TEOSOFI
Neosufisme (Sufisme Modern) dan Perkembangannya
Disusun oleh:
Kelas A
Jurusan S1 Perbankan Syariah
Dosen Pengampu :
Syaifuddin Zuhri.M.EI
FAKULTAS EKONOMI
KEMENTERIAN AGAMA
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Jalan Gajayana Nomor 50 Malang 65144
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberi rahmat, taufik dan hidayahNya kepada kami semua. Kami juga bersyukur atas karunia yang telah diberikan-Nya kepada
kami, sehingga kami mampu menyelesaikan tugas Teosofi dengan judul Neosufisme (Sufisme
Modern) dan Perkembangannya
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Teosofi dapat meningkatkan
kemampuan mahasiswa dalam mengembangkan materi kuliah menjadi sebuah makalah. Selain
itu, kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini secara garis besar membahas tentang Penjelasan mengenai Neosufisme yaitu
Sufisme Modern dan Perkembangan Neosufisme Modern.
Makalah yang kami susun ini belum sempurna, oleh karena itu kami mengharap kritik dan
saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah kami. Terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
1.2
1.3
Tujuan .................................................................................................................................... 5
2.3
Tokoh-Tokoh Neosufisme..................................................................................................... 9
2.4
2.5
Kesimpulan .......................................................................................................................... 14
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah neo-sufisme pertama kali dimunculkan oleh peneliti muslim terutamanya Fazlu
Rahman yang menurutnya neo-sufisme sebenarnya telah dirintis oleh para ulama seperti Ibnu
Taimiyah yang dilanjutkan oleh muridnya seperti Ibnu Qayyim al-Jauzi dengan tipe ajaran
tasawuf berintegrasi syariah. Neo-sufisme lebih menekankan aspek rekonstruksi moral sosial
masyarakat, merupakan terapi yang efektif untuk membuat orang lebih memanusiawi.
Menjalani hidup sufi bukan berarti meninggalkan dunia melainkan meletakkan nilai yang
tinggi pada dunia dan memandang dunia sebagai media untuk meraih spiritualis sempurna
dengan konstruksi paham tasawuf baru.
Neo-sufisme menggambarkan adanya tasawuf klasik yang meletakkan bangunan proses
rekonstruksinya zuhud yang berkembang dengan asketismenya pada abad ke-III sampai abad
pertengahan (1250-800 SM) yang cendrung kemudian mengambil pada tarekat.1 Tarekat
sebagai perpanjangan tangan tasawuf merupakan organisasi tasawuf yang dibentuk oleh murid
para sufi besar untuk melestarikan dan mengajarkan ajaran-ajaran gurunya. Di dalam
pelestarian ajaran-ajaran tidak tertutup kemungkinan terjadi perubahan, pengurangan,
penambahan bahkan penyimpangan dari ajaran semula, seperti doktrin sang guru (Syekh).
Memang, terindikasi bahwa kaum salaf2 dalam mengamalkan keislaman cendrung manjadi
zuhud dengan corak patalisme murni yang mampu merefleksikan kecintaan segalanya kepada
Tuhan sang Pencipta Dunia dan Akhirat.
Tasawuf di masa Rasulullah SAW, belum ada secara formal akademik, tetapi telah ada
secara action, dimana Rasul SAW memperaktekkan taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah
SWT membersihkan jiwa dan berdakwah agar pribadi orang menjadi berakhlak mulia, dimana
selama ini telah tenggelam di dalam kejahiliahan, profan dan jauh dari ketuhanan. Al-Quran
dan sunnah menjadi sumber ajaran Islam, tidak terkecuali tasawuf juga disauk dari pada
keduanya. Diakui bahwa kedua sumber ajaran di atas membicarakan tawazun (keseimbangan)
antara pemenuhan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Akan tetapi dibeberapa ayat alQuran secara eksplisit masih lebih menekankan akhirat dari dunia (profan).
Kemungkinan pemahaman inilah yang lebih melekat kental bagi para pengamal tasawuf
apalagi bagi salaf al-salihin sehingga terkesan tidak peduli kehidupan dunia hanya
menyibukkan diri beramal akhirat. Realitas historis para sahabat, tabiin dan para sufi banyak
yang memandang dunia serta isinya bagaikan ular, bila ekornya dipegang mulutnya menggigit,
bila kepalanya dipegang maka ekornya akan melilit dan membalut sampai remuk
Catatan sejarah menjadi bukti bahwa fuqaha yang menitikberatkan perhatiannya berupa
segi-segi syariah dan hukum yang kemudian lebih dijuluki kaum lahiri. Mengetahui pertikaian
paham dengan para sufi yang lebih benyak mengamalkan perhatiannya kepada hal-hal yang
batin dengan aliran-aliran tarekatnya. Antara kedua orientasi penghayatan keagamaan itu
saling monolitik dan mengklaim yang lain adalah sesat dengan ketegangan dan polemik yang
berkepanjangan. Untung jugalah, sebagian para ulama dapat melihat akibat-akibat pertikaian
paham itu yang tidak pernah menghasilkan nilai positif bahkan kepincangan yang menyalahi
prinsip tawazun (keseimbangan) dalam Islamlah yang terjadi secara berkesinambungan.
Akhirnya, rekonsiliasi dapat tercapai, bermacam ragam penafsiran, pemikiran dan
stateman. Banyak orang yang benci tasawuf sebanyak itu pula rasa mencintai dan
menginginkannya. Banyak orang benci kepada Al-Ghazali bahkan dipandang penyebab umat
Islam menjadi apatis, asketis, jumud dan tidak mau perduli terhadap kemajuan alias
kemodernan. Tetapi di sisi lain tidak sedikit berterima kasih kepadanya yang telah berhasil di
tangannya rekonsiliasi antara fuqaha dan sufi yang selanjutnya muncul upaya-upaya para
mujtahid (pembaharu) untuk mengadakan rekonsruksi antara syariat dan tasawuf.
1.3 Tujuan
1.
2.
3.
4.
5.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Neosufisme
Neo-sufisme berarti paham tasawuf baru, Neo bermakna baru, penekanan kata neo dalam
kalimat bahasa Inggris lebih sering ditujukan kepada ungkapan pemikiran seseorang yang sifat
dan konsepnya dipandang moderat dan hulu ledak keterbelakangan. Neo-Modernisme
menunjukkan pembaharuan pemikiran dari ke-tradisionalan menuju sesuatu yang baru
(modern).
Sufisme diambil dari kata sufi. Istilah sufi dan tasawuf tidak dikenal pada masa Nabi
Muhammad SAW maupun khulafaurradyidin. Istilah ini baru dikenal mulai pada pertengan
abad ketika Hijriyah. Abu Hasyim Al-Khufi adalah orang yang pertama yang memperkenalkan
istilah as-sufi dengan menambahkan kata as-sufi di belakang namanya. Sedangkan secara
etimologis, para ahli berbeda pendapat tentang asal kata tasawuf. Kebanyakan sepakat bahwa
tasawuf berasal dari kata suf yang berarti bulu domba. Sebagian menyatakan bahwa kata
tasawuf berasal dari kata suffah yang berarti emper atau tempat mesjid Nabawi yang didiami
sebagian sahabat anshar. Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata saff, yang
berarti barisan. Dan ada juga yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata safa yaitu
jernih.
Terminologi Neo-Sufisme pertama kali dimunculkan oleh pemikir muslim
kontemporer, yakni oleh almarhum Fazlur Rahman dalam bukunya yang berjudul Islam.
Menurut Rahman, neo-sufisme adalah tasawuf yang telah diperbaharui, yang terutama dilucuti
dari ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya, menekankan dan memperbaharui faktor
moral asli dan kontrol diri yang menyeluruh dan aktivitas dalam tasawuf, memfokuskan pada
perhatian terhadap rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat Muslim.
Sekiranya pada era kecemerlangan sufisme terdahulu aspek yang paling dominan
adalah sifat ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini ianya
digantikan dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks. Neosufisme mengalihkan pusat pengamatan
kepada pembinaan semula sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu
didapati lebih bersifat individu dan hampir tidak melibatkan diri dalam hal-hal
kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah puritanis dan
aktivis. Tokoh-tokoh atau kumpulan yang paling berperanan dalam reformasi sufisme ini juga
merupakan paling bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme. Menurut
Fazlur Rahman, kumpulan tersebut adalah kumpulan Ahl Hadis. Mereka ini coba untuk
menyesuaikan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan dengan Islam
ortodoks terutamanya motif moral sufisme melalui teknik zikir, muraqabah atau mendekatkan
diri kepada Allah swt.
Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa tujuan neosufisme cenderung kepada
penekanan yang lebih intensif terhadap memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip
akidah Islam dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi. Akibat dari
sikap keberagamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan nilai antara kehidupan duniawi
dengan nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan yang terresterial dengan kehidupan yang
kosmologis.
6
Tatkala kondisi dan fenomena ini semakin melembaga, maka lahirlah kesadaran akan
pentingnya membangkitkan kembali jati diri sufisme yang lebih menekankan dimensi moral
umat dengan merekontruksi sejarah awal dan substansi sufisme. Kesadarana ini sebagaimana
yang diungkapkan Fazlur Rahman dipelopori oleh Ibn Taimiyah, yang diikuti oleh muridnya
Ibn Qayyim al-Jauziyah dan dikembangkan oleh Fazlur Rahman dengan nama Neo-Sufisme
atau sufisme baru.[ Fazlur Rahman, Islam, terjemahan oleh Ahsin Muhammad (Jakarta :
Pustaka Bandung, 1984), h. 79]
Neo-sufisme secara terminologi pertama kali ditonjolkan oleh pemikir muslim
kontemporer yaitu Fazlur Rahman dalam bukunya Islam.[ Ibid, 193-194] Kemunculan istilah
ini tidak begitu saja diterima para pemikir muslim, tetapi telah menjadikan perbincangan yang
luas dalam kalangan para ilmuwan. Sebelum Fazlur Rahman, Hamka telah memperkenalkan
istilah tasawuf moden dalam bukunya Tasauf Modern. Namun dalam dalam karyanya ini tidak
ditemui istilah neo-sufisme yang dimaksudkan di sini. Keseluruhan isi buku ini terlihat
wujudnya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali kecuali dalam hal uzlah.
Kalau al-Ghazali mensyaratkan uzlah dalam penjelajahan menuju konsep hakikat, [
Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid II (Beirut : Dar al-Marifah, tt), h. 222] maka
Hamka menghendaki agar seseorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif dalam berbagai aspek
kehidupan bermasyarakat.[ Hamka, Modern, h.150-174]. Konsep neo-sufisme oleh Fazlur
Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat Islam mampu melakukan tawazun
(keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan kepentingan dunia, serta umat
Islam harus mampu meformulasikan ajaran Islam dalam kehidupan sosial.
Kebangkitan kembali tasawuf di dunia Islam dengan istilah baru yaitu neo-sufisme
nampaknya tidak boleh dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama.
Kebangkitan ini juga adalah lanjutan kepada penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan
kepada sains dan teknologi selaku produk dari era modenisme. Modernisme telah dinilai
sebagai gagal memberikan kehidupan yang bermakna kepada manusia. Oleh karena itu ramai
manusia telah kembali kepada nilai-nilai keagamaan kerana salah satu fungsi agama adalah
memberikan makna bagi kehidupan.
Demikianlah, era post-modernisme yang dibelenggu dengan bermacam-macam krisis yang
semakin parah dalam berbagai aspek kehidupan. Akhlak masyarakat semakin buruk dan
kejahatan semakin banyak. Kebangkitan nilai-nilai keagamaan tidak salah lagi telah
menggerakkan kembali upaya menghidupkan karya-karya klasik dengan pendekatan baru
termasuklah juga dalam bidang tasawuf. Karya-karya dalam bidang tasawuf yang dihasilkan
oleh penulis kontemporari seperti al-Taftazani menunjukkan adanya garis lurus untuk
menegaskan kembali bahwa tradisi tasawuf tidak pernah lepas dari akar Islam. Ini
menunjukkan bahwa kebangkitan tasawuf kontemporer ditandai dengan pendekatan yang
sangat pesat antara spiritualisme tasawuf dengan konsep-konsep Syariah. Tasawuf yang dianut
dan dikembangkan oleh sufi kontemporer nampaknya berbeda dari sufisme yang difahami oleh
kebanyakan orang selama ini yaitu sufisme yang hampir lepas dari akarnya (Islam), cenderung
bersifat memisah atau eksklusif. Menurut Akhbar S Ahmed, pasca-modernisme membawa kita
kepada kesadaran betapa pentingnya nilai keagamaan dan keperluan terhadap toleransi serta
perlunya memahami orang lain yang semuanya terdapat dalam neosufisme.
8
Berdasarkan beberapa pandangan dan komentar di atas jelas menunjukkan bahawa neo-sufisme
berupaya untuk kembali kepada nilai-nilai Islam yang utuh (kaffah) yaitu kehidupan yang
seimbang (tawazun) dalam segala aspek kehidupan dan dalam segala segi ekspresi
kemanusiaan. Dengan alasan ini pula dapat dikatakan bahwa yang disebut neo-sufisme itu tidak
kesemuanya adalah barang baru, namun lebih tepat dikatakan sebagai sufisme yang
dipraktikkan dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat sesuai dengan kedudukan masa kini.
Dengan menukilkan sedikit rumusan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahawa neosufisme adalah sebuah esoterisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki
hidup secara aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Neo-sufisme
mendorong dibukanya peluang bagi penghayatan makna keagamaan dan pengamalannya yang
lebih utuh dan tidak terbatas pada salah satu aspeknya saja tetapi yang lebih penting adalah
keseimbangan (tawazun).
11
3. Faktor kodifikasi hukum Islam (fiqh) dan perumusan ilmu kalam (teologi) yang
dialektis-rasional, sehingga menyebabkan nilai spiritualnya menjadi semacam wacana
tiada isi, semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas faham keagamaan dirasakan semakin
mengeringkan dan menyesakkan hati yang berakibat putusnya komunikasi langsung
dan suasana keakraban antara hamba dan khaliq-Nya.
13
14
DAFTAR PUSTAKA
Akhyar, U., 2014. Neosufisme Ragam dan Perkembangannya. [Online]
Available at: http://akhyar-umam.blogspot.co.id/2014/12/neosufisme-ragam-danperkembangannya.html
[Diakses 28 April 2016].
Jemil, f., 2014. Karakteristik Neosufisme. [Online]
Available at: http://www.kompasiana.com/jemilfirdaus/karakteristik-neo-sufisme-sejarah-barutasawuf_55289f8f6ea834994c8b45ab
[Diakses 28 April 2016].
Syahmiruddin, P., 2013. Neo Sufisme. [Online]
Available at: http://syahmiruddinpane.blogspot.co.id/2013/01/neo-sufisme.html
[Diakses 28 April 2016].
15