Jiwa bagi Al-Ghazali adalah zat (jauhar) dan bukan keadaan atau
aksiden (‘ardh) sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasad
bergantung pada jiwa, bukan sebaliknya. Jiwa berada di alam
spiritual, sedangkan jasad berada di alam materi. Jiwa berasal sama
dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilahiah. Ia tidak pre-eksisten,
tidak berawal dengan waktu, seperti menurut Plato, dan filsuf
lainnya. Setiap jiwa pribadi diciptakan Allah di alam alas (alam al-
arwah) pada saat benih manusia memasuki rahim, dan jiwa lalu
dihubungkan dengan jasad. Setelah kematian, jasad musnah, tetapi
jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut,
kecuali kehilangan wadahnya. Jiwa memiliki kemampuan
memahami sehingga persoalan kenabian, ganjaran perbuatan
manusia, dan seluruh berita tentang akhirat membawa makna
dalam kehidupan manusia. Tidak demikian halnya dengan fisik.
Sebab, apabila memiliki kemampuan memahami objek-objek fisik
lainnya, fisik manusia juga harus memiliki kemampuan memahami
bahwa kenyataannya tidak demikian.
Bagi Al-Ghazali jiwa yang berasal dari Ilahi memiliki potensi kodrat,
yaitu kecenderungannya pada kebaikan dan keengganan pada
kekejian. Pada saat lahir, jiwa merupakan zat yang bersih dan
murni dengan esensi malaikat (alam al-malakut atu alam al-
amar, Q.S. [17]: 85). Adapun jasad berasal dari alam al-khalaq.
Oleh karena itu, kecenderungan jiwa kepada kejahatan (yang
timbul setelah lahirnya nafsu) bertentangan dengan tabiat aslinya.
Oleh karena itu, jiwa rindu makna alam atas dan ingin
mendampingi para malaikat, tetapi sering diredam keinginan
duniawi.
Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah
setiap jiwa diberi jasad sehingga dengan bantuannya, jiwa bisa
mendapatkan bekal. Jiwa merupakan inti hakiki manusia dan jasad
hanyalah alat baginya untuk mencari bekal dan kesempurnaan;
karena sangat diperlukan oleh jiwa, jasad harus dirawat baik-baik.