Anda di halaman 1dari 21

ILMU AKHLAK TASAWUF

(TASAWUF FALSAFI)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Akhlak Tasawuf
Dosen Mata Kuliah : Dr. H. Kamalludin, M.A.

Disusun Oleh :
Qolbu Dzakirilah (221105070864)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN HAJI DAN UMRAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR 2022-2023

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Yang telah memberikan kesehatan, kenikmatan, dan
karunia yang besar untuk semua hamba-Nya. Shalawat dan salam juga selalu kami curahkan
untuk Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya dan para sahabatnya, yang telah membawa
umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang, dan dari zaman
kebodohan menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengeahuan.

Makalah ini berisi tentang materi pembelajaran untuk mata kuliah Ilmu Akhlak Tasawuf
dengan judul “Tasawuf Falsafi” yang ditulis dari beberapa sumber pilihan sehingga insya Allah
dapat dipahami oleh para pembaca. Harapannya makalah ini dibuat untuk membantu pembaca
memahami isi materi ini.

Makalah ini juga masih jauh dari kata sempurna sehingga mohon kritik dan sarannya yang
membangun dari pembaca sebagai bahan evaluasi di masa yang akan datang.

Bogor, 13 Mei 2023


Qolbu Dzakirilah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................1
C. Tujuan.................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................2
A. Pengertian..........................................................................................................2
B. Konsep Pemikiran dan Tokoh Tasawuf Falsafi.....................................................3
1. Ibnu Arabi (560H-630H).....................................................................................3
2. Al-Jilli (767H-805H).............................................................................................6
3. Ibnu Sab’in (Lahir Thn 614H)..............................................................................8
4. Ibnu Masarrah (W. 319H/931M)........................................................................9
...........................................................................................................................
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Istilah tasawuf adalah suatu


makna yang mengandung arti
tentang segala sesuatu
untuk berupaya membersihkan
jiwa serta mendekatkan diri
kepada Allah dengan
mahabbah yang sedekat-
dekatnya. Tasawuf
mempunyai banyak arti dan
istilah yang
kesemuanya itu merupakan
ajaran tentang kesehajaan,
kezuhudan, keserdehanaan,
jauh
iii
dari kemegahan dan selalu
merendahkan diri di hadapan
Allah SWT. Intinya segala
perilaku dan perbuatannya
semata-mata hanya untuk Allah
SWT.
Dalam dunia Islam, pada
dasarnya cabang ilmu
pengetahuan terbagi menjadi
dua
yaitu ilmu aqli seperti halnya
ilmu matematika, kimia,
geografi dan sebagainya,
kemudian

iv
cabang ilmu yang kedua yaitu
ilmu naqli diantaranya ilmu
hadits, ilmu kalam, ilmu
tasawuf
dan lain sebagainya. Berbicara
tentang ilmu tasawuf, inti
ajarannya adalah tekun
beribadat
dengan menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah,
meninggalkan kesenangan dan
perhiasan dunia dan bersunyi
diri dalam beribadah.

v
Istilah tasawuf adalah suatu
makna yang mengandung arti
tentang segala sesuatu
untuk berupaya membersihkan
jiwa serta mendekatkan diri
kepada Allah dengan
mahabbah yang sedekat-
dekatnya. Tasawuf
mempunyai banyak arti dan
istilah yang
kesemuanya itu merupakan
ajaran tentang kesehajaan,
kezuhudan, keserdehanaan,
jauh

vi
dari kemegahan dan selalu
merendahkan diri di hadapan
Allah SWT. Intinya segala
perilaku dan perbuatannya
semata-mata hanya untuk Allah
SWT.
Dalam dunia Islam, pada
dasarnya cabang ilmu
pengetahuan terbagi menjadi
dua
yaitu ilmu aqli seperti halnya
ilmu matematika, kimia,
geografi dan sebagainya,
kemudian

vii
cabang ilmu yang kedua yaitu
ilmu naqli diantaranya ilmu
hadits, ilmu kalam, ilmu
tasawuf
dan lain sebagainya. Berbicara
tentang ilmu tasawuf, inti
ajarannya adalah tekun
beribadat
dengan menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah,
meninggalkan kesenangan dan
perhiasan dunia dan bersunyi
diri dalam beribadah.
Istilah Tasawuf ialah suatu makna yang mengandung arti tentang segala sesuatu untuk
berupaya membersihkan jiwa serta mendekatkan diri kepada Allah ‫ ﷻ‬dengan mahabbah
yang sedekat-dekatnya. Tasawuf memiliki banyak arti dan istilah yang semuanya itu merupakan
ajaran tentang kesehajaan, kezuhudan, kesederhanaan, jauh dari kemegahan dan selalu
merendahkan diri dihadapan Allah ‫ﷻ‬. Intinya segala perilaku ataupun sikap yang dilakukan
semata-mata hanya berharap ridho Allah ‫ﷻ‬.

viii
Dalam islam, pada dasarnya cabang ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua, yaitu ilmu
aqli seperti halnya matematika, kimia, geografi, dan sebagainya. Kemudian cabang ilmu yang
kedua yaitu ilmu naqli, diantaranya ialah ilmu hadits, ilmu kalam, ilmu tasawuf, dan lain
sebagainya. Berbicara ilmu tasawuf, inti ajarannya tekun beribadah dengan menyerahkan diri
kepada Allah ‫ ﷻ‬sepenuhnya. Meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia dan
menyibukkan diri dalam beribadah.1
Dalam perkembangannya tasawuf memiliki beberapa aliran, dan setiap aliran memiliki
pemahaman tentang arti tasawuf itu sendiri, salah satu diantaranya adalah tasawuf falsafi,
dimana tasawuf ini cukup menarik untuk ditelaah, baik dari segi pengertiannya, konsepnya,
maupun tokoh-tokohnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Tasawuf Falsafi?
2. Siapa saja tokoh Tasawuf Falsafi?
3. Bagaimana konsep pemikiran dari masing-masing tokoh Tasawuf Flasafi?
C. Tujuan
1. Agar dapat mengetahui apa itu Tasawuf Falsafi.
2. Agar dapat mengetahui tokoh-tokoh Tasawuf Falsafi.
3. Agar dapat mengetahui konsep pemikiran dari masing-masing tokoh Tasawuf Falsafi.

1
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Malang, UIN Malang Press, 2008), hlm. 165.

ix
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Menurut at-Taftazani, tasawuf Falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam
sejak abad ke-6 H, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu, tasawuf
ini terus hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filsuf sampai
menjelang akhir-akhir ini.2
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang ajaran-ajarannya
memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Terminologi falsafi tersebut berasal dari
bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya, namun
orisinalitasnya sebagai tasawuf tidak hilang. Walaupun demikian, tasawuf Falsafi tidak dapat
dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq). Selain
itu, tasawuf ini tidak pula dapat dikategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering
diungkapkan dengan bahasa filsafat.3 Bisa juga dikatakan tasawuf Falsafi yakni tasawuf yang
kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Di dalam tasawuf Falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni
atau tasawuf salafi. Tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis, sedangkan
tasawuf Falsafi menonjol kepada segi teoretis sehingga dalam konsep-konsep tasawuf Falsafi
lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan-pendekatan filosof yang sulit diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam.
Pemaduan antara tasawuf dan filsafat dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran
tasawuf Falsafi bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia,
India, dan agama Nasrani. Namun, orisinalitasnya sebagai tasawuf tidak hilang. Para tokohnya
tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama apabila dikaitkan dengan
kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini dapat menjelaskan kepada kita kegigihan para
tokoh tasawuf jenis ini dalam mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar
Islam ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi
menyesuaikan maknanya dengan ajaran tasawuf yang mereka anut.
Berkembangnya tasawuf sebagai latihan untuk merealisasikan kesucian bathin dalam
perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, menarik perhatian para pemikir muslim yang
berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang filosofis
atau filsuf yang sufis. Tasawuf mereka disebut tasawuf Falsafi, yaitu tasawuf yang kaya dengan
pemikiran-pemikiran filsafat. Ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan adalah emanasi
Neo-Platonisme dalam semua variasinya. Dikatakan falsafi, sebab konteksnya sudah memasuki
wilayah ontologi (ilmu kaun), yaitu hubungan Allah dengan alam semesta. Dengan demikian,

2
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.277
3
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm.264

x
wajarlah jika jenis tasawuf ini berbicara masalah emanasi (faidh), inkarnasionisme (hulul),
persatuan roh Tuhan dengan roh manusia (ittihad), dan keesaan (wahdah).4
Ciri umum atau karakteristik tasawuf Falsafi adalah ajarannya samar-samar akibat
banyaknya ungkapan atau istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang
memahaminya. Selanjutnya tasawuf Falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena
ajarannya dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq) tetapi tidak dapat pula dikatagorikan
sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam
bahasa filsafat serta cenderung pada panteisme.
Menurut Ibnu Khaldun, objek utama yang menjadi perhatian tasawuf Falsafi ada empat
perkara.5 Keempat perkara itu adalah sebagai berikut:
Pertama, latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta instropeksi diri yang timbul darinya.
Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-
sifat rabbani, arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabihan, ruh, maupun yang nampak, dan susunan
kosmos, terutama tentang penciptanya dan penciptaannya.
Ketiga, peristiwa dalam alam yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau
keluarbiasaan.
Keempat, menciptakan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar
(syatahiyyat) yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya,
menyetujuinya, atau menginterpretasikannya.
B. Konsep Pemikiran dan Tokoh Tasawuf Falsafi
Di antara tokoh-tokoh penting yang termasuk kelompok sufi (tasawuf) Falsafi antara lain
adalah Ibnu Arabi (560 H–630 H), al-Jilli (767 H–805 H), Ibnu Sab’in (lahir tahun 614 H), Ibnu
Masarrah (w. 319 H/ 931 M).
1. Ibnu Arabi (560 H–630 H)
a. Biografi singkat Ibnu Arabi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad ‘Abdullah ath-Tha’i al-
Haitami. Nama laqab-nya Muhyiddin Ibnu Arabi al-Qutub, as-Syaikh al-Akbar. Nama kunyah-nya
Abu Abdillah. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, pada tanggal 27 Ramdhan tahun
560 H (1164 M), dari keluarga berpangkat, hartawan dan ilmuwan. Orang tuanya sendiri adalah
seorang sufi yang memiliki kebiasaan berkelana.6
Ketika Dinasti al-Muwahhidun menaklukan Murcia pada tahun 567 H/ 1172 M. Ibnu
Arabi dan keluarganya pindah ke Sevilla, tempat ayahnya diberi pekerjaan pada dinas

4
Ibid., hlm.266
5
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm.71
6
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm.272

xi
Pemerintahan al-Muwahhidun, atas kebaikan Abu Ya’qub bin Yusuf, penguasa Dinasti al-
Muwahhidun pada saat itu. Pada usia 8 tahun, Ibnu Arabi sudah merantau ke Lisabon untuk
belajar agama pada seorang ulama’ yang bernama Syaikh Abu Bakar bin Khalaf.
Setelah selesai belajar ilmu al-Qur’an dan hukum Islam, ia pindah lagi ke Sevilla yang
pada masa itu merupakan pusat pertemuan para sufi di Spanyol. Di sana ia mempelajari al-
Qur’an, hadist, dan fiqh dari seorang ulama Andalusia terkenal, yaitu Ibnu Hazm azh-Zhahiri. Ia
menetap di sana selama 30 tahun untuk memperluas pengetahuan dibidang hukum Islam dan
ilmu kalam serta mulai belajar tasawuf. Ia juga sering berkunjung ke Cordova untuk meminta
ilmu dari Ibnu Rusyd (filsuf muslim dan tabib istana Dinasti Berbar dari Alomohad). Dari sana,
kunjungannya ini dilanjutkan ke wilayah Tunisia dan Maroko.
Setelah berusia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan
kawasan Islam bagian barat. Di antara guru-gurunya tercatat nama-nama, seperti Abu Madyin
al-Ghauts at-Talimsari dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan wanita). Keduanya
banyak mempengaruhi ajaran-ajaran Ibnu Arabi.7
Pada tahun 1201 M/598 H Ibnu Arabi meninggalkan Spanyol karena situasi politik pada
masa itu tidak menguntungkan baginya serta tasawuf yang dianutnya tidak disukai di kawasan
itu. Barangkali dengan tujuan utama untuk ibadah haji, ia berangkat menuju kawasan timur.
Mesir adalah negeri pertama yang ia singgahi untuk beberapa lama, tetapi ternyata di daerah
itu aliran tasawufnya tidak diterima masyarakat. Oleh karena itu, ia melanjutkan
pengembaraannya melalui Jerussalem dan menetap di Mekah untuk beberapa lama.
Di kawasan itu ternyata ia diterima penguasa dan masyarakat dengan baik. Akan tetapi,
ia tidak menetap di kota suci itu, karena ternyata pengembaraan itu berakhir di Damaskus
sebagai tempat menetapnya sampai ia meninggal tahun 1240 M/638 H dan dimakamkan di
kaki Gunung Qasiyun. Ia mempunyai dua orang putra yang seorang terkenal sebagai penyair
sufi, namanya Sa’duddin dan yang satu lagi Imaduddin, keduanya dimakamkan berdekatan
dengan Ibnu Arabi. Ibnu Arabi adalah penulis yang produktif, yang menurut Browne ada 500
judul karya tulis dan 90 judul di antaranya asli tulisan tangannya tersimpan di perpustakaan
Negara Mesir. Tetapi menurut Sya’roni, Ibnu Arabi menulis buku sekitar 400 judul buku saja.
Produktifitasnya dalam menulis terutama ia bermukim di Mekah dan Damaskus atau sekitar 20
tahun terakhir masa hidupnya.
Beberapa karya Ibnu Arabi yang telah dipublikasikan di antaranya adalah sebagai
berikut:
1. Futuhat al-Makkiyah
2. Fusus al-Hikam
3. Mawaqi’ an-Nujum

7
Rosihon Anwar, Akhlaq Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.279

xii
4. Kitab ‘Anqa al-Magrib
5. Majmu’at ar-Rasail
6. Misykat al-Anwar fi Ahadis as-Syarifah
7. Muhadarat al-Abrar wa Musafarat al-Akhyar
8. Ad-Diwan al-Kabir
9. Turjuman al-Asywaq
10. Al-Insan Al-Kamil
b. Ajaran Tasawuf Ibnu Arabi (Wahdat al-Wujud)
Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun
demikian, istilah wahdat al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah
berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam
dan mengkritik ajaran sentral tersebut. Setidaknya Ibnu Taimiyah yang telah berjasa dalam
mempopulerkan nama wahdat al-wujud ketengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya
negatif. Meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah wahdat al-wujud untuk menyebut
ajaran sentral Ibnu Arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan
pengertian wahdat al-wujud.
Menurut Ibnu Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam.
Menurutnya orang yang berpaham ini mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu
dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh khaliq juga adalah mungkin al-wujud yang dimiliki
oleh makhluk. Selain itu orang-orang yang mempunyai paham ini juga mengatakan bahwa
wujud alam sama dengan wujud Tuhan, tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Menurut Ibnu Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya
wujud makhluk adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya
(khaliq dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan
wujud khaliq dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang
terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari
kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun padanya. Hal ini tersimpul dalam ucapan
Ibnu Arabi berikut ini:

‫ُسْب َح اَن َم ْن َأْظ َهَر اَأْلْش َي اَء َو ُه َو َع ْي ُنَه ا‬


“Mahasuci Tuhan yng telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala
sesuatu itu.”
Menurut Ibnu Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah. Allah adalah
hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut khaliq dan wujud
yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (menyembah)

xiii
dengan ma’bud (yang disembah). Bahkan, antara yang menyembah dan yang disembah adalah
satu. Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu. 8
Kalau antara khaliq dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibnu
Arabi menjawab, sebab manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu, tetapi memandang
dengan pandangan bahwa keduanya adalah khaliq dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang
lain. Jika memandang keduanya dari sisi yang satu, atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat
yang satu. Jika cara ini dilakukan, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikat keduanya, yaitu
Dzat-Nya satu dan tidak terbilang dan terpisah.
Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam,
kemudian dibandingkan dengan pengertian panteisme, pemahaman Ibnu Taimiyah
tentang wahdat al-wujud ada benarnya. Meskipun demikian perlu diingat, apabila Ibnu Arabi
menyebut wujud, maksudnya adalah wujud yang mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya
wujud, menurut Ibnu Arabi, adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti,
apa pun selain Tuhan, baik berupa alam maupun yang ada di dalam alam, tidaklah memiliki
wujud.
Kesimpulannya, kata wujud hanya diberikan kepada Tuhan. Pada kenyataannya, Ibnu
Arabi juga menggunakan kata wujud untuk sesuatu selain Tuhan. Namun, ia mengatakan bahwa
wujud yang ada pada alam adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Untuk
memperjelas perkataannya itu, Ibnu Arabi memberikan contoh bahwa cahaya adalah milik
matahari, namun cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi.
2. Al-Jilli (767 H–805 H)
a. Biografi Singkat al-Jilli
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili. Beliau dilahirkan di Jilan bagian
selatan laut Kasfia yang terletak di Asia Tenggara pada tahun 767 H bertepatan pada tahun
1365 M dan wafat pada tahun 805 H/1405 M.9 Nicolas menilainya bahwa al-Jilli terkait dengan
Abdul Karim al-Jilli atau Gilani (masyarakat kita, tokoh ini lebih dikenal dengan nama
Abdul Qadir Jaelani), seorang pendiri tarekat qadiriyah yang wafat pada tahun 300 sebelum
kelahiran Abdul Karim al-Jilli.
Al-Jilli belajar agama di daerahnya setelah merasakan cukup baginya tentang
pengetahuan agama beliau mengembara untuk mencari ilmu di daerah lain di Zahid salah satu
negeri di Yaman Selatan, ia berguru kepada Syarifuddin bin Ismail bin Ibrahim al-Jabari. Dengan
berbasis ilmu dengan pengalaman yang sangat luas, beliau menekuni dunia tasawuf. Al-Jilli
sebagai seorang kreatif dan produktif dalam mengembangkan ilmunya, beliau banyak
mempunyai karya-karya, baik dalam bentuk buku maupun dalam bentuk makalah. Tidak kurang
dari tiga puluh empat judul buku tasawuf yang telah ia tulis, meskipun tidak semuanya masih

8
Ibid., hlm. 281
9
Ibid., hlm. 287

xiv
ada sampai sekarang. Di antara karya tasawuf beliau yang telah dibukukan adalah sebagai
berikut:
1. Al-Insan al-Kamil fi Makrifat al-Awakhir wa al-Awail.
2. Ad-Durrah al-Ainiyah fi as-Syawahid al-Gaibiyyah.
3. Al-Kahfu wa ar-Raqim fi Syarh Bismillahirrahmanirrahim.
4. Lawami’ al-Barq.
5. Maratib al-Wujud.
6. An-Namus al-Aqdam.
7. Haqiqah al-Haqaiq.
8. Al-Kanz al-Makhtum al-Hawi ‘ala Sirr at-Tauhid al-Majhul wa al-Ma’lum.
9. Jannah al-Ma’arif wa Gayah al-Murid wa al-‘Arif
b. Ajaran Tasawuf al-Jilli (Insan Kamil)
Ajaran tasawuf al-Jilli yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna).
Menurut al-Jilli wakil Tuhan yang sebenarnya adalah insan mengaplikasikan Nur
Muhammad dalam kehidupannya. Kesempurnaan insan kamil tidak lain ialah karena ia
merupakan identifikasi dari hakikat Muhammad.10 Hakikat Muhammad atau biasa disebut
“logos” dalam istilah filsafat, pada dasarnya merupakan arketipe kosmos. Makhluk
memperoleh kesejahteraan pada hakikat ini dan mendapat rezeki dari wujudnya. Ia
merupakan arketipe dari Bani Adam, yang semuanya secara potensial adalah insan kamil, meski
hanya dikalangan para Nabi dan wali saja potensi itu menjadi aktual.
Nur Muhammad itulah yang mengaktualkan sebagian manusia menjadi insan kamil.
Akan tetapi, kendati mereka itu sama-sama telah menduduki peringkat insan kamil, tidak
semuanya menempati tempat yang sama dalam kedudukan tersebut. Al-Jilli membagi insan
kamil atas tiga tingkatan. Tingkat pertama disebut al-bidayah (tingkat permulaan). Pada tingkat
ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma (nama-nama) dan sifat-sifat Tuhan pada
dirinya. Tingkat kedua, attawassuth. Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat
kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan al-Haqaiq ar-Rahmaniah. Sementara itu,
pengetahuan yang dimiliki insan kamil pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan
biasa, karena sebagian dari hal-hal gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya. Tingkat
ketiga ialah al-Khitam (terakhir). Pada tingkat ini insan kamil telah mampu merealisasikan citra
Tuhan secara utuh. Di samping itu, ia pun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia
penciptaan takdir. Dengan demikian, pada diri insan kamil sering terjadi hal-hal yang luar
biasa.11
10
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm.89
11
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2014), hlm.90

xv
Menurut al-Jilli, insan kamil yang muncul setiap zamannya tidak dapat mencapai
peringkat tertinggi dari tingkatan-tingkatan di atas, kecuali Nabi Muhammad SAW. Dialah satu-
satunya yang mencapai tingkat yang paling sempurna. Oleh karena itu, menurut al-Jilli, hanya
Nabi Muhammad sendiri yang disebut sebagai insan kamil hakiki. Nisbah dengan insan
kamil yang lain laksana perbandingan antara yang sempurna dan yang lebih sempurna.
Muhammad SAW. adalah yang lebih sempurna dan yang lain hanya sempurna.
3. Ibnu Sab’in (lahir tahun 614 H)
a. Biografi Singkat Ibnu Sab’in
Nama lengkapnya adalah Abdul Haqq bin Ibrahim Muhammad bin Nashr. Ia termasuk
kelompok sufi yang juga filsuf dari Andalusia. Ia terkenal di Eropa karena tanggapannya atas
pernyataan Raja Freederik II, penguasa Sicilia. Ibnu Sab’in digelari “Quthb ad-Din” dan
terkadang dikenal pula dengan Abu Muhammad. Ibnu Sab’in lahir pada tahun 614 H (1217–
1218 M) di kawasan Murcia, Spanyol.12
Ibnu sab’in mempunyai asal usul dari kalangan Arab. Ia mempelajari bahasa dan sastra
Arab pada kelompok gurunya. Ia mempelajari ilmu agama dari Madzhab Maliki, ilmu logika dan
filsafat. Di antara guru-gurunya adalah Ibnu Dihaq, yang dikenal dengan Ibnu al-Mir’ah
(w.611H), pensyarah karya al-Juaini.
Ibnu Sab’in meninggalkan karya sebanyak 41 judul, yang menguraikan tasawufnya
secara teoritis maupun praktis, dengan cara yang ringkas maupun panjang lebar. Kebanyakan
karyanya telah hilang, sebagian risalahnya telah disunting Abdurrahman Badawi dengan judul
Rasa’il Ibnu Sab’in (1965 M).
Karya-karya itu menggambarkan bahwa pengetahuan Ibnu Sab’in cukup luas dan
beragam. Terlebih lagi, ia begitu menguasai kandungan risalah-risalah Ikhwan ash-Shafa dan
secara terperinci mengetahui aliran-aliran teologi, khususnya aliran Asy’ariyah.
Pengetahuannya tentang aliran tasawuf begitu mendalam. Ini semua tampak jelas dari kritiknya
terhadap para filsuf, teolog, dan sufi sebelumnya. Di samping itu, dia begitu menguasai aliran-
aliran fiqh, karena ia juga seorang fakih.
b. Ajaran tasawuf Ibnu Sab’in (Kesatuan Mutlak)
Kesatuan mutlak merupakan konsep tasawuf yang dikembangkan Ibnu Sab’in sebagai
kelanjutan dari pemikiran “kesatuan wujud” Ibnu Arabi dan “insan kamil” al-Jilli. Menurut Ibnu
Sab’in, pencapaian kesatuan mutlak adalah individu yang paling sempurna, dan dalam diri
pencapai kesatuan mutlak terkandung segala kesempurnaan yang dimiliki seorang fakih, teolog,
filsuf maupun sufi.13 Inilah pribadi yang melebihi mereka semua dengan pengetahuannya yang
khusus, yaitu ilmu pencapaian yang menjadi pintu gerbang kenabian.

12
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm.286
13
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm.91

xvi
Dalam kitabnya Budd al-‘Arif, ia berusaha menyusun logika baru yang tidak sama dengan
logika Aristotelian. Logika yang ia bangun disebut logika pencapai kesatuan mutlak dan tidak
termasuk kategori logika yang bisa dicapai lewat penalaran, tapi termasuk hembusan ilahi yang
membuat manusia bisa melihat yang belum pernah dilihatnya, maupun mendengar yang belum
pernah didengarnya. Dengan demikian, logika tersebut bercorak intuitif.
4. Ibnu Masarrah (w. 319 H/ 931 M)
a. Biografi Singkat Ibnu Masarrah
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Masarrah (269 – 319 H). Ia
merupakan salah seorang sufi sekaligus filsuf dari Andalusia, Spanyol. Ia juga memberikan
pengaruh yang besar terhadap madzhab al-Mariyyah. Ibnu Hazm mengatakan bahwa Ibnu
Masarrah memiliki kecenderungan yang besar terhadap filsafat. Sementara itu, menurut
Musthafa Abdul Raziq, Ibnu Masarrah termasuk sufi aliran ittihadiyyah.14
Menurutnya, melalui jalan tasawuf manusia dapat melepaskan jiwanya dari belenggu atau
penjara badan dan memperoleh karunia Tuhan berupa penyinaran hati dengan cahaya Tuhan. 15
b. Ajaran Tasawuf Ibnu Masarrah
Di antara ajaran tasawuf Ibnu Masarrah adalah sebagai berikut16:
1. Jalan menuju keselamatan adalah menyucikan jiwa, zuhud dan mahabbah yang merupakan
asal dari semua kejadian.
2. Dengan penakwilan ala Philun atau aliran Ismailiyah terhadap ayat-ayat al-Qur’an, ia
menolak adanya kebangkitan jasmani.
3. Siksa neraka bukanlah dalam bentuk yang hakikat.
4. Kehidupan di akhirat bersifat ruhani, sehingga di akhirat kelak manusia dibangkitkan ruhnya
saja, tidak dengan badan

14
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm.289
15
Mohammad Muchlis Solichin, Akhlaq dan Tasawuf, (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm.132
16
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah,2015), hlm.289

xvii
BAB III
KESIMPULAN

1. Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan
antara visi mistis dan visi rasional. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam
ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf
tidak hilang. Walaupun demikian, tasawuf Falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat, karena
ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq). Selain itu, tasawuf ini tidak pula dapat
dikategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering diungkapkan dengan bahasa filsafat.
Bisa juga dikatakan tasawuf Falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran
filsafat.
2. Konsep pemikiran dan tokoh tasawuf Falsafi
a. Ajaran tasawuf Ibnu Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Menurutnya
orang yang berpaham ini mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-
wujud yang dimiliki oleh khaliq juga adalah mungkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Jadi,
semua wujud yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah
wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khaliq dan makhluk) dari segi
hakikat.
b. Ajaran tasawuf al-Jilli adalah paham insan kamil (manusia sempurna). Menurut al-Jilli wakil
Tuhan yang sebenarnya adalah insan mengaplikasikan Nur Muhammad dalam kehidupannya.
Kesempurnaan insan kamil tidak lain ialah karena ia merupakan identifikasi dari hakikat
Muhammad.
c. Ajaran tasawuf Ibnu Sab’in adalah paham kesatuan mutlak, yang merupakan kelanjutan
dari pemikiran “kesatuan wujud” Ibnu Arabi dan “insan kamil” al-Jilli. Menurut Ibnu Sab’in,
pencapaian kesatuan mutlak adalah individu yang paling sempurna, dan dalam diri pencapai
kesatuan mutlak terkandung segala kesempurnaan yang dimiliki seorang fakih, teolog, filsuf
maupun sufi. Inilah pribadi yang melebihi mereka semua dengan pengetahuannya yang khusus,
yaitu ilmu pencapaian yang menjadi pintu gerbang kenabian.
d. Ajaran Ibnu Masarrah dibagi dalam beberapa kategori:
1) Jalan menuju keselamatan adalah menyucikan jiwa, zuhud dan mahabbah yang
merupakan asal dari semua kejadian.
2) Dengan penakwilan ala Philun atau aliran Ismailiyah terhadap ayat-ayat al-Qur’an, ia
menolak adanya kebangkitan jasmani.
3) Siksa neraka bukanlah dalam bentuk yang hakikat.
4) Kehidupan di akhirat bersifat ruhani, sehingga di akhirat kelak manusia dibangkitkan
ruhnya saja, tidak dengan badan.

xviii
xix
DAFTAR PUSTAKA

Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Malang, UIN Malang
Press, 2008)
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015)
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014)
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015)
Rosihon Anwar, Akhlaq Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014)
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2014)
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm.286
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014)
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015)
Mohammad Muchlis Solichin, Akhlaq dan Tasawuf, (Surabaya: Pena Salsabila, 2014)
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah,2015), hlm.289

xx

Anda mungkin juga menyukai