Anda di halaman 1dari 4

EPISTEMOLOGI AL-KINDI CREATIO EX NIHILO

Oleh : Maulana Ahmad FA


PENDAHULUAN

Al-Kindi adalah salah satu filsuf islam pertama yang membuka jalan bagi filssuf-filsuf muslim
setelahnya. Pemikiran metafisika Al-Kindi beranjak dari gagasan Aristoteles tentang kebenaran pertama.
Kebenaran pertama Aristoteles adalah penggerak pertama dari semua kebenaran. Seperti yang dikutip
oleh A.khudori yang menurut Atiyeh para filsuf Yunani mulai dari Plato hingga Plotinus percaya bahwa
semesta tercipta dari yang ada. Bagi para filsuf Yunani, mencipta adalah membuat sesuatu dari hal yang
ada sebelumnya (Creatio ex materia). Pemikiran ini yang menurut Thomas Aquinas mengistilahkan Tuhan
yang menyebabkan alam ini bergerak dari potensia ke actus karena tuhan adalah sebab yang mencukupi
(efficient cause). Sebab yang mencukupi ini lahir karena adanya akibat, akibat pertama yang lahir dari
sebab awal melahirkan sebab kedua, sebab kedua melahirkan akibat kedua dan seterusnya hingga tak
terhingga, ketakterhinggaan ini adalah sebab yang mencukupi lahirnya sebab dan akibat seterusnya, dan
dialah tuhan. Lain pendapat dengan Al-Kindi yang percaya bahwa Tuhan itu pencipta dan bukan gerak
pertama sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles dan Aquinas. Bagi Al-Kindi alam bukan kekal di
zaman lampau (qadim) tetapi merupakan sebuah permulaan. Dari sinilah dalam analisis Harun nasution,
Al-Kindi lebih dekat dengan pemikiran Plotinus yang mengatakan bahwa Yang maha satu adalah sumber
dari alam ini dan sumber dari segala sesuatu yang ada akan tetapi paham emanasi kurang jelas terlihat
dalam filsafat Al-Kindi. Lebih jauh dari itu menurut Al-Kindi Tuhan itu tidak hanya sebagai penggerak
pertama, terlebih dalam agama nya Al-Kindi meyakini bahwa tuhan nya melebihi dari sekedar gerak
pertama tadi.

PEMBAHASAN

Teori penciptaan semesta mempunyai sejarah yang panjang dalam pemikiran manusia. Menurut
Atiyeh para filosof Yunani secara keseluruhan; mulai Plato, Aristoteles sampai Plotinus, berpandangan
bahwa semesta tercipta dari yang ada. Sebab, bagi mereka, apa yang disebut sebagai mencipta adalah
membuat sesuatu yang baru berdasarkan apa yang ada sebelumnya ( creatio ex materia), baik lewat
gerakan atau emanasi. Artinya, dalam pandangan filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta dalam makna
yang sesungguhnya, dari tiada menjadi ada, melainkan hanya sebagai penggerak atau pewujud realitas,
dari alam potensialitas kepada alam aktualitas. Konsekuensinya, alam menjadi qadîm, tidak terbatas dan
abadi karena gerak atau emanasi Tuhan adalah qadîm, tidak terbatas dan abadi; suatu teori penciptaan
yang tidak dapat diterima oleh kaum teolog muslim manapun. Al-Kindi juga menolak teori tersebut dan
sebagai gantinya memunculkan gagasan bahwa alam tercipta dari yang tiada ( creation ex nihilo),
sebagaimana yang diyakini dalam teologi Islam. Menurutnya, semesta ini terbatas, tidak abadi dan tercipta
dari yang tiada. Namun, argumentasi yang digunakan tidak bersifat teologis melainkan filosofis, dan itu
didasarkan atas prinsip-prinsip logika Aristoteles sendiri. 1 Ada dua prinsip Aristoteles yang digunakan oleh
al-Kindi: (1) bahwa sesuatu yang tidak terbatas tidak dapat berubah menjadi terbatas yang berwujud dalam
bentuk yang aktual; (2) bahwa materi, waktu dan gerak adalah muncul secara serentak, bersamaan. Dari
sini Al-Kindi membuat 9 pernyataan yaitu :
1. Dua besaran sama jika salah satunya tidak lebih besar dari yang lainnya, berarti adalah sama.
2. Jika satu besaran ditambahkan pada salah satu dari dua besaran yang sama tersebut, maka
keduanya menjadi tidak sama.
3. Jika sebuah besaran dikurangi, maka sisanya adalah lebih kecil dari besaran semula
4. Jika suatu besaran diambil sebagiannya, kemudian sebagiannya tersebut dikembalikan lagi
maka hasil besarannya adalah sama seperti sebelumnya.
5. Besaran yang terbatas tidak dapat berubah menjadi tidak terbatas, begitu juga sebaliknya
6. Jumlah dua besaran yang sama jika masing-masing bersifat terbatas, adalah terbatas
7. Besaran alam aktualitas adalah sama dengan besaran alam potensialitas
8. Dua besaran yang tidak terbatas tidak mungkin salah satunya menjadi lebih kecil daripada
lainnya.
9. Apa yang dimaksud sebagai lebih besar adalah dalam hubungannya dengan bagian yang
lebih kecil, dan yang disebut sebagai lebih kecil adalah dalam hubungannya dengan yang
lebih besar.2

Dari 9 pernyataan diatas Al-Kindi kemudian membuktikan kebenaran pandangannya. Pertama, jika
kita menyatakan bahwa semesta ini tidak terbatas, maka kita juga harus menyatakan bahwa wujud aktual
dari semesta ini tidak terbatas. Dan ini tentu bertentangan dengan wujud aktual yang terbatas
sebagaimana disebutkan oleh Aristoteles. Kedua, jika wujud semesta ini diasumsikan tidak terbatas ini kita
ambil sebagiannya, maka sisanya dapat berupa wujud tidak terbatas sebagaimana keseluruhannya, atau
menjadi wujud terbatas. Namun jika dikatakan terbatas, maka ada dua hal yang sama-sama tidak terbatas,
dan itu mengimplikasi bahwa keseluruhan adalah sama bagiannya dan itu tidak masuk akal.

1 Madani, abu bakar. Filsafat Al-Kindi, 2015 hal 109.


2 Soleh, Khudori. Filsafat Islam, 2016 hal 79.
Jika dikatakan menjadi wujud terbatas, maka hal itu bertentangan dengan pernyataan bahwa yang
tidak terbatas tidak mungkin melahirkan yang terbatas. Ketiga, jika sebagiannya yang diambil tadi kita
dikembalikan lagi, maka hasilnya adalah sebagaimana yang ada sebelumnya. Namun, ini
mengimplikasikan ada sesuatu yang tidak terbatas (keseluruhan) yang lebih besar dari dari sesuatu yang
tidak terbatas lainnya (bagian); sesuatu yang tidak masuk akal. Berdasarkan kontradiksi diatas, maka
menurut Al-Kindi semesta ini tidak lain harus bersifat terbatas, dan karena terbatas maka tidak abadi
tentunya tercipta dari yang tiada ( Creatio ex nihilo).

Dalam hal ini tentu menyangkut masalah waktu dan gerak yang juga tidak qadim dan tidak abadi
tersebut. Menurut Al-Kindi waktu tidak sama dengan gerak, justru waktu adalah bilangan pengukur gerak.
Bilangan sendiri ada dua, yakni yang sendiri dan yang berkesinambungan. Waktu termasuk bilangan yang
berkesinambungan karena merupakan jumlah dari yang dahulu dan berikutnya. Jika menurut Aristoteles
waktu adalah qadim, mak waktu tidak terbatas. Jika waktu tidak terbatas maka tidak akan ada istilah waktu
lalu, waktu sekarang. Disini sesuatu yang tidak terbatas tidak dapat berubah menjadi yang terbatas, maka
kita tidak dapat membayangkan adanya waktu tanpa permulaan. Disini dapat kita ketahui juga bahwa
waktu tidak qadim, ada permulaan dan terbatas tentunya mereka tercipta dari sesuatu yang sebelumnya
tidak ada (creatio ex nihilo). Dalam pemikirannya Al-Kindi berarti memiliki konsep sendiri yang tidak sama
dengan Aristoteles, sama juga halnya dengan plato yang berpendapat bahwa semesta ini terbatas dalam
waktu, tetapi tidak terbatas dengan ruang (materi) yang mana bagi Al-Kindi baik itu waktu, materi dan
semesta sama-sama terbatas. Meski demikian, Al-Kindi memiliki kesesuaian dengan Plato dalam masalah
hubungan gerak dan waktu. Menurut keduanya waktu muncul seiring bersama gerak dan perubahan,
dimana ada gerak dan perubahan berarti disitu ada waktu, begitu pun sebaliknya. Karena Tuhan tidak
berubah maka tidak Dia tidak berkaitan dengan waktu yang tentunya qadim.

KESIMPULAN

Berawal dari pemikiran Aristoteles tentang waktu, gerak dan penggerak awal yang mana bersifat
qadim Al-Kindi mulai berupaya untuk menjelaskan bahwa Tuhan tidak hanya sebagai penggerak pertama,
akan tetapi lebih dari itu. Al-Kindi juga tidak sependapat tentang gerak dan waktu yang qadim karena bagi
Al-Kindi, gerak dan waktu merupakan hal yang berbeda. Dimana ada gerak dan perubahan sudah tentu
ada waktu, karena, jika waktu bersifat qadim, maka tidak akan ada masa lalu dan sekarang, dari sini tentu
telihat orisinalitas pemikiran Al-Kindi yang berbeda dengan Aristoteles, juga dengan Plato. Akan tetapi
masih ada kesinambungan antara Al-Kindi dan Plato dalam pembahasan gerak waktu dan perubahan.
DAFTAR PUSTAKA

Madani, Abu bakar. 2015. "Pemikiran Filsafat Al-Kindi."

Soleh, Khudori. 2016. Filsafat Islam dari Klasik hingga kontemporer. Yogjakarta: AR-RUZZ Media.

Anda mungkin juga menyukai