Anda di halaman 1dari 11

Bab I

Pendahuluan

Diakui atau tidak, kualitas kepribadian anak didik kita belakangan ini kian
memprihatinkan. Maraknya tawuran antar remaja di berbagai kota ditambah dengan
sejumlah perilaku mereka yang cenderung anarkis, meningkatnya penyalahgunaan
narkoba, dan suburnya pergaulan bebas di kalangan mereka adalah bukti bahwa
pendidikan kita telah gagal membentukakhlak anak didik.
Pendidikan kita selama ini memang telah melahirkan alumnus yang menguasai sains-
teknologi melalui pendidikan formal yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan yang
ada tidak berhasil menanamkan nilai-nilai kebajikan. Kita lihat berapa banyak lulusan
pendidikan memiliki kepribadian yang justru merusak diri mereka.
Tampak dunia pendidikan di Indonesia masih dipenuhi kemunafikan karena yang
dikejar hanya gelar dan angka. Bukan hal mendasar yang membawa peserta didik
pada kesadaran penuh untuk mencari ilmu pengetahuan dalam menjalani realitas
kehidupan. Pendidikan semacam itu tidak terjadi di negeri ini sebab orientasinya
semata-mata sebagai sarana mencari kerja.
Kenyataannya yang dianggap sukses dalam pendidikan adalah mereka yang dengan
sertifikat kelulusannya berhasil menduduki posisi pekerjaan yang menjanjikan gaji
tinggi. sementara nilai-nilai akhlak dan budi pekerti menjadi `barang langka’ bagi
dunia pendidikan.
Pendidikan kita juga masih menghasilkan lulusan berakhlak buruk seperti suka
menang sendiri, pecandu narkoba dan hobi tawuran, senang curang dan tidak punya
kepekaan sosial, atau gila harta dan serakah.
Kegagalan pendidikan bukan hanya diukur dari standar pemenuhan lapangan kerja.
Masalah yang lebih besar adalah pendidikan kita belum bisa menghasilkan lulusan
yang berakhlak mulia. Ahmad Tafsir menegaskan, bangsa-bangsa yang dimusnahkan
Tuhan bukan karena tidak menguasai iptek atau kurang pandai, namun karena
buruknya akhlak.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q. S. Adzariyaat ayat 34:


    

1
34. Yang ditandai di sisi Tuhanmu untuk membinasakan orang-orang yang
melampaui batas".

Karena itu, mengutip kata-kata bijak para filosof, pendidikan sejatinya ditujukan
untuk membantu memanusiakan manusia. Pendidikan tersebut harus mencakup unsur
jasmani, rohani dan kalbu. Implementasi ketiga unsur itu dalam format pendidikan
niscaya menghasilkan lulusan dengan nilai kemanusiaan yang tinggi.
Hanya saja, kita melihat pendidikan di Indonesia sangat jauh dari yang diharapkan
bahkan jauh tertinggal dengan Negara-negara berkembang lainnya. Hal ini setidaknya
dapat dilihat dari rendahnya kualitas SDM yang dihasilkan. Pendek kata, pendidikan
kita belum mampu mengantarkan anak didik pada kesadaran akan dirinya sebagai
manusia. Padahal, manusia adalah pelaku utama dalam proses pendidikan. 1

Bab II
Landasan Filosofis Pendidikan
A. Pengertian Filsafat.
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari

bahasa Arab ‫فلسة‬, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia.
Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia
= persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya
adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi yang dipungut dari
bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan
aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut
"filsuf".2
Dari pengertian ini saja, orang dapat memahami bahwa tujuan filsafat, pada mulanya
adalah mulia. Yakni, memuat orang cinta kebijaksanaan, dan seterusnya menjadi
bijaksana. Filsafat merupakan hasil pemikiran yang didasarkan pada rasio (akal), dan
karena rasio (akal) adalah anugerah Allah, maka capaiannya kadang-kadang bisa
benar. Tetapi, karena ia bukan wahyu, maka akal pun bisa keliru.
1
http://bukuresensi.wordpress.com/2006/12/18/filsafat-pendidikan-islami/ yang
direkam pada 24 Agu 2007 12:19:14 GMT
2
"http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat"

2
Dengan demikian, capaian filsafat ada yang baik, dan ada pula yang buruk. Yang
baik, misalnya, ketika Thales mengatakan bahwa segala sesuatu ini berasal dari air,
jauh mendahului Alquran.
        
         
 
30. Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan
bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara
keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah
mereka tiada juga beriman?
Thales mengatakannya sekira abad ke-6 SM, sedangkan Alquran mengemukakannya
pada abad ke-6 SM. Herakleitos mengatakan bahwa, segala sesuatu yang ada di alam
semesta ini berubah dan terus mengalir bagaikan sungai (panta rei), dan Alquran
mengatakan bahwa alam semesta ini fana.(Q.S. Ar-Rahman :26-27)
         
 
26. Semua yang ada di bumi itu akan binasa.
27. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Fana adalah lawan dari baqa, dan jika baqa berarti kekal (tidak berubah, abadi), maka
fana berarti tidak kekal, alias rusak. Lalu, ketika Plato menegaskan adanya alam idea,
maka pandangannya ini dapat mendukung teori tentang wahyu.
Di dalam contoh-contoh di atas kita menemukan bahwa, pada kali-kali tertentu apa
yang dicapai filsafat dibenarkan oleh wahyu (agama), dan ada kesesuaian antara
keduanya. Tetapi, pada kali lain, banyak pula ajaran-ajaran filsafat yang bertentangan
dengan wahyu (agama). Dengan demikian, sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu
lain, produk filsafat tidak semuanya baik, tetapi ada yang buruk. Sisi buruknya bisa
sangat berbahaya. Sebab filsafat berbicara tentang berbagai persoalan penting, antara
lain tentang manusia, agama, dan Tuhan. Liberalisame, ateisme, Marxisme,
komunisme, adalah sekadar beberapa contoh produk filsafat yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Dengan demikian, beberapa pemikiran filsafat memang dapat

3
membahayakan akidah, khususnya akidah orang awam. Karena itu mereka harus
dilindungi.3
B. Filsafat Pendidikan
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik
baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata
dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar Pendidikan adalah cita-cita
kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam
keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup
kemanusiaan. Filsafat Pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi
mengenai masalah-masalah pendidikan.
Beberapa aliran filsafat pendidikan;
1. Filsafat pendidikan progresivisme. yang didukung
oleh filsafat pragmatisme.
2. Filsafat pendidikan esensialisme. yang didukung
oleh idealisme dan realisme; dan
3. Filsafat pendidikan perenialisme yang didukung
oleh idealisme
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman
menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah
sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai
berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu
dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi
untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks.  Kurikulum
yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap
waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

C. Kebutuhan Akan Filsafat Kebutuhan Akan Filsafat Pendidikan


Proses pendidikan adalah proses perkembangan yang bertujuan. Tujuan proses
perkembangan itu secara almiah adalah kedewasaan, sebab potensi manusia yang
paling alamiah adalah bertumbuh menuju tingkat kedewanaan, kematangan. Potensi
ini akan dapat terwujud apabila prakondisi almiah dan sosial manusia bersangkutan
memungkinkan untuk perkembangan tersebut, misalnya iklim, makanan, kesehatan,
dan keamanan, relatif sesuai dengan kebutuhan manusia. Kedewasaan yang yang
3
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1004/16/0801.htm.

4
bagaimanakah yang diinginkan dicapai oleh manusia, apakah kedewasaan biologis-
jasmaniah, atau rohaniah (pikir, rasa, dan karsa), atau moral (tanggung jawab dan
kesadaran normatif), atau kesemuanya. Persoalan ini adalah persoalan yang amat
mendasar, yang berkaitan langsung dengan sisitem nilai dan standar normatis sebuah
masyarakat (Noor, 196).
Cara kerja dan hasil filsafat dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah hidup
dan kehidupan manusia, dimana pendidikan merupakan salah satu dari aspek
kehidupan tersebut, karena hanya manusialah yang dapat melaksanakan dan
menerima pendidikan. Oleh karena itu pendidikan memerlukan filsafat. Karena
masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan, yang
hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan uncul masalah-masalah
yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih kompleks, yang tidak terbatasi oleh
pengalmaan maupun fakta faktual, dan tidak memeungkinkan untuk dijangkau oleh
ilmu.
Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu
mengetahui filsafat dan filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak
buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan selalu berbungan
langsung dengan tujuan kehidupan individu dan masyarakat penyelenggara
pendidikan. Hubungan antar filsafat dengan pendidikan adalah, filsafat menelaah
suatu realitas dengan luas dan menyeluruh, sesuai dengan karateristik filsafay yang
radikal, sistematis, dan menyeluruh. Konsep tentang dunia dan tujuan hidup manusia
yang merupakan hasil dari studi filsafat, akan menjadi landasan dalam menyusun
tujuan pendidikan. Nantinya bangun sistem pendidikan dan praktek pendidikan akan
dilaksanaka berorientasi kepada tujuan pendidikan ini. Brubacher (1950)
(Sadulloh, 2003) mengemukakan hubungan antar filsafat dengan filsafat pendidikan:
bahwa filsafat tidak hanya melahirkan ilmu atau pengetahuan baru, melainkan juga
melahirkan filsafat pendidikan. Bahkan Jhon Dewey berpendapat bahwa filsafat
adalah teori umum pendidikan. Filsafat pendidikan haruslah minimal dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam pendidikan. Sadulloh merumuskan empat
pertanyaan mdasar pendidikan sebagai berikut.
1. Apakah pendidikan itu?
2. Mengapa manusia harus melaksanakan pendidikan?
3. Apakah yang seharusnya dicapai dalam proses pendidikan?

5
4. Dengan cara bagaimana cita-cita pendidikan yang tersurat maupun yang etrsirat
dapat dicapai?
Jawaban atas keempat pertanyaan tersebut akan sangat tergantung dan akan
ditentukan oleh pandangan hidup dan tujuan hidup manusia, baik secara individu
maupun secara bersama-sama (masyarakat/ bangsa). Filsafat pendidikan tidak hanya
terbatas pada fakta faktual, tetapi filsafat pendidikan harus sampai pada penyelasian
tuntas tentang baik dan buruk, tentang persyaratan hidup sempurna, tentang bentuk
kehidupan individual maupun kehidupan sosial yang baik dan sempurna. Ini berarti
pendidikan adalah pendidikan adalah pelaksanaan dari ide-ide filsafat. Dengan kata
lain filsafat memberikan asas kepastian bagi nilai peranan pendidikan, lembaga
pendidikan dan aktivitas penyelengaraan pendidikan.
Jadi peranan filsafat pendidikan merupakan sumber pendorong adanya pendidikan.
Dalam bentuk yang lebih terperinci lagi, filsafat pendidikan menjadi jiwa dan
pedoman asasi pendidikan. Pendidikan merupakan usaha untuk merealisasikan ide-
ide ideal dari filsafat menjadi kenyataan, tindakan, tingkah laku, dan pembentukan
kepribadian. Hal senada diuangkapkan oleh Brauner: Education and philosophy are
inseparable because the end of education is the end of philosophy (wisdom), and the
means of philosophy is the means of education inquiry, which alone can lead to
wisdom. Ide senada juga dikemukakan oleh Kilpatrick dalam bukunya “Philosophy of
Educations”, yang berbunyi sebagai berikut (dalam Noor, 1986). Philosophy and
education are, then, but two stages of the same endeavor; philosophizing to thing out
better values and idealism education to realize these in life, in human personality.
Education, acting out of the best direction philosophizing can give, tries, beginning
primarily with the young, to lead people to build criticized values into their
characters, and in this way to get the highest ideals of philosophy progressively
embodied an their lives.4

D. Filsafat Pendidikan Islam


Filsafat pendidikan Islam membincangkan filsafat tentang pendidikan bercorak Islam
yang berisi perenungan-perenungan mengenai apa sesungguhnya pendidikan Islam itu
dan bagaimana usaha-usaha pendidikan dilaksanakan agar berhasil sesuai dengan
hukum-hukum Islam. Mohd. Labib Al-Najihi, sebagaimana dikutip Omar Mohammad

4
http://widanaputra.blogsome.com/2007/01/14/hello-world/ yang direkam pada 8 Jul 2007 17:16:23
GMT.

6
Al-Toumy Al-Syaibany, memahami filsafat pendidikan sebagai aktifitas pikiran yang
teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan
memadukan proses pendidikan. Suatu filsafat pendidikan yang berdasar Islam tidak
lain adalah pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam dan
yang orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran tersebut. Dengan perkataan lain,
filsafat pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan
secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan
mengenai hakikat pendidikan Islam.
Al-Syaibany menandaskan bahwa filsafat pendidikan Islam harus mengandung unsur-
unsur dan syarat-syarat sebagai berikut:
1) Dalam segala prinsip, kepercayaan dan kandungannya sesuai dengan
ruh (spirit) Islam;
2) Berkaitan dengan realitas masyarakat dan kebudayaan serta sistem
sosial, ekonomi, dan politiknya;
3) Bersifat terbuka terhadap segala pengalaman yang baik (hikmah);
4) Pembinaannya berdasarkan pengkajian yang mendalam dengan
memperhatikan aspek-aspek yang melingkungi;
5) Bersifat universal dengan standar keilmuan;
6) Selektif, dipilih yang penting dan sesuai dengan ruh agama Islam;
7) Bebas dari pertentangan dan persanggahan antara prinsip-prinsip dan
kepercayaan yang menjadi dasarnya; dan
8) Proses percobaan yang sungguh-sungguh terhadap pemikiran
pendidikan yang sehat, mendalam dan jelas.
Objek kajian filsafat pendidikan Islam, menurut Abdul Munir Mulkhan, dapat
dibedakan menjadi dua jenis yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material
filsafat pendidikan Islam adalah bahan dasar yang dikaji dan dianalisis, sementara
obyek formalnya adalah cara pendekatan atau sudut pandang terhadap bahan dasar
tersebut. Dengan demikian, obyek material filsafat pendidikan Islam adalah segala hal
yang berkaitan dengan usaha manusia secara sadar untuk menciptakan kondisi yang
memberi peluang berkembangnya kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian atau
akhlak peserta didik melalui pendidikan. Sedangkan obyek formalnya adalah aspek
khusus daripada usaha manusia secara sadar yaitu penciptaan kondisi yang memberi
peluang pengembangan kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian sehingga peserta
didik memiliki kemampuan untuk menjalani dan menyelesaikan permasalahan

7
hidupnya dengan menempatkan Islam sebagai hudan dan furqan. Sebagaimana
dinyatakan Arifin, bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan ilmu yang ekstensinya
masih dalam kondisi permulaan perkembangan sebagai disiplin keilmuan pendidikan.
Demikian pula sistematikanya, filsafat pendidikan Islam masih dalam proses penataan
yang akan menjadi kompas bagi teorisasi pendidikan Islam.5

E. Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan.

1. Implikasi Bagi Guru


     Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka
filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai
pekerja professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang
harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru
tercermin kompetensi seorang tukang.
     Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang
guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya
itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap
pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam
menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-
tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional
maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu maka semua keputusan
serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-
tugas seorang guru dan tenaga kependidikan  harus selalu dapat
dipertanggungjawabkan secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan
civic) yang dengan sendirinya melihatnya dalm perspektif yang lebih luas dari pada
sekedar pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus, lebih-lebih yang dicekik
dengan batasan-batasan behavioral secara berlebihan.
     Dimuka juga telah dikemukakan bahwa pendidik dan subjek didik melakukan
pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang
dinamakan pendidikan itu; hanyalah tahap proses pemanusiaan itu yang berbeda,
apabila diantara keduanya, yaitu pendidik dan subjek didik, dilakukan perbandingan.

5
Mohamad Ali dan Marpuji Ali Dosen Al Islam & Kemuhammadiyahan UMS,
FILSAFAT PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH:Tinjauan Historis dan Praksis

8
Ini berarti kelebihan pengalaman, keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru
semata-mata bersifat kebetulan dan sementara, bukan hakiki. Oleh karena itu maka
kedua belah pihak terutama harus melihat transaksi personal itu sebagai kesempatan
belajar dan khusus untuk guru dan tenaga kependidikan, tertumpang juga
tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur kondisi untuk membelajarkan
subjek didik, mengoptimalkan kesempatamn bagi subjek didik untuk menemukan
dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri (Learning to Be, Faure dkk, 1982).
Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk masyarakat
belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan yang semakin
lama semakin laju tanpa kehilangan dirinya.
Apabila demikianlah keadaannya maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal
hanya akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak kehilangan hak hidupnya
didalam masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pembudayaan,
yaitu sebagai tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan
perkataan lain, sekolah harus menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja,
melaksanakan sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah
otak dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki adalah
pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan
seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa, karsa dan karya
yang dikembangkan dan dibina.
Perlu digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentu dan hakekat.
Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang
diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu
maka gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan
transaksi personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu
dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di
luarnya masih  belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak
terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada
kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang
berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan.
Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.

2. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan

9
            Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum
punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak
mengherankan karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk
menyusunnya. Bahkan salahsatu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan
sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum
berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan pembaharuan
pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan
bangunan dasarnya.
           Hal diatas itu dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa
belum ada diantara kita yang memikirkan masalah  pendidikan guru itu. Pikiran-
pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali
dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang
menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak program-
program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan didalam
beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan perlunya ditingkatkan
mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang menyoroti
pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang memusatkan
perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa bersaing dengan
jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran tersebut diatas
memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara partial, akan tetapi apabila di
implementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem
pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang efektif.
Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah
yang memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta
mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan  yang
lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan
(tugas professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun
dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu:
pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas
kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud
yang mencerminkan hasil telaahan interpretif, normative dan kritis itu, seperti telah
diutarakan didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan kedalam perangkat asumsi
filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta
implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu

10
yang dimaksud merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan implementasi
program, maupun didalam “mempertahankan” program dari penyimpngan-
penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan konseptual.6

Penutup
           Landasan filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya
merupakan “kacamata” yang dikenakan dalam memandang menyikapi serta
melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu maka ia harus dibentuk bukan hanya
mempelajari tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi,
antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan konsep-
konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka konseptual
kependidikan.
           Dengan demikian maka landasan filsafat pendidikan harus tercermin didalam
semua, keputusan serta perbuatan pelaksanaan tugas- tugas keguruan, baik
instruksional maupun non-instruksional, atau dengan pendekatan lain, semua
keputusan serta perbuatan guru yang dimaksud harus bersifat pendidikan.
           Akhirnya, sebagai pekerja professional guru dfan tenaga kependidikan  harus
memperoleh persiapan pra-jabatan guru dfan tenaga kependidikan harus dilandasi
oleh seperangkat asumsi filosofis yang pada hakekatnya merupakan penjabaran dari
konsep yang lebih tepat daripada landasan ilmiah pendidikan dan ilmu pendidikan.

6
Nunu Heryanto, PENTINGNYA LANDASAN FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN BAGI
PENDIDIKAN (Suatu Tinjauan filsafat Sains), Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   Program Pasca
Sarjana / S3Institut Pertanian BogorMaret 2002.

                                                               

11

Anda mungkin juga menyukai