Anda di halaman 1dari 11

KEDUDUKAN HADITS DALAM SYARIAT ISLAM DAN FUNGSI

HADITS TERHADAP AL-QUR’AN

Wamin Tahil
T.MPI.1.2023.018
Institut Agama Islam Syekh Maulana Qori Bangko
E-mail: muhammadtahir4261@gmail.com

Abstract
Al-Qur’an and hadith are two important things as way of life and source of law
for Muslims, the position of the al-Qur’an as the main source of law and the first
for the provision of Islamic law, and the hadith is present as the second source of
law with the aim of clarify the meanings of what is in Al-Qur’an, because al-
Qur’an only provides an outline and general guidance only. So this article will
discuss about the functions of the hadith of the Prophet Muhammad SAW towards
the Qur’an. The research method used in this paper is the literature method
(library research) with the data sources used are books as primary data and articles
of secondary data. The results of this study indicate that the hadith is present as
lil-bayan (explaining) the meaning of the verses contained in the Qur’an which
consists of bayan al-takid (clarifying the contents of the Al-Qur’an), bayan al-
tafsir (interpreting the contents of Al-Qur’an), and bayan al-tasyri (giving
certainty of Islamic law that is not in the Al-Qur’an).

Keywords: Position, Function of Hadith, Al-Qur'an.

Abstrak
Al-Qur'an dan hadis merupakan dua hal penting sebagai pedoman hidup dan
sumber hukum bagi umat Islam, kedudukan al-Qur'an sebagai sumber hukum
yang utama dan yang pertama sebagai bekal hukum Islam, dan hadis. hadir
sebagai sumber hukum kedua dengan tujuan untuk memperjelas makna apa yang
ada dalam Al-Qur'an, karena al-Qur'an hanya memberikan garis besar dan
pedoman umum saja. Maka artikel kali ini akan membahas tentang fungsi hadis
Nabi Muhammad SAW terhadap Al-Qur'an. Metode penelitian yang digunakan
dalam penulisan ini adalah metode kepustakaan (library study) dengan sumber
data yang digunakan adalah buku-buku sebagai data primer dan artikel-artikel
sebagai data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hadits hadir
sebagai lil-bayan (menjelaskan) makna ayat-ayat yang terkandung dalam Al-
Qur'an yang terdiri dari bayan al-takid (menjelaskan isi Al-Qur'an), bayan al-tafsir
(menafsirkan isi Al-Qur'an), dan bayan al-tasyri (memberikan kepastian hukum
Islam yang tidak ada dalam Al-Qur'an).

Kata Kunci: Kedudukan, Fungsi Hadits, Al-Qur'an.

1
PENDAHULUAN
Dalam menjalani kehidupannya manusia di tuntut membutuhkan berbagai
macam pengetahuan. Di antara berbagai macam pengetahuan tersebut bersumber
dari dua hal, yaitu sumber aqli dan sumber naqli. Pilar dari sebagian besar ilmu
pengetahuan yang di butuhkan oleh manusia baik itu dalam agama maupun secara
khusus harus bersumber pada sifat naqli ini. Dalam hal ini Al-Qur’an dan Hadist
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadi sumber yang sangat otentik bagi
umat Islam.1
Al-Qur’an jika di misalkan sebagai suatu surat dari atasan, maka untuk
memahami makna isinya secara detail agar tidak menyebabkan kekeliruan saat
akan meneruskannya kepada yang bersangkutan adalah orang yang kedua, yaitu
adalah Nabi Muhammad SAW. Maka Beliau-lah yang menafsirkan al-Qur’an,
maka hal itu yang di sebut dengan suatu hadist, kadangkala tidak hanya sebagai
tafsiran, hadist juga mengadung hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-
Qur’an.2
Hadist yang merupakan penasifran terhadap al-Qur’an dalam praktik
maupun penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal adalah salah satu sumber
ajaran Islam selain Al-Qur’an. Di katakan seperti itu karena kepribadian Nabi
Besar Muhammad SAW adalah bentuk perwujudan dari Al-Qur’an yang di
tafsirkan untuk umat manusia dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Hal ini
berdasarkan pada beberapa argumentasi, baik itu dari dalil aqli ataupun naqli,
yang tersurat dalam hadist nabi maupun dari nash Al-Qur’an.
Umat Islam mungkin tidak bisa memahami syariat-syariat Islam secara
lengkap dan dalam tanpa kedua sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an dan hadist.
Di karenakan kedua sumber hukum tersebut memberikan penjelasan bahwa hadist
Rasulullah SAW adalah sumber hukum ajaran Islam selain al-Qur’an yang harus
dikuiti oleh umat, baik itu dalam bentuk perintahnya dan larangannya. Hadist
menempati kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu bentuk sumber
ajaran Islam yang telah disepakati seluruh umat Islam tanpa terkecuali setelah Al-
1
Syaikh Manna Al-Qarhthan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar), 2004, 19
2
Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), 14

2
Qur’an. Keharusan mengikuti hadist sama wajibnya dengan keharusan mengikuti
Al-Qur’am, di karenakan jika tanpa menguasai dan memahami hadist maka tidak
mungkin akan bisa juga memahami Al-Qur’an. Begitu juga dengan sebaliknya,
seseorang tidak bisa memahami suatu hadist tanpa memahami Al-Qur’an terlebih
dahulu, Karenakan Al-Qur’an adalah dasar hukum yang pertama yang di
dalamnya mengandung sebagian garis besar syariat Islam, maka hadist merupakan
dasar hukum yang kedua, di karenakan di dalamnya berisi penjabaran atau
penjelasan tentang Al-Qur’an. Maka dengan demikian, hubungan antara Al-
Qur’an dan hadist memiliki keterkaitan yang sangat erat antara satu sama lain dan
tidak bisa di pisahkan salah satunya atau berjalan dengan sendiri-sendiri.3
Tujuan di turunkannya kitab suci Al-Qur’an oleh Allah SWT bukan tanpa
sebab, tujuannya agar dapat di pahami oleh umat manusia, maka dari itu
Rasulullah SAW di tugaskan untuk menjelaskan makna beserta kandung dan tata
cara melaksanakan ajarannya kepada umat melalui hadistnya. Untuk menjelaskan
hal-hal yang maknya masih bersifat umum atau global yang terdapat dalam al-
Qur’an maka fungsi dari suatu hadist merupakan bentuk penjelasan yang lebih
jelas atau terperinci dalam hal penerapannya sebagai bentuk kaidah dan petunjuk
dalam kehidupan umat manusia.
METODE
Metode penelitian yang di gunakan dalam tulisan ini adalah dengan
menggunakan metode riset kepustakaan (Library Research). Suatu serangkaian
kegiatan yang berkaitan dengan metode pengumpulan data pustaka baik itu
membaca, mencatat, maupun mengolah suatu data menjadi bahan penelitian itu
disebut dengan studi pustaka atau riset pustaka.
Sumber data yang di gunakan dalam tulisan ini berupa sumber data primer
dan sekunder. Referensi dari buku-buku beserta artikel-artikel yang menyangkut
dengan ulumul hadist maupun studi hadist yang pembahasannya mengarah kepada
fungsi dari suatu hadis terhadap ayat-ayat Al-Qur’an menjadi sumber data primer
dan sekunder.

3
M. Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia), 2009,
73

3
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hadits Dalam Syariat Islam
Kedudukan Hadis Sebagai Sumber Syariat Islam Hadis memiliki
kedudukan yang sangat urgen bagi umat Islam. Hadis merupakan sumber
hukum kedua dalam syariat Islam atau sumber setelah Al-Quran. Yusuf Musa
menyatakan sejak abad pertama seluruh umat Islam menempatkan hadis
sebagai peringkat pertama sesudah Al-Quran dan sekaligus sebagai rujukan
semua urusan keagamaan. Al-Quran akan sulit dipahami tanpa intervensi hadis,
karena Al-Quran mayoritas bersifat mujmal (global), maka tidak mungkin
menggunakan Al-Quran tanpa mengambil hadis sebagai landasan hukum dan
pedoman hidup.
Ditinjau dari segi kekuatan di dalam penentuan hukum, otoritas Al-
Quran lebih tinggi satu tingkat daripada otoritas Hadis, karena Al-Quran
mempunyai kualitas qat’i baik secara global maupun terperinci. Sedangkan
hadis berkulitas qath’i secara global dan tidak secara terperinci artinya qat’i
yang mutawatir dan zanni yang ahad.4 Sebagaimana pernyataan ‘Ajjaj al-
Khatib, Al-Quran dan hadis merupakan dua sumber hukum Islam yang
permanen.5 Sunnah adalah sumber sendiri dan berdiri sendiri. Kedudukan hadis
yang demikian istimewa, telah benar-benar berkenan di hati umat Islam,
artinya umat Islam menerima sebagai hukum atau ajaran Islam dari waktu ke
waktu, dan hampir tidak ada yang mempersoalkannya, kecuali sekelompok
kecil yang dikenal dengan sebutan ingkarus sunnah yang menolak hadis
sebagai sumber hukum, meskipun berbeda-beda penolakannya. Ada yang
secara keseluruhan adan yang hadis ahad saja.6
Kaitannya kedudukan Al-Quran dan adis merupakan sumber dalam
syariat Islam, juga keduanya sulit dipisahkan karena keduanya adalah wahyu,
hanya saja Al-Quran merupakan wahyu matlu (wahyu yang dibacakan oleh
Allah SWT, baik redaksi maupun maknanya, kepada Nabi Muhammad SAW

4
Yusuf Al Qardhawi, Pengantar Studi hadits. Bandung: Pustaka Setia, 2007, hal. 105.
5
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis. Malang: UIN Malang
Press, 2008, hal. 17.
6
M. Alawi Al Maliki, Ilmu Ushul Hadits . Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal. 10.

4
dengan menggunakan bahasa Arab) dan hadis wahyu ghoiru matlu (wahyu
yang tidak dibacakan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW secara
langsung, melainkan maknanya dari Allah dan lafalnya dari Nabi Muhammad
saw).
Rasulullah saw adalah orang yang setiap perkataan dan perbuatannya
menjadi pedoman bagi manusia. Karena itu beliau ma’shum (senantiasa
mendapat petunjuk Allah SWT). Dengan demikian pada hakikatnya Sunnah
Rasul adalah petunjuk yang juga berasal dari Allah. Kalau Al-Qur’an
merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi maupun
redaksinya langsung diwahyukan Allah, maka Sunnah Rasul adalah petunjuk
dari Allah yang di ilhamkan kepada beliau, kemudian beliau
menyampaikannya kepada umat dengan cara beliau sendiri, sebagaimana QS.
An-Nahl : 44:

‫ِباْلَب ِّي ٰن ِت َو الُّز ُبِۗر َو َاْن َز ْلَن ٓا ِاَلْي َك الِّذ ْك َر ِلُتَب ِّي َن ِللَّن اِس َم ا ُنِّز َل ِاَلْي ِه ْم َو َلَع َّلُهْم َي َتَفَّك ُرْو َن‬
Artinya: “(mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-
keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan Ad-Dzikr (Al-
Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan”.(Q.S An-Nahl : 44)
Ayat diatas menjelaskan bahwa sunnah/ hadis merupakan penjelasan
Al-Quran. Sunnah itu diperintahkan oleh Allah untuk dijadikan sumber hukum
dalam Islam. Dengan demikian, sunnah adalah menjelaskan Al-Quran,
membatasi kemutlakannya dan mentakwilkan kesamarannya. Allah
menetapkan bahwa seorang mukmin itu belum dapat dikategorikan beriman
kepada Allah sebelum mereka mengikuti segala yang diputuskan oleh
Rasulullah SAW dan dengan putusannya itu mereka merasa senang.
Para ulama sepakat baik ulama Ahlur Ra’yi, maupun Ahlul Atsar
menetapkan bahwa: hadits itulah yang bertindak mensyarahkan dan
menjelaskan Al-Quran. Namun pada keduanya yaitu Ahlur Ra’yi dan Ahlul
Atsar terdapat perbedaan, menurut M. Hasby Ass shidiqy. Menurut pendapat
fuqaha Ahlur Ra’yi, sesuatu titah Al-Quran yang khash madlulnya, tidak
memrlukan lagi kepada penjelasan As sunah. As sunnah yang datang mengenai

5
titah khash itu ditolak, dihukum menambah, tidak diterima, terkecuali sama
kekuatannya dengan ayat itu sedangkan Ahlul Atsar berpendapat, bahwa segala
hadits yang shahih mengenai masalah yang diterangkan Al-Quran harus
dipandang menjelaskan Al-Quran mentakhsishkan umum Al-Quran dan
mengqayidkan mutlaq Al-Quran.
Sudah jelaslah bahwa Al-Quran dan Al hadits merupakan dua sumber
syariat yang tidak bisa dipisahkan, sehingga keduanya saling berkaitan satu
sama lainnya.7
B. Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an
Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber dan hukum-
hukum dan ajaran islam, antara satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan
utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh
karena itu kehadiran hadis, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk
menjelaskan (bayan) keumuman isi Al-Qur’an tersebut. Allah SWT
menurunkan Al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat dipahami
oleh manusia, maka Rasulallah SAW. diperintahkan untuk menjelaskan
kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melaluai
hadis-hadisnya.8
Dimasa Rasulallah SAW. masih hidup, para sahabat mengambil
hukum-hukum Islam (syariat) dari al-Qur’an yang mereka terima dan
dijelaskan oleh Rasulallah SAW.Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, hadis
berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas dari ayat-ayat Al-Qur’an
tersebut.
C. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an secara umum adalah untuk
menjelaskan makna kandungan Al-Qur’an yang sanagat dalam dan global atau
li al-bayan (menjelaskan) sebagaimana firman Allah SWT dalam surah An-
Nahl: 44]:

7
Daniel Junet, Ilmu Hadits. Jakarta: Erlangga, 2010, hal. 50
8
Mudakir AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor : Pustaka Litera antar Nusa, 2007, hal. 1.

6
‫ِباْلَب ِّي ٰن ِت َو الُّز ُبِۗر َو َاْن َز ْلَن ٓا ِاَلْي َك الِّذ ْك َر ِلُتَب ِّي َن ِللَّن اِس َم ا ُنِّز َل ِاَلْي ِه ْم َو َلَع َّلُهْم َي َتَفَّك ُرْو َن‬
Artinya: "Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
dan supaya mereka memikirkan." (Q.S. An-Nahl: 44).
Namun kemudian para 'ulama hadits merincinya menjadi 4 fungsi
hadits terhadap Al-Qur'an yang intinya adalah sebagai penjabaran, dalam
bahasa ilmu hadits disebut sebagai bayan, fungsi hadits terhadap Al-Qur'an
secara detail ada 4, yaitu:9
1. Sebagai Bayanul Taqrir
Dalam hal ini posisi hadits sebagai taqrir (penguat) yaitu
memperkuat keterangan dari ayat-ayat Al-Qur'an, dimana hadits
menjelaskan secara rinci apa yang telah dijelaskan oleh Al-Qur'an, seperti
hadits tentang sholat, zakat, puasa dan haji, merupakan penjelasan dari
ayat sholat, ayat zakat, ayat puasa dan ayat haji yang tertulis dalam Al-
Qur'an10.
Nabi SAW besabda:

‫إّناهلل يمل للظا لم فاذا أخذه لم يقتله‬


“sesungguhnya Allah SWT memanjangkan kesempatan kepada
orang-orang zalim, apa’bila Allah menghukumnya maka Allah tidak akan
melepasnya”
Hadist tersebut cocok dengan firman Allah SWT:
‫َش ِد ْي ٌد‬ ‫َو َك ٰذ ِلَك َاْخ ُذ َر ِّب َك ِاَذ ٓا َاَخ َذ اْلُقٰر ى َو ِهَي َظ اِلَم ٌة ۗ ِاَّن َاْخ َذٓٗه َاِلْي ٌم‬

“Dan begitulah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa (penduduk)


negeri-negeri yang berbuat zalim. Sungguh, siksa-Nya sangat pedih,
sangat berat.”.(Q.S. Hud: 102)

2. Sebagai Bayanul Tafsir


9
Badri Khaeruman, Ulum Al Hadis . Bandung: Pustaka Setia, 2009, hal. 46.
10
Abdur Rahman Asjmuni, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis. Yogyakarta:
LPPI, 1996, hal. 61-62.

7
Dalam hal ini hadits berfungsi sebagai tafsir Al-Qur'an. Hadits
sebagai tafsir terhadap Al-Qur'an terbagi setidaknya menjadi 3 macam
fungsi, yaitu:
a. Sebagai Tafshilul Mujmal
Dalam hal ini hadits memberikan penjelasan terperinci terhadap
ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum, sering dikenal dengan istilah
sebagai bayanul tafshil atau bayanul tafsir. Contoh: ayat-ayat Al-Qur'an
tentang sholat, zakat, puasa dan haji diterangkan secara garis besar saja,
maka dalam hal ini hadits merincikan tata cara mengamalkan sholat,
zakat, puasa dan haji agat umat Muhammad dapat melaksanakannya
seperti yang dilaksanakan oleh Nabi11.
b. Sebagai Takhshishul 'Amm
Dalam hal ini hadits memperkhusus ayat-ayat Al-Qur'an yang
bersifat umum, dalam ilmu hadits sering dikenal dengan istilah bayanul
takhshish. Seperti dalam Q. S. An-Nisa': 11:

‫ُيوِص يُك ُم ُهَّللا ِفي َأْو اَل ِد ُك ْم ۖ ِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُأْلْنَثَيْيِن‬
Artinya: "Allah mensyariatkan bagimu tentang anak-anak,
yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak
perempuan".
Allah berfirman tentang haq waris secara umum saja, maka di
sisi lain hadits menjabarkan ayat ini secara lebih khusus lagi tanpa
mengurangi haq-haq waris yang telah bersifat umum dalam ayat
tersebut.
3. Sebagai Bayanul Muthlaq
Hukum yang ada dalam Al-Qur'an bersifat mutlak amm (mutlak
umum), maka dalam hal ini hadits membatasi kemutlakan hukum dalam
Al-Qur'an. Seperti dalam Q. S. Al-Maidah: 38:

‫َو الَّساِر ُق َو الَّساِر َقُة َفاْق َط ُع ْٓو ا َاْي ِدَي ُهَم ا َج َز ۤا ًۢء ِبَم ا َك َسَب ا َنَك ااًل ِّم َن ِهّٰللاۗ َو ُهّٰللا‬
‫َع ِز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬
11
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis. Jakarta: AMZAH, 2012, hal. 18.

8
Artinya: “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan
yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah
Mahaperkasa, Mahabijaksana.".
Di firmankan Allah tentang hukuman bagi pencuri adalah potong
tangan, tanpa membatasi batas tangan yang harus dipotong, maka hadits
memberi batasan batas tangan yang harus dipotong12.
4. Sebagai Bayanul Naskhi
Dalam hal ini hadits berfungsi sebagai pendelete (penghapus)
hukum yang diterangkan dalam Al-Qur'an. Seperti dalam Q. S. Al-
Baqarah: 180:

‫ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِاَذ ا َحَض َر َاَح َد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِاْن َتَر َك َخْيًراۖ ۨ اْلَو ِص َّيُة ِلْلَو اِلَد ْيِن‬
‫ۗ َو اَاْلْقَر ِبْيَن ِباْلَم ْع ُرْو ِۚف َح ًّقا َع َلى اْلُم َّتِقْيَن‬.
Artinya: "Diwajibkan atas kam, apabila seorang di antara kamu
kedatangan maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, kewajiban atas
orang-orang yang bertaqwa".
Allah mewajibkan kepada orang yang akan wafat memberi wasiat,
kemudian ayat diatas di naskh dengan hadits Nabi:

‫اّن هللا قد أعطى كّل ذي حٍّق حّقه وال وصّية لو ارث‬


“sesungguhnya Allah memberikan hak kepada setiap yang mempunyai hak
dan tidak ada wasiat itu wajib bagi waris13”

5. Sebagai Bayanul Tasyri'

12
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006,
hal. 9-10.
13
Mohammad Nor Ichwan,Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Semarang: Rasail Media Group,
2013, hal. 90-91.

9
Dalam hal ini hadits menciptakan hukum syari'at yang belum
dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an14. Contoh untuk bagian ini yaitu
hadits Rasulullah SAW tentang zakat fitrah Artinya: “bahwasannya
Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat islam pada
bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik
merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan”.
Dengan demikian sesuai dengan Al-Qur’an, firman Allah SWT:

‫ُخ ْذ ِم ْن َاْم َو اِلِه ْم َص َد َقًة ُتَط ِّهُرُه ْم َو ُتَز ِّك ْي ِه ْم ِبَه ا َو َص ِّل َع َلْي ِه ْۗم ِاَّن َص ٰل وَت َك‬
‫َس َك ٌن َّلُهْۗم َو ُهّٰللا َسِم ْيٌع َع ِلْي ٌم‬
“apabila zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka”(Q.S. Al-Taubah: 103)
Bahwasannya hadis-hadis Rasulullah SAW yang berupa tambahan
terhadap Al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati,
tidak boleh menolak atau mengingkarinya dan ini bukanlah sikap
mendahului Al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya.
KESIMPULAN
Sebagai sumber dari ajaran agama Islam al-Qur’an dan Hadist memiliki
suatu hubungan yang erat dan tidak mungkin bisa di pisahkan di antara keduanya,
karena fungsi yang di perankan oleh hadist terhadap al-Qur’an, dengan kata lain
hadist merupakan sumber hukum ajaran Islam kedua setelah a-Qur’an. Karena
kedudukan hadist sebagai sumber hukum kedua maka kewajiban untuk
mengamalkannya bukan semata-semata karena di perintahkan, tetapi juga karena
suatu kebutuhan umat Islam itu sendiri kepadanya sangat lah besar.
Fungsi utama hadist terhadap Al-Qur’an sangatlah penting, karena pada
dasarnya hadist memiliki memiliki fungsi untuk menjelaskan makna atau
kandungan ayat-ayat Al-Qur’an yang sangat dalam dan global. Maka dari itu
hadist hadir sebagai lil-bayan (menjelaskan) makna dari ayat-ayat yang terdapat
dalam al-Qur’an. Maka dari itu, fungsi dari terhadap al-Qur’an di kelompokan
menjadi beberapa macam bagian .
14
Abdur Rahman Asjmuni, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis. Yogyakarta:
LPPI, 1996, hal. 66-67.

10
Bayan yang pertama adalah bayan al-takid yaitu hadist yang berfungsi
untuk memperkuat dan memperkokoh pernyataan dari Al-Qur’an. Berdasarkan
pengertian tersebut, hadist mengulangi apa yang di jelaskan dalam Al-Qur’an,
karena fungsi hadist ini hanya memperkokoh dan memperkuat isi kandungan yang
ada dalam Al-Qur’an saja. Di kenal dengan istilah bayan al-ta’kid karena fungsi
hadis ini hanya untuk menjelaskan dan sebagai penguat dari apa yang sudah ada di
dalam Al-Qur’an.
Bayan yang kedua adalah bayan al-tafsir yaitu fungsi hadis yang
memberikan penjelasan tafsiran terhadap ayat Al-Qur’an, bayan ini terbagi
menjadi beberapa bagian. Pertama adalah bayan al-tafsir mujmal yaitu hadist
yang menjelaskan ayat Al-Qur’an yang maknanya masih bersifat mujmal. Kedua
adalah bayan al-tafsir taqyid yaitu hadits yang fungsinya membatasi terhadap ayat
al-Qur’an yang maknanya bersifat mutlak, dan yang ketiga adalah bayan al-tafsir
takhsis yaitu hadits yang fungsinya mengkhusukan ayat Al-Qur’an yang
bermakna bersifat umum.
DAFTAR PUSTAKA
As, Mudakir. 2007. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor : Pustaka Litera antar Nusa.
Khaeruman, Badri. 2009. Ulum Al-Hadis . Bandung: Pustaka Setia
Asjmuni, Abdur Rahman. 1996. Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis.
Yogyakarta: LPPI.
Khon, Abdul Majid. 2012. Ulumul Hadis. Jakarta: AMZAH.
Al-Maliki, Muhammad Alawi. 2006. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ichwan, Mohammad Nor. 2013. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Semarang: Rasail
Media Group.
Al-Qardhawi, Yusuf. 2007. Pengantar Studi hadits. Bandung: Pustaka Setia.
B. Smeer, Zeid. 2008. Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis. Malang:
UIN Malang Press.
Junet, Daniel. 2010. Ilmu Hadits. Jakarta: Erlangga

11

Anda mungkin juga menyukai