Anda di halaman 1dari 15

Pengertian

Kita pasti pernah bertanya bagaimana sih pengetahuan yang benar itu? Mengapa Pengetahuan
bisa dianggap benar sehingga dapat diambil sebagai ilmu? Dalam artikel ini akan kita bahas
bagaimana cara kita menemukan pengetahuan yang benar.

Pengetahuan adalah informasi yang diketahui atau didapat seseorang. Dalam pengertian lain,
pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan
akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda
atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika
seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang
bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.

Sedangkan pengertian kebenaran menurut KBBI adalah keadaan (hal dan sebagainya) yang
cocok dengan keadaan (hal) yang sesungguhnya. Kebenaran adalah kesesuaian antara suatu hal
dengan keadaan sebenarnya. Jadi kebenaran pengetahuan adalah kesesuaian antara pengetahuan
dengan fakta yang ada sehingga biasanya dapat diterima oleh akal manusia.
Adapun cabang ilmu filsasfat yang mempelajari tentang pengetahuan adalah Epistemologi.
Epistemologi merupakan ilmu yang secara khusus membahas dan mempelajari tentang
pengetahuan, dimana dengan adanya epistemologi kita dapat mengetahui tentang arah dan kodrat
pengetahuan.

Kata Epistemologi merupakan gabungan dua kata bahasa Yunani yaitu Episteme yang berarti
pengetahuan dan logos yang berarti perkataan, pikiran, atau ilmu. Kata Episteme sendiri dalam
bahasa Yunani berasal dari kata kerja Epistemai yang artinya meletakkan, mendudukkan atau
menempatkan. 

Jadi, secara Etimologi, Epistemologi berarti pengetahuan sebagai usaha untuk menempatkan
sesuatu dalam kedudukan sebnarnya Secara garis besar epistemologi merupakan problem abadi
dalam ilmu pengetahuan. 

Problem ini terkait dengan pengetahuan dunia luar dan prolem yang terkait dengan pikiran yang
lain. Kita tahu problem yang terkait dengan dunia luar disebabkan dengan munculnya
keterbatasan kemampuan panca indra manusia dalam memperoleh objek-objek yang ada di alam
sekitarnya.
Ruang lingkup dari kajian Epistemologi adalah sumber, asal mula, dan sifat dasar dan validitas
pengetahuan. Oleh sebab itu, Epistemologi juga disebut dengan theory of knowledge atau teori
pengetahuan. 

Beberapa Ilmuan mencoba mendefinisikan Epistemologi diantaranya adalah P. Hardono Hadi.


Menurutnya, epistemologi adalah Cabang Filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan
kodrat dan cakupan pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggung-
jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. 

Epistemologi merupakan cara untuk mendapatkan pengetahuan. Ketika kita ingin mengetahi
sesuatu, kita akan mencari cara bagaimana kita bisa mengetahui tentang apa yang ingin kita
ketahui. Itulah yang merupakan hakikat epistemologi. Ada beberapa aliran Epistemologi,
diantaranya: Empirisme, Rasionalisme, Positivisme, Intuisionisme, Kritisme, Idealisme.

Pengetahuan yang benar menurut Epistemologi

Dalam mendapatkan pengetahuan yang benar menurut Epistemologi, kita dapat menggunakan
Metode Ilmiah dengan menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif dalam membangun
pengetahuan. Melakukan pendekatan secara rasional dan digabungkan dengan pengalaman
empiris manusia. Adapun tahapan dalam kegiatan ilmiah yaitu: 1. Perumusan Masalah; 2.
Penyusunan Kerangka Berpikir; 3. Perumusan Hipotesis; 4. Pengujian Hipotesis; 5. Penarikan
Kesimpulan; 6. Struktur Pengetahuan Ilmiah.

Ukuran kebenaran pengetahuan

Jika ada seseorang yang mempermasalahkan dan ingin membuktikan apakah penetahuan itu
bernilai benar, seseorang harus menganalisa terlebih dahulu cara, sikap, dan sarana yang
digunakan untuk membangun suatu pengetahuan. Ada beberapa teori yang yang menjelaskan
tentang kebenaran, yaitu:

The Correspondence Theory of Truth yaitu kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian
antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau
faktanya.
The Consistence Theory of Truth yaitu kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan
dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau realitas. Tetapi atas hubungan antara putusan-putusan
itu sendiri. Dengan kata lain bahwa kebenaran ditegaskan atas hubungan antara yang baru itu
dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kita akui kebenarannya.
The Pragmatic Theory of Truth yaitu bahwa benar atau tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori
semata-mata bergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut dalam bagi
manusia untuk bertindak dalam kehidupannya.

Referensi :
Epistimologi: Cara Mendapatkan Pengetahuan yang Benar Halaman 1 -
Kompasiana.com

Sarana Pencapaian Metafisika


Metafisika adalah cabang filsafat yang hendak menyelidiki kenyataan dari sudut yang paling
mendasar, paling mendalam, sekaligus paling menyeluruh. Oleh karena itu, metafisika sering
disebut sebagai filsafat dasariah atau yang seperti dikatakan oleh Aristoteles sebagai filsafat
pertama.[9] Dalam hal tersebut Aristoteles sendiri tidak memakai istilah metafisik,
melainkan proto philosophia ( filsafat pertama ). Filsafaat pertama ini memuat uraian tentang
sesuatu yang ada di belakang gejala – gejala fisik seperti bergerak, berubah, hidup, dan mati.
Aristoteles menyebut beberapa istilah yang maknanya dapat dikatakan setara dengan metafisika.
Yaitu filsafat pertama ( first philosophy ), pengetahuan tentang sebab ( knowledge of cause ),
studi tentang ada sebagai ada ( The Study of Being as Being ), studi tentang ousia ( Being ), studi
tentang hal – hal abadi dan yang tidak dapat digerakan ( the studi of the eternal and immoveble ),
dan Teologi.[10] Aristoteles menggunakan istilah – istilah ini sebenarnya dalam konteks
kritiknya terhadap cara berfilsafat para filsuf Yunani kuno sebelum dia. Bagi Aristoteles, para
filsuf sebelumnya memang berfilsafat, tetapi belum sampai pada titik yang paling mendalam,
artinya argumen – argumen yang mereka ajukan masihlah sederhana dan belumlah memuaskan,
karna itulah, Aristoteles menyebut filsafat sebelumnya sebagai filsafat yang kedua.
Kemudian ia mencoba merumuskan suatu bentuk filsafat yang mencoba menggali semua aspek
realitas dan sudutnya yang paling mendalam mulai dari tentang alam, tentang Tuhan, tentang
jiwa, dan tentang badan. Ia pun kemudian menggunakan cara berfilsafat seperti itu sebagai
filsafat pertama, atau metafisika. Dalam konteks ini, ia mau menyelidiki tidak saja obyek –
obyek yang dapat di tangkap oleh panca indera, tetapi juga obyek – obyek yang hakekatnya
melampaui panca indera tersebut seperti, Tuhan.[11] Aristoteles tidak memberikan bagi sains ini.
Karya – karyanya dikumpulkan dalam sebuah ensiklopedia setelah dia meninggal. Bagian yang
tengah dipersoalkan ini ditempatkan setelah bagian mengenai filsafat alam dan, karena tidak
mempunyai nama khusus, kemudian dikenal dengan metafisika.[12] Dalam hal ini, Metafisika
itulah salah satu tema filsafat yang diajarkan oleh Aristoteles kepada murid – muridnya. Ia
membagi dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan teoritis (theoretical knowledge) dan
pengetahuan praktis  (practical knowledge ). Pengetahuan teoritis mencangkup matematika,
fisika, dan apa yang disebutnya sebagai filsafat pertama ( first philosophy ). Nah, filsafat pertama
inilah yang nantinya disebut sebagai metafisika, terutama karena tempatnya berada setelah fisika,
dan dianggap melampaui fisika. Nama metafisika pun akhirnya menjadi salah satu tema penting
di dalam pemikiran Aristoteles.[13] Dalam perkembangan setelah Aristoteles Istilah Metafisika
diketemukan oleh Andronicus pada tahun 70 SM ketika menghimpun karya – karya
Aristoteles [14], dan  merupakan judul yang diberikan Andronikus dan Rhodes terhadap empat
belas buku karya Aristoteles, yang di tempatkan sesudah fisika yang terdiri dari delapan buku.
[15]

B.     Metodologi Metafisika

Salah jatu jalan untuk mengurai lintas realitas metafisika dibutuhkan metode, salah satu metode
metafisik adalah metode intuisi. Intuisi adalah suatu pengalaman singkat (Immediate
experience) tentang yang nyata. Realitas yang sebenarnya masuk melalui diri kita dalam
pengalaman ini. pengalaman singkat ini bentuknya menyerupai persepsi. Realitas Mutlak, dalam
pengalaman melalui intuisi, dapat dipahami secara langsung. Tuhan dipahami sebagaimana
memahami obyek – obyek lainnya. Disini pengetahuan adalah langsung. Jadi, intuisi berbeda
dengan pikiran. Pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran selalu berjangka dan tidak langsung.
dengan pikiran tidak ada persepsi langsung terhadap objek.
Intuisi adalah milik khas hati. Ia bukan milik akal atau intelek. Akal atau intelek hanya
menjangkau dunia fenomena, yakni, aspek realitas yang tampak dalam persepsi indrawi. Hati
membawa kita berhubungan dengan aspek realias, bukan membuka persepsi indrawi. Lebih jauh,
pikiran selalu “bergerak mengitari obyek – obyek. Fungsinya adalah untuk memahami realitas
dengan kategori – kategori.
Intuisi adalah keseluruhan yang tak teranalisa. Di dalam intuisi itu adalah keseluruhan realitas
yang berada dalam satu kesatuan yang tak terbagi. Bahkan pelaku pengalaman itu sendiri “
tenggelam “ dalam kesatuan. Dalam pengalaman ini tak ada kemungkinan perbedaan jarak antara
diri dengan bukan-diri. Kaum mistis menjadi lupa akan dirinya, dia kehilangan dirinya , dia tidak
eksis lagi, dia tak lain objek dari dirinya sendiri. Realitas masuk ke dalam dirinya sebagai
keseluruhan yang tunggal, yang tak dapat dibai dan dianalisa.[16]

C.    Parameter dan Kebenaran Metafisika

Metafisika berusaha memfokuskan diri pada prinsip dasar yang terletak pada berbagai
pertanyaan atau yang diasumsikan melalui berbagai pendekatan intelektual. Setiap prinsip
dinamakan “pertama“, sebab prinsip – prinsip itu tidak dapat dirumuskan ke dalam istilah lain
atau melalui hal lain yang mendahuluinya.[17] dalam kajian pengetahuan ilmu diperlukan suatu
kebenaran yang hakiki. Masalah kebenaaran (truth) memang merupakan puncak kajian
epistemologi yang bermuara pada metafisika.[18] Esensi “ kebenaran “ telah dirumuskan dengan
beberapa terma, seperti aletheia ( yunani ), veritas ( latin ), dan truth ( inggris ). Secara
etimologis, alatheia berarti “ luput dari perhatian, tidak kelihatan dan tersembunyi “. Kemudian,
ia berubah menjadi berarti positif, yaitu sesuatu yang ditemukan, dipahami, terlihat dan
berkilauan. Dari sini, ia berarti “ daya terang atau evidensi realitas “, dan “ penemuan akal
terhadap evidensi tersebut “. Kata veritas secara etimologis berarti “ pilihan atau kepercayaan
akal “, atau “ sesuatu yang dipilih atau dipercayai akal “. Dalam konteks  linguistik
ini truth berarti “ apa yang dipahami dan dipilih akal “, atau “ kegiatan yang menyebabkan akal
berhasil menemukan dan memilih.[19]
Untuk menemukan kebenaran metafisik, kita perlu mengetahui hal – hal yang diperbincangkan
oleh metafisik, dimana hal – hal tersebut dapat kita jadikan sebagai parameter dalam memahami
metafisik. Adapun yang dibicarakan dalam metafisik adalah tentang hal – hal berikut :
1.      Tuhan, Pembahasan ini tidak berbeda dengan kajian theologi. Pada konteks ini Tuhan harus
diposisikan murni, atau ghaib al – mutlak dan puncak serta sumber segala realitas metafisik dan
fisik. Karena berbicara metafisika harus sampai kepada pembahasan tentang Tuhan. Dalam
konteks Islam, ini adalah pembahasan paling pokok, sehingga barang siapa yang memiliki ilmu
metafiska yang kuat , maka keimanan seseorang akan menjadi kokoh.
2.      Makhluk – makhluk Tuhan yang tidak nampak ( malaikat, jin, syetan ). Bila selama ini
banyak yang menganggap dunia metafiska hanya berkaitan dengan alam arwah gentayangan dan
hantu, maka harus ditambahkan untuk sampai pada pembahasan tentang malaikat dan jin serta
syetan sebagai makhluk yang berada di bawah kendali Yang Maha Metafisik ( Allah ).
3.      Manusia, berkenaan dengan materi manusia, unsur – unsur dan potensi  manusia yang
meliputi : akal, jiwa/ruh, hati, orbit, kesadaran, cipta, dan angan – angannya serta prilakunya.
4.      Alam, yang meliputi alam ghaib, mulai alam mimpi, kubur, masyar, mizan, sampai surga
dan neraka. Berkenaan dengan alam materi yang menjadi bahan kajian adalah masalah orbitnya
dan kekuatan atau energy yang dikandungnya.
5.      Konsep – konsep pemikiran atau ide filosofis seperti masalah kebahagiaan, keadilan,
kesetaraan, kebaikan, kejahatan, dan sebagainya.[20]

Didalam QS. Al Isro Ayat 70 menerangkan bahwa :

  
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan
di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

Tujuan sang maha Pencipta/ Allah SWT dalam menciptakan makhlukNya sebagai manusia
paripurna/sempurna yaitu KHALIFAH dibumi,yang berarti memiliki kompetensi yang sanggup
mengemban misi Allah dibumi, bagi kepentingan kehidupan pribadinya, umat lainnya, makhluk
makhluk lain dengan segala isi bumi ini yang harus diembannya,termasuk pemeliharaan,
pengembangannya,perlindungannya dan pemanfaatan secara berkseimbangan dan harmonis.
Mengingat sifat misi yang multi komplek dan multi dimensi inilah, maka manusia
diciptakanseseempurna makhluk ( manusi paripurna) yang harus memililki kompetensi sempurna
pula di bidang fisika dalam kehidupan duniawidan metafisika dalam kehidupan dunia dan
uchrawi, sehingga pengabdian serta ibadahnya terhadap Allah Swtdapat dipenuhi dengan baik.
Ibadah yang baik kehadirat Allah haruslah baik pula IMTAG nya/aqidah dan kaedahnya
(Hablumminallah) Pengabdian /Ubudiahnya kehadirat Allah SWT. Yang tertuju melalui
kehidupan sosial kemanusiaan, serta pemeliharaan bumi serta isinya pada lingkup kehidupannya
membutuhkan profesional yang baik pula dengan penguasaan IPTEK yang baik dan modern.
Keseimbangan IMTAG dan IPTEK harus harmonis. Oleh karenanya masalah metafisika
tidak  mungkin lepas/lekang dari diri seorang insan bahkan kehidupan manusia itu secara kodrati
dan fitrah didomenasi oleh unsur METAFISIKA sebagai konsistensi serta eksistansi mengaku
turunan anak cucu Adam AS/ Manusia Paripurna. Dengan kemajuan yang menabjubkan di
bidang IPTEK di era super modern ini dalam memenuhi kebutuhan serta kesejahteraan umat
manusia di dunia cendrung terjadi ketidak seimbangan dengan kemajuan IMTAG terutama dari
segi meaning serta nilai-nilai/value secara hakiki, dimana metode dan system dalam kajian
IMTAG cenderung masih bersifat tradisional. Apabila ketidakseimbangan berlangsung terus,
maka ada kemungkinan agama yang di anut akan di tinggalkan oleh umat itu sendiri,terutama
makna serta nilai-nilai hakikinya. Hal ini berarti manusia paripurna akan tererosi kodrat serta
fitrahnya dan menjurus kepada sekuler dan dapat menjurus secara hakiki dari manusia
paripurna/sempurna menjadi makhluk yang berderajat lebih rendah dari hewan, dunia bisa
kiamat. Prof. Kadirun Yahya : 1975 mengemukakan : 
“ yang merubah peradapan manusia di bumi ini adalah teknokrat “ Memperhatikan ucapan beliau
di atas, umat manusia khususnya para tekmokrat berkewajiban mempertahankan keparipurnaan
manusia dibumi ini dengan berusaha mempertahankan kodrat serta fitrah sebagai makhluk
monodualis/bumi-langit, melalui keseimbangan kemajuan IPTEK serta IMTAG.[21]

D.    Klasifikasi Metafisika
Metafisika adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Kant berpendapat, kalau
difinisi tradisional metafisika yakni sebagai ilmu yang menyelidiki tentang “ yang- ada sebagai
yang- ada “.[22] Dalam hal ini metafisika membicarakan sesuatu di sebalik yang tampak.
Dengan belajar metafisika orang justru akan mengenal akan Tuhannya, dan mengetahui berbagai
macam aliran yang ada dalam metafisika. Persoalan – persoalan metafisis menjadi tiga, yaitu
persoalan ontology, persoalan kosmologi, dan persolalan antropologi.[23] Cristian Wolf ( 1679-
1754M ) membagikan metafisika menjadi dua bagian, yaitu metafisika umum dan metafisika
khusus. Dimana metafisika umum adalah yang dapat diserap oleh indrawi, sedang metafisika
khusus adalah yang tidak dapat diserap oleh indrawi.[24]
1.      Metafisika Umum ( General )
Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. Term ontologi pertama kali
diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M.[25] Ontologi terdiri dari dua suku
kata, yakni ontos dan Logos. Ontos berarti sesuatu yang terwujud dan logos berarti ilmu.  dengan
kata lain ontologi membahas tentang wujud ( ada ). Menyoal tentang wujud hakiki objek ilmu
dan keilmuan adalah dunia empirik, dunia yang dapat di jangkau pancaindra. Jadi objek ilmu
adalah pengalaman indrawi. Dengan maksud, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
hakikat oleh logika semata.[26]

Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato     ( 428-348 SM ) dengan teori
ideanya. Menurut Plato tiap – tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada ideanya. Idea yang
dimaksud  oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari setiap sesuatu. Plato
mencotohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal yang
berlaku untuk tiap – tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam,
putih, ataupun belang, baik yang hidup ataupun yang sudah mati, Idea kuda itu adalah paham,
gambaran, atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang berada di benua mana
pun di dunia ini.
Argumen ontologi kedua dimajukan oleh St. Augustine (354–430M). Menurut Augustine,
manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam alam ini ada kebenaran. Namun,
akal manusia terkadang merasa bahwa ia mengetahuinya itu adalah suatu kebenaran,
Menurutnya, akal manusia mengetahui bahwa di atasnya masih ada suatu kebenaran tetap
( kebenaran yang tidak berubah – ubah, dan itulah yang menjadi sumber dan cahaya bagi akal
dalam usahanya mengetahui ynag benar. Kebenaran tetap dan kekal itulah kebenaran ynag
mutlak. Kebenaran inilah oleh Augustine disebut Tuhan.[27]
2.      Metafisika Khusus ( Spesifik )
Terdiri dari : Kosmologi, teologi metafisik, dan filsafat antropologi. Kosmologi dari Bahasa
Yunani cosmos ( rapih, tertib, dunia ) lawan dari chaos ( kacau balau atau tidak tertib ).
Kosmologi dimaksudkan sebagai penyelidikan filosofis tentang  dunia atau alam dan ketertiban
yang paling fundamental dari seluruh realitas. Hal yang disoroti dalam kosmologi antara lain
adalah persoalan ruang dan waktu, perubahan, kemungkinan – kemungkinan dan keabadian.
Teologi Metafisik mempersoalkan eksistensi Tuhan dan terlepas dari kepercayaan agama.
Eksistensi Tuhan hendak dipahami secara rasional. Filsafat antropologi merupakan bagian
metafisika khusus yang mempersoalkan apakah manusia itu ? Apakah hakikat manusia ? Filsafat
antropologis mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan – pertanyaan metafisik tentang
realitas manusia sebagaimana adanya.[28]
                       
E.     Peran Metafisika Dalam Ilmu Pengetahuan

1.      Metafisika mengajarkan cara berfikir yang cermat dan tidak kenal lelah dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Sebab seorang metafisikus selalu mengembangkan pikirannya
untuk menjawab persoalan – persoalan yang bersifat enigmatik ( teka – teki ).
2.      Metafisika menuntut orisinalitas berfikir yang sangat diperlukan bagi ilmu pengetahuan.
Artinya, seorang metafisikus senantiasa berupaya menemukan hal – hal yang baru yang belum
pernah diungkap sebelumnya. Sikap semacam ini menuntut kreativitas dan rasa ingin tahu yang
besar terhadap suatu permasalaha. Pematangan sikap semacam ini akan mendidik seorang untuk
selalu berkiprah pada lingkup penemuan ( contest of discovery ), bukan lingkup pembenaran
semata.
3.      Metafisika memberikan bahan pertimbangan yang matang bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, terutama pada wilayah praanggapan – praanggapan, sehingga persoalan yang
diajukan memiliki landasan berpijak yang kuat.
4.      Metafisika juga membuka peluang bagi terjadinya perbedaan visi di dalam melihat realitas,
karena tidak ada kebenaran yang benar – benar absolute. Hal ini akan menjadikan visi ilmu
pengetahuan berkembang menurut ramifikasi ( percabangan ) yang sangat kaya dan beraneka
ragam, sebagaimana yang terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini.[29]

Referensi :

[9]   Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains, Grasindo, Jakarta, hlm. 32


[10]  Drs. Rizal Mustansyir M.Hum dan Drs. Misnal Munir, M.Hum, Filsafat Ilmu, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 11
[11] Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains, op.cit. hlm. 32
[12]  Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah Pengantar Pemikiran Shadra, Penerbit Mizan,
Bandung, 2002, hlm. 51
[13]  Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains, op.cit.. hlm. 34
[14]  Muhammad Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, Mizan , Bandung IKAPI, 2003, hlm.
32
[15]  Op.cit. “ Menuju Pemikiran Filsafat “, hlm. 86
[16]  Dr. Israt Hasan Enver, Metafika Iqbal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004. hlm. 23-28.
[17]  Drs. Rizal Mustansyir M.Hum dan Drs. Misnal Munir, M.Hum, Filsafat Ilmu, hlm. 12
[18]  op.cit. “Filsafat Ilmu Al Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi “,hlm. 289.
[19]  ibid. Filsafat Ilmu Al Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi,  hlm. 290.
[20]  Dr. H. Imam Khanafie Al Jauhari, M.Ag, Filsafat Islam Pendekatan Tematik, STAIN
Pekalongan Press, Pekalongan, 2006, hlm. 135
[21]  U.N. Lukman Hakim, Metafisika Dalam Perspektif  Manusia Paripurna,  Jurnal Ilmiah
Abdi Ilmu, Vol. 4  No.1,  Juni 2011, hlm. 491 – 492.
MANUSIA PARIPURNASebagai contoh hasil dari pemikiran  epistemologi yaitu pendapat isaac
newton mengenai penyebab mengapa buah apel bisa jatuh kebawah dari atas pohon yang
akhirnya menimbulkan pertanyaan dan pemikiran. Pada akhirnya munculah Teori Hukum
Newton dalam ilmu sains dan teori yang berawal dari apel jatuh dari pohon tersebutlah yang bisa
kita pelajari sampai saat ini bahkan telah membantu dunia pengetahuan khusunya didunia Sains.

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Epistemologi Fungsi dan Objek Ilmu
Pengetahuan", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/siti90731/5bfb3815ab12ae64336dd273/epistemologi-fungsi-dan-
objek-ilmu-pengetahuan

Kreator: Siti NingSetyowati

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak
mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com


[22]  Drs. Joko Siswanto, M.Hum, ,Sistem – Sistem Metafisika Barat , Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1998, h. 1.
[23]  Drs. Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta,
hlm. 23.
[24]  Surajoyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2008, hlm. 118.
[25]  Prof.Dr. Amsal Bakhtiar, MA, Filsafat Ilmu , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 134
[26]  Drs. H. Mohammad Adib, MA., Filsafat Ilmu Ontologi, Epistomologi, Aksiologi, dan
Logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 69.
[27]  Drs. H. Mohammad Adib, MA.Ibid. hlm. 70-71.
[28]  Op.Cit. “ Menuju Pemikiran Filsafat “, hlm. 88
[29]  Drs. Rizal Mustansyir M.Hum dan Drs. Misnal Munir, M.Hum, Filsafat Ilmu,, op.cit. hlm.
15-16.
MAKNA

Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa Yunani klasik epistēmē yang


berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti penjelasan atau ilmu. Jadi epistemologi
adalah "the theory of knowledge"[1] atau teori pengetahuan. Penggunaan secara istilah,
epistemologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mengkaji dan membahas mengenai hakikat
ilmu atau ilmu tentang pengetahuan (pengetahuan ilmiah).[2] Istilah secara terminologis, kata
epistemologi dalam bahasa Inggris: "epistemology" yang merupakan bagian filsafat yang
berhubungan dengan pengetahuan.[3] Epistemologi dalam kamus Webster New International
Dictionary daring, epistemology didefinisikan sebagai studi atau teori mengenai sifat dan dasar
pengetahuan terutama dengan mengacu pada batas dan validitasnya.[4] Sedangkan, secara istilah
terminologis bahasa Indonesia, kata epistemologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
daring didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat tentang dasar dan batas pengetahuan.[5] Jadi,
dapat disimpulkan bahwa epistemologi merupakan bagian atau cabang filsafat yang
memperlajari dan membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan, batasan, sifat, metode, dan kebenaran pengetahuan.[6]
Secara harfiah, dalam ungkapan Prancis "doctrine de la Science" atau doktrin sains, yang
kemunculannya istilah katanya diikuti dalam bahasa Jerman: "Wissenschaftslehre" yang artinya
"pengajaran sains". Pada periode Jena (1794-1799), Istilah inilah yang digunakan oleh tokoh
pemikir yang bernama Johann Fichte dan Bernard Bolzano untuk berbagai proyeknya. Fichte
menggunakan istilah "Wissenschaftslehre" sebagai suatu tindakan bebas dalam memposisikan
diri, menetapkan, dan primordial sebagai suatu kondisi dari semua pengetahuan dan pengalaman.
Penggunaan istilah pada praktik subjektif yang secara eksklusif menjadi langkah awal dari setiap
teori sains.[7] Gagasan Bolzano (1837) membahas "Wissenschaftslehre" dengan kemiripan
gagasan oleh Fichte, yang dalam hal itu mengunggulkan sains sebagai sesuatu yang mendahului
dan lebih unggul dari filsafat. Itu sangat berbeda, bagaimanapun, dalam hal itu menghilangkan
gagasan tentang pemosisian diri saya yang mendukung kecenderungan total ke arah 'aritmetisasi'
bidang sains itu sendiri.[8] Kemudian kata "epistemologi " pertama kali muncul pada tahun
1847, dalam ulasan di New York's Eclectic Magazine. Ini pertama kali digunakan sebagai
terjemahan dari kata Wissenschaftslehre seperti yang muncul dalam novel filosofis oleh penulis
Jerman Jean Paul.
James Frederick Ferrier merupakan seorang filsuf Skotlandia. Ferrier membahas epistemologi
pertama kali dalam aliran filosofis Anglophone di Skotlandia pada tahun 1854,[9] penerapan
dilakukan sebagai studi dalam Institutes of Metaphysics yakni penerapan epistemologi sebagai
model 'ontologi', ia menetapkan bahwa epistemologi merupakan cabang filsafat yang bertujuan
untuk menemukan makna dari pengetahuan, dan menyebutnya 'awal yang sesungguhnya' dari
filsafat.

Sejarah
Epistemologi merupakan suatu cabang utama filsafat yang khusus mengkaji tentang teori ilmu
pengetahuan.[10] Dari segi sejarah, pembahasan filsafat merupakan induk utama ilmu
pengetahuan. Atas dasar pokok filsafat inilah lahir cabang ilmu lain, seperti matematika, logika
atau logika, kedokteran, dan lain-lain. Epistemologi asal kata dari "epistēmē" dalam bahasa
Yunani yang berarti pengetahuan. Aliran ini secara garis besar dibagi menjadi dua aliran pokok
yakni idealisme dan realism. Pertama, idealisme atau dikenal sebagai rasionalism adalah aliran
yang merujuk pada peranan dari akal, ide, kategori, dan bentuk sebagai sumber ilmu
pengetahuan. Kedua, realisme atau dikenal empirism adalah aliran yang merujuk peranan indera
baik itu penglihat, pendengar, peraba, pencium, dan pengecap sebagai sumber sekaligus alat
mendapatkan ilmu pengetahuan. Para tokoh pemikiran aliran-aliran ini, ada kalanya saling
mempertahankan keyakinan pemikirnya dan kadang sangat eksklusif dalam mengungkap
kebenaran.[11]

Kemanfaatan epistemologi
Manfaat mempelajari epistemologi dalam mempengaruhi kemajuan ilmiah maupun peradapan.
Hal ini disebabkan dengan epistemologi membantu dalam membangun masyarakat baik modern
maupun tradisonal tanpa mengesampingkan peranan kunci dari epistemologi agar mencegah
terjadi kemacetan peradaban, kreasi baru, dan temuan orisinal.[12] Tiga alasan yang menjadi
pertimbangan dalam mempelajari epistemologi meliputi strategis, kebudayaan, dan pendidikan.
Pertama, pertimbangan strategis terhadap epistemologi ialah agar dapat memahami pentingnya
ilmu pengetahuan bagi manusia baik dari segi manfaat dan perolehan ilmu. Kedua, pertimbangan
kebudayaan terhadap epistemologi ialah agar dapat memahami dan mengungkapkan makna yang
terkandung pada ekspresi budaya, baik itu makna budaya yang berupa tulisan, lisan maupun
simbol. Ketiga, pertimbangan pendidikan terhadap epistemologi bersifat usaha sadar pada
pandangan secara sentral, di mana pendidikan dicirikan dengan proses mulai dari penetapan visi
misi, kurikulum, capaian pelajaran yang ingin raih, penentuan mata pelajaran yang akan dikaji,
hingga evaluasi hasil pembelajaran. Dari proses inilah akan menuntun, mempertajam, dan
membantu dalam memahami ilmu pengetahuan secara terstuktur.[13]

Referensi :

1 ^ Rohman, Arif; Rukiyati; Purwastuti, Andriani (2014). Epistemologi dan Logika:


Filsafat untuk Pengembangan Pendidikan (PDF). Sleman, Yogakarta: Aswaja Pressindo.
hlm. 13. ISBN 978-602-18653-6-1.
2 ^ Suaedi (2019). Pengantar Filsafat Ilmu (PDF). Bogor: IPB Press. hlm. 46. ISBN 978-
979-493-888-1.
3 ^ "epistemology". oxfordlearnersdictionaries.com (dalam bahasa Inggris). Oxford
English Dictionary Daring. Diakses tanggal 2021-12-29.
4 ^ "epistemology". merriam-webster.com. Webster New International Dictionary Daring.
Diakses tanggal 2021-12-29.
5 ^ "epistemologi". kbbi.kemdikbud.go.id. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Diakses tanggal 2021-12-29.
6 ^ Muliadi (2020). Busro, ed. Filsafat Umum (PDF). Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Gunung Djati Bandung. hlm. 17. ISBN 978-623-7166-42-9.
7 ^ James, David; Zoller, Gunter (2016). "Fichte's Later Presentations of the
Wissenschaftslehre". The Cambridge Companion (dalam bahasa Inggris). 10 (5): 139—
167. doi:10.1017/9781139027557.007. 63610360.
8 ^ Hailperin, Theodore (1996). Sentential Probability Logic: Origins, Development,
Current Status, and Technical Applications. Betlehem: Lehigh University Press. hlm. 84–
85. ISBN 9780934223454.
9 ^ Lompat ke:a b "James Frederick Ferrier: Scottish philosopher". britannica.com.
10  Hanurawan, Fattah (2016). "FILSAFAT ILMU DALAM BIDANG
PENDIDIKAN". fppsi.um.ac.id. FPPSI-UM. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-
30. Diakses tanggal 2021-12-30.
11 ^ Al-Jauharie, Imam Khanafie (2020). Tema-Tema Pokok Filsafat Islam (edisi ke-
2). Pekalongan, Jawa Tengah: Broadview Press. hlm. 100. ISBN 978-602-60961-1-1.
12  Qomar, Muljamil (2005). Epistemologi pendidikan Islam dari metode rasional hingga
metode kritik. Ciracas, Jakarta: Erlangga. hlm. 34. ISBN 9789797810740.
13 ^ Waston (2019). Filsafat Ilmu dan Logika. Surakarta, Jawa Tengah: Muhammadiyah
University Press. hlm. 27. ISBN 978-602-361-236-9.
Landasan epistemologi
Pada mulanya, setelah Adam a.s. dan Siti Hawa, manusia diciptakan dari segumpal mani
lalu berevolusi menjadi segumpal darah, selanjutnya menjadi segumpal daging dan dilengkapi
dengan tulang-belulang.Setelah kandungan berusia 120 hari, maka ditiupkanlah kepadanya ruh
(ciptaan) Allah,sampai dilahirkanlah ia ke muka bumi dalam sesempurna sempurrnanya rupa dan
bentuknya.

Manusia ketika itu (usia bayi) masih belum bisa menggunakan akalnya. Ia bergerak dan
bersuara hanya berlandaskan nafsu muthmainnah-nya. Setelahmenginjak usia tamyiz,manusia
mulai menggunakan akalnya untuk berfikir.Pada usia ini, manusia merasa bahwa dalam
bereksistensi dengan lingkungannya—selain dengan jasad kasarnya—dalam dirinya ada karunia
ruh, otak, hati,dan nafsu.Ruh sebagai yang menjadikannya hidup dan ditandai dengan
(kerja)keluar-masuknya nyawa yang dipompa oleh jantung dalam tubuhnya. Selanjutnya,otak
bekerja disebut berpikir, hati bekerja disebut merasa dan nafsu berkeinginan disebut mau.

Dari keterangan di atas, dapatlah ditarik hikmah akan asal-muasal


pengembaraan manusia terhadap ilmu bahwa, manusia dapat menelisik ke dalam diri dan
lingkungan yang mengitarinya demi mendapatkan sepotong demi sepotong pengamatan atas
pengetahuan (pengalaman). Hasil pengamatan atas pengetahuan tersebut lalu lebih lanjut
diselidiki dan dikaji dengan nalar akal sehatnya (logika); menghubungkan variabel suatu
kejadian dengan kejadian lainnya; diasumsikan dan diadakan hipotesa sesuai kadar pengetahuan
sebelumnya (secara induktif atau deduktif); diverifikasi, kemudian disampaikan dengan alat
bahasa—lisan ataulah tulis—yang sistematis (runtut) sehingga menghasilkan sesuatu yang
kedudukannya lebih tinggi dari pengetahuan, yaitu ilmu.
Nah, dalam hal menghasilkan pengetahuan yang kedudukannya lebih
tinggi (sains) ini dibutuhkan cara berfikir teoretis berdasarkan tiga (3) prinsip
dasar berfikir falsafi yakni; secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

1 Teliti QS. Al-Hajj: 22,QS.Al-Mu’minun: 23,QS.Ghafir: 40, QS.Al-Qiyamah: 75,dan QS.


Al-Alaq:96.
2 Lihat QS.Al-Hijr: 29.
3 Lihat QS.At-Tin: 4.
4 Usia anak 7 tahun atau lebih dimana ia telah mampu membedakan antara yang benar dan
yang salah,baik dan buruk,inadah dan jelek.
5 Abad 5.

Tela’ah pertama adalah tela’ah secara ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana
yang hendak dicapai ilmu.Ini berarti sejak awal kita sudah mempunyai pegangan dan
pengamatan sementara terhadap gejala lingkungan yang mengitari kehidupan kita, juga masalah-
masalah sosial. Dalam hal ini menyangkut eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan
terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat
diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik
kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal- hal yang gaib seperti soal surga atau
neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan.

Tela’ah kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan
perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data
empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkahlangkah pokok dan urutannya,
termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang
digunakannya.

Tela’ah ketiga adalah dalam lingkup prinsip aksiologis, yaitu bagaimana pengamalan
atau implementasi dari pengetahuan yang diperoleh dari proses berfikir secara ontologis dan
epistemologis sebagaimana diterangkan di atas.

FILSAFAT ILMU
 ONTOLOGI
 EPISTEMOLOGI
(Cara Memperoleh Ilmu)
 AKSIOLOGI
(Implementasi/Pembuktian)

Tiga prinsip falsafi di atas adalah mata tangga yang tidak dapat dipisahkan
demi menangkap pengetahuan-pengetahuan dan menggapai duduk ilmu sejati.Satu per satu mata
tangga tersebut mesti dilalui dengan baik dan bijak. singkatnya,ranah ontologis bertugas
menceritakan apa hakikat dari pengetahuan dan dari mana asal sumber pengetahuan tersebut.
Sedangkan epistemologi merambah bagaimana proses pengetahuan itu disusun dan dibangun,
kaidah-kaidah apa yang diterapkan serta prinsip yang digunakan, kemudian aksiologi adalah
menceritakan apa tujuan pengetahuan itu disusun serta apakah hikmah pengetahuan tersebut
untuk kemaslahatan manusia.

Kegunaan Epistemologi
pistemologi memiliki fungsi dalam filsafat ilmu yaitu sebagai landasan tindakan manusia dikesehariannya,
dasar pengembangan ilmu pengetahuan, dan sebagai sarana mengetahuikebenaran pengetahuan. Fungsi
epistemologi dalam bidang keilmuan dapat membantu pengembangan pemikiran mengenai suatu masalah dan
mendorong manusia berfikir kritistentang suatu kejadian, sebab-akibat dan lain sebagainya. 

Dari hal ini akan menimbulkan banyak pertanyaan yang muncul dalam pikiran manusia dan memancing
adanya keinginan untuk mencari jawaban dari pertanyaan tersebut, selain itu dengan berfikirnya manusia sebuah
temuan ataupun hasil pemikiran, teori, pendapat baru akan dihasilkan dan menjadi ilmu pengetahuan juga
penguat dasar ilmu sebelumnya.  

Sebagai contoh hasil dari pemikiran  epistemologi yaitu pendapat isaac newton mengenai penyebab
mengapa buah apel bisa jatuh kebawah dari atas pohon yang akhirnya menimbulkan pertanyaan dan pemikiran.
Pada akhirnya munculah Teori Hukum Newton dalam ilmu sains dan teori yang berawal dari apel jatuh dari pohon
tersebutlah yang bisa kita pelajari sampai saat ini bahkan telah membantu dunia pengetahuan khusunya didunia
Sains.

MAKALAH

“EPISTEMOLOGI:CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN”

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat ilmu

Dosen Pengampu:Encep Solihutaufa,S.Ag,M.Pd


Disusun Oleh

Kelompok:5
Taufik Hidayat
M.Akbar Nur Ichsan
Muhamad Iqbal Ramadhan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISALAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
PALABUHAN RATU
2023M/1444H

Anda mungkin juga menyukai