Anda di halaman 1dari 4

"PENGERTIAN KAUM MUHAJIRIN & KAUM ANSHAR"

Kata muhajirin berasal dari kata 'hajara', yang berarti berhijrah. Sedangkan muhajirin berati
orang-orang yang berhijrah.Dalam sejarah islam, kata muhajirin biasanya dimaksudkan
kepada orang2 orang yang berhijrah bersama Rasulullah s.a.w dari kota Mekkah ke kota
Madina Dan kata Anshar berasal dari kata 'nashara' yang artinya menolong.
Sedangkan kaum Anshar berati kaum penolong.
Dalam sejarah islam, kata anshar biasanya dimaksudkan kepada umat islam Madinah yang
membantu Rasulullah s.a.w dan sahabatnya yang hijrah ke Madinah.
Kedua golongan ini merupakan contoh kongkrit kuatnya persaudaraan dalam islam.
Mereka telah memberikan contoh bagaimana sikap seseorang muslim dalam saling menolong
dan mengasihi sesama saudaranya yang muslim.
Berbeda dengan sekarang, umat muslim sangat mudah di adu domba & di pecah belah oleh
kaum lain. Seperti apa yg telah terjadi di Mesir, sesama kaum muslim saling perang saudara
dan telah banyak memakan korban.
Nabi Muhammad s.a.w bersabda : "Yang mencintai mereka (Kaum muhajirin & kaum
Anshar) hanyalah orang yang beriman dan yang membenci mereka hanyalah orang munafik.
Barangsiapa mencintai mereka, maka Allah s.w.t mencintainya. Dan barangsiapa membenci
mereka, maka Allah s.w.t membencinya".
SEJARAH PERSAUDARAAN ANTARA KAUM MUHAJIRIN DENGAN KAUM
ANSHAR
Secara umum, Islam menyatakan seluruh kaum muslimin adalah bersaudara sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah Azza wa Jalla surat al-Hujurt/49 ayat 10, yang artinya:
Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara. Konsekwensi dari persaudaraan itu,
maka Islam mewajibkan kepada umatnya untuk saling tolong-menolong dalam al-haq.
Namun yang menjadi fokus pembicaraan kita kali ini bukan persaudaraan yang bersifat
umum ini, tetapi persaudaraan yang bersifat khusus antara kaum Muhajirin dengan kaum
Anshr. Persaudaraan antara kaum Muhajirn dan kaum Anshr yang deklarasikan Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam memiliki konsekwensi lebih khusus bila dibandingkan dengan
persaudaraan yang bersifat umum.
Sebagaimana diketahui, saat kaum Muhajirin berhijrah ke Madinah tidak membawa seluruh
harta. Sebagian besar harta mereka ditinggal di Makkah, padahal mereka akan menetap di
Madinah. Ini jelas menjadi problem bagi mereka di tempat yang baru. Terlebih lagi, kondisi
Madinah yang subur sangat berbeda dengan kondisi Makkah yang gersang. Keahlian mereka
berdagang di Makkah berbeda dengan mayoritas penduduk Madinah yang bertani. Tak pelak,
perbedaan kebiasaan ini menimbulkan permasalahan baru bagi kaum Muhajirin, baik
menyangkut ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan juga kesehatan[1]. Mereka harus
beradaptasi dengan lingkungan baru. Sementara itu, pada saat yang sama harus mencari
penghidupan, padahal kaum Muhajirin tidak memiliki modal. Demikian problem yang
dihadapi kaum Muhajirn di daerah baru.

Melihat kondisi kaum Muhajirin, dengan landasan kekuatan persaudaraan, maka kaum
Anshr tak membiarkan saudaranya dalam kesusahan. Kaum Anshr dengan pengorbanannya
secara total dan sepenuh hati membantu mengentaskan kesusahan yang dihadapi kaum
Muhajirin. Pengorbanan kaum Anshr yang mengagumkan ini diabadikan di dalam AlQur`n, surat al-Hasyr/59 ayat 9 :



Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshr) sebelum
(kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka.
Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas
diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).
Berkaitan dengan ayat di atas, terdapat sebuah kisah sangat masyhur yang melatarbelakangi
turunnya ayat 9 surat al-Hasyr. Abu Hurairah Radhiyallahu anhumenceritakan:




Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam (dalam keadaan
lapar), lalu beliau Shallallahu alaihi wa sallam mengirim utusan ke para istri beliau
Shallallahu alaihi wa sallam . Para istri Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab:
"Kami tidak memiliki apapun kecuali air. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini? Salah seorang kaum Anshr
berseru: Saya, lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumah istrinya, (dan) ia
berkata: Muliakanlah tamu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ! Istrinya menjawab:
Kami tidak memiliki apapun kecuali jatah makanan untuk anak-anak. Orang Anshr itu
berkata: "Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau
mereka minta makan malam! Kemudian, wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan
lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu
dan memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan.
Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, sang suami datang
menghadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: Malam ini Allah tertawa atau taajjub dengan perilaku kalian berdua. Lalu Allah
Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya, (yang artinya): dan mereka mengutamakan (orangorang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka
berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang
yang beruntung Qs. al-Hasyr/59 ayat 9. [HR Bukhari]
Bagaimanapun pengorbanan dan keikhlasan kaum Anshr membantu saudaranya, namun
permasalahan kaum Muhajirin ini tetap harus mendapatkan penyelesaian, agar mereka tidak
merasa sebagai benalu bagi kaum Anshr. Disinilah tampak nyata pandangan Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam yang cerdas dan bijaksana. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam
kemudian mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshr.

Peristiwa ini, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat terjadi pada tahun pertama
hijriyah. Tempat deklarasi persudaraan ini -sebagian ulama mengatakan- di rumah Anas bin
Mlik,[2] dan sebagian yang lain mengatakan di masjid.[3] Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam mempersaudarakan mereka dua dua, satu dari Anshr dan satu lagi dari Muhajirin.
Ibnu Saad dengan sanad dari syaikhnya, al-Waqidi rahimahullah menyebutkan, ketika
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau Shallallahu alaihi wa sallam
mempersaudarakan antara sebagian kaum Muhajirin dengan sebagian lainnya, dan
mempersaudarakan antara kaum Anshr dengan kaum Muhajirin. Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka dalam al-haq, agar saling menolong, saling
mewarisi setelah (saudaranya) wafat. Saat deklarasi itu, jumlah mereka 90 orang, terdiri dari
45 kaum Anshr dan 45 kaum Muhajirin. Ada juga yang mengatakan 100, masing-masing 50
orang.
Imam Bukhri meriwayatkan dari Ibnu 'Abbs Radhiyallahu anhu, ketika kaum Muhajirin
baru tiba di Madinah, kaum Muhajirin bisa mewarisi kaum Anshr karena persaudaraan yang
telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , sedangkan dzawil-arhm
(kerabat yang bukan ahli waris) tidak.
Di antara contoh praktis buah dari persaudaraan yang dilakukan Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam yaitu kisah 'Abdurrahmn bin Auf Radhiyallahu anhu dengan Saad bin
Rabi Radhiyallahu anhu . Saad Radhiyallahu anhu berkata kepada 'Abdurrahmn
Radhiyallahu anhu : "Aku adalah kaum Anshr yang paling banyak harta. Aku akan membagi
hartaku setengah untukmu. Pilihlah di antara istriku yang kau inginkan, (dan) aku akan
menceraikannya untukmu. Jika selesai masa 'iddahnya, engkau bisa menikahinya.
Mendengar pernyataan saudaranya itu, 'Abdurrahmn Radhiyallahu anhu menjawab: Aku
tidak membutuhkan hal itu. Adakah pasar (di sekitar sini) tempat berjual-beli?
Lalu Saad Radhiyallahu anhu menunjukkan pasar Qainuqa. Mulai saat itu, 'Abdurrahmn
Radhiyallahu anhu sering pergi ke pasar untuk berniaga, sampai akhirnya ia berkecukupan
dan tidak memerlukan lagi bantuan dari saudaranya.[4]
Persaudaraan yang dijalin oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam terus berlanjut.
Ketika kaum Muhajirin sudah merasa biasa, tidak asing lagi, dan sudah mengetahui cara
mencari nafkah, maka Allah Azza wa Jalla menggugurkan syariat waris-mewarisi dengan
sebab tali persaudaraan seperti ini, namun tetap melanggengkan persaudaraan kaum
mukminin. Allah Azza wa Jalla berfirman :




Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu
maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di
dalam kitab Allah. [al-Anfl/8 : 75]
Dan firman-Nya :






Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris
mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin,
kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Yang demikian
itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). [al-Ahzb/33 : 6]
Peristiwa penghapusan saling mewarisi ini terjadi pada saat perang Badr. Ada juga riwayat
yang menjelaskan terjadi pada saat perang Uhud.
Ibnu Abbs Radhiyallahu anhu menyebutkan, yang digugurkan adalah saling mewarisi,
sedangkan tolong-menolong dan saling menasihati tetap disyariatkan. Dan dua orang yang
telah dipersaudarakan bisa mewasiatkan sebagian harta warisannya untuk saudaranya. Inilah
pendapat Imam Nawawi rahimahullah [5] .
Di antara bukti yang menunjukkan persaudaraan ini terus berlanjut namun tidak saling
mewarisi, yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salmn
al-Frisi Radhiyallahu anhu dengan Abu Darda Radhiyallahu anhu . Padahal Salmn
Radhiyallahu anhu masuk Islam pada masa antara perang Uhud dan perang Khandaq.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga mempersaudarakan antara Muawiyah bin Abi
Sufyn Radhiyallahu anhu dengan al-Hattt at-Tammi Radhiyallahu anhu . Juga antara Jafar
bin Abi Thlib Radhiyallahu anhu dengan Muadz bin Jabar Radhiyallahu anhu . Semua
peristiwa ini terjadi setelah perang Uhud. Ini menunjukkan persaudaraan itu masih
disyariatkan namun tidak saling mewarisi.
Pelajaran dan Hikmah
Sikap Abdurrahmn bin Auf Radhiyallahu anhu terhadap tawaran saudaranya, yaitu Saad
bin Rabi Radhiyallahu anhu , merupakan iffah atau menjaga harga diri dengan tidak
meminta-minta. Tampak kesiapan mental kaum Muhajirin untuk melakukan pekerjaan yang
sanggup mereka lakukan.

Anda mungkin juga menyukai