Anda di halaman 1dari 147

Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Konflik, Tragedi, Rekonsiliasi


Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

Pasal 1

Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif
setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pidana

Pasal 113

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000
(seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Seekor Burung Kecil Biru di Naha
Konflik, Tragedi, Rekonsiliasi

Linda Christanty

Jakarta:
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Seekor Burung Kecil Biru di Naha:
Konflik, Tragedi, Rekonsiliasi
©Linda Christanty

KPG 901 15 0935

Cetakan Pertama, Februari 2015

Penulis
Linda Christanty

Penyunting
Christina M. Udiani

Perancang Sampul
Deborah Amadis Mawa

Penataletak
Aldy Akbar
Wendie

CHRISTANTY, Linda
Seekor Burung Kecil Biru di Naha
Konflik, Tragedi, Rekonsiliasi
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2015
xviii + 110 hlm; 13,5 cm x 20 cm
ISBN: 978-979-91-0821-0

Dicetak oleh PT Gramedia, Jakarta.


Isi di luar tanggung jawab percetakan.
Let everything happen to you: beauty and terror.
Just keep going. No feeling is final.

RAINER MARIA RILKE (1875-1926),


Go to the Limits of Your Longing
Daftar Isi
Ucapan Terima Kasih ix
Kata Pengantar x
1. Berdamai dari Bawah 1
2. Nama Saya Wanda 17
3. Rumah bagi Mereka yang Tua 22
4. Panglima Amir dan Ayamnya 32
5. Mendengar Bisikan Sungai Brahmaputra 42
6. Karbala 55
7. Seloyang Pizza di Shinjuku 60
8. Seekor Burung Kecil Biru di Naha 65
9. Kenangan Punne 71
10. Tentang Dua Tragedi: Masa Nazi di Jerman dan 1965 82
11. Kakek saya, Opa Manusama dan Opa Willem 89
12. Percik Api di Timur 97
13. Continental Club 120
Tentang Penulis 132
Daftar Publikasi 134
Ucapan Terima Kasih

Buku ini terbit berkat bantuan dan dukungan adik saya


Tubagus Budhi Firbany, juga kesungguhan dua editor saya,
Christina M. Udiani dan Gunnar Stange.
Kata Pengantar

Tiap kisah dalam buku ini terhubung oleh garis-garis yang


sama, yaitu hubungan antarmanusia yang dinamis, masalah-
masalah yang memisahkan mereka, rekonsiliasi, dan upaya-
upaya individu untuk bertahan dalam bahaya serta mela wan
praktik ketidakadilan yang mengatasnamakan apa pun. Kisah-
kisah ini mengetengahkan tentang manusia dan kema
nusiaannya.
Peristiwa-peristiwa yang terekam dalam buku ini, berasal
dari masa lalu dan masa kini, terjadi di tempat-tempat yang
dekat atau jauh, di pusat atau di periferi, yang definisinya
kadangkala tidak lagi baku.

Jakarta, Desember 2014

Linda Christanty
1

Berdamai dari Bawah

Kehidupan perempuan Aceh


pascaperdamaian dan sejarah
berdirinya Museum HAM pertama di
Asia Tenggara.

SUATU hari di tahun 1998, Khatijah binti Amin melihat air laut
berwarna merah. Barangkali itu hanya pengaruh ganggang atau
pantulan cahaya matahari sore. Tetapi dalam keadaan tertekan,
dia tidak sempat memikirkan hal semacam itu. Rumah tahanan
tempat dia disekap berada dekat laut. Dia merasa hidupnya tak
lama lagi. Laut sewarna darah itu dianggapnya pertanda maut.
Jarang sekali ada tahanan yang keluar dalam keadaan hidup dari
kekejaman penyiksaan di Rancung, Pidie.
Khatijah ternyata dikaruniai umur panjang. Satu setengah
bulan kemudian dia dibebaskan. Setelah itu dia ditangkap lagi
dan ditahan di Rumoh Geudong, di Teupin Raya. Dia mengalami
kekerasan fisik selama di situ, dipukuli dengan tongkat kayu. Dia
juga menyaksikan orang-orang disiksa lebih hebat dibanding
2 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

dirinya. Dia menganggap penderitaannya belum seberapa


dibanding mereka. “Di sana saya mengaji terus. Tamat Alquran
dalam 15 hari,” kenang Khatijah. Temannya diperkosa.
Suami Khatijah, Tengku Harun alias Abu Muslimin, adalah
salah satu anggota pasukan pertama Hasan Tiro, sang pencetus
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada 4 Desember 1976, Tiro
mendeklarasikan perang terhadap negara Indonesia untuk
kemerdekaan Aceh. Indonesia membalas deklarasi itu dengan
mengirim pasukan bersenjata ke Aceh. Tentara Nasional
Indonesia (TNI) menjadikan Khatijah sebagai sasaran karena
mereka tidak berhasil menangkap Tengku Harun.
Tidak kali itu saja Khatijah jadi saksi sejarah kekerasan di
Aceh. Ketika masih kanak-kanak, dia melihat rumah ulee balang
atau bangsawan Aceh dibakar. Para ulee balang dan keluarga
mereka dibunuh, begitu pula orang-orang yang dianggap dekat
dengan mereka. “Imam masjid kampung juga dibunuh karena
dekat dengan Ampon Puteh,” katanya, dalam bahasa Aceh.
Ampon Puteh atau Tengku Puteh adalah ulee balang terkenal di
kampungnya. “Dia berkuasa,” lanjut Khatijah. Ulama yang
tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh atau PUSA
memimpin gerakan berdarah itu dan bertekad mengakhiri
kekuasaan ulee balang yang mereka anggap kaki tangan penjajah
kolonial Belanda waktu itu. PUSA mendukung negara Indonesia.
Revolusi sosial ini berlangsung pada 1946 dan dinamai Perang
Cumbok atau Perang Ulee Balang.
Pada 15 Agustus 2005, pemerintah Indonesia dan GAM
me nandatangani perjanjian damai di Helsinki, Finlandia.
Suami dan tiga anak laki-laki Khatijah yang ikut GAM pun
kembali ke rumah.
Namun, Khatijah belum dapat menghilangkan rasa marah nya
terhadap orang-orang yang menyiksanya dulu.
Linda Christanty 3

“Hati saya masih merah. Sesadis itu mereka lakukan,


bagai mana mereka aniaya saya, begitulah Allah
membalasnya,” katanya. Dia merasa tidak mungkin menuntut
hukuman bagi mereka di dunia ini, sehingga dia menyerahkan
pengadilan itu kepada Tuhan. Beberapa orang yang pernah
menyiksanya bahkan sudah meninggal dunia.
Usianya kini sekitar 73 tahun. Dia duduk di tikar pandan, di
ruang tamu rumahnya di Teupin Raya. Tidak ada perabotan apa
pun di ruang itu, kecuali sehelai tikar yang digelar untuk tamu
yang datang. Khatijah berjilbab hitam, mengenakan setelan blus
lengan pendek dan kain sarung sore itu, 2 Agustus 2011.
Pengalaman selama ditahan juga memberinya
pengetahuan lain tentang konflik.
“Cuak (mata-mata) yang terdiri dari orang Aceh sendiri
sering lebih kejam dari tentara Indonesia,” katanya. Salah
seorang dari mereka bahkan saudara sepupu Khatijah sendiri.
“Pudin namanya. Dulu dia ikut GAM, ditangkap (TNI) lalu
jadi cuak,” tuturnya.
Salah seorang cuak legendaris di Teupin Raya bernama
Raja. “Dia membunuh ayahnya sendiri di Rumoh Geudong,”
lanjutnya.
Dia tidak yakin perdamaian di Aceh akan kekal.
“Damai itu sementara. Damai itu untuk menghindari
ribut-ribut. Kalau sudah merdeka Aceh, barulah kita benar-
benar damai,” ujar Khatijah.

RUMOH Geudong berada di desa Billie Aron, Teupin Raya,


terkenal sebagai tempat penyekapan dan penyiksaan di masa
Aceh berstatus Daerah Operasi Militer atau DOM. Rumah
tersebut menjadi pos komando Pasukan Khusus sejak 1990
sampai 1998. Sekarang hanya fondasi dan cabikan tembok
4 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

betonnya yang tersisa. Pada Agustus 1998, sejumlah orang


tiba-tiba membakar rumah itu. Bukti-bukti kejahatan pun
hilang. Rumput dan semak tumbuh subur di halaman, dengan
sejumlah pohon yang masih tegak di sana-sini.
“Saya juga biasa dipanggil Kak Baek,” kata Nurhaida, saat
mengenalkan diri di halaman rumahnya yang bersebelahan
dengan Rumoh Geudong. Sorot matanya hangat. Gigi-gigi
yang kurang rapi dan rusak sebagian tampak jelas saat
mulutnya berkali-kali terbuka. Nurhaida bercerita sambil
tertawa, meski isi ceritanya bukan hal-hal lucu. Dia
mengenakan setelan jilbab dan daster batik berlengan pendek.
Sore itu Nurhaida tengah menyiapkan makanan untuk
berbuka puasa. Ketiga anak laki-lakinya akan berbuka puasa
bersamanya. Dua orang sudah berumah tangga, juga
membawa serta istri dan anak mereka.
Rumah Nurhaida bergaya panggung, terbuat dari kayu. Di
lantai bawah ada satu ruang yang biasa digunakan untuk
menerima tamu. Tak ada meja kursi di situ, kecuali sehelai
tikar yang sudah tipis dan usang, sementara di salah satu
pojok teronggok setumpuk baju cucu Nurhaida yang kelihatan
bekas dipakai. Ibunda Nurhaida yang sudah berusia 84 tahun
berbaring di ruang 2 x 3 meter persegi itu, beralas tikar. Dia
kelihatan sehat dan tidak pikun. Ketika Nurhaida lupa tahun
kelahiran almarhum suaminya, dia bertanya dalam bahasa
Aceh pada sang Ibu, “Mak, tahun berapa Abang lahir?” Ibunya
menjawab cepat, “Tahun 1954.”
“Suami saya meninggal karena sakit. Sakitnya tidak jelas. Selama
setahun. Tiga hari di rumah sakit langsung meninggal. Dokter juga
tidak tahu apa penyakitnya. Tapi menurut saya dia stres, karena
mendengar teriakan orang-orang yang disiksa setiap hari dan
melihat orang-orang dipukul atau disiksa di
Linda Christanty 5

halaman (Rumoh Geudong). Abang lebih nggak tahan mende


ngar dan melihat semacam itu dibanding saya,” tutur
Nurhaida, dalam bahasa Aceh.
Di halaman Rumoh Geudong, dia pernah melihat orang
ditelanjangi dan diikat di pohon pisang dengan kepala ditutupi
plastik selama berhari-hari. “Laki-laki. Akhirnya orang itu
meninggal,” katanya, lalu tercenung.
“Teriakan kesakitan dan minta tolong itu terdengar setiap
hari mulai jam sembilan malam sampai jam tiga pagi. Di
tahun 1998, penyiksaan terjadi setiap hari, lebih dari masa
sebelumnya,” tukas Sanusi, salah seorang anaknya, yang men
dengar percakapan kami.
“Sedih melihat manusia diperlakukan seperti itu. Rasanya
ingin menolong, tapi nanti nyawa kita terancam. Mendiamkan,
tapi hati rasanya sedih sekali, sangat sedih. Teganya manusia
berbuat begitu pada sesama,” kata Sanusi, lirih.
Menurut Sanusi, para penyiksa yang kejam justru orang-
orang Aceh sendiri. Dia menyebut nama salah satu penyiksa,
Raja.
“Rok saya sampai begini,” kata Nurhaida, memperagakan
roknya yang melorot di masa itu.
“Kenapa?” tanya saya, cemas.
“Kurus!” tukas Sanusi.
“Ya, gara-gara itu saya kurus,” kata Nurhaida, dengan ka
limat lebih lengkap, diiringi tawa.
Kegiatan masak-memasak dalam rumah tangga juga ikut
terganggu. Suami Nurhaida jarang menemukan lauk-pauk di
rumah, kecuali nasi. Tiap kali mendengar suara orang
berteriak kesakitan atau minta tolong dari sebelah rumahnya,
Nurhaida langsung berhenti memasak, lalu pergi. Suaminya
sudah maklum.
6 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Dia benar-benar senang mendengar kabar perdamaian.


“Tidak mau lagi semua itu terulang. Kami tidak tahu apa-apa.
Meski tidak jadi korban langsung, kami juga menderita. Dulu
untuk pergi ke depan sana saja sangat takut melewati dan
menoleh ke rumah itu. Kini setelah damai, orang bebas ke
mana saja,” tuturnya.

DI Pondok Sayur, satu kecamatan di Bener Meriah, malam


Rabu pernah jadi malam yang tidak diharapkan tiba. Tetapi
tidak mungkin menghapus sebuah malam dalam kalender di
kehidupan nyata. Akibatnya, tiap kali malam Rabu menjelang,
orang-orang selalu was-was dan menyiapkan diri menghadapi
bahaya.
“Seperti sudah diatur. Hari pembakaran itu malam Rabu,”
ujar Saliza binti Jafar.
“Tiap kali akan ada pembakaran, ada geluduk,” sahut Beniati
binti Samkari. Geluduk adalah petir dalam bahasa Indonesia.
“Tapi selain malam Rabu, kadang malam Sabtu juga ada
kejadian,” kata Zubaidah binti Bacah.
Suara tawa terdengar dalam ruang tamu kantor Kelompok
Perempuan Cinta Damai atau KPCD ketika membicarakan
hari-hari khusus di masa konflik dulu.
Kecamatan Pondok Sayur, Bener Meriah, Aceh Tengah,
berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari Teupin Raya, Pidie.
Hawa panas kota pesisir telah berganti sejuk pegunungan. Bener
Meriah disebut juga Dataran Tinggi Gayo. Banyak kebun kopi di
sini. Mata pencarian warga kebanyakan bersumber pada
perkebunan kopi itu. Selain terkenal dengan kopinya, Bener
Meriah kaya dengan sayur-mayur dan bermacam buah.
Di tepi jalan raya Pondok Sayur, jalan yang cukup ramai lalu-
lintasnya, ada satu rumah bertingkat dua yang sederhana.
Linda Christanty 7

Dinding-dindingnya terbuat dari papan yang dicat putih,


tetapi di beberapa bagian telah luntur warnanya akibat cuaca.
Rumah ini adalah kantor KPCD. Lima perempuan berjilbab
duduk berkumpul di ruang tamu, termasuk Saliza, Beniati,
dan Zubaidah. Mereka anggota KPCD. Mereka sedang berbagi
cerita dengan tamu yang datang siang itu.
Zubaidah teringat pengalamannya di tahun 2000. Bus
yang ditumpanginya dicegat sejumlah pemuda di jalan antara
Bireuen dan Banda Aceh. Seluruh penumpang diminta turun.
Sopir bus ditahan. Bus dibakar.
Dia tidak mengerti sebabnya.
Saliza menukas, “Di awal konflik, saya mendengar orang
membenci suku Jawa. Suku Jawa itu disuruh pergi. Ada
selebaran yang ditempel di mana-mana, termasuk di masjid.
Isinya, seruan agar orang Jawa pergi dalam waktu 1 x 24 jam.”
Zubaidah dan Saliza adalah orang Aceh, tetapi tidak luput
dari kebencian tersebut.
Di masa itu Saliza kehilangan ayahnya.
“Ayah saya ditembak ketika sedang mengambil wudhu di
masjid, karena dituduh jadi mata-mata TNI,” tuturnya.
Bagi GAM, TNI identik dengan suku Jawa atau orang-
orang dari Jawa.
Orang-orang Jawa datang ke Dataran Tinggi Gayo sebagai
transmigran di masa pemerintah Soeharto. Jauh sebelumnya,
di masa kolonial Belanda, orang-orang Jawa didatangkan ke
Aceh Tengah untuk menjadi kuli di perkebunan-perkebunan.
Mereka kemudian berkembang biak dan tempat yang baru itu
jadi kampung halaman. Pemerintah Soeharto menganggap
program transmigrasi adalah cara yang tepat untuk mengatasi
populasi warga yang terus meningkat di Pulau Jawa. Tetapi
kelak program tadi dihubungkan dengan politik demografi
8 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Soeharto, yang disebut “Jawanisasi”. Hasan Tiro pun


mencetus kan perlawanan terhadap apa yang dikatakannya
sebagai “ko lonialisme Jawa”.
Konflik menghancurkan hubungan antarwarga yang tadi
nya hangat. Orang-orang saling mencurigai.
“Kalau ada rumah dibakar rumah orang Jawa, maka yang
dituduh orang Aceh dan Gayo. Kalau rumah orang Aceh atau
Gayo dibakar, disangka pembakarnya orang Jawa. Tapi pelaku
sebenarnya tidak jelas,” kata Zubaidah.
“Sebelum konflik memanas, antartetangga berbeda suku
saling akrab. Itu sebelum tahun 1998. Kebersamaan ini
diobrak-abrik konflik kemarin,” kata Beniati.
Sepanjang tahun 2001 banyak orang mengungsi ke luar
kampung.
“Mobil-mobil dan manusia terus bergerak ke pengungsian,
terus-menerus selama 24 jam,” kata Beniati. Dia orang Jawa
dan generasi ketiga dalam keluarganya yang tinggal di sini.
Beniati bahkan tidak pernah pulang ke Jawa dan tidak tahu
kampung halaman lain selain tempat dia dilahirkan di sini.
Marhamah binti Muhammad Kasim menyambung cerita
Beniati, “Kami tinggal di sekitar Danau Laut Tawar. Kalau di
situ memang nggak ada campuran etnis, kita Gayo saja, Gayo
asli, tapi di situ pun ada kertas yang ditempel di mana-mana.
Isinya ‘Tidurlah Lebih Nyenyak, Makanlah Kamu Lebih
Kenyang, Besok Pagi Kamu Sudah Tidak Ada.’ Orangtua saya
memperoleh kertas itu. Kebetulan waktu itu Pemilu
(pemilihan umum), dan Bapak saya kebetulan panitia untuk
Partai Golkar.” Akhirnya ayahnya pindah dan tinggal di
Takengon, ibukota Aceh Tengah.
Apa reaksi para perempuan ini ketika mendengar kesepa
Linda Christanty 9

katan damai antara pemerintah Indonesia dan GAM pada 15


Agustus 2005?
“Tadinya nggak yakin. Tidak yakiiin....” jawab mereka, se
rentak.
Dwi Handayani mengatakan bahwa konflik di Bener
Meriah terlalu rumit, “Di wilayah pesisir Aceh, TNI
berhadapan dengan GAM. Kawan dan lawan jelas.” Namun, di
Bener Meriah, pelaku kekerasan bisa bermacam-macam dan
tidak mudah diidentifikasi.
“Waktu mendengar perdamaian, sempat berpikir ini tidak
akan berhasil. Karena pada waktu itu ada isu, bahwa ini
taktiknya GAM, supaya pemerintah lalai: TNI ditarik semua
dan setelah itu GAM berontak lagi. Nah, itu juga membuat
timbulnya sedikit kecurigaan. Ini jangan-jangan suku Aceh
dan Gayo sengaja membuat politik semacam ini agar nantinya
menyerang suku Jawa,” katanya. Sama seperti Beniati, Dwi
keturunan Jawa.
Dwi juga mempertanyakan istilah ‘nota’ pada frase ‘Nota
Kesepahaman Helsinki’. “Kenapa nota? Nota itu ‘kan
perjanjian kecil. Kenapa bukan traktat?” katanya.
Lama-kelamaan dia menyadari bahwa perdamaian harus
diciptakan oleh warga sendiri dengan menumbuhkan sikap
saling percaya.
“Bukan lagi harus mendatangkan TNI, terus kita damai.
Semua kita ingin damai. Kemudian saya masuk KPCD. Saya
mendengar cerita-cerita teman lain. Ternyata mereka punya
cerita yang sama dengan saya,” katanya.
Berbeda dengan kebanyakan warga di wilayah pesisir Aceh
yang menganggap militer musuh mereka, di Pondok Sayur
anggota Satuan Gabungan Intelijen (SGI) justru jadi idola.
10 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Pada 2003, warga dari lima desa yang digerakkan para ibu dan
perempuan melakukan aksi untuk mencegah SGI pergi.
“Sebab kalau ada mereka, minimal warga merasa lebih
aman,” ujar Dwi.
Kelompok-kelompok paramiliter yang didukung TNI pun
berdiri di Bener Meriah. Bersama TNI, mereka berperang
melawan GAM.
Rintangan terbesar untuk membangun kepercayaan
antarsesama pascaperdamaian berasal dari lingkungan
sendiri.
“Lingkungan saya ‘kan orang Jawa. Karena mereka belum
sepenuhnya pulih kepercayaannya kepada suku lain, jadi cerita
tentang masa lalu itu kadang diulang lagi,” lanjut Dwi.
Dinding-dinding kantor KPCD berhias foto-foto kegiatan
lembaga tersebut. Selain mendirikan koperasi untuk para
anggotanya, KPCD yang bekerja sama dengan Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh (Kontras
Aceh) menyelenggarakan pelatihan tentang perdamaian dan
rekonsiliasi. Mereka juga mengorganisasi desa-desa cinta
damai, istilah mereka untuk desa-desa multietnis
pascakonflik. Dalam dua tahun ini sudah terbentuk 16 desa
cinta damai. Namun, pekerjaan mereka masih panjang. Sebab
lebih dari seratus desa berada di kabupaten ini.
“Kebencian antarsuku itu bagaimana pun masih ada di
banyak tempat,” kata Beniati.
Dalam proses rekonsiliasi, isu tentang pembentukan Ko
misi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pengadilan Hak
Asasi Manusia ramai dibicarakan orang serta jadi perdebatan.
Saliza sangsi para pelaku kekerasan dapat diadili. “Karena
yang berbuat bukan cuma satu. Kalau diadili pun nggak bisa,”
katanya.
Linda Christanty 11

“Orang yang jadi korban itu biasanya akan berkata


‘sudahlah lupakan saja’, sebab tindakan itu mungkin seperti
membuka luka lama. Di sini pelakunya nggak jelas. Kalau di
pesisir, jelas. Berbeda kalau itu dilakukan satu lawan satu. Di
masa konflik itu, selain banyak pelakunya, banyak korbannya,
kita juga tidak jelas pelakunya,” sambung Dwi.
Zubaidah khawatir dendam justru muncul saat pelaku
diadili, “Kita sudah merasakan keluarga kita hilang, jangan
lagi dia merasa keluarga dia hilang. Dari situ, dendam itu akan
terus.”
Menurut Dwi, Bener Meriah punya sejarah konflik yang
parah. “Kita takutnya ada setitik noda tadi, bisa memicu. ‘Kan
pe langgaran HAM itu dilakukan oleh pemerintah, mungkin
itulah sulitnya lagi, bagaimana menuntut pemerintah. Masa
DOM (Daerah Operasi Militer) jelas pelakunya aparat
pemerintah. Kalau konflik kemarin, tidak jelas.”
“Jangan-jangan pelakunya keluarga kita sendiri. Kadang
dendam pribadi juga ada.” Zubaidah menimpali cerita Dwi.
Menurut Marhamah, KPCD ini bertumpu pada peran
perempuan sebagai penjaga dan pengupaya perdamaian.
“Dengan mendidik generasi penerus agar tidak lagi ada
rasa dendam,” katanya.
Dia juga mengusulkan agar program perdamaian tidak
hanya ditujukan pada kaum ibu dan perempuan. Anak-anak
me rupakan bagian yang penting untuk dilibatkan. Dia
kemudian bercerita tentang pengalamannya bertemu dengan
tiga anak korban konflik.
“Semuanya laki-laki. Yang sulung masih di kelas dua sekolah
menengah pertama, yang nomor dua kelas enam sekolah dasar
dan yang paling kecil belum sekolah. Ayahnya ditembak di depan
mereka. Ibu mereka meninggal karena sakit. Warga kemudian
12 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

berinisiatif merawat anak-anak ini. Ketika ada yang bertanya


siapa pembunuh ayahnya, anak-anak ini tak bisa menjawab,
tapi menyanyikannya, ber-didong,” kisah Marhamah.
Didong adalah seni tradisional Gayo, seni mengucap
pantun dengan menyanyikannya.
“Anak-anak ini jadi korban dan kita tidak tahu apa yang
terjadi 20 tahun dari sekarang. Tugas kita melakukan trauma
healing untuk mereka dan mengajarkan tentang kebersamaan
lewat permainan misalnya,” lanjutnya.

POTRET-potret wajah orang hilang berjajar di lantai Museum


Hak Asasi Manusia (HAM). Sebuah meja berada di tengah
ruangan yang agak berantakan. Bau cat tercium. Azhari Aiyub,
direktur Komunitas Tikar Pandan (KTP), menenteng lampu
baterai yang cahayanya tidak seberapa terang di pagi 3
Agustus 2011 itu.
“Sedang direnovasi,” katanya. Dia gagal menemukan
tombol lampu listrik di dinding museum.
Lukisan mural bergaya abstrak dan dekoratif, berwarna
hitam putih, menghias dinding. Museum ini menempati
sebuah ruang berukuran 4x5 meter persegi, yang tadinya
berfungsi sebagai garasi mobil di kantor KTP. Lokasinya di
Ulee Kareng, Banda Aceh. Status bangunan masih menyewa,
sehingga seisi museum akan turut dibawa tiap kali kantor KTP
pindah ke tempat baru.
Pagi itu Azhari tergesa-gesa bangun karena seorang pe ngunjung
datang sebelum jam buka kantornya. Dia menge nakan kaos oblong
putih dan bercelana pendek. Matanya sete ngah mengantuk. KTP,
yang sekarang popular dengan nama Liga Kebudayaan Komunitas
Tikar Pandan, dibentuk saat konflik bersenjata antara pemerintah
Indonesia dan GAM
Linda Christanty 13

tengah memanas di Aceh. Lima anak muda yang gelisah dan


berusia 20-an, Azhari, Reza Idria, Yulfan, Yuziana, dan Syahrul
adalah para pendirinya. Beberapa di antara mereka pernah aktif
dalam gerakan pelajar menjelang kejatuhan Presiden Soeharto.
Pada 1999, mereka juga ikut mengorganisasi massa dan terlibat
aksi referendum untuk Aceh. Namun, bertahun-tahun kemudian,
di tengah situasi politik Aceh yang masih bergolak, mereka
menyadari bahwa tidak ada orang yang memikirkan kebudayaan.
Sekitar tahun 2002 hingga 2003, mereka mulai
menyelenggarakan diskusi sastra dan kebudayaan dengan
mengatasnamakan komunitas tersebut. “Dulu tidak ada film
bagus untuk ditonton, sekarang sudah ada. Dulu para aktivis sok
mengerti seni dan film, padahal pengetahuan mereka pas-pasan.
Kami kemudian mengajak kawan-kawan membentuk komunitas
ini agar dapat memperluas pengetahuan dan menyumbang
sesuatu bagi masyarakat,” tutur Azhari. Ketika undang-undang
darurat militer diberlakukan di Aceh dan lembaga-lembaga
politik kocar-kacir, komunitas ini tetap bertahan. “Karena kami
bergerak di kebudayaan, tidak ada yang bertanya dan curiga. Tapi
penyaruan ini sebuah kebetulan,” kenangnya. Bagi Azhari, terlibat
dalam pembuatan Museum HAM ini merupakan bagian dari kerja
penting kebudayaan.
“Dalam kebudayaan yang maju dan sangat menghargai
kemanusiaan, museum adalah lembaga yang sangat aktif. Bagi
pemerintahan yang tidak menghargai kemanusiaan, museum
adalah bagian dari kekuasaan, yang hanya para elitenya yang
bisa membentuk dan menentukan nilai-nilai yang ingin
disuarakan museum itu. Kami ingin membalikkan semuanya
sekarang. Kami membuat museum pelanggaran HAM untuk
menempatkan mereka yang dibuang dan dilupakan dalam
transisi politik di Aceh ini di garis depan. Misalnya, dengan
14 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

mencantumkan 10 tempat penyiksaan atau penjara rahasia di


Aceh dalam museum, orang-orang yang datang dan
melihatnya akan berpikir bahwa posisi mereka dengan para
korban itu suatu saat akan sama, yaitu menjadi umpan senjata
kalau suatu saat konflik terjadi lagi,” katanya.
Museum HAM juga turut serta dalam pameran-pameran
HAM di kampus atau sekolah. Kadang-kadang sejumlah
koleksi museum ini dipinjam untuk kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan HAM. Pertambahan koleksi tak jarang
melibatkan usul atau sumbangan pengunjung yang menjadi
saksi peristiwa di masa lalu.
Gagasan pembangunan museum datang dari Reza Idria, salah
seorang pengurus KTP. Dia antropolog lulusan Universitas
Leiden, kini mengajar di Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry,
Banda Aceh. Usia Reza 30 tahun. Wajahnya mirip orang-orang
Asia Selatan. Berhidung mancung, berkulit cokelat. Sorot
matanya berbinar di balik kacamatanya, tiap kali dia bicara.
Ketika menjalani masa kuliah di Belanda, Reza sempat pergi ke
Jerman dan berkunjung ke Museum Holocaust atau museum
kekejaman Nazi di Berlin. Museum itu membuatnya terkesan,
memberinya inspirasi untuk membangun Museum HAM di Aceh,
yang juga menjadi Museum HAM pertama di Indonesia dan Asia
Tenggara. Setelah kembali ke Aceh, Reza melontarkan gagasannya
itu pada seorang teman dan ternyata gagasannya bersambut. KTP,
Kontras Aceh, Koalisi NGO HAM, dan Lembaga Bantuan Hukum Aceh
membentuk konsorsium untuk membangun Museum HAM. Tak
lama kemudian dana terkumpul. Sangat minim. Hanya sekitar 6 ribu
Euro atau sekitar Rp 50 juta. Keterbatasan dana membuat KTP
berinisiatif mendedikasikan satu ruangan di kantor mereka sebagai
museum.
Linda Christanty 15

“Daripada kita hanya meributkan soal Komisi Kebenaran


dan Rekonsiliasi, dan legalitasnya, yang prosesnya lama,
sementara ingatan kita terbatas, ada baiknya kita membangun
tempat di mana orang bisa menaruh barang, foto, yang
berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh,”
ujar Reza dalam sebuah kesempatan.
Pada malam 23 Maret 2011 museum itu resmi dibuka,
sedang keesokan harinya, 24 Maret adalah hari Hak Korban
untuk Kebenaran dan Keadilan yang ditetapkan Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Reza menjelaskan, “Awalnya kami ingin membangun mu
seum perdamaian dan konflik. Tapi sampai sekarang pelang
garan yang terjadi di Aceh masih terus berlangsung. Artinya,
kita harus bicara HAM secara umum. Apalagi ada penerapan
syariat Islam yang berpotensi menyebabkan pelanggaran itu.
Museum HAM lebih tepat.”
Namun, dia tetap menganggap penting terwujudnya peng
adilan HAM untuk konflik politik di Aceh.
“Kekerasan yang masih berlangsung di Aceh sampai seka
rang menunjukkan bahwa masalah belum selesai. Tapi (pem
bentukan pengadilan HAM) itu akan memerlukan waktu lama.
Penyebabnya macam-macam, seperti tarik-menarik (peme
rintah) pusat dan (pemerintah) daerah. Kelompok-kelompok
yang dulu bertikai kini berteman. Mereka, dua kubu ini, bahkan
menolak konsep Museum HAM. Alasannya, jangan membuka lagi
luka masa lalu. Kami bukan ingin mengungkit dendam, tapi ingin
belajar dari masa lalu, agar tidak terulang lagi,” katanya. “Sebab
bukan tugas kami mengadili pelaku kekerasan di masa konflik,
karena itu tugas negara,” lanjutnya.
Anak-anak sekolah menengah yang berkunjung ke Museum
HAM memperoleh pengetahuan penting tentang sejarah negeri
16 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

mereka. “Meski kami tidak memasang foto-foto pembantaian


dan memang tidak ada foto kekejaman di sini, tapi foto-foto
korban penghilangan paksa membuat mereka kaget dan
berkata betapa beruntungnya mereka tidak mengalami
langsung konflik itu. Artinya, kita semua tidak ingin ini
terulang lagi,” tutur Reza.
Kunjungan pagi di museum ini akhirnya selesai. Azhari
menutup pintu museum, lalu kami berjalan ke ruang lain. Dia
bercerita bahwa salah satu kamar mandi yang tidak lagi
digunakan di kantor ini berfungsi sebagai ‘ruang pengalaman’
bagi para pengunjung yang ingin mengetahui suasana dalam
tempat penyekapan. Siapa pun ternyata tidak tahan dikunci
dalam tempat yang gelap pekat, pengap, dan bau pesing itu
walau hanya beberapa menit. “Itulah kira-kira yang dialami
mereka yang menjadi korban dulu,” ujarnya.
***
(Majalah Suedostasien, Agustus 2011)
2

Nama Saya Wanda

Kisah transgender dalam masyarakat


dan keluarganya.

PERTAMA kali kami bertemu, saya mengira Wanda Kalalo


asal Maluku. Ternyata dia tak punya darah Maluku sedikit
pun. Kalalo adalah nama kreasinya sendiri, agar lebih gaya.
Ayahnya asli Aceh, ibunya Batak Mandailing. Usia Wanda
menginjak 26 tahun. Dia mengenakan celana ketat dan
kardigan motif garis-garis horizontal putih-hijau sore itu. Cara
bertuturnya lembut dan teratur. Gerak-geriknya anggun.
Beberapa kali dia mengambil telepon seluler dari tas
tangannya, memeriksa pesan yang masuk dan membalasnya.
Dia merasa dirinya perempuan sejak di taman kanak-
kanak.
“Waktu itu model rambut bob lagi ngetren dan Wanda sudah
berambut seperti itu tapi lebih panjang lagi,” kenangnya.
“Mungkin sejak Ibu mengandung Wanda pun Ibu
memang berkeinginan punya anak perempuan. Lucunya lagi,
18 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

selama kehamilan itu Ibu sudah membeli perlengkapan untuk


menyambut bayi perempuan,” lanjutnya.
Wanda lahir sebagai anak laki-laki dengan nama Irwan
Febri. Ketika di sekolah dasar, dia mulai merasa bahwa kepe
rempuanannya dipertanyakan.
“Guru menegur Wanda, ‘Wanda, kamu perempuan atau laki-
laki? Kenapa teman-temanmu perempuan semua? Kenapa
rambut kamu panjang?’ Itu kata guru Wanda. Akhirnya waktu
pulang sekolah, Wanda menangis dan mengadu pada Ibu.”
Tidak hanya itu, dia juga malu untuk buang air kecil di
kamar mandi anak laki-laki.
“Karena Wanda ini perempuan,” tegasnya.
Rambutnya kemudian dipotong pendek. “Setelah potong
rambut, Wanda sakit,” katanya. Di rumah, dia kerap
mendengar abang sulungnya yang bertanya kenapa sebagai
laki-laki dia berdandan seperti perempuan. Wanda lahir
sebagai anak ketiga dari empat bersaudara. Dia mempunyai
dua kakak laki-laki dan satu adik perempuan.
“Waktu masih anak-anak itulah Wanda sempat berpikir
betapa Tuhan tidak adil. Tuhan, kalau Kau menciptakan laki-
laki dan perempuan, kenapa Engkau tidak menciptakan aku
seutuhnya. Itu yang ada dalam hati Wanda.”
Kisah Wanda mengingatkan saya pada adegan dan dialog
dalam My Secret Self: A Story of Transgender Children, film
dokumenter tentang anak-anak transgender di Australia. Jazz,
bocah yang terlahir dengan kelamin laki-laki itu menyatakan
dirinya anak perempuan saat berusia 1,5 tahun. Di usia dua tahun,
dia berkata pada ibunya, “Mama, kapan peri yang baik hati akan
datang dengan tongkat sihirnya dan mengubah penis saya jadi
vagina?” Psikiater yang didatangi keluarganya menyebut Jazz
mengalami penyimpangan identitas gender. Orangtua
Linda Christanty 19

Jazz tidak puas, lalu membawa anak mereka ke ahli terapi


yang memahami isu seksualitas dan gender. Ketika bertemu
dengan Jazz, sang ahli terapi membawa boneka laki-laki dan
perempuan, lalu meminta Jazz menunjuk boneka mana yang
seperti tubuhnya. Dia menunjuk boneka laki-laki dan berkata,
“Ini saya yang sekarang,” lalu menunjuk boneka perempuan
dan berkata, “Ini apa yang saya inginkan.” Namun, kelompok
konservatif dalam masyarakat tidak menerima keadaan ini.
Ibu Jazz, Renee Jenning, memperoleh banyak surat elektronik
yang menuduhnya sebagai orangtua yang buruk dan ada pula
orang-orang beragama yang menyebutnya setan. Dia dan
anaknya diancam dibunuh.
Di hati Wanda pernah tebersit keinginan untuk mengoperasi
payudara dan kelaminnya, terutama menjelang dewasa.
“Tapi sekali lagi melihat risikonya, lebih baik hal itu tidak
saya lakukan. Kalau memang ada yang mau dengan Wanda,
mereka harus menerima Wanda apa adanya.”
Sejak 2008, Wanda aktif di Perkumpulan Waria Sumatera
Utara atau Perwari. Di Medan, sudah 50 waria terinfeksi HIV-
AIDS. Meskipun masih banyak orang yang menganggap
hubungan homoseksual sebagai penyebar utama virus tadi,
ternyata kaum heteroseksual yang terbukti paling banyak
menularkannya. Selama 20 tahun ini sudah lebih dari 19 ribu
orang mengidap HIV AIDS di Indonesia. Setengah dari jumlah
tersebut adalah heteroseksual. Sekitar delapan ribu penderita
tertular lewat jarum suntik dan sisanya, kaum homoseksual.
Wanda mulai tertarik pada lelaki saat kelas lima sekolah
dasar, “Senang melihat guru olahraga. Biasalah waktu seumur
itu kan anak-anak suka pada gurunya. Baru di SMP mulai ada
keinginan untuk punya pacar.”
Selama belajar di sekolah menengah pertama di Cot Gapu,
20 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Bireuen, Wanda punya geng yang terdiri dari anak-anak


perempuan dan mereka membuat kesepakatan untuk tidak
saling menyakiti dalam hal apa pun. Dia juga minta agar
mereka tidak memanggilnya “bencong”.
“Guru juga menerima keadaan Wanda. Ada beberapa waria di
sekolah. Tapi kami tidak akrab. Kami hanya say hello saja.”
Hubungan seksnya yang pertama terjadi ketika Wanda di kelas
tiga sekolah menengah atas. Pasangannya adalah gurunya
sendiri.
“Hubungan ini suka sama suka. Dia cowok yang Wanda
impikan, baik, sabar, perhatian, dan dewasa. Usia guru Wanda
sekitar 36 tahun. Dia juga datang apel ke rumah. Kami seperti
orang pacaran, tapi tidak ada pernyataan apa-apa tentang
cinta. Orangtua semula menyangka Wanda bikin masalah atau
apa di sekolah, sehingga guru ini datang.”
Setamat SMA, Wanda memutuskan pindah ke Medan.
Guru yang juga kekasihnya khawatir.
“Dia bilang, takutnya orang yang jadi tumpuan Wanda di
sana itu tidak seperti dia.”
Beberapa tahun lalu Wanda pernah datang ke sekolahnya
ini dan bertemu dengan guru-guru.
“Mereka menyebut Wanda makin cantik. Tapi guru yang
dulu dekat dengan Wanda tidak ada hari itu,” kisahnya.
Di Medan, dia kuliah sampai semester dua di Fakultas
Ekonomi, Universitas Negeri Sumatera Utara.
“Setelah berhenti kuliah, main ke sebuah salon, ada
pelanggan yang ke salon dan Wanda sering jalan sama dia.
Terus kepada dia Wanda bilang ingin belajar salon. Dia yang
membiayai Wanda kursus sampai dapat sertifikat.”
Namun, Wanda tidak pernah tahu latar belakang tiap lelaki
Linda Christanty 21

yang berhubungan dengannya. Dia tidak tahu di mana mereka


tinggal dan apa pekerjaan mereka.
“Laki-laki sangat sensitif bila berpasangan dengan waria.
Tidak mau diketahui orang, misalnya. Mungkin dia menjaga
jangan sampai kalau ada apa-apa, Wanda tiba-tiba
mendatangi dia di rumahnya.”
Kekasih Wanda yang sekarang berusia 19 tahun, orang
Aceh, dan pelayan di satu restoran. Mereka sudah satu tahun
menjalin hubungan. Dia juga sudah mengenalkan lelaki itu
pada keluarganya.
“Ibu yang paling memahami Wanda. Ibu menyebut pacar
Wanda sebagai teman hati Wanda. Kalau Wanda ajak
pasangan ke rumah, Ibu akan berkata, ‘Apa teman hati Wanda
sudah makan? Ajak makan teman hati Wanda.’ Ibu bilang
begitu.” ***
(Aceh Feature, Oktober 2010)
3

Rumah bagi Mereka yang Tua

Ikatan keluarga di berbagai budaya dan nasib orang-


orang jompo di kota-kota besar.

DIA mengirim pesan pendek ke telepon seluler saya, menga


barkan bahwa neneknya tengah merayakan ulang tahun ke-
91. Pada perayaan tahun lalu, tepat di musim panas, teman
saya ini mengajak neneknya ke pantai. Di saat Natal, dia juga
mengunjungi orangtuanya di kota dekat Berlin.
Saat belajar di sekolah menengah dia meninggalkan rumah
orangtuanya, tetapi selalu pulang untuk acara-acara keluarga
atau begitu rasa rindu mendera. Tindakannya mematahkan
anggapan saya bahwa semua anak Eropa atau Amerika akan
menghilang bagai layang-layang putus begitu meninggalkan
rumah masa kecil mereka. Dia sering berkata bahwa keluarga
itu amat penting. Saya setuju.
Di Indonesia, definisi keluarga seringkali lebih luas.
Keluarga Indonesia tidak hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak,
tetapi juga kakek dan nenek, bahkan tak jarang para keponakan
menjadi bagian dari keluarga itu. Ketika saya masih
Linda Christanty 23

kanak-kanak, Kakek mengajak keponakan-keponakannya,


orang-orang terlantar di jalanan dan anak-anak dari keluarga
yang kurang mampu untuk tinggal di rumah kami. Mereka ini
adalah anggota keluarga kami juga.
Di usia 15 tahun saya meninggalkan rumah orangtua saya.
Tidak ada perasaan takut atau keterpaksaan, melainkan semata-
mata rasa riang menyongsong sebuah petualangan baru. Saya
sudah terbiasa bepergian sejak kecil. Jakarta dan Bandung sama
sekali bukan kota yang asing, begitu pula Semarang dan
Yogyakarta. Ayah dan Ibu sering mengajak anak-anaknya berlibur
ke kota-kota itu. Pengalaman pertama saya naik pesa wat terbang
ketika masih di taman kanak-kanak. Sesudah itu berbagai
penerbangan tidak pernah berhenti mengantar saya ke tujuan-
tujuan lain yang lebih jauh sampai sekarang.
Saya lahir dan tumbuh dalam keluarga yang menghendaki
semua anak pergi dari rumah untuk melanjutkan sekolah yang
lebih tinggi serta belajar tentang kehidupannya sendiri. Aturan ini
berlaku bagi anak perempuan maupun anak laki-laki. Seperti
kami, anak-anak dari kebanyakan keluarga Sumatra punya
kebiasaan merantau, ke luar dari tanah kelahiran mereka.
Namun, saya mendengar dan melihat kebiasaan yang berbeda
misalnya pada keluarga-keluarga Sunda di Jawa Barat. Saya
pernah menyewa kamar di Bandung, yang rumah pemiliknya
merupakan salah satu dari serangkaian rumah keluarga besarnya.
Rumah adik, rumah kakak, rumah nenek, rumah uwak, rumah
keponakan saling berdempetan seperti para penumpang dalam
mikrolet yang penuh. Rumah teman karib saya di SMA juga
berada dalam kumpulan rumah keluarga. Orang Sunda ternyata
jarang merantau, meskipun beberapa diplomat Indonesia di luar
negeri adalah orang-orang Sunda.
Ayah pernah bersabda bahwa sekali saya keluar dari rumah
24 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

orangtua saya, maka saya tidak akan pernah kembali lagi untuk
tinggal lama, kecuali untuk datang berlibur. Kata-kata Ayah itu
terus melekat di benak sehingga saya jarang pulang kampung.
Setelah kepulangan saya yang pertama, saya tidak kembali ke
rumah selama 15 tahun. Pada kepulangan kedua, saya tidak ingat
lagi jalan ke rumah orangtua saya. Semua kelihatan asing,
muram, dan pudar. Ketika saya mengungkapkan hal ini kepada
Ibu, dia tertawa seraya berkata bahwa apa yang terlihat ganjil itu
sebenarnya wajar dan itu bukan lantaran saya tak pernah
melihatnya sebelum ini, melainkan dampak dari saya begitu lama
pergi dan tak ada lagi yang tersisa utuh dalam ingatan. “Ingatan
manusia terbatas,” kata Ibu, mencoba menghibur.
Ketika saya dan Ayah melewati jalan ke sekolah menengah
pertama saya dulu, saya juga merasa asing. Padahal dulu saya
selalu menyusuri jalan itu, pergi-pulang. Rumah-rumah yang
berjajar di kanan-kirinya tak satu pun yang membekas dalam
ingatan. Ibu mencoba meyakinkan saya dengan teorinya
tentang ‘perubahan’. Katanya, “Waktu kamu kecil, sweater
yang Mama bikin itu pas di badan. Nah, sekarang coba kamu
lihat, sweater itu kelihatan mengecil. Padahal bukan sweater
itu yang berubah jadi kecil, tapi kamu yang membesar.” Benar
juga. Saya memang berubah. Perjalanan waktu dan perbedaan
ruang telah mengubah pandangan dunia saya. Jalan, lorong,
dan rumah yang berasal dari masa lampau tetap di tempat
yang sama, sementara saya terus melangkah ke masa depan
dan bergerak maju.
Di tahun-tahun saya absen di rumah, setiap kali Idul Fitri,
Ayah selalu menerima tamu yang terdiri dari teman-teman
masa kecil saya. Ayah bercerita kepada mereka bahwa saya
adalah orang yang sangat keras hati dan tidak pernah rindu.
Dalam hatinya, Ayah merindukan saya datang. Dia berkata
Linda Christanty 25

seperti itu untuk mengungkapkan harapannya, menghibur diri


dengan jawabannya sendiri. Ternyata orangtua menginginkan
anak-anak pergi bukan untuk membuat mereka dilupakan,
tetapi justru dikenang. Meskipun anak-anak yang sudah
berada jauh dari rumah tak jarang larut atau tenggelam dalam
urusan-urusan masing-masing dan seakan-akan melupakan
orangtua mereka, atau memang lupa.
Ayah meninggal dunia empat tahun lalu dan Ibu sering
sendirian.
Apa saja kegiatan sehari-harinya sekarang?
“Mama sedang membaca buku tentang alam gaib.” Usia
tua membuat Ibu merasa sudah makin dekat waktunya untuk
pindah ke dunia lain. Dia juga sudah menyiapkan kain kafan
dan menyimpannya di lemari. “Nanti kalau waktu Mama
sudah sampai, kalian semua tidak usah repot-repot.” Dia
benar-benar sudah siap.
Setiap hari, pada pukul delapan pagi, Ibu mengunjungi
makam Ayah yang kebetulan tidak jauh dari rumah.
“Mama bicara dengan Papa di sana, menceritakan keadaan
kalian semua dan apa saja,” katanya, bernada riang di telepon.
Pada hari Kamis, menurut Ibu, berdasarkan kepercayaan
dalam Islam, Ayah berada seharian di makamnya. Di hari-hari
lain, Ayah biasa mengunjungi kenalan atau keluarga yang
seperti dirinya sudah menjadi arwah. “Meskipun Papa kembali
lagi ke tempatnya sesudah itu,” ujarnya, meyakinkan saya yang
menahan tawa. Ibu berbicara tentang Ayah, seolah-olah yang
bersangkutan tengah bertamu ke rumah tetangga.
Di sore hari, saat saya menelepon untuk menanyakan keada
annya, Ibu tengah menonton sinetron Korea di televisi. Kisah
cinta muda-mudi. Dia buru-buru menjawab telepon, “Mama
sedang nonton, nanti saja ya.” Di Belanda, misalnya, keba
26 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

nyakan penonton setia televisi adalah nenek-nenek kesepian


seperti Ibu.

MENYIAPKAN anak untuk hidup mandiri ternyata tidak


mudah bagi orang-orangtua di Amerika sekarang ini.
Saya sempat berkunjung ke situs www.drphil.com. Di situ
ada saran-saran untuk orangtua yang kewalahan menghadapi
anak-anak mereka yang sudah dewasa dan tidak juga hidup
mandiri. Alasan dan keadaan anak-anak dewasa ini tentu
beragam. Ada perempuan yang kembali ke rumah orangtua
setelah pernikahan yang gagal dengan membawa serta anak-
anaknya. Sang ibu bersedia menampung anak dan cucu-
cucunya sampai si anak memperoleh pekerjaan lalu menata
hidup kembali. Setelah tiga tahun, ibu ini mulai kesal. Tidak
ada tanda-tanda anaknya akan meninggalkan rumah, alias
betah. Dia pun meminta saran Dr. Phil.
Dr. Phil McGraw, pemilik situs, sosok populer di Amerika,
berkumis dan berkepala botak. Dia juga pernah muncul dalam
The Oprah Winfrey Show di akhir 1990-an. Sejak itu namanya
mencuat. Dia psikolog, penulis, dan pembawa acara bertajuk
namanya sendiri di satu stasiun televisi.
Selain memberi saran-saran, Dr. Phil pernah terpaksa
membantu seorang ibu untuk mengusir anak laki-lakinya yang
berumur 30 tahun dari rumah. Menurut situs ini, sekitar 14 juta
anak dewasa di Amerika masih tinggal di rumah orangtua mereka.
Anak-anak dewasa tadi ibarat ayam betina mengerami telur-telur
yang tak kunjung menetas dan menjadikan rumah orangtua
mereka sebagai tempat pengeraman itu, sehingga perbuatan
mereka lama-kelamaan mengganggu dan menyiksa pemilik
rumah yang tak lain adalah orangtua mereka sendiri.
Seorang kenalan saya, ayah dari anak laki-laki berusia
Linda Christanty 27

24 tahun. Anaknya yang sudah lulus universitas ini belum


punya pekerjaan tetap sampai sekarang. Keadaan tadi makin
sulit lantaran secara umum perekonomian negara itu tengah
mengalami krisis. Pengangguran di mana-mana. Meski belum
seburuk Spanyol atau Yunani, sekarang ini bukan masa yang
mudah bagi sebagian orang di negara tersebut untuk
menjalani kehidupan yang nyaman. Hampir 6 juta orang
kehilangan rumah dan sebagian telah dihuni serta dicicil
pembayarannya selama hampir 20 tahun.
Ketika saya berada di Amerika pada akhir 2011 lalu, saya
membaca suratkabar yang menceritakan nasib buruk sebuah
keluarga Afro-Amerika yang terdiri dari ibu dan dua anak
perempuan. Si ibu kehilangan pekerjaan dan sesudah itu,
kehilangan rumah. Dia serta anak-anaknya akhirnya
memperoleh tempat tinggal berkat bantuan sebuah lembaga
sosial dan tentunya, tanpa perabotan sama sekali. Dia
termasuk beruntung akhirnya memiliki tempat berteduh
untuk membesarkan kedua putrinya. Banyak orang yang
kehilangan rumah, menganggur, telantar, dan tanpa bantuan.
Di beberapa negara bagian, warga protes terhadap bunga
kredit rumah yang melonjak dan membuat mereka tak
sanggup lagi membayar cicilan.
Seorang teman Amerika saya bercerita bahwa dia kesal
anaknya belum juga bekerja, sehingga dia masih harus mem
biayai kehidupannya tiap bulan. Anak itu tinggal di rumahnya.
Namun, dia membawa potret anaknya ke mana pun pergi.
Rumah itu pun kelak akan diwariskannya untuk sang putra
tunggal.
Dia hanya ingin putranya bekerja dan tidak tergantung pada
orangtua, meski dia selalu siap membantu di saat-saat sulit.
28 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

HUBUNGAN saya dan Ibu terhitung unik. Saya hanya


meneleponnya di saat-saat gembira. Namun, suatu ketika saya
bercerita tentang hal yang dianggapnya sedih. Dia
mengusulkan saya kembali ke rumah dan tinggal bersamanya.
“Salak ada, alpokat ada,” katanya, riang, bercerita tentang
pohon buah-buahannya. “Di kolam juga ada kura-kura, tapi
sekarang tinggal enam,” tambahnya, lirih.
Sewaktu ayah saya masih hidup, dia memelihara sembilan
ekor kura-kura dalam kolam di pekarangan belakang rumah.
Setiap pagi Ayah menghampiri kolam itu, memanggil nama-
nama kura-kura tersebut satu per satu dan memberi mereka
makan. Kata Ayah, kura-kura itu harus disapa dengan nada
ramah. Kepala sembilan kura-kura muncul di permukaan air
kolam begitu mendengar suara Ayah.
Berbulan-bulan sejak Ayah meninggal, Ibu tidak pernah ke
pekarangan belakang. Dia tidak berani mendekati kolam. Dia
tidak sanggup melihat sembilan kura-kura Ayah.
Terus-terang saya tidak keberatan menemani Ibu, tapi
saya tidak betah menghuni kota yang sepi dan lamban. Paling
lama, saya hanya bertahan satu minggu. Sebenarnya bukan
pergi dari rumah yang menjadi tujuan hidup saya, melainkan
ruang untuk mengatur diri sendiri. Ketika saya masih remaja
dan belum menyadari pentingnya kebebasan, Ayah telah
menunjukkan jalan itu. Di usia dewasa, saya menjadi sosok
yang independen, mengerti apa yang saya inginkan serta
terbiasa memperjuangkannya.
Ibu membelikan saya sebuah meja tulis beberapa bulan
lalu. Kata Ibu, saya pasti senang menulis di meja itu saat saya
mengunjunginya. Sekarang usia Ibu 68 tahun.
Apakah saya akhirnya akan menjalani hari tua dengan Ibu saya
yang semakin tua? Saya belum memutuskan hal itu, tapi
Linda Christanty 29

akan berusaha mengunjunginya sebanyak mungkin selagi dia


masih hidup.
Adik bungsu saya, Budhi, menghabiskan lebih banyak
waktu untuk menemani Ibu ketimbang kami, kakak-kakaknya.
Dia berusia 38 tahun, lajang. Ada satu masa Budhi sangat
mencemaskan keadaan Ibu yang sendirian. Tiap kali hendak
bepergian ke kota-kota lain, dia membawa serta Ibu seperti
sebuah koper lalu menitipkan Ibu di rumah adik saya, Tata, di
Jakarta. Begitu urusannya selesai, dia akan menjemput Ibu di
Jakarta lalu membawanya kembali terbang ke rumah masa
kecil kami. Suatu kali Budhi tidak muncul selama sebulan. Ibu
mulai gelisah, murung, sedih. Tata akhirnya melihat Ibu
menangis. Rupanya Ibu kangen pada Ayah, atau tepatnya
makam Ayah. Sejak itu Ibu memutuskan tidak meninggalkan
rumahnya lagi terlalu lama.
Budhi tentu saja cemas. Dia sempat kesal, lalu berkata,
“Kalian semua hanya bisa menelepon Mama. Itu hal yang
gampang. Halo, Mama, apa kabar? Bagaimana keadaan
Mama? Mama masak apa hari ini? Sementara saya harus
memikirkan dan menjaganya.”
Meski kami selalu khawatir saat Ibu sendirian, tak seorang
pun berencana menitipkannya di panti jompo. Kebanyakan
keluarga Indonesia belum terbiasa menyerahkan orang-orang
tua ke panti jompo. Mereka yang melakukannya sering
dianggap anak tidak berbakti.
Panti jompo pertama di Indonesia berdiri pada 19 Novem
ber 1948 di Bandung. Tujuannya semula untuk menampung
serta merawat perempuan-perempuan usia lanjut yang terdiri
dari janda dan ibu para pejuang, diresmikan presiden pertama
Indonesia, Soekarno. Saya sempat membaca kisah-kisah
penghuni panti jompo Tresna Werdha Budi Pertiwi di situs
30 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

panti tersebut. Ada kisah yang membuat saya sangat terenyuh.


Seorang perempuan tua ditinggal kabur anak bungsunya, se
mentara sewa rumahnya sudah habis. Tetangga yang menge
tahui kejadian ini membawanya ke panti. Anaknya tak pernah
kembali. Setiap malam ibu yang malang ini menangis teringat
anaknya. Barangkali, si anak tidak tahan mengurus ibu yang
sudah tua sekaligus menghadapi deraan kemiskinan.
Terbayang pula wajah Safina Ndraha, nenek berusia 80
tahun, yang saya jumpai di Gunung Sitoli, Nias, pada 28 Maret
2006. Apakah dia sekarang masih hidup? Di tengah keriuhan
orang memperingati setahun gempa Nias, dia mengenakan
setelan kebaya brokat dan kain terbaiknya. Dia menyangka ada
kebaktian gereja. Safina tinggal di panti jompo milik gereja.
Anak-anaknya tak pernah menengoknya sejak mereka
berkeluarga. Dia kemudian datang sendiri ke panti itu untuk
diterima sebagai salah satu penghuni.
Ternyata kesedihan tidak hanya menimpa para ibu yang
sudah tua, tetapi juga para ayah. Paman saya membesarkan
putri tunggalnya seorang diri selama 17 tahun sesudah istrinya
meninggal dunia. Di masa tua Paman menetap di Indonesia
setelah lama tinggal di Eropa. Suatu hari dia jatuh sakit.
Putrinya mengirim surat elektronik dengan peringatan tegas,
“Jangan harap Papa bisa tinggal dengan saya.” Meski dalam
benaknya tak pernah tebersit keinginan tinggal dengan
putrinya, kata-kata itu tak urung membuat Paman amat sedih.
Apakah ke-Eropa-an yang lebih dari hubungan darah telah
membubuhkan lebih banyak watak individualistik pada putri
nya? Tetapi mengapa? Di negara-negara maju, persaingan
hidup sangat tinggi dan ruang tinggal makin sempit. Semua
hal dihitung dengan uang dan waktu, tepatnya efisiensi.
Namun, hubungan antarmanusia sangat dinamis dan pe
Linda Christanty 31

nuh pengecualian. Belum lama ini, sahabat saya, Shige,


memu tuskan untuk pindah ke dekat apartemen ayahnya di
Tokyo setelah kematian ibunya. Shige lelaki Jepang yang
pandai me masak serta gemar fotografi. Ayahnya
membutuhkan teman bicara.
Di lain pihak, orangtua-orangtua di Indonesia mulai
merasa bahwa anak-anak mereka yang di masa kanak-kanak
begitu lucu dan manis telah menjelma mesin atau robot yang
dingin akibat rutinitas. Kebiasaan berkumpul dan sifat
komunal makin berkurang begitu masyarakat semakin urban.
Berbeda dengan seorang ibu di Amerika yang memerlukan
bantuan Dr. Phil untuk mendepak anak laki-lakinya dari
rumah, Ibu justru senang adik kami tinggal bersamanya. Lain
padang, lain belalang. Lain lubuk, lain ikannya. Begitulah kata
pepatah. ***
(Majalah Bung!, Desember 2012)
4

Panglima Amir dan Ayamnya

Awal mula punahnya ayam terbesar


di Pulau Bangka.

INI salah satu kisah dalam sejarah Bangka dan perbincangan


keluarga kami. Tentang Panglima Amir. Sekarang namanya
menjadi nama bandara udara di Pangkal Pinang, ibukota
Provinsi Bangka Belitung.
Pada 1830, pemerintah Hindia Belanda pernah mengang
katnya sebagai pejabat kolonial untuk menggantikan ayahnya,
Bahrin, dan dia berkuasa di dua desa, Mendara dan
Mentandai. Tetapi hanya setahun. Dia dipecat karena
dianggap tidak mampu menjalankan tugas-tugas
administrasinya dengan baik. Setelah itu dia menjadi
pengangguran selama 18 tahun. Tidak ada catatan rinci
tentang apa yang dilakukannya untuk menyambung hidup.
Ketika ayahnya meninggal dunia, Amir menuntut kepada
pemerintah kolonial agar pensiun seumur hidup yang diterima
ayahnya dialihkan kepada dirinya. Pemerintah kolonial menolak
Linda Christanty 33

mentah-mentah permintaan ini dan beberapa permintaan


pribadinya yang lain. Amir sakit hati, lalu memutuskan untuk
melawan Belanda. Dia bergabung dan memberontak bersama
Batin Tikal, Kakek kami, yang justru mempunyai tujuan lain
dalam pemberontakannya, yakni menentang kolonialisme
Belanda dan mempertahankan daerah kekuasaannya sebagai
wilayah merdeka terakhir di Pulau Bangka dari kekuasaan
kolonial. Akibat pemberontakan tersebut, Batin Tikal dibuang
ke Manado, Sulawesi Utara, pada 1852. Dia dipenjarakan di
Fort Niew Amsterdam, benteng Belanda di kota tersebut.
Benteng Niew Amsterdam telah diratakan dengan tanah pada
1959 dan di atasnya kini berdiri sebuah pertokoan. Makam
Batin Tikal tidak pernah ditemukan sampai sekarang.
Sementara Amir dibuang ke Desa Aermata, Kecamatan Tanah
Merah atau Kampung Arab, Kupang, Nusa Tenggara Timur,
pada tahun yang sama. Setelah kematiannya, dia dimakamkan
di desa itu juga. Namun, dalam buku sejarah Bangka hari ini,
terdapat kekeliruan besar, yaitu memposisikan Amir setara
dengan Batin Tikal, yang melawan penjajah Belanda secara
konsisten dan dengan motivasi yang sangat berbeda dari Amir.
Sejak muda Amir dikenal sebagai orang yang tidak mau
dikalahkan dan dia memiliki seekor ayam jantan kesayangan.
Ayam ini termasyhur di seluruh Pulau Bangka, pulau penghasil
timah terbesar di dunia, sebagai ayam yang tidak wajar saking
besar dan gagahnya. Sang ayam bertinggi sekitar satu meter.
Orang Bangka menyebutnya ayam Maras karena memang berasal
dari Gunung Maras, bukit tertinggi di provinsi Bangka Belitung.
Tetapi yang jadi persoalan, ayam Maras pada umumnya tidak
sebesar ayam Amir. Rata-rata ayam jantan Maras sebesar ayam
jantan Merawang, yang juga dianggap ayam khas Pulau Bangka.
Ayam Merawang adalah keturunan
34 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

ayam yang dibawa bala tentara Kubilai Khan, kaisar Mongol


yang mengirim ekspedisi penghukuman ke Pulau Jawa untuk
membalas penghinaan Raja Singasari, Prabu Kertanegara,
yang telah membuat cacat utusan sang kaisar. Dalam
perjalanan pulang ke daratan Tiongkok, tentara Kubilai Khan
mampir di Pulau Bangka dan ada yang tetap tinggal ketika
mereka pergi, yaitu beberapa ekor ayam dan beberapa anggota
pasukan. Sampai sekarang ayam Merawang jadi maskot Pulau
Bangka atau produk unggulannya.
Ayam Maras Amir tentu membuat iri banyak pendekar,
petualang, pemuka masyarakat, dan panglima. Di antara para
panglima, ada satu panglima yang tidak pernah mau mengakui
kehebatan dan keunggulan Amir, yaitu seorang panglima
lanun. Hal ini membuat Amir tersinggung dan merasa perlu
menunjukkan keunggulannya kepada lanun tua tersebut.
Amir meminta izin kepada ayahnya, Bahrin, untuk memberi
pelajaran kepada lanun lapuk bermata satu yang tak tahu diri ini.
Bahrin terkejut begitu mendengar rencana putranya, karena sang
lanun adalah orang yang sudah dikenal Bahrin sejak masih di
perairan Riau dan Selat Malaka sebagai lanun yang disegani dan
ditakuti banyak orang. Lanun ini juga amat dihormati Panglima
Raman yang tak lain dari ayah angkat Bahrin sendiri, lanun yang
sangat tersohor di seluruh perairan Riau, Selat Malaka, Laut Cina
Selatan sampai Teluk Benggala.
Dalam sejarah Melayu, ayah angkat Bahrin, Panglima Raman,
dianggap sebagai pelindung utama Tengku Muda Muhammad Yang
Dipertuan Muda Riau yang merangkap sebagai Tumenggung Johor
dalam perseteruan politik antara bangsawan Johor dan bangsawan
Bugis di tengah intrik serta perebutan kekuasaan di Kesultanan Riau-
Lingga-Pahang-Johor. Panglima Raman berayahkan seorang saudagar
Bugis-
Linda Christanty 35

Wajo dan beribukan putri pemimpin suku Sekanak, suku laut


dari kepulauan Tarempak, dekat Siantan, Riau. Tetapi dalam
sejarah keluarga kami, dia adalah musuh besar kakek saya,
Batin Tikal.
Panglima Raman mengerahkan pasukan lanun menyerbu
Pulau Bangka, merampas tambang-tambang timah, membakar
dan menghancurkan kampung-kampung, dan menjadikan rakyat
sebagai budak. Di masa ini pula seorang pedagang budak dari
Makassar dan berdarah Bugis-Wajo nan kejam, Punggawa
Sengkang, menangkap orang-orang Bangka untuk dijadikan
budak, seperti mengejar dan menangkap ayam. Dari laporan
resmi Thomas Horsfield kepada Thomas Stamford Raffles,
terungkap bahwa hanya sekitar 10 persen penduduk Bangka yang
tinggal dan menghuni pulau itu pasca peristiwa mengerikan
tersebut. Horsfield adalah dokter dan peneliti Amerika yang kelak
menjadi kurator East India Company Museum di London,
sedangkan Raffles menjadi Gubernur Jenderal Inggris yang ber
kuasa di Nusantara setelah pasukannya mengalahkan pasukan
gabungan Belanda-Prancis yang dipimpin Gubernur Jenderal
Belanda Jan Willem Janssens pada 18 September 1811.
Sahabat kakek saya, Depati Pakuk, dibunuh Panglima
Raman dalam serbuannya. Kakek kemudian memimpin
pasukan untuk menggempur pasukan bajak laut Lingga yang
dipimpin Panglima Raman di daerah Kurau, sedangkan
pasukan Kesultanan Palembang yang dipimpin putra Sultan
Palembang, Raden Ja’far, menyerbu dari arah laut.
Pertempuran di Kurau begitu mengerikan, sehingga
melahirkan istilah “ancok kurau”.
Selain “ancok kurau”, ada kosa kata lain dalam Bahasa
Bangka yang menandai peristiwa bersejarah, yaitu “kepalak
ganak” (kepala Ghana). Kosa kata ini muncul pascaperlawanan
36 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

rakyat Bangka yang dipimpin Batin Tikal dan didukung Panglima


Amir terhadap pemerintah Hindia Belanda. Perlawanan rakyat
yang gigih membuat pemerintah kolonial kewalahan, lalu
mendatangkan tentara bayaran dari Ghana, Afrika Barat, pada
1850. Tentara dari Ghana ini terkenal karena penampilannya
yang khas dan tindakannya yang mengerikan, seperti
menghancurkan kampung dan memperkosa. Mereka menjadi
pasukan pelopor untuk menyerang kantung-kantung perlawanan
rakyat Bangka dan menghancurkannya. Sejak itu orang Bangka
menghadapi musuh yang tangguh. Kalau ada orang brutal, bengis,
biadab, atau memelopori suatu tindakan yang kurang terpuji,
maka dia akan disebut “kepalak ganak”.
Tentang Bahrin, ada satu cerita tersendiri. Pada saat Sultan
Mahmud Badaruddin II menjadi Sultan Palembang dan menjelang
penyerbuan Inggris ke Kesultanan Palembang, Bahrin yang sudah
dewasa meninggalkan Lingga, melalui Muntok di Pulau Bangka,
menuju Kesultanan Palembang. Dia meminta menghadap sultan
dengan membawa surat dari ayah angkatnya, Panglima Raman.
Dalam suratnya itu Panglima Raman menyatakan bahwa Bahrin
adalah putra Anggur, penguasa Dipak yang dibunuh oleh pasukan
Kesultanan Palembang gara-gara ketahuan menggelapkan timah
milik Sultan Palembang, bekerja sama dengan dirinya. Panglima
Raman menjelaskan bahwa Bahrin masih bayi dan dibawanya untuk
dirawat setelah kematian Anggur. Panglima Raman juga menyatakan
bahwa dirinya yang bersalah atas kejadian di masa lalu itu dan
Bahrin yang masih bayi tidak terlibat. Sultan Palembang
mengampuni Bahrin dan mengangkatnya menjadi batin di daerah
Jeruk. Sejak itu dia dikenal sebagai Batin Jeruk, bukan Depati
Jeruk atau Depati Bahrin, gelar yang keliru dan tercantum dalam
buku sejarah Bangka hari ini.
Linda Christanty 37

Sebelum Amir bergabung dengan pasukan Batin Tikal


untuk tujuannya, ayahnya Bahrin juga pernah melakukan hal
yang sama. Bagaimana Bahrin sampai berteman dengan Batin
Tikal, yang melawan kolonialisme Belanda di Bangka dan
Palembang, yang juga musuh bebuyutan ayah angkatnya,
Panglima Raman?
Batin Tikal waktu itu menunjukkan keberanian dan kehe
batannya dengan membunuh Residen Bangka Belitung, M.A.P
Smissaert, dan memenggal kepala sang residen, lalu
menembus blokade berlapis pasukan Belanda yang dipimpin
Admiral Wolterbeek di Selat Bangka dan Sungai Musi untuk
masuk ke benteng Kuto Besak yang merupakan benteng
Kesultanan Palembang dan menyerahkan langsung kepala
residen Belanda itu kepada Sultan Mahmud Badaruddin II
sebagai tanda persekutuan rakyat Bangka yang dipimpinnya
dan Kesultanan Palembang yang dipimpin Sultan Mahmud
Badaruddin II. Fakta ini tercantum dalam berbagai manuskrip
dan dokumen sejarah, termasuk manuskrip yang ditulis oleh
Raden Ahmad, cucu Pangeran Prabu Nata Menggala dan cicit
Sultan Mahmud Badaruddin II. Dari garis ibunya, Raden
Ahmad juga adalah keturunan Tumenggung Kertanegara I
Abang Muhammad Arifin, yang justru merupakan musuh
Batin Tikal. Manuskrip asli yang ditulis Raden Ahmad
disimpan di Universitas Leiden, Arsip Nasional, dan
diserahkan keturunannya kepada Bupati Bangka Barat. Dalam
manuskrip ini juga tertera keterangan tentang putra Bahrin,
Amir, yang disebut gelandangan dan perusuh, yang atas dasar
kepentingan pribadinya kemudian melawan Belanda.
Berdasarkan penjelasan dalam buku Timah Bangka dan
Lada Mentok yang ditulis Mary F. Somers Heidhues, Bahrin
ikut bergabung dengan pemberontakan Batin Tikal di
38 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Bangkakota akibat perselisihannya dengan Belanda dalam


perkara pencurian timah yang dilakukannya. Selain itu, Sultan
Ahmad Najamuddin II yang didukung Bahrin tidak lagi berkuasa
sejak Inggris mengembalikan kekuasaan kepada Belanda. Dia
membutuhkan pelindung baru bagi kepentingannya. Pada saat
Sultan Mahmud Badaruddin II memimpin perang melawan
penjajah Belanda di Palembang, Bahrin berpihak kepada sang
sultan seperti halnya Batin Tikal. Tetapi ketika Kesultanan
Palembang dihapuskan Belanda secara resmi akibat kekalahan
dalam perang, Bahrin menyatakan tunduk dan berbalik me
nyokong kekuasaan kolonial. Tindakannya itu bertolak bela kang
dengan Batin Tikal yang memilih untuk tidak tunduk dan terus
melakukan pemberontakan terhadap Belanda sampai akhir
hayatnya. Buku itu juga mengutip laporan seorang pejabat
Belanda yang pernah berkunjung ke rumah Bahrin di Mendara
dan menyatakan Bahrin senang berjudi.
Pada 1828, Bahrin dan Amir, putranya, menandatangani
perjanjian dengan pemerintah kolonial Belanda yang isinya
menyatakan mereka anak-beranak tunduk di bawah naungan
kolonial. Sejak itu Bahrin mendapat imbalan berupa uang
pensiun seumur hidup dan tinggal di daerah Merawang. Amir,
seperti yang saya ungkapkan di awal tulisan ini, diangkat
menjadi administratur kolonial selama setahun dan akhirnya
dipecat gara-gara mengecewakan sang tuan.
Kembali ke persoalan Panglima Amir dan lanun tua ber mata
satu, pendek kata, Bahrin tidak merestui rencana konyol putranya.
Amir tentu saja tak menghiraukan saran ayahnya. Maklumlah sejak
lahir, dia sudah menunjukkan keistimewaan. Dia lahir sebagai bayi
ajaib dengan gigi-geligi yang sudah lengkap. Dengan kata lain, dia
sudah unjuk gigi sejak dalam kandungan, gara-gara ibunya Dakim
mengidam ingin memakan
Linda Christanty 39

batu Bukit Sambung Giri sewaktu mengandungnya.


Siasat pun dilancarkan. Amir memancing lanun tua untuk
pergi berdua masuk ke pedalaman yang sepi, menyusuri
sungai ke arah hulu dengan sampan. Dia berencana melucuti
kekuatan lanun tua dengan taktik mengajaknya mandi di
sungai, dengan harapan sang lanun menanggalkan seluruh
azimat dan senjatanya.
Dengan alasan keamanan, Amir mempersilakan sang
lanun untuk mandi lebih dulu dan dia berjaga-jaga untuknya,
seolah-olah hendak mengantisipati sergapan pasukan Belanda.
Amir ingin lanun tua mandi selama mungkin dengan alasan
bahwa si lanun sudah berdaki, kotor, bau, dan tidak pernah
mandi sejak menginjakkan kaki di Pulau Bangka. Perlu Anda
ketahui, lanun sejati tidak pernah mandi sebagai pantangan
ilmu kesaktiannya.
Begitu sang lanun menyelam tanpa curiga, Amir menge luarkan
pedang tajam dari sampan. Dia langsung menebang pohon kayu
pelawan yang berdiameter sepelukan manusia de wasa atau
sekitar 40 sentimeter untuk menghantam ubun-ubun sang lanun
saat muncul dari dalam air. Lanun tua, polos, tetapi berkepala
batu dan tidak pernah merasa bersalah ini akhir nya muncul di
permukaan air setelah lama menyelam sambil membersihkan
daki di tubuhnya dengan batu dan pasir sungai. Amir segera
menyambutnya dengan hantaman pohon. Han taman itu
membuat lanun tenggelam sampai masuk ke dasar sungai yang
berlumpur. Akibat pukulan tersebut kayu pelawan ikut hancur
berkeping-keping. Setelah itu Amir menarik napas lega dan
membatin, “Dasar tua bangka, bujang lapuk, taipau (sok,
sombong), tak tahu diri, bau, dekil, jelek, botak. Ah, rupanya,
cuma sebegitu saja kesaktian seorang lanun sejati.” Amir bersiap-
siap naik sampan untuk pulang setelah menye
40 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

lesaikan misinya dengan sukses. Tiba-tiba muncul kepala sang


lanun dari dalam air. Dia meminta Amir membantu mengorek
kotoran di telinganya yang tidak pernah dibersihkan sepanjang
hidupnya dan tidak hanya itu, dia juga minta kotoran di matanya
yang tinggal satu dan rabun itu untuk dibersih. Dia meminta Amir
menggunakan senjata tajam untuk melaksanakan per mintaan
khusus ini. Amir terkejut sekaligus gembira mendapat
kesempatan emas untuk memberi pelajaran terakhir pada sang
lanun. Dia menggunakan keris untuk membersihkan telinga dan
mata lanun tua dari kotoran-kotoran menahun sekuat tenaga. Hal
ini mengakibatkan kerisnya hancur-lebur. Setelah itu Amir
menyerah, menghentikan kegiatannya karena kelelahan.
Lanun tua kemudian menyuruh Amir mandi dan menyata kan
bahwa sekarang gilirannya untuk menjaga Amir dari ser gapan
mendadak pasukan Belanda. Tentu saja, Amir menolak. Setelah
itu, lanun tua mendesak untuk membersihkan kotoran mata dan
telinga Amir sesudah yang bersangkutan mandi. Lagi-lagi, Amir
menolak. Lanun tua tak menyerah. Amir terdesak. Dia tak punya
pilihan kecuali minta maaf dan menyesali perbuatannya. Lanun
tua tak menerima begitu saja permintaan maafnya. Namun, Amir
tetap saja meminta maaf. Akhirnya lanun tua bosan mendengar
anak muda mengiba-iba padanya. Dia bersedia memaafkannya
dengan satu syarat: Amir harus menyiapkan gulai ayam dengan
tangannya sendiri dan yang akan digulainya adalah ayam jantan
Maras kebanggaannya. Amir menolak tegas dan menyatakan
bahwa ketimbang ayamnya harus digulai untuk memberi makan
lanun, lebih baik nyawanya saja sebagai ganti.
Lanun tua yang bijaksana mengajak Amir pulang dan menemui
Bahrin untuk meminta saran. Anak dan ayah dipersilakannya
berunding tentang apa atau siapa yang harus
Linda Christanty 41

diserahkan sebagai syarat pemberian maaf. Bahrin setuju


ayam digulai ketimbang anaknya mati. Kali ini Amir terpaksa
patuh pada saran ayahnya. Dengan berat hati dia memotong
dan menggulai ayamnya sendiri untuk disantap lanun.
Rupanya kepongahan yang melebihi batas dapat menjeru
muskan seseorang dalam masalah besar. Sejak itu pula tidak
pernah ada lagi ayam jantan Maras sebesar dan setinggi ayam
Amir, karena sang ayam belum sempat kawin dan
menghasilkan keturunan tetapi sudah keburu digulai.
***
(18 Januari 2013)
5

Mendengar Bisikan
Sungai Brahmaputra

Akar konflik bersenjata di India Timur Laut,


hubungannya dengan pejabat korup, dan negara-
negara tetangga.

PADA 5 Desember 2010, matahari bersinar kuat di atas Brah


maputra. Angin bertiup kencang siang itu. Seorang lelaki ber
tubuh tinggi besar, berkulit cokelat gelap, dan mengenakan
jaket abu-abu mendekat, lalu ikut memandangi air sungai dari
geladak kapal. Dia hadir di ruang seminar pagi tadi. Tetapi dia
bukan salah seorang dari kelompok penulis yang menginap di
Gateway Hotel. Dia bukan salah satu dari kami.
Saya dan lelaki itu berdiri bersisian dengan tangan bertelekan
di pagar besi, membisu. Sebuah kapal penumpang melintas.
Warnanya jingga. Orang-orang di dek menoleh ke arah kapal yang
kami tumpangi. Air Brahmaputra keruh kelabu.
Sungai ini begitu besar, batas-batasnya tak terlihat, meng
ingatkan pada sebuah pengalaman menyusuri Ton Le Sap di
Kamboja. Di kejauhan, bukit-bukit hijau terlihat tegak mengawasi
lembah, seakan orangtua yang peduli.
Linda Christanty 43

Brahmaputra mengalir dari Pegunungan Himalaya di


Tibet Barat sampai ke Teluk Benggala, Bangladesh, melewati
beberapa negara dan merupakan sungai utama di Asia.
Lelaki itu akhirnya bersuara, seraya menyodorkan kartu
nama, “Tulisan Anda tentang Timor Timur itu bisa dikirim ke
saya?” Kumisnya lumayan tebal. Rupanya dia tertarik pada
keterangan mengenai diri saya dalam buku acara. Di situ tertera
bahwa saya memperoleh penghargaan untuk esai tentang hak
asasi manusia, “Militerisme dan Kekerasan di Timor Timur”. Dia
kemudian mengajak bicara tentang masalah-masalah warga,
termasuk pendidikan dan kesejahteraan. “Tapi kalau rakyat
makin pintar, nanti mereka malah melawan pemerintah,”
katanya, sengit. Dia bekerja di kantor pemerintah setempat. Tak
ada lagi diskusi. Kami lalu menyadari bahwa pembicaraan telah
mengarah ke jalan buntu.
Di ujung kanan geladak, Sheela Reedy dan suaminya, NS
Madhavan, tengah bercakap-cakap dengan sejumlah orang.
Sheela bersemangat dan hangat, sedangkan Madhavan kalem
dan lucu. Mereka sama-sama penulis, tinggal di New Delhi.
Sebelum berdiri di sini, saya sempat berbincang dengan
Narayan Wagle, wartawan dan sastrawan Nepal, dan Bernice
Chauly, penyair Malaysia, di ujung lain geladak. Sementara
Michael Tully, lelaki berdarah Inggris dan bekas wartawan
BBC yang sangat mencintai India, tengah bersama Arup
Kumar Dutta, direktur festival sastra yang mengundang kami
ke Guwahati, Assam.
Makan siang sebentar lagi siap. Saya permisi ke bawah.
Lelaki itu mengangguk.
Kapal tamasya ini lumayan besar, terdiri dari dua lantai,
dengan panjang sekitar 20 meter dan lebar 8 meter. Tur me
nyusuri sungai menandai hari terakhir festival. Besok ada
44 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

yang akan pulang ke Dhaka, New Delhi, Kathmandu, Kohima,


Shillong, dan Imphal, dan lusa ada yang akan terbang ke
Jakarta dan Kuala Lumpur.
Sebagian penumpang mulai berkumpul di lantai bawah.
Acara makan dimulai dengan diawali kata sambutan Dhruba
Hazarika, pejabat polisi dan penulis. Kumpulan cerita pendek
nya, Duck, diterbitkan Penguin. Dia senang acara berjalan lan
car dan mengucap terima kasih untuk kehadiran tamu-tamu
dari jauh. Di salah satu sarapan pagi, di ruang makan Gateway,
Dhruba berkata bahwa lebih dari 60 persen penduduk India
hidup di bawah garis kemiskinan. Dia juga tidak mendukung
sistem kasta, tapi tradisi itu masih berlangsung. Sistem
tersebut terus menjerat serta menyengsarakan mereka yang
dianggap terlahir sebagai budak atau setara anjing. Ketika
transit di Kalkuta, saya melihat bukti dari “60 persen” tadi.
Lelaki gelandangan mandi telanjang di pinggir jalan raya.
Sapi-sapi melenggang di tengah lalu lintas. Lanskap seakan
kelabu, kering. Udara Guwahati, kota di India Timur Laut ini,
tak kalah berdebu. Knalpot kendaraan mengeluarkan asap dan
bau sangit. Rumah-rumah dan orang-orang kebanyakan mirip
pemandangan sehari-hari di Jakarta. Benar-benar aroma
Dunia Ketiga.
Di tengah kesulitan hidup, orang tetap mencintai agama
dan mematuhi keyakinan spiritualnya. Apakah itu kekuatan?
Atau pelarian? Atau keduanya?
Para peziarah datang dari pinggiran kota dan berbagai
negara bagian di sekitar Assam ke Kamakhya Temple, kuil
Dewi Durga terbesar di Assam. Orangtua dan anak-anak, ibu
dan anak perempuan, ibu dan anak laki-laki.... Orang-orang
sederhana dan sebagian besar, miskin. Mereka meminta berkah dari
para pendeta yang dianggap suci dan Sang Dewi.
Linda Christanty 45

Namun, ada satu hal yang tidak saya pahami. Para peziarah harus
melepas sepatu dan sandal untuk masuk kuil. “Demi menjaga
kesucian,” kata penjaga tempat penitipan sepatu dan sandal.
Sementara di sudut kuil, menjulang bukit kecil kotoran kambing.
Bilik kecil berdinding jeruji dalam kuil ini pun menyuguhkan pe-
mandangan yang ganjil. Seorang perempuan dan bocah laki-laki
dikurung di dalamnya. Di kuil utama, sebuah kamar
mengeluarkan bunyi “embeeeeek....” dan
ternyata empat ekor kambing remaja terikat di situ, hewan-
hewan untuk persembahan. Bulan Oktober merupakan
puncak ziarah setiap tahun dan ada satu hari suci ketika
sekitar 5 juta orang berkumpul di Kamakhya. Tak
terbayangkan betapa ramainya, panas dan bermacam bau
meruap dari tubuh-tubuh manusia.
Pendeta mengoles tanda merah di kening saya sambil
mengucap sesuatu yang tidak saya mengerti. Perasaan saya
seperti telah menyudahi sebuah tugas. Artinya, saya bisa ber
gegas pergi.

KEKHRIEVOU Yhome duduk diam di kursi rotan, menyendiri di


antara yang lain. Dia berkacamata, mengenakan blus hitam dari
bahan kaus. Selendang merah jambu tersampir di pun daknya.
Kapal terus merayapi Brahmaputra. Khrievou kurang sehat.
“Kepala saya agak pusing,” katanya. Barangkali dia tidak terbiasa
dengan perjalanan dengan kapal. Dia berasal dari Nagaland,
dataran tinggi. Untuk sampai ke tempat acara kami di Guwahati,
Khrievou menempuh perjalanan enam jam lebih naik bus dari
Kohima, ibukota Nagaland.
Kami berkenalan di muka ruang seminar, di kampus Don
Bosco yang terletak di atas bukit dan untuk mencapainya bus
harus merayap-rayap serta terguncang-guncang. Dia tampak
46 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

riang menyalami saya, lalu menyerahkan buku puisinya. “Baru


pertama kalinya saya punya teman dari luar negeri,” tuturnya.
Wajah Khrievou sama sekali tidak mirip orang-orang India
yang saya kenal. Dia berkulit putih. Matanya agak sipit. Pipi-
pipinya memerah terkena panas matahari. Seperti orang
Tiongkok. Dia malah berkata bahwa di Nagaland, saya tidak
akan dipercaya sebagai orang Indonesia, tetapi bangsa Naga,
seperti dirinya.
Namun, politik tidak dapat menghalangi orang untuk
menikmati sastra dan merayakannya. Di ruang makan Don
Bosco yang riuh, ramai, dan agak panas, para mahasiswa dan
penulis membaur. Gelak tawa terdengar. Para sukarelawan,
termasuk yang menunjukkan letak kamar kecil, terdiri dari
mahasiswa. Arsitektur gedung ini bertingkat dan melingkar,
sehingga menyesatkan orang-orang baru.
Para penggagas festival ini terdiri dari pejabat pemerintah
yang gemar menulis. Arup dulu direktur Jawaharlal Nehru, pusat
kebudayaan India di Jakarta. Dia penulis cerita anak. Arup dan
Rupa, istrinya, pernah tinggal selama empat tahun di Jakarta.
Rupa yang cantik dan ramah itu selalu merindukan Indonesia.
Katanya pada saya, dengan mata berkaca-kaca, “Semua benda di
rumah saya adalah Indonesia, semuanya. Di sudut sini Indonesia,
di sudut sana Indonesia....” Dia menganggap
saya putrinya, katanya, dan berharap saya berjodoh dengan
lelaki India baik hati agar saya tinggal di Guwahati. Arup tidak
percaya bahwa kelompok Islam militan dapat berkuasa dan
menyebarkan pengaruh kuat di Indonesia, meskipun dia
mendengar berita tersebut. Menurutnya, muslim di Indonesia
sangat toleran dan menghargai keberagaman. “Itu terbukti
dari pengalaman saya ketika tinggal di sana,” ujarnya.
Tiba-tiba musik terdengar. Saya pun menari bersama
Linda Christanty 47

sejumlah orang. Mahasiswa, dosen, penulis, polisi, politisi....


Saat musik berhenti, seorang perempuan tua, mengenakan
sari, buru-buru memanggil saya, “Kamu hebat sekali. Kamu
pasti menari dari dalam hati. Orang seperti kamu, begitu
mendengar musik akan langsung menari....” Ooooohhhh....
Ketika kapal menyudahi perjalanan, para penumpang
mulai turun. Udara panas. Matahari bersinar terik. Angin
tetap kencang. Tiba-tiba kertas-kertas naskah Bernice terlepas
dari tangannya, melayang, dan mengambang di air. Tetapi
dengan sigap, seseorang menyelamatkan kertas-kertas itu,
helai demi helai.
“Hampir saja kertas-kertas saya ditelan Brahmaputra,”
ujarnya, lega.
Bus kembali mengantar para penulis ke penginapan. Saya
berpisah dengan Khrievou dan para mahasiswa itu di jalanan.

PAGI itu, 7 Desember 2010, saya membaca suratkabar The


Telegraph, di kamar yang beraroma gaharu. Bernice telah
meninggalkan hotel sebelum saya bangun. Saya tidak
melihatnya pergi. Sementara pesawat saya terbang siang.
Di sudut kanan halaman 15, ada pengumuman: YOU
share your birthday with Noam Chomsky. You are
extra-sensitive towards art and music. In relationships you
are traditional dan conventional. In love you need constant
motivation. You have a fiery temper and also a heart of gold.
Bright, eager and indomitable, not much escapes your
attention.-Kusum Bhandari.
Potret Chomsky terpampang di bawahnya. Lelaki itu
berambut putih, berkacamata, dengan wajah keriput dan pipi-pipi
yang kendur, tetapi terlihat segar dalam balutan baju hangat hijau
lumut. Kerah kemeja birunya menyembul bagai sepasang
48 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

sayap lancip dari leher baju hangat yang berbentuk V.


Dalam berkeluarga, Chomsky memang bergaya konvensio
nal. Dia menikah dengan istrinya, Carol, selama 60 tahun,
sebe lum sang istri meninggal dunia pada 2008. Dalam
pemikiran, sebaliknya, dia sungguh radikal. Chomsky ahli
bahasa seka ligus penulis yang berani mengkritik tajam
kebijakan luar negeri pemerintah Amerika Serikat dan negara-
negara besar di dunia.
Di halaman yang sama ada berita penangkapan kader
kelompok militan bersenjata, Jalaharlal Mushahari dari
NDFB. Kepanjangan NDFB, tidak disebutkan dalam berita itu.
Penyerahan diri kelompok bersenjata yang lain, United
Kukigram Defence Army, tertera di halaman 27 dilengkapi
foto yang menampilkan wajah lima anak muda, berseragam
loreng dan mengenakan syal tenun putih beraksen merah khas
Assam. Di belakang mereka, para pejabat militer berdiri
gagah. Wajah mereka tampak tua dan tersenyum.
Menurut Khrievou dalam surat elektroniknya nanti, situasi
di Assam tak jauh beda dengan Nagaland dan Manipur:
kelompok bersenjata beraksi, sedang korupsi merajalela di
kalangan politisi serta birokrat. Beberapa etnis di Assam,
seperti Bodo, Karbi, dan Adivasi, masing-masing berjuang
untuk membuat negara sendiri.
“Di Nagaland ada empat kelompok bawah tanah dan
kebanyakan politisi kalangan atas punya jaringan dengan
mereka. Selama Pemilu, uang merupakan kekuatan yang
paling besar untuk memenangkan suara di sini. Di seluruh
dunia, hampir semua penguasa dan politisi adalah perampok
terbaik,“ katanya dalam surat elektonik.
Khrievou sangat religius, sehingga dia percaya bahwa suatu hari
orang-orang jahat di akhirat akan menangis akibat dosa-
Linda Christanty 49

dosa mereka di dunia. Seperti mayoritas orang di Nagaland, dia


memeluk Kristen Baptis. Dia menghabiskan waktunya untuk
mengajarkan Injil pada kaum perempuan. Setiap hari dia
memasak untuk keluarganya. Dia suka berkebun dan menonton
televisi. Ibunya sudah tua serta sakit-sakitan. Ayahnya meninggal
dunia sewaktu Khrievou di sekolah menengah. Dia anak tertua
dari tujuh bersaudara. Adik-adiknya, tiga laki-laki dan tiga
perempuan. Tanggung jawabnya berat dan karena itu pula dia
membiarkan banyak “bus” lewat. Kami berdua memakai istilah
“bus” untuk lelaki dan cinta.
Khrievou juga mengirim puisinya untuk saya, tentang
kuburan para pejuang.

Kohima War Cemetery

Alas ! Kohima war cemetery


All those who lie there, to their
kindred Family and loved one said
Will not die and disappear but return one day
We’ll meet and see each other, was a promise.
Marched on, forgotten their words for the sake of the
nation
Their enemies chased, their lives
Lay down to show their love for their nation.......

“Medan perang terakhir di Kohima adalah antara Inggris


dan Jepang. Tapi orang India dan Naga juga membantu
orang-orang Inggris selama Perang Dunia II,” tulisnya.
Namun, kolonialisme Inggris meninggalkan masalah di
bekas-bekas jajahannya. India yang dulu bernama Hindustan
terbagi jadi tiga negara, India, Pakistan, dan Bangladesh.
50 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Pemisahan diri itu melalui pertumpahan darah.


Pasca Perang Dunia II, Inggris memberi kemerdekaan
untuk India pada 1947. Orang-orang Naga menolak bergabung
dengan India dan tidak ingin Nagaland jadi salah satu negara
bagian India. Mereka lantas mendirikan Dewan Nasional Naga
(DNN).
DNN pun menyerukan penyatuan politik dari berbagai
bangsa asli di Nagaland. Perundingan damai dilakukan, tetapi
berujung pada jalan buntu. Puncaknya, pemerintah India
melarang DNN pada 1972. Perundingan damai dilaksanakan
lagi pada 1975. Kali ini DNN justru pecah dalam dua faksi.
Salah satu faksi menamai dirinya Dewan Nasional Sosialis
Nagaland. Tak berapa lama faksi ini terbelah lagi menjadi faksi
Isak Muivah dan faksi Khaplang. Mereka sama-sama berjuang
untuk terbentuknya Nagaland Raya, yang wilayahnya meliputi
Nagaland, Manipur, Arunchal Pradesh, dan sebagian
Myanmar. Selain pemberontakan bersenjata melawan
pemerintah India, kedua faksi ini melanjutkan perpecahan
mereka dalam aksi-aksi kekerasan bersenjata.
Pada Juli 1997, pemerintah India berunding dengan faksi
Isak Muivah. Gencatan senjata terjadi di bulan berikutnya.
Pemerintah India juga menandatangani kesepakatan gencatan
senjata dengan faksi Khaplang pada 2001. Ironisnya, aksi
kelompok militan tidak pernah berhenti sampai sekarang.
Pemerasan dan kekerasan tetap terjadi.
“Selama India dan Naga berkonflik, banyak perempuan
kami yang diperkosa tentara India, orang-orang dibunuh,
rumah-rumah dibakar,” kisah Khrievou.
Negara-negara yang berbatasan dengan India juga punya peran
dalam pemberontakan bersenjata di India Timur Laut sejak 1950-an.
Para militan itu dilatih di kamp-kamp pelatihan
Linda Christanty 51

militer di Tiongkok, Myanmar, dan Bangladesh (dulu Pakistan


timur). Menurut J.B. Bhattacharjee dalam prakata untuk buku
Roots of Insurgency in Northeast India, keterlibatan asing
dan pelatihan inilah yang membuat para militan memahami
cara menggunakan senjata dalam berbagai aksi dan
pertempuran. Kamp serupa kelak menjamur di Bhutan.

SHEELA mengeluh kehilangan selendang kesayangannya.


Matanya sayu. Biasanya dia riang dan membuat suasana jadi
hangat. Aksen Inggrisnya sangat kental dengan nada. Dia
ingat terakhir kali bersama selendang itu saat seminar di Don
Bosco. Madhavan hanya diam. Prihatin, tetapi tidak bisa
berbuat apa-apa untuk istrinya.
“Mungkin ketinggalan di kursi,” kata Sheela.
Dia juga sudah memeriksa kursi-kursi dalam ruangan,
mencari selendang. Tetapi tidak ketemu.
Sheela berusia sekitar 50-an, bertubuh agak gemuk,
berkulit cokelat. Madhavan lebih ramping dibanding istrinya.
Ketika makan malam bersama di hari kedatangan kami di
Guwahati, Sheela bercerita tentang Irom Sharmila. “Dia sudah
10 tahun mogok makan,” tuturnya, ringan.
Sharmila memprotes pembunuhan orang-orang tak
bersalah oleh aparat bersenjata di Manipur. Perempuan ini
melawan hukum darurat militer, yang membolehkan tentara
menembak dan menangkap siapa pun dengan dugaan
pemberontakan bersenjata.
Pada 2 November 2000, sepuluh orang sedang menunggu
bus di halte Malom, salah satu desa di Manipur. Ada lelaki
berusia 60-an, ada pula pemuda 17 tahun. Tiba-tiba mereka
ditembak tanpa peringatan. Semuanya meninggal di tempat.
Sebelum mereka, ratusan orang telah dibunuh. Perempuan-
52 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

perempuan diperkosa.
Pada 5 November 2000, Sharmila mogok makan. Dia
kemudian ditangkap, lalu dijebloskan ke penjara di Imphal,
ibukota Manipur. Dia juga berkali-kali harus dilarikan ke
rumah sakit karena menolak menghentikan aksinya.
Sharmila bukan politikus. Dia dulu bekerja sebagai tenaga
administrasi di sekolah untuk anak-anak buta. Namun, dia
belajar tentang keberanian dari neneknya, Tonsija Devi. Ne
neknya terlibat dalam perang melawan kolonialisme Inggris
pada 1939 yang dikenal dengan peristiwa Nupilan Kedua atau
Perang Perempuan. Devi membesarkan cucu-cucunya,
termasuk Sharmila, dengan dongeng dan kisah-kisah perla
wanan modern. Kisah-kisah tersebut memberi Sharmila
inspirasi dan rasa percaya diri. Nenek dan cucu begitu akrab.
Mereka rajin pergi ke kuil bersama, memuja Dewa Krishna.
Sebagian orang di Manipur kelak memeluk Kristen dan tidak
ada yang meninggalkan kepercayaan leluhur mereka.
Dalam biografi Sharmila yang ditulis Deepti Priya
Mehrota, Burning Bright: Irom Sharmila and the Struggle
for Peace in Manipur, terungkap bahwa dia menekuni yoga.
Barangkali itu pula yang membuatnya memiliki daya tahan
tubuh dan jiwa yang tangguh. Bobby Sands dari The Irish
Republican Army hanya sanggup mogok makan 66 hari di
Penjara Maze sewaktu memprotes pemerintah Inggris pada
1981. Sands terkapar dan meninggal dunia sesudah itu.
“Sharmila berjuang untuk mendukung hak-hak asasi ma
nusia. Manipur penuh dengan gerakan bawah tanah yang ber
beda tujuan dan masalah yang dihadapi orang-orang di sana,
sama dengan di Nagaland, kedua negara bagian ini juga penuh
korupsi,” tulis Khrievou.
Linda Christanty 53

PESAWAT ke New Delhi ditunda terbang selama tiga jam. Ruang


tunggu bandara sungguh padat. Saya tidak kebagian kursi. Saya
mendengar dua lelaki berbicara tentang Afghanistan dalam
bahasa yang tidak saya pahami, kecuali kata “Afghanistan”.
Sampai hari ini, Khrievou menjadi satu-satunya orang
yang paling rajin mengirimi saya kabar.
“Ada satu hal yang ingin saya tanyakan pada kamu dan saya
harap kamu tidak keberatan. Kamu pernah bilang bahwa kamu
dulu sekolah di sekolah Katolik dan kamu mempelajari Injil,
meski kamu seorang Muslim. Tapi saya tidak pernah membaca
Quran, hanya kadang-kadang mendengar tentang itu. Apakah ada
harapan atau keabadian sesudah kematian dalam Islam, agama
kamu? Sebagai orang Kristen, saya percaya pada keabadian.
Apakah kamu percaya?” tulisnya pada saya.
Saya tergagap.
Surat terakhirnya mengenai situasi India setelah Narendra
Modi dilantik menjadi perdana menteri India pada 26 Mei 2014
lalu. Bharatiya Janata Party, partai Modi, menjadi partai
berkuasa dan pemerintahan India mulai memberlakukan
kebijakan berasaskan Hinduisme. Dalam salah satu kampanye
partai tersebut, lelaki muslim dituduh memperdaya perempuan
Hindu agar memeluk Islam. Terhadap umat Kristiani, peme
rintah India menerapkan peraturan baru yang tak kalah se
wenang-wenang tahun ini, yaitu mengubah Hari Natal menjadi
‘Good Governance Day’. Di banyak tempat yang dihuni pemeluk
Hindu di negara itu, orang Kristen dan Islam mulai dipaksa untuk
masuk Hindu. Korupsi terjadi di mana-mana. Pemerkosaan dan
pembunuhan terus meningkat.
Nasib orang-orang beragama ternyata lebih sering diten
tukan oleh para politisi atau penguasa di dunia ini, bukan oleh
Tuhan mereka.
54 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Namun, surat Khrievou juga penuh harapan, “Saya harap


kamu menerima beberapa foto terakhir saya. Semua foto diambil
di lembah Dziikou, lembah paling indah di Nagaland. Selama
musim panas ini lembah menjelma kebun bunga dan itulah
sebabnya orang-orang sengaja datang ke tempat ini. Selama
musim dingin lembah Dziikou diselimuti salju dan ketika hujan
turun, hujan salju. Saya harap suatu hari kamu ke Nagaland dan
bertemu orang-orang di sini, sebelum saya mati.”
***
(31 Desember 2014)
6

Karbala

Perayaan hari Asyura yang menjadi tradisi


Sunni-Syiah di dunia.

TIAP waktu adalah Asyura, tiap tempat adalah Karbala, tiap


mihrab adalah darah. Kata-kata itu selalu terngiang dan saya
tidak ingat lagi siapa yang pernah mengatakannya.
Di hari raya Asyura, Nenek selalu memasak bubur merah
dan bubur putih. Bubur merah yang legit terbuat dari
campuran beras dan gula merah, sedang bubur putih yang asin
berasal dari beras, santan kelapa, dan garam yang ditanak.
Ketika mata Nenek makin rabun dan tidak sanggup lagi
memasak bubur istimewa ini, Ibu atau bibi-bibi saya kelak
menggantikannya memasak penganan tersebut.
Selain untuk dimakan seisi rumah, bubur juga dibagikan
kepada para tetangga. Saya dan adik-adik tidak menyukai
bubur merah-putih. Namun, tiap kali Asyura selalu ada bubur
yang membosankan itu. Setahu saya, bubur merah-putih sama
sekali bukan kuliner dari Timur Tengah.
56 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Peringatan Asyura terjadi di Irak dan berbagai negara Islam


yang dilaksanakan kaum Muslim bermazhab Syiah secara besar-
besaran. Di televisi Al Jazeera, saya pernah menonton tayangan
perayaan Asyura di Irak. Lelaki dan perempuan menangis keras-
keras, memukul-mukul tubuh mereka, menampakkan duka cita
mendalam sambil menyiksa diri, meratapi kematian Imam
Hussain bin Ali. Padahal dalam keluarga kami pantang meratapi
orang yang sudah meninggal dunia dan apalagi, menyakiti tubuh
sendiri. Keluarga kami menganut mazhab Sunni Syafi’i, meskipun
merayakan Asyura telah menjadi tradisi.
Ketika Hussain diserang tentara Yazid bin Muawiyah di
Karbala, Irak Selatan, hanya orang-orang Syiah yang mem
belanya. Syiah, artinya ‘pengikut’ dalam bahasa Arab. Para
ahlul bait atau keluarga Nabi Muhammad berutang budi pada
orang-orang Syiah ini dan merayakannya sebagai tanda
berkabung atas kematian Husain.
Orang-orang Syiah tidak pernah berkompromi dengan
kezaliman, berbeda dengan orang-orang Sunni yang mengang
gap anarki lebih berbahaya daripada kezaliman dan mereka
memilih mendukung status quo demi rasa aman. Di masa
Presiden Soeharto berkuasa di Indonesia, para ulama atau
para pemuka agama banyak yang mendukungnya. Itu pula
yang membuat rezim Orde Baru begitu lama tumbang dan
bahkan kini tengah berusaha bangkit lagi.
Keadaan semacam itu pula yang terjadi di masa hidup Hussain.
Yazid bin Muawiyah, putra Muawiyah bin Abu Sofyan, memaksa
siapa pun untuk mengakuinya sebagai khalifah. Para ulama tadinya
sudah sepakat tidak mendukung kekhalifahan Yazid, seorang yang
destruktif, despotik, perampok, dan penista kaum perempuan.
Tetapi kelak semua orang berbaiat atau bersumpah setia atas
ancamannya.
Linda Christanty 57

John Bar Penkaye, pendeta Nestorian di Mesopotamia pada


akhir abad ke-7, menggambarkan Yazid sebagai “tiran berkepala
kosong”. Penkaye menjadi saksi di masa awal kekuasaan Islam di
Timur Tengah. Selain Penkaye, Abul A’la al Maududi dalam
bukunya Al Khilafah wa al Mulk menyebutkan dua ciri utama
pemerintahan Yazid: 1. Ditegakkan di atas nepotisme dan negara
berlandaskan asas kekeluargaan. Makin dekat seseorang dengan
pemimpin yang berkuasa, makin banyak hak istimewa yang
didapat, 2. Ditegakkan di atas pelecehan hak-hak rakyat.
Penguasa menafsirkan ayat Alquran sesuai kepentingan mereka
untuk membenarkan penindasan itu sebagai kehendak Tuhan.
Ketika ada yang menentangnya, mereka akan dituduh menolak
takdir dan tidak mau menerima ketentuan Allah.
Hanya Hussain satu-satunya yang menolak berbaiat. Dia
menjadi panutan orang-orang Quraisy dan para ulama di
Mekkah dan Madinah setelah kematian abangnya, Hasan,
yang meninggal dunia akibat diracun istrinya sendiri,
keponakan Muawiyah bin Abu Sofyan. Bagi Hussain, dia tidak
mungkin berkompromi pada kekuasaan. Hussain berusia 57
tahun saat itu.
“Sungguh aku lebih memilih kematian dengan cara ke
syahidan ketimbang harus hidup dengan seorang penindas
penuh aib dan kehinaan,” kata Hussain pada Muhammad Ali
Hanafiah, saudara tirinya, yang mencegahnya keluar dari kota
Medinah. Maksud Ali Hanafiah, bila mereka berkumpul di
Madinah, mereka akan menghadapi apa pun bersama-sama.
Minimal, kalau terjadi sesuatu pada Hussain dan
pendukungnya pasti ada demo kecil-kecilan. Percakapan dan
adegan ini dikisahkan kembali oleh orang-orang tua dalam
keluarga kami di hari Asyura.
Namun, Hussain tetap memutuskan hijrah dari Madinah
58 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

menuju Khufah. Bersamanya ada puluhan penunggang kuda


dan pejalan kaki, juga banyak anak-anak. Di Karbala, dekat
Najaf, Irak Selatan, sekitar 30 ribu pasukan Yazid
menghadangnya. Mereka membantai Hussain dan keluarga
serta pendukungnya itu.
Pengertian ‘setiap mihrab adalah darah’ dalam ajaran Syiah
tetap relevan hingga hari ini, di saat kekuasaan menjadi alat
untuk menghukum, menghilangkan nyawa, dan merampas hak
orang tanpa proses pengadilan yang benar, dan menghalalkan
darah rakyat yang dibunuh atas nama Tuhan. Ketika keadilan
tidak berpihak kepada orang yang sepatutnya dibela.
Sebenarnya Hussain sudah mengetahui bahwa dia tidak
akan pernah sampai di Khufah. Dia memang tidak punya
pilihan lain dan harus mati. Kalau dia sampai tunduk kepada
kekhalifahan Yazid, maka tidak akan ada lagi kebenaran.
Ibarat matahari, kebenaran akan tenggelam selamanya.
Gugurnya Hussain kemudian membangkitkan semangat
orang-orang Islam melawan pemerintahan Islam Muawiyah
yang berpusat di Damaskus, Suriah. Satu-satunya keturunan
Muawiyah yang selamat dari perang tersebut adalah
Abdurrahman, yang lari ke Spanyol dan menjadi raja di
Kordoba. Kebanyakan pengikut Muawiyah berada di Kordoba,
lalu mendirikan Dinasti atau Bani Umayyah. Kekuasaan
dinasti ini amat luas, meliputi Afrika, India, Tiongkok, hingga
perbatasan Rusia.
Teladan Hussain tak ada beda dengan Nabi Isa Almasih
atau disebut umat Kristiani, Yesus Kristus, ketika melawan
kekuasaan Romawi. Kekaisaran Romawi dan Dinasti Umayyah
sama-sama negara adidaya di zamannya. Walaupun sekarang
Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah—dua kekhalifahan Islam
yang sama-sama menyelewengkan ajaran Nabi Muhammad—
Linda Christanty 59

telah jadi fosil dalam sejarah, praktik penindasan ala mereka


tetap terjadi di dunia kita hari ini. Selama masih ada sekelom pok
orang, sekte, aliran, penguasa atau siapa pun yang ingin membeli
kebenaran dengan kekuasaan dan bahkan mengatas namakan
Tuhan atau agama untuk bertindak sewenang-wenang, maka
setiap waktu adalah Asyura, setiap tempat adalah Karbala, dan
setiap mihrab adalah darah.
***
(11 Agustus 2010)
7

Seloyang Pizza di Shinjuku

Pengaruh globalisasi dalam makanan


dan nasib perempuan lajang di Jepang.

MALAM itu sejumlah orang asyik mengunyah camilan di satu


restoran di Shinjuku, salah satu distrik Tokyo. Makanan
hangat, begitu juga ruangan. Di sini orang-orang bebas dari
gigitan suhu delapan derajat, yang seringkali disertai angin
kencang. Bulan Februari, bulan terdingin di Jepang tahun ini.
“Pizza Jepang,” kata Akio Ueno, yang saya panggil Ueno
san, menunjuk ke piring yang diletakkan pelayan di meja,
menyilakan saya makan.
Bentuk pizza ini tidak bundar seperti pizza Italia,
melainkan panjang pipih seperti tubuh ular yang telah
dipotong kepala dan buntutnya. Lumayan garing dikunyah.
Segar dan asam di lidah.
Kami berempat. Saya, Takeaki Hori, Ueno san, dan Davin
Setiamarga.
Hori san berusia sekitar 60-an. Pembawaannya riang.
Linda Christanty 61

Gaya berbusananya elegan. Dia antropolog dan profesor tamu


di sebuah universitas di Praha, Cekoslovakia. Tiap bulan Sep
tember, dia terbang ke sana. Hori san berteman baik dengan
Vaclav Havel, mantan presiden negeri itu.
Dia kemudian bercerita tentang penelitiannya bertahun-
tahun lalu. Dia menganalisis perubahan sosial dan budaya
masyarakat di Papua Nugini setelah industrialisasi.
Saya teringat bagaimana perubahan juga terjadi di Indo
nesia, ketika anak-anak muda desa merantau dan bekerja di
pabrik-pabrik di kota. Tak jarang lahan kebun, sawah, atau
rumah orangtua-orangtua mereka juga digusur perusahaan
tambang atau manufaktur itu.
Anak-anak muda tersebut tidak harus mengejar ular,
tikus, belalang, burung, atau membasmi hama, seperti
generasi orangtua mereka, atau menunggu panen berbulan-
bulan untuk memperoleh uang.
Mereka bekerja dalam ruang tertutup, tidak perlu khawatir
dengan hujan atau panas, tapi tak boleh bicara satu sama lain.
Mereka memperoleh uang per minggu atau per dua minggu.
Tapi tentu saja, harga pakaian atau sepatu merek terkenal
yang mereka buat tak terjangkau upah mereka yang kecil.
Mereka lantas membeli tiruannya di pasar. Merekalah
generasi penggerak masyarakat industri sekaligus korbannya.
Perubahan cara hidup ini juga membuat orang merindukan
kesamaan-kesamaan yang menghangatkan. Mereka mulai me
ngelompokkan diri berdasarkan etnis atau daerah asal, karena hal
tersebut yang termudah dan menimbulkan rasa aman di benak
mereka yang pindah dari masyarakat komunal desa ke tengah
masyarakat urban yang individualistik ini.
Anak-anak muda desa yang merantau ke kota itu terbagi atas
kelompok-kelompok daerahnya. Ada kelompok Palembang,
62 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

kelompok Purwokerto, kelompok Banyumas, dan sebagainya.


Mereka pun menyelenggarakan arisan, makan bersama, saling
berbagi cerita seputar pabrik atau teman, dan kadang-kadang
berkesenian, selain tetap merindukan kampung halamannya.
“Makan, makan… Biar gemuk. Mau pesan apa lagi?” kata
Ueno san, tertawa.
Ueno san berpenampilan sederhana dan sebaya Hori san.
Dia seperti seorang ayah, begitu perhatian dan sibuk mena
nyakan “Mau makan apa?”.
Ueno san direktur Shogakukan, sebuah penerbitan di
Jepang. Dia kemudian bercerita tentang asal-usul industri
boneka Bandai pada kami.
Suatu hari seorang lelaki bernama Sato membuat robot-
robotan dari kayu dan menjualnya di Asakusa, di taman dekat
kuil. Ketika itu tahun 1970-an. Dia bekerja untuk menghidupi
keluarganya. Sato kemudian mencari akal agar dia tak perlu
terlalu lelah memahat robot-robot kayu itu satu per satu. Dia
membuat cetakannya, lalu mengganti bahan kayu dengan
plastik. Produksi jadi lebih banyak, tenaga manusia lebih
hemat. Lama-kelamaan berdiri pabrik, lalu boneka itu populer
dan mendunia. Ueno san mengenal Sato secara pribadi.
Ueno san kemudian menyambung kisahnya dengan asal-
usul boneka Licca, Barbie ala Jepang.
“Rumah boneka Barbie itu kan tinggi buat ukuran anak-
anak Jepang, jadi mereka kepayahan kalau menjinjingnya.
Akhirnya diciptakan Licca, lebih kecil ukurannya,” kisahnya.
Dari cerita Ueno san, kapitalisme ternyata pernah dimulai de-
ngan gagasan sederhana dan tidak kedengaran jahat: bagai mana
orang berkarya untuk hidup dan bagaimana karya itu kelak dinikmati
berbagai kalangan. Namun, praktiknya menja di kejam saat
menginginkan keuntungan yang terus-menerus
Linda Christanty 63

dan berlipat ganda dengan pengeluaran minim: tenaga buruh


diperas dan diupah murah. Kekejaman itu bertambah ketika
propagandanya menginginkan siapa pun membeli setiap produk
sebagai kebutuhan yang wajib, mencipta histeria terhadap produk
tersebut bagai aksi Creel Commission, lembaga khusus di masa
pemerintahan Woodrow Wilson, menggerakkan histeria orang
Amerika untuk berperang melawan Jerman.
Di kursi sebelah saya, Davin berbicara Bahasa Jepang
sangat fasih. Cepat sekali. Dia asal Bandung, Jawa Barat,
keturunan Tionghoa, dan sudah hampir 10 tahun tinggal di
Tokyo. Usianya 29 tahun. Logat Sundanya sangat kental. Saat
bicara bahasa Indonesia, kosa kata Sundanya bertaburan di
tiap kalimat. Tahun depan, dia akan meraih gelar doktornya
dari jurusan Biologi Molekuler Kelautan Universitas Tokyo.
Sewaktu S2, Davin meneliti ikan.
“Bagaimana mengkloning gen ikan,” katanya.
Usut punya usut, anak perempuan Hori san kuliah di
jurusan yang sama.
“Nanti main ke rumah ya,” kata Hori san pada Davin.
Ueno san juga menyatakan siap menerima Davin kalau dia
mampir ke rumahnya untuk makan-minum. Ueno san mungkin
teringat putranya yang menghabiskan sepertiga hidupnya di
Indonesia dan menikah dengan perempuan Indonesia.
Berbeda dengan putra Ueno san yang menikahi
perempuan Indonesia, Davin menyatakan tak bakal sanggup
menikahi perempuan Jepang.
“Masalahnya teh begini, setinggi-tingginya karir perempuan
Jepang, kalau mereka menikah dan berumah tangga, mereka
langsung berhenti bekerja. Nah, suaminya yang akan
menanggung semua kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan si
istri. Urang pasti nggak akan sanggup. Gaji saya itu cuma
64 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

cukup untuk beli buku dan sedikit bersenang-senang. Saya


tidak mau mengorbankan semua itu demi apa yang namanya
perkawinan,” katanya, bersungut-sungut.
Di Jepang, perempuan yang berkarir rata-rata memilih
tidak menikah.
“Mereka juga merasa sayang mengorbankan karir, apalagi
sudah di posisi yang cukup mapan di kantor atau perusahaan.
Perempuan usia 40-an di sini, rata-rata single,” kata Davin.
Topik pembicaraan kami meloncat-loncat seperti bajing,
atau gasing, saking cepatnya topik yang satu bertukar ke topik
lain. Hori san menyatakan dia antiglobalisasi. Namun,
sepanjang malam itu dia tidak pernah menjelaskan alasannya.
Yang jelas, dia tidak menolak makan pizza, roti khas Italia
yang mendunia dan hadir di hadapan kami dalam versi
setempat ini.
Di sebuah toko mainan berlantai lima di Shinjuku, saya
teringat cerita Ueno san saat melihat Licca dan membeli
beberapa robot Bandai untuk para keponakan saya. Toko itu
masih buka sampai larut malam. Davin membantu saya
memilih Pokemon, T-Rex, dan beberapa ekor Dinosaurus.
***
(Aceh Feature, Februari 2008)
8

Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Tentang orang-orang hilang di masa rezim militer dan


nasib jugun ianfu di Asia.

MUSIM dingin memang belum mencapai puncaknya di


Akasaka, salah satu distrik Tokyo. Namun, suhu udara terus
berkisar di bawah 25 derajat Celsius. Di siang hari sekitar 17
derajat, sedang di malam hari bisa menukik ke 7 derajat. Saya
tak keberatan dengan suhu rendah, karena udara panas
membuat asma saya kumat.
Suhu dalam kamar hotel ini 28 derajat, sesuai peraturan
pemerintah Jepang. Terlampau hangat. Tidak ada cara lain,
jendela kamar harus dibuka lebar-lebar. Udara luar yang
dingin terasa bersih dan segar
Pukul delapan pagi, 24 November 2006, saya berjalan ke
kedai kopi yang berjarak sekitar 20 meter dari hotel. Banyak
orang sarapan di sini sebelum berangkat ke kantor atau
tempat kerja. Menyeruput cokelat panas sambil membaca
suratkabar The International Herald Tribune menjadi ritual
66 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

yang menyenangkan. Salah satu halaman suratkabar itu


memuat puisi Yoko Ono, “Forgive Us”, untuk memperingati
hari kematian suami tercinta, John Lennon.
Lennon, penyanyi pop legendaris asal Inggris dan salah
satu pendiri grup musik The Beatles, ditembak penggemar
fana tiknya, Mark Chapman, di muka apartemennya di
Manhattan, New York pada 8 Desember 1980.
Puisi Ono amat menyentuh hati:

“To the people who have also lost loved ones without
cause: forgive us for having been unable to stop the tragedy.
We pray for the wounds to heal.
To the soldiers of all countries and of all centuries, who
were maimed for life, or who lost their lives: forgive us for
our misjudgments and what happened as a result of them.
To civilians who were maimed or killed or who lost their
family members: forgive us for having been unable to
prevent it.
To the people who have been abused and tortured:
forgive us for having allowed it to happen.
Know that your loss is our loss.
Know that the physical and mental abuse you have endured
will have a lingering effect on our society, and the world.
Know that the burden is ours.”

Tentang kehilangan, ajakan menanggungnya bersama,


permintaan maaf kepada siapa pun yang mengalaminya, dan
pesan perdamaian.
Bait-bait tersebut mengingatkan saya pada ibu-ibu di
Argentina yang kehilangan anak-anak mereka di masa “Perang
Kotor” terjadi di negeri itu. Para ibu berdemonstrasi secara
Linda Christanty 67

rutin di Plaza de Mayo untuk menuntut pemerintah mencari


serta mengembalikan buah hati mereka sampai sekarang.
Pada 1976 sampai 1983, puluhan ribu orang yang diang
gap melawan pemerintah dihilangkan secara paksa oleh junta
militer Argentina. Kasus tadi mulai mencuat ke dunia inter
nasional setelah para jenderal Argentina di bawah junta
militer Jenderal Leopoldo Galtieri kalah perang melawan
pemerintah Inggris dalam memperebutkan Kepulauan
Falkland. Para jenderal yang telah kehilangan legitimasi itu tak
dapat lagi membendung gerakan warga yang membongkar
kejahatan mereka di masa lalu.
Di masa yang sama, bayi-bayi yang lahir dari para
perempuan yang dituduh melawan pemerintah segera
dipisahkan dari ibu-ibu mereka dan diserahkan kepada
keluarga lain yang mendukung junta maupun keluarga-
keluarga militer. Para ibu ini kemudian disiksa dan dibunuh.
Saya juga teringat orang-orang yang dihilangkan paksa di
masa Presiden Soeharto memimpin Indonesia.
Sejumlah teman saya diculik dan disiksa antara tahun 1997
dan 1998. Sebagian dari mereka selamat dan pulang ke rumah,
tetapi sebagian lagi tidak pernah kembali.
Mereka adalah anak-anak muda yang kritis dan
memprotes cara pemerintah mengurus warga. Hukum hanya
berpihak pada yang kuat dengan menindas yang lemah.
Kebebasan berpendapat dilarang. Korupsi merajalela di
kalangan aparatur negara. Ketika itu para aktivis, buruh, dan
mahasiswa pun berdemonstrasi di jalanan, melawan senjata
tentara dengan yel-yel dan pidato.
Parlemen di masa pemerintahan sekarang kemudian setuju
membentuk tim pencari para aktivis yang belum kembali itu,
tetapi praktiknya terus tertunda. Seperti ibu-ibu di Plaza
68 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

de Mayo, para ibu di Indonesia masih menunggu anak-anak


mereka pulang sampai sekarang.

PADA hari kedua di Akasaka, saya mengunjungi patung


Buddha Daibutsu di Kamakura, yang terkenal dengan sebutan
Great Budha. Jarak Kamakura sekitar 1 jam 20 menit dari
Tokyo dengan kereta.
Patung Buddha ini dibuat pada 1252 dan sama sekali tak
memancarkan aura wibawa. Dia seperti kegemukan sekaligus
lugu, terbuat dari beton, berwarna kehijauan, bertakhta di
halaman kuil. Di tubuhnya ada rongga yang tak seberapa luas
dan bisa dimasuki para pengunjung dengan berdesakan dan
mengantre di tangga sempit.
Peziarah dan pelancong berbagai bangsa berpotret di seke
lilingnya, seperti merayakan reuni keluarga.
Dalam perjalanan kembali ke Akasaka, terlihat lanskap
pedesaan dari jendela kereta. Rumah-rumah berderet, rapi,
berbentuk persegi, nyaris seragam.
Namun, rumah-rumah warga di provinsi kepulauan Oki
nawa, misalnya, agak lain. Rumah-rumah mereka lebih mirip
rumah-rumah orang di Jakarta.
Dalam satu hal, situasi di Okinawa mirip dengan situasi di
Aceh dulu, provinsi di ujung barat Indonesia. Sebagian orang
Aceh pernah merasa bukan orang Indonesia, seperti sebagian
orang Okinawa merasa mereka bukan orang Jepang.
Pangkalan militer Amerika yang terbesar di Pasifik juga
berada di Okinawa dan menambah ketegangan ini.
Pangkalan tersebut berdiri begitu Perang Pasifik berakhir pada
1945 dan menyita sepertiga luas Okinawa. Banyak masalah muncul
gara-gara kehadirannya, seperti kasus pemerkosaan terhadap gadis-
gadis setempat, polusi lingkungan, kecelakaan
Linda Christanty 69

helikopter atau pesawat yang membuat gedung atau rumah-


rumah warga terbakar.
Ketika berkunjung ke Universitas Ryuku pada Maret 2005,
saya melihat tembok gedung yang menghitam akibat
helikopter militer jatuh dan terbakar di situ.
Saya juga mendatangi museum perang di Naha, ibukota
Okinawa. Kuburan massal terletak di halaman museum. Nama-
nama mereka yang gugur saat Perang Pasifik terpahat di batu-
batu granit hitam dalam huruf kanji. Dulu orang-orang Okinawa
memilih terjun ke Samudra Pasifik ketimbang menyerah pada
serdadu Jepang. Tempat mereka terjun itu kini tepat di belakang
museum. Laut bergolak dan berbuih-buih, jauh di bawah sana.
Dalam bus yang membawa kami ke museum, Akiko, salah
satu teman sempat bertanya, “Apa pendapat anak-anak muda
Indonesia tentang penjajahan Jepang, Linda san?”
Di masa pendudukan Jepang, ratusan ribu perempuan
Indonesia dijadikan budak seks atau jugun ianfu. Selain di
Indonesia, perbudakan seks terhadap perempuan terjadi di
seluruh wilayah pendudukan Jepang di Asia Tenggara, seperti di
Malaysia, Filipina, Burma, dan Thailand, juga di Indocina seperti
di Vietnam dan Laos, bahkan di Manchuria, Tiongkok, dan
Formosa (sekarang Taiwan). Korban terbesar ada di Korea.
Jutaan perempuan di negeri itu menjadi korban perbudakan seks
dan kebiadaban militer Jepang di masa Perang Dunia II.
Kekejaman serta penjajahan terhadap bangsa apa pun
tidak boleh lagi terjadi hari ini. Tetapi Akiko tidak harus
menanggung beban kesalahan para pendahulu atau generasi
kakeknya. Kami harus menatap masa depan, membuat dunia
ini jadi tempat tinggal yang lebih baik bagi generasi baru.
Saya tidak pernah bertemu Akiko lagi. Entah di mana dia
sekarang. Kami sempat merayakan perpisahan di satu karaoke
70 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

di Naha. Akiko dan teman-teman menyanyi dengan merdu,


sementara suara saya terlalu buruk untuk diperdengarkan.
Saya kemudian menari.
“Linda san, kamu sangat pintar menari dan punya selera
humor yang tinggi. Semoga kita jumpa lagi di masa depan,”
tulisnya dalam Bahasa Inggris di secarik kertas yang
diberikannya sebelum pesawat kami terbang meninggalkan
Naha menuju Tokyo. Di lipatan kertas itu terselip origami
berbentuk seekor burung kecil biru.
***
(Laka, 3 Juni 2012)
9

Kenangan Punne

Militerisme, gerakan mahasiswa, dan kehancuran


Partai Komunis Thailand.

MALAM itu, 13 Oktober 2013, Universitas Thammasat


mengge lar opera Cina di aulanya. Para pemain berbicara
dalam bahasa yang tidak saya pahami, tetapi gerak-gerik
mereka di panggung menyuguhkan adegan yang menarik dan
penuh konflik. Kursi-kursi terisi penuh. Saya terpaksa duduk
di kursi cadangan, di lorong belakang yang gelap. “Ini
mengisahkan tentang apa yang terjadi dulu. Di sini dulu
mahasiswa lari, dikejar-kejar, dan dibunuh. Banyak yang
meninggal dalam gedung ini,” kata Punne Suangsatapananon,
yang duduk di sebelah saya. Perempuan ini berusia sekitar 50-
an, berambut pendek, berkacamata minus. Kulitnya putih. Dia
masih melajang. “Dulu saya punya pacar,” katanya, seraya
tersenyum. Pacarnya, Subhap, hilang 31 tahun lalu.
Opera tersebut merupakan rangkaian peringatan 40 tahun
kekuatan rakyat mengakhiri kekuasaan diktator militer dalam
72 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

pemerintahan Thailand. Di luar aula, buku-buku tentang


peristiwa tadi ditata rapi untuk dijual di meja-meja pajang.
Semuanya dalam bahasa Thai. Penjual makanan dan minuman
juga ramai. Para pengunjung memadati halaman dan
pelataran aula. Ada yang saling menyapa lalu bersalaman atau
berpelukan: teman-teman lama membuat masa lalu menyatu
dalam cerita-cerita hari ini.
Pada 14 Oktober 1973, mahasiswa di Thailand berdemon
strasi dan menuntut tiga perwira militer yang dijuluki “tiga tiran”
mengundurkan diri dari pemerintahan. Mereka adalah Thanom
Kittikachorn, Praphat Charusathien, dan Narong Kittikachorn.
Thanom melarikan diri ke luar negeri. Namun, situasi dalam
negeri Thailand tidak sepenuhnya tenang sesudah dia hengkang.
Sejumlah pendukung Thanom bahkan berencana membawanya
kembali ke Thailand. Di luar urusan Thanom, pemerintah dan
militer juga mulai khawatir kaum komunis mengambil alih
kekuasaan. Kekhawatiran ini dipicu oleh kemenangan partai
komunis di Laos, tetangga dekat Thailand. Propaganda
antikomunis pun digencarkan. Kelompok-kelom pok milisi
bersenjata dibentuk dan dilatih militer.
Pada 19 September 1976, Thanom kembali ke Thailand dengan
alasan menengok ayahnya dan menyatakan bahwa kepulangannya
tidak mengandung agenda politik. Dia ditahbiskan sebagai pendeta
Buddha di sebuah kuil untuk meneguhkan alasannya itu. Protes
mahasiswa, para buruh, dan rakyat terhadap kepulangannya
merebak di Sanam Luang, lapangan terbuka di muka istana raja,
pada 30 September 1976. Mereka menolak kedatangan sang tiran.
Di Universitas Thammasat kemudian berdiri posko pengunjuk rasa
dan dapur umum. Mahasiswa dari berbagai universitas dan pelajar
dari berbagai sekolah yang terlibat dalam aksi protes tersebut
Linda Christanty 73

memusatkan diri di kampus Thammasat.


“Waktu itu saya mahasiswa tahun kedua di Fakultas Sains
di Universitas Chulalongkorn,” kenang Punne.
Di muka kampus Thammasat mengalir Sungai Chao Phraya
dan di seberangnya hotel tempat saya menginap berada. Perahu-
perahu mesin hilir-mudik di situ, membawa orang-orang
menyeberang ke sisi lain sungai atau sekadar bertama sya
mengarungi sungai. “Dulu mahasiswa-mahasiswa terjun ke
sungai itu,” tutur Subhatra Bhumiprabhas kepada saya, di waktu
lain. Dia adalah veteran jurnalis dan aktivis di Thailand. Di masa
tersebut, Subhatra masih belajar di kelas dua sekolah menengah
dan berusia 14 tahun. Dia bergabung dengan para mahasiswa dan
membantu di dapur umum.
Tragedi berdarah terjadi pada 6 Oktober 1976. “Mahasiswa
dan pengunjuk rasa diserang militer dengan
tembakan senjata pelontar granat M 79, baik mereka yang ber
ada di kampus Thammasat maupun di Sanam Luang,” kata
Punne, yang sekarang mengelola sebuah lembaga pemantau
media bersama Subhatra.
Milisi turut membunuh, menggantung, dan menyeret
tubuh-tubuh korban mereka. Siapa pun yang terjun ke sungai
ditembak dan menemui ajal sebelum mencapai seberang
sungai.
Seorang mahasiswa menyelamatkan Subhatra, dengan
menyuruhnya lari menjauhi militer dan milisi yang sudah
menguasai kampus. Pada tanggal itu, Punne kebetulan pulang
ke rumah.
Sehari sebelum serangan brutal di Thammasat, beredar foto
mahasiswa sedang menggantung orang-orangan mirip Putra
Mahkota Vajiralongkorn di suratkabar Bangkok Post. Mereka
melakukan protes terhadap buruh pabrik yang dibunuh
74 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

polisi pascakepulangan Thanom. Tindakan mereka dianggap


menghina keluarga kerajaan. Memicu isu baru. Menyulut api yang
lebih besar. Radio-radio menyiarkan hujatan dan kebencian
terhadap para pelaku protes, termasuk radio militer.
Penjelasan resmi menyatakan bahwa 46 orang meninggal
dunia dan ratusan orang luka akibat serangan di Thammasat.
Sekitar seribuan aktivis ditangkap dan ditahan.
“Saya ditangkap dan ditahan selama satu bulan,” kata
Subhatra. Dia masih ingat seorang mahasiswa bernama
Thongchai Winichakul merupakan orang terakhir yang berdiri
di panggung dan berorasi ketika militer dan milisi menyerbu
kampus. Thongchai salah seorang pemimpin mahasiswa. Dia
ditahan selama dua tahun. Kini Thongchai bekerja sebagai
profesor sejarah Asia Tenggara di Universitas Wisconsin-
Madison di Amerika Serikat.
Di suratkabar The Nation, edisi 6 Oktober 2006, Subhatra
memuat pernyataan-pernyataan Thongchai dalam artikelnya
yang berjudul “Hard to Remember, yet Difficult to Forget”.
Awalnya, Thongchai menganggap generasinya perlu
merekonstruksi ingatan atas kejadian itu. Namun, dia
kemudian mengubah pendapatnya. Mengingat tidak akan
menciptakan bagian yang positif dalam sejarah Thailand
sehingga lebih baik melupakan, katanya. Tetapi dia mengakui
babak kelam itu sebagai masa lalu yang berat untuk diingat
sekaligus sulit untuk dilupakan.
Di tepi jalan dalam kampus, dekat aula, potret-potret
mahasiswa yang menjadi korban kebrutalan itu dipasang. Acara
peringatan ini juga menjadi ajang reuni para aktivis di masa lalu yang
sekarang rata-rata berusia 50-an. Generasi yang lebih muda turut
berpartisipasi dalam menyiapkan acara.
Linda Christanty 75

MALAM itu Punne mengemudikan mobilnya, menyusuri jalanan


kota Bangkok. Saya duduk di sebelahnya. Dia akan mengantar
saya ke hotel. Kami bercakap-cakap sepanjang perjalanan,
sementara tatapannya tak beralih dari jalan di depan.
“Banyak mahasiswa yang selamat kemudian memutuskan
bergabung dengan Partai Komunis Thailand (PKT) di hutan.
Di masa itu, Vietnam baru saja menang perang melawan
Amerika Serikat, sedangkan partai komunis di Laos dan
Kamboja mengambil alih kekuasaan,” ujarnya.
“Berakhirnya kekuasaan Thanom oleh kekuatan rakyat pada
14 Oktober 1973 ternyata mengubah dan mempengaruhi sistem
politik di Thailand. Mahasiswa-mahasiswa tertarik kepa da
politik. Saya ikut serta di dalamnya dan bergabung dalam
demonstrasi menentang kepulangan Thanom,” lanjut Punne.
Dua bulan sesudah peristiwa Thammasat, dia dan banyak
mahasiswa meninggalkan Bangkok dengan naik bus ke
Provinsi Udonthani di timur laut Thailand. Ketika mereka tiba
di Udonthani, seorang utusan PKT menjemput mereka untuk
pergi ke sebuah desa kecil dekat hutan yang ditempuh selama
dua hari berjalan kaki. Dari sana, mereka mendaki gunung
untuk mencapai basis PKT di hutan. Punne tinggal di situ
selama setahun, lalu dipindahkan ke Laos, dan tinggal di basis
partai yang berada di perbatasan Laos dan Tiongkok sejak
Tiongkok dan negara-negara komunis lainnya mendukung
perjuangan PKT melawan pemerintah Thailand. Di Laos,
Punne dilatih menjadi perawat profesional.
Selama menjalankan tugas sebagai perawat partai, dia
pernah mengalami satu kejadian yang tak terlupakan. Di
tengah malam, dia dibangunkan oleh pemimpin unit Tentara
Pembebasan Rakyat Thailand, sayap bersenjata PKT, yang
mengatakan kepadanya bahwa salah seorang kawan mereka
76 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

terkena ranjau darat dan memintanya pergi ke lokasi insiden itu


bersama-sama. Mereka melewati ladang jagung di kaki bukit
dalam kegelapan, menuruni gunung, dan mengikuti aliran sungai,
lalu berjalan di sepanjang tebing untuk menemui korban tersebut.
Dia menyaksikan dua orang terluka. Salah satunya, mengalami
luka serius. Kedua tangannya putus dan perutnya membengkak.
Mereka mencoba membawanya ke rumah sakit di basis PKT
dengan mendaki dan menuruni gunung. Namun, lelaki itu tak
bisa diselamatkan akibat kehilangan banyak darah. Punne cukup
terpukul. Dulu mereka pernah bersama-sama menyusuri
perbatasan Laos menuju provinsi Nan. Dia kehilangan seorang
kawan dari masa sulit.
Dukungan terhadap PKT waktu itu meluas di seluruh
Thailand, dari utara hingga selatan.
Empat tahun silam, saya bertemu penyair Kaseem Jantam
di Desa Pomkiri, Nakhon Si Thammarat, Thailand Selatan.
Jarak Bangkok ke Nakhon sepanjang 784,8 kilometer atau
dapat ditempuh dalam 9 jam 50 menit dengan mobil. Pi
Kaseem berambut panjang sebahu dan sebagian telah
memutih. Kulitnya cokelat. Kemejanya berwarna merah cerah,
bermotif kelopak-kelopak bunga putih.
“Dulu bibi saya ikut masuk hutan, bergabung dengan
PKT,” katanya. Dia sendiri tidak ikut politik. Dia lebih senang
menulis sajak-sajak. Katanya, sekarang PKT bukan lagi
kekuatan politik yang dapat diperhitungkan. Sejumlah
pemimpin pentingnya meninggalkan partai itu dan sekarang
bekerja di institusi pemerintah.
Kekuatan militer dan propaganda pemerintah Thailand
berupaya melemahkan PKT, termasuk menyebarkan pam flet melalui
helikopter di hutan-hutan. Penembakan dan pe
Linda Christanty 77

ngeboman oleh pasukan pemerintah terjadi di basis-basis


partai tersebut.
Perubahan politik berlangsung pada 1979. Perang perba
tasan antara Tiongkok dan Vietnam berkobar akibat serangan
Tiongkok terhadap invasi Vietnam di Kamboja. Dua blok
komunis berseteru. Soviet mendukung Vietnam. Pemerintah
Laos memaksa PKT yang didukung Tiongkok kembali ke basis
di wilayah Thailand.
“Saya dan anggota-anggota partai harus berjalan kaki me
ninggalkan perbatasan Laos ke Provinsi Nan di Thailand utara
dan tinggal di sana selama lima tahun,” kisah Punne.
“Seberapa besar dukungan Tiongkok dulu terhadap PKT?”
tanya saya.
“Pemerintah Tiongkok tidak hanya memasok pakaian, obat-
obatan, dan senjata, tapi juga memberi PKT sebuah stasiun radio
yang dinamai Suara Rakyat Thailand dan berlokasi di Yunnan, di
selatan Tiongkok. Tapi sesudah hubungan diplomatik dan
perdagangan antara pemerintah Thailand dan Tiongkok terjalin,
dukungan logistik dari Tiongkok merosot tajam dan akhirnya
siaran radio berhenti pada 1979,” jawabnya.
Punne mengenang masa itu sebagai masa sulit bagi PKT,
tanpa dukungan Tiongkok dan Vietnam. Namun, bukan hal itu
yang menentukan kemenangan atau kekalahan partainya.
Petani, buruh, dan orang-orang Thailand masih banyak yang
mendukung kebutuhan sehari-hari dan menyumbangkan uang
mereka bagi perjuangan PKT.
“Jadi apa penyebab kekalahan PKT?” tanya saya, lagi.
“Merosotnya dukungan terhadap PKT terjadi sesudah
pemerintah Thailand mendorong kader-kader partai untuk
menyerah. Sampai akhirnya pemerintah memberi amnesti
78 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

kepada kader-kader partai, sementara di partai sendiri terjadi


konflik internal.”
Pada 1980, amnesti diberlakukan. Kader-kader PKT
meninggalkan hutan, termasuk para mahasiswa, untuk kembali
ke rumah. Punne tidak ikut melakukannya. Dia dan sejumlah
teman masih bergabung dengan PKT di Provinsi Nan.
Di bulan Desember 1982, pemerintah Thailand mengirim
pasukan untuk merebut basis-basis PKT.
“Banyak kawan yang bergabung dengan Tentara Pembebasan
Rakyat Thailand, sayap bersenjata partai, berjuang sampai tentara
pemerintah menguasai basis-basis. Banyak kawan yang
mendedikasikan hidupnya gugur dalam operasi militer ini.
Perempuan dan anak-anak menyerah,” kisahnya.
Punne dan sejumlah teman menyelamatkan diri. “Kami
menempuh jalan kaki selama dua minggu tanpa makanan dan
apa pun ke selatan Provinsi Nan.”
Ketika itu Subhap, pacarnya, pulang ke Bangkok untuk
mengunjungi ayah yang sakit. Punne mengenang, “Dia
ditangkap bersama tujuh kawan dan mereka semua dibunuh
oleh tentara pemerintah.”
Bersama sejumlah teman, Punne memutuskan mening galkan
hutan pada Januari 1984. PKT menugaskan sejumlah tentaranya
untuk mengawal perjalanan mereka keluar dari hutan sampai naik
bus ke kota Nan. Saat mereka sedang membeli tiket bus tujuan
Bangkok di Nan, mereka ditangkap aparat pemerintah Thailand dari
Komando Operasi Keamanan Internal (KOKI). Mereka dibawa ke
kantor KOKI dan ditempatkan di sebuah ruangan yang dilengkapi
kamar tidur, toilet, dan dapur. Mereka kemudian diinterogasi. Tidak
ada penyiksaan. Di tempat itu, Punne diizinkan menghubungi
keluarganya. Dia pun bertemu ibu dan saudara-saudaranya untuk
pertama kali
Linda Christanty 79

setelah meninggalkan rumah hampir delapan tahun. Setelah


10 hari ditahan, dia dan teman-temannya diantar oleh seorang
tentara ke Bangkok, yang juga membayar tiket bus mereka.
“Waktu saya sampai di Bangkok, mereka (militer) membantu
kami untuk menghubungi universitas untuk mendaftarkan kami
kembali, sehingga kami dapat melanjutkan kuliah,” ujarnya.
Masa-masanya bersama partai komunis tak pernah
disesali Punne, kecuali satu hal: ketika dia kuliah untuk
menyelesaikan S1, teman-temannya sudah menyelesaikan S2.
Di kampus, dia tidak mengalami diskriminasi akibat
pengalaman politiknya di masa lalu.
Pengalamannya sangat menarik dibandingkan dengan apa
yang terjadi pada orang-orang komunis di Indonesia. Setelah
Soeharto melakukan kudeta terhadap Sukarno orang-orang
komunis dan kaum nasionalis pendukung Sukarno ditangkap,
dipenjarakan ataupun dibunuh. Sekitar setengah juta orang
dibantai militer dan milisi pendukungnya. Ribuan orang
dijebloskan ke kamp-kamp tahanan di Pulau Buru. Sebagian
dari mereka adalah para intelektual, seniman, dan insinyur
terbaik di bidangnya. Mereka disiksa dan dibunuh, sedangkan
yang selamat tak diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup
sebagai manusia. Indonesia kehilangan satu generasi, yang di
Thailand hal itu tidak terjadi. Pemerintah Thailand yang
cerdik mengembalikan para mahasiswa itu ke kampus dan
sumber daya manusia dalam satu generasi ikut menyokong
negeri itu hari ini.

PUNNE tidak bisa melupakan Subhap, pacarnya. Subhap


adalah nama alias. Setiap kader partai tidak pernah menggu
nakan nama asli untuk alasan keamanan.
“Ketika bergabung dengan Partai Komunis, dia masih
80 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

kuliah di tahun kedua di Fakultas Farmasi, Universitas Chiang


Mai. Dia suka menyanyi, menggambar, dan membaca buku.
Kami bertemu di hutan,” tuturnya.
Subhap berusia 26 tahun di awal Juni 1983, waktu
meninggalkan basis PKT di Provinsi Nan bersama tujuh orang
kawan. Sesuai kesepakatan, mereka harus menemui dua kawan
lain yang mengendarai mobil pikap untuk membawa mereka ke
Bangkok. Sayang sekali mobil mereka dihentikan oleh tentara di
pos pemeriksaan. Sesudah itu mobil dan mereka semua hilang.
Tidak seorang pun pernah melihat mereka lagi.
Keluarga Subhap mendatangi pos militer untuk meminta
penjelasan. Tetapi pihak militer tidak bersedia memberi
penjelasan apa pun.
Punne menghela napas, “Kami tidak dapat menemukan
jasad mereka. Salah seorang teman yang hilang bersama
Subhap, istrinya baru saja melahirkan bayi laki-laki saat itu.
Sedih.”
Bagi Punne, PKT melawan pemerintahan tirani. Partai itu
mendeklarasikan perjuangan bersenjata sejak 7 Agustus 1964
setelah banyak kadernya ditangkap dan dibunuh.
PKT menghilang dari konstelasi politik Thailand di awal
1990-an, ketika dua pemimpin utamanya ditangkap.
“Ironisnya, anggota-anggota partai dan banyak kawan
terpecah dalam dua kelompok sekarang, kaos merah dan kaos
kuning. Seperti kamu tahu, dalam situasi politik sekarang ini
di Thailand, grup kaos kuning aktif mendukung demonstrasi
anti pemerintah Yingluck.” Dia tertawa.
Kaos merah identik dengan masyarakat kelas bawah, para
intelektual yang kritis, aktivis, dan orang-orang yang mendukung
demokrasi. Kaos kuning terdiri dari kelas menengah, para elite
kekuasaan dan pendukung monarki. Belum lama ini
Linda Christanty 81

Mahkamah Konstitusi di Thailand membatalkan hasil Pemilu


pada 2 Februari 2014 lalu akibat kekisruhan politik di negeri
itu. Parlemen sudah tidak bekerja lagi. Perdana Menteri
Yinluck Shinawatra menjadi pejabat sementara sampai
terselenggara pemerintahan baru. “Entah sampai kapan
keadaan ini berlangsung,” kata Punne, kelak dalam surat
elektroniknya untuk saya.
Pada 2003, dia dan banyak kawan yang dulu menghuni
basis PKT di Provinsi Nan membangun sebuah monumen
peringatan untuk mereka yang telah tiada; sebagian besar
gugur di medan perang, sebagian lagi sakit dan meninggal di
hutan, atau hilang, seperti Subhap. Pada 6 Desember sampai
10 Desember setiap tahun, peringatan itu dilakukan.
“Kalau ada waktu, saya hadir dalam upacara itu. Bertemu
kawan-kawan lama,” katanya.
***
(7 April 2014)

Catatan:
Pada 22 Mei 2014, junta militer Thailand yang dipimpin
Jenderal Prayuth Chan -o-cha mengumumkan kudeta
terhadap pemerintahan Yingluck. Militer mengambil alih
kekuasaan dengan alasan demi mengamankan situasi dalam
negeri yang kacau sejak kelompok oposisi menggelar
serangkaian demontrasi menuntut Yingluck mundur dari
pemerintahan. Yinluck dan sejumlahnya menteri sempat
ditahan selama beberapa hari. Sampai hari ini, Thailand
masih diperintah junta militer.
10

Tentang Dua Tragedi: Masa


Nazi di Jerman dan 1965

Situasi politik dunia memberi dampak berbeda pada


para pelaku kejahatan kemanusiaan.

DI atas tempat tidurnya di penjara Spandau, dia


menggantung peta bulan. Selain menyukai pesawat terbang,
dia terobsesi pada hal-hal yang berkaitan dengan ruang
angkasa. Usianya 90 tahun. Ketika itu tahun 1984. Namanya
Rudolf Hess, petinggi Nazi dan wakil Hitler.
Sebelum diadili di Nuremberg dan dikirim ke Spandau, Hess
ditangkap di Skotlandia pada 10 Mei 1941. Dia mendarat dengan
parasutnya di Desa Eaglesham dan menyatakan dirinya
ditugaskan Hitler untuk bernegosiasi tentang penyelesaian perang
dengan pihak Inggris. Penjelasannya tentu tidak diper caya. Dia
kemudian dibawa ke London dan dikurung di sebuah rumah sakit
tentara, sebagai satu-satunya perwira Nazi yang ditangkap
sebelum perang berakhir. Hitler malah menyangkal telah
memerintahkan Hess melakukan misi khusus tersebut dan
menyebut wakilnya ini mengalami gangguan jiwa.
Pada 1984, dokter menyatakan usia Hess tinggal tiga
Linda Christanty 83

tahun lagi. Di Spandau, dia sendirian. Enam rekannya telah


dibebaskan, lalu meninggal dunia. Albert Speer yang dikenal
sebagai salah satu perwira SS (Schutzstaffel) juga pernah
menghuni Spandau. Dia tutup usia tiga tahun sebelumnya.
Speer satu-satunya pemimpin Nazi yang mengakui kesalahan
dan meminta maaf di pengadilan Nuremberg. Berbeda dengan
Speer, Hess tidak pernah merasa bersalah atau menyesali
tindakannya. Dia justru bangga.
Kisah tentang Hess saya baca di Majalah Intisari edisi
Agustus 1984. Jurnalis Jerman, Jurgen Steinhoff, menulis
kisah itu dalam laporan bertajuk “Sehari dalam Kehidupan
Narapidana No. 7”, yang mengungkap sistem pengamanan
dan fasilitas penjara Spandau, dua kali upaya bunuh diri Hess,
kebiasaan dan hobinya, kesehatannya, dan jumlah pegawai
yang akan langsung kehilangan pekerjaan andaikata sang
narapidana ini tiba-tiba mati. Bagi saya, hal yang menarik dari
kisah Hess adalah orang yang sangat dingin dan kejam
sekalipun mempunyai sisi lemah. Setelah lebih dari 30 tahun
ditahan, Hess tiba-tiba meminta grasi. Dia ingin bertemu
dengan tiga cucunya. Permintaan tadi tidak pernah
dikabulkan Sekutu dan Uni Soviet.
Sekitar enam juta Yahudi dibunuh di masa Nazi. Bersama
mereka, orang-orang cacat dan lanjut usia, orang-orang gipsi,
orang-orang komunis, para homoseks, dan pemeluk Kristen
yang menolak berkolaborasi juga dibasmi. Kekejaman luar
biasa ini berakar pada kebencian yang luar biasa. Ketika
tentara Sekutu dan Soviet memasuki kamp-kamp konsentrasi
pasca kekalahan Nazi, mereka sangat terkejut menyaksikan
manusia yang masih hidup di situ nyaris serupa tengkorak
yang disangga tulang-belulang dan bertumpuk di ranjang-
ranjang susun mirip rak-rak penyimpanan barang.
84 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Masa kekuasaan Nazi dan kekejaman Hitler sering diseta


rakan dengan situasi di Indonesia pada 1965. Tetapi itu bukan
persamaan yang sesuai.
Meskipun buku sejarah di sekolah-sekolah sekarang tidak
mengungkapkan hal ini, kita mengetahui bahwa penyebab tragedi
nasional pada 1965 adalah kudeta militer yang dipimpin Mayor
Jenderal Soeharto terhadap pemerintahan Presiden Sukarno.
Lebih dari setengah juta jiwa rakyat menjadi korban dalam
peristiwa tersebut. Tentara-tentara tidak hanya melakukan
pembunuhan langsung, tetapi lebih banyak lagi mengancam
orang-orang sipil untuk membunuh sesamanya, termasuk
membunuh saudara, teman ataupun tetangga mereka sendiri.
Soeharto kemudian menjadi presiden Indonesia selama 32 tahun.
Kudeta Soeharto didukung Amerika Serikat dan Inggris. Di masa
itu Perang Dingin tengah berlangsung sengit, begitu pula
konfrontasi Indonesia dan Malaysia (negara ini didukung Inggris
dan Amerika Serikat) akibat soal perbatasan di Kalimantan.
Dunia terbagi dalam beberapa kekuatan. Ada dua blok negara
komunis, yaitu blok Soviet dan blok Tiongkok. Amerika Serikat
dan Inggris di blok antikomunis. Sukarno membangun blok lain
yang tidak ingin tunduk terhadap ketiga blok ini, yaitu blok
antineokolonialisme dan anti neoimperialisme bernama non-blok,
terdiri dari negara-negara Asia dan Afrika yang kaya mineral dan
dulu menjadi wilayah-wilayah jajahan. Dengan mengakhiri
kekuasaan Sukarno, maka dua kekuatan musnah sekaligus: non-
blok dan komunis.
Berbeda dengan Soeharto, kejayaan Hitler dan Nazi di
Eropa justru dihancurkan oleh Amerika Serikat dan Inggris
bekerja sama dengan Uni Soviet.
Hitler pun bunuh diri dalam bunkernya sehingga tidak bisa
diadili. Seluruh pemimpin Nazi dan mereka yang paling
Linda Christanty 85

bertanggung jawab terhadap pembantaian manusia atas nama


pemurnian ras dan supremasi bangsa Arya itu disidang di
Nuremberg antara tahun 1945 dan 1946. Para perwira terdekat
Hitler dijatuhi hukuman penjara 10 tahun hingga seumur hidup.
Tentara Sekutu dan Soviet bergantian mengawasi penjahat ke
manusiaan di penjara Spandau agar tidak kabur. Namun, keba
nyakan mereka yang lolos dari Nuremberg melarikan diri ke
negara-negara Amerika Latin, terutama Argentina dan Brasil, lalu
mengganti identitas diri dan hidup sebagai orang lain.
Soeharto lantas menyatakan bahwa orang-orang komunis
telah melakukan kudeta terhadap pemerintah Sukarno.
Ribuan orang dikirim ke kamp konsentrasi Pulau Buru.
Sebagian lagi dijebloskan ke penjara, disiksa atau dibunuh.
Monumen Pancasila Sakti dibangun Soeharto sebagai mo
numen peringatan terhadap pengorbanan tujuh perwira mili-
ter yang katanya telah menyelamatkan pemerintahan Presiden
Su karno dari kudeta partai komunis di Indonesia. Padahal
Pre siden Sukarno sendiri ditahan hingga meninggal dunia
oleh Soeharto.
Belum lama ini beredar sebuah film tentang peristiwa 1965.
Film itu berupaya merevisi versi sejarah resmi, tetapi makin
menegaskan definisi “korban” dalam peristiwa tersebut, yakni
orang-orang yang tidak tahu apa-apa, bukan komunis tetapi
dituduh sebagai komunis, lalu menjadi sial nasibnya. Dalam film,
kita biasanya mengetahui siapa pelaku utama atau pemberi
komando sebuah operasi militer atau upaya mencegah penyakit
mematikan yang disebabkan virus Ebola atau perang melawan
makhluk asing dari luar angkasa. Ketika menonton film tentang
Nazi, kita segera mengetahui bahwa Hitler dan perwira-
perwiranya adalah para penjahat utama, meskipun penampakan
mereka hanya sekilas atau tidak di tiap adegan.
86 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Film tentang peristiwa 1965 itu memberi kita informasi serupa


meskipun agak mencemaskan. Para pelaku pembantaian dan
korbannya ternyata sesama rakyat sendiri!
Mengapa bisa demikian? Pertama, film itu mengungkap kan
pemandangan umum di masa tersebut. Rakyat saling bunuh,
tetapi para pelaku utamanya tidak terlihat. Realitas terungkap,
tetapi fakta yang berada di balik realitas malah menjadi samar.
Kedua, wacana dan trauma yang ditanamkan Orde Baru masih
sangat kuat dan akibatnya, orang menghindar untuk mengungkap
kebenaran secara gamblang, termasuk dalam film. Ketiga,
peristiwa 1965 lebih mengerikan dan rumit dibanding kekuasaan
Nazi di Jerman. Saking rumitnya, orang tidak tahu siapa pelaku
yang paling bertanggung jawab atas peristiwa tersebut dan
mereka tidak pernah tersentuh hukum. Ujung-ujungnya, pihak
yang dituduh dan dianggap paling bertanggung jawab dalam
peristiwa 1965 malah rakyat sendiri. Oleh karena itu, mereka
sepatutnya saling memaafkan dalam sebuah rekonsiliasi ala
mereka sendiri. Negara cuci tangan. Ibarat tawuran antar
kampung, dua kubu warga yang berseteru sudah sepantasnya
berdamai mengingat pepatah “kalah jadi arang, menang jadi abu”.
Jangan heran kalau pengamat asing membuat kesimpulan bahwa
peristiwa 1965 terjadi gara-gara orang-orang Indonesia punya
bakat dan kemampuan membunuh yang lebih istimewa dibanding
orang-orang di negara lain. Setelah disebut bangsa yang ramah-
tamah, kini dituduh kejam dan gemar membunuh.

Suatu malam di awal tahun ini saya menyusuri kawasan


Berger Strasse di Frankfurt, Jerman, untuk mencari restoran.
Udara musim dingin tidak terlalu menggigit lagi, hanya 4
derajat Celcius. Lempeng-lempeng baja pada permukaan
trotoar berkilau oleh bias cahaya lampu. Saya membaca nama-
Linda Christanty 87

nama dan tahun-tahun yang tercantum di situ. Nama-nama orang


Yahudi yang rumah mereka dulu berada di depan trotoar, lengkap
dengan tahun kelahiran dan tahun ketika mereka diambil
pasukan SS untuk dideportasi ke kamp konsentrasi. Tetapi ada
juga yang ditembak di tempat. Saya memandang rumah-rumah
tersebut, membayangkan para penghuninya. Bayi-bayi, bocah
perempuan dan laki-laki, perempuan remaja dan dewasa, para
ibu dan nenek, para pemuda, para ayah dan kakek…. Mereka
diseret dan dilemparkan ke dalam truk-truk
militer yang sudah menunggu. Sejak itu frase “masa depan”
langsung lenyap dari benak mereka. Kehidupan menjadi
sebuah noktah hitam belaka.
Saya teringat suatu sore di tahun yang lebih lama lagi di
Berlin menjelang musim gugur. Salah seorang pejabat
kementerian sosial dan tenaga kerja berjalan kaki menunjukkan
letak stasiun kereta api kepada saya sambil bercerita bahwa
sekitar 500 meter dari kantornya di Wilhemstrasse terletak
bunker Hitler dulu, tetapi entah di mana tepatnya. Lokasi
bersejarah ini tidak pernah dipelihara pemerintah Jerman agar
tidak dapat dijadikan monumen bersejarah bagi kaum neofasis di
mana pun, tidak menjadi tempat suci bagi mereka.
Hess adalah penghuni terakhir penjara Spandau. Sesuai
keputusan pemerintah Jerman, penjara Spandau harus dihan
curkan setelah tahanan terakhir ini meninggal dunia. Tidak
hanya penjara, semua benda-benda miliknya harus dimus
nahkan tanpa sisa. Seperti perkiraan dokter dalam laporan
Steinhoff tentang Hess, lelaki itu memang hengkang ke alam
baka pada tahun 1987. Tetapi bukan karena penyakit. Dia
bunuh diri dengan kabel listrik di usia 93 tahun.
Setelah kematian Hess, penjara Spandau diratakan dengan
tanah, lalu di atasnya dibangun pertokoan. Kematian tersebut
88 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

mengundang spekulasi di kalangan Neo Nazi bahwa dia tidak


bunuh diri, melainkan dibunuh. Kaum Neo Nazi
mengenangnya sebagai pahlawan.
Namun, perburuan terhadap para pelaku kejahatan kema
nusiaan di masa Nazi belum berakhir. Menemukan bukti-bukti
untuk memperkarakan mereka, terus dilakukan di Jerman hingga
hari ini. Di sebuah toko bandara pada 7 Mei 2014 lalu, saya
membeli suratkabar International New York Times dan halaman
pertamanya berisi berita dengan judul “Prosecutions Surge in
Nazi Death Camp Guard Cases”. Para jaksa dari berbagai kota di
Jerman, seperti Frankfurt, Stuttgart, Schwerin, dan Hamburg
mengadakan pertemuan sejak bulan Maret 2014. Mereka
membahas kembali kasus-kasus pembunuhan orang Yahudi dan
tahanan-tahanan lain di kamp konsentrasi Auschwitz-Birkenau
yang melibatkan para penjaga kamp, lelaki maupun perempuan.
Menurut suratkabar ini, usia pelaku sudah sangat tua dan hal itu
dikhawatirkan dapat mengundang sim pati. Ternyata pendapat
yang berkembang di media Jerman dan diskusi publik justru
menunjukkan bahwa lebih baik para pen jahat kemanusiaan
tersebut diadili daripada tidak sama sekali.
Soeharto meninggal dunia di sebuah rumah sakit dalam
usia 87 tahun, dikelilingi tim dokter terbaik dan diiringi ratap
tangis keluarganya. Dia tidak pernah diadili untuk kejahatan
kemanusiaan yang dilakukannya semasa hidup, dikenang se
bagai “Bapak Pembangunan Nasional”. Makamnya terletak di
Astana Giribangun, sekitar 40 kilometer di sebelah timur kota
Solo, dekat kompleks makam raja-raja Jawa dari Dinasti
Mangkunegara.
***
(23 November 2014)
11

Kakek saya, Opa Manusama


dan Opa Willem

Kisah orang-orang dalam perjuangan kemerdekaan


Indonesia dan pascaproklamasi.

KAKEK saya, Tubagus Abdul Malik Ismail, seorang yang tidak


pernah tunduk. Menurut keterangan bekas ajudan pribadinya,
Amaruddin Jakfar kepada ayah saya, Kakek dibuang Belanda
ke Palembang menjelang Jepang berkuasa. Setelah Belanda
menyerah kepada Jepang, dia pulang ke Pulau Bangka.
Ternyata di Pulau Bangka Kakek ditangkap oleh tentara
Jepang dan dibuang lagi ke Palembang. Di sana dia dipaksa
menjadi romusha untuk membangun rel kereta api di Tanjung
Enim. Kakek kemudian memimpin pemberontakan romusha
melawan tentara Jepang di Tanjung Enim. Banyak romusha
dan tentara Jepang terbunuh dalam pemberontakan itu. Sisa
romusha yang masih hidup melarikan diri ke arah Jambi.
Namun, hanya dua orang yang selamat dan akhirnya sampai di
Aceh, yaitu Kakek dan temannya, Mamat bin Sanip.
Amaruddin juga bercerita bahwa Kakek adalah salah satu
90 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

dari empat pejuang perintis kemerdekaan Indonesia terpenting di


Pulau Bangka. Kakek dan tiga temannya, yaitu Ali Banyu dari
Belinyu, yang kelak menjadi kepala negeri di Kecamatan Kelapa
pascaproklamasi, Yakub Hasan dari Keretak, Sungai Selan, dan
Haji Ishak, seorang lulusan Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir,
dari desa Celuwak, Simpang Katis, mendirikan Partai Indonesia
(PI) di Pulau Bangka pada 1930 setelah Soekarno ditangkap
Belanda dan dipenjarakan di Penjara Banceuy, Bandung pada
1929. Para Sukarnois berinisiatif mendirikan PI, karena PNI
(Partai Nasional Indonesia) mengalami mati suri dan menjadi
partai terlarang di masa tersebut. Kini Amaruddin, seperti halnya
Kakek, sudah almarhum. Sebelum meninggal dunia, dia
menyelesaikan penulisan bukunya tentang masa-masa itu dan
menunggu diterbitkan oleh ahli warisnya. Ketika tentara Jepang
menyerah, Kakek memutuskan pulang dari pelariannya di Aceh
dengan berjalan kaki dan menyeberangi laut untuk sampai
kembali di Pulau Bangka. Namun, masa perlawanan terhadap
penjajah ternyata belum selesai. Pasukan Nederlandsch Indië
Civil Administratie (NICA) atau tentara pemerintah Hindia
Belanda dalam pengasingan di Australia, datang dengan
membonceng pasukan Sekutu.
Di Pulau Bangka, seperti di daerah-daerah lain di Indo
nesia, proklamasi kemerdekaan Indonesia disambut dengan
pembentukan Badan Keamanan Rakyat yang kelak berubah
nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5
Oktober 1945.
Seperti di daerah-daerah lain juga, seorang panglima te ritorium
diangkat untuk memimpin TKR dan berkedudukan di Pulau Bangka,
tepatnya disebut Panglima Tentara dan Teri torium Bangka Belitung.
Panglima Tentara dan Teritorium Bangka Belitung ini adalah Kolonel
FFJ. Manusama, seorang
Linda Christanty 91

Ambon, mantan Koninklijk Nederlands Indische Leger


(KNIL) yang memilih bergabung dengan Republik Indonesia
(RI). Kolonel Manusama mendapat tugas dari pemerintah RI
untuk memimpin Teritorium Bangka Belitung. Beliau
seangkatan dengan Daud Beureuh, Kolonel Soedirman
(kemudian dikenal sebagai “Panglima Soedirman” dalam
sejarah Indonesia), dan Kolonel AH. Nasution.
Sebelum mengemban tugas di Bangka, Kolonel Manusama
bertugas di Lampung, Sumatra. Di Bangka, dia pun dikenal
dengan julukan “Pak Lampung”. Temannya sesama KNIL yang
juga bergabung dengan pemerintah RI dan merangkap asisten
pribadi beliau ikut menyertainya ke Bangka, yakni Letnan
Willem Nanlohy.
Singkat kata, sepulangnya Kakek dari pelarian di Aceh, dia
berteman akrab dengan Kolonel Manusama dan Letnan
Willem Nanlohy. Mereka adalah orang-orang yang ingin
mempertahankan kedaulatan RI di Pulau Bangka. Tindakan
ini tentu tidak disukai oleh sebagian orang Bangka yang
federalis atau para pendukung negara boneka Belanda buatan
Van Mook.
Situasi politik tadi mempengaruhi kehidupan Ayah di
muka bumi hingga jauh ke tahun-tahun sesudahnya.
Ayah lahir waktu Kakek dalam pelariannya di Aceh dan
sesuai pesan Kakek kepada Nenek, dia dinamai Tubagus
Zarkasih Abdul Malik.
Ayah terlahir prematur atau kurang dari tujuh bulan dalam
kandungan nenek saya. Akibatnya, ayah sakit-sakitan, seolah
hidup segan mati tak mau. Atas inisiatif Kolonel Manusama, Ayah
diangkatnya sebagai anak dan atas usul Letnan Nanlohy
dinamainya “Johnny”, sebuah nama yang tidak ditemui pada
nama orang Bangka di masa itu. Kakek setuju saja dengan
92 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

tindakan sahabat-sahabatnya, asalkan Ayah menjadi lebih


sehat. Sejak itu pula Ayah dipanggil “Johnny” oleh seluruh
keluarga dan handai taulan kami. “Zarkasih” sudah tak ada
lagi. Dalam dokumen-dokumen resmi, nama Ayah tercantum
“Johnny Malik”.
Namun, usia Opa Manusama tidak panjang.
Pascaproklamasi situasi di Pulau Bangka sangat mencekam.
Para pendukung Republik tak sampai 500 orang dan senjata pun
tak sampai 100 pucuk. Mereka harus berhadapan dengan tentara
NICA yang mendukung para federalis dan juga harus berperang
melawan Tentara Tionghoa Indonesia (TTI) yang ingin
membentuk negara Tiongkok di Pulau Bangka. TTI ini didukung
oleh pemerintah Belanda dan Sekutu. TTI merupakan sebuah
gerakan politik pascaproklamasi Indonesia. Perang yang terjadi
antara pasukan TKR dengan pasukan TTI bukanlah sebuah
kerusuhan sosial atau kerusuhan etnis, melainkan pertempuran
untuk mempertahankan kedaulatan sebuah negara dari ancaman
musuh.
TKR kewalahan menghadapi dua musuh sekaligus, yaitu
dengan NICA dan TTI. Akibatnya, ribuan rakyat Bangka tewas,
mengungsi dan terbantai antara tahun 1945 hingga 1947.
Tentara NICA dibantu TTI akhirnya berhasil menghan curkan
dan memecah belah TKR di Bangka. Akibatnya, terjadi
pembangkangan para perwira TKR terhadap pucuk pimpinan
TKR, yakni Panglima Tentara dan Teritorium Bangka Belitung.
Saking tajamnya pembangkangan dan perpecahan itu di
tambah serangan musuh, akhirnya Kolonel Manusama menye
berang ke Palembang seorang diri, terpisah dari pasukannya
untuk mengambil tambahan pasukan dari Palembang, dengan
menumpang perahu nelayan.
Di Muara Sungsang, Sungai Musi, dia ditembak mati oleh
Linda Christanty 93

pasukan TKR sendiri dalam peristiwa yang kemudian disebut


“salah tembak”, dengan alasan bahwa tentara-tentara itu tidak
tahu bahwa sasaran tembak mereka ternyata Panglima
Tentara dan Teritorium Bangka Belitung. Mereka juga
mengatakan bahwa sasaran mencoba terjun ke laut saat
ditembak dan mem buat mereka menganggapnya musuh yang
ingin menghindari pemeriksaan.
Itu alasan yang dicari-cari.
Mustahil pasukan di Muara Sungsang tidak mengenal
Panglima Tentara dan Teritorium Bangka Belitung. Hanya ada
satu sebab penembakan itu. Perpecahan TKR di Bangka telah
berimbas di Palembang dan membuat TKR di Palembang juga
terpecah. Artinya, Kolonel Manusama ditembak oleh faksi
TKR yang berseberangan dengan dirinya. Mayatnya tidak
pernah ditemukan.
Adik saya, Budhi, dalam tiap perjalanannya ke Sumatra,
selalu menyempatkan naik perahu nelayan ke Muara
Sungsang. Sesuai amanat ayah kami, dia menabur bunga di
situ, tempat Opa Manusama gugur.
Peran Kolonel Manusama dalam mempertahankan Bangka-
Belitung jatuh ke tangan pasukan NICA tertera pada catatan
sejarah tentang perlawanan rakyat di Pulau Belitung. Dia
mengirim utusan untuk mengetahui kekuatan NICA di pulau
tersebut dan mengabarkan gerak pasukan musuh di Bangka. Pada
14 Desember 1945, para pemuda di Belitung bertempur dengan
NICA di desa Selat Nasik yang terkenal dengan sebutan
“Pertempuran Selat Nasik”. Catatan tentang pertempuran itu
mengungkapkan bahwa mereka menggunakan “senjata bren-gun
pemberian Manusama, pimpinan TKR yang berkedudukan di
Desa Pongkok, Bangka”. Tidak hanya itu, Opa memimpin
langsung pertempuran di Pulau Mendanau, Tanjung Lancur,
94 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Belitung, untuk menghadang tentara NICA yang menggunakan


kapal perang Admiraal Trop.
Di tubuh TKR sendiri terdapat beberapa faksi, yang ikut
mewarnai dan menentukan situasi Indonesia pascaproklamasi:
1. Faksi Peta yang dipimpin Kolonel Soedirman, 2. Faksi
KNIL yang dipimpin Kolonel Oerip Soemohardjo dan Kolonel
AH Nasution, 3. Faksi laskar rakyat yang tidak terlatih dan
kelak dibubarkan Wakil Presiden Muhammad Hatta melalui
rasionalisasi dan restrukturisasi tentara, yang menyebabkan
pecahnya pemberontakan di mana-mana melawan RI yang
baru seumur jagung.
Letnan Willem Nanlohy, yang menjadi kepala staf dan
perwira detasemen markas TKR di Bangka, terpisah dari
pasukan seperti yang dialami panglima teritoriumnya, Kolonel
Manusama. Dia mengemban tugas menyelundupkan
tambahan senjata untuk pasukan di Pulau Bangka, tetapi dia
kemudian tertangkap tentara NICA. Dia lalu dijebloskan ke
penjara lama kota Pangkal Pinang yang sekarang berubah
menjadi RUBASAN atau rumah barang sitaan.
Di penjara itu pula dia bertemu lagi dengan Kakek yang
juga ditangkap tentara NICA. Kakek ditangkap di Jalan
Keretak Besi, Lampur, akibat pengkhianatan seorang
Tionghoa, pendukung NICA dan TTI.
Selain Kakek dan Opa Willem, di sel khusus itu juga ditahan
Haji Samad dari Kampung Asem, Pangkal Pinang. Mereka bertiga
menjadi tahanan politik dari tahun 1948 hingga 1950.
Setelah Kakek dibebaskan, beliau mulai mencurahkan
perhatian kepada keluarga, termasuk pendidikan anak-anaknya.
Kakek mengirim Ayah belajar ke Semarang, Jawa Tengah.
Ayah naik kapal laut Kuanmaru ke Semarang. Berkat koneksi
politik Kakek, selama beberapa bulan Ayah tinggal di
Linda Christanty 95

rumah Walikota Semarang, Wuryanto, di daerah Candi. Letak


rumah itu cukup jauh dari tempat Ayah menjalani belajar
praktik, sehingga Ayah meminta izin Kakek untuk pindah ke
tempat lain dan menyewa kamar di rumah seorang Indo-
Belanda bernama Ruben. Walikota Semarang ini pada tahun
1965 dibunuh tentara karena dituduh terlibat G 30 S.
Selama di Semarang, Ayah bersahabat dengan keluarga
Jenderal Sudarman dan sering menginap di rumahnya.
Jenderal Sudarman kelak menjadi direktur utama PT Timah.
Menjelang 1965, situasi di Semarang memanas dan Ayah
yang tadinya ingin bekerja di Semarang diminta pulang ke
Bangka oleh Kakek. Ayah mematuhi permintaan Kakek dan
membawa serta temannya dari Semarang, Sudibyo,
keponakan Jenderal Sudarman.
Ayah pun melamar bekerja di PT Timah yang ketika itu
Jenderal Sudarman sudah menjabat direkturnya. Tetapi Ayah
tidak diterima bekerja di perusahaan penambangan timah
terbesar di Indonesia, bahkan dunia di saat itu. Bukan akibat
ketidakmampuannya, melainkan akibat sentimen
primordialisme. Ayah dianggap bukan orang Jawa. Sudibyo,
keponakan Jenderal Sudarman dan teman akrab Ayah,
langsung diterima bekerja di perusahaan tersebut.
Gagal memperoleh pekerjaan membuat Ayah malu pulang ke
rumah orangtuanya dan dia pun mencari pekerjaan paruh waktu
di bengkel permesinan PT Timah. Usia Ayah masih 20-an. Kepala
bengkel permesinan tersebut bernama Kapten Willem Nanlohy.
“Nama kamu siapa?” tanya Willem kepada Ayah. Dia heran begitu
Ayah menyebutkan namanya. Itu bukan nama yang biasa untuk
orang Bangka. Dia lalu menanyakan nama Kakek. Ketika Ayah
menyebutkan nama Kakek, Opa Willem sangat terkejut. Dia
langsung bercerita kepada Ayah
96 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

bahwa dia adalah “Om Willem” yang dulu sering menggendong


Ayah waktu kecil dan dia dipenjarakan Belanda bersama Kakek,
tempat Ayah sering dibawa nenek untuk membesuk mereka. Sejak
keluar dari penjara, Kakek dan Opa Willem memang tidak pernah
bertemu lagi karena melanjutkan kehidupan masing-masing. Opa
Willem menikah dengan perempuan Tionghoa yang berasal dari
Belinyu dan dikaruniai beberapa anak.
Sejak itu pula Ayah diterima bekerja dan menjadi salah
satu kepala di bagian permesinan. Karir Ayah meningkat
cepat, sehingga menjadi kuasa Kapal Enggano di usia yang
sangat muda. Persahabatannya dengan keponakan Jenderal
Sudarman, kami memanggilnya “Om Dibyo”, berlangsung
sampai Ayah meninggal dunia.
Di rumah kakek di masa perjuangan itu, selain Opa
Manusama dan Opa Willem, seorang teman dekat Kakek ber
nama Mat Peng juga sering datang. Mat Peng seorang Me
layu-Bangka. Dia kelak gugur saat terjadi kontak senjata de
ngan pasukan NICA di tempat yang sekarang terletak antara
Desa Belilik dan Desa Celuwak, Simpang Katis. Jenazahnya
dimakamkan di daerah Namang, jalan menuju Koba, Bangka
Tengah, oleh penduduk setempat.
Sebelum meninggal dunia, Ayah selalu menceritakan
berulang-ulang tentang Kakek, Opa Manusama, dan Opa
Willem. Karena itu pula, saya menulis kisah ini untuk
mengenang dan menghormati mereka yang kini telah tiada.
***
(24 November 2014)
12

Percik Api di Timur

Berbagai dinamika dalam masyakat modern memicu


konflik di Maluku Utara, mulai dari kasus agraria
hingga pertentangan dengan kepentingan feodalisme
yang berujung pada politisasi agama dan etnis. Dalam
beberapa segi, konflik ini dapat dibandingkan dengan
konflik di Yugoslavia, salah satu negara
di Semenanjung Balkan.

DARI halaman penginapan ini terlihat jelas pulau di seberang


sana, Halmahera.
Laut yang memisahkannya dengan Pulau Ternate
berwarna abu-abu, luas, begitu tenang, dan saking tenangnya,
laksana hamparan satu daratan tersendiri. Alfred Russel
Wallace, seorang ahli taksonomi asal Inggris, dulu menyebut
Halmahera, Gilolo, dalam bukunya The Malay Archipelago.
Pulau besar yang nyaris tak dikenal waktu itu. Ternate, Tidore,
dan Bacan merupakan gugus pulau yang mengitari Halmahera
di bagian baratnya. Tetapi hampir dua setengah abad
kemudian, Halmahera, punya banyak kisah yang membuatnya
tidak dilupakan lagi.
98 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Udara pagi bertambah dingin karena gerimis. Bulan Juni


bulan yang basah. Hujan turun hampir sepanjang hari di
Ternate, ibukota Maluku Utara. Luas kota ini 547 kilometer
persegi atau hampir sebanding dengan Isle of Man yang
luasnya 572 kilometer persegi dan jadi bagian Britania Raya di
Laut Irlandia, atau sedikit lebih kecil dibanding Singapura,
dengan luas wilayah 697 kilometer persegi dan tercatat sebagai
negara kepulauan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
tertinggi di dunia. Jumlah penduduk Ternate mencapai
187.671 jiwa pada 2010 dan turun jadi 180.671 jiwa pada 2011.
Penyebabnya? Pemekaran provinsi dan perpindahan warganya
yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil.
Saya sedang menunggu peserta kelas menulis datang.
Kebanyakan anak muda usia 20-an. Kemarin sore saya meminta
mereka mewawancarai orang-orang di kota, pasar, dan
pelabuhan, lalu menulis ceritanya untuk kami bahas bersama.
Mereka bekerja sebagai wartawan suratkabar dan radio.
Selain dari Pulau Ternate sendiri, beberapa peserta datang
dari Pulau Tidore, Pulau Jailolo di Halmahera, dan yang
terjauh dari Pulau Bacan. Mereka ke Ternate menumpang
perahu motor, transportasi warga antarpulau di provinsi ini.
Pada abad ke-18 dan abad ke-19, lalu-lintas laut di Ternate
dan Tidore juga berhubungan erat dengan perdagangan rempah-
rempah dunia.Kedatangan orang-orang Eropa, seperti Belanda
(VOC), Portugis, dan Inggris, yang semula untuk transaksi-
transaksi niaga dan tak jarang dengan menyengsarakan rakyat
tetapi menguntungkan para sultan, juga menghasilkan
persilangan budaya, termasuk pengaruhnya dalam bahasa
setempat. Pasukan kesultanan Ternate bahkan punya istilah
untuk jabatan-jabatan tertentu, yang dipengaruhi bahasa
Portugis, seperti kapita, panyira, dan morinyo.
Linda Christanty 99

Dari ketinggian, saya melihat beberapa perempuan buru-


buru mendaki tebing jalan, lalu berlari-lari menghampiri saya.
Mereka riuh mengabarkan tentang tulisan yang belum selesai,
setengah selesai atau tidak ada sama sekali, lengkap dengan
alasan masing-masing.
Di kelas, para peserta juga menceritakan pengalaman
mereka selama konflik antarwarga berlangsung di sini.
Dulu pulau-pulau di bagian utara, seperti Ternate, Tidore,
Bacan, dan Halmahera masuk dalam Provinsi Maluku,
bersama Pulau Ambon dan pulau-pulau di bagian tengah,
maupun tenggara. Setelah pemekaran provinsi, pulau-pulau di
utara bergabung dalam provinsi baru Maluku Utara.
Konflik pecah di tengah rencana pemekaran provinsi.
Pemicunya, kasus tanah yang melibatkan orang Kao dan orang
Makian di Halmahera Utara.
“Konflik Kao-Malifut itu merembet ke Ternate,” kata
Hardina.
Setengah wilayah Malifut berada di sebagian tanah orang
Kao dan dihuni orang Makian.
Pada 1975, pemerintah memindahkan orang-orang
Makian dari Pulau Makian ke Halmahera karena gunung
berapi di pulau itu akan meletus. Di peta, Makian adalah
pulau kecil yang terletak di bawah Tidore. Wallace menyebut
dalam bukunya bahwa gunung di Makian pernah
menyemburkan lahar panas dengan hebat pada 1646.
Orang-orang Makian kemudian membangun kembali
kampung-kampung mereka di wilayah Jailolo dan Kao, dua
kecamatan di Halmahera. Kelak tempat itu dinamai Malifut.
Mereka juga memperbaiki taraf hidup dengan mementingkan
pendidikan dan akhirnya, berperan aktif dan dominan dalam
pemerintahan.
100 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Pada 1999, orang-orang Makian meminta pemerintah


mensahkan Malifut sebagai kecamatan baru. Tetapi orang-orang
Kao tidak terima. Sejak awal orang-orang Kao sudah keberatan
tanah mereka dialihkan secara paksa pada para pengungsi
Makian. Tanah itu juga merupakan tanah adat orang-orang Kao.
Pemerintah Indonesia di masa Orde Baru tidak memedulikan
hak-hak masyarakat adat yang telah diatur dalam undang-undang
dasar negara dan hak-hak itu bersifat komunal. Alasannya adalah
demi pembangunan, kemajuan, dan demokrasi. Sebagian alasan
itu dapat dipahami. Meskipun alasan sejatinya mengakar pada
karakter politik Orde Baru, yakni mengubah demografi,
menguatkan sistem Orde Baru serta kendalinya terhadap akses
sumber daya alam di Indonesia. Setelah pemerintah Soeharto
berakhir, maka pergolakan terjadi di daerah yang sudah memiliki
potensi konflik semacam ini.
Ada lima desa Kao yang akan masuk dalam kecamatan
Malifut. Ketegangan antarwarga pun diperuncing oleh bermacam
hal, termasuk protes orang Kao bahwa orang Makian mencuri
tanah mereka dengan menggeser batas-batasnya dan sebaliknya,
orang Makian menuduh orang Kao mengganggu mereka
beribadah di masjid atau bekerja di kebun, yang diungkap
Christopher R. Duncan dalam tulisannya “The Other Maluku:
Chronologies of Conflict in North Maluku” dan diterbitkan Jurnal
Indonesia pada Oktober 2002. Orang Makian beragama Islam,
sedang mayoritas Kao beragama Kristen. Pertumpahan darah
akhirnya tak terhindari.
Sementara itu, di saat bersamaan, kerusuhan antaragama,
Islam versus Kristen, tengah membakar Ambon.
Sultan Ternate Mudaffar Syah yang menjabat Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Maluku Utara saat itu
memutuskan berangkat ke Kao. Orang-orang Kao dikenal
Linda Christanty 101

sebagai pendukung kesultanan Ternate, basis lama kerajaan.


Sebelum dipindahkan Belanda ke Ternate pada 1778,
kesultanan Ternate pernah berpusat di Tobelo yang
bertetangga dengan Kecamatan Kao sekarang ini. Tentu saja,
tindakan Mudaffar dianggap orang Makian sebagai dukungan
politik terhadap Kao.
“Sultan ingin melindungi non-Muslim karena tugas sultan
adalah melindungi rakyat Muslim maupun non-Muslim.”
Hardina mengemukakan asumsinya.
Masalah tidak berhenti. Orang Makian lantas menyerang
orang Kao, lalu orang Kao membalas lebih sengit lagi. Pada 25
Oktober 1999, seluruh warga Makian mengungsi ke Ternate
akibat serangan tersebut. Setelah orang Makian pergi, orang
Kao membakar desa-desa mereka dan menurut penelitian
Duncan, mereka tidak merusak satu masjid pun.
Api konflik pindah ke Ternate. Para pengungsi Makian mulai
menyerang mahasiswa Kao dan orang-orang Kristen. Belum
cukup sampai di sini, tiba-tiba muncul surat edaran yang
membuat situasi makin panas, yang tidak hanya tersebar di
Ternate, tetapi juga di Tidore. Isinya tentang rencana menggusur
orang Makian dari Halmahera dan membiarkan orang Kristen
berkuasa. Surat edaran itu seolah-olah ditujukan gereja di Maluku
kepada kepala gereja di Tobelo, Halmahera.
Gereja membantah telah mengeluarkan surat edaran
semacam itu, tetapi tidak ada yang peduli. Orang-orang
Muslim di Tidore menyerang dan membunuh kepala Gereja
Protestan Maluku di Tidore, Reverend Risakota, di depan
polisi yang tak mampu berbuat apa-apa.
“Di awal 2000, saya tinggal di Kota Baru, Ternate. Waktu itu
saya ingat ada selebaran yang mengatakan orang Kristen akan
menyerang orang Muslim. Ada orang yang melindungi saya,
102 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

memberi ikat kepala putih. Tapi mereka juga yang menyerang


saya. Saya harus lari ketika menyadari rumah dilempari batu,”
kisah Ronny yang setelah konflik mereda pindah ke Tidore.
Ronny beragama Kristen.
Di Ternate, Sultan Mudaffar Syah mengerahkan ribuan
Pasukan Dewan Adat untuk menghadapi orang-orang Makian
yang terus mengembuskan dan memanfaatkan isu Islam
versus Kristen ini. Orang-orang Makian didukung sejumlah
massa dari Tidore.
“Dua kubu Muslim berkonflik sehingga keadaan makin
rumit, yaitu Pasukan Dewan Adat melawan warga pendatang,”
kata Hardina, lagi.
Pendatang, artinya orang-orang Makian dan Tidore.
“Di Ternate, konflik yang parah bukan Muslim dengan
Kristen. Tapi Pasukan Adat melawan Pasukan Putih, yang
mayoritas pendatang. Pasukan Putih ini memakai baju putih,”
tukas Ina.
“Ada algojo dari Pasukan Kuning (nama lain untuk
Pasukan Dewan Adat yang mengenakan pakaian kuning). Tapi
di daerah Moya, tentara yang membunuh orang-orang
Kristen,” sambung Eca.
Anak laki-laki pemilik salah satu penginapan di Ternate
bercerita pada saya bahwa Pasukan Dewan Adat terdiri dari
orang-orang sakti. “Ada yang saya lihat sendiri bisa terbang ke
atas pohon,” katanya.

RUSUH di Ternate dan Tidore merembet ke Halmahera, Bacan,


sampai Morotai. Tak ada yang menyangka bahwa kasus tanah atau
masalah agraria yang melibatkan orang Kao dan orang Makian di
Halmahera Utara, sekarang berubah dan berkembang jadi konflik
antar pemeluk agama yang melanda Maluku Utara.
Linda Christanty 103

Terlebih lagi Laskar Jihad yang terlibat dalam kerusuhan di


Ambon telah mendarat di Halmahera dan ambil bagian dalam
kerusuhan ini. Laskar Jihad lahir di akhir Januari 2000. Tuju
annya, menyelamatkan umat Islam di Maluku dan memerangi
Kristen. Ketuanya, Ja’far Umar Thalib. Pada 2002, Ja’far akhir
nya ditangkap polisi dengan tuduhan membakar emosi massa di
Ambon, selain menghina pemerintahan Megawati Soekarno.
Banyak desa hangus. Sekitar 2.800-an orang meninggal
dunia akibat konflik di Maluku Utara.
Hal ini mengingatkan saya pada konflik agama dan etnis
di Balkan, di negara yang dulu bernama Yugoslavia, saat orang
Serbia yang Kristen Ortodoks membunuh orang Bosnia yang
Muslim dan orang Kroasia yang Katolik. Penyebabnya sama
sekali bukan kebencian terhadap agama tertentu. Dendam
dari masa lalu adalah salah satu pemicu utamanya.
Orang-orang Serbia yang mayoritas di pemerintahan federasi
Yugoslavia membenci orang-orang Kroasia yang memihak Nazi
Jerman di Perang Dunia II dulu. Kaum fasis Kroasia membantai
sekitar 1,7 juta jiwa atau 10 persen dari keseluruhan penduduk
Yugoslavia waktu itu. Tetapi dendam Serbia kepada orang-orang
Bosnia bersumber pada masa yang lebih jauh lagi, yaitu
penaklukan oleh kesultanan Turki Usmani.
Pasukan Turki Usmani menghancurkan Serbia Raya,
dengan mengalahkan pasukan Raja Lazar, pada 28 Juni 1389
di Kosovo dan ekspansi Turki tersebut dalam sejarah terkenal
sebagai peristiwa “Padang Burung Hitam”. Setelah itu pasukan
Turki mengislamkan orang-orang Bosnia—yang saat itu
berpenduduk campuran etnis Bosnia dan Albania—dengan
melawan Serbia Raya yang memeluk Kristen Ortodoks. Kelak
Kosovo pun merdeka melalui keputusan Mahkamah
Internasional di Den Haag, Belanda.
104 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Negara federasi Yugoslavia terbentuk pasca Perang Dunia


II. Presidennya, Josip Broz Tito, seorang veteran perang
melawan Nazi dan pemimpin kaum partisan Yugoslavia. Di
bawah kepemimpinan Tito yang keras dan sosoknya yang
karismatik itu, semua orang Yugoslavia yang saling membenci
harus hidup berdampingan demi keutuhan negara tersebut.
Dia juga salah satu pendiri gerakan Non-Blok bersama
Presiden Indonesia, Soekarno, Perdana Menteri India,
Jawaharlal Nehru, Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser, dan
Presiden Ghana, Kwame Nkrumah. Namun, kematian Tito
pada 1980 mengubah nasib Yugoslavia. Tidak ada pemimpin
baru yang kuat dan mampu menggantikannya.
Yugoslavia yang maju secara ekonomi dan teknologi
hancur berkeping. Slovenia dan Makedonia merdeka lebih
dulu, tetapi tanpa pertumpahan darah. Berbeda ketika
Kroasia, disusul Bosnia Herzegovina menyatakan merdeka.
Tindakan tersebut disambut dengan pembantaian oleh negara.
Di lain pihak, orang Kroasia tak suka orang Bosnia, yang dulu
pernah berkuasa dan menjadi tuan mereka. Dalam perang
Bosnia yang berlangsung dari 1992 sampai 1995 itu, orang
Kroasia juga membantai orang Bosnia.
Secara geografi, letak Kroasia berdekatan dengan Austria,
Hungaria, Italia, dan Jerman di atasnya. Etnis beragama Katolik
ini didukung negara-negara Barat, berbeda dengan Bosnia yang
tak punya pendukung dan terkepung di tengah-tengah.
Edib Bukvic, duta besar pertama Bosnia Herzegovina untuk
Indonesia dan sekarang duta besar Bosnia Herzegovina untuk
Republik Islam Iran, berkata bahwa awalnya persoalan di Yugoslavia
bukan konflik agama dan etnis. Bukvic adalah veteran perang Balkan
dan menjabat wakil perdana menteri Bosnia Herzegovina saat
konflik itu terjadi.
Linda Christanty 105

Sebelum perang, kata Bukvic, orang Bosnia bukan


pemeluk Islam yang fanatik. Tetapi ketika pemerintah
Beograd menghadapi protes mereka dengan kekerasan, saat
terjadi benturan, etnis Bosnia menentukan satu ideologi yang
bisa menyatukan mereka—yang disebut teknik kategori—dan
mendapat dukungan, yaitu Islam, agar mereka juga
memperoleh dukungan dari negara-negara Islam.
Turki, Iran, Arab Saudi, Pakistan, Libya, Malaysia, dan
Indonesia termasuk negara-negara yang membantu Bosnia dalam
perang Balkan. Kelak Amerika Serikat berinisiatif melakukan
intervensi militer dalam konflik Bosnia tanpa mengikutsertakan
negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara dan persetujuan
PBB. Pasukan Serbia-Bosnia dibom. Beograd, ibukota Yugoslavia,
juga dibom oleh militer Amerika Serikat. Akibat pengeboman itu
kedutaan besar Tiongkok di Beograd ikut jadi sasaran dan sempat
tercetus rencana aliansi India-Tiongkok-Rusia untuk membentuk
poros menandingi kekuatan Barat. Amerika Serikat dalam posisi
sulit dan dilematis saat itu: menjadi musuh negara-negara Islam
atau orang-orang Muslim di seluruh dunia atau menjadi musuh
Serbia-Bosnia? Sebab untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia
kontemporer, seluruh umat Islam bersatu mendukung Bosnia.
Kelompok Syiah dipimpin Iran, kelompok Wahabi dipimpin Arab
Saudi, dan Kelompok Islam Sunni dipimpin Turki yang sekuler.

Soeharto, presiden Indonesia di masa itu, bahkan


melakukan misi terbang langsung ke Sarajevo, ibukota Bosnia
Herzegovina, untuk memberi semangat pada pasukan Bosnia.
Menurut Bukvic, siapa pun tak bisa berada di tengah-
tengah dalam konflik semacam ini. Orang harus menentukan
bergabung di pihak mana untuk bertahan. Dalam perang
Bosnia, tidak ada kejahatan yang tidak melibatkan banyak
106 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

orang. Tetapi akhirnya dipilih siapa yang paling bertanggung


jawab dan harus dihukum agar kejahatan semacam itu tak
terulang lagi. Semua etnis terlibat melakukan kejahatan dalam
perang ini. Tetapi etnis yang paling banyak menjadi korban
adalah etnis Bosnia. Hampir 300 ribu jiwa mereka musnah.
Berdasarkan data yang telah diverifikasi oleh PBB, lebih dari
20 ribu perempuan etnis Bosnia diperkosa. Untuk pertama
kalinya pula dalam sejarah perang modern, pemerkosaan
dijadikan sebuah taktik pemenangan perang.
Meskipun kini negara Bosnia Herzegovina telah terbentuk,
Haris Silajdzic, yang menjabat perdana menteri Bosnia
Herzegovina di masa perang tersebut masih memprotes
keberadaan Republik Srpska, yakni negara etnis Serbia dalam
negara Bosnia Herzegovina yang luas wilayahnya 49 persen
dari keseluruhan wilayah negara itu, sesuai pembagian wilayah
berdasarkan Perjanjian Dayton. Amerika Serikat demi
kepentingan strategisnya untuk mencegah kelahiran sebuah
negara Islam yang kuat di Eropa dengan segera mendesakkan
perjanjian damai Dayton dan menjadikan pembentukan
Republik Sprska sebagai salah satu solusi konflik. Sementara
Silajdzic ingin Republik Srpska melebur dalam negara federasi
Bosnia-Herzegovina, bukan menjadi negara dalam negara.
Sikap Silajdzic tersebut mengingatkan pada tindakan
Soekarno di awal kemerdekaan Indonesia ketika dia
membubarkan Republik Indonesia Serikat yang merupakan
negara buatan penjajah kolonial Belanda untuk membentuk
negara kesatuan Republik Indonesia.
Bosnia Herzegovina dulu merupakan tempat sumber alam yang
strategis di negara federasi Yugoslavia dan memiliki industri
persenjataan serta pengolahan bahan-bahan kimia penting.
Linda Christanty 107

Ternyata orang-orang Serbia juga bukan umat Kristen


Ortodoks yang taat sebelum konflik itu pecah. Dalam bukunya,
The Sign of the Cross: Travels in Catholic Europe, Colm
Toibin, sastrawan dan wartawan Irlandia, mengungkap hal
tersebut melalui percakapannya dengan seorang pastor
Fransiskan, Tomislav Pervan. Menurut Pervan, tak sampai 10
persen orang Serbia yang dibaptis di gereja-gereja Kristen
Ortodoks. Banyak dari mereka bahkan tidak beragama. Tetapi
katanya, gereja Ortodoks sendiri yang justru punya hubungan
dekat dengan pemerintah. Saat Toibin menanyakan apakah itu
berarti gereja Ortodoks ada di balik perang atau merestui
perang, Pervan menjawab bahwa ada sejumlah tindakan yang
bersumber pada Perjanjian Lama dan gagasan pembersihan
etnis itu berasal dari sana, dari Kisah Yosua, yang menuturkan
janji Tuhan terhadap bangsa Israel tentang “tanah yang subur”
yang “mengalir susu dan madu di dalamnya”.
Kisah-kisah di dunia cukup kaya menyajikan cerita tentang
tanah dan kekerasan. Kisah yang lebih modern diwakili oleh
pembantaian terhadap orang Armenia di bawah kekuasaan Turki
dalam dekade pertama abad ke-20, kemudian ekspansi teritorial
Nazi di Eropa dan juga Kekaisaran Jepang di Asia ketika merebut
Manchuria dan Nanking pada Perang Dunia II.
Berbeda dengan Yugoslavia yang mayoritas warganya
memeluk Kristen Ortodoks, mayoritas orang di Indonesia
beragama Islam.
Eca bercerita bahwa dia sempat ikut satu perjalanan
jurnalistik ke Halmahera pada 2005. Rombongan wartawan
bertolak dari Ternate ke Kao-Malifut, Tobelo, dan Galela.
“Keadaan Kao-Malifut sebelumnya damai, kata warga.
Babi dan anjing berkeliaran tak masalah. Islam dan Kristen
bertetangga dengan baik. Warga tidak tahu pemicu konflik itu.
108 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Warga Muslim dan Kristen saling melindungi. Mereka tidak


tahu massa yang membunuh itu datang dari mana. Ada massa
tak dikenal datang dan warga bilang tidak tahu siapa mereka.
Selain mereka juga bilang, ada yang penduduk sini,” lanjutnya.

SORE itu, Jumat, 7 Juni 2007, setelah kelas menulis usai, saya
pergi ke kedaton kesultanan Ternate. Bendera berlambang
kepala banteng gemuk berkibar di halaman muka kedaton,
bendera Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Dua perempuan hilir-mudik di halaman belakang. Mereka
bersanggul, mengenakan kebaya, dan kain sarung. Seorang
lagi duduk bersimpuh di teras, abdi kedaton yang siap
menunggu perintah. Tak berapa lama Syahrinnisad muncul di
ambang pintu, melangkah ke arah kami.
Dia mengenakan daster kuning bermotif bunga-bunga
putih. Kaki-kakinya berbalut kaos kaki putih yang dipadukan
dengan sandal krem. Tas putih diselempangkannya di tubuh.
Penampilan kakak sulung Sultan Ternate ini sama sekali tidak
seperti putri-putri kerajaan yang saya bayangkan.
Usianya sudah 76 tahun. Pipi-pipinya sudah kendor. Gigi-
giginya tidak lengkap lagi. Kacamata bertengger di hidungnya.
Syal merah jambu membungkus kepalanya, dengan gaya yang
mengingatkan saya pada penampilan Ibu dan bibi-bibi saya di
masa lalu ketika mereka berpiknik atau tamasya. Ujung-ujung
syal berbentuk segitiga itu diikat di bawah dagu, tetapi kali ini
tak ada kacamata hitam berbingkai lebar sebagai pelengkap
aksi. Di jari manis tangan kirinya melingkar cincin emas, tidak
berukir dan tidak berhias batu permata.
Kami duduk di kursi kayu berukir yang terawat, cokelat mengilat
oleh pelitur, berlapis bantalan-bantalan kuning. Sebuah alat
pengatur suara berada di dekat kami, yang biasanya
Linda Christanty 109

digunakan untuk acara-acara tertentu. Di seberang sana


tampak lambang kesultanan, patung garuda berkepala
kembar. Di dada garuda emas itu ada ukiran hati berwarna
merah dan cakar-cakarnya mencengkeram lempengan yang
bertuliskan “LIMAU GAPI”.
Dia mulai bercerita tentang namanya. Tutur katanya
lancar.
“Nama ini adalah pemberian ayah saya. Kakek saya
menamai saya Aisyah,” katanya.
Dia punya dua adik. Dua-duanya laki-laki. Adiknya yang
pertama telah meninggal dunia. Adiknya yang bungsu jadi
raja.
“Saya menempuh pendidikan enam tahun di sekolah
Belanda. Di tahun 1945 itu tidak ada SMP, sehingga saya
masuk MULO. Tapi kemudian dikejar Jepang, lalu kami lari
ke Morotai,” tuturnya.
Kesultanan Ternate sangat dekat dengan pemerintah
kolonial Belanda sehingga jadi sasaran empuk pasukan Tenno
Heika atau sang putra Dewa Matahari.
“Di sana ada tentara Jenderal MacArthur (Douglas
MacArthur, komandan perang Amerika untuk Perang Pasifik),
yang kemudian mengirim saya sekolah ke Australia. Saya
berangkat ke Australia pada April 1945. Di Australia kemudian
saya sekolah di Kweekschool Santa Maria 2,5 tahun, terus
melanjutkan ke sekolah B1, semacam IKIP (Institut Keguruan
dan Ilmu Pendidikan), 2,5 tahun,” kenangnya.
Syahrinnisad atau biasa dipanggil Rini oleh orang-orang
terdekatnya, suka menulis dan membaca. Dia mulai menulis
pada 1970 ketika membuka Sanggar Maluku Utara di Jakarta.
“Saya pesan buku-buku dari Belanda. Sering ikut seminar
Maluku Utara. Itu yang membuat saya makin tahu tentang
110 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Maluku,” katanya.
Ketika kerusuhan terjadi pada 1999 itu, lalu kedaton
diserang, dia sedang berada di Jakarta.
“Tapi waktu saya datang, saya kumpulkan cerita dari sana-
sini,” ujarnya.
“Provokasi,” jawabnya, saat saya menanyakan
pendapatnya tentang penyebab kerusuhan.
“Mula-mula dari Ambon. Pada waktu itu Pak Harto
(presiden Suharto) lengser keprabon. Pada masa Pak Harto,
tentara-tentara dimanja sampai dengan lurah juga dimanja.
Mereka ini ‘kan ikut jatuh bersama Pak Harto. Jadi mereka
mulai menghasut. Di sana orang Islam dikeluarkan dari
Ambon. Di sini orang Kristen yang diusir,” lanjutnya.
“Nama Sultan diseret, disebut provokator. Jadi waktu itu
mereka, orang Kristen dan Cina, dikejar-kejar, lalu mereka
dilindungi di sini. Sultan melindungi mereka. Tapi waktu itu
keadaannya memang kacau. Waktu itu ada pemilihan bupati,
ditambah lagi ada masalah dengan hak tanah, kemudian ada
isu bahwa ibukota akan dipindahkan ke Halmahera Tengah.
Ada macam-macam hal, tumpang-tindih,” katanya.
Dia kemudian bercerita tentang perbedaan kesultanan di
Jawa dan di Ternate.
“Kami tidak mengenal sistem kasta. Dalam bahasa Ternate,
Toma kiye ma tubu jou se ngofa ngare (di atas gunung hanya
engkau dan aku). Kesetaraan. Karena itu, kami tidak punya
singgasana. Nita, istri adik saya (Mudaffar Syah), membawa dua
singgasana dari Yogyakarta, bikinan Jepara. Dia nggak tanya-tanya
dulu. Kalau di Yogya ada pengaruh Hindu. Meskipun mereka tidak
bicara kasta, tapi raja-raja Jawa itu dalam praktiknya tetap
menerapkan sistem kasta. Makanya di Ternate ini namanya kedaton,
artinya kedatuan. Di Jawa, keraton, yang
Linda Christanty 111

artinya keratuan,” ujarnya.


Hari itu saya tidak boleh masuk ke ruang dalam kedaton
karena sedang ada upacara, yaitu membaca doa dan berdzikir.
Kesultanan menghargai keberagaman rakyatnya dan
persilangan budaya yang telah berlangsung lama.
“Di ruang dalam, di bawahnya ada kuburan orang pertama
yang datang ke Ternate. Sejarahnya panjang. Dia orang Cina.
Dia sudah di-Islam-kan. Namanya Jaffar Sidiq. Artinya
(namanya), ‘dia mengatakan yang benar’. Orang pertama yang
datang ke Ternate adalah orang Cina. Arsitektur istana
terpengaruh budaya Cina. Kesultanan Ternate ini dipengaruhi
Cina, Arab, Portugis, Spanyol, dan Belanda. Kita merayakan
Idul Fitri, Idul Adha, Maulid, dan juga Asyura, yang
menunjukkan pengaruh Syiah,” katanya. “Waktu saya datang
dari Jakarta ke kedaton ini, tahun 1976, saya melihat ada naga
merah menghadap ke depan, itu pengaruh Cina,” lanjutnya,
seraya menunjuk ke arah pintu yang menuju rumah induk.
Syahrinnisad juga menyatakan bahwa orang tengah
mencari kitab berjudul The Land of Moo.
“Ini menceritakan sejarah Ternate yang dulunya ada daratan
yang tenggelam. Ada ahli yang mencarinya sampai ke Pasifik,”
ujarnya, seraya menulis judul kitab itu di buku catatan saya.
Iseng-iseng saya mencari informasi tentang kitab itu. The
Land of Moo rupanya mengurai tentang ras-ras manusia purba
yang pernah ada di dunia dan tempat mereka hidup. Ras ketiga
disebut Lemuria, yang memiliki beberapa sub-ras, termasuk Za-
Moo dan Moo-Za-Moo. Bangsa Lemuria dulu tinggal di Benua
Lemuria yang tenggelam dan sekarang kita kenal sebagai
Samudra Pasifik. Mereka digambarkan sebagai monster yang
menjadi manusia, hidup sekitar 5 juta tahun lalu.
“Apa rahasia punya daya ingat kuat?” tanya saya.
112 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

“Sering membaca dan menulis, itu membuat tidak pikun,


karena ada interest,” sahutnya, menyerahkan kembali buku
catatan saya.
Syahrinnisad kemudian menyatakan bahwa posisi kaum
bangsawan telah mengalami perubahan dan tidak lagi
sepenting di masa sebelum negara Indonesia berdiri.
“Sekarang orang yang loyal pada Sultan tidak sebanyak dulu
dan itu memang benar,” katanya.
Raja atau sultan dipilih secara turun-temurun atau garis
darah, sedangkan sistem demokrasi membuka ruang pada
siapa pun yang mampu dan dipilih orang banyak untuk jadi
pemimpin.
Sultan Ternate Mudaffar Syah mencoba mengembalikan
kejayaan feodalisme kesultanan Ternate dengan berbagai cara,
agar tetap memiliki akses dan kendali terhadap kekuasaan di
dunia modern. Dulu dia ikut Partai Golongan Karya atau
Partai Golkar, lalu pindah ke Partai Demokrasi Kebangsaan
yang didirikan Ryaas Rasyid dan Andi Mallarangeng dan
kemudian beralih mendukung PDIP yang dipimpin Megawati
Soekarno. Setelah itu, dia hengkang ke Partai Demokrat dan
ujung-ujungnya, keluar lagi. Sekarang ini dia berada dalam
Dewan Perwakilan Daerah.
Ketika undang-undang pembentukan provinsi Maluku Utara
mencantumkan bahwa ibukota provinsi itu akan dipindahkan dari
Ternate ke Sofifi di kepulauan Halmahera, hal itu otomatis membuat
Sultan Ternate menjadi kehilangan kesempatan untuk
mempengaruhi jalannya pemerintahan di pusat kekuasaan Maluku
Utara dan mempengaruhi masyarakatnya. Sofifi kebetulan berada
dekat Malifut dan Kao. Sementara orang-orang Makian yang
menguasai pemerintahan Maluku Utara tidak menyukai tindakan
sultan yang dianggap
Linda Christanty 113

mempolitisasi keadaan dengan kedatangannya ke wilayah


orang-orang Kao. Sultan Ternate dianggap sebagai salah satu
penyebab meruncingnya konflik antara orang Makian dan
orang Kao yang tengah berlangsung di Halmahera waktu itu.
Konflik pun merembet hingga ke Ternate dan memanas.
Akibatnya Sultan Tidore Djafar Syah pergi ke Ternate dan
mencoba ikut menghentikan konflik agar tidak menjadi fatal,
karena sebagian orang Tidore ikut menyerbu kedaton Ternate
dan bertempur melawan Pasukan Kuning, yang tak lain dari
pasukan Kesultanan Ternate.
Pertempuran berlangsung selama lima hari. Mudaffar
Syah akhirnya menyerah dan sebagai tanda menyerah, dia
mencopot jubah sultannya dengan disaksikan pejabat
sementara gubernur Maluku Utara, Sulasmin, dan Sultan
Tidore Djafar Syah di kedaton Kesultanan Ternate.
Di sini pula terjadi kemiripan konflik di Maluku Utara dengan
konflik Balkan. Seperti pasukan Kesultanan Ternate yang
melawan orang-orang Makian dan Tidore, pengusaha kaya-raya
dan kepala daerah di Bosnia Barat bernama Fikret Abdic
memimpin pasukannya yang terdiri dari orang-orang Muslim
untuk berperang di sisi pasukan Serbia-Bosnia yang Kristen dan
didukung pasukan Yugoslavia untuk menggempur pasukan
Muslim Bosnia dalam konflik Bosnia. Abdic malah
memerdekakan wilayahnya sendiri dan menjadikannya bagian
dari wilayah Serbia-Bosnia, yang kini disebut Republik Srpska.
Abdic ingin memiliki otoritas penuh di Bosnia Barat, yang tidak
akan terwujud ketika Bosnia Barat bergabung dalam federasi
Bosnia. Dia tidak menghendaki Bosnia Barat hanya menjadi
sebuah daerah dengan otonomi terbatas. Sementara di Republik
Srpska, dia mendapat posisi yang lebih menguntungkan, yaitu
sebagai sekutu yang setara dan menjadi kepala negara Bosnia
114 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Barat.
Ketika keluar dari kedaton kesultanan pada pukul 18.01,
saya melihat bendera berlambang banteng gemuk itu sedang
diturunkan dari tiang di halaman.

TELEVISI tengah menyiarkan bentrok antar warga kampung


di Ambon pada siang, 11 September 2011. Rudi Fofid berdiri
terpaku menatap layar televisi di lobi hotel di Jakarta Pusat.
Baru saja dia menerima kabar dari adiknya di Ambon bahwa
tulang-belulang ayah mereka yang menjadi korban konflik
antar pemeluk agama dan etnis 12 tahun lalu telah
dipindahkan dan dimakamkan dekat makam ibunya. Tetapi
kini orang-orang mulai ribut lagi. Dia cemas sejarah berulang.
Rudi masih ingat kejadian pada Selasa, 19 Januari 1999.
Dia siap-siap berkunjung ke rumah Zairin Salampessy,
sahabatnya yang tinggal di perbatasan Mardika-Batumerah.
Ketika itu Hari Raya Idul Fitri. Zairin seorang Muslim. Rudy
beragama Katolik. Zairin menelepon Rudi untuk
memastikannya datang karena Ibu Zairin sudah menyiapkan
soto kambing untuk disantap beramai-ramai.
Zairin menelepon lagi lima menit kemudian. Kali ini
meminta Rudi membawa kamera karena ada bentrok
antarwarga Mardika dan Batumerah, seperti tahun-tahun
sebelumnya. Tawuran anak-anak muda antarkampung. Tak
berapa lama Rudi menerima telepon dari temannya yang lain,
yang mengabarkan sekaligus menanyakan apakah benar ada
gereja dibakar di Batumerah.
Rudi menelepon Zairin, menanyakan hal ini. Menurut Zairin, tak
ada gereja yang dibakar. Tetapi rumah tetangganya telah berasap.
Itulah rumah pertama yang dibakar dalam kerusuhan Ambon.
Linda Christanty 115

Ternyata isu gereja dibakar langsung menyebar ke mana-


mana. Konflik antar kampung Mardika-Batumerah berubah
jadi konflik Islam dan Kristen atau oleh warga dikenal sebagai
‘konflik Salam dan Serani’.
Setelah itu Zairin kembali menelepon Rudi. Dia minta
dicarikan taksi gelap. Orang-orang berikat kepala putih
hendak menyerbu rumahnya.
“Setahun setelah konflik Ambon, di Malut (Maluku Utara)
konflik semua, kecuali di Pulau Bacan. Sultan Bacan waktu itu
datang langsung dari Jakarta ke Bacan, bicara dengan umat
Islam dan Kristen. Katanya, ‘Di tempat lain boleh konflik, tapi
kita tidak akan terjebak.’ Sampai Januari 2000 (konflik)
belum meledak di (Pulau) Bacan. Padahal di Maluku sudah
berasap. Lalu datanglah Megawati Soekarno ke Ambon pada
Januari 2000 sebagai presiden. Dari Ambon, dia ke Ternate.
Waktu Megawati ke Ternate itulah Bacan berasap,” tutur Rudi.
“Ada kekuatan yang mengganggu pemerintah pusat untuk
menggagalkan visi Megawati bahwa perjalanannya tidak ada
gunanya. Pada Januari 2000, suasana di Bacan, sebelum konflik,
orang Islam membantu orang Kristen mengungsi ke Manado.
Orang Islam mengantarkan ke kapal, membantu perbekalan,
saling berpelukan, pelepasannya dengan suasana haru. Ribuan
orang mengungsi. Orang mengungsi dalam suasana belum
berkobar, karena orang Islam berkata, ‘Pergilah mengungsi.
Kalau Laskar Jihad datang, kami tidak bisa menghadang dan
kami diwajibkan ikut.’ Ini cerita orang-orang Kristen yang
selamat dan yang mengurus Ayah saya,” lanjutnya.
Ayah Rudi, Paulus Fofid, adalah bekas kepala kampung di
Wayamega, Bacan. Dia bekas serdadu KNIL dan pernah
bertugas di Aceh.
“Ayah saya memimpin pensiunan atau purnawirawan
116 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

TNI/Polri (Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik


Indonesia). Mereka pensiunan yang masih kuat (fisiknya), datang
dari Maluku Tenggara ke Malut untuk bertani. Kampung kami itu
baru dibangun tahun 1976. Di situ ayah saya membangun masjid.
Dia coba membuat kubah. Tapi bikin kubah itu susah. Jadi Ayah
saya pergi ke Ternate dan bawa kubah masjid dari sana naik
kapal. Dia bilang, orang Muslim ini kasihan mereka. Mereka
harus sembahyang di masjid. Biar dibikinkan masjid dan ada
kubahnya. Kalau kita ini bisa di mana saja, tinggal susun-susun
bangku, jadilah,” kisah Rudi.
Sebelum api kerusuhan berkobar di Pulau Bacan, Paulus
meminta tolong pada syahbandar (kepala pelabuhan) untuk
mengungsikan para perempuan dan anak-anak lebih dulu
dengan kapal.
“Kabar Laskar Jihad akan datang sudah sampai ke telinga
semua orang. Ayah saya selalu bilang ke syahbandar dan orang
banyak yang mengajaknya pergi, ‘Ini rumah saya, masak saya
keluar dari rumah saya. Saya ini selama hidup tidak pernah
punya masalah dengan orang Islam, apalagi dengan Laskar
Jihad. Mereka tidak bersalah pada saya. Saya tidak pernah
salah dengan mereka.’ Begitu kata ayah saya,” lanjutnya.
Kakak perempuan Rudi, Merry, baru saja lulus dari
akademi kebidanan di Makassar. Dia menelepon Rudi dan
mengabarkan akan menjemput ayah mereka untuk
membawanya mengungsi.
“Karena Ayah itu kepala batu, katanya. Kakak bilang, dia
mau memaksa Ayah keluar dari situ. Kakak sampai di Ternate
dan dia bilang, tidak ada orang Kristen lagi di sana. Dia
sempat foto-foto gereja, lalu dia pergi ke Bacan. Jaraknya
semalam dari Ternate. Malam pergi, pagi sampai,” kata Rudi.
Begitu tiba di Bacan, Merry dan Betty, kakaknya yang lain,
Linda Christanty 117

segera menyiapkan diri untuk mengungsi. Mereka


memberikan bermacam barang ke tetangga-tetangga Muslim
di kampung. Mereka hanya akan membawa pakaian
secukupnya dan surat-surat berharga.
Pada 28 Januari 2000, Laskar Jihad benar-benar datang ke
Wayamega. Takbir itu sudah terdengar kurang lebih 500 meter
dari kampung tersebut. Orang-orang mulai mengungsi ke hutan.
Dua jam lagi, sebelum orang-orang berpakaian putih itu tiba,
warga kampung meminta Paulus dan dua anak perempuannya
ikut mengungsi. Paulus mendadak berubah pikiran.
“Buat apa ke hutan? Kalau mati, saya mau mati di rumah
ini, kata Ayah. Usia ayah saya waktu itu 88 tahun. ‘Saya sakit
reumatik dan kalau saya ke hutan, reumatik saya kumat, repot
kalian. Kalian semua pergi semua, pergi,’ pinta ayah saya
kepada dua kakak saya. Ada orang datang dan minta kakak-
kakak saya pergi. Tapi mereka menolak pergi. Apa jadinya kita
kalau pergi tinggalkan Ayah? Kita jadi orang gila kalau Ayah
sampai meninggal, kata kakak-kakak saya,” kenang Rudi.
Seminggu kemudian, Rudi mendapat kabar bahwa jenazah
ayah dan dua kakak perempuannya telah ditemukan dalam
keadaan terpotong, tertembak dan terbakar, di luar rumah.
“Orang-orang Muslim di kampung kami kemudian menggali
kubur seadanya dan menguburkan mereka,” kenangnya.
Terlepas dari konflik itu, menurut Rudi, di Maluku Utara,
Tengah, dan Tenggara, ada banyak etnis dan secara politik
pun bisa saling bersaing. Perbedaan-perbedaan budaya juga
nyata dan berpotensi untuk disulut jadi masalah.
Tidak hanya di Maluku Utara, bentrok antarwarga atau
antarkampung juga biasa terjadi di Jawa masa kini dan masa lalu.
Masalah timbul, karena ada warga yang mencuri ternak atau
mengganggu pengaturan irigasi. Persoalan-persoalan khas
118 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

kampung itu tercantum dalam laporan para pejabat Belanda


memasuki era tanam paksa di Jawa, antara tahun 1830 sampai
tahun 1870.
Asap konflik akan tampak jelas karena membubung tinggi
dan terus membubung ke langit hingga dapat disaksikan dari
tempat-tempat jauh. Sementara api masalah justru berada
dalam kehidupan warga sehari-hari dan berkobar ketika
pemerintah tidak menegakkan hukum dengan adil.
Rudi menjabat wakil pemimpin redaksi harian Suara
Maluku. Dia bekerja di suratkabar tersebut sejak 1993.
Tubuhnya kurus. Penampilannya lebih mirip seniman.
Rambut gondrong keriting. Dia mengenakan setelan kaos
oblong dan celana jins. Cara bertuturnya lancar. Kalimat-
kalimatnya teratur. Dia bercerita seperti menulis.
Katanya, “Umat kita lima tahun sekali mengikuti ajang
politik (Pemilu) dan tiap lima tahun sekali digiring ke
fanatisme kelompok dan agama. Apalagi kami dari Maluku
Tenggara (Tual, Kei), yang di situ kami hidup di tengah kultur
Katolik. Di Maluku Utara, kita hidup di tengah kultur Muslim.
Di Ambon, sangat Protestan.”
Tetapi di lain pihak, Rudi berpendapat bahwa kontak-kontak
lintas etnis sudah terjadi sejak dulu. Tanpa membentuk negara
pun orang sudah membutuhkan hal itu dengan sendirinya,
bahkan hubungan itu mungkin lebih luas dari Indonesia sekarang
ini. “Kalau misalnya tidak ada kemerdekaan atas nama Indonesia,
mungkin wilayah-wilayah ini akan membentuk sendiri wilayah
yang lebih luas dari negara ini,” tuturnya.
Dia pun menjelaskan, “Negara merupakan alat bantu atau
manajemen modern. Kesultanan-kesultanan adalah manajemen
lama, yang dalam sistem yang demokratis itu tidak bisa. Tapi yang
penting apa yang ada dikelola untuk kesejahteraan umum.
Linda Christanty 119

Yang penting membuat orang merasa bahwa hidup itu


berharga dan mempunyai masa depan.”
***
(2 Februari 2012)

Catatan:
Wawancara dengan Edib Bukvic dilakukan Tubagus Budhi
Firbany untuk membantu saya melengkapi tulisan ini. Pada 1999
Budhi menulis tentang pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan Drazen Erdemovic untuk kajian hukum internasional.
Drazen seorang mantan atlet karateka nasional Yugoslavia yang
membuat organisasi milisi untuk membantai orang-orang Bosnia.
Dia orang Kroasia kelahiran Bosnia. Kelak milisi Drazen ini
disubordinasikan dalam kesatuan pasukan federal Yugoslavia dan
dia jadi komandan unit detasemen Sabotase X. Pasukannya
membantai sedikitnya 1.500 etnis Bosnia. Dalam pengakuannya
di Mahkamah Internasional di Den Haag, Negeri Belanda, Drazen
mengakui telah membunuh 70 orang Bosnia dengan tangannya
sendiri. Perang Bosnia berlangsung dari tahun 1992 sampai tahun
1995.
13

Continental Club

Menikmati musik dan sejarah di kota-kota selatan


Amerika Serikat.

LELAKI yang berdiri di belakang meja kasir ini menstempel


punggung tangan saya dengan tinta biru sebagai tanda masuk,
setelah dia menerima uang 10 dolar.
Ruangan terasa sejuk. Tidak tercium bau asap rokok. Di zona
gelap di tengah ruang, para pengunjung duduk di kursi-kursi kayu
tinggi atau berdiri di lorong antar meja dengan tatapan terarah ke
panggung sambil sesekali menyapa orang-orang yang baru datang
dan dikenal. Di meja atau di tangan mereka ada gelas minuman.
Beberapa pengunjung berdiri di area di muka panggung. Mereka
menunggu Toni Price menyanyi. Percakapan-percakapan
ditimpali gelak tawa. Sementara di atas panggung yang terang,
sekawanan pemusik tengah mencoba peralatan. Sang penyanyi
pujaan belum muncul. Lagu-lagu
perintang waktu menggema dari pengeras suara.
Linda Christanty 121

Dua toilet bergaya “hongky-tonk” berada di sisi kanan


panggung, menguarkan bau pesing yang samar. Pintu-
pintunya terbuat dari kayu, bercat hitam. Di jalan belakang
gedung ini beberapa mobil diparkir, tetapi para tamu sering
berdiri atau berkumpul di situ sambil merokok atau bercakap-
cakap setelah pertunjukan musik babak pertama usai dan
mereka akan kembali ke ruang pertunjukan untuk menikmati
babak terakhir dari penampilan penyanyi blues dan country
yang menjadi legenda di klub ini. Kadang-kadang ada yang
membawa ganja, mengisapnya sendiri atau bergantian, karena
itu bukan benda terlarang di sini. Rata-rata mereka berusia 50
tahun ke atas dan pengunjung yang berumur lebih muda
seperti saya, malam itu hanya saya sendiri.
Lelaki berambut gondrong dan uban, berusia sekitar 60-an,
duduk di kursi roda tepat di muka panggung. Beberapa kali dia
menggerakkan kursi rodanya untuk menghampiri pelayan bar
yang lewat membawa baki berisi minuman atau hanya agar tidak
terlihat diam mirip orang putus asa. Sesekali dia melintas di
hadapan saya. Kelihatannya, dia penggemar fanatik. Tetapi
kebanyakan pengunjung malam ini adalah penggemar fanatik.
Mereka telah mengenal Toni sekitar 20 tahun dan mendengarnya
menyanyi di Continental Club. Selasa malam menjadi jadwal
tetapnya untuk menyanyi. “Dia sempat pergi ke kota lain, tapi
kembali lagi,” kata salah seorang pengunjung, dengan nada
seolah menceritakan teman akrab. Dia pengusaha
furnitur dan lemari dapur.
Setelah 15 tahun menyanyi di Continental, Toni berhenti
tampil pada tahun 2007. Dua tahun kemudian dia muncul lagi di
klub ini untuk menghibur penggemarnya. “Kalau tidak salah, dulu
dia pergi untuk mengurus anak perempuannya yang punya
masalah. Entah benar atau tidak, kata orang begitu, “ ujar lelaki
122 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

yang berdiri di sebelah saya dan menawari segelas Margarita.


Dia bekerja untuk biro arsiteknya sendiri.
Kemampuan Toni dalam menyanyi sering dianggap setara
dengan penyanyi legendaris Stevie Ray Vaughan yang juga
memulai karier musiknya di kota ini. Toni sudah
mengeluarkan beberapa album. Hey, salah satu albumnya
memperoleh penghargaan pada tahun 1995 sebagai Album of
the Year. Dalam album Midnight Pumpkin, ada lagu yang saya
sukai, “Thank You for the Love”.
Ruang ini berbentuk persegi. Tidak ditata untuk terlihat
artistik. Barangkali dibiarkan agak suram untuk mempertahankan
keaslian dan suasana bersejarah. Dinding belakang panggung
ditutupi tirai merah terang. Tulisan “Continental” berwarna emas
tersemat pada permukaannya, sedangkan beberapa hiasan
berbentuk bintang yang tergantung di langit-langit berayun-ayun
di atasnya akibat terpaan angin dari mesin pendingin. Bias cahaya
dari panggung membuat saya dapat melihat lukisan-lukisan
dinding karya artis setempat dalam warna-warna vintage. Pada
sebuah lukisan tampak pemandangan di kota semacam Paris dan
dua sejoli yang mengenakan busana resmi untuk acara pesta:
perempuan mengenakan gaun malam panjang dan laki-laki
mengenakan setelan jas hitam serta tuksedo. Klub ini terletak di
1315 S Congress Ave, Austin, Texas, di kawasan pertokoan dan
tempat hiburan, sederetan dengan restoran pizza Home Slice
Pizza yang saya anggap pizzanya terlezat di dunia dan setelah
menyantap dua potong pizza Margarita di situ saya tidak ingin
apa-apa lagi. Ini pizza ala New York, kata orang-orang. Saya pergi
ke New York dan tidak menemukan pizza serupa. Mungkin karena
New York terlampau luas.
Di sofa dari bahan kulit sintetis yang terletak merapat ke
Linda Christanty 123

dinding, di sebelah kanan panggung, dan membuat penonton


harus memiringkan tubuh mereka tiap kali melihat atraksi di
panggung, sepasang kakek-nenek duduk dengan tangan saling
menggenggam dan sesekali berbicara dengan wajah saling
mendekat.
Perempuan yang paling dinantikan malam itu mengenakan
gaun oranye. Rambut pirangnya panjang tergerai. Usianya,
sekitar 50-an. Dia naik ke panggung, menjejakkan kakinya di situ.
Tangan kirinya memegang gelas berisi minuman, sedangkan
tangan kanannya meraih mikrofon. Dia menyapa penonton,
melucu sebentar. Penonton tertawa, diiringi tepuk tangan. Suitan
terdengar bersahut-sahutan. Di tengah sambutan hangat itu, dia
mulai menyanyi. Perlahan dia meletakkan gelas minuman di meja
kecil di sisi kursinya. Ada yang menyamakan jenis suara Toni
dengan Bonnie Raitt, penyanyi yang lagu cintanya “I Can’t Make
You Love Me” ditahbiskan menjadi satu dari 25 lagu tersedih di
dunia. Tetapi menurut saya, suara Raitt lebih “halus” (atau akibat
pengaruh proses di studio rekaman? Saya belum pernah
menonton live show-nya), sedangkan Toni lebih “bergradasi”.
Hmmm… pemulas bibirnya oranye atau fuchsia? Cahaya lampu
telah mengacaukan warna-warna asli.
Tak berapa lama, orang-orang mulai menari atau berdansa
di area di muka panggung. Ada yang berkulit putih, ada yang
berkulit cokelat dan hitam. Mereka menyuguhkan beragam
gaya. Waltz, swing, tango, disko. Seorang perempuan paruh
baya menari tango dengan gaya yang luar biasa panas,
sehingga membuat saya percaya bahwa umur bukan wasit
untuk kesenangan serta gairah. Meskipun sepulang dari sini,
tulang-tulang dan pinggangnya mungkin terpaksa diurut.
Di sisi kiri panggung, kartu-kartu ucapan dipajang. Kartu-
kartu ini dijual. Buatan Toni sendiri. Tak banyak pemasukannya
124 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

dari menyanyi di Continental meski digabung dengan hasil


berjualan kartu, tetapi dia mungkin orang yang bisa bahagia
tanpa semata-mata bergantung pada uang.
Babak pertama pertunjukan berakhir. Toni turun dari
panggung. Seorang lelaki berumur 70-an menghampirinya
agak tertatih dan mengajaknya bicara dengan tatapan
berbinar, sedikit saling tingkah. Mereka lalu berciuman pipi.
Austin benar-benar kota musik dan di malam hari,
karakternya semakin nyata. Tiap klub menyuguhkan beraneka
jenis musik dan musisi andalannya. Saya pernah mendatangi klub
yang menyajikan techno music dengan kualitas prima. Saya
sempat menonton pertunjukan “One Night with Janis Joplin” di
Zach Teater, yang belum lama direnovasi. Tentunya, pertunjukan
Janis Joplin tiruan. Suara Kacee Clanton lumayan mirip suara
Janis Joplin asli yang digambarkan “seperti wiski” itu. Namun,
penampilan Tiffany Mann Si Penyanyi Blues jauh lebih
menggetarkan dan membuat saya percaya bahwa kekuatan suara
mampu membuat kita seolah-olah melihat surga.
Suatu malam, saya menyaksikan serombongan kakek bermain
musik di satu pasar malam. Anak dan cucu para pemain musik
hadir memberi semangat, juga pasangan mereka yang tak kalah
renta. Lead vocal grup itu benar-benar memesona, suara maupun
teknik. Tak ada bedanya dengan penyanyi profesional seperti Eric
Clapton. Tetapi itu artinya kebanyakan penyanyi di sini
profesional, tak peduli melantunkan nyanyiannya di klub atau di
pasar malam setempat. Tiap personel menguasai alat musiknya
bagai seorang maestro. Ketika mengenang pertunjukan ini
sekarang, saya sepakat dengan pernyataan gitaris Jimmy Page
tentang empat personel Led Zeppelin, grup musik yang ikut
dibentuknya, dalam sebuah wawancaranya dengan suratkabar
Financial Times pada Oktober 2014 lalu.
Linda Christanty 125

Kata Page, mereka semua di Led Zeppelin benar-benar pemain


musik berkaliber maestro. Kombinasi yang langka. Malam itu
saya menyaksikan langsung kombinasi langka yang lain
beraksi.
Bocah perempuan berusia sekitar dua tahun menari-nari
di muka panggung, berputar-putar macam gasing. Dia
terhanyut dalam irama musik. Aneh, dia tidak merasa pusing.
Tiap sebentar ibunya yang khawatir mendatanginya untuk
memastikan dia baik-baik saja. Tetapi dia berputar beberapa
kali lagi, tidak limbung apalagi jatuh, sebelum berlari ke arah
ibunya untuk minta digendong. Para penonton duduk di
bangku-bangku kayu sambil makan dan minum.
Selain sangat musikal, masyarakat kota ini juga ramah. Di
toko bukunya yang saya sukai Book People, tiba-tiba remaja
perempuan bermata abu-abu menghampiri saya dan berkata
sungguh-sungguh, “Saya hanya mau bilang, syal kamu benar-
benar cantik. Syal yang sangat cantik.” Dia kemudian pergi
sambil tersenyum. Syal saya bermotif kupu-kupu besar
berwarna pelangi dan sebelum ini saya tidak memikirkan
kecantikannya. Kata orang, Austin kota paling menyenangkan
dibanding semua kota di negara bagian Texas yang dikenal
sebagai negara bagian paling rasis di Amerika Serikat.
Penduduk Austin multiras dan karenanya, multikultural.
Tetapi jarang sekali ada kota di dunia yang penghuninya
terdiri dari satu ras dan satu budaya saja. Karena itu, saya
pikir, bukan semata-mata keberagaman yang membuatnya
otomatis lebih toleran. Pasti ada hal lain. Di cangkir
cinderamata dan stiker ada tulisan “Keep Austin Weird”.
Bagaimana dengan makanan? Tak kalah mengesankan.
Restoran khas Meksiko menjamur. Kedai sarapan yang popular,
Joe’s, juga menyediakan makanan dengan sentuhan Meksiko,
126 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

seperti taco isi telur. Selain itu, ada restoran makanan panggang
atau bakar yang terkenal, Franklin Barbecue. Makanan Italia pun
sangat diminati. Vespaio yang sederetan dengan Continental Club
adalah salah satu restoran Italia terbaik di sini.

SEKITAR satu jam bermobil dari kota musik Austin adalah


kota San Antonio. Di musim panas yang temperaturnya
mungkin mencapai 40 derajat Celsius, saya ingin mengunjungi
Benteng Alamo. Saran saya, jangan mencoba memakai sepatu
berbahan plastik dalam suhu sepanas ini. Telapak kaki
ditanggung melepuh. Es krim pun sangat cepat mencair.
Teman-teman Amerika saya tidak antusias. Kata mereka,
itu hanyalah sebuah ruangan yang tidak ada apa-apanya,
“Tidak sedramatis yang kamu bayangkan.” Begitu ya? Saya
ingin membuktikan kata-kata mereka.
Monumen kemerdekaan Texas terletak di pelataran depan
benteng tersebut, terbuat dari marmer. Bagian bawahnya dari
batu granit. Patung para pejuang yang dulu mempertahankan
benteng itu terpahat pada satu sisi monumen.
Pada lempengan kuningan yang disangga lima kakinya dan
terletak di jalan menuju pintu masuk Benteng Alamo terukir
ucapan “The Daughters of the Republic of Texas Welcome You”
dan peraturan untuk menjaga ketenangan, tidak merokok, tidak
memotret, tidak membawa minuman, tidak menggunakan
telepon seluler dan kaum laki-laki harus melepas topi.
Bagian dalam benteng mirip interior rumah yang sederhana.
Ruang-ruang berdinding putih. Senjata, buku, dan benda-benda
yang merupakan milik orang-orang yang dulu mempertahankan
benteng ini dipajang dalam kotak-kotak koleksi dari kaca. Benteng
Alamo dibangun pada 1718 untuk Misi Katolik San Antonio de Valero
yang dipimpin Pastor Olivares dari Ordo
Linda Christanty 127

Fransiskan dengan tujuan melindungi para misionaris dari


serangan orang-orang Indian, para penduduk asli Amerika. Di
masa pendudukan Spanyol, benteng beralih fungsi sebagai
rumah sakit dan barak militer. Setelah Meksiko merdeka dari
Spanyol, benteng ini jadi milik Meksiko.
Buku yang saya beli di toko cinderamata museum, The Alamo,
mengungkapkan bahwa gelombang imigran dari Amerika Serikat
meningkat pesat ke wilayah Texas di Meksiko pada 1829.
Pemerintah Meksiko merasa khawatir, lalu mencoba
membendungnya setahun kemudian. Ketika itu Texas belum
menjadi salah satu negara bagian Amerika Serikat, bahkan belum
menjadi sebuah republik. Kolonel William Barret Travis dan
Kolonel James Bowie kemudian memimpin orang-orang Texas
untuk melawan pemerintahan Meksiko dan mendirikan Republik
Texas yang merdeka. Mereka berbagi tugas. Travis memimpin
tentara, Bowie memimpin para sukarelawan.
Sekitar 200-an orang dari berbagai koloni imigran di Texas,
juga imigran dari Amerika Serikat dan Eropa turut
mempertahankan Benteng Alamo sebagai pintu gerbang Texas di
kota yang dulu bernama San Antonio de Bexar. Mereka adalah
para sukarelawan dengan bermacam latar belakang, antara lain
peternak, petani, dokter, dan pengacara, yang melawan ribuan
pasukan Jenderal Antonio Lopez de Santa Anna. Kebanyakan dari
mereka gugur dalam pertempuran tidak seimbang itu. Travis juga
gugur. Bowie yang dikenal sebagai ahli perang andal justru tengah
terbaring sakit parah ketika benteng mengalami gempuran
terhebat. Dia akhirnya melawan dan terbunuh.
Salah seorang sukarelawan yang gagah berani dan paling
dikenang dalam sejarah kemerdekaan Republik Texas adalah
David Crockett atau Davy Crockett. Dia orang sipil, pernah
menjadi anggota Kongres Amerika, terkenal sebagai pemburu
128 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

serta pembunuh orang Indian sebelum ikut bertempur di


benteng tersebut. Menurut saksi mata dari pihak Meksiko,
Crockett gugur dengan 16 prajurit Meksiko terkapar tak
bernyawa di sekelilingnya. Dia kemudian menjadi legenda.
Lukisan Crockett dipajang di salah satu dinding gedung Texas
State Capitol di Austin, tempat kongres, senat, dan gubernur
negara bagian Texas berkantor.
Pada 6 Maret 1836, pasukan Santa Anna telah menguasai
benteng. Berdasarkan perintah Santa Anna, para prajurit Meksiko
membakar seluruh mayat pejuang dan menguburnya. Santa Anna
tidak membunuh perempuan dan anak-anak yang masih hidup.
Dia juga membiarkan budak Kolonel Travis, Joe, untuk tetap
hidup. Susanna Dickinson, salah satu perempuan, ditugaskannya
menyampaikan pesan ke Jenderal Sam Houston dan pasukan
Texas di kota Gonzales bahwa siapa pun yang melawannya akan
mengalami nasib naas. Ketika Jenderal Sam Houston tiba
bersama pasukan, dia menyaksikan sendiri kehancuran luar biasa
dan bukti pengorbanan yang heroik para pejuang di Benteng
Alamo. Dia menyerukan seluruh penduduk Texas melawan
tentara Meksiko. Pertempuran sengit terjadi lagi. Jenderal Santa
Anna akhirnya menyerah. Republik Texas berdiri sampai akhir
bergabung menjadi salah satu negara bagian Amerika Serikat,
yang berbatasan langsung dengan Meksiko. “Kalau mau jujur,
kami merebut Texas dari Meksiko,” ujar seorang pengunjung,
lelaki paruh baya, di toko museum.
Di ruang utama benteng, saya menemukan buktinya. Saya
melihat bendera enam negara yang pernah menguasai Texas
secara berganti, yaitu Spanyol, Perancis, Meksiko, Republik
Texas, Negara-Negara Konfederasi Amerika, dan Amerika
Serikat. Benteng ini merekam sejarah para penakluk.
Setelah mengunjungi Benteng Alamo, saya pergi ke kawasan
Linda Christanty 129

River Walk atau Paseo del Rio untuk makan siang. Bebek-bebek
asyik berenang di sungai yang berwarna kehijauan. Perahu-
perahu berisi turis melayari permukaan sungai yang tenang.

DALLAS yang berjarak hampir tiga jam bermobil dari Austin


juga merekam salah satu peristiwa penting dalam sejarah
Amerika. Pada 22 November 1963, Presiden John F. Kennedy
ditembak di kota ini. Kennedy selalu mengingatkan saya pada
Sukarno, presiden pertama Indonesia. Mereka sama-sama
ganteng dan dikelilingi banyak perempuan. Kematian mereka
juga sama-sama tragis. Kennedy dibunuh, Sukarno dikudeta
dan meninggal dunia dalam keadaan sakit parah.
Pembunuhan Kennedy sangat mengguncang Amerika dan
dunia. Orang-orang Texas dianggap ikut bertanggung jawab.
Lee Harvey Oswald yang dituduh sebagai penembak Kennedy
adalah bekas marinir. Sebelum Oswald sempat diadili, Jack
Ruby, pengelola sebuah klub malam di Dallas, tiba-tiba
menembaknya. Oswald tewas seketika.
Selain polisi dan FBI (The Federal Bureau of Investigation),
berbagai komisi dibentuk untuk menyelidiki pembunuhan
tersebut, antara lain Komisi Warren yang dibentuk presiden
Lyndon B. Johnson, United States House of Representatives
Select Committee on Assassinations (HSCA) dan Komisi Church
yang dibentuk Senat dan dipimpin senator Frank Church. Hasil-
hasil penyelidikan mengundang ketidakpuasan masyarakat,
terlebih lagi sejumlah barang bukti penting ternyata telah
dibersihkan, hilang atau dihancurkan. Sebagian besar rakyat
Amerika hari ini masih percaya bahwa pembunuhan Presiden
Kennedy bermotif politik dan menjadi salah satu tragedi dalam
sejarah negara itu yang masih menyimpan misteri.
Dua tahun sebelum Presiden Kennedy dibunuh, Pemerintah
130 Seekor Burung Kecil Biru di Naha

Amerika Serikat mendukung sebuah operasi penggulingan


Presiden Kuba, Fidel Castro. Pasukan khusus untuk operasi ini
mendarat di pantai Teluk Babi di Kuba. Namun, operasi
mengalami kegagalan. Uni Soviet rupanya merasa kesal dengan
ulah Amerika Serikat terhadap Kuba. Setahun kemudian Soviet
membantu Kuba dengan memasang rudal-rudal nuklir di Kuba,
yang siap diarahkan dan diluncurkan ke arah Amerika Serikat.
Pemerintahan Kennedy tidak terima, lalu membalas dengan
menyiagakan armada laut dan udara untuk menyerang kembali
Kuba. Perang nyaris berkobar. Pada bulan Oktober 1962, Perdana
Menteri Uni Soviet, Nikita Khruschev, mulai ragu, dan akhirnya
sepakat memindahkan kembali rudal-rudal itu dengan syarat
Amerika Serikat tidak lagi mengganggu Kuba. Namun, ketegangan
antara dua negara adikuasa ini tidak berakhir begitu saja.
Keraguan Khruschev di masa tersebut sering dianggap sebagai
momentum yang menentukan bagi kemenangan Amerika Serikat
dan sekutunya dalam Perang Dingin dan keruntuhan Uni Soviet
pada 1990. Andaikata Khruschev bertahan, situasi politik dunia
mungkin akan berbeda.

PADA hari Selasa terakhir di Austin dalam bulan Agustus 2013


itu, saya datang lagi ke Continental Club untuk menonton
pertunjukan Toni. Para penonton fanatiknya hidup bersama
lagu-lagunya. Dalam 20 tahun mungkin ada di antara mereka
yang menikah, punya anak, bercerai, dan menikah lagi, atau
punya cucu, atau tidak menikah tetapi berpasangan, atau
hidup sendiri atau seolah-olah sendiri. Toni akhirnya
menyanyikan lagu blues yang mengesankan saya, “Thank You
for the Love”, gubahan Michael Keck.

I love what you do to me, love what you make me see, about
Linda Christanty 131

reality. You call me in the mornin’, tellin’ me you love me,


tellin’ me you need me, makes everything alright. You give
me good feelings, give me good feelings yeah, give me good
feelings. Oh, I want to thank you for the love. Thank you for
the heartache. Thank you for the tears I’ve cried, Thank you
for all those lies. And your love, your love is just right on
time. I’m proud to say you’re mine….

Lagu cinta ini tidak semata-mata manis, melainkan


mencerminkan pasang-surut hubungan antarmanusia.
Barangkali dia disukai karena itu, menyuarakan apa yang
tidak pernah sempurna dan biasanya, memberi rasa gamang
serta seberkas kepedihan.
***
(8 Desember 2014)
Tentang Penulis

LINDA CHRISTANTY adalah sastrawan dan wartawan. Dia


lahir di Pulau Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Dia menulis cerita pendek, puisi, esai, dan reportase.
Karya-karyanya meraih berbagai penghargaan, termasuk
penghargaan sastra nasional maupun Asia Tenggara. Dia
memperoleh dua kali Khatulistiwa Literary Award untuk kategori
Buku Fiksi Terbaik, yaitu untuk buku cerita pendeknya Kuda
Terbang Maria Pinto (2004) dan Rahasia Selma (2010). Dia juga
dua kali meraih Penghargaan Prosa dari Pusat Bahasa
Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia untuk
buku esainya Dari Jawa Menuju Atjeh (2010) dan buku cerita
pendeknya Seekor Anjing Mati di Bala Murghab (2013). Pada
1998, esainya “Militerisme dan Kekerasan di Timor Leste”
memperoleh penghargaan Esai Terbaik Hak Asasi Manusia. Cerita
pendeknya “Daun-Daun Kering” menerima penghargaan Cerita
Pendek Terbaik Harian Kompas pada 1989. Dia juga menulis
naskah drama tentang tsunami dan proses perdamaian
Linda Christanty 133

di Aceh. Drama ini dipentaskan di World P.E.N Forum (yang


diselenggarakan P.E.N Japan bekerja sama dengan P.E.N
International) di Tokyo, Jepang (2008). Pada 2013, dia
menerima penghargaan sastra Asia Tenggara di Bangkok,
Thailand, yaitu Southeast Asian Writers Award atau S.E.A
Write Award.
Buku-buku fiksi dan non-fiksinya yang sudah terbit adalah
Kuda Terbang Maria Pinto (cerita pendek, 2004), Dari Jawa
Menuju Atjeh (esai, 2008), Rahasia Selma (cerita pendek, 2010),
Jangan Tulis Kami Teroris (esai, 2011), dan Seekor Anjing Mati
di Bala Murghab (cerita pendek, 2012). Sejumlah cerita dan
esainya telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Prancis,
Jerman, Jepang, Arab, Belanda dan Finlandia. Kumpulan cerita
pendeknya dalam bahasa Thailand diterbitkan dengan judul Sua
Sib Jed Tua Khong Luta (Tujuh Belas Harimau Luta) pada
November 2013. Buku esainya Schreib bloß nicht, dass wir
Terroristen sind! (Jangan Tulis Kami Teroris) sedang dalam
proses untuk diterbitkan di Jerman pada musim panas 2015.
Daftar Publikasi

1. Seloyang Pizza di Shinjuku (Aceh Feature, Februari


2008)

2. Karbala (11 Agustus 2010)

3. Nama Saya Wanda (Aceh Feature, Oktober 2010)

4. Berdamai dari Bawah (Majalah Suedostasien, Agustus


2011)

5. Percik Api di Timur (2 Februari 2012)

6. Seekor Burung Kecil Biru di Naha (Laka, 3 Juni 2012)

7. Rumah bagi Mereka yang Tua (Majalah Bung!


Desember 2012)

8. Panglima Amir dan Ayamnya (18 Januari 2013)

9. Kenangan Punne (7 April 2014)

10. Tentang Dua Tragedi: Masa Nazi di Jerman dan 1965


(23 November 2014)

11. Kakek Saya, Opa Manusama dan Opa Willem (24


November 2014)

12. Continental Club (8 Desember 2014)

13. Mendengar Bisikan Sungai Brahmaputra (31


Desember 2014)
14.

Anda mungkin juga menyukai