Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TEOSOFI
Neosufisme (Sufisme Modern) dan Perkembangannya

Untuk memenuhi tugas Teosofi

Disusun oleh:

M. Imam Syarifuddin (15540009)


Aida Dian Nirmala (15540006)

Kelas A
Jurusan S1 Perbankan Syariah

Dosen Pengampu :
Syaifuddin Zuhri.M.EI

FAKULTAS EKONOMI
KEMENTERIAN AGAMA
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Jalan Gajayana Nomor 50 Malang 65144

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberi rahmat, taufik dan hidayahNya kepada kami semua. Kami juga bersyukur atas karunia yang telah diberikan-Nya kepada
kami, sehingga kami mampu menyelesaikan tugas Teosofi dengan judul Neosufisme (Sufisme
Modern) dan Perkembangannya
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Teosofi dapat meningkatkan
kemampuan mahasiswa dalam mengembangkan materi kuliah menjadi sebuah makalah. Selain
itu, kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini secara garis besar membahas tentang Penjelasan mengenai Neosufisme yaitu
Sufisme Modern dan Perkembangan Neosufisme Modern.
Makalah yang kami susun ini belum sempurna, oleh karena itu kami mengharap kritik dan
saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah kami. Terima kasih.

Malang, 10 April 2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 4
1.1

Latar Belakang ...................................................................................................................... 4

1.2

Rumusan Masalah ................................................................................................................ 5

1.3

Tujuan .................................................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 6


2.2

Proses Lahirnya Neosufisme ................................................................................................ 7

2.3

Tokoh-Tokoh Neosufisme..................................................................................................... 9

2.4

Corak dan Karakteristik Neosufisme................................................................................ 10

2.5

Perkembangan Sufisme ...................................................................................................... 12

BAB III PENUTUP ............................................................................................................................. 14


3.1.

Kesimpulan .......................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 15

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah neo-sufisme pertama kali dimunculkan oleh peneliti muslim terutamanya Fazlu
Rahman yang menurutnya neo-sufisme sebenarnya telah dirintis oleh para ulama seperti Ibnu
Taimiyah yang dilanjutkan oleh muridnya seperti Ibnu Qayyim al-Jauzi dengan tipe ajaran
tasawuf berintegrasi syariah. Neo-sufisme lebih menekankan aspek rekonstruksi moral sosial
masyarakat, merupakan terapi yang efektif untuk membuat orang lebih memanusiawi.
Menjalani hidup sufi bukan berarti meninggalkan dunia melainkan meletakkan nilai yang
tinggi pada dunia dan memandang dunia sebagai media untuk meraih spiritualis sempurna
dengan konstruksi paham tasawuf baru.
Neo-sufisme menggambarkan adanya tasawuf klasik yang meletakkan bangunan proses
rekonstruksinya zuhud yang berkembang dengan asketismenya pada abad ke-III sampai abad
pertengahan (1250-800 SM) yang cendrung kemudian mengambil pada tarekat.1 Tarekat
sebagai perpanjangan tangan tasawuf merupakan organisasi tasawuf yang dibentuk oleh murid
para sufi besar untuk melestarikan dan mengajarkan ajaran-ajaran gurunya. Di dalam
pelestarian ajaran-ajaran tidak tertutup kemungkinan terjadi perubahan, pengurangan,
penambahan bahkan penyimpangan dari ajaran semula, seperti doktrin sang guru (Syekh).
Memang, terindikasi bahwa kaum salaf2 dalam mengamalkan keislaman cendrung manjadi
zuhud dengan corak patalisme murni yang mampu merefleksikan kecintaan segalanya kepada
Tuhan sang Pencipta Dunia dan Akhirat.
Tasawuf di masa Rasulullah SAW, belum ada secara formal akademik, tetapi telah ada
secara action, dimana Rasul SAW memperaktekkan taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah
SWT membersihkan jiwa dan berdakwah agar pribadi orang menjadi berakhlak mulia, dimana
selama ini telah tenggelam di dalam kejahiliahan, profan dan jauh dari ketuhanan. Al-Quran
dan sunnah menjadi sumber ajaran Islam, tidak terkecuali tasawuf juga disauk dari pada
keduanya. Diakui bahwa kedua sumber ajaran di atas membicarakan tawazun (keseimbangan)
antara pemenuhan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Akan tetapi dibeberapa ayat alQuran secara eksplisit masih lebih menekankan akhirat dari dunia (profan).
Kemungkinan pemahaman inilah yang lebih melekat kental bagi para pengamal tasawuf
apalagi bagi salaf al-salihin sehingga terkesan tidak peduli kehidupan dunia hanya
menyibukkan diri beramal akhirat. Realitas historis para sahabat, tabiin dan para sufi banyak
yang memandang dunia serta isinya bagaikan ular, bila ekornya dipegang mulutnya menggigit,
bila kepalanya dipegang maka ekornya akan melilit dan membalut sampai remuk

Catatan sejarah menjadi bukti bahwa fuqaha yang menitikberatkan perhatiannya berupa
segi-segi syariah dan hukum yang kemudian lebih dijuluki kaum lahiri. Mengetahui pertikaian
paham dengan para sufi yang lebih benyak mengamalkan perhatiannya kepada hal-hal yang
batin dengan aliran-aliran tarekatnya. Antara kedua orientasi penghayatan keagamaan itu
saling monolitik dan mengklaim yang lain adalah sesat dengan ketegangan dan polemik yang
berkepanjangan. Untung jugalah, sebagian para ulama dapat melihat akibat-akibat pertikaian
paham itu yang tidak pernah menghasilkan nilai positif bahkan kepincangan yang menyalahi
prinsip tawazun (keseimbangan) dalam Islamlah yang terjadi secara berkesinambungan.
Akhirnya, rekonsiliasi dapat tercapai, bermacam ragam penafsiran, pemikiran dan
stateman. Banyak orang yang benci tasawuf sebanyak itu pula rasa mencintai dan
menginginkannya. Banyak orang benci kepada Al-Ghazali bahkan dipandang penyebab umat
Islam menjadi apatis, asketis, jumud dan tidak mau perduli terhadap kemajuan alias
kemodernan. Tetapi di sisi lain tidak sedikit berterima kasih kepadanya yang telah berhasil di
tangannya rekonsiliasi antara fuqaha dan sufi yang selanjutnya muncul upaya-upaya para
mujtahid (pembaharu) untuk mengadakan rekonsruksi antara syariat dan tasawuf.

1.2 Rumusan Masalah


1.
2.
3.
4.
5.

Apa itu Neosufisme?


Bagaimana lahirnya Neosufisme?
Siapa Tokoh dari Neosufisme?
Bagaimana Corak dan karakteristik dari Neosufisme?
Bagaimana Perkembangan Sufisme?

1.3 Tujuan
1.
2.
3.
4.
5.

Mengetahui Pengertian dari Neosufisme


Mengetahui sejarah lahirnya Neosufisme
Mengetahui Tokoh-tokoh Neosufisme
Mengetahui Corak dan karakteristik dari Neosufisme
Mengetahui Perkembangan dari Sufisme

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Neosufisme
Neo-sufisme berarti paham tasawuf baru, Neo bermakna baru, penekanan kata neo dalam
kalimat bahasa Inggris lebih sering ditujukan kepada ungkapan pemikiran seseorang yang sifat
dan konsepnya dipandang moderat dan hulu ledak keterbelakangan. Neo-Modernisme
menunjukkan pembaharuan pemikiran dari ke-tradisionalan menuju sesuatu yang baru
(modern).
Sufisme diambil dari kata sufi. Istilah sufi dan tasawuf tidak dikenal pada masa Nabi
Muhammad SAW maupun khulafaurradyidin. Istilah ini baru dikenal mulai pada pertengan
abad ketika Hijriyah. Abu Hasyim Al-Khufi adalah orang yang pertama yang memperkenalkan
istilah as-sufi dengan menambahkan kata as-sufi di belakang namanya. Sedangkan secara
etimologis, para ahli berbeda pendapat tentang asal kata tasawuf. Kebanyakan sepakat bahwa
tasawuf berasal dari kata suf yang berarti bulu domba. Sebagian menyatakan bahwa kata
tasawuf berasal dari kata suffah yang berarti emper atau tempat mesjid Nabawi yang didiami
sebagian sahabat anshar. Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata saff, yang
berarti barisan. Dan ada juga yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata safa yaitu
jernih.
Terminologi Neo-Sufisme pertama kali dimunculkan oleh pemikir muslim
kontemporer, yakni oleh almarhum Fazlur Rahman dalam bukunya yang berjudul Islam.
Menurut Rahman, neo-sufisme adalah tasawuf yang telah diperbaharui, yang terutama dilucuti
dari ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya, menekankan dan memperbaharui faktor
moral asli dan kontrol diri yang menyeluruh dan aktivitas dalam tasawuf, memfokuskan pada
perhatian terhadap rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat Muslim.
Sekiranya pada era kecemerlangan sufisme terdahulu aspek yang paling dominan
adalah sifat ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini ianya
digantikan dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks. Neosufisme mengalihkan pusat pengamatan
kepada pembinaan semula sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu
didapati lebih bersifat individu dan hampir tidak melibatkan diri dalam hal-hal
kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah puritanis dan
aktivis. Tokoh-tokoh atau kumpulan yang paling berperanan dalam reformasi sufisme ini juga
merupakan paling bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme. Menurut
Fazlur Rahman, kumpulan tersebut adalah kumpulan Ahl Hadis. Mereka ini coba untuk
menyesuaikan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan dengan Islam
ortodoks terutamanya motif moral sufisme melalui teknik zikir, muraqabah atau mendekatkan
diri kepada Allah swt.
Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa tujuan neosufisme cenderung kepada
penekanan yang lebih intensif terhadap memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip
akidah Islam dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi. Akibat dari
sikap keberagamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan nilai antara kehidupan duniawi
dengan nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan yang terresterial dengan kehidupan yang
kosmologis.
6

2.2 Proses Lahirnya Neosufisme


Sebagaimana dengan perjalanan tasawuf klasik sebagai cikal bakal neo-sufisme diatas,
maka dalam perkembangannya tasawuf terutama pada abad III H, pengaruh eksternal semakin
terasa, antara lain dipengaruhi berbagai macam corak budaya. Dampak dari hal ini melahirkan
dua corak pemikiran tasawuf, yaitu yang bercorak dengan materi dasarnya bersandar pada AlQuran dan As-Sunnah, dengan ide gagasan pada pembentukan moralitas, di back up ulama
moderat pada satu sisi, sedang pada sisi lain tasawuf yang bercorak dengan materi dasarnya
banyak bersumber dari filsafat dengan kecendrungan pada materi hubungan manusia dengan
Tuhan, diusung oleh para filosof yang terkadang mengemukakan paengalaman ekstasikfananya dan ucapan-ucapan syatahat ganjil, ditandai banyak pemikiran spekulatif-metafisis,
seperti yang sudah diungkapkan diatas, yaitu al-Hulul, Wahdat Al-Wujud atau Al-Ittihad atau
lainnya.
Sufisme sebagaimana yang telah diterangkan sebelum ini menempatkan penghayatan
keagamaan melalui pendekatan batiniah. Kesan dari pendekatan esoterik ini adalah disebabkan
kepincangan dalam tindak tanduk nilai-nilai Islam yang lebih mengutamakan makna batiniah
atau ketentuan yang tersirat saja tanpa memerhatikan juga dari aspek lahiriahnya. Oleh kerana
itu adalah wajar apabila melalui penonjolan sikap ini, kaum sufi tidak tertarik untuk
memikirkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan lebih tertumpu ke arah aspekaspek peribadatan saja. Dari sudut lain, terdapat pula kelompok muslimin (bahkan
mayoritasnya) yang lebih mengutamakan aspek-aspek formallahiriah ajaran agama melalui
pendekatan eksoterik-rasional. Dalam hal ini, mereka lebih menitikberatkan perhatian dari
aspek-aspek syariah saja sehingga kelompok ini digelar sebagai kaum lahiriah. Dari banyak
usaha percobaan menyatukan antara dua pandangan yang berbeda orientasi itu, maka alGhazali telah mengutarakan konsep yang dikenal sebagai syariat, tarekat dan hakikat yang
terpadu secara utuh. Dalam hal ini, al-Ghazali menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan
harus melalui proses berperingkat dan berpadu antara syariat dan tasawuf. Sebelum memasuki
dunia tasawuf, seseorang harus terlebih dahulu memahami Syariat, tetapi untuk dapat
memahami Syariat secara benar dan mendalam, harus melalui proses tarekat. Tarekat adalah
merupakan sistem esoterik yang akan menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi yang
disebut sebagai hakikat.[ Muhammad al-Ghazali, Khuluq al-Muslim, (Kuwait : Dar al-Bayan,
1970), h. 31]
Usaha rekonsialisasi sufistik ini belum sepenuhnya berhasil untuk mengembalikan misi dan
pesan dasar tasawuf secara total sebagai pendorong gerakan moral dan ruh Islam yang
berkarakter damai dan harmonis. Hegemoni lembaga-lembaga tasawuf justru banyak
mengubah dimensi spiritual-moral-sosial kepada dimensi spiritual-mistik-individual. Namun
usaha Ghazali harus diakui sebagai inspirasi bagi tokoh setelahnya, walaupun Ghazali
mempunyai beberapa kelemahan terutama pada karyanya yang tidak berisi etos sosial dimana
individu menjadi pusat perhatian yang berlebihan, sehingga banyak diantara pengikut alGhazali sendiri dan tarekat pasca al-Ghazali menyingkir dari dunia sosial dan berpangku
tangan dari dinamika sosial, politik dan kebudayaan masyarakatnya.

Tatkala kondisi dan fenomena ini semakin melembaga, maka lahirlah kesadaran akan
pentingnya membangkitkan kembali jati diri sufisme yang lebih menekankan dimensi moral
umat dengan merekontruksi sejarah awal dan substansi sufisme. Kesadarana ini sebagaimana
yang diungkapkan Fazlur Rahman dipelopori oleh Ibn Taimiyah, yang diikuti oleh muridnya
Ibn Qayyim al-Jauziyah dan dikembangkan oleh Fazlur Rahman dengan nama Neo-Sufisme
atau sufisme baru.[ Fazlur Rahman, Islam, terjemahan oleh Ahsin Muhammad (Jakarta :
Pustaka Bandung, 1984), h. 79]
Neo-sufisme secara terminologi pertama kali ditonjolkan oleh pemikir muslim
kontemporer yaitu Fazlur Rahman dalam bukunya Islam.[ Ibid, 193-194] Kemunculan istilah
ini tidak begitu saja diterima para pemikir muslim, tetapi telah menjadikan perbincangan yang
luas dalam kalangan para ilmuwan. Sebelum Fazlur Rahman, Hamka telah memperkenalkan
istilah tasawuf moden dalam bukunya Tasauf Modern. Namun dalam dalam karyanya ini tidak
ditemui istilah neo-sufisme yang dimaksudkan di sini. Keseluruhan isi buku ini terlihat
wujudnya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali kecuali dalam hal uzlah.
Kalau al-Ghazali mensyaratkan uzlah dalam penjelajahan menuju konsep hakikat, [
Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid II (Beirut : Dar al-Marifah, tt), h. 222] maka
Hamka menghendaki agar seseorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif dalam berbagai aspek
kehidupan bermasyarakat.[ Hamka, Modern, h.150-174]. Konsep neo-sufisme oleh Fazlur
Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat Islam mampu melakukan tawazun
(keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan kepentingan dunia, serta umat
Islam harus mampu meformulasikan ajaran Islam dalam kehidupan sosial.
Kebangkitan kembali tasawuf di dunia Islam dengan istilah baru yaitu neo-sufisme
nampaknya tidak boleh dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama.
Kebangkitan ini juga adalah lanjutan kepada penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan
kepada sains dan teknologi selaku produk dari era modenisme. Modernisme telah dinilai
sebagai gagal memberikan kehidupan yang bermakna kepada manusia. Oleh karena itu ramai
manusia telah kembali kepada nilai-nilai keagamaan kerana salah satu fungsi agama adalah
memberikan makna bagi kehidupan.
Demikianlah, era post-modernisme yang dibelenggu dengan bermacam-macam krisis yang
semakin parah dalam berbagai aspek kehidupan. Akhlak masyarakat semakin buruk dan
kejahatan semakin banyak. Kebangkitan nilai-nilai keagamaan tidak salah lagi telah
menggerakkan kembali upaya menghidupkan karya-karya klasik dengan pendekatan baru
termasuklah juga dalam bidang tasawuf. Karya-karya dalam bidang tasawuf yang dihasilkan
oleh penulis kontemporari seperti al-Taftazani menunjukkan adanya garis lurus untuk
menegaskan kembali bahwa tradisi tasawuf tidak pernah lepas dari akar Islam. Ini
menunjukkan bahwa kebangkitan tasawuf kontemporer ditandai dengan pendekatan yang
sangat pesat antara spiritualisme tasawuf dengan konsep-konsep Syariah. Tasawuf yang dianut
dan dikembangkan oleh sufi kontemporer nampaknya berbeda dari sufisme yang difahami oleh
kebanyakan orang selama ini yaitu sufisme yang hampir lepas dari akarnya (Islam), cenderung
bersifat memisah atau eksklusif. Menurut Akhbar S Ahmed, pasca-modernisme membawa kita
kepada kesadaran betapa pentingnya nilai keagamaan dan keperluan terhadap toleransi serta
perlunya memahami orang lain yang semuanya terdapat dalam neosufisme.
8

2.3 Tokoh-Tokoh Neosufisme


1. Nurcholish Madjid
Salah satu pemikir Islam yang respon dengan hal tersebut adalah Nurcholish Madjid. Pemikiran
modern Nurcholish Madjid sudah dikenal pada tahun 1970-an. Modernisasi baginya identik
dengan rasionalisasi. Bagi seorang muslim, katanya, modernisasi adalah sebuah keharusan,
bahkan suatu kewajiban mutlak. Dalam arti rasionalisasi adalah kewajiban agama, karena
diperintah oleh tuhan. Akan tetapi pemikirannya setelah tahun 1970-an dianggap sebagai
momentum lahirnya gerakan pembaharuan pada sebagian pemuda muslim yang sangat radikal
dalam pemikiran regio-politik Islam di masa orde baru Indonesia.
Ide-ide pembaruan dikemukakan secara formal pertama kali dalam suatu makalah yang
disampaikan oleh Nurcholish Madjid di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1970 dengan judul
Keharusan pembaharuan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat.
Berdasarkan realitas tersebut, tak sulit disepakati bahwa Nurcholish Madjid yang akrab disapa
Cak Nur masuk kedalam kategori pemikir neo-modernis Islam di Indonesia. Pemikiran dan
gagasannya banyak dikagumi sekaligus dicaci maki oleh banyak orang. Meminjam istilah
profesor Syahrin, maka Nurcholish Madjid merupakan tipe seorang shocker (pembuat
kejutan) terhadap gagasan-gagasan yang diboomingkannya. Ketika umat Islam seolah-olah
sedang terbuai dalam tidur nyenyak, dibuat terpelanting dari tempat tidurnya karena terkejut
dengan gagasan pemikiran Islam cak Nur. Misalnya saja mengenai kasus buku Fiqh Lintas
Agama karya penulis-penulis Paramadina yang notabene cak Nur juga masuk di dalamnya.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa Nurcholish Madjid juga merupakan pelanjut dari
pejuang-pejuang pemikir modernis Islam di masa lampau. Menurutnya Islam harus dilibatkan
dalam pergulatan-pergulatan modernistik. Daya tarik Nurcholish Madjid sebenarnya terletak
dalam gagasannya mengenai rasionalisasi, sekularisasi dan pluralisme agama. Jika konsepkonsep tersebut ditelusuri dan dicari akarnya, itu merupakan buah dari gagasannya mengenai
modernisasi Islam, karena gagasan modernisasi akan melahirkan ide-ide baru sebagai buah dari
modernisasi tersebut seperti rasionalisme, nasionalisme, sosialisme, demokrasi dan lain
sebagainya. Jadi, ide-ide cak Nur yang heboh intelektual tersebut merupakan konsekwensi
terhadap gagasan modernisasi Islam itu sendiri.
Sebenarnya masih banyak lagi gagasan-gagasan Nurcholish Madjid seputar masalah-masalah
keislaman yang cukup menarik untuk dikaji. Namun dalam penelitian ini, penulis akan
memfokuskan penelitian pada gagasan modernisasi Islam saja, dan akan menjalar kepada ideide yang berkembang disekitarnya seperti rasionalisasi, sekularisasi dan pluralitas agama.
Gagasan-gagasan yang cukup menarik tersebut tentunya didukung oleh sosok Nurcholish
Madjid sendiri sebagai pemikir kontemporer Islam yang cukup populer di Indonesia dan baru
saja pergi meninggalkan kita semua untuk menghadap sang pencipta Allah SWT. Semoga nilainilai perjuangannya terhadap Islam diberi ganjaran yang setimpal, Amiin.

Adapun sumber-sumber sekunder tersebut antara lain:


1. Karya-karya Nurcholish Madjid; Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang,
1984), Perspektif Kebangkitan Islam Abad ke-21 (Jurnal Ulumul Quran), Kontekstualisasi
Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta, Paramadina, 1994), Islam Doktrin Dan Peradaban,
Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan Kemodernan (Jakarta,
Paramadina, 1992), Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta, Paramadina, 1995) dan lain
sebagainya.
2. Abdurrahman Wahid, dkk, Kontroversi Pemikiran Islam Di Indonesia (Bandung, Remaja
Rosda Karya, 1993)
3. Fazlur Rahman, Islam And Modernitas, Transformation Of An Intellectual Tradition
(Chicago, University Of Chicago Press, 1982) dan lain sebagainya.

2.4 Corak dan Karakteristik Neosufisme


Menurut Fazlur Rahman, neosufisme adalah reformed sufism yang bermaksud sufisme
yang telah diperbaharui. Sekiranya pada era kecemerlangan sufisme terdahulu aspek yang
paling dominan adalah sifat ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru
ini ianya digantikan dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks. Neo-sufisme mengalihkan pusat
pengamatan kepada pembinaan semula sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme
terdahulu didapati lebih bersifat individu dan hampir tidak melibatkan diri dalam hal-hal
kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah puritanis dan
aktivis. Tokoh-tokoh atau kumpulan yang paling berperanan dalam reformasi sufisme ini juga
merupakan paling bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme. Menurut
Fazlur Rahman, kumpulan tersebut adalah kumpulan Ahl al-Hadith. Mereka ini coba untuk
menyesuaikan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan dengan Islam
orthodox terutamanya motif moral sufisme melalui teknik zikir, muraqabah atau mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa tujuan neo-sufisme cenderung kepada penekanan
yang lebih intensif terhadap memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam
dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi. Akibat dari sikap
keberagamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan nilai antara kehidupan duniawi dengan
nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan yang terresterial dengan kehidupan yang
kosmologis.
Dalam hal ini, al-Qushashi menyatakan bahawa sufi yang sebenarnya bukanlah yang
mengasingkan dirinya dari masyarakat, tetapi sufi yang tetap aktif di tengah kehidupan
masyarakat dan melakukan al-amr bi al-maruf wa nahy `an al- munkar (islah) demi kemajuan
dan kesejahteraan masyarakat.
10

Manakala Said Ramadan al-Buti pula mengutarakan konsep Ruhaniyyah al-Ijtima`iyyah


atau spiritualisme sosial. Beliau merupakan penggerak kepada konsep neo-sufisme ini yang
bermarkas di Geneva. Dalam hal ini al-Buti mengecam sikap dan cara hidup seperti yang
digambarkan sufi terdahulu yang sangat mementingkan ukhrawi, sehingga tersisih daripada
kehidupan masyarakat yang menurutnya itu adalah egois dan pengecut, hanya mementingkan
diri sendiri. Sikap hidup yang benar adalah tawazun yaitu keseimbangan dalam diri sendiri
termasuk dalam kehidupan spiritualnya serta kehidupan duniawi dan ukhrawi.

Adapun ciri-ciri dari Neosufisme Menurut Ahmad Najib Burhani yaitu:


a.
b.
c.
d.
e.

Tidak mengenal Tarekat


Inklusif dalam memandang aliran Tasawuf bahkan agama lain.
Tidak mengenal mursyid atau guru apalagi guru rohani.
Di dominasi kaum terpelajar.
Pengikutnya dari kalangan yang bermateri cukup.

Berdasarkan beberapa pandangan dan komentar di atas jelas menunjukkan bahawa neo-sufisme
berupaya untuk kembali kepada nilai-nilai Islam yang utuh (kaffah) yaitu kehidupan yang
seimbang (tawazun) dalam segala aspek kehidupan dan dalam segala segi ekspresi
kemanusiaan. Dengan alasan ini pula dapat dikatakan bahwa yang disebut neo-sufisme itu tidak
kesemuanya adalah barang baru, namun lebih tepat dikatakan sebagai sufisme yang
dipraktikkan dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat sesuai dengan kedudukan masa kini.
Dengan menukilkan sedikit rumusan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahawa neosufisme adalah sebuah esoterisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki
hidup secara aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Neo-sufisme
mendorong dibukanya peluang bagi penghayatan makna keagamaan dan pengamalannya yang
lebih utuh dan tidak terbatas pada salah satu aspeknya saja tetapi yang lebih penting adalah
keseimbangan (tawazun).

11

2.5 Perkembangan Sufisme


Sejak akhir abad II Hijriah, sufisme sudah populer di kalangan masyarakat dunia
Islam.Sebagai perkembangan lanjut dari gaya keberagaman para zahid (meninggalkan urusan
dunia) dan abid ( penghambaan/penyerahan diri kepada Tuhan). Fase pertama ini disebut fase
zahid/asketisme yang merupakan bibit awal tumbuhnya sufisme dalam peradaban Islam.
Keadaan ini ditandai munculnya individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat untuk
beribadah dan mengabaikan kehidupan duniawi. Anyak pengamat sufisme berpendapat bahwa
sufi atau sufisme diidentikkan dengan sekelompok kaum muhajirin yang bertempat tinggal di
serambi Masjid Nabi di Madinah, dipimpin oleh Abu Dzar al Ghiffari. Mereka menempuh pola
hidup yang sangat sederhana, zuhd terhadap dunia dan menghabiskan waktu beribadah kepada
Allah. Pola kehidupan mereka kemudian dicontoh oleh sebagian umat Islam yang dalam
perkembangan selanjutnya disebutkan tasawuf atau sufisme. Fase ini berlangsung sampai akhir
abad II H. Memasuki abad III Hijriah, ditandai dengan peralihan dari asketisme ke sufisme,
ditandai dengan pergantian sebutan zahid menjadi sufi. Pada fase kedua ini topik
pemikiran/pembicaraan para zahid sudah meningkat ke persoalan bagaimana jiwa yang bersih,
apa itu moralitas dan pembinaannya, serta perbincangan masalah kerohanian lainnya. Pada fase
ini muncul konsepsi tentang jenjang yang harus ditempuh sufi ( al-maqomat : zuhud-makrifatmahabbah-wahdat al-wujud ) serta ciri-ciri yang dimiliki orang salik (calon sufi) pada tingkatan
tertentu. Masa ini juga timbul pemikir tasawuf terkemuka, seperti al-Muhasibi (wafat 243 H),
al-Harraj (wafat 277 H), al-Junaid al-Baghdadi (wafat 297 H) dan penulis lainnya. Secara
konseptual-tekstual lahirnya sufisme adalah pada fase ini, sedangkan sebelumnya hanya berupa
pengetahuan perorangan. Sejak itu sufisme berkembang terus ke arah penyempurnaan.

Kepesatan Perkembangan sufisme, memperoleh dorongan setidaknya karena 3 faktor, antara


lain:
1. Karena gaya kehidupan yang glamour-profanistik (daya tarik keduniawian yang semu)
dan corak kehidupan materialis-konsumeris yang diperagakan oleh sebagian besar
penguasa negeri yang menjalar ke kalangan masyarakat luas. Dari aspek ini, dorongan
yang paling kuat adalah sebagai reaksi terhadap gaya kehidupan sekular dari kelompok
elit dinasti penguasa.
2. Timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal terhadap radikalisme (sikap
membangkang) kaum khawarij dan segala pengaruh yang timbul akibat kondisi itu.
Kekerasan pergulatan kekuasaan pada masa itu, menyebabkan orang-orang yang ingin
mempertahankan kesalehan dalam suasana kedamaian rohaniah, keakraban cinta
sesama, terpaksa memilih sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi
dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan
politik. Sikap tersebut melahirkan uzlah yang cenderung ekslusif, memilih kehidupan
rohaniah-mistis, mencari kompensasi untuk memenangkan pertempuran ukhrowi di
medan duniawi.
12

3. Faktor kodifikasi hukum Islam (fiqh) dan perumusan ilmu kalam (teologi) yang
dialektis-rasional, sehingga menyebabkan nilai spiritualnya menjadi semacam wacana
tiada isi, semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas faham keagamaan dirasakan semakin
mengeringkan dan menyesakkan hati yang berakibat putusnya komunikasi langsung
dan suasana keakraban antara hamba dan khaliq-Nya.

13

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan
Neo sufisme menkankan perlunya perlibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat daripada
sufisme lama. Neo sufisme pertamakali ditonjolkan oleh pemikir muslim kontemporer yaitu
Fazlur Rahman. Konsep neo-sufisme oleh Fazlur Rahman sesungguhnya menghendaki agar
umat islam mampu melakukan tawazun (keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan
akhirat dan kepentingan dunia, serta umat islam harus mampu memformulasikan ajaran islam
dalam kehidupan sosial. Noe sufisme ini hanya digantikan dengan prinsip-prinsip islam
ortodoks. Neo-sufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada pembinaan semua sosio-moral
masyarakat muslim.
Tasawuf atau sufisme mengalami perkembangan yang amat pesat di dunia Islam, sejak
asketisme sampai bentuk neo-sufisme dewasa ini yang di komentari berbagai pemikir, tokoh
dan pembaharu masih sulit penjernihannya dari hal-hal yang pokok (ajaran) dengan hal-hal
yang cabang (fari). Tarekat sebagai perpanjangtangan tasawuf lebih include lagi dengan halhal yang dikecam oleh neo-sufisme, namun sampai sekarang formulasi baru yang sarat dengan
renovasi atau perubahan pembaharuannya tidak berapa yang hasilnya tetap yang lama dan
menantikan neo-sufisme yang sebenarnya.

14

DAFTAR PUSTAKA
Akhyar, U., 2014. Neosufisme Ragam dan Perkembangannya. [Online]
Available at: http://akhyar-umam.blogspot.co.id/2014/12/neosufisme-ragam-danperkembangannya.html
[Diakses 28 April 2016].
Jemil, f., 2014. Karakteristik Neosufisme. [Online]
Available at: http://www.kompasiana.com/jemilfirdaus/karakteristik-neo-sufisme-sejarah-barutasawuf_55289f8f6ea834994c8b45ab
[Diakses 28 April 2016].
Syahmiruddin, P., 2013. Neo Sufisme. [Online]
Available at: http://syahmiruddinpane.blogspot.co.id/2013/01/neo-sufisme.html
[Diakses 28 April 2016].

15

Anda mungkin juga menyukai