Anda di halaman 1dari 18

Filsafat dalam Pandangan Al-Ghazali

Banyak orang yang memahami filsafat Al-Ghazali dengan kacamata


kuda bahwa Al-Ghazali tabu dengan filsafat, bahkan menentang
filsafat. Tudingan ini perlu dikaji secara mendetail dengan lebih
dahulu memahami apa yang dimaksud filsafat oleh Al-Ghazali dan
filsafat apa yang boleh dan tidak boleh. Kajian ini perlu diungkap
untuk memetakan Al-Ghazali sebagai filsuf dan sufi, serta fuqaha.

Kerangka berpikir Al-Ghazali perlu ditelusuri secara komprehensif.


Karena filsafat menggunakan logika (akal) dengan kajian
analisisnya, perlu ditelusuri apa yang dimaksud dengan akal dan
bagaimana posisi akal. Inilah titik tolak Al-Ghazali dalam
memandang filsafat dan ilmu lainnya. Yusuf Qardhawi yang
mengutip kitab Ma’arijul Al-Quds menyatakan, Ketahuilah bahwa
akal tidak akan mendapat petunjuk, kecuali dengan syara’, dan
syara’ tidak akan jelas, kecuali dengan akal. Akal bagaikan
landasan, sedangkan syara’ bagaikan bangunan. Begitu pula,
hubungan antara syariat dan akidah (ilmu kalam) dan hakikat
(tasawuf).  Dalam kitab Ihya Al-Ulum Ad-Din, dijelaskan bahwa
sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf, seseorang harus
memperdalam ilmu tentang syariat dan akidah (kalam) terlebih
dahulu secara tekun dan sempurna. Dalam hal ini, syariat dan ilmu
kalam sebagai landasan, sedangkan tasawuf laksana sebuah
bangunan.

Filsafat Al-Ghazali tergambar dari masa hidup Al-Ghazali yang


tumbuh subur berbagai macam aliran agama dan filsafat.
Sebagaimana ia katakan sebagai berikut: ... sumber kekufuran
manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf
besar seperti Sokrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lain...,
mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam
menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya,
ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam dan
teologi..., mereka juga mendengar bahwa para filsuf itu
mengingkari semua syariat agama, tidak percaya pada dimensi-
dimensi ajaran agama. Para filsuf meyakini bahwa agama adalah
ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi
keindahan...

Menurut Al-Ghazali, filsafat terbagi enam bagian, ilmu pasti, ilmu


logika, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu politik, dan ilmu akhlak.
Pada dasarnya Al-Ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat
tersebut, kecuali filsafat ketuhanan (metafisika) karena para filsuf
sangat mengagungkan peranan akal yang mengalahkan agama dan
syariat sebagaimana dijelaskan dalam kutipan di atas. Adapun
menurut Juhaya S. Praja, hasil filsafat bersifat spekulatif,
artinya hasil yang diperoleh dari penyelidikan filsafat baru berupa
dugaan belaka, dan bukan kepastian.

Menurut Al-Ghazali, secara teoretis, akal dan syara tidak


bertentangan secara hakiki karena semuanya merupakan cahaya
petunjuk dari Allah SWT. Demikian juga, ditinjau dari segi praktis,
tidak ada hakikat agama yang bertentangan dengan hakikat ilmiah.
Al-Ghazali melihat bahwa satu sama lainnya saling mendukung dan
saling membenarkan. Hal ini terbukti dari ungkapan berikut ini: ...
Akal adalah penentu hukum yang tidak dijauhkan ataupun diganti.
Akal adalah saksi syara’. Akal adalah saksi yang secara murni dan
adil mengatakan bahwa dunia adalah kampung tipuan bukan
kampung bahagia... tempat berjual beli bukan tempat gedung
apartemen. Dunia adalah tempat transaksi yang modalnya adalah
ketaatan. Ketaatan itu ada dua macam; amal dan ilmu. Ilmu adalah
ketaatan terbaik dan beruntung. Ilmu termasuk salah satu amal,
yaitu amalan hati yang merupakan anggota tubuh yang termulia.
Ilmu juga merupakan upaya akal sebagai benda termulia, karena
akal adalah sandi agama dan pemikul amanat...

Secara lebih terperinci, Al-Ghazali menjelaskan hubungan antara


akal dan syara’ dalam kitab Ihya Ulum Ad-Din. Ia menyeru
penggabungan ilmu-ilmu akal dengan ilmu-ilmu agama bahwa: ...
Adalah bodoh orang yang menyeru untuk sekadar taklid dan
mengesampingkan akal secara total. Tertipulah seseorang yang
mencukupkan dirinya dengan akal saja dan mengabaikan cahaya
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Anda jangan termasuk ke dalam dua
kelompok tadi, tetapi jadilah orang-orang yang menggabungkan
antara akal dan cahaya syara. Ilmu-ilmu akal bagaikan makanan,
sedangkan ilmu-ilmu syara’ bagaikan obat..

Menurut Al-Ghazali, Akal bagaikan penglihatan sehat, sedangkan Al-


Qur’an bagaikan matahari yang menebarkan sinarnya. Satu sama
lain saling membutuhkan, kecuali orang-orang bodoh. Orang yang
mengabaikan akal dan mencukupkan diri dengan Al-Qur’an
bagaikan orang yang melihat cahaya matahari dengan menutup
kelopak mata. Tidak ada bedanya antara orang seperti ini dengan
orang buta.

Dengan demikian, akal tidak mungkin menetapkan suatu kebenaran


yang dinafikan syara’ dan syara’ tidak akan membawa suatu
keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal.

Al-Ghazali menyerang kaum filsuf dalam kitab Tahafu Al-


Falasifah karena berlebihan dalam menggunakan akal, menetapkan
sesuatu tanpa bukti atas nama akal, dan menafikan sesuatu yang
tidak ada dalil-dalil syara’ yang menafikannya. Bahkan, dalam
kitab Al-Munqidz Min Al-Dhalal, dijelaskan bahwa orang yang
mengingkari pendapat para filsuf dalam hal gerhana bulan dan
matahari, dengan mengatasnamakan agama, dan mengingkari hal-
hal yang berkaitan dengan ilmu pasti yang dianggap cabang filsafat
lama, padahal semuanya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan,
tidak ada jalan untuk mengingkarinya. Dari uraian di atas tampak
tidak ada pertentangan antara akal dan syara’. Selanjutnya, Al-
Ghazali menjelaskan bahwa akal dan syara’ memiliki keistimewaan
masing-masing dan memiliki bidang kompetensi yang tidak pernah
dilanggar. Filsafat dalam pandangan Al-Ghazali ketika membuat
spesifikasi akal dalam menetapkan dua masalah besar agama,
yaitu wujudullah dan nubuwwat.

Uraian tentang hal itu dijelaskan dalam kitabnya, Al-Mustashfa,


bahwa wujudullah, qudrat, iradat, dan ilmu-Nya dapat ditetapkan
oleh akal. Apa yang tidak dapat ditetapkan oleh akal tidak dapat
ditetapkan oleh syara’. Demikian juga, masalah penciptaan alam
dan pengutusan para rasul termasuk sifat Jaiz bagi Allah SWT. Allah
SWT berkuasa untuk berbuat demikian dan membuktikan
kebenaran para rasul dengan mukjizat karena Allah tidak akan
menyesatkan hamba-hambanya.

Filsafat ketuhanan dan kenabian ini berimplikasi pada status


hukum, yang menjadi polemik
antara Mu’tazilah dan Asya’ariahtentang status orang Islam ketika
para rasul belum diutus, apakah berdosa atau tidak. Al-Ghazali
berpendapat bahwa tugas akal adalah membenarkan syara’ melalui
penetapan pencipta alam, dan kenabian yang diberikan kepada
hamba yang dipilih-Nya.
BACA JUGA

 Leila Ahmed. Pemikiran Gender dalam Karya-Karyanya


 Nawal El-Saadawi. Perempuan di Titik Nol
 Pemikiran Fatima Mernissi tentang Kesetaraan

Hal itu termaktub dalam mukadimah kitab Al-Mustashfa bahwa ilmu


paling mulia adalah ilmu yang menggabungkan akal dan naql,
menyertakan pendapat dan syara’. Ilmu fiqh dan ushul fiqh adalah
ilmu macam ini karena mengambil syara’ dan akal yang bersih
secara bersama-sama. Akan tetapi, Al-Ghazali melihat bahwa dalam
bidang amaliah ini terdapat bidang yang haram dimasuki akal, yaitu
mengetahui hukum terperinci dari ibadat-ibadat syar’iyah karena
hukum-hukum ibadah ini, aturan dan kadarnya, telah ditentukan
oleh Nabi. Maksudnya, akal tidak dapat memahami mengapa sujud
dalam shalat jumlahnya dua kali lipat ruku’, shalat Subuh rakaatnya
separuh shalat Ashar, dan seterusnya. Hal ini merupakan wilayah
cahaya kenabian (nur nubuwwat) meminjam istilah Yusuf
Qardhawi, Bukan dengan instrumen akal.

Berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa ilmu logika (akal)


menurut Al-Ghazali merupakan instrumen untuk memahami dalil-
dalil syariat. Akan tetapi, akal atau berfilsafat yang tahu akan
batasnya dan tidak menghalangi dirinya untuk mendapat nur yang
lebih besar, yaitu nur wahyu ilahi, meminjam istilah Yusuf
Qardhawi. Dengan kata lain, akal atau berfilsafat membenarkan
hukum secara pasti, atau paling tidak, menurut Juhaya S. Praja,
bahwa berfilsafat adalah berpikir secara mendalam tentang
sesuatu; mengetahui apa (mahiyah), bagaimana, dan nilai-nilai
sesuatu itu.

Agak sulit dan pelik untuk menempatkan Al-Ghazali dalam sejarah


filsafat Islam karena memerlukan kajian secara mendalam dalam
memetakan karya-karya Al-Ghazali. Di samping itu, Al-Ghazali tidak
menganggap dirinya sebagai filsuf dan tidak suka dianggap sebagai
filsuf. Fakta yang menarik adalah bahwa para pemikir Kristen Abad
Pertengahan, yang membaca karyanya Maqashid Al-Falasifah—
sebuah paparan argumentatif dan objektif tentang tema-tema
filosofis penting pada zamannya—menganggapnya sebagai seorang
filsuf, seperti halnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Hal ini tidak berarti
bahwa Al-Ghazali mempelajari dan mengasimilasikan filsafat secara
mendalam sebagaimana terlihat dari daya tarik teoretis dan
kekuatan strukturnya, tetapi juga menyebabkan kita percaya bahwa
filsafat berpengaruh tidak langsung atas pemikiran tasawufnya. 

Lebih jauh, meskipun Al-Ghazali—yang pada dasarnya adalah


teolog, sufi, dan faqih—menyerang keras filsafat dengan berusaha
menunjukkan kontradiksi-kontradiksi, tasawuf dan teologinya tidak
boleh dianggap sekedar doktrin praktis dan religius, mengingat
keduanya mempunyai kedalaman teoretis yang mengesankan.
Selain itu, kitab Tahafut Al-Falasifah merupakan bentuk nyata Al-
Ghazali dalam memahami filsafat. Karya lainnya yang lebih
monumental yang mampu menggabungkan ilmu fiqh, kalam, ilmu
filsafat dan tasawuf, yaitu Ihya Ulum Ad-Din (4 jilid).

Atas dasar karya-karya tersebut, Al-Ghazali layak disebut filsuf. Hal


ini terbukti setelah AL-Ghazali wafat, Ibnu Rusyd mengkritik filsafat
Al-Ghazali. Sebuah pengakuan yang tidak diakui secara langsung
bahwa Al-Ghazali adalah filsuf.

Untuk melihat filsafat Al-Ghazali, perlu diketahui hal-hal apa saja


yang dikritisi oleh Al-Ghazali. Dengan demikian, kita dapat memulai
dan tahu filsafat Al-Ghazali sekaligus dapat memetakan tipikal
filsafat yang dikehendakinya. 

Setelah menganalisis paham atau ajaran yang ada dalam filsafat,


baik yang berasal dari pengaruh Yunani maupun orisinalitas dari
para filsuf Muslim. Al-Ghazali memberikan pemetaan masalah,
sekaligus memberikan ulasan terhadap masalah tersebut, yaitu:
(1) Alam itu azali
(2) Alam itu abadi
(3) Allah SWT adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan-Nya
(4) Menetapkan adanya Pencipta
(5) Membangun argumen untuk menunjukkan kemustahilan adanya
dua Tuhan
(6) Menafikan (meniadakan) sifat-sifat Tuhan
(7) Substansi Al-Awwal (Tuhan) bukanlah jenis (genus) dan bukan
pula diferensia
(8) Al-Awwal (Tuhan) adalah wujud yang simpel tanpa esensi
(9) Al-Awwal (Tuhan) bukan tubuh
(10) Adanya masa dan meniadakan pencipta alam
(11) Al-Awwal (Tuhan) mengetahui selain diri-Nya
(12) Dia (Tuhan) mengetahui substansi-Nya
(13) Al-Awwal (Tuhan) tidak
mengetahui juz’iyyat (yang juz’il individual/partikular)
(14) Langit adalah awan yang bergerak dengan iradah (kehendak)

(15) Memberikan keterangan tentang tujuan yang menggerakkan


langit
(16) Jiwa-jiwa langit mengetahui semua juz’iyyat (semua
yang juz’i/individual/partikular)
(17) Kemustahilan terjadinya kejadian luar biasa
BACA JUGA
 Nawal El-Saadawi. Perempuan di Titik Nol
 Pemikiran Fatima Mernissi tentang Kesetaraan
 Pemikiran Feminisme Fatima Mernissi dalam Karya-
Karyanya
(18) Jiwa manusia adalah substansi yang berdiri dengan dirinya
sendirinya, bukan dengan tubuh, dan bukan pula dengan aksiden
(19) Kemustahilan fananya jiwa-jiwa manusia
(20) Mengingkari kebangkitan tubuh-tubuh manusia, untuk
merasakan kesenangan jasmaniah di surga dan kepedihan jasmani
di negara

Dengan segala kemampuan daya nalarnya, Al-Ghazali membatalkan


pendapat-pendapat pada nomor-nomor: (1), (2), (6), (7), (8), (13),
(15), (16), (17), dan (20); memandang lemah argumen-argumen
mereka pada nomor-nomor: (4), (5), (9), (11), (12), (14), (18),
dan (19); dan menyatakan bahwa pendapat nomor (3) bukan
pendapat mereka yang sebenarnya. Seharusnya, mereka
berpendapat seperti pada nomor (10). Pada akhir bukunya, Tahaful
Al-Falasifah Al-Ghazali mengkafirkan paham nomor (1), yaitu
pendapat bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the past),
paham nomor (13), yaitu pendapat bahwa Tuhan tidak
mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang yuz’i/individual/partikular) dan
paham nomor (20), yaitu paham yang mengingkari adanya
kebangkitan tubuh di hari akhirat. Itu berarti bahwa siapa saja yang
menganut salah satu dari tiga paham tersebut, menurut Al-Ghazali,
jatuh ke dalam kekafiran. Adapun paham-paham yang lain apabila
dianut, tidak membawa pada kekafiran, meskipun paham-paham itu
tidak benar atau tidak kuat argumentasinya/dalilnya.

Secara khusus, ia berpendapat bahwa para filsuf menjadi kafir


karena tiga masalah: Kekekalan dunia (tesis khas  Aristoteles);
ketidakmungkinan Tuhan mengetahui hal-hal partikular (tesis yang
dipegang kuat-kuat oleh Ibnu Sina); dan penolakan terhadap
kebangkitan jasmani dan mortalitas jiwa individu, teori naturalistis
yang tidak meluluAristoteles. Ketiga masalah ini cukup untuk
mentransformasikan peran filosofis menjadi teori yang berpotensi
merusak. Sekalipun para filsuf terbesar pada umumnya tidak dapat
dituduh kafir (Al-Ghazali 1928: 6-7), doktrin-doktrin mereka
menggiring orang menolak detail-detail agama dan kredo, dan
memercayai bahwa semua itu adalah hukum dan karya buatan
manusia (Al-Ghazali, 1928:5).

Bagi Al-Ghazali, jika alam dikatakan qadim(tidak bermula: tidak


pernah tidak ada), mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu
diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadim-nya alam membawa
pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak
diciptakan Tuhan. Ini bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an yang
jelas menyatakan bahwa Tuhan menciptakan segenap alam (langit,
bumi, dan segala isinya). Bagi Al-Ghazali, alam tidak qadim. Ini
berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada,
kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping
adanya Tuhan.

Adapun bagi para filsuf Muslim, seperti Al-Farabi  dan Ibnu Sina,


paham bahwa alam itu qadim tidak dipahami sebagai alam yang
ada dengan sendirinya. Alam itu qadim karena Tuhan
menciptakannya sejak azali. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada
sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan
alam. Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta,
kemudian baru menciptakan alam, menurut mereka, menunjukkan
berubahnya Tuhan. Menurut mereka, Tuhan mustahil berubah. Oleh
sebab itu, mustahil pula Tuhan berubah dari awalnya tidak atau
belum mencipta, kemudian mencipta.

Apa sebenarnya landasan berpikir Al-Ghazali sehingga mengatakan


bahwa alam itu tidak qadim dan Tuhan yang qadim? Kerangka
filosofis yang ia tawarkan adalah titik tolak yang benar dan ortodoks
harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai Wujud tertinggi dan
Kehendak unik yang bertindak secara aktual. Prinsip pertama
adalah Maha Mengetahui, Mahaperkasa, dan Maha Berkehendak.
Dia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang Dia
kehendaki; Dia menciptakan semua makhluk dan alam
sebagaimana Dia kehendaki dan dalam bentuk yang Dia
kehendaki (Al-Ghazali, 1928:131).

Al-Ghazali sangat menekankan kehendak Tuhan, suatu sifat yang


mentransformasikan diri dalam potensi (dan aktualitas) tindakan.
Dengan mempertimbangkan premis-premis ini, adakah tempat bagi
sebab-sebab alamiah atau cause secundae dalam sistem pemikiran
Al-Ghazali? Masalah kausalitas mungkin merupakan masalah yang
paling banyak dibahas dalam literatur historiografis tentang pemikir
ini. Bahkan, belakangan ini sarjana menggarap masalah ini
(Goodman, 1978).

Begitu pula, anggapan bahwa Al-Ghazali menolak secara mutlak


keberadaan kausalitas alamiah adalah keliru. Menolak fakta bahwa
api membakar kepala adalah sangat bodoh. Yang ditolak Al-Ghazali
adalah keberadaan hubungan yang niscaya antara sebab dan akibat
yang terlepas dari kehendak Tuhan yang menciptakan hakikat
membakar. Jika dunia yang mungkin (contingent world) adalah
dunia tempat segala kemungkinan (the world of all possibility), Al-
Ghazali mengklaim bahwa kemungkinan ini hanyalah arena
tindakan bebas Tuhan. Kesulitannya bukan terletak pada
keberadaan objektif hal-hal konkret hanya karena Tuhan
menciptakan mereka. Problem epistemologinya terletak pada
kemustahilan menghubungkan secara langsung suatu akibat pada
suatu sebab. Sebab-sebab dapat senantiasa hipotesis, dan satu-
satunya kepastian yang kita miliki adalah bahwa semua itu
merupakan akibat-akibat dari kehendak Tuhan. Demikian pula,
dalam penciptaan alam, bahwa kehendak Tuhanlah yang paling
utama bahwa alam itu diadakan setelah Dia ada.

Al-Ghazali mengemukakan konsep yang sama pada tempat lain


dalam Tahafut (Al-Ghazali, 1928: 277-8). Akan tetapi, ia selalu
menekankan kenyataan bahwa Tuhanlah yang menciptakan kaitan
antarfenomena: Mengenai apa yang secara lahiriah tampak
berhubungan... itu bergantung pada tindakan Allah SWT yang
menentukan (taqdir), yang menciptakan (penampakan-
penampakan) dalam suatu rangkaian (‘ala al-tasawuq). Bahkan,
Tuhan dapat menjungkirbalikkan hukum-hukum alam dan
menundukkan fungsi-fungsi alam pada hukum yang sama sekali
baru. Hal ini tidak berarti bahwa Tuhan benar-benar bertindak
dengan cara seperti itu atau bahwa Dia tidak memberikan sifat-sifat
alamiah pada api atau air untuk membakar dan memadamkan. Oleh
karena itu, layak untuk tidak berlebih-lebihan dalam menyikapi nilai
skeptis beberapa pernyataan Al-Ghazali seperti berikut: Karena itu,
saya mulai merenungkan dengan sangat tekun persepsi-indra
(mahsusat) dan kebenaran yang niscaya (dharuriyyat), untuk
melihat apakah hal itu menjadikan diri saya ragu. Hasil dari usaha
yang berkepanjangan untuk memunculkan keraguan itu adalah
bahwa saya tidak lagi percaya pada persepsi-indra (Al-Ghazali,
1967a: 23).
Persoalan tentang filosofis ini tercatat dalam sejarah filsafat Islam
dalam lembaran diskusi panjang Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd. Al-
Ghazali dengan kitabnya Tahafut Al-Falasifah(kerancuan dalam
filsafat), sedangkan Ibnu Rusyd dengan kitabnya Tahafut al-
Tahafut(kerancuan dalam kerancuan). Upaya menjembatani dua
karya tersebut, telah diteliti dan dikaji oleh Oliver Leaman dalam
bukunya An Introduction to Medieval Islamic Philosophy (Cambridge
University, London, 1985).

Oliver Leaman dalam bukunya menyebutkan diskusi antarfilsuf


berlangsung berkenaan dengan masalah filsafat keabadian alam,
Tuhan tidak tahu Juziyat dan kebangkitan jasmani.

Al-Ghazali menolak konsep filosofis yang mengatakan bahwa dunia


ini kekal dan diciptakan melalui proses emanasi dengan bahan
dasar yang bersifat kekal dan secara terus-menerus mengambil
bentuk yang berbeda. Ia menerima pendapat bahwa dunia
diciptakan oleh Tuhan dari benar-benar tiada, pada waktu yang lalu
secara terbatas. Bahan (matter) dan bentuk (form) dari dunia ini
dahulu telah diciptakan oleh Tuhan dalam tindakan yang asli seperti
itu. 

Sebaliknya, menurut pemahaman filosofis ajaran Aristoteles yang


dianut pula oleh Ibnu Rusyd, setiap perubahan yang terjadi harus
ditentukan oleh sebab yang berada di luar dirinya. Hal ini tidak
hanya berlaku untuk objek-objek fisik, tetapi juga berlaku untuk
keadaan pikiran. Oleh karena itu, besar kemungkinan, jika Tuhan
menginginkan suatu perubahan terjadi, beberapa sebab yang
datang dari luar dirinya harus ikut mengatur atau menuntunnya ke
arah terwujudnya keputusan itu. Seandainya alam semesta ini
dalam jumlah keseluruhannya ada, dan bukan ada untuk
seterusnya, hal ini akan menimbulkan kesulitan. Hal itu tidak berarti
tidak akan ada sesuatu di luar benak pikiran Tuhan yang dapat
memengaruhinya dalam membuat keputusan tentang keberadaan
dunia karena tidak ada sesuatu pun yang ada, kecuali Tuhan.
Sekarang, pengalaman kita bahwa dunia telah ada, kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa persoalan sejenis ini tidak dapat
mencegahnya untuk berada. Dalam keadaan seperti itu, dunia ini
harus benar-benar ada untuk seluruh waktu atau selamanya, suatu
pernyataan yang jika diterima, akan mengelak atau
mengesampingkan secara perlahan-lahan masalah keharusan
menerangkan perubahan pertama yang menciptakan dunia ini
muncul. Dengan model penciptaan alam melalui emanasi, dunia ini
terus-menerus akan terpancar dari yang Satu. Sifat yang Satu itu
untuk memproduksi apa yang seharusnya diproduksi dan
bagaimana hal itu diproduksi. Jika pada suatu waktu, Tuhan tidak
ada, tanpa adanya sesuatu yang lain, sebelum Dia menciptakan
dunia, apa yang mendorongnya untuk menciptakan dunia pada saat
pertama kali? Mulanya, tidak ada sesuatu apa pun di sekitarnya
yang dapat memengaruhinya dan Dia dapat saja untuk tetap terus-
menerus dalam keadaan sempurna dan tidak bergerak. Akan tetapi,
kita tahu bahwa dunia ini ada dan kita percaya bahwa Tuhan
menciptakannya, dan kita dapat memahami arti kenyataan ini, jika
kita mengakui bahwa ciptaannya bersifat abadi.
Al-Ghazali memberikan ulasan bahwa Tuhan dengan mudah
mewasiatkan secara abadi agar dunia tercipta pada waktu tertentu
pada masa mendatang jika Dia menginginkan begitu. Sebenarnya,
menurut petunjuk Al-Qur’an, apa yang perlu dikatakan Tuhan
adalah, Jadilah, maka jadilah ia (Q.S. [3]:42). Mengapa Dia tidak
dapat membubuhi tanggal sebenarnya, begitu dikatakan, beberapa
waktu kemudian daripada tanggal keberadaan alam semesta? Dunia
ini dapat berada pada waktu tertentu pada kemudian hari.
Keberatan pihak filsuf terhadap kemungkinan seperti itu adalah
adanya beberapa alasan seseorang yang menginginkan sesuatu,
yang ia sendiri mampu melaksanakan tugas itu pada waktu
tertentu, kemudian berhenti tanpa melaksanakan pekerjaannya.
Jika ia menginginkan X dan dapat memperoleh X, mengapa ia harus
menunggu dalam tempo waktu tertentu, setelah pelaksanaan
tindakan dapat dilaksanakan untuk memuaskan keinginannya?
Pasti, di sana tidak akan ada halangan yang dapat merintangi
kekuasaan Tuhan untuk melaksanakan tujuan-tujuannya.

Al-Ghazali menantang pendapat yang menyatakan bahwa keinginan


ketuhanan tidak dapat menghasilkan akibat yang diundur. Mengapa
harus ada rintangan untuk menerangkan gejala seperti itu? Dalih
apa yang dimiliki para filsuf sehingga mereka benar-benar
mengesampingkannya? Ia berpendapat dan mendukung adanya
kemungkinan akibat atau hasil sesuatu yang diundur dengan
mengetengahkan keterangan yang mengandung kilah tentang
kemauan Tuhan (divine) akan terlaksana dengan baik. Jika kita
kembali pada pokok persoalan sebelumnya, yakni bahwa para filsuf
meragukan kemungkinan suatu akibat atau hasil yang diundur
karena tidak ada dorongan yang dapat dipahami untuk mengundur
waktu, kita dapat melihat bahwa di sana ada masalah yang
menyangkut penciptaan alam semesta pada waktu tertentu, bukan
waktu tertentu yang lain. Jika Tuhan benar-benar menciptakan
dunia pada waktu tertentu, Dia menentukan untuk menciptakannya
pada waktu itu dan bukan pada waktu yang lain. Hal itu
menunjukkan bahwa Dia tidak bertindak secara serampangan. Akan
tetapi, sebelum segala sesuatu ini ada, kecuali Tuhan, apa alasan
yang mungkin dimiliki Tuhan untuk menciptakan dunia pada waktu
tertentu itu? Dalam hal ini, tidak ada sesuatu yang lain yang
mendorongnya, kecuali pikirannya sendiri, dan mengapa Dia lebih
menyukai satu waktu dan bukannya satu waktu yang lain?

Lebih lanjut, Al-Ghazali menjelaskan: ... menurut keyakinan kamu,


kamu tidak dapat membayangkan hal ini (adanya keinginan yang
menyebabkan suatu hal atau akibat yang diundur), apakah kamu
mengetahuinya melalui keniscayaan akal ataukah melalui proses
deduksi? Kamu bisa memegangi bukan yang satu dan bukan yang
lain. Akan tetapi, tindakan membandingkan Dzat Tuhan dengan
kemauan manusia merupakan analog yang jelek. Demikian pula,
analog serupa yang kamu terapkan pada masalah yang
menyangkut pengetahuan Tuhan. Sekarang, sebagaimana kita akui
bahwa pengetahuan Tuhan berbeda sekali dengan pengetahuan kita
dalam beberapa hal, bukan tidak masuk akal untuk mengakui
adanya perbedaan dalam keinginan... Bagaimana kamu akan
menolak orang-orang yang mengatakan bahwa bukti rasional yang
melapangkan jalan untuk mengukuhkan suatu kualitas di dalam
Dzat Tuhan, dan kualitas itu akan membedakan dua hal yang
sama? Selain itu, kita pun tidak dapat menyamakan kemauan
manusia dan mengakui bahwa hal demikian tidak dapat
dibayangkan dapat terjadi. Bayangkan ada tanggal yang serupa di
hadapan seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk mengambil
keduanya, tetapi tidak sanggup mengambil keduanya sekaligus.
Maka yang pasti, dia akan mengambil salah satu dari mereka,
melalui kriteria kualitas yang disukainya, dengan kualitas yang
menjadi alat untuk membedakan antara dua hal yang serupa...
Setiap orang yang mempelajari cara kerja yang sebenarnya
daripada tindakan mengambil keputusan, baik dalam diri manusia
maupun Tuhan, harus mengakui kualitas tertentu, dengan kualitas
yang dia dapat membedakan antara dua hal yang berbeda.

Ibnu Rusyd dengan tajam menjawab argumen ini: Argumen seperti


itu adalah salah. Jika seseorang menganggap seperti itu, dan ada
seseorang yang keinginannya didorong oleh keperluannya seperti
kebutuhannya untuk makan atau menentukan tanggal, hal ini
bukanlah persoalan yang membedakan antara dua hal yang serupa,
jika dalam keadaan seperti itu ia mengambil salah satu dari dua
tanggal... kemauannya terlekat dan terpatri kuat dalam dirinya
sendiri maka yang dibutuhkan hanyalah untuk membedakan antara
kenyataan mengambil salah satu antara keduanya dan kenyataan
untuk meninggalkan keduanya; melekat pada diri sendiri tidak
berarti melekat pada tindakan menentukan satu tanggal tertentu
dan membedakan tindakan ini dari tindakan meninggalkan tanggal
yang lain... dia memberikan pilihan pada tindakan memilih di atas
tindakan tidak memilih.
BACA JUGA

 Pemikiran Feminisme Fatima Mernissi dalam Karya-


Karyanya
 Hasan Hanafi. Islam sebagai Sebuah Aksi yang Menyatu
bagi Kelangsungan Hidup Manusia
 Leila Ahmed. Pemikiran Gender dalam Karya-Karyanya
Al-Ghazali memperluas ruang lingkup argumen tersebut untuk
menunjukkan bahwa ada perubahan bagi struktur alam semesta,
baik dapat berubah menjadi lebih baik maupun menjadi lebih jelek.
Oleh karena itu, tidak ada alasan khusus bagi Tuhan dalam
menentukan satu tipe tertentu alam semesta dan bukan tipe yang
lain. Ia mempertimbangkan keberatan yang mempertanyakan apa
yang telah mendorong sang pencipta untuk menciptakan dunia
pada satu waktu dan bukan pada waktu yang lain. Sebagaimana
yang telah kita lihat, Al-Ghazali menjawab bahwa meskipun
mulanya tidak ada waktu, ketika alam semesta diciptakan, hal itu
menuntut bahwa penciptaan harus terjadi pada waktu itu (yang
berarti dapat mengurangi kekuasaan Tuhan). Sekalipun demikian,
tindakan yang berdasarkan keinginan murni sang penciptalah yang
memilih waktu itu sendiri.

Al-Ghazali menjelaskan lebih lanjut, Waktu memang dibentuk dan


diciptakan, dan sebelum itu tidak ada waktu sama sekali. Arti pokok
dari kata-kata tersebut adalah bahwa Tuhan lebih dahulu ada
daripada dunia dan waktu. Dia ada tanpa dunia dan tanpa waktu
dan kemudian ia ada dan bersamanya ada dunia dan ada pula
waktu... dunia adalah seperti orang pertama tunggal. Al-Ghazali
berpendapat bahwa sebelum penciptaan dunia, Tuhan telah ada,
tetapi tidak dalam ruang lingkup dimensi waktu. Jika kita ingin tahu
apa arti sebenarnya dari kata-kata bahwa sebelum penciptaan
dunia di sana tidak ada waktu, dan jika kita ingin tahu cara kita
dapat menggunakan istilah temporer untuk menunjuk pada periode
yang nontemporer, Al-Ghazali berpendapat bahwa kita ini
disesatkan oleh imajinasi kita.

Ibnu Rusyd berpendapat bahwa: Orang yang menduga bahwa


sebelum keberadaan dunia ada satu kemungkinan yang unik yang
tidak pernah hilang, harus meyakini bahwa dunia ini adalah kekal.
Orang yang meyakini, seperti Ghazali dalam jawabannya, bahwa
sebelum adanya dunia ini terdapat sejumlah kemungkinan dunia
yang tidak terbatas, harus mengakui bahwa sebelum dunia ini ada
telah ada dunia lain dan sebelum dunia yang kedua ini ada, ada
dunia yang ketiga, demikian seterusnya secara tidak terbatas,
seperti halnya keadaan manusia, dan terutama ketika diperkirakan
bahwa hancurnya generasi yang terdahulu merupakan syarat yang
harus berlaku keberadaan generasi berikutnya.
Perdebatan itu sampai pada titik temu bahwa dunia ini ada atau
tidak ada adalah suatu kemungkinan dan kenyataan bahwa dunia
ini ada sekarang.

Berawal dari asumsi ini, Ibnu Rusydmenambahkan dengan nada


persetujuannya dengan rumusan Ghazali tentang argumen pada
filsuf: Ringkasnya... bahwa segala sesuatu yang ada bersifat
mungkin sebelum dia itu ada, dan sifat kemungkinan tersebut
membutuhkan sesuatu bagi inti substansinya, yaitu landasan yang
dapat menerima atau mewadahi apa-apa yang bersifat mungkin
tadi... Karena kemungkinan yang mendahului segala sesuatu yang
ada adalah mustahil, jika keberadaannya tanpa landasan dasar
(substratum) atau pelaku (agen) yang hendaknya menjadi landasan
dasarnya atau sesuatu yang bersifat mungkin itu sendiri... maka
sesuatu yang paling pokok dan tetap tinggal berfungsi sebagai alat
atau wadah bagi segala kemungkinan adalah materi. Materi sejauh
dia itu adalah materi dia tidak akan dapat menjadi ada, karena jika
dia itu ada, dia akan membutuhkan materi lain dan kita akan
berhadapan dengan gerak mundur yang tidak terbatas. Materi-
materi itu yang dapat berubah menjadi ada sejauh mana dia
dikaitkan dengan bentuk. 

Paham bahwa Tuhan tidak mengetahui Juz’iyyat (hal-hal


yang juz’i/individual/partikular) bukanlah paham yang dianut oleh
para filsuf Muslim. Paham ini dianut oleh Aristoteles. Sekalipun
demikian, Al-Ghazali berupaya menampilkan pandangan Ibnu Sina
dengan menyatakan bahwa Ibnu Sina berpendapat bahwa Tuhan
mengetahui segala sesuatu, dengan pengetahuan kulli/umum, tidak
masuk dalam kategori zaman, tidak berbeda pengetahuan-Nya
karena (berbedanya sesuatu itu pada) zaman yang lalu, yang akan
datang dan yang sekarang. Ia berpendapat bahwa tidak ada yang
gaib dari pengetahuan-Nya tentang apa saja yang ada di langit dan
bumi meskipun sekecil atom, tetapi ia mengetahui hal-hal
yang juz’i individual/partikular dengan (pengetahuan) semacam
(pengetahuan) kulli/umum. Setelah panjang lebar menjelaskan
maksud pendapat Ibnu Sina itu, Al-Ghazali berkesimpulan maksud
pendapat demikian adalah Tuhan tidak mengetahui hal-hal
yang juz’i, seperti tidak mengetahui siapakah Muhammad bin
Abdullah, Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khathab, dan sebagainya.

Benarkah demikian pendapat Ibnu Sina, atau benarkah demikian


maksud pendapatnya tentang pengetahuan Tuhan mengenai hal-hal
yang Juz’i? Sebenarnya pada pembahasan tentang Ibnu Sina jelas
bahwa paham Ibnu Sina tentang pengetahuan Tuhan berkenaan
dengan hal-hal juz’i tidak seperti yang disimpulkan oleh Al-Ghazali.
Bagi Ibnu Sina, Tuhan mengetahui hal-hal yang kulli, menurut kulli-
nya, dan mengetahui hal-hal yang juz’imenurut juz’i-nya, tetapi
pengetahuan Tuhan tidak seperti pengetahuan manusia. Apabila
pengetahuan manusia muncul setelah memerhatikan hal-
hal juz’i yang terjadi sehingga pengetahuan manusia merupakan
akibat, sedangkan hal-hal yang terjadi itu merupakan sebab bagi
munculnya pengetahuan manusia, pengetahuan Tuhan mahasuci
dari cara seperti itu. Tuhan mengetahui hal-hal yang juz’i dengan
pengetahuan yang berubah. Hal ini dapat dipahami seperti tidak
berubahnya pengetahuan tentang sebab-sebab yang bersifat
umum, atau dapat dipahami dengan pengertian bahwa Tuhan telah
mengetahui hal-hal yang juz’i itu dengan pengetahuan yang azali
dan tidak berubah. Sekalipun hal-hal yang juz’i itu terus-menerus
berubah, Tuhan mengetahui hal-hal yang juz’i itu bukanlah setelah
hal-hal yang juz’i itu terjadi dan diperhatikan. Jadi, tidak benar
bahwa para filsuf Muslim berpaham bahwa Tuhan tidak mengetahui
hal-hal juz’i yang muncul pada alam ciptaan-Nya. Dengan kata lain,
tidak benar bahwa pemahaman para filsuf Muslim tentang
pengetahuan Tuhan membawa pada pengertian bahwa Tuhan tidak
mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i.

Sebaliknya, Al-Ghazali memandang bahwa Tuhan Maha Segala


Tahu, baik besar maupun kecil. Berbeda dengan Ibnu Rusyd, Tuhan
hanya tahu yang universal bukan perkara yang kecil (partikular).
Tudingan Al-Ghazali adalah sebagai berikut: Yang menjadi
persoalan adalah pernyataan mereka: Tuhan yang Mahamulia
mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak mengetahui
hal-hal yang bersifat partikular. Pernyataan ini jelas menunjukkan
ketidakberimanan mereka. Pendapat yang benar adalah tidak ada
sebutir atom pun di langit ataupun di bumi yang luput dari
pengetahuan-Nya.

Menurut Al-Ghazali, gambaran Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW


tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan
rohani, melainkan pada kehidupan yang bersifat rohani dan
jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa
manusia yang pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat
surgawi yang bersifat rohani-jasmani dan merasakan azab neraka
yang bersifat rohani-jasmani. Kehidupan di surga dan neraka yang
bersifat rohani-jasmani itu, menurut Al-Ghazali, bukanlah sesuatu
yang mustahil. Oleh karena itu, gambaran Al-Qur’an dan hadis Nabi
itu harus dipahami secara hakiki saja. Pemahaman bahwa
kehidupan di surga dan neraka itu bersifat rohani, menurut Al-
Ghazali, mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari Akhirat.

Pemahaman ini bertentangan dengan yang diajarkan oleh Al-Qur’an


dan hadis Nabi SAW dan karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali
berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah jasmani. Ia
berkata: ... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim,
keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia
tidak akan dibangkitkan pada Hari Kiamat, tetapi hanya jiwa yang
terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan
pahala atau hukuman itu akan bersifat spiritual dan bukan bersifat
jasmaniah. Sesungguhnya mereka itu benar dalam menguatkan
adanya pahala dan hukuman yang bersifat spiritual karena itu
memang ada secara pasti; tetapi secara salah mereka menolak
adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka
dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang
mereka nyatakan itu.

Pehamaham secara hakiki, menurut akal mereka adalah mustahil.


Oleh karena itu, gambaran tersebut haruslah dipahami secara
majazi. Penggambaran Tuhan tentang alam kubur/akhirat secara
jasmani/materi, mereka pahami sebagai upaya materialisasi
terhadap hal-hal yang bersifat spiritual dan upaya yang layak.
Penggambaran seperti itu bijaksana.
Sebenarnya bukan hanya filsuf Muslim yang sulit memahami
kehidupan alam kubur/akhirat secara rohani-jasmani, melainkan
juga mereka yang bukan filsuf. Bagaimana bisa dipahami nikmat
dan azab kubur secara rohani-jasmani bagi mereka yang mati
dengan jasad habis dimakan oleh binatang atau menjadi abu karena
terbakar? Bagaimana bisa dipahami jasad yang diletakan di liang
lahat itu dapat merasakan nikmat atau azab, seperti azab malaikat
berupa pukulan besi pada bagian telinganya atau merasakan jepitan
kalajengking atau gigitan ular besar yang datang pada jasad yang
berbaring di lahat? Bagaimana bisa dipahami bahwa kuburan orang-
orang baik dilapangkan sampai 70 hasta dan dibentangkan
hamparan sampai ke surga, atau kuburan orang jahat disempitkan
sedemikian hebat sehingga remuk tulang-tulang jasad yang
terbaring di lahat itu? bagaimana bisa dipahami bahwa semua
manusia dibangkitkan di alam mahsyar dengan badan telanjang
(padah matinya memakai pakaian)? Bagaimana bisa dipahami
bahwa mereka yang berada di surga bisa berdialog dengan mereka
yang sedang tersiksa di dalam neraka yang menyala-nyala? Karena
tidak mudah dipahami secara rohani-jasmani, muncul pemahaman
dari kalangan sufi bahwa alam kubur/akhirat itu adalah alam rohani
semata. Jasad-jasad yang ada pada alam kubur/akhirat itu juga
bersifat rohani, bukan bersifat jasmani/materi.

Lain halnya dengan lapangan metafisika (ketuhanan), Al-Ghazali


memberikan reaksi keras terhadap Neoplatonisme Islam.
Menurutnya, banyak sekali terdapat kesalahan filsuf karena mereka
tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika.
Untuk itu, Al-Ghazali mengecam secara langsung dua tokoh
Neoplatonisme Muslim (Al-Farabi dan Ibnu Sina), dan secara tidak
langsung kepada Aristoteles, guru mereka. Menurut Al-Ghazali,
sebagaimana dikemukakannya dalam Tahafut Al-Falasifah, para
pemikir bebas tersebut ingin menanggalkan keyakinan Islam dan
mengabaikan dasar-dasar pemujaan ritual dengan menganggapnya
sebagai hal yang tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka.
Kekeliruan filsuf tersebut ada sebanyak 20 persoalan (16 dalam
bidang metafisika dan 4 dalam bidang fisika), dalam 17 soal mereka
harus dinyatakan sebagai ahl al-bida’, sedangkan tiga soal
berlawanan dengan pendirian semua kaum muslimin.

Tiga persoalan yang menyebabkan para filsuf dipandang kafir


adalah:
1. Alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal
2. Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular
(juziyyat) yang terjadi di alam
3. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyr al-ajsad) di
akhirat

Menurut Al-Ghazali, manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang


terdiri atas jiwa dan jasad. Jiwa, yang menjadi inti hakikat manusia
adalah makhluk spiritual rabbani yang sangat halus (lathifa
rabbaniyyah). Istilah-istilah yang digunakan Al-Ghazali untuk itu
adalah qalb, ruh, nafs, dan ‘aql.

Jiwa bagi Al-Ghazali adalah zat (jauhar) dan bukan keadaan atau
aksiden (‘ardh) sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasad
bergantung pada jiwa, bukan sebaliknya. Jiwa berada di alam
spiritual, sedangkan jasad berada di alam materi. Jiwa berasal sama
dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilahiah. Ia tidak pre-eksisten,
tidak berawal dengan waktu, seperti menurut Plato, dan filsuf
lainnya. Setiap jiwa pribadi diciptakan Allah di alam alas (alam al-
arwah) pada saat benih manusia memasuki rahim, dan jiwa lalu
dihubungkan dengan jasad. Setelah kematian, jasad musnah, tetapi
jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut,
kecuali kehilangan wadahnya. Jiwa memiliki kemampuan
memahami sehingga persoalan kenabian, ganjaran perbuatan
manusia, dan seluruh berita tentang akhirat membawa makna
dalam kehidupan manusia. Tidak demikian halnya dengan fisik.
Sebab, apabila memiliki kemampuan memahami objek-objek fisik
lainnya, fisik manusia juga harus memiliki kemampuan memahami
bahwa kenyataannya tidak demikian.

Bagi Al-Ghazali jiwa yang berasal dari Ilahi memiliki potensi kodrat,
yaitu kecenderungannya pada kebaikan dan keengganan pada
kekejian. Pada saat lahir, jiwa merupakan zat yang bersih dan
murni dengan esensi malaikat (alam al-malakut atu alam al-
amar, Q.S. [17]: 85). Adapun jasad berasal dari alam al-khalaq.
Oleh karena itu, kecenderungan jiwa kepada kejahatan (yang
timbul setelah lahirnya nafsu) bertentangan dengan tabiat aslinya.
Oleh karena itu, jiwa rindu makna alam atas dan ingin
mendampingi para malaikat, tetapi sering diredam keinginan
duniawi.

Mengenai kekekalan jiwa yang problematik itu, Al-Ghazali


menegaskan bahwa Tuhan dapat menghancurkan jiwa, tetapi Dia
tidak melakukannya. Di sini Al-Ghazali berada di persimpangan
pandangan sebagai mutakallimin (kemungkinan munculnya jiwa
apabila dikehendaki Tuhan), dan pandangan sebagai filsuf (jiwa
yang mempunyai sifat substansial kekal). Dengan demikian,
bantahan Al-Ghazali terhadap filsuf dalam bukunya, Tahafut Al-
Falasifah, tidak ditekankan pada kekekalan jiwa; yang dibantahnya
adalah dalil-dalil rasional yang digunakan para filsuf untuk
membuktikan kekekalan jiwa itu. Menurutnya, hanya
jiwa syara yang dapat menjelaskan persoalan al-ma’ad (kehidupan
di akhirat).

Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah
setiap jiwa diberi jasad sehingga dengan bantuannya, jiwa bisa
mendapatkan bekal. Jiwa merupakan inti hakiki manusia dan jasad
hanyalah alat baginya untuk mencari bekal dan kesempurnaan;
karena sangat diperlukan oleh jiwa, jasad harus dirawat baik-baik.

Kajian Al-Ghazali didasarkan atas dua sumber utama: the book of


knowledge (kitab ilmu) dari Ihya dan Ar-Risalat Al-Laduniyah. Dua
karya yang lain juga digunakan sebagai sumber penunjang,
yaitu The Juwels of The Qur’an(Mutiara Al-Qur’an) dan Mizan al-
Amal(timbangan amal). Dalam karya ini, Al-Ghazali menyebutkan
empat sistem klasifikasi yang berbeda:
1. Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoretis dan praktis
2. Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan
(hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli)
3. Pembagian atas ilmu-ilmu religius (sya’iyyah) dan intelektual
(aqliyah)
4. Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardh’ain(wajib atas setiap
individu) dan fardh kifayah(wajib atas umat)
Di antara keempat sistem itu, pembagian yang diuraikan paling luas
oleh Al-Ghazali adalah pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu
intelektual dan religius. Pembahasan Al-Ghazali tentang itu
melibatkan juga sistem pertama dan keempat. Adapun pembagian
pengetahuan atas pengetahuan yang dihadirkan dan pengetahuan
yang dicapai diulas secara terpisah. Menurut Al-Ghazali, keempat
sistem klasifikasi itu semuanya absah sekalipun tidak memiliki
derajat keabsahan yang sama. Setiap klasifikasi didasarkan pada
aspek tertentu dalam melihat hubungan itu. semakin mendasar dan
universal aspek atau perspektif pandangan itu, semakin besar
keabsahan pembagian yang dihasilkan.

Demikian profil Al-Ghazali yang berpengaruh besar dalam semua


aspek disiplin ilmu, terutama karya besarnya Ihya Ulum Ad-Dinyang
menggabungkan aspek filsafat, kalam, fiqh dan tasawuf yang
sampai sekarang digunakan dan dikembangkan dengan pola-pola
yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai