Anda di halaman 1dari 34

ARGUMEN IMKAN

Pendahuluan
Argumen yang dipergunakan untuk menelaah realitas eksistensi dan wujud eksternal
dalam menegaskan eksistensi hakiki Tuhan di sini, adalah argumen imkan (kontingen) dan
wujub (necessity). Argumen ini merupakan salah satu argumen rasional yang paling kuat
dalam membuktikan eksistensi Tuhan. Karena tak satupun manusia berakal menolak dan
memungkiri eksistensi dirinya dan realitas wujud-wujud di alam ini. Sementara argumen
ini secara prinsipil berpijak pada penerimaan realitas eksistensi dan wujud hakiki.
Yang jelas, Tuhan tidak gaib, yang gaib justru diri kita sendiri. Bahkan wujud Tuhan itu
lebih jelas dan lebih bercahaya dari wujud-wujud apapun selain-Nya. Karena itu, ketika kita
menggunakan berbagai argumen untuk membuktikan wujud Tuhan, maka sebenarnya
adalah hanya untuk “mengingatkan” kita akan realitas hakiki tersebut.
Orang-orang bijak mengatakan, bahwa jalan dan metode untuk menyingkap wujud Tuhan,
sebanyak realitas wujud ciptaan-Nya. Karena Tuhan memiliki banyak sisi (baca: nama dan
sifat-Nya), sehingga setiap sisi-Nya merupakan jalan yang bisa digunakan oleh para
pesuluk. Namun demikian, terdapat jalan yang paling kuat dan sempurna dibanding yang
lainnya. Dalam hal ini, kita harus memilih argumen yang paling sempurna dalam
menegaskan eksistensi Tuhan. Sebab, setiap argumen merupakan jalan menuju kepada-Nya
dalam kerangka akal teoritis. Semakin sempurna argument, maka semakin sempurna pula
pandangan dunia tauhid. Apabila pandangan dunia tauhid seseorang telah sempurna, maka
akan sempurna pula tujuan hidup dan hakikat wujudnya.
Sebelum wujud Tuhan itu dapat kita buktikan lewat argumen ini, kami akan menjelaskan
secara terperinci beberapa pendahuluan dan pengertian yang mendasar berkaitan dengan
argumen ini. Dengan memahami pendahuluan berikut ini, akan mudah bagi kita mengikuti
alur-alur argumen dan memahami -secara benar- premis-premisnya.
Beberapa pengertian yang ingin kami jelaskan antara lain:
1. Pengertian wujud kontingen (mumkin al-wujud), Wujud Wajib (wajib al-wujud) dan
wujud mustahil (mumtani’ al-wujud);
2. Pengertian keniscayaan;
3. Prinsip kausalitas;
4. Kemustahilan daur dan tasalsul.

1. Pengertian Wujud Kontingen, Wujud Wajib dan Wujud Mustahil


Ketika kita menelaah realitas-realitas eksistensi di alam ini misalnya manusia, hewan,
tumbuhan, gunung-gunung, batu-batuan dan lain sebagainya, dapat kita simpulkan bahwa
realitas-realitas eksistensi tersebut -dalam rentangan waktu- mengalami ketiadaan, setelah
itu terwujud di alam ini. Begitu pula, realitas-realitas wujud ini -dalam koridor ruang-
waktu- mengalami kesinambungan perubahan yang berjenjang. Tidak ada satupun dari
realitas-realitas tersebut yang tidak pernah mengalami perubahan dari awal wujudnya, dan
abadi pada satu kondisi dan tingkatan.
Jika wujud realitas-realitas itu adalah niscaya, maka mereka senantiasa mewujud.
Sebaliknya, jika wujud mereka itu tak niscaya, maka mustahil mewujud. Oleh sebab itu,
segala realitas eksistensi di alam ini berawal dari penciptaan, kemudian mengalami
perubahan dan pembaruan secara terus menerus. Dengan kata lain, bahwa wujud realitas
ini, pernah berwujud dan akan tak berwujud. Ini berarti, bahwa yang niscaya pada esensi
realitas-realitas tersebut adalah berwujud dan tak berwujud. Dengan ungkapan lain, esensi
realitas-realitas berada pada titik nol, bukan pada angka negatif (mustahil mewujud) dan
bukan pada angka positif (niscaya mewujud). Dalam istilah Filsafat dijelaskan, jika secara
esensial eksistensi sesuatu itu meniscaya, maka ia disebut Wujud Wajib (waâ jib al-wujud).
Jadi, Wujud Wajib adalah realitas yang senantiasa berwujud dan ekistensi abadi. Dan jika
secara esensial eksistensi sesuatu itu mustahil meniscaya, maka ia disebut wujud mustahil
(mumtani’ al-wujud), artinya ia mustahil mewujud atau mustahil ketiadaannya abadi. Dan
jika eksistensi sesuatu -secara esensial- mungkin meniscaya, maka ia disebut wujud
kontingen atau wujud bergantung (mumkin al-wujud). Hal ini berarti bahwa ia bisa jadi
mewujud dan bisa jadi tak mewujud. Adapun sifat esensial dari wujud kontingen, ia
senantiasa mengalami inovasi dalam ciptaan, perubahan dan gerak, seperti manusia,
hewan, tumbuhan dan lain sebagainya.

2. Pengertian Keniscayaan
Ketika kita memperhatikan kata-kata seperti, genap, ganjil, delapan dan tujuh, maka akan
kita temukan adanya hubungan antara genap dengan delapan, dan ganjil dengan tujuh.
Kemudian hubungan tersebut akan membentuk premis-premis yang logis seperti, delapan
adalah genap dan tujuh adalah ganjil.
Interaksi logis antara angka delapan dan genap dan angka tujuh dan ganjil, didasarkan atas
realitas luar yang ada di alam ini dan di pikiran kita, bahwa hubungan hakiki antara
realitas- realitas itu tak terpisahkan. Dengan ungkapan lain, genap merupakan hakikat
delapan, dan delapan meniscayakan genap. Adalah mustahil memisahkan antara sifat genap
dan angka delapan. Begitu pula antara sifat ganjil dan angka tujuh. Hubungan hakiki antara
realitas-realitas tersebut disebut niscaya atau keniscayaan.
Hubungan hakiki antara eksistensi dan Tuhan disebut niscaya, artinya eksistensi dan Tuhan
adalah dua hal yang mustahil terpisahkan. Artinya bahwa wujud Tuhan pasti ada, mustahil
tiada. Dia adalah niscaya dan senantiasa ada. Dan wujud Tuhan -dalam istilah filsafat-
disebut Wujud Wajib (waâ jib al-wujud).

3. Prinsip Kausalitas
Pada prinsipnya, teori kausalitas telah muncul seumur dengan peradaban manusia. Bahkan,
ia seusia dengan alam ini dan realitas eksistensi itu sendiri. Manusia yang berakal
senantiasa mencari sebab-sebab dari setiap kejadian. Karena dengan mengetahui sebabnya,
ia akan dapat memahami akar dan sumber akibat atau kejadian tersebut.
Di bawah ini, kami hadirkan beberapa ungkapan filosof terkemuka tentang defenisi
kausalitas :
1. Al-Farabi berkata, “Sebab adalah sesuatu yang niscaya ada dan hadir bersama dengan
akibat.”[1]
2. Ibnu Sina menyatakan, “Sebab adalah sesuatu yang meniscayakan sesuatu yang lain.
Dan akibat itu mesti aktual karena keaktualan sebabnya. “[2]
3. Mulla Sadra menyatakan, “Sebab memiliki dua pengertian, pertama: sebab adalah
wujud sesuatu yang memancarkan realitas eksistensi yang lain, dan ketiadaan sebab
berefek pada ketiadaan realitas itu. Pengertian kedua: sebab adalah wujud yang
meniscayakan kebergantungan hakiki realitas lain, dan ketiadaan akibat karena ketiadaan
sebabnya.”[3]
4. Syekh Isyraq Suhrawardi berkata, “Maksud sebab adalah sesuatu yang keberadaannya
meniscayakan sesuatu yang lain dan memustahilkan kejamakan sebab. “[4]
Konklusi dari semua defenisi di atas adalah bahwa sebab merupakan realitas wujud yang
meniscayakan kebergantungan mutlak dan hakiki segala eksistensi eksternal lainnya.
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat contoh berikut: Secara empiris, api menimbulkan
panas. Api disebut sebab, karena meniscayakan panas. Panas disebut akibat, karena
bersumber dari api. Secara hakiki, api dan panas memiliki hubungan khusus. Hubungan
khusus ini, dalam istilah filsafat, disebut kausalitas atau hubungan sebab akibat. Dengan
kausalitas, manusia bisa menghubungkan antara satu realitas dengan realitas lain serta
menentukan sebab dan akibat dari realitas-realitas tersebut.
Sebagian filosof Barat -yang beraliran empiris- seperti David Hume, menolak hubungan
kausalitas itu. Mereka beranggapan bahwa yang bisa diempiriskan hanyalah api dan panas,
bukan hubungan khusus yang bersifat niscaya (baca: kausalitas). Segala realitas yang
mustahil terempiriskan, tidak dikategorikan sebagai realitas yang berwujud. Ketika
hubungan kausalitas itu mustahil terempiriskan, maka ia tak berwujud. Lebih lanjut dia
berkata, “segala pengetahuan manusia bersumber dari hal-hal yang empiris. Jika terdapat
“keberhubungan” antara satu realitas dengan realitas lain, hubungan ini hanya bersifat
kebetulan, bukan karena adanya hubungan kausalitas. Karena “keberhubungan” (ta’aâ qub
dan taqaâ run) dua realitas itu senantiasa terjadi. Keberadaan api memunculkan panas,
dengan itu, “hubungan kausalitas” antara kedua realitas itu terbentuk dalam pikiran.”
Jawaban atas kritik dan penolakan kausalitas tersebut sebagai berikut:
Pertama, dalam filsafat Islam, hubungan kausalitas tidak ada kaitannya dengan
penginderaan lahiriah. Tetapi berkaitan dengan persepsi akal yang dapat dibuktikan lewat
pengkajian-pengkajian rasional. Kajian-kajian rasionalitas, tidak berangkat dari realitas
empiris. Dalam contoh di atas, dimana api adalah sebab, dan panas adalah akibat, hanya
dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman atas hukum kausalitas. Penentuan sebab
dan akibat -dalam contoh itu- bukan wewenang filsafat. Filsafat hanya merumuskan kaidah
dan hukum universal. Jadi sangat wajar, apabila terjadi kesalahan dalam penentuan subyek
masalah. Kritik yang ditujukan ke subyek masalah -dalam kajian filsafat- tidak dibenarkan.
Kritik semestinya dialamatkan kepada kajian filosofisnya. Kesalahan dalam penentuan,
bukan berarti kekeliruan dalam kaidah universalnya.
Sangat disayangkan apabila seorang ilmuwan menolak prinsip kausalitas hanya karena
ketidakmampuannya menerapkan kaidah universal dalam wilayah partikularnya, kecuali
jika rumusan epistimologinya mengharuskan semua pengetahuan berasal dari realitas
empiris. Jika demikian, problemnya terletak pada konsep epistimologi dan bukan pada
penentuan subyek sebab dan akibat.

Kedua, dalam ilmu logika, bahwa proposisi itu tersusun dari premis minor dan premis
mayor, misalnya A dari B dan B dari C, maka A dari C. A dari B disebut premis minor dan B
dari C disebut premis mayor. Jika prinsip kausalitas itu ditolak, maka mustahil ia akan
melahirkan silogisme dari proposisi tersebut, yaitu A dari C. Menolak hokum kausalitas
berarti ragu terhadap B dari A dan juga ragu bahwa B dari C, akhirnya mustahil
menyimpulkan A dari C. Jadi, silogisme A dari C, adalah hasil dari adanya hubungan
keniscayaan antara dua premis minor dan mayor. Hubungan keniscayaan itu disebut
hubungan kausalitas atau hubungan sebab akibat.
Bukankah David Hume menggunakan premis-premis untuk menolak hubungan kausalitas?
Dia menyatakan sebagai berikut: Hubungan kausalitas antara api dan panas adalah non
empiris (premis minor), segala realitas non empiris niscaya tak berwujud (premis mayor).
Jadi, hubungan kausalitas antara api dan panas, niscaya tak berwujud, artinya tidak ada
hubungan kausalitas diantara kedua realitas itu (silogisme).
Apabila David Hume konsisten atas argumentasinya, maka ia harus menolak konklusi atau
silogisme dari argumen yang dibangunnya. Karena, dalam proposisi kedua premis minor
dan mayor adalah sebab, dan silogisme adalah akibat. Jadi, dalam proposisi itu juga
terdapat hubungan kausalitas.
Maka dari itu, menolak hubungan kausalitas sama dengan menolak ilmu logika. Dan
menolak ilmu logika, sama dengan menolak semua bentuk proposisi dan argumentasi,
termasuk argumentasi penolakan hubungan kausalitas itu sendiri. Dan menolak
argumentasi, sama dengan menolak keberadaan ilmu dan pengetahuan. Karenanya,
penerimaan hubungan kausalitas menjadi prinsip dalam semua realitas, baik eksternal
maupun internal (baca: alam pikiran).
Immanuel Kant ,filosof besar Jerman, karena ia mengetahui konsekuensi logis dari
pemikiran Hume, maka ia dapat mengambil jalan lain dalam menyikapi hubungan
kausalitas itu. Usahanya bahkan melahirkan problem lain. Dalam pandangannya, kausalitas
atau hubungan hakiki sebab akibat, hanya terwujud di alam pikiran, dan bukan di alam
eksternal. Hubungan itu dikatakan ada di alam eksternal, jika bisa diaplikasikan ke dalam
fenomena ruang-waktu di alam materi. Hubungan kausalitas itu, begitu juga argumen
imkan (contingency) dan wujub (necessity), tak bermanfaat jika ia tidak dapat diterapkan
dalam koridor ruang-waktu.
Kant sebagaimana Hume, sepakat bahwa pengetahuan itu berasal dari realitas empiris.
Tetapi Kant -berbeda dengan Hume- berpendapat bahwa walaupun pengetahuan kita di
peroleh dari realitas-realitas empiris, ini bukan berarti semua pengetahuan berasal dari
realitas empiris.
Kritik Kant dalam masalah kausalitas, sangat tidak konsisten. Dia menolak sebagian, yaitu
menolak hubungan kausalitas yang tak terempiriskan dalam ruang-waktu (alam materi).
Jadi, hubungan kausalitas itu tertolak di alam materi. Dan dia menerima sebagian, yakni
hubungan kausalitas terterapkan di alam gaib (alam non materi). Ke-tak-konsisten-an Kant,
karena mengkhususkan hubungan kausalitas itu di alam gaib. Tanpa dia sadari,
konsekuensi dari pengecualian itu sama dengan menolak realitas semua alam. Karena akan
memunculkan pertanyaan tentang bagaimana proses perwujudan alam-alam itu, termasuk
alam gaib? Apakah ada hubungan antara alam-alam itu dan bagaimana bentuk
hubungannya? Kalau dia menerima adanya “proses perwujudan” alam-alam itu, dan
mengakui “pola hubungan” di antara realitas-realitas itu, maka tak ada jalan lain kecuali
menerima eksistensi hubungan kausalitas tersebut.
Dalam perspektif filosof Islam, prinsip dan hubungan kausalitas, bersifat universal dan tak
terbatas pada alam tertentu, tetapi terterapkan pada semua alam, baik alam materi
maupun alam non- materi.
3.1. Gamblangnya Teori Kausalitas
Hukum kausalitas berbunyi, “setiap akibat pasti membutuhkan sebab.” Defenisi ini adalah
badihi, jelas dan tak membutuhkan argumen. Ketika kita mempersepsi makna akibat,
artinya bahwa suatu realitas eksistensi itu bergantung kepada wujud yang lain, maka kita
dapat memahami bahwa kebergantungan dan kebutuhan kepada wujud yang lain,
merupakan konsekuensi dan hakikat dari eksistensi akibat. Jadi, sebenarnya kita tak perlu
argumen dalam membuktikan kebenaran prinsis kausalitas.
Dengan memperhatikan defenisi Wujud Wajib (waâ jib al-wujud) dan wujud kontingen
(mumkin al-wujud) di atas, maka hukum kausalitas itu menjadi: setiap wujud kontingen
membutuhkan sebab. Wujud kontingen memiliki kuiditas (mahiyah), karenanya secara
esensial berada di antara Wujud Wajib dan wujud mustahil, atau antara ada dan tiada.
Wujud yang demikian, untuk mengada, niscaya memerlukan sebab pengada. Tanpa sebab,
mustahil mewujud. Inilah hakikat prinsip kausalitas.
Ciri-ciri wujud kontingen sebagai berikut: wujudnya lemah, terbatas, kebergantungannya
hakiki, kebutuhannya abadi, tak sempurna dan secara esensial terus mengalami perubahan,
perpindahan dan gerak. Perubahan, perpindahan dan pergerakan, merupakan hakikat
kebutuhan, kekurangan dan kemiskinan. Wujud yang tak sempurna, mustahil bisa
mencukupi dan menyempurnakan segala kebutuhan dan kekurangannya. Karena itu, wujud
kontingen secara aktual memerlukan realitas wujud sempurna dalam penyempurnaan
kekurangan dan pencukupan segala kebutuhannya serta pengaktualan semua potensi yang
dimilikinya.

3.2. Hakikat Kausalitas


Hakikat kausalitas adalah setiap akibat memerlukan sebab, atau setiap wujud kontingen
membutuhkan wujud wajib. Sebagian filosof Barat, keliru dalam memahami hakikat
kausalitas. mereka menduga bahwa setiap realitas eksistensi eksternal, memerlukan sebab.
Karena Tuhan (waâ jib al-wujud) itu juga berwujud dan memiliki eksistensi, maka Dia pun
memerlukan sebab.
John Hospers dalam menegaskan eksistensi Tuhan berkata, “Begitu banyak anak remaja
dan orang dewasa dengan penuh keraguan bertanya kepada orang tua mereka tentang
penyebab eksistensi Tuhan. Pertanyaan mereka bisa dibenarkan, karena kita telah
menegaskan bahwa segala sesuatu memerlukan sebab. Dan apabila proposisi ini benar,
maka eksistensi Tuhan juga memiliki sebab. Jika Tuhan tidak memiliki sebab, maka
proposisi tersebut salah. Pada hal proposisi ini merupakan pendahuluan dari argumen
sebab akibat dan argumen imkan (kontingen) dan wujub (necessity).
Oleh karena itu, argumen imkan dan wujub kehilangan keabsahannya dan bahkan
mengandung kontradiksi satu dengan lainnya. Pernyataan yang berbunyi : Tuhan tidak
memiliki sebab, ini bertentangan dengan defenisi kausalitas yang berbunyi: segala sesuatu
memiliki sebab. Apabila defenisi ini -sebagai mukadimah argumen- benar, maka silogisme
argumen imkan dan wujub, juga benar, tetapi mukadimah salah. Begitu banyak masyarakat
tidak memahami kenapa argumen ini digunakan untuk menegaskan eksistensi Tuhan.
Mereka pada akhirnya melupakan cara tersebut dalam menegaskan keberadaan Tuhan.” [5]
Kritik John Hospers dan mereka yang sealiran dengannya, menyangka bahwa segala realitas
eksternal memerlukan sebab, padahal maksud dari prinsip kausalitas adalah setiap wujud
yang tak sempurna niscaya memerlukan sebab, bukan segala wujud. Tuhan adalah wujud
yang sempurna, Dia bukan wujud yang berkekurangan. Oleh karena itu Tuhan tak memiliki
sebab, bahkan Dialah Sebab Pertama dan Sebab dari segala sebab-sebab. Tuhan adalah
realitas eksistensi yang swa-ada.
Penegasan di atas, bisa dianalogikan dengan ungkapan sebagai berikut: sesuatu yang
bergaram dan kegaramannya bersumber dari zat lain seperti air, maka kegaramannya
bukan esensial, tetapi bersumber dari zat lain. Ini berbeda jika dibandingkan dengan zat
garam itu sendiri, yang kegaramannya bersifat esensial dan bukan berasal dari zat lain.
Oleh karenanya, zat garam tidak memerlukan zat lain untuk kegaramannya. Zat garam
bergaram dengan sendirinya atau swa-garam.
Jawaban yang sempurna atas kritikan John Hospers adalah bahwa defenisi kausalitas yang
berbunyi, “Setiap wujud membutuhkan sebab” adalah keliru. Dan juga defenisi yang umum
dipakai berbunyi, “Setiap akibat membutuhkan satu sebab ” juga kurang tepat, karena
proposisi ini adalah proposisi analitis, yakni inti subyek berulang dipredikatnya. Hal ini
seperti kalau kita katakan, “Setiap manusia adalah manusia. Karena defenisi akibat adalah
sesuatu yang bergantung kepada selain dirinya. Jika kita katakan, “Setiap akibat
membutuhkan sebab” maka sesungguhnya sama kalau dikatakan, “Jika sesuatu bergantung
kepada yang lain, sesuatu itu membutuhkan yang lain.”
Apabila defenisi akibat adalah setiap wujud yang bergantung membutuhkan sebab, maka
masalah tersebut akan tetap terulang. Karena kebergantungan, sama dengan kebutuhan
kepada yang lain. Dalam menjelaskan teori kausalitas, kita harus meletakkan tolok ukur
kebergantungan dan kebutuhan sesuatu itu sebagai subyek. Dengan demikian, kita akan
menghasilkan defenisi yang sempurna.
Defenisi yang sempurna tentang hukum kausalitas adalah setiap wujud yang lemah dan
rendah membutuhkan sebab. Tetapi defenisi yang umum digunakan oleh para filosof dan
bahkan oleh Mulla Sadra mengenai kausalitas adalah: setiap kuiditas dalam keberadaan
dan ketiadaannya membutuhkan sebab.

3.3. Keidentikan Sebab dan Akibat


Salah satu pembahasan penting dalam teori kausalitas adalah ke-identikan antara sebab
dan akibat. Filosof Islam membagi sebab kepada dua bagian; sebab ilahi dan sebab natural.
Sebab ilahi adalah sebab pemberi eksistensi dan wujud, bukan pemberi kuiditas kepada
akibat. Sebab seperti itu, meniscayakan kesempurnaan wujud akibat bersumber dari
kesempurnaan wujud sebab atau kesempurnaan wujud sebab niscaya ada pada akibat. Jika
sebab tak memiliki kesempurnaan wujud, maka akibat mustahil memilikinya. Maksud dari
kesempurnaan yang mesti dimiliki oleh sebab dan akibat itu adalah: kesempurnaan
eksistensi atau wujud, dan bukan kesempurnaan kuiditas. Kaidah filsafat berbunyi,
“sesuatu yang tak memiliki, mustahil akan dapat memberi.” Inilah makna ke-identikan
antara sebab dan akibat. Berdasarkan kaidah ini, eksistensi sesuatu otomatis berasal dari
sebab tertentu. Setiap kesempurnaan khusus akibat, berasal dari kekhususan sebab. Dan
kesempurnaan khusus sebab, meniscayakan kesempurnaan khusus akibat. Pengetahuan
atas hubungan keidentikan antara sebab ilahi dan akibat, itu lewat persepsi rasional, dan
bukan dari metode empiris.
Sebab natural, berbeda dengan sebab ilahi, karena ia hanya berkaitan dengan gerak.
Karena itu, disebut juga sebab materi.
Aplikasi sebab-sebab natural terbatas pada kondisi-kondisi tertentu. Sebab itu hanya
berlaku pada alam materi. Alam materi meniscayakan gerak. Karenanya perubahan-
perubahan yang terjadi di alam ini, karena sebab natural.
Ke-identikan sebab natural dan akibat, dapat dilakukan dengan metode empiris, bukan
dengan jalan persepsi rasional, misalnya api adalah panas. Jika pembuktian kaidah itu
dilakukan lewat persepsi akal, maka sebab api niscaya panas. Tapi tidaklah demikian.
Dengan metode empiris, kita bisa mengetahui sebab natural api. Kita ketahui bahwa tidak
semua benda merupakan sebab natural api.
Sebagian filosof Barat menolak secara mutlak kaidah ke-identikan antara sebab dan akibat.
Jawabannya adalah kaidah itu adalah kaidah akal dan tak bersumber dari realitas empiris.
Kaidah itu bersifat badihi, gamblang dan tak perlu dalil. Berbeda dengan sebab natural yang
berhubungan dengan realitas empiris. Karena itu, mustahil menghukumi secara universal
kaidah tersebut. Pembatasan sebab hanya pada sebab natural dan melupakan sebab ilahi,
berefek pada pembatalan kaidah itu secara umum.

3.4. Hubungan Keniscayaan Sebab dan Akibat


Hubungan keniscayaan antara sebab dan akibat bermakna bahwa ketika sebab sempurna
terwujud maka akibat niscaya mewujud. Oleh sebab itu, mustahil terpisah antara wujud
akibat dengan wujud sebab sempurna.
Maksud sebab sempurna ialah realitas wujud yang memenuhi segala syarat-syarat dan
kebutuhan akibat dalam perwujudan. Apabila diasumsikan bahwa akibat itu tidak
mewujud dengan wujudnya sebab-sebab, maka berarti bahwa ada syarat-syarat dan
kondisi-kondisi yang tak terpenuhi oleh sebab-sebab tersebut. Jika asumsi itu diterima,
maka ada kontradiksi dengan kesempurnaan mutlak sebab. Begitu juga jika diasumsikan
adanya halangan dan hambatan dalam perwujudan akibat, inipun akan bertolak belakang
dengan kesempurnaan mutlak sebab, karena halangan juga merupakan syarat perwujudan
akibat. Kesempurnaan mutlak sebab berarti bahwa meniscayakan ketiadaan segala
penghalang dan hambatan dalam perwujudan akibat.

3.5. Kebersamaan Hakiki Sebab dan Akibat


Di sini akan dibahas dua poin sebagai berikut:
1. Jika sebab sempurna ada, maka niscaya akibat mewujud;
2. Apabila akibat telah mewujud, maka niscaya sebab sempurna senantiasa ada.
Inti poin pertama adalah akibat senantiasa bersama dengan sebab sempurnanya, atau
mustahil terpisah antara keduanya. Mustahil jika sebab sempurna ada tapi akibat tiada,
atau akibat terwujud tapi sebab sempurna meniada. Setiap sebab sempurna berwujud,
niscaya akibat terwujud. Prinsipnya, ada kebersamaan hakiki antara sebab sempurna dan
akibat.
Argumen untuk poin pertama dirumuskan sebagai berikut:
Pertama-tama diasumsikan bahwa sebab sempurna ada dan pada saat yang sama akibat
niscaya tiada. Dengan asumsi ini, maka sebab sempurna ada dan akibat tiada. Realitas itu
bertentangan dengan prinsip kausalitas. Berdasarkan prinsip ini, ketiadaan akibat karena
ketiadaan sebab sempurna. Jadi jika diasumsikan bahwa akibat tiada, berdasarkan prinsip
kausalitas, maka sebab sempurna pasti tiada, Karena sebab sempurna ada (berdasarkan
asumsi di atas) dan juga tiada (berdasarkan prinsip kausalitas), maka menyebabkan
terjadinya kontradiksi.
Setelah menjelaskan poin pertama, kita akan membahas poin kedua. Hakikat poin kedua
adalah jika akibat berwujud, maka niscaya sebab sempurna senantiasa berwujud.
Sebagian teolog Islam menolak pemikiran itu dengan memberikan sebuah contoh antara
rumah (sebagai akibat) dan tukang bangunan (sebagai sebab). Dan juga antara anak
(sebagai akibat) dan orang tuanya (sebagai sebab). Argumentasi mereka antara lain: jika
tukang bangunan meninggal, maka rumah tetap ada. Begitu juga apabila orang tua
meninggal, maka anak-anaknya tetap ada. Jadi mustahil adanya kebersamaan hakiki antara
keduanya.
Jawaban kritikan sebagai berikut:
Sebab terbagi dua:
1. Sebab sempurna (sebab hakiki), contohnya matahari dengan cahayanya (akibat);
2. Sebab tidak sempurna/cacat (sebab tidak hakiki) contohnya tukang bangunan dan
orang tua.
Subyek pembahasan kita di sini berkaitan dengan kebersamaan hakiki antara sebab dan
akibat adalah hubungan kebersamaan hakiki sebab sempurna dan akibatnya, bukan sebab
tidak sempurna/cacat dan akibatnya. Mustahil ada cahaya matahari (akibat) tanpa
mataharinya (sebab sempurna). Dalam sebab tidak sempurna, memungkinkan adanya
keterpisahan antara akibat dan sebabnya atau sebab dan akibatnya, sebagaimana contoh
antara tukang bangunan dengan rumah atau antara orang tua dengan anak.
Argumentasi untuk poin kedua yaitu sebagai berikut:
Untuk menetapkan kebenaran proposisi kemustahilan keterpisahan antara akibat dan
sebab sempurnanya, kita tetap menggunakan metode di atas, yaitu mengasumsikan bahwa
akibat ada dan pada saat yang sama tidak meniscayakan eksistensi sebab sempurna.
Dengan ungkapan lain, setelah akibat terwujud, maka tak ada kemestian keabadian
eksistensi sebab sempurna. Jadi, sebab sempuna bisa tetap ada dan juga bisa menjadi tiada.
Jika pada asumsi itu sebab sempurna tiada, akibat ada dan pada saat yang sama sebab
sempurna tiada. Berdasarkan teori kausalitas, ketiadaan sebab sempurna meniscayakan
ketiadaan akibat. Jadi kalau sebab sempurna tiada (berdasar pada asumsi itu) maka akibat
pun niscaya tiada. Tapi karena akibat ada (berdasarkan asumsi itu) dan juga tiada
(berdasarkan teori kausalitas), maka terjadi kontradiksi.

3.6. Hubungan Sebab Akibat Hanya Pada Wujud


Hal yang harus diperhatikan di sini adalah bahwa hubungan kausalitas ini merupakan
hubungan yang dibangun di atas realitas wujud dan bukan pada dimensi kuiditas
(mahiyyah). Hubungan kausalitas senantiasa terjadi antara dua wujud yakni satu wujud
yang senantiasa butuh kepada wujud lain. Dengan ungkapan lain, hanya keberadaan dan
eksistensi kuiditas yang membutuhkan wujud lain. Dari sini diketahui bahwa defenisi
kausalitas yang berbunyi, “Kuiditas dalam keberadaan dan ketiadaan membutuhkan sebab”
tak bisa ditolerir sama sekali. Karena kuiditas yang tiada sesungguhnya berada dalam
“ketiadaan murni”. Maka dari itu, sesuatu yang tiada, bagaimana mungkin bisa disandarkan
kepadanya makna kebergantungan dan kebutuhan secara hakiki. Misalnya, Yazid tiada, ini
berarti bahwa dia tak memiliki realitas wujud sama sekali. Jadi, mustahil kalau kita katakan
bahwa, “Yazid yang tiada bergantung dan butuh kepada sesuatu.” Oleh karena itu, tak ada
hubungan sebab-akibat (baca: kausalitas) dalam ”alam ketiadaan.”
Sesungguhnya subyek pembahasan dari teori kausalitas adalah wujud kontingen dan bukan
kuiditas, yakni wujud kontingen dalam perwujudannya membutuhkan wujud lain, dan
kuiditas dari sisi bahwa dia itu wujud kontingen dalam keberadaannya membutuhkan
wujud lain.

3.7. Yang Tercipta adalah Wujud


Apa yang diciptakan oleh sebab? Apa yang terpancar dari sebab? Pada poin ini, yang akan
dibahas berkaitan dengan realitas akibat sebagai sesuatu yang dicipta dan dipancarkan
oleh sebab.
Ketika sebab pengada mencipta akibat dan mewujudkannya, maka yang hadir hanyalah
suatu realitas eksternal dan tidak lebih dari itu. Yakni yang terpancar dari sebab adalah
“sesuatu”.
Dalam pembahasan filsafat, “sesuatu tersebut” memiliki tiga kemungkinan:
1. Wujud;
2. Kuiditas;
3. Perwujudan kuiditas.
Misalnya ketika panas akan diwujudkan di alam nyata, maka sesuatu yang akan hadir di
alam luar adalah:
1. Wujud;
2. Panas (kuiditas);
3. Perwujudan panas.
Pembahasan kita adalah menentukan mana diantara ketiga unsur tersebut yang secara
hakiki berhubungan langsung dengan sebab. Filosof Mulla Sadra dan para pendukung
hikmah muta’aliyah telah menetapkan secara filosofis bahwa yang pertama kali terpancar
dan tercipta dari sebab adalah wujud, bukan kuiditas dan perwujudan kuiditas.
Di bawah ini akan dikemukakan dua dalil yang mendukung pendapat Mulla Sadra, sebagai
berikut:
Argumentasi pertama tentang ketakterciptaan kuditas, memuat dua pendahuluan:
Pendahuluan pertama, kuiditas merupakan sesuatu yang tak hakiki dan nisbi, yakni
kehakikian ada pada wujud (ashalah al-wujud). Penyandaran kepada sesuatu yang nisbi
bersifat aksidental, oleh karena itu, kuiditas tak memiliki eksistensi hakiki.
Pendahuluan kedua, sesuatu yang tak hakiki adalah mustahil tercipta. Dengan ungkapan
lain, “Sesuatu yang tercipta adalah sesuatu yang hakiki”, karena hakikat akibat itu diberikan
oleh sebabnya, maka akibat juga merupakan sesuatu yang hakiki. Dengan demikian, apa
yang terpancar dari sebab adalah realitas yang hakiki.
Kesimpulan dari dua pendahuluan tersebut adalah yang tercipta oleh sebab adalah wujud
dan bukan kuiditas.
Argumentasi kedua juga tentang ketakterciptaan kuiditas, memuat dua pendahuluan:
Pendahuluan pertama, hubungan sebab-akibat merupakan hubungan hakiki antara akibat
dan sebabnya. Secara hakiki, akibat adalah hubungan dan kebutuhan itu sendiri kepada
sebab. Akibat adalah kebutuhan itu sendiri, bukan sesuatu yang memiliki kebutuhan. Jadi
yang ada di alam luar hanya satu wujud yang mandiri dan bukan dua wujud yang mandiri,
karena kalau ada dua wujud yang mandiri, maka wujud akibat mustahil butuh kepada
wujud sebab. Akibat secara mutlak bergantung kepada sebabnya.
Pendahuluan kedua, kuiditas secara esensial tak memiliki hubungan dengan wujud lain,
karena kuiditas secara hakiki tak lain adalah dirinya sendiri yakni berada diantara ada dan
tiada.
Kesimpulannya, kuiditas mustahil berhubungan langsung dengan sebab pengada, atau
kuiditas bukan sesuatu yang tercipta dan terpancar dari sebab.
Argumentasi ketiga tentang ketakterciptaan “perwujudan kuiditas”, memuat tiga premis:
Premis pertama, “perwujudan kuiditas” memiliki makna yang relatif dan keberadaannya
bergantung pada dua realitas. “Perwujudan kuiditas” sebenarnya adalah hubungan yang
terbentuk antara wujud dan kuiditas.
Premis kedua, jika yang tercipta secara hakiki adalah “perwujudan kuiditas”, maka wujud
dan kuiditas merupakan sesuatu yang tak hakiki. Karena yang tercipta secara hakiki dari
sebab hanya satu, maka yang lainnya harus bersifat majazi.
Premis ketiga, sesuatu yang memiliki realitas hakiki mustahil bergantung dan bersandar
pada dua realitas tak hakiki (majazi). Dengan ungkapan lain, adalah mustahil hadirnya pola
hubungan diantara dua realitas tak hakiki.
Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang tercipta langsung dari sebab secara hakiki adalah
“perwujudan kuiditas”.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang secara hakiki dicipta dan dipancarkan
langsung oleh sebab tiada lain adalah wujud (baca: akibat).

4. Kemustahilan Daur dan Tasalsul


4.1. Kemustahilan Daur (Sirkulasi)
Daur dan tasalsul, merupakan salah satu pembahasan penting dalam teori kausalitas.
Daur adalah bergantungnya wujud B kepada wujud A dimana wujud A juga bergantung
kepada wujud B.
Penjelasan: akibat B memerlukan sebab A dan sebab A juga merupakan akibat B. Maka
akibat B pada saat yang sama juga sebab A. Oleh karena itu B pada saat yang sama adalah
sebab dan juga akibat. Karena B adalah sebab maka harus lebih dahulu dari A, dan karena A
adalah akibat maka harus lebih belakang dari B. Oleh sebab itu wujud A dibandingkan
wujud B, pada saat yang sama merupakan wujud yang lebih dahulu adanya, dan juga wujud
yang lebih belakang, yaitu wujud lebih dahulu dan juga wujud tak lebih dahulu. Realitas ini
menyebabkan inner kontradiksi.
Oleh karena itu, daur merupakan sesuatu yang mustahil terjadi, kemustahilan ini
dikarenakan inner kontradiksi dan menyebabkan keterdahuluan wujud sesuatu atas
dirinya sendiri.

4.2. Kemustahilan Tasalsul


Maksud tasalsul pada sebab-sebab pengada adalah hadirnya mata rantai sebab-sebab dan
akibat-akibat dalam garis rentang yang tak terbatas, yaitu adanya A dari B, B dari C, C dari D
dan seterusnya hingga tak terbatas.
Tasalsul dikatakan mustahil ketika:
1. Seluruh wujud akibat ada secara aktual;
2. Keseluruhan wujud akibat dan sebab-sebabnya berkumpul secara aktual;
3. Mata rantai dari wujud-wujud akibat dan sebab-sebabnya terjadi dan ada secara
aktual.
Jika salah salah satu dari ketiga syarat tasalsul tersebut tidak aktual, maka tasalsul dalam
pengertian dan istilah di atas tak akan teraplikasi.
Misalnya jika sebagian dari akibat-akibat itu bersifat potensi, maka tasalsul ini mungkin
terjadi karena wujud-wujud yang ada senantiasa terbatas. Begitu pula tasalsul ini bisa
diterima jika keseluruhan dari wujud-wujud akibat dan sebabnya bersifat actual, tetapi
tidak menyatu dalam satu mata rantai wujud.
Mulla Sadra dalam kitab Asfar-nya menjabarkan salah satu argumen kemustahilan tasalsul,
menyatakan, “Wujud akibat jika dibandingkan dengan sebabnya menjadi wujud
penghubung bahkan merupakan hubungan dan kebergantungan itu sendiri, artinya: wujud
akibat bukan wujud yang bebas dan berdiri sendiri sebagaimana wujud sebabnya, dia ada
dikarenakan adanya sebab dan jika sebabnya tiada dia pun tiada.”[6]
Penjelasan kemustahilan tasalsul sebagai berikut:
Jika sebab C dibandingkan dengan sebab yang lebih tinggi darinya misalnya sebab B maka
sebab C merupakan akibat dari sebab B, begitu pula sebab B dibandingkan dengan sebab
yang lebih tinggi darinya sebab A maka sebab B merupakan akibat sebab A, dan keadaan ini
terus berlanjut kepada sebab-sebab berikutnya. Karena setiap sebab pada mata rantai tak
terbatas itu adalah akibat dari sebab di atasnya, dan juga setiap akibat adalah sebab untuk
akibat di bawahnya, maka kita akan memiliki mata rantai kebergantungan-kebergantungan
yang tak terbatas. Dengan demikian, mustahil ada wujud mandiri pada mata rantai itu. Dan
karena secara hakiki tak ada wujud mandiri, maka mustahil terdapat wujud bergantung.
Karena mata rantai wujud-wujud bergantung yang tak terbatas mustahil memiliki
eksistensi hakiki tanpa adanya wujud mandiri, maka secara hakiki tasalsul atau rangkaian
sebab-sebab dan akibat-akibat tak terbatas menjadi mustahil.

Penjabaran Argumen Imkan dan Wujub


Setelah kami jelaskan secara terperinci dasar-dasar dari argumen ini, maka kita akan
membuktikan realitas eksistensi Tuhan. Secara hakiki, realitas eksistensi Tuhan tak
tersembunyi dari “pandangan” kita, Dia dekat dan bahkan sangat dekat dari diri kita sendiri
dan sangat terang dari cahaya apapun.
Tak bisa disangkal, secara empiris alam materi ada dan di dalamnya terdapat ribuan
makhluk mulai dari manusia hingga batu-batuan. Setelah kita menganalisa hakikat realitas
wujud-wujud eksternal ini, maka hanya terdapat dua asumsi sebagai berikut:
Pertama, wujud kontingen (mumkin al-wujud)
Kedua, Wujud Wajib (waâ jib al-wujud).
Asumsi ketiga yaitu wujud mustahil (mumtani’ al-wujud) tak mungkin terwujud, karena
secara riil kita melihat dan merasakan ada realitas di luar diri kita, sementara wujud
mustahil tak mungkin bisa mewujud.
Pembuktian asumsi pertama sebagai berikut:
Apabila realitas wujud yang terasumsi adalah wujud kontingen, berdasarkan prinsip
kausalitas maka wujud itu niscaya memerlukan sebab. Jika sebab itu adalah wujud
kontingen itu sendiri, maka pertanyaan terus berlanjut tentang sebab pada wujud
kontingen berikutnya. Apabila wujud kontingen itu belum berakhir pada sebab hakiki,
maka akan menyebabkan tasalsul. Dan tasalsul adalah mustahil.
Apabila realitas wujud itu kita asumsikan sebagai wujud kontingen (misalnya A), maka
berdasarkan prinsip kausalitas, realitas ini niscaya membutuhkan sebab. Jika wujud
kontingen A (akibat) bergantung kepada wujud kontingen B (sebab), sementara wujud
kontingen B (akibat) juga bergantung kepada wujud kontingen A (sebab), maka akan
terjadi daur. Dan daur adalah mustahil.
Pembuktian asumsi kedua sebagai berikut:
Jika diasumsikan bahwa realitas wujud itu adalah wujud wajib, maka juga menjadi
mustahil, karena realitas wujud-wujud itu pernah tiada dan akan menjadi tiada atau
eksistensinya tak abadi. Realitas wujud-wujud itu adalah wujud kontingen bukan wujud
wajib. Secara esensial wujud kontingen ini, baik dengan perantaraan ataupun tidak,
merupakan akibat dari sebab pertama yang disebut wujud wajib (waâ jib al-wujud).
Di bawah ini, akan kami kemukakan beberapa argumentasi para filosof muslim dalam
menegaskan kebenaran eksistensi Tuhan dengan pendekatan argumen imkan dan wujub:
1. Argumentasi Al-Farabi
Realitas wujud ada dua bentuk: wujud pertama, ketika kita memperhatikan esensinya maka
kita akan mendapatkan bahwa eksistensi baginya tak niscaya, wujud ini dinamakan wujud
kontingen. Wujud kedua, dengan memperhatikan esensinya akan kita peroleh bahwa
eksistensi baginya adalah niscaya, wujud ini disebut wujud wajib.
Tidaklah mustahil jika kita mengasumsikan ketiadaan wujud kontingen, dan untuk
mengada ia memerlukan sebab. Jika ia telah berwujud, maka eksistensinya menjadi
“niscaya”. Esensi wujud kontingen tak abadi dan bersifat sementara. Wujud kontingen
mustahil menjadi sebab hakiki bagi realitas wujud lainnya, oleh karena itu harus berujung
kepada Wujud Wajib yang merupakan Wujud Pertama sekaligus Sebab Pertama.
Mustahil kalau kita mengasumsikan ketiadaan Wujud Wajib. Wujud Wajib tak memiliki
sebab karena Dia adalah sebab pertama untuk semua eksistensi. [7]

2. Argumentasi Ibnu Sina


Ibnu Sina dalam kitab “al-Isyarat wa at-Tanbihat” menjabarkan argumen imkan dan wujub
untuk membuktikan eksistensi Tuhan, menyatakan, “Realitas wujud adalah wujud wajib
dan wujud kontingen. Jika realitas wujud itu adalah wujud wajib, maka terbuktilah realitas
eksistensi Tuhan. Dan jika realitas wujud itu adalah wujud kontingen, dikarenakan
kemustahilan daur dan tasalsul, maka niscaya bergantung kepada wujud wajib [8]. Jadi dalam
dua pengandaian itu berakhir pada pembuktian realitas eksistensi Tuhan.”

3. Argumentasi Khwajah Nasiruddin at-Thusi


Jika realitas wujud itu adalah wujud wajib, maka terbuktilah eksistensi Tuhan. Tetapi
apabila realitas wujud itu adalah wujud kontingen, maka meniscayakan adanya wujud
wajib. Jika tidak demikian, maka akan terjadi daur atau tasalsul, dan ini mustahil terjadi[9].

4. Argumentasi Mulla Sadra


Mulla Sadra tidak menganggap argumen imkan dan wujub ini sebagai argumen yang paling
tinggi, karena dalam pandangannya walaupun argumen ini tidak meletakkan makhluk-
makhluk dan segala ciptaan Tuhan sebagai perantara dalam pembuktian Tuhan, tetapi
argumen ini menggunakan sifat kuiditas (baca: imkan) sebagai perantara dalam penegasan
eksistensi Tuhan, maka argumen ini tetap digolongkan dengan argumen huduts-nya para
teolog dan argumen geraknya ilmuwan alam, yaitu argumen-argumen yang menggunakan
selain Tuhan sebagai perantara dalam pembuktian eksistensi-Nya.
Mulla Sadra dalam hal ini mengajukan satu bentuk argumen ontologi yang dia namakan
dengan burhan shiddiqin. Menurutnya burhan dan argumen ini adalah argumen yang
paling sempurna. Pada kesempatan ini kita akan mengutip ulasan Syahid Muthahhari atas
burhan ini. Beliau berkata bahwa untuk memahami secara benar burhan ini diperlukan
lima pendahuluan sebagai berikut:
1. Kehakikian wujud (ashalah al-wujud);
2. Kesatuan wujud (wahdah al-wujud);
3. Hakikat wujud mustahil tiada;
4. Hakikat wujud secara esensial setara dengan kesempurnaan, ketakbergantungan,
ketakterbatasan, kekuatan, keaktualan, cahaya dan keagungan;
5. Wujud akibat identik dengan kelemahan, ketaksempurnaan, kebergantungan dan
keterbatasan.
Dengan memahami pendahuluan ini, dapat dikatakan bahwa hakikat wujud adalah
keberadaan dan eksistensi itu sendiri. Hakikat wujud mustahil tiada. Hakikat wujud tak
menerima syarat dan kondisi dalam keberadaan dan perwujudannya. Hakikat wujud
identik dengan segala kesempurnaan dan menolak segala bentuk kebergantungan dan
keterbatasan. Hakikat wujud azali dan abadi.
Argumen Mulla Sadra ini berbunyi sebagai berikut:
Tingkatan wujud, kecuali tingkatan paling tinggi yang memiliki kesempurnaan tak terbatas
dan ketakbergantungan mutlak, adalah hubungan dan kebergantungan itu sendiri. Dan jika
jenjang paling tinggi itu tak berwujud, maka seluruh tingkatan juga mustahil terwujud;
karena asumsi keterwujudan segala derajat wujud tanpa keberwujudan derajat paling
tinggi berarti bahwa derajat itu mandiri dan tak bergantung, sementara hakikat wujudnya
adalah hubungan dan kebergantungan itu sendiri[10].

5. Argumentasi Allamah Thabathabai


Tiada keraguan bahwa di alam ini terdapat realitas eksistensi-eksistensi. Jika realitas
eksistensi itu adalah wujud wajib, maka terbuktilah wujud Tuhan. Dan apabila realitas
eksistensi itu adalah wujud kontingen, karena wujud kontingen telah terwujud, maka pasti
disebabkan oleh wujud di luar dirinya yang disebut sebab. Apabilau wujud kontingen itu
tak membutuhkan sebab, maka dia pasti wujud wajib, karena wujud kontingen itu
memerlukan sebab. Dan jika sebab itu adalah wujud wajib, maka terbuktilah wujud Tuhan.
Apabila sebab itu adalah wujud kontingen yang lain, maka konsekuensinya adalah terjadi
daur atau tasalsul, dan ini mustahil. Dengan demikian hanya ada satu pilihan logis, yaitu
wujud kontingen itu bergantung pada satu sebab yang disebut Wujud Wajib. [11]

Kebergantungan Wujud Kontingen Kepada Wujud Wajib


Wujud kontingen yang esensinya adalah relasi terhadap eksistensi dan wujud mustahil
adalah sama, maka untuk mewujud niscaya membutuhkan faktor-faktor eksternal yang
hakiki. Jika tidak demikian, maka wujud kontingen itu mustahil terwujud.
Setiap wujud kontingen untuk mengada dan mewujud secara esensial memerlukan faktor
eksternal dan sebab pengada.
Setiap wujud kontingen membutuhkan wujud yang lain untuk memenuhi segala
keperluannya. Jika keperluan wujudnya tidak terpenuhi, maka dia mustahil mengada. Dan
jika wujud kontingen telah terwujud, berarti niscaya ada wujud lain yang memenuhi
kebutuhannya.
Realitas wujud lain yang memenuhi segala kebutuhan wujud kontingen itu niscaya bukan
dari wujud kontingen lain. Karena semua wujud kontingen memiliki sifat dan karakter
wujud yang sama. Jadi, wujud kontingen hanya bergantung pada satu-satunya wujud, yaitu
wujud wajib. Dan Kebutuhan serta kebergantungan wujud kontingen kepada wujud wajib
bersifat abadi dan kekal, mulai dari “awal” perwujudannya hingga pada “akhir” penciptaan.
Hakikat dan esensi wujud kontingen adalah kebergantungan dan kefakiran itu sendiri.

Kriteria Kebutuhan Wujud Kontingen Kepada Sebab


Apa kriteria dan tolok ukur kebutuhan wujud kontingen kepada sebab? Jawaban para
filosof atas pertanyaan ini berbeda secara subtansial dengan para teolog. Di bawah ini, akan
kami jabarkan jawaban beserta dalil-dalil dari masing-masing aliran pemikiran tersebut:

1. Perspektif Para Filosof


Para filosof berkeyakinan bahwa kriteria kebutuhan wujud kontingen kepada sebab adalah
watak kebergantungannya (imkan). Mereka berpendapat bahwa setiap wujud kontingen
beserta watak kebergantungan yang dimilikinya, dan posisi wujudnya yang terletak di
antara eksistensi dan non-eksistensi, niscaya memerlukan sebab. Jika sesuatu itu adalah
wujud wajib, maka secara esensial dia mewujud dan tak membutuhkan sebab dalam
perwujudannya. Begitu pula jika sesuatu itu wujud mustahil, maka secara esensial dia tiada
dan tak memerlukan sebab dalam ketiadaannya. Tetapi jika sesuatu itu adalah wujud
kontingen, maka secara esensial dalam mewujud dan meniada, niscaya membutuhkan
sebab.
Apabila kita mempersepsikan pengertian wujud kontingen, maka kita akan memahami
bahwa “wujud kontingen” terletak antara wujud dan non-wujud. Dengan posisinya yang
demikian itu, “wujud kontingen” niscaya membutuhkan sebab untuk menggeser posisinya
ke titik wujud sehingga mewujud.
Argumen para filosof tentang kriteria di atas adalah sebagai berikut:
Kuiditas (mahiyah), berdasarkan wujudnya niscaya berwujud [12], dan berdasarkan
ketiadaannya niscaya tiada[13]. Dua keniscayaan itu (keniscayaan mewujud dan keniscayaan
meniada) adalah keniscayaan yang bersyarat kepada predikatnya [14].
Huduts bukanlah sesuatu yang yang bisa ditempatkan di antara dua keniscayaan itu.
Karena makna huduts adalah sesuatu yang terwujud setelah ketiadaannya. Dengan
demikian, jelaslah bahwa keniscayaan adalah tolok ukur ketakbutuhan kepada sebab. Oleh
karena itu, selama kita tak memperhatikan kuiditas dan watak kebergantungannya (imkan)
beserta adanya keniscayaan, maka kita tak akan pernah sampai pada kriteria hakiki
kebutuhan wujud kontingen kepada sebab.
Untuk memahami argumen di atas secara benar, kami akan menyebutkan tiga pendahulan
sebagai berikut:
Pendahuluan pertama: Para filosof berkeyakinan bahwa tolok ukur ketakbutuhan kepada
sebab adalah keniscayaan dan bukannya huduts, karena huduts adalah suatu sifat yang
hadir dari keterwujudan dan keterciptaan kuiditas. Misalnya, pada waktu dulu A tiada,
kemudian pada waktu tertentu dia berwujud, ini berarti bahwa ketiadaan A mendahului
keberadaannya, kondisi seperti ini disebut huduts.
Pendahuluan kedua: Pada sisi yang lain, kuiditas ketika tiada, maka niscaya tiada, dan
ketika berwujud, maka niscaya berwujud. A tiada pada waktu dulu berarti pada waktu itu A
niscaya tiada, kemudian pada waktu tertentu A berwujud, berarti pada waktu itu ia niscaya
berwujud.
Pendahuluan ketiga: Telah dikatakan bahwa keniscayaan adalah tolok ukur ketakbutuhan
kuiditas kepada sebab, yakni kuiditas ketika niscaya berwujud atau tiada, dia tidak butuh
kepada sebab, karena sebab telah memberikan keniscayaan kepada kuiditas.
Kesimpulan dari ketiga pendahuluan tersebut adalah bahwa huduts merupakan sebuah
sifat yang terambil dari keterwujudan sesuatu dari ketiadaan, yakni perpindahan sesuatu
dari keniscayaan tiada menuju keniscayaan wujud. Dengan demikian, keniscayaan sebagai
tolok ukur ketakbutuhan kuiditas kepada sebab dan bukan huduts.
Keniscayaan akan sirna ketika kuiditas tak lagi melekat pada wujud dan tiada. Karena pada
kondisi ini kuiditas tak “meminta” keberadaan dan ketiadaan. Jadi kuiditas dan sifat
imkannya harus dipandang sebagai kriteria dan tolok ukur kebutuhan kepada sebab.

2. Perspektif Para Teolog


Para teolog beranggapan bahwa kriteria kebutuhan wujud kontingen kepada sebab adalah
huduts[15] bukan imkan ( watak bergantung, kontingen)[16]. Jadi, sesuatu yang baru tercipta
(huduts) niscaya memerlukan sebab.
Berdasarkan perspektif para teolog tentang kriteria kebutuhan tersebut, maka defenisi
teori kausalitas berbunyi demikian: setiap yang huduts niscaya membutuhkan sebab.
Argumen para teolog tentang tolok ukur kebutuhan wujud kontingen kepada sebab adalah
sebagai berikut:
Para teolog dengan bersandar pada dua pendahuluan, beranggapan bahwa tolok ukur dan
kriteria kebutuhan kepada sebab adalah huduts dan bukan imkan. Kedua pendahuluan
tersebut adalah sebagai berikut:
Pendahuluan pertama: Jika kriteria kebutuhan kepada sebab adalah imkan dan bukan
huduts, maka dimungkinkan terwujud suatu akibat yang bersifat qadim zamani [17].
Pendahuluan kedua: Mustahil terwujudnya akibat yang bersifat qadim zamani.
Oleh karena itu kriteria kebutuhan kepada sebab adalah huduts dan bukan imkan.
Jika terwujud suatu akibat yang bersifat qadim zamani, maka akibat tersebut pasti
berwujud sejak awal (azali) dan mustahil pernah tiada. Dan sesuatu yang tak pernah tiada,
niscaya tak membutuhkan sebab. Sesuatu yang dulu tiada dan tidak azali maka perlu
kepada sebab. Oleh karena itu, keazalian yang menjadi tolok ukur ketakbutuhan kepada
sebab. Wujud akibat mustahil memiliki sifat keazalian. Dengan demikian mustahil
terwujudnya suatu akibat yang bersifat qadim zamani.

3. Bantahan Filosof Atas Argumentasi Teolog


Perspektif pertama:
Sebagaimana telah dibuktikan oleh para filosof, bahwa kriteria kebutuhan kepada sebab
adalah imkan, dan imkan merupakan sifat dan watak hakiki suatu kuiditas. Dengan
ungkapan lain, imkan merupakan keniscayaan dari kuiditas, yakni setiap kuiditas pasti
memiliki imkan.
Telah diketahui bahwa jika sesuatu bersifat qadim zamani, maka dia akan senantiasa
berwujud dan tak lagi “meminta” keberadaan dan ketiadaan. Oleh karena itu, dia memiliki
kebutuhan yang abadi kepada sebab.
Dengan penjelasan lain, jika kita asumsikan bahwa “sesuatu” yang tak berwujud dan juga
tak tiada, sesuai dengan makna imkan, dan juga diasumsikan bahwa “posisi wujud”nya
yang bisa mewujud dan juga bisa meniada, dan pada saat yang sama dia berwujud sejak
azali dan tak akan meniada dalam rentangan waktu, maka keberadaan sesuatu itu, tanpa
ragu lagi diperoleh dari selain dirinya sejak azali. Oleh karena itu qadim zamani tak
bertentangan dengan hakikat wujud akibat, yakni wujud akibat bisa bersifat qadim zamani.
Perspektif kedua:
Pandangan ini berdasarkan sebuah kajian yang mendalam dalam hikmah al-muta’aliyah
tentang hubungan hakiki sebab-akibat. Kesimpulannya, “wujud akibat” adalah hubungan
dan kebergantungan esensial kepada sebab itu sendiri. Dengan ungkapan lain, hubungan
kebutuhan dan kebergantungan merupakan esensi dan hakikat “wujud akibat”.
Kebergantungan dan wujud akibat adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Inti pandangan ini adalah wujud akibat tak setara dengan wujud sebabnya, akibat tak lain
adalah hubungan kepada sebab, akibat adalah pancaran sebab dan manifestasi wujud
sebab. Jadi semakin luas wujud akibat, maka semakin tinggi kebergantungan dan
kebutuhannya kepada sebab. Maka dari itu tak mustahil terjadi kesesuaian antara wujud
akibat dan qadim zamani. Keqadiman zamani wujud akibat tak menghilangkan sifat
kebutuhannya kepada sebab, bahkan semakin memperkuat keperluannya kepada sebab.

4. Perspektif Imkan Fakir (al-imkan al-faqri)


Teori ini digagas pertama kali oleh filosof Mulla Sadra. Teori ini sangat sempurna
dibandingkan dengan argumen imkan dan wujub yang dianut oleh semua filosof sebelum
Mulla Sadra. Landasan filosofis teori ini adalah kehakikian wujud (ashalah al-wujud) dan
gradasi wujud (tasykik al-wujud). Mulla Sadra meletakkan kriteria dan tolok ukur
kebutuhan kepada sebab pada wujud itu sendiri.
Mulla Sadra mengkritik argumentasi para filosof tentang kriteria kebutuhan tersebut. Ia
menyatakan, “Anda meyakini bahwa tolok ukur kebutuhan itu adalah imkan, dan imkan
merupakan salah satu sifat kuiditas. Karena imkan sebagai tolok ukur, maka secara esensial
dia niscaya berwujud, dan ketika imkan berwujud, maka kuiditas niscaya berwujud.
Berdasarkan pikiran ini, kuiditas merupakan realitas wujud yang mandiri dan hakiki.”
Menurut Mulla Sadra, pikiran para filosof dan para teolog bertentangan dengan dua hal
sebagai berikut:
Pertama, defenisi “wujud imkan” (kontingen) adalah sesuatu yang secara esensial tak
berwujud dan tak tiada.
Kedua, kehakikian wujud (ashalah al-wujud), yakni yang memiliki realitas eksternal hakiki
adalah wujud bukan kuiditas, kuiditas hanya berwujud dalam pikiran.
Berdasarkan dua hal di atas, karena kuiditas tak memiliki wujud hakiki eksternal, maka
tolok ukur kebutuhan itu pada wujud itu sendiri.
Inti kekeliruan sebagian filosof adalah ketika menganalisa antara wujud dan kuiditas,
mereka meletakkan kehakikian (ashalah) pada kuiditas. Dan karena imkan merupakan sifat
kuiditas, maka tolok ukur kebutuhan itu disandarkan kepada imkan. Tetapi berdasarkan
kajian yang sempurna, disimpulkan bahwa realitas eksternal yang hakiki adalah wujud
(ashalah al-wujud) dan kuiditas hanya berwujud dalam pikiran, kuiditas ketika berwujud di
alam eksternal (baca: luar pikiran) hanya mengikuti wujud. Karena kuiditas hanya
berwujud dalam pikiran, maka imkan yang merupakan sifat kuiditas juga berwujud dalam
pikiran.
Berdasarkan kehakikian wujud, gradasi wujud dan tolok ukur kebutuhan kepada sebab
adalah wujud, maka segala sifat seperti sempurna dan cacat, kuat dan lemah, butuh dan tak
butuh, tak terbatas dan terbatas, disandarkan kepada hakikat wujud.
Oleh karena itu, hakikat wujud secara esensial identik dan setara dengan kesempurnaan,
ketakbergantungan, ketakterbatasan dan keniscayaan; yakni wujud murni adalah suatu
wujud yang tak memilki kebutuhan dan batasan, dan wujud terbatas memiliki sifat butuh
dan bergantung. Intensitas sifat kebergantungan dan kebutuhan ini muncul dari gradasi
dan tingkatan wujud, dan tingkatan melahirkan keterbatasan dan keterbatasan
mengakibatkan ketaksempurnaan, dan ketaksempurnaan meniscayakan kebutuhan dan
kebergantungan.
Maksud dari fakir dan kebergantungan di sini adalah hubungan kepada wujud mandiri.
Kebergantungan bukan sesuatu yang melekat pada wujud terbatas, tetapi kefakiran dan
kebutuhan adalah wujud terbatas dan wujud kontingen itu sendiri. Dengan demikian
seluruh wujud kontingen adalah hubungan dan kebutuhan kepada Wujud Wajib, dan
wujud yang mandiri hanyalah Wujud Wajib.
Kesimpulannya, kuiditas bukan sesuatu yang langsung dicipta oleh Tuhan, tetapi yang
dicipta adalah wujud, sebab itu yang dihubungkan kepada-Nya juga adalah wujud. Maka
tolok ukur Kebutuhan kepada sebab adalah wujud, bukan sifat keqadiman dan kehaditsan
(kebaharuan) wujud. Berdasarkan tingkatan wujud, wujud qadim sangat butuh kepada-Nya
karena lebih “dekat” kepada-Nya dibandingkan denga wujud hadits.
Kebutuhan Abadi Wujud Kontingen Kepada Sebab
Wujud kontingen tak hanya membutuhkan sebab diawal penciptaannya tapi juga dalam
kelangsungan wujudnya.
Pernyataan tersebut bersandar pada dua dalil sebagai berikut:
Dalil pertama, tolok ukur dan kriteria kebutuhan kepada sebab adalah imkan, dan imkan
sebagai sifat hakiki kuiditas dan satu kesatuan yang tak terpisah dari kuiditas. Imkan
senantiasa bersama dengan kuiditas mulai dari awal penciptaannya (huduts) hingga pada
“keabadian” wujudnya.
Dalil kedua, wujud akibat berdasarkan teori imkan fakir (al-imkan al-faqri) Mulla Sadra,
merupakan wujud hubungan yang bergantung mutlak kepada sebab. Kebergantungan
adalah hakikat wujud akibat. Karena wujud hubungan (baca: wujud akibat) ini bukan
wujud yang mandiri, maka dalam perwujudan dan “keabadian wujud”nya tetap
membutuhkan sebab.
Para teolog menganggap bahwa kriteria kebutuhan kepada sebab adalah huduts, maka
kebutuhan wujud kontingen kepada sebab terbatas hanya diawal penciptaan dan
perwujudan. Sesuatu yang telah tercipta (hadits) tak butuh lagi kepada sebab, jadi sebab
tak berpengaruh lagi dalam kelangsungan wujud akibat. Jika demikian, tak mustahil kalau
sebab tiada setelah terwujudnya akibat. Pandangan para teolog terhadap hubungan sebab
akibat adalah bahwa wujud akibat bersifat mandiri, sebab berhubungan dengan akibat
lewat “pola hubungan” yang dicipta oleh sebab. Akibat akan terwujud jika mendapatkan
pancaran wujud dari sebab lewat pola hubungan itu. Pola hubungan sebab-akibat itu akan
sirna setelah akibat terwujud, dan “pekerjaan” sebab berakhir dengan sirnanya pola
hubungan itu dan secara mutlak hubungan antara sebab dan akibat juga terputus. Dari
tinjauan inilah wujud akibat tak membutuhkan lagi sebab dalam kelangsungannya.
Para teolog berpandangan bahwa hubungan antara sebab dan akibat bersifat majazi,
karena itu ketiadaan satu, tak mesti meniadakan yang lain. Adalah tidak mustahil sebab
ada, tetapi akibat tiada. Begitupula sebab bisa tiada, setelah akibat terwujud. Dan akibat
bisa senantiasa berwujud tanpa sebab. Jadi Tuhan ada, tetapi makhluk “dahulu” tiada.
Begitupula, Tuhan bisa tiada, setelah makhluk tercipta. Dan makhluk bisa senantiasa ada,
tanpa kehadiran Tuhan.
Kedua pandangan di atas, pandangan filsafat dan pandangan kalam, akan berefek dalam
warna pandangan dunia tauhid seseorang. Efek ini akan jelas ketika membahas hubungan
prilaku manusia dan ilmu Tuhan, keterpaksaan (jabr) dan kebebasan (ikhtiar) manusia dan
juga dalam pembahasan tauhid perbuatan.

Tafsiran Keliru Atas Argumen Imkan dan Wujub


Para filosof dan pemikir barat mengadopsi argumen imkan dan wujub dari fiosof-filosof
muslim. Tetapi mereka tidak sempurna dalam memahami dan memaparkannya. Kekeliruan
dalam paparan mereka adalah anggapan bahwa jika keseluruhan wujud di alam ini adalah
wujud-wujud kontingen, maka niscaya pada waktu tertentu wujud-wujud ini akan tiada.
Kekeliruan ini membuat para pengkritik argumen ini beranggapan bahwa jika alam ini
senantiasa ada, maka akan menjadi azali dan tak lagi memerlukan sebab. Kondisi ini
menjadikan alam yang secara esensial merupakan wujud kontingen, sesuai dengan
keazalian. Artinya tak mustahil jika ada realitas wujud yang bergantung kepada wujud azali,
tetapi keazalian ini tidak menghilangkan kebergantungannya kepada sebab, bahkan
keperluannya semakin bertambah.
Konsekuensi dari anggapan itu adalah waktu itu sendiri menjadi realitas wujud yang
berdiri sendiri dan mandiri dari wujud kontingen, yakni waktu itu sendiri memiliki
eksistensi, tetapi tak satupun realitas wujud berada di dalamnya. Nah, sekarang kita
bertanya tentang waktu itu sendiri, apakah dia wujud kontingen? Kalau wujud kontingen
maka tak perlu waktu itu sendiri barada di dalam suatu realitas waktu. Jika waktu itu
sendiri bukan wujud kontingen, maka pasti wujud wajib atau wujud mustahil. Kalau wujud
mustahil maka tak mungkin mewujud, sementara secara riil waktu itu sendiri telah
terwujud. Jika waktu itu sendiri adalah wujud wajib, maka juga mustahil, karena waktu itu
sendiri tidak memiliki sifat-sifat wujud wajib.
Konklusi dari pemahaman keliru itu adalah kalau keseluruhan wujud di alam ini adalah
wujud-wujud kontingen, maka niscaya pada waktu tertentu wujud-wujud itu akan
meniada.
Di bawah ini akan kami kutipkan pemaparan argumen imkan dan wujub oleh Thomas
Aquinas. Argumen ini sampai ke tangan filosof-filosof Barat melalui penerjemahan karya-
karya Ibnu Rusyd pada abab pertengahan oleh Thomas Aquinas, seorang filosof dan teolog
besar Kristen.
Menurut Thomas, dalil ini merupakan salah satu dari lima dalil dalam pembuktian
eksistensi Tuhan, ia berkata, “Kita melihat realitas di alam ini bahwa sesuatu di masa yang
akan datang, bisa mewujud dan juga meniada. Hal itu karena semua realitas tersebut
berada dalam kondisi yang senantiasa berubah. Tetapi mustahil realitas-realitas itu
senantiasa mewujud, karena secara esensial, wujud kontingen tak meniscayakan eksistensi.
Oleh karena itu, segala wujud kontingen pada waktu tertentu akan meniada. Wujud
kontingen untuk mewujud membutuhkan wujud yang senantiasa ada dan mustahil tiada.
Apabila pada zaman dahulu tak ada satupun wujud (baca: selain wujud kontingen), maka
mustahil wujud kontingen bisa mengada. Oleh karena itu, mustahil semua realitas wujud
adalah wujud kontingen, tetapi niscaya ada realitas wujud sebagai wujud wajib.”
Setiap realitas wujud adalah niscaya, tetapi keniscayaannya ada yang berasal dari wujud
lain dan ada yang berasal dari diri sendiri (swa-niscaya). Sebagaimana telah ditetapkan
oleh kaidah bahwa mustahil terjadi mata rantai tak terbatas dari sebab-sebab dan akibat-
akibat. Berdasarkan kaidah ini, terpaksa kita menerima adanya realitas wujud yang secara
esensial adalah niscaya (baca: wujud wajib) dan keniscayaannya tak berasal dari wujud
lain. Bahkan keniscayaan itu dipancarkan kepada wujud lain. Manusia menyebut realitas
wujud ini sebagai Tuhan[18].
Dengan menyimak paparan di atas, maka disimpulkan bahwa pemahaman dan penjabaran
argumen imkan dan wujub dari filosof-filosof muslim sedikit berbeda dengan yang
dipaparkan oleh filosof-filosof barat. Karenanya, tidak berdasar berbagai kritik yang
dilontarkan oleh filosof barat diatas bangunan argumen dari filosof muslim, karena ada
kekeliruan dalam pemahaman dan penjabaran argumen tersebut.

Kritik Atas Argumen Imkan dan Wujub


Argumen ini berpijak dan bersumber pada analisis rasional keserbamungkinan esensi
kuiditas. Ibnu Sina untuk pertama kalinya menyebut argumen ini dalam kitab isyarat wa at-
tanbihat sebagai burhan siddiqin. Kekhususan argumen ini tidak bersandar pada argumen
gerak, keteraturan dan huduts (kebaruan dalam penciptaan) tapi mempergunakan bentuk
hubungan ketergantungan esensi kuiditas (mahiyyah) dan realitas hakiki atau hubungan
ketergantungan hakiki wujud kontingen dan wujud wajib.
Kritikan filosof barat atas argumen ini, sebenarnya tak lepas dari faktor adanya kesalahan
dalam penerjemahan karya-karya filosof muslim. Disamping itu juga, terdapat kesalahan
dalam memahami argumen ini, mereka tidak memasukkan teori kausalitas sebagai bagian
yang prinsipil dalam bangunan argumen ini. Prinsip kausalitas merupakan prinsip
universal bagi semua bangunan argumen dan tak terkhusus pada argumen imkan dan
wujub. Menolak teori kausalitas sama artinya menutup semua jalan untuk menetapkan dan
menafikan segala sesuatu.
David Hume, dalam kritikannya terhadap argumen ini, ia menyatakan, “Jika secara esensial,
hubungan antara wujud-wujud partikular (sebagian wujud kontingen) dan eksistensi dan
non-eksistensi di alam ini bersifat sama dan seimbang, maka untuk mewujud memerlukan
sebab. Kaidah ini tidak berlaku secara universal untuk keseluruhan realitas wujud, karena
tak ada kesetaraan antara wujud-wujud partikular dan keseluruhan wujud, misalnya jika
setiap manusia memiliki satu ibu, maka tidak bisa dihukumi secara universal bahwa
keseluruhan manusia memilki satu ibu.”[19]
Jawaban kritikan di atas sebagai berikut:
Hume menyangka bahwa argumentasi itu berlandaskan atas keserbamungkinan
mewujudnya sebagian wujud kontingen di alam. Anggapan ini sangat keliru, karena inti
argumen imkan dan wujub adalah wujud kontingen niscaya membutuhkan wujud lain
(baca: weujud wajib) untuk mengada. Kaidah ini bersifat hakiki dan universal yang
berkaitan dengan keseluruhan wujud kontingen dan bukan sebagiannya.
Kritik lain atas argumen ini adalah keniscayaan wujud, hanya merupakan kategori logika, [20]
dan kategori logika tidak berhubungan dengan realitas eksistensi eksternal atau wujud
hakiki.
Jawaban kritikan tersebut sebagai berikut:
Keniscayaan memilki pengertian yang sama dalam ilmu logika dan filsafat. Makna
keniscayaan dalam ilmu logika juga teraplikasikan dalam filsafat. Keniscayaan ini terkait
secara langsung dengan realitas eksternal dan wujud-wujud hakiki di alam ini.
Mullla sadra berkata, “Bahwa keniscayaan memiliki satu pengertian, tetapi pengertian ini
bergradasi sesuai dengan predikat yang melekat kepadanya, misalnya angka empat niscaya
genap dan wujud Tuhan niscaya ada. Pengertian keniscayaan yang ada pada kedua
proposisi itu memiliki gradasi dan berjenjang. Keniscayaan tidak semata-mata
berhubungan dengan realitas eksistensi Tuhan, tetapi berkaitan dengan segala realitas
wujud, baik eksternal (wujud di alam) maupun internal (wujud dalam pikiran)”. [21]
Argumen imkan dan wujub tidak berpijak pada analisis akal tentang pengertian kuiditas
wujud kontingen yang secara esensial meniscayakan kebergantungan kepada sebab, tetapi
berpijak pada analisis akal tentang realitas eksistensi eksternal dan wujud hakiki di alam
ini. Jadi pengertian keniscayaan murni berasal dan bersumber dari eksistensi eksternal dan
wujud hakiki, dan bukan sebuah pengertian yang tak memiliki obyek nyata dan hakiki
(baca: pengertian yang semata-mata dalam pikiran).
Ibnu sina dalam memaparkan argumen tersebut secara langsung menggunakan obyek
eksternal dan eksistensi hakiki dalam proposisi. Dia berkata, “Karena wujud itu mustahil
tidak memiliki realitas eksternal dan wujud hakiki, maka yang berwujud hanya dua
kemungkinan, yaitu wujud kontingen dan wujud wajib. Apabila realitas eksistensi
eksternal itu adalah wujud kontingen, maka niscaya memerlukan sebab (baca: wujud
wajib).”[22]
Sangkaan David Hume atas keniscayaan adalah sebagai berikut: pertama, pengertian
keniscayaan hanya dalam kategori logika dan menolak aplikasinya dalam filsafat [23]. Kedua,
keniscayaan terbatas pada proposisi analitik yang predikatnya melekat pada subyek.
Dengan demikian, anggapan Hume tentang keniscayaan hanya teraplikasikan pada satu
subyek yang telah terasumsi validitasnya dalam pikiran, dan kemudian subyek itu
diletakkan berbandingan dengan subyek atau bagian-bagian dari subyek itu sendiri, lalu
subyek yang terasumsi itu atau bagian-bagiannya dipredikasikan kepada subyek yang
terasumsi itu, seperti manusia adalah manusia.
Berdasarkan prasangka di atas, setiap argumentasi yang berakhir berpijak pada
keniscayaan hanya berlaku dalam ruang lingkup presentasi pikiran dan pemikiran, tidak
berhubungan dengan realitas eksternal dan wujud hakiki.
Jawaban atas sangkaan ini adalah sebagai berikut:
Keniscayaan berlaku pada semua proposisi baik analitik [24] maupun hakiki[25]. Pengertian
keniscayaan bersumber dari fenomena hakiki dan menunjuk langsung pada eksistensi
eksternal yang nyata.
Argumen imkan dan wujub tidak bersandar pada analisa pikiran atas pemahaman kuiditas
eksistensi yang terasumsi, tetapi terbangun di atas analisa akal atas realitas eksistensi luar
dan wujud hakiki dan juga diperoleh dari perbandingan langsung antara persepsi suatu
kuiditas dan extensi-extensinya[26]. Jadi yang dipergunakan dalam argumen ini adalah
konsepsi keniscayaan yang terkait secara hakiki dengan extensi-extensi eksternal, dan
extensi keniscayaan adalah eksistensi hakiki dan realitas eksternal [27]. Oleh karena itu,
pengetahuan kita terhadap eksistensi keniscayaan itu sendiri bersifat badihi. Mengingkari
keniscayaan sama dengan menolak eksistensi, realitas dan wujud hakiki. Menolak
eksistensi dan wujud hakiki sama dengan memungkiri diri kita sendiri.
Kritik lain untuk argumen ini bersifat epistimologis bukan filosofis. Kritik ini berbunyi,
“Suatu argumen dianggap sempurna jika realitas eksternal dan wujud hakiki berada dalam
jangkauan persepsi akal dan pengetahuan-pengetahuan rasionalitas manusia bersesuaian
dengan realitas eksistensi hakiki, jika realitas wujud tersebut tidak dalam jangkauan
persepsi akal, maka argumen tersebut tidak sempurna dan tak berguna. Sebagai contoh
dalam argumen ini, dikatakan bahwa realitas terbagi dua bagian yaitu wujud wajib dan
wujud kontingen, dan pembagian ini bersandar pada kaidah kemustahilan terkumpulnya
dua hal yang kontradiksi, kaidah ini walaupun bersifat rasional tetapi tidak memiliki
realitas eksistensi hakiki dan obyek luar, yakni dua wujud yang saling berkontradiksi dan
bertentangan mustahil mewujud di alam riil. Karena argumen ini berhubungan dengan
kaidah itu, maka argumen imkan dan wujub tidak memiliki pondasi yang kuat.”
Jawaban atas kritikan itu adalah sebagai berikut:
Kritikan ini berhubungan dengan ilmu epistimologi. Pengkritik meragukan nilai ilmu dan
pengetahuan manusia, dan keraguan atas ilmu dan pengetahuan manusia sama dengan
menolak dan memungkiri kebenaran ilmu dan pengetahuan manusia, konsekuensinya
adalah pengingkaran realitas eksternal dan eksistensi hakiki.
Bentuk keraguan seperti ini sangat halus sehingga terkadang kita tak menyadari
keterjebakan kita di dalamnya. Problem yang sangat besar adalah jika kita tidak
mengetahui metode dan rumusan penyelesaiannya. Keraguan merupakan jembatan emas
untuk sampai kepada kesempurnaan ilmu dan pengetahuan. Tetapi menetap di atas
jembatan itu, akan mengakibatkan ketersiksaan jiwa dan keterasingan batin terhadap
dirinya sendiri. Inti dan hakikat ilmu serta pengetahuan sama dengan hakikat eksistensi
eksternal dan wujud hakiki. Menolak kebenaran ilmu dan pengetahuan manusia sama
dengan mengingkari realitas eksistensi eksternal, dan memungkiri realitas eksistensi
erksternal sama dengan menolak keberadaan dan eksistensi diri sendiri. Jadi perbedaan
yang nyata dalam ilmu dan pengetahuan manusia bukan bermakna ketiadaan kebenaran
ilmu dan pengetahuan, tetapi perbedaan itu berarti bahwa ilmu dan pengetahuan manusia
berjenjang, bertingkat dan bergradasi. Perbedaan itu jangan dipandang secara horizontal
atau hitam putih, tetapi dipersepsi secara vertikal atau bergradasi.
Dalam perspektif ontologis Mulla Sadra, dijelaskan bahwa realitas eksternal dan wujud
hakiki bersifat gradasi, yakni ada perbedaan intensitas dalam eksistensi hakiki. Jadi wujud
yang paling tinggi hingga wujud yang paling rendah semuanya disebut wujud, dibalik
kemajemukan wujud terdapat kesatuan wujud yang hakikatnya bergradasi. Karena ilmu
dan pengetahuan berpijak pada realitas eksternal dan wujud hakiki, maka ilmu dan
pengetahuan juga berjenjang. Wujud Wajib (baca: wujud Tuhan) adalah wujud yang paling
tinggi dan sempurna, jadi ilmu yang berkaitan dengan wujud Tuhan menjadi ilmu yang
paling tinggi dan sempurna, dan begitu pula sebaliknya, hubungan antara wujud yang
rendah dengan ilmu. Pluralitas dalam hal ini adalah pluralitas bergradasi dan bukan
horizontal.[www.wisdoms4all.com]
[1]
. Ta’liqat Farabi, hal. 6.
[2]
. Kumpulan Risalah Ibnu Sina, bab defenisi, hal. 117.
[3]
. Asfar, jilid 2, hal. 127.
[4]
. Hikmah al-Isyraq, hal. 62.
[5]
. John Hospers, an Introduction to Philosophical Analysis, hal. 431.
[6]
. Mulla Sadra, Asfar, jilid 2, hal. 166.
[7]
. Abdurrahman Badawi, Mausu’at al-Falsafah, jilid 2, hal. 102.
[8]
. Ibnu Sina, Al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid 3, hal. 20.
[9]
. Allamah Al-Hilli, Syarh al-Kitab Tajrid al-’Itiqad, hal. 217.
[10]
. Sadr al-Mutaallihin, Al-Asfar, jilid 6, hal. 14.
[11]
. Allamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 320.
[12]
. Sekarang ini berwujud, sebagaimana yang kita lihat dan rasakan adanya keberadaan
kuiditas seperti manusia, hewan, tumbuhan dan sebagainya.
[13]
. Pada waktu tertentu kuiditas akan tiada, punah dan hancur.
[14]
. Artinya, setiap kuiditas (mahiyah) yang melekat kepada wujud berarti kuiditas itu
niscaya mewujud.
[15]
. Huduts dalam makna leksikalnya berarti baru lawan dari lama (qadim). Dalam makna
gramatikalnya (istilah), sesuatu dikatakan huduts (baru) jika ketiadaannya mendahului
keberadaannya, artinya sesuatu itu pada awalnya tiada (tak tercipta) dan sekarang ada,
berwujud atau tercipta. Huduts terbagi dua: pertama, huduts dzati (lawan qadim zat) yaitu
ketiadaan mendahului keberadaannya tapi bukan dalam rentangan waktu. Kedua, huduts
zamani (lawan qadim zamani) yaitu ketiadaannya mendahului keberadaannya dalam
rentangan waktu.
[16]
. Imkan (bergantung, kontingen) adalah makna hakiki dari kuiditas (mahiyah), artinya
setiap kuiditas meniscayakan kebergantungan atau hakikat dari kuiditas adalah
bergantung.
[17]
. Qadim zamani adalah sesuatu yang ketiadaannya tak mendahului keberadaannya
dalam rentangan waktu atau senantiasa berwujud dalam rentangan waktu. Qadim zat
adalah sesuatu yang ketiadannya tak mendahului keberadaannya tidak dalam rentangan
waktu atau senantiasa berwujud bukan dalam rentangan waktu (azali), seperti wujud
Tuhan.
[18]
. Etin Jilson, Mabani Falsafe-e Masahiyyat, penerjemah Muhammad Muhammad Reza-I,
hal. 118.
[19]
. Bertrand Russel, Irfan wa Mantiq, hal. 213.
[20]
. Sebuah pahaman yang tidak didasarkan pada obyek nyata dan tidak berasal dari
realitas dan eksistensi hakiki.
[21]
. Mulla Sadra, Asfar, jilid 1, hal. 91.
[22]
. Ibnu Sina, Isyarat wa at-Tanbihat, jilid 3, hal. 18.
[23]
. Subyek pembahasan filsafat adalah realitas eksistensi eksternal dan wujud hakiki.
[24]
. Proposisi analitik adalah subyek pembahasan hanya dalam pikiran, misalnya
sekutuTuhan mustahil ada. Jadi, apa yang diasumsikan oleh akal tentang sekutu Tuhan
tidaklah mustahil hadir dalam pikiran, dengan ungkapan lain bahwa asumsi sekutu Tuhan
adan dalam pikiran.
[25]
. Proposisi hakiki adalah subyek pembahasannya di alam eksternal dan berkaitan
dengan wujud hakiki, misalnya Imam Husain As syahid di karbala atau Zionis membunuh
anak-anak Palestina. Proposisi tersebut aktual dan faktual.
[26]
. Pengertian extensi (mishdaq) dapat dicontohkan sebagai berikut: Muhammad, Ali,
Hasan dan Husain adalah manusia. Jadi yang dimaksud dengan Muhammad, Ali, Hasan dan
Husain adalah extensi (mishdaq) dari manusia. Manusia itu sendiri tidak memiliki obyek
luar, yang ada obyeknya di luar adalah Muhammad dan sebagainya.
. Wujud eksternal adalah bersifat hakiki dan pengetahuan atasnya bersifat badihi, jelas,
[27]

gamblang dan tak memerlukan argumen. Manusia yang menolak realitas eksistensi
eksternal dan wujud hakiki sama dengan menolak eksistensi dan wujud dirinya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai