Anda di halaman 1dari 7

Tugas Akhir Fenomenologi Merleau-Ponty

Reza Gunadha
02740815

FENOMENOLOGI ATAS FENOMENOLOGI1

I. Pengantar
Fenomenologi bisa dikatakan sebagai sebuah lukisan sketsa dalam bingkai besar filsafat.
Seperti sketsa, fenomenologi diibaratkan sebagai gambaran umum dari beragam perspektif
yang kerap saling bertentangan meskipun memiliki tujuan sama, yakni berupaya menyingkap
esensi dunia apa adanya. Keberagaman perspektif itu disebabkan fenomenologi dalam
koridor filsafat, tak pernah bermuara pada posisi dogma atau tersedimentasi dalam sistem
besar semisal filsafat Hegel pun Marxisme.

Sebagai sebuah sketsa, beragam karakterisasi yang disematkan pada fenomenologi praktis
hanya terunifikasi dalam klaim utama: cara radikal untuk berfilsafat, yakni sebagai praktik
ketimbang sistem. Radikalisasi filsafat itu dimaksudkan sebagai cara oposan terhadap gaya
tradisional berfilsafat untuk mendapatkan kebenaran paling esensial, yakni mendeskripsikan
fenomena dan—dalam lingkup lebih luas—pemerian atas apa yang hadir sebagaimana hal
tersebut hadir dan memanifestasikan dirinya sendiri dalam kesadaran sebagai suatu
pengalaman.2

Melalui klaim besar seperti itu, pluralisme prosedur fenomenologi yang kerap berkontradiksi
satu sama lain dianggap selesai. Semua segi kontradiksi dalam setiap rumusan hakikat
fenomenologi dianggap hanya bagian dari sejarah fenomenologi dan tak memiliki peran
penting apa pun terhadap tujuan utamanya, yakni menelisik substansi. Martin Heidegger3

1
Pembahasan atas Preface (kata pengantar) Maurice Merleau-Ponty dalam bukunya berjudul Phenomenology
of Perception.
2
Moran, Dermot, Introduction to Phenomenology, New York, Routledge, 2002, hlm 4.
3
Heidegger, secara umum dinilai sebagai fenomenolog besar setelah Edmund Husserl. Setelah karya kanonik
Heidegger dipublikasikan (Being and Time; 1927), fenomenologi dimengerti sebagai hampir sebagai terma
eksklusif yang mengombinasikan kontribusi Husserl dan Heidegger. Lihat: Moran, Dermot, Introduction to
Phenomenology, New York, Routledge, 2002, hlm 3; Terkait hal ini, Paul Ricouer, fenomenolog Perancis,
menegaskan sejarah fenomenologi sebagai sebuah gerakan filsafat secara keseluruhan adalah “sejarah
penyimpangan dari metode Husserl (Si bien que la phénoménologie au sens large est la somme de l’oeuvre
husserlienne et des heresies issues de Husserl); Ricoeur, Paul, A l’école de la phénoménologie, Paris, Vrin, 1987,
hlm 9.

1
sendiri bahkan menegaskan, “die Phänomenologie gibt es nicht”4, yang bisa diartikan bahwa
hakikat maupun prosedur fenomenologi tak mungkin satu—keberagaman itu bakal tetap ada
abadi dan tak memiliki ekses terhadap tujuan utamanya.

Namun, keberagaman tersebut justru diangkat menjadi persoalan krusial oleh Maurice
Merleau-Ponty dalam karya besarnya berjudul “Phenomenology of Perception”.5 Sejak awal
buku tersebut, preface (hlm Ixx-Ixxxv), Merleau-Ponty kembali mempertanyakan hakikat
fenomenologi itu sendiri. Namun, elaborasinya terhadap fenomenologi tidak untuk
menunjukkan tradisi fenomenologi macam apa (Husserlian atau Heideggerian) yang paling
presisi, melainkan menempatkan seluruh tradisi fenomenologi ke hadapan sebagai suatu
“fenomena” yang akan diinvestigasi. Pendek kata, melalui Phenomenology of Perception,
Merleau-Ponty hendak menyatakan proyek utamanya yakni menerapkan fenomenologi
persepsi terhadap fenomenologi itu sendiri. “Fenomenologi atas fenomenologi”, untuk
mendeskripsikan hakikat esensial fenomenologi.

II. Uraian: Problem Fenomenologi


Upaya untuk menghadirkan fenomenologi sebagai suatu fenomena untuk ditelisik memakai
metodologi fenomenologi sebenarnya sudah dirintis oleh Husserl. Dalam karyanya berjudul
“Formal and Transcendental Logic”6, Husserl menilai telaah tersebut diperlukan agar
fenomenologi bisa menyediakan argumentasi fondasional atas klaim-klaimnya yang kokoh
sebagai sains.

Fenomenologi transendental itu sendiri menjadi tema penyelidikan dan kritik


di tingkat yang lebih tinggi, demi memberikan marwah tertinggi keaslian
(genuineness): kemampuan untuk membenarkan dirinya sendiri secara
keseluruhan/ke akar-akarnya.7
Eugene F Bertoldi, profesor filsafat di Wilfrid Laurier University, Kanada, menilai telaah
terhadap fenomenologi bukan lagi suatu kemungkinan, melainkan suatu kebutuhan agar
keseluruhan analisis fenomenologis absah. Investigasi fenomenologis terhadap fenomenologi
itu dimungkinkan dan menjadi kebutuhan karena fenomenologi sendiri diklaim sebagai

4
“there is no such thing as the one phenomenology, and if there could be such a thing it would never become
anything like a philosophical technique. Heidegger, Martin, The Basic Problems of Phenomenology, Indiana,
Indiana University Press, 1982, hlm 328.

5
Merleau-Ponty, maurice, Phenomenology of Perception (Translated by Donald A Landes), London & New
York, Routledge, 2012. Dalam risalah ini, seluruh kutipan yang mengacu pada buku tersebut akan dikutip
dalam innote (catatan perut) dengan tulisan "PP" dan dikuti nomor halaman.
6
Husserl, Edmund, Formal and Transcendental Logic (Translated by D Cairns), The Hague, 1969.
7
Ibid, hlm 275.

2
metode untuk menginvestigasi struktur esensial peristiwa mental. Berdasarkan klaim tersebut,
fenomenologi juga sesungguhnya terdiri dari peristiwa mental.8 Namun sayang, Husserl
sendiri tak pernah menempatkan fenomenologi sebagai tema penyelidikan. Hal tersebut,
menurut Bertoldi, justru baru dilakukan oleh Merleau-Ponty dalam buku Phenomenology of
Perception.

“Kata Pengantar” (preface) yang dibuat Merleau-Ponty untuk bukunya itu merupakan
respons terhadap pertanyaan “apakah itu fenomenologi?” Dengan kata lain, bagi Merleau-
Ponty, fenomenologi adalah suatu metodologi dan juga problem (PP Ixxi). Konsekuensinya,
fenomenologi persepsi secara keseluruhan adalah tentang fenomenologi itu sendiri.9
Fenomenologi sebagai suatu problem tampak jelas dalam dua paragraf pertama preface.
Dalam dua paragraf tersebut, dirinya tidak mencoba untuk memberikan rumusan pasti atau
definisi fenomenologi. Sebaliknya, ia justru menyajikan beragam artikulasi hakikat
fenomenologi modern yang sudah saling bertentangan sejak Husserl.

Fenomenologi, misalnya, diartikan sebagai studi tentang esensi (PP Ixx). Ada pula yang
mendefinisikan fenomenologi sebagai filsafat yang meletakkan esensi dalam eksistensi,
sehingga bisa memahami manusia dan dunia dari awalnya, yakni faktisitas (PP Ixx). Tak
hanya itu, dalam sejarah perkembangannya, fenomenologi juga diartikan sebagai filsafat
transendental yang menangguhkan seluruh sikap alamiah “subjek” yang mengafirmasi dunia,
dan mengakui eksistensi dunia (already there) sebelum adanya refleksi (PP Ixx). Terakhir,
fenomenologi bisa dinilai sebagai filsafat yang bertujuan menjadi ilmu eksak mengenai
ruang, waktu, dan dunia yang dihidupi oleh kita (PP Ixx).

Merleau-Ponty menegaskan, keseluruhan hakikat fenomenologi yang tampak kontradiktif


tersebut tidak bisa diselesaikan secara serampangan, yakni dengan mendikotomikan
kesemuanya ke dalam dua tradisi besar fenomenologi: Husserlian atau Heideggerian. Sebab,
bagi dirinya, dua tradisi besar tersebut masih memunyai benang merah sehingga tak bisa
dihadap-hadapkan secara diametris.10 Satu-satunya jalan untuk mendedah fenomenologi
adalah melalui metodologi fenomenologi itu sendiri. Jalan inilah yang dilintasi Merleau-
Ponty, yakni dengan mendedah empat tema utama fenomenologi: deskripsi, reduksi, esensi,

8
Bertoldi, Eugene F, Phenomenology of Phenomenology, dalam: Canadian Journal of Philosophy Vol. 7, No.2
(Jun., 1977), hlm 239.
9
Ibid, hlm 240.
10
Bagi Merleau-Ponty, tradisi fenomenologi yang dibangun Heideggerian tidak pernah terputus dari Husserl.
Sebab, Heidegger hanya mengeksplisitkan pemikiran Husserl mengenai “konsep alamiah mengenai dunia atau
lebenswelt (PP Ixxi).

3
dan intensionalis. Keempat tema utama fenomenologi ini lekat dengan tradisi Husserlian,
sehingga bisa dikatakan, Merleau-Ponty mencoba menjalankan prosedur metode
fenomenologi terhadap “jantung” fenomenologi arus utama, sehingga bisa dimunculkan
kebenaran esensial daripadanya.

II.1. Telisik Fenomenologis atas 4 Tema Fenomenologi


Dalam telisik fenomenologisnya, Merleau-Ponty mengakui—seperti Husserl—bahwa tujuan
utama fenomenologi bukannya untuk menjelaskan (explaining) atau menganalisis
(analyzing), melainkan mendeskripsikan atau dalam bahasa Husserl adalah kembali ke benda
itu sendiri (return to the things themselves) (PP Ixxi). Konsekuensinya, deskripsi merupakan
penyangkalan terhadap segala konsepsi saintifik dan beralih atau kembali pulang ke
pengalaman kita atas dunia. Sebab, sains itu sendiri hanya sekadar “ekspresi kedua dari
pengalaman tersebut” (PP Ixxii).

Sebagai ekspresi kedua dari pengalaman kita di dunia, sains justru bukanlah suatu kebenaran
seperti yang diklaim kaum positivis. Sebaliknya, Merleau-Ponty justru menuding sains
bersifat “naif dan hipokrit karena selalu menetapkan kebenaran suatu hal dari perspektif
kesadaran yang mana dunia sejak awal terbentuk dan dimulai di sekitar saya serta untuk
saya” (PP Ixxii).

Karenanya, Merleau-Ponty memajukan tesis Husserl bahwa untuk “kembali ke benda-benda


itu sendiri”, maka diperlukan upaya “kembali ke dunia yang terlebih dulu ada sebelum
pengetahuan, sehingga pengetahuan itu sendiri justru hanya berisi/berbicara tentang hal
tersebut (dunia), dan dunia ini yang bertaliannya dengan setiap sains adalah bersifat abstrak
dan dependen” (PP Ixxii). Dengan kata lain, deskripsi sebagai upaya untuk mengetahui segala
sesuatu yang paling murni harus bisa menembus batas-batas “dunia apa adanya” yang
sebenarnya sudah direkonstruksi oleh konsepsi-konsepsi ilmiah. Mengenai hal ini, Merleau-
Ponty mengatakan bahwa “yang riil itu harus dijelaskan, bukan dikonstruksikan atau
dibentuk. Artinya, persepsi tidak bisa diasimilasi atau disamakan dengan sintesis antara
penilaian, aksi, atau predikasi” (PP Ixxiv).

Selain memajukan tesis utama fenomenologi Husserlian, Merleau-Ponty juga mengkritik


keras konsepsi Husserl tentang "reduksi fenomenologi" yang problematik. Dalam konsepsi
Husserl, reduksi selalu diartikan sebagai "kembali ke kesadaran transendental yang
berhadapan dengan bentangan dunia nan luas dan transparan, yang dihidupi melalui sejumlah

4
a-persepsi” (PPIxxiv). Reduksi seperti ini justru lekat dengan sistem filsafat Idealisme, yang
menekankan peran aktif kesadaran manusia/subjek terhadap dunia di luar dirinya yang
bersifat pasif. Padahal, “pikiran” (cogito) yang benar justru tidak mendefinisikan “eksistensi
subjek” melalui pemikiran bahwa “subjek memiliki eksistensi”, tidak mengonversi “kepastian
dunia” kedalam “kepastian pemikiran tentang dunia”, atau secara umum: tidak menggantikan
“dunia” itu sendiri dengan “makna dunia”. Sebaliknya, cogito seharusnya mengeliminasi
bentuk-bentuk idealisme tersebut dan mengungkapkan “Aku” sebagai “ada di dunia”11 (PP
Ixxvii).

Kekeliruan Husserl, menurut Merleau-Ponty, dilatarbelakangi postulat bahwa reduksi


sejatinya menolak pengandaian yang ada begitu saja melalui cara “pemutusan” (rupture)
hubungan familiar antara subjek dengan dunianya (PP Ixxvii). Langgam reduksi seperti ini
hanya mungkin dilakukan jika subjek adalah Roh Absolut. Namun, karena subjek ada dan
terus berhubungan dengan dunia, maka refleksi berada di wilayah temporal dan tak
memungkinkan untuk mengapropriasi keseluruhan pemikiran dan menilai hal itulah yang
benar. Sebaliknya, filsafat seharusnya tidak mengandaikan satu pun kebenaran yang sudah
mapan. Filsafat harus selalu berada dan terus-menerus :pemproduksi” permulaan (PP
Ixxviii).

Tampaknya, Merleau-Ponty dalam hal ini hendak menegaskan bahwa keberadaan subjek di
dunia beserta upayanya untuk terus memahami dunia justru mengambil pola dialektis. Tidak
ada satu pun yang mapan dan menjadi akhir terkecuali proses negasi dan kemenjadian itu
sendiri. Karenanya, setiap upaya manusia mengerti mengenai dunia justru selalu berada
dalam titik permulaan yang baru.

Selanjutnya, Merleau-Ponty juga menemukan persoalan yang sama dalam konsepsi Husserl
mengenai “esensi”.Bagi Husserl, setiap reduksi yang secara bersamaan bersifat transendental
dan eidetik (PP Ixxviii). Dengan demikian, persepsi mengenai dunia tidak bisa sempurna jika
tidak berhenti pada suatu yang identik dengan tesis kita mengenai dunia itu sendiri. Dalam
hal ini, Merleau-Ponty justru menolak pemahaman Husserl seperti itu, yakni setiap reduksi
yang bersifat eidetik menjadikan esensi sebagai tujuan akhir. Esensi tidak bisa dijadikan
sebagai suatu objek yang bisa dicapai melalui reduksi fenomenologi ala Husserl.

11
“being in the world”, yakni konsepsi sentral dalam fenomenologi Heidegger.

5
Penolakan Merleau-Ponty terhadap konsepsi Husserl bahwa esensi harus menjadi tujuan
akhir sebenarnya berangkat dari kenyataan bahwa, subjek yang bereksistensi sangat lekat
dengan dunia. Keberlekatan eksistensi subjek terhadap dunia tersebut menimbulkan
kebutuhan terhadap idealitas-idealitas berupa esensi untuk mengatasi faktisitasnya (PP
Ixxviii). Dengan demikian, Merleau-Ponty justru memperlakukan esensi sebagai sebuah
sarana bagi subjek untuk mengerti bagaimana hubungannya dengan dunia. Secara baku ia
mengatakan, “pencarian esensi dunia bukanlah pencarian esensi sebagai ide setelah
mereduksinya ke dalam tematisasi wacana—melainkan terjadi sebelum adanya tematisasi,
yakni mencari makna dunia sebagai sebuah fakta bagi subjek (PP Ixxix).

Memperlakukan esensi sebagai sebuah sarana ketimbang tujuan, memiliki konsekuensi


berupa memperluas makna mengenai intensionalitas itu sendiri. Intensionalitas dalam
fenomenologi Husserlian bisa dimaknai sebagai kesadaran subjek terhadap sesuatu di luar
dirinya, atau “seluruh kesadaran adalah kesadaran tentang sesuatu” (PP Ixxxi). Bagi merleau-
Ponty, intensionalitas ini sudah dirintis oleh Immanuel Kant. Bagi Kant, persepsi subjek tidak
dimungkinkan tanpa adanya persepsi eksternal. Dengan demikian, intensionalitas ada setelah
subjek memiliki pengetahuan. Berangkat dari hal ini, Husserl lantas mengembangkan
konsepsi intensionalitas Kant tersebut dengan membaginya menjadi dua kategori:
intensionalitas tindakan (act intentionality) dan intensionalitas operatif (operative
intentionality).

Intensionalitas tindakan adalah seperti yang sudah dirintis oleh Kant, yakni intensionalitas
yang bertumpu pada penilaian serta kehendak bebas subjek. Sementara intensionalitas
operatif adalah yang mendasari intensionalitas tindakan, yakni yang menghasilkan
kebersatuan alamiah dan pre-prediktatif antara dunia dan kehidupan subjek. Kebersatuan itu
tampak pada hasrat, penilian, dan lanskap yang dilihat subjek sehingga lebih jelas dari apa
yang termaktub pada pengetahuan objektif (PP Ixxii).

Perluasan konsep intensionalitas ini sangat bermakna bagi Merleau-Ponty. Sebab, perluasan
tersebut mengatasi “inteleksi” tradisional yang hanya berkonsentrasi pada ide mengenai
kebenaran dan sifat keabadian. Melalui konsepsi intensionalitas operatif, maka fenomenologi
bisa lepas dari keterbatasan tersebut dan menjadi “fenomenologi asal mula” phenomenology
of origins). Dengan begitu, fenomenelogi bisa mengerti bahwa segala benda, peristiwa
sejarah, dan doktrin-doktrin, yang nyatanya merupakan suatu representasi dari intensi. (PP
Ixxii).

6
II.2. “Dekonstruksi” Fenomenologi

Telisik fenomenologis terhadap empat tema utama fenomenologi yang dilakukan Merleau-
Ponty dalam Preface tersebut, tampak bertujuan untuk menghadirkan problem sesungguhnya
dari fenomenologi itu sendiri. Lantas, apa yang sebenarnya menjadi problem fenomenologi?
Bertoldi yang mengkaji hal tersebut membuat satu rumusan baku persoalan fenomenologis
yang dielaborasi Merleau-Ponty dalam Preface: “fenomenologi memiliki sejumlah
kapabilitas ide dan kekuatan sebagai metodologi filsafat, tapi hal ini justru tampak sangat
tidak pasti atau ambigu, bahkan hampir tak ada pemahaman mengenai dasar dan batasan-
batasannya.”12

Dalam kesimpulannya pada Preface, Merleau-Ponty mengungkapkan bahwa dari segenap


klaim yang kontradiktif, terdapat satu makna utama fenomenologi, yakni “sebagai
penyingkapan dunia yang ada di dalam dirinya sendiri dan menyediakan dasar-dasarnya
sendiri” (PP…..). Posisi Merleau-Ponty dalam upaya penyingkapan dunia atau “kembali ke
benda-benda itu sendiri” adalah, mengembalikan investigasi dari “dunia sains objektif” ke
dunia yang mendahuluinya yakni “dunia persepsi”. Konsepsi “dua dunia” ini lekat pada
investigasi

12
Bertoldi, Eugene F, Op.cit hlm 243.

Anda mungkin juga menyukai