Pasal 1
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif
setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan Pidana
Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000
(seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Seekor Burung Kecil Biru di Naha
Konflik, Tragedi, Rekonsiliasi
Linda Christanty
Jakarta:
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Seekor Burung Kecil Biru di Naha:
Konflik, Tragedi, Rekonsiliasi
©Linda Christanty
Penulis
Linda Christanty
Penyunting
Christina M. Udiani
Perancang Sampul
Deborah Amadis Mawa
Penataletak
Aldy Akbar
Wendie
CHRISTANTY, Linda
Seekor Burung Kecil Biru di Naha
Konflik, Tragedi, Rekonsiliasi
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2015
xviii + 110 hlm; 13,5 cm x 20 cm
ISBN: 978-979-91-0821-0
Linda Christanty
1
SUATU hari di tahun 1998, Khatijah binti Amin melihat air laut
berwarna merah. Barangkali itu hanya pengaruh ganggang atau
pantulan cahaya matahari sore. Tetapi dalam keadaan tertekan,
dia tidak sempat memikirkan hal semacam itu. Rumah tahanan
tempat dia disekap berada dekat laut. Dia merasa hidupnya tak
lama lagi. Laut sewarna darah itu dianggapnya pertanda maut.
Jarang sekali ada tahanan yang keluar dalam keadaan hidup dari
kekejaman penyiksaan di Rancung, Pidie.
Khatijah ternyata dikaruniai umur panjang. Satu setengah
bulan kemudian dia dibebaskan. Setelah itu dia ditangkap lagi
dan ditahan di Rumoh Geudong, di Teupin Raya. Dia mengalami
kekerasan fisik selama di situ, dipukuli dengan tongkat kayu. Dia
juga menyaksikan orang-orang disiksa lebih hebat dibanding
2 Seekor Burung Kecil Biru di Naha
Pada 2003, warga dari lima desa yang digerakkan para ibu dan
perempuan melakukan aksi untuk mencegah SGI pergi.
“Sebab kalau ada mereka, minimal warga merasa lebih
aman,” ujar Dwi.
Kelompok-kelompok paramiliter yang didukung TNI pun
berdiri di Bener Meriah. Bersama TNI, mereka berperang
melawan GAM.
Rintangan terbesar untuk membangun kepercayaan
antarsesama pascaperdamaian berasal dari lingkungan
sendiri.
“Lingkungan saya ‘kan orang Jawa. Karena mereka belum
sepenuhnya pulih kepercayaannya kepada suku lain, jadi cerita
tentang masa lalu itu kadang diulang lagi,” lanjut Dwi.
Dinding-dinding kantor KPCD berhias foto-foto kegiatan
lembaga tersebut. Selain mendirikan koperasi untuk para
anggotanya, KPCD yang bekerja sama dengan Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh (Kontras
Aceh) menyelenggarakan pelatihan tentang perdamaian dan
rekonsiliasi. Mereka juga mengorganisasi desa-desa cinta
damai, istilah mereka untuk desa-desa multietnis
pascakonflik. Dalam dua tahun ini sudah terbentuk 16 desa
cinta damai. Namun, pekerjaan mereka masih panjang. Sebab
lebih dari seratus desa berada di kabupaten ini.
“Kebencian antarsuku itu bagaimana pun masih ada di
banyak tempat,” kata Beniati.
Dalam proses rekonsiliasi, isu tentang pembentukan Ko
misi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pengadilan Hak
Asasi Manusia ramai dibicarakan orang serta jadi perdebatan.
Saliza sangsi para pelaku kekerasan dapat diadili. “Karena
yang berbuat bukan cuma satu. Kalau diadili pun nggak bisa,”
katanya.
Linda Christanty 11
orangtua saya, maka saya tidak akan pernah kembali lagi untuk
tinggal lama, kecuali untuk datang berlibur. Kata-kata Ayah itu
terus melekat di benak sehingga saya jarang pulang kampung.
Setelah kepulangan saya yang pertama, saya tidak kembali ke
rumah selama 15 tahun. Pada kepulangan kedua, saya tidak ingat
lagi jalan ke rumah orangtua saya. Semua kelihatan asing,
muram, dan pudar. Ketika saya mengungkapkan hal ini kepada
Ibu, dia tertawa seraya berkata bahwa apa yang terlihat ganjil itu
sebenarnya wajar dan itu bukan lantaran saya tak pernah
melihatnya sebelum ini, melainkan dampak dari saya begitu lama
pergi dan tak ada lagi yang tersisa utuh dalam ingatan. “Ingatan
manusia terbatas,” kata Ibu, mencoba menghibur.
Ketika saya dan Ayah melewati jalan ke sekolah menengah
pertama saya dulu, saya juga merasa asing. Padahal dulu saya
selalu menyusuri jalan itu, pergi-pulang. Rumah-rumah yang
berjajar di kanan-kirinya tak satu pun yang membekas dalam
ingatan. Ibu mencoba meyakinkan saya dengan teorinya
tentang ‘perubahan’. Katanya, “Waktu kamu kecil, sweater
yang Mama bikin itu pas di badan. Nah, sekarang coba kamu
lihat, sweater itu kelihatan mengecil. Padahal bukan sweater
itu yang berubah jadi kecil, tapi kamu yang membesar.” Benar
juga. Saya memang berubah. Perjalanan waktu dan perbedaan
ruang telah mengubah pandangan dunia saya. Jalan, lorong,
dan rumah yang berasal dari masa lampau tetap di tempat
yang sama, sementara saya terus melangkah ke masa depan
dan bergerak maju.
Di tahun-tahun saya absen di rumah, setiap kali Idul Fitri,
Ayah selalu menerima tamu yang terdiri dari teman-teman
masa kecil saya. Ayah bercerita kepada mereka bahwa saya
adalah orang yang sangat keras hati dan tidak pernah rindu.
Dalam hatinya, Ayah merindukan saya datang. Dia berkata
Linda Christanty 25
Mendengar Bisikan
Sungai Brahmaputra
Namun, ada satu hal yang tidak saya pahami. Para peziarah harus
melepas sepatu dan sandal untuk masuk kuil. “Demi menjaga
kesucian,” kata penjaga tempat penitipan sepatu dan sandal.
Sementara di sudut kuil, menjulang bukit kecil kotoran kambing.
Bilik kecil berdinding jeruji dalam kuil ini pun menyuguhkan pe-
mandangan yang ganjil. Seorang perempuan dan bocah laki-laki
dikurung di dalamnya. Di kuil utama, sebuah kamar
mengeluarkan bunyi “embeeeeek....” dan
ternyata empat ekor kambing remaja terikat di situ, hewan-
hewan untuk persembahan. Bulan Oktober merupakan
puncak ziarah setiap tahun dan ada satu hari suci ketika
sekitar 5 juta orang berkumpul di Kamakhya. Tak
terbayangkan betapa ramainya, panas dan bermacam bau
meruap dari tubuh-tubuh manusia.
Pendeta mengoles tanda merah di kening saya sambil
mengucap sesuatu yang tidak saya mengerti. Perasaan saya
seperti telah menyudahi sebuah tugas. Artinya, saya bisa ber
gegas pergi.
perempuan diperkosa.
Pada 5 November 2000, Sharmila mogok makan. Dia
kemudian ditangkap, lalu dijebloskan ke penjara di Imphal,
ibukota Manipur. Dia juga berkali-kali harus dilarikan ke
rumah sakit karena menolak menghentikan aksinya.
Sharmila bukan politikus. Dia dulu bekerja sebagai tenaga
administrasi di sekolah untuk anak-anak buta. Namun, dia
belajar tentang keberanian dari neneknya, Tonsija Devi. Ne
neknya terlibat dalam perang melawan kolonialisme Inggris
pada 1939 yang dikenal dengan peristiwa Nupilan Kedua atau
Perang Perempuan. Devi membesarkan cucu-cucunya,
termasuk Sharmila, dengan dongeng dan kisah-kisah perla
wanan modern. Kisah-kisah tersebut memberi Sharmila
inspirasi dan rasa percaya diri. Nenek dan cucu begitu akrab.
Mereka rajin pergi ke kuil bersama, memuja Dewa Krishna.
Sebagian orang di Manipur kelak memeluk Kristen dan tidak
ada yang meninggalkan kepercayaan leluhur mereka.
Dalam biografi Sharmila yang ditulis Deepti Priya
Mehrota, Burning Bright: Irom Sharmila and the Struggle
for Peace in Manipur, terungkap bahwa dia menekuni yoga.
Barangkali itu pula yang membuatnya memiliki daya tahan
tubuh dan jiwa yang tangguh. Bobby Sands dari The Irish
Republican Army hanya sanggup mogok makan 66 hari di
Penjara Maze sewaktu memprotes pemerintah Inggris pada
1981. Sands terkapar dan meninggal dunia sesudah itu.
“Sharmila berjuang untuk mendukung hak-hak asasi ma
nusia. Manipur penuh dengan gerakan bawah tanah yang ber
beda tujuan dan masalah yang dihadapi orang-orang di sana,
sama dengan di Nagaland, kedua negara bagian ini juga penuh
korupsi,” tulis Khrievou.
Linda Christanty 53
Karbala
“To the people who have also lost loved ones without
cause: forgive us for having been unable to stop the tragedy.
We pray for the wounds to heal.
To the soldiers of all countries and of all centuries, who
were maimed for life, or who lost their lives: forgive us for
our misjudgments and what happened as a result of them.
To civilians who were maimed or killed or who lost their
family members: forgive us for having been unable to
prevent it.
To the people who have been abused and tortured:
forgive us for having allowed it to happen.
Know that your loss is our loss.
Know that the physical and mental abuse you have endured
will have a lingering effect on our society, and the world.
Know that the burden is ours.”
Kenangan Punne
Catatan:
Pada 22 Mei 2014, junta militer Thailand yang dipimpin
Jenderal Prayuth Chan -o-cha mengumumkan kudeta
terhadap pemerintahan Yingluck. Militer mengambil alih
kekuasaan dengan alasan demi mengamankan situasi dalam
negeri yang kacau sejak kelompok oposisi menggelar
serangkaian demontrasi menuntut Yingluck mundur dari
pemerintahan. Yinluck dan sejumlahnya menteri sempat
ditahan selama beberapa hari. Sampai hari ini, Thailand
masih diperintah junta militer.
10
SORE itu, Jumat, 7 Juni 2007, setelah kelas menulis usai, saya
pergi ke kedaton kesultanan Ternate. Bendera berlambang
kepala banteng gemuk berkibar di halaman muka kedaton,
bendera Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Dua perempuan hilir-mudik di halaman belakang. Mereka
bersanggul, mengenakan kebaya, dan kain sarung. Seorang
lagi duduk bersimpuh di teras, abdi kedaton yang siap
menunggu perintah. Tak berapa lama Syahrinnisad muncul di
ambang pintu, melangkah ke arah kami.
Dia mengenakan daster kuning bermotif bunga-bunga
putih. Kaki-kakinya berbalut kaos kaki putih yang dipadukan
dengan sandal krem. Tas putih diselempangkannya di tubuh.
Penampilan kakak sulung Sultan Ternate ini sama sekali tidak
seperti putri-putri kerajaan yang saya bayangkan.
Usianya sudah 76 tahun. Pipi-pipinya sudah kendor. Gigi-
giginya tidak lengkap lagi. Kacamata bertengger di hidungnya.
Syal merah jambu membungkus kepalanya, dengan gaya yang
mengingatkan saya pada penampilan Ibu dan bibi-bibi saya di
masa lalu ketika mereka berpiknik atau tamasya. Ujung-ujung
syal berbentuk segitiga itu diikat di bawah dagu, tetapi kali ini
tak ada kacamata hitam berbingkai lebar sebagai pelengkap
aksi. Di jari manis tangan kirinya melingkar cincin emas, tidak
berukir dan tidak berhias batu permata.
Kami duduk di kursi kayu berukir yang terawat, cokelat mengilat
oleh pelitur, berlapis bantalan-bantalan kuning. Sebuah alat
pengatur suara berada di dekat kami, yang biasanya
Linda Christanty 109
Maluku,” katanya.
Ketika kerusuhan terjadi pada 1999 itu, lalu kedaton
diserang, dia sedang berada di Jakarta.
“Tapi waktu saya datang, saya kumpulkan cerita dari sana-
sini,” ujarnya.
“Provokasi,” jawabnya, saat saya menanyakan
pendapatnya tentang penyebab kerusuhan.
“Mula-mula dari Ambon. Pada waktu itu Pak Harto
(presiden Suharto) lengser keprabon. Pada masa Pak Harto,
tentara-tentara dimanja sampai dengan lurah juga dimanja.
Mereka ini ‘kan ikut jatuh bersama Pak Harto. Jadi mereka
mulai menghasut. Di sana orang Islam dikeluarkan dari
Ambon. Di sini orang Kristen yang diusir,” lanjutnya.
“Nama Sultan diseret, disebut provokator. Jadi waktu itu
mereka, orang Kristen dan Cina, dikejar-kejar, lalu mereka
dilindungi di sini. Sultan melindungi mereka. Tapi waktu itu
keadaannya memang kacau. Waktu itu ada pemilihan bupati,
ditambah lagi ada masalah dengan hak tanah, kemudian ada
isu bahwa ibukota akan dipindahkan ke Halmahera Tengah.
Ada macam-macam hal, tumpang-tindih,” katanya.
Dia kemudian bercerita tentang perbedaan kesultanan di
Jawa dan di Ternate.
“Kami tidak mengenal sistem kasta. Dalam bahasa Ternate,
Toma kiye ma tubu jou se ngofa ngare (di atas gunung hanya
engkau dan aku). Kesetaraan. Karena itu, kami tidak punya
singgasana. Nita, istri adik saya (Mudaffar Syah), membawa dua
singgasana dari Yogyakarta, bikinan Jepara. Dia nggak tanya-tanya
dulu. Kalau di Yogya ada pengaruh Hindu. Meskipun mereka tidak
bicara kasta, tapi raja-raja Jawa itu dalam praktiknya tetap
menerapkan sistem kasta. Makanya di Ternate ini namanya kedaton,
artinya kedatuan. Di Jawa, keraton, yang
Linda Christanty 111
Barat.
Ketika keluar dari kedaton kesultanan pada pukul 18.01,
saya melihat bendera berlambang banteng gemuk itu sedang
diturunkan dari tiang di halaman.
Catatan:
Wawancara dengan Edib Bukvic dilakukan Tubagus Budhi
Firbany untuk membantu saya melengkapi tulisan ini. Pada 1999
Budhi menulis tentang pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan Drazen Erdemovic untuk kajian hukum internasional.
Drazen seorang mantan atlet karateka nasional Yugoslavia yang
membuat organisasi milisi untuk membantai orang-orang Bosnia.
Dia orang Kroasia kelahiran Bosnia. Kelak milisi Drazen ini
disubordinasikan dalam kesatuan pasukan federal Yugoslavia dan
dia jadi komandan unit detasemen Sabotase X. Pasukannya
membantai sedikitnya 1.500 etnis Bosnia. Dalam pengakuannya
di Mahkamah Internasional di Den Haag, Negeri Belanda, Drazen
mengakui telah membunuh 70 orang Bosnia dengan tangannya
sendiri. Perang Bosnia berlangsung dari tahun 1992 sampai tahun
1995.
13
Continental Club
seperti taco isi telur. Selain itu, ada restoran makanan panggang
atau bakar yang terkenal, Franklin Barbecue. Makanan Italia pun
sangat diminati. Vespaio yang sederetan dengan Continental Club
adalah salah satu restoran Italia terbaik di sini.
River Walk atau Paseo del Rio untuk makan siang. Bebek-bebek
asyik berenang di sungai yang berwarna kehijauan. Perahu-
perahu berisi turis melayari permukaan sungai yang tenang.
I love what you do to me, love what you make me see, about
Linda Christanty 131