Anda di halaman 1dari 21

Hubungan Tasawuf dan Ilmu Ilmu Lain Dalam Islam

HUBUNGAN TASAWUF DAN ILMU-ILMU LAIN DALAM ISLAM


a.    Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Kalam

lmu kalam adalah disiplin ilmu keIslaman yang banyak mengedepankan pembicaraan
tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya
mengarah sampai pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi,
baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi yang dimaksudkan adalah landasan
pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis, sedangkan
argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil Al-Qur’an
dan hadits. Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak
menyentuh rasa rohaniah. 

Sebagai contoh, ilmu kalam menerangkan bahwa Allah bersifat Sama’, Bashar, Kalam,
Iradah, Qudrah, Hayat, dan sebagainya. Namun, ilmu kalam tidak menjelaskan bagaimana
seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan melihatnya,
bagaimana pula perasaan hati seseorang ketika membaca Al-Qur’an, bagaimana
seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari
kekuasaan Allah ? 

Pernyataan-pernyataan diatas sulit terjawab hanya dengan berlandaskan pada ilmu kalam.
Biasanya, yang membicarakan penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan manusia
adalah ilmu Tasawuf. Disiplin inilah yang membahas bagaimana merasakan nilai-nilai
akidah dengan memperhatikan bahwa persoalan bagaimana merasakan tidak saja
termasuk dalam lingkup hal yang diwajibkan. 

Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan
manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf
ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan
ketentraman. Sebagaimana dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan.
Semua itu tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya oleh seseorang. Sebab
terkadang seseorang sudah tahu batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap saja
melaksanakannya.

Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu Tasawuf mempunyai fungsi sebagai berikut.
Sebagai pemberi wawasan  spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang
mendalam lewat hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau
teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu Tasawuf merupakan penyempurna
ilmu kalam.
1. Berfungsi sebagai pengendali ilmu Tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran
yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau
penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus
ditolak.
2. Berfungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan
kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung
menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional disamping muatan naqliyah,
ilmu kalam dapat bergerak kearah yang lebih bebas. Disinilah ilmu Tasawuf berfungsi
memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam terkesan sebagai dialektika keIslaman
belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan hati.

Andaikata manusia sadar bahwa Allahlah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki
akan sirna, kalau saja dia tahu kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak akan ada rasa
sombong dan membanggakan diri. Kalau saja manusia sadar bahwa Allahlah pencipta
segala sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya. Dari sinilah dapat dilihat bahwa
ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah (pendakian para
kaum sufi). Dalam ilmu Tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu kalam
terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi akan lebih dinamis dan aplikatif.

b.    Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Filsafat

Biasanya Tasawuf dan filsafah selalu dipandang berlawanan. Ada juga anggapan bahwa
pencarian jalan Tasawuf mengharuskan pencelaan filsafat, tidak hanya berupa timbal balik
dan saling mempengaruhi, bahkan asimilasi (perpaduan) dan hubungan ini sama sekali
tidak terbatas pada kebencian dan permusuhan. Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani,
kebersatuan dengan kebenaran mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan sunnah.
Sedangkan filsafah tidak dimaksudkan hanya filsafah peripatetic yang rasionalistik, tetapi
seluruh mazhab intelektual dalam kultur Islam yang telah berusaha mencapai pengetahuan
mengenai sebab awal melalui daya intelek. Filsafat terdiri dari filsafat diskursif (bahtsi)
maupun intelek intuitif (dzawqi).

Hubungan antara Tasawuf dan filsafat, yaitu : 


 Bentuk hubungan yang paling luas antara Tasawuf dan filsafat tentu saja adalah
pertentangan satu sama lain, sebagaimana tampak dalam karya-karya al-Ghazali
bersaudara, Abu hamid dan Ahmad. Dan penyair sufi besar seperti Sana’I, Athar, dan
Rumi. Kelompok sufi ini hanya memperhatikan aspek rasional dari filsafat, dan setiap
kali berbicara tentang intelek, mereka tidak mengartikan intelek dalam arti mutlaknya,
namun mengacu kepada aspek rasional intelek (akal). Athar juga memahami filsafat
hanya sebagai filsafat peripatetic yang rasionalistik, dan menekankan bahwa hal itu
tidak boleh dikelirukan dengan misteri ilahiah dan pengetahuan ilahiah, yang
merupakan usaha puncak pensucian jiwa dibawah bimbingan spiritual para guru sufi.
Intelek tidak sama dengan hadist Nabi dan falsafah tidak sama dengan teosofi (hikmah)
dalam makna Qur’aninya. Matsnawi adalah sebuah Masterpiece filsafat.
 Hubungan antara Tasawuf dan filsafat tampak dalam munculnya bentuk khusus
yang terjalin erat dengan filsafat. Meskipun bentuk tasawuf ini tidak menerima filsafat
peripatetic dan mazhab-mazhab filsafat lain yang seperti itu, namun ia sendiri
tercampur dengan filsafat atau teosofi (hikmah) dalam bentuknya yang paling luas.
Dalam mazhab Tasawuf itu, intelek sebagai alat untuk mencapai realitas tentang yang
mutlak dengan memperoleh kedudukan yang tinggi. Dengan demikian, dalam tasawuf
berkembang satu jenis teosofi (ilmu ilahi) yang tidak hanya datang untuk menggantikan
filsafat didunia Arab, tapi di Persia ia juga amat mempengaruhi jika bukan
menggantikan filsafat dan kemudian secara amat efektif  menggabungkan filsafat dan
Tasawuf, bahkan mengganti nama Tasawuf menjadi Irfan (gnosis,makrifat) pada
periode safawi. Penentangan terhadap filsafat masih tetap tampak, tapi penentangan
ini sebenarnya muncul dalam kaitannya dengan istilah falsafah dan rasionalisme.
Hubungan Tasawuf dan filsafah berbeda dari apa yang diamati dalam tasawuf yang
didominasi cinta, seperti pada Athar dan lainnya.
 Hubungan antara Tasawuf dan filsafat ditemukan dalam karya-karya para sufi yang
sekaligus juga filosof, Yang telah berusaha untuk merujuk tasawuf dan filsafat.
Afdhaluddin kasyani, Quthbuddin syirazi, Ibd Turkah al-Isfahani, dan Mir Abul Qosim
findiriski, orang-orang ini seluruhnya adalah sufi yang berjalan pada jalan spiritual dan
telah mencapai maqam spiritual, dan beberapa diantara mereka terdapat para wali,
tetapi pada saat yang sama secara mendalam memahami filsafat dan cukup
mengherankan, beberapa diantara mereka lebih tertarik pada  filsafat peripatetic dan
rasionalistik daripada filsafat intuitif (dzawqi), sebagaimana dapat diamati dalam kasus
Mir Findiriski yang amat mendalami As-Syifanya Ibnu Sina. Diantara kelompok ini,
Afdhaluddin Kasyani memegang kedudukan yang unik. Ia tidak hanya salah satu sufi
terbesar yang hingga hari ini mouseleumnya di Maqam Kasyani menjadi tempat Ziarah,
baik orang-orang yang awam maupun orang-orang terpelajar, tetapi ia juga dianggap
sebagai salah satu filosof Persia terbesar yang sumbangannya bagi
pengembangan bahasa filsafat Persia tak tertandingi. Karya-karya filsafatnya dalam
logika, teologi, ataupun dalam ilmu-ilmu alam ditulis dalam bahasa Persia yang jelas
dan fasih, dan merupakan Masterpiece dalam bahasa ini. Ia tidak hanya menunjukkan
dengan jelas wawasan tasawuf dalam syair-syairnya, namun dalam hal logika dan
filsafat yang paling ketat sekalipun. Figur besar lain seperti Quthbuddin al-Syirazi, yang
dalam masa remajanya bergabung dengan para sufi dan juga menulis karya besar
dalam filsafat peripatetic dalam bahasa Persia, Durrat al-Tajj, lalu bin Turkah Isfahani,
yang Tamhid al-Qawaidnya merupakan Masterpiece filsafat sekaligus Tasawuf, dan Mir
Abul Qosim Findiriski, yang menjadi komentator karya metafisika Hindu penting, Yoga
Vaisithsa adalah sufi dan ahli makrifat   yang kepadanya banyak mukjizat dinisbatkan.
Mereka semua sesungguhnya adalah para pengikut mazhab Afdhluddin Kasyani,
sejauh menyangkut upaya pemantapan hubungan antara Tasawuf dan Filsafat.
 Kategorisasi umum kita mengenai hubungan Tasawuf dengan filsafat, mencakup
para filosof yang mempelajari atau mempraktekan Tasawuf. Yang pertama dari
kelompok ini adalah Al-Farabi, yang mempraktekan Tasawuf dan bahkan telah
mengubah musik yang dimainkan dalam pertemuan Sama’ pada sufi, mutiara hikmah
yang dinisbatkan kepadanya sangatlah penting. Karena, pada dasarnya, inilah buku
mengenai filsafat maupun makrifat dan hingga kini diajarkan di Persia bersama
komentar-komentar makrifati.

c.    Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Fiqih

Biasanya, pembahasan kitab-kitab fiqih selalu dimulai dari Thaharah, kemudian persoalan-
persoalan kefiqihan lainnya. Namun, pembahasan ilmu fiqih tentang thaharah atau yang
lainnya secara tidak langsung terkait dengan pembicaraan nilai-nilai rohaniahnya.
Persoalannya sekarang, disiplin ilmu apakah yang dapat menyempurnakan ilmu fiqih dalam
persoalan-persoalan tersebut ? Ilmu Tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling
tepat karena ilmu ini berhasil memberikan corak batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang
dimaksud adalah ikhlas dan khusyuk berikut jalannya masing-masing. Bahkan ilmu ini
mampu menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih.
Akhirnya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah.

Dahulu para ahli fiqih mengatakan “Barang siapa mendalami fiqih, tetapi belum bertasawuf,
berarti ia fasik. Barang siapa bertasawuf, tetapi belum mendalami fiqih, berarti ia zindiq.
Dan Barang siapa melakukan ke-2 nya, berarti ia melakukan kebenaran”. Tasawuf dan fiqih
adalah 2 disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara ke-2
nya, berarti disitu terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi
berjalan tanpa fiqih, atau seorang ahli tidak mengamalkan ilmunya. Jadi, seorang ahli sufi
harus bertasawuf (sufi), harus memahami dan mengikuti aturan fiqih. Tegasnya, seorang
fiqih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan
dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufi pun harus mengetahui aturan-aturan
hukum dan sekaligus mengamalkannya. Ini menjelaskan bahwa ilmu Tasawuf dan ilmu
Fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang saling melengkapi.

d.    Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Jiwa


Dalam pembahasan Tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Yang
dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam Tasawuf tersebut
adalah terciptanya keserasian antara ke-2 nya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini
dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang
dipraktikan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu
dapat terjadi. Dari sini, baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah
dkategorikan sebagai perbuatan jelek atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan
seseorang baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang 
ditampilkannya jelek, ia disebut sebagai orang yang berakhlak jalek. Dalalm pandangan
kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas
dirinya. Jika yang berkuasa dalam tubuhnya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, yang
akan tampil dalam perilakunya adalah perilaku hewani atau nabati pula. Sebaliknya, jika
yang berkuasa adalah nafsu insani, yang akan tampil dalam perilakunya adalah perilaku
insani pula. Orang yang sehat mentalnya adalah yang mampu merasakan kebahagiaan
dalam hidup, karena orang-orang inilah yang dapat merasakan bahwa dirinya berguna,
berharga, dan mampu menggunakan segala potensi dan bakatnya semaksimal mungkin
dengan cara membawa kebahagiaan dirinya dan orang lain. Disamping itu, ia mampu
menyesuaikan diri dalam arti yang luas, terhindar dari kegelisahan-kegelisahan dan
gangguan jiwa, serta tetap terpelihara moralnya.
Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Kalam, Falsafah, Fiqih
dan Ilmu Jiwa

BAB I 
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG


Ilmu tasawuf merupakan rumusan tentang teoritis terhadap wahyu-wahyu yang berkenaan
dengan hubungan antara tuhan dengan manusia dan apa yang harus dilakukan oleh manusia
agar dapat berhubungan sedekat mungkin dengan tuhan baik dengan pensucian jiwa dan
latihan-latihan spritual. Sedangkan ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak
mengedepankan pembicaraan tetang persoalan tentang akidah dan adapun filsafat adalah
rumusan teoritis terhadap wahyu tersebut bagai manusia mengenai keberadaan (esensi),
proses dan sebagainya, Seperti proses penciptaan alam dan manusia. Sedangkan ilmu jiwa
adalah ilmu yang membahas tentang gejala-gejala dan aktivitas kejiwaan manusia.
Maka dalam hal ini ilmu tasawuf tentunya mempunyai hubungan-hubungan yang terkait dengan
ilmu-ilmu keislaman lainnya, baik dari segi tujuan, konsep dan kontribusi ilmu tasawuf terhadap
ilmu-ilmu tersebut dan begitu sebaliknya bagaimana kontribusi ilmu kioslaman yang lain
terhadap ilmu tasawuf.
Maka dalam makalah kami ini kami telah membahas hubungan ilmu tasawuf dengan beberapa
ilmu keislaman lainnya, diantaranya: Ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu jiwa, dan ilmu fikih. Dengan
tujuan agar kita lebih mampu mengkorelasikan ilmu-ilmu tersebut dan bisa
membandingbandingkannya.

B.   RUMUSAN MASALAH


1. Apa hakekat Ilmu Tasawuf itu?
2. Apa hakekat Kalam itu?
3. Apa hakekat Falsafah itu?
4. Apa hakekat Fiqih itu ?
5. Apa hakekat Ilmu Jiwa itu ?
6. Bagaimana hubungan Ilmu tasawuf dengan kalam, filsafat, fiqih, dan ilmu jiwa ?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1.    Mengetahui dan memahami hakekat ilmu tasawuf
2.    Mengetahui dan memahami hakekat ilmu kalam
3.    Mengetahui dan memahami hakekat Filsafat
4.    Mengetahui dan memahami hakekat fiqih
5.    Mengetahui dan memahami hakekat ilmu jiwa
6.    Mengetahui dan memahami hubungan Ilmu tasawuf dengan kalam, falsafah, fiqih, dan ilmu
jiwa

BAB II
PEMBAHASAN

A.   HAKIKAT TASAWUF


Pengertian Tasawuf
Istilah "tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan
sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak
pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal
dari shafa yang berarti kesucian atau bersih. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari
kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di
baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa
kata itu berasal dari kata shuffah yang berarti serambi masjid Nabawi di Madinah yang
ditempati oleh para sahabat-sahabat nabi yang miskin dari golongan Muhajirin. Ada pula yang
menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang
menunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang memperdulikan
penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang kasar
sebagai simbol kesederhanaan.
Harun Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan
bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Alloh agar memperoleh hubungan
langsung dan disadari dengan Tuhan bahwa seseorang betul-betul berada di hadirat Tuhan.

Ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya
yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri,
penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam
(kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan
mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah
tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.
Imam Junaid dari Baghdad (910 M.) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat
mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (1258 M.) syekh
sufi besar dari Afrika Utara mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta
yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq
(1494 M.)dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: Ilmu yang dengannya dapat
memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan
pengetahuan tentang jalan Islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk
memperbaiki amal dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan
menjadi nyata. Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan
setelah itu memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka tidak
akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'." Menurut Syekh Ibn Ajiba (1809 M): Tasawuf
adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam
kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal
baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnya adalah amal. dan akhirnva adalah
karunia Ilahi.

Tujuan Tasawuf
Tasawwuf sebagai mana disebutkan dalam artinya di atas, bertujuan untuk memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang
berada di hadirat Tuhan dan intisari dari itu adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan
dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Kesadaran dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad atau menyatu dengan
Tuhan. Dalam ajaran Tasawuf, seorang sufi tidak begitu saja dapat dekat dengan Tuhan,
melainkan terlebih dahulu ia harus menempuh maqamat . mengenai jumlah maqomat yang
harus di tempuh sufi bebrbeda-beda,  Abu Nasr Al- Sarraj menyebutkan tujuh maqomat yaitu
tobat, wara, zuhud, kefakiran, kesabaran, tawakkal, dan kerelaan hati. Dalam perjalananya
seorang shufi harus mengalami istilah hal (state). Hal atau ahwal yaitu sikap rohaniah yang
dianugrahkan Tuhan kepada manusia tanpa diusahakan olehnya, seperti rasa takut( al- khauf) ,
ikhlas, rasa berteman, gembira hati, dan syukur. Jalan selanjutnya adalah fana' atau lebur
dalam realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang Tertinggi,
bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri agar dapat
bersatu dengan Tuhan.

Menurut Taftazani seseorang yang bertasawuf mempunyai beberapa ciri yaitu:


Peningkatan moral, seorang sufi memiliki nilai-nilai moral dengan tujuan membersihkan jiwa.
Yaitu dengan akhlak dan budi pekerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada allah, oleh
karena itu, maka tasawuf sangat mengutamakan adab/ nilai baik dalam berhubungan dengan
sesama manusia dan terutama dengan Tuhan (zuhud, qonaah, thaat, istiqomah, mahabbah,
ikhlas, ubudiyah, dll). Sirna (fana) dalam realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi
dalam realitas yang Tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan
atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan. Dan Ketenteraman dan kebahagiaan.
Sumber Ajaran Tasawuf : Sumber ajaran tasawuf adalah al-Qur'an dan Hadits yang didalamnya
terdapat ajaran yang dapat memebawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat
dengan manusia, yang merupakan ajaran dasarnya dapat dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Al-
Baqoroh ayat 186

B.   HAKIKAT ILMU KALAM


Pengertian Ilmu Kalam
Nama lain dari Ilmu Kalam : Ilmu Aqaid (ilmu akidah-akidah), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang
Kemaha Esa-an Tuhan), Ilmu Ushuluddin (Ilmu pokok-pokok agama). Disebut juga 'Teologi
Islam'. 'Theos'= Tuhan; 'Logos'= ilmu. Berarti ilmu tentang keTuhanan yang didasarkan atas
prinsip-prinsip dan ajaran Islam; termasuk di dalamnya persoalan-persoalan ghaib. Menurut
Ibnu Kholdun dalam kitab moqodimah mengatakan ilmu kalam adalah ilmu yang berisi alasan-
alasan mempertahankan kepercayaan-keprcayaan iman dengan menggunakan dalil fikiran dan
juga berisi tentang bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang mempunyai kepercayaan-
kepercayaan menyimpang. Ilmu= pengetahuan; Kalam= pembicaraan'; pengetahuan tentang
pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan Persoalan terpenting yang di bicarakan pada
awal Islam adalah tentang Kalam Allah (Al-Qur'an); apakah azali atau non azali (Dialog Ishak
bin Ibrahim dengan Imam Ahmad bin Hanbal.  Dasar Ajarannya; Dasar Ilmu Kalam adalah dalil-
dalil fikiran (dalil aqli) Dalil Naqli (Al-Qur'an dan Hadis) baru dipakai sesudah ditetapkan
kebenaran persolan menurut akal fikiran. (Persoalan kafir-bukan kafir)…… Jalan kebenaran;
Pembuktian kepercayaan dan kebenaran didasarkan atas logika (Dialog Al-Jubbai dan Al-
Asy'ari).

C.   HAKIKAT FILSAFAT


Pengertian Filsafat
Menurut analisa Al-Farabi filasafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosiphia. Philo berarti
cinta dan shopia berarti hikmah atau kebenaran. Menurut Plato, filsuf Yunani yang termashur,
murid Scorates dan guru Aristoteles mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang
segala sesuatu yang ada.
Marcus Tullius Cicero politikus dan ahli pidato romawi merumuskan filsafat adalah pengatahuan
tentang segala sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.  Al Farabi
filosuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang
alam yang maujud dan brtujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya. Filsafat itu ilmu pokok
dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi.
Immanuel Kantyang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan bahwa Filsafat itu
merupakan ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika,
agama, dan antripologi. Obyek Filsafat; Dalam filasafat terdapat dua obyek yaitu obyek materia
dan obyek formanya. Obyek materianya adalah sarwa yang ada pada garis besarnya dibagi
atas tiga persoalan, yaitu: Tuhan, alam, dan manusia. Sedangkan Obyek formannya adalah
usaha mencari keterangan secara radikal ( sedalam-dalamnya) tentang obyek materi filsafat
( sarwa yang ada)

D.   HAKIKAT ILMU FIQIH


PENGERTIAN FIQIH
Fiqh merupakan salah satu disiplin ilmu Islam yang bisa menjadi teropong keindahan dan
kesempurnaan Islam. Dinamika pendapat yang terjadi diantara para fuqoha menunjukkan
betapa Islam memberikan kelapangan terhadap akal untuk kreativitas dan berijtihad.
Sebagaimana qaidah-qaidah fiqh dan prinsif-prinsif Syari'ah yang bertujuan untuk menjaga
kelestarian lima aksioma, yakni; Agama, akal, jiwa, harta dan keturunan menunjukkan betapa
ajaran ini memiliki filosofi dan tujuan yang jelas, sehingga layak untuk exis sampai akhir zaman.

Pengertian Fiqh
Fiqh menurut Etimologi
Fiqh menurut bahasa berarti; faham, sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku." (Thaha:27-
28)

Pengertian fiqh seperti diatas, juga tertera dalam ayat lain, seperti; Surah Hud: 91, Surah At
Taubah: 122, Surah An Nisa: 78

Fiqh dalam terminologi Islam


Dalam terminologi Islam, fiqh mengalami proses penyempitan makna; apa yang dipahami oleh
generasi awal umat ini berbeda dengan apa yang populer di genersi kemudian, karenanya kita
perlu kemukakan pengertian fiqh menurut versi masing-masing generasi;

Pengertian fiqh dalam terminologi generasi Awal


Dalam pemahaman generasi-generasi awal umat Islam (zaman Sahabat, Tabi'in dst.), fiqh
berarti pemahaman yang mendalam terhadap Islam secara utuh, sebagaimana tersebut dalam
Atsar-atsar berikut, diantaranya sabda Rasulullah SAW:
"Mudah-mudahan Allah memuliakan orang yang mendengar suatu hadist dariku, maka ia
menghapalkannya kemuadian menyampaikannya (kepada yang lain), karena banyak orang
yang menyampaikan fiqh (pengetahuan tentang Islam) kepada orang yang lebih menguasainya
dan banyak orang yang menyandang fiqh (tetapi) dia bukan seorang Faqih." (HR Abu Daud, At
Tirmdzi, An Nasai dan Ibnu Majah)
Ketika mendo'akan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW berkata:
"Ya Allah, berikan kepadanya pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir." (HR
Bukhari Muslim)

Dalam penggalan cerita Anas bin Malik tentang beredarnya isu bahwa Rasulullah SAW telah
bersikap tidak adil dalam membagikan rampasan perang Thaif, ia berkata:
"Para ahli fiqihnya berkata kepadanya: Adapun para cendekiawan kami, Wahai Rasulullah !
tidak pernah mengatakan apapun." (HR Bukhari)

Dan ketika Umar bin Khattab bermaksud untuk menyampaikan khutbah yang penting pada para
jama'ah haji, Abdurrahman bin Auf mengusulkan untuk menundanya, karena dikalangan
jama'ah bercampur sembarang orang, ia berkata:
"Khususkan (saja) kepada para fuqoha (cendekiawan)." (HR Bukhari)

Makna fiqh yang universal seperti diatas itulah yang difahami generasi sahabat, tabi'in dan
beberapa generasi sesudahnya, sehingga Imam Abu Hanifah memberi judul salah satu buku
akidahnya dengan "al Fiqh al Akbar." Istilah fuqoha dari pengertian fiqih diatas berbeda dengan
makna istilah Qurra sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun, karena dalam suatu hadist ternyata
kedua istilah ini dibedakan, Rasulullah SAW bersabda:
"Dan akan datang pada manusia suatu zaman dimana para faqihnya sedikit sedangkan
Qurranya banyak; mereka menghafal huruf-huruf al Qur'an dan menyia-nyiakan norma-
normanya, (pada masa itu) banyak orang yang meminta tetapi sedikit yang memberi, mereka
memanjangkan khutbah dan memendekkan sholat, serta memperturutkan hawa nafsunya
sebelum beramal." (HR Malik)

Lebih jauh tentang pengertian Fiqh seperti disebutkan diatas, Shadru al Syari'ah Ubaidillah bin
Mas'ud menyebutkan: "Istilah fiqh menurut generasi pertama identik atas ilmu akhirat dan
pengetahuan tentang seluk beluk kejiwaan, sikap cenderung kepada akhirat dan meremehkan
dunia, dan aku tidak mengatakan (kalau) fiqh itu sejak awal hanya mencakup fatwa dan
(urusan) hukum-hukum yang dhahir saja."

Demikian juga Ibnu Abidin, beliau berkata: "Yang dimaksud Fuqaha adalah orang-orang yang
mengetahuai hukum-hukum Allah dalam i'tikad dan praktek, karenanya penamaan ilmu furu'
sebagai fiqh adalah sesuatu yang baru."

Definisi tersebut diperkuat dengan perkataan al Imam al Hasan al Bashri: "Orang faqih itu
adalah yang berpaling dari dunia, menginginkan akhirat, memahami agamanya, konsisten
beribadah kepada Tuhannya, bersikap wara', menahan diri dari privasi kaum muslimin, ta'afuf
terhadap harta orang dan senantiasa menasihati jama'ahnya."

Pengertian fiqh dalam terminologi Mutaakhirin

Dalam terminologi mutakhirin, Fiqh adalah Ilmu furu' yaitu:"mengetahui hukum Syara' yang
bersipat amaliah dari dalil-dalilnya yang rinci.
Syarah/penjelasan definisi ini adalah:
- Hukum Syara': Hukum yang diambil yang diambil dari Syara'(Al-Qur'an dan  
                           As-Sunnah), seperti; Wajib, Sunah, Haram, Makruh dan Mubah.
- Yang bersifat amaliah: bukan yang berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan.
- Dalil-dali yang rinci: seperti; dalil wajibnya sholat adalah "wa Aqiimus
                                     sholaah", bukan kaidah-kaidah umum seperti kaidah Ushul
                                     Fiqh.

Dengan definisi diatas, fiqh tidak hanya mencakup hukum syara' yang bersifat dharuriah
(aksiomatik), seperti; wajibnya sholat lima waktu, haramnya hamr, dsb. Tetapi juga mencakup
hukum-hukum yang dhanny, seperti; apakah menyentuh wanita itu membatalkan wudhu atau
tidak? Apakah yang harus dihapus dalam wudhu itu seluruh kepala atau cukup sebagiannya
saja?

Lebih spesifik lagi, para ahli hukum dan undang-undang Islam memberikan definisi fiqh dengan;
Ilmu khusus tentang hukum-hukum syara' yang furu dengan berlandaskan hujjah dan argumen.

E.   HAKIKAT ILMU JIWA


PEGERTIAN ILMU JIWA
Ilmu jiwa (psikologi) adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku dan proses mental yang
terjadi pada manusia. Dengan kata lain, ilmu ini meneliti tentang peranan yang dimainkan
dalam perilaku manusia. Psikologi meneliti tentang suara hati (dhamir), kemauan (iradah), daya
ingat, hafalan, prasangka (waham), dan kecenderungan-kecenderungan (awathif) manusia. Itu
semua menjadi lapangan kerja jiwa yang menggerakkan perilaku manusia.
Ilmu jiwa mengarahkan pembahasan pada aspek batin yang di dalam Qur’an diungkapkan
dengan istilah insan. Dimana istilah ini berkaitan erat dengan kegiatan manusia yaitu kegiatan
belajar, tentang musuhnya, penggunaan waktunya, beban amanah yang dipikulkan,
konsekuensi usaha perbuatannya, keterkaitan dengan moral dan akhlak, kepemimpinannya,
ibadahnya dan kehidupannya di akhirat. Quraish Shihab mengemukakan bahwa secara nyata
terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik dan sebaliknya.
Berarti manusia memiliki kedua potensi tersebut. Beliau mengutip ayat yang berbunyi:
“Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan
buruk”) (QS. Al-Balad, 90: 10)

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. (QS. As-Syams: 7-8)

Dalam diri manusia terdapat potensi rohaniah yang cenderung kepada kebaikan dan
keburukan. Potensi rohaniah secara lebih dalam dikaji dalam ilmu jiwa. Untuk mengembangkan
ilmu akhlak kita dapat memanfaatkan informasi yang diberikan oleh ilmu jiwa. Di dalam ilmu jiwa
terdapat informasi tentang perbedaan psikologis yang dialami seseorang pada setiap jenjang
usianya.

F.   Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Kalam, Ilmu Filsafat, Ilmu Fiqih, Dan Ilmu Jiwa

Ø  HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM


          Ilmu kalam adalah disiplin ilmu keIslaman yang banyak mengedepankan pembicaraan
tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah
sampai pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional
(aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang
cenderung menggunakan metode berpikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah biasanya
bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits. Pembicaraan materi-
materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh rasa rohaniah. Sebagai
contoh, ilmu kalam menerangkan bahwa Allah bersifat Sama’, Bashar, Kalam, Iradah, Qudrah,
Hayat, dan sebagainya. Namun, ilmu kalam tidak menjelaskan bagaimana seorang hamba
dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan melihatnya, bagaimana pula perasaan
hati seseorang ketika membaca Al-Qur’an, bagaimana seseorang merasa bahwa segala
sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari kekuasaan Allah ? 

          Pernyataan-pernyataan diatas sulit terjawab hanya dengan berlandaskan pada ilmu
kalam. Biasanya, yang membicarakan penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan
manusia adalah ilmu Tasawuf. Disiplin inilah yang membahas bagaimana merasakan nilai-nilai
akidah dengan memperhatikan bahwa persoalan bagaimana merasakan tidak saja termasuk
dalam lingkup hal yang diwajibkan. Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan
definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara
pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan
keyakinan dan ketentraman. Sebagaimana dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari
kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya oleh seseorang.
Sebab terkadang seseorang sudah tahu batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap saja
melaksanakannya.

          Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu Tasawuf mempunyai fungsi sebagai berikut.
1.     Sebagai pemberi wawasan  spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang
mendalam lewat hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan
dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu Tasawuf merupakan penyempurna ilmu kalam.
2.        Berfungsi sebagai pengendali ilmu Tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran
yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika
bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum
pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus ditolak.
3.        Berfungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam.
Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu
yang mengandung muatan rasional disamping muatan naqliyah, ilmu kalam dapat bergerak
kearah yang lebih bebas. Disinilah ilmu Tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga
ilmu kalam terkesan sebagai dialektika keIslaman belaka, yang kering dari kesadaran
penghayatan atau sentuhan hati.

Andaikata manusia sadar bahwa Allahlah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan
sirna, kalau saja dia tahu kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak akan ada rasa sombong
dan membanggakan diri. Kalau saja manusia sadar bahwa Allahlah pencipta segala sesuatu,
niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya. Dari sinilah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid
merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah (pendakian para kaum sufi). Dalam
ilmu Tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu kalam terasa lebih bermakna,
tidak kaku, tetapi akan lebih dinamis dan aplikatif.

Ø  HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU FALSAFAH

Biasanya Tasawuf dan filsafah selalu dipandang berlawanan. Ada juga anggapan bahwa
pencarian jalan Tasawuf mengharuskan pencelaan filsafat, tidak hanya berupa timbal balik dan
saling mempengaruhi, bahkan asimilasi (perpaduan) dan hubungan ini sama sekali tidak
terbatas pada kebencian dan permusuhan. Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani, kebersatuan
dengan kebenaran mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan sunnah. Sedangkan
filsafah tidak dimaksudkan hanya filsafah peripatetic yang rasionalistik, tetapi seluruh mazhab
intelektual dalam kultur Islam yang telah berusaha mencapai pengetahuan mengenai sebab
awal melalui daya intelek. Filsafat terdiri dari filsafat diskursif (bahtsi) maupun intelek intuitif
(dzawqi).
Hubungan antara Tasawuf dan filsafat, yaitu : 
1.        Bentuk hubungan yang paling luas antara Tasawuf dan filsafat tentu saja adalah
pertentangan satu sama lain, sebagaimana tampak dalam karya-karya al-Ghazali bersaudara,
Abu hamid dan Ahmad. Dan penyair sufi besar seperti Sana’I, Athar, dan Rumi. Kelompok sufi
ini hanya memperhatikan aspek rasional dari filsafat, dan setiap kali berbicara tentang intelek,
mereka tidak mengartikan intelek dalam arti mutlaknya, namun mengacu kepada aspek rasional
intelek (akal). Athar juga memahami filsafat hanya sebagai filsafat peripatetic yang rasionalistik,
dan menekankan bahwa hal itu tidak boleh dikelirukan dengan misteri ilahiah dan pengetahuan
ilahiah, yang merupakan usaha puncak pensucian jiwa dibawah bimbingan spiritual para guru
sufi. Intelek tidak sama dengan hadist Nabi dan falsafah tidak sama dengan teosofi (hikmah)
dalam makna Qur’aninya. Matsnawi adalah sebuah Masterpiece filsafat.
2.         Hubungan antara Tasawuf dan filsafat tampak dalam munculnya bentuk khusus yang
terjalin erat dengan filsafat. Meskipun bentuk tasawuf ini tidak menerima filsafat peripatetic dan
mazhab-mazhab filsafat lain yang seperti itu, namun ia sendiri tercampur dengan filsafat atau
teosofi (hikmah) dalam bentuknya yang paling luas. Dalam mazhab Tasawuf itu, intelek sebagai
alat untuk mencapai realitas tentang yang mutlak dengan memperoleh kedudukan yang tinggi.
Dengan demikian, dalam tasawuf berkembang satu jenis teosofi (ilmu ilahi) yang tidak hanya
datang untuk menggantikan filsafat didunia Arab, tapi di Persia ia juga amat mempengaruhi jika
bukan menggantikan filsafat dan kemudian secara amat efektif  menggabungkan filsafat dan
Tasawuf, bahkan mengganti nama Tasawuf menjadi Irfan (gnosis,makrifat) pada periode
safawi. Penentangan terhadap filsafat masih tetap tampak, tapi penentangan ini sebenarnya
muncul dalam kaitannya dengan istilah falsafah dan rasionalisme. Hubungan Tasawuf dan
filsafah berbeda dari apa yang diamati dalam tasawuf yang didominasi cinta, seperti pada Athar
dan lainnya.
3.        Hubungan antara Tasawuf dan filsafat ditemukan dalam karya-karya para sufi yang
sekaligus juga filosof, Yang telah berusaha untuk merujuk tasawuf dan filsafat. Afdhaluddin
kasyani, Quthbuddin syirazi, Ibd Turkah al-Isfahani, dan Mir Abul Qosim findiriski, orang-orang
ini seluruhnya adalah sufi yang berjalan pada jalan spiritual dan telah mencapai maqam
spiritual, dan beberapa diantara mereka terdapat para wali, tetapi pada saat yang sama secara
mendalam memahami filsafat dan cukup mengherankan, beberapa diantara mereka lebih
tertarik pada  filsafat peripatetic dan rasionalistik daripada filsafat intuitif (dzawqi), sebagaimana
dapat diamati dalam kasus Mir Findiriski yang amat mendalami As-Syifanya Ibnu Sina. Diantara
kelompok ini, Afdhaluddin Kasyani memegang kedudukan yang unik. Ia tidak hanya salah satu
sufi terbesar yang hingga hari ini mouseleumnya di Maqam Kasyani menjadi tempat Ziarah,
baik orang-orang yang awam maupun orang-orang terpelajar, tetapi ia juga dianggap sebagai
salah satu filosof Persia terbesar yang sumbangannya bagi pengembangan bahasa filsafat
Persia tak tertandingi. Karya-karya filsafatnya dalam logika, teologi, ataupun dalam ilmu-ilmu
alam ditulis dalam bahasa Persia yang jelas dan fasih, dan merupakan Masterpiece dalam
bahasa ini. Ia tidak hanya menunjukkan dengan jelas wawasan tasawuf dalam syair-syairnya,
namun dalam hal logika dan filsafat yang paling ketat sekalipun. Figur besar lain seperti
Quthbuddin al-Syirazi, yang dalam masa remajanya bergabung dengan para sufi dan juga
menulis karya besar dalam filsafat peripatetic dalam bahasa Persia, Durrat al-Tajj, lalu bin
Turkah Isfahani, yang Tamhid al-Qawaidnya merupakan Masterpiece filsafat sekaligus
Tasawuf, dan Mir Abul Qosim Findiriski, yang menjadi komentator karya metafisika Hindu
penting, Yoga Vaisithsa adalah sufi dan ahli makrifat   yang kepadanya banyak mukjizat
dinisbatkan. Mereka semua sesungguhnya adalah para pengikut mazhab Afdhluddin Kasyani,
sejauh menyangkut upaya pemantapan hubungan antara Tasawuf dan Filsafat.
4.        Kategorisasi umum kita mengenai hubungan Tasawuf dengan filsafat, mencakup para
filosof yang mempelajari atau mempraktekan Tasawuf. Yang pertama dari kelompok ini adalah
Al-Farabi, yang mempraktekan Tasawuf dan bahkan telah mengubah musik yang dimainkan
dalam pertemuan Sama’ pada sufi, mutiara hikmah yang dinisbatkan kepadanya sangatlah
penting. Karena, pada dasarnya, inilah buku mengenai filsafat maupun makrifat dan hingga kini
diajarkan di Persia bersama komentar-komentar makrifati.

Ø  HUBUNGAN  TASAWUF DENGAN ILMU FIQIH

          Biasanya, pembahasan kitab-kitab fiqih selalu dimulai dari Thaharah, kemudian
persoalan-persoalan kefiqihan lainnya. Namun, pembahasan ilmu fiqih tentang thaharah atau
yang lainnya secara tidak langsung terkait dengan pembicaraan nilai-nilai rohaniahnya.
Persoalannya sekarang, disiplin ilmu apakah yang dapat menyempurnakan ilmu fiqih dalam
persoalan-persoalan tersebut ? Ilmu Tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat
karena ilmu ini berhasil memberikan corak batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud
adalah ikhlas dan khusyuk berikut jalannya masing-masing. Bahkan ilmu ini mampu
menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih. Akhirnya,
pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah.

          Dahulu para ahli fiqih mengatakan “Barang siapa mendalami fiqih, tetapi belum
bertasawuf, berarti ia fasik. Barang siapa bertasawuf, tetapi belum mendalami fiqih, berarti ia
zindiq. Dan Barang siapa melakukan ke-2 nya, berarti ia melakukan kebenaran”. Tasawuf dan
fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara ke-2
nya, berarti disitu terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi
berjalan tanpa fiqih, atau seorang ahli tidak mengamalkan ilmunya. Jadi, seorang ahli sufi harus
bertasawuf (sufi), harus memahami dan mengikuti aturan fiqih. Tegasnya, seorang fiqih harus
mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara
pengamalannya. Seorang sufi pun harus mengetahui aturan-aturan hukum dan sekaligus
mengamalkannya. Ini menjelaskan bahwa ilmu Tasawuf dan ilmu Fiqih adalah 2 disiplin ilmu
yang saling melengkapi.

Ilmu tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena ilmu ini memberikan
corak batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud, seperti ikhlas dan khusu’ berikut
jalannya masing-masing. Bahkan, ilmu ini dapat menumbuhkan kesiapan manusia untuk
melaksanakan hilim-hukum fiqih. Alasannya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan
sempurna tanpa perjalanan rohaniyah.
Makrifat secara rasa terhadap Allah melahirkan pelaksanaan hukum-hukum-Nya secara
sempurna. Dari sinilah dapat diketahui kelirunya pendapat yang menuduh perjalanan menuju
Allah (dalam tasawuf) sebagai tindakan melepaskan diri dari hukum-hukum Allah.
Allah SWT sendiri telah berfirman:

Artinya: ”Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak mengetahui”.
Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Junaid – seperti dikutip Sa’id Hawwa’ – menuduh sesat
golongan yang menjadikan whusul (mencapai) Allah sebagi tindakan untuk melepaskan diri dari
hukum-hukum syari’at. Lebih tegas ia mengatakan, Betul mereka sampai, tetapi ke neraka
saqar”.
Dahulu para ahli fiqih mengatakan, ”barangsiapa mendalami fiqih tetapi belum bertasawuf,
berarti ia fasik; barang siapa bertasawuf tetapi belum mendalami fikih berarti aia zindiq; Dan
barangsiapa melakukan keduanya, berarti ia ber-tahaqquq (melakukan kebenaran).”
tasawufdan fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi
pertentangan antara keduanya, berarti ia terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya,
boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fikih atau menjauhi fikih, atau seorang ahli fikih tidak
mengamalkan ilmunya.
Jadi, seorang ahli fikih harus bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf pun harus mendalmi
dan mengikuti aturan fikih. Tegasnya, seorang fakih harus mengetahui hal-hal yang
berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang
sufu pun harus m,engetahui aturan-aturan hukum dan sekligus mengamalkannnya. Syeikh A-
Rifa’i berkata, ”Sebenarnya tujuan akhir para ulama dan para sufi dalah satu. ”Pernyataan Ar-
Rifa’i diatas perlu dikemukakan sebab beberapa sufi yang ”terkelabui” selalu menghujat setiap
orang dengan perkataan, ”orang yang tidak memiliki syaikh, maka syaikhnya adalah setan.”
Ungkapan ini diungkapkan seorang sufi bodoh yang berpropaganda untuk seikhnya; atau
dilontarkan oleh sufi keliru yang tidak tahu bgaimana seharusnya mendudukkan tasawuf pada
tempat yang sebenarnya.
Para pengamat Ilmu Tasawuf mengakui bahwa orang yang telah berhasil menyatukan ilmu
tasawuf dengan fikih adalah Al-Ghazali. Kitab Ihya’ Ulumuddinnya dapat dipandang sebagai
kitab yang dapat mewakili dua disiplin ilmu ini, disamping disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu
kalam dan filsafat. Paparan diatas telah menjelaskan bahwa ilmu tasawuf mengakui bahwa
tasawuf dan ilmu fikih adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus
menempuh keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin
ilmu ini sangat beragam, sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat dipahami bahwa
ilmu fikih, yanbg terkesan sangat formalistik – lahiriyah, menjadi sangat kering, kaku, dan tidak
mempunyai makna bagi penghambaan seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran
rohaniyah yang dimiliki ilmu tsawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-
sikap ”merasa suci” sehingga tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam
ilmu fikih.

Ø  HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU JIWA

          Dalam pembahasan Tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Yang
dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam Tasawuf tersebut
adalah terciptanya keserasian antara ke-2 nya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini
dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktikan
manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari
sini, baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dkategorikan sebagai perbuatan
jelek atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang baik, ia disebut orang
yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang  ditampilkannya jelek, ia disebut sebagai
orang yang berakhlak jalek. Dalalm pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang
bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Jika yang berkuasa dalam tubuhnya
adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, yang akan tampil dalam perilakunya adalah perilaku
hewani atau nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang akan tampil
dalam perilakunya adalah perilaku insani pula. Orang yang sehat mentalnya adalah yang
mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup, karena orang-orang inilah yang dapat
merasakan bahwa dirinya berguna, berharga, dan mampu menggunakan segala potensi dan
bakatnya semaksimal mungkin dengan cara membawa kebahagiaan dirinya dan orang lain.
Disamping itu, ia mampu menyesuaikan diri dalam arti yang luas, terhindar dari kegelisahan-
kegelisahan dan gangguan jiwa, serta tetap terpelihara moralnya.

Semua praktek dan amalan-amalan dalam tasawuf adalah merupakan latihan rohani dan
latihan jiwa untuk melakukan pendakian spritual kerah yang lebih baik dan lebih sempurna.
Dengan demikian, amalan-amalan tasawuf tersebut adalah bertujuan untuk mencari
ketenangan jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih kokoh dalam menempuh liku-liku problem
hidup yang beraneka ragam serta untuk mencari hakekat kebenaran yang dapat mengatur
segala-galanya dengan baik.
Manusia sebagai makhluk Allah memiliki jasmani dan rohani. Salah satu unsur rohani manusia
adalah hati (Qalbu) disamping hawa nafsu. Karena itu penyakit yang dapat menimpa mansia
ada dua macam, yaitu penyakit jasmani dan penyakit rohani atau jiwa atau qalbu.
Di dalam beberapa ayat Al-Qur’an dikatakan bahwa di dalam hati manusia itu ada penyakit,
Antara lain penyakit jiwa manusia itu adalah iri, dengki, takabur, resah, gelisah, khawatir, stress
dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Dengan tasawuf manusia akan dapat menghindarkan diri dari penyakit kejiwaan (psikologis)
berupa prilaku memperturutkan hawa nafsu keduniaan, seperti: iri, dengki, takabbur, resah,
gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Tasawuf berusaha untuk melakukan kontak batin dengan tuhan bahwa berusaha untuk berada
dihadirat Tuhan, sudah pasti akan memberikan ketentraman batin dan kemerdekaan jiwa dari
segala pengaruh penyakit jiwa.
Dengan demikian antara tasawuf dengan ilmu jiwa memiliki hubungan yang erat karena salah
satu tujuan praktis dari ilmu jiwa adalah agar manusia memiliki ketenangan hati, ketentraman
jiwa dan terhindar dari penyakit-penyakit psikologis seperti dengki, sombong, serakah, takabbur
dan sebagainya.
Tasawuf juga selalu membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja,
jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-
sentuhan keislaman. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia
muslim.
Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spritualitas (tasawuf) dan
ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang
kajian kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang
dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah
terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini
dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauhmana hubungan perilaku yang
diperaktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu
dapat terjadi. Dari sini baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan
sebagai perbuatan buruk atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang
adalah perbuatan baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang
ditampilkan jelek ia disebut sebagai orang yang berakhlak buruk.
Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang tergantung pada jenis jiwa yang
berkuasa pada dirinya. Jika yang berkuasa atas dirinya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati,
prilaku yang tampil adalah prilaku hewani dan nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa
adalah nafsu insani, yang tampil adalah prilaku insani pula.

Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, berarti bahwa
hakikat zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spritual dan kejiwaannya.
Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidaklah berarti bahwa para sufi
mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat
memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi
khalifah-Nya dibumi.
Dengan demikian, pada aspek lain psikologi juga kita temukan masih menggunakan teori dan
metodologi psikologi modern. Dan sedangkan tasawuf lepas sama sekali dari teori dan
metodologi psikologi modern. Inilah yang membedakan antara tasawuf dengan psikologi Islam.
Namun pada sisi lain tasawuf juga memberi kontribusi besar dalam pengembangan Psikologi
Islam, karena tasawuf merupakan bidang kajian Islam yang membahas jiwa dan gejala
kejiwaan. Unsur Islam dalam psikologi Islam akan banyak berasal dari tasawuf. Dan hanya
sedikit berbeda antara tasawuf dengan ilmu kejiwaan adalahdari metode sistem pandangannya
terhadap mempelajari kejiwaan manusia. Jika kita lihat tasawuf melihat manusia dari sisi
internalnya artinya langsung mempelajari isi dan kondisi hati ataupun kejiwaan manusia
bagaimana seharusnya. Sedangkan ilmu jiwa ataupun yang sering dikenal dengan psikologi
mempelajari dan mendeskripsikan kejiwaan manusia dari eksternal manusia yaitu dengan
mempelajari hal-hal yang tampak dari sikap dan prilaku manusia apa adanya karena
menurutnya dari mempelajari prilakunya kita dapat menggambarkan bagaimana kondisi
kejiwaannya.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
a)   Hubungan Ilmu Tasawuf dengan ilmu kalam adalah Kebenaran dalam Tasawuf berupa
tersingkapnya (kasyaf) Kebenaran Sejati (Allah) melalui mata hati. Tasawuf menemukan
kebenaran dengan melewati beberapa jalan yaitu: maqomat, hal (state) kemudian fana'.
Sedangkan kebenaran dalam Ilmu Kalam berupa diketahuinya kebenaran ajaran agama melalui
penalaran rasio lalu dirujukkan kepada nash (al-Qur'an & Hadis)..
Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya,
serta kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan
jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman. Sebagaimana
dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya
diketahui batasan-batasannya oleh seseorang. Sebab terkadang seseorang sudah tahu
batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap saja melaksanakannya.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu Tasawuf mempunyai fungsi sebagai berikut.
Sebagai pemberi wawasan  spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam
lewat hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam
perilaku. Dengan demikian, ilmu Tasawuf merupakan penyempurna ilmu kalam.
b)      Hubungan Ilmu Tasawuf dengan ilmu filsafat, Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani,
kebersatuan dengan kebenaran mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan sunnah.
Sedangkan filsafah tidak dimaksudkan hanya filsafah peripatetic yang rasionalistik, tetapi
seluruh mazhab intelektual dalam kultur Islam yang telah berusaha mencapai pengetahuan
mengenai sebab awal melalui daya intelek. Filsafat terdiri dari filsafat diskursif (bahtsi) maupun
intelek intuitif (dzawqi)..
c)    Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling
melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan
perseorangan terhadap kedua disiplin ilmu ini sangat beragam, sesuai dengan kadar kualitas
ilmunya. Dari sini dapat dipahami bahwa ilmu fikih, yanbg terkesan sangat formalistik –
lahiriyah, menjadi sangat kering, kaku, dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan
seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniyah yang dimiliki ilmu tsawuf. Begitu
juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap ”merasa suci” sehingga tidak perlu lagi
memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam ilmu fikih.
d)   Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Jiwa adalah Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan
tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikendaki dari uraian tentang hubungan
antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antar keduanya.
Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi untuk melihat sejauh mana
hubungan prilaku yang diperaktekan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya
sehingga perbuatan itu terjadi, dari sini terlihatlah perbuatan itu berakhlak baik atau sebaliknya.

Dari uraian diatas kami dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa ilmu tasawuf adalah suatu
ilmu yang sangat penting dimiliki manusia karena dengan ilmu tasawuf jiwa kita lebih tenang
dan damai. Dan bertasawuf bukanlah harus dengan bertarikat tapi hakikat ilmu tasawuf adalah
pembinaan jiwa kerohanian sehingga bisa berhubungan dengan Allah sedekat mungkin.

B. SARAN

Maka dengan begitu kita semua bisa bertasawuf walaupun apapun berprofesinya, karena inti
tasawuf adalah terisinya jiwa dengan akhlak yang baik dan kesucian jasmani dan rohani dari
akhlak yang tercela. Untuk itu menurut kami orang yang bisa menjaga dirinya dari kedua hal
tersebut juga sudah dinamakan hidup bertasawuf

DAFTAR PUSTAKA :

-http://irpanharahap.blogspot.com/2011/07/hubungan-tasawuf-dengan-ilmu-lainnya.html
-http://ajiraksa.blogspot.com/2011/05/hubungan-tasawuf-dengan-ilmu-kalam-ilmu.html
http://www.jadilah.com/2011/11/hubungan-ilmu-kalam-tasawuf-dan.html
-http://www.cliquers-transetter.blogspot.com/2012/02/makalah-tentang-hubungan-tasawuf-
dengan.html

Anda mungkin juga menyukai