Anda di halaman 1dari 22

EPISTEMOLOGI

(Sumber Pengetahuan Dalam Pandangan Al-Ghazāli)

Makalah
Makala Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Makala Mata Kuliyah Penantar
Filsafat Pada Fakultas Usuluddin Dan Filsafat
UIN Alauddin Makassar

Oleh: Klp V
1. INDRA SYAHPUTRA
30700120077
2. MUH FARIQ
307001200
3. MAR’I HASAN
307001200

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................II
DAFTAR ISI........................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................1
C. Tujuan..............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................2
A. Biografi al-Gazhali..........................................................................................2
B. Karya-Karya Al-Ghazali.................................................................................3
C. Epistemologi Al-Ghazali.................................................................................5

BAB III PENUTUP.............................................................................................7


A. Kesimpulan .....................................................................................................7
B. Kritik dan saran...............................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................8
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bertambah masa, bertambah berkembanglah pemikiran manusia. Begitu
pula dengan perkembangan filsafat Islam. Pada abad ke-5, filsafat Isalam
mengalami perkembangan yang dapat dikatakan merubah pola filsafat Islam yang
banyak dipertentangan. Ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran Iman al-
Ghazali sebagai pioner filsafatnya yang dominan relevan dengan konsep Islam.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kami dalam menambah
khazanah keilmuan. Selain itu, ini juga sebagai bentuk tanggung jawab kami
dalam memenuhi tugas terstuktur pada mata kuliah pengantar Filsafat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Riwayat Hidup Al-Ghazali?
2. Apa Saja Karya-Karya Yang Pernah Ditorehkan Oleh Al-Ghazali?
3. Bagaimana Pemikiran Al-Ghazali Tentang Epistemologi?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Riwayat Hidup Al-Ghazali
2. Untuk Mengetahui Karya-Karya Al-Ghazali
3. Mengetahui Epistemologi Al-Ghazali
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Al-Ghazāli

Nama asli al-Ghazāli adalah Abu Hamid Muhammad bin Ahmad


Al- Ghazali. Ia lahir di Tus (suatu kota kecil di Khurasan-Iran) tahun 450 H
bertepatan dengan tahun 1059 M. Dan meninggal di Tus tahun 1111 M.1

Ia berkuniyah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama


Hamid. Gelar beliau al-Ghazāli ath-Thusi berkaitan dengan tempat
kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran).
Sedangkan gelar asy-syafi’i menunjukkan bahwa beliau bermazhab
Syafi’i. Ia berasal dari keluarga yang miskin.

Ayahnya adalah seorang pemintal kain wol yang kemudian dijual


di tokonya. Disela-sela waktu senggangnya selalu digunakan untuk
mengunjungi majelis-majelis fuqaha' dan majelis ulama lainnya. Ayah al-
Ghazāli sangat mencintai ilmu dan ulama. Menjelang wafatnya ia
berwasiat kepada temannya, seorang sufi, agar mendidik kedua anaknya,
al-Ghazāli dan adiknya Ahmad. Sepeninggal ayahnya, mereka berdua
dididik oleh sufi tersebut hingga harta titipan ayahnya habis. Saat sang sufi
merasa tidak mampu lagi untuk mencukupi kebutuhan mereka berdua,
maka ia menganjurkan agar keduanya dititipkan di madrasah di Thus di
mana nantinya mereka berguru kepada Yusuf al-Nassaj yang juga seorang
sufi. Di madrasah ini mereka berdua di samping bisa mendapatkan
pendidikan juga dipenuhi kebutuhan hidupnya. Peristiwa itu terjadi saat al-
Ghazali berusia lima belas tahun (465 H).1

Pada masa remajanya (sekitar tahun 465 H/1073), ia mempelajari


fiqh dari Syeikh Ahmad al-Razkaniy dan dilanjutkan pada Syeikh Imam
Abu Nashr al- Isma'iliy di Jurján. Kemudian ia kembali ke Thus

1
Nihaya dan Nasir Siola, Pengantar Filsafat Islam (jl. Sultan Alauddin No 63
Makassar 90221: Alauddin Press, 2010), h. 99.
selama tiga tahun untuk merenung, berpikir dan menghafalkan semua
pelajaran yang didapatkannya selama itu. Kemudian ia pergi ke Naisabur
untuk berguru pada Imam al-Haramain Abu al- Ma'iliy al-Juwaini (w. 478
H/1085 M), hingga ia benar-benar menguasai ilmu Fiqh Ushul al-Figh,
Manthiq, Falsafah dan ilmu al-Hikmah. Pada saat itulah ia mulai
mengarang berbagai kitab. Kepandaian al-Ghazali tersebut diakui oleh al-
Juwaini dan ia digelari dengan Bahrun Mughriq (lautan yang
menenggelamkan). Di samping al-Juwaini, al-Ghazāli juga berguru pada
sufi besar, murid al-Qusyairi, abu Ali al-Farmadzi (w. 465 H/1072 M).
Sepeninggal al-Juwaini (478 H/1085 M), al-Ghazāli pergi ke
Mu'askar untuk mengunjungi wazir (perdana menteri) Nizam al-Muluk,
pendiri madrasah Nizamiyah. Di rumah wazir tersebut terdapat tempat
untuk berkumpulnya ulama- ulama ternama. Di majelis itulah al-Ghazāli
banyak berdiskusi dengan mereka sehingga mereka mengakui keunggulan
al-Ghazāli. Prestasi itu menyebabkan Nidham al-Mulk mengutus al-
Ghazali ke Baghdad guna mengajar di madrasah Nidhamiyyah (1090 M).

Tahun 484 H, al-Ghazāli sampai di Baghdad dan disambut secara


luar biasa oleh penduduk Baghdad. Kepandaian al-Ghazali telah menarik
minat murid-murid yang ada di madrasah tersebut. Bahkan dikatakan
bahwa majelis yang diadakan oleh al-Ghazāli di rumahnya dihadiri tidak
kurang dari tiga ratusan cendekiawan yang merupakan pembesar ulama
kala itu. Reputasi al-Ghazāli itu terus menanjak hingga mampu
mengalahkan wibawa para pemimpin dan perdana menteri.

Pada waktu ia tengah berada di puncak ketenaran itulah tiba-tiba


timbul rasa muak yang mendalam terhadap semua kenikmatan dan
kemuliaan yang telah diraihnya. Selama enam bulan ia selalu diguncang
oleh keinginan untuk bertahan di madrasah demi para murid yang haus
ilmu atau meninggalkan nya demi mensucikan diri dan meraih kebenaran
hakiki. Pada tahun 488 H, setelah lima tahun ia mengabdi di Ni zamiyah

15
(1090-1095) , akhirnya ia memutuskan untuk berhenti.2 mengajar. Al-
Ghazāli keluar dari Baghdad dengan berpura-pura hendak pergi hajji.
Padahal sesungguhnya ia akan menuju Syam (Syria). Sesampainya di
Syam (489
H) ia segera menuju Masjid Jami Damaskus untuk ber-uzlah dan ber-
khalwah di menara masjid tersebut. Di tempat itu al-Ghazali senantiasa
riyādah dan mujāhadah sepanjang hari selama dua tahun dalam keadaan
pintuk terkunci. Dari Syam al- Ghazāli menuju Baitul Maqdis (Palestina).
Di Baitul Maqdis ia selalu berada di dalam Kubah Batu (sakhrah) dalam
keadaan pintu tertutup. Tempat tersebut baru ditinggalkan saat hatinya
tergerak untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makan Rasulullah
SAW. Di tengah riyādah mujāhadah dan ibadahnya di Makkah itu hatinya
diusik oleh rasa rindu pada anak-istrinya. Perasaan yang akhirnya
mengantarkan al-Ghazāli kembali ke Baghdad. Seperti diakuinya sendiri
bahwa kembalinya ke komunitas keluarga dan masyarakat itu pada
mulanya cukup mengganggu konsentrasi khalwah dan riyādahnya. Namun
hal itu tidak berlangsung lama karena al-Ghazali segera bisa
berkonsentrasi lagi. Al-Ghazali kini lebih banyak diam di rumah dan
memutuskan untuk terus-menerus beribadah.

Sebenarnya al-Ghazali tidak lagi mempunyai keinginan untuk


kembali ke Baghdad. Namun karena desakan dan permohonan Wazir
Fakhr al-Muluk bin Nidham al-Muluk membuatnya mau kembali
mengajar di madrasah Nizamiyyah kendati hanya bertahan tiga tahun saja.
Pada akhirnya al-Ghazali memilih kembali ke Thus (503-504 H/1110 M)
dan mendirikan madrasah untuk para fuqaha' dan kamar-kamar kecil untuk
para sufi (khanqah) yang terletak di samping rumahnya . Perhatiannyapun
telah tersita untuk masalah-masalah kesufian. Ia selalu mengabiskan
waktunya untuk mengkhatamkan Al-Qur'an, berada di majelis para sufi,

2
Sodiq Akhmad Epistemologi Islam, Argumen Al-Ghazali atas Superioritas Ilmu
Ma’rifat (Cet. 1; jl. Kebayunan RT 003 RW 019 No.1 Kelurahan Tapos, Kecamatan Tapos,
Depok 16457: Kencana, 2017), h. 160.
mengajar, melanggengkan salat dan puasa serta seluruh ibadah lainnya,
hingga ia wafat (tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/1111 M).

B. Karya-Karya Al-Ghazāli

Karya-karya al-Ghazali berupa kitab/buku baik yang diterbitkan


maupun manuskrip yang belum diedit jumlahnya cukup banyak. Menurut
Musthafa Ghalab,3
al-Ghazali telah meninggalkan tulisan-tulisannya berupa karya ilmiah
kurang lebih sebanyak 228 kitab yang terdiri dari beraneka macam ilmu
pengetahuan yang terkenal pada masanya". Di antara karya itu adalah
sebagai berikut:

1. Dalam bidang tasawuf

a. Adab ash-Shūfiyah terbit


di Mesir

b. Al-Adab fī al ‘Amm, telah dicetak di Kairo tahun


1343 H

c. Al-lmkan ‘an Asykal al-Ilya, sebagai jawaban kepada orang yang


menentangnya terhadap beberapa bagian dalam buku Ihya' terbit di Fes
tahun 1302 H.

d. Ihya Ulum ad-Din, merupakan buku fatwa dan karya beliau yang
paling besar.
Telah dicetak berulang kali di Mesir tahun 1281 M.

e. Ayubd al-Walad, beliau tulis untuk salah seorang temannya sebagai


nasehat kepadanya tentang hud, taghrib dan tarbib, dicetak dengan
terjemahan di Wina tahun 1838 dan tahun 1842 M.

2. Dalam bidang teologi

a. Al-Ajwibah al-Ghazaliyah fi al-Masail al-


Ukhrawiyyah

3
Sodiq Akhmad Epistemologi Islam, Argumen Al-Ghazali atas Superioritas Ilmu
Ma’rifat, h. 160.

17
b. Al-lgtishad fi al-l'tigâd, terbit berkali-kali
di Mesir

c. Al-Jam'u al-Awwam an Ilm al-Kalam, terbit di Mesir dan India.


Terdapat naskah tulisan tangan dalam bahasa Eropa.

d. Al-Risalah al-Quddawiyyah fi Qawa'idu al-Aqd'id, terbit di


Iskandariyah.

e. Aqidah Ahl al-Sunnah, terbit di Iskandariyah dan terdapat naskahn di


Berlin dan
Oxford London.

3. Dalam bidang filsafat dan logika

a. Tabafut al-Falasifah, terbit di Mesir berulang kali, di Bombay tahun


1304 H dan di Beirut telah disempurnakan ke dalam bahasa Ibrani.

b. Risalah al-Thayr, terbit di Kairo tahun


1343 H
c. Minka al-Nadhari fi al-mantiq, terbit di Mesir

d. Magashid al-Falasifah, tentang manthiq dan hikmah ketuhanan dan


hikmah thabiat, terbit di Leiden 1888 M. lengkap dengan syarahnya.

e. Al-Mungidz min adh-Dhalal. Terdapat ringkasan tulisan tangan di


perpustakaan Berlin, Leiden, Paris, Austria dan Darul Kutub Mesir.
Disalin secara panjang lebar dalam kitab filsafat Arab yang terbit tahun
1842 M di Perancis serta sudah disadur berulang kali di Damsyik dan
Beirut.

4. Dalam bidang fiqh dan ushul figh

a. Asrar al-Hajj, dalam Fiqh Syafi'i, Terbit di Mesir

b. Al-Mustashfa fi Ilm al-Ushal, terbit berulang kali di Kairo, terdapat


ringkasan tulisan ini di Dar al-Kutub Mesir dan Perpustakaan Guthe.
c. Al-Waji fi al-Funni, kitab Fiqh dalam madzhab Syafi'i, terdapat
ringkasan tulisan tangan di Darul Kutub Mesir dan Syarahnya belum
terbit4

Para ilmuan modem, dengan kehadiran karya-karya tersebut


cenderung memasukkanya sebagai tokoh yang istiqamah dan
dikelompokan dalam disiplin pendidikan dan psikologi. Di dalam
karyanya, "There Thousand Years of Educational Wisdom" Robert Bulich
menyakini al-Ghazali sebagai tokoh filsafat pendidikan dengan tulisannya
yang berjudul "Ayyubd al-Walad", demikian dikutip oleh Fathiyah Hasan
Sulaiman. Begitu pula al-Ghazali banyak menyumbangkan pikirannya
dalam masalah psikologi (ilmu jiwa). Masalah ini dapat dipahami
melalui kitab Ihya' 'Ulum ad-Din yang memuat beberapa aspek kehidupan
dan disiplin ilmu.
C. Epistemologi Al-Ghazāli

1. Pengertian Epistemologi

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani Epistèmè (pengetahuan


sejati, pengetahuan ilmiah, atau pengetahuan sistematik) dan logos (kajian
tentang) yang secara etimologis berarti kajian tentang pengetahuan sejati.
Adapun secara terminologi, epistemologi adalah teori pengetahuan atau
kajian tentang asal usul, anggapan dasar, tabiat, rentang, kecermatan
(kebenaran, keterdalaman, keabsahan) pengetahuan. Epistemologi
merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, sumber, metode-
metode, dan sahnya pengetahuan.

Sebagian pakar menempatkan epistemologi dalam filsafat kritis


yang senantiasa mencari sumber dan kriteria kebenaran serta cara
memperoleh pengetahuan. Adapun pertanyaan utama epistemologi adalah
Apakah kebenaran itu?

4
Muhammad Bahri Gazali. “Epistemologin Al-Ghazali”, Al-Kalam, vol. XVIII, No. 90-
91. H.

19
Pembahasan epistemologi ini telah dimulai sejak zaman Yunani
kuno oleh Plato dan Aristoteles yang kontradiktif. Kontradiksi filsafat
Platonik dan Aristotelian ini telah dicoba untuk didamaikan oleh Plotinus
dengan Proclus melalui konsep emanasinya. Upaya tersebut berfungsi
sebagai langkah-langkah menuju pandangan Islam mengenai landasan
ontologis tertinggi dari semua pengetahuan. Epistemologi telah dikaitkan
sedemikian rupa dengan realitas tertinggi sebagai sumber kebenaran. Maka
epistemologi itu telah bersifat transendental.

2. Hakikat pengetahuan

a.Batasan Pengetahuan

Pengetahuan dalam epistemologi Islam bukan merupakan sesuatu di luar


Allah, sehingga tidak ada pengetahuan yang tidak diurai dari sumber yang satu
itu. Seluruh jenis pengetahuan makhluk adalah setitik air dari samudra
pengetahuan Allah. Ketika al-Ghazali menjelaskan tentang tiga dimensi
pengenalan (ma'rifah) manusia kepada Allah dari sudut perbuatannya (al-af'al),
sifat (al-sifat) dan Dzatnya (al-Dzat), ia mengatakan bahwa seluruh pengetahuan
manusia (dalam bentuk science) itu diambil dari samudra al-afal. Hal ini
disebabkan karena maqam al-af'al tersebut merupakan samudra yang tak
terarungi luasnya. Suatu kawasan pengetahuan yang jika seluruh lautan di dunia
ini dijadikan tinta untuk menuliskan kalimat kalimatnya niscaya ia akan habis
sebelum kalimat itu tuntas di tuturkan.

Pernyataan al-Ghazali di atas senada dengan pernyataan al-Qur'an


tentang keluasan pengetahuan Allah dibanding pengetahuan manusia yaitu:
‫ات َريِّب َولَ ْو ِجْئ نَا مِبِثْلِ ِه‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫قُ ْل لَ ْو َكا َن الْبَ ْحُر م َد ًادا ل َكل َمات َريِّب لَنَف َد الْبَ ْحُر َقْب َل َأ ْن َتْن َف َد َكل َم‬
‫َم َد ًدا‬

Terjemahnya:

“Katakanlah, “Kalau sekiranya laut menjadi tinta untuk kalimat-


kalimat Tuhanku maka sungguh habislah laut itu sebelum habis
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan
sebanyak itu pula”. (Surat Al- Kahfi Ayat 109)
b. Sumber Pengetahuan

1) Pengetahuan Empiris

Al-Ghazali selalu membagi alam dalam dua kategori besar yaitu alam al-
mulki wa al-syahadah (semesta) dan alam al malakût wal-Jabarût (metafisika).
Adapun yang menjdi objek bagi pengetahuan empiris adalah alam semesta. Alam
ini oleh al-Ghazali dalam konsep metafisikanya diletakkan sebagai wujud
terendah. Ia mengatakan: Materi-materi, baik substansi maupun aksidennya (fiy
nasiha), merupakan bagian terendah dari segala eksistensi (maujudat). Menurut
al-Ghazali pengetahuan empiris ini merupakan hasil dari aktivitas jiwa sensitif
(al-nafs al- hayawaniyah) yang dalam batas-batas tertentu juga dimiliki oleh
binatang.

Daya pencerap pengetahuan jiwa sensitif tersebut oleh al-Ghazali dibagi


menjadi dua yaitu: daya tangkap dari luar (persepsi) (al-mudrikat min dhahir)
dan daya tangkap dari dalam (al-mudrikah min al-batin). Adapun daya tangkap
dari luar itu kesemuanya terdapat pada pancaindra yang masing-masing
indra bertugas menangkap informasi yang khusus. Jadi yang mencerap
informasi empiris itu sesungguhnya bukanlah organ fisik akan tetapi jiwa
sensitif.

Informasi dari indra tersebut selanjutnya dikirim ke daya tangkap dari


dalam yang terdiri atas lima bagian yaitu: al-hish al-musytarak, al-khayaliyyah,
al- wahmiyyah, al-dzakirah, dan al-mutakahayyilah. Informasi dari indra itu
untuk kali pertamanya diterima oleh al-hish al-musytarak (common sense)
kemudian disimpan di dalam al-khayaliyyah (representasi) dan selanjutnya al-
wahmiyyah (estimasi) membuat abstraksi, mengambil makna dari objek tertentu.
Jadi ketika seseorang melihat harimau, otomatis al-wahmiyyah akan mengatakan
bahwa ia adalah musuh yang harus dihindari. Makna musuh yang harus dihindari
ini dicerap secara khusus dari harimau tertentu yang terlihat. Hal ini berarti
abstraksi tersebut masih bersifat partikular. Makna yang ditangkap oleh al-
wahmiyyah itu selanjutnya dikirim ke al-dzákirah (reproduksi) atau al-hafidhah

21
(penghafal) untuk disimpan. Berbagai bentuk dan informasi yang ditangkap di
atas akhirnya dirangkaikan atau dipisah-pisahkan sesuai kebutuhan-sehingga
mendapatkan kesimpulan yang baru oleh daya yang tertinggi dan terakhir yang
disebut al-mutakhayyilah (interpretasi).

Dalam Misykat al-Anwār pengetahuan empiris dicerap oleh daya indra


(al- roh al-hisās) dan daya imajinatif (al-roh al khayalīy) yang keduanya
menjadi bagian dari jiwa sensitif. Penjelasan al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar
berawal dari penafsirannya terhadap QS an-Nūr/24: 35.
ُّ ‫اج ٍة‬ ِ ‫ض مثَ ل نُ و ِر ِه َك ِم ْش َك ٍاة فِيه ا ِمص ب‬ ِ ‫الس ماو‬
ُ‫اج ة‬ َ ‫الز َج‬ َ ‫اح يِف ُز َج‬ُ َ‫ص ب‬ ْ ‫اح الْم‬
ٌ َْ َ ُ َ ‫اَأْلر‬
ِ ْ ‫ات َو‬ َ َ َّ ‫ور‬ ُ ُ‫اللَّهُ ن‬
‫ض يءُ َولَ ْو‬ ِ ‫ي يوقَ ُد ِمن َش جر ٍة مبار َك ٍة َزيتُونَ ٍة اَل َش رقِيَّ ٍة واَل َغربِيَّ ٍة ي َك اد َزيُته ا ي‬
ُ َْ ُ َ ْ َ ْ ْ َ َُ َ َ ْ ُ ٌّ ‫ب ُد ِّر‬ٌ ‫َكَأن ََّه ا َك ْو َك‬
ِ ‫اَأْلمثَ َال لِلن‬
‫َّاس َواللَّهُ بِ ُك ِّل‬ ْ ُ‫ب اللَّه‬ ُ ‫ض ِر‬ْ َ‫ور َعلَى نُ و ٍر َي ْه ِدي اللَّهُ لِنُ و ِر ِه َم ْن يَ َش اءُ َوي‬
ٌ ُ‫مَلْ مَتْ َس ْس هُ نَ ٌار ن‬
‫يم‬ ِ ٍ
ٌ ‫َش ْيء َعل‬
Terjemahan:

Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan


cahaya- Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di
dalamnya ada pelitabesar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan)
tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja)
hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di
atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-
Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu

Al-Ghazali menafsirkan kata misykah (Jawa: cengklongan), zujaj (kaca),


mishbah (pelita), syajarah (pohon) dan zaitun dengan al-ruh al-hisas, al-ruh al-
khayaliy, al-ruh al-aqliy, al-rüh al-fikriy dan al-ruh al-qudsiy al-nabawiy." Jika
pembagian ini dihubungkan dengan klasifikasi jiwa yang ada di dalam Ma'arij
al- Quds terlihat bahwa al-rüh al-hisas dan al-khayaliy adalah bagian dari al-
nafs al- hayawaniyyah. Adapun al-ruh al-aqliy, al-fikriy dan al-qudsiy al-
nabawiy adalah bagian dari al-nafs al insaniyyah (al-nathiqah). Pembagian
dalam Ma'arij al-Quds itu didasarkan pada ontologi sedang yang kedua lebih
merupakan interpretasi atas teks nash.
Al-roh al-hisas merupakan bentuk awal dari jiwa sensitif yang terdapat
pada bayi yang masih menyusui dan pada he wan-hewan tertentu. Daya ini
menerima informasi dari pan caindra. Karena ia berfungsi sebagai tempat bagi
cahaya maka ia dimetaforkan dengan misykah (Jawa: cengklongan).

Adapun daya imajinatif (al-ruh al-khayaliy) merekam informasi yang


dikirim oleh indra dan menyimpannya rapat-rapat untuk kemudian disampaikan
kepada al-rah al-aqlly pada saat dibutuhkan. Daya ini telah ada pada masa
kanak- kanak yang menangis bila benda yang diinginkannya disembunyikan.
Hal ini karena gambaran tentang benda tersebut masih tersimpan dalam
benaknya. Daya ini juga terdapat pada binatang tertentu seperti anjing. Seperti
anjing Daya imajinatif ini dimetaforakan dengan kaca (zuja).

Apa yang dijelaskan al-Ghazali adalah merupakan proses pencerapan


pengetahuan empiris yang dimulai dengan persepsi kemudian disimpan
sementara dalam daya indra untuk selanjutnya diabstraksikan oleh daya
imajinatif.

23
2) pengetahuan Rasional

Proses pencapaian pengetahuan yang diibaratkan dengan cahaya


dalam Misykah al-Anwar mengalami lima tahapan di mana dua di antaranya
berada dalam wilayah pengetahuan empiris yaitu al-rūh al-hisās dan al-khayāliy.
Adapun tiga bagian berikutnya yang menjadi bagian dari jiwa rasional adalah al-
ruh al-aqliy, al-
rūh al-fikriy yang keduanya berada dalam kawasan wilayah pengetahuan
rasional dan al-rūh al-qudsiy al-nabawiy yang berada dalam wilayah
pengetahuan intuitif.

Al-rūh al-aqliy (daya rasional) adalah substansi manusia yang hanya ada
pada manusia dewasa, tidak pada anak kecil, terlebih pada binatang. Daya ini
mencerap makna-makna di luar indra dan khayal. Adapun jangkauan
pencerapannya adalah pengetahuan dlarūriy (aksiomatis) dan universal.
Eksistensinya sebagai pencerap makna-makna itu dalam bahasa metafora al-
Qur'an adalah pelita (mishbāh).

Tahap selanjutnya adalah al-rūh al-fikriy (daya interpretatif) yang


mengambil pengetahuan al-aqliy, murni untuk dilakuan penyesuaian dan
penggabungan serta pengambilan suatu kesimpulan yang merupakan bentuk
pengetahuan yang amat berharga. Bila ia telah memperoleh dua kesimpulan ia
akan membuat sintesis sekali lagi sehingga menghasilkan kesimpulan yang baru.
Dengan dialektika seperti itu khazanah pengetahuan manusia akan terus
bertambah.

Pada mulanya, daya ini mencerna dari daya rasional. Kemudian


pengetahuan tersebut bercabang menjadi dua. Masing masing cabang
tersebut bercabang lagi demikian seterusnya yang kesemuanya membuahkan
kesimpulan untuk selanjutnya menghasilkan benih-benih (teori dasar) yang siap
tumbuh menjadi pohon (sejenis). Maka ia sesuai dengan metafora al-Qur'an yaitu
pohon Zaitun (syajarah zaitun). Selanjutnya karena daya ini juga membuahkan
banyak kesimpulan maka ia diibaratkan dengan pohon yang penuh berkah
(syajarah mubarakah). Karena cabang-cabang pemikiran akal murni itu tidak bisa
dihu bungkan dengan arah maka dengan sendirinya ia tidak di timur dan tidak
pula di barat.
Al-Ghazali membedakan daya interpretatif (roh fikriy) menjadi dua
yaitu: pertama adalah roh fikriy yang membutuhkan pengajaran, pengaktifan dan
bantuan dari luar untuk tetap dalam berbagai pengetahuan. Kedua adalah roh
fikriy yang sangat jernih hingga seakan-akan mampu mengaktifkan dirinya
sendiri tanpa bentuan dari luar. Bahasa metafora al-Qur'an adalah "minyak" yang
nyaris bercahaya walaupun tidak tersentuh api. Yakādu zaituh yudli'u walau lam
tamsashu nār. Karena begitu jernihnya maka di antara para wali itu ada yang
nyaris memancarkan cahaya sehingga hampir-hampir ia tidak membutuhkan
dukungan dari nabi. Begitu juga di antara para nabi ada yang hampir-hampir
tidak memerlukan dukungan dari malaikat. Daya-daya (roh) semacam inilah
yang menurut al-Ghazali lebih tepat disebut sebagai "minyak".

Lebih rinci lagi dalam kitabnya Ma'ārij al-Qus, al-Ghazali membagi jiwa
rasional itu ke dalam dua bagian besar yaitu: akal praktis (al-'amilah) dan akal
teoritis (al-'alimah). Kedua akal tersebut bukanlah dua hal yang benar-benar
terpisah, akan tetapi lebih merupakan dua sisi dari substansi yang sama. Sisi yang
menghadap ke bawah adalah akal praktis sedangkan yang menghadap ke atas
adalah akal teoritis."

Akal praktis berfungsi untuk menggerakkan tubuh melahi daya-daya jiwa sensitif

(al-rūh al-hayawāniyyah) sesuai tuntutan pengetahuan yang telah dicapai oleh

akal teoritis. Ia juga merupakan saluran yang menyampaikan gagasan-gagasan

akal teoritis kepada daya penggerak (al-muharrikah) sekaligus me rangsangnya

menjadi aktual. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali akal praktis ini harus mampu

menguasai daya-daya yang ada di bawahnya untuk mencapai akhlak mulia. Jika

akal praktis ini berhubungan dengan akal teoritis maka hubungan tersebut akan

menghasilkan pengetahuan moral, seperti dusta adalah buruk, adil adalah baik dan

25
lain-lain.Dua akal ini berhubungan dengan pengetahuan yang abstrak dan

universal. Ia mempunyai empat tingkatan evolutif yaitu: al-'aqlal-hayulaniy,

al-'aql bi al- malakah, al-'aql bi al-fil dan al-aqlal Al-aqal al-mustafad

a) Al-'Aql al-Hayulaniy (Akal Material).

Pada fase ini akal masih berupa potensi karenanya ia merupakan


tingkatan terendah dari dinamika intelektual manusia. Kondisi akal pada tahap
ini oleh al- Ghazali diumpamakan seperti adanya kemampuan menulis pada anak
kecil yang belum dapat menulis. Potensi menulis itu ada tapi (belum aktual).

b) Al-'Aql bi al-Malakah (Akal Habitual).

Akal ini disebut juga al-'aql bi al-mumkin karena pada fase ini akal telah
dimungkinkan untuk mengetahui pengetahuan aksiomatis (al-'ulum al-
dlarûriyyat) secara reflektif.

c) Al-'Aql bi al-Fi'il (Akal Aktual).

Pada fase ketiga ini akal telah bisa menggunakan pengetahuan pertama
sebagai premis mayor dalam silogisme un tuk memperoleh pengetahuan rasional
kedua (al-ma'qulah al-tsaniyah). Pengetahuan pertama sebagai modal dan
pengetahuan kedua sebagai hasil pemikiran.

d) Al-Aql al-Mustafad (Akal perolehan).

Akal pada tingkatan ini telah mempunyai pengetahuan pengetahuan


secara aktual dan menyadari kesadarannya secara faktual. Berbeda dengan
aktivitas berpikir sebelumnya di mana akal secara aktif menciptakan bentuk-
bentuk pengetahuan baru dengan menggunakan informasi pada tahapan
sebelumnya; pada tahap ini akal hanya bersifat pasif. Pengetahuan-pengetahuan
itu telah hadir dengan sendirinya tanpa memerlukan kegiatan berpikir. Oleh
karena itu, ia disebut dengan al-mustafād (perolehan). Akal ini juga sering
disebut dengan al-aql al-qudsiy (akal suci) Pengetahuan tersebut merupakan
limpahan dari akal yang selamanya aktual yaitu Akal Aktif. Dalam Mi'yâr
al-'Ilm al-Ghazali menyatakan bahwa akal aktif itu adalah malaikat yang
bertugas untuk memberi pengetahuan kepada manusia.

3) Pengetahuan Intuitif
Jika disimak penuturan epistemologi al-Ghazali dalam kitab-kitab

filsafatnya terutama Ma'ārij al-Quds terlihat bahwa dinamika akal adalah gerakan

klimaks, sebuah gerakan rasional dari alam wujud terendah hingga menusuk ke

alam gaib. Pada tingkat akal mustafād aktivitas berpikir sangat berbeda dengan

tahap sebelumnya. Pada tingkat ini akal justru secara pasif menerima pengetahuan

langsung dari Akal Aktif tanpa melalui proses belajar. Dalam pembahasan

sebelumnya diketahui bahwa akal ini diletakkan dalam tingkatan yang sama

dengan akal fi'il oleh al-Ghazali dalam kitabnya Mizān al-'Amal. Dalam Misykāt

al-Anwār tingkatan tersebut dinamakan al-rūh al-quds al-nabawiy yang

menempati puncak dari kebenderangan dan kejernihan yang bertugas untuk

menyulut daya-daya (roh) dibawahnya. Dalam bahasa metafora al-Qur'an adalah

"minyak".

Dalam pembahasan selanjutnya al-Ghazali membandingkan seorang


intelektual dengan seorang wali itu dengan anak kecil (al-thift ) dengan remaja
(al- tamyiz). Seperti tidak tahunya anak kecil tentang kondisi remaja seperti
itulah tidak tahunya intelektual terhadap pengetahuan para wali. Penjelasan
al-Ghazali ini menunjukkan bahwa kualitas pengetahuan intuitif itu lebih utama
jika dibanding dengan pengetahuan rasional .

Intuisi yang dimaksud di sini sangat berbeda dengan yang ada dalam
wacana barat, baik di bidang psikologi maupun filsafat. Intuisi di barat merupakan
bentuk perkembangan lebih lanjut dari intelektual dan masih dalam kawasan
rasional. Intuisi dipahami oleh ilmuan dan filsuf barat sebagai bentuk pemunculan
ide-ide terpendam di bawah sadar . Oleh karena itu Iqbal mengatakan : "In fact,
intuition, as Bergson rightly says, is only a higher kind of intellect." Di dalam
wacana Islam intuisi merupakan bentuk pencapaian ilmu hudluri yang

27
didapatkan seseorang dengan cara pasif baik itu secara langsung dari Allah atau
melalui perantara. Perantara di sini dapat berupa malaikat yang disebut juga Akal
Aktif, bisa juga melalui Jiwa Universal ataupun Akal Universal. Adapun
pengaktifan jiwa manusia yang di sulut oleh setan tidak termasuk dalam definisi
intuisi yang dikehendaki di dalam bahasan ini. Dalam pandangan al-Ghazali
tabiat akal adalah objektif dan selamanya benar. Jika ia tersalah dalam
kesimpulannya itu bukan karena fitrahnya tetapi lebih dikarenakan oleh adanya
kesalahan dari perangat luar yang dapat menghalangi cahaya kebenaran seperti
kesalahan indra dalam mencerap empiris adanya khayal dan was-was (wahm).
Maka ketika akal terbebas dari kabut khayal dan was-was ia akan dapat melihat
segala sesuatu secara objektif sebagaimana adanya ('alā mā hiya) Oleh karena itu
al-Ghazali menjadikan akal tersebut sebagai standar (mizān) bagi kebenaran
dalam setiap kondisi.

Dalam sebuah ungkapan al-Ghazali menjelaskan sebagai


berikut:
“Jiwa itu laksana sebuah negeri, Ladangnya adalah dua tangan dua kaki,

dan seluruh anggota tubuh lainnya. Tuan tanahnya adalah nafsu seksual

(syahwat) dan nafsu agresi (ghadlab) adalah penjaganya . Al-qalb adalah rajanya

dan al-'aql adalah perdana menterinya. Wajib bagi sang raja tersebut

bermusyawarah dengan perdana menteri guna menjadikan tuan tanah itu tunduk

di bawah kendali perintah perdana menteri demi kelanggengan kerajaan dan

kemakmuran negeri. Demikianlah kondisi al-qalb yang selalu bermusyawarah

dengan al-'aql guna menjadikan nafsu syahwat dan ghadlab di bawah kendali

perintahnya. Dengan demikian situasi jiwa benar-benar tentram sehingga mampu

mencapai sebab kebahagiaan ma'rifat terhadap realitas transendental (al-hadlrah

al-ilāhiyah). Akan tetapi jika akal berada di bawah al-ghadlab dan syahwat maka

hancurlah jiwa itu dan jadilah al- Qalb sebagai yang celaka di akhirat"
adapun konsep metafisika yang dibangun oleh al-Ghazali untuk

menjelaskan pengetahuan intuitif, melibatkan tiga unsur penting yaitu: Allah

sebagai sumber segala sumber pengetahuan, Akal Universal, dan jiwa universal.

Dari emanasi (ifādlah) Akal Universal itu lahirlah wahyu dan dari pancaran

(isyrāq) jiwa Universal muncullah ilham intuisi). Oleh karena itu, ilham oleh al-

Ghazali diartikan sebaga pengaktifan, penyadaran (tanbih) Jiwa Universal atas

jiwa parsial manusia (al-afs al-juz'iyyah al-insaniyyah) yang didasarkan atas

kejernihan, kesediaan dan kekuatan penerimaannya. Eksistensi pengetahuan

wahyu dan ilham tersebut digambarkan seperti akal dan badan. melalui ilham itu

lemah jika dibandingkan dengan wahyu. Pintu wahyu ini telah ditutup Allah

sejak berakhirnya risalah Muhammad SAW, Oleh karena itu, Muhammad saw.

digelari dengan Penutup Para Nabi (khātim al-nabiyyin). Adapun jalur

nubuwwah yang hingga kini masih terbuka adalah ilham. Tidak tertutupnya

pintu ilham ini disebabkan adanya kelanggengan kebutuhan untuk

mengingat, menguatkan, reformasi dan refitalisasi ajaran yang dibawa oleh

Rasulullah.

4) Otoritas
Adapun otoritas yang disepakati umat islam secara mutlak yaitu al-Quran
dan Sunnah Rasulullah SAW. Keduanya menjadi ukuran, sumber dan muara
segala kebenaran. Seperti juga seluruh ulama Muslim al-Ghazali menempatkan
kedua otoritas itu pada posisi yang sangat tinggi. Hal itu dapat dilihat dari
pandangannya tentang al-Qur'an dan as-Sunnah itu sendiri.
a) Al - Qur'an

Pandangan al-Ghazali tentang Al-Qur'an tersebut dituangkan secara


khusus dalam salah satu kitabnya yaitu Jawahir al-Qur'an. Di dalamnya ia
mengatakan bahwa al-Qur'an merupakan sumber segala pengetahuan manusia.
Pendapat ini di dasarkan pada kesimpulannya yang mengatakan bahwa semua

29
ilmu pengetahuan baik yang kita kenal maupun yang tidak kita kenal seluruh
unsur-unsurnya bersumber dari al-Qur'an.

Menurut al-Ghazali, Allah menjelaskan bahwa seluruh pengetahuan baik


yang tampak maupun tersembunyi, yang kecil maupun yang besar, yang empiris
maupun yang rasional semuanya telah terangkum dalam al-Qur'an. Maka al-
Qur'an menurut al-Ghazali adalah induk bagi ilmu al-ushūl (ilmu pengetahuan
pokok), 'ilmu furū' (ilmu pengetahuan cabang), ilmu syariah (ilmu agama) dan
ilmu al-'aqliy (ilmu pengetahuan umum). Kesimpulan al-Ghazali ini tampak
senada dengan pendapat pakar ilmu al-Qur'an Imam al-Syuyûthiy yang
mengatakan bahwa al-Qur'an itu adalah tempat memancar, sum ber, daerah
pancaran, dan tempat munculnya berbagai ilmu pengetahuan.S
b) Al-Sunnah (Al-Hadits)

Epistemologi al-Ghazali menempatkan nabi sebagai puncak subjek


pencerap pengetahuan. Al-Ghazali memandang jiwa para nabi itu sebagai jiwa-
jiwa suci profetik (al-rūh al-qudsiyyah al-nabāwiyyah) yang menempati puncak
kebenaran dan kejernihan dari seluruh jiwa. Adapun eksistensinya adalah sebagai
penyulut jiwa-jiwa manusia di bawahnya.

Fungsi nabi juga telah dijelaskan oleh Allah dalam QS al-Baqārah


ayat 151 sebagai berikut:

ِ ِ ِ ِ ِ
َ‫ْمة‬ َ َ‫َك َما َْأر َس ْلنَا في ُك ْم َر ُسواًل مْن ُك ْم َيْتلُو َعلَْي ُك ْم آيَاتنَا َويَُز ِّكي ُك ْم َويُ َعلِّ ُم ُك ُم الْكت‬
َ ‫اب َواحْل ك‬
‫َويُ َعلِّ ُم ُك ْم َما مَلْ تَ ُكونُوا َت ْعلَ ُمو َن‬
Terjemahan :
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami
kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu
yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan
kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa epistemologi al-


Ghazali kendati empiris, akal, intuisi dan otoritas diakui sebagai
sember pengetahuan, Namun tidak bisa berhenti di situ. Jika dilacak lebih
jauh maka akan terlihat bahwa sumber-sumber pengetahuan tersebut
ternyata bukan sumber terakhir bagi pengetahuan karena sumber-sumber
itu mencerap pengetahuan pada sumber pokok yang satu yakni Allah.
Dengan demikian tidak bisa tidak, bahwa sumber dari segala sumber
pengetahuan itu adalah Allah karena Dialah satu-satunya sumber hakiki
dari pengetahuan makhluk. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa
menurut al- Ghazali seluruh pengetahuan manusia itu bersumber dari
samudra yang satu yaitu samudra pengetahuan Allah. Adapun luas saudra
tersebut tidak terarungi oleh seluruh makhluk, bahkan jika seluruh lautan
di dunia ini dijadikan tinta untuk menuliskan kalimat-kalimat yang ada di
dalamnya niscaya akan habis air lautan itu sebelum habis kalimat Allah
dituturkan.

B. Implikasi

Setelah melakukan pengkajian terhadap epistemologi al-Ghazali


kami menemukan banyak pengetahuan baru khususnya dalam bidang studi
filsafat islam. Kami meyakini bahwa apa yang menjadi pemikiran al-
Ghazali khususnya tentang sumber pengetahuan manusia yang telah beliau
tuangkan dalam berbagai karya- karyanya adalah suatu pemikirang yang
benar adanya. Karena disamping al- Ghazali adalah seorang sufi, dimana
ia telah mengalami lansung peristiwa apa yang beliau tuangkan sebagai
pemikiran, juga beliau sangat berpegan pada ajaran islam
terutama pada al-Quran dan Sunnah nabi SAW menjadi sumber ajaran
islam.

31
DAFTAR PUSTAKA

Drajat, Amrieni. Filsafat Islam: Buat Yang Pengen Tahu. Jakarta: Erlangga,
[T.Th.].

Kementrian Agama Republik Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan


dan Pendidikan dan Pelatihan Lajnah Pentahshihan Mushaf Al-Quran. Al-
Qur’an Terjemahan. Jakarta: 2018.

Nihaya Dan Siola, Nasir. Pengantar Filsafat Islam. Jl. Sultan Alauddin No
63 Makassar 90221: Alauddin Press, 2010.

Sodiq, Ahmad. Epistemologi Islam: Argumen Al-Ghazali Atas Superioritas


Ilmu Ma’rifa. Cet. I; Depok: Kencana, 2017.

Soleh, Khudori. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontenporer. Cet. I;


Jokjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.

Anda mungkin juga menyukai