Anda di halaman 1dari 3

Wahdatul Ulum

Tepat jam 15.50 WIB Menteri Agama RI Menteri Agama Fachrul Razi meluncurkan
dimulainya proyek besar wahdatul Ulum di UIN Sumut, atau UIN-SU. Keterlibatan menteri
hanya untuk menekan tombol sudah cukup alasan bahwa proyek keilmuan ini memang
memiliki makna penting bagi UIN Sumut, khusus di era kepemimpinan Prof.DR. Syahrin
Harahap, MA.

Apa sebetulnya wahdatul ulum itu ?


Begitu tanya seorang pegawai saat penantian pak Menteri. Sederhananya, saya mulai
menjawab, wahdatul ‘ulum ialah kesatuan ilmu (wahdah artinya satu atau kesatuan dan ‘ulum
artinya ilmu).

Jadi tidak ada lagi istilah ilmu agama dan ilmu umum, yang hanya hanya sebutan ulumud-
diniyah untuk ilmu keagamaan dan dirasah Islamiyah untuk ilmu umum. Itulah
paradigmanya. Atau begitukah cara pandang insan UIN Sumut terhadap ilmu dan keilmuan.
Untuk itu perlu ada upaya pemaduan atau integrasi, sehingga tidak lagi menjadi terpisah
(dikhotomis). Caranya ialah dengan memasuki atau berselayar di 3 (tiga) aspek ilmu, yaitu
ontologi (apa ilmu itu), epistemologi (darimana sumbernya dan bagaimana memperolehnya),
dan aksiologi (untuk apa ilmu itu).

Dalam teori keilmuan Barat, ontologi ilmu hanya yang empiris (feasible), yang nampak
dengan membuang yang metafisis, yang tidak nampak. Ini tentu terkait dengan upaya
Auguste Comte (1798-1857), filsuf Francis yang membuang metafisis dalam filsafat
Positivismenya, dan pemikiran ini mewarnai pemikiran ilmuwan Barat.

Wahdatul ‘Ulum menjadikan yang empiris dan metafisis sebagai ontologi ilmu, sehingga ia
menyatu (wahdah).
Menyangkut epistemologi, teori Barat merumuskan hanya dua sumber ilmu, yaitu rasio (akal)
dan empiri (indra), di luar yang dua ini dianggap bukan ilmu (sains), paling pseduo science
(ilmu kaleng-kaleng). Maka dalam wahdatul ‘ulum, sumber ilmu selain akal dan indra, juga
hati yang disebut dengan intuisi dan wahyu yang disebut dengan transendentalisme.

Keragaman sumber ini juga berlanjut pada metode, yaitu terdapat 4 metode ilmu, yaitu
rasionalisme, empirisme, intuisisme dan transendentalisme. Beginilah wahdatul ‘ulum
diaplikasikan.
Adapun menyangkut aksiologi atau kegunaan ilmu, bagi ilmuan Barat ilmu adalah untuk ilmu
(saince for science), sehingga ilmu itu cenderung bebas nilai (value free).

Dalam wahdatul ‘Ulum kegunaan ilmu, selain untuk tujuan ilmu, juga sebagai upaya
pengenalan Tuhan secara lebih maksimal, sebagaimana disiratkan dalam al-Qur’an surat Ali
Imran/3: 190-191:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan
semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka”.
Jadi, dalam wahdatul ulum, ada dua media yang bisa dilakukan dalam mengenal Allah, yaitu
ayat-ayat al-Qur’an (ayat al-Qur’aniyat) sebanyak 6.666 ayat dan ayat-ayat kawniyat (ayat al-
kawniyat), yaitu alam semesta yang jumlahnya tidak terhingga.

Adapun hasil dari proses wahdatul ulum di UIN Sumut ialah lahirnya para ilmuan yang ‘ulul
albab, yang memiliki ketajaman intelektual dan spiritual, sekaligus ketajaman emosional dan
sosial. Inilah ulul albab, dan ke arah itu sarjana UIN Sumut diarahkan.

Living Quran

Kajian Living Qur’an telah berhasil memberi nuansa baru dalam kajian Al-Qur’an di
Indonesia, yang semula hanya berkutat pada kajian teks. Namun, kajian awal mula
kemunculan dan pembentukan Living Qur’an masih terbilang luput dari pengamatan
pengkajinya. Karena itu, artikel ini akan membahas secara ringkas sejarah kemunculan kajian
Living Qur’an di Indonesia, dengan tujuan agar pengkaji Living Qur’an mengetahui konteks
sosial-historis terciptanya kajian Living Qur’an.

Dalam tulisannya, Hamam Faizin menyebut Ahmad Rafiq, Muhammad Mansur, dan
namanya sebagai sarjana yang pertama kali memunculkan gagasan Living Qur’an, gagasan
ini muncul dalam acara kongres Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis se-Indonesia
(FKMTHI) yang bertemakan Living Qur’an: Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari tahun
2005.

Hamam Faizin menindak lanjuti gagasan tersebut, dengan menulis sebuah artikel yang
berjudul Living Qur’an: Sebuah Tawaran, terbit pada 10 Januari 2005 di kolom Kajian Utan
Kayu Harian Jawa Pos. Hanya berkisar seminggu, 16 Januari 2005, artikel tersebut mendapat
respon dari sarjana Al-Qur’an lain, Islah Gusmian hadir dengan judul artikelnya Al-Qur’an
dalam Pergumulan Muslim Indonesia yang juga dimuat di kolom yang sama. Namun, dalam
penelusuran penulis, tulisan Islah Gusmian tersebut telah terbit pada tahun 2004
dalam Tashwirul Afkar.
Boleh jadi kemunculan tulisan Islah Gusmian setelah gagasan Living Qur’an oleh Hamam,
dimunculkan (kembali) karena bahasan subtansinya serupa dengan gagasan Living Qur’an.
Artinya dapat dipahami bahwa tulisan Islah ini tidak terekam dalam jejak awal kemunculan
wacana Living Qur’an oleh Hamam. Hal ini berbeda dengan Ahmad Rafiq, ia disebut
penggagas Living Qur’an oleh Hamam pada tahun 2005, dan telah memunculkan diskusi
living Al-Qur’an, Pembacaan yang Atomistik terhadap al-Qur’an: antara Penyimpangan dan
Fungsi, pada tahun 2004 –sezaman dengan tulisan Islah Gusmian.

Meskpiun istilah Living Qur’an dalam dua karya tahun 2004 di atas belum disebutkan
(diverbalkan), akan tetapi baik Ahmad Rafiq maupun Islah Gusmian telah menampilkan
diskusi Living Qur’an secara subtansial. Ahmad Rafiq, dalam diskusi Pembacaan atomistik-
nya, mengatakan bahwa ada aspek lain dari interaksi umat Islam dengan Al-Qur’an yang
meski kurang atau tidak memahami kandungannya, tetapi kerap kali ditemui umat Islam lebih
efektif berinteraksi secara atomistik terhadap Al-Qur’an dalam beberapa keadaan. Menurut
Ahmad Rafiq, pembacaan model ini perlu mendapat perhatian lebih jauh.
Senada dengan Ahmad Rafiq, Islah Gusmian menyatakan bahwa selain kajian exegesis, umat
Islam telah menempatkan Al-Qur’an di luar dari fungsi utamanya: fungsi-fungsi fundamental
dan teologis. Lebih jauh, aspek antropologi, budaya, dan magis menjadi faktor penting
terjadinya fenomena baru tersebut. Sampai di sini, Ahmad Rafiq dan Islah Gusmian mencoba
membuka kajian Al-Qur’an di luar kajian teks. Dari sinilah kemudian awal mula munculnya
kajian Living Qur’an.
Tulisan Hamam Faizin di atas, yang dipublish pada tahun 2005, penulis temukan kembali di
blogs Abid-Is-Me, Kata adalah Peristiwa (2008) dengan judul yang sama. Hamam Faizin
sendiri menyatakan bahwa artikel tersebut kemudian dibahas lagi pada International
Seminar and Qur’anic Conference II 2012 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 24 Februari
2012. Hamam Faizin secara terang telah menggunakan istilah Living Qur’an, Hamam Faizin
mengatakan bahwa “Jadi, yang dibidik dalam kajian Living Qur’an adalah fenomena di mana
Al-Qur’an ‘hidup’ dalam masyarakat”. 

Penjelasan Hamam ini memperjelas dan menguatkan pemaparan Ahmad Rafiq dan Islah
Gusmian sebelumnya. Selanjutnya, tahun 2006, pihak jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran UIN Sunan Kalijaga mengadakan workshop Metodologi Living
Qur’an dan Hadis; Buku Metodologi Living al-Qur’an dan Hadis (2007) lahir dari kegiatan
workshop tersebut. Dalam buku ini, muncul Muhammad Mansur, yang juga salah satu
penggagas Living Qur’an, dengan tulisannya yang berjudul “Living Qur’an dalam Lintas
Sejarah Studi Qur’an”. Di tangan Muhammad Mansur-lah  agaknya definisi Living Qur’an
pertama kali muncul, ia mengatakan:
“Living Qur’an yang sebenarnya bermula dari fenomena Qur’an in Everyday Life, yakni
makna dan fungsi Al-Qur’an yang riil dipahami dan dialami masyarakat muslim,…”
Sampai di sini keadaan di atas memunculkan satu persoalan, yakni apakah kemunculan
definisi Muhammad Mansur di atas merupakan upaya memberi ‘warna’ Living Qur’an versi
dia? Atau sedang memverbalkan (baca: membakukan) Living Qur’an yang oleh Ahmad
Rafiq, Hamam Faizin, dan Islah Gusmian, masih bersifat subtansial?

Untuk menyelesaikan persoalan tersebut dapat dilihat subtansi atas definisi Muhammad
Mansur yang masih sejalan dengan pandangan awal Living Qur’an versi penggagas lainnya:
Hamam Faizin, Ahmad Rafiq (juga Islah Gusmian). Sebab definisi Muhammad Mansur
masih berkisar fakta awal, yakni ada fenomena al-Qur’an dalam kehidupan manusia.

Anda mungkin juga menyukai