Anda di halaman 1dari 15

1. Salah satu sarana pengetahuan menurut Nyanya adalah persepsi.

Jelaskan beda antara


persepsi keliru dan ketidaktahuan!
Persepsi
Persepsi dipahami sebagai pengetahuan yang benar dan tertentu, yang lahir dari kontak
pancaindera dengan obyeknya. Persepsi bisa benar, tapi juga bisa keliru. Karena itu Nyaya
membedakan persepsi atas dua bagian, yakni persepsi yang bersifat tidak tentu dan persepsi
tertentu. Persepsi yang bersifat tidak tentu lazimnya merupakan kontak panca indra dengan
obyeknya. Ia merupakan pengalaman indrawi yang paling hakiki, terbatas hanya pada apa
yang ditampilkan oleh kontak indra manusia. Karena sifatnya tidak pasti, maka kontak
indrawi saja tidak bisa dikelompokan sebagai pengetahuan perceptual.
Pengetahuan perseptual mengandaikan persepsi tertentu, dalam mana pengalaman
indrawi yang hakiki akan persepsi yang tidak tentu, ditentukan sebagai semacam benda
dengan kualitas dan relasinya yang bermacam-macam. Persepsi tertentu pada dasarnya dapat
disebut atau dikatakan. Jadi ada beda antara pengalaman indrawi langsung dan persepsi,
kendati persepsi selalu mengandaikan pengalaman indrawi langsung. Konsekuensinya, ada
juga distingsi antara kekeliruan dan ketidaktahuan.
Bila ketidaktahuan terjadi karena faktor kurangnya pengalaman indrawi langsung atau
kurangnya persepsi yang bersifat tertentu. Maka kekeliruan, di lain pihak, terjadi akibat
perbuatan mengartikan secara salah apa yang ditampilkan dalam pengalaman indrawi
langsung sebagai sesuatu yang lain dari apa yang sesungguhnya. Contohnya pengalaman
tentang seutas tali yang dipersepsikan keliru sebagai seekor ular karena hanya bentuknya
yang panjang dan berkelok-kelok. Padahal dalam kenyataannya merupakan seutas tali. Dari
contoh ini jelas nampak bahwa pengetahuan perceptual yang benar sebetulnya merupakan
persepsi tentang apa yang dipersepsikan sebagaimana adanya dalam kenyataan. Sementara
kekeliruan merupakan persepsi tentang sesuatu sebagai sesuatu yang lain dari apa adanya
dalam realitas.
Pertanyaan kini, bagaimana penilaian perseptual yang khusus dapat dikenal sebagai satu
penilaian yang benar? Menjawab pertanyaan ini, maka Nyaya berpendapat bahwa penilaian
yang benar bisa diperoleh dengan berusaha menyingkapkan keterjalinan aktual antara klaim
pengetahuan dan kenyataan sesungguhnya. Itu berarti benar tidaknya sebuah penilaian amat
tergantung pada terjalin tidaknya persepsi dengan realitas sesungguhnya. Jika persepsi
seorang keliru tentang cairan bening di dalam botol sebagai air bersih, padahal botol itu
dalam kenyataan berisi minyak tanah, maka tidak ada manfaatnya bila orang mengamatinya
lagi. Yang harus ia lakukan ialah bertindak sesuai persepsi dan melihat bagaimana hasil
tindakan itu. Jika persepsi itu tidak keliru, maka cairan bening dalam botol menjadi penyejuk
dan penyegar dahaga yang melegakan. Sebaliknya, bila persepsi itu keliru karena botol itu
defacto berisi minyak tanah, maka cairan bening itu akan lebih menyengsarakan tenggorokan
yang sudah kepalang haus dan kering. Jika prinsip pragmatis tentang verifikasi terhadap
klaim-klaim perseptual ini diaplikasikan secara meluas, maka kita akan tiba pada keyakinan
bahwa kegiatan apa saja adalah benar karena berkorespondensi dengan realitas. Melalui
paradigma seperti ini, para pemikir Nyaya memahami persepsi yang benar sebagai
kesesuaian antara apa yang dipersepsi dengan realitas. Namun mereka tetap mempertahankan
praktik sebagai medium untuk memverifikasi korespondensi itu.
Nyaya mengkategorikan pengetahuan perseptual atas enam (6) macam. Kelima jenis
pertama bersumber pada kontak panca indera dengan obyek: mata melihat warna, telinga
mendengar bunyi, hidung mencium bau, lidah mencicipi sesuatu yang enak, tubuh
mengungkap resistensi, atau pikiran mulai berkontak dengan keadaan dan proses fisik.
Hasilnya ialah persepsi yang bersifat tidak tentu, atau semata-mata memproduksi
pengalaman dasar indrawi. Jenis pengetahuan perseptual keenam bercorak internal, yakni
berupa kesadaran tentang pengalaman-pengalaman indrawi dan mempersepsikannya sebagai
sesuatu. Pengetahuan jenis ini berkaitan dengan persepsi biasa yang bersifat tertentu.
Selain keenam pengetahuan di atas, Nyaya juga mengakui adanya jenis pengetahuan
perseptual lain, yakni persepsi luar biasa. Persepsi luar biasa ini dapat dibedakan atas tiga (3)
macam. Jenis pertama ialah persepsi terhadap kodrat obyek.obyek. Misalnya, pengalaman
visual terhadap bentuk, warna, dan tinggi tertentu bukan hanya dipersepsikan sebagai pribadi
yang disapa Angel, tetapi juga dipersepsikan sebagai manusia yang disapa Angel. Jadi kita
tidak hanya mempersepsikan individu Angel, tetapi juga kodratnya sebagai manusia.
Jenis persepsi luar biasa kedua lazimnya menanggapi pertanyaan bagaimana sesuatu
yang pantas untuk alat organ yang satu dapat menjadi obyek untuk alat organ lain. Misalnya,
es yang dingin ternyata bisa pantas juga untuk indra penglihatan karena bisa dilihat oleh
mata. Hal ini oleh Nyaya dianggap sebagai sebuah bentuk persepsi yang luar biasa.
Jenis persepsi luar biasa ketiga lazimnya dihubungkan Nyaya dengan pengetahuan
perseptual akan masa lampau atau masa depan atau akan hal-hal yang tersembunyi. Biasanya
persepsi ini jenis hanya bisa ditangkap orang dengan tenaga luar biasa sebagai buah dari
meditasi atau yoga yang teratur.

2. Dua katergori pengetahuan menurut Vaisheika adalah universal dan inherensi. Apakah
arti dan perbedaan keduanya? Jelaskan!
Universal
Kategori keempat ialah hakikat universal. Ia menunjuk pada kesamaan yang ada pada
substansi, kualitas, atau dalam tindakan-tindakan. Misalnya, empat ekor anjing, empat obyek
berwarna merah, dan empat gerak ke bawah, tiap-tiapnya adalah sama, yaitu empat ekor
anjing yang sama, empat warna merah yang sama, empat gerak ke bawah yang sama.
Kesamaan itu dipandang sebagai yang bersifat obyektif dan menjadi milik dari masing-
masing benda individual sama juga seperti kualitas-kualitas. Dasar bahwa empat ekor anjing
dikenal semuanya sebagai anjing ialah karena keempat anjing itu berpartisipasi dalam
hakikat atau kodrat yang sama, yakni keanjingan. Hakikat merupakan unsur universal yang
memampukan kita untuk membentuk konsep tentang jenis dan untuk memasukkan benda-
benda individual ke dalam jenisnya yang layak.
Inherensi
Inherensi ialah fakta bahwa hal-hal yang berbeda, seperti substansi, kualitas, tindakan dan
lain sebagainya, nampak sebagai satu totalitas yang terpadu. Jadi karena warna, ukuran,
kodratnya, dan partikularitasnya sebagai obyek (manusia A), semuanya tampak begitu
terpadu sehingga kita hanya berpikir tentang satu hal saja, yakni Manusia A dan tidak
mempersepsikannya sebagai satu kumpulan hal (mata, telinga, rambut, sawo matang, dll).
Dasar untuk kesatuan bermacam-macam hal yang berbeda itu dalam satu substansi, seperti
kategori-kategori lain, harus memiliki satu dasar dalam realitas. Dan karena inherensi tidak
dapat direduksi pada salah satu hal lain, maka inherensi itu diakui sebagai satu realitas yang
mandiri.
3. Jelaskan teori kausalitas menurut Samkhya!
Kausalitas
Teori kausalitas yang dianut Samkhya disebut satkaryavada yang berarti akibat “ada
lebih dahulu” dalam sebab. Dengan kata lain, dalam sebab sudah ada akibat. Artinya, jika
benar bahwa tak ada sesuatupun yang dapat terjadi tanpa penyebab tertentu dan benar juga
bahwa setiap akibat sudah ada lebih dahulu dalam sebabnya, maka akibat jelas merupakan
bagian tak terpisahkan sebab. Itu berarti kausalitas bukanlah persoalan mengubah sesuatu
yang ada ke sesuatu yang baru, melainkan hal tentang perubahan realitas yang sudah ada
walau dalam satu bentuk yang berbeda.
Secara ringkas, konsep Samkhya tentang kausalitas ini dirangkumkan Ishvara Krishna,
salah seorang filsuf Samkhya, sebagai berikut:
Akibat sudah ada sebelum berfungsinya sebab: 1) karena tidak berproduksinya ketiadaan; 2)
oleh karena kebutuhan akan satu sebab material (yang cocok); 3) karena kemustahilan segala
sesuatu yang berasal dari segala sesuatu; 4) karena sesuatu hanya dapat menghasilkan apa
yang mampu ia hasilkan; dan 5) karena akibat tidak berbeda dari sebab (Samkhya Karika, 9).
Alasan untuk menegaskan bahwa akibat-akibat itu ada adalah kenyataan bahwa akibat-
akibat itu merupakan dunia yang dapat diamati dan dirasakan. Menegasi keberadaan akibat-
akibat itu sama artinya dengan menegasi keberadaan dunia. Alasan yang mengakui bahwa
sebab-sebab itu ada ialah bahwa sesuatu sudah harus menghasilkan akibat-akibat yang
membentuk dunia. Berada sebagai sebab artinya memproduksi satu akibat. Karena itu, bila
ada akibat, maka logisnya harus ada sebab. Jadi, harus disimpulkan bahwa akibat itu sama
riil dengan sebab.
Penegasan bahwa akibat beresensi sama dengan sebab ini penting, karena sangat
mendukung klaim bahwa semua realitas obyektif pada hakikatnya bersumber dari kodrat
yang sama karena semua realitas itu hanya akibat dari transformasi yang beragam dari
prakriti (materi primordial yang darinya berasal segala sesuatu).
Pandangan Samkhya tentang kausalitas di atas, lantas memunculkan beberapa keberatan.
Pertama, akibat itu merupakan satu keseluruhan baru yang berbeda dari unsur-unsur
pembentuknya, karena jika sama, maka akibat dapat dikenal sebelum akibat itu diproduksi.
Samkhya menolak keberatan ini. Menurut, Samkhya keberatan ini tidaklah valid karena
keberatan itu tidak bermakna apa-apa untuk menegaskan bahwa satu keseluruhan itu berbeda
dari sebab materialnya. Semisal, potongan-potongan besi yang merupakan sebab material
untuk kursi ketika ditata dalam satu cara tertentu tidak berbeda dari kursi. Andai berbeda,
orang tentu akan mengenali kursinya tanpa bergantung pada bagian-bagiannya. Nah, hal ini
jelas tidak mungkin. Karena itu Samkhya menegaskan bahwa mengenal satu akibat hanya
mengenal sebab dalam transformasi.
Kedua, jika kausalitas hanya perkara perubahan bentuk dan bukan hasil dari sesuatu yang
baru, maka aktivitas seorang pelaku, yakni sebab yang membawa akibat, tidak dibutuhkan,
karena akibat sudah ada dalam sebab. Terhadap keberatan ini, para pemikir Samkhya
menanggapi dengan menegaskan bahwa bila akibat tidak ada lebih dahulu dalam sebab,
maka kausalitas akan menghasilkan ketiadaan. Kenyataannya kausalitas tidak bisa
memproduksi eksistensi dari sesuatu yang tidak bereksistensi. Si pelaku dimustikan untuk
mentransformasikan sesuatu menjadi sesuatu lagi dan bukan untuk memproduksi sesuatu dari
ketiadaan. Mengatakan bahwa apa yang ada disebabkan oleh ketiadaan itu sama artinya
dengan menyangkal kausalitas itu sama sekali karena tidak menawarkan alternative tentang
sebab-akibat.
Ketiga, bila akibat ada lebih dahulu, tidakkah itu berarti tidak ada sebab yang
dibutuhkan? Samkhya menjawab keberatan ini dengan menegaskan bahwa sebab atau pelaku
yang membawa akibat hanya menampakkan apa yang tidak jelas dalam sebab dan apa yang
pada kenyataannya tidak mengkreasikan sesuatu yang baru.
Jawaban lain yang diajukan Samkhya terhadap keberatan bahwa sebab dan akibat adalah
entitas yang berbeda ialah bahwa praeksistensi akibat dapat ditelusuri pada fakta bahwa tak
suatupun dapat diperoleh dari satu sebab bila sesuatu itu tidak ada dalam sebab. Ambillah
contoh: gula didapat dari tebu, karena ia sudah ada lebih dahulu dalam tebu. Ia tidak bisa
didapatkan dari singkong, karena ia tidak ada lebih dahulu di dalam singkong. Bagi Samkhya
contoh ini jelas menegaskan bahwa akibat sudah ada dalam sebab.
Akhirnya, untuk meringkaskan pandangan mereka tentang praeksistensi akibat dalam
sebab, para pemikir Samkhya beragumentasi bahwa konsep sebenarnya tentang hubungan
kausalitas menuntut praeksistensi akibat dalam sebab. Sesuatu yang tidak ada, tidak
mengharapkan sebab. Jadi bila akibat tidak ada, sudah pasti tidak akan ada pertanyaan
tentang sebabnya.

4. Apakah hubungan purusha dan praktik menurut Samkhya? Jelaskan!


Percampuran yang variatif dari guna ini via sebuah proses perubahan bertahap
menghasilkan tipe pribadi yang beragam dan pelbagai jenis hal yang lain. Transformasi
pertama tata tertib evolusi prakriti ialah iluminasi prakriti oleh purusha (kesadaran murni).
Penerangan ini disebut buddhi (intelegensi) atau mahat (yang agung). Intelegensi ini menjadi
sadar akan dirinya sebagai “aku pelaku” (ahamkara) yang berakhir dengan evolusi makhluk
hidup yang beragam. Lebih lanjut ketika, prakriti melanjutkan aktivi tas evolusinya, maka ia
akan memproduksi pikiran dan organ-organ sensasi dan juga organ-organ tindakan serta
esensi halus segala sesuatu yang diindrai dan ditindaki. Akhirnya, yang muncul kemudian
adalah obyek-obyek lain yang berbeda-beda.
Pertanyaannya, apakah yang menyebabkan evolusi prakriti? Menurut para pemikir
Samkhya adalah purusha yang memungkinkan perubahan bertahap prakriti. Ini tidak berarti
bahwa purusha hadir dan terlibat secara aktual dalam prakriti. Sebaliknya yang terjadi ialah
oleh karena purusha hadir, maka terjadilah ketidakseimbangan prakriti. Ketika terjadi
ketidakseimbangan mulailah proses evolusi.
Bagaimana kita tahu bahwa purusha itu ada? Terhadap pertanyaan ini, Ishvara Krishna
dalam Samkhya Karika memberikan jawaban:
Purusha ada karena 1) terdapat kumpulan atau kombinasi untuk yang lain; 2) yang lain ini
harus terpisah atau berlawanan dengan tiga; 3) yang lain ini harus merupakan satu kekuatan
yang mengawasi atau kontrol; 4) harus ada penikmat dan 5) ia berfungsi demi kepentingan
isolasi atau kebebasan (Samkhya Karika, 17).
Argumen 1 dan 2 tergantung pada premis bahwa a) semua obyek yang dialami terdiri dari
bagian-bagian yang sedang ditata untuk melayani tujuan dari obyek-obyek yang lain atau dari
makhluk-makhluk lain atas cara sedemikian rupa sehingga seluruh kodra t alam bersekutu
erat sebagai sebuah totalitas yang teratur, dan bahwa b) jika tidak ada yang tidak tersusun
dari bagian-bagian, demi kepentingan keberadaan segala hal yang tersusun dari bagian-
bagian itu, maka kita terjebak dalam satu gerak balik tanpa batas. Contoh, tanah melayani
tujuan rumput, rumput melayani tujuan sapi, dan sapi mengabdi tujuan manusia. Tujuan
tertinggi dan terakhir dari proses ini adalah purusha. Jika tidak demikian, proses evolusi ini
jatuh dalam satu mata rantai yang tidak punya tujuan akhir. Jadi harus disimpulkan bahwa
prakriti, dunia kodrat, harus ada untuk mengabdi kepentingan lain yang tidak bersumber dari
prakriti. Kepentingan lain itu tidak lain ialah purusha.
Argumen 3 berisi pemikiran bahwa obyek-obyek material, yakni obyek-obyek yang
membentuk dunia prakriti, dapat bekerjasama karena ada prinsip inteligensi yang
menuntunnya. Kalau tidak ada prinsip itu, maka dapat dipastikan bahwa akan kekacauan.
Demikian, harus disimpulkan bahwa purusha harus ada karena ialah prinsip yang mengontrol
dunia itu.
Argumen 4 bertolak dari pandangan psikologis bahwa semua obyek dunia berasal dari
kodrat kenikmatan, penderitaan dan ketidakpedulian. Tetapi kenikmatan dan penderitaan
tidak dapat ada tanpa subyek yang mengalami. Kesimpulannya ialah bahwa dunia prakriti
harus ada untuk si subyek yang mengalami, dan karena itu, purusha sebagai prinsip subyek
yang mengalami harus ada.
Argumen 5 mengklaim bahwa purusha harus ada karena hasrat akan transendensi diri.
Dalam alam semesta yang sudah tertata, tidaklah mungkin terjadi bahwa kecenderungan
universal menuju yang tidak terbatas – menuju perwujudan diri – akan berakhir pada frustrasi
diri. Efeknya, purusha harus ada di sana untuk direalisasikan karena ia sementara dicari.
Dari uraian ini, jelas nampak kiranya bahwa purusha berbeda dengan prakriti dan bersifat
independen. Samkhya Karika menulis: “Karena purusha berlawanan dengan prakriti yang
gelap maka ditandaskan bahwa purusha adalah saksi, terisolir, indiferen, penonton, dan tidak
aktif,’ (Samkhya Karika 19). Itu berarti pertentangan keduanya bersifat multak: 1). Purusha
tidak dapat diamati; ia hanyalah pengamat (saksi); 2) Purusha berasal dari kodrat kebebasan,
terisolir dari belenggu prakriti; 3) Purusha bersifat indiferen, tidak digerakkan oleh
kenikmatan dan penderitaan; 4) Purusha hanyalah pengamat yang mengamati prakriti,
sementara prakriti adalah pertunjukkan yang sedang diamati; 5) Purusha tidak aktif dan tidak
bergerak, sementara prakriti adalah gerak yang tidak pernah berhenti.
Jika purusha dan prakriti berbeda, bagaimana keduanya berhubungan? Menurut para
pemikir Samkhya, sepintas memang muncul kesan bahwa ada hubungan antara keduanya,
tetapi hubungan itu sebetulnya merupakan hubungan yang semu. Hanya karena faktor
ketidaktahuanlah maka muncul kesan bahwa keduanya memiliki hubungan satu sama lain.
Hubungan semu keduanya, hemat Samkhya dapat dianalogkan dengan terang yang
bercahaya dan satu kolam air. Purusha adalah terang yang bersinar dan prakriti adalah kolam
air yang memantulkan cahaya. Yang dibuat purusha ialah bercahaya dari dirinya dan ia
terpantul dalam prakriti. Purusha mengira pantulan itu adalah dirinya, padahal kenyataannya
sama sekali bukan. Sementara prakriti di lain sisi mengira, karena pantulan yang ia hasilkan
dari kolam air itu, bahwa dirilah realitas tertinggi. Kenyataannya justru keliru. Karena
kekeliruan seperti ini, maka iluminasi self empiris perlu agar memampukan seseorang untuk
bisa melihat, mendengar, berpikir, merasa dan lain sebagainya dengan jelas.
5. Apa arti yoga? Jelaskan!
Yoga
Pendiri: ada banyak aliran yoga dengan pendirinya, tetapi yang paling penting dan
berpengaruh ialah sistem Raja- Yoga bentukan dari Patanjali. Sistim Raja-Yoga merupakan
sintesis dari pelbagai generasi yoga arti yogadan budaya.
Ada banyak jenis atau aliran yoga. Tetapi lazimnya dikenal lima jenis, yakni Raja-yoga,
Jnana-yoga, Hatha-yoga, Bhakti-yoga dan Karma-yoga. Raja-yoga adalah sistem yoga yang
menjadikan konsentrasi dan meditasi sebagai medium untuk mencapai kebebasan. Jnana-
yoga (yoga pengetahuan) adalah upaya mencapai realisasi Diri dengan cara mata kearifan
(the eye of wisdom), yaitu dengan melatih diskriminasi (viveka) supaya dapat membedakan
antara yang sejati dan tidak sejati. Hatha-yoga (yoga fisik) ialah sistem yoga yang berupaya
melampaui kesadaran egois dan menyadari sang Diri atau Realitas ilahi. Fokus mendasar
Hatha-yoga ialah mengkreasikan sebuah tubuh yang ilahi supaya keabadian terwujud dalam
tubuh. Bhakti-yoga (yoga devosi) adalah sistem yoga yang berusaha mencapai realisasi-diri
via pemurnian emosional manusia dan membangun saluran ke arah yang ilahi. Dalam bahkti
yoga yang Ilahi tidak dipandang sebagai sang Absolut yang impersonal, tetapi seorang
Pribadi. Demikian yang diutamakan bukanlah usaha identifikasi total dengan Tuhan, tetapi
persatuan dan peleburan parsial dengan-Nya. Akhirnya, karma-yoga (yoga tindakan) ialah
upaya menuju realisasi diri via tindakan. Tindakan yang dimaksudkan ialah tindakan yang
melampaui motivasi egois, (Ali, 2010: 49-50).
Pertanyaannya, apa itu yoga? Kata yoga (Inggrisnya: yoke) berasal dari kata Sanskerta,
yuj yang berarti “penyatuan.” Jadi yoga berarti bersatunya kesadaran manusia dengan sesuatu
yang lebih luhur, lebih transenden, lebih abadi. Sementara, menurut Panini, yoga yang
diasalkan dari kata yuj mempunyai tiga arti yang berbeda: penyerapan, Samadhi (yujyate);
menghubungkan (yunakti); dan pengendalian (yojyanti). Dari ketiga makna itu yang penting
ialah ‘meditasi’ (dhyana) dan ‘penyatuan’ (yukti), tetapi yang lebih penting ialah penyatuan.
Dalam bhakti-yoga, yoga berarti penyatuan dengan Tuhan (sayujya). Sementara dalam sistim
Yoga pada umumnya, yoga berarti bahwa semua yang berevolusi akhirnya lebur dan
menyatu dalam harmoni prakriti; dan purusha akan terserap kembali serta berpisah ke dalam
esensi pertamanya.
Agak jelas kiranya betapa yoga fokus pada disiplin psikis sebagai sarana menuju
kesadaran spiritual dan tertuju pada realitas batin yang lebih dalam dan lebih tinggi. Yoga
adalah sarana menuju rahasia sang diri (Self) dan yang ilahi (Divine). Ia menunjukkan kepada
kita pengetahuan, penglihatan, kehadiran realitas imanen, kosmik dan transenden. Singkatnya
yoga adalah penemuan hakikat diri. Tegasnya, tujuan yoga seperti tertuang dalam teks
Upanishad ialah mengantar manusia mengenal Dirinya secara ontologis. Maksudnya
menemukan nasib sendiri. Karena dengan mengenal sang Diri, manusia mengetahui
semuanya; dan dengan menjadi Diri, manusia menjadi Sang Absolut atman atau Brahman.
Pendeknya, melalui yoga manusia bergerak dari pengenalan diri yang periferal menuju
pengenalan diri yang sejati, otentik dan dalam (atman).
Menjadi jelas dan terang kiranya bahwa tujuan utama dan umum dari yoga ialah
penyatuan (Samadhi), kendati setiap jenis yoga memiliki formulasi dan tekanan yang
berbeda. Bagi raja-yoga tujuan yoga ialah meraih kebebasan via konsentrasi dan meditasi.
Persisnya, bagi Sri Aurobindo, tujuan raja-yoga ialah mencapai pembebasan dan
penyempurnaan diri mental, yaitu pengendalian seluruh perangkat pencerapan, emosi, pikiran
dan kesadaran. Menurut jnana-yoga tujuannya mencapai realisasi diri (Self-realitazation) via
kebajikan. Metode yang dipakai ialah ‘refleksi intelektual’ (vicara) dan ‘diskriminasi yang
benar’ (viveka). Di mata hatha yoga tujuan yoga adalah mentransendenkan ego dan
merealisasikan Diri (Self) dengan metode âsana (postur tubuh), prânâyâma (pengendalian
nafas), mantra dan mudrâ. Bagi bhakti yoga tujuan yoga ialah mencapai realisasi diri via
devosi kepada Tuhan. Akhirnya bagi karma yoga, tujuan yoga ialah mencapai tindakan yang
bebas dari egoisme atau yang melampaui motivasi ego. Yang dimaksudkan ialah bertindak
tanpa pamrih.

6. Sebutkan dan jelaskan isi yama menurut Astanga Yoga!


Ashtanga Yoga: Delapan Jalan Menuju Transendensi Diri
Ashtanga yoga adalah sebuah metode spiritualitas praktis yang disusun Pâtañjali dalam
Yoga Sutras. Ashtanga yoga terdiri dari: disiplin moral (yama), disiplin diri (niyama), postur
tubuh (âsana), pengendalian diri (prânâyâma), pengendalian indra (pratyâhâra), konsentrasi
(dhâranâ), meditasi (dhyâna), dan ekstasis atau pembebasan (samâdhi). Oleh Pâtañjali ke-8
ruas yoga ini dilukiskan sebagai anak tangga yang menuntun seseorang berjalan menuju
realisasi diri dan transendensi diri. Dalam Yoga Sutras dijelaskan bahwa ke-8 ruas yoga itu
dapat dipandang dari dua sudut pandang. Di satu sisi, bisa dipandang sebagai penyatuan
kesadaran yang tumbuh; di lain pihak, dapat dilihat sebagai pemurnian diri yang dinamis.
Berikut adalah penjelasan atas ke-8 ruas yoga itu.
Pertama, disiplin moral (yama). Menurut YS, Yama meliputi: tanpa kekerasan (ahimsâ),
kebenaran (satya), tidak mencuri (asteya), selibat (brahmacarya), dan ketidakrakusan
(aparigraha), (2:30). Kelima disiplin moral ini bersifat universal dan tidak terbatas oleh
ruang, tempat dan waktu, (YS 2:31) dan merupakan syarat untuk mencapai keberhasilan
dalam latihan yoga. 1). Ahimsa adalah kemustian moral yang paling utama. Acapkali ahimsa
diterjemahkan dengan “tidak membunuh,” tetapi yang sebenarnya dimaksudkan ialah “tanpa
kekerasan’ dalam pikiran dan aksi. YS 2:35 dengan jelas menerangkan hal ini: “Jika ahimsa
sudah dijalankan secara menyakinkan, maka kebencian akan berhenti.” 2). Kebenaran
(satya). Tentang satya, YS menulis, “Bagi orang yang sudah melaksanakan kebenaran dan
kejujuran semua tindakan serta akibatnya ada di bawah kendali dirinya,” (2;36). Tak heran
etika yoga menempatkan satya dalam posisi yang tinggi. 3). Tidak mencuri (asteya). Oleh
YS, asteya dipahami sebagai, “jika asteya sudah ditanamkan, maka semua kekayaan akan
datang,” (2:37). Asteya memiliki relasi yang erat dengan ahimsa. Pasalnya mencuri barang
milik orang lain, melanggar hak pemiliknya. 4). Selibat atau kemurnian (brahmacarya).
Harafiahnya berarti “perilaku Brahmana.” Tetapi dalam yoga, brahmacarya dipahami
sebagai matiraga, yakni menahan diri terhadap aktivitas seksual, baik dalam pikiran pun
tindakan. “Karena dengan melaksanakan brahmacarya, manusia mendapatkan kekuatan,
“(YS, 2:37). 5). Ketidakrakusan (aparigraha) diartikan sebagai ‘tidak menerima hadiah.”
Dasarnya, karena hadiah akan mendatangkan kelekatan dan rasa takut akan kehilangan.
Demikian para yogi dididik untuk melakoni kesederhanaan hidup. Banyaknya kepemilikan
akan materi akan mengganggu pikiran. Tentang ini YS 2:39 menulis “Jika aparigraha sudah
tertanam, maka akan datang sebuah pencerahan menyeluruh tentang bagaimana dan mengapa
seseorang dilahirkan.”

7. Sebutkan dan jelaskan isi niyama!


Kedua, Disiplin Diri (niyama). Tujuan niyama ialah mengontrol energi psiko-fisis yang
muncul dari pengendalian diri kehidupan batin serentak mengharmonikan hubungan kelima
elemen disiplin diri dengan kehidupan seluruhnya dan dengan Yang Ilahi. Niyama meliputi:
“kemurnian diri (shauca), berpuas diri (samthosa), askese (tapas), studi teks spiritual
(svâdyâya) dan penyerahan diri kepada Tuhan(Ishwara-pranidhâna),” (YS 2:32). 1).
Kemurnian diri (shauca) tergolong keutamaan yang terpenting dalam spiritualitas yoga.
Tentang shauca, YS 2:42 menyatakan, “melalui kemurnian diri muncul kemuakan terhadap
tubuh sendiri dan terhadap sentuhan dari tubuh yang lain.” Ada dua jenis kemurnian diri,
yakni kemurnian lahir dan kemurnian batin. Kemurnian fisik diperoleh melalui mandi, hidup
teratur, dll. Sementara kemurnian batin didapat melalui jalan konsentrasi dan meditasi.
Seseorang haruslah murni agar dapat mencerminkan terang Yang Ilahi. 2). Berpuas diri
(samthosa) berarti mencukupkan diri dengan apa yang sudah ada sebagai lawan dari
mentalitas konsumtif dan materialistik. Berpuas diri adalah sebuah usaha penyangkalan diri,
yaitu pengorbanan diri dengan sengaja atas apa yang secara kodrati bukan milik kita, dan
karena itu kelak diambil kembali ketika kematian datang menjemput. Samthosa adalah
medium bagi manusia untuk menjalani hidup, entah suka maupun duka, dengan sukacita,
seperti dikatakan YS 2:42: “Dengan berpuas diri kegembiraan tertinggi dicapai.” Jelasnya,
berpuas diri berarti menjadi diri sendiri apa adanya, tanpa mencari dan menggantungkan
kebahagiaan diri pada benda-benda di luar diri. Ketika sesuatu datang, kita biarkan dan
terima. Jika tidak, juga bukan masalah. 3). Askese (tapas). Tapas berarti “berkilau,” “panas”
dan merujuk pada energi psikosomatis yang muncul sebagai hasil matiraga yang sering kali
dialami oleh seorang yogi. Tapas adalah elmen ketiga dari niyama yang melingkup latihan
sadar, semisal: berdiri atau duduk diam selama mungkin; menahan rasa lapar, haus serta
panas dan dingin; berdiam diri serta berpuasa. Dalam YS 3:46 dengan jelas dikatakan bahwa
melalui latihan akan diperoleh kesempurnaan tubuh, menjadi kebal terhadap unsur tertentu.
Kendati demikian pantas perhatikan bahwa ada beda antara askese dengan penyiksaan diri.
Penyiksaan diri atau askese yang dibuat semata-mata untuk pamer atau dipuji tidak akan
mendatangkan kekuataan dan kesempurnaan diri, sementara askese yang sungguh akan
melahirkan ketenangan, kedamaian dan kesempurnaan hidup. 4). Studi Teks Spiritual
(Svadhyâya). Istilah Svadhyâya diturunkan dari kata svâ yang berarti ‘sendiri’ dan adhyâya
yang berarti ‘masuk ke dalam.’ Sementara kata studi berarti upaya mencari makna yang
terletak dibalik teks kitan suci. Di sini yang menjadi tujuan svadhyâya ialah sebuah upaya
peresapan atau pembatinan kearifan kuno dalam diri. Jadi bukan sebuah pembelajaran
intelektual. Tegasnya, svadhyâya merupakan sebuah refleksi meditatif tentang kebenaran
yang dituntun dan telah diajarkan oleh para resi dan arif bijaksana yang bergerak dari pikiran
menuju ke hati. Pada titik ini yang berperan utama ialah hati manusia. Demikian, YS 2:44,
meringkaskan: “dengan mempelajari teks-teks spiritual, akan terjadi penyatuan dengan dewa-
dewi yang disembah.” 5). Penyerahan diri kepada Tuhan (Ishwara-pranidhâna). Yang
dimaksudkan di sini adalah serah diri yang total kepada Tuhan sebagaimana terungkap dalam
YS 2:45: “melalui penyerahan diri secara menyeluruh, samâdhi dicapai.” Pertanyaannya,
apakah Tuhan seperti yang dipahami dalam raja yoga itu sama dengan konsep Tuhan dalam
agama Yahudi dan Kristen? Sesungguhnya tidak sama. Tuhan (Ishwara) dalam raja yoga
dipahami sebagai salah satu dari Diri Transendental yang satu dan banyak (purusha).
Statusnya, seperti dijelaskan Patanjali, bercorak luar biasa di antara banyak diri karena fakta
bahwa ia tidak pernah tunduk pada ilusi yang meniadakan kemahatahuan dan
kemahahadiran-Nya. Secara intrinsik, semua diri adalah bebas, tetapi hanya Ishwara yang
selalu sadar akan kebenaran bahwa ia bebas. Jadi jelas berbeda dengan konsep Tuhan dalam
tradisi Yahudi dan Kristen. Tapi ia bukanlah juga semacam “kemutlakan universal”
sebagaimana menjadi doktrin dari Upanishad atau Buddhisme Mahayana. Ajaran Patanjali
lebih bersifat teistik. Karena bersumberkan pada tradisi Bhagawad-Gita yang bersifat teristik.
Di sana ditegaskan bahwa pikiran religius manusia secara alami, condong menyembah
Realitas yang luhur dan transenden. Pembaktian kepada Tuhan menyiratkan keterbukaan hati
manusia kepada yang Ilahi, yang transenden.
Uraian tentang yama dan niyama kiranya menghantar kita pada beberapa kesimpulan
berikut: pertama, yama dan niyama adalah sebuah upaya untuk mengontrol hawa nafsu dan
keinginan manusia. Tegasnya, memerangi keinginan dan hawa nafsu manusia yang jahat
sehingga mememinimalisir tindakan yang buruk dan jahat. Jadi, kedua, jelas terlihat bahwa
fungsi yama dan niyama ialah untuk menata kehidupan sosial serta kehidupan personal para
yogi. Ketiga, tujuan dari semua latihan yama dan niyama ialah meniadakan semua karma
yang merupakan penyebab subliminal yang hidup dalam jiwa manusia. Singkatnya, yama
dan niyama adalah tahapan awal dalam upaya panjang seorang yogi menciptakan lingkungan
atau kondisi hidup yang baik dan benar menuju pencerahan diri.

8. Jelaskan hubugnan antara konsentrasi, meditasi dan ekstasi atau Samadhi!


Kedelapan, ekstasi (samâdhi). Kalau konsentrasi adalah langkah awal menuju meditasi,
maka meditasi adalah pintu masuk bagi ekstasi. Dengan kata lain, esktasi hanya mungkin bila
ketenangan dan kedamaian pikiran sudah dicapai dalam meditasi. Itu berarti, konsentrasi,
meditasi dan samâdhi merupakan tiga tahapan yang saling berhubungan erat satu sama lain.
Lantas apa itu samâdhi? YS 3:3 memberikan batasannya demikian; “samâdhi adalah kondisi
meditasi yang sama, di mana hanya ada obyek saja, seolah tidak ada bentuknya.” Nampak
jelas kiranya bahwa samâdhi adalah sebuah situasi puncak yang diperoleh melalui proses
disiplin mental yang tidak gampang dan lama. Terkadang, samâdhi disalah-pahami sebagai
kondisi yang tidak sadar. Padahal yang terjadi dalam samâdhi adalah orang mengalami
penyatuan kesadaran, masuk dalam kejernihan mental, pikiran dan spiritual. Dalam konteks
ini, Patanjali lantas membagi samprajnita- samâdhi dalam empat bentuk: 1). Savitarka-
samâdhi, yakni jenis samâdhi di mana pikiran terarah pada suatu obyek tertentu, sehingga
memungkinkan seseorang bisa masuk ke kedalaman obyek tersebut, mengerti dan memahami
setiap bagian dari obyek itu. 2). Savicara- samâdhi ialah tahapan esktasi di mana pikiran
terfokus pada obyek yang halus atau lebih abstrak, seperti warna merah, cinta, kebaikan, dan
lain-lain. Karena ia abstrak obyek-obyek itu sering sulit dipahami, tetapi dengan samâdhi
pikiran manusia akan terbantu untuk mengerti obyek-obyek itu tanpa harus melihatnya secara
langsung. 3). Sananda- samâdhi yaitu bentuk samâdhi yang lebih smooth di mana tidak ada
lagi diskriminasi dan refleksi karena orang berkontemplasi hanya tentang pikiran yang
tenang dan damai. Pada tahap ini orang akan mengalami sebuah kebahagiaan yang
mendalam. 4). Sasmita- samâdhi. Pada tahap ini yang dialami dan dirasakan ialah kesadaran
akan individualitas. Jika seorang yogi telah mencapai tahapan samâdhi ini, maka ia tidak
terganggu lagi dengan hal-hal duniawi, kendati ia tinggal dan berada dalam dunia.

9. Sebutkan empat jenis Samadhi menurut Patanjali!


Dalam konteks ini, Patanjali lantas membagi samprajnita- samâdhi dalam empat bentuk:
1). Savitarka- samâdhi, yakni jenis samâdhi di mana pikiran terarah pada suatu obyek
tertentu, sehingga memungkinkan seseorang bisa masuk ke kedalaman obyek tersebut,
mengerti dan memahami setiap bagian dari obyek itu. 2). Savicara- samâdhi ialah tahapan
esktasi di mana pikiran terfokus pada obyek yang halus atau lebih abstrak, seperti warna
merah, cinta, kebaikan, dan lain-lain. Karena ia abstrak obyek-obyek itu sering sulit
dipahami, tetapi dengan samâdhi pikiran manusia akan terbantu untuk mengerti obyek-obyek
itu tanpa harus melihatnya secara langsung. 3). Sananda- samâdhi yaitu bentuk samâdhi
yang lebih smooth di mana tidak ada lagi diskriminasi dan refleksi karena orang
berkontemplasi hanya tentang pikiran yang tenang dan damai. Pada tahap ini orang akan
mengalami sebuah kebahagiaan yang mendalam. 4). Sasmita- samâdhi. Pada tahap ini yang
dialami dan dirasakan ialah kesadaran akan individualitas. Jika seorang yogi telah mencapai
tahapan samâdhi ini, maka ia tidak terganggu lagi dengan hal-hal duniawi, kendati ia tinggal
dan berada dalam dunia.

10. Jelaskan pengertian focus dan tujuan filsafat mimamsa!


Mimâmsa
Pendiri mimamsa adalah Sri Jaimini. Dari asal usul kata, Mimâmsa berarti ‘bertanya’
atau ‘menyelidiki.’ Seperti sudah dijelaskan di atas, mimâmsa menaruh perhatian terutama
pada ritual. Demikian, dalam mimâmsa dijelaskan tentang liturgi Weda secara detail dalam
900 judul terpisah, yang disebut adhikarama. Setiap judul mencakup lima bagian: topik
masalah (vishaya), keraguan (samasya), argumen awal mengangkat keraguan (purva-
paksha), argumen berlawanan yang mencoba membantah argumen awal (uttarapaksha), dan
konklusi (nirnaya).
Filsafat mimâmsa tidak mengenal eksistensi Tuhan, yakni seorang pribadi yang
mengganjar kebaikan manusia dengan hadiah dan membalas kejahatan manusia dengan
hukuman. Baginya, karmalah yang memberikan hukuman atau ganjaran atas apa yang ia
perbuat. Yang dianut mimâmsa adalah kepercayaan akan adanya sejumlah dewa-dewi
(politeistik) yang berdiam di surga (svarga).
Surga adalah tempat tujuan jiwa manusia jika telah mengalami pembebasan. Demikianlah
upacara ritual sebagai sarana atau syarat untuk masuk surga menempati posisi yang penting
dalam filsafat mimâmsa. Praktek ritual teristimewa meliputi pelbagai upacara kurban
(yajna). Upacara kurban ini dipersembahkan kepada dewa-dewa tertentu, yang dipercaya bila
menyenangkan hati dewa-dewa itu, akan menghadirkan kelimpahan rezeki dan berkat
jasmani dan rohani bagi pelakunya.
Dalam konteks inilah, mimâmsa menerima sepenuhnya kemultlakan Weda serentak
sebagai karya dari bahasa konvensional dan emanasi Realitas berbentuk sabda. Di sini
kidung-kidung dipandang sebagai rumusan sakral (mantra) yang mengandung makna dan
kekuatan pada dirinya yang menghadirkan kebenaran dan daya magis. Mantra-mantra itu
lazimnya dibacakan pada upacara kurban bersamaan dengan dilangsungkannya kurban
persembahan.
Seberapa efektif upacara amat tergantung seberapa benar dan seberapa lama mantra dan
ritual kurban dibaca dan dilaksanakan. Semakin berulang-ulang mantra dibacakan dan
semakin benar upacara ritual kurban dilaksanakan sehingga menyenangkan hati dewa, maka
semakin mengalir banyak berkat, keuntungan dan hikmat dianugerahkan dewa kepada
pelakunya. Di sinilah letak efektivitas dan kekuatan sebuah mantra dan upacara kurban.
Barangkali karena tekanan pada upacara kurban itulah, filsafat mimâmsa kurang kurang
fokus kepada kosmologi. Kendati demikian, oleh mimâmsa disebutkan unsur-unsur yang ada
dalam alam, yakni tanah, air, api, udara, eter dan suara (sabda). Keenam elemen itu saling
berkaitan satu sama lain, karena setiap elemen disebabkan oleh unsur sebelumnya. Tanah
disebabkan oleh air, air oleh api, dan seterusnya.
Tujuan filsafat mimâmsa adalah meraih kebahagiaan surgawi dengan cara melaksanakan
Sabda Brahman. Demikian, upacara kurban sekali lagi mendapatkan tempat yang istimewa
karena dipandang sebagai sarana tepat untuk merealisasikan tujuan tersebut. Namun,
mengingat keberhasilan upacara kurban mensyaratkan ‘kemurnian dan kesucian’ diri
pelakunya, maka pengendalian indera dan pikiran yang diperoleh melalui pengendalian
energi hidup (prana) dan pengendalian nafas (prânâyâma), merupakan syarat yang harus
dipenuhi seorang pelaku upacara kurban. Syarat lain ialah melepaskan milik pribadi dan
disiplin diri (yama) yang ketat dan keras.
Jika semua itu bisa diusahakan dan dicapai, maka pertumbuhan spiritual diyakini akan
dicapai oleh manusia. Setelah pertumbuhan spiritual orang akan masuk dalam fase atau
tahapan vedânta, yakni realisasi Realitas Akhir (paran Brahman). Itu berarti mimâmsa
adalah persiapan menuju vedânta.

11. Jelaskan latar belakang dan konsep ahimsa menurut Gandhi!


Mohandas Gandhi (1872-1950)
Filsafat Gandhi merupakan satu bentuk restorasi terhadap visi tradisional tentang dharma
atau tata tertib moral. Namun dipengaruhi oleh Kekristenan dan pemikiran Barat. Juga oleh
partisipasinya dalam peristiwa-peristiwa politik saat di Afrika Selatan dan India.
Bagi Gandhi tata tertib moral alam semesta merupakan satu bagian dari kebenaran abadi
yang dapat ditemukan melalui keterlibatan dalam proses eksistensi setiap hari. Gagasan
filosofisnya terutama bersumber pada dua prinsip dasar yang melingkupi dan menguasai
lingkungan hidupnya semenjak ia kanak-kanak, yakni: Satya (kebenaran) dan ahimsa (tidak
melukai). Satya mencerminkan satu kebijaksanaan yang sudah diajarkan dalam Rig Veda
sejak 3000 tahun lalu, di mana berfungsinya eksistensi secara normatif (rita) dianggap
sebagai kebenarannya. Sementara ahimsa sebagai keutamaan tertinggi dipandang sebagai
prinsip yang mampu mempersatukan kebijaksanaan moral yang sudah membentuk tradisi
India sejak ribuan tahun silam. Pemahaman Gandhi akan konsep ahimsa terutama
dipengaruhi oleh komunitas Jain yang terkenal ketat dalam menghidupi dan mempraktekkan
ahimsa dalam keseharian mereka.
Dalam otobiografinya, Gandhi mengisahkan bahwa ada dua buku yang sangat
berpengaruh besar dalam mengubah jalan hidupnya, yakni The Kingdom of God is Within
You karya Leo Tolstoy dan Unto This Last buah tangan Ruskin. Melalui Tolstoy kotbah
Yesus di bukit tentang delapan Sabda Bahagia dihadirkan kembali dengan menarik sehingga
menyentuh kedalaman jiwa Gandhi. Serentak menyadarkan dia kembali akan pentingnya
ahimsa yang sudah beribu-ribu tahun mengilhami kehidupan etis India, yaitu membalas
kebencian dengan cinta dan menaklukkan kejahatan dengan sikap tanpa kekerasan.
Sementara buku Ruskin seakan menghadirkan kembali kepadanya ajaran Gita tentang
pelayanan sebagai tujuan tertinggi dalam hidup. Karya itu, tulis Gandhi, menolong dia untuk
melihat dan menyadari bahwa pemenuhan hidup baik personal pun komunal/kemasyarakatan
harus diperoleh melalui keputusan bebas seseorang. Di sinilah terletak juga suatu ikatan
kodrati antara kelas orang terpelajar dan kelas petani, satu ikatan yang perlu dibangun untuk
mempersatukan India dalam upayanya mencapai kemerdekaan.
Konsep “keampuhan kebenaran” (satyagraha) sebagai medium yang aktif tapi tanpa
kekerasan untuk menentang kolonialisme Inggris dilandaskan terutama pada keyakinannya
bahwa kejahatan apapun bisa dikalahkan dengan cinta jika orang tekun bertahan pada
kebenaran. Kendati pilihan untuk bertekun pada kebenaran dan menerapkan cinta di atas
ketidakadilan, seperti dialami Gandhi, tidaklah mudah untuk dilaksanakan.
Namun yakin berapapun sulit, kita manusia bisa mampu mengatasinya. Dasarnya ialah
karena kita bersama dengan semua makhluk lainnya dilingkupi oleh kebenaran dan bergerak
menurut kuasa kebenaran itu. Hal ini, menurut Gandhi, tersirat dalam ayar pertama Isha
Upanishad yang berbunyi: “Segala hal, apapun yang bergerak dan berubah dalam dunia yang
berubah ini diselimuti oleh Tuhan.” Bagi Gandhi, inilah dasar prinsip satyagraha. Karena di
atas kebenaran yang terungkap dalam hukum ilahi yang dimilik eksistensi itulah tindakan dan
tujuan hidup seseorang dan tujuan segala makhluk lainnya.
Hanya saja acapkali perjuangan menegakkan kebenaran itu digagalkan oleh
ketidaktahuan dan kegelapan. Karena itu, amatlah dibutuhkna purifikasi diri, pengorbanan
diri dan refleksi kritis untuk merealisasikan kebenaran batin itu.
Baginya, kebenaran adalah Allah yang berdiam dalam diri semua makhluk ciptaan, dan
cinta adalah kekuatan jiwa yang menggerakan segala makhluk. Kata yang dipakai Gandhi
untuk cinta ialah ahimsa. Secara harafiah ahimsa berarti tidak melukai. Namun oleh Gandhi
kata ini dipakai dalam pengertian yang lebih luas, yakni cinta yang murni dan sempurna,
sebuah cinta yang memanifestasikan diri dalam bentuk kebaikan hati, belas kasih dan
pelayanan tanpa pamrih kepada orang lain.
Pemahaman ini kiranya menggarisbawahi kemuakan Gandhi akan kekerasan. Karena
baginya kekerasan merupakan satu bentuk ungkapan ketakutan dan kemarahan yang lahir
dari kelemahan manusiawi yang malah akan memproduksi lebih banyak kekerasan.
Sebaliknya cinta dan kebenaran yang diekspresikan dalam bentuk aksi tanpa kekerasan untuk
menentang perbuatan jahat akan berhulu pada keberhasilan.

12. Jelaskan paham Sri Audrobindo Ghose tentang evolusi realitas!


Evolusi realitas. Menurut Aurobindo, adalah Roh yang menyatukan realitas dan kuasa
Roh jugalah yang memberi keanekaragaman alam semesta. Tahapan-tahapan eksistensi yang
beragam – materi, hidup, kehidupan mental dan kehidupan supramental- dikenal baik sejauh
Roh mewujudkan dirinya.
Pertanyaannya, mengapa realitas yang muncul secara bersamaan dari prinsip atau sumber
yang sama dalam manifestasinya berbeda? Aurobindo menjawab dengan menegaskan bahwa
eksistensi multak yang menjadi sumber bagi segala sesuatu yang ada (Brahman) itu pada
hakikatnya bersifat murni, lengkap dan sempurna. Alam semesta adalah permainan kreatif
dari Brahman. Itu tidak berarti alam semesta terbentuk secara tidak teratur. Mengapa?
Jawabannya ialah karena ia diarahkan atau dikendalikan oleh Roh. Demikian evolusi alam
semesta sebagai satu totalitas dan evolusi setiap species dalam alam dipandang sebagai
proses kekuatan-kekuatan yang terejawantah dari Brahman untuk kemudian kembali kepada
sumbernya. Sebagaimana kekuatan-kekuatan ini bergerak menuju sumbernya, demikian
evolusi bergerak menuju bentuk-bentuk kehidupan dan kesadaran yang makin lama makin
tinggi.
Artinya, perbedaan-perbedaan antara tahapan-tahapan realitas hanya ada karena evolusi
Roh. Ketika Roh berevolusi, maka terciptalah bentuk-bentuk kehidupan lebih tinggi. Tetapi
ini bukanlah evolusi dari sesuatu hal menuju hal lain, misalnya dari materi ke roh. Sebaliknya
hal ini merupakan evolusi satu hal, yakni Roh dari beragam bentuk dan perwujudannya yang
lebih rendah menuju bentuk-bentuknya yang lebih tinggi dengan tujuan untuk mencapai
kepenuhan realitas.
Itu berarti, hemat Aurobindo, kendati berproses dari bentuk yang lebih rendah menuju
bentuk yang lebih tinggi, namun mereka tetaplah sama. Bentuk yang lebih tinggi membuat
dirinya terasa dalam bentuk yang lebih rendah, dan bentuk yang lebih rendah berjuang untuk
mengekspresikan dirinya menurut hukum-hukum yang lebih tinggi dari Roh di dalamnya.
Proses timbal-balik ini mengkonstitusikan permainan Brahman, permainan Brahman yang
menampakkan dirinya via kekuatan-kekuatannya, namun tetap tinggal sebagai Brahman.
Proses timbal-balik ini, menurut Aurobindo, membawa dampak positif bagi manusia, karena
tidak hanya memungkinkan ada berevolusi menuju realitas ‘ada’ yang lebih tinggi, tetapi
juga membuka peluang bagi manusia untuk memberi arah bagi evolusi ini. Karena tujuan
pengalaman manusia ialah bukan untuk tinggal dalam tahapannya yang sekarang, namun
untuk bergerak melampaui dirinya menuju eksistensi yang lebih tinggi, sama seperti
eksistensi yang lebih rendah sebelumnya bergerak telah bergerak menuju eksistensi manusia
yang sekarang ini. Proses ini, menurut Aurobindo adalah mungkin karena:
“Evolusi berawal pada masa lampau, pada setiap keadaan kritis, melalui meledaknya satu
kekuatan tersembunyi dari evolusinya dalam bentuk hidup yang tidak sadar, tetapi juga
melalui proses turunnya dari tingkat atas, yaitu dari tingkat hidupnya sendiri, tingkat yang
berasal dari kekuatannya sendiri, kekuatan yang sudah terwujud sendiri dalam wilayah
kodratnya sendiri yang lebih tinggi.”
Pertanyaannya kini, bagaimana mausia sendiri mengorientasikan evolusinya sendiri?
Menurut Aurobindo, manusia bisa mengarahkan evolusinya dengan cara mempraktekkan
disiplin diri (yoga) yang bersifat inklusif tanpa mengabaikan salah satu bagian dari
eksistensinya. Manusia harus memadukan semua aspek dan kemampuan yang lebih rendah
supaya berada dibawah kontrol dan arahan dari yang lebih tinggi dengan membiarkannya
secara perlahan memasuki hakikat terdalam dari ada dalam diri kita. Hal ini mensyaratkan
antara lain kondisi material dan sosial yang bisa memampukan manusia pada tingkat
sekarang untuk mencapai jenjang jenjang yang lebih tinggi, sambil berusaha mengangkat
eksistensi mereka menjadi life divine (hidup sebagai yang ilahi).
Filsafat sosial. Tentang filsafat sosial, Aurobindo berpendapat bahwa keadilan dan
kebebasan harus diberi dan dijamin oleh masyarakat sebagai syarat yang dibutuhkan untuk
evolusi yang lebih tinggi dari kemanusiaan kita. Karena itu, menurutnya tujuan masyarakat
adalah:
Pertama untuk menciptakan kondisi-kondisi kehiduap dan pertumbuhan. dengan kondisi dan
pertumbuhan ini manusia individual – bukan manusia yang terisolir menurut kapasitas
mereka – dan ras manusia boleh berziarah menuju kesempurnaan ilahi. Kedua, sebagaimana
manusia pada umumnya makin lama makin bertumbuh mendekati salah satu figurnya –
karena lingkaran-lingkaran hidup adalah banyak dan setiap lingkaran hidup memiliki
figurnya sendiri akan Yang Ilahi dalam manusia – harus manusia pancarkan dalam kehidupan
biasa cahaya, kekuatan, keindahan, harmoni, dan kebahagiaan Self yang sudah dicapai dan
yang memancar keluar menuju satu kemanusiaan yang lebih bebas dan mulia.

Anda mungkin juga menyukai