Dosen Pengampu :
Dr. Aftonur Rosyad, M.Ud
Disusun Oleh:
1. Camila Dzakirotil Fadhila [401220043]
2. Devi Ratna Sari [401220051]
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang sudah melimpahkan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyusun makalah
Metodologi Sejarah Islam dengan baik serta tepat waktu. Terima kasih kami
ucapkan kepada dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan serta
bimbingannya.
Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk menjelaskan tentang Islam dan
Globalisasi. Kami berharap makalah ini bisa bermanfaat baik bagi pembaca
maupun penulisnya. Kami menyadari dalam menunyusun makalah ini masih
banyak kekurangan. Maka dari itu, kami sangat mengharapan kritik dan saran
yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Metodologi Sejarah Islam yang kami
buat ini bisa memberikan informasi dan ilmu yang bermanfaat serta barokah bagi
kita semua. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada para pembaca yang telah
membaca makalah ini hingga akhir.
Penulis
Daftar Isi
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Banyak pendapat yang masyhur mengatakan bahwa peranan
tasawuf dalam peneyebaran Islam di Bumi Nusantara sangat besar.
Bahkan motif utama dalam penyebaran Islam di Indonesia adalah
tasawuf. Sedemikian pentingnya tasawuf ini maka selalu saja menjadi
kajian menarik untuk terus dibahas. Entah sudah berapa banyak karya
ilmiah tentang tasawuf yang berhasil ditulis kemudian dipublikasikan.
Tidak hanya berhenti sampai di situ, kajian mengenai tasawuf terus
berlanjut dengan cara pengamalan melalui jalan tariqat. Sekarang ini
tempat-tempat persulukan menjamur dan tumbuh subur. Nampaknya
telah terjadi kesadaran di kalangan umat Islam bahwa jalan untuk
mengenal Tuhan lebih dekat harus dilewati bersama dengan guru
spiritual. Atau pertanyaannya berlanjut, mungkinkah manusia modern
sudah merasa sedemikian gersangnya dunia ini, sehingga semakin
banyak orang yang memilih tempat teduh melelui praktik-praktik
tasawuf.
Salah satu cabang dalam ilmu tasawuf adalah apa yang disebut
dengan tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi merupakan upaya pendekatan
atau mengenal Tuhan melalui jalan rasional atau menggunakan filsafat.
Sehingga di ujungnya nanti, seorang yang mengamalkan ajaran
tasawuf tidak hanya sekadar dekat dengan Tuhan tetapi juga dapat
menyatu dengan tuhan (wahdatul wujud).
Secara sederhana tasawuf falsafi berisi tentang pemikiran-
pemikiran filsafat yang menggabungkan antara mistisme dan rasional
sekaligus. Memang kedengarannya agak aneh, bahwa mistisme
disatukan dengan rasional, sebab tidak bisa akal menjangkau
mistisme. Sehingga banyak kalangan yang sering mencap
bahwa tasawuf falsafi adalah tasawuf yang menyeleweng.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Tasawuf Falsafi
2. Batasan Tasawuf Sunni dan Falsafi
3. Rentang perkembangan Tasawuf Falsafi
4. Ragamitas pemikiran Tasawuf Falsafi
5. Kenapa terdapat perbedaan dalam pemikiran Tasawuf?
6. Kenapa penganut Tasawuf Falsafi tidak massive?
C. Tujuan
1.
BAB II PEMBAHASAN
Dalam beberapa segi para sufi Falsafi ini melebihi para sufi Sunni.
Hal itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, mereka adalah penyusun
teori yang baik tentang wujud, sebagaimana terlihat dalam karya-karya
mereka. Dalam hal yang satu ini, mereka tidak menggunakan ungkapan-
ungkapan syatahiyyat. Kedua, kelihaian mereka menggunakan symbol-
simbol sehingga ajarannya tidak begitu saja dapat dipahami orang lain.
Ketiga, kesiapan mereka yang sungguh-sungguh terhadap diri sendiri atau
ilmu-ilmunya menyebabkan posisi Tuhan sebagai sesuatu keniscayaan
yang logis tetapi kosong tanpa isi, maka mutakallimin tradisional
menjadikan Dia sebagai penguasa yang absolut yang berbuat sewenang-
wenang. Dipihak lain, para filsuf yang menyembatani agama dan filsafat
terpaksa mempreteli sebagian dan sifat-sifat Tuhan, sehingga Dia tidak
punya kreativitas lagi.
Adapun perkembangan tasawuf beserta tipologinya, secara global
dapat diformasikan adanya tiga konsepsi tentang Tuhan, yaitu konsepsi
etikal, konsepsi estetikal, dan konsepsi uni mistikal.
Konsepsi etikal tentang Tuhan berkembang dikalangan para zuhud
atau asketis sebagai embrio sufisme. Pandangan mereka tentang Tuhan
tidak hanya terbatas seperti pendapat mutakallimin, tetapi lebih dari itu.
Menurut mereka Dzat Tuhan adalah sumber dari segala keindahan dan
kesempurnaan, sumber kekuatan dan memiliki daya iradat yang mutlak.
Tuhan adalah pencipta tertinggi, sekaligus pengatur segala kejadian da
nasal segala yang ada. Oleh karena itu, perasaan takut kepada Tuhan lebih
memengaruhi mereka ketimbang harapan. Karena kuatnya rasa takut
kepada murka Tuhan, seluruh pengabdian yang mereka lakukan bertujuan
demi keselamatan diri dari siksaan-Nya. Dorongan-dorongan yang
demikian memengaruhi hubungan mereka dengan Tuhan dan sikap hidup
terhadap hal-hal yang profan.
Timbulnya doktrin estetikal tentang Tuhan bersumber dan
keyakinan bahwa Tuhan adalah asal segala yang ada, sehingga antara
manusia dan Tuhan ada jalur komunikasi timbal balik. Tuhan, sebagai
Dzat Yang Maha agung dan Maha mulia, juga Dzat yang Maha cantik,
Maha indah, dan sumber segala keindahan. Sesuai dengan salah satu sifat
dasar manusia yang menyukai keindahan dan kecantikan, maka hasrat
mencintai Tuhan adalah manusiawi, karena Dia adalah puncak segala
kehidupan. Konsep teologis estetikal ini dikaitkan dengan Rabi’ah Al-
Adawiyyah melalui dokrin hub atau mahabbah. Mencintai tuhan dan
berbuat apa saja untuk-Nya, adalah motivasi kasih sufi.
Dalam jiwa, tidak ada rasa takut akan siksa Tuhan dan tidak ada
hasrat untuk menikmati surga. Apa yang ada hanyalah keinginan untuk
memperoleh cinta dan keindahan Dzat Tuhan yang abadi. Kaum sufi
mengabdikan diri kepada keyakinan bahwa penciptaan alam semesta
bermotifkan cinta-kasih Tuhan. Penciptaan alam semesta adalah
pernyataan cinta-kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empiris
dan asma-Nya.
Berkembangnya ilmu tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk
merealisasikan kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan
Allah, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang
teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang
filosofis atau filsuf yang Sufis. Konsep-konsep tasawuf mereka disebut
tasawuf Falsafi, yaitu tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran
filsafat. Ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis
tasawuf adalah paham emanasi Neo-Platonisme dalam semua variasinya.
Selain Abu Yazid Al-Busthami, tokoh-tokoh ysng popular dalam
kelompok ini adalah Ibnu Massarah (w. 381 H) dari Andalusia dan
sekaligus sebagai perintis. Berdasakan pemahamannya tentang teori
emanasi, ia berpendapat bahwa melalui jalan tasawuf, manusia dapat
membebaskan jiwanya dari cengkraman badani (materi) dan peroleh sinar
Ilahi secara langsung (ma’rifat sejati). Orang kedua yang
mengombinasikan teori filsafat dengan tasawuf adalah Suhrawardi Al-
Maqtul (w. 578 H)yang berkebangsaan Persia. Ia berpendapat bahwa
dengan usaha keras, seseorang dapat membebaskan jiwanya dari
perangkap ragawi untuk kemudian dapat kembali ke pangkalan pertama,
yaitu alam malakut atau alam Ilahiah. Konsepsi lengkap teori ini kemudian
dikenal dengan nama isyraqiyyah yang ia tuangkan dalam karya tulisnya
Al-Hikmah Al-Israqiyyah. Bersumber dari prinsip yang sama, Al-Hallaj
(w. 308 H) memformulasikan teorinya dalam doktrin hulul, yaitu
perpaduan insan dengan Tuhan secara rohaniah. Sementara itu, manusia
(sufi) yang mampu mencapai hakikat jati dirinya melalui ma’rifat, oleh Al-
Jili (w. 832 H) disebut insan kamil. Perkembangan puncak dari tasawuf
Falsafi, sebenarnya telah dicapai pada konsepsi wahdah al-wujud sebagai
hasil pemikiran mistis dari Ibnu Arabi (w. 638 H). Sementara itu, sebelum
Ibnu Arabi menyusun teorinya, sebagian yang lain berpendapat bahwa
manusia masih dapat melewati maqam ma’rifat, yaitu bersatu dengan
Allah. Dengan lahir dan berkembangnya erenungan tasawuf seperti ini,
maka pembahasan-pembahasan tasawuf sudah lebih bersifat filsafat,
karena sudah menjangkau persoalan metafisik, yaitu masalah Tuhan di
satu sisi dan manusia di sisi lain, bahkan telah memasuki kajian proses
kebersatuan manusia dengan Tuhan.