Anda di halaman 1dari 18

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Secara umum epistemologi dapat dijelaskan sebagai cabang dari filsafat yang membahas ruang lingkup dan batas-batas pengetahuan, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Studi ini mencari jalan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang meliputi pengkajian sumber-sumber watak dan kebenaran pengetahuan, yaitu apakah yang diketahui oleh akal manusia? Darimanakah kita memperoleh pengetahuan yang diandalkan atau kita harus puas dengan pendapat-pendapat dan sangkaan? Apakah kemampuan kita terbatas dalam mengetahui fakta pengalaman indera, atau kita dapat mengetahui lebih jauh daripada apa yang diungkapkan oleh indera? Sebelum sampai pada pembahasan teori epistemologi fenomenologi dan intuisionalisme, kita klasifikasikan terlebih dahulu persoalan-persoalan dalam bidang epistemologi. Menurut Prof. Dr. Juhaya S.Praja, terdapat tiga persoalan dalam bidang epistemologi, yaitu : 1. Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Darimana pengetahuan yang benar itu datang, dan bagaimana kita dapat mengetahui? Ini semua adalah problem asal (origin) 2. Apakah watak dari pengetahuan? Apakah dunia yang riil diluar akal itu ada, kalau ada, dapatkah kita mengetahuinya? 3. Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita membedakan antara kebenaran dan kekeliruan? Ini adalah problema mencoba kebenaran(verification).

Dalam perkembangan pemikiran tentang persoalan-persoalan epistemologi diatas, telah muncul berbagai teori, dari yang menggunakan rasio, kemampuan inderawi manusia, sampai dengan kekuatan dibalik kemampuan indera manusia. Diantara teori-teori yang telah membuka wawasan kita tentang persoalan epistemologi adalah teori Fenomenologi dan intuisionalisme. Teori ini telah membuka tabir kebenaran pengetahuan dalam filsafat. B. Rumusan Masalah Untuk mengenal lebih jauh epistemologi Fenomenologi dan intuisionalisme, penulis akan membahasnya dalam 2 pokok permasalahan: 1. Apa pengertian fenomenologi dan bagaimana pandangan tokohnya dalam memperoleh pengetahuan?. 2. Bagaimanakah pandangan intuisionalisme pengetahuan? tentang cara memperoleh

BAB II PEMBAHASAN

Epistemologi Istilah epistemologi di pakai pertama sekali oleh J.F. Feriere yang maksudnya untuk membedakan antara dua cabang filsafat, yaitu epistemology dan antologi (matefisika umum). Epistemologi berasal dari kata yunani, episteme dan logos. Epistime biasanya diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Epistemologi secara etemologi dapat di artikan teori pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa inggris menjadi theory of knowledge. Istilah-istilah lain yang setara maksudnya dengan epistemology dalam berbagai kepustakaan. Filsafat kadang-kadang disebut juga logika material, criteriology, kritikan, pengetahuan, gnosiology dan dalam bahasa Indonesia lazim

dipergunakan istilah filsafat pengetahuan 1. Logika Material Istilah logika material sudah mengandalkan adanya ilmu pengetahuan yang lainyang disebut logika formal. Sesungguhnya istilah logika material ini secara khusus hanya terdapat pada kepustakaan kefilsafatan Belanda. Apabila logika formal menyangkut dengan bentuk pemikiran maka logika material menyangkut isi pemikiran. Dengan perkataan lain, apabila logika formal yang biasanya disebut logika berusaha untuk menyelidiki dan menetapkan bentuk pemikiran yang masuk akal, logika material berusaha untuk menetapkan kebenaran dari suatu pemikiran ditinjau dari segi isinya.
3

2. Kriteriologi Istilah kriteriologia berasal dari kata kriterium yang berarti ukuran. Dalam hal ini yang dimaksud adalah ukuran untuk mendapatkan benar tidaknya suatu pikiran atau pengetahuan tertentu.Dengan demikian, kriteriologia merupakan sustu cabang filsafat yang berusaha untuk menetapkan benar tidaknya suatu pikiran atau pengetahuan berdasarkan ukuran tentang kebenaran. 3. Kritik Pengetahuan Istilah kritikan pengetahuan sedikit banyak ada sangkut pautnya dengan istilah kriteriologi yang dimaksud kritika disini adalah sejenis usaha manusia untuk menetapkan, apakah sesuatu pikiran atau pengetahuan manusia itu sudah benar atau tidak benar dengan tujuan meninjaunya secara sedalam-dalamnya. 4. Gnosesologia Istilah gnoreologi berasal dari kata gnosis dan logos. Dalam hal ini gnosis berarti pengetahuan, yang bersifat keIlahian, sedangkan logos berarti ilmu pengetahuan. 5. Filsafat Pengetahuan Secara singkat dapat dikatakan bahwa filsafat pengetahuan merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan. J.A Niels mulder menuturkan epistemology adalah cabang filsafat yang mempelajari soal tentang watak, batas-batas dan berlakunya dari ilmu pengetahuan. Arti Pengetahuan Pengetahuan adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menuturkan apabila seseorang mengenal tentang sesuatu. Sesuatu hal yang menjadi pengetahuanya adalah suatu terdiri atas unsur yang mengetahui dan yang tidak diketahui serta

kesadaran mengenai hal yang ingin di ketahuinya itu.Oleh karma itu,pengetahuan selalu menuntut adanya subjek yang mempunyai kesadaran untuk mengetahui tentang sesuatu dan objek yang merupakan sesuatu yang di hadapinya sebagai hal yang ingin diketahuinya. Semua pengetahuan hanya di kenal dan ada di dalam pikiran manusia tanpa pikiran pengetahuan tidak akan eksis. Oleh karena itu, keterkaitan antara pengetahuan, dengan pikiran merupakan sesuatu yang kodrati. Bahwa (dalam Rizal Mustansyir ddk 2001) menyebutkan ada delapan hal penting yang berfungsi membentuk struktur pikiran manusia, yaitu sebagai berikut : 1. 2. Mengamati (observes), pikiran berperan dalam mengamati objek-objek. Menyelidiki (inquires): ketertarikan pada objek di kondisikan oleh jenis-jenis objek yang tampil. 3. Percaya ( belives) manakala suatu objek muncul dalam kesadaran objek-objek itu di terima sebagai objek yang menampak. 4. Hasrat (diseres): kodrat hasrat ini mencakup kondisi biologis serta psikologis dan interaksi di alektrik antara tubuh dan jiwa. 5. Maksud (intends): kendatipun memiliki maksud ketika akan mengobservasi, menyelidiki, mempercayai, dan berhasrat, namun sekaligus perasaan nya tidak berbeda atau bahkan terdorong ketika melakukanya. 6. Mengatur (organizez): setiap pikiran adalah suatu organisme yang teratur dalam diri seseorang. 7. Menyesuaikan (adapts): menyesuaikan pikiran sekaligus melakukan

pembatasan-pembatasan yang dibebankan pada pikiran melalui kondisi keberadaan yang tercakup dalam otak dan tubuh di dalam fisik, biologis, lingkungan sosial dan cultural dan keuntungan yang terlihat pada tindakan, hasrat, dan kepuasan. 8. Menikmati (enjoys): pikiran-pikiran mendatangkan keasyikan.

Terjadinya Pengetahuan Masalah terjadinya pengetahuan adalah masalah yang amat penting dalam epistemologi, sebab jawaban terhadap terjadinya pengetahuan maka seseorang
5

akan bewarna pandangan atau paham filsafatnya. Jawaban yang paling sederhana tentang terjadinya pengetahuan ini apakah berfilsafat a priori atau a posteriori. Dengan demikian pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif. Sebagai alat untuk mengetahui terjadinya pengetahuan menurut John Hospers dalam bukunya An Introduction to Philosophical Analysis mengemukakan ada 6 hal yaitu sebagai berikut : 1. Pengalaman Indra ( sense experience) 2. Nalar (reason) 3. Otoritas ( authority) 4. Intuisi (intuition) 5. Wahyu (revelation) 6. Keyakinan (faith) Teori Kebenaran Dalam pengembangan pimikiran filsafat perbincangan tentang kebenaran sudah di mulai sejak plato yang kemudian di teruskan oleh Aristoteles. Plato memulai metode dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Secara tradisional teori-teori kebenaran itu adalah sebagai berikut : 1. Teori kebenaran saling berhubungan (coherence theory of truth).

Pembuktian teori kebenaran koherensi dapat melalui fakta sejarah apabila merupakan proposisi sejarah atau memakai logika dengan pernyataan yang bersifat logis. 2. Teori kebenaran saling berkesesuaian (correspondence Theory of Truth) Teori kebenaran konsep podensi paling awal dan paling tua yang berangkat dari teori pengetahuan aristoteles yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang kita ketahui dapat dikembalikan pada kenyataan yang di kenal oleh subjek. 3. Teori kebenaran Inhorensi (Inhorent Theory of Truth)

Kadang-kadang teori ini di sebut teori pragmatis pandanganya adalah suatu

proposisi bernilai benar apabila mempunyai konsekuensi yang dapat dipergunakan atau bermanfaat. 4. Teori kebenaran Berdasarkan Arti (semanbic Theory of Truth).

Teori kebenaran semantik di anut oleh paham filsafat analitika bahasa yang di kembangkan paska filsafat Bertrand Russell sebagai tokoh pemula dari filsafat analitika Bahasa. 5. Teori Kenaran Nondeskripsi dikembangkan oleh penganut Filsafat

Fungsionalisme. 6. Teori kebenaran sintaksis, Para penganut teori kebenaran sintaksis berpangkat tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang di pakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekat. 7. Teori kebenaran Logis yang berlebihan (Logical superfluity of Truth) Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan berakibat suatu pembosanan, karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenaranya memiliki derajat logis yang sama masing-masing saling melingkupinya. Jenis-Jenis Pengetahuan Pengetahuan menurut soejono soemargono ( 1983) dapat di bagi atas : 1. Pengetahuan non ilmiah 2. Pengetahuan Ilmiah Jenis pengetahuan dapat dilihat menurut pendapat plato dan aristoteles plato membagi pengetahuan menurut tingkatan pengetahuan, sesuai dengan

karakteristik objeknya.pembagiannya adalah sebagai berikut. 1. Pengetahuan Eikasia (khayalan), Tingkatan yang paling sderhana disebut pengetahuan elkasia, yakni pengetahuan yang objeknya berupa bayangan atau gambaran. 2. Pengetahuan pistis (substansial), Suatu tingkat di eikasia adalah tingkatan pistis atau pengetahuan substansial.

3.

Pengetahuan

Dianonya

(matematika),

Plato

menerangkan

tingkat

pengetahuan ini adalah tingkat yang ada di dalamnya sesuatu yang tidak hanya terletak pada fakta atau objek yang tampak, tetapi juga terletak pada bagaimana cara berpikir. 4. Pengetahuan Noesis (Filsafat), Pengetahuan tingkat tertinggi disebut noesis pengetahuan yang objeknya arhe yakni prinsip-prinsip utama yang mencakup epistemologis dan melafisik. Teori-teori Diantara teori-teori yang telah membuka wawasan kita tentang persoalan epistemologi adalah teori Fenomenologi dan intuisionalisme. Teori ini telah membuka tabir kebenaran pengetahuan dalam filsafat. 1. Fenomenologi Kata fenomenologi berasal dari kata Yunani,Phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak yang terlihat karena berkecakupan, dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan suatu fenomena atau sesuatu yang menampakkan diri . Sedangkan Fenomenon dalam bahasa inggris yang berarti perwujudan, gejala, kejadian natural pada kejadian alam. Jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang menampakkan diri atau dapat juga dikatakan sesuatu yang sedang menggejala. Selanjutnya Hasan Bakti Nasution menjelaskan istilah fenomenologi

mengandung tiga pengertian yang saling terkait yaitu yang langsung tampak, sesuatu yang menampakkan diri tapi masih terselubung, dan proses penampakan. Jadi fenomenologi ialah filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran merupakan hasil deskripsi intuitif manusia terhadap suatu obyek sesuai dengan penampakan diri (fenomena) obyek tersebut.

Untuk memudahkan pengertian diatas , kita ambil contoh, penyakit Flu, diantara gejalanya adalah pilek dan batuk. Penyakit flu tidak bisa dikatakan sebagai penyakit flu jika tidak ada gejalanya, yaitu pilek dan batuk. Menurut para penganut fenomenologi suatu fenomenon semata harus diamati dengan indera, sebab sebab fenomenon juga dapat dilihat/ditilik secara rohani, tanpa melewati indra. Juga fenomenon tidak perlu suatu pristiwa, karena suatu fenomenon adalah apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri, apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas dihadapan kita. Aliran fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarbenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya. Usaha ini menggabungkan antara subyek (manusia) dan obyek (yang diamati) dengan cara pengamatan intuitif. Dari sekian teori kebenaran tentang pengetahuan, teori fenomenologi termasuk mampu membuktikan dirinya sebagai salah satu sumber befikir yang kritis. Pemikiran fenomenologi demikian besar pengaruhnya di Eropa dan Amerika. Tokoh sentral dari teori fenomenologi ini adalah Edmund Husserl dan pengikutnya Max Scheler, Husserl yang lahir di Prostejov, Cekoslowakia pada tahun 1859 dan wafat tahun 1939 adalah pendiri fenomenologi, pemikirannya terekam dalam tiga karya pentingnya, yaitu Logiche Untersuchungen (Penyelidikan-penyelidikan logika), ideen zu Eineer Reinen

Phanomenologischen philosophie (Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenologi murni dan filsafat fenomenologi), dan meditations cartesiennes (Renunganrenungan Kartesien).diantara pemikiran-pemikiran pentingnya ialah: 1) Teori kebenaran Seperti disinggung diatas, menurut Husserl kebenaran haruslah digabung antara subyek dan obyek. Obyek diberi kesempatan memperkenalkan dirinya kepada subyek yang mengamati, sesuai dengan semboyan zu den schen selbs ( kembali kepada benda-benda itu sendiri). Kembali kepada benda-benda

dimaksudkan adalah benda-benda diberi kesempatan untuk berbicara tentang hakekat dirinya.Pernyataan tentang hakekat benda-benda tidak lagi tergantung kepada orang yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh benda-benda itu sendiri. Akan tetapi benda-benda tidaklah secara langsung memperlihatkan hakekatnya sendiri. Apa yang kita temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa, bukanlah hakekat. Benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran yang pertama(first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakekat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini, adalah intuisi atau wesenchau dari hakekat gejala-gejala. Dalam usaha melihat hakekat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi. Yang dimaksud dengan reduksi adalah penundaan segala pengetahuan yang ada tentang obyek sebelum pengamatan intuisi dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan Husserl adalah epoche, yang artinya sebagai penempatan sesuatu diantara dua kurung, maksudnya adalah melupakan pengertian pengertianpengertian obyek untuk sementara dan berusaha melihat obyek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya. Reduksi ini adalah salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis. Untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenolog bersikap netral. Tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada, dalam hal ini obyek diberi kesempatan berbicara tentang dirinya sendiri. 2) Jenis-jenis reduksi

Agar intuisi dapat menangkap gejala-gejala secara benar, maka manusia harus melepaskan diri dari pengalaman-pengalaman dan gambaran sebelumnya yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari,dengan cara menggunakan tiga jenis reduksi, yaitu: a. Reduksi fenomenologis

10

Fenomena apa yang tersebut diatas adalah menampakkan diri. Dalam praktek hidup sehari-hari, kita tidak memperhatikan penampakan itu. Apa yang kita lihat secara spontan sudah cukup meyakinkan kita bahwa obyek yang kita lihat adalah riil atau nyata. Kita telah meyakininya sebagai realitas diluar kita. Akan tetapi karena yang dituju fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada diluar dirinya dan ia dapat dicapai dengan mengalami secara intuitif, maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam pandangan biasa itu untuk sementara harus ditinggalkan atau dibuat dalam kurung. Segala subyektifitas disingkirkan, termasuk dalam hal ini teori-teori, kebiasaan-kebiasaan dan pandangan-pandangan yang membentuk pikiran kita dalam memandang sesuatu (fenomena), sehingga yang timbul adalah fenomena itu sendiri. b. Reduksi Eiditis Eiditis berasal dari kata eido, yaitu intisari. Reduksi eiditis ialah penyaringan atau penempatan didalam kurung. Segala hal yang bukan eidos. Hasil reduksi kedua ini adalah penilikan realitas. Dengan reduksi eiditas semua segi, aspek dan profil fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan, karena aspek dan profil tidak pernah menggambarkan obyek secara utuh. Setiap obyek adalah kompleks, mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga. Reduksi eiditas menunjukkan bahwa dalam fenomenologi kriteria koherensi berlaku. Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap obyek harus dapat disatukan dalam suatu horizon yang konsisten, setiap pengamatan memberi harapan akan tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang pertama atau selanjutnya. Oleh karena itu dalam reduksi eiditas, yang harus dilakukan adalah jangan dulu mempertimbangkan apa yang sifatnya aksidental atau eksistensial itu. Caranya adalah melalui reduksi eiditas, yakni menunda dalam tanda kurung, sifat-sifat yang eksistensial dari obyek, perhatian kita sepenuhnya diarahkan pada esensinya, eidosnya atau hakekatnya.

11

c.

Reduksi Transedental

Di alam reduksi ini yang ditempatkan diantara dua kurung adalah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari obyek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subyek sendiri. Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai obyek. Reduksi ini merupakan pengarahan ke subyek dan mengalami hal hal yang menampakkan diri dalam kesadaran, jadi yang tinggal adalah kesadaran diri, tetapi bukan kesadaran empiris. Kesadaran yang ditemukan adalah kesadaran yang bersifat murni atau transendental. Ketiga reduksi ini mempunyai hubungan yang koheren, yang dimulai dari yang pertama, kemudian kedua selanjutnya yang ketiga. Reduksi ketiga tidak diperoleh tanpa dimulai dari reduksi pertama. Dengan demikian reduksi berproses secara dinamis dan linear, sehingga tidak ada loncatan reduksi. 2. Intuisionisme Aliran intuisi ini lahir sebagai reaksi kritik terhadap aliran rasionalisme dan empirisme, tokoh aliran ini adalah Henri Bengson (1854-1941). Dalam kamus ilmiah dinyatakan bahwa intuisionisme adalah suatu anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat dicapai dengan pemahaman langsung:

anggapan bahwa kewajiban moral tidak dapat disimpulkan sendiri tanpa pertolongan dari tuhan. Henri Bengson berpendapat bahwa tidak hanya indra yang terbatas, tetapi akalpun demikian, objek-objek yang kita tangkap itu selalu berubah. Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa indra dan akal memiliki keterbatasan dalam memahami suatu objek . indra dan akal dapat memahami suatu objek jika ia mengkonsentrasikan dirinya pada objek tersebut. Dengan menyadari keterbatasan indra dan akal, Bengson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Intuisi

12

merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui proses penalaran tertentu. Ini merupakan hasil evolusi pemahaman tertinggi dan intuisi tersebut menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Bagi intuisinisme, terdapat adanya suatu bentuk pengalaman lain (pengalaman bathiniah) disamping pengalaman yang dihayati melalui indra. Tesa yang dikembangkan oleh faham ini ternyata memiliki sisi yang memberatkan diantaranya lahirnya pengetahuan yang intuitif yang hanya dapat

dikomunikasikan melalui penerjemahan ke dalam simbol-simbol, sehingga kita akan berbicara mengenai pengetahuan yang sifatnya subyektif. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permalahan tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku, tiba-tiba saja dia sudah sampai pada sebuah kesimpulan. Jawaban atas permasalahan yang dipikirkannya muncul dibenaknya atau intuisi ini bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar. Suatu masalah yang sedang kita pikirkan yang kemudian kita tunda karena menemui jalan buntu, tiba-tiba muncul di benak kita yang lengkap dengan jawabannya. Kita merasa yakin bahwa memang itulah jawaban yang kita cari namun kita tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya kita sampai disana. Epistemologi Islam dan Barat Bagi pelajar, mahasiswa dan kalangan umum yang beragama Islam, yang membaca buku-buku, makalah dan bentuk tulisan lainnya tentang Filsafat Ilmu dalam bahasa Indonesia, mungkin menghadapi berbagai kerancuan dalam memahami kata-kata kunci seperti, pengetahuan, ilmu, ilmu pengetahuan. Mulyadhi Kartanegara, peraih gelar doktor di bidang Filsafat Islam di Universitas Chicago, misalnya, agak keberatan dengan penerjemahan

katascience menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia, walaupun pada akhirnya ia setuju, namun ia memberikan beberapa syarat. Mulyadhi menulis:

13

Kata science sebenarnya dapat saja diterjemahkan dengan ilmu. Sepertiscience, kata ilm dalam epistemologi Islam, tidak sama dengan pengetahuan biasa, tetapi, seperti yang didefinisikan oleh Ibn Hazm (w. 1064 M), ilmu dipahami sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya, dan

seperti science dibedakan dengan knowledge, ilmu juga dibedakan oleh para ilmuwan Muslim dengan opini (ray). Akan tetapi, di Barat ilmu dalam pengertian ini telah dibatasi hanya pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris, sedangkan dalam epistemology Islam, ia dapat diterapkan dengan sama validnya, baik pada ilmu-ilmu yang fisik-empiris maupun nonfisik atau metafisis Oleh karena itu, menurut hematku, kita pada dasarnya bisa menerjemahkan kata science dengan ilmu, dengan syarat bahwa ilmu dalam epistemologi Islam tidak dibatasi hanya pada bidang-bidang fisik, seperti dalam epistemologi Barat. (Mulyadhi Kartanegara. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. Mizan: Bandung, cet.I., 2002: 57-58) Mengenai dua pertanyaan utama epistemology: (1) apa yang dapat kita ketahui dan (2) bagaimana mengetahuinya. Mulyadhi menyatakan bahwa dalam epistemology Barat hanya objek-objek fisik , bukan noninderawi, nonfisik, dan metasisika yang dapat diketahui secara ilmiah. Sedangkan dalam Islam baik objek-objek fisik dan objek-objek non-fisik dapat diketahui. Namun, Mulyadhi sendiri tidak menjelaskan apakah dalam Islam objek -objek non-fisik dapat diketahui secara ilmiah. Ia hanya menyatakan bahwa dalam Islam status ontologis dari objek-objek non-fisik yang tidak dapat ditangkap secara inderawikonsepkonsep mental, metafisika, Tuhan, jin, malaikat, ruhadalah real. Kalau begitu bagaimana cara mengetahuinya? Apakah dapat diketahui dengan observasiempiris dalam Islam? Mulyadhi menyatakan bahwa hal-hal itu tidak dapat ditangkap secara inderawi (observasi empiris). Jadi, sebenarnya ia sepakat bahwa metode observasi-empiris tidak dapat mengetahui adanya, misalnya, Tuhan. Sampai di sini, menurut hemat Saya, Mulyadhi sudah mulai rancu dalam membandingkan epistemologi Islam dan Barat. Ketika berbicara tentang status obtologis objek-objek non-fisik di Barat yang disorot adalah perspektifscience, sehingga sudah dapat diduga bahwa objek non-fisik itu tidak dapat diketahui.

14

Sedangkan ketika membahas status ontologisnya dalam epistemology Islam, Mulyadhi menggunakan perspektif rasional-logis.Tetapi, ia tidak membahas status ontologis objek itu dari perspektif epistemology rasional yang non-empiris yang berkembang di Barat. Seperti Dercartes, misalnya, yang menyatakan bahwa ruh adalah ada dan dapat diketahui secara rasional. Karena pertanyaan apakah Tuhan dapat diketahui secara rasional-logis adalah berbeda dari pertanyaan apakah Tuhan dapat diketahui secara observasi-empiris. Saya kira yang menjadi persoalan adalah scienticism, yakni bahwa sesuatu dapat dikatakan ada jika hanya jika dapat diketahui dengan prinsip-prinsip science, yakni secara observasi, empiris, induktif. Tentang metodologi, Mulyadhi dengan mengutip Ziauddin Sardar, menyatakan bahwa ilmuwan Barat hanya menggunakan satu metode ilmiah, yaitu observasi, sedangkan para pemikir Muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hierarki objeknya, yaitu: (1) metode observasi, sebagaimana yang digunakan di Barat, atau disebut bayani, (2) metode logis atau demonstratif (burhani), dan (3) metode intuitif (irfani), yang masing-masing bersumber pada indra, akal, dan hati. (Mulyadhi: 61) Epistemologi, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge), maka kita mempergunakan istilah ilmu untuk ilmu pengetahuan. (Jujun Suriasumantri. Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi. Dalam Jujun (ed.,) Ilmu Dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2001; hal.9)

15

Sebelum penerjemahan kata science, dalam bahasa Indonesia tersedia dua pilihan kata, yakni pengetahuan dan ilmu. Yang berlaku umum, pilihan jatuh pada kata ilmu. Penerjemahan science menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia berimplikasi pada perubahan makna ilmu menjadi science, bukan sebaliknya. Akibatnya, halhal yang sebelumnya disebut ilmu menjadi bukan ilmu atau belum menjadi ilmu dalam artian science. Kemudian scientific knowledgediterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah. Penerjemahan model ini menimbulkan sejumlah kerancuan di kalangan umat Islam. Karena mereka sudah mempunyai istilah ilmu sebelum ada

kata scienceyang tumbuh khas dengan observasi dan metode induksinya. Kerancuan ini tercermin dari munculnya beberapa pertanyaan seperti, Apakah ilmu-ilmu agama adalah ilmu? atau Apakah ilmu kalam adalah ilmu? Atau Apakah ilmu fiqh adalah ilmu? Pertanyaan itu redundancy, yakni Apakah ilmu adalah ilmu? pertanyaan itu juga mengisyaratkan adanya makna ilmu yang berbeda. Ilmu yang statusnya belum dianggap ilmu dan ilmu yang statusnya telah dianggap ilmu atau ilmu yang perlu diuji dengan standar ilmu lain. Yang lebih parah lagi adalah pertanyaan, Apakah fiqh adalah ilmu? atau Apakah kalam adalah ilmu? Atau Apakah tafsir adalah ilmu? Dalam pertanyaan ini hanya ada satu makna ilmu. Kerancuan-kerancuan itu dapat dihindari kalau kita tidak memaksa diri mencari kata bahasa Indonesia yang sudah ada untuk menerjemahkan katascience. Kita tetap pertahankan kata pengetahuan dan ilmu dan menambah kosa kata baru sains untuk bahasa Indonesia bagi science dan saintifik untuk kata sifat scientific. Science sendiri dipakai untuk dalam dua pengertian. Pertama, science yang triadic terdiri dari ontology, epistemology dan aksiologi, yakni cabang science, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi disiplin ilmu seperti fisika, kimia, biologi. Kedua, dalam artian yang metodis, yakni science atau scientific knowledge yang secara tradisional menggunakan metode induksi. Demarkasi

16

antara science dan non-science secara tradisional biasanya pada metode induksi ini. Dari sini pertanyaan Apakah ilmu fiqh adalah ilmu? Kita rubah menjadi Apakah ilmu fiqh adalah sains atau non-sains? Sebenarnya adalah ungkapan lain dari pertanyaan itu adalah Apakah ilmu fiqh menggunakan metode induktif? Jawabannya, menurut demarkasi tradisional adalah tergantung pada apakah ilmu fiqh menggunakan metode induksi atau tidak? Jika ilmu fiqh tidak menggunakan metode induksi, maka tidak dapat disebut sebagai sains dalam artian yang tradisional. Klaim terhadap metode induksi dengan asumsi regularitasnya pada filsafat continental (Jerman) berbuah pada klaim bahwa pengetahuan tentang perilaku manusia tidak dapat disebut science. Karena perilaku manusia berubah-ubah.

17

BAB III KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Aliran fenomenologi adalah merupakan faham yang konsisten dalam pendiriannya untuk mengungkap kebenaran pengetahuan. Aliran

fenomenologi menitik beratkan kepada gejala-gejala yang ada pada obyek yang diamati, kebenaran adalah hasil deskripsi intuitif manusia terhadap suatu obyek sesuai dengan penampilan diri (fenomena) obyek tersebut. Namun Edmund Husserl berpandangan bahwa untuk memperoleh kebenaran haruslah digabung antara subyek dan obyek, semboyannya adalah zu denschen selbs (kembali pada benda-benda itu sendiri). Untuk menyatakan hakekat bendabenda digunakanlah metode reduksi, yaitu penundaan segala pengetahuan yang ada tentang obyek sebelum pengamatan intuisi dilakukan. 2. Menurut intuisionisme, bukan hanya indra yang memiliki keterbatasan, tetapi akal pun juga demikian. Obyek-obyek yang kita tangkap itu adalah obyek yang selalu berubah. Dengan menyadari keterbatasan indra dan akal, aliran intuisinisme mengembangkan suatu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia yaitu intuisi. Ini merupakan hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Dan intuisi tersebut menangkap obyek secara langsung tanpa melalui pemikiran.

Daftar Pustaka http://www.google.com

18

Anda mungkin juga menyukai