Anda di halaman 1dari 6

ARGUMEN-ARGUMEN ADANYA TUHAN: ONTOLOGIS, KOSMOLOGIS, TELEOLOGIS, MORAL

November 19, 2015faisalhasbi

Pendahuluan

Diskursus mengenai eksistensi Tuhan merupakan objek kajian yang telah ada sejak dulu, tepatnya
sejak kemunculan filsafat Pra-Socrates.[1] Walaupun mereka tidak membahas tentang Tuhan secara
utuh, namun para filosof tersebut setidaknya membahas tentang adanya Tuhan.

Kata “Tuhan”, merujuk kepada suatu dzat Abadi dan Supranatural yang mengawasi dan memerintah
manusia dan alam semesta. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-
konsep yang mirip misalnya sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam
semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; kebajikan
yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup.[2]

Dengan kemutlakannya, Tuhan tentunya tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dia tidak dipengaruhi
oleh waktu yang dulu atau yang akan datang. Dia juga tidak memerlukan ruang, sehingga pertanyaan
tentang dimana Tuhan hanya akan membatasi kekuasaan-Nya. Maka bagi-Nya tidak ada kapan lahir
atau kapan mati.

Setiap manusia tentu memiliki pengalaman berketuhanan dalam hidupnya. Menurut William James
pengalaman berketuhanan adalah pengalaman relasional dengan Tuhan, dan di antaranya adalah
tentang pengalaman pencarian eksistensi Tuhan.[3] Bagi sebagian orang eksistensi Tuhan dapat dan
harus dibuktikan secara rasional sedangkan bagi sebagian yang lain eksistensi Tuhan cukup diyakini
saja tanpa memerlukan argumen-argumen rasional.

Dalam tulisan ini akan dipaparkan beberapa argumen untuk menjelaskan eksistensi Tuhan secara
rasional. Argumen-argumen tersebut meliputi: argumen ontologis, argumen kosmologis, argumen
teleologis, dan argumen moral. Masing-masing argumen akan diwakili oleh beberapa tokoh.

Pembahasan

Argumen Ontologis

Salah satu argumen yang digunakan untuk menjelaskan eksistensi Tuhan adalah argumen ontologis.
Kata ontologi berasal dari kata Latin ontos yang berarti sesuatu yang berwujud[4] dan logos yang
berarti pengetahuan. Maka ontologi adalah ilmu pengetahuan tentang yang ada.
Argumen ini mula-mula dicetuskan oleh Plato (428-348 S.M.). Untuk dapat memahami argumen
Plato tentang eksistensi Tuhan, kita terlebih dahulu harus memahami pemikirannya tentang idea
karena memang setiap pandangannya didasarkan pada teorinya yang masyhur ini.

Menurut Plato, semua yang ada di alam ini mempunyai ideanya masing-masing. Idea yang dimaksud
yakni definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu yang merupakan hakikat dan menjadi dasar
keberadaan dari sesuatu tersebut. Idea-idea sifatnya transenden dan kekal, tempatnya berada di
luar alam ini yang disebut alam idea.

Dalam pandangan Plato, semua benda yang ada di alam nyata dan selalu berubah hanyalah
bayangan dari alam idea. Benda-benda tersebut hanyalah ilusi. Idea dari benda-benda tersebut, yang
hakikat dan yang tidak berubah terdapat di alam idea. Idea-idea adalah tujuan dan sebab dari wujud
benda-benda.

Berbagai macam idea-idea yang terdapat di alam idea tersebut terkoneksi pada satu idea yang
menaunginya, idea ini adalah yang tertinggi dan menjadi sumber, tujuan dan sebab dari segala yang
ada, Ia adalah Tuhan atau dalam bahasa Plato disebut The Absolute Good. Melalui teori idea ini
Plato hendak membuktikan bahwa alam ini berasal dari sesuatu yang gaib dan menjadi sumber dari
segala yang ada – The Absolute Good.

Selain Plato terdapat filsuf lain yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan melalui argumen
ontologis, ia adalah St. Augustine (354-430 M.). St. Augustine berpandangan bahwa melalui
pengalamannya sehari-hari manusia dapat mengetahui di alam ini terdapat kebenaran. Dalam
memperoleh kebenaran tersebut adakalanya akal manusia merasa begitu yakin tapi pada saat-saat
tertentu terkadang merasa ragu-ragu akan apa yang dinilainya sebagai kebenaran.

Dengan demikian akal manusia mampu menyadari bahwa di luar yang diketahuinya terdapat sesuatu
kebenaran tetap yang tak berubah-ubah. Kebenaran inilah yang menjadi sumber cahaya bagi akal
manusia dalam mengetahui yang mana benar dan yang mana salah. Kebenaran tetap dan kekal itu
merupakan Kebenaran Mutlak dan inilah – Kebenaran Mutlak – yang disebut Tuhan.[5]

Argumen ontologis ketiga diajukan oleh St. Anselm (1033-1109 M.), seorang Uskup Agung asal
Canterbury. Anselm berpendapat bahwa manusia mampu berpikir tentang sesuatu atau zat yang
tidak ada satupun dari yang ada dapat melebihi dan mengatasi kebesarannya. Zat yang demikian
harus mempunyai wujud dalam hakikat tidak cukup hanya mempunyai wujud dalam pikiran. Sebab
bila hanya mempunyai wujud dalam pikiran, zat tersebut tidak lebih besar dan tidak lebih sempurna
dari yang lain. Berwujud dalam alam hakikat lebih besar dan lebih sempurna daripada hanya
berwujud dalam alam pikiran. [6]
Zat yang Mahabesar dan Mahasempurna tersebut tak lain adalah Tuhan dan karena sesuatu yang
terbesar dan tersempurna tidak boleh tidak harus mempunyai wujud (dalam hakikat), maka Tuhan
mesti ada.

Argumen Kosmologis

Argumen kosmologis, bisa juga disebut sebagai argumen sebab – akibat. Sesuatu yang terjadi di alam
ini, pasti ada sebabnya. Sebab itulah yang menjadikan adanya atau terjadinya sesuatu itu. Sebab
alam lebih wajib dan ada daripada alam itu sendiri. Sesuatu yang menyebabkan terjadinya alam ini,
bisa dipastikan Yang Kuasa, Maha Besar atau disebut juga to aperion[7]. Yang Kuasa (Sebab Utama)
ini tidak disebabkan oleh sebab yang lain. Dia bersifat qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri). Argumen
ini – yang pertama kali dicetuskan oleh Aristoteles (384-322 S.M.) – juga tergolong sebagai argumen
yang kuno sebagaiman halnya argumen ontologis.[8]

Dalam pandangan Aristoteles, setiap benda yang dapat dicerap oleh pancaindera pasti mempunyai
materi dan bentuk.[9] Bentuk dapat ditemui pada tiap-tiap benda dan bentuk pulalah yang membuat
materi mempunyai bangunan atau rupa. Bentuk tidak dapat berdiri sendiri tanpa materi begitupula
sebaliknya, materi tidak akan ada tanpa bentuk. Bentuk dan materi selamanya menyatu, hanya
dalam pikiran keduanya dapat dipisahkan.[10]

Bentuk adalah hakikat atau konsep universal dari sesuatu oleh karenanya kekal dan tidak berubah-
ubah. Akan tetapi dalam pancaindera terjadi perubahan, maka menurut Aristoteles materilah yang
mengalami perubahan dan bentuk tetap kekal. Bentuklah yang membuat materi berubah untuk
mendapatkan bentuk tertentu lainnya. Dengan mendapatkan bentuk tertentu inilah materi tersebut
berubah menjadi sebuah benda. Sebelum bentuk melekat, materi hanya sebatas sesuatu yang
bersifat potensial baru setelah menyatu dengan bentuk, sifat potensial yang terkandung di dalam
materi tersebut menjelma menjadi aktual.

Terdapat suatu gerak dalam proses perpindahan dari satu bentuk-materi ke bentuk-materi lainnya,
dari materi potensial ke materi aktual. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hubungan antara materi
dan bentuk sifatnya abadi, maka gerak yang terjadi diantara keduanya pun demikian, abadi. Suatu
gerak terjadi dari proses menggerakkan terhadap yang digerakkan, yang menggerakkan digerakkan
pula oleh sesuatu penggerak yang lain. Rentetan ini akan terus berjalan membentuk lingkaran yang
tak ada ujungnya. Maka harus ada penggerak yang tidak digerakkan atau tidak bergerak untuk
memutus lingkaran tersebut. Penggerak yang tidak bergerak ini harus dan wajib mempunyai wujud
(Necessary Being) dan inilah yang disebut penggerak pertama. Penggerak pertama ini harus
mempunyai sifat bentuk tanpa materi.[11] Karena apabila ia mempunyai sifat materi, maka akan
terjadi perubahan atau gerak mengingat materi yang sifatnya potensial. Sebaliknya penggerak
pertama merupakan sesuatu yang bersifat aktual maka kekal dan hanya satu. Penggerak pertama ini
disebut juga Akal yang aktivitasnya hanya pikiran. Karena penggerak pertama atau akal ini sempurna
dan tidak membutuhkan pada yang lain, objek pemikirannya hanyalah dirinya sendiri. Akal dalam
bentuk ini adalah Akal yang suci (divine). Akal inilah Tuhan itu sendiri yang hubungannya dengan
alam hanya merupakan hubungan penggerak pertama dengan yang digerakkan. Aristoteles
mengatakan bahwa Tuhan menggerakkan karena dicintai (He produces motion as being love).[12]

Dari kalangan filsuf muslim juga mengajukan argumen kosmologis ini untuk membuktikan adanya
Tuhan, salah satunya adalah Ibnu Sina (980-1037). Ibnu Sina membagi wujud menjadi tiga macam:
wujud mustahil, wujud mungkin, dan wujud wajib.[13]

Menurut Ibnu Sina, tiap-tiap yang ada pasti mempunyai esensi dan wujud. Esensi tempatnya di
dalam pikiran sementara wujud berada di alam nyata. Diantara keduanya ini, wujudlah yang lebih
penting karena wujud membuat esensi menjadi ada dalam kenyataan.

Wujud mustahil adalah esensi yang tidak bisa mempunyai wujud di alam nyata seperti adanya
kosmos lain di samping kosmos yang kita huni ini. Sementara wujud mungkin adalah esensi yang bisa
mempunyai wujud dan bisa pula tidak mempunyai wujud. Kedua wujud yang telah disebutkan itu
antara esensi dan wujudnya boleh tidak menyatu. Terakhir, wujud wajib yang antara esensi dan
wujudnya tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu Ia disebut wujud yang harus ada (Necessary Being)
yaitu Tuhan yang menjadi sebab segala wujud lainnya.

Argumen Teleologis

Argumen teleologis (telos berarti tujuan; teleologis berarti serba tujuan) mengatakan bahwa alam
diatur menurut suatu tujuan tertentu.[14] Dalam keseluruhannya alam ini berevolusi dan menuju
kepada sebuah tujuan tertentu. Bagian-bagian alam ini saling terhubung satu sama lain dan bekerja
sama menuju suatu tujuan tersebut.

William Paley (1743 – 1805 M.), seorang teolog Inggris, menyatakan bahwa alam ini penuh dengan
keteraturan. Di balik itu semua ada Pencipta Yang Maha Kuasa. Tuhan menciptakan itu semua ada
tujuan tertentu. Seperti halnya Tuhan menciptakan mata bagi makhluknya.

Di dunia ini, manusia adalah makhluk sempurna yang mempunyai sifat tertinggi karena akal yang
dimilikinya. Diantara makhluk hidup yang ada di bumi, hanya manusia yang dapat memikirkan
kepentingan dan kebaikan untuk dunia. Maka tujuan dari evolusi yang terjadi adalah untuk
terwujudnya manusia yang mempunyai pemikiran yang lebih sempurna dan tinggi guna memikirkan
dan mengusahakan kebaikan dan kesempurnaan dunia ini secara keseluruhan. Kebaikan dan
kesempurnaan ini akan terwujud manakala manusia mempunyai moral yang tinggi.[15]

Dalam paham teleologi, segala sesuatu dipandang sebagai organisasi yang tersusun dari bagian –
bagian yang mempunyai hubungan erat dan saling bekerja sama. Tujuan dari itu semua adalah untuk
kebaikan dunia dalam keseluruhan. Alam ini beredar dan berevolusi bukan karena kebetulan, tetapi
beredar dan berevolusi kepada tujuan tertentu, yaitu kebaikan universal, dan tentunya ada yang
menggerakkan menuju ke tujuan tersebut dan membuat alam ini beredar maupun berevolusi ke
arah itu. Zat inilah yang dinamakan Tuhan.[16]

Argumen Moral

Dari berbagai argumen-argumen yang telah diuraikan sebelumnya, argumen moral dinilai paling
penting dan paling kuat. Tokoh yang terkenal dalam penggunaan argumen ini adalah Immanuel Kant
(1724-1804 M.).[17]Kant percaya bahwa manusia mempunyai perasaan moral yang melekat pada
jiwa dan hati nuraninya yang membuat orang merasa mempunyai kewajiban untuk menjauhi segala
bentuk perbuatan buruk dan mengerjakan segala bentuk perbuatan baik.

Perintah untuk menjauhi segala bentuk perbuatan buruk dan mengerjakan segala perbuatan baik ini
bersifat absolut mutlak dan universal (categorical imperative). Perbuatan baik dilakukan dan
perbuatan buruk dijauhi karena memang perintah menghendaki demikian. Hal itu adalah kewajiban
manusia.[18]

Kant berpendapat bahwa perbuatan baik menjadi baik bukan karena akibat dari perbuatan itu baik
dan bukan pula karena agama yang mengajarkan bahwa perbuatan itu baik, melainkan perasaan hati
nurani manusia yang menyatakan bahwa ia harus berbuat baik begitu pula sebaliknya. Perasaan-
perasaan semacam itu tidak didapatkan dari pengalaman sehari-hari manusia di dunia ini, namun
dibawa sejak lahir. Manusia lahir dengan perasaan itu. Pendapat Kant tersebut menyatakan bahwa
manusia mempunyai kemerdekaan memilih untuk tunduk pada perintah hati nurani atau
mengabaikannya.

Melalui pengalaman yang ditemui di sekitarnya manusia mendapati kenyataan bahwa perbuatan-
perbuatan baik tidak selamanya mendatangkan kebaikan dan perbuatan-perbuatan buruk seringkali
tidak mendapatkan balasan yang setimpal. Terdapat kontradiksi antara yang terdapat di dalam
sanubari dengan fakta dalam praktek.

Dari kontradiksi di atas timbul keharusan akan adanya hidup kedua, sebuah kehidupan sesudah mati.
Ini dimaksudkan agar perbuatan baik dan perbuatan buruk yang belum mendapatkan ganjaran
semasa di kehidupan pertama akan menerima balasannya masing-masing. Pengadilan atas
perbuatan baik dan perbuatan buruk tidak mungkin terjadi begitu saja, tapi menuntut adanya hakim
yang akan mengadili. Hakim dimaksud adalah Tuhan.

Terdapat penjelasan lain dari argumen moral Kant di atas yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Di balik perintah hati nurani yang mengandung arti bahwa manusia wajib patuh pada perintah baik
tersebut, terdapat summum bonum[19]. Akan tetapi summum bonum ini tidak tercapai di alam
sekarang disebabkan antara kewajiban dan keinginan manusia selalu bertentangan. Dalam hal ini
hati nurani manusia meyakini bahwa summum bonum harus tercapai dan untuk itu hidup (jiwa)
kekal diperlukan agar summum bonum yang tak tercapai di alam sekarang dapat dicapai kelak
sesudah manusia memasuki kehidupan kedua.

Pada gilirannya konsep summum bonum ini membawa kepada dalil adanya Tuhan. Telah dijelaskan
di atas bahwa summum bonum tidak tercapai karena kontradiksi yang terjadi antara hati nurani
dengan keinginan manusia. Keduanya dipisahkan oleh tabir yang menjulang tinggi. Tabir tersebut
hanya dapat dihancurkan oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Kekuatan inilah yang
disebut Tuhan.

Dari pemaparan tentang argumen moral di atas, inti sederhananya yaitu; apabila manusia merasa
dalam dirinya terdapat bisikan atau perintah mutlak untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan
yang buruk dan perintah tersebut telah ada sejak lahir bukan berasal dari pengalaman empiris, maka
pastilah perintah itu berasal dari zat yang mengetahui baik dan buruk. Zat tersebut tentu adalah
Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai