Anda di halaman 1dari 4

A.

Hubungan Ilmu Kalam dan Tasawuf

Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi
wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam melalui hati
(dzauq dan wildan) terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati
atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian,ilmu tasawuf merupakan penyempurna
ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan
rohaniah dari ilmu tauhid. Kajian-kajian mereka tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan
ternyata telah banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan
kajian tasawuf dalam dunia Islam.

Pemahaman tentang jiwa dan roh itu sendiri menjadi hal yang esensial dalam tasawuf.
Kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf.
Namun, perlu juga dicatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf
adalah istilah qalb (hati). Istilah qalb ini memang lebih spesifik dikembangkan dalam
tasawuf.Namun, tidak berarti bahwa istilah qalb tidak berpengaruh dengan roh dan jiwa. Ilmu
kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu
aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan.
Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau
belum pernah diriwayatkan oleh para ulama salaf, hal itu harus ditolak.

Dr. Fuad Al-Ahwani di dalam bukunya Filsafat Islam tidak setuju kalau
filsafat sama dengan ilmu kalam. Dengan alasan-alasan sebagai berikut: Karena ilmu kalam
dasarnya adalah keagamaan atau ilmu agama. Sedangkan filsafat merupakan pembuktian
intelektual. Objek pembahasannya bagi ilmu kalam berdasar pada Allah SWT. dan
sifat-sifat-Nya serta hubungan-Nya dengan alam dan manusia yang berada di bawah
syariat-Nya. Objek filsafat adalah alam dan manusia serta pemikiran tentang prinsip wujud
dan sebab sebabnya. Seperti filosof Aristoteles yang dapat membuktikan tentang sebab
pertama yaitu Allah. Tetapi ada juga yang mengingkari adanya wujud Allah SWT.
sebagaimana aliran materialisme. Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi
kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa
ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang [9]mengandung muatan
nasional, di samping muatan naqliah. Jika tidak diimbangi dengan kesadaran rohaniah, ilmu
kalam dapat bergerak ke arah yang lebih liberal dan bebas. Disinilah ilmu tasawuf berfungsi
memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam tidak dikenali sebagai dialektika keislaman
belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qabliah (hati).

Al-Ghazali lebih dikenal sebagai sufi ketimbang mutakallim karena dalam sejarahnya
Al-Ghazali pernah mengkritik bangunan pemikiran filsafat dan ilmu kalam. Al-Ghazali
menurut M. Amin Abdullah, tidak serta merta menolak ilmu Kalam namun ia
menggarisbawahi keterbatasan-keterbatasan ilmu kalam sehingga berkesimpulan bahwa
kalam tidak dapat dijadikan sandaran oleh para pencari kebenaran. Kalam tidak dapat
mengantarkan manusia mendekati Tuhan, tetapi hanya kehidupan sufilah yang dapat
mengantarkan seseorang dekat dengan Tuhannya.

Pernyataan-pernyataan tentang Tuhan dan manusia sulit terjawab hanya dengan


berlandaskan pada ilmu kalam. Biasanya, yang membicarakan penghayatan sampai pada
penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu tasawuf. Disiplin inilah yang membahas
bagaimana merasakan nilai-nilai akidah dengan memperhatikan bahwa persoalan bagaimana
merasakan tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang diwajibkan. Pada ilmu kalam
ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta
kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan
atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman. Sebagaimana dijelaskan
juga tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya diketahui
batasan batasannya oleh seseorang. Sebab terkadang seseorang sudah tahu batasan-batasan
kemunafikan, tetapi tetap saja melaksanakannya

Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai berikut:

1. Sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang


mendalam lewat hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau
teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurna ilmu
kalam.

2. Sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang
bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan
Al-Quran Dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika
bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Quran Dan As -Sunnah, atau belum
pernah diriwayatkan oleh ulama ulama salaf, hal itu harus ditolak.

3. Sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan perdebatan kalam. Sebagaimana


disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang
mengandung muatan rasional di samping muatan naqliyah, ilmu kalam dapat bergerak kearah
yang lebih bebas. Di sinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu
kalam terkesan sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan
atau sentuhan hati.

B. Titik Singgung Antara Ilmu Kalam dan Ilmu Tasawuf

Ilmu kalam, sebagaimana telah disebutkan, merupakan disiplin ilmu keislaman yang
mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan tuhan. Persoalan-persoalan kalam
ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi,
baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan adalah
landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis, sedangkan
argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil qur’an dan
hadis. Ilmu kalam ini hanya berkisar pada keyakinan-keyakinan yang harus dipegang oleh
umat islam , tanpa argumentasi rasional, ilmu ini lebih spesifik mengambil bentuk sendiri
dengan istilah ilmu tauhid atau ilmu aqa’id. Bagaimana pula perasaan hati seseorang ketika
membaca Al-Quran; Dan bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta
merupakan pengaruh dari Qudrah (Kekuasaan) Allah ?

Pertanyaan ini sulit terjawab apabila hanya mendasarkan diri pada ilmu tauhid atau
ilmu kalam. Biasanya, yang membicarakan tentang penghayatan sampai pada penanaman
kejiwaan manusia adalah ilmu tasawuf. Disiplin Inilah yang membahas bagaimana
merasakan nilai-nilai akidah dengan memperhatikan bahwa persoalan tadzawwuq (bagaimana
merasakan) tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang sunah atau, dianjurkan,tetapi justru
termasuk hal yang diwajibkan.

As-Sunnah memberikan perhatian yang begitu besar terhadap masalah


tadi. Ini tampak pada Hadis Rasul yang dikutip dari Said Hawwa: "Yang merasakan imun
adalah orang yang ridha kepada Allah sebagai Tuhan, ridha kepada islam sebagai agama, dan
ridha kepada Muhammad sebagai Rasul". Dalam Hadis lain, Rasulullah pun pernah
mengungkapkan, "Ada tiga perkara yang mengakibatkan seseorang dapat merasakan lezatnya
iman: Orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lain; Orang yang mencintai
hamba karena Allah; dan orang yang lakut kembali kepada kekufuran, seperti ketakutannya
untuk dimasukkan ke dalam api neraka.

Pembicaraan materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzauq
(rasa rohaniah). Sebagai contoh, ilmu tauhid menerangkan bahwa Allah bersifat Sama’
(mendengar), Bashar (melihat), Kalam (berbicara), Iradah (berkemauan), Qudrah (kuasa),
Hayat (hidup), dan sebagainya. Namun, ilmu kalam atau ilmu tauhid tidak menjelaskan
bagaimanakah seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan
melihatnya.

Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan
manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Adapun pada ilmu tasawuf ditemukan
pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, serta
berupaya menyelamatkan diri dari kemunafikan.

Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi
wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam lewat hati (dzauq
dan widjan) terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau
teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurna
tauhid jika dilihat bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniyah dari ilmu tauhid.

Ilmu kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika
timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah atau lahir suatu kepercayaan baru yang
bertentangan dengan Al-Quran dan AsSunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau
penyelewengan Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Quran dan As
Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salah hal itu harus ditolak.
Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah
dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam
dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional di samping
muatan naqliyah. Jika tidak diimbangi oleh kesadaran rohaniah, ilmu kalam dapat bergerak
kearah yang lebih liberal dan bebas. Di sinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan
rohaniah, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qabliyah (hati).

Bagaimanapun amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar dalam


ketauhidan. Jika rasa sabar tidak ada, misalnya, muncullah kekufuran. Jika rasa syukur
sedikit, lahirlah suatu bentuk kegelapan sebagai reaksi. Begitu juga ilmu tauhid dapat,
memberikan kontribusi kepada ilmu tasawuf. Sebagai contoh jika cahaya tauhid telah lenyap
akan timbullah penyakit-penyakit kalbu, seperti ujub, congkak, riya, dengki, hasud, dan
sombong. Andaikata manusia sadar bahwa Allah-lah yang memberi, niscaya rasa hasud dan
dengki-akan sirna. Kalau saja dia tahu kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak akan ada
rasa sombong. Kalau saja manusia sadar bahwa dia betul-betul hamba Allah, niscaya tidak
akan ada perebutan kekuasaan. Kalau saja manusia sadar bahwa Allah-lah pencipta segala
sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya. Dari sinilah dapat dilihat bahwa ilmu
tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah (pendakian para kaum
sufi).

Anda mungkin juga menyukai