Anda di halaman 1dari 4

Imam Al-Ghazali: Pendidikan sebagai Kebangkitan Umat Islam

Azhar Fakhru Rijal


21086030004/PAI A
Imam Ghazali adalah seorang ulama sufi kenamaan familiar dengan julukan Hujjatul
Islam. Ihya Ulumudin menjadi titik tolak dirinya dalam memahami konsep hidup
manusia sebagai hamba. Berasal dari keluarga yang sederhana, Al-Ghazali meninggalkan
kedudukannya sebagai guru besar di sekolah Nizhamiyah untuk beruzlah (inhisab wal
‘audah) dan menemukan hakikat yang sebenarnya selalu ia bayangkan selama itu.
Pada masanya Islam sebagai hegemoni yang berkuasa dikenal sebagai gudangnya ilmu,
puncak peradaban Islam, sebagian menyebutnya dengan istilah The Golden Age. Orang-
orang berpendidikan dan rakyat umumnya hidup sejahtera, termasuk salah satunya adalah
Imam Al-Ghazali yang begitu dihargai oleh pemerintahan karena keilmuannya. Namun
kemegahan itu tidak menjawab kebimbangan yang ada pada dirinya., tentunya setelah
melihat kondisi umat Islam di sekitarnya.

Sebelum kedatang pasukan Salibisme, kondisi umat Islam tidak seindah yang
dibayangkan. Dalam bukunya, al-Kilani menjelaskan bahwa kondisi umat Islam ketika
itu tenggelam dalam corak negatif mazhabisme. Mengganggap dirinya sebagai satu-
satunya representasi kebenaran dalam panggung kehidupan umat Islam. Dan hal ini
berdampak pada seluruh aktivitas kehidupan umat Islam diantaranya pemikiran,
pendidikan, sosial dan politik menerima .

Dampak pemikiran misalnya pengkikut mazhab dibatasi diskusi dengan mazhab lain,
bahkan tidak bersentuhan lagi dengan al-Quran dan sunnah, mazhab menjadi referensi
satu-satunya. Dalam aspek lainnya, tujuan pendidikan rusak dan beralih kepada yang
lebih duniawi. Jabatan mufti, hakim, tenaga pengajar di universitas, madarasah dan
jabatan lainnya menjadi tujuan. Keberhasilan dari madrasah masing-masing menjadi
keunggulan tersendiri sebagai batu loncatan untuk kursi jabatan. Benturan antar mazhab
sulit dihindarkan, pendidikan hanya menonjolkan perbedaan mazhab dalam bidang fiqh
dan muamalah.

Secara sosial perbedaan mazhab menjadi bentuk kelompok yang saling berselisih dan
bermusuhan. Yang berkuasa memiliki kesempatan untuk menekan, masyarakat bawah
berinisiai melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang berlaku. Fenomena seperti
ini membentuk pandangan negative terhadap para ulama dan mubaligh.

Tidak berhenti sampai disitu, perpecahan dan penyimpangan tasawuf menjadi hal lain
yang dikritisi oleh Imam Al-Ghazali. Konsep zuhud disalahartikan, seperti sebuah aliran
yang membagikan hasil usahanya, sedangkan untuk dirinya mereka mengemis. Begitu
pun dengan ancaman para filsuf, untuk itu sang imam menulis buku berjudul Tahafut
alFalasifah sebagai antitesa dari fenomena filsofof pada saat itu.
Upaya perbaikan mulai terlihat kekita kekuatan politik bisa dikuasai Bani Saljuk,namun
dirasa kurang maksimal. Dan dengan pemahaman yang mendalam terhadap warisan
intelektual, madrasah menjadi salah satu proses pembaruan dan ishlah yang digagas oleh
Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali.

Penyakit-penyakit di atas merupakan hasil diagnosa Imam Ghazalli selama merenungi


kondisi umat Islam. Dirinya melihat akan urgensi para dokter (ulama) yang mengobati
virus-virus penyakit yang menghinggapi umat saat itu. Rusaknya misi ulama (akibat
mazhabisme) tentu menjadi masalah tersendiri, perlu adanya proses yang lama demi
menghasilkan ulama-ulama terbaik yang siap bergerak untuk umat Islam.Melahirkan
sistem baru dalam pendidikan dan pengajaran adalah di antara jawabannya.

Konsep pendidikan yang coba diperbaiki olehnya adalah terkait tujuan ilmu dan
pendidikan itu sendiri. Menurutnya pendidikan seharusnya bertujuan untuk menciptakan
kebahagiaan manusia (tahqiq assa’adah lil insan), dan menurut al-Ghazali kebahagiaan
yang sesungguhnya adalah akhirat. Dan akhirat akan mencakup seluruhnya termasuk
kehidupan dunia, serta akhirat adalah kebahagiaan yang abadi.

Lebih jelasnya dari pemikiran al-Ghazali dapat diketahui tujuan akhir yang ingin dicapai
melalui kegiatan pendidikana adalah

1. Tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada


Allah.
2. Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kebahagiaan akhirat sangat terkait erat dengan kehidupan dunia, karenan menjadii sebab
maka pendidikan itu harus terkait erat pula dengan hajat (kebutuhan) masyarakat. Untuk
kebutuhan masyarakat diperlukannya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan
berkompetensi untuk mewujudkan kehidupan sosial yang sesuai dengan ajaran Allah.

Dalam Ihya Ulumudin, Imam Al-Ghazali mengatakan, “Dunia adalah ladang tempat
persemaian benih-benih akhirat. Dunia adalah alat yang menghubungkan seseorang
dengan Allah . sudah barang tentu, bagi orang yang menjadikan dunia hanya sebagai alat
dan tempat persinggahan, bukan bagi orang yang menjadikannya sebagai tempat tinggal
yang kekal dan negeri yang abadi”.

Perlunya generasi Ulama/Murabbi dan sistem pendidikan yang diperbaharui, Imam Al-
Ghazali mendirikan sekolah-sekolah dan melahirkan kurikulum belajar yang mengarah
kepada empat bidang;

1. Membangun akidah Islam


2. Pendidikan jiwan dan kemauan
3. Ilmu fiqih dan seluruh sistem prinsip untuk mengimbangi pola muamalat
4. Hikmah dan persiapan fungsional (profesi)

Itu semua terlihat dari buku-buku yang ditulis olehnya pada kurun waktu itu. Buku al
Hikmah min Makhluqat yang secara eksplisit menggarap masalah pembinaan aqidah.
Dalam bukunya berisi papara tentang telaah ciptaan Allah seperti langit, bumi, alam raya,
matahari, bulan, laut, angina, api dan manusia.

Pendidikan jiwa bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia dalam segi ubudiyah
dan menghindarkan dari dorongan syahwat dan nafsu, sebab menurut al-Ghazali tubuh
bergantung pada jiwa bukan sebalinya. Sedangkan dalam fiqh sangat dijauhkan dari
taqlid mazhab dan tetap bersentuhan langsung dengan al-Quran. Lalu hikmah dan
fungsional berkaitan dengan seluruh bentuk kebijakan, manajemen dan profesi yang
dibutuhkan manusia di semua sektor.Dan Al-Ghazali meyakini bahwa ilmu ini akan terus
berkembang mengikuti tabiat kehidupan manusia yang terus berlanjut.

Perhatian Imam al-Ghazali terhadap ini melahirkan Tazkiyatun Nafs sebagai salah satu
konsep pendidikan.Tazkiyatun nafs dapat diartikan membersihkan jiwa dari
kemusyrikan , mewujudkan kesuciannya dengan tauhid dan cabang-cabangnya dan
menjadikan nama-nama Allah sebagai akhlak yang baik dengan meniru akhlak Nabi.
Usaha yang perlu dilakukan menurut al-Ghazali ada dua yaitu menggunakan kemampuan
akal dan mujahadah.

Akal sebagai pemberian Allah yang sangat berharga harus mampu


mengontrol/mengalahkan nafsu, syahwat dan amarah. Menjadikan ketiganya tunduk
kepada akal dan agama. Dan mujahadah terhadap akhlak yang dituju dengan berusaha
melatih dan membiasakannya hingga tercapai.manusia harus berkorban terbiasa dengan
akhlak baik yang dituju.

Hasil yang nampak dari itu adalah akhlak yang baik. Dalam hal ini sesuai dengan tujuan
pendidikan sekarang, bahwa mendidik siswa bukan hanya memindahkan ilmu ke dalam
otak, tapi ilmu harus dielaborasi menjadi karakter dan akhlak.

Dengan begitu proses pendidikan sebenarnya proses saling mempengaruhi antara naluri
dan lingkungan. Dan al-Ghazali melihat siswa sebagai mutiara yang bernilai sangat
tinggi, namun belum berbentuk. Dan ada dua faktor mempengaruhi pembentukan itu
yaitu naluri/fitrah (endogen) dan lingkungan (eksogen). Sementara itu dengan melalui
surat at-Tahrim menegaskan tanggungjawab pertama pendidikan anak adalah orangtua,
bagaimana faktor eksternal ini membantu anak atau siswa menemukan fitrahnya.

Selaras dengan hadits “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orangtuanya yang
akan membuat dia yahudi, nasrani, dan majusi” (H.R. Muslim).
Ide-ide tersebut diimplementasikan oleh Imam Al-Ghazali pada sekolah-sekolah yang dia
bangun sendiri dan mengajar penuh di sana bersama beberapa kawannya. Sekolah
tersebut menyumbangkan pengaruh sangat besar dalam mencetak generasi baru yang
memberi kontribusi luar biasa kepada gerakan ishlah di kemudian hari.

Sistem pendidikan Al-Ghazali semakin terarah dan membuat kurikulum independen.


Konsep itu semakin menyebar dengan semakin banyaknya murid yang mempelajari
darinya. Dengan mengusung misi Al-Ghazali muridnya berjuang menyebarkan pada
seluruh masyarakat, baik melalui sekolah maupun masjid yang mereka hinggapi ke
depannya.

Dari tujuan pendidikan perspektif Imam al-Ghazali dan konsep Tazkiyatun Nafs sebagai
kelanjutannya, sang Hujjatul Islam seakan melahirkan kurikulum pendidikan akhlak yang
relevan dengan kondisi sekarang. Dimulai dari tujuan pendidikan yang seharusnya
menempatkan akhirat sebagai yang utama, dan berujung pada kebahagiaan manusia di
dunia, sebab keduanya saling keterikatan.

Dan Tazkiyatun Nafs al-Ghazali mengarahkan pada fungsi akal yang seharusnya sejalan
dengan agama dalam menaklukan nafsu dan syahwat. Oleh karena itu input akal dalam
proses pendidikan harus sejalan dengan tujuan pendidikan, atau melahirkan karakter dan
akal kepada siswa. Siswa harus sampai pada kesimpulan bahwa pemahaman kognitif
berfungsi mencapai tujuan akhirat.

Dengan era globalisasi seperti sekarang memperbarui tujuan pendidikan sangatlah urgen,
dan tujuan pendidikan Islam yang ditawarkan al-Ghazali 10 abad yang lalu masihlah
relevan. Apalagi dengan pengaruh materialis yang mengubah arah pendidikan pada
kekayaan dan jabatan.

Sedangkan Tazkiyatun Nafs seharusnya dapat digunakan untuk menjawab era teknologi
yang begitu canggih dan cepat. Semua itu harus disaring oleh hati yang jernih serta niat
yang tulus untuk mendapatkan ridha Allah.Menjadikan ilmu sebagai wadah mendekatkan
diri pada Allah bukan sebatas pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Dan
Praktik mujahadah dan riyadoh merupakan proses pembiasaan agar tertanam menjadi
karakter dan akhlak siswa. Ini bisa diterapkan dengan program ibadah untuk siswa,
missal rutinitas solat duha, puasa sunnah, sedekah dll.

Anda mungkin juga menyukai