Anda di halaman 1dari 28

4

DASAR-DASAR
PENDIDIKAN ISLAM

Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian


Muslim, pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan
landasan kerja. Dasar inilah yang akan memberikan arah bagi
pelaksanaan pendidikan.1 Dasar-dasar diperlukan untuk memandu teori
dan praktik pendidikan Islam. Oleh karena itu, setiap usaha pendidikan
seharusnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersifat ideal (ideal core values)
dan berlaku universal (general pattern).2
Menurut pandangan Ramayulis, dasar adalah landasan berdirinya
sesuatu. Fungsi dasar adalah memberikan arah tujuan yang hendak
dicapai sekaligus sebagai landasan berdirinya sesuatu. Setiap negara
memiliki dasar pendidikan yang mencerminkan falsafah hidup negara
tersebut. Misalnya dasar pendidikan Indonesia adalah Pancasila.
Akan tetapi, dasar pendidikan Islam tidak didasarkan pada falsafah

1
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoretis dan Praktis
(Jakarta: Ciputat Pres, 2002), hlm. 34.
2
A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam (Malang: UIN-Malang Press,
2008), hlm. 37.
hidup suatu negara, melainkan falsafah hidup umat Muslim. Hal ini
disebabkan oleh sistem pendidikan Islam dapat dilaksanakan di mana
saja dan kapan saja tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.3
Sa‘id Isma‘il ‘Ali membagi dasar-dasar pendidikan Islam menjadi
6 (enam) macam: Al-Qur’an, al-Sunnah, Pendapat Sahabat (Aqwal al-
Sahabat), Peradaban Islami (al-Tsaqafah), Maslahat Publik (Mashalihal-
Ijtima‘iyyah) dan Pemikiran Islami (al-Fikr al-Islami). Semuanya
merupakan sumber atau dasar yang menjadi pijakan pendidikan Islam.4
Sa‘id Isma‘il ‘Ali menjelaskan bahwa term “Islam” dalam
terminologi dasar-dasar pendidikan Islam, tidak hanya terbatas pada
dasar-dasar yang bersifat Islam an sich, melainkan juga meliputi teks
dan dokumen bersejarah; fakta-fakta; warisan pemikiran masa lalu dan
peradaban lain;5 pengalaman historis umat Muslim masa silam yang
terlibat interaksi dengan umat dan bangsa yang beragam, termasuk
para ulama, filsuf, sufi, masyarakat awam; serta kebiasaan dan taklid
lainnya.6 Bagi Sa‘id Isma‘il ‘Ali, semua ini relevan dijadikan dasar
pendidikan Islam sehingga dasar pendidikan Islam itu bersifat inklusif.
Pemahaman Sa‘id Isma‘il ‘Ali selaras dengan al-Syaibani yang
menyatakan bahwa seruan “kembali kepada Islam”, bukan sekadar
ajakan kepada sejarah masa lampau, melainkan juga ajakan ke arah
sumber yang hidup, dinamis, berkembang dan menerima perubahan
sepanjang zaman.7

3
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 121.
4
Sa‘id Isma‘il ‘Ali, al-Ushul al-Islamiyyah li al-Tarbiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-
’Arabi, 1992), hlm. 3.
5
Peradaban “non-Islam” yang dapat dijadikan sebagai bagian dari dasar-dasar
pendidikan Islam, antara lain: Pertama, peradaban pra-sejarah. Kedua, peradaban
kuno di Asia, seperti Irak (Mesopotamia dan Tigris), Persia, India, China dan Bani
Isra’il. Ketiga, peradaban kuno di Afrika, seperti Mesir. Keempat, peradaban kuno
di Eropa, seperti Yunani; termasuk mengkaji pemikiran Sokrates, Plato, Aristoteles,
dan lainnya. Sa‘id Isma‘il ‘Ali, al-Tarbiyyah wa al-Hadharah fi Bilad al-Syarq al-Qadim
(Kairo: ‘Alam al-Kutub, 1995), hlm. v. Sa‘id Isma‘il ‘Ali, al-Tarbiyyah fi Hadharah
al-Syarq al-Qadim (Kairo: ‘Alam al-Kutub, 1999), hlm. 5-6. Sa‘id Isma‘il ‘Ali, al-
Tarbiyyah fi al-Hadharat al-Mishriyyah al-Qadimah (Kairo: ‘Alam al-Kutub, 1996),
hlm. ii-iii. Sa‘id Isma‘il ‘Ali, al-Tarbiyyah fi al-Hadharah al-Yunaniyyah (Kairo: ‘Alam
al-Kutub, 1995), hlm. 1.
6
Loc. Cit., hlm. 4.
7
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, hlm. 39.

Ilmu Pendidikan Islam


Klasifikasi lain dikemukakan oleh Majid Zaki al-Jallad yang
membagi dasar pendidikan Islam menjadi dua kategori, yaitu dasar
Syar’iyyah dan dasar ‘Aqliyyah. Dasar Syar’iyyah memuat Al-Qur’an dan
al-Sunnah; sedangkan dasar ‘Aqliyyah merupakan hasil interaksi akal
dengan Al-Qur’an dan al-Sunnah, serta berbagai khazanah historis,
sosial, politik hingga pemikiran yang tercakup dalam peradaban
manusia.8
Dari sini, muncul pemilahan baru bahwa dasar-dasar pendidikan
Islam terbagi menjadi dua kategori. Pertama, dasar preskriptif yang
bersifat ideal. Kedua, dasar deskriptif yang bersifat operasional.

Dasar preskritif pendidikan Islam mencakup dasar religius, dasar


yuridis dan dasar filosofis. Dasar religius adalah landasan yang paling
mendasar karena merupakan landasan yang diciptakan oleh Allah
Swt. Wujudnya adalah Al-Qur’an dan al-Sunnah. Dasar yuridis adalah
landasan hukum yang berlaku di suatu negara terkait pendidikan.
Negara Republik Indonesia mempunyai berbagai peraturan perundang-
undangan yang bertingkat, mulai dari UUD 1945, undang-undang,
peraturan pemerintah, ketetapan sampai surat keputusan. Sementara
itu, dasar filosofis adalah landasan filsafat pendidikan yang merupakan
hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai akar-akarnya
mengenai pendidikan, terutama menyangkut tiga pertanyaan pokok:
Pertama, apakah pendidikan itu? Kedua, apa tujuan yang hendak dicapai
pendidikan? Ketiga, bagaimana cara terbaik merealisasikan tujuan-
tujuan pendidikan itu?9
Terkait posisi Al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai dasar religius;
perlu dipahami bahwa Al-Qur’an dan al-Sunnah tidak “berbicara
sendiri”. Keduanya membutuhkan figur manusia yang dapat menafsiri
dan menjelaskan isi Al-Qur’an dan al-Sunnah. Jika Al-Qur’an dan
al-Sunnah berdimensi Ilahiyah, tafsir atau penjelasan isi kandungan

8
Majid Zaki al-Jallad, Tadris al-Tarbiyyah al-Islamiyyah: al-Asas al-Nazhariyyah wa
al-Asalib al-‘Amaliyyah (Beirut: Dar al-Masirah, 2004), hlm. 33.
9
Abdul Kadir (dkk.), Dasar-Dasar Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2012), hlm.
94-97.

Bab 4| Dasar-Dasar Pendidikan Islam


Al-Qur’an dan al-Sunnah berdimensi Insaniyyah karena didasarkan
hasil ijtihad.
Paparan di atas dipertegas oleh pandangan Abuddin Nata bahwa
sungguh pun Al-Qur’an berisi petunjuk yang lengkap mengenai
kehidupan keduniaan dan keakhiratan, namun Al-Qur’an “bukanlah
kitab yang siap dipakai”. Al-Qur’an membutuhkan keterlibatan
penalaran atau ijtihad. Jadi, Al-Qur’an membutuhkan penjabaran al-
Sunnah dan pendapat akal pikiran (ijtihad).10
Untuk memahami diskusi ini, lebih dahulu perlu disepakati
bahwa ajaran Islam terbagi menjadi dua, yaitu Islam normatif dan
Islam historis. Islam normatif adalah syariat Islam yang statis dan
permanen atau al-tsawabit ( ƪ ْ ِ‫اب‬Ȃَّ‫ث‬ưdz‫ )ا‬dalam bentuk Al-Qur’an dan al-
Sunnah. Islam historis adalah pemahaman terhadap syariat Islam yang
didasarkan pada ijtihad, sehingga sifatnya dinamis dan temporer atau
al-mutaghayyirat (‫ات‬
ْ ǂď‫ث‬Ȉَ‫ثَغ‬ƬǸْdz‫ )ا‬sesuai konteks ruang dan waktu. Contoh,
َ ُ
redaksi ‫َ ِم‬Ǵ‫ْ َق‬dzƢِ‫ّم ب‬Ǵ‫ي َع‬ ِّ
َ ْ ǀdzَ‫ ا‬dalam Surat Al-‘Alaq [96]: 4 mencerminkan Islam
normatif yang bersifat statis dan permanen, sedangkan penafsiran
terhadap ayat tersebut mencerminkan Islam historis yang sifatnya
dinamis dan temporer. Dahulu, tafsir kata al-Qalam terbatas pada pena.
Saat ini, tafsir kata al-Qalam meliputi berbagai media pembelajaran
seperti komputer, LCD proyektor, smartphone, internet, hingga media
sosial. Jadi, ayatnya statis atau tidak berubah sama sekali; tafsirnya
yang dinamis atau berubah.
Adapun rumusan yang mencakup Islam normatif dan Islam
historis, serta selaras dengan tiga jenis dasar preskriptif (religius,
yuridis, filosofis), sehingga relevan untuk dijadikan sebagai dasar
ideal pendidikan Islam adalah enam dasar pendidikan Islam yang
dikemukakan Sa’id Isma’il ‘Ali di atas.

Di samping term lain yang bermakna Al-Qur’an, term “Al-Qur’an”


sendiri disebutkan sebanyak 55 kali dalam 55 ayat. Ayat yang pertama

10
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 293.

Ilmu Pendidikan Islam


kali turun memuat term “Al-Qur’an” adalah Surat Al-Muzzammil [73]:
4, dan ayat yang terakhir kali turun memuat term “Al-Qur’an” adalah
Surat Al-Taubah [9]: 111. Perpaduan dua ayat ini mengisyaratkan
bahwa Al-Qur’an seharusnya dibaca dan ditelaah terus-menerus dan
perlahan-lahan (tartil) (QS Al-Muzzammil [73]: 4); mengingat Al-
Qur’an memuat janji-janji Allah Swt. yang pasti benar. Barangsiapa
memenuhi janjinya kepada Allah Swt., niscaya dia meraih kesuksesan
yang gemilang (QS Al-Taubah [9]: 111).
Posisi Al-Qur’an sebagai dasar primer pendidikan Islam, selaras
dengan banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis.
ْ َ َ ّ ğ ُ ُ ْ ُْ َ ُْ ğ َ َ َ
َ ُ
‫ى‬ʼnŹɉ‫ ا‬ŴِŲ ‫ت‬ĵ َ َ
ٍ ŶِɀɅ‫س و‬ĵ ِ ŶŰِ ɉ ‫ى‬ʼnŸ ‫آ َن‬ŋŪů‫ِ ا‬ŷžِȯ ‫ل‬Ōِ ŵɁ ‫ِي‬ȑ‫ن ا‬ĵŘɊَ ‫ َر‬ŋُ Źْ ő
ً
َْ ُْ َ
‫ن‬ĵ
ِ ũŋŧů‫وا‬
Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai
petunjuk (huda) bagi manusia dan penjelasan-penjelasan (bayyinat) mengenai
petunjuk itu dan pembeda antara yang benar dan yang bathil (furqan) (QS
Al-Baqarah [2]: 185).

ğ َ َ َ ُْْ ğ ََ َ Ġ َ ْ َ ََْْ ْ ُ
ِّŷžȼَŵ Ĺَ Ŷğ Ŏُ ‫ِ َو‬Ĭ‫ا‬ ُ ȡْ ŋَ َĻ
ِِ ‫ب‬ĵļِŬ ĵųŹِ ِ ķ űļŭŏųȩ ĵŲ ‫ا‬źŰŘ
ِ Ļ Ŵů Ŵِ ɆŋɊ‫ أ‬űȲžِȯ ĺ
Aku meninggalkan dua hal di tengah kalian; kalian tidak akan tersesat selama
berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitabullah (Al-Qur’an) dan sunah
nabi-Nya (Hadis) (HR Malik).

Apalagi Al-Qur’an berasal dari Allah Swt. sebagai Rabb al-‘Alamin


(QS Yunus [10]: 37). Sementara itu, Rabb seakar dengan kata Tarbiyyah
(pendidikan) sehingga relevan untuk ditafsirkan sebagai “Tuhan Yang
Maha Mendidik”. Implikasinya, seluruh isi Al-Qur’an relevan dengan
berbagai konteks pendidikan.
Secara historis, Al-Qur ’an sudah dijadikan basis (dasar)
keimanan, ibadah, hukum dan perilaku, bahkan batu fondasi bagi
pendidikan Islam sejak zaman Rasulullah Saw.11 Nabi Muhammad
Saw. sebagai pendidik pertama, pada masa awal pertumbuhan Islam,

11
Moh Slamet Untung, Muhammad Sang Pendidik (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2005), hlm. 65.

Bab 4| Dasar-Dasar Pendidikan Islam


juga menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar pendidikan Islam di samping
al-Sunnah.12
Posisi Al-Qur’an sebagai dasar primer pendidikan Islam, dipertegas
oleh pakar pendidikan Islam, Abdur Rahman Saleh Abdullah, yang
menyatakan bahwa Al-Qur’an mengajarkan kepada kaum Muslim,
suatu pandangan tersendiri tentang kehidupan, sehingga prinsip-
prinsip Al-Qur’an harus menjadi jiwa dan pembimbing pendidikan
Islam. Bahkan kita tidak bisa berbicara mengenai pendidikan Islam
tanpa menjadikan Al-Qur’an sebagai titik berangkat.13
Pakar lain, Sa’id Isma’il ‘Ali memberi justifikasi yang lebih
komprehensif dalam karya-karyanya, terutama dalam “Al-Qur’an al-
Karim: Ru’yah Tarbawiyyah (Al-Qur’an Perspektif Pendidikan)” sebagai
berikut.
Pertama, Al-Qur’an adalah Undang-Undang Pembinaan Manusia.
Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir sehingga memuat ringkasan
pengajaran Ilahiyyah. Al-Qur’an juga memuat syariat yang berlaku
universal bagi seluruh manusia agar meraih kebahagiaan dunia dan
akhirat, serta menetapkan hukum dan arahan final yang berlaku lintas
ruang dan waktu.14
Kedua, Isi Kandungan Al-Qur’an Bersifat Komprehensif. Al-
Qur’an memuat isi kandungan yang luas dan mencakup berbagai
dimensi kehidupan. Secara garis besar, isi kandungan Al-Qur’an ada
lima: (a) akidah yang wajib diimani; (b) akhlak terpuji yang mendidik
jiwa dan memperbaiki keadaan individu dan sosial; (c) arahan untuk
mengamati dan men-tadabburi alam semesta agar mengetahui rahasia
Ilahi di alam semesta, sehingga memenuhi hati dengan keimanan atas
keagungan Allah Swt. berdasarkan pengamatan dan istidlal, bukan taklid
buta; (d) kisah generasi terdahulu, baik individu, kelompok maupun
umat, sebagai arahan agar mengetahui Sunnatullah dalam menghadapi
makhluk-Nya yang saleh maupun yang berbuat kerusakan; (e) hukum

12
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 122.
13
Abdur Rahman Saleh Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut Al-
Qur’an, Penyunting Dahlan (Bandung: CV Diponegoro, 1991), hlm. 42-44.
14
Sa‘id Isma‘il ‘Ali, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, hlm. 102-105.

Ilmu Pendidikan Islam


praktis yang berkaitan dengan perkataan dan perbuatan, serta ibadah
dan muamalah.15
Ketiga, Gaya Bahasa Al-Qur’an Bernuansa Pendidikan. Nuansa
pendidikan dalam uslub (gaya bahasa) Al-Qur’an antara lain: (a) Al-
Qur’an tidak hanya mendidik manusia dengan satu metode, melainkan
dengan berbagai metode sesuai situasi dan kondisi; (b) kefasihan
bahasa yang dipakai Al-Qur’an; (c) gaya bahasa yang bersifat negasi
untuk menghapus sikap atau kepercayaan yang dinilai tidak tepat;
(d) gaya bahasa yang keras dan lembut, digunakan sesuai konteks;
(e) gaya bahasa yang ditujukan pada akal dan hati sekaligus sehingga
menghimpun kebenaran sekaligus keindahan; (f) gaya bahasa yang
memadukan ironi sekaligus sarkasme. Jenis uslub ini ditujukan kepada
“musuh-musuh Allah Swt.” sebagai hinaan, semisal menyamakan
mereka dengan binatang ternak; (g) Al-Qur’an tidak disusun
sistematis—dalam artian satu topik tidak dibahas dalam satu tempat
saja. Sistematika Al-Qur’an ibarat sebuah taman yang tanaman,
buah-buahan, dan bunganya tersebar di berbagai penjuru sehingga
dapat dimanfaatkan oleh manusia di mana pun dia membacanya;
(h) gaya bahasa dapat menggambarkan realitas. Al-Qur’an sering
menggunakan ungkapan yang sesuai dengan realitas bangsa Arab saat
itu sehingga semakin mudah dipahami, semisal istilah-istilah yang
terkait dengan dunia perdagangan, mengingat banyak yang berprofesi
sebagai pedagang.16
Keempat, Al-Qur’an adalah Sumber Ilmu Pengetahuan Islam. Al-
Qur’an menyeru manusia agar memberdayakan akal melalui kategori
ayat berikut: (a) ayat-ayat yang memotivasi nazhar (pengamatan); (b)
ayat-ayat yang mengajak tabashshur (pengamatan rasional), ada 148
ayat; (c) tadabbur, ada 4 ayat yang semuanya berkaitan dengan tadabbur
Al-Qur’an; (d) tafkir, ada 16 ayat yang berkaitan dengan memikirkan
segala wujud yang tampak, baik ayat-ayat kawniyyah (makrokosmos),
insaniyyah (mikrokosmos), maupun dalil atas ketauhidan dan kebenaran

15
Sa‘id Isma‘il ‘Ali, Al-Qur’an al-Karim: Ru’yah Tarbawiyyah (Kairo: Dar al-Fikr
al-’Arabi, 2000), hlm. 148-159.
16
Loc. Cit., hlm. 109-118. Sa‘id Isma‘il ‘Ali, Al-Qur’an al-Karim: Ru’yah
Tarbawiyyah, hlm. 159-180.

Bab 4| Dasar-Dasar Pendidikan Islam


risalah Nabi Muhammad Saw.; (e) i‘tibar (mengambil pelajaran atau
‘ibrah dari pengalaman masa lalu), ada 7 ayat; (f) tafaqquh (pemahaman
mendalam), ada 20 ayat; (g) tadzakkur (mengingat Allah Swt.),
termasuk pemberdayaan akal tingkat tinggi, setidaknya disebutkan
269 kali.17
Walhasil, secara normatif, posisi Al-Qur’an sebagai dasar primer
pendidikan Islam selaras dengan kandungan Al-Qur’an dan al-Sunnah.
Secara teoretis, isi kandungan Al-Qur’an sarat dengan nilai-nilai
pendidikan. Secara praktis dan historis, Al-Qur’an sudah diposisikan
sebagai dasar primer pendidikan Islam sejak masa Nabi Saw., saat ini
hingga hari akhir. Secara akademis, para pakar pendidikan Islam sepakat
menempatkan Al-Qur’an sebagai dasar primer pendidikan Islam.

Mengingat term Sunnah dan derivasinya dalam Al-Qur’an tidak


mengacu pada Sunnah Nabi Muhammad Saw., penulis menjadikan
term “Rasul” dan derivasinya sebagai objek kajian. Term “Rasul” dan
derivasinya disebutkan Al-Qur’an sebanyak 513 kali dalam 429 ayat.
Ayat yang pertama kali turun memuat term “Rasul” adalah Surat
Al-Muzzammil [73]: 15, sedangkan ayat yang terakhir kali turun
memuat term “Rasul” adalah Surat Al-Taubah [9]: 128. Kedua ayat ini
sama-sama menegaskan peran Rasulullah Saw. sebagai pembimbing
umat menuju jalan Allah Swt. Detailnya, Surat Al-Muzzammil [73]:
15 mengisyaratkan bahwa tugas Rasulullah Saw. adalah membimbing
umat sebagaimana tugas para rasul sebelumnya. Surat Al-Taubah [9]:
128 mengisyaratkan karakteristik dakwah, bimbingan, dan pendidikan
yang diterapkan oleh Rasulullah Saw., yaitu peduli masyarakat, empati
pada masyarakat, serta penuh kasih sayang dan kelemahlembutan pada
masyarakat.
Mengingat Rasulullah Saw. adalah nabi dan rasul terakhir yang
diutus kepada manusia, wajar jika perkataan dan perbuatan beliau
dijadikan arahan bagi pendidikan Islam. Oleh sebab itu, al-Sunnah
merupakan dasar primer pendidikan Islam yang kedua, setelah Al-

17
Loc. Cit., hlm. 189-190.

Ilmu Pendidikan Islam


Qur’an.18 Prinsip menjadikan Al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai dasar
primer pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran
keimanan, melainkan juga sejalan dengan kebenaran akal dan bukti
sejarah.19
Al-Qur’an memerintahkan umat Muslim agar menaati ajaran yang
dibawa oleh Rasulullah Saw.; serta mengaitkannya dengan ancaman
siksa bagi yang enggan menaati beliau.

َ ğ ‫ن‬ğ ‫ إ‬Ĭ‫ا‬ ْ َ ُْ َ ْ ُ ََ ََ ُ ُ ُ َ ُ ُ ğ ُ ُ َ ََ
َ ğ ‫ا‬źŪُ ȩ‫ا‬ğ ‫ا َو‬źŹُ ļَ ȫĵ
Ĭ‫ا‬ ِ Ŧ ŷŶȭ űȱĵŹȫ ĵŲ‫وه و‬ŊňŦ ‫ل‬źŎŋɉ‫ ا‬űȱĵĻَ ‫ آ‬ĵŲ‫و‬
َ ْ ُ َ
‫ب‬ĵ
ِ šِ ů‫ا‬ʼnŽِʼnő
Ū
Apa yang diberikan Rasul (Nabi Muhammad Saw.) kepadamu, maka terimalah.
Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya (QS Al-Hasyr [59]:
7).

Dalam Al-Qur’an, perintah taat kepada Rasulullah Saw. selalu


dikaitkan dengan perintah taat kepada Allah Swt. Akan tetapi, Al-
Qur’an menggunakan dua pola redaksi yang berbeda.
Pertama, perintah taat disebut sekali, lalu disebutkan nama Allah
Swt. dan Rasulullah Saw.
َ َُ ُْ ْ ُ ğ ََ َ ُ ğ َ َğ ُ ََ
‫ن‬źƧŋĻ űȲŰšů ‫ل‬źŎŋɉ‫ وا‬Ĭ‫ا ا‬źšžِŚ‫وأ‬
Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat (QS Ali ‘Imran
[3]: 132).

Kedua, perintah taat disebut dua kali. Perintah pertama dikaitkan


dengan Allah Swt. dan perintah kedua dikaitkan dengan Rasulullah Saw.
َ ُ ğ ُ ََ َğ ُ َ َُ َ ğ َ Ġَ َ
‫ل‬źŎŋɉ‫ا ا‬źšžِŚ‫ وأ‬Ĭ‫ا ا‬źšžِŚ‫ا أ‬źŶŲَ ‫ آ‬ŴŽِȑ‫ ا‬ĵŹȬɁ ĵŽ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya (QS
Al-Nisa’ [4]: 59).

18
Sa‘id Isma‘il ‘Ali, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, hlm. 153-154. Sa‘id Isma‘il
‘Ali, al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ru’yah Tarbawiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-’Arabi, 2002),
hlm. 101-105.
19
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 124.

Bab 4| Dasar-Dasar Pendidikan Islam


Pola redaksi pertama mengisyaratkan peran Rasulullah Saw.
sebagai penegas dan penjelas Al-Qur’an, sedangkan pola redaksi kedua
mengisyaratkan peran Rasulullah Saw. sebagai pembuat hukum baru
yang tidak disebutkan secara tersurat dalam Al-Qur’an.
Simpulan di atas berdasarkan jenis relasi Al-Qur’an dan al-Sunnah
yang disepakati para ulama: Pertama, al-Sunnah sebagai penetap
sekaligus penegas (ٌ‫ة‬ƾَ ‫ك‬ّ‫ َؤ‬Ƿُ‫َرةٌ َو‬ǂّ‫ َق‬Ƿُ ) pandangan Al-Qur’an, sehingga suatu
hukum memiliki pijakan dua sumber sekaligus, Al-Qur’an dan al-
Sunnah. Misalnya, al-Sunnah menegaskan perintah Al-Qur’an tentang
salat, zakat, puasa, dan haji. Kedua, al-Sunnah sebagai penjelas isi dan
maksud Al-Qur’an (‫َن‬ ِ ‫أ‬ǂ‫ ُق‬ǴِْdzƢًǻƢȈ‫ )بث‬serta menjelaskan makna Al-Qur’an yang
ْ ََ
samar. Misalnya, al-Sunnah menjelaskan tata cara ibadah (salat, zakat,
puasa, haji) yang diperintahkan Al-Qur’an. Ketiga, al-Sunnah sebagai
pembuat hukum baru (ƾٍ ْȇƾِ ‫ج‬ ِ LJď ‫ث َؤ‬ƫ) yang tidak ada—atau tidak
َ ‫ ٍم‬ǰْ ‫ث ُح‬dz ‫س‬
ُ ُ
dijelaskan secara eksplisit dan tegas—dalam Al-Qur’an. Misalnya,
Rasulullah Saw. mengharamkan penggunaan emas dan sutra bagi
laki-laki.20
Relasi Al-Qur’an dan al-Sunnah, dipertegas oleh hadis riwayat
Sa’d ibn Hisyam ibn ‘Amir ra. yang bercerita:
ğ ُ َ ُُ ْ َ َ ْ ُْ ğُ َ ُ ْ ُ َ َ َ َ ُ ََْ
Ĭ‫ ا‬ǔŔ ِĬ‫ل ا‬ź ِ Ŏ‫ ر‬Ũِ Űƚِ ƴɆ ِ ِ ‫ٿ أخ‬ǻِ ŶŲِ ‫ؤ‬ųɉ‫ أم ا‬ĵŽ ĺŰŪȯ ‫ٿ‬ĹŒِɋȕ ĺžȩɁ
ِ ǚ
ğ َ َ ğ َ ğ ََْ َ ْ ُْ َ َْ ََ َ ْ ُْ ُ ُُ ُ َ َ ْ َ َ
ُ
ŮŁ‫ و‬ŌŠ ِĬ‫ل ا‬źũ ‫آن‬ŋŪů‫أ ا‬ŋŪȩ ĵŲ‫آنٿ أ‬ŋŪů‫ ا‬ŷŪŰ‫ن خ‬ǽ ĺůĵũ űŰŎ‫ و‬ŷžŰŠ
َĵŲَ‫ أ‬Ůْ šَ ŧْ ȩَ ƅ
َ ْ َ َ َğَََ ْ َ ُ ُ ّ َ ُ ْ ُ
ĺůĵũ ŮļȼĻɁ ‫ أن‬ʼnɆِ‫ أر‬ƭِ ِ ıŦ ĺŰũ ˈž
َ ُ ُ َََ َ ğ
ٍ Şِ Š Ũٍ Ű‫ خ‬ǔšů ūŵ˯
ğ ُ ُ َ َ ğََ ْ ََ ٌَ َ َ ٌَ ْ ُ ğ ُ َ ْ ُ َ َ َ ْ ََ ََُْ
ǔŔ ِĬ‫ل ا‬źŎ‫وج ر‬ŌĻ ʼnŪȯ ĹŶŏń ‫ة‬źŎ‫ِ أ‬Ĭ‫ ِل ا‬źŎ‫ ر‬Ǎِ űȲů ‫ن‬ǽ ʼnŪů ‫أ‬ŋŪȩ
َ ْ َ ‫ َر َواهُ ا‬Ȕُ َ Ȑَ ِ ‫ ُو‬ʼnْ َũ‫ َو‬űŰŎ‫ و‬ŷžŰŠ Ĭ‫ا‬
ʼnُ Ƨ

20
Sa‘id Isma‘il ‘Ali, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, hlm. 153-155. Menurut
Wahbah al-Zuhaili, fungsi al-Sunnah terhadap Al-Qur’an ada empat. Pertama,
penetap dan pengukuh (ٌ‫ة‬ƾَ ‫ك‬ّ‫ َؤ‬Ƿُ‫َرةٌ َو‬ǂّ‫ َق‬Ƿُ ). Kedua, penjelas (ٌƨَǼّ‫ث‬Ȉَ‫�ث‬Ƿُ ) yang meliputi penjelasan
mujmal, takhsis hingga taqyid. Ketiga, menunjukkan ayat-ayat yang nasikh-mansukh.
ِ ǼْǷ). Wahbah al-Zuhailli, Ushul al-Fiqh al-
Keempat, menetapkan hukum baru (ٌƨَ‫شئ‬ ُ
Islami [Juz 1], hlm. 461-463.

Ilmu Pendidikan Islam


Saya mendatangi ‘Aisyah ra., lalu berkata: “Wahai Ummul Mu’minin, mohon
ceritakan kepadaku tentang akhlak Rasulullah Saw.” ‘Aisyah ra. menjawab:
“Akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Bukankah engkau membaca firman Allah
‘Azza wa Jalla, ‘Sesungguhnya engkau –wahai Nabi Muhammad Saw.–
berada di atas akhlak yang agung’ (QS Al-Qalam [68]: 4).” Saya berkata:
“Sesungguhnya saya ingin hidup membujang.” ‘Aisyah ra. menjawab: “Jangan
berbuat demikian. Bukankah engkau membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla,
‘Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu ada suri teladan yang baik bagi
kalian’ (QS Al-Ahzab [33]: 21), sedangkan Rasulullah Saw. itu menikah
dan memiliki anak”. (HR Ahmad).

Hadis ini setidaknya mengandung tiga hikmah. Pertama, Rasulullah


Saw. adalah “Al-Qur’an berjalan” (living Qur’an) karena seluruh isi Al-
Qur’an sudah beliau amalkan. Kedua, Allah Swt. memuji Rasulullah
Saw. secara langsung dalam Al-Qur’an. Ketiga, Rasulullah Saw. sudah
dijadikan sebagai suri teladan oleh para sahabat; bahkan sebelum
diangkat menjadi nabi dan rasul, beliau sudah dikagumi masyarakat,
dengan gelar prestisius “al-Amin” (yang dapat dipercaya).
Dalam karyanya yang berjudul al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ru’yah
Tarbawiyyah (Sunah Nabi Perspektif Pendidikan), Sa’id Isma’il ‘Ali
mengidentifikasi sejumlah keteladan pada diri Nabi Muhammad Saw.
yang relevan dengan pendidikan Islam sebagai berikut.
1) Peran geografis: Rasulullah Saw. sedikit sekali dipengaruhi
oleh faktor geografis karena langsung dididik oleh Allah Swt.
Implikasinya adalah pendidikan beliau bersifat universal, tidak
sekadar sesuai dengan bangsa Arab semata.
2) Peran biologis: Rasulullah Saw. berasal dari gen unggulan. Gen
dari ayah cenderung aktif, sedangkan gen dari ibu cenderung pasif.
Implikasinya adalah pendidikan Rasulullah Saw. bersifat seimbang,
memadukan sikap aktif seperti etos kerja keras dan sikap pasif
seperti sikap pasrah.
3) Peran sebagai nabi dan rasul: (a) tabligh (sebagai penyampai).
Dalam hal ini, tugas Nabi Saw. adalah menyampaikan seluruh
kandungan Risalah Ilahi kepada umat manusia, agar pemikiran
dan perilaku manusia selaras dengan Risalah Ilahi; (b) bayan
(penjelas). Dalam hal ini, tugas Nabi Saw. adalah menjelaskan

Bab 4| Dasar-Dasar Pendidikan Islam


Risalah Ilahi yang beliau terima; (c) tasyri’ (sumber syariat). Dalam
hal ini, Nabi Saw. membuat syariat “baru” yang berfungsi sebagai
pelengkap. Misalnya, mengharamkan pernikahan dengan saudara
sepersusuan.21
4) Peran ujian-cobaan: Rasulullah Saw. mengalami berbagai jenis
ujian dan cobaan (fisik, akal, nafsu, hati), sehingga dapat
dijadikan teladan bagi siapa pun ketika mengalami ujian dan
cobaan yang identik.
5) Pendidikan Rabbani: Nabi Saw. dididik langsung oleh Allah Swt.
sehingga beliau menjadi pantulan sejati Al-Qur’an. Ringkasnya,
Nabi Saw. adalah “Al-Qur’an berjalan”. Nabi Saw. tidak berkata dan
berbuat yang didasari oleh hawa nafsu, melainkan didasari wahyu
ataupun ijtihad yang benar. Dalam konteks pendidikan Islam, dalil
naqli (wahyu) dan dalil ‘aqli (ijtihad) sama-sama digunakan.
6) Berdakwah kepada Allah Swt.: Rasulullah Saw. memenuhi seluruh
kriteria ideal seorang dai. Misalnya, retorika bahasa; kemampuan
melunakkan hati dan meraih simpati; serta memiliki keimanan
yang kokoh. Karakteristik ini dapat dijadikan sebagai teladan,
terutama bagi pendidik.
7) Jihad di jalan Allah Swt.: pada mulanya dakwah Nabi Saw.
bersifat damai; kemudian Allah Swt. mengizinkan perang. Perang
dalam Islam selalu dilandasi etika, terutama kasih sayang. Selain
itu, perang pada era Rasulullah Saw. bersifat Ghazwah, yaitu
perang dengan model serangan kilat dan semaksimal mungkin
menghindari korban jiwa. Terbukti, seluruh perang yang terjadi
pada masa Rasulullah Saw. “hanya” memakan korban jiwa pada
kisaran 1.300-an saja. Oleh sebab itu, segala tindak terorisme,
tidak wajar dikait-kaitkan dengan ajaran Nabi Saw. yang Rahmatan
lil ‘Alamin.
8) Hikmah keteladanan Nabi: mempelajari Sirah Nabawiyyah dapat
dijadikan sebagai panduan dalam perilaku sehari-hari. Jika orang
non-Muslim saja banyak yang menapaktilasi perilaku Nabi Saw.,

21
Sa‘id Isma‘il ‘Ali, al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ru’yah Tarbawiyyah, hlm. 138-140.

Ilmu Pendidikan Islam


lebih-lebih umat Muslim. Misalnya, bagaimana tata cara beliau
makan, minum, berpakaian, tidur, salat, berinteraksi sosial, dan
sebagainya.
9) Pembinaan generasi penerus: (1) Nabi Saw. menginternalisasikan
akidah dan akhlak (terutama periode Makkah); (2) Nabi Saw.
menginternalisasikan perilaku yang sesuai syariat (terutama
periode Madinah), di samping peningkatan kualitas akidah dan
akhlak. Atas dasar itu, pendidikan Islam bertanggung jawab
mendidikkan akidah, syariat, dan akhlak.
10) Pembinaan umat dan “negara”: (1) pendirian masjid sebagai pusat
kegiatan; (2) menjalin ukhuwwah antarelemen umat, misalnya
Piagam Madinah; (3) membangun pasar dan jembatan sebagai
sarana dan prasarana peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi
umat; (4) perluasan area Islam ke seluruh Jazirah Arab. Wujudnya
dalam pendidikan Islam adalah lembaga pendidikan informal,
formal, dan nonformal.
11) Pembinaan keluarga, yang terdiri dari usia 1-25 tahun: periode
belum menikah; usia 25-53 tahun: periode monogami dengan
Sayyidah Khadijah ra.; usia 55-60 tahun: periode poligami dengan
sejumlah istri; dan usia 60-63 tahun: tidak menikah lagi hingga
beliau wafat. Poin pentingnya adalah keberhasilan Nabi Saw. dalam
menjalin rumah tangga bahagia dunia-akhirat, sebagai manifestasi
keluarga qurrata a’yun yang menenteramkan jiwa (QS Al-Furqan
[25]: 74).
Contoh lain dari keteladanan Nabi Saw. yang berguna dalam
konteks pendidikan Islam antara lain (1) motivasi Nabi Saw. untuk
mencari ilmu—dalam pengertiannya yang luas—sepanjang hayat dan
lintas batas (lifelong education); (2) seruan Nabi Saw. untuk berdakwah
yang merupakan salah satu wujud pendidikan Islam dalam mewujudkan
learning society (masyarakat belajar); (3) Nabi Saw. sebagai role of model
(suri teladan) bagi setiap pendidik, baik dari segi materi, metode
maupun tujuan pendidikan.22

22
Sa‘id Isma‘il ‘Ali, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, hlm. 153-180. Sa‘id Isma‘il
‘Ali, al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ru’yah Tarbawiyyah, hlm. 100-117.

Bab 4| Dasar-Dasar Pendidikan Islam


Konklusinya, secara normatif, Al-Qur’an memerintahkan umat
Muslim untuk menaati seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah
Saw., termasuk al-Sunnah. Secara teoretis, isi kandungan al-Sunnah
sarat dengan nilai-nilai pendidikan. Secara praktis dan historis, al-
Sunnah sudah difungsikan sebagai dasar primer pendidikan Islam
sejak masa Rasulullah Saw. hingga saat ini dan akan terus berlanjut
sepanjang masa. Secara akademis, para pakar pendidikan Islam sudah
sepakat menjadikan al-Sunnah sebagai dasar primer pendidikan Islam
yang kedua, setelah Al-Qur’an.

Jika memerhatikan teori, maka sudah berlaku secara umum—termasuk


secara logis—bahwa para rekan atau murid dari pemilik teori yang
pertama merupakan sumber otoritatif yang dapat dijadikan pedoman
terkait teori tersebut. Demikian halnya Al-Qur’an dan al-Sunnah
yang merupakan sumber utama Islam—termasuk pendidikan Islam—
tentu membutuhkan penjelasan dari para sahabat yang pertama
kali menerima ajaran Al-Qur’an dan al-Sunnah, serta mengetahui
seluk-beluk yang mengitarinya. Jika demikian, wajar jika perkataan
dan perbuatan para sahabat dijadikan sebagai dasar acuan dalam
memformulasikan pendidikan Islam. Selain itu, bila Rasulullah Saw.
berposisi sebagai pendidik pertama yang paling agung bagi umat
Muslim, sudah pasti pendidikan beliau membekas ke dalam jiwa
raga para sahabat yang merupakan murid beliau. Dengan demikian,
para sahabat dapat dijadikan sebagai suri teladan dalam konteks
pendidikan Islam.23
Para sahabat merupakan figur-figur yang menyaksikan secara
langsung turunnya Al-Qur’an dan keadaan yang melingkupinya. Dengan
demikian, mereka lebih memahami nash-nash wahyu dibandingkan
generasi yang lain. Implikasinya, pendapat mereka lebih patut diikuti.
Bahkan kemungkinan besar pendapat mereka termasuk bagian dari
al-Sunnah al-Nabawiyyah karena mereka mengingat hukum-hukum
yang dijelaskan oleh Nabi Saw., namun mereka tidak menyandarkan

23
Sa‘id Isma‘il ‘Ali, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, hlm. 104-113.

Ilmu Pendidikan Islam


hal tersebut kepada Nabi Saw. secara langsung karena tidak ditanyai
tentang hal tersebut. Lebih dari itu, pemikiran sahabat mengandung
sisi Qiyas dan penalaran (ijtihad). Dengan demikian, pendapat sahabat
lebih utama diikuti karena lebih dekat dengan dalil naqli (wahyu) dan
selaras dengan dalil ’aqli (akal).24
Penempatan Aqwal al-Sahabat sebagai dasar pendidikan Islam
dipertegas oleh Al-Qur’an, Hadis, dan pendapat para cendekiawan
Muslim. Di antara ayat Al-Qur’an yang menjadi dalil pijakan adalah
Surat Al-Taubah [9]: 100, 199; Surat Al-Fath [48]: 18, 29; dan Surat
Al-Hasyr [59]: 8-10. Para ulama dan cendekiawan Muslim juga sepakat
untuk mengikuti pendapat para sahabat. Di antara mereka adalah
Ibnu al-Qayyim al-Jauzi dan imam empat mazhab. Imam Hanafi ra.
berkomentar: “Jika saya tidak mendapati dalam Kitabullah (Al-Qur’an)
maupun Sunnah Rasulillah (al-Sunnah), maka saya akan mengambil pendapat
salah seorang sahabat yang saya kehendaki dan meninggalkan pendapat sahabat
yang saya kehendaki. Saya tidak akan keluar dari pendapat mereka (dan beralih)
pada pendapat selain mereka.”25
Sa’id Isma’il ’Ali menegaskan kesepakatan para ulama bahwa
pendapat para sahabat tentang suatu hal yang tidak diketahui oleh akal
merupakan hujjah (argumentasi) bagi umat Muslim. Hal ini karena
apa yang mereka katakan itu berasal dari Rasulullah Saw., kendati
secara lahiriah berasal dari perkataan mereka. Kesepakatan (Ijma’)
para sahabat juga menjadi hujjah bagi umat Muslim karena apabila
para sahabat bersepakat atas suatu hal, berarti kesepakatan tersebut
pasti dilandasi dalil qath’i (absolut, pasti).26
Argumentasi lain untuk menempatkan Aqwal al-Sahabat sebagai
dasar pendidikan Islam adalah sisi pendidikan pada diri para sahabat.
Dalam hal ini, ada beberapa sahabat yang dapat dijadikan contoh.
Misalnya, Abu Bakar ra. menegaskan bahwa mempelajari sejarah

24
Ibid., hlm. 105.
25
Ibid., hlm. 106-110. Dalam sebuah hadis riwayat Ibn ‘Abbas ra. disebutkan
bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya para sahabatku itu bagai bintang-
bintang; maka dengan siapa pun di antara mereka, kalian mematuhinya, niscaya
kalian mendapatkan petunjuk” (HR Ibn al-Baththah).
26
Ibid., hlm. 112.

Bab 4| Dasar-Dasar Pendidikan Islam


merupakan metode yang penting untuk memperoleh keimanan sejati
kepada Allah Swt. Umar ra. memberi contoh konkret pentingnya
ijtihad terhadap nash-nash agama (Al-Qur’an dan al-Sunnah) dalam
menghadapi berbagai realitas sosial-kemasyarakatan yang belum pernah
dialami generasi sebelumnya. Ali ibn Abi Thalib ra. menjadi Kepala
Madrasah di Madinah selama 24 tahun, yakni sepanjang pemerintahan
tiga Khulafaur Rasyidin sebelumnya.27 Sementara itu, ’Utsman ibn
’Affan ra. memiliki program standardisasi bacaan Al-Qur’an dengan
menerbitkan mushaf Al-Qur’an induk yang disebarluaskan ke berbagai
wilayah kekuasaan Islam saat itu.
Konklusinya, secara normatif, Al-Qur’an dan al-Sunnah memberi
keistimewaan para sahabat sebagai generasi terbaik umat Muslim yang
seharusnya dijadikan sebagai suri teladan. Secara teoretis, pendapat
para sahabat dinilai paling dekat dengan kebenaran Al-Qur’an dan
al-Sunnah. Hal ini karena mereka paling memahami konteks situasi
dan kondisi turunnya Al-Qur’an (Asbab al-Nuzul) maupun datangnya
al-Sunnah (Asbab al-Wurud). Secara praktis dan historis, para generasi
setelahnya (Tabi’in; Tabi’it Tabi’in), menjadikan pendapat para sahabat
sebagai pijakan argumentasi. Secara akademis, para pakar pendidikan
Islam sepakat menjadikan pendapat sahabat sebagai salah satu dasar
pendidikan Islam.

Secara normatif, Al-Qur’an menyatakan bahwa risalah yang dibawa


oleh Rasulullah Saw. berfungsi sebagai rahmat bagi semesta alam atau
rahmatan lil ‘alamin (QS Al-Anbiya’ [21]: 107). Hadis juga menegaskan
bahwa manusia yang paling dicintai Allah Swt. adalah manusia yang
paling bermanfaat bagi orang lain. Misalnya, berbagi kebahagiaan,
menghapus kesedihan, melunaskan utang, dan memberi makan.
Bahkan Nabi Saw. menyatakan bahwa berusaha membantu saudara
(sesama Muslim) yang membutuhkan, lebih beliau cintai dibandingkan
beriktikaf di masjid nabawi selama sebulan (HR al-Thabarani).

27
Ibid., hlm. 113-162.

Ilmu Pendidikan Islam


Secara historis, kebijakan yang diambil Rasulullah Saw., para
khulafa’al-rasyidin dan pemimpin umat Muslim yang adil, seluruhnya
ditujukan pada kemaslahatan umat Muslim secara khusus, dan umat
manusia secara umum. Hingga muncul suatu kaidah fikih yang
berbunyi:
َ َŰŕْ ųَ ْ ɉĵķ ‫ ٌط‬źْ Ŷُ Ųَ ‫م‬ĵ
ِĹŅ ِ Ųَ ƃ‫ ُف ا‬Dz
Ġ َ َĻ
ِ ِ
Kebijakan pemimpin itu didasarkan pada kemaslahatan.
Kaidah ini tidak hanya berlaku dalam konteks fikih, melainkan
juga dalam konteks pendidikan Islam. Artinya, kebijakan pendidikan
Islam harus didasarkan kemaslahatan publik. Misalnya, pendidikan
itu harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat; kaya
atau miskin; laki-laki atau wanita; anak-anak atau orang dewasa;
dan seterusnya. Inilah yang diteladankan oleh Rasulullah Saw. dan
generasi salafush-shalih.
Posisi Mashalih al-Ijtima’iyyah sebagai dasar pendidikan Islam
didukung Sa’id Isma’il ‘Ali berdasarkan argumentasi: nash-nash Al-
Qur’an menunjukkan bahwa tujuan akidah dan syariat Islam secara
global dan terperinci adalah menampik mudarat dan mendatangkan
maslahat. Al-Qur’an juga sering menjelaskan ‘illat (sebab) hukum
Islam adalah menampik kerusakan dan bahaya, serta merealisasikan
kemaslahatan dan kemanfaatan. Oleh sebab itu, wajar jika pendidikan
Islam menjadikan Mashalih al-Ijtima’iyyah sebagai dasar pijakannya.28
Sa’id Isma’il ’Ali menyimpulkan beberapa hal terkait Mashalih al-
Ijtima’iyyah. Pertama, maslahat bukan didasarkan hawa nafsu, syahwat
atau tujuan individual. Kedua, menampik mudarat dan mendatangkan
manfaat sudah tercakup dalam kata mashlahah. Ketiga, seluruh maslahat
dalam Islam pasti berkaitan—secara eksplisit dan implisit—dengan
pelestarian lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.29
Lima hal inilah yang kemudian populer dengan sebutan Maqashid Syariah
(tujuan-tujuan pokok syariat Islam).

28
Ibid., hlm. 199.
29
Ibid., hlm. 203-204.

Bab 4| Dasar-Dasar Pendidikan Islam


Selanjutnya, Sa’id Isma’il ‘Ali mengajukan sejumlah syarat terkait
Mashalih al-Ijtima’iyyah sebagai dasar pendidikan Islam. Pertama,
maslahat ditetapkan berdasarkan penelitian dan penalaran bahwa
maslahat tersebut adalah riil (faktual), bukan asumtif (dugaan). Kedua,
maslahat selaras dengan tujuan-tujuan syariat Islam secara umum.
Ketiga, maslahat mencakup mayoritas manusia, bukan hanya segelintir
orang.30
Agar Mashalih al-Ijtima’iyyah semakin optimal sebagai dasar
pendidikan Islam, perlu diperhatikan beberapa faktor berikut: Pertama,
kebebasan individu harus dibatasi, demi kemaslahatan publik; dan
individu diseru untuk berpartisipasi menciptakan kemaslahatan publik.
Kedua, memerhatikan arah perubahan sosial-masyarakat, seperti jenis
profesi, aktivitas ekonomi dan peran sosial. Ketiga, ada hukuman demi
menjaga kemaslahatan.31
Konklusinya, secara normatif, Al-Qur’an dan al-Sunnah
menegaskan pentingnya kemaslahatan publik; umat Muslim secara
khusus dan umat manusia secara umum. Secara teoretis, setiap
kebijakan pemimpin, termasuk pemimpin pendidikan Islam, harus
didasarkan pada kemaslahatan publik. Secara praktis dan historis,
kebijakan pendidikan yang didasarkan kemaslahatan publik sudah
diterapkan dan diteladankan oleh Rasulullah Saw., khulafa’ al-rasyidin
dan generasi salafush-shalih.

Al-Qur’an sering kali menyeru umat Muslim agar belajar dari sejarah
umat masa lalu, seperti kisah para rasul yang sarat dengan nilai-nilai
pendidikan yang dapat dijadikan petunjuk bagi umat Muslim (QS
Yusuf [12]: 111). Rasulullah Saw. juga sering menjadikan pengalaman
generasi masa lalu sebagai materi pendidikan, semisal kisah tiga
orang yang terjebak dalam gua, lalu berhasil selamat atas izin Allah
Swt., setelah berdoa yang disertai penyebutan amal saleh mereka (HR
Muttafaq ‘Alaih).

30
Ibid., hlm. 214-215.
31
Ibid., hlm. 216-238.

Ilmu Pendidikan Islam


Terlebih salah satu tujuan pendidikan adalah transmisi budaya dari
generasi masa lalu kepada generasi masa sekarang. Jadi, sudah pasti
kebudayaan maupun peradaban masa lalu akan selalu dilibatkan dalam
dunia pendidikan. Misalnya, kita mencium tangan orangtua karena
mengikuti kearifan lokal bangsa Indonesia yang sudah berlangsung
sejak zaman dahulu.
Namun demikian, tidak semua budaya pantas dijadikan sebagai
dasar pendidikan Islam. Budaya yang dimaksud hanya terbatas pada
budaya terpuji yang populer dengan sebutan “peradaban”. Korupsi
adalah contoh budaya, sedangkan literasi (baca-tulis) adalah contoh
peradaban.
Sa’id Isma’il ’Ali mendefinisikan “peradaban” sebagai produk
manusia dari interaksi antaranggota masyarakat dan memenuhi kriteria
tertentu. Hal ini menuntut anggota masyarakat untuk mengikutinya
dalam konteks biologis, sosial, dan ekonomi. Kemudian, peradaban
tersebut diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara
terus-menerus.32
Adapun karakteristik peradaban diuraikan sebagai berikut.33
1) Dapat dipelajari, artinya peradaban merupakan warisan yang
diperoleh manusia dari generasi sebelumnya melalui pendidikan.
Oleh sebab itu, tata arsitektur dan seni Islam yang menghiasi
buku-buku sejarah Islam, serta lembaga-lembaga pendidikan
yang beraneka ragam mulai dari Kuttab, Madrasah, Ribath hingga
perpustakaan merupakan bagian dari peradaban islami yang
dipelajari umat Muslim sepanjang sejarah.
2) Akumulatif, artinya peradaban merupakan akumulasi dari hasil
pemikiran maupun ilmu pengetahuan dari satu generasi ke
generasi berikutnya hingga terbentuk peradaban. Misalnya,
peradaban islami pada mulanya hanya terbatas pada pelajaran-
pelajaran agama, lalu meluas dan merambah bidang-bidang
keilmuan lainnya, seperti filsafat, sejarah, geografi, fisika, kimia,
matematika, dan estetika.

32
Ibid., hlm. 267.
33
Ibid., hlm. 268-273.

Bab 4| Dasar-Dasar Pendidikan Islam


3) Komplementer, artinya hubungan saling melengkapi antara satu
bagian peradaban dengan bagian lainnya sehingga membentuk
menjadi suatu peradaban yang utuh.
4) Manusiawi, artinya peradaban merupakan hasil produk
kemampuan pemikiran dan perbuatan manusia. Produk manusia
ini bersifat dinamis sehingga berbeda dengan produk binatang
yang bersifat statis. Misalnya, bentuk rumah binatang sejak dahulu
hingga sekarang tetap sama, tetapi bentuk rumah manusia selalu
mengalami perubahan dari masa ke masa.
5) Kontinuitas, artinya peradaban merupakan warisan masyarakat
yang diwariskan secara terus-menerus dari satu generasi ke
generasi lainnya. Oleh sebab itu, suatu peradaban telah melalui
waktu yang panjang sehingga menjelma menjadi adat istiadat atau
kepercayaan yang berlaku di masyarakat.
6) Berubah-ubah, artinya perabadan mengalami perubahan seiring
perubahan masyarakat lintas ruang dan waktu. Artinya, cepat atau
lambatnya perubahan peradaban suatu bangsa tergantung pada
dimensi waktu dan lokasi geografis.
7) Peradaban sebagai model dari realitas, artinya peradaban
merupakan suatu model yang menurut masyarakat wajib diikuti.
Di sisi lain, peradaban tersebut mengaktual dalam bentuk realitas
kehidupan masyarakat sehari-hari.
8) Materiil dan immateriil, artinya hasil peradaban manusia ada yang
berupa materiil—seperti teknologi radio—dan ada yang bersifat
immateriil seperti frekuensi untuk radio.
9) Sosial-masyarakat, artinya peradaban berkaitan dengan kehidupan
sosial-masyarakat, bukan individual. Oleh sebab itu, peradaban
dapat dilihat pada adat istiadat (’urf) dan undang-undang yang
berlaku di suatu masyarakat.
10) Keanekaragaman dalam kesatuan, artinya pada satu sisi peradaban
bersifat universal, namun di sisi lain peradaban bersifat unik. Oleh
sebab itu, sifat peradaban itu beraneka ragam, namun tetap dalam
satu universalitas.

Ilmu Pendidikan Islam


11) Penyebaran, artinya peradaban mengalami penyebarluasan dari
satu tempat ke tempat lain sehingga menjadi populer di kalangan
masyarakat yang lain.
Selanjutnya, Sa’id Isma’il ’Ali mengutarakan karakteristik
peradaban islami. Pertama, integral, yaitu peradaban materi dan rohani.
Kedua, inklusif, yaitu mau berinteraksi dan menerima masukan dari
peradaban lain, seperti Yunani, Persia, dan India, namun disertai
filterisasi agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai pokok ajaran
Islam.34
Lebih jauh, Sa’id Isma’il ‘Ali menggarisbawahi empat tanggung
jawab pendidikan Islam terkait peradaban islami sebagai berikut.
1) Transmisi, artinya pendidikan bertugas mentransfer informasi dan
unsur-unsur peradaban dari generasi tua kepada generasi muda.
2) Penyederhanaan, artinya ketika suatu peradaban sudah begitu
banyak sehingga sulit ditransmisikan, tugas pendidikan adalah
menyederhanakannya agar dapat dipahami generasi berikutnya.
3) Seleksi, artinya tidak semua hasil peradaban bagus untuk generasi
selanjutnya. Oleh sebab itu, tugas pendidikan adalah menyeleksi
dan membersihkan peradaban dari hal-hal yang tidak diinginkan.
4) Menyentuh masyarakat, artinya mengingat peradaban adalah
hakikat masyarakat maka peradaban perlu dididikkan pada
masyarakat.35
Konklusinya, Al-Qur’an dan al-Sunnah menyeru umat Muslim
agar menjadikan pengalaman generasi masa silam sebagai bagian
dari pendidikan. Secara teoretis, pendidikan adalah proses transmisi
kebudayaan dari generasi masa lalu kepada generasi masa kini, sehingga
kebudayaan maupun peradaban selalu dilibatkan dalam pendidikan.
Secara praktis dan historis, peradaban islami yang mencapai puncak
kejayaan pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah merupakan
hasil interaksi peradaban islami dengan peradaban lain, seperti Yunani,
Persia, dan India. Atas dasar itu, wajar jika pendidikan Islam masa kini
belajar dari peradaban lain yang lebih maju.

34
Ibid., hlm. 199-204.
35
Ibid., hlm. 281-282.

Bab 4| Dasar-Dasar Pendidikan Islam


Al-Qur’an berulang-ulang menyeru umat Muslim agar memberdayakan
akal. Al-Qur’an menyebut term “akal” dan derivasinya 49 kali dalam
49 ayat. Uniknya, seluruhnya dalam bentuk kata kerja, bukan kata
benda. Hikmahnya, nilai akal itu tidak terletak pada “otak”, melainkan
“fungsionalisasi otak”.
Al-Sunnah juga memberi apresiasi kepada orang yang member-
dayakan akal. Misalnya, Rasulullah Saw. bersabda: “Keutamaan orang
alim dibandingkan orang ahli ibadah (yang tidak alim), bagaikan keutamaanku
dibandingkan orang yang paling rendah di antara kalian” (HR al-Tirmidzi).
Pendidikan pun tidak pernah lepas dari pemberdayaan akal. Guru
menyampaikan ilmu sesuai kapasitas akalnya, dan murid memahami
ilmu sesuai kapasitas akalnya juga. Di sisi lain, para pakar tidak pernah
berhenti mengajukan pikiran-pikiran yang berguna bagi peningkatan
kualitas pendidikan.
Sa’id Isma’il ’Ali mengemukakan bahwa pemikiran islami telah
menyaksikan para filsuf yang memberikan sumbangsih terhadap
pendidikan. Terbukti secara nyata ada filsuf yang meninggalkan
pemikiran pendidikan secara eksplisit maupun implisit. Banyak
pemikiran yang sebaiknya difungsikan sebagai dasar pendidikan Islam.
Mulai dari pemikiran filsuf murni, seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu
Sina; pakar akidah (mutakallimun), seperti Asy’ariyah dan Mu’tazilah;
sufi, seperti Ibnu ’Arabi, al-Suhrawardi; dan ahli fikih (fuqaha’), seperti
Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.36
Selanjutnya, Sa’id Isma’il ’Ali mengajukan empat kategori
pemikiran yang tercakup dalam al-Fikr al-Islami (Pemikiran Islami)
sebagai dasar pendidikan Islam, yaitu filsafat, kalam, tasawuf, dan
fikih.

Sa’id Isma’il ’Ali menjelaskan bahwa filsafat islami yang sebenarnya


adalah filsafat islami yang kita temui dalam ‘ijtihad dengan akal’ dan

36
Ibid., hlm. 328.

Ilmu Pendidikan Islam


ilmu ushul fikih. Filsafat islami berusaha menyelaraskan antara wahyu
dan akal; akidah dan hikmah; agama dan filsafat.37
Peran filsafat islami sebagai dasar pendidikan Islam tecermin dari
kontribusi pemikiran filsuf Muslim terkait pendidikan Islam, seperti
Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan Ikhwanus Shafa. Beberapa pemikiran Ibnu
Rusyd yang relevan dengan pendidikan Islam antara lain (a) pentingnya
metode empirisme dan logis sebagai sumber ilmu pengetahuan;
(b) syariat (Al-Qur’an-Hadis) membutuhkan penalaran filosofis;
(c) kebebasan berkehendak; dan (d) sumbangsih di bidang ilmu
kedokteran. Beberapa pemikiran kependidikan Ibnu Sina antara lain
(a) klasifikasi ilmu pengetahuan; (b) interelasi antara jasad dan roh
sehingga memunculkan konsep akal praktis (’amali) dan akal teoretis
(nazhari), serta pengetahuan fithriyyah dan muktasabah; (c) konsep
pendidikan akhlak; (d) penjenjangan dalam pendidikan; dan (e) kode
etik guru. Beberapa pemikiran pendidikan Ikhwanus Shafa antara
lain (a) metode eksperimen; (b) pentingnya ilmu manhtiq (logika);
(c) metode kisah dalam skala luas; dan (d) keniscayaan adanya guru.38
Berbagai pemikiran kependidikan Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan kelompok
Ikhwanus Shafa tersebut masih dapat ditemui pada literatur pendidikan
Islam hingga saat ini.

Kalam adalah ilmu yang membahas tentang hukum i’tiqad (akidah)


yang identik dengan rukun iman.39 Perdebatan di kalangan pakar ilmu
kalam ini berujung pada kemunculan beberapa firqah atau aliran akidah,
seperti Mu’tazilah, Asy’ariyyah, dan Maturidiyyah. Tiap aliran ini
memiliki isu yang dapat difungsikan sebagai dasar pendidikan Islam.
Misalnya, aliran Mu’tazilah menggunakan metode ‘aqliyyah (rasional)
dalam memahami akidah Islam, sehingga menomorsatukan sumber
akal; di sisi lain aliran Asy’ariyyah menggunakan metode naqliyyah
(wahyu) dalam memahami akidah Islam, sehingga menomorsatukan

37
Ibid., hlm. 329.
38
Ibid., hlm. 328-351.
39
Ibid., hlm. 328-352.

Bab 4| Dasar-Dasar Pendidikan Islam


sumber wahyu. Sintesisnya, aliran Maturidiyyah yang menggunakan
metode ‘aqliyyah dan naqliyyah secara proporsional dalam memahami
akidah Islam.40 Hingga sekarang pun, teori dan praktik pendidikan
Islam selalu memadukan antara metode naqliyyah (wahyu Ilahi) dengan
‘aqliyyah (ijtihad insani).

Sa’id Isma’il ’Ali mengingatkan bahwa yang dimaksud ilmu tasawuf


sebagai dasar pendidikan Islam, bukan berarti mengambil seluruh
ilmu tasawuf. Sa’id Isma’il ‘Ali memiliki keyakinan mendalam bahwa
khazanah keilmuan Islam itu, di samping memiliki sisi “putih”
yang mendatangkan kejayaan, juga memiliki sisi “hitam” yang
menjerumuskan pada keruntuhan. Oleh sebab itu, yang dimaksud al-
Fikr al-Islami sebagai dasar pendidikan Islam bukanlah mengembalikan
seluruh khazanah keilmuan Islam yang baik maupun yang buruk,
melainkan “menghidupkan” khazanah keilmuan Islam yang bersifat
positif.41 Contoh khazanah ilmu tasawuf yang berguna bagi pendidikan
Islam: (a) Mujahadah al-Nafsiyyah (pembinaan diri); (b) pentingnya etika
kepada guru; (c) etika sebagai murid; dan (d) dasar-dasar pendidikan
akhlak.42 Boleh jadi, pemikiran tasawuf ini begitu mendominasi teori
dan praktik pendidikan Islam yang cenderung menomorsatukan akhlak
dibandingkan IPTEKS.

Menurut Sa’id Isma’il ’Ali, kendati ulama fikih tidak secara langsung
membicarakan pendidikan, kontribusi utama yang diberikan adalah
metode penelitian dan pemikiran (ijtihad; istinbath).43 Metode istinbath
(penggalian) hukum fikih merupakan kontribusi nyata ulama fikih
dan ushul fikih bagi pendidikan Islam teoretis maupun praktis. Belum
lagi sumber-sumber hukum fikih dan ushul fikih yang dapat diadopsi
sebagai dasar pendidikan Islam, baik sumber hukum yang disepakati,

40
Ibid., hlm. 356.
41
Ibid., hlm. 372.
42
Ibid., hlm. 372-383.
43
Ibid., hlm. 388-397.

Ilmu Pendidikan Islam


yaitu Al-Qur’an, al-Sunnah; maupun yang belum disepakati, seperti
Ijma’, Qiyas, Qaul Shahabi, ’Urf, Sadd al-Dzari’ah, Istihsan, Mashlahah
al-Mursalah, Istishhab, Syar’u Man Qablana, ’Amal Ahli Madinah, dan
sebagainya.
Konklusinya, Al-Qur’an dan al-Sunnah menyeru umat Muslim
untuk memberdayakan akal yang menghasilkan aneka jenis pemikiran
islami. Secara teoretis, dinamika ruang dan waktu mengharuskan pakar
pendidikan Islam untuk selalu memperbarui pemikiran kependidikan
Islam agar sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupi. Secara
praktis dan historis, para filsuf, ahli kalam, sufi dan ahli fikih, telah
memberi kontribusi pemikiran yang berguna bagi pendidikan Islam
pada tataran teoretis maupun praktis.

Dasar deskriptif mencakup dasar historis, dasar psikologis, dasar


sosiologis, dasar ekonomis, dan dasar IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi).
Pertama, dasar historis. Landasan sejarah pendidikan yang memuat
beragam informasi tentang kejadian, konsep, teori, praktik, moral, cita-
cita, bentuk, dan sebagainya. Jadi, sebelum menangani pendidikan, ahli
pendidikan terlebih dahulu memeriksa sejarah pendidikan nasional
dan internasional.
Kedua, dasar psikologis. Pendidikan mempertimbangkan aspek
psikologis manusia, yaitu sesuai tingkat pertumbuhan (jasmani) dan
perkembangan (rohani) mereka.
Ketiga, dasar sosiologis. Menyangkut peran sosiologi dalam
membantu realisasi cita-cita pendidikan.
Keempat, dasar ekonomis. Berkenaan dengan peran ekonomi dalam
pendidikan. Misalnya, perkembangan ekonomi makro berpengaruh
pada bidang pendidikan.
Kelima, dasar IPTEK. Di satu sisi, pendidikan berperan penting
dalam pewarisan dan pengembangan IPTEK. Di sisi lain, pada setiap
perkembangan IPTEK, perlu diakomodasi oleh pendidikan, semisal

Bab 4| Dasar-Dasar Pendidikan Islam


ke dalam bahan ajar.44 Tampaknya, poin kelima ini perlu ditambah
dengan seni sehingga menjadi IPTEKS (Ilmu Pengetahuan, Teknologi,
dan Seni), sebagaimana yang dianjurkan oleh sejumlah pakar. Apalagi
zaman sekarang ini sudah banyak teori dan praktik pendidikan Islam
yang melibatkan seni di dalamnya. Misalnya, seni musik, kaligrafi,
arsitektur, seni lukis, fotografi, teater, dan sebagainya.
Catatan penting terkait dasar deskriptif adalah: Pertama, dasar
deskriptif itu dinamis, sehingga perlu menerapkan prinsip update
(memperbarui) dan upgrade (meningkatkan). Kedua, dasar deskriptif
itu kontekstual sesuai ruang dan waktu, sehingga perlu menerapkan
prinsip memilah (filterisasi) dan memilih (seleksi) yang relevan.
Ketiga, dasar deskriptif itu realistis sesuai keadaan yang sebenarnya
(fakta), sehingga perlu menerapkan prinsip keseimbangan (harmoni)
antara idealitas seperti yang tecermin pada dasar preskriptif dengan
realitas seperti yang tecermin pada dasar deskriptif. Keempat, dasar
deskriptif itu alternatif sesuai pilihan masing-masing orang, sehingga
perlu menerapkan prinsip pragmatisme yang fokus pada kemanfaatan,
bukan sekadar kecanggihan.

Idealnya, seluruh umat Muslim mengamalkan Al-Qur’an secara


komprehensif. Realitanya, umat Muslim itu bertingkat-tingkat dalam
konteks pengamalan Al-Qur’an. Sebagaimana air hujan yang mengisi
lembah sesuai dengan ukuran lembah tersebut. Inilah ilustrasi Al-
Qur’an menyangkut respons manusia terhadap ajaran Al-Qur’an.
ُ ğ َََْ َ َ َ َ ٌَ َْ ْ َ َ َ ً َ َ ğ َ َََْ
ĵųِğ Ɋ‫ َو‬ĵžً ِ Ȩ‫ا َرا‬ʼnً Ʌَ ‫ َز‬Ůْžŏɉ‫ا‬ ŮųļńĵŦ ĵŸِ‫ر‬ʼnŪِķ ĹŽِ‫ أود‬ĺůĵŏŦ ‫ء‬ĵŲ ِ‫ء‬ĵųŏɉ‫ ا‬ŴِŲ ‫ل‬ŌŵɁ
َ ْ Ĭ‫ا‬ ُ ğ ‫ ُب‬Ǵ ْ َ َ َ َ ُُْ ٌ ََ َ َ َْ َْ َ َ ْ ğ َ َ
Ũğ ơ‫ا‬ ِ Ž ūِ ɉŊŬ ŷŰĿِŲ ʼnɅ‫ع ز‬ĵ ٍ ļŲ ‫ أو‬Ĺٍ žŰِń ‫ء‬ĵŤِļķ‫رِ ا‬ĵȍ‫ ا‬Ǎِ ِŷْžŰŠَ ‫ون‬ʼnُِ ũźُŽ
ْ َْ ُ ُ ْ َ َ َ ğ ُ َْ َ َ ğََ ً َ ُ ُ َ ْ َ َ ُ َ ğ ğََ َ َْ َ
‫ر ِض‬Ɓ‫ ا‬Ǎِ ‫ث‬ŭųžȯ ‫س‬ĵȍ‫ ا‬şŧŶȬ ĵŲ ĵŲ‫ء وأ‬ĵŧŁ ĶŸŊžȯ ʼnɅŌɉ‫ ا‬ĵŲįŦ ŮِŚĵȊ‫وا‬
َ ََْْ ُğ ُ ْ َ َ َ َ
̒ ‫ل‬ĵĿŲƁ‫ ا‬Ĭ‫ب ا‬Ǵ ِ Ž ūِ ɉŊŬ
44
Ibid., hlm. 97-102.

Ilmu Pendidikan Islam


Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-
lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang.
Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan
atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah
membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu,
akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi
manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan (QS Al-Ra’d [13]: 17).

Pertama, hidup manusia ada dua jalur: jalur kebenaran (haq) dan
jalur kesalahan (bathil). Memberi manfaat, contoh jalur kebenaran;
mendatangkan mudarat, contoh jalur kesalahan. Simbolisasi kedua jalur
ini terlihat dalam fenomena sehari-hari, seperti hujan dan pembuatan
perhiasan.
Kedua, nilai kebenaran (terutama Islam, Al-Qur’an, Hadis)
diilustrasikan seperti air hujan dari langit yang mengalirkan air melalui
lembah-lembah sesuai ukurannya masing-masing.
Ketiga, dalam konteks Al-Qur’an, setidaknya ada lima ukuran
“lembah”: (a) lembah ukuran paling kecil. Orang yang mendengar
bacaan Al-Qur’an (QS Al-A’raf [7]: 204); (b) lembah ukuran kecil.
Orang yang membaca Al-Qur’an secara perlahan dan fasih melalui tartil
(QS Al-Muzzammil [73]: 4) dan qira’ah (QS Al-Muzzammil [73]: 20);
(c) lembah ukuran sedang. Orang yang memahami Al-Qur’an melalui
ingatan (dzikr) berupa tulisan maupun hafalan (QS Al-Hijr [15]: 9),
merenungkan maknanya melalui tadabbur (QS Muhammad [47]: 24),
mempelajari kandungannya melalui tadarus (QS Al-Qalam [68]: 37),
memahaminya sesuai kemampuan melalui tafsir atau ta’wil (QS Ali
‘Imran [3]: 7); (d) lembah ukuran besar. Orang yang mengamalkan
Al-Qur’an melalui pembacaan di hadapan orang lain atau tilawah (QS
Al-Naml [27]: 92), mengajarkan Al-Qur’an kepada orang lain atau
ta’lim (QS Al-Baqarah [2]: 151), dan menjadikan Al-Qur’an sebagai
pedoman hidup atau hidayah (QS Al-Isra’ [17]: 9); (e) lembah ukuran
paling besar. Orang yang membiasakan pengamalan Al-Qur’an secara
utuh (komprehensif), sehingga menjadi akhlak atau karakter pribadi

Bab 4| Dasar-Dasar Pendidikan Islam


(living Qur’an). Sebagaimana Nabi Saw. yang diapresiasi Sayyidah ‘Aisyah
ra.: “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an” (HR Ahmad).
Keempat, lima kelompok tersebut bagaikan air hujan yang
menyirami bumi, lalu menumbuhkan aneka tanaman yang dapat
dipetik manfaatnya antara lain Al-Qur’an menjadi syafaat (penolong)
dan hujjah (argumentator) di akhirat.
Kelima, aliran air hujan pasti disertai buih yang mengapung dan
hanyut bersamanya. Airnya tetap dan bermanfaat, namun buihnya
hilang dan minim manfaat. Sama halnya dengan proses pembuatan
perhiasan melalui pemanasan logam dalam api, lalu terpilah menjadi
dua bagian: (a) logamnya menjadi perhiasan bermanfaat; (b) buihnya
menjadi tahi logam yang minim manfaat.
Keenam, dalam konteks Al-Qur’an, yang tergolong “buih” antara
lain: (a) melalaikan Al-Qur’an (QS Yusuf [12]: 3), seperti mengoleksi
mushaf Al-Qur’an sebagai aksesoris dan tidak dibaca; (b) menjauh dari
Al-Qur’an (QS Al-Isra’ [17]: 41), seperti “risih” mendengar bacaan Al-
Qur’an, bahkan menilainya sebagai “polusi suara”; (c) mengacuhkan
Al-Qur’an (QS Al-Furqan [25]: 30), tidak mau mendirikan salat,
zakat, puasa Ramadan dan haji saat mampu, meskipun Al-Qur’an
memerintahkan semua itu; (d) membagi-bagi Al-Qur’an sesuai selera
pribadi (QS Al-Hijr [15]: 90-91), seperti menerima ajaran Al-Qur’an
yang dinilai menguntungkan (bisnis hijab) dan menolak ajaran Al-
Qur’an yang dinilai merugikan (larangan riba); (e) membantah Al-
Qur’an (QS Al-Kahfi [18]: 54), seperti memprotes ajaran Al-Qur’an
yang dinilai tidak relevan dengan tuntutan zaman; (f) mengingkari
Al-Qur’an (QS Al-Isra’ [17]: 89), seperti orientalis yang menilai Al-
Qur’an adalah bid’ah dari Perjanjian Lama (Taurat) dan Perjanjian Baru
(Injil); (g) memprovokasi orang lain agar mengabaikan Al-Qur’an (QS
Fushshilat [41]: 26), seperti mengajak masyarakat berdemo menolak
poligami yang diperbolehkan Al-Qur’an (QS Al-Nisa’ [4]: 3); atau
berdemo mendukung legalisasi LGBT dan narkotika yang diharamkan
Al-Qur’an (QS Al-A’raf [7]: 80-81; QS Al-Ma’idah [5]: 90).

Ilmu Pendidikan Islam

Anda mungkin juga menyukai