Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

KARAKTERISTIK TASAWUF FALSAFI


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah
Mata Kuliah: Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu :
Dr. Aftonur Rosyad, M.Ud

Disusun Oleh:
1. Camila Dzakirotil Fadhila [401220043]
2. Devi Ratna Sari [401220051]

Kelas: ES.B Semester 1

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


INSTITUT NEGERI ISLAM PONOROGO
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang sudah melimpahkan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyusun makalah
Metodologi Sejarah Islam dengan baik serta tepat waktu. Terima kasih kami
ucapkan kepada dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan serta
bimbingannya.
Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk menjelaskan tentang Islam dan
Globalisasi. Kami berharap makalah ini bisa bermanfaat baik bagi pembaca
maupun penulisnya. Kami menyadari dalam menunyusun makalah ini masih
banyak kekurangan. Maka dari itu, kami sangat mengharapan kritik dan saran
yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Metodologi Sejarah Islam yang kami
buat ini bisa memberikan informasi dan ilmu yang bermanfaat serta barokah bagi
kita semua. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada para pembaca yang telah
membaca makalah ini hingga akhir.

Ponorogo, 15 September 2022

Penulis
Daftar Isi
Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Banyak pendapat yang masyhur mengatakan bahwa peranan
tasawuf dalam peneyebaran Islam di Bumi Nusantara sangat besar.
Bahkan motif utama dalam penyebaran Islam di Indonesia adalah
tasawuf. Sedemikian pentingnya tasawuf ini maka selalu saja menjadi
kajian menarik untuk terus dibahas. Entah sudah berapa banyak karya
ilmiah tentang tasawuf yang berhasil ditulis kemudian dipublikasikan.
Tidak hanya berhenti sampai di situ, kajian mengenai tasawuf terus
berlanjut dengan cara pengamalan melalui jalan tariqat. Sekarang ini
tempat-tempat persulukan menjamur dan tumbuh subur. Nampaknya
telah terjadi kesadaran di kalangan umat Islam bahwa jalan untuk
mengenal Tuhan lebih dekat harus dilewati bersama dengan guru
spiritual. Atau pertanyaannya berlanjut, mungkinkah manusia modern
sudah merasa sedemikian gersangnya dunia ini, sehingga semakin
banyak orang yang memilih tempat teduh melelui praktik-praktik
tasawuf.
Salah satu cabang dalam ilmu tasawuf adalah apa yang disebut
dengan tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi merupakan upaya pendekatan
atau mengenal Tuhan melalui jalan rasional atau menggunakan filsafat.
Sehingga di ujungnya nanti, seorang yang mengamalkan ajaran
tasawuf tidak hanya sekadar dekat dengan Tuhan tetapi juga dapat
menyatu dengan tuhan (wahdatul wujud).
Secara sederhana tasawuf falsafi berisi tentang pemikiran-
pemikiran filsafat yang menggabungkan antara mistisme dan rasional
sekaligus. Memang kedengarannya agak aneh, bahwa mistisme
disatukan dengan rasional, sebab tidak bisa akal menjangkau
mistisme. Sehingga banyak kalangan yang sering mencap
bahwa tasawuf falsafi adalah tasawuf yang menyeleweng.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Tasawuf Falsafi
2. Batasan Tasawuf Sunni dan Falsafi
3. Rentang perkembangan Tasawuf Falsafi
4. Ragamitas pemikiran Tasawuf Falsafi
5. Kenapa terdapat perbedaan dalam pemikiran Tasawuf?
6. Kenapa penganut Tasawuf Falsafi tidak massive?
C. Tujuan
1.
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Falsafi

Tasawuf Falsafi yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan


antara visi intuitif dan visi rasional. Terminologi falsafi yang digunakan
berasal dari macam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para
tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tidak hilang. Walaupun
demikian, tasawuf Falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat, karena
ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq). Selain itu, tasawuf ini
tidak pula dapat dikategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering
diungkapkan dengan bahasa filsafat.
Tasawuf Falsafi ini mulai muncul dengan jelas dalam khazanah
Islam sejak abad VI Hijriah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad
kemudian. Pada abad ini tasawuf Falsafi terus hidup dan berkembang,
terutama di kalangan para sufi yang juga filsuf sampai masa menjelang
akhir-akhir ini.
Pemanduan antara tasawuf dan filsafat dengan sendirinya telah
membuat ajaran-ajaran tasawuf Falsafi bercampur dengan sejumlah ajaran
filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India dan agama Nasrani.
Namun, orisinalistasnya sebagai tasawuf tidak hilang. Para tokohnya tetap
berusaha menjaga kemandirian ajarannya, meskipun ekspanasi Islam
meluas pada waktu itu sehingga membuat mereka memiliki latar belakang
kebudayaan dan pengetahuan yang beragam. Sikap ini dengan sendirinya
dapat menjawab pertanyaan mengapa para tokoh tasawuf Falsafi begitu
gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar islam
ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi
filsafat yang maknanya telah disesuaikan dengan tasawuf yang mereka
anut.
Para sufi yang juga filsuf ini mengenal dengan baik tokoh-tokoh
filsafat Yunani seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Begitu pula dengan
aliran Stoa dan aliran Neo-Platonisme. Mereka cukup akrab degan filsafat
Hermenetisme, yang karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab, juga filsafat-filsafat Timur Kuno, baik dari Persia maupun
India. Mereka pun menelaah karya-karya para filsuf muslim, seperti Al-
Farabi dan Ibnu Sina. Pemikiran mereka dipengaruhi aliran batiniah sekte
Syi’ah Isma’iliyyah dan risalah-risalah Ikhwan Ash-Shafa. Mereka
memiliki pemahaman yang luas di bidang ilmu-ilmu agama, seperti ilmu
fiqih, ilmu kalam, ilmu hadist, dan ilmu tafsir. Jelasnya, mereka bercorak
ensiklopedis dan berlatar belakang budaya yang bermacam-macam.
Sebagai sebuah tasawuf yang bercampur dengan pemahaman
filsafat, tasawuf Falsafi memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda
dengan tasawuf Sunni. Adapun karakteristik tasawuf Falsafi secara umum
mengandung kesamaran akibat banyaknya pengungkapan dan peristilahan
khusus yang hanya dapat dipahami oleh nereka yang memahaminya.
Selanjutnya, tasawuf Falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat, karena
ajaran dan metodenya didasarkan pada (dzauq) dan tidak pula
dikategorikan sebagai tasawuf, karena ajarannya sering diungkapkan
dalam bahasa dan terminologi filsafat, serta cenderung kepada panteisme.
Perkembangan tasawuf sebagai latihan untuk merealisasikan
kesucian dalam batin dalam perjalanan menuju kedekatan bagi Allah,
menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan
filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang filosofis atau
filsuf yang Sufis. Tasawuf mereka disebut tasawuf Falsafi, yaitu tasawuf
yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Ajaran yang paling
banyak dipergunakan adalah emanasi Neo-Platonisme dalam sebuah
variasinya. Dikatakan Falsafi, sebab konteksnya sudah memasuki wilayah
ontologi (ilmu kaun), yaitu hubungan Allah dengan alam semesta. Dengan
demikian, wajarlah jika jenis tasawuf ini berbicara masalah emanasi
(faidh), inkarnasionisme (hulul), persatuan roh Tuhan dengan roh manusia
(ittihad), dan keesaan (wahdah).
Berdasarkan karakteristik umum itu, tasawuf Falsafi memiliki
objek tersendiri yang berbeda dengan tasawuf Sunni. Menurut Ibnu
Khaldun, dalam karyanya, Muqadimmah, menyimpkan bahwa ada empat
objek utama yang menjadi perhatian para sufi Falsafi, antara lain yaitu
sebagai berikut.

Pertama, latihan rohaniah dengan rasa, intuisi dan intropeksi diri.


Mengenal latihan rohaniah, baik dengan tahapan (maqam), keadaan (hal),
dan rasa (dzauq), para sufi Falsafi cenderung sependapat dengan para sufi
Sunni sebab, masalah tersebut, menurut Ibnu Khaldun, merupakan sesuatu
yang tidak dapat ditolak oleh siapapun.

Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib,


seperti sang Pencipta, sifat-sifat-Nya,arsy, kursi, malaikat, wahyu,
kenabian, roh, dan hakikat realitas. Mengenal ilmunasi ini, para sufi
Falsafi melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat
dan menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan dzikir. Menurut
mereka, dzikir membuat jiwa dapat memahami hakikat realitas.
Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam yang terpengaruh terhadap
berbagai bentuk kekeramatan.

Keempat, penciptaan ungkapan yang pengertiannya sepintas


samar-samar (syatahiyyat). Hal ini memunculkan reaksi masyarakat yang
beragam, baik mengingkari, menyetujui, maupun menginterprestasikannya
dengan interprestasi yang bereda-beda.

Tasawuf Falsafi juga memiliki karakteristik khusus yang


membedakan dengan tasawuf lainnya, di antaranya sebagai berikut.

Pertama, tasawuf Falsafi banyak mengonsepsikan pemahaman


ajarannya dengan menggabungkan antara pemikiran rasional filosofis
dengan perasaan (dzauq). Kendati demikian, tasawuf jenis ini juga sering
mendasarkan pemikirannya dengan mengambil sumber-sumber naqliyyah,
tetapi dengan interprestasi dan ungkapan yang samar-samar serta sulit
dipahami orang lain. Kalaupun dapat diinterprestasikan oleh orang lain,
interprestasi itu cederung kurang tepat dan lebih bersifat subjektif.

Kedua, seperti halnya tasawuf jenis lain, tasawuf Falsafi


didasarkan pada latihan-latihan rohaniah (riyadhah), yang dimaksudkan
sebagai peningkatan moral dan mencapai kebahagiaan.

Ketiga, tasawuf Falsafi memandang iluminasi sebagai metode


untuk mengetahui beberapa hakikat realitas, yang menurut penganutnya
dapat dicapai dengan fana.

Keempat, para penganut tasawuf Falsafi ini selalu menyamarkan


ungkapan-ungkapan tentang hakikat realitas dengan berbagai symbol atau
terminologi.

Dalam beberapa segi para sufi Falsafi ini melebihi para sufi Sunni.
Hal itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, mereka adalah penyusun
teori yang baik tentang wujud, sebagaimana terlihat dalam karya-karya
mereka. Dalam hal yang satu ini, mereka tidak menggunakan ungkapan-
ungkapan syatahiyyat. Kedua, kelihaian mereka menggunakan symbol-
simbol sehingga ajarannya tidak begitu saja dapat dipahami orang lain.
Ketiga, kesiapan mereka yang sungguh-sungguh terhadap diri sendiri atau
ilmu-ilmunya menyebabkan posisi Tuhan sebagai sesuatu keniscayaan
yang logis tetapi kosong tanpa isi, maka mutakallimin tradisional
menjadikan Dia sebagai penguasa yang absolut yang berbuat sewenang-
wenang. Dipihak lain, para filsuf yang menyembatani agama dan filsafat
terpaksa mempreteli sebagian dan sifat-sifat Tuhan, sehingga Dia tidak
punya kreativitas lagi.
Adapun perkembangan tasawuf beserta tipologinya, secara global
dapat diformasikan adanya tiga konsepsi tentang Tuhan, yaitu konsepsi
etikal, konsepsi estetikal, dan konsepsi uni mistikal.
Konsepsi etikal tentang Tuhan berkembang dikalangan para zuhud
atau asketis sebagai embrio sufisme. Pandangan mereka tentang Tuhan
tidak hanya terbatas seperti pendapat mutakallimin, tetapi lebih dari itu.
Menurut mereka Dzat Tuhan adalah sumber dari segala keindahan dan
kesempurnaan, sumber kekuatan dan memiliki daya iradat yang mutlak.
Tuhan adalah pencipta tertinggi, sekaligus pengatur segala kejadian da
nasal segala yang ada. Oleh karena itu, perasaan takut kepada Tuhan lebih
memengaruhi mereka ketimbang harapan. Karena kuatnya rasa takut
kepada murka Tuhan, seluruh pengabdian yang mereka lakukan bertujuan
demi keselamatan diri dari siksaan-Nya. Dorongan-dorongan yang
demikian memengaruhi hubungan mereka dengan Tuhan dan sikap hidup
terhadap hal-hal yang profan.
Timbulnya doktrin estetikal tentang Tuhan bersumber dan
keyakinan bahwa Tuhan adalah asal segala yang ada, sehingga antara
manusia dan Tuhan ada jalur komunikasi timbal balik. Tuhan, sebagai
Dzat Yang Maha agung dan Maha mulia, juga Dzat yang Maha cantik,
Maha indah, dan sumber segala keindahan. Sesuai dengan salah satu sifat
dasar manusia yang menyukai keindahan dan kecantikan, maka hasrat
mencintai Tuhan adalah manusiawi, karena Dia adalah puncak segala
kehidupan. Konsep teologis estetikal ini dikaitkan dengan Rabi’ah Al-
Adawiyyah melalui dokrin hub atau mahabbah. Mencintai tuhan dan
berbuat apa saja untuk-Nya, adalah motivasi kasih sufi.
Dalam jiwa, tidak ada rasa takut akan siksa Tuhan dan tidak ada
hasrat untuk menikmati surga. Apa yang ada hanyalah keinginan untuk
memperoleh cinta dan keindahan Dzat Tuhan yang abadi. Kaum sufi
mengabdikan diri kepada keyakinan bahwa penciptaan alam semesta
bermotifkan cinta-kasih Tuhan. Penciptaan alam semesta adalah
pernyataan cinta-kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empiris
dan asma-Nya.
Berkembangnya ilmu tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk
merealisasikan kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan
Allah, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang
teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang
filosofis atau filsuf yang Sufis. Konsep-konsep tasawuf mereka disebut
tasawuf Falsafi, yaitu tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran
filsafat. Ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis
tasawuf adalah paham emanasi Neo-Platonisme dalam semua variasinya.
Selain Abu Yazid Al-Busthami, tokoh-tokoh ysng popular dalam
kelompok ini adalah Ibnu Massarah (w. 381 H) dari Andalusia dan
sekaligus sebagai perintis. Berdasakan pemahamannya tentang teori
emanasi, ia berpendapat bahwa melalui jalan tasawuf, manusia dapat
membebaskan jiwanya dari cengkraman badani (materi) dan peroleh sinar
Ilahi secara langsung (ma’rifat sejati). Orang kedua yang
mengombinasikan teori filsafat dengan tasawuf adalah Suhrawardi Al-
Maqtul (w. 578 H)yang berkebangsaan Persia. Ia berpendapat bahwa
dengan usaha keras, seseorang dapat membebaskan jiwanya dari
perangkap ragawi untuk kemudian dapat kembali ke pangkalan pertama,
yaitu alam malakut atau alam Ilahiah. Konsepsi lengkap teori ini kemudian
dikenal dengan nama isyraqiyyah yang ia tuangkan dalam karya tulisnya
Al-Hikmah Al-Israqiyyah. Bersumber dari prinsip yang sama, Al-Hallaj
(w. 308 H) memformulasikan teorinya dalam doktrin hulul, yaitu
perpaduan insan dengan Tuhan secara rohaniah. Sementara itu, manusia
(sufi) yang mampu mencapai hakikat jati dirinya melalui ma’rifat, oleh Al-
Jili (w. 832 H) disebut insan kamil. Perkembangan puncak dari tasawuf
Falsafi, sebenarnya telah dicapai pada konsepsi wahdah al-wujud sebagai
hasil pemikiran mistis dari Ibnu Arabi (w. 638 H). Sementara itu, sebelum
Ibnu Arabi menyusun teorinya, sebagian yang lain berpendapat bahwa
manusia masih dapat melewati maqam ma’rifat, yaitu bersatu dengan
Allah. Dengan lahir dan berkembangnya erenungan tasawuf seperti ini,
maka pembahasan-pembahasan tasawuf sudah lebih bersifat filsafat,
karena sudah menjangkau persoalan metafisik, yaitu masalah Tuhan di
satu sisi dan manusia di sisi lain, bahkan telah memasuki kajian proses
kebersatuan manusia dengan Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai