Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SUMBER DAN KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Pada Mata Kuliah

METODOLOGI STUDI ISLAM

DOSEN PENGAMPU

BAHWAN GHOZALI S.Kom.I., M.A

DISUSUN OLEH :

NAZIFATUL MUNAWWARAH

220601160

KELAS 1E

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
T.A.2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada setiap ajaran yang ada di muka bumi ini, dan menamakan diri sebagai term agama
memiliki ketentuan atau hukum yang mengikat para semua penganutnya. Agama Islam sebagai
agama samawi yang terjaga kemurnian dan kesucian kitab sucinya, jauh dari kerusakan perubahan
oleh tangan jahil manusia. Sebagai sumber hukum utama patutlah dipahami dan dikaji secara
mendalam oleh manusia yang beriman agar mampu menjalankan tugas sebagai khalifah Allah di
bumi.

Al-Qur’an sebagai wahyu diturunkan pada Muhammad SAW sebagai bukti kerasulan, dan
keutamaan beliau adalah memberikan penjelasan berupa hadits-hadits yang menjelaskan ayat.
Jadilah alQur’an dan hadits dua pegangan utama umat Islam untuk menjalani hidup, agar
mendapatkan berkah dan kebahagiaan di dunia maupun akhirat. 1

Al-Qur‟an juga dipandang sebagai penafsiran Al-Qur‟an paling faktual. Bahkan di banyak
riwayat ditegaskan bahwa Nabi tidak bertindak/berperilaku melainkan karena tuntunan wahyu,
dan akhlak Rasulullah adalah Al-Qur‟an. Itu sebabnya dalam keilmuan Islam, etika Islam tidak
melepaskan dasar pemikirannya dari Al-Qur‟an dan Sunah Nabi SAW. “Alif lam mim. Kitab (Al-
Qur‟an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (QS. AlBaqarah :
1-2), (KEMENAG RI, 2006). “Sesunguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang megharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan
dia banyak menyebut nama Allah. (QS. Al-Ahzab : 21), “Aku tinggalkan untuk kamu dua perkara,
tidaklah kamu akan sesat selama-lamanya, selama kamu masih berpegang kepada keduanya, yaitu
kitabullah dan sunah rasul-Nya.” (al-hadits). 2

Karakteristik tiap ajaran agama-agama memiliki perbedaan masing-masing sesuai dengan


pemikiran dan pemahaman terhadap al-Kitab yang dipelajari sebagai dasarnya dalam beragama.

1
Muannif Ridwan,M. Hasbi Umar, dan Abdul Ghafar,Sumber-Sumber Hukum Islam Dan Implementasinya,
Journal Of Islamic Studies, Vol. 1. No. 2, (Januari-Juni 2021), Hal 29.
2
Hardiono, Sumber Etika Dalam islam, UIN Yogyakarta, Jurnal Al-Aqidah: Jurnal Aqidah Ilmu Filsafat,
Vol. 2. No. 2, (Desember 2020), Hal 26-27.
Islam pun mempunyai karakteristik sendiri, berbeda dengan agama lain di dunia. Studi tentang
karakteristik ajaran Islam tidaklah mudah, karena ruang lingkup permasalahan yang sangat luas.
Mengenai karakteristik ajaran Islam yang berhubungan dengan bidang-bidang yang ada dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam bidang kebudayaan, pendidikan, sosial, ekonomi, politik
dan sebagainya. Karakteristik tersebut dapat kita lihat dalam sumber ajaran al-Qur‟an dan Hadis.
Kedua sumber ini memberi karakteristik tersendiri dalam bidang-bidang tersebut yang berguna
bagi kehidupan umat manusia sepanjang masa. 3

Maka karakter identic dengan etika, moral dan akhlak yang didalam Islam diambil dari dua
pedoman yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah, di dalam sumber utama tersebut Islam juga memakai
pemahaman para ulama dalam mengkiaskan dan ijma ulama sebagai sumber setelah yang dua itu,
dan disini kita akan menelaah lebih dalam sumber-sumber dari ajaran Islam baik dari segi primer
maupun skundernya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Sumber Ajaran Islam Primer dan Skunder?

2. Bagaimana Sifat Dasar Ajaran Islam?

3. Bagaimana Karakter Islam dari segi Normativ dan Historis?

3
Nasrullah, Karakteristik Ajaran Islam Perspektif Unity And Diversity Of Religion, TAJDID: Jurnal
Pemikiran dan Kemanusiaan, Vol. 3. No. 2 ( Oktober 2019), Hal 134.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sumber Ajaran Islam

Kata-kata “sumber hukum Islam” merupakan terjeman dari lafazh Masadir Al-Ahkam.
Kata kata tersebut tidak di temukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang di tulis oleh ulama-ulama
fikqh dan ushul fiqih klasik. Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam, mereka menggunakan
al-adilah al-syaryyah. Penggunaan mashadir al-ahkam oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu
yang di maksudkan adalah se-arti dengan istilah al-adillah al-syari’yyah. Yang di maksud dengan
Masadir al-Ahkam adalah dalil-dalil hukum syara’ yang di ambil (diistimbhathkan) dari padanya
melibatkan hukum.

Sumber hukum dalam Islam, ada yang di sepakati (Muttafaq) para ulama dan ada yang
masih perselisihkan (Mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang di sepakati jumhur ulama
adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Para jumhur ulama’ juga sepakat dengan urutan dalil-
dalil tersebut (Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas.). Namun dari kalangan Mu’tazilah
menempatkan akal dalam urutan pertama sebelum Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Tetapi
disini kita akan membahas tentang dua sumber hukum Islam yang memang mutlak dan tidak bisa
di pungkiri bahwasanya dua hukum ini adalah sumber yang di akui oleh semua para ulama’ baik
ulama’terdahulu maupun ulama’ kontemporer. 4

1. Sumber Ajaran Primer

Islam merupakan ajaran yang mengatur seluruh sendi dalam kehidupan. Hal itu disebabkan
Islam memiliki landasan ajaran yang jelas. Adapun ajaran Primer agama Islam itu terdiri dari,
yaitu:

a. Al-Qur’an

Seperti yang kita ketahui bersama bahwasanya Al-qur’an adalah rujukan bagi manusia
untuk hidup di dalam dunia ini, banyak orang-orang yang tidak mnegetahui makana kehidupan

4
Siska Lis Sulistiani, Perbandingan Sumber Hukum Islam, TAHKIM Jurnal Peradaban dan Hukum Islam.
Vol. 1 No. 1 (Maret, 2018), Hal 102-116
dan tidak tahu arah mereka membawa hidupnya, bukan hanya non muslim tetapi muslim sendiri
masih ada sebagian yang tidak mnegenai hal itu, maka dari Al-Qur’an adalah peran yang sangat
penting dalam merubah pandangan manusia mengenai kehidpuan. Karena di dalam Al-Qur’an
terdapat berbagai macam pembahasan, mulai dari hukum-hukum, cerita masalalu (sejarah), dan
masih banyak lagi. Di dalam Al-Qur’an terdapat 144 surat yang terbagi menjadi 30 juz, yang mana
dimulai dari surat Al-Fatihah dan di akhiri dengan surat An-Nas.

Tapi penulisan di dalam mushaf Al-Qur’an bukan menjadi refrensi untuk menentukan
mana ayat yang pertama kali turun dan mana yang terakhir turun, walaupun di mushaf di mulai
dengan surat Al-fatihah tapi kenyataan dalam sejarah Alqur’an, yang pertama kali turun adalah
surat Al-Alaq ayat 1 sampai 5 yang menceritakan tentang bagaiamana peroses penciptaan
manusia, dan begitupun ayat yang terakhir turun walaupun di mushaf surah An-Nas di tulis paling
akhir tapi nyatanya surat yang terakhir turun adalah surat Al-Maidah ayat 3.

Pada perinsipnya, Allah menciptakan alam semesta beserta seluruh isinya untuk
memberikan rangsangan kepada manusia agar ia menggunakan akalnya untuk berfikir dan
merenungkannya, kata Iqra (bacalah) merupakan perintah Allah yang pertama kali di sampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW, Yang harus di lakukan oleh setiap ummatnya.perintah tersebut
mengandung arti agar ummat islam melakukan pengkajian (Tadabbarun), Penalaran (Ta’qilun),
Pengamatan (Tubsirun), Memahami (Tafaqqahun), Berfikir (Tafakkarun), dan Perenungan atau
Kontemplasi (Tadhakkarun).5

Akal merupakan alat untuk berfikir, dan Allah memuliakan manusia sebab adanya akal
yang diberikan itu, sehingga mempunyai kedudukan tinggi dibandingkan makhluk ciptaan Allah
lainnya. Manusia menggunakan akal yang di berikan itu secara efektif dan benar-benar menggali
fenomena alam semesta dan menjadikan sumber ilmu pengetahuan, sumber ide, dan landasan bagi
prinsip manusia mentap masa depannya. . 6

5
Ali Anwar Yusuf, Islam dan Sains Modern: Sentuhan Islam Terhadap Berbagai Disiplin Ilmu, (Bandung:
Pustaka Setia, 2006),Hal 280.
6
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
(Bandung: Mizan, 1994),Hal 287.
b. As-Sunnah

Di pembahasan Assunnah ini juga kita akan mulai bahas dengan pengertiannya, ditinjau
dari segi bahasa Sunnah berarti cara, jalan, kebiasaan dan tradisi, kata sunnah juga berarti Al-Jadid
yang berarti sesuatu yang baru. Kata Sunnah di dalam Al-Qur’an terulang 16 kali pada 11 surat.
Penyebutan kata sunnah dalam Al-Qur’an pada umumnya merujuk pada pengertian bahasa, yakni
cara atau tradisi. Makna sunnah secara terminologi menurut Muhammad Ajaj Al-Kahatib (1975)
identik dengan hadits, yaitu informasi yang di sandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa
perkataan maupun Takrir (Ketetapan).

Sedangkan menurut istilah (Terminologi) ahali mendefinisikan hadits adalah segala


sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan
yang berhubungan dengan hukum Allah yang di syariatkan kepada manusia. Para muhaddisin
membagi sunnah/hadits menjadi lima yaitu :

1. Sunnah Qauliyah, yaitu segala sesuatu yang di sandarkan pada Nabi SAW, berupa
perkataan.
2. Sunnah Fi’liah, yaitu segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad SAW,
berupa perbuatan.
3. Sunnah Taqririah, yaitu sunnah yang berupa ketetapan Nabi SAW.
4. Sunnah Hammiah, yaitu sesuatu yang menjadi hasrat Nabi SAW, tetapi belum sempat
dilaksanakannya, seperti puasa tgl 9 Assyura’
5. Hadits Ahwali, yaitu hafits yang di menyangkut hal Ihwal Nabi seperti keadaan fisik, sifat
dan keperibadian.7
Setelah kita menegetahui pengertian Assunnah serta pembagiannya menurut para ulama,
maka kita akan membahas tentang Otoritas Assunnah sebagai Sumber Ajaran Utama Agama
Islam, Al-Siba’i mengakatakan bahwa dari ketiga fungsi Sunnah seperti :
1. Bayan Taqriri
Yaitu Sunnah sebagai penguat pesan-pesan Al-Qur’an, misalnya Al-Qur’an menyebutkan suatu
kewajiban larangan, lalu Rasulullah dalam Sunnahnya mengeuatkan perintah atau larangan.

7
Nurhasanah Bakhitiar Anwar, Metodologi Studi Islam, (Cahaya Fitdaus, 2016), Hal 108.
2. Bayan Tafsir
Sunnah sebagai penjelasan Al-Qur’an yaitu :
a. Menjelaskan makna-makna yang rumit dalam Al-Qur’an
b. Mengikat makna-makna yang bersifat lepas (Umum)
c. Menjelaskan mekanisme pelaksana’an dan hukum-hukum yang di tetapkan Al-Qur’an
misalkan tentang tata cara Shalat, Haji, Puasa dan lainnya.
3. Bayan Tasyri’, Yaitu Sunnah sebagai pembuat Hukum.

Dua diantaranya disepakati oleh para Ulama, sementara yang ketiga di perselisihkan.
Adapun masalah pokok yang di perselisihkan itu adalah, apakah Assunnah dapat menetapkan suatu
hukum tanpa tergantung dalam Al-Qur’an ataukah produk hukum baru itu selalu mempunyai
pokok (asal) dalam Al-Qur’an.

Dalam persoalan tersebut jmhur Ulama berpendapat bahwa nabi mempunyai otoritas untuk
membuat Hukum. Dalil yang diajukan oleh ulama yang menyetujui bahwa Nabi dapat membuat
Hukum adalah yang pertama Selama Nabi di yakini Maksum, maka otoritasna dalam melakukan
Tasyri’ adalah suatu hal yang dapat di terima akal. Yang kedua adalah kenyataan banyaknya Nas
Al-Qur’an yang menunjukkan wajibnya mengikuti Sunnah. 8

Setelah kita melihat dan memahami apa yang di jelaskan oleh Nurhasanah Bakhtiar Anwar
bahwasnya Sunnah sebagai sumber ajaran Islam karena Sunnah menfasirkan apa yang terkandung
dalam Al-Qur’an secara umum bisa dijelaskan secara terperinci oleh Sunnah dan juga terdapat
penjelasan bagaiamana kita melakukan Ibadah secara jelas. Bukan hanya itu saja tetapi juga
bahwasanya Sunnah sendiri datang dari Rasulullah yang sudah di yakini kemaksumannya dan bisa
di terima oleh akal dan pikiran.

8
Ibid. Hal. 116
2. Hukum Ajaran Skunder

Ijtihad sebagai sumber ajaran islam sekunder. Ijtihad secara bahasa berasal dari kata
jahada, kata ini beserta seluruh variasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa,
sulit dilaksanakan atau yang tidak disenangi. Sedangkan secara terminologi, menurut Muhammad
Abu Zahra ijtihad adalah pengarahan segala kemampuan seorang ahli fiqih dalam menetapkan
(istinbat) hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci. 9

Dasar dalam malakukan ijtihad ialah Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, diantaranya ayat Al-
Qur‟an yang menjadi dasar ijtihad adalah yang artinya, “sesungguhnya kami telah menurunkan
kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang
tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”. (Q.S. An-Nisa : 105).

Sedangkan Sunnah yang menjadi dasar ijtihad dintaranya hadits „Amr bin al-Ash yang
diriwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda “Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian dia benar maka
ia mendapatkan dua pahala, akan tetapi jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia
akan mendapatkan satu pahala.

a. Syarat-syarat Mujtahid

1) Mukallaf, karena hanya mukallaf yang mungkin dapat melakukan penetapan hukum.

2) Mengetahui makna-makna lafadz dan rahasianya.

3) Mengetahui keadaan mukhatab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau
larangan.

4) Mengetahui keadaan lafadz, apakan ia memiliki qorinah atau tidak.

9
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, tt.), Hal 379.
b. Macam-macam Mujtahid

1) Mutlak, yaitu orang yang melakukan ijtihad langsung secara keseluruhan dari Al-Qur‟an
dan Hadits, dan seringkali mendirikan mazhab sendiri seperti halnya para sahabat dan imam yang
empat.

2) Mujtahid Mazhab, yaitu para mujtahid yang mengikuti salah satu mazhab dan tidak
membentuk suatu mazhab tersendiri akan tetapi dalam beberapa hal mereka berijthad mungkin
berbeda pendapat dengan imam lainnya.

3) Mujtahid fil Masa‟il, yaitu orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa maslah saja,
bukan dalam arti keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti satu mazhab.

4) Mujtahid Mugaiyyad, yaitu orang-orang yanga beritihad mengikatkan diri dan mengikuti
pendapat ulama salaf, dengan kesanggupan untuk menentukan mana yang lebih utama dan
pendapat-pendapat yang berbeda beserta riwayat yang lebih kuat diantara riwayat itu.

c. Hukum Mujtahid

1) Wajib „ain, yaitu bagi orang yang sudah mencukupi syarat ijtihad dan terjadi pada diri
mujtahid itu sesuatu yang membutuhkan hukum. Ijtihadnya wajaib diamalakan dan ia tidak boleh
bertklid kepada mujtahid lainnya.

2) Wajib kifayah, yaitu jika ada mujtahid lain selain dirinnya yang akan menjelaskan
hukumnya.

3) Sunah, yaitu melakukan ijtihad pada dua hal, pertama terhadap permsalahan yang belum
terjadi tanpa ditanya . Kedua, ijthad pada masalah yang belum terjadi berdasrkan pertanyaan dari
orang lain.

4) Haram, yaitu ijthad pada dua hal, pertama berijtihad terhadap hukum yang sudah tegas
(qat‟i). Kedua berijtihad bagi seseorang yang belum memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena
hasil ijthadnya tidak akan benar tetap menyesatkan, dasarnya karena menghukumi sesuatu tentang
agam Allah tanpa ilmu hukumnya haram. 10

10
Satria Effendi, M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Fajar Interpratama Offiset, 2009),Hal 255-256.
B. Sikap Dasar Ajaran Islam

Allah tidak mengutus seorang rasul kecuali karena sebab; antara lain ketika kerusakan
telah merajaleladan keimanan telah penuh. Di sisi lain jiwa manusia yang menurut pola dasar
penciptanya (fitrahnya) berkarakter baik selama tidak terpengaruh oleh intrik-intrik hawa
nafsu, pastilah mencintai dan melakukan kebaikan sesuai karakternya. Tapi ketika hawa
nafsunya telah menguasai jiwanya, tertutuplah kebaikan di hadapannya dan terbukalah pintu-
pintu kebaikan baginya.11 Sehingga semuanya dipandang tidak benar dan cenderung merasa
ingin menang sendiri.

Padahal kita mengetahui bersama di bawah bimbingan nilai-nilai etis ketuhanan


yang mempimpin cita-cita negara kita, semua dipandang setara dan bersaudara yang
mengandung keharusan untuk menghormati kemanusiaan universal serta mengembangkan tata
pergaulan dunia yang adil dan beradab. Dalam ungkapan Hatta, pengakuan kepada dasar
ketuhanan yang maha esa mengajak manusia melaksankan harmoni di alam, dilakukan
dengan jalan memupuk persahabatan dan persaudaraan antara manusia. 12

Sebagai bangsa yang masyarakat majemuk, kita banyak menyaksikan berbagai


persoalanyang terjadi akibat adanya perbedaanpandangan. Persolan perbedaan sesungguhnya
sering memicu persoalan pada masyarakat, khususnya pada perbedaan agama dan cara pandang
beragama. Pada masyarakat tertentu, perbedaan dan interaksi dengan masyarakat yang
berbeda membawa kepada pencarian kebenaran (otentisitas).13 Pencarian otentisitas akan
menghadirkan rasa saling menghargai satu dengan yang laindan menghadirkan identitas yang
didasarkan pada kebenaran bukan pembenaran.

Di era globalisasi ini masyarakat dunia terutama umat Islam dituntut untuk
memberdayakan sikap moderat dalam kehidupan dan pergaulan agar tercermin sikap saling
mengenal dan menghargai. Bangsa Indonesia adalah bangsa yangsangatmajemukdengan etnis,
suku, dan agama yang berbeda-beda. Menyadari hal ini, agartidak terjadi konflik antar
pemeluk agama yang satu dengan lainnya, dan terciptanya kerukunan hidup antar umat

11
Muhammad Mutawali Al-Sya’rawi, Jihad Dalam Islam (Jakarata: Republika, 2011), Hal 17.
12
Yudi Latif, Negara Paripurna (Jakarta: Gramedia, 2012), Hal 125.
13
Abd. Muid N. Islam Barat Vs Barat Merajut Identitas Yang Terkoyak (Jakarta: Ptt Nagakusuma
Media Kreatif, 2013), Hal 1.
beragama, diperlukan sikap yang terbuka dan menerima keberadaan keyakinan agama lain. 14
Alasan untuk menerima perbedaan dan tidak memaksakan agama seseorang kepada yang lain
sangat sederhana, bahwa keberadaan agama yang dianut itu sama halnya dengan orang lain
yang sama-sama memiliki truth claim(klaim kebenaran). Yang paling esensial adalah bahwa
keyakinan terhadap agama adalah bagian yang paling personal, individual, eksklusif,
tersembunyi dari manusia, dan karena itu tidak ada kekuatan apapun selain kekuasaan Tuhan
yang bisa memaksa suatu keyakinan beragama.

Al-Qur’an menawarkan sebuah solusi dalamkehidupanberagama yang disebut dengan


konsepwasathiyah(moderasi beragama). Sebuah ajaran islam yang bukan sekedar urusan atau
kepentingan orang per orang, melainkan juga urusan dan kepentingan setiap kelompok dan umat,
kepentingan negara, dan masyarakat. Lebih-lebih dewasa ini, aneka ide telah masuk ke dalam
rumah kita tanpa izin dan aneka kelompok -yang ekstrem atau lawantelah menampakan
wajahnya disertai dengan dalih-dalih agama yang penafsiran sangat jauh dari inti Islam. 15

Rasulullah saw. mengajarkan agama Islam yang selaras dengan nilai-nilai


kemanusiaan, sesuai fitrah manusia. Islam yang mudah, yang indah, tidak sulit dan tidak
menakutkan. Karenanya, semua ajaran Islam dan tentunya pemahaman terhadap ajaran
Islam haruslah bersifat memudahkan dan menggembirakan. Dengan demikian semua pemahaman
keagamaan yang cenderung membelenggu, mengekang kehidupan, dan tidak memberikan
pilihan, perlu ditinjau kembali. Apakah ada kekeliruan dalam memahami teks atau keliru dalam
melihat konteks suatu teks hadir (asbabun-nuzul dan asbabul-wurud), sebab pada dasarnya
agama Islam tidak mengajarkan pemahaman dan pengamalan agama secara ekstrem, baik
ekstrem kaku maupun ekstrem kendor.

Dari Abu Hurairah, dari Nabisaw.. bersabda:‚Sungguhagama Islam ini mudah. Tidak
satupun orang yang mempersulit/memperkerasagama ini, kecuali ia akan terkalahkan. Berlaku
benarlah (dalamkata dan perbuatan),saling mendekatlah, dan gembirakanlah, sertabermohonlah
pertolongan (kepada Allah) di waktu pagi, sore, dan sedikit dari malam. 16

14
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas Atau Historitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),Hal 6.
15
M. Quraish Shihab. Wasathiyah Wawasan Tentang Moderasi Beragama (Ciputat: Lentera Hati,
2020), Hal 10-11.
16
Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Al Bukhari, Shahih Bukhari, (Kairo: Syirkah Al-Quds, 2014),Hal 29.
Keberagamaan yang lurus menuju kebenaran dan Ridha Allah serta tidak belok
menuju kebatilan dan pelanggaran. Lapang hati artinya luas pandangan dan tidak
sulit/mempersulit serta mempersempit diri sendiri sehingga membuat diri jadi tenang, damai, dan
tenteram. Lapang hati juga bermakna tidak sempit sehingga dapat memahami dan
menampung perbedaan pendapat, perbedaan madzhab, perbedaan metode berpikir yang
dengan demikian akan beragama secara inklusif atau terbuka, tidak eksklusif, selama masing-
masing mendasarkan pada dalil yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan berdasar hawa nafsu
dan pemikiran sempit.

Dari Anas bin MalikR.A.Ia berkata: Ada 3 orang datang ke rumah istri Nabisaw.. Mereka
bertanya tentang praktik ibadah Nabisaw. Ketika diberi kabar tentang ibadah Nabi, mereka
saling berbincang dan menyatakan: ‚Di mana posisi kita dibanding Nabi, padahal Nabi
sudah dibersihkan dari salah dan dosa yang lalu maupun yang kemudian‛.Kemudiansalah
seorang dari merekaberkata:‚Kalau begitu aku akan shalat malam terus-menerus sepanjang
malam (tanpa tidur)‛. Yang lain berkata: ‚Aku akan berpuasa sepanjang waktu dan tidak berbuka.
Dan yang lain lagi berkata: ‚Aku akan menjauhi perempuan dan aku tidak menikah selamanya‛.
Kemudian Rasulullahsaw.. datang dan berkata: ‚Apakah kalian yang telah berkata seperti tadi
itu? Adapun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah dan menjaga
ketakwaan, namun aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, dan akupun menikah dengan
istri. Siapa yang membenci sunnah tradisiku, bukanlah golonganku‛ 17

Dalam kaitan ini hadis di atas memberi pesan jelas bahwa dalam praktik beragama
tidak dibenarkan bersikap berlebihan,tasharruf, ekstremitas, serta menafikan hak-hak jiwa
raga dan juga hak keluarga, yakni orang-orang yang menjadi tanggung jawab perlindungan
kita. Dalam praktik beragama tidak dibenarkan ghuluw dan tafrith (berlebihan mengerjakan)
dan jugaifrath(berkekurangan). Munculnya sikap berlebihan disebabkan ada kekeliruan dalam
memahami pesan utama agama, karena pada dasarnya agama itu mudah (al-dinu yusrun),
tidak ada beban sulit atau berlebih (‘adamul-haraj), dan semua diajarkan serba berangsur
(al-tadrij fi al-tasyri’). Maka dibutuhkan moderasi beragama yang menekankan pada sikap

17
Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Al Bukhari, Shahih Bukhari, (Kairo: Syirkah Al-Quds, 2014),
Hal1050.
yang saling memahami dan menghargai tingkah laku dan cara orang lain tanpa saling cela
mencela. Islam agama kasih sayang, bukan agama saling cela mencela. 18

Di dalam Islam, sikap yang di ajarkan adalah berperilaku baik kepada sesama baik itu
dengan muslim maupun non muslim. Rasulullah SAW selalu mengajarkan sikap-sikap dasar
ajaran Islam dengan akhlakul karimah, selalu mengajarkan tentang kebaikan kepada siapapun
ummat Islam tidak boleh semena-mena kepada siapapun.

C. Karakter Islam Antara Normatif dan Historis

1. Islam Normatif

Kata normatif berasal dari bahasa Inggris norm yang berarti norma ajaran, acuan, ketentuan
tentang masalah yang baik dan buruk yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
Sedangkan historitas adalah sejarah. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, W. J. S.
Poerwadaminta mengatakan sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada
masa lampau atau peristiwa penting yang benar-benar terjadi. 19

Karakteristik normatif yang dimaksud yaitu karakteristik yang memandang agama dari segi
ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya terdapat penalaran manusia.
Sedangkan karakteristik historis yaitu ilmu yang didalamnya membahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.

Dalam wacana studi agama kontemporer, fenomena keberagamaan manusia dapat dilihat
dari berbagai sudut pendekatan. Ia tidak lagi hanya dapat dilihaht dari sudut dan semata-mata
terkait dengan normativitas ajaran wahyu, tetapi ia juga dapat dilihat dari berbagai sudut dan tekait
erat dengan historitas pemahamann dan interpretasi orang atau kelompok terhadap norma-norma
ajaran agama yang dipeluknya, serta amalan dan praktek-praktek ajaran agama yang dilakukannya
dalam kehidupan sehari-hari.20

18
Budi Syhartawan, Wawasan Al-Qur’an Tentang Modrasi Beragama, STIQ Ar-Rahman, Ulumul Qur’an:
Jurnal Kajian Ilmu Al-Qyr’an dan Tafsir, Vol. 1 No. 2, September 2021. Hal. 52.
19
John M. Echlos dan Hasan Sadiliy, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979), Hal 586.
20
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas dan Historitas,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999), Hal 5.
2. Islam Historis

Pengertian asal kata sejarah berasal dari bahasa Arab Syajjarah yang artinya pohon, istilah
berkaitan dengan kenyataan, bahwa sejarah menyangkt tentang pohon genealogis (Syajarat al-
nasab), yang dalam masa disebut sejarah keluarga (Family history) atau kata kerja syajara juga
mempunyai arti to happen, to occurred dan to develop. Dalam perkemkembangannya sejarah
mempunyai makna yang sama dengan tarikh (Arab), istora (Yunani), history atau geschichre
(Jerman), yang secara sederhana berarti kejadian-kejadian menyangkut manusia pada masa
silam.21

Dalam memaknai kata historis para sejarawan memiliki pendapat yang bergam, Edward
Freeman, misalnya menyatakan historis adalah politik masa lampau. Sementara Ernest Berneheim,
menyebut historis sebagai ilmu tentang perkembangan manusia dalam upaya-upaya mereka
sebagai makhluk sosial.22 Dan menurut Hasan, historis atau tarikh adalah suatu seni yang
membahas tentang kejadian-kejadian waktu dari segi spesifikasi dan penentuan waktunya,
temanya manusia dan waktu, permasalahnnya adalah keadaan yang menguraikan bagian-bagian
ruang lingkup situasi yang terjadi pada manusia dalam suatu waktu. 23

Sedangkan pendekatan historis yang lebih bersifat historis, menuduh corak pendekatan
normatif sebagai jenis pendekatan dan pemahaman keagamaan yang cenderung bersifat absolutis,
lantaran cenderung mengabsolutkan teks yang sudah tertulis tanpa berusaha memahami lebih dulu
apa sesungguhnnya yang melatarbelakangi berbagai teks keagamaan yang ada.

Istilah yang hampir sama dengan islam normatif dan islam historis adalah islam sebagai
wahyu dan islam sebagai produk sejarah. Sebagai wahyu islam didefinisikan sebagaimana ditulis,
yang artinya: wahyu illahi yanh diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW untuk kebahagiaan
kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan islam historis atau islam sebagai produk sejarah adalah
islam yang diapahami dan islam yang dipraktekan kaum muslimin mulai dari masa Nabi
Muhammad SAW sampai sekarang. Nasr Hamid Abu Zaid mengelompokkan islam normatif dan
historis menjadi tiga wilayah (domain).

21
Nasution,Harun, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Bandung:
Purjalit dan Nuansa, 1998), Hal.119.
22
Ibid, Harun Nasution, Hal. 119.
23
Hasan Usman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Departemen Agama, 1986), Hal.46.
Wilayah teks asli islam (the original text of islam), yaitu Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi
Muhammad yang otentik. Kedua, pemikiran islam merupakan ragam menafsirkan terhadap teks
asli islam, dapat juga disebut dengan hasil ijtihad. Ketiga, praktek yang dilakukan kaum muslimin,
praktek ini muncul dalam berbagai macam dan bentuk sesuai dengan latar belakang social.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan diatas dapat kita ketahui bahwa sumber ajaran islam primer berupa Al-
Qur‟an dan Hadis, dan sumber ajaran islam sekunder berupa ijtihad. Apabila didalam Al-Qur‟an
masih belum terperinci atau masih belum jelas hukum yang terkandung maka Hadist sebagai
penjelas bagi hukum yang belum jelas yang terdapat didalam Al-Qur‟an.

Adapun ijtihad digunakan sebagai sumber pendukung untuk mendapatkan hukum, bila
didalam Al-Qur‟an dan Hadits tidak ditemui. Konsep dasar ajaran islam adalah seluruh alam
semesta diciptakan oleh Allah SWT yang merupakan Tuhan dan penguasa alam semesta, dan Allah
pula yang mencukupinya. Allah SWT telah m enentukan kode kehidupan tertentu yang paling baik
bagi manusia. Sifat dasar Islam diantaranya adalah Kesederhanaan, rasionalitas, dan praktis,
Kesatuan antara materi dan rohani, Sebuah cara hidup yang lengkap, Keseimbangan antara pribadi
dan masyarakat dan Universalitas dan Humanisme. Karakteristik normatif yaitu karakteristik yang
memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya terdapat
penalaran manusia.

Sedangkan karakteristik historis yaitu ilmu yang didalamnya membahas berbagai peristiwa
dengan memperhatikan unsur Istilah yang hampir sama dengan islam normatif dan islam historis
adalah islam sebagai wahyu dan islam sebagai produk sejarah. Sebagai wahyu islam didefinisikan
sebagaimana ditulis, yang artinya: wahyu illahi yanh diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW
untuk kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan islam historis atau islam sebagai
produk sejarah adalah islam yang diapahami dan islam yang dipraktekan kaum muslimin mulai
dari masa Nabi Muhammad SAW sampai sekarang.
DAFTAR PUSTAKA

Hardiono, Sumber Etika Dalam islam, UIN Yogyakarta, Jurnal Al-Aqidah: Jurnal Aqidah Ilmu
Filsafat, Vol. 2. No. 2, (Desember 2020)

Muannif Ridwan, M. Hasbi Umar, Dan Abdul Ghafar, Sumber-Sumber Hukum Islam Dan
Impelementasinya, Borneo: Journal of Islamic Studies, Vol.1. No. 2. ( Januari-Juni )

Nasrullah, Karakteristik Ajaran Islam Perspektif Unity And Diversity Of Religion, TAJDID:
Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan, Vol. 3. No. 2, ( Oktober 2019)

Siska Lis Sulistiani, Perbandingan Sumber Hukum Islam, TAHKIM Jurnal Peradaban dan
Hukum Islam. Vol. 1 No. 1 (Maret, 2018)

Ali Anwar Yusuf, Islam dan Sains Modern: Sentuhan Islam Terhadap Berbagai Disiplin Ilmu,
(Bandung: Pustaka Setia, 2006),

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994),

Nurhasanah Bakhitiar Anwar, Metodologi Studi Islam, Cahaya Fitdaus, 2016

Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, tt.),

Satria Effendi, M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Fajar Interpratama Offiset, 2009)

Muhammad Mutawali Al-Sya’rawi, Jihad Dalam Islam (Jakarata: Republika, 2011),

Yudi Latif, Negara Paripurna (Jakarta: Gramedia, 2012),

Abd. Muid N. Islam Barat Vs Barat Merajut Identitas Yang Terkoyak (Jakarta: Ptt
Nagakusuma Media Kreatif, 2013)

Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas Atau Historitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996),

M. Quraish Shihab. Wasathiyah Wawasan Tentang Moderasi Beragama (Ciputat: Lentera


Hati, 2020)
Budi Syhartawan, Wawasan Al-Qur’an Tentang Modrasi Beragama, STIQ Ar-Rahman, Ulumul
Qur’an: Jurnal Kajian Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 1 No. 2, September 2021

John M. Echlos dan Hasan Sadiliy, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979)

Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas dan Historitas,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999),

Nasution,Harun, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antardisiplin Ilmu,


(Bandung: Purjalit dan Nuansa, 1998)

Hasan Usman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Departemen Agama, 1986)

Anda mungkin juga menyukai