Anda di halaman 1dari 11

Nama: Fahrizal

Nim : 1192030037

Mapel: Filsafat Pendidikan Islam

PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Al-Ghazali.
A. Riwayat Singkat Hidup Al-Ghozali

Imam al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad


binMuhammad al-Ghazali.1 Ia lahir pada tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M, di
Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di Tus, wilayah Kurasan, dan wafat di Tabristan
wilayah propinsi Tus pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H,bertepatan dengan 1
Desember 1111

M.2Al-Ghazali memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya, Tus, dengan


mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan Khurasan yang
pada waktu itu kota tersebut dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia
Islam. Di kota Nisyafur inilah al-Ghazali berguru kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma’ali
al-Juwainy, seorang ulama yang bermazhab Syafi’i yang pada saat itu menjadi guru besar di
Nisyafur.Sebagai ahli pikir yang berbeda pendapat dengan kebanyakan ahli pikir muslim
yang lain (pada masanya), sehingga diberi gelar “Hujjatul Islam”. Dalam masalah pendidikan
beliau berpendapat bahwa pendidikan hendaknya ditujukan ke arah mendekatkan diri kepada
Allah dan dari sanalah akan diperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di
akhirat. Hanya dengan ilmu pengetahuan manusia dapat menjadi sempurna dan dapat
mengenal Tuhannya.

Di antara mata pelajaran yang dipelajari al-Ghazali di kota tersebut adalah


teologi, hukum Islam, falsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang
dipelajari inilah yang kemudian mempengaruhi sikap dan pandangan ilmiahnya di kemudian
hari. Hal ini antara lain terlihat dari karya tulisnya yang dibuat dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Dalam ilmu kalam, al-Ghazali misalnya menulis buku berjudul Ghayah al-
Maram fi Ilm al-Kalam (Tujuan Mulia dari Ilmu Kalam); dalam bidang tasawuf menulis buku
Ihya’ Ulum al-Din(Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama); dalam ilmu hukum Islam ia
menulis kitab al-Musytasyfa’ (yang menyembuhkan), dan dalam filsafat ia menulis
Maqasidal-Falasifah (Tujuan dari Filsafat) dan Tahafut al-Falasifah (Kekacauan dari
Filsafat).

Karena demikian banyak keahlian yang secara prima dikuasai al-Ghazali, maka
tidaklah mengherankan jika kemudian ia mendapat berbagai macam gelar yang
mengharumkan namanya, seperti gelar Hujjatul Islam (Pembela Islam), Syaikh as-Sufiyyin
(Guru Besar dalam Tasawuf), dan Imam al-Murabin (Pakar Bidang Pendidikan).
Dalam pada itu sejarah filsafat mencatat bahwa al-Ghazali pada mulanya dikenal
sebagai orang yang ragu terhadap berbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu yang dicapai melalui
panca indera maupun akal pikiran. Ia misalnya ragu terhadap ilmu kalam (teologi) yang
dipelajarinya dari al-Juwainy. Hal ini disebabkan karena dalam ilmu kalam terdapat beberapa
aliran yang saling bertentangan, sehingga dapat membingungkan dalam menetapkan aliran
mana yang betul-betul benar di antara semua aliran.

Sebagaimana halnya dalam ilmu kalam, dalam falsafatpun sebagaimana


dikemukakan di atas, al-Ghazali meragukannya, karena di dalam falsafat dijumpai argumen-
argumen yang tidak kuat, dan menurut keyakinannya ada yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Ia akhirnya mengambil sikap menentang filsafat. Pada saat inilah al-Ghazali menulis
buku yang berjudulMaqasidal-Falasifah (Tujuan dari Filsafat). Buku ini dikarangnya untuk
kemudian mengkritik dan menghantam filsafat. Kritik itu muncul dalam buku lainnya yang
berjudul Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pemikiran Filosof-filosof).

Lebih lanjut al-Ghazali tidak hanya menentang pengetahuan yang dihasilkan akal
pikiran, tetapi ia juga menentang pengetahuan yang dihasilkan panca indera. Menurutnya
panca indera tidak dapat dipercaya karena mengandung kedustaan. Ia misalnya mengatakan
“bayangan (rumah) kelihatannya tidak bergerak, tetapi sebenarnya bergerak dan pindah
tempat.” Demikian pula bintang-bintang di langit kelihatannya kecil, tetapi hasil perhitungan
mengatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi.

Pada akhir perjalanan intelektualnya, tasawuflah yang dapat menghilangkan rasa


syak yang lama mengganggu diri al-Ghazali. dalam tasawuflah ia memperoleh keyakinan
yang dicari-carinya. Pengetahuan mistiklah, cahaya yang diturunkan Tuhan ke dalam dirinya,
itulah yang membuat al-Ghazali memperoleh keyakinannya kembali.

B. Pemikiran Pendidikan al-Ghazali

Untuk mengetahui pemikiran al-Ghazali dalam bidang pendidikan, lebih dahulu


kitaharus mengetahui dan memahami pandangan al-Ghazali yang berkenaan ilmu pengetahuan
dengan berbagai aspeknya, antara lain tujuan pendidikan, kurikulum, metode, pendidik dan
murid.

Pendidikan, yang kata itu dilekatkan pada kata islam didefinisikan secara
berbeda-beda oleh orang yang berbeda-beda sesuai dengan pendapatnya masing-masing.
Tetapi semuapendapat itu bertemu dalam satu pandangan, bahwa pendidikan adalah suatu
proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan
dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Selain mewariskan nilai-nilai
budaya dari generasi ke generasi untuk memelihara identitas masyarakat, pendidikan juga
bertugas mengembangkan potensi manusia untuk dirinya sendiri dan masyarakatnya. Dalam
kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, alGhazali memulai pandangannya dengan nada provokatif tentang
keutamaan bagi mereka yang memiliki ilmu pengetahuan dengan mengutip al-Qur’an surat al-
Mujadilah ayat 11.

Konsep pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan lebih cenderung bersifat


empirisme, hal ini disebabkan karena ia sangat menekankan pada pengaruh pendidikan
terhadap anak didik. Menurutnya, pendidikan seorang anak sangat tergantung kepada orang
tua yang mendidiknya. Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa dalam peranannya, pendidikan
sangat menentukan kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya.
Dengan melihat dan memahami beberapa karyanya yang berkaitan dengan
pendidikan, dapat dikatakan bahwa al-Ghazali adalah penganut asas kesetaraan dalam dunia
pendidikan, ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana
ia berada, selama dia islam maka hukumnya wajib, tidak terkecuali bagi siapapun. Dapat
dikatakan pula, bahwa ia adalah penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih), dimana
pendidikanlah yang bisa mewarnai seorang anak yang bagai kertas putih tersebut dengan hal-
hal yang benar. Hal tersebut tercermin dalam salah satu kitabnya, Ihya’ ’Ulumuddin yang
mengatakan bahwa seorang anak ketika lahir masih dalam keadaan fitrah (suci).

Menurut Nizar, al-Ghazali menjadikan transinternalisasi ilmu dan proses


pendidikan merupakan sarana utama untuk menyiarkan ajaran islam, memelihara jiwa, dan
taqarrub ila Allah. Lebih lanjut dikatakan, bahwa pendidikan yang baik merupakan jalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.

Intinya, pendidikan menurut al-Ghazali bertujuan untuk mendekatkan diri kepada


Allah SWT, sebagaimana tujuan penciptaan manusia yang termaktub dalam QS. Al-Dzariyat:
56.Tujuan pendidikan ini dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) Tujuan
mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud
ibadah kepada Allah SWT; (2) Tujuan utama pendidikan islam adalah pembentukan akhlaq al-
karimah; (3) Tujuan pendidikan islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Perumusan ketiga tujuan pendidikan tersebut dapat menjadikan
program pendidikan yang dijalankan bersinergi dengan tujuan penciptaan manusia dimuka
bumi ini, yaitu untuk beribadah pada Allah sehingga pada gilirannya mampu mengantarkan
peserta didik padakedekatan diri dengan Allah SWT.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan dalam pandangan


al-Ghazali adalah memanfaatkan pengetahuan yang ditujukan untuk mendapatkan
kemanfaatan dari pengetahuan itu sendiri yang dengannya dapat menjaga keseimbangan alam
semesta ini dengan melestarikan kehidupan manusia dan alam sekitarnya, juga sekaligus
sebagai sebuah aplikasi dari tugas penciptaan manusia di muka bumi. Pemanfaatan
pengetahuan itu semata-mata adalah bertujuan untuk ta’abbud kepada Allah SWT, Tuhan
semesta alam.

Ibnu Khaldun.

a. Riwayat Singkat Hidup Ibnu Khaldun.

Nama lengkapnya adalah Abdullah al-Rahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibn
Khaldun. Ia dilahirkan di Tunisia pada bulan Ramadhan pada tanggal 27 mei 1332 M. ia
berasal dari keluarga politis, intelectual, dan aristocrat. Sebelum pindah ke Afrika,
keluarganya adalah para pemimpin politik di Moorish (Spanyol) selama beberapa abad.

Ayahnya bernama Abu Abdullah Muhammad. Ia berkecimpung dalam bidang


politik. Kemudian mengundurkan diri dari bidang politik serta menekuni ilmu pengetahuan
dan kesufian. Ia ahli dalam bahasa dan sastra Arab. Ia meninggal pada tahun 749 H, akibat
wabah pes yang melanda Afrikan Utara dengan meninggalkan lima orang anak. Ketika
ayahnya meninggal, Ibn Khaldun baru berusia 18 tahun.

Selanjutnya pada tahun 1362 M Ibn Khaldun menyeberang ke Spanyol dan


bekerja pada raja Granada. Di Granada, ia menjadi utusan raja untuk berunding dengan
Pedro dan raja Castila di Sevilla. Karena kecakapannya yang luar biasa, ia ditawari pula
bekerja oleh penguasa Kristen saat itu. Sebagai imbalannya, tanah-tanah bekas milik
keluarganya dikembalikan kepadanya. Akan tetapi, dari tawaran-tawaran yang ada, ia akhirnya
memilih tawaran untuk bekerja sama dengan raja Granada. Kesanalah ia memboyong
keluarganya dari Afrika. Ia tidak lama tinggal di Granada. Ia selanjutnya kembali ke Afrika
dan diangkat menjadi perdana menteri oleh Sultan al-Jazair. Ketika antara tahun 1362-1375
terjadi pergolakan politik, menyebabkan Ibn Khaldun terpaksa mengembara ke Maroko dan
Spanyol.

Pada tahun 1382 M ibnu khaldun berniat pergi haji, tetapi dalam perjalanan
hajinya ia singgah di Mesir. Raja dan rakyat mesir yang cukup mengenal reputasi
Khaldun menyebabkan ia tidak melanjutkan perjalanan hajinya. Di daerah ini ia ditawari
jabatan guru kemudian ketua Mahkamah agung dibawah pemerintahan dinasti Mamluk.

pada tahun 1387 M. setelah pulang haji ia ingin hidup tenang di Kairo tetapi tidak
tercapai. Sebab, kemampuannya yang luas itu telah mengundang sultan Mamluk untuk
memanfaatkannya. Bersama-sama dengan hakim dan ahli-ahli hukum lainnya ia dibawa sultan
ke Damaskus, kota yang terancam gempuran tentara Timur Lenk. Damaskus tidak dapat
dipertahankan dan Sultan bersama dengan tentaranya mundur ke Mesir. Namun, Khaldun dan
beberapa orang terkemuka lainya tetap tidak pulang. ia diserahi tugas berunding mengenai
penyerahan kota itu ke tangan Timur Lenk. Di tangan Timur Lenk, Damaskus dihancurkan.
Tetapi Khaldun berhasil menyelamatkan bukan hanya dirinya, melainkan juga beberapa orang
terkemuka, anggota tim perundingan ke Mesir. Di Mesir, ia tetap seorang yang terhormat.
Sebab, tidak lama kemudian ia kembali pada jabatannya semula, sebagai ketua Mahkamah
Agung. Ia meninggal pada tahun 1406 M dalam usia 74 tahun, bersama jabatan yang
dipegangnya.

Semasa hidup, Ibnu Khaldun banyak menghasilkan karya ilmiah, antara lain
dalam bidang ilmu manthiq, ringkasan filsafat Ibnu Rusyd, fiqh, matematika, kesastraan arab,
sejarah dan ilmu hitung. Namun karya Ibnu Khaldun yang sampai sekarang masih beredar
adalah Muqaddimah. Sebuah karangan terkenal yang telah mengkaji tentang ungkapan dan
pranata dasar dari masyarakat arab dan non-arab serta para pemegang kekuasaan besar pada
masanya.

b. Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun.

Menurut Ibnu Khaldun ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-
semata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam
kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi
ciri khas jenis insani.

Tradisi penyeledikan ilmiah yang dilakukan oleh ibnu khaldun dimulai dengan
menggunakan tradisi berfikir ilmiahdengan melakukan kritik atas cara berfikir “model lama”
dan karya-karya ilmuwan sebelumnya, dari hasil penyelidikan mengenai karya-karya
sebelumnya, telah memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan
yang sahih, pengetahuan ilmia auat pengetahuan yang otentik Adapun tujuan pendidikan
menurut Ibnu Khaldun yaitu:

 ·Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan


 ·Menyiapkan seseorang dari segi akhlaq
 ·Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial
 ·Menyiapakn seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan
 ·Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran
 -Menyiapkan seseorang dari segi kesenian

Pandangan Ibnu Khaldun tentang Pendidikan Islam berpijak pada konsep dan
pendekatan filosofis-empiris. Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai
dalam proses pendidikan yaitu:

 -Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang


tertentu.
 -Penguasaan keterampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman
 -Pembinaan pemikiran yang baik

Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai


tentangperkembangan psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya
untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses
belajar mengajar. Para pendidik hendaknya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta
didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan yang sesuai
dengan tingkat kemampuan peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi di luar
kemampuan peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan
kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan
menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu,diperlukan keseimbangan
antara materi pelajaran yang sulit dan mudah dalam cakupan pendidikan.

Ibnu Miskawaih
A. Riwayat Singkat Hidup Ibnu Miskawaih.

Nama lengkapnya adalah Abû ‘Alî al-Khasim Ahmad bin Ya’kûb bin Miskawaih.
Ialebih dikenal dengan nama Ibn Miskawaih. Beliau dilahirkan di kota Ray (Iran) padatahun
320 H/932 M. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Ibn Miskawaih mempelajari kitab
Tarîkh al-Thabarî kepada Abû Bakar Ahmad ibn Kamîl al-Qadhî (350 H/960 M). Selain
belajar sejarah, beliau pun mempelajari filsafat kepada Ibn al-Khammar, salah seorang
komentator Aristoteles dan al-Hasan ibn Siwar, seorang ‘ulama pengkaji filsafat, kedokteran
dan logika. Tidak hanya sebatas itu, beliau pun mempelajari ilmu bahasa, ilmu kedokteran,
ilmu fiqih, hadis, matematika, musik, ilmu militer, dan lainnya. Karena beliau memiliki tingkat
kecerdasan yang sangat tinggi, maka beliau pun dapat melahap habis semua pelajaran yang
diberikan kepadanya. Walhasil, beliau pun menjadi salah seorang filsuf Islam terkemuka di
zamannya.

Sebagai seorang pemikir besar, Ibn Miskawaih telah melahap seluruh kitab-kitab
filsafat dari warisan peradaban pra-Islam. Pada masanya, beliau banyak membaca dan
menelaah kitab-kitab pemikir dari berbagai peradaban seperti Yunani, Persia, Romawi, dan
lainnya. Karena itu pula, pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh dari berbagai peradaban itu
memberikan pengaruh yang tidak kecil bagi Ibn Miskawaih. Hal ini terlihat jelas,ketika Ibn
Miskawaih merumuskan pandangannya, beliau pun mengkombinasikanpemikiran-pemikiran
dari Plato, Aristoteles, Galen dan ajaran Islam.

Ibn Miskawaih hidup pada masa Dinasti Buwaihi. Dinasti Buwaihi adalah salah
satu dinasti yang lahir ke dalam tubuh pemerintahan Bani Abbasiyah di kota Baghdad sebagai
ibu kota Bani Abbasiyah, sehingga tidak berlebihan jika diumpamakan Dinasti Buwaihi
bagaikan benalu yang tumbuh pada sebuah pohon. Pada masa itu sifat-sifat rakus akan
kekuasaan dan harta kekayaan menjadi tabiat para tokoh-tokoh politik, akibatnya dekadensi
moral hampir melanda semua lapisan masyarakat. Semenatara di pihak lain, kaum sufi hidup
dengan berkontemplasi menjauhkan diri dari komunitas masyarakat yang sudah dilanda
dekadensi moral tersebut. Kondisi sosial ini pada perjalanan berikutnya sangat berpengaruh
dalam membentuk pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih.

Ketika masih muda, ia mengabdi kepada Abû Muhammad al-Hasan al-Muhallabî,


wazir pangeran Buwaihi, Mu’iz al-Daulah di Baghdad.11 Setelah al-Muhallabî itu wafat pada
tahun 352 H/963 M), Ibn Miskawaih pun mendekati Ibn al-‘Amid di Ray, wazir dari Rukn al-
Daulah. Rukn al-Daulah ini tidak lain adalah saudara Mu’iz al-Daulah. Ibn al-‘Amid bukan
orang sembarangan, sebab ia seorang tokoh sastra terkenal. Tidak hanya itu, Ibn al-‘Amid
bekerja sebagai pustakawan. Karena Ibn al-‘Amid menjadi wazir dari Rukn al-Daulah, maka
beliau pun mendapat kedudukan terhormat di ibukota pemerintahan Dinasti Buwaihi
tersebut.12 Pada tahun 360 H/970 M, al-‘Amid wafat, sehingga kedudukannya digantikan oleh
anaknya, yakni Abû al-Fath. Ibn Miskawaih pun mengabdi kepada anak al-‘Amid ini. Pada
tahun 366 H/976 M, Abû al-Fath wafat, sehingga jabatan wazir direbut oleh musuhnya yang
bernama al-Shahib ibn ‘Abbad. Karena musuh Abû al-Fath merebut kekuasaan, maka sebagai
pendukung Abû al-Fath, Ibn Miskawaih pun meninggalkan kota Ray. Kemudian, Ibn
Miskawaih berangkat menuju Baghdad. Di kota ini, Ibn Miskawaih mengabdikan diri kepada
penguasa Dinasti Buwaihi, yakni ‘Adhud al-Daulah. Pada masa ini, Ibn Miskawaih diangkat
sebagai bendahara penguasa Dinasti Buwaihi. Setelah ‘Adhud al-Daulah wafat, Ibn Miskawaih
tetap mengabdi kepada para pengganti pangeran Dinasti Buwaihi ini, yakni Syams al-
Daulah(388 H/998 M) dan Baha’ al-Daulah (403 H/1012 M).

Ibn Miskawaih hidup sebagai seorang Syi‘ah. Para penulis biografi pun
memasukkannya ke dalam daftar ulama dan filosof Syi‘ah karena beberapa pandangannya
menegaskan keharusan kemaksuman para imam. Sebagai seorang filsuf, Ibn Miskawaih
banyak berdebat dengan para filsuf sezamannya seperi Ibn Sînâ. Ibn Miskawaih wafat di
Isfahan pada 9 Shafar 421 H/1030 M.13 Meskipun beliau menduduki jabatan strategis di
pemerintahan Dinasti Buwaihi, namun hal itu tidak membuatnya malas menulis. Hal ini
terbukti karena beliau banyak menulis kitab-kitab bermutu tinggi, antara lain: al-Fauz al-
Akbar; al-Fauz al-Ashghar; Tajarib al-Umâm; Uns al-Farid; Tartib al-Sa’âdah; al-Mustaufa;
Jawidan Khirad; al-Jami’; al-Siya; On the Simple Drugs; On the Compositions of the Bajats;
Kitâb al-Asyribah; Tahdzîb al-Akhlâq; Risâlah fî al-Lazzah wa al-‘Alâm fî jauhar al-Nafs;
Ajwibah wa As’ilah fî al Nafs wa al-‘Aql; al-Jawab fî al-Masâ’il al-Tsalas; Risâlah fî Jawâb fî
Su’al ‘Alî ibn MuhammadAbû Hayyan al-Shufî fî Haqîqah al-‘Aql; dan Thaharah al-Nafs.14

B. Pemikiran Pendidikan Ibnu Miskawaih.

Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan


akhlak. Karena dasar pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang
dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Konsep pendidikan akhlak dari Ibn Miskawaih
dikemukakan sebagai berikut ini:

a) Tujuan Pendidikan Akhlak

Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya


sikap bathin yang mampu mendorong serta spontan untuk menghasilkan semua yang ingin
mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati.
b) Fungsi Pendidikan
o Memanusiakan manusia
o Sosialisasi individu manusia
o Menanamkan rasa malu
c) Materi Pendidikan Ahlak
Pada materi pendidikan Ibn Miskawaih berusaha agar semua sisi mendapat materi
didikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi yang diminta
diabdikan pula untuk pengabdian kepada Allah SWT. Ibnu Miskawaih menyebutkan tiga hal
yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya yaitu:
 Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia
 Hal-hal yang wajib bagi jiwa
 Hal-hal yang wajib untuk disetujui
Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi manusia antara shalat, puasa dan
sa'i. selanjutnya materi pendidikan ahklak yang diwajibkan bagi kebutuhan jiwa dicontohkan
oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan akidah yang benar, mengesakan Allah dengan
segala kebesaran-Nya serta membantu para ilmuwan dan materi yang terkait dengan manusia
yang dicontohkan dengan materi ilmu pengetahuan Muammalat, perkawinan, saling
menasehati, dan lain sebagainya.
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih memang terlihat
dimaksudkan untuk terciptanya manusia agar menjadi filosuf. Karena itu Ibn Miskawaih
memberikan uraian tentang ilmu yang dapat diperoleh agar menjadi filosuf. Ilmu tersebut
adalah:
 Matematika
 Logika dan
 Ilmu kealaman
Jadi, jika membahas dengan seksama, tentang berbagai ilmu pendidikan yang
membahas Ibn Miskawaih dalam kegiatan pendidikan tidak hanya membahas tentang ilmu
pengetahuan itu sendiri atau tujuan akademik tetapi juga untuk tujuan yang lebih tepat yaitu
akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia dan
bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi maka seseorang akan semakin tinggi
pula akhlaknya.

d) Pendidikan dan anak didik


Pendidik dan anak didik mendapat perhatian khusus dari Ibn
Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anak
karena lebih besar orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang
harmonis antara orang tua dan anak yang mengandalkan cinta. Kecintaan anak didik terhadap
gurunya menurut Ibn Miskawaih disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba kepada
Tuhannya, akankah tidak ada yang sanggup dilakukan maka Ibn Miskawaih akan
mendandani cinta siswa terhadap gurunya yang berkepentingan dengan orang tua dan
kecintaan terhadap Tuhan.
Seorang guru menurut Ibn Miskawaih mempertimbangkan lebih lanjut dalam
mendidik kejiwaan muridnya dalam mencapai kejiwaan sejati. Guru sebagai orang yang
dimuliakan dan kebaikan yang diberikannya adalah kebaikan illahi. Dengan demikian, guru
yang tidak mencapai derajat nabi, terutama dalam hal cinta kasih anak didik terhadap
pendidiknya, membahas sama dengan teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga
diproleh ilmu dan adab.
Cinta murid terhadap guru biasa masih menyukai cinta anak terhadap orang tua,
akan tetapi tidak mendukung cinta murid terhadap guru idealnya. Jadi posisi guru dapat juga
diproleh ilmu dan adab.
Oleh karena itu, guru yang dipercayai oleh Ibn Miskawaih bukan dalam arti guru
formal, tetapi guru biasa memiliki berbagai persyaratan antara yang lain: dapat mempercayai,
pandai, dicintai, sejarah yang tidak tercemar di masyarakat, dan menjadi cermin atau panutan,
dan juga harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.
Perlu hubungan cinta kasih antara guru dan murid diterima demikian penting,
karena terkait dengan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar
yang menawarkan cinta antara guru dan siswa dapat memberikan hasil positif untuk
pendidikan.
e) Lingkungan pendidikan
Ibn Miskawaihetujui sebagai usaha untuk mencapai kebahagiaan (as-sa'adah)
tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus mendukung saling menolong dan saling
melengkapi dan Ibnu Miskawaih juga membahas hubungan sosial, manusia yang bisa dibawa
keluar. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa Sebagai manusia yang baik, orang yang bertanya
tentang keluarga dan orangutan masih ada yang membantunya mulai dari saudara, anak, atau
orang yang masih mendukung saudara atau anak, kerabat, teman, rekan, tetangga, kawan atau
kekasih.
Selanjutnya Ibn Miskawaih dapat membantah bahwa salah satu tabiat manusia
adalah yang dapat membantu manusia karena itu adalah hasil dari setiap kebutuhan
bersama. Diantara cara mencapainya adalah dengan sering bertemu. Manfaat dari pertemuan
yang disetujui akan mendukung akidah yang benar dan kestabilan cinta terima kasih
sesamanya. Upaya untuk ini, antara lain dengan melakukan syari'at. Shalat berjama'ah
menurut Ibn Miskawaih merupakan isyarat bagi perwakilan untuk saling bertemu, sekurang-
kurang satu minggu sekali. Pertemuan ini bukan hanya dengan orang-orang yang berada di
lingkungan terdekat, tetapi hingga tingkat yang paling jauh.
Untuk mencapai lingkungan yang demikian, menurut Ibn Miskawaih terkait
dengan politik pemerintahan. Kepala Negara mengikuti peraturannya.
Karena itu, Ibn Miskawaih yang mendukung agama dan negara ibarat dua saudara
yang saling melengkapi satu sama lain saling melengkapi.
Lingkungan pendidikan selama ini dikenal dengan tiga lingkungan pendidikan
yaitu Lingkungan Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat. Ibn Miskawaih secara eksplisit tidak
membahas masalah ketiga Lingkungan tersebut. Ibnu Muskawaih berbicara tentang
lingkungan pendidikan dengan cara berkomunikasi, mulai dari lingkungan sekolah yang
berhubungan dengan guru dan murid, lingkungan pemerintahan sampai lingkungan rumah
yang terkait dengan hubungan orang tua dengan anak. Pendidikan lingkungan terhadap
terciptanya Lingkungan Pendidikan.
f) Metodologi Pendidikan
Metodologi Ibn Miskawaih targetnya adalah perbaikan akhlak, metode ini terkait
dengan metode pendidikan akhlak. Ibn Miskawaih berpendidikan adalah masalah perbaikan
akhlak yang merupakan asal atau warisan yang dapat diusahakan atau menerima perubahan
yang diusahakan. Maka usaha-usaha untuk disetujui diperlukan cara-cara yang efektif yang
selanjutnya dikenal dengan istilah persetujuan.
Ada beberapa metode yang disampaikan Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak
yang baik. Pertama, ada kemauan yang sungguh-sungguh untuk dilatih terus menerus dan
tahan diri (al-'adat wa al-jihad) untuk diterima keutamaan dan kesopanan yang sesuai dengan
keutamaan jiwa. Metode ini ditemui pula karya etika para filosof seperti yang dilakukan
Imam Ghazali, Ibn Arabi, dan Ibn Sina. Metode ini termasuk metode yang paling efektif
untuk diterima keutamaan jiwa. Kedua,dengan membawa semua pengetahuan dan
pengalaman orang lain sebagai cermin untuk dirinya. Karena pengetahuan dan pengalaman
yang dibahas dengan pengetahuan ini adalah pengalaman dan pengetahuan berkenaan dengan
hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi alasan yang berkaitan dengan manfaat dan
keburukan bagi manusia. Dengan cara ini orang tidak akan hanyut ke dalam perbuatan yang
tidak baik karena ia bercermin pada perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang
lain. Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian menarikai dia
mengatakan itu juga memiliki banyak kekurangan seperti orang tersebut, lalu membawanya
sendiri. Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan selalu kembali semua
tindakannya dilakukan tidak melakukan tindakannya terhindar dari perhatiannya.
REFRENSI
http://piuii17.blogspot.com/2018/09/pemikiran-pendidikan-islam-ibnu-khaldun.html?m=1

http://digilib.uin-suka.ac.id/8591/1/JUWARIYAH%20IBNU%20KHALDUN%20DAN%20PEMIKIRANNYA
%20TENTANG%20FILSAFAT%20PENDIDIKAN.pdf

https://dakir-wordpress-com.cdn.ampproject.org/v/s/dakir.wordpress.com/2009/05/02/konsep-
pendidikan-ibnu-miskawaih/amp/?amp_js_v=a3&amp_gsa=1&usqp=mq331AQFKAGwASA
%3D#aoh=15915923964607&amp_ct=1591592440611&csi=1&referrer=https%3A%2F
%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s&ampshare=https%3A%2F
%2Fdakir.wordpress.com%2F2009%2F05%2F02%2Fkonsep-pendidikan-ibnu-miskawaih%2F

http://ejournal.unwaha.ac.id/index.php/dinamika/article/download/131/119/

https://media.neliti.com/media/publications/156215-ID-pemikiran-pendidikan-islam-ibn-
miskawaih.pdf

Abdullah, M. Amin.antara Al Ghaali dan Kant: filsafat etika islam.Bandung:Mian,2002.

Anda mungkin juga menyukai