Anda di halaman 1dari 11

PERTEMUAN 1

PENGERTIAN FILSAFAT BAHASA

A. Tujuan Pembelajaran

Setelah mempelajari materi pada pertemuan 1 mahasiwa diharapkan mampu

untuk memahami definisi dari filsafat, memahami deinisi dari bahasa dan

mahasiswa dapat menggambarkan hubungan antara filsafat dan bahasa.

B. Uraian Materi

1.1 PENGERTIAN FILSAFAT

Mencari pemaknaan filsafat secara umum memang terbilang cukup sulit,

karena mendefiniskan filsafat perlu dengan melakukan kajian yang cukup lama

dan serius. Mempelajari filsafat bagi beberapa orang dianggap sebagai sebuah

pembelajaran yang mengawang-awang. Untuk mengerti sebuah konsep filsafat

seseorang harus dapat mnedalami konsep tersebut bahkan ada yang meyakini

ketika mengkaji sebuah konsep filsafat akan bertentangan dengan konsep

keagamaan. Mengapa demikian? Hal ini tentu saja karena kurangnya pemahaman

mengenai filsafat itu sendiri, filsafat dianggap sebagai sebuah keilmuan yang tidak

dasarkan pada kitab suci penganut agama karena dianggap sebagai buatan

manusia yang mengada-ada. Apalagi, konsep filsafat yang sangat jelas terlihat

adalah ketika para pengkajinya harus bertanya-tanya tentang semua hal yang ada

di muka bumi apalagi ketika pertanyaan itu mengacu terhadap konsep keagamaan

maka orang-orang akan berfikir bahwa mereka yang berfilsafat adalah kafir atau

orang yang tak beragama. Terlalu cepat menyimpulkan bahwa seseorang yang

mengkaji filsafat akan terjebak ke dalam kekafiran, padahal jika ditelaah lebih jauh
konsep kefilsafatan ini akan mengacu terhadap konsep penciptaan dan konsep-

konsep ketuhanan yang bahkan dapat membuat para pengkajinya lebih dekat lagi

dengan bukti-bukti keberadaan tuhan (Hidayat, 2004)

Secara etimologi filsafat itu merupakan sebuah bahasa yang asal-usulnya

diambil dari bahasa arab yakni falsafah yang notabene bahasa aslinya diadopsi

dari bahasa yunani yaitu philoshopia. Kata philoshopia ini terdiri dari dua inti kata

yakni Philos/Philein yang memiliki arti cinta, dalam hal ini cinta didefiniskan seluas-

luasnya, yaitu cinta yang berkaitan dengan rasa “ingin”, sedangkan shopia memiliki

makna kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan. Sehingga secara harfiah

filsafat memiliki makna rasa cinta atau rasa ingin terhadap sebuah kebijaksanaan.

Jika ditilik secara mendalam, sebenarnya pemaknaan secara harfiah berdasarkan

arti dari sebuah kata tidak dapat mendefiniskan filsafat secara mendalam bahkan

hal tersebut malah akan membingungkan. Secara garis besar pendekatan

etimologis dalam mendefiniskan sebuah konsep dilakukan hanya untuk melihat ciri

luarannya saja tetapi tidak dapat mendefinisikan konsep esensial yang ada di

dalamnya.

Dalam filsafat untuk mendifiniskan sesuatu secara mendalam diperlukan

sebuah proses yang disebut sebagai proses berfikir dimana proses ini memacu

kita untuk melakukan perjalanan atau penjelajahan fikiran yang harus dilakukan

secara mendalam (radikal). Aristoteles pernah mengungkapkan ide pemikirannya

yang berkenaan dengan proses berfikir seorang filsuf. “Apabila kamu ingin menjadi

seorang filsuf maka berfilsafatlah, dan apabila kamu tidak mau menjadi seorang

filsuf maka kamu juga harus berfilsafat”. Dari ungkapan yang disebutkan oleh

aristoteles tersebut kita dapat simpulkan bahwa setiap manusia yang memiliki akal

dan pemikiran dalam hidupnya tidak akan pernah jauh dari sebuah proses filsafat,
karena pada dasarnya setiap manusia akan bertanya-tanya tentang segala aspek

yang ada dan muncul di dunia ini. Sebagai contoh, ketika seseorang setuju dengan

kehadiran filsafat sebagai sebuah ilmu maka ia akan memiliki alasan dan dasar

pemikiran yang kuat tentang kesetujuannya, begitupun sebaliknya ketika

seseorang tidak setuju dengan kehadiran filsafat sebagai sebuah ilmu, maka ia

harus memiliki dasar pemikiran yang kuat mengapa ia tidak setuju. Hal ini

menunjukkan bahwa manusia akan selalu berfikir dan berfilsafat setiap saat karna

manusia dilahirkan dengan akal dan ide.

Proses berfikir seorang filsuf biasanya didasari oleh empat hal dasar, yaitu

kekaguman terhadap alam, ketidakpuasaan terhadap mitos dan dongeng,

keraguan tentang sesuatu dan kebingungan tentang berbagai hal. Ada dua cara

berfikir seorang filsuf, yang pertama adalah berfikir secara rasional. Berfikir

secara rasional artinya berfikir secara logis, sistematis dan juga kritis. Berfikir logis

dilakukan tidak hanya untuk mencapai sebuah penjelasan yang dapat diterima

oleh akal sehat tetapi agar dapat membuat sebuah kesimpulan yang tepat dari

argumen dan premis yang digunakan. Kemudian berfikir sistematis merupakan

sekumpulan rangkaian pemikiran yang logis yang dihubungkan dan dikaitkan.

Sedangkan pemikiran kritis merupakan pemikiran dimana setiap argumen yang

ada harus terus dievaluasi dan diuji untuk mencapai sebuah kebenaran. Yang

kedua adalah berfikir secara radikal, artinya seorang filsuf harus tidak terpaku

terhadap satu fenmena saja dan tidak berhenti pada satu pemahaman sehingga

permasalahan dapat dipecahkan secara mendalam. Sejalan dengan penjelasan

tersebut, untuk berfilsafat, seorang filsuf harus memiliki ciri berfikir yang baik.

Menurut Achmadi (2014) berikut ciri-ciri berfikir filsafat;


a. Radikal, menurut KBBI (2008: 1246) memiliki makna secara menyeluruh

atau habis-habisan. Dari makna tersebut, seorang filsuf harus memiliki pemikiran

yang mendalam dan menyeluruh (radikal). Hal ini dikarenakan dalam berfilsafat

seseorang harus mampu berfikir sampai menemukan titik awal (akar) sebuah

permasalahan. Sehingga jika mengmabil sebuah kesimpulan akan mendapatkan

sebuah kesimpulan yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan.

b. Kritis, dalam berfilsafat, seseorang dituntut untuk dapat menagnggapi

semua peristiwa yang ada disekitarnya. Kritis berarti berani mengemukakan

pendapat atau memberikan tanggapan terhadap sebuah peristiwa yang tidak

sesuai dengan pemikiran kita.

c. Konseptual, maksud dari konseptual dalam berfikir adalah keterkaitan

antara akal mausia atau ide pemikiran yang ada dalam intelektual. Dimana

keterkaitan itu akan menghasilkan sebuah pemikiran yang sistematis dan

terkonsepsi secara jelas.

d. Rasional, maksud dari rasional sendiri merupakan sebuah unsur atau

bentuk hubungan yang secara logis dapat diuraikan dan dijelaska ke dalam

sebuah bentuk kebenaran.

e. Reflektif, reflektif sendiri memiliki makna mencerminkan terhadap

pengalaman pribadi yang artinya pemikiran filsafat ini harus mendukung terhadap

realitas pandangan hidup manusia dan dunia.

f. Koheren dan konsisten, maksud dari koheren dan konsiten sendiri adalah

cara berfikir seorang filsuf tidak boleh bertentangan dengan suatu kebenaran yang

logis.

g. komprehensif dan sistematis, sistematis merupakan unsur yang saling

berkaitan satu dengan lainnya secara teratur dalam suatu keseluruhan. Biasanya
unsur sistematis dalam pikiran filsuf ini dipengaruhi oleh keadaan dirinya,

lingkungan, zaman dan pendidikannya.

h. Metodis, untuk mencari sebuah kebenaran, perlu adanya penggunaan

metode-metode dalam upaya mengurangi penyimpangan dalam pencarian

kebenaran tersebut. Cara berfikir seorang filsuf harus didasari oleh metode yang

ilmiah agar temuan dari kebenaran tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Filsafat secara garis besar bukan merupakan sebuah sarana untuk mencari

jawaban dengan pasti tetapi filsafat membawa kita kepada pemahaman dan

tindakan, tujuan utama filsafat adalah mengumpulkan pengalaman dan

pengetahuan manusia sebanyak mungkin dan merangkainya dalam sebuah

rangkaian yang sistematis, kemudian, filsafat membawa kita terhadap sebuah

pemahaman yang akan membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Filsafat

merupakan sebuah bentuk analisa yang hati-hati terhadap sebuah penalaran

sebuah masalah, filsafat merupakan perenungan yang mengusahakan kejelasan,

keruntutan pada sebuah fenomena.

1.2 PENGERTIAN BAHASA

Berbicara mengenai bahasa, banyak sekali definisi yang muncul sebagai

penjelas tentang pengertian dari bahasa. jika dilihat dari fungsi dasarnya bahasa

merupakan sebuah alat komunikasi dan alat berinteraksi antar manusia. Secara

teoritis bahasa merupakan sebuah sistem lambang yang saling menghubungkan

dunia makna dengan dunia bunyi yang berkaitan erat dengan dunia pragmatik

(Chaer, 2009). Jika bahasa disebut sebagai sebuah sistem maka sistem tersebut

akan memiliki subsistem. Di dalam bahasa subsistem tersebut dibagi ke dalam tiga

sub sistem, yaitu subsistem fonologi, subsistem leksikon dan subsistem

gramatikal.ketiga subsistem tersbut terkait dengan subsistem pragmatik dimana


bahasa itu memiliki konteks tergantung dengan bagaimana bahasa tersebut

digunakan.

Bahasa itu memiliki komponen makna yang dimana komponennya memiliki

konsep dan ide yang dibentuk dari pemikiran manusia. Ide dan konsep makna

tersbut memiliki sifat abstrak dan tidak bisa diamati secara empiris. Tetapi, konsep

dan ide tersbut dapat dikeluarkan melalui alat ucap manusia dan dikeluarkan

melalui bunyi yang merupakan realisasi fisik yang dari dunia makna atau setelah

melaui sistem bahasa yang bersifat konkret sehingga dapat dianalisis secara

empiris. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar berikut ini.

Gambar 1.1. Komponen Bahasa (Chaer, 2015, hal. 16)

Jika dilihat pada gambar skema diatas, ada tiga komponen penting yang

menjadi subsistem pada sebuah bahasa. Seperti yang sudah dijelaskan pada

penjelasan sebelumnya bahwa komponen penting yang meliputi sistem bahasa

adalah komponen leksikon, komponen gramatika dan komponen fonologi.

Komponen leksikon yang memiliki satuan yang disebut dengan leksem merupakan

sebuah bejana yang menampung berbagai makna dalam sebuah bahasa. Makna

yang muncul dari leksikon tersebut disebut sebagai makna leksikal. Komponen
leksikon ini kemudian diolah menjadi satu kesatuan yang dimana kesatuan

tersebut tidak lagi memiliki makna leksikal tetapi memiliki makna gramatikal.

Dalam subsistem gramatikal, ada dua komponen utama yang meliputinya

yakni morfologi dan sintaksis. Subsistem atau komponen morfologi merupakan

komponen dalam sebuah bahasa dimana ia memiliki fungsi sebagai pengolah

komponen leksikon menjadi sebuah “kata”, yang dimana kata tersebut memiliki

sifat gramatikal dan subssitem sintaksis merupakan komponen yang bertugas

mengolah kata yang sudah disusun oleh morfologi menjadi satu kesatuan yang

lebih kompleks seperti dirubah menjadi sebuah frasa, klausa dan kalimat. Satuan-

satuan yang telah terbentuk secara sintaksis ini akan diolah oleh subsistem

fonologi dan dikeluarkan menjadi sebuah bunyi yang dikeluarkan melalu alat ucap

manusia dan dikonversi menjadi sebuah bunyi yang pada akhirnya akan diterima

oleh sistem pendengaran sebagai sebuah ujaran.

Ujaran-ujaran yang muncul dari alat ucap manusia tersebut akan memiliki

makna. Makna yang muncul itu akan dimengerti oleh pendengar ketika ujaran

tersebut memiliki konteks yang jelas sehingga sebuah bahasa tidak hanya sampai

pada subsistem fonologi saja tetapi lebih kompleks lagi sampai kepada pragmatik.

Sebagai contoh, ketika ada ujaran “ Sudah pukul Sembilan malam” jika dijelaskan

hanya menggunakan subsistem gramatikal saja maka makna yang muncul adalah

menyatakan mengenai waktu saja; tetapi jika diujarkan oleh seorang ibu kepada

anaknya yang masih berusia 7 tahun artinya ujaran tersebut memiliki makna

bahwa ibu tersebut menyuruh anaknya untuk tidur karena sudah larut malam.

Ujaran dalam sebuah bahasa memang dapat dimaknai tergantung dengan

konteks yang ada. Sehingga ketika ingin mengartikan atau memaknai sebuah

ujaran dalam sebuah bahasa itu memang sangat luas. Dalam kajian ilmu bahasa
(linguistik) yang bersifat struktural, bahasa didefinisikan sebagai sebuah sistem

lambang bunyi yaang memiliki sifat arbitrer. Sedangkan dalam kajian ilmu bahasa

yang bersifat fungsional menyebutkan bahwa bahasa merupakan sebuah alat

komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dan berinterksi

(Chaer dalam Chaer, 2015, hal. 17).

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa bahasa dalam kajian filsafat

dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat abstrak dan empiris. Mengapa

sebuah bahasa dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang abstrak? Tentu

pernyataan ini didasari dari definisi bahasa yang disebut sebagai bentuk yang

“arbitrer” atau manasuka. Setiap penutur bahasa di dunia memiliki bahasa untuk

mendeskripsikan sebuah objek yang tentu saja jika kita telaah tidak ada hubungan

antara bunyi, struktur kata dan bentuk katanya dengan objek yang dijadikan

lambang kata tersebut. Hal ini dalam filsafat dianggap sebagai sebuah

keabstrakan dari bahasa itu sendiri. di sisi lain, bahasa dianggap sebagai sesuatu

yang bersifat empiris dengan adanya bukti-bukti ilmiah yang konkret dalam

mendeskripskiakn bahasa secara keilmuan.

Bahasa seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya memiliki sebuah

konsturksi bunyi, kata, tata bahasa dan pemaknaan yang konkret dan dapat dilihat

eksistensinya. Hal ini memberikan ruang kepada filsafat untuk menyatakan ke

konkretan bahasa sebagai sebuah objek kajian yang dapat ditelaah dan

digambarkan secara radikal. Dengan bukti-bukti konkret bahasa ini filsafat

membuka pemikiran filsuf dan ilmuan dalam menggambarkan bahasa dan

mendeskripsikan bahasa ke ruang yang lebih luas lagi. Dulu bahasa hanya

dianggap sebagai sebuah fenomena yang terjadi begitu saja tetapi saaat ini

bahasa sudah sangat dipercayais sebagai sebuah kemampuan manusia yang


kompleks dan sangat perlu diperhatikan keberadaannya. Bahasa tidak hanya

dianggap sebagai sebuah fenomena yang terjadi begitu saja tetapi ada misteri

yang masih ada dibalik keberadaan bahasa tersebut.

1.3 HUBUNGAN FILSAFAT DAN BAHASA

Seperti yang telah disinggung dan dibahas sebelumnya bahwa secara

fungsional bahasa merupakan sebuah alat yang digunakan oleh manusia untuk

berkomunikasi dan berinterkasi dengan manusia lainnya. Dengan bahasa manusia

dapat mengkomunikasikan ide dan gagasannya sehingga ide dan pemikirannya

akan diketahui oleh orang banyak. Kemudian, jika ditinjau lebih dalam lagi ternyata

bahasa merupakan salah satu aspek yang penting dalam kehidupan manusia.

Dengan bahasa, perubahan pada kehidupan manusia pun dapat berubah, dari

segi budaya, perekonomian bahkan secara sosial kehidupan manusia pun

tergantung pada penggunaan bahasa. Jika dalam sekelompok manusia tidak ada

alat yang dinamakan bahasa maka keberlangsungan kelompok tersebut akan ada

pada titik kepunahan karna dengan adanya bahasa menunjukkan sebuah

kebudayaan bangsa dan jika tidak ada bahasa maka hilanglah bangsa tersebut.

Dengan demikian siapapun orangnya maka mereka akan selalu berkutat

danmelakukan relasi denga bahasa begitupun dengan filsuf, sehingga bahasa dan

filsafat akan memiliki kaitan yang erat karena pemikiran dan ide yang muncul pada

zaman filsafar kuno sampai sekarang pun semua ide dan pemikirannya akan

disampaikan dan gambarakan melalui bahasa.

Fakta-fakta telah menujukkan bahwa pemikiran dan perenungan filsuf

mengenai sebuah ide akan selalu dilakukan degan menggunakan bahasa

sehingga bagaimanapun alat komunikasi yang baik sebagai pembagi informasi

adalah bahasa. Suatu sistem filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat
dipandang sebagai sebuah bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat dipandang

sebagai suatu upaya penyusuan bahasa tersebut (Katsooff dalam Hidayat, 2014,

hal. 31). Dengan kata lain, dalam memahami sebuah pemikiran filsuf atau

memahami filsafat kita harus memperlajari bahasa yang digunakan dalam

menguraikan filsafat. Selain itu, kita akan menjumpai istilah-itilah yang muncul di

dalam filsafat yang tidak akan pernah kita megerti jika kita tidak pernah berbahasa.

Dari uraian yang telah dijelaskan diatas, maka bahasa dan filsafat memeiliki

hubungan dan relasi yang sangat erat. Bahkan, hubungan antara filsafat dan

bahasa merupakan sebuah hubungan yang kausalitas (sebab-akibat) yang

kehadirannnya tidak dapat kita tolak. Bagi para filsuf bahasa dianggap sebagai

sahabatnya dalam setiap kegiatan filsafatnya dan tidak akan terpisahkan oleh

apapun. Sehingga lambat laun bahasa menjadi sebuah objek perenungan yang

menarik bagi para filsuf dan menjadi bahan peneltian dunia filsafat.

1.4 SOAL LATIHAN

1. Apa pengertian Filsafat secara etimologi?

2. Mengapa pengertian filsafat secara etimologi tidak terlalu mewakili pengertian

filsafat?

3. Mengapa bahasa disebut sebagai sebuah sistem?

4. Sebutkan dan jelaskan subsistem yang ada pada bahasa?

5. Bagaimana hubungan bahasa dan filsafat

Anda mungkin juga menyukai