Anda di halaman 1dari 16

Draft Tugas Kuliah Kebenaran dan Pascakebenaran

Reza Gunadha
02740815

KEBENARAN DALAM KUASA WACANA


(Elaborasi artikel Michel Foucault ”The Discourse on Language” dan “Truth and Power”)

Ananda Badudu, mantan personel band duo "Banda Neira", kaget ketika lampu ruangan tengah
tempat dirinya bernyanyi tiba-tiba padam. Padahal malam belum larut. Jam masih
menunjukkan pukul 21.40 WIB. Ananda lantas beringsut turun dari panggung, meski lagu
"Esok Pasti Jumpa (Kau Keluhkan)" yang ia nyanyikan belum terselesaikan.

Namun, langkah Ananda ditahan tamu. Ia diminta membawakan satu lagi lagu. "Memang di
luar ada sesuatu ya? Ada yang konferensi pers malam-malam begini?" tutur Ananda,
berkelakar, yang disambut tawa penikmat musiknya.

Tawa para hadirin itu ternyata menjadi gelak terakhir yang membahana dari pentas seni "Asik
Asik Aksi: Indonesia Darurat Demokrasi" di gedung YLBHI, Minggu (17/9/2017) malam.
Selanjutnya, hawa gedung berubah mencekam yang mencabar ke setiap orang.

Massa mulai menyemut di depan pagar YLBHI. Mereka mengepung. Kata-kata cacian semakin
beragam dipekikkan. Mereka menuding, acara di YLBHI itu adalah bagian dari deklarasi
kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). YLBHI membantah tudingan tersebut. Acara
seni itu merupakan respons atas pelarangan dan pembubaran acara seminar sejarah
“Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966” yang diselenggarakan sehari sebelumnya
(Sabtu, 16/9).

Drama pengepungan kantor YLBHI itu berlangsung selama 5 jam, sejak Minggu malam hingga
Senin (18/9) dini hari. Selama itulah para peserta dan pengunjung acara tersebut tak bisa pulang
dan krisis air minum. Sementara di luar pagar, kerusuhan menyeruak.

Pengepungan dan kerusuhan tersebut, terjadi jauh setelah eksorsisme berdarah-darah


terhadap ”hantu-hantu” PKI sudah lama selesai dan sukses. PKI tetap distigma dan dilarang,
meski dunia internasional sejak dulu mengecam dan mendesak pemerintah berlaku jujur
mengakui adanya pembantaian tahun 1965-1967. Abdurrahman Wahid—presiden keempat
RI—yang sempat mengusulkan penghapusan peraturan pelarangan PKI serta pengajaran
Marxisme-Leninisme juga sudah lama almarhum. Sementara generasi milenial, banyak yang

1
lebih asyik mengomentari segala gosip selebritas di media-media sosial. Lantas, apalagi yang
ditakutkan dari pentas seni maupun seminar bertemakan tragedi politik dan kemanusiaan ’65?

Tampaknya, meski para peserta seminar, pentas seni, dan acara lainnya mengenai tragedi ’65
tak bersenjata, Negara beserta segala instrumennya dan banyak pihak lain tetap
mengkhawatirkan ”kebenaran” sejarah versi mereka tentang hal tersebut semakin tergerus.
Terlebih, kebenaran mengenai segala sesuatu yang terjadi seputar tragedi itu kekinian tak lagi
tunggal.

Pada tataran abstraksi, persekusi itu menunjukkan kegagalan beragam perangkat Negara
maupun pihak yang terlibat dalam mereproduksi secara simultan wacana/diskursus dominan
mengenai tragedi ’65. Dengan kata lain, menunjukkan subjek-subjek yang memproduksi
wacana lain mengenai tragedi ’65 masih belum bisa ‘dikucilkan’, ‘disalahkan’, dan dianggap
‘gila’ oleh khalayak. Guna mendedah dan menguji hipotesis ini, elaborasi Michael Foucault
mengenai diskursus dan kebenaran patut untuk dihadirkan.

A. Diskursus

Aksioma bahwa kata-kata yang membuncah dalam pernyataan, lirik lagu, maupun tulisan tak
lagi sekadar instrumen maupun medium konseptualisasi realitas, telah banyak dilontarkan para
pemikir. Tapi, di tangan Foucault, aksioma tersebut mendapat perhatian berlebih dengan
menekankan bahwa keseluruhan bahasa justru menjadi sentral dalam pembentukan konfigurasi
realitas, yakni dalam bentuk diskursus.

Secara umum, Foucault mengartikulasikan diskursus sebagai “Domain umum dari semua
pernyataan; terkadang sebagai kelompok pernyataan yang dapat dipersonalisasi, dan kadang-
kadang sebagai praktik yang diatur untuk menjelaskan sejumlah pernyataan.” 1 Sebagai
‘domain umum semua pernyataan’, diskursus ditempatkan sebagai diksi yang bisa dipakai
untuk merujuk seluruh ucapan maupun pernyataan bermakna dan memunyai sejumlah efek.

Sementara sebagai 'kelompok individual pernyataan', diskursus dipakai untuk mengartikan


ucapan yang telah dikelompokkan. Misalnya, diskursus mengenai seksualitas, hukum, Fasisme,
Marxisme, Kapitalisme, dan sebagainya. Sedangkan pada lain kesempatan, Foucault juga
mengartikan diskursus sebagai ‘aturan praktis yang menjelaskan sejumlah pernyataan’, yakni

1
Foucault, Michel, The Archaeology of Knowledge And The Discourse On Language, Translated by AM Sheridan
Smith, New York, Pantheon Books, 1972, hlm 80.

2
aturan-aturan tak tertulis dan struktur yang menghasilkan ucapan-ucapan atau pernyataan
bersifat partikular.

Namun, definisi seperti itu tidak lantas diskursus bisa diartikan secara ekuivalen dengan bahasa
(diskursus ≠ bahasa). Diskursus juga tak bisa diartikulasikan sebagai relasi sederhana antara
'wacana' dan realitas (diskursus <≠> realitas). Tak hanya itu, diskursus juga tidak bisa ditilik
sebagai sistem atau struktur yang bisa dipakai untuk mempersepsikan realitas (diskursus ≠
realitas ⌐> bahasa). Mengenai hal ini, Foucault dalam artikel berjudul “The Order of
Discourse”2 yang ia bacakan dalam kuliah inaugural di Collège de France, 2 Desember 1970,
mengatakan sebagai berikut:

Kita harus tidak membayangkan bahwa dunia berjalan ke arah kita sebagai paras yang
terbaca, yang mana kita tinggal menafsirkannya; Dunia bukanlah kaki-tangan
(accomplice) dari pengetahuan kita; tidak ada takdir prediskursif yang menampakkan
dunia sesuai dengan keinginan kita.3
Penjelasan tersebut juga sebenarnya menyanggah banyak pendapat yang menilai Foucault tidak
mengakui eksistensi keseluruhan objektifitas material dan memahami kesemuanya hanya
sebagai diskursus. Sebaliknya, Foucault berargumentasi bahwa subjek hanya bisa memikirkan
dan mempersepsi pengalaman benda-benda material dan dunia secara keseluruhan melalui
diskursus dan struktur yang ditimbulkannya pada pemikiran kita. Terlebih, ia menilai diskursus
justru menjadi hambatan subjek yang mempersepsikan dunia.

Dua teoritikus sosial yang dipengarungi Foucault—Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe—
menjelaskan hubungan antara diskursus dan dunia objektif yang diandaikan Foucault tersebut
sebagai berikut:

Fakta bahwa setiap objek mengonstitusi objek diskursus (wacana), tidak ada
hubungannya dengan apakah ada dunia yang terpisahkan dari pikiran… Gempa atau
jatuhnya batu bata adalah peristiwa yang pasti ada, dalam arti hal itu terjadi di sini dan
saat ini, terlepas dari kehendak saya. Tapi, apakah kekhususan mereka sebagai objek
dibangun dalam istilah 'fenomena alam' atau ungkapan 'murka Tuhan' bergantung pada
penataan bidang diskursif. Apa yang ditolak bukanlah bahwa benda-benda semacam itu

2
Dalam Young Robert (ed.), Untying the Text: A Post-structuralist Reader, London, Routledge, Kegan and Paul,
1981, hlm 48–79. Untuk diketahui “The Order of Discourse” dalam buku ini merupakan versi lain dari artikel
berjudul “The Discourse of Language” dalam buku Medina, Jose , dan Wood, David (Eds), Truth, Engagements
Across Philosophical Traditions, Oxford, Blackweel Publishing, 2005, hlm 315-333. Kedua teks ini bersumber
dari teks yang sama, yakni pidato Foucault di Collège de France, 2 Desember 1970. Perbedaannya hanya dalam
pemakaian diksi dan redaksional secara keseluruhan. Karenanya, dalam makalah ini, penulis menggunakan
kedua teks itu secara bergantian sebagai pembanding.
3
Ibid, hlm 67.

3
ada secara eksternal untuk dipikirkan, melainkan pernyataan penegasan yang bisa
mengonstitusikan dirinya sendiri sebagai objek di luar kondisi diskursif.4
Selain kecurigaan Foucault tak mengakui eksistensi dunia material, banyak pula yang
beranggapan diskursus sebenarnya terma yang sama secara artikulatif dengan ideologi dalam
tradisi Marxisme. Bahkan, analisis Foucault mengenai diskursus justru dinilai mereduksi
pemaknaan ideologi dalam peta filsafat maupun teori sosial. Dugaan seperti itu bukan tanpa
alasan kuat. Dalam German Ideology, misalnya, Marx mendefinisikan ideologi sebagai
“kesadaran palsu” mengenai realitas. Sementara Louis Althusser memperluas wilayah
operasional ideologi dari Marx, yakni tak hanya dalam pikiran, melainkan hidup dan
dihidupkan dalam tatanan sosial masyarakat melalui beragam institusi kelas seperti pendidikan,
penjara, keluarga, institusi agama, dan sebagainya untuk mempertahankan praktik akumulasi
modal.

Sekilas, kontur ideologi secara teoritis dalam tradisi Marxisme sama seperti penjelasan awal
Foucault mengenai diskursus. Sebab, yang disebut belakangan memang tak pernah melepaskan
eksposisinya mengenai diskursus dari eksplikasi tentang kekuasaan. Namun, dalam
operasionalnya, Foucault memberikan sejumlah kekhususan diskursus sebagai berikut:

Wacana tidak sekali dan untuk semua tunduk pada kekuasaan atau dikembangkan
melawannya, lebih-lebih lagi hanya diam. Kita harus membuat kelonggaran untuk
proses yang kompleks dan tidak stabil, di mana diskursus tak hanya bisa menjadi
instrumen dan efek kekuasaan, tapi juga rintangan, sebuah batu sandungan, titik
perlawanan dan titik awal strategi yang berlawanan. Wacana mentransmisikan dan
menghasilkan kekuasaan; dan bisa memperkuatnya, tapi juga menggangsir dan
memaparkannya, membuatnya rapuh dan memungkinkan untuk menggagalkannya.5
Dengan demikian, bagi Foucault, diskursus atau pernyataan-pernyataan umum yang beredar di
suatu masyarakat memunyai dua aras yang saling bertentangan. Pada satu sisi, pidato,
pernyataan, atau argumentasi yang termaterialisasi, praktis dibatasi oleh suatu mekanisme baku
untuk mempertahankan kekuasaan yang dominan. Tapi di lain sisi, dengan segala
keterbatasannya, diskursus juga menunjukkan daya implikatif mengagumkan sebagai upaya
mendeligitimasi konfigurasi dominan realitas peradaban manusia. Bisa dikatakan, diskursus
memunyai efek mengagumkan sekaligus menakutkan—menindas tapi juga bentuk
perlawanan—tergantung dari sudut pandang seseorang yang terkait dalam posisinya dalam

4
Laclau, E. & Mouffe, C. Hegemony and Socialist Strategy, London, Verso, 1985, hlm 108.
5
Foucault, Michel, History of Sexuality Volume 1, translated by Robert Hurley, Harmondsworth, Penguin, 1978,
hlm 100-101.

4
masyarakat. Tepat pada rumitnya dinamika diskursus inilah Foucault memfokuskan
elaborasinya, yang bermuara pada penilaian mengenai posisi “kebenaran”.

“Apa yang sangat berbahaya ketika orang-orang berbicara, dan pembicaraan itu menyebar?
Di mana letak bahaya itu?” tanya Foucault dalam pidatonya di Collège de France6. Untuk
mengurai pertanyaan tersebut, dia mengajukan suatu hipotesis tentang apa itu diskursus
sebagai berikut:

Aku mengandaikan setiap masyarakat memproduksi diskursus yang sekaligus dikontrol,


diseleksi, diorganisasi, dan diredistribusikan dengan merujuk pada sejumlah prosedur,
di mana fungsinya adalah untuk mencegah kekuatannya dan bahayanya, untuk
mengatasi segala kemungkinan, untuk menyingkirkan materialitasnya yang
mengerikan dan mengagumkan.7
Melalui hipotesis tersebut, Foucault justru mengajak memikirkan diskursus sebagai ‘ada yang
eksis’ karena pertarungan berebut dominasi antarberagam pernyataan. Satu diskursus
dihasilkan bertujuan untuk tetap dipertahankan dalam proses sirkulasi, sehingga harus
melawan diskursus lain yang menginginkan “ia” dikeluarkan dari sirkulasi. Selain itu,
diskursus harus dilihat sebagai sistem yang terstruktur dan membentuk cara pandang kita
mengenai realitas. Sementara di lain sisi secara bersamaan, diskursus juga harus diposisikan
sebagai sesuatu yang menghambat persepsi. Karenanya, konsentrasi Foucault terletak pada
pelarangan dan pembatasan yang menjadi inti dalam struktur produksi maupun sirkulasi sebuah
diskursus.

Secara umum, sistem pengucilan/pelarangan dan pembatasan diskursus tersebut tampak jelas
ketika setiap subjek—terutama yang hidup dalam tatanan demokratis—diandaikan bebas
berekspresi dan mengemukakan pendapat di muka umum. Namun, faktanya, secara sadar kita
memilih untuk menggulirkan wacana (pernyataan maupun tulisan) dalam batasan-batasan yang
sempit, baik dalam hal teknis, apalagi tema/topik.

Melalui pidato inauguralnya tentang “The Discourse on Language”/“The Order of Discourse”,


Foucault membahas “sistem pengucilan” dan “sistem pembatasan” tersebut. Sistem pengucilan
diskursus adalah tabu/larangan; pembagian dan penolakan/normal dan gila; dan, oposisional
benar-salah. Sementara sistem pembatasan diskursus dioperasikan melalui komentar;
pengarang; disiplin; dan, limitasi (rarefaction) subjek pembicara.

6
Foucault, Michel, "The Discourse on Language", dikutip dari Medina, Jose And Wood, David (Eds), Truth,
Engagements Across Philosophical Traditions, Oxford, Blackweel Publishing, 2005, hlm 316.
7
Loc.cit.

5
A.1 Sistem Pengucilan Diskursus

Dalam setiap bentuk masyarakat, bahkan yang diklaim paling demokratis dan liberal, bisa
dipastikan memunyai perangkat larangan atau tabu. Tidak ada satu pun yang memunyai
kebebasan tanpa batas untuk mengatakan sesuatu, kapan pun kita suka atau di mana pun kita
suka. Puncaknya adalah, tidak sembarangan orang bisa berbicara tentang apa saja. Foucault
menganalisis, setidaknya terdapat tiga tabu atau larangan dasar yang terdapat dalam setiap
tatanan sosial yang pada ranah operasionalnya berupa (1) menutupi/menyembunyikan objek;
(2) menjalani ritual yang berlaku dalam lingkungan; dan (3) hak eksklusif untuk membicarakan
subjek atau topik tertentu.8 Ketiga bentuk larangan tersebut berkelindan dalam jaringan yang
kompleks dan saling menguatkan satu sama lain.

Misalnya, pada masa Orde Baru, adalah hal yang tabu untuk sekadar membicarakan mengenai
kemungkinan suksesi Soeharto. Pada masa itu juga, adalah perilaku terlarang untuk menyebut
Soeharto tanpa predikat “bapak” yang juga diberlakukan untuk dunia jurnalistik. Kekinian,
terdapat pula tabu untuk mengatakan Indonesia negeri miskin melainkan “negeri sedang
berkembang”; daerah miskin menjadi “daerah tertinggal”; penggusuran menjadi
“pemindahan/relokasi”; penangkapan menjadi “diamankan”; kenaikan harga menjadi
“penyesuaian harga”; penjara sebagai “lembaga pemasyarakatan”; dan sebagainya.

Mengenai ritual dalam diskursus, misalnya, pada pengalaman banal pada hampir semua
masyarakat dunia memunyai kebiasaan membicarakan hal yang remeh temeh terlebih dulu
sebelum membicarakan topik utama sebagai bentuk kesantunan. Dalam kasus Indonesia, kritik
yang tajam mengenai praktik kekuasaan juga kekinian kerap kali dinilai sebagai “politik yang
tak santun”. Bahkan, dalam kasus terbaru, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, Arteria
Dahlan, marah ketika kelima pemimpin KPK dalam rapat pada tanggal 11 September 2017 tak
menggunakan predikat “yang terhormat anggota dewan” setiap kali menjawab pertanyaan-
pertanyaan dari legislator.

Sistem pengucilan melalui larangan lainnya adalah hak eksklusif untuk membicarakan subjek
atau topik tertentu. Contohnya, orang-orang yang dianggap ahli ekonomi memunyai otoritatif
untuk menunjukkan bahwa Indonesia kekinian sudah tak lagi bergantung pada utang luar
negeri. Badan Pusat Statistik (BPS) memunyai hak eksklusif untuk melansir data seperti jumlah
penduduk miskin yang presisinya sebenarnya masih bisa dipertanyakan. Sementara dalam

8
Loc.cit

6
jurnalistik, berita mengenai bentrokan petani dengan perusahaan seringkali dinilai tak laik
dipublikasikan kalau tak memuat konfirmasi dari perusahaan sebagai pihak yang dianggap
otoritatif untuk menjelaskan konflik. Sedangkan pernyataan pers dari perusahaan bisa dibuat
menjadi satu berita tersendiri tanpa diharuskan memuat pernyataan balasan dari petani.

Selain tabu dan ritual, Foucault juga memberikan perhatian terhadap sistem pembagian
(division) antara yang “waras” dan yang “gila”. Setiap subjek yang melontarkan pernyataan
atau tulisan yang dianggap mengganggu wacana besar dominan, kerapkali dianggap tak masuk
akal dan dikategorikan sebagai kebodohan atau ketidaktahuan. Konsekuensinya, pernyataan-
pernyataan seperti itu dianggap sebagai suatu kegilaan yang dianggap tidak pernah eksis.
Misalnya, setiap pihak yang menilai bentuk negara kesatuan republik Indonesia (NKRI)
dianggap tak waras dan pengkhayal. Begitu pula kelompok-kelompok yang menilai Indonesia
sebenarnya belum merdeka atau masih menjadi negeri jajahan atau semi-kolonial, praktis
dianggap pepesan kosong.

Foucault mengelaborasi pembagian antara waras dan gila ini dalam buku tersendiri berjudul
Madness and Civilisation (1967). Namun, dalam The Discourse of Language, Foucault
memberi insight mengenai pembagian itu sebagai berikut:

Seseorang akan marah kalau apa yang dibicarakannya dinilai tidak termasuk dalam
wacana umum. Kata-katanya dianggap tidak berlaku dan kosong, tanpa kebenaran atau
makna, tidak berharga sebagai bukti, tidak dapat diterima dalam praktik maupun
persetujuan, tidak cakap bahkan untuk sekadar melakukan transubstansiasi—tentang
transformasi roti menjadi daging dalam misa.... Apa pun yang dikatakan si gila
dianggap hanya suatu kebisingan yang tak diperlukan.9
Sistem pengucilan terakhir yang mendapat perhatian dari Foucault adalah, relasi
oposisional ”benar dan salah”. Dikotomi tersebut kerapkali menimbulkan aksi represif dari
pihak yang mengklaim ”benar” terhadap pihak yang dituding ”salah”. Namun, dalam tataran
diskursus, pembagian oposisional tersebut tampak berjalan alamiah, tak represif.”Secara
pasti”, kata Foucault, ”sebagai proposisi, pembagian antara benar dan salah tidaklah
sewenang-wenang, atau bisa dimodifikasi, tidak pula (bersifat) institusional, pun (berkarakter)
kekerasan.” 10 Bahkan, pembagian ”benar-salah” itu juga terkesan merupakan keniscayaan
dalam sejarah. Sebabnya, sepanjang sejarah manusia, perkembangan pengetahuan dianggap
sebagai perwujudan ”kehendak untuk kebenaran” (will of truth).

9
Ibid, hlm 317.
10
Ibid hlm 318.

7
Tapi, persoalannya, pembentukan dikotomi ”benar-salah” dalam diskursus yang dideterminasi
oleh ”will of truth”, menurut Foucault tidak berlangsung alamiah dan cenderung
manipulatif. ”Bagaimana mungkin seseorang bisa membandingkan batasan kebenaran
dengan pembagian seperti itu (benar-salah)?” gugat Foucault, ”Yang dimulai secara
sewenang-wenang atau setidaknya diorganisasikan dalam kontingensi historis; (benar-salah)
yang tidak hanya dapat dimodifikasi namun dalam kondisi yang selalu fluktuatif; yang
didukung oleh keseluruhan sistem institusi untuk memaksakan dan memperbaruinya; dan yang
dilakukan melalui pembatasan dan terkadang kekerasan?”11

Berdasarkan argumentasi itu, pada tataran proposisi dalam suatu diskursus, pembagian ”benar-
salah” tampak tidak sewenang-wenang. Kategori benar maupun salah pada level tersebut juga
tak bisa dimodifikasi oleh institusi maupun melalui tindak kekerasan. Terlebih,
pemilahan ”benar-salah” sebagai perwujudan ”will of truth” tersebut selalu ada dalam setiap
tahap perkembangan sejarah manusia dan lintas diskursus karena dinilai sebagai sesuatu yang
ahistoris—seperti yang dirumuskan sejak era Platon. Namun, pembagian ”benar-salah”
tersebut akhirnya mendeterminasi ”notre volonté de savoir” atau ”kehendak untuk
mengetahui”. Pernyataan-pernyataan yang dianggap mengandung kebenaran, diterima begitu
saja untuk menentukan ”benar-salah” beragam problematika atau diskursus selanjutnya.
Misalnya, setiap ada pertanyaan ”apakah ini?” maka diskursus mengenai hal itu selalu
didahului dengan paradigma seperti ”ini bukanlah itu”; ”hal itu adalah salah, karena yang
seharusnya adalah seperti ini”; dan sebagainya. Pada akhirnya, pembagian ”benar-salah”
tersebut justru semakin menampak sebagai sistem pengucilan terhadap argumentasi yang tak
sesuai dengan kategori kebenaran dominan. Dengan demikian,’kebenaran’ dalam diskursus itu
sendiri bersifat kesejarahan dan bisa dimodifikasi. Misalnya, setiap penyataan maupun tulisan
yang dianggap salah, bisa dipastikan tak lagi masuk dalam sistem sirkulasi diskursus dan segera
terlupakan atau ditinggalkan.

Lantas, bagaimana pembagian oposisional ’benar-salah’ itu terbentuk secara ”alamiah” dan
tersistematis sebagai alat pengucilan menurut Foucault?

..."kehendak untuk kebenaran" ini, sama seperti sistem pengucilan lainnya, tergantung
pada dukungan institusional: hal ini diperkuat dan disertai dengan keseluruhan strata
praktik seperti pedagogi, sistem perbukuan, penerbitan, perpustakaan, dan laboratorium.
Tapi, yang mungkin lebih mendalam adalah bagaimana pengetahuan diterapkan dalam

11
Foucault, Michel, 1981, Op.cit hlm 54.

8
masyarakat, cara mengeksploitasinya, pembagiannya, dan bagaimana
mengatribusinya.12
Untuk memperjelas bahwa pembagian oposisional ”benar-salah” selalu didukung oleh
institusi-institusi yang tengah dominan, Foucault mengutip idiom Yunani arkais mengenai
geometri dan aritmatika. Idiom tersebut secara simbolik mengaitkan bahwa aritmatika lebih
pantas diajarkan pada tatanan masyarakat demokratis. Sebabnya, artimatika mengajarkan
mengenai hubungan yang setara sehingga ikut melestarikan tatanan demokratis tersebut.
Sementara geometri lebih baik diajarkan kepada tatanan oligkaris, karena mendemonstrasikan
proporsi mengenai ketidaksetaraan.

Akhirnya, saya percaya bahwa ’kehendak untuk pengetahuan’ (will of truth) ini, yang
bergantung pada dukungan dan distribusi secara institusional, cenderung menggunakan
semacam tekanan, kekuatan yang menghambat wacana bentuk lain.13

A.2 Sistem Pembatasan Diskursus

Selain mendedah sistem pengucilan yang beroperasi sebagai prosedur eksternal diskursus,
Foucault menilai juga terdapat prosedur internal yang diterapkan untuk membatasi dan
mengendalikan diskursus. Disebut sebagai ”prosedur internal” karena sistem pembatasan
beroperasi di dalam pernyataan atau tulisan itu sendiri, yang berfungsi sebagai prosedur
klasifikasi, distribusi dan pemenuhan diskursus. Fungsi utama sistem pembatasan ini adalah
untuk membedakan siapa yang bisa menjadi "agen diskursus" otoritatif maupun yang tidak—
dengan demikian juga menentukan diskursus otoritatif dan yang bukan.

Prosedur internal diskursus pertama dalam sistem pembatasan yang menjadi perhatian Foucault
adalah pernyataan-pernyataan atau tulisan uraian; penjelasan; anotasi, atau yang disebutnya
sebagai "komentar". Hal ini merujuk pada tradisi pembahasan atas suatu narasi besar oleh
banyak pengarang yang ditujukan untuk terus mempertahankan keberadaan suatu diskursus
pada era lalu dalam proses sirkulasi. ”Tradisi komentar”—juga termasuk kritik literasi—
menjadi salah satu karakteristik banyak peradaban sejak sejarah membuktikan hampir tidak
ada masyarakat tanpa narasi utamanya yang terus diceritakan, diulang, dan bervariasi; baik
berupa formula, teks tertulis, maupun kumpulan pidato. Tradisi itu terus berkembang seiring

12
Foucault, Michel, 2005, Op.cit hlm 318-319.
13
Loc.cit, hlm 319.

9
laju peradaban karena terdapat kesamaan ide bahwa ada semacam ”harta karun” dalam
beragam tulisan maupun pernyataan tersebut, sehingga harus tetap digali dan dilestarikan.14

Namun, Foucault mencurigai bahwa teks-teks yang terus dilestarikan melalui teks-teks anotasi
itu tak terjadi secara alamiah. Kecurigaan itu diungkapkan Foucault sebagai berikut:

Aku menduga seseorang bisa menemukan semacam gradasi antara berbagai jenis
wacana dalam sebagian besar masyarakat: bentuk wacana yang ”diucapkan'' dalam
keseharian dan pertemuan santai (informal) yang menghilang setelah diutarakan; serta
bentuk wacana baru yang didasarkan dari hal tersebut dan menimbulkan sejumlah
pernyataan baru, mentransformasikan mereka (wacana terdahulu) atau berbicara
mengenai mereka, pendeknya, bentuk diskursus yang dibangun di bawah formulasi
mereka dan juga melampauinya, yang diulangi, diubah atau didiskusikan, tanpa batas
waktu, di luar perumusannya, dan yang tetap harus diucapkan.15
Contoh terbaik untuk memahami kecurigaan Foucault mengenai ”tradisi komentar” tersebut
adalah Platon yang menulis dialog-dialog Sokrates. Khalayak mengetahui ajaran-ajaran
Sokrates bukan dari ucapannya sendiri, melainkan dari tulisan-tulisan Platon. Sama seperti
banyak orang mencoba memahami pemikiran-pemikiran Karl Marx dari komentar-komentar
atau tafisan-tafsiran yang kerapkali bertentangan satu sama lain. Tradisi seperti inilah yang
dikritik oleh Foucault. Sebab, tak jarang narasi-narasi besar itu terkaburkan atau hilang,
sehingga teks-teks komentar yang ada kemudian justru menempati posisi utama sebagai
rujukan mengenai narasi besar tersebut.

Padahal, terdapat paradoks dalam hirarki peran serta fungsi teks komentar atau sekunder
terhadap teks primer yang menunjukkan gradasi. Pada satu sisi, teks komentar menjadi medium
untuk terus membuat diskursus baru yang bersifat infinitum. Teks-teks primer yang "berat",
keabadiannya, statusnya sebagai diskursus besar yang bisa dibawa pada situasi kekinian,
makna ganda atau tersembunyi di dalamnya, serta "kekayaan" lain yang diyakini masih
bersemayam di dalamnya, kesemua ini menciptakan sebuah ruang kemungkinan untuk sebuah
diskusi baru. 16 Tapi di lain sisi, apa pun teknik penafsiran atau anotasi yang digunakan,
komentar selalu berperan untuk mengungkap sesuatu yang tak terartikulasikan dan berada ”di
balik” teks primer.17

Dengan demikian, teks-teks anotasi memberikan kesempatan agar setiap orang mampu
mengatakan sesuatu selain teks (primer) itu sendiri. Tapi, syaratnya, teks primer yang

14
Foucault, Michel, 1981, Op.cit hlm 56.
15
Foucault, Michel, Op.Cit, 2005, hlm 320.
16
Foucault, Michel, Ibid, 2005, hlm 321.
17
Foucault, Michel, Op.cit, 1981, hlm 57.

10
dikomentari itu sudah dianggap ”final” atau diklaim sebagai kebenaran. Melalui elaborasi
mengenai hirarki teks primer dan teks sekunder ini, Foucault hendak menegaskan bahwa teks-
teks komentar justru harus diposisikan sebagai prosedur untuk tetap melestarikan teks-teks
primer yang dianggap mengandung kebenaran pada proses sirkulasi diskursus yang mutlak
atau terlepas dari perjalanan sejarah. Konsekuensi lainnya adalah, sang komentator juga
dianggap mampu menguasai suatu diskursus terdahulu yang dianggap benar—bahkan
melampaui ”agen diskursus” yang dikomentarinya mengenai sesuatu hal, sehingga mendapat
predikat otoritatif dan membentuk rezim kebenaran sendiri yang baru. Kesimpulan ini, erat
terkait dengan prosedur pembatasan diskursus kedua yang dibahas Foucault,
yakni ”pengarang”.

Bagi Foucault, pengarang bukan sekadar seseorang yang mengeluarkan pernyataan atau teks,
tapi lebih sebagai ”Prinsip pemersatu teks atau pernyataan diskursus tertentu, meletakkan
dasar-dasar pemaknaannya, dan sebagai tempat koherensinya.” 18 Karenanya, pengarang,
justru menjadi semacam jaminan bagi sifat kebenaran yang diklaim terkandung dalam satu atau
banyak diskursus yang diproduksinya.

Komentar membatasi bahaya wacana melalui tindakan identitas berupa pengulangan


dan persamaan. Sementara pengarang membatasi hal tersebut melalui tindakan sebuah
identitas yang bentuknya adalah individualitas dan ”ke-aku-an” (the I).19
Selanjutnya, Foucault juga memberikan perhatian terhadap disiplin keilmuan yang di dalamnya
termuat persoalan metodologi. Ia mewarisi tradisi kritis yang menilai bahwa setiap ”disiplin
ilmu” tidaklah bebas nilai atau tanpa pretensi apa pun terhadap kekuasaan. Sebaliknya,
Foucault justru menilai disiplin ilmu sebagai satu dari sistem pembatasan diskursus. Meski
sama-sama sebagai sistem pembatasan diskursus, disiplin ilmu sebagai prosedur pembatasan
diskursus bertentangan dengan cara operasional komentar maupun pengarang.

Disiplin bertentangan dengan komentar karena yang disebut terlebih dahulu bertujuan untuk
membuat pernyataan-pernyataan atau teks-teks baru, bukan sekadar pengulangan pengutipan.
Sementara disiplin juga berbeda dengan sistem pembatasan melalui pengarang, karena disiplin
lebih terkonsentrasi pada domain objek, rangkaian metode, corpus proposisi yang dianggap
mengandung kebenaran, peran pendefinisian dan peraturan teknik dan instrumen. Dengan
demikian, "disiplin" membuat kesemua hal tersebut semacam sistem anonim yang ada pada

18
Foucault, Michel, Ibid, 1981, hlm 58.
19
Foucault, Michel, Ibid, 2005, hlm 322.

11
siapa saja yang menginginkan atau dapat menggunakannya, tanpa makna atau keabsahannya
terkait dengan orang yang kebetulan merupakan penemunya.20

Lantas, bagaimana cara operasional disiplin sebagai sistem pembatasan diskursus? Satu
disiplin ilmu praktis memunyai perangkat metodologi yang diangkap sebagai satu-satunya
cara untuk mendapatkan kebenaran secara presisi. Karenanya, setiap proposisi yang
mengandung kebenaran tapi tidak memakai metodologi atau disiplin baku dari hasil konsensus,
tak bisa diakui keabsahannya. Pendek kata, ”setiap proposisi harus memenuhi sejumlah
persyaratan berat dan kompleks, sebelum dapat diterima dalam sebuah disiplin dan sebelum
bisa diucapkan benar atau salah.” 21 Terdapat banyak contoh mengenai sebuah proposisi
maupun teori yang pernah ditolak karena tak menggunakan disiplin ilmu yang baru. Misalnya,
teori genetika Gregor Mendel tentang hukum segregasi dan hukum golongan independen yang
pada awal abad ke-20 ramai-ramai ditolak oleh para botanis dan biologis. Tapi, ketika beragam
penelitian membuktikan kebenaran korespondensif teori Mendel, maka proposisi dirinya baru
diterima secara luas.

Penerimaan setelah penolakan setiap prosisi juga sebenarnya tak hanya terkait dengan tujuan
disiplin ilmu yang diklaim untuk mengalkulasikan kebenaran. Bagi Foucault, proses penolakan
maupun penerimaan suatu argumentasi, teori, merupakan cara lazim dalam mengontrol
produksi diskursus. ”Disiplin,” imbuh Foucault, ”merupakan sistem kontrol dalam produksi
wacana, memperbaiki batasannya melalui langkah identifikasi yang mengambil
bentuk ’pengaktifan kembali peraturan secara permanen’ (tanda kutip bukan dari
Foucault)”.22

Terakhir, Foucault mendedah mengenai peran limitasi (rarefaction) subjek pembicara sebagai
prosedur pembatasan diskursus. Limitasi ini berbeda dengan tiga sistem pembatasan diskursus
lainnya. Sebab, limitasi subjek pembicara tak lagi berurusan dengan penguasaan kekuatan
dalam diskursus itu sendiri. Limitasi ini juga tak terkait dengan pencegahan bahaya yang
terkandung dalam sebuah wacana. Area implementasi limitasi ini berada dalam penentuan
kondisi atau menerapkan sejumlah peraturan tertentu pada orang-orang yang dinilai otoritatif
untuk memproduksi atau terus mempertahankan suatu diskursus dalam proses sirkulasi.

20
Foucault, Michel, Op.cit, 1981, hlm 59.
21
Foucault, Michel, Op.cit, 2005, hlm 323.
22
Foucault, Michel, Op.cit, 2005, hlm 324.

12
Dengan begitu, sisi lain limitasi atau sistem kualifasi pembicara otoritatif itu adalah,
menyempitkan akses masuk setiap orang ke sebuah diskursus.23

Limitasi itu sendiri diterapkan melalui kualifikasi-kualifikasi yang dibuat untuk memberikan
predikat dan berkorelasi pada setiap diskursus. Misalnya, seorang ahli ekonomi; ahli politik;
ahli hukum; dan seterusnya. Predikat keahlian tersebut membuat setiap subjek yang
mendapatkannya memunyai otoritas untuk menyatakan pendapat atau menuliskan teks
pernyataan yang dianggap benar dan bisa dipercaya. Dalam lingkup yang lebih luas, Foucault
menyebutkan terdapat korelasi antara limitasi subjek pembicara dengan ”ritual” dalam sistem
pengucilan.

Sistem yang paling dangkal dan jelas dari sistem restriktif ini dibentuk oleh apa yang
secara kolektif disebut sebagai ritual; ritual mendefinisikan kualifikasi yang dibutuhkan
pembicara (siapa yang berdialog, interogasi atau pembacaan, harus menempati posisi
dan merumuskan jenis ucapan apa).... Akhirnya, kesemua itu mengharuskan atau
bahkan memaksakan makna-makna terhadap orang-orang yang mereka hadapi, suatu
pembatasan terhadap validitas mereka.24
Foucault mengindikasikan limitasi itu terorganisasi dalam seluruh institusi pendidikan.
Karenanya, ia menggugat klaim banyak pihak yang menyatakan bahwa institusi pendidikan
merupakan medium bagi proses sirkulasi diskursus yang terbuka. Setidaknya, ia menyiapkan
dua argumentasi untuk menyangga gugatan yang diajukannya terhadap institusi pendidikan
tersebut. Pertama, institusi pendidikan menerapkan seluruh sistem pengucilan maupun sistem
pembatasan yang dipraktikkan oleh para pengajar terhadap si anak didik. Foucault bahkan turut
memerhatikan detail proses belajar-mengajar di institusi pendidikan yang secara hakiki
merupakan indoktrinasi. Misalnya, para pengajar selalu mendapat porsi paling banyak dan
dominan di kelas-kelas, sehingga menyempitkan ruang "diskusi" dua arah. Kedua, Foucault
menilai institusi pendidikan juga sebagai medium untuk terus mempertahankan limitasi subjek
pembicara. Beragam institusi pendidikan menjelma sebagai dinding pemisah antara calon-
calon agen diskursus otoritatif dengan keseluruhan masyarakat sekaligus diskursus yang tak
otoritatif.

Singkatnya, mari kita katakan bahwa (institusi pendidikan) ini adalah peraturan utama
untuk penundukan wacana. Bagaimana pun, apa lah sistem pendidikan itu, jika bukan
ritualisasi kata; jika bukan kualifikasi dan penetapan peran yang pasti untuk subjek
pembicara; jika bukan konstitusi penyebaran doktrin; jika bukan sistem distribusi dan
aproriasi diskursus dengan semua pengetahuan dan kekuatannya?25

23
Loc.cit
24
Foucault, Michel, Op.cit, 2005, hlm 324-325.
25
Foucault, Michel, Ibid, 2005, hlm 326.

13
Keseluruhan argumentasi yang dilontarkan Foucault mengenai diskursus berikut pula sistem
pembatasan serta pengucilannya ini sekilas tampak memunyai kecenderungan pesimisme.
Sebab, ia menolak definisi kebenaran yang ”take for granted” sebagai sesuatu yang berada ”di
atas realitas”. Namun, ia juga menegaskan kebenaran yang bersifat duniawi itu tidak bersifat
ahistoris, sehingga konsekuensinya adalah, kebenaran selalu berada dalam kontingensi.
Persisnya, kebenaran bisa dikatakan mementaskan dirinya bak pendulum yang terus berayun
ke setiap sisi, fluktuatif, tak pasti. Lantas, bagaimana cara untuk ‘mengenali’ kebenaran?

B. Kebenaran/Kekuasaan

Foucault secara berani menegaskan bahwa kebenaran tidak berada di luar lingkar kekuasaan.
Penegasannya ini berbanding terbalik dengan proposisi-proposisi yang menempatkan
kebenaran pada tingkat tertinggi pencapaian roh yang bebas atau yang ia istilahkan sebagai
"anak yang berada dalam kesunyian berkepanjangan". Kebenaran tak pula merupakan hak
istimewa yang didapat seseorang ketika mampu membebaskan dirinya sendiri.

Bagi Foucault, kesemua proposisi mengenai "kebenaran" selalu terkait kekuasaan. Karenanya,
kebenaran adalah sesuatu yang mewujud di dunia, bukan suatu yang melampaui realitas.
"Kebenaran," tegasnya, "adalah sesuatu yang ada di dunia ini. Kebenaran diproduksi hanya
berdasarkan berbagai bentuk pembatasan. Dan hal itu secara reguler menginduksi efek
kekuasaan.” 26
Foucault lantas memberikan setidaknya lima karakteristik umum dari
kebenaran/kekuasaan yang disebutnya sebagai "politik ekonomi kebenaran".27

Pertama, kebenaran berpusat dalam bentuk diskursus ilmiah dan institusi yang
memproduksinya. Hal inilah yang menjadi alasan utama Foucault mengartikulasikan
kebenaran juga sebagai kekuasan. Untuk mempertegas kesamaan itu, Foucault secara teknis
menggunakan tanda baca garis miring untuk menunjukkan kesamaan sifat maupun wujud
kedua hal tersebut (kebenaran/kekuasaan). Kedua, kebenaran adalah subjek konstan dari
dorongan ekonomi dan politik. Dalam hal ini, ia hendak menegaskan bahwa produksi
kebenaran menjadi bagian penting yang terus dilakukan—sama seperti mesin-mesin produksi
pabrik yang diharuskan tetap menghasilkan barang-barang komoditas—demi mempetahankan
tatanan sosial yang dominan. Ketiga, kebenaran juga menjadi objek yang secara simultan
disebar dan dikonsumsi secara massal. Keempat, kebenaran diproduksi dan disalurkan di
bawah kendali perangkat politik dan ekonomi yang dominan—jika tak mau dibilang

26
Foucault, Michel, Ibid, 2005, hlm 333.
27
Dirangkum dari Foucault, Michel, Truth and Power, dikutip dari: Ibid, 2005, hlm 333-335.

14
eksklusif—seperti universitas, militer, beragam buku, dan juga media massa. Terakhir, kelima,
kebenaran adalah isu dari keseluruhan perdebatan politik dan konfrontasi sosial, yakni
perjuangan ’ideologis’.

Melalui karakterisasi tersebut, Focault lantas memberikan sejumlah proposisi untuk membantu
mengenali apa itu kebenaran. Proposisi itu antara lain ialah, kebenaran harus dimengerti
sebagai sistem prosedural yang memerintahkan untuk produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi,
dan pengoperasian pernyataan-pernyataan. Kebenaran juga harus dimengerti melalui
hubungannya yang sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi sekaligus
mempertahankannya. Persisnya sebagai sebuah "rezim" kebenaran. Sebagai 'rezim', kebenaran
karenanya turut berperan penting dalam pembentukan formasi dan pembangunan tatanan sosial
semisal kapitalisme yang kekinian menjadi konfigurasi dominan di dunia.

Dalam pendedahannya mengenai kebenaran dan kekuasaan, Foucault juga mencoba


menunjukkan peran intelektual yang menjadi konsekuensi logis dari proses produksi dan
sirkulasi diskursus. Setelah mengoreksi bahwa kebenaran tak pernah lepas dari lingkar
kekuasaan, maka intelektual juga tak bisa diposisikan sebagai orang-orang yang bebas nilai.
Karenanya, kategori oposisional yang inheren dalam polemik mengenai peran intelektual di
tengah masyarakat juga harus diubah seperti yang dibahasnya dalam artikel ’Truth and Power’.
Pada artikel itu—tampaknya juga ditujukan untuk mengkritik proposisi Althusser—Foucault
menilai adalah kesia-siakan kalau membahas problematika peran intelektual dalam
kategori ’sains’ versus ’ideologi’. Untuk diketahui, dalam argumentasi Althusserian, ’sains’
merupakan diksi yang merujuk pada (ilmu) pengetahuan yang hakiki atau tanpa pretensi
menindas atau terkooptasi kekuasaan. Sementara ’ideologi’, dalam tradisi pemikiran
Althusserian, dipakai untuk mengidentifikasi beragam (ilmu) pengetahuan yang sebaliknya.

Sebagai alternatif, Foucault menawarkan pembahasan peran intelektual dengan


memikirkannya menggunakan kategori ’kebenaran’ dan ’kekuasaan’. Dengan demikian, tugas
intelektual tidak lagi mengajukan kritik ideologi yang terfokus pada proyek—meminjam istilah
Foucault sendiri—”mengemansipasi kebenaran” dari setiap sistem kekuasaan yang dianggap
merusak seperti kapitalisme. Proyek seperti itu adalah upaya para intelektual untuk mengubah
kesadaran massa sehingga menyadari klaim-klaim kebenaran dominan bisa digugat dan
menggantinya dengan kebenaran sejati. Menurutnya, proyek seperti itu cenderung seperti
chimera (tak masuk akal), karena kebenaran itu sendiri sebenarnya sudah berkuasa dan itulah
yang hakiki (kebenaran/kuasa). Karenanya, yang terpenting untuk diperankan para intelektual

15
adalah mengubah tatanan ekonomi politik yang secara institusional memproduksi kebenaran
untuk kepentingan melestarikan hegemoni dominan.

Masalah politik yang esensial bagi intelektual bukanlah untuk mengkritik isi ideologis
yang diduga terkait dengan sains, atau untuk memastikan bahwa praktik ilmiahnya
disertai dengan ideologi yang benar, namun memastikan adanya sebuah konstitusi baru
politik kebenaran. Masalahnya bukan mengubah kesadaran orang—atau apa yang ada
di kepala mereka—tapi pada politik, ekonomi, dan institusi produksi kebenaran.28
***
Daftar Pustaka
Foucault, Michel, The Archaeology of Knowledge And The Discourse On Language,
Translated by AM Sheridan Smith, New York, Pantheon Books, 1972

______________, “The Order of Discourse” dalam Young Robert (ed.), Untying the Text: A
Post-structuralist Reader, London, Routledge, Kegan and Paul, 1981

______________, “The Discourse of Language” dalam Medina, Jose, and Wood, David
(Eds), Truth, Engagements Across Philosophical Traditions, Oxford, Blackweel Publishing,
2005

_______________, History of Sexuality Volume 1, translated by Robert Hurley,


Harmondsworth, Penguin, 1978

_______________, “from Truth and Power” dalam Medina, Jose, and Wood, David (Eds),
Truth, Engagements Across Philosophical Traditions, Oxford, Blackweel Publishing, 2005

Laclau, E. & Mouffe, C. Hegemony and Socialist Strategy, London, Verso, 1985

28
Ibid, hlm 334.

16

Anda mungkin juga menyukai