Pendahuluan
Argumen yang dipergunakan untuk menelaah realitas eksistensi dan wujud eksternal
dalam menegaskan eksistensi hakiki Tuhan di sini, adalah argumen imkan (kontingen) dan
wujub (necessity). Argumen ini merupakan salah satu argumen rasional yang paling kuat
dalam membuktikan eksistensi Tuhan. Karena tak satupun manusia berakal menolak dan
memungkiri eksistensi dirinya dan realitas wujud-wujud di alam ini. Sementara argumen
ini secara prinsipil berpijak pada penerimaan realitas eksistensi dan wujud hakiki.
Yang jelas, Tuhan tidak gaib, yang gaib justru diri kita sendiri. Bahkan wujud Tuhan itu
lebih jelas dan lebih bercahaya dari wujud-wujud apapun selain-Nya. Karena itu, ketika kita
menggunakan berbagai argumen untuk membuktikan wujud Tuhan, maka sebenarnya
adalah hanya untuk “mengingatkan” kita akan realitas hakiki tersebut.
Orang-orang bijak mengatakan, bahwa jalan dan metode untuk menyingkap wujud Tuhan,
sebanyak realitas wujud ciptaan-Nya. Karena Tuhan memiliki banyak sisi (baca: nama dan
sifat-Nya), sehingga setiap sisi-Nya merupakan jalan yang bisa digunakan oleh para
pesuluk. Namun demikian, terdapat jalan yang paling kuat dan sempurna dibanding yang
lainnya. Dalam hal ini, kita harus memilih argumen yang paling sempurna dalam
menegaskan eksistensi Tuhan. Sebab, setiap argumen merupakan jalan menuju kepada-Nya
dalam kerangka akal teoritis. Semakin sempurna argument, maka semakin sempurna pula
pandangan dunia tauhid. Apabila pandangan dunia tauhid seseorang telah sempurna, maka
akan sempurna pula tujuan hidup dan hakikat wujudnya.
Sebelum wujud Tuhan itu dapat kita buktikan lewat argumen ini, kami akan menjelaskan
secara terperinci beberapa pendahuluan dan pengertian yang mendasar berkaitan dengan
argumen ini. Dengan memahami pendahuluan berikut ini, akan mudah bagi kita mengikuti
alur-alur argumen dan memahami -secara benar- premis-premisnya.
Beberapa pengertian yang ingin kami jelaskan antara lain:
1. Pengertian wujud kontingen (mumkin al-wujud), Wujud Wajib (wajib al-wujud) dan
wujud mustahil (mumtani’ al-wujud);
2. Pengertian keniscayaan;
3. Prinsip kausalitas;
4. Kemustahilan daur dan tasalsul.
2. Pengertian Keniscayaan
Ketika kita memperhatikan kata-kata seperti, genap, ganjil, delapan dan tujuh, maka akan
kita temukan adanya hubungan antara genap dengan delapan, dan ganjil dengan tujuh.
Kemudian hubungan tersebut akan membentuk premis-premis yang logis seperti, delapan
adalah genap dan tujuh adalah ganjil.
Interaksi logis antara angka delapan dan genap dan angka tujuh dan ganjil, didasarkan atas
realitas luar yang ada di alam ini dan di pikiran kita, bahwa hubungan hakiki antara
realitas- realitas itu tak terpisahkan. Dengan ungkapan lain, genap merupakan hakikat
delapan, dan delapan meniscayakan genap. Adalah mustahil memisahkan antara sifat genap
dan angka delapan. Begitu pula antara sifat ganjil dan angka tujuh. Hubungan hakiki antara
realitas-realitas tersebut disebut niscaya atau keniscayaan.
Hubungan hakiki antara eksistensi dan Tuhan disebut niscaya, artinya eksistensi dan Tuhan
adalah dua hal yang mustahil terpisahkan. Artinya bahwa wujud Tuhan pasti ada, mustahil
tiada. Dia adalah niscaya dan senantiasa ada. Dan wujud Tuhan -dalam istilah filsafat-
disebut Wujud Wajib (waâ jib al-wujud).
3. Prinsip Kausalitas
Pada prinsipnya, teori kausalitas telah muncul seumur dengan peradaban manusia. Bahkan,
ia seusia dengan alam ini dan realitas eksistensi itu sendiri. Manusia yang berakal
senantiasa mencari sebab-sebab dari setiap kejadian. Karena dengan mengetahui sebabnya,
ia akan dapat memahami akar dan sumber akibat atau kejadian tersebut.
Di bawah ini, kami hadirkan beberapa ungkapan filosof terkemuka tentang defenisi
kausalitas :
1. Al-Farabi berkata, “Sebab adalah sesuatu yang niscaya ada dan hadir bersama dengan
akibat.”[1]
2. Ibnu Sina menyatakan, “Sebab adalah sesuatu yang meniscayakan sesuatu yang lain.
Dan akibat itu mesti aktual karena keaktualan sebabnya. “[2]
3. Mulla Sadra menyatakan, “Sebab memiliki dua pengertian, pertama: sebab adalah
wujud sesuatu yang memancarkan realitas eksistensi yang lain, dan ketiadaan sebab
berefek pada ketiadaan realitas itu. Pengertian kedua: sebab adalah wujud yang
meniscayakan kebergantungan hakiki realitas lain, dan ketiadaan akibat karena ketiadaan
sebabnya.”[3]
4. Syekh Isyraq Suhrawardi berkata, “Maksud sebab adalah sesuatu yang keberadaannya
meniscayakan sesuatu yang lain dan memustahilkan kejamakan sebab. “[4]
Konklusi dari semua defenisi di atas adalah bahwa sebab merupakan realitas wujud yang
meniscayakan kebergantungan mutlak dan hakiki segala eksistensi eksternal lainnya.
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat contoh berikut: Secara empiris, api menimbulkan
panas. Api disebut sebab, karena meniscayakan panas. Panas disebut akibat, karena
bersumber dari api. Secara hakiki, api dan panas memiliki hubungan khusus. Hubungan
khusus ini, dalam istilah filsafat, disebut kausalitas atau hubungan sebab akibat. Dengan
kausalitas, manusia bisa menghubungkan antara satu realitas dengan realitas lain serta
menentukan sebab dan akibat dari realitas-realitas tersebut.
Sebagian filosof Barat -yang beraliran empiris- seperti David Hume, menolak hubungan
kausalitas itu. Mereka beranggapan bahwa yang bisa diempiriskan hanyalah api dan panas,
bukan hubungan khusus yang bersifat niscaya (baca: kausalitas). Segala realitas yang
mustahil terempiriskan, tidak dikategorikan sebagai realitas yang berwujud. Ketika
hubungan kausalitas itu mustahil terempiriskan, maka ia tak berwujud. Lebih lanjut dia
berkata, “segala pengetahuan manusia bersumber dari hal-hal yang empiris. Jika terdapat
“keberhubungan” antara satu realitas dengan realitas lain, hubungan ini hanya bersifat
kebetulan, bukan karena adanya hubungan kausalitas. Karena “keberhubungan” (ta’aâ qub
dan taqaâ run) dua realitas itu senantiasa terjadi. Keberadaan api memunculkan panas,
dengan itu, “hubungan kausalitas” antara kedua realitas itu terbentuk dalam pikiran.”
Jawaban atas kritik dan penolakan kausalitas tersebut sebagai berikut:
Pertama, dalam filsafat Islam, hubungan kausalitas tidak ada kaitannya dengan
penginderaan lahiriah. Tetapi berkaitan dengan persepsi akal yang dapat dibuktikan lewat
pengkajian-pengkajian rasional. Kajian-kajian rasionalitas, tidak berangkat dari realitas
empiris. Dalam contoh di atas, dimana api adalah sebab, dan panas adalah akibat, hanya
dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman atas hukum kausalitas. Penentuan sebab
dan akibat -dalam contoh itu- bukan wewenang filsafat. Filsafat hanya merumuskan kaidah
dan hukum universal. Jadi sangat wajar, apabila terjadi kesalahan dalam penentuan subyek
masalah. Kritik yang ditujukan ke subyek masalah -dalam kajian filsafat- tidak dibenarkan.
Kritik semestinya dialamatkan kepada kajian filosofisnya. Kesalahan dalam penentuan,
bukan berarti kekeliruan dalam kaidah universalnya.
Sangat disayangkan apabila seorang ilmuwan menolak prinsip kausalitas hanya karena
ketidakmampuannya menerapkan kaidah universal dalam wilayah partikularnya, kecuali
jika rumusan epistimologinya mengharuskan semua pengetahuan berasal dari realitas
empiris. Jika demikian, problemnya terletak pada konsep epistimologi dan bukan pada
penentuan subyek sebab dan akibat.
Kedua, dalam ilmu logika, bahwa proposisi itu tersusun dari premis minor dan premis
mayor, misalnya A dari B dan B dari C, maka A dari C. A dari B disebut premis minor dan B
dari C disebut premis mayor. Jika prinsip kausalitas itu ditolak, maka mustahil ia akan
melahirkan silogisme dari proposisi tersebut, yaitu A dari C. Menolak hokum kausalitas
berarti ragu terhadap B dari A dan juga ragu bahwa B dari C, akhirnya mustahil
menyimpulkan A dari C. Jadi, silogisme A dari C, adalah hasil dari adanya hubungan
keniscayaan antara dua premis minor dan mayor. Hubungan keniscayaan itu disebut
hubungan kausalitas atau hubungan sebab akibat.
Bukankah David Hume menggunakan premis-premis untuk menolak hubungan kausalitas?
Dia menyatakan sebagai berikut: Hubungan kausalitas antara api dan panas adalah non
empiris (premis minor), segala realitas non empiris niscaya tak berwujud (premis mayor).
Jadi, hubungan kausalitas antara api dan panas, niscaya tak berwujud, artinya tidak ada
hubungan kausalitas diantara kedua realitas itu (silogisme).
Apabila David Hume konsisten atas argumentasinya, maka ia harus menolak konklusi atau
silogisme dari argumen yang dibangunnya. Karena, dalam proposisi kedua premis minor
dan mayor adalah sebab, dan silogisme adalah akibat. Jadi, dalam proposisi itu juga
terdapat hubungan kausalitas.
Maka dari itu, menolak hubungan kausalitas sama dengan menolak ilmu logika. Dan
menolak ilmu logika, sama dengan menolak semua bentuk proposisi dan argumentasi,
termasuk argumentasi penolakan hubungan kausalitas itu sendiri. Dan menolak
argumentasi, sama dengan menolak keberadaan ilmu dan pengetahuan. Karenanya,
penerimaan hubungan kausalitas menjadi prinsip dalam semua realitas, baik eksternal
maupun internal (baca: alam pikiran).
Immanuel Kant ,filosof besar Jerman, karena ia mengetahui konsekuensi logis dari
pemikiran Hume, maka ia dapat mengambil jalan lain dalam menyikapi hubungan
kausalitas itu. Usahanya bahkan melahirkan problem lain. Dalam pandangannya, kausalitas
atau hubungan hakiki sebab akibat, hanya terwujud di alam pikiran, dan bukan di alam
eksternal. Hubungan itu dikatakan ada di alam eksternal, jika bisa diaplikasikan ke dalam
fenomena ruang-waktu di alam materi. Hubungan kausalitas itu, begitu juga argumen
imkan (contingency) dan wujub (necessity), tak bermanfaat jika ia tidak dapat diterapkan
dalam koridor ruang-waktu.
Kant sebagaimana Hume, sepakat bahwa pengetahuan itu berasal dari realitas empiris.
Tetapi Kant -berbeda dengan Hume- berpendapat bahwa walaupun pengetahuan kita di
peroleh dari realitas-realitas empiris, ini bukan berarti semua pengetahuan berasal dari
realitas empiris.
Kritik Kant dalam masalah kausalitas, sangat tidak konsisten. Dia menolak sebagian, yaitu
menolak hubungan kausalitas yang tak terempiriskan dalam ruang-waktu (alam materi).
Jadi, hubungan kausalitas itu tertolak di alam materi. Dan dia menerima sebagian, yakni
hubungan kausalitas terterapkan di alam gaib (alam non materi). Ke-tak-konsisten-an Kant,
karena mengkhususkan hubungan kausalitas itu di alam gaib. Tanpa dia sadari,
konsekuensi dari pengecualian itu sama dengan menolak realitas semua alam. Karena akan
memunculkan pertanyaan tentang bagaimana proses perwujudan alam-alam itu, termasuk
alam gaib? Apakah ada hubungan antara alam-alam itu dan bagaimana bentuk
hubungannya? Kalau dia menerima adanya “proses perwujudan” alam-alam itu, dan
mengakui “pola hubungan” di antara realitas-realitas itu, maka tak ada jalan lain kecuali
menerima eksistensi hubungan kausalitas tersebut.
Dalam perspektif filosof Islam, prinsip dan hubungan kausalitas, bersifat universal dan tak
terbatas pada alam tertentu, tetapi terterapkan pada semua alam, baik alam materi
maupun alam non- materi.
3.1. Gamblangnya Teori Kausalitas
Hukum kausalitas berbunyi, “setiap akibat pasti membutuhkan sebab.” Defenisi ini adalah
badihi, jelas dan tak membutuhkan argumen. Ketika kita mempersepsi makna akibat,
artinya bahwa suatu realitas eksistensi itu bergantung kepada wujud yang lain, maka kita
dapat memahami bahwa kebergantungan dan kebutuhan kepada wujud yang lain,
merupakan konsekuensi dan hakikat dari eksistensi akibat. Jadi, sebenarnya kita tak perlu
argumen dalam membuktikan kebenaran prinsis kausalitas.
Dengan memperhatikan defenisi Wujud Wajib (waâ jib al-wujud) dan wujud kontingen
(mumkin al-wujud) di atas, maka hukum kausalitas itu menjadi: setiap wujud kontingen
membutuhkan sebab. Wujud kontingen memiliki kuiditas (mahiyah), karenanya secara
esensial berada di antara Wujud Wajib dan wujud mustahil, atau antara ada dan tiada.
Wujud yang demikian, untuk mengada, niscaya memerlukan sebab pengada. Tanpa sebab,
mustahil mewujud. Inilah hakikat prinsip kausalitas.
Ciri-ciri wujud kontingen sebagai berikut: wujudnya lemah, terbatas, kebergantungannya
hakiki, kebutuhannya abadi, tak sempurna dan secara esensial terus mengalami perubahan,
perpindahan dan gerak. Perubahan, perpindahan dan pergerakan, merupakan hakikat
kebutuhan, kekurangan dan kemiskinan. Wujud yang tak sempurna, mustahil bisa
mencukupi dan menyempurnakan segala kebutuhan dan kekurangannya. Karena itu, wujud
kontingen secara aktual memerlukan realitas wujud sempurna dalam penyempurnaan
kekurangan dan pencukupan segala kebutuhannya serta pengaktualan semua potensi yang
dimilikinya.
gamblang dan tak memerlukan argumen. Manusia yang menolak realitas eksistensi
eksternal dan wujud hakiki sama dengan menolak eksistensi dan wujud dirinya sendiri.