalam konteks logika disebut copula, dalam
konteks mantiq disebut rabith. Putusan yang dibuat tersebut dapat diperiksa benar atau
salahnya.
Sebagaimana telah disebutkan diatas, ada tiga realitas objek, yaitu; realitas alam,
realitas konsep/pikiran, dan realitas bahasa. Putusan yang dibuat diwujudkan dalam

20
bentuk realitas bahasa yaitu setidaknya dalam bentuk hubungan dua kata yang diikat
oleh copula, artinya putusan yang dibuat dalm bentuk bahasa merepresentasikan dua
realitas lainya, yaitu realitas konsep/pikiran dan realitas alam. Contohnya “manusia”
adalah hewan rasional. Kata manusia, kata hewan, dan kata rasional merupakan realitas
bahasa yang masing-masing merepresentasikan realitas alam “manusia”, “hewan”, dan
“rasio atau akal, juga merepresentasikan gambaran atau concept masing-masing di
dalam pikiran manusia. Pengikat yang menghubungkan tiga objek realitas dalam realitas
bahasa adalah: adalah. Dalam konteks bahasa inggris adalah to be, yaitu; is, are,
sedangkan dalam bahasa arab adalah huwa dan hiya. Yang dalam bahasa Inggris Man
is animal rasional, dalam bahasa arab Al insan huwa hayawan al-natiq.
Perlu diperhatikan kata-kata copula atau rabith dalam penggunaan bahasa
Indonesia dan bahasa arab sehari-hari tidak digunakan sehingga kalimatnya menjadi
manusia hewan rasional dan bahasa arab Al Insan hayawan al-natiq.
Putusan yang telah dibuat dapat diperiksa benar salahnya. Benar atau salah
secara realitas alam, benar atau salah secara realitas pikiran, dan benar atau salah secara
realitas bahasa. Benar secara realitas alam disebut dengan benar secara material, artinya
ada kesesuaian (korespondensi) dengan realitas alam tersebut. (yaitu Kesesuaian antara
realitas konsep, pikiran dan bahasa dengan realitas alam). Benar secara realitas pikiran
adalah dilihat dari/ berdasarkan koherensi. Yaitu: runtutan /kesinambungan atau dengan
kata lain susunannya. Benar secara realitas bahasa juga berdasarkan susunannya. Benar
secara realitas pikiran dan benar secara realitas bahasa disebut benar secara formal.
Dengan demikian ada dua ukuran benar yang berbeda dalam suatu putusan, yaitu: benar
(secara) formal dan benar (secara) material. Artinya, perlu ditegaskan, benar salah
bukan merupakan suatu nilai tetapi suatu ukuran sehingga bersifat relatif. Benar dalam
realitas bahasa berdasarkan susunan formal dilihat dari susunan subjek dan predikat.
Dengan demikian, setiap kita buat putusan harus dapat dipertanggung-jawabkan,
sehingga tidak boleh sembarangan.
Putusan dapat dalam bentuk proposisi pengakuan atau pengingkaran suatu
kesatuan atau hubungan antara dua hal. Dengan kegiatan itu ia mempersatukan karena
mengakui dan memisahkan karena mengingkari sesuatu. “Mengakui atau mengingkari”
merupakan inti suatu putusan.
“Kesatuan antara dua hal”. Hal yang satu adalah subyek, dan hal yang lainnya
adalah predikat. Keduanya dipersatukan, dihubungkan atau dipisahkan dalam putusan.
Keadaan itu dapat diberi bagan sebagai berikut:

subyek (S)/Mubtada` = predikat (P)/Khabar


subyek (S) )/Mubtada` ≠ predikat (P)/Khabar

Sudah dikatakan bahwa kata merupakan pernyataan lahiriah dari pengertian.


Putusan juga mempunyai penampakan lahirnya. Penampakan lahirnya adalah kalimat.
Kalimat (biasanya kalimat sempurna atau lengkap) adalah satuan, kumpulan kata yang
terkecil, yang mengandung pikiran yang lengkap. Putusan khususnya diungkapkan
dalam bentuk kalimat berita.
Sehingga dapat dikatakan bahwa putusan (kalimat) adalah satu-satunya ucapan
yang dapat diukur atau dikatakan “benar” atau “tidak benar”, atau dengan kata lain
harus dapat dipertanggung-jawabkan benar-salahnya putusan yang telah dibuat. Artinya,
putusan (kalimat) selalu mengakui atau mengingkari kenyataan. Pengertian (kata) belum
(tidak) bisa disebut benar atau tidak benar. Sebab, sebagai pengertian (kata) belum
(tidak) menyatakan sesuatu tentang kenyataan. Baru menjadi benar atau tidak benar,
apabila beberapa kata (setidaknya dua kata) itu dihubungkan satu sama lain menjadi

21
suatu putusan (kalimat). Artinya, baru dapat menjadi benar, apabila dipersatukan atau
dipisahkan satu sama lain. Karena itu putusan (kalimat) adalah benar, apabila apa yang
diakui atau diingkari (dinegasikan) itu dalam kenyataannya juga memang demikian.
Sebaliknya, putusan (kalimat) tidak benar, apabila yang diakui atau diingkari (negasi)
itu sungguh bertentangan dengan kenyataan. Karena itu juga hanya putusan (kalimat)
lah satu-satunya ucapan yang dapat dibenarkan, dibuktikan, dibantah, disangsikan.

5.4.1. Unsur-unsur Putusan

Berdasarkan uraian di atas, sudah dapat disimpulkan bahwa putusan


mengandung tiga unsur. Unsur-unsur tersebut adalah:
1. Subyek/Mubtada` (sesuatu yang diberi keterangan).
2. Predikat/Khabar (sesuatu yang menerangkan tentang subyek).
3. Kata penghubung/Rabith (pernyataan yang mengakui atau mengingkari hubungan
antara subyek dan predikat).
Dari ketiga unsur itu, dalam konteks bahasa Inggris dan Yunani atau Latin, kata
penghubunglah yang terpenting. Subyek dan predikat merupakan materi putusan.
Sedangkan kata penghubung merupakan bentuk, formanya. Kata ini memberikan corak
atau warna yang harus ada dalam suatu putusan dalam bahasa Inggris atau beberapa
bahasa lain, sedangkan dalam bahasa Arab dan Indonsia tidak demikian. Walaupun
demikian, karena penyusun logika pertama adalah dari Aristoteles yang berbahasa Latin
maka bahasa Indonesia dan Arab, dalam konteks logika digunakan juga kata
penghubung tersebut.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yang berkaitan dengan putusan, di
antaranya:
1. Putusan (kalimat) sering tidak nampak dalam susunan yang sederhana ini. Karena
itu untuk mempermudah analisa logika, sering kali perlu putusan-putusan
(kalimat-kalimat) tersebut diuraikan menjadi putusan-putusan dengan bentuk
pokok subyek (S) = predikat (P) atau subyek (S) ≠ predikat (P). Mengurai
kalimat berarti: kalimat yang tidak nampak susunan sederhananya, dirumuskan
suatu kalimat sedemikian rupa sehingga term subyek, predikat, dan kata
penghubung menjadi nampak dengan jelas. Perumusan ini memudahkan orang
untuk menangkap inti suatu kalimat. Contohnya: “Dia telah mengambil buah
jeruk itu”, maka dirumuskan dalam bentuk putusan logika menjadi “Dia adalah
orang yang mengambil buah jeruk itu”. Contoh lain dari kalimat “tidak semua
yang makan sedikit akan menjadi kurus” menjadi “beberapa orang yang makan
sedikit adalah orang yang akan menjadi kurus”. Contoh lain adalah kalimat
“sedikit saja orang yang mendapat hadiah” menjadi “jumlah orang yang
mendapat hadiah adalah sedikit”.
2. Term subyek disebut juga sebagai subyek logis. Subyek logis tidak selalu sama
dengan subyek kalimat menurut tata-bahasa. Demikian juga, term predikat
disebut juga predikat logis dan predikat kalimat tidak selalu sama dengan
predikat logis.
3. Untuk menentukan term predikat logis, perlu diperhatikan apa yang
sesungguhnya diberitakan dalam suatu kalimat. Dengan kata lain, perlu
dimengerti apa pokok berita yang mau disampaikan dalam kalimat tersebut.
Bentuk kalimat berita dalam logika disebut proposisi (putusan).
Contohnya:
Bentuk kalimat berita: Dialah yang mengambil buah jeruk itu.
Dirubah menjadi proposisi: Yang mengambil buah jeruk itu (S) adalah dia (P)

22
Bentuk kalimat berita: Kebahagiaanlah yang dikejar orang.
Dirubah menjadi proposis: Yang dikejar orang (S) adalah kebahagiaan (P)
4. Suatu putusan disebut negatif (penyangkalan), apabila kata penghubungnya
negatif. Atau dengan kata lain, penegasiannya ada di kata penghubung atau
predikat logis. Contohnya: Orang yang tidak masuk akan dihukum. Kata “tidak”
dalam ungkapan “tidak masuk” tidak mempengaruhi kata penghubung. Kalimat
ini adalah positif atau afirmatif dan bukan negatif, karena kata “tidak” tersebut
merupakan bagian dari subyek logis, bukan terletak di kata penghubungnya
(predikat). Contoh putusan negatif “Orang yang masuk tidak akan dihukum”
atau “orang yang tidak masuk tidak akan dihukum”. Kata “tidak akan dihukum”
merupakan bentuk penegesian (pengingkaran), karena kata tersebut terletak pada
bagian dari predikat logis.

5.4.2. Macam-macam putusan


Berdasarkan sifat pengakuan dan pengingkaran, putusan dapat dibedakan
menjadi, Putusan Kategoris (Qadhiyah Hamliyah) dan Putusan Hipotetis atau Bersyarat
(Qadhiyah Syartiyah).

5.4.2.1. Putusan Kategoris (Qadhiyah Hamliyah)

1. Putusan kategoris (qadhiyah hamliyah). Dalam putusan ini predikat (P) (khabar)
menerangkan subyek (S) (mubtada) tanpa syarat. Putusan ini masih dapat diperinci
lagi menjadi:
a. Putusan kategoris tunggal; putusan yang terdiri dari satu subyek (S) dan
satu predikat (P) saja. Contohnya, “manusia adalah hewan rasional”.
b. Putusan kategoris majemuk; putusan yang terdiri dari lebih satu subyek (S)
atau lebih dari satu predikat (P). Putusan ini nampak dalam susunan kata
seperti: dan… dan; dimana…, disana, dan sebagainya. Contoh putusan yang
terdiri dari dua subyek; “bapak dan ibu pergi ke luar rumah”. Sedangkan
contoh putusan yang terdiri dari dua predikat di antaranya; “ibu tidak
makan dan minum”.
c. Yang juga termasuk dalam putusan kategoris adalah susunan kata yang
menyatakan modalitas, seperti: tentu, niscaya, mungkin, tidak tentu, tidak
niscaya, tidak mungkin, pasti, mustahil, dan sebagainya. Contoh, “Pasti
seorang ibu mencintai anaknya”, atau contoh lain, “Mustahil seorang ibu
tidak mencintai anaknya”.

Putusan kategoris dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk, yang ditinjau dari
beberapa perspektif atau sudut pandang, yaitu, sebagai berikut:

a. Berdasarkan Materinya: Putusan Analitis dan Putusan Sintetis

Putusan analitis adalah putusan yang isi dari predikat (P) merupakan
unsur yang melekat pada subyek (P), atau sering disebut sebagai sifat hakiki,
yang pasti terdapat dalam subyek (S). Hal itu dapat diketahui dengan cara
menganalisa atau menguraikan unsur-unsur yang melekat pada diri subyek (S).
Contohnya, “Ahmad berakhlak mulia”. Sifat akhlak mulia melekat pada diri
Ahmad, sebagai bagian dari dirinya.
Sedangkan putusan sintetis adalah putusan yang isi predikat (P)
merupakan unsur dari sifat yang tidak hakiki, tidak niscaya terdapat pada subyek

23
(S), tetapi dapat dihubungkan dengan subyek (S) tersebut. Hal ini dapat terjadi
berdasarkan pengalaman, atau juga karena sintesa. Contohnya: Zaid adalah
pedagang buah.

b. Berdasarkan Bentuknya: Putusan Positif (Mujibah) dan Putusan Negatif


(Salibah)

Putusan positif (atau disebut juga afirmatif) adalah putusan yang unsur
predikat (P) dihubungkan atau dipersamakan dengan unsur subyek (S) yang
bersifat menegaskan (afirmasi) dengan menggunakan kata penghubung. Subyek
menjadi satu atau sama dengan predikat. Seluruh isi predikat diterapkan pada
subyek. Seluruh luas subyek dimasukkan ke dalam luas predikat. Contohnya,
Kucing adalah hewan.
Putusan negatif adalah putusan dimana subyek dan predikat dinyatakan
sebagai tidak sama. Subyek (S) menyangkal (menegasikan) hubungan dengan
predikat (P), dengan menggunakan kata penghubung tidak atau bukan. Mungkin
dalam banyak hal subyek dan predikat sama, tetapi dalam satu hal keduanya
tidak sama, atau berlainan. Contoh putusan negatif, “kucing adalah bukan sapi”.

c. Berdasarkan Luasnya: Putusan Universal (Kulli), Putusan Partikular (Juz`i),


dan Putusan Singular (Syakhsyi)

- Putusan universal adalah putusan di mana predikat menerangkan (mengakui


atau mengingkari) seluruh luas subyek. Contoh putusan universal, “Semua orang
dapat mati”.
- Putusan partikular, adalah putusan di mana predikat menerangkan (mengakui
atau mengingkari) sebagian dari seluruh luas subyek. Contoh: Beberapa orang
dapat sakit.
- Putusan singular, adalah putusan di mana predikat menerangkan (mengakui
atau mengingkari) satu subyek yang ditunjukkan dengan tegas.
Contoh: Budi dapat mati.
Namun perlu dicatat bahwa putusan universal tidak sama dengan putusan
umum. Dalam putusan umum dikatakan sesuatu yang pada umumnya benar,
tetapi selalu mungkin ada pengecualiannya. Contoh: “Orang Ambon pandai
menyanyi”. Putusan umum ini tidak salah, walaupun ada beberapa orang Ambon
yang tidak pandai menyanyi. Putusan umum termasuk putusan partikular.
Padahal dalam putusan universal dikatakan sesuatu tentang seluruh luasnya,
tanpa ada yang dikecualikan.

d. Berdasarkan Bentuk dan Luas: Putusan A, E, I, O

Dilihat dari sudut bentuk dan luasnya, putusan masih dapat dibedakan
menjadi:
1. Putusan A : putusan afirmatif (positif) dan universal,
Contohnya: - Semua mahasiswa UIN Ciputat lulus.
- Baja adalah logam.
2. Putusan E : putusan negatif dan universal,
Contohnya: - Kutu adalah bukan ayam.
- Ruh adalah makhluk yang tidak binasa.

24
3. Putusan I : putusan afirmatif (positif) dan partikular,
Contohnya: - Beberapa rumah hancur karena gempa.
- Tidak semua yang wangi adalah bunga melati.
4. Putusan O : putusan negatif dan partikular,
Contohnya: - Sebagian orang tidak suka menangis.
- Banyak orang tidak suka makan jengkol.

Uraian di atas adalah menjelaskan tentang putusan dari sudut luas subyeknya.
Putusan tersebut disebut universal, partikular, dan singular, apabila masing-
masing luas subyeknya dalam bentuk universal, partikular, dan singular.

e. Luas predikat

Di samping luas subyek, juga ada luas predikat yang perlu diperhatikan.
Ada ketentuan yang menyangkut luas predikat ini, baik dalam bentuk putusan
afirmatif maupun putusan negatif.
1. Dalam putusan afirmatif, seluruh isi predikat diterapkan pada isi
subyek atau dipersatukan (disamakan) dengan isi subyek itu. Seluruh
luas subyek dimasukkan dalam luas predikat. Contohnya: Ayam
adalah hewan.
2. Dalam putusan negatif, isi predikat (dalam arti: tidak semua unsurnya)
tidak diterapkan pada isi subyek atau tidak dipersatukan (disamakan)
dengan subyek itu. Seluruh luas subyek tidak dimasukkan dalam luas
predikat. Contohnya: Burung adalah bukan kerbau.

Dalam konteks hubungan ini dapat diuraikan hukum untuk luas predikat.
1. Predikat adalah singular, jika dengan tegas menunjukkan satu
individu, barang, atau golongan yang tertentu. Contohnya: Wanita itu
adalah orang yang pertama kali melihat ular itu.
2. Dalam putusan afirmatif, predikat partikular. Hal ini juga berlaku
untuk putusan afirmatif partikular. Contohnya: Semua ayam adalah
hewan. Ayam itu adalah hewan.
3. Dalam putusan negatif, predikat universal. Subyek dipisahkan dari
predikat dan sebaliknya. Hal yang sama juga berlaku untuk putusan
negatif partikular. Contohnya: Semua manusia bukanlah kerbau.
Beberapa manusia bukanlah kerbau.

5.4.3. PEMBALIKAN DAN PERLAWANAN

5.4.3.1. Pembalikan

Pembalikkan adalah proses logika, yaitu mengganti subyek dan predikat,


sehingga yang awalnya subyek berubah menjadi predikat, dan sebaliknya, yang awalnya
predikat berubah menjadi subyek, tanpa mengurangi kebenaran dari putusan tersebut.
Hal ini dapat dimungkinkan ada kesamaan antara subyek dan predikat. Tetapi keduanya
tidak dapat dibalikkan begitu saja. Sebab luas predikat dan luas subyek sering tidak
sama.

a. Macam-macam Pembalikan

25
Ada dua macam pembalikan, yaitu pembalikan seluruhnya dan pembalikan
sebagian.
1. Pembalikan seluruhnya adalah pembalikan di mana luasnya tetap sama.
Pembalikan ini terjadi pada putusan E yang menjadi putusan I dan putusan I
yang menjadi putusan E.
2. Sedangkan pembalikan sebagiannya adalah pembalikan dari putusan
universal menjadi putusan partikular. Pembalikan ini terjadi pada putusan A
yang menjadi putusan I dan putusan E yang menjadi putusan O.

b. Hukum-hukum pembalikan itu.


Ada beberapa hukum pembalikan, di antaranya:
1. Putusan A hanya boleh dibalik menjadi putusan I. Sebab, dalam putusan
afirmatif, predikat partikular sedangkan subyek universal. Luas predikat
lebih besar daripada luas subyek. Contohnya: “Semua kerbau adalah hewan”
hanya bisa dibalik menjadi “Beberapa hewan adalah kerbau” dan bukan
“Semua hewan adalah kerbau”.
2. Putusan E selalu boleh dibalik. Sebab, dalam putusan negatif seluruh luas
subyek tidak dimasukkan dalam luas predikat. Karena itu, putusan E bisa
dibalik menjadi putusan E, tetapi juga menjadi putusan O. Contohnya:
“Semua ayam bukan sapi” bisa dibalik menjadi “Semua sapi bukan ayam”
atau “Beberapa sapi bukan ayam”.
3. Putusan I hanya dapat dibalik menjadi putusan I lagi. Contohnya: “Beberapa
orang itu sakit” dapat dibalik menjadi “Beberapa yang sakit itu orang
(manusia)”.
4. Putusan O tidak dapat dibalik. Contohnya: “Ada manusia yang bukan dokter”
tidak dapat dibalik menjadi “Ada dokter yang bukan manusia”.

5.4.3.2. Perlawanan

Putusan yang berlawanan adalah putusan yang tidak dapat sama-sama benar,
atau tidak dapat sama-sama salah, atau tidak dapat sama-sama benar dan salah.
Perlawanan itu ada, hanya kalau putusan itu mengenai hal yang sama, tetapi berlawanan
isinya. Artinya, kedua putusan tersebut mempunyai subyek dan predikat yang sama,
tetapi bentuk atau luasnya berbeda, atau dengan kata lain baik bentuk mau pun luasnya
berbeda.
Anatara satu jenis putusan dengan jenis putusan lain, kalau dibandingkan satu
sama lain, nampaklah bahwa putusan-putusan tersebut berlawanan. Ada beberapa jenis
perlawanan berdasarkan unsur-unsur yang berbeda, di antaranya:
1. Berdasarkan bentuknya. Perlawanan ini disebut perlawanan “kontraris” dan
“subkontraris” (A – I; E – O).
a. Perlawanan kontraris (A – E)
- Jika yang satu benar, yang lain tentu salah
- Jika yang satu salah, yang lain dapat benar, tetapi juga dapat salah
- Ada kemungkinan ketiga, yakni keduanya sama-sama salah
Kedua-duanya adalah ekstrem. Antara kedua ekstrem itu masih ada
kemungkinan yang lain. Contohnya: Narto berkata bahwa “Semua orang nakal”, dan
bahwa “Semua orang tidak nakal” (sama sekali tidak ada yang nakal). Di tengah-
tengahnya masih ada kemungkinan lain, kemungkinan itu (barangkali): “Tidak semua
orang nakal”, tetapi juga “Tidak semua orang tidak nakal”.
b. Perlawanan subkontraris (I – O)

26
- Jika yang satu salah, yang lain tentu benar
- Jika yang satu benar, yang lain dapat salah, tetapi juga dapat benar
- Ada kemungkinan yang ketiga, yakni tidak dapat keduanya sama-sama
salah.
Keduanya dapat sama-sama benar.
Contohnya: Narto berkata bahwa “Beberapa orang nakal” tetapi kalimat itu
salah. Penyangkalan ini menyatakan bahwa “Beberapa orang tidak nakal”. Tetapi Narto
berkata bahwa “Beberapa orang nakal” dan kalimat itu benar. Pengakuan ini
menyatakan bahwa “Ada beberapa orang yang nakal”, tetapi barangkali ada juga yang
tidak nakal. Jika “Tidak ada yang nakal”, hal itu tidak disebabkan oleh karena ada
beberapa yang nakal, melainkan karena sebab yang lain. Contohnya, karena kenakalan
itu merupakan sifat yang mutlak.

2. Berdasarkan luasnya. Perlawanan ini disebut perlawanan “sub-altern” (A – I;


E – O).
Perlawanan subaltern (A – I; E – O)
- Jika yang universal benar, yang partikular juga benar
- Jika yang universal salah, yang partikular dapat benar, tetapi juga dapat
salah
- Jika yang partikular benar, yang universal dapat salah, tetapi juga dapat
benar
- Jika yang partikular salah, yang universal juga salah
- singkatnya: Kedua-duanya dapat benar, tetapi kedua-duanya juga dapat
salah;
mungkin pula yang satu benar, dan yang lain salah.
Contohnya: Narto berkata bahwa “Semua orang itu (mis: 100 orang) nakal”.
Tetapi kalimat itu salah. Penyangkalan ini menyatakan:
b. Atau “Tidak ada sama sekali yang nakal”. Artinya: “Beberapa orang
nakal” itu juga salah.
c. Atau “Ada beberapa orang yang tidak nakal” dan “Beberapa orang yang
nakal”. Artinya: “Beberapa orang nakal” itu benar.
Tetapi jika Narto berkata bahwa “Semua orang itu nakal” dan kalimat itu benar.
Pengakuan itu menyatakan bahwa “Tiap-tiap (setiap) orang itu nakal”. Jika tiap-tiap
(setiap) orang itu nakal, “Ada beberapa orang yang nakal” juga benar.

3. Berdasarkan bentuk dan luasnya sekaligus. Perlawanan ini disebut perlawanan


“kontradiktoris” (A – O; E – I).
Perlawanan kontradiktoris (A – O; E – I)
- Jika yang satu benar, yang lain tentu salah
- Jika yang satu salah, yang lain tentu benar
- Tidak ada kemungkinan yang ketiga
Putusan-putusan ini tidak dapat sekaligus benar, tetapi juga tidak dapat sama-
sama salah. Dari keempat perlawanan, perlawanan inilah yang paling kuat. Pernyataan
universal dapat dijatuhkan dengan membuktikan kontradiktorisnya saja. Kalau terdapat
hanya seorang saja yang tidak nakal, pernyataan “Semua orang nakal” sudah salah.
Jenis-jenis perlawanan tersebut dapat digambarkan dalam bagan berikut di
bawah ini.

27
SEMUA orang nakal SEMUA orang tidak nakal
kontraris
A E

subaltern kontradiktoris subaltern

I O
sub kontraris
BEBERAPA orang nakal BEBERAPA orang tidak nakal
TIDAK semua orang nakal

Bagan ini juga berlaku untuk perlawanan menurut waktu, tempat, dan modalitas.
Perlawanan ini nampak dalam kata-kata seperti: selalu, pasti, di mana-mana, harus,
tidak selalu, tidak pasti, dan sebagainya.

SELALU SELALU tidak


PASTI PASTI tidak
kontraris
A E

subaltern kontradiktoris subaltern

I O
sub kontraris
SERING KALI tidak SELALU (SERING KALI tidak)
MUNGKIN (tidak PASTI tidak) tidak PASTI (MUNGKIN tidak)

Seluruh aturan perlawanan di atas dapat disingkat dan disederhanakan


sebagai berikut:

 Jika A benar, maka E salah, I benar dan O salah.


 Jika E benar, maka A salah, I salah dan O benar.
 Jika I benar, maka E salah, sedangkan baik A maupun O tidak pasti.
 Jika O benar, maka A salah,sedangkan baik E maupun I tidak pasti.
 Jika A salah, maka O benar, sedangkan baik E maupun I tidak pasti.
 Jika E salah, maka I benar, sedangkan baik A maupun O tidak pasti.
 Jika I salah, maka A salah, E benar, O benar.
 Jika O salah, maka A banar, E salah, I benar.

5.4.3.3. Putusan Hipotetis (Qadhiyah Syatiyyah)

28
Putusan hipotetis (qadhiyah syarthiyyah). Dalam putusan ini predikat (P) menerangkan
subyek (S) dengan suatu syarat, tidak secara mutlak. Putusan ini masih dapat
dibedakan menjadi:
a. Putusan (hipotetis) kondisional (muttashilah). Biasanya ditandai dengan:
Jika…., maka….
b. Putusan (hipotetis) disyungtif (munfashilah), yang biasanya ditandai dengan:
Atau….atau….
Putusan ini dapat dibedakan lagi menjadi:
i. Putusan (hipotetis) disyungtif dalam arti yang sempit (tidak ada
kemungkinan yang lain lagi).
ii. Putusan (hipotetis) disyungtif dalam arti yang luas (masih ada
kemungkinan yang lain lagi).
c. Putusan (hipotetis) konyungtif (munfashilah), yang biasanya ditandai dengan:
Tidak sekaligus…dan…

V. DEFINISI (HAD)
Kata definisi berasal dari kata “definitio” (bahasa latin), yang berarti
pembatasan. Dalam konteks mantiq, definisi disebut had, yang mempunyai arti yang
sama dengan definisi, yaitu, pembatasan.
Perlu diperhatikan bahwa yang didefinisikan adalah suatu realitas objek tertentu.
Artinya objek tersebut dibuat pembatasannya. Tujuan dibuat definisi di antaranya
adalah supaya lebih jelas objek yang dibicarakan atau yang dibahas. Sehingga objek
tersebut dapat dimengerti secara sama. Oleh karena itu antara definisi dengan pengertian
sering dipertukarkan, walaupun sebenarnya kurang tepat. Dalam konteks mantiq,
pengertian disebut dengan ta”rif.
Atas dasar ini dapatlah dikatakan bahwa definisi mempunyai suatu tugas yang
tertentu. Tugas yang tertentu itu adalah menentukan batas suatu pengertian dengan
tepat, jelas, dan singkat. Apabila hal itu diucapkan, maka definisi berarti suatu susunan
kata yang tepat, jelas dan singkat untuk menentukan batas pengertian yang tertentu.
Dengan demikian pengertian yang tertentu itu dapat dimengerti dengan jelas dan dapat
dibedakan dari semua pengertian (hal) lainnya.
Namun perlu disadari bahwa pembatasan terhadap objek mempunyai
konsekuensi mereduksi objek tersebut. Artinya, objek tersebut hanya ditinjau dari
bagian-bagian tertentu saja atau dilihat dari sudut pandang tertentu. Sehingga, bagian-
bagian yang tidak dilihat tidak muncul dalam definisi tersebut, dan luput dalam
pembicaraan atau pembahasan.
Contohnya, definisi “Manusia adalah hewan rasional”. Dari definisi tersebut
tampak bahwa manusia dibatasi pada unsur rasional-nya saja, dan yang muncul dari
putusan tersebut hanya bagian rasio. Sedangkan unsur-insur lain dari realitas objek
manusia tidak muncul, seperti di antaranya, organ-organ tubuh yang lain, perasaan
(takut, sedih, cemas dan lain-lain), emosi, yang menjadi bagian dari manusia.

5.1. Jenis Definisi


Ada dua macam definisi, yaitu definisi nominal dan definisi real.
5.1.1. Definisi Nominal
Yang pertama disebut definisi nominal. Definisi ini juga disebut definisi
menurut katanya. Definisi ini merupakan suatu cara untuk menjelaskan sesuatu dengan
menguraikan arti katanya. Hal ini terjadi dengan menghubungkan pengertian yang

29
tertentu dengan sebuah kata. Definisi ini bukanlah definisi menurut arti yang
sebenarnya. Namun demikian ada gunanya juga, karena dengan bantuan definisi ini
salah paham dan salah pengertian dalam suatu pembicaraan atau perdebatan dapat
dihindarkan. Tanpa adanya suatu kesepakatan mengenai arti kata yang dipakai untuk
mengungkapkan buah pikirannya, sulitlah orang menghindarkan salah paham dan salah
pengertian. Karena itu sebelumnya perlulah orang sepakat mengenai arti kata yang
dipakainya. Sesudah itu barulah orang mulai membicarakan pokok persoalan yang
tertentu atau memperdebatkannya.
Definisi ini dapat dinyatakan dengan beberapa cara.
a. Dengan menguraikan asal-usul (etimologi) kata atau istilah yang tertentu. Kata
“filsafat”, Contohnya, akhir-akhirnya berasal dari kata Yunani. Dalam bahasa Yunani
kata tersebut merupakan kata majemuk. Sebagai kata majemuk terdiri atas kata
“philein” (mencintai) atau “phillos” (pencinta) dan kata “sophia” (kebijaksanaan). Atas
dasar itu kata “filsafat” lalu berarti mencintai (pencinta) kebijaksanaan.
b. Namun arti kata tersebut sering kali masih belum jelas juga. Karena itu perlu
dilihat arti mana yang lazim dikenakan orang banyak pada kata atau istilah yang
tertentu tersebut. Untuk mengetahuinya perlu dilihat arti kata itu sebagaimana
diterangkan dalam kamus. Menurut asal-usulnya, kata “lokomotif”, Contohnya, berarti
sesuatu yang dapat bergerak dari dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Padahal
dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) kata itu berarti: induk atau kepala kereta
api (kereta mesin penarik kereta api).
c. Akhirnya definisi ini juga dapat dinyatakan dengan menggunakan sinonim.
Hal ini terjadi dengan menggunakan kata yang sama artinya, yang lazim dipakai dan
yang dimengerti umum. Contohnya “budak” dijelaskan dengan menggunakan “hamba”
atau “sahaya”, “momok” dengan “hantu” dan sebagainya.
Dari yang uraian tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa definisi nominal
memang sudah sedikit memberi pertolongan. Tetapi pertolongan masih bersifat
semantara dan belum ilmiah. Keadaan ini juga menandakan bahwa definisi tersebut
belum berhasil menunjukkan unsur-unsur hakiki dari sesuatu. Karena itu sangat
terasalah perlunya definisi yang lain lagi.
5.1.2. Definisi Real
Definisi yang lain itu disebut definisi real. Definisi ini menunjukkan atau
memperlihatkan objek yang dibatasinya. Hal itu diungkapkan dengan menyajikan
unsur-unsur atau ciri-ciri yang menyusunnya. Definisi ini selalu majemuk. Artinya,
definisi ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah menyatakan unsur yang
menyerupakan hal (benda) dari realitas objek tertentu dengan hal (benda) dari realitas
objek lainnya. Bagian yang kedua adalah menyatakan unsur yang membedakannya dari
sesuatu yang lain. Contohnya, kalau manusia adalah hewan yang berakal budi,
nampaklah bahwa “hewan” termasuk bagian pertama, “yang berakal budi” bagian yang
kedua.
Definisi real dapat dibedakan menjadi:
a. Definisi hakiki (esensial).
Definisi ini sungguh-sungguh menyatakan hakekat sesuatu. Hakekat sesuatu
adalah suatu pengertian yang abstrak, yang hanya mengandung unsur-unsur pokok
yang sungguh-sungguh perlu untuk memahami suatu golongan (species) yang tertentu
dan untuk membedakannya dari semua golongan (species) yang lain, sehingga sifat-
sifat golongan (species) tersebut tidak termasuk ke dalam hakekat sesuatu itu.
Definisi ini merupakan definisi yang paling penting dalam bidang ilmu
pengetahuan dan filsafat. Definisi itu tersusun dari jenis yang terdekat (genus
proximum) dan perbedaan spesifik (differentia specifica). Yang dimaksud dengan jenis

30
(genus) adalah setiap pengertian yang menyatakan hanya sebagian saja dari hakekat
sesuatu. Artinya, pengertian tersebut belum menyatakan hakekat sesuatu itu seutuh-
utuhnya. Contohnya, “hewan” merupakan sebagian saja dari hakekat manusia.
Selanjutnya, yang dimaksudkan dengan golongan (species) adalah setiap pengertian
yang bisa dikenakan pada bawahan-bawahannya sebagai hakekat yang utuh dari setiap
bawahan itu. Pengertian ini merupakan jawaban yang lengkap atas pertanyaan: Apakah
hakekat sesuatu itu? Akhirnya perbedaan spesifik (differentia specifica) adalah setiap
pengertian yang membedakan golongan (species) dari jenis (genus)nya. Contohnya,
“berakal budi” membedakan manusia (species) dari hewan (genus).
Memang definisi ini penting sekali, tetapi sering kali tidak dapat dicapai.
Mengapa? Sering kali perbedaan spesifik (differentia specifica) banyak hal tidak
(dapat) diketahui. Contohnya, sulitlah mengetahui perbedaan antara “burung pipit” dan
“burung layang-layang”, antara beda benda yang diselidiki dalam ilmu alam, ilmu
kimia, dan ilmu hayat. Namun dalam ilmu pasti, ilmu ukur, dan ilmu hitung (yang
biasa disebut ilmu-ilmu “a priori) definisi hakiki (esensial) ini biasanya dapat dicapai.
b. Definisi gambaran (lukisan).
Definisi ini menggunakan ciri-ciri khas sesuatu yang akan didefinisikan. Ciri-ciri
khas adalah ciri-ciri yang selalu dan tetap terdapat pada setiap benda tertentu.
Contohnya, semua burung gagak itu hitam. Artinya, dengan mengumpulkan jumlah ciri
khas itu, dapatlah dibedakan golongan (species) yang satu dari golongan (species) yang
lain.
Di satu pihak definisi ini tidaklah sesempurna definisi hakiki, tetapi di lain pihak
definisi tersebut cukup sempurna untuk membedakan sesuatu dari sesuatu lainnya.
Definisi ini lazim dipakai dalam ilmu-ilmu “a posteriori”, seperti ilmu alam, ilmu
hayat, dan ilmu kimia.
c. Definisi Tujuan (Manfaat)
Definisi yang menunjukkan maksud-tujuannya sesuatu. Contohnya, arloji adalah
sesuatu alat untuk menunjukkan waktu., yang disusun sedemikian rupa hingga dapat
dimasukkan dalam saku atau diikat di lengan. Definisi ini umumnya dipakai untuk alat-
alat teknik dan dapat mendekati definisi hakiki.
d. Definisi Kausalitas
Sering kali definisi diadakan hanya dengan menunjukkan sebab-musabab sesuatu.
Contohnya, gerhana bulan terjadi karena bumi berada di antara bulan dan matahari.

5.2. Aturan Definisi


Ada beberapa peraturan yang perlu ditepati untuk suatu definisi. Aturan-aturan
itu adalah:
1. Definisi harus dapat dibolakbalikkan dengan hal yang didefinisikan. Artinya, luas
keduanya harus sama. Contohnya, “hewan yang berakal budi” harus dapat dibolak-
balikkan dengan “manusia”.
2. Definisi tidak boleh negatif, kalau dapat dirumuskan secara positif. Contohnya, logika
bukanlah suatu pengetahuan tentang barang-barang purbakala.
3. Apa yang didefinisikan tidak boleh masuk ke dalam definisi. Kalau hal itu terjadi, kita
jatuh ke dalam bahaya yang disebut “circulus in definiendo”. Artinya, sesudah
berputar-putar beberapa lamanya, akhirnya kita dibawa kembali ke titik pangkal oleh
definisi itu. Kita tidak maju sedikit pun. Contohnya, logika adalah pengetahuan yang
menerangkan hukum logika, hidup adalah jumlah fungsi vital.
4. Definisi tidak boleh dinyatakan dalam bahasa yang kabur, kiasan atau mendua arti.
Kalau hal itu terjadi, definisi itu tidak mencapai tujuannya. Orang mendefinisikan

31
sesuatu yang tidak diketahui dengan pertolongan sesuatu yang lebih tidak diketahui
lagi (ignotum per ignotius).

VI. PENYIMPULAN (CONCLUSION/ISTIDLAL)


Proses selanjutnya setelah membuat putusan adalah proses membuat
kesimpulan, dalam konteks mantiq disebut dengan istidlal, sedang dalam konteks logika
disebut konklusi. Pada prinsipnya ada dua proses penyimpulan yang dilakukan oleh
nalar/rasio manusia, yaitu : deduksi dan induksi. Dalam bahasa logika deduksi disebut
dengan silogisme, dalam konteks mantiq disebut qiyas. Induksi dalam konteks logika
disebut generalisasi, sedang dalam konteks mantiq disebut istiqra`. Proses penyimpulan
merupakan proses, yang secara teknis; menghubungkan satu putusan dengan satu
putusan yang lain (satu atau lebih dari satu putusan) menghasilkan satu putusan baru.
Penyimpulan adalah suatu kegiatan manusia yang tertentu. Dalam dan dengan
kegiatan itu ia bergerak menuju ke pengetahuan yang baru, dari pengetahuan yang telah
dimilikinya dan berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya itu.
Disebut “kegiatan manusia”, karena mencakup seluruh diri manusia, meski
pun akal budinya yang memegang tampuk pimpinan. Maksud kata “bergerak” adalah
untuk menyatakan perkembangan pikiran manusia. Sedangkan kata “ke pengetahuan
yang baru” menunjukkan tujuan yang akan dicapai dalam pemikiran. Pengetahuan yang
baru itu juga disebut kesimpulan atau conclusion, sebagai hasil dari suatu konsukuensi.
Hal ini juga menyatakan adanya sesuatu kemajuan. Kemajuan itu terletak dalam hal ini:
Pengetahuan yang baru sudah terkandung dalam pengetahuan yang lama, tetapi belum
dimengerti dengan jelas. Dalam pengetahuan yang baru itu barulah dimengerti dengan
baik dasar serta sebabnya suatu kesimpulan ditarik. Maksud dari kata “dari pengetahuan
yang telah dimiliki” menunjukkan titik pangkal serta dorongan untuk maju. Dalam
logika hal ini disebut antecedens (yang mendahului) atau praemissae (premis, titik
pangkal). Sedangkan maksud dari kata “berdasarkan pengetahuan yang telah
dimilikinya itu” menunjukkan bahwa antara pengetahuan yang baru dan pengetahuan
yang lama ada hubungan yang bukan kebetulan. Hubungan ini disebut konsekuensi
(consequentia) sebagai hubungan penyimpulan.
Baik antecedens maupun consequens selalu terdiri atas putusan. Putusan pada
gilirannya terdiri atas term-term. Baik putusan-putusan maupun term-term merupakan
materi penyimpulan. Sedangkan hubungan penyimpulan merupakan forma penyimpulan
itu.
Kesimpulan bisa lurus, bisa tidak lurus atau palsu. Kesimpulan itu lurus,
apabila harus dan dapat ditarik dari antecedens-nya. Kesimpulan itu tidak lurus atau
palsu, apabila tidak dapat atau tidak boleh ditarik dari padanya.

6.1. Deduksi (Syllogisme/Qiyas)


Dalam proses deduksi, penyimpulan dari dua putusan itu, satu putusan bersifat
universal dan satu putusan bersifat partikular menghasilkan satu putusan yang bersifat
partikular. Dalam proses induksi penggabungkan putusan-putussan yang bersifat
partikular menghasilkan satu putusan yang bersifat universal.
Silogisme merupakan bagian dari pembahasan mengenai logika. Bahkan
silogisme adalah bagian terpenting dari logika. Silogisme ini merupakan bagian dari
penyimpulan atas suatu kejadian. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai silogisme
maka perlu dikemukakan terlebih dahulu mengenai penyimpulan itu sendiri.

32
Penyimpulan dibagi menjadi dua, penyimpulan secara langsung dan
penyimpulan secara tidak langsung. Penyimpulan secara langsung adalah deduktif yang
konklusinya ditarik hanya dari satu premis saja. Konklusi dari inferensi langsung
menerangkan arti proposisi itu. Akan tetapi, konklusi ini tidak dapat lebih umum
sifatnya dari premisnya. Sebab, sifatnya deduktif. Penyimpulan secara langsung ini
sifatnya terbatas, yaitu hanya tentang suatu proposisi baru dan bukan tentang sebuah
kebenaran baru. Oleh karena itu ada sebagian tokoh seperti John Start Mill yang
mengkritik dan menganggap penyimpulan secara langsung ini tidak valid. Akan tetapi,
sebagai bagian dari pengetahuan maka akan dijelaskan juga sistem ini.

6.1.1. Penyimpulan Langsung


Penyimpulan secara langsung secara sederhana dapat dibagi menjadi;
a. Konversi
Konversi atau pembalikan adalah suatu bentuk penyimpulan langsung
dimana subjek dan predikat sebuah prosisi ditukar tempatnya sehingga yang semua
subjek menjadi predikat dan yang semua predikat menjadi subjek. Menarik konklusi
dengan konversi ini hanya terjadi apabila subjek dan predikatnya adalah term-term
yang relatif. Dalam konversi ini prosisi yang dikonversikan dan hasil konversinya
harus sama kualitasnya. Contohnya: premis: Semua Mahasiswa adalah bukan anak
kecil. Konklusi: semua anak kecil adalah bukan mahasiswa.
Akan tetapi jika konversi itu adalah berupa aksidental maka konversi ini
akan mengalami pengurangan pada kuantitas salah satunya. Konversi seperti ini
akan terjadi pada proposisi A ----I atau E-----O.
Hukum konversi adalah
(1). Proposisi A hanya dapat dibalik menjadi proposisi I.
(2). Proposisi E dapat dikonversikan ke proposisi E dan O.
(3). Proposisi I hanya dikonversikan pada proposisi I saja.
(4). Proposisi O tidak dapat dikonversikan.
Keterangan: A= Afirmatif Universal, I. Afirmatif Partikular, E. Negatif
Universal dan O. Negatif partikular.

b. Obversi
Obversi adalah penarikan konklusi secara langsung dimana terjadi perubahan
kualitas proposisi, namun artinya sama. atau bisa diartikan juga dengan membuat
proposisi afirmatif menjadi negatif dan proposisi negatif menjadi afirmatif. Tujuan
dari obversi ini adalah menegaskan proposisi yang asli dengan menambahkan
proposisi lainnya yang ekuivalen dan menjadikan proposisi kedua tersebut
mempunyai makna persis.
Aturan dalam proposisi ini adalah, subjek pada proposisi asli (yang
mengandung gagasan pokok) tidak boleh mengalami perubahan, kualitas proposisi
dirubah dari negatif menjadi afirmatif dan sebaliknya, kuantitas proposisi asli tidak
boleh berubah dan terakhir predikat pada kedua proposisi harus dijadikan
kontradiktif. Dari aturan tersebut dapat diketahui bahwa:
1. A ------ E,
2. E ------ A,
3. I ------- O,
4. O ------- I

c. Kontraposisi

33
Kontraposisi adalah bentuk penalaran langsung yang tersusun melalui
prosedur pertama term subjek maupun predikat diganti dengan komplement masing-
masing, dan kedua proposisi yang sudah berubah kemudian dikonversikan: subjek
dan predikat dibalik. Konklusi melalui kontraposisi ini dinamakan dengan
kontrapositif. Contohnya: semua pejuang kemerdekaan adalah pembela bangsa,
konklusinya menjadi, semua yang bukan pejuang adalah non pembela bangsa.
Adapun hasil dari kontraposisi ini, yaitu;
a) A-----E,
b) E----I,
c) O-----I
d. Inversi
Inversi adalah bentuk penalaran langsung dimana subjek pada konklusi
kontradiktori dari subjek proposisi yang diberikan. Inversi ini ada dua, penuh dan
tidak penuh. Inversi penuh adalah inversi yang predikat inversinya adalah
kontradiktori dari predikat proposisi yang diberikan, sedangkan inversi sebagian
adalah inversi yang predikat inversinya sama dengan predikat invertednya. Inversi
penuh hanya terjadi pada;
a) A-----I,
b) E-----O,
Inversi sebagian terjadi pada;
a) A-----O,
b) E-----I.
e. Oposisi
Oposisi adalah pertentangan yang terdapat di antara dua proposisi yang
mempunyai subjek dan predikat yang sama namun berbeda dalam kuntitas dan
kualitasnya. Opisisi ini ada empat macam kontraris, oposisi kontradiktoris, oposisi
subkontraris dan oposisi subaltern. Untuk mempermudah dalam mengingat maka
perhatian skema berikut:

Kontraris
A E

Subalteren Kontradiktoris Subalteren

I O
Subkontraris

6.1.2. Silogisme Kategoris

1. Silogisme adalah setiap penyimpulan, di mana dari dua putusan (premis-premis)


disimpulkan suatu putusan yang baru (kesimpulan). Putusan yang baru itu berhubungan

34
erat sekali dengan premis-premisnya. Keeratannya terletak dalam hal: Jika premis-
premisnya benar, dengan sendirinya atau tidak dapat tidak kesimpulannya juga benar.
2. Ada dua macan silogisme itu. Yang satu disebut silogisme kategoris dan yang lain
disebut silogisme hipotetis.
Silogisme kategoris adalah silogisme yang premis-premis dan kesimpulannya
berupa putusan kategoris. Silogisme ini dapat dibedakan menjadi:
- Silogisme kategoris tunggal, karena terdiri atas dua premis.
- Silogisme kategoris tersusun, karena terdiri atas lebih dari dua premis.
Silogisme hipotetis adalah silogisme yang terdiri atas satu premis atau lebih
yang berupa putusan hipotetis. Silogisme ini juga dapat dibedakan menjadi:
 Silogisme (hipotetis) kondisional, yang ditandai dengan ungkapan: jika…,
maka…
 Silogisme (hipotetis) disyungtif, yang ditandai dengan ungkapan: atau…, atau…
 Silogisme (hipotetis) konyungtif, yang ditandai dengan ungkapan: tidak
sekaligus…, dan…
3. Silogisme kategoris tunggal merupakan bentuk silogisme yang terpenting. Silogisme
ini terdiri atas tiga term, yakni: subyek (S), predikat (P), dan term antara (M).
Biasanya silogisme ini dibagankan sebagai berikut:
Setiap manusia dapat mati M – P
Budi adalah manusia S–M
Jadi, Budi dapat mati S–P
Term major adalah predikat dari kesimpulan. Term itu harus terdapat dalam
kesimpulan dan salah satu premis, biasanya dalam premis yang pertama. Premis yang
mengandung predikat itu disebut major.
Term minor adalah subyek dari kesimpulan. Term itu biasanya terdapat
dalam premis yang lain, biasanya dalam premis yang kedua. Premis yang mengandung
subyek itu disebut minor.
Term antara adalah term yang terdapat dalam kedua premis, tetapi tidak
terdapat dalam kesimpulan. Dengan term antara ini subyek dan predikat dibandingkan
satu sama lain. Dengan demikian subyek dan predikat dipersatukan atau dipisahkan satu
sama lain dalam kesimpulan.
Namun dalam percakapan sehari-hari, dalam buku-buku atau tulisan-tulisan,
bagan seperti ini tidak selalu nampak dengan jelas. Sering kali ada putusan yang
tersembunyi. Kesulitan yang sama juga terdapat dalam putusan. Ketika berbicara
tentang putusan, sudah dianjurkan supaya putusan itu dijabarkan dalam bentuk logis.
Dan sekarang juga dianjurkan supaya pemikiran-pemikiran dijabarkan dalam bentuk
silogisme kategoris. Artinya dianjurkan supaya dirumuskan sedemikian rupa sehimgga
titik pangkalnya serta jalan pikiran yang terkandung di dalamnya dapat diperlihatkan
dengan jelas. Untuk itu perlu:
1. menentukan dahulu kesimpulan mana yang ditarik;
2. mencari apakah alasan yang disajikan (M);
3. lalu menyusun silogisme berdasarkan subyek dan predikat (kesimpulan) serta
term antara.
4. Ada hukum-hukum yang perlu ditepati dalam silogisme kategoris. Hukum-hukum itu
dibedakan dalam dua kelompok. Kelompok yang satu menyangkut term-term dan yang
lainnya menyangkut putusan-putusan.
4.1. Yang menyangkut term-term.
1. Silogisme tidak boleh mengandung lebih atau kurang dari tiga term. Kurang
dari tiga term berarti tidak ada silogisme. Lebih dari tiga term berarti tidak adanya
perbandingan. Kalau pun ada tiga term, ketiga term itu haruslah digunakan dalam arti

35
yang sama tepatnya. Kalau tidak, hal itu sama saja dengan menggunakan lebih dari tiga
term.
Contohnya: Anjing itu menggonggong.
Hewan itu anjing.
Jadi, hewan itu menggonggong.
2. Term-antara (M) tidak boleh masuk (terdapat dalam) kesimpulan. Hal ini
sebenarnya sudah jelas dari bagan silogisme. Selain itu masih dapat dijelaskan; Term-
antara (M) dimaksudkan untuk mengadakan perbandingan dengan term-term.
Perbandingan itu terjadi dalam premis-premis. Karena itu term-antara (M) hanya
berguna dalam premis-premis saja.
3. Term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas daripada
dalam premis-premis. Artinya, term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh
universal, kalau dalam premis-premis partikular. Ada bahaya “latius hos”, yang
merupakan singkatan dari hukum silogisme: “Latius hos quam praemissae conclusio
non vult”. Ungkapan ini sama dengan generalisasi. Baik “latius hos” mau pun
generalisasi menyatakan ketidakberesan atau kesalahan dalam penyimpulan, yakni:
menarik kesimpulan yang terlalu luas. Menarik kesimpulan yang universal padahal yang
benar hanyalah kesimpulan dalam bentuk putusan yang partikular saja.
Contohnya: Anjing adalah makhluk hidup.
Manusia bukan anjing.
Jadi, manusia bukan makhluk hidup.
4. Term-antara (M) harus sekurang-kurangnya satu kali universal. Jika term-
antara partikular baik dalam premis major mau pun minor, mungkin sekali term=antara
itu menjukkan bagian-bagian yang berlainan dari seluruh luasnya. Kalau begitu term-
antara tidak lagi berfungsi sebagai term-antara dan tidak lagi menghubungkan/
memisahkan subyek dan predikat.
Contohnya: Banyak orang kaya kikir.
Budi adalah orang kaya.
Jadi, Budi kikir.
4.2. Yang menyangkut putusan-putusan.
1. Jika kedua premis (major dan minor) afirmatif atau positif, maka
kesimpulannya harus afirmatif atau positif pula.
2. Kedua premis tidak boleh negatif. Sebab, term-antara (M) tidak lagi berfungsi
sebagai penghubung/pemisah subyek dan predikat. Dalam silogisme sekurang-
kurangnya satu, yakni subyek atau predikat, harus dipersamakan dengan term-antara
(M).
Contohnya: Batu bukan hewan.
Anjing bukan batu.
Jadi, anjing bukan hewan.
3. Kedua premis tidak boleh partikular. Sekurang-kurangnya satu premis harus
universal. Kalau tidak, ada hukum yang dilanggar.
Contohnya: Ada orang kaya yang tidak tenteram hatinya.
Banyak orang jujur tenteram hatinya.
Jadi, orang-orang kaya tidak jujur.
4. Kesimpulan harus sesuai dengan premis yang paling lemah. Putusan
partikular adalah putusan yang “lemah” dibandingkan dengan putusan yang universal.
Putusan negatif adalah putusan yang “lemah” dibandingkan dengan putusan yang
afirmatif atau positif. Karena itu;
- jika salah satu premis partikular, kesimpulan juga harus partikular.
- jika salah satu premis negatif, kesimpulan juga harus negatif.

36
- jika salah satu premis negatif dan partikular, kesimpulan juga harus negatif dan
partikular. Kalau tidak, ada bahaya “latius hos” lagi.
Contohnya: Beberapa anak puteri tidak jujur.
Semua anak puteri itu manusia (orang).
Jadi, beberapa manusia (orang) tidak jujur.
5. Susunan silogisme yang lurus
Silogisme yang baru dijelaskan tadi merupakan bentuk logis dari
penyimpulan. Penyimpulan itu tersusun dari tiga term. Ketiga term itu adalah subyek
(S), predikat (P), dan term-antara (M). Yang terakhir ini merupakan kunci silogisme.
Sebab, term-antara itulah yang menyatakan mengapa subyek dipersatukan dengan
predikat atau dipisahkan dari padanya dalam kesimpulan. Kemudian, penyimpulan juga
tersusun dari tiga putusan. Ketiga putusan itu adalah premis major, premis minor, dan
kesimpulan. Dan akhirnya, ketiga putusan itu dapat dibedakan menurut bentuk dan
luasnya. Pembedaan ini menghasilkan putusan A, putusan E, putusan I, dan putusan O.
5.1. Unsur-unsur yang terdapat di atas dapat dikombinasikan satu sama lain. Kalau
dikombinasikan, terdapat susunan-susunan yang berikut:
1. M – P 2. P – M 3. M – P 4. P – M
S–M S–M M–S M–S
S–P S–P S–P S–P
Setiap putusan itu menurut tempat term-antara.
Setiap putusan tadi masih dapat berupa putusan A, E, I, dan O, menurut bentuk
dan luasnya. Dan kalau semuanya dikombinasikan, secara teoritis diperoleh 64 (bahkan
256) kemungkinan. Tetapi ternyata tidak setiap kombinasi menghasilkan susunan
silogisme yang lurus. Dengan memperhatikan hukum-hukum silogisme, hanya terdapat
19 kombinasi yang lurus. Kombinasi-kombinasi ini pun masih harus menepati beberapa
syarat lagi.
5.2. Susunan yang pertama: M – P
S–M
S–P
- Susunan ini merupakan susunan yang paling sempurna dan tepat sekali untuk
suatu eksposisi yang positif.
- Syarat-syaratnya adalah: premis minor harus afirmatif dan premis major
universal.
- Kombinasi-kombinasi yang mungkin: AAA, EAE, AII, dan EIO (AAI dan
EAO tidak lazim di sini).
Contohnya:
AAA :
Semua manusia dapat mati.
Semua orang Indonesia adalah manusia.
Jadi, semua orang Indonesia dapat mati.
(AAI) :
Semua manusia dapat mati.
Semua orang Indonesia adalah manusia.
Jadi, beberapa orang Indonesia dapat mati.
EAE :
Semua manusia bukanlah abadi.
Semua orang Indonesia adalah manusia.
Jadi, semua orang Indonesia bukanlah abadi.
(EAO) :
Semua manusia bukanlah abadi.

37
Semua orang Indonesia adalah manusia.
Jadi, beberapa orang Indonesia bukanlah abadi.
AAI :
Semua anjing menyalak.
Bruno adalah anjing.
Jadi, Bruno menyalak.
EIO :
Tidak ada seorang manusia pun yang adalah seekor harimau.
Beberapa hewan adalah manusia.
Jadi, beberapa hewan bukanlah harimau.

5.3. Susunan yang kedua: P – M


S–M
S–P
- Susunan ini tepat sekali untuk menyusun suatu sanggahan.
- Syarat-syaratnya adalah: Sebuah premis harus negatif, premis major harus
universal.
- Kombinasi-kombinasi yang mungkin: EAE, AEE, EIO, dan AOO (EAO dan
AEO tidak lazim di sini).
Contohnya:
EAE :
Tidak ada kucing yang mempunyai sayap.
Semua burung mempunyai sayap.
Jadi, tidak ada burung yang adalah kucing.
(EAO) :
Tidak ada kucing yang mempunyai sayap.
Semua burung mempunyai sayap.
Jadi, seekor burung bukanlah kucing.
AEE :
Semua manusia berakal budi.
Kerbau tidak berakal budi.
Jadi, kerbau bukanlah manusia.
(AEO) :
Semua manusia berakal budi.
Kerbau tidak berakal budi.
Jadi, seekor kerbau bukanlah manusia.
EIO :
Semua manusia yang normal bukanlah ateis.
Beberapa orang Indonesia adalah ateis.
Jadi, beberapa orang Indonesia bukanlah manusia yang normal.
AOO :
Semua ikan dapat berenang.
Beberapa burung tidak dapat berenang.
Jadi, beberapa burung bukanlah ikan.
5.4. Susunan yang ketiga: M – P
M–S
S–P
- Susunan ini tidak sesederhana susunan yang pertama dan kedua, maka jarang
dipakai.

38
- Syarat-syaratnya adalah: Premis minor harus afirmatif dan kesimpulan
partikular.
- Kombinasi-kombinasi yang mungkin: AAI, IAI, AII, EAO, OAO, dan EIO.
Contohnya:
AAI :
Semua manusia berakal budi.
Semua manusia adalah hewan.
Jadi, beberapa hewan berakal budi.
IAI :
Beberapa murid nakal.
Semua murid adalah manusia.
Jadi, beberapa manusia (adalah) nakal.
AII :
Semua mahasiswa adalah manusia.
Beberapa mahasiswa (adalah) pandai.
Jadi, beberapa manusia (adalah) pandai.
EAO :
Semua manusia bukanlah burung.
Semua manusia adalah hewan.
Jadi, beberapa hewan bukanlah burung.
OAO :
Beberapa ekor kuda tidak ada gunanya.
Semua kuda adalah hewan.
Jadi, beberapa hewan tidak ada gunanya.
EIO :
Tidak ada seorang manusia pun mempunyai ekor.
Beberapa manusia berbadan kekar.
Jadi, beberapa orang yang berbadan kekar tidak mempunyai ekor.
5.5. Susunan yang keempat: P – M
M–S
S–P
- Susunan ini tidak lumrah dan hampir tidak pernah dipakai, karena itu
sebaiknya
disingkirkan.
- Syarat-syaratnya adalah:
 Apabila premis major afirmatif, premis minor harus universal.
 Apabila premis minor afirmatif, kesimpulan harus partikular.
 Apabila salah satu premis negatif, premis major harus universal.
- Kombinasi-kombinasi yang mungkin: AAI, AEE, IAI, EAO, dan EIO (AEO
tidak lazim di sini).
Contohnya:
AAI :
Semua manusia adalah hewan.
Semua hewan dapat mati.
Jadi, beberapa yang dapat mati adalah manusia.
AEE :
Semua orang sombong (adalah) kerbaus kepala.
Tidak ada seorang yang kerbaus kepala pun disenangi orang.
Jadi, yang tidak disenangi orang adalah orang sombong.
IAI :

39
Beberapa orang kaya (adalah) licik.
Semua yang licik adalah manusia.
Jadi, beberapa manusia adalah orang kaya.
EAO :
Tidak ada bangsat yang disayangi.
Semua yang disayangi adalah yang baik tingkah-lakunya.
Jadi, beberapa yang baik tingkah-lakunya bukanlah bangsat.
EIO :
Tidak ada mahasiswa bodoh yang bisa lulus.
Beberapa yang lulus (adalah) rajin.
Jadi, beberapa yang rajin bukanlah mahasiswa yang bodoh.
(AEO) :
Semua yang cinta akan tanah air Indonesia (adalah) cinta akan pancasila.
Tidak ada seorang pun yang cinta akan pancasila mempropagandakan
kekerbausan.
Jadi, beberapa bebrapa orang yang mempropagandakan kekerbausan tidak cinta
tanah air Indonesia.

6. Silogisme tersusun
Ada beberapa silogisme yang disebut silogisme tersusun. Silogisme-
silogisme iru adalah:

6.1. Epicherema
Epicherema adalah silogisme yang salah satu premisnya atau juga kedua-
duanya disambung dengan pembuktiannya.Silogisme ini juga disebut silogisme dengan
suatu premis kausal.
Contohnya:
Setiap pahlawan itu agung, karena pahlawan adalah orang yang berani
mengerjakan hal-hal yang mengatasi tuntutan kewajibannya.
Jenderal Sudirman adalah seorang pahlawan.
Jadi, Jenderal Sudirman adalah agung.

6.2. Enthymema
Enthymema adalah silogisme yang salah satu premisnya atau
kesimpulannya dilampaui. Juga disebut silogisme yang dipersingkat.
Contohnya:
Jiwa manusia adalah rohani.
Jadi, tidak akan mati.
Kalau dijabarkan menjadi silogisme yang lengkap, tersusun seperti:
Yang rohani itu tidak dapat (akan) mati.
Jiwa manusia adalah rohani.
Jadi, jiwa manusia tidak dapat (akan) mati.

6.3. Polysillogisme
Polysillogisme adalah suatu deretan silogisme. Silogisme itu dideretkan
sedemikian
rupa, sehingga kesimpulan silogisme yang satumenjadi premis untuk silogisme
yang lainnya.
Contohnya:

40
Seorang, yang menginginkan lebih daripada yang dimilikinya, merasa tidak
puas.
Seorang yang rakus, adalah seorang yang menginginkan lebih daripada yang
dimilikinya.
Jadi, seorang yang rakus merasa tidak puas.
Seorang yang kikir adalah seorang yang rakus.
Jadi, seorang yang kikir merasa tidak puas.
Budi adalah seorang yang kikir.
Jadi, Budi merasa tidak puas.

6.4. Sorites
Sorites adalah suatu macam polysillogisme, suatu deretan silogisme.
Silogisme itu terdiri atas lebih dari tiga putusan. Putusan-putusan itu dihubungkan satu
sama lain sedemikian rupa, sehingga predikat dari putusan yang satu selalu menjadi
subyek putusan yang berikutnya. Dalam kesimpulan, subyek dari putusan yang pertama
dihubungkan dengan predikat putusan yang terakhir.
Contohnya:
Orang yang tidak mengendalikan keinginannya, menginginkan seribu satu
macam barang.
Orang yang menginginkan seribu satu macam barang, banyak sekali
kebutuhannya.
Orang yang banyak sekali kebutuhannya, tidak tenteram hatinya
Jadi, orang yang tidak mengendalikan keinginannya, tidak tenteram hatinya.

6.1.3. SILOGISME HIPOTETIS


Silogisme hipotetis terdiri atas silogisme (hipotetis) kondisional, silogisme
(hipotetis) disyungtif, dan silogisme (hipotetis) konyungtif.

1. Silogisme (hipotetis) kondisional


Silogisme ini adalah silogisme yang premis majornya berupa putusan
kondisional. Putusan kondisional itu terdiri atas dua bagian, yaitu: jika…, maka…
Bagian yang satu dinyatakan benar, kalau syarat yang dinyatakan dalam bagian
yang lainnya terpenuhi.
Bagian putusan kondisonal yang mengandung syarat disebut antecedens. Dan
bagian putusan yang mengandung apa yang disyaratkan disebut consequens. Sebutan itu
tidak berubah, meski pun urutan keduanya diubah.
Yang merupakan inti putusan kondisional adalah hubungan antara antecedens
dan consequensnya. Karena itu, putusan kondisional benar, kalau hubungan bersyarat
yang dinyatakan di dalamnya benar. Putusan itu salah, kalau hubungan itu tidak benar.

1.1. Hukum-hukum silogisme (hipotetis) kondisional:


1. Kalau antecedensnya benar (dan hubungannya lurus), maka consequens
(kesimpulan)nya juga benar.
2. Kalau consequens (kesimpulan)nya salah (dan hubungannya lurus), maka
antecedensnya juga salah.
Artinya, premis major suatu silogisme kondisional merupakan suatu putusan
kondisional yang benar. Premis major itu, Contohnya: “Jika hujan, aku tidak pergi”.
Antecedensnya adalah “jika hujan”, consequensnya adalah “aku tidak pergi”.
Jika antecedensnya disebut A, dan consequensnya B, akan terjadi yang berikut
ini:

41
 Jika A benar (artinya: benar hujan), B juga benar (artinya: aku tidak pergi).
 Jika B salah (artinya: aku pergi), A juga salah (artinya: tidak hujan).
 Jika A salah (artinya: tidak hujan), B dapat salah tetapi juga dapat benar (artinya:
belum pasti aku pergi).
 Jika B benar (artinya: aku tidak pergi), A dapat salah tetapi juga dapat benar
(artinya: belum pasti hujan).

2. Silogisme (hipotetis) disyungtif


Silogisme ini adalah silogisme yang premis majornya terdiri dari putusan
disyungtif. Premis minor mengakui atau mengingkari salah satu kemungkinan yang
sudah disebut dalam premis major. Kesimpulan mengandung kemungkinan yang lain.
Silogisme (hipotetis) disyungtif dibedakan menjadi:
2.1. Silogisme (hipotetis) disyungtif dalam arti yang sempit.
Silogisme ini hanya mengandung dua kemungkinan, tidak lebih dan tidak
kurang. Keduanya tidak dapat sama-sama benar. Dari dua kemungkinan itu hanya satu
yang dapat benar. Tidak ada kemungkinan yang ketiga.
Contohnya:
Ia masuk atau tidak masuk (= tinggal di luar).
Ia masuk.
Jadi, ia tidak tidak masuk (= tidak tinggal di luar).
2.2. Silogisme (hipotetis) disyungtif dalam arti yang luas.
Dalam silogisme ini terdapat dua kemungkinan yang harus dipilih. Tetapi
kedua kemungkinan ini dapat sama-sama benar juga. Jika kemungkinan yang satu
benar, kemungkinan yang lain mungkin benar juga. Kedua kemungkinan itu bisa
dikombinasikan. Kombinasi ini menunjukkan adanya kemungkinan ketiga. Karena itu
silogisme ini praktis tidak bisa dipakai untuk membuktikan sesuatu.
Contohnya:
Dia yang pergi atau saya (premis disyungtif dalam arti yang luas).
Dia pergi.
Jadi, (tidak dapat disimpulkan bahwa “saya tidak pergi”).
Contoh ini menunjukkan adanya kemungkinan ketiga: Dia dan saya pergi
bersama-sama.
Silogisme disyungtif dalam arti yang sempit nampak dalam dua corak, yaitu:
1. Mengakui satu bagian disyungsi dalam premis minor. Bagian yang lainnya
dimungkiri dalam kesimpulan. Corak ini disebut “modus ponendo tollens”.
Contohnya:
Mobil kita diam atau bergerak (= tidak diam).
Karena diam, jadi tidak bergerak (= tidak tidak diam).
2. Mengingkari satu bagian disyungsi dalam premis minor. Dalam kesimpulan
bagian lainnya diakui. Corak ini disebut “modus tollendo ponens”.
Contohnya:
Mobil kita diam atau tidak diam (bergerak).
Karena tidak bergerak, jadi diam.

3. Silogisme (hipotetis) konyungtif


Silogisme ini adalah silogisme yang premis majornya berupa putusan
konyungftif. Putusan konyungtif adalah putusan di mana persesuaian beberapa predikat
untuk satu subyek disangkal. Supaya putusan itu sungguh konyungtif dituntut supaya

42
antara predikat ada perlawanan. Contohnya: “Budi tidak mungkin sekaligus bergerak
dan beristirahat”.
Silogisme ini bisa nampak dalam dua kemungkinan.
1. Kemungkinan yang pertama disebut afirmatif negatif. Artinya, premis minor
afirmatif dan kesimpulannya negatif.
Contohnya:
Kartu tidak mungkin sekaligus putih dan hitam.
Kartu itu putih.
Jadi, kartu itu bukan hitam.
2. Kemungkinan yang kedua disebut negatif afirmatif. Artinya, premis minor
negatif dan kesimpulannya afirmatif.
Contohnya:
Kartu tidak mungkin sekaligus putih dan hitam.
Kartu itu tidak putih.
Jadi, kartu itu hitam.
Ada hukum yang mengatur silogisme (hipotetis) konyungtif ini. Hukum itu
didasarkan atas hukum perlawanan kontraris (A – E): Jika yang satu benar, yang lain
tentu salah. Jika yang satu salah, yang lain tidak pasti benar (artinya: dapat benar, tetapi
juga dapat salah). Dan masih ada kemungkinan yang ketiga, yakni kedua-duanya sama-
sama Salah. Karena itu, kalau yang satu (premis minor silogisme hipotetis konyungtif)
benar, maka yang lain pasti salah. Dan kalau yang satu (premis minor silogisme
hipotetis konyungtif) salah, maka yang lainnya tidak pasti benar (dapat benar, tetapi
juga dapat salah).
Karana itu kemungkinan yang pertama (afirmatif negatif) membuahkan
kesimpulan yang tepat, benar. Sedangkan kemungkinan yang kedua (negatif afirmatif)
tidak menghasilkan kesimpulan yang tepat, benar. Namun kalau kedua putusan
(hipotetis) konyungtif merupakan perlawanan kontradiktoris, maka semua kemungkinan
menghasilkan kesimpulan yang tepat, benar.
Contohnya:
Mobil kita tidak mungkin sekaligus bergerak dan diam.
Mobil kita tidak diam.
Jadi, mobil kita bergerak.

4. Dilemma
Dilemma dalam arti yang sempit merupakan suatu pembuktian. Dalam
pembuktian itu ditarik kesimpulan yang sama dari dua atau lebih dari dua putusan
disyungtif. Di dalamnya dibuktikan bahwa daru setiap kemungkinan niscaya ditarik
kesimpulan yang tidak dikehendaki. Dengan demikian “lawan” dipojokkan. Pemojokan
itu terjadi dengan menghadapkan pada suatu alternatif. Tetapi setiap alternatif menjurus
kepada kesimpilan yang sama.
Ada persamaan antara dilemma dengan dalam arti yang sempit dengan
silogisme hipotetis disyungtif. Baik silogisme (hipotetis) disyungtif mau pun dilemma
mulai dengan putusan disyungtif. Namun keduanya juga berbeda. Prosedur dilemma
berbeda denga prosedur silogisme (hipotetis) disyungtif. Premis minor dilemma
menunjukan bahwa bagian mana pun yang dipilih oleh “lawan”, “lawan” itu tetap salah.
Padahal dalam silogisme (hipotetis) disyungtif dalam arti sempit hanya ada satu
kemungkinan saja yang benar. Tidak dapat kedua-duanya benar. Pilihan menentukan
mana bagian yang benar, mana bagian yang tidak benar.
Dalam arti yang luas, dilemma berarti setiap situasi di mana kita harus
memilih dari antara dua kemungkinan. Kedua kemungkinan itu mempunyai

43
konsekuensi-konsekuensi yang tidak enak. Konsekuensi-konsekuensi yang tidak enak
ini menyebabkan pilihan menjadi sukar.
Untuk dilemma dalam arti yang sempit, terdapat hukum-hukum yang perlu
diperhatikan, yakni:
1. Putusan disyungtif haruslah lengkap atau utuh. Artinya, semua kemungkinan
harus disebut. Tiap-tiap bagian harus sungguh selesai, habis, atau tuntas, sehingga tidak
ada kemungkinan yang lain lagi.
2. Konsekuensinya haruslah lurus. Artinya, haruslah disimpulkan secara lurus
dari tiap-tiap bagian.
3. Kesimpulan yang lain tidak mungkin. Artinya, kesimpulan tersebut
merupakan satu-satunya kesimpulan yang mungkin ditarik.

6.2. Induksi (Istiqra`)

Induksi (istiqra` dalam konteks mantiq) adalah suatu proses yang tertentu.
Dalam prose situ akal budi kita menyimpulkan pengetahuan yang “umum” atau
universal dari pengetahuan yang “khusus” atau partikular. Dengan induksi kita
mengangkat realitas objek yang bersifat individual tertentu, ke tingkat yang universal
atau umum. Dari proses tersebut, kita memperoleh pengertian yang umum tentang
realitas objek, atau hal, ataupun kejadian yang bersifat konkret serta individual. Hal ini
terjadi melalui proses “abstraksi”. Yang terjadi dalam proses abstraksi adalah
melepaskan sifat-sifat yang konkret, kita menentukan inti atau hakekat sesuatu. Inilah
dasar induksi sebagaimana digunakan dalam ilmu pengetahuan.
Di samping itu induksi juga dapat digunakan untuk melakukan prediksi terhadap
realitas objek yang bersifat individual. Prediksi ini terjadi karena kita mengalami
pengalaman yang sama berulang kali terhadap realitas objek yang sama, sehingga ketika
kita mengalami pengalaman berikutnya yang sama dengan pengalaman sebelumnya,
kita dapat memastikan hasil yang sama.
Sebagai contoh, kita mengunjungi kios buah-buahan di pasar untuk membeli
Jeruk. Sebelum membeli kita mengambil sebuah untuk mencicipinya. Ternyata Jeruk
tersebut masam. Kemudian kita memperhatikan Jeruk itu dan tampak bahwa Jeruk itu
kerbaus dan hijau. Kita ambil sebuah yang lain. Ternyata Jeruk itu pun kerbaus, hijau,
dan masam. Si pedagang menawarkan Jeruk ketiga. Akan tetapi sebelum mencicipinya,
kita memperhatikannya dan tampak bahwa Jeruk itu pun kerbaus dan hijau. Seketika itu
kita beritahukan, bahwa kita tidak menghendakinya, karena Jeruk yang itu pun pasti
masam, seperti yang lain-lainnya yang sudah kita cicipi.
Adapun proses pikiran si calon pembeli sehingga ia sampai pada kesimpulan
untuk tidak membeli Jeruk, merupakan sebuah proses induksi. Proses induksi tersebut
sebagai berikut:
Pertama-tama, kita telah melakukan kegiatan yang disebut induksi. Kita telah
menemukan bahwa dalam dua kali pengalaman sifat kerbaus dan hijau pada Jeruk itu
selalu bersama-sama dengan sifat masam. Demikianlah pada peristiwa yang pertama,
dan itu diperkuat dalam peristiwa yang kedua. Memang itu dasar yang amat sempit,
akan tetapi sudah cukup untuk dijadikan dasar induksi: kedua fakta itu kita
generalisasikan dan kita percaya akan berjumpa dengan rasa masam pada Jeruk, bila
kita temui sifat kerbaus dan hijau.
Induksi seperti di atas sesuai dengan definisi Aristoteles, yaitu proses
peningkatan dari hal-hal yang bersifat individual kepada yang bersifat universal (a
passage from individuals to universals). Di situ premisnya berupa proposisi-proposisi

44
singular, sedang konklusinya sebuah proposisi universal, yang berlaku umum. Maka
induksi dalam bentuk ini disebut generalisasi.
Akan tetapi penalaran calon pembeli itu juga dapat dirumuskan dalam bentuk
lain sebagai berikut:

Induksi:
Jeruk 1 kerbaus dan hijau adalah masam.
Jeruk 2 kerbaus dan hijau adalah masam.
Jeruk 3 adalah kerbaus dan hijau.
ֶ Jeruk 3 adalah masam.

Bentuk penalaran di atas juga suatu induksi, namanya analogi induktif. Untuk
analogi induktif ini mungkin batasan Aristoteles kurang mengena. Meskipun benar
bahwa tidak mungkin Jeruk 3 itu masam kalau tidak semua Jeruk kerbaus dan hijau itu
masam, akan tetapi konklusi penalaran di atas bukan suatu proposisi universal,
melainkan suatu proposisi singular. John Stuart Mill (1806-1873) salah seorang tokoh
terpenting yang mengembangkan logika induktif, mendefinisikan induksi sebagai:

“.. that operation of the mind, by which we infer that what we know to be true in
partikular case or cases, will be true in all cases which resemble the former in certain
assignable respects”.
Artinya, kegiatan budi, di mana kita menyimpulkan bahwa pada yang kita
ketahui benar untuk kasus atau kasus-kasus Khusus, juga akan benar untuk semua kasus
yang serupa dengan yang tersebut tadi dalam hal-hal tertentu.

Dari contoh dua jenis induksi di atas dapat diketahui ciri-ciri dari induksi.
Pertama: premis-premis dari induksi adalah proposisi empirik yang langsung
kembali kepada suatu observasi indera atau proposisi dasar (basic statement). Seperti
sudah diterangkan di atas. Proposisi dasar menunjuk kepada fakta, yaitu observasi yang
dapat diuji kesesuaiannya (disebut benar korespondensi dalam epistemologi) dengan
tangkapan indera. Pikiran tidak dapat mempersoalkan benar-tidaknya fakta, akan tetapi
hanya dapat menerimanya. Bahwa Jeruk 1 itu kerbaus, hijau, dan masam, hanya
pengalaman inderawilah yang dapat manangkapnya. Sekali pengalaman inderawi
mengatakan demikian, pikiran tinggal menerimanya.
Kedua: konklusi penalaran induktif itu lebih luas daripada apa yang
dinyatakan di dalam premis-premisnya. Premis-premisnya hanya mengatakan bahwa
Jeruk yang kerbaus, hijau, dan masam itu hanya dua, Jeruk 1 dan 2. Itulah yang dialami
dan pengalaman tersebut yang dirumuskan di dalam premis-premis itu. Kalau dikatakan,
bahwa juga Jeruk 3 itu masam, hal itu tidak didukung oleh premis-premis penalaran.
Menurut kaidah-kaidah logika, penalaran itu tidak sahih; pikiran tidak terikat untuk
menerima kebenaran konklusinya.
Ketiga: meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi manusia
yang normal akan menerimanya, kecuali kalau ada alasan untuk menolaknya. Jadi
konklusi penalaran induktif itu oleh pikiran dapat dipercaya kebenarannya atau dengan
perkataan lain: konklusi induksi itu memiliki kredibilitas rasional. Kredibillitas rasional
disebut probabilitas. Probabilitas itu didukung oleh pengalaman, artinya konklusi
induksi itu menurut pengalaman biasanya cocok dengan observasi indera, tidak mesti
harus cocok.
Kecuali kedua jenis di atas masih ada induksi-induksi jenis lain, yang akan
dibahas. Mengingat pentingnya induksi dalam metode keilmuan dewasa ini, terlebih

45
dahulu kita sisipkan sedikit penjelasan tentang kedudukan logika dalam metode
keilmuan.

6.2.1. GENERALISASI INDUKTIF

a. Syarat-syarat generalisasi
Sudah diketahui bahwa penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi yang
bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi empirik itu disebut
generalisasi.Prinsip yang menjadi dasar penalaran generalisasi itu dapat dirumuskan
demikian:
Apa yang beberapa kali terjadi dalam kondisi tertentu, dapat diharapkan akan
selalu terjadi apabila kondisi yang sama terpenuhi.
Dua kali kita jumpai Jeruk yang masam dalam kondisi kerbaus dan hijau.
Maka ketika melihat Jeruk ketiga memenuhi kondisi kerbaus dan hijau, kita
menyimpulkan, bahwa dapat diharapkan Jeruk itu pun akan masam rasanya.
Kesimpulan itu hanya suatu harapan, suatu kepercayaan, karena sperti dikatakan di atas,
konklusi penalaran induktif tidak mengandung nilai kebenaran yang pasti, akan tetapi
suatu probabilitas, suatu peluang.
Hasil penalaran generalisasi induktif itu sendiri juga disebut generalisasi.
Generalisasi dalam arti ini berupa suatu proposisi universal, seperti: “Semua Jeruk yang
kerbaus dan hijau, rasanya masam” ; “Semua logam yang dipanasi memuai”.
Generalisasi yang sebenarnya harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut:
1. Generalisasi harus tidak terbatas secara numerik.
Artinya, generalisasi tidak boleh terikat kepada jumlah tertentu. Kalau
dikatakan
bahwa “Semua A adalah B”, maka proposisi itu harus benar, berapa pun
jumlah A.
Proposisi itu berlaku untuk setiap dan semua subyek yang memenuhi kondisi
A.
2. Generalisasi harus tidak terbatas secara spasio-temporal, artinya, tidak boleh
terbatas dalam ruang dan waktu. Jadi harus berlaku di mana saja dan kapan saja.
3. Generalisasi harus dapat dijadikan dasar pengandaian.
Yang dimaksud dengan “dasar pengandaian” di sini adalah: dasar dari yang
disebut “contrary-to-facts conditionals” atau “unfulfilled conditionals”. Contohnya
yang jelas sebagai berikut:
Faktanya: x, y, dan z itu masing-masing bukan B.
Ada generalisasi: Semua A adalah B.
Pengandaiannya: Andaikata x, y, dan z itu masing-masing sama dengan A
atau dengan kata-kata lain: Andaikata x, y, dan z itu masing-masing memenuhi kondisi
A, maka pastilah x, y, dan z itu masing-masing sama dengan B. Generalisasi yang dapat
dijadikan dasar untuk pengandaian seperti itulah kondisi yang memenuhi syarat.

b. Bentuk generalisasi induktif


Logika menganalisa dan merekonstruksi penalaran. Dalam logika deduktif
hasil usaha itu berupa ketentuan-ketentuan mengenai deduksi yang sahih, yaitu bentuk
deduksi, yang kalau premis-premisnya benar, konklusinya tentu juga benar.
Dalam logika induktif, tidak ada konklusi yang mempunyai nilai kebenaran
yang pasti. Yang ada hanya konklusi dengan probabilitas rendah atau tinggi. Maka hasil
usaha analisa dan rekonstruksi penalaran induktif itu hanya berupa ketentuan-ketentuan

46
mengenai bentuk induksi yang menjamin konklusi dengan probabilitas setinggi-
tingginya.
Tinggi rendahnya probabilitas konklusi itu dipengaruhi oleh sejumlah faktor
yang disebut faktor-faktor probabilitas. Untuk jelasnya, kita lihat faktor-faktor
probabilitas yang berhubungan dengan generalisasi induktif. Kita bandingkan bentuk-
bentuk generalisasi induktif di bawah ini:

1. Jeruk ini kerbaus, hijau dan rasanya masam.


ֶ Semua Jeruk yang kerbaus dan hijau rasanya masam.
2. Jeruk 1 kerbaus, hijau, dan rasanya masam.
Jeruk 2 idem
Jeruk 3 idem
ֶ Semua Jeruk yang kerbaus dan hijau, rasanya masam.
3. Jeruk 1 kerbaus, hijau dan rasanya masam.
Jeruk 2 idem
s/d 15 idem
ֶ Semua Jeruk yang kerbaus dan hijau, rasanya masam.
4. Jeruk 1 kerbaus, hijau, kecil, benjol, dan masam.
Jeruk 2 idem
Jeruk 3 idem
ֶ Semua Jeruk kerbaus dan hijau, rasanya masam.
5. Jeruk 1 kerbaus, hijau, kecil, benjol, dan masam.
Jeruk 2 kerbaus, hijau, dari batu, baru saja dipetik, dan masam.
Jeruk 3 kerbaus, hijau, besar, dari Korea, sudah disimpan sebulan, dan
masam.
ֶ Semua Jeruk kerbaus dan hijau, rasanya masam.
6. Jeruk 1 kerbaus, hijau, benjol, rasanya masam.
Jeruk 2 kerbaus, hijau, besar, rasanya masam.
Jeruk 3 kerbaus, hijau, kecil, rasanya masam.
ֶ Semua Jeruk kerbaus dan hijau rasanya masam.

Semua enam penalaran generalisasi induktif di atas konklusinya sama, yaitu:


Semua Jeruk kerbaus dan hijau rasanya masam. Akan tetapi jelaslah bahwa pikiran kita
lebih mudah mengakui kebenaran konklusi penalaran yang satu daripada kebenaran
konklusi penalaran yang lain. Dengan lain perkataan: Konklusi-konklusi itu berbeda-
beda kredibilitas rasionalnya atau probabilitasnya. Apa yang mentebabkan perbedaan
probabilitas itu adalah faktor-faktor probabilitasnya.
Kalau konklusi dari induksi (3) dibandingkan dengan konklusi (2), maka
jelas konklusi induksi (3) lebih tinggi probabilitasnya. Kita lebih dapat menerima
kebenarannya daripada kebenaran konklusi induksi (2). Kalau kita cari sebabnya
mengapa pikiran kitalebih dapat menerima konklusi induksi (3) sebab yang dapat
ditunjuk adalah: karena induksi(3) premis-premisnya menunjuk 15 fakta, sedang induksi
(2) hanya 3 fakta. Induksi (1) premisnya hanya mengenai satu fakta saja dan kita
cenderung untuk meragukan kebenaran konklusinya, artinya: probabilitasnya amat
rendah.
Dari perbandingan-perbandingan diatas kita menemukan:
Faktor probabilitas yang pertama, yaitu: jumlah fakta yang dijadikan dasar
penalaran induktif dan kaidahnya yang dapat dirumuskan demikian: makin besar jumlah
fakta yang dijadikan dasar penalaran induktif, makin tinggi probabilitas konklusinya,
dan sebaliknya.

47
Kaidah inilah yang menjadi dasar maka dalam usaha untuk menambah
pengetahuan ilmiah, yaitu dalam penelitian, harus digunakan sebanyak mungkin fakta
sebagai dasar penalarannya. Yang ideal adalah kalau semua fakta dapat dirumuskan
sebagai premis. Jumlah dari semua subyek yang ditunjuk oleh konklusi yang berupa
generalisasi dan berbentuk proposisi universal itu dalam rangka penelitian disebut
populasi. Penelitian yang menggunakan penalaran yang jumlah fakta yang yang
dijadikan dasar premis-premisnya sama besarnya dengan populasi subyek yang diteliti
adalah penelitian metode sensus , berlainan dengan metode sampling, yang
menggunakan penalaran yang premis-premisnya menunjuk kepada sebagian saja dari
populasi yang bersangkutan. Konklusi metode sampling adalah suatu probabilitas atau
peluang, karena penalarannyaadalah penalaran induktif. Akan tetapi konklusi metode
sensus adalah suatu kepastian. Kalau jumlah fakta yang disebut oleh premis-premis
sama besarnya dengan jumlah subyek yang dimaksud oleh generalisasi konklusinya, itu
berarti bahwa generalisasi konklusi itu tidak memenuhi syarat “secara numeric tidak
terbatas”, disini generalisasi itu berarti jumlah tertentu. Penalaran yang demikian itu
juga disebut induksi sumatif atau induksi lengkap (summative or complete induction).
Yang dimaksud dengan “induksi” dalam logika bukan induksi lengkap, akan tetapi
induksi tak lengkap atau induksi ampliatif (ampliative or incomplete induction), yang
konklusinya suatu probabilitas. Meskipun dikatakan bahwa induksi lengkap yang
digunakan dalam metode sensus itu menghasilkan suatu yang pasti, akan tetapi kalau
metode sensus itu diterapkan untuk populasi yang besar, mudah sekali terjadi
ketidaktelitiian: ada anggota populasi yang tercecer, atau ada anggota yang dihitung dua
kali dank arena sensus memerlukan banyak petugas, mudah terjadi bahwa data yang
dihasilkan oleh petugas yang satu tidak sama nilainya dengan yang dikumpulkan oleh
petugas yang lain. Karena ketidaktelitian ini, maka hasil sensus pun biasanya juga suatu
probabilitas.
Kita teruskan dengan membandingkan penalaran (2) dan (4) yang
konklusinya juga sama. Kalau premis-premis kedua penalaran itu dibandingkan, maka
diantara premis penalaran (2) ada faktor yang sama diantara Jeruk1, 2, dan 3, yaitu:
kerbaus dan hijau. Pada penalaran (4) faktor persamaan itu ada empat: kerbaus, hijau,
kecil, dan benjol. Faktor persamaan seperti itu disebut faktor analogi.
Kalau probabilitas konklusi kedua penalaran itu dibandingkan, terbukti
konklusi penalaran (4) lebih lemah atau lebih rendah probabilitasnya. Premis penalaran
mengatakan bahwa yang masam itu adalah Jeruk yang kerbaus, hijau, kecil, dan benjol,
bukan asal Jeruk kerbaus dan hijau. Jadi jelas konklusi itu menunjuk kepada suatu
populasi yang lebih besar daripada yang ditunjuk oleh premis-premisnya. Dengan
adanya tambahan dua faktor analogi itu probabilitasnya menurun. Jadi jumlah faktor
analogi itu adalah faktor probabilitas yang kedua. Kaidahnya dapat dirumuskan
demikian: Makin besar jumlah faktor analogi di dalam premis, makin rendah
probabilitas konklusinya dan sebaliknya. Jadi setiap generalisasi induktif hanya berlaku
untuk populasi yang dimaksud oleh premis-premisnya.
Faktor probabilitas yang ketiga adalah jumlah faktor disanalogi.
Kaidahnya: makin besar jumlah faktor disanaloginya di dalam premis, makin tinggi
probabilitas konklusinya dan sebaliknya. Ini terbukti kalau kita membandingkan
penalaran (4) dan (6). Premis-premis penalaran (6) masing-masing mengandung sebuah
faktor yang berbeda diantara premis yang satu dengan yang lain, yaitu: benjol, besar,
dan kecil. Faktor yang menyebabkan perbedaan ini disebut faktor disanalogi. Karena
adanya faktor disanalogi ini konklusi penalaran (6) lebih tinggi probabilitasnya daripada
konklusi penalaran (4). Sebaliknya konklusi penalaran (5) lebih tinggi probabilitasnya
daripada penalaran (6), karena jumlah faktor disanaloginya lebih besar. Konklusi (4)

48
belum tentu akan benar kalau diterapkan kepada Jeruk kerbaus, hijau, dan berasal dari
Korea, serta sudah disimpan sebulan, sedang konklusi penalaran (5) akan tetap
sajaprobabilitasnya. Meskipun konklusi penalaran (6) dapat diterapkan untuk semua
Jeruk kerbaus, hijau, benjol, besar, dan kecil, akan tetapi premis-premisnya tidak
mengatakan apa-apa andaikata Jeruk itu dari Korea dan sudah disimpan satu bulan.
Hubungan antara faktor analogi dan disanalogi itu secara umum dapat
dikatakan demikian: populasi yang ditunjuk oleh generalisasi tidak boleh memiliki
anggota yang tidak sesuai dengan adanya faktor analogi dan disanalogi di dalam premis.
Dari sinidapat disimpulkan faktor probabilitas yang keempat, yaitu: luasnya konklusi.
Kaidahnya: Semakin luas konklusinya semakin rendah probabilitasnya dan sebaliknya.
Sebuah generalisasi atau proposisi pada umumnya itu semakin luas semakin
besar populasi yang ditunjuknya. Dan semakin sedikit faktor analogi yang terdapat
dalam generalisasi atau proposisi pada umumnya semakin besar populasi yang
ditunjuknya. Semakin sedikit faktor analogi di dalam generalisasi atau proposisi,
semakin besar kemungkinannyageneralisai atau proposisi itu tidak sesuai lagi kalau
anggotanya ada yang memiliki faktor analogi lebih daripada yang disebut di dalam
generalisasi atau proposisi itu.
Memahami fungsi faktor-faktor analogi dalam penalaran itu penting sekali
dalam usaha untuk menambah pengetahuan atau dalam penelitian. Tiap-tiap penelitian
tentu mempunyai tujuan tertentuyang rumusannya diharap akan berlaku untuk setiap
dan semua anggota populasi yang ditunjuk oleh rumusan itu. Untuk membuktikan
bahwa rumusan itu memiliki probabilitas yang dihapkan, harus dicari fakta-fakta yang
mengandung faktor-faktor analogi yang sesuai dengan faktor-faktor yang terdapat di
dalam rumusan tujuan. Kalau usaha mencari dan mengumpulkan fakta itu dikerjakan
dengan menggunakan angket, maka dalam angket itu harus disebutkan faktor-faktor
analogi yang dicari itu. Tanpa memahami fungsi faktor analogi ini, pengumpulan data
mengenai ketentuan dari fakta yang dicari merupakan suatu usaha yang tidak mengarah.
Faktor analogi itu jumlahnya tidak terbatas. Yang harus dicari tentu saja yang
terpenting atau yang penting-penting; yang relevan. Kumpulan fakta tidak selalu dapat
digunakan untuk menyimpulkan suatu generalisasi. Kalau diantaranya ada satu fakta
saja yang tidak sesuai, Contohnya dalam contoh di atas: ada Jeruk kerbaus dan hijau
tetapi manis, maka generalisai yang disimpulkan pasti salah. Jadi berapa pun banyaknya
fakta yang cocok yang terkumpul, karena penalarannya itu suatu induksi, maka
kesimpulannya hanya mengandung probabilitas, sebaliknya kalau satu fakta saja yang
tidak cocok, kesimpulannya pasti salah. Inilah yang disebut asimetri dalam induksi.
Kalau diantara fakta yang terkumpul itu ada yang tidak cocok, Contohnya
diantara 10 Jeruk ada dua Jeruk yang kerbaus, hijau tetapi manis, kesimpilannya harus
berbunyi: Sebagian Jeruk kerbaus dan hijau rasanya masam. Dalam penelitian, jumlah
fakta yang terkumpul itu disingkat menjadi n (numerus = angka, jumlah). n = 10 berarti
jumlah fakta yang terkumpul ada 10. “Sebagian” dalam konklusi, Contohnya 8, dapat
dinyatakan dalam prosentase. Kalau n = 10, maka kesimpulannya menjadi 80% Jeruk
kerbaus dan hijau rasanya masam. Konklusi itu dapat divisualisasikan menjadi grafik.

6.2.2. ANALOGI INDUKTIF


1. Analogi sebagai dasar induksi
“Analogi” dalam bahasa Indonesia adalah “qiyas” (Arab: qasa = mengukur,
membandingkan). Berbicara tentang analogi adalah berbicara tentang dua hal yang
berlainan, yang satu bukan yang lain, dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan yang
satu dengan yang lain. Dalam mengadakan perbandingan, orang mencari persamaandan
perbedaan diantara hal-hal yang diperbandingkan. Kalau lembu dibandingkan dengan

49
kerbau, maka kedua-duanya adalah hewan, akan tetapi yang satu berbeda dengan yang
lain mengenai besarnya, warnanya, dan sebagainya. Sarno dan Sarni kedua-duanya
adalah anak pak Sastro, akan tetapi Sarno laki-laki, Sarni perempuan, Sarno berumur 15
tahun, Sarni 10 tahun dan seterusnya. Kalau dalam perbandingan itu orang hanya
memperhatikan persamaannya saja, tanpa melihat perbedaannya, timbulah analogi,
persamaan di antara dua hal yang berbeda.
Sehat adalah kondisi badan yang baik. Jamu adalah sarana untuk memelihara
kondisi badan yang baik atau kesehatan. Maka jamu pun disebut sehat, karena adanya
persamaan dengan kondisi badan yang baik, meski pun sehatnya badan lain daripada
sehatnya jamu. Di sini “sehat” pada jamu mempunyai arti kiasan. Dikatakan: “sehat”
pada jamu analog dengan “sehat” badan, atau di antara “sehatnya” jamu dan “sehatnya”
badan ada analogi.
Analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran.
Sebagai penjelasan biasanya disebut perumpamaan atau persamaan.
Tumbuh-tumbuhan berbunga dan bunga itu merupakan perhiasan baginya.
Bangsa itu bukan tumbuh-tumbuhan dan juga tidak berbunga, akan tetapi pejuang yang
gugur dalam membela bangsanya, menjdi perhiasan bagi bangsanya, sehingga secara
analogi dikatakan bahwa pejuang itu “gugur sebagai kusuma bangsa”.
Dalam Meghaduta, karangan pujangga India Kalidasa, seorang Yaksa dalam
pengasingan ditengah hutan teringat kepada kekasihnya dan melihat analogi diantara
berbagai sifat kekasihnya dengan keadaan alam di sekitarnya:
“Sulur-sulur hijau membangkitkan kenanganku kepada tubuhmu, pada mata
kijang terkejut kulihat main matamu, melihat bulan kuingat kepada sinar pipimu,
rambutmu kulihat pada ekor merak, pada riak sungai yang tenang kulihat permainan
keningmu”.
Sebaliknya apa yang ditulis Chairil Anwar dalam sajaknya:
“Aku ini hewan jalang dari kumpulannya terbuang…”
bukan sekedar perumpamaan, akan tetapi suatu penalaran yang didasarkan atas
analogi. Di sini Chairil tidak hanya membuat perbandingan di antara dirinya sendiri
dengan hewan jalang, akan tetapi juga menarik kesimpulan atas dasar analogi itu, yaitu:
(aku ini) dari kumpulannya terbuang. Prinsip yang menjadi dasar penalaran analogi
induktif itu dapat dirumuskan demikian:
Karena d itu analog dengan a, b, dan c, maka apa yang berlaku untuk a, b, dan
c,dapat diharapkan juga akan berlaku untuk d.
Dengan sebuah contoh, prinsip di atas akan mendapat bentuk sebagai berikut:
a. Sarno anak Pak Sastro adalah anak yang rajin dan jujur.
b. Sarni anak Pak Sastro adalah anak yang rajin dan jujur.
c. Sardi anak Pak Sastro adalah anak yang rajin dan jujur.
d. Sarto adalah anak Pak Sastro.
ֶ Sarto anak Pak Sastro adalah anak yang rajin dan jujur.
Jadi analogi induktif tidak hanya menunjukan persamaan di antara dua hal
yang berbeda, akan tetapi menarikkesimpulan atas dasar persamaan itu. Chairil tidak
hanya membandingkan dirinya dengan hewan jalang. Akan tetapi karena hewan jalang
itu selalu diasingkan oleh kumpulannya, maka disimpulkannya: Aku pun terbuang dari
kumpulanku.
Berbeda dengan generalisasi induktif, yang konklusinya berupa proposisi
universal, konklusi analogi induktif tidak selaluberupa proposisi universal, akan tetapi
tergantung dsri subyek-subyek yang diperbandingkan dalam analogi. Dan subyek itu
dapat individual, partikular atau pun universal. Akan tetapi sebagai penalaran induktsi
di sini pun konklusinya lebih luas daripada premis-premisnya. Bahwa tiga anak Pak

50
Sastro itu rajin dan jujur tidak menjamin secara pasti dan mutlak, bahwa anaknya yang
keempat juga rajn dan jujur.

2. Bentuk analogi induktif


Seperti dalam hal generalisasi induktif, bentuk penalaran analogi induktif itu
ditentukan oleh jumlah fakta yang dijadikan dasar dari konklusinya dan dinyatakan
sebagai premis. Seperti dalam hal generalisasi pula, jumlah fakta tersebut merupakan
faktor probabilitas yang pertama. Semakin besar jumlah fakta tersebut semakin tinggi
probabilitasnya dan sebaliknya.
Selain oleh jumlah fakta yang dijadikan dasar penyimpulan, bentuk analogi
juga tergantung kepada jumlah faktor-faktor analogi. Jadi lagi-lagi seperti pada
generalisasi induktif. Jumlah faktor analogi itu juga merupakan faktor probabilitas.
Makin besar jumlah faktor analoginya, makin rendah probabilitasnya.
Bentuk penalaran analogi induktif selanjutnya ditentukan oleh jumlah faktor
disanalogi. Dan seperti pada generalisasi induktif pula, faktor disanalogi itu juga
merupakan faktor probabilitasnya. Semakin besar jumlahnya, semakin tinggi
probabilitasnya dan sebaliknya.
Akhirnya bentuk analogi induktif juga tergantung kepada bentuk proposisi
yang menjadi konklusinya. Makin luas konklusinya, makin rendah probabilitasnya dan
sebaliknya. Jadi luasnya konklusi juga di sini merupakan faktor probabilitas.
Jadi untuk generalisasi induktif dan analogi induktif itu baik faktor-faktor
probabilitasnya maupun kaidah-kaidahnya adalah sama. Hal ini sebetulnya tidak luar
biasa, kalau kita ingat apa yang telah dikatakan pada permulaan (paragraph 6.1). Di situ
jalan pikiran si calon pembeli Jeruk dirumuskan menjadi dua bentuk penalaran. Yang
pertama, dari dua fakta disimpulkan sebuah generalisasi induktif (kemudian
dideduksikan suatu konklusi khusus). Yang kedua, dari dua fakta langsung disimpulkan
sebuah konklusi khusus. Bentuk kedua ini adalah suatu analogi induktif, sedang bentuk
yang pertama adalah suatu generalisasiinduktif.
Dalam metode keilmuan, analogi induktif itu dapat digunakan untuk
mendeterminasikan apakah suatu obyek atau fakta itu, dan sifat-sifat apakah yang dapat
diharapkan padanya; sedang generalisasi induktif terutama digunakan untuk
menemukan hukum, menyusun teori, atau hipotesa.

3. Kesesatan generalisasi/analogi
Di samping faktor-faktor tersebut di atas, yang boleh disebut faktor-faktor
obyektif, juga ada faktor-faktor subyektif, yang mempengaruhi tinggi rendahnya
probabilitas konklusi induksi. Faktor subyektif itu terletak pada diri manusia yang
berfikir dan berupa kondisi-kondisi tertentu, yang bersifat pribadi dan tidak disadari.
Kalau disadarkan bahwa kondisi dirinya mewarnai konklusi penalarannya, biasanya ia
akan segera menerima bahwa penyimpulannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah
penalaran. Ia akan mengakui kekeliruan atau kesesatannya. Maka penyimpulan yang
tidak sesuai dengan kaidah penalaran itu juga disebut kesesatan (fallacy/fallacia).
Kesesatan yang berhubungan dengan penalaran induktif, yang terpenting adalah:
Kesesatan karena tergesa-gesa, yaitu terlalu cepat menarik konklusi, sedang
fakta-fakta yang dijadikan dasarnya tidak cukup cukup mendukung konklusi itu. Jadi
jumlah fakta sebagai dasar konklusinya terlalu sedikit. Contohnya: Seorang jejaka
berjumpa seorang gadis Solo pertama kali di suatu pesta, kemudian berjumpa dengan
sorang gadis Solo lain di sebuah toko dan untuk ketiga kalinya ia melihat seorang gadis
Solo lagi diatas pentas. Ketiga gadis itu semua sama-sama luwes. Maka tidak dapat
ditawar lagi, si jejaka ingin mempersunting seorang gadis Solo. Di dalam anggapannya:

51
semua gadis Solo itu tentu luwes. Ini suatu kesimpulan yang tergesa-gesa. Tiga fakta
rasanya tidak cukup untuk dijadikan dasar konklusinya.
Kesesatan lain terjadi karena kecerobohan. Contohnya: Jejaka lain, teman
dari jejaka di atas, sependapat. Katanya:”Saya pernah di kerbauton Surakarta, ketika Sri
Susuhunan berulang tahun. Saya melihat kira-kira limabelas gadis di sana, semua
berkebaya, cantik-cantik. Memang semua puteri Solo itu luwes”.
Ini suatu kesimpulan yang ceroboh, karena mengabaikan adanya faktor-faktor
analogi yang penting. Limabelas gadis itu semua adalah gadis bangsawan, berdandan
secara khas untuk keperluan perayaan, berada di lingkungan yang mengesankan, mereka
bergerak di lingkungan khusus dengan disaksikan oleh para tamu dan oleh Sri
Susuhunan sendiri. Seharusnya kesimpulan itu tidak mengenai semua puteri Solo, akan
tetapi hanya mengenai lima belas puteri yang pada waktu itu sedang di kerbauton.
Contoh-contoh di atas mengenai kesesatan generalisasi. Kesesatan
generalisasi macam itulah, yang menyebabkan istilah “generalisasi” sering mendapat
arti peioratif.
Kita teruskan contoh tentang puteri Solo. Jejaka di atas jadi memperisteri
seorang gadis Solo. Ia yakin bahwa isterinya pun luwes. Kesimpulan bahwa gadis Solo,
isterinya itu luwes, adalah konklusi suatu analogi induktif.
Kesatan lain sering timbul karena prasangka. Jejaka yang mempersunting
puteri Solo itu berasal dari luar Jawa dan sebelumnya sudah memuji-muji isterinya
sebagai gadis yang halus dan luwes, karena ia puteri Solo. Ketika isterinya dibawa
pulang ke kampung, ibunya berkata:”Isterimu kalau berbicara kok suaranya seperti
pedagang ayam di pasar?” _ Jawabnya:”Ah, itu karena ibu kalau berbicara mesti
kerbaus-kerbaus, sehingga ia mengira bahwa ibu kurang pendengarannya”. Lain kali
ibunya berkata:”Isterimu jalannya kok seperti dikejar maling.”_”Ah, itu karena ibu
selalu membuat ia terkejut dan ketakutan”. Pada kesempatan lain lagi:”Isterimu kalau
duduk kok seperti penjual lombok di pasar?” _ “Ah, ia tidak biasa duduk di tempat yang
kerbaus”.
Prasangka membuat orang tidak mengindahkan fakta-fakta yang tidak cocok
dengan konklusi.
Kesesatan di atas adalah yang dapat dianggap yang terpenting, yang sering
terjadi. Tidak mungkin diduga karena apa saja orang menarik konklusi yang tidak sesuai
dengan premis-premis yang ada.

6.2.3. INDUKSI SEBAB-AKIBAT


1. Sebab-akibat sebagai dasar induksi
Pada umumnya kalau orang berbicara tentang sebab dan akibat, yang
dimaksud adalah bahwa keadaan atau kejadian yang satu menimbulkan atau menjadikan
keadaan atau kejadian yang lain. Yang satu itu disebut sebab, sedang yang lain akibat.
Namun menurut David Hume konsep sebab-akibat itu tidak empiris, tidak ada bukti
indrawi. Yang ada adalah hanya perisitwa yang berkelanjutan sebagai kebiasaan, yaitu,
peristiwa kesatu diikuti peristiwa kedua, ketiga, dan selanjutnya. Peristiwa
berkelanjutan tersebut dianggap sebagai sebab-akibat, yaitu sebagai suatu imajinasi
orang yang melihat peristiwa tersebut. Padahal hal tersebut tidak berdasar pada bukti
empiris indrawi.
Namun demikian, dalam kasus induksi berikut ini ditunjukkan bahwa kita tidak
bisa menghindar dari konsep sebab-akibat, sebagai suatu proses kesimpulan induktif.
Sehingga konsep sebab-akibat tersebut, walaupun tidak empiris, namun secara logis
tidak bisa dihindari. Oleh karena itu konsep sebab-akibat tersebut bersifat intrinsik.

52
Sebagai suatu konsep, sebab-akibat, dalam pengertiannya itu pertama-tama
terkandung makna bahwa yang satu (sebab) itu mendahului yang lain (akibat), setidak-
tidaknya secara logika atau dalm pikiran kita. Akan tetapi tidak semua yang mendahului
sesuatu yang lain itu tentu sebab dari yang lain itu. Kalau seorang pasien meninggal
sesudah disuntik, belum tentu kematiannya disebabkan oleh suntikan itu. Hubungan
antara sebab dan akibat itu bukan hubungan urutan biasa atau hubungan yang kebetulan.
Hubungan sebab-akibat itu suatu hubungan yang intrisik, suatu hubungan azasi,
hubungan yang begitu rupa, sehingga kalau yang satu (sebab) ada/tidak ada, maka yang
lain (akibat) juga pasti ada/tidak ada. Kecuali itu hubungan sebab-akibat itu adalah
sesuatu yang mengandung keseragaman, memiliki sifat kaidah, artinya: apabila
sebabnya sama, maka akibatnya juga sama. Jadi dalam keadaan yang serupa ada
hubungan sebab-akibat yang sama.
Di atas dikatakan bahwa hubungan sebab-akibat itu mempunyai sifat
intrinsik, akan tetapi juga dikatakan di atas bahwa tidak selalu sesuatu yang timbul
sesudah yang lain itu merupakan akibat dari yang lain itu. Agar hubungan antara sebab
dan akibat menjadi jelas, dalam logika “sebab” itu dipandang sebagai suatu syarat atau
suatu kondisi yang merupakan dasar adanya atau terjadinya sesuatu yang lain, yaitu
akibat. Dibedakan antara dua macam kondisi, yaitu: kondisi mutlak (necessary
condition) dan kondisi memadai (sufficient condition). Yang disebut kondisi mutlak
adalah sebab yang kalau tidak ada, akibatnya juga tidak ada. Ini berarti bahwa akibat A
hanya ada kalau ada sebab S: A hanya kalau S. Jadi dari adanya akibat A dapat
disimpulkan adanya sebab S. Hal ini akan jelas apabila disalin dalam bentuk lambing.
Kalau S tidak ada, maka akibat A fidak ada:
~ S V~A
A
Ada akibat A: __________
Jadi ada sebab S: ֶS
Jelas ini bentuk modus tollens biasa.
Adapun yang disebut kondisi memadai adalah sebab yang kalau ada,
akibatnya tentu ada: Kalau S maka A. Jadi dari adanya sebab disini dapat disimpulkan
adanya akibat. Disalin dalam bentuk lambing, ini menjadi bentuk modus ponens biasa:

SVA
S________
A

Contoh: Sebuah pabrik petasan terbakar, karena bahan petasan terkena percikan
api rokok, sehingga meledak dan menimbulkan kebakaran.
Dalam peristiwa itu bahan petasan itu merupakan kondisi mutlak dari ledakan
yang menimbulkan kebakaran itu. Tanpa adanya bahan peledak, tidak mungkin ada
ledakan. Sebaliknya kalau sesuatu meledak, mesti ada bahn peledak. Dari adanya
ledakan dapat disimpulkan adanya bahan peledak. Demikian juga percikan api di sini
merupakan kondisi mutlak. Tanpa percikan api, yaitu suatu zat yang yang bersuhu
tinggi, tidak mungkin terjadi ledakan. Baik bahan peledak maupun percikan api, secara
sendiri-sendiri tidak cukup untuk menimbulkan ledakan. Baru kalau percikan api itu
menyentuh bahan peledak, terjadilah suatu ledakan. Jadi peristiwa tersentuhnya bahan
peledak oleh api, itulah kondisi yang memadai dari peristiwa ledakan.
Dari adanya ledakan, kita dapat menyimpulkan adanya bahan peledak dan
adanya zat bersuhu tinggi (api), sebaliknya dari peristiwa tersentuhnyabahan peledak
oleh api, kita dapat menyimpulkan adanya ledakan. Di samping sebab yang merupakan

53
kondisi mutlak dan kondisi memadai, ada sebab yang sekaligus merupakan kondisi
mutlak dan memadai.
Contohnya: Lulus ujian penyaringan adalah syarat untuk diterima di universitas,
ini mengandung dua arti:
1. Lulus ujian adalah kondisi mutlak. Kalau diterima di universitas (akibat A),
orang tentu lulus ujian penyaringan (sebab S), Jadi A V S.
2. Lulus ujian adalah kondisi memadai. Kalau orang lulus ujian (S), maka ia tentu
diterima di universitas. Jadi: S V A.
Jadi hubungan sebab-akibat dalam proposisi di atas adalah:
(A V S) ν (S V A) atau S ≡ A. Jadi di sini sebab dan akibat adalah ekuivalen.
Dengan melihat sebab sebagai suatu kondisi adanya atau terjadinya sesuatu,
maka hubungan intrinsik antara sebab dan akibat itu terjabar menjadi tiga macam:
1. Dari adanya akibat dapat disimpulkan adanya sebab: A V S.
2. Dari adanya sebab dapat disimpulkan adanya akibat: S V A.
3. Dari adanya sebab dapat disimpulkan akibatnya dan sebaliknya: S ≡ A.
Bentuk-bentuk penalaran untuk menyimpulkan sebab dari akibat atau
sebaliknya, yang sekarang pada umumnya digunakan adalah bentuk-bentuk menurut
metode yang diciptakan oleh John Stuart Mill (1806 – 1873).
Metode Stuart Mill adalah metoda yang diciptakan khusus untuk menarik
kesimpulan dalam hubungan sebab-akibat. Jumlahnya ada lima. Berturut-turut dibahas
di bagian berikut.
2. Metode Persamaan (The Method af Agreement)
Prinsip metode persamaan itu oleh Stuart Mill sendiri dirumuskan demikian:
“Apabila dua peristiwa atau lebih dari suatu gejala yang diteliti hanya
mempunyai satu faktor yang sama, maka satu-satunya faktor yang sama untuk semua
peristiwa itu adalah sebab (atau akibat) dari gejala tersebut”. (If two or more instances
of the phenomenon under invertigation have only one circumstande in common, the
circumstancein in which alone all the instances agree, is the cause (or effect) of the
given phenomenon.)
Sebagai contoh dapat kita ambil gejala: “sakit perut”. Peristiwanya: “makan
di kios”. Jumlah peristiwa tiga. Karena disini jelas bahwa makan di kios itu mendahului
sakit perut, maka gejala “sakit perut” adalah akibat. Jadi yang dicari adalah sebabnya.
Untuk keperluan itu harus ditemukan faktor-faktor yang berhubungan dengan peristiwa
itu, yang berhubungan dengan makan di kios. Tiga peristiwa makan di kios itu,
Contohnya, faktor-faktornya untuk masing-masing peristiwa adalah sebagai berikut:
A. makan nasi uduk, makan telur, minun teh, dan sakit perut.
B. makan pisang, makan jeruk, minum teh, dan sakit perut.
C. makan kacang, makan emping, makan jeruk, minum teh, dan sakit perut.
Satu-satunya faktor yang sama dalam ketiga peristiwa di atas adalah “minum
teh”. Maka “minum teh” itulah sebab dari sakit perut.
Kesimpulan itu berdasarkan pengertian sebab sebagai kondisi mutlak: apabila
akibatnya ada, maka sebabnya harus ada. Terbukti yang memenuhi syarat ini di antara
semua faktor-faktor itu hanya “minum teh”. Jadi “minum teh” itulah yang menyebabkan
sakit perut.
Seperti konjlusi penalaran induksi lainnya, konklusi metode persamaan ini
juga tidak mengandung nilai kebenaran yang pasti, akan tetapi hanya mengandung
probabilitas. Untuk memperoleh kepastian, seharusnya semua faktor yang mungkin
relevan dengan akibatnya disebutkan dan ini suatu hal yang tidak mungkin dikerjakan.
Bahwa konklusi penalaran dengan metode persamaan ini bukan suatu kepastian, dapat
menjadi jelas, kalau kita bertanya: “Apakah tidak mungkin yang menjadi sebab dari

54
sakit perut itu “minum teh” bersama-sama dengan faktor lain, yang ada, tetapi tidak
diketahui dan tidak disebut?”,”Apakah tidak mungkin yang menyebabkan sakit perut itu
sebuah faktor yang tidak disebutkan dan bahwa kebersamaan “minum teh” dan “sakit
perut” itu hanya suatu kebetulan saja, yang kalau jumlah peristiwa yang dikumpulkan di
dalam premis itu ditambah, mungkin akan terbukti bahea “minum teh” itu tidak selalu
diikuti oleh “sakit perut”?”
Jelaslah bahwa dalam metode persamaan ini orang menarik konklusi
berdasarkan asumsi bahwa sebab yang dicari itu tentu terdapat diantara faktor-faktor
yang disebut di dalam premis.
Contoh penerapan metode persamaan ini Contohnya sebagai berikut: Pada
bulan-bulan pertama tahun 1982, secara relatif banyak terjadi pembajakan bis untuk
merampas harta benda penumpang atau penggedoran toko. Dari laporan dan keterangan
penjahat yang tertangkap, terbukti mereka itu relatif masih muda, umur antara 20-35
tahun dan selalu menggunakan kendaraan bermotor, yang berarti bahwa penjahat itu
dari golongan kelas menengah, setidak-tidaknya bukan dari lingkungan orang miskin.
Kecuali itu, mengingat pengetahuan mereka tentang ilmu bumi dan perhitungan-
perhitungannya, mereka itu tentu termasuk orang terpelajar. Mengapa orang dari
golongan yang secara relatif dapat hidup dengan kecukupan itu toh melakukan
kejahatan? Dapat diduga tentu ada sesuatu yang merangsang. Salah satu faktor yang
sama untuk semua orang dari kelas itu berasal dari acara TV. Maka dari penjahat-
penjahat yang telah tertangkap dikimpulkan fakta mengenai kegemaran mereka untuk
menonton film seri TV. Hasilnya disusun dalam sebuah tabel seperti berikut:

Pembajak/pe BJ and The


Big
Impossible
Gibbsville

The Saint

nggedor
Mission

Valley
Robin
Chips

Hood

Bear
The

1 - - - √ √ √ -
2 - - √ - √ - √
3 - - - - √ √ -
4 √ - - - √ √ √
5 - - √ √ √ - -
6 - √ - - √ - √
7 - - - - √ - -
8 - - √ - √ √ -
9 - √ - - √ - √
10 - - √ - √ - √

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa penjahat muda yang cukup terpelajar
dan cukup berada itu disebabkan mendapat ransangan untuk berbuat jahat dari tokoh
petualang yang menentang orde yang mapan dan mempunyai glamour atau mendapat
pujian masyarakat, yaitu: Robin Hood.

3. Metode Perbedaan (The Method of Difference)


Prinsip metode perbedaan itu oleh Stuart Mill dirumuskan demikian:
“Kalau sebuah peristiwa yang mengandung gejala yang diselidiki dan sebuah
peristiwa lain yang tidak mengandungnya, semua faktor-faktornya sama kecuali satu,
sedang yang satu itu terdapat pada peristiwa pertama, maka faktor satu-satunya yang
menyebabkan kedua peristiwa itu berbeda adalah akibat atau sebab atau bagian yang

55
tidak terpisahkan dari gejala tersebut”. (If an instance in which the phenomenon under
investigation occurs, and an instance in which it does not occur, have every
circumstance in common save one, that one occurring only in the former; the
circumstance in which alone the two instances differ, is the effect, or the cause, or an
indispensable part of the cause, of the phenomenon.)
Kalau kita sebagai contoh menggunakan lagi “makan di kios” sebagai
peristiwanya dan “sakit perut” sebagai gejala yang dicari sebabnya, maka contoh
metode perbedaan itu menjadi seperti berikut:
A. makan nasi uduk, makan telur, minum teh, dan sakit perut.
B. Makan nasi uduk, makan telur, dan tidak sakit perut.
Metode ini penerapannya dalam penelitian berupa eksperimen atau penelitian
eksperimental atau eksperimen terkendali (controlled experiment). Dalam eksperimen
terkendali ada dua peristiwa yang diperbandingkan, yang semua faktor-faktornya yang
relevan sama kecuali satu, yaitu faktor yang dianggap merupakan sebab dari gejala yang
dipandang sebagai akibatnya. Faktor yang terakhir ini disebut faktor eksperimental dan
subyek dari peristiwa yang mengandung faktor eksperimental disebut kelompok
eksperimental. Subyek dari peristiwa yang tidak mengandung faktor eksperimental
disebut faktor pengendali (experimental & control group). Metode penelitian mengenal
beberapa cara untuk mencapai persamaan yang dapat dipertanggung jawabkan antara
kelompok eksperimental dan kelompok pengendali. Kalau dalam logika kita berbicara
tentang faktor atau faktor analogi dan disanalogi yang menunjuk dasar penyimpulan,
dalam penelitian orang berbicara tentang variabel, yaitu faktor atau ciri yang memiliki
nilai yang dapat bervariasi. Faktor penyebab disebut variabel tak terikat ( independent
variable), sedang gejala atau akibatnya disebut variabel terikat (dependent variable).
Faktor eksperimental disebut variabel eksperimental. Dalam metode penelitian juga
dikembangkan cara-cara untuk menggunakan kelompok pengendali: eksperimen dengan
kelompok pengendali satu atau lebih, atau kelompok pengendali itu juga sekaligus
kelompok eksperimental.

4. Metode Gabungan (The Joint method of Agreement and Difference)


Stuart Mill merumuskan prinsip metode gabungan itu sebagai berikut:
“Kalau pada dua peristiwa atau lebih dengan sebuah gejala, hanya terdapat
sebuah faktor yang sama; sedang pada dua peristiwa atau lebih yang tidak memiliki
gejala itu, tidak ada persamaannya yang satu dengan yang lain, kecuali tidak adanya
faktor tersebut, maka faktor yang merupakan satu-satunya perbedaan diantara kedua
kelompok peristiwa itu, adalah akibat, atau sebab, atau bagian tak terpisahkan dari
sebab gejala dari gejala itu”.
(If two or more instances in which the phenomenon occurs have only one
circumstance in common, while two or more instances in which it does not occur have
nothing in common save the absence of that circumstance, the circumstance in which
alone the two sets of instances differ, is the effect, or the cause,or an indispensable part
of the cause, of the phenomenon).

Rumus yang agak gelap maknanya itu paling mudah kalau diartikan sebagai
rumus mengenai metode yang sekaligus dalam satu penalaran menggunakan metode
persamaan dan metode perbedaan bersama-sama seperti dalam contoh berikut:
Kita ambil sebagai peristiwa “makan di kios” lagi, gejalanya: “sakit perut”.
Ada tiga peristiwa dengan faktor-faktor sebagai berikut:
A. makan nasi uduk, makan telur, minum teh, dan sakit perut.

56
B. makan pisang, makan jeruk, minum teh, dan sakit perut.
C. makan nasi uduk, makan telur, … dan tidak sakit perut.
Ketiga peristiwa ini dapat digunakan dalam metode persamaan, karena tidak
ada faktor yang sama untuk semua peristiwa itu. Juga metode perbedaan tidak dapat
diterapkan disini, karena tidak semua faktor-faktornya sama kecuali satu. Akan tetapi
dengan menggunakan kedua metode itu bersama-sama dalam satu penalaran, kita dapat
memperoleh konklusi. Bentuk penalarannya menjadi demikian:

A. makan nasi uduk, makan A. makan nasi uduk, makan


Telur, minum teh … sakit perut. telur, minum teh … sakit
perut.
B. makan pisang, makan C. makan nasi uduk, makan
Jeruk, minum teh …sakit perut. telur, … tidak sakit perut.
ֶ Minum teh …………. Sakit perut.
Susunan peristiwa di sebelah kiri adalah menurut metode persamaan, yang di
sebelah kanan menurut metode perbedaan.
Karena dengan menggunakan kedua metode itu secara terpisah sudah dapat
dicapai konklusinya, maka konklusi itu dapat dianggap lebih kuat apabila kedua-duanya
digunakan bersama-sama.
Pola penalaran di atas adalah sebagai berikut:

ABCD →d ABCD→d
EFD →d A B C → ---
ֶ D → d

Jalan Kimia di Jakarta dahulu bernama Eijkmanstraat. Di laboratorium di


situlah dahulu Eijkman mengadakan eksperimen sebagai berikut:
Ia mengambil dua kelompok ayam. Yang sekelompok diberinya makan
melulu beras putih bersih, yang lainnya beras yang tidak dislep: masih banyak katulnya.
Kelompok yang pertama segera menunjukkan penyakit radang urat syaraf (polyneuritis;
beri-beri), bengkak-bengkak, dan kemudian mati, sedang kelompok kedua tak
seekorpun yang terkena penyakit itu. Kemudian kepada sekelompok ayam yang sudah
kena penyakit polyneuritis diberinya makanan katul melulu. Dalam waktu singkat ayam
itu sembuh semuanya. Eijkman telah membuktikan adanya penyakit yang ditimbulkan
oleh kesalahan gizi.
Eksperimen Eijkman itu terdiri atas dua bagian. Di bagian yang pertama
digunakan metode perbedaan. Kelompok ayam yang diberinya makan beras putih
adalah kelompok pengendali, yang diberinya makanan katul adalah kelompok
eksperimen, katul faktor eksperimentalnya. Bagian kedua menggunakan metode
persamaan. Bentuk penalarannya sebagai berikut:

Eksperimen I Eksperimen II
Ayam + beras → beri-beri. Ayam + katul → non-beri-beri.
Ayam + beras → beri-beri. Ayam + katul → non-beri-beri.
Ayam + beras + katul → non-beri-beri. Ayam + katul → non-beri-beri.
Ayam + katul → non-beri-beri.
ֶ Katul → non-beri-beri
Atau: non-katul → non-beri-beri = non-katul → beri-beri.

57
5. Metode Residu (The Method of Residues)
Stuart Mill merumuskan metode residu itu dengan kata-kata berikut:
“Hapuslah dari suatu gejala bagian apa saja yang berdasarkan induksi-induksi
terdahulu sudah diketahui merupakan akibat dari anteseden-anteseden tertentu, dan
residu (sisa) gejala itu adalah akibat dari sisa antesedennya.” (Subduct from any
phenomenon such part as is known by previous inductions to be the effect of certain
antecedents, and the residue of the phenomenon is the effect of the remaining
antecedents.)

Bentuknya dapat disusun demikian:

A B C mengakibatkan a b c
A mengakibatkan a
B mengakibatkan b
______________________
C mengakibatkan c

Ada contoh baik dan peristiwanya amat terkenal, sehingga banyak digunakan
dalam buku-buku popular, yaitu mengenai ditemukannya planet Neptunus.
Pada tahun 1821, Bouvard di Paris menerbitkan sebuah daftar mengenai orbit
dari sejumlah planet, termasuk di antaranya planet Uranus. Sudah dikethui bahwa orbit
planet-planet itu ditentukan oleh pengaruh gravitasi matahari dan planet-planet
disekitarnya. Akan tetapi data baru yang digunakan Bouvard menunjukkan, orbit
Uranus yang berbeda dengan orbit yang dibuat berdasarkan data yang diperoleh tidak-
lama sesudah planet itu ditemukan. Bouvard melaporkan perbedaan itu, akan tetapi ia
berpegang kepada data yang diperolehnya sendiri.
Akan tetapi perhitungan Bouvard itu beberapa tahun kemudian sudah terbukti
tidak cocok dengan observasi orbit Uranus pada waktu itu. Pada tahun 1844 selisihnya
dengan orbit yang nyata sudah begitu besar, sehingga menjadi masalah yang
didiskusikan di antara para ahli. Pada tahun 1845 Leverrier menggeluti masalahnya dan
sesudah mendapat keyakinan bahwa semua perhitungan Bouvard itu tepat, ia menarik
konklusi bahwa penyelewengan dalam orbit Uranus itu disebabkan oleh gravitasi
sebuah planet yang belum dikenal.
Penalaran Leverrier itu menggunakan metode residu. Orbit Uranus itu
selengkapnya dipengaruhi oleh gravitasi planet-planet di sekitarnya. Planet-planet
sekitarnya itu gravitasinya hanya dapat menerangkan sebagian dari orbit Uranus. Maka
bagian dari orbit Uranus yang tidak dapat diterangkan oleh gravitasi itu, yaitu
penyelewengan dari orbit yang diharapkan, harus disebabkan oleh suatu planet yang
belum diketahui.
Leverrier menghitung besarnya pengaruh gravitasi planet yang belum dikenal
itu dan arah datangnya. Pada tahun 1846 ia selesai dengan perhitungannya dan pada
bulan September tahun itu juga ia menulis kepada Galle di Berlin untuk mengamati
tempat tertentu di angkasa, karena di situ harus ada planet yang sampai saat itu belum
dikenal. Pada tanggal 25 September 1846, kurang dari satu jam sesudah ia mulai
mengamati tempat yang ditunjuk oleh Leverrier, ditumukannya planet baru itu. Planet
itu diberi nama Neptunus.

6. Metode Variasi (The Method of Concomitant Variation)

58
Yang dimaksud variasi di sini adalah perbadaan tanpa pergantian identitas.
Jadi bukan perbedaan seperti anjing dan pohon, akan tetapi seperti antara anjing kecil
dan anjing besar, antara Adam yang demamnya 37° dan Adam yang demamnya 40°.
Jadi variasi dalam arti perbedaan gradual.
Metode variasididasarkan atas adanya sesuatu faktor yang bervariasi dalam
suatu peristiwa, dan adanya dalam peristiwa yang sama itu gejala yang juga bervariasi.
Kalau variasi dari faktor itu sejalan dengan variasi gejala, maka faktor itu adalah sebab
dari gejala yang bersangkutan. Dalam kata-kata Stuart Mill sendiri:
“Gejala apa saja yang dengan sesuatu cara berubah apabila gejala lain berubah
dengan cara tertentu, maka gejala itu adalah sebab atau akibat dari gejala yang lain itu,
atau berhubungan secara sebab-akibat.” (Whatever phenomenon varies in any manner
whenever another phenomenon varies in some partikular manner, is either a cause or
an effect of that phenomenon, or is connected with a through some fact of causation.)

Bentuk penalaran menurut etode ini sebagai berikut:

A BC → def atau A BC → def


A+ B C → d e f+ A+ B C → d e f-
A- B C → d e f- A- B C → d e f+
_________________ _________________
ֶ A → f ֶ A → f

Kalau kita mengambil lagi contoh: “makan di kios” dan “sakit perut”, dan
menyusunnya menurut metode ini, maka penalarannya padat dijadikan demikian:
A makan nasi uduk, makan telur,
minum teh setengah gelas, dan sakit perut dengan panas 38°.
B makan pisang, makan jeruk,
minum teh satu gelas, dan sakit perut dengan panas 39°.
C makan kacang, makan emping, makan jeruk,
minum teh dua gelas, dan sakit perut dengan panas 40°.
ֶ Minum teh adalah sebab dari sakit perut dengan panas.

Melode penalaran ini dalam hidup sehari-hari sering diterapkan tanpa


disadari. Kaum tani mengetahui hubungan sebab-akibat antara pupuk dan panennya,
karena menurut observasi mereka, kalau pupuk ditambah, hasil panennya lebih besar
dan sebaliknya. Orang rela mengeluarkan biaya yang besar untuk membuat iklan,
karena tahu, bahwa makin baik iklannya, makin laku dagangannya. Ini diketahui dari
pengalaman.
Hukum ekonomi mengenai hibingan antara permintaan dan penawaran
adalah kesimpulan atas dasar metode variasi ini.
Metode variasi ini berdasarkan asumsi, bahwa adanya variasi, yang seperti
dikatakan di atas adalah perbedaan gradual, itu dapat disaksikan. Ini berarti bahwa harus
ada kemungkinan untuk mengukur perbadaan itu. Jadi metode variasi itu metode
kuantitatif.

7. Hubungan Sebab-akibat = Implikasi Empirik


Metode-metode Stuart Mill itu berdasarkan hubungan sebab-akibat atau
hubungan kausal. Hubungan itu dapat dirumuskan: kalau sebabnya/akibatnya ada, maka
akibatnya/sebabnya ada. Jadi hubungan itu hubungan “Kalau…, maka…”, yaitu
hubungan implikasi. Karena itu hubungan sebab-akibat juga disebut implikasi kausal.

59
Dan seperti sudah dijelaskan; implikasi kausal itu juga disebut implikasi empirik, karena
seperti jelas dari contoh-contoh di atas, metode-metode Stuart Mill itu mengenai
hubungan sebab-akibat yang hanya dapat diketahui berdasarkan pengamatan indera,
atau pengamatan empirik. Bahwa makan nasi uduk, makan telur, minum teh itu dapat
menyebabkan sakit perut hanya dapat diketahui berdasarkan pengamatan empirik.
Konsep minum teh tidak mengandung unsure yang dapat diartikan sebagai sebab dari
sakit perut.
Semua jenis implikasi juga dapat disebut hubungan sebab-akibat dan juga
dapat dijadikan dasar penalaran. Akan tetapi penalarannya bukan menurut metode
Stuart Mill. Kalau dasar penalaran itu implikasi logis, maka penalarannya berbentuk
deduksi. Kalau dasarnya implikasi definisional, maka penalarannya berupa penalaran
langsung.
Lain lagi halnya kalau yang menjadi dasar penalaran itu implikasi intensional
atau desisional. Adanya implikasi intensional itu juga diketahui secara empirik, yaitu
dengan menanyakannya kepada yang bersangkutan atau berdasarkan pernyataan yang
bersangkutan. Sekali pernyataan kita dengar, maka ini merupakan data yang harus
diterima kebenarannya. Jadi adanya implikasi intensional dapat secara lansung
diketahui, tanpa harus diadakan penalaran untuk menyimpulkannya. Dalam hal
implikasi empirik, adanya implikasi atau hubungan antara minum teh dan sakit perut
harus dicari dengan menggunakan penalaran. Kecuali itu, hubungan sebab-akibat dalam
implikasi empirik itu dapat disebut hubungan alamiah, dan sifatnya mutlak sepanjang
kondisi alam tidak berubah (hypothetico-necessary). Sebaliknya hubungan sebab-akibat
dalam implikasi intensional tidak mutlak sifatnya. Hubungan itu tergantung kepada
putusan orang yang bersangkutan. Maka dalam hal orang berpindah rumah, Contohnya,
tentu ada yang menghubungkannya dengan kesehatan rumah, ada yang tidak; ada yang
menghubungkannya dengan jaraknya dari sekolah anak, ada yang tidak; ada pedagang
yang menaikkan harga dagangannya karena besarnya permintaan, ada yang tidak.
Berhubung dengan perbedaan-perbedaan ini, maka konklusi yang dapat
ditarik dari sejumlah peristiwa berdasarkan implikasi kausal berbeda denganyang dapat
ditarikkalau dasarnya adalah implikasi intensional. Contohnya kita ingin menyelidiki
mengapa orang-orang yang habis makan di kios tertentu sakit dan mengapa orang
pindah ke Jakarta. Untuk kedua penelitian itu kita sama-sama menggunakan enam
variabel dan mengumpulkan duapuluh lima peristiwa: n = 25. Hasilnya kita susun
menjadi dua tabel sebagai berikut:

Tabel 1 Makanan kios X yang dimakan orang yang kemudian sakit.


Makanan Jumlah yang makan
Nasi uduk 20
Nasi gulai 5
Minum teh 25
Makan telur 4
Pisang 3
Jambu -

Tabel 2 Alasan orang pindah ke Jakarta.


Alasan Jumlah yang menggunakan
Sekolah anak 20
Keluarga 5
Pekerjaan 25

60
Lingkungan 4
Hubungan dengan luar negeri 3
gengsi -

Kesimpulan dari tabel 1 adalah: minum teh lah yang menyebabkan orang
yang habis makan di kios itu sakit.
Kesimpulan dari tabel 2 adalah: ada bermacam-macam alasan bagi orang
untuk pindah ke Jakarta, yang terpenting adalah: alasan pekerjaan. Alasan lain adalah:
kepentingan keluarga, sekolah anak, lingkungan dan hubungan luar negeri. Pentingnya
alasan yang satu juga dapat dibandingkan dengan pentingnya alasan yang lain.

VI. Benar — Salah Dalam Logika


Konsep benar-salah dalam filsafat dibicarakan dalam kajian epistemologi, yaitu
ilmu yang membahas tentang cara memperoleh pengetahuan. Pengetahuan (tentang) apa
yang diperoleh dari proses epistemologi. Tentunya pengetahuan tentang yang ada (yang
disebut ontologi), bukan pengetahuan yang tidak ada, atau setidaknya dianggap ada
untuk kemudian dibuktikan keber-ada-annya. Antara ontologi dengan epistemologi
tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Epistemologi adalah cara (subjek
manusia) untuk mengetahui sesuatu (objek), sedangkan ontologi adalah sesuatu (objek)
yang ingin diketahui (oleh subjek manusia). Yang diperoleh subjek manusia melalui
epistemologi adalah “pengetahuan” tentang sesuatu (objek). Dengan demikian, yang
dipersoalkan benar—salah adalah “pengetahuannya” yang ada dalam diri subjek
manusia, bukan objeknya. Sedangkan pengetahuan manusia tempatnya (locus) ada
dalam pikiran (akal). Dengan kata lain, yang dipersoalkan tentang benar—salah adalah
“pengetahuan” yang ada dalam pikiran subjek manusia. Hal ini perlu ditekankan karena
sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang diperdebatkan benar—salah adalah
objeknya, padahal yang harus diperiksa benar—salah adalah “pengetahuan” dalam
pikirannya, apakah “pengetahuan”-nya benar atau salah. Dengan demikian konsep
benar—salah dalam filsafat dibicarakan dalam epistemologi, bukan dalam axiologi
ataupun ontologi.
Dalam konteks filsafat ada beberapa jenis “kebenaran”. “Kebenaran
korespondensi” adalah kesesuaian antara pengetahuan dalam pikiran atau akal dengan
kenyataan atau realitas (indrawi) yang ada (di luar dirinya), seperti kursi dalam pikiran
dengan kursi dalam kenyataan. Sedangkan “kebenaran koherensi” adalah runtut atau
sinambugnya pikiran, seperti runtutnya idea-idea atau konsep-konsep dalam pikiran.
“Kebenaran pragmatis” adalah “benar” berdasarkan manfaat, artinya, jika sesuatu
bermanfaat maka sesuatu tersebut menjadi “benar”, sebaliknya jika tidak bermanfaat
maka “salah”, seperti keyakinan terhadap sesuatu memberi manfaat bagi orang yang
meyakininya, walaupun yang diyakininya tersebut belum terbukti ada atau tidak ada-
nya, yang dikembangkan filsafat pragmatisme. “Kebenaran performatif” adalah “benar”
berdasarkan konteks otoritas atau wewenang, seperti hakim membuat putusan bersalah
dan dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan kepada seorang terdakwa ketika di ruang
sidang dan memakai baju kehakiman, yang dikembangkan filsafat analitis. Dengan
demikian dalam konteks filsafat, benar—salah merupakan suatu ukuran yang bersifat
relatif, karena “kebenaran” ada banyak (plural) dan tergantung pada ukurannya.
Dalam konteks logika, benar—salah ada (dapat diukur) dalam proposisi atau
putusan (..) dan konklusi atau penyimpulan (...). Ada dua “kebenaran” dalam logika,
yaitu “benar formal” dan “benar material”.

61
Benar formal” dalam proposisi atau putusan adalah terpenuhinya susunan dan
unsur-unsur “Subyek” dan “Predikat” dalam kalimat proposisi atau putusan, sehingga
jika susunannya tidak runtut walaupun unsur-unsurnya lengkap maka secara formal
salah. Demikian juga, jika unsur-unsurnya tidak lengkap maka maka salah secara
formal. Sedang “benar material” dalam proposisi adalah kesesuaian antara putusan atau
proposisi dengan realitas kenyataan, artinya kalimat putusan atau proposisi tersebut ada
dan sesuai kenyataan. Sehingga dalam setiap satu kalimat putusan atau proposisi ada
dua “kebenaran” sekaligus, yaitu “benar formal” dan “benar material”, artinya setiap
satu kalimat putusan atau proposisi dapat terjadi benar secara formal tetapi salah secara
material, Contohnya kalimat putusan/proposisi “Presiden pertama RI adalah Suharto”.
Atau sebaliknya, satu kalimat putusan atau proposisi benar secara material tetapi secara
formal salah, Contohnya kalimat putusan “telah meninggal Suharto.
Sedangkan “benar formal” dalam penyimpulan deduksi atau silogisme adalah
terpenuhinya premis mayor dan premis minor yang di dalamnya terdapat dan tersusun
subyek dan predikat, serta dalam premis-premis tersebut diketahui term tengah (...) yang
tidak ada atau terhapus dalam kesimpulan, sehingga dapat membuat kesimpulan. Premis
merupakan proposisi atau putusan yang didudukkan dalam konteks penyimpulan.
Dengan kata lain antara premis dengan proposisi atau putusan sama saja, yaitu
merupakan kalimat yang terdiri dari subyek (S) dan predikat (P).
Secara formal, penyimpulan dapat terjadi dalam 6 (enam) bentuk kesimpulan.
S1—P1  Premis mayor (...)
S2—P2  Premis minor (...)
_____________
S2—P1  Kesimpulan 1 (...) M=S1,P2
S1—P2  Kesimpulan 2 (...) M=S2,P1
S2—S1  Kesimpulan 3 (...) M=P1,P2
S1—S2  Kesimpulan 4 (...) M=P1,P2
P2—P1  Kesimpulan 5 (...) M=S1,S2
P1—P2  Kesimpulan 6 (...) M=S1,S2

“Benar material” dalam proses penyimpulan diukur berdasarkan ada atau tidak
adanya kesesuaian antara putusan-putusan dalam premis dan kesimpulan dengan realitas
kenyataan.
Dalam penyimpulan deduksi atau silogisme tersebut, karena ada dua ukuran
“kebenaran”, “kebenaran formal” dan “kebenaran material”, maka dapat terjadi,
sebagaimana benar—salah dalam putusan atau proposisi, benar secara formal tetapi
salah secara material, dan sebaliknya, salah secara formal tetapi benar secara material.
Benar—salah dalam proses penyimpulan, secara formal dan material, ada beberapa
kemungkinan.
1. Premis mayor dan premis minor benar menghasilkan kesimpulan yang salah
2. Premis mayor dan premis minor salah menghasilkan kesimpulan yang benar
3. Premis mayor benar dan premis minor salah menghasilkan kesimpulan yang
benar
4. Premis mayor salah dan premis minor benar menghasilkan kesimpulan yang
benar
5. Premis mayor benar dan premis minor salah menghasilkan kesimpulan yang
salah
6. Premis mayor salah dan premis minor benar menghasilkan kesimpulan yang
salah

62
VII. Kesesatan Berpikir

Proses penyimpulan dalam penalaran dapat dikatakan sebagai bentuk


argumentasi. Proses penyimpulan tersebut selain dapat menunjukkan pada cara berpikir
atau berargumentasi yang lurus atau benar, namun dapat juga menyesatkan pikiran
sehingga menjadi salah dalam mengambil kesimpulan atau argumentasi.
Argumentasi yang salah memungkinkan dua hal yaitu; pertama argumentasi
yang sebenarnya salah namun tetap diterima umum karena banyak orang yang
menerima argument tersebut tidak merasa kalau mereka itu sebenarnya telah tertipu.
Kedua, salah disebabkan kecorobohan dan kekurang-perhatian orang terhadap pokok
persoalan yang terkait atau keliru karena dalam menggunakan term dan proposisi yang
memiliki ambuitas makna dari bahasa yang digunakan dalam berargumen.
Dalam logika ada juga ada kesalahan dalam berfikir atau sesat. Hal ini adalah
biasa sebab ada kesalahan dalam menalar atau dalam berargumen.
Kesalahan berargumen dapat terjadi jika;
1. suatu argument memuat premis yang terbentuk dari proposisi yang keliru. Jika
premisnya keliru maka kesimpulannya juga akan salah.
2. jika konklusi tidak sesuai dengan premis yang diajukan. Hal ini dikarenakan ada
kesimpulan terlebih dahulu baru mencari-cari premis atau salah menempatkan
konklusi secara benar dan baik.

7.1. Kesesatan Relevansi


Kesalahan yang kedua ini biasa dinamakan kesalahan relevansi. Kesalahan
terdiri atas beberapa hal yaitu:
1. Argumentum ad baculum
Argumentum ad baculum adalah pembenaran argumen atas dasar
kekuasaan. Kesalahan ini dapat terjadi apabila argumen yang diajukan disertai
dengan pengaruh kekuasaan seseorang yang beragumen untuk memaksakan
pembenaran sebuah kesimpulan. Bahkan kesimpulan itu dipaksakan secara fisik.
Contoh konkrit yang pernah terjadi adalah ketika kelompok mu”tazilah
memaksakan pemikirannya melalui kekuasaan
2. Argumen ad hominen
Argumen ad hominen adalah pembenaran argumen yang diarahkan untuk
menyerang manusianya secara langsung. Ada dua interpretasi yang dapat
diterapkan untuk memahami kekeliruan ini.
a. Penerapan argumen yang menggambarkan tindak pelecehan terhadap pribadi
individu yang menyatakan sebuah argumen. Hal ini terjadi karena ukuran logika
dihubungkan dengan kondisi pribadi dan karakteristik personal seseorang yang
sebenarnya tidak relevan untuk kebenaran atau kekeliruan isi argumen
b. Argumen yang terjadi untuk kenyataan psikologis terhadap seseorang. Hal ini
dapat terjadi karena perkembangan pandangan terhadap sebuah pernyataan
menjadi sikap tidak suka atau antipati kepada person yang mengeluarkan
pernyataan tersebut, Contohnya dalam kasus penganggapan bahwa tasawuf yang
dilakukan oleh seseorang adalah salah kemudian ia memandang apapun yang ia
ucapkan adalah salah.
Contohnya, argumen yang digunakan untuk melihat personnya bukan
masalahnya, seperti yang sering terjadi dalam keadaan saat ini, Contohnya dalam
pencalonan gubernur DKI, kemudian ada argument yang menyatakan bahwa yang
berhak menjadi gubernur adalah putra daerah. Sebab ia adalah orang telah lama
tinggal di DKI, bukan orang sumatra atau orang Kalimantan yang pendatang ke

63
Jakarta. Hal ini yang dilihat adalah keberadaan tokohnya, bukan keberadaan
pemikirannya. Contohnya sudah layakkah putra daerh menjadi gubernur sementara
ia tidak berpendidikan dan orang daerah mempunyai pendidikan dan pandangan
yang bagus dalam menyelesaikan suatu daerah.

3. Argumentum ad ignorium
Argumentum ad ignorium yaitu argumen atas sesuatu yang tidak mudah
untuk dibuktikan kebenaran dan kesalahan. Lantas orang lain dipaksa untuk
mengakui. Contohnya ketika kasus Munir meninggalkan karena tidak mudah
membuktikan siapa pembunuhnya, lantas orang langsung menunjukkan orang lain
sebagai yang salah telah membunuh padahal ia tidak mengetahui sama sekali orang
tersebut.
4. Argument ad misericordiam
Argument ad misericordiam yaitu suatu seruan untuk menimbulkan belas
kasihan. Pada dasarnya argument yang dibuat adalah tidak melihat pada hakekat
permasalahan, hanya melihat rasa belas kasihan dan cinta kasih. Contohnya
poligami hendaknya diperbolehkan. Sebab menurut sensus saat ini penduduk wanita
jumlahnya lebih banyak dibanding laki-laki. Jadi, jika tidak ada poligami maka akan
kasihan perempuan-perempuan yang tidak mendapatkan jodoh sebab jumlah antara
laki-laki dan perempuan tidak seimbang.
5. Argumentum ad populum
Argumentum ad populum yaitu kekeliruan yang diterima umum atau salah
kaprah. Argumen ini sering digunakan untuk membangkitkan emosi dan prasangka
kelompok. Cara ini sering digunakan oleh mereka yang hendak menghasut
kelompok lain tanpaa mengetengahkan fakta, mereka yang hendak membakar
kebencian golongan, rasial, religius.
Contohnya, adanya sebuah doktrin bahwa semua pegawai negeri harus
memilih golkar adalah masuk akal, namun pada hakekatnya mereka itu melanggar
hak-hak kebebasan memilih yang justru lebih masuk akal.
6. Argumentum ad verecundiam
Argumentum ad verecundiam adalah suatu argumen yang berguna untuk
membangkitkan rasa malu. Argumen ini juga sering digunakan oleh para tokoh atau
ilmuan dan dianggap benar tanpa diteliti terlebih dahulu. Contohnya adanya
statemen dari tokoh yang menyatakan bahwa orang yang cantik adalah orang yang
rambutnya panjang dan lurus, berkulit putih dan lain sebagainya.
7. Accident
Kesalahan aksidensi ini adalah kesalahan dalam menerapkan sesuatu yang
sebenarnya aksidental kemudian dijadikan konklusi umum. Contohnya dalam suatu
peristiwa ada seorang ibu memberi anaknya susu formula bermerek X, kemudian
anak itu mencret. Kejadian mencret karena susu formula difonis oleh ibu tersebut
kemudian ia tidak mau memberi susu formula itu lagi, dan memberi tahu semua
orang bahwa susu itu mengakibatkan mencret. Pada aspek mencret lain masih
banyak Contohnya masuk angin atau aspek yang lain.
Dalam agama, kita mengenal kaidah
‫العبرة بخصوص السبب ال بخصوص اللفظ‬
Kaidah dalam agama ini harus diperhatikan dengan hati-hati, sebab dalam
beberapa peristiwa yang sebenarnya aksidental dianggap sebagai umum atau
sebaliknya. Peristiwa ini menyebabkan adanya perbedaan dalam interpretasi atas
suatu teks.
8. Ignoratio elenchi

64
Kesesatan ignoratio elenchi ini terjadi apabila konklusi yang diturunkan dari
premis tidak relevan dengan premis itu. Kesalahan ini biasa terjadi karena bahasa
yang digunakan. Contohnya dalam persidangan seorang pengacara memberikan
suatu paparan panjang lebar mengenai pembunuhan yang dianggap sangat keji dan
tidak manusiawi. Pemaparan itu berguna untuk memberikan kepada orang lain
bahwa orang yang tidak bela tidak mungkin membunuh sebab orang yang dibela
adalah orang yang bersifat halus dan penuh perasaan.
9. Complex question
Complex question yaitu sebuah pertanyaan atau perintah, seringkali bukan
pertanyaan tunggal, yang dapat dijawab dengan tepat dengan satu jawaban,
meskipun pertanyaannya berbentuk kalimat tunggal. Pertanyaan ini Contohnya
kampus terdiri atas bagian-bagian apa? Dapat dijawab dengan ada dosen,
mahasiswa, dekan, rektor dan lain sebagainya. Dapat juga dijawab dengan terdiri
atas gedung, kantor, taman dan lain sebagainya.
10. Petitio principii
Dalam usaha untuk membuktikan sesuatu, dapat terjadi bahwa dalam
penalaran yang kita susun, kita menggunakan konklusi atau apa yang hendak
dibuktikan sebagai premis. Sudah tentu dengan kata-kata atau ungkapan yang
berbeda dengan konklusinya.
Contohnya, secara ilmiah Darwin memberi kesimpulan bahwa nenek
moyang manusia adalah kerbau. Kemudian kesimpulan itu dianggap benar, karena
bukti-bukti yang ditemukan bahwa fosil manusia yang ditemukan sama dengan ciri-
ciri dengan kerbau. Kesimpulan itu berdasarkan premis atau bukti di atas dianggap
kurang tepat. Yang tepat berdasar penemuan fosil-fosil itu tidak bertentangan
dengan teori evolusi, sehingga dianggap memperkuat teori itu.
11. False cause
Kesesatan ini terjadi apabila seseorang menganggap sesuatu sebagai sebab,
padahal ia sebenarnya bukan sebab, atau bukan sebab yang lengkap. Contohnya ada
suatu kejadian pergumulan dalam suatu pesta, dalam pergumulan tersebut Franki terluka
dan mati. Orang menganggap frenki mati karena disebabkan oleh luka goresan tersebut,
padahal menurut visum dokter franki ternyata mengidap penyakit jantung kronis dimana
ketika ada kejadian yang mengagetkan dapat mengakibatkan ia mati. Artinya pandangan
masyarakat umum yang menyatakan bahwa franki mati karena terluka adalah kurang
tepat. Sebab yang membuat franki mati adalah penyakit jantung.

7.2. Ambiguitas argumen (kesesatan bahasa)


Kesalahan berfikir ini terjadi dalam argumen yang susunannya terdiri atas kata-
kata yang salah, mempunyai arti mendua, memiliki makna ganda, atau bahkan kata-kata
tersebut mempunyai makna yang mudah berubah setiap saat. Kesalahan seperti ini
terjadi apabila
1. Ekuivokasi
Ekuivokasi yaitu kesalahan yang terjadi dalam penggunaan yang kata atau istilah
yang sama dalam arti yang berbeda atau berlaian. Contohnya kata genting dapat
diartikan dengan atap rumah, gawat, sangat sempit dan lain sebagainya. bunga,
bisa digunakan untuk nama salah satu tumbuhan, diartikan untuk gadis suatu
daerah dan lainnya. kata ini dalam contoh antara lain

2. Amphiboly/amfiboli
Amphiboly/amfiboli yaitu kesalahan dalam menggunakan kalimat yang
berarti dua. Artinya premisnya memiliki kontruksi gramatikal yang ambigu dan

65
batasan maknanya tidak jelas. Amfibologi jika diinterpretasikan mempunyai dua arti
yang sama-sama benar dari sudut pandang yang memandangnya. Contohnya, adalah
percakapan antara croesur, seorang raja dari Lydia, dengan seorang dukun di Delphi.
Suatu hari croesur akan berperang ke Persia, lantas ia meminta pendapat dukun
mengenai hasil perang nanti. Kemudian sang dukun mengatakan: “jika sang raja
pergi perang melawan Cyrus, ia akan menghancurkan sebuah kerbaujaan yang adi
kuasa.” Atas ucapan sang raja senang dan berangkat perang. Akan tetapi ia kalah
dan hancur, kemudian ia putus asa dan meminta pertanggungjawaban dari dukun.
Sang dukun berdalih: ramalan saya adalah benar dan tidak salah sebab, menurut
saya ia akan menghancurkan sebuah kerbaujaan yang adi kuasa. Di sini saya tidak
menyebutkan siapa yang adi kuasa, artinya bisa juga yang menghancurkan tuan pada
kerbaujaan lain atau kerbaujaan tuan sendiri yang adi kuasa. Dan menurut saya yang
akan hancur adalah kerbaujaan tuan yang adi kuasa.
Kasus ini dalam bahasa sehari-hari keagamaan antara lain
3. Accent/aksentuasi
Accent/aksentuasi yaitu kesalahan ekuivokasi disebabkan perubahan
aksentuasi atau tekanan.
Contohnya ada orang yang mengatakan: kita tidak boleh berkata-kata yang
bernad melecehkan teman sendiri.
Kata ini jika diamati dengan baik dan benar maka adanya larangan untuk
melecehkan teman sendiri, tetapi jika disalahfahami dalam penekanan katanya maka
yang terjadi adalah orang boleh melecehkan orang lain selian teman sendiri.
Dalam al-Qur”an Contohnya jangan mendekati zina. Kata ini jika difahami
dengan istilah yang sekarang kereta api, jangan berkata ah kepada orang tua.
4. Komposisi
Kekeliruan ini terletak pada anggapan bahwa apa yang benar pada masing-
masing bagian secara tersendiri pasti juga benar pada seluruh kelompok. Akan
tetapi, suatu keseluruhan kadang-kadang menunjukkan, kadang-kadang tidak
menunjukkan karakteristik-karakteristik bagian-bagiannyaa, maka tidak mungkin
beranggapan bahwa sebagian dan keseluruhan akan memiliki karakteristik yang
sama dalam setiap kejadian.
Contohnya, ada orang yang mengatakan bahwa UIN adalah dianggap agen
liberal. Hal ini karena ada beberapa dosen yang berfikir secara liberal. Kemudian
beberapa dosen diidentikkan semua dosen, sehingga ada orang yang bertemu dengan
dosen UIN maka ia langsung mengklaim bahwa ia adalah liberal.
5. Pembagian (taqsim)
Kekeliruan dalam membuat pembagian seperti adanya anggapan bahwa apa
yang benar pada seluruh bagian, suatu bagian dan suatu golongan secara bersama,
niscaya benar juga pada setiap bagian tersendiri. Hal ini perlu disadari memang
benar pada keseluruhan juga sering benar pada bagian-bagian namun tidak mesti.
Contohnya, apabila dikatakan; Sukarno adalah presiden yang sangat baik dan
berwibawa. Oleh karena itu kita harus menghormati dengan baik. Sukarno
mempunyai anak yang bernama megawati, karena megawati anak sukarno kita harus
menghormatinya seperti menghormati presiden.
Dalam hal ini ada kesalahan dalam meletakkan penghormatan pada
megawati. Sukarno dihormati sebagai presiden yang mempunyai prestasi sedangkan
Megawati tidak boleh dihormati karena anak presiden, tetapi harus dihormati karena
alasan lain yang layak, apabila hanya anak presiden maka ia tidak boleh dihormati
seperti menghormati orangtuanya

66
Table of Contents
I. Pendahuluan ............................................................................................................................. 1
II. SEJARAH ................................................................................................................................ 2
III. Rasio-Akal.......................................................................................................................... 11
IV. Isi Akal (Kontekstual) ........................................................................................................ 12
V. Logika-Proses Nalar dalam Akal (Universal) .................................................................... 14
VI. Benar — Salah Dalam Logika ........................................................................................... 61
VII. Kesesatan Berpikir ............................................................................................................. 63

67
Dr. Faris Pari

68
69

Anda mungkin juga menyukai