Anda di halaman 1dari 436

Purwa Atmaja Prawira

PSIKOLOGI
PENDIDIKAN dalam
PERSPEKTIF BARU
PSIKOLOGI PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF BARU

Purwa Atmaja Prawira

Editor: Aziz Safa


Proofreder: Nurhid
Desain Cover: TriAT
Desai Isi: Maarifjpr

Penerbit:
AR-RUZZ MEDIA
Jl. Anggrek 126 Sambilegi, Maguwoharjo,
Depok, Sleman, Jogjakarta 55282
Telp./Fax.: (0274) 488132
E-mail: arruzzwacana@yahoo.com

ISBN: 978-979-25-4903-4

Cetakan I, 2012

Didistribusikan oleh:

AR-RUZZ MEDIA
Telp./Fax.: (0274) 4332044
E-mail: marketingarimz@yahoo.co.id

Perwakilan:
Jakarta: Telp./Fax.: (021) 7816218
Malang: Telp./Fax.: (0341) 568439

PerpustakaanNasional: KatalogDalamTerbitan(KDT)
Prawira, Purwa Atmaja
Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru/Purwa Atmaja Prawira-Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012
448 hlm, 14,8X21 cm
ISBN: 978-979-25-4903-4
1. Pendidikan
I. Judul II. Purwa AtmajaPrawira
PENGANTAR PENERBIT

K iranya sudah hampir tiap hari kita disuguhi tontonan dan


pemberitaan, baik di televisi maupun surat kabar, ihwal tawuran
antarpelajar, keterlibatan pelajar dalam penyalahgunaan narkoba,
perilaku seks bebas di kalangan pelajar, dan pelajar keluyuran saat jam sekolah
berlangsung alias membolos. Orangtua siswa pasti tidak menghendaki kondisi
tersebut berlangsung terus-menerus. Apalagi bagi para pendidik, perilaku
tersebut jelas merupakan aib yang mencoreng profesi mereka.
Perilaku tersebut memang menuntut kepiawaian khusus para tenaga
pendidik dalam memahami proses dan perkembangan kognitif, afektif, dan
psikomotorik para pelajar. Sebab, jika perilaku tersebut tidak segera ditangani,
jangan harap para pelajar memperoleh kesuksesan di bangku sekolah dan
hidup mereka berkualitas. Untuk membantu hajat para tenaga pendidik dalam
mengembangkan pemahaman mengenai proses kependidikan tersebut, buku
Psikologi Pendidikan ini diterbitkan.
Psikologi pendidikan merupakan cabang ilmu psikologi yang
berhubungan dengan penerapan pengetahuan tentang perilaku manusia dalam
upaya pengajaran dan pembelajaran di lingkungan
pendidikan. Dari teori-teori yang termuat dalam buku ini, kita bisa belajar
bagaimana menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran,
bagaimana menghadapi perilaku siswa yang bermasalah, bagaimana
memahami gaya belajar dan berpikir siswa, bagaimana mendeteksi
kemampuan belajar siswa, bagaimana memotivasi siswa, dan seabrek uraian
tentang pendekatan behavioral, kognitif, dan sosial dalam proses
pembelajaran.
Dengan penerapan disiplin dua ilmu yang berbeda—pendidikan dan
psikologi—ini, diharapkan sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan
mampu menggodok para pelajar bisa menjadi manusia yang benar-benar
berkualitas. Rangkaian proses tersebut seyogianya dilakukan tidak hanya
untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat menggali, menemukan, dan
menempa potensi yang dimiliki, tetapi juga dapat mengembangkannya dengan
.tanpa menghilangkan karakteristik masing-masing sebagai pribadi. Selamat
membaca!

Jogjakarta, 11 November 2011


Redaksi
KATA PENGANTAR

D engan mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah, akhirnya buku


ajar ini dapat diselesaikan dan diterbitkan. Buku ini dinilai sangat
penting bagi segenap mahasiswa dalam memahami seluk-beluk
psikologi pendidikan. Pembahasan materi yang ada dalam buku ini tidak
hanya meliputi teori-teori yang lazim dikaji dalam psikologi pendidikan, tetapi
juga disertai dengan kasus-kasus yang sering ditemui dalam proses belajar
mengajar di sekolah dan dalam masyarakat pada umumnya. Dengan demikian,
pembelajaran psikologi tidak stagnan tetapi terus berkembang mengikuti
lajunya zaman. Apalagi saat ini kita hidup di era persaingan bebas,
pembelajaran psikologi dituntut untuk senantiasa up to date,tak ketinggalan
zaman.
Penulis mengakui bahwa dalam proses penulisan buku ini tidak bisa
terlepas dari kekurangsempurnaan, walaupun upaya-upaya meminimalisasi
kecacatan tersebut telah penulis usahakan secara serius dan cermat. Untuk itu,
penulis sangat berharap kepada segenap pembaca, baik mahasiswa, dosen,
maupun siapa saja yang menggunakan buku ini, untuk sudi kiranya
memberikan masukan-masukan atau saran dan kritikan demi penyempurnaan
isi buku ini dalam edisi-edisi selanjutnya.
Atas budi baik dari pembaca yang budiman, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga Tuhan Yang Maha
Esa senantiasa berkenan memberikan balasan yang setimpal dengan
sumbangsihnya yang sangat bermanfaat, terutama bagi penulis dan pembaca
yang lainnya.
Pada kesempatan ini penulis juga bermaksud mengucapkan terima kasih
dan apresiasi yang tinggi kepada istri penulis, Dra. Noer Widjajanti yang telah
dengan smartdan begitu sabarnya menemani penulis dalam menyelesaikan
tulisan buku ini. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada kedua putri
dan putra penulis, yakni Maulida Fiky Mahendrata (11 tahun) dan Haikal
Gibran Al-Yafi Mahendra (5 tahun), keduanya adalah motivator dan sumber
inspirasi yang tak pernah habis-habisnya bagi penulis untuk senantiasa
berkarya, tidak hanya buat keluarga, tetapi juga untuk segenap umat di dunia.
Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi, baik dalam penulisan,
penyusunan, diskusi, maupun saran-saran yang bersifat konstruktif dan tidak
mungkin untuk penulis sebutkan satu per satu dalam buku ini, penulis juga
hendak menyampaikan apresiasi dan ucapan terima ksih yang sebesar-
besarnya karena berkat bantuan dan doa dari merekalah karya tulis ini dapat
terselesaikan. Akhir kata, semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Jogjakarta, 1 Juli 2011 Penulis
DAFTAR ISI

PENGANTAR PENERBIT................................................................ 5
KATA PENGANTAR ........................................................................ 7
DAFTAR ISI...................................................................................... 9
BAB I SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PSIKOLOGI
PENDIDIKAN............................................................... 19
A. Pendahuluan .................................................................. 19
B. Psikologi Cabang Ilmu Filsafat ........................................ 20
C. Sejarah dan Perkembangan Psikologi Pendidikan 25
BAB II RUANG LINGKUP PSIKOLOGI PENDIDIKAN
SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN .............................. 29
A. Pendahuluan .................................................................. 29
B. Psikologi sebagai Proses Studi Profesional ..................... 31
C. Definisi Psikologi Pendidikan .......................................... 32
D. Ruang Lingkup Psikologi Pendidikan .............................. 35
E. Psikologi Pendidikan sebagai Ilmu Pengetahuan 37
F. Metode yang Digunakan dalam Psikologi Pendidikan 38
G. Sumbangan Psikologi Pendidikan terhadap Kemajuan Dunia
Pendidikan ....................................................................... 44
BAB III PRINSIP SISTEM PSIKOLOGI DAN
SUMBANGSIHNYA DALAM PENDIDIKAN ................55
A. Sistem Psikologi Daya..................................................... 56
B. Sistem Psikologi Strukturalisme...................................... 59
C. Sistem Psikologi Fungsionalisme .................................... 62
D. Sistem Psikologi Behaviorisme ....................................... 66
E. Sistem Psikologi Analisis...... ........................................... 70
F. Sistem Psikologi Gestalt ................................................. 76
BAB IV PRINSIP DASAR PERTUMBUHAN DAN
PERKEMBANGAN MANUSIA .................................... 79
A. Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia ........................ 80
B. Hereditas ............................................................................ 93
C. Hukum Perkembangan Manusia ....................................... 100
D. Kapasitas Dasar Anak dan Cara Realisasinya..................... 104
E. Manfaat bermain untuk Pertumbuhan dan
Perkembangan Anak ..........................................................107
BAB V KECERDASAN............................................................. 141
A. Pengertian Kecerdasan .................................................... 142
B. Tipe Kecerdasan Manusia................................................. 154
C. Perkembangan Kecerdasan Dewasa Ini............................ 156
D. Kecerdasan Emosi ............................................................ 164
E. Kecerdasan Spiritual ......................................................... 173
F. Atribut Kecerdasan Manusia ............................................. 176
BAB VI TEORI KECERDASAN ................................................ 181
A. Pendahuluan .................................................................... 181
B. Kemampuan Mental Dasar Individu .................................. 187
C. Klasifikasi Kecerdasan....................................................... 189
BAB VII STRUKTUR DAN HIERARKI INTELEK..................... 195
A. Pendahuluan ..................................................................... 195
B. Struktur Intelek Individu ................................................... 196
C. Hierarki Intelek Individu.................................................. .. 200
BAB VIII PERBEDAAN INDIVIDU DARI ASPEK FISIK
DAN PSIKIS ................................................................ 203
A. Pendahuluan ..................................................................... 203
B. Perbedaan Individu dari Aspek Jasmani........................... . 205
C. Perbedaan Individu dari Aspek Kejiwaan dan Perilaku ........206
D. Pengaruh Lingkungan terhadap Perkembangan
Individu ..................................................................................................... 210
E. Pengaruh Cara Mendidik Anak ........................................ .. 214
F. Gaya Mendidik Anak......................................................... 224
BAB IX HAKIKAT BELAJAR................................................... 227
A. Pendahuluan .................................................................. 227
B. Pengertian Belajar......................................................... 229
C. Kapan Saatnya Individu Memulai Belajar? ...................... 235
D. Aspek-Aspek Belajar ...................................................... 239
E. Hakikat Belajar.............................................................. 246
BAB X TEORI-TEORI BELAJAR ........................................... 251
A. Pendahuluan .................................................................. 251
B. Apakah Teori Itu? ........................................................... 251
C. Teori-Teori Belajar ......................................................... 255
BAB XI TEORI-TEORI MOTIVASI BELAJAR ......................... 325
A. Pengertian Motivasi ....................................................... 325
B. Fungsi Motivasi bagi Individu dalam Belajar ................... 326
C. Klasifikasi Motif pada Individu........................................ 328
D. Konsep Motif dan Perkembangannya ............................ 329
E. Teori Insting dan Teori Dorongan................................... 332
F. Teori Reduksi Dorongan................................................. 335
G. Teori Kebutuhan ........................................................... 336
H. Teori-Teori Motivasi....................................................... 337
I. Teori Motivasi dari Murray ............................................. 343
J. Teori Motivasi Hasil (Product) ........................................ 344
K. Teori Motivasi dari Psikoanalisis..................................... 347
L. Teori Motivasi Intrinsik................................................... 348
M. Teori Motivasi Belajar .................................................... 350
BAB XII PENYESUAIAN DIRI DAN KESEHATAN
MENTAL INDIVIDU ..................................................... 359
A. Penyesuaian Diri ............................................................ 361
B. Kesehatan Mental Individu............................................. 378
BAB XIII PENGUKURAN DAN PENILAIAN
KEMAMPUAN PSIKIS INDIVIDU ............................... 411
A. Konsep Pengukuran dan Penilaian terhadap Sesuatu Objek 413
B. Tes Psikis Individu .......................................................... 419
C. Tes Skolastik di Sekolah/Perguruan Tinggi..................... 429
DAFTAR PUSTAKA..................................................................... 437
INDEKS ......................................................................................... 447
PROFIL PENULIS ......................................................................... 451
Bab I
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
PSIKOLOGI PENDIDIKAN

A. Pendahuluan
Proses pendidikan sesungguhnya telah berlangsung semenjak bayi
manusia dilahirkan ke dunia. Semenjak seseorang dilahirkan telah
tersentuh pendidikan yang diberikan oleh orangtuanya. Sesederhana apa
pun bentuk pendidikan yang diberikan oleh orangtua kepada anak yang
dilahirkannya, pastilah telah terjadi transfer nilai-nilai pendidikan pada
anak tersebut.
Kita memercayai manusia tertua di dunia adalah Hawa dan Adam
yang diturunkan oleh Sang Pencipta dari surga ke dunia ini. Semenjak
Adam dan Hawa itulah proses pendidikan mulai berlangsung pada
manusia. Suatu perkecualian, pendidikan yang diterima Adam dan Hawa
tersebut tentunya berasal dari Sang Pencipta yang telah menurunkan
keduanya ke dunia. Dengan begitu, umur pendidikan sudah sedemikian
tuanya di dunia ini. Lantas, kalau ditanya sejak kapan sebenarnya
psikologi pendidikan mulai ada di dunia ini? Jawabnya
tidak lain dan tidak bukan adalah bahwa umur psikologi pendidikan ada
di dunia ini semenjak Adam dan Hawa ada di dunia ini.
Perkembangan pendidikan dan psikologi pendidikan untuk waktu-
waktu selanjutnya seiring dengan perkembangan dunia ilmu
pengetahuan dan teknologi di muka bumi. Semenjak zaman purba
(prasejarah) hingga zaman sekarang tercatat dunia pendidikan dan
psikologi pendidikan telah mengalami banyak kemajuan. Hal itu, antara
lain, ditandai dengan munculnya para pemikir atau filsuf dari berbagai
zaman, yang dimulai semenjak zaman Yunani Kuno.

B. Psikologi Cabang Ilmu Filsafat


Psikologi berasal dari bahasa Yunani psycheyang berarti jiwa dan logos
yang berarti ilmu. Dari kedua kata tersebut, psikologi diartikan sebagai
ilmu jiwa. Dalam klasifikasi ilmu pengetahuan, psikologi termasuk dalam
cabang ilmu filsafat. Sebagai cabang ilmu filsafat yang dipelajari dalam
psikologi adalah hakikat jiwa manusia.
Orang yang berperan penting dalam perkembangan psikologi ini
adalah Demokritus. Ia merupakan seorang filsuf pertama di dunia yang
memerhatikan pentingnya pengaruh keadaan keluarga terhadap
pembentukan kepribadian anak. Semenjak itu, psikologi pendidikan
terus mengalami perkembangan ke arah kemajuan dan penyempurnaan-
penyempurnaan. Perkembangan dan kemajuan psikologi pendidikan
juga ditandai dengan munculnya ahli-ahli lain di bidang ini.
Menurut teori yang dikemukakan oleh Demokritus, sesuatu terdiri
dari bagian-bagian yang tidak terbagi-bagi lagi yang disebut atom, dan
atom mempunyai gerakan-gerakan yang tetap. Orang atau manusia
terdiri dari atom-atom jiwa dan atom-atom badan (jasmani). Hakikat
jiwa tidak didefinisikan dalam terminologi tertentu sehingga muncullah
psikologi sebagai ilmu jiwa (soul).Pendapat Demokritus tersebut
ternyata memancing reaksi dan pertentangan ahli-ahli lain yang
akhirnya memunculkan definisi psikologi sebagai ilmu pikiran {mind).
Ahli lain yang mengemuka selain Demokritus adalah Plato dan
Aristoteles yang hidup pada abad 4 SM. Aristoteles memberikan
pandangan-pandangan psikologisnya lebih sistematis dan komprehensif
dalam tulisan-tulisannya. Plato dan Aristoteles telah mengembangkan
sistem pendidikan dan hubungannya dengan prinsip-prinsip psikologi.
Keduanya menulis berbagai aspek pendidikan, misalnya suatu tipe
pendidikan untuk jenis orang tertentu seperti untuk golongan pekerja,
tentara, pemerintah, dan lain-lain. Selain itu, Plato dan Aristoteles juga
menulis tentang pendidikan karakter, profesi, dan metode mengajar,
hakikat belajar, pengaruh-pengaruh rumah dalam pendidikan, dan
sebagainya.
Aristoteles memberikan pandangan-pandangan psikologis lebih
sistematis dan komprehensif dalam tulisan-tulisannya. Aristoteles sangat
percaya pada teori daya jiwa dan mementingkan proses intelektual.
Ajaran Aristoteles pada babak-babak selanjutnya lebih bisa diterima
oleh dunia dan berpengaruh dalam pendidikan lebih dari 2000 tahun
lamanya. Tetapi, ajaran Aristoteles tersebut mengalami perubahan-
perubahan ke arah penyempurnaan. Perubahan-perubahan itu
dilakukan oleh ahli-ahli berikutnya seperti yang dilakukan oleh Thomas
Aquino, Descartes, J.J. Rousseau, John Locke, dan lain-lain. Selintas,
para tokoh yang mengadakan perubahan-perubahan di bidang konsep
psikologi yang dikemukakan oleh Aristoteles tersebut akan diuraikan
dalam tulisan berikut ini.
Thomas Aquino, pada abad ke-13, ketika zaman pertengahan
sedang berlangsung, mencoba mengubah pengajaran dengan disesuaikan
dengan zamannya ketika itu. Sementara itu, Descartes mendukung teori
psikologi yang dikemukakan oleh Aristoteles.
Ahli lain dari Prancis bernama J.J. Rousseau mengajarkan
pendidikan yang sesuai dengan alam sekitar anak. Semboyan untuk
sistem pengajarannya ialah “kembali kepada alam”. J.J. Rousseau tercatat
sebagai pelopor pendidikan naturalistik. Teori pendidikan dari J.J.
Rousseau tertulis dalam buku Emile. Dalam buku ini diketengahkan
suatu penelitian tentang seseorang bernama Robinson Cruso yang dilatih
bisa hidup di hutan, namun kemudian Cruso kembali ke kota tempat
tinggalnya semula. Dari penelitian ini Rousseau akhirnya dapat membuat
suatu kesimpulan bahwa anak dilahirkan ke dunia pada dasarnya
mempunyai karakter yang'baik. Tetapi, pada perkembangannya anak
dapat mempunyai karakter yang tidak baik (rusak) disebabkan adanya
pengaruh dari masyarakat di sekitarnya. Pada hakikatnya alam masih
murni.
John Locke, tokoh empirisme dari Inggris, secara kritis menguji
teori daya jiwa pada manusia, seperti yang telah dikemukakan oleh Plato
dan Aristoteles. John Locke tidak menolak seluruh teori daya jiwa, tetapi
ia mengemukakan bahwa daya jiwa itu tidak berupa benda-benda riil
dalam jiwa (pikiran, mental) yang melakukan kegiatan-kegiatan dengan
berbagai nama, seperti pikiran, ingatan, kemauan, perasaan, dan
sebagainya. Berkaitan dengan hal itu, John Locke berpendapat bahwa
jiwa bayi yang baru lahir tidak berdaya melakukan apa-apa dan belum
siap berfungsi, tetapi mempunyai potensi sensitif terhadap impresi dari
dunia luar melalui indra. Jiwa bayi itu masih bersih seperti kertas putih
yang belum ditulisi. Hal ini sangat terkenal dengan sebutan
Teori Tabularasa. Akhirnya, empirisme mengajarkan bahwa belajar itu
melalui pengalaman
Selanjutnya, teori daya jiwa terumus dalam trikotomi jiwa, yaitu
pikiran, perasaan, dan kemauan (kognisi, emosi, dan konasi). Pikiran
adalah daya penalaran untuk memahami, daya emosi untuk merasakan,
dan daya konasi untuk kemauan. Teori daya jiwa (trikotomi) ini
kemudian diteruskan oleh Pestalozii. Ia tercatat sebagai seorang ahli
yang pertama mendasari psikologi pada pendidikan. Ia juga memperbaiki
secara revolusioner dalam program latihan guru, dengan penempatan
pentingnya proses pendidikan sebagai a process of drawing out of the
individual. Pestalozi juga mengajukan metode baru pengajaran dan
mengembangkan hukum-hukum perkembangan manusia. Sumbangan
pikirannya yang dirasa paling fundamental pada dunia pendidikan
adalah penekanan dan pengarahan latihan guru. Teori daya jiwa ini
berpengaruh kuat terhadap sistem pendidikan di negara Amerika Serikat
(USA). Di negara adikuasa ini kemudian muncul sistem pendidikan
disiplin formal (sistem drill).Konkretnya, setiap mata pelajaran harus
dilatih secara disiplin {drill).
Pada 1879, Wilhelm M. Wundt mendirikan Laboratorium Psikologi
eksperimen yang pertama di dunia. Laboratorium itu didirikan di
Leipzig, Jerman. Wundt tertarik mempelajari psikologi dan melakukan
penelitian mengenai sensasi, persepsi, perasaan, dan kesadaran. Hasil
penelitiannya ditulis dalam beberapa karyanya, di antaranya berjudul
Psysiologische Psychologie. Salah satu eksperimen Wundt adalah mengenai
pengindraan. Dia melakukan eksperimen berdasarkan asumsi akal sehat
bahwa jika dua stimulus yang berbeda diterima indra kita pada waktu
yang sama, kita akan menyadari stimulus-stimulus itu pada saat yang
sama pula. Untuk membuktikan
hal itu Wundt membuat alat yang disebut “thought meter”, yaitu jam
bandulan yang dilengkapi dengan jarum dan bel. Jarum diletakkan pada
bandulan jam sehingga dapat menabrak bel (dan menghasilkan bunyi).
Berdasarkan eksperimennya, Wundt berkesimpulan bahwa dia tidak
mendengar suara bel hingga bandulan jam itu telah mulai turun. Selang
waktu (sekitar 1/8 detik yang terjadi antara jarum menyentuh bel dengan
suara yang terdengar) rupanya dibutuhkan untuk mencapai atensi sadar
(counscious attention).
Laboratorium psikologi yang didirikan Wundt tersebut sebagai
laboratorium psikologi formal yang pertama kali ada. Saat itulah
ditetapkan sebagai tonggak munculnya psikologi sebagai cabang ilmu
tersendiri, bukan bagian lagi dari ilmu filsafat; dan terus berkembang
pesat hingga saat ini. Perkembangan psikologi sangat pesat melalui
berbagai eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh para ahli terhadap
perilaku binatang maupun manusia. Karya klasik yang sangat kuat
pengaruhnya hingga sekarang adalah eksperimen Ivan Pavlov tentang
terjadinya perilaku asosiasi (antara bel dan keluarnya air liur)
pada anjing, yang akhirnya
dikenal dengan sebutan Teori
Belajar Klasik.

Gambar 1. Wilhelm M. Wundt dan


Alat Eksperimennya

Perkembangan
psikologi di waktu-waktu
selanjutnya sangat didukung
masyarakat m e n g i n g a t
peranan psikologi ini sangat penting bagi manusia. Orang-orang sadar
bahwa hidup manusia sering berhubungan dengan banyak hal, termasuk
dengan lingkungan. Oleh karena itu, psikologi disebut juga sebagai ilmu
kesadaran atau ilmu tentang pengalaman. Di antara tokoh-tokoh
pembawa perubahan di bidang kajian psikologi adalah Sigmund Freud
(1856-1939)- Menurut Freud, psikologi tidak hanya mempelajari
masalah kesadaran jiwa, tetapi juga mempelajari ketidaksadaran jiwa.
Pada era selama dan sesudah Renaisans, oleh kaum behaviorisme,
psikologi dimasukkan dalam medan pandangan mentalistik dan
mekanistik karena adanya pengaruh bidang matematika, biologi, dan
fisika. Sementara di Amerika Serikat, karena adanya pengaruh
perkembangan eksperimentasi belajar membawa dampak pada psikologi
menjadi ilmu tentang tingkah laku (psychology is the science of behavior).
Menurut J.B. Watson, behavior diartikan sebagai tindakan atau aksi
yang dapat dilihat dan diamati dengan cara objektif. Arti itu meliputi
stimulasi dari dalam dan dari luar sehingga tingkah laku manusia dapat
diobservasi dan diukur.
Perkembangan psikologi begitu pesat sehingga pada era selanjutnya
muncul berbagai macam cabang psikologi yang banyak dikaji dalam
dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan. Beberapa cabang psikologi
yang telah dikenal dewasa ini adalah psikologi agama, psikologi
eksperimen, psikologi fisiologi, psikologi industri, psikologi kepribadian,
psikologi militer, psikologi patologi, psikologi pendidikan, psikologi
politik, psikologi propaganda, dan psikologi wanita.

C. Sejarah dan Perkembangan Psikologi Pendidikan


Menurut Chauhan (1979), pengertian psikologi pendidikan adalah suatu
proses pendidikan yang mencoba membangun tingkah laku
manusia semenjak berusia muda hingga tercapai tujuan akhir dari tujuan
nasional. Secara singkat dan tegas Chauhan memberikan pengertian
psikologi pendidikan sebagai pembentukan atau modifikasi tingkah laku
individu dalam masyarakat.
Rintisan kerja dalam psikologi pendidikan dilakukan oleh Herbart
dan Frobel. Mereka mengembangkan pendekatan pendidikan dengan
menggunakan prinsip-prinsip psikologi. Mereka menolak teori daya
jiwa. Sementara itu, Herbart sangat mementingkan adanya perhatian dan
persepsi dalam penerapan psikologi. Menurutnya, kepribadian manusia
adalah bersifat dinamis dan secara individual menyusun sistem kekuatan.
Sedangkan Frobel mengembangkan metode pengajaran baru untuk
kanak-kanak yang terkenal dengan sebutan Kindergaten. Program
terpenting dalam pendidikan di Kindergarten adalah menekankan
pentingnya pengalaman pada masa kanak-kanak dalam pendidikan.
Pendapat Frobel senada dengan pemikiran Montessori, ahli psikologi
dari Italia, yang menekankan pentingnya pendidikan baik dan latihan
indra pada masa peka anak-anak.
Perkembangan psikologi pendidikan pada waktu-waktu berikutnya
tampak begitu pesat. Hal itu ditandai dengan mengemukanya Stanley
Hill, Galton, dan Ebbinghaus dalam percaturan bidang psikologi.
Ketiganya berhasil menerbitkan hasil studinya dalam bidang-bidang
yang berbeda pada bermacam-macam aspek tingkah laku manusia.
Galton, misalnya, telah meneliti genetika. Sedangkan Ebbinghaus
terkenal telah meneliti eksperimental pengamatan dan ingatan pada
manusia. Ahli psikologi lain yang turut berperan penting dalam
memajukan psikologi adalah William James. Pada tahun 1890, James
berhasil menerbitkan bukunya berjudul Princ
iples of Physiology yang mengupas panjang lebar tentang psikologi
fungsional. Juga J.M. Cattel,
seorang ahli psikologi yang menitikberatkan pada pengembangan studi
perbedaan individual dan tes mental. Kemudian, A. Binet (1905)
membuat tes kecerdasan dan skala IQ yang dapat diterapkan pada
individu manusia yang hendak diungkap tingkat kecerdasannya.
Pada awal abad ke-20 psikologi pendidikan berkembang dengan
munculnya eksperimen-eksperimen belajar, seperti Pavlov yang
akhirnya menelurkan Teori Kondisional Klasik, E.L. Thorndike
menghasilkan Teori S-R {Trial and Error), B.E Skinner menghasilkan
Teori Belajar Operan (Reinforcement). Kohler sendiri menghasilkan Teori
Belajar Insight atau Teori Belajar Kognitif.
Proses edukatif yang meliputi bidang-bidang pendidikan secara
formal diterapkan pada individu ketika sedang belajar di sekolah sebagai
peserta didik yang menurut Fudyartanto (2002) meliputi:
1. Peserta didik, meliputi hal-hal seperti karakteristik perkembangan
anak, perbedaan individual, kecerdasan, kepribadian, dan kesehatan
mental.
2. Proses belajar, meliputi hal-hal seperti psikologi belajar, motivasi
belajar, faktor-faktor yang memengaruhi belajar, diagnostik
mengenai problema belajar.
3. Evaluasi terhadap performasi belajar, penggunaan metode statistik
dalam penelitian dan pelaksanaan riset dalam problema pendidikan.
4. Pimpinan usaha pengembangan kualitas pendidikan meliputi
kepemimpinan dan perencanaan pendidikan.
Pengelolaan dan pengembangan pendidikan yang akurat
diperlukan pimpinan dan perencana pendidikan yang tangguh. Hal ini
berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan yang baik hanya dapat
diperoleh dengan adanya kepemimpinan dan perencanaan yang tepat
dan efektif. Praktiknya untuk mewujudkan hal itu perlu melibatkan
para ahli pendidikan, psikolog, teknolog, ekonom, politisi, dan ahli
hukum agar pengelolaan pendidikan suatu masyarakat dan bangsa dapat
menjadi salah satu bidang pembangunan bangsa yang representatif dan
maju tidak ketinggalan dengan negara-negara maju lainnya.
Psikologi pendidikan dalam kehidupan manusia sesungguhnya
merupakan proses edukatif yang dipraktikkan semenjak manusia lahir ke
dunia sampai meninggal dunia. Hanya saja, studi ilmiahnya baru muncul
pada abad ke-19 dengan mengemukanya William James sebagai Bapak
Psikologi Pendidikan yang telah menerbitkan karyanya berjudul
Principles of Psychology(1890) dan Talks to Teachers.Kemudian, pada 1914
E.L.Thorndike menulis dan menerbitkan bukunya berjudul Educational
Psychology (3 jilid). Dengan demikian, psikologi pendidikan itu telah
berusia panjang. Namun, kehadiran psikologi pendidikan ini dalam
kancah dunia pendidikan dirasakan belum sebanding dengan umur yang
sebenarnya.
Bab II
RUANG LINGKUP PSIKOLOGI
PENDIDIKAN SEBAGAI ILMU
PENGETAHUAN

A. Pendahuluan
Dewasa ini pemberlakuan sistem pendidikan di Indonesia terlihat
kemajuan yang cukup berarti. Membicarakan masalah sistem pendidikan di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan tuntutan akan Sumber Daya
Manusia (SDM), khususnya tenaga pendidik. Sejauh ini guru menjadi
tumpuan utama kemajuan di bidang pendidikan, mulai dari Taman Kanak-
Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi. Tenaga pendidik yang berkecimpung
di lingkungan Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas
(SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) biasa disebut sebagai guru.
Sedangkan tenaga pendidik yang mengampu para mahasiswa/i di sebuah
Perguruan Tinggi kita sebut sebagai Dosen/Guru Besar (Profesor).
Majunya perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini telah
menggeser paradigma di bidang teknik pengajaran di Indonesia. Tenaga
pengajar yang dulu mengampu di bangku sekolah lanjutan (SMP dan SMA)
sekarang mulai diterjunkan di bangku sekolah yang tingkatannya lebih
rendah, seperti Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI). Pada
era reformasi ini tenaga pendidik (guru) yang mengajar di Sekolah Dasar
seluruh Indonesia, khususnya untuk guru baru, disyaratkan setidaknya
menamatkan pendidikannya pada jenjang sarjana (S1). Hal itu
dimaksudkan agar transfer ilmu yang terjadi dari guru ke anak didik cukup
memadai sehingga anak didik nantinya tidak terseok-seok mengikuti
lajunya perkembangan ilmu dan teknologi yang terjadi akhir-akhir ini.
Bahkan, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tahun 2009 telah
diluncurkan suatu program “Profesor mengajar di sekolah” (mulai SD,
SMP, hingga SMA/SMK). Maksud diluncurkannya program ini di kota
pelajar, Yogyakarta, adalah para guru besar diharapkan mentransfer
pengetahuan kepada murid dan guru di sekolah yang bersangkutan. Selain
hal itu, kehadiran para guru besar diharapkan turut membangun nilai-nilai
dan karakter para siswa. Juga diharapkan terjadi dialog antara guru besar
dengan guru dan murid di sekolah tersebut. Dengan demikian, terjadi
transfer pemahaman pengetahuan yang semakin meluas di level
pendidikan yang lebih rendah sehingga dapat memperkaya semuanya.
Diharapkan, kelak suatu saat pendidikan di Yogyakarta adalah satu dunia
yang menyatu mulai dari pendidikan anak usia dini, SD, SMP, dan SMA/
SMK sampai perguruan tinggi (Wuryadi, Kompas, 24 Juli 2009).
Membaca uraian tersebut kita menjadi mengerti bahwa pada
hakikatnya guru adalah pembimbing atau pemimpin siswa dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya dalam dan
dengan proses belajar. Oleh karena itu, kehadiran dan penguasaan
psikologi pendidikan amat diperlukan agar pembelajaran pada siswa
peserta didik di sekolah dapat berhasil dengan baik.
Mempelajari ilmu psikologi pendidikan sesungguhnya merupakan
suatu proses studi profesional. Semestinya, sebelum orang mendalami
detail ilmu psikologi pendidikan dia telah mempelajari terlebih dahulu
ilmu pendidikan, ilmu psikologi secara umum, dan bidang studi lain yang
menjadi spesialisasinya. Meskipun begitu, penguasaan terhadap ilmu
psikologi pendidikan bukan merupakan satu-satunya syarat agar guru
pandai mengajar.

B. Psikologi sebagai Proses Studi Profesional


Disebutkan di dalam Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan (SPTK) di
Indonesia bahwa komponen program studi (kurikulum) untuk guru yang
kompeten profesional ialah dasar umum, bidang studi, proses belajar
mengajar, dan dasar kependidikan. Kedudukan ilmu psikologi pendidikan
terdapat dalam kurikulum pendidikan sehingga bagi guru atau calon guru
(mahasiswa FKIP) harus mempelajari ilmu psikologi pendidikan yang
merupakan syarat kompetensi guru. Selain itu, ilmu psikologi pendidikan
juga dipelajari secara detail oleh mahasiswa fakultas psikologi di
universitas-universitas atau institut di Indonesia.
Ilmu psikologi pendidikan (yang selanjutnya disebut psikologi
pendidikan saja) terdiri dari dua suku kata, yaitu psikologi dan pendidikan.
Terdapat hubungan yang saling terkait dari kedua suku kata tersebut.
Pertama, psikologi merupakan suatu ilmu tentang tingkah laku. Tingkah
laku berarti aktivitas organisme (manusia) yang dapat diamati dan diukur
secara objektif. Kedua, pendidikan
dalam arti sempit diartikan sebagai pengubahan tingkah laku individu
(anak) dalam lingkungan yang dikontrol. Membentuk tingkah laku atau
membawa perubahan tingkah laku memerlukan studi tentang tingkah laku
tersebut.
Dengan begitu, tampak jelas hubungan antara dua kata tersebut
adalah bahwa diperlukan ilmu tentang tingkah laku dan perkembangan
anak peserta didik agar guru berhasil mengubah tingkah laku peserta didik.
Dengan kata lain, guru perlu mempelajari psikologi pendidikan agar dapat
menunaikan tugasnya mengajar secara baik. Seperti diketahui bahwa siswa
memiliki pertumbuhan dan perkembangan tertentu dalam hidupnya.
Tingkat-tingkat perkembangan anak dengan karakteristiknya merupakan
faktor yang esensial pada anak dan harus diketahui oleh guru agar guru
sukses dalam menjalankan tugasnya mengajar dan mendidik siswa di
sekolah. Uraian ini dapat kita pahami bersama bahwa apabila guru tidak
mengetahui seluk-beluk tingkah laku peserta didik, guru tidak akan
berhasil mengubah tingkah laku seperti yang diharapkan pada diri anak
peserta didik. Dengan kata lain, guru harus mengetahui dan menguasai
psikologi pendidikan agar dapat sukses dalam menjalankan tugasnya
mengajar dan mendidik siswa di sekolah.

C. Definisi Psikologi Pendidikan


Sejak lahirnya ilmu psikologi pada akhir abad 18, kepribadian atau tingkah
laku manusia selalu menjadi topik bahasan yang penting. Psikologi lahir
sebagai ilmu yang berusaha memahami manusia seutuhnya, yang hanya
dapat dilakukan melalui pemahaman tentang kepribadian atau tingkah
lakunya. Secara khusus kemudian lahir cabang ilmu psikologi yang disebut
psikologi kepribadian. Selanjutnya,
cabang-cabang ilmu psikologi bermunculan di tengah-tengah maraknya
perkembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi, seperti psikologi
pendidikan. Lahirnya berbagai macam cabang ilmu psikologi telah
membantu manusia dalam memahami karakter dasar manusia dengan
segala tingkah laku dan interaksinya dalam masyarakat atau lingkungan
tempat tinggalnya.
E.L. Thorndike (1874—1949) disebut-sebut sebagai seorang tokoh
psikologi pendidikan yang terkenal berasal dari Amerika Serikat. Tahun
1914 Thorndike berhasil menulis tiga jilid buku psikologi pendidikan.
Sementara, pada 1890 William James (1843-1910), yang dikenal sebagai
bapak psikologi pendidikan modern, telah berhasil menerbitkan
karyanya tentang psikologi pendidikan berjudul The Principles of
Psychology.Sedangkan di dalam bukunya yang lain, Talk of Teachers,
James menuliskan konsepsi-konsepsi pendidikan dan tugas-tugas guru
yang utama. Buku ini penting sebagai referensi bagi kalangan guru atau
mahasiswa calon guru sebagai bekal pengetahuan dan wawasan dalam
menjalankan tugasnya mengajar dan mendidik siswa di sekolah.
Berikut ini adalah beberapa definisi psikologi pendidikan yang
dikemukakan oleh para ahli.
1. Chauhan. Psikologi pendidikan adalah penerapan penemuan-
penemuan psikologi dalam bidang pendidikan. Menurutnya,
psikologi pendidikan adalah studi yang sistematis mengenai
perkembangan individu dalam bidang pendidikan. Psikologi
pendidikan membantu para guru untuk mengajukan perkembangan
yang harmonis para siswa untuk menjadi warga negara yang dapat
responsif dan berpartisipasi, manusia yang sensitif dan reflektif
sebagai orang yang produktif dan kreatif.
2. H.C. Whiterington. Psikologi pendidikan didefinisikan sebagai suatu
studi yang sistematis mengenai proses dan faktor-faktor kejiwaan yang
bersangkut paut dengan pendidikan.
3. Edwin Ray Guthrie. Psikologi pendidikan diartikan sebagai
penggunaan prinsip-prinsip kejiwaan untuk memecahkan segala
macam problema pendidikan.
4. W.S. Winkel. Psikologi pendidikan merupakan cabang dari psikologi
praktis yang mempelajari prasyarat-prasyarat bagi belajar di sekolah,
berbagai jenis belajar dan fase-fase dalam semua perkembangan anak.
5. Crow dan Crow. Psikologi pendidikan adalah penerapan prinsip-
prinsip ilmiah tentang reaksi tingkah laku manusia yang memengaruhi
proses belajar-mengajar.
6. B.F. Skinner. Psikologi pendidikan adalah cabang psikologi yang
membahas masalah belajar dan mengajar.
7. Judd. Judd menggambarkan bahwa psikologi pendidikan sebagai suatu
studi ilmiah tentang fase-fase hidup dalam perkembangan individu
mulai bayi lahir sampai menjadi dewasa. Hal itu
- berdasarkan pemikiran bahwa psikologi pendidikan merupakan studi
ilmiah mengenai tingkah laku manusia, yang dengannya capaian
tujuan hidup dapat diramalkan dan diarahkan dengan pendidikan.
Selain definisi yang telah dikemukakan tersebut, ada definisi-definisi
psikologi pendidikan yang dikemukakan oleh ahli-ahli yang lain. Tetapi,
dari semua definisi tersebut pada prinsipnya mengandung pengertian yang
hampir sama dan hal itu menurut hemat penulis tidak perlu
dipermasalahkan mengingat esensinya yang hampir sama. Selain itu, ada
pula pakar yang memberikan definisi psikologi pendidikan dengan
didasarkan pada definisi yang disusun oleh para ahli psikologi tersebut.
Di antaranya ada yang mengatakan bahwa psikologi pendidikan adalah
ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip dan proses-proses psikologis
tingkah laku yang terjadi dalam aktivitas pengajaran, dan dengan maksud
untuk memperlancar dan menyukseskan program pendidikan. Dengan
pernyataan yang sederhana, psikologi pendidikan adalah penerapan
psikologi dalam proses belajar-mengajar (proses pendidikan). Dapat pula
dinyatakan bahwa psikologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari
penerapan prinsip-prinsip psikologis dalam proses pendidikan. Psikologi
pendidikan merupakan psikologi terapan. Psikologi pendidikan
merupakan penerapan disiplin dari dua ilmu yang berbeda, yaitu
pendidikan dan psikologi. Psikologi pendidikan merupakan ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia untuk memahami, meramalkan, dan
mengarahkan dengan pendidikan untuk mencapai tujuan hidup.

D. Ruang Lingkup Psikologi Pendidikan


Psikologi pendidikan sebagai ilmu pengetahuan telah memenuhi
persyaratan sebagaimana yang telah ditetapkan berikut ini.
1. Objek penelitiannya adalah sejumlah fakta dan masalah-masalah
pendidikan yang ditinjau dari dasar dan aplikasi pendidikan.
2. Sistematika, yaitu telah memiliki suatu kerangka prinsip atau
kebenaran dasar yang tersusun secara teratur dan merupakan suatu
kebulatan konseptual.
3. Metode atau teknik penelitian yang memadai, termasuk metode
eksperimen.
4. Medan kerja atau aplikasi yang pasti, yaitu di bidang pendidikan.
5. Pencipta dan pendukung keilmuannya, yaitu para psikagog (ahli
psikologi pendidikan), psikolog, dan pedagog.
Adapun sasaran studi psikologi pendidikan yang paling mendasar,
yaitu:
- individu-individu kelompok siswa,
- kapasitas atau kemampuan dasar individu dan perlengkapannya,
- lingkungan sekitar dari individu, dan
- kegiatan-kegiatan individu dan hasilnya berkaitan dengan
pendidikan.
Psikologi pendidikan berkonsentrasi penuh pada pembahasan-
pembahasan masalah yang terdapat di dalam psikologi maupun ilmu
pendidikan. Misalnya, masalah penilaian hasil belajar, diagnosis kesulitan
belajar, metode belajar, dan periode-periode pertumbuhan dan
perkembangan anak.
Sejauh ini psikologi pendidikan merupakan ilmu yang dipraktikkan
dalam proses edukatif dari atau semenjak manusia dilahirkan ke dunia
hingga meninggal. Proses edukatif tersebut 'meliputi bidang-bidang
pendidikan dari siswa sebagai berikut.
Peserta didik, meliputi: perkembangan anak peserta didik (siswa),
perbedaan individual, kecerdasan, kepribadian, dan kesehatan mental
anak (peserta didik atau siswa).
Proses belajar, meliputi: psikologi belajar, motivasi belajar, faktor-
faktor yang memengaruhi belajar, diagnostik mengenai problema
belajar.
Evaluasi terhadap performasi belajar, penggunaan metode statistik
dalam penelitian dan pelaksanaan riset dalam problema pendidikan.
Pimpinan usaha pengembangan kualitas pendidikan, meliputi
kepemimpinan dan perencanaan pendidikan.
Ruang lingkup psikologi pendidikan, menurut Fudyartanto (2002),
ada lima cakupan besar.
1. Tinjauan mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak.
2. Dasar dan potensi anak didik.
3. Proses dan teori belajar.
4. Evaluasi potensi dan hasil belajar.
5. Membina kesehatan mental dan fisik siswa.

E. Psikologi Pendidikan sebagai Ilmu Pengetahuan


Psikologi pendidikan dikelompokkan ke dalam tinjauan ilmu pengetahuan
karena telah memenuhi segala apa yang dipersyaratkan sebagai ilmu
pengetahuan. Tahukah Anda apakah yang disebut dengan ilmu dalam
tataran kajian pendidikan kita? Ilmu adalah pengetahuan yang
disistematisasikan sehingga menghasilkan dalil-dalil atau hukum yang
berguna untuk pedoman berbuat. Dalil-dalil itu dapat dibuat teori-teori.
Berikut ini adalah ciri-ciri ilmu pengetahuan.
1. Pernyataan-pernyataan ilmiah menyatakan penemuan-penemuan atau
mengenai kebenaran-kebenaran. Misalnya:
Apabila didinginkan air dapat berubah menjadi es.
- Apabila dipanaskan logam lama-kelamaan meleleh.
Bentuk air berubah-ubah sesuai dengan bentuk wadahnya.
2. Pada setiap pernyataan ilmiah selalu ada bukti-buktinya.
3. Pernyataan ilmiah bersifat umum.
4. Pernyataan ilmiah bersifat teratur (sistematis), dan disusun atas
pemikiran yang logis dari hasil penelitian.
5. Pernyataan ilmiah mengarah kepada pembuktian empiris. Ia
menafsirkan data dan menyimpulkan hal-hal antara benda-benda yang
dapat diobservasi dan peristiwa-peristiwa.
6. Saling adanya hubungan dalam problema ilmiah dipresentasikan
dalam suatu sistem yang disebut hipotesis.
7. Dalil-dalil ilmiah membimbing untuk prediksi yang benar dan
perkembangan seterusnya.
8. Pernyataan ilmiah dapat dipakai untuk riset yang akan datang dan
pada praktik hidup sehari-hari.
9. Semua ilmu mempunyai dasar empiris.
Gunanya ilmu antara lain untuk memaparkan objek supaya dapat
dipahami, untuk menguji kebenaran, untuk memprediksi peristiwa-
peristiwa yang akan datang, untuk mengendalikan peristiwa-peristiwa,
untuk mengembangkan konsep-konsep, serta untuk menyejahterakan
hidup manusia dan lingkungan.

F. M e t o d e y a n g D i g u n a k a n d a l a m P s i k o l o g i
Pendidikan
Sebagai ilmu pengetahuan lazim dalam psikologi pendidikan sering kali
dilakukan penelitian-penelitian ilmiah. Dalam penelitian-penelitian ilmiah
tersebut digunakan metode ilmiah. Di antara metode ilmiah yang telah
digunakan dalam penelitian psikologi pendidikan yaitu metode angket,
metode klinis, metode kasus (studi kasus), metode eksperimen, metode tes,
teknik bimbingan dan konseling, dan lain-lain. Uraian penjelasan
mengenai berbagai macam metode ilmiah yang digunakan dalam
penelitian-penelitian psikologi pendidikan adalah sebagai berikut.

1. Metode Angket (Kuesioner)


Metode ilmiah adalah metode penelitian dengan menggunakan
pertanyaan-pertanyaan secara tertulis. Jika pemilihan pertanyaan-
pertanyaan dilakukan secara teliti, metode angket (kuesioner) dalam
psikologi pendidikan akan memberikan data objektif. Kuesioner sebelum
diberikan atau dikirim kepada responden sebaiknya telah diujicobakan
terlebih dahulu kepada responden dan dilakukan perbaikan-perbaikan atau
penyempurnaan-penyempurnaan seperlunya. Persiapan kuesioner yang
sebaik-baiknya akan dapat dihasilkan data objektif yang sebaik mungkin.
Sebagai contoh, penelitian mengenai minat membaca siswa SMP/SMA
dengan memberi kuesioner kepada siswa tersebut. Setiap pertanyaan
hendaknya disusun secara jelas dan jawaban yang diharapkan juga cukup
tegas, singkat, tidak perlu panjang-panjang, apalagi berbelit-belit. Hal ini
dimaksudkan agar responden tidak bingung atau ragu-ragu dalam
menjawabnya. Contoh pertanyaan yang cukup jelas dan tegas jawabannya
adalah seperti berikut ini.

1. Nama anak(siswa) :..............................


2. Umur: .................................. tahun.......... . bulan
3. Lahir pada :.......................... bulan ......... tahun.........
4. Jenis buku yang sering dibaca (pilih salah satu dengan memberi tanda
silang pada huruf di depannya):
a. Fiksi b. Fiksi terjemahan c. Nonfiksi
5. Sehari membaca buku selama...... ...jam ... menit, dan seterusnya.

Penerapan metode kuesioner dalam psikologi pendidikan mempunyai


beberapa keuntungan selain kelemahan-kelemahan, yaitu:
a. Keuntungan-keuntungan metode kuesioner
Dapat menghemat biaya dan tenaga
Dapat diujicobakan kepada banyak orang
Dapat dikirim melalui kantor pos dan email (sur elektronik).
b. Kelemahan-kelemahan atau kekurangan metode kuesioner
Data jawaban dapat atau mudah disangsikan sebab respond dapat
menjawabnya secara asal-asalan.
Ada kuesioner yang diisi oleh orang lain yang tidak mengetah
atau berminat terhadap masalah yang sedang diteliti.
Data diisi dengan tergesa-gesa.
Ketidaktelitian proses analisis data yang didapat menyebab hasil
penelitian kurang akurat.

2. Metode Klinis
Metode klinis dipakai untuk meneliti kejadian-kejadian ata kasus-
kasus yang tidak normal yang disebabkan oleh hal-hal tertent Asal-usul
metode klinis adalah meneliti dokumen atau catatan-catat pasien di
rumah sakit. Metode klinis, misalnya, dipakai untu meneliti kasus pada
anak yang mengalami kesulitan belajar, anak yan mengalami kesulitan
penyesuaian diri dengan lingkungannya, da lain-lain. Studi klinis
berupaya untuk dapat mendiagnosis sebab-seba suatu keadaan atau
penyebab terjadinya kelainan-kelainan tadi da berupaya untuk dapat
memperbaikinya.
Untuk hasil akurat dalam menerapkan metode klinis diperlukan
intensitas dan ketelitian studi. Hal yang perlu digarisbawahi dalam
menggunakan metode klinis untuk penelitian psikologi pendidikan adalah
harus berhati-hati serta teliti terutama saat menerapkan kesimpulan-
kesimpulan pada keadaan yang normal. Alasan untuk hal
itu adalah studi klinis dipandang sebagai metode penelitian psikologi untuk
kasus-kasus yang sifatnya abnormal.

3. Metode Kasus
Metode ini diterapkan dengan cara mengikuti terus-menerus
perkembangan objek yang sedang diteliti dalam kurun waktu yang cukup
lama. Studi kasus disebut juga studi genesis atau studi mengenai
keturunan. Misalnya, studi kasus mengenai pertumbuhan dan
perkembangan individu mulai dari usia kanak-kanak hingga lulus SMA.
Jumlah objek yang diteliti bisa seorang saja atau dapat pula beberapa orang.
Pembatasan jumlah objek dalam penelitian dimaksudkan agar hasil
penelitian akurat dan teliti. Diketahui kurun waktu yang diperlukan untuk
menuntaskan studi kasus tersebut cukup lama, yaitu kurang lebih 14
tahun. Untuk itu, agar diperoleh data yang betul-betul akurat, perlu
dilakukan secermat mungkin pengamatan dan pencatatan pada objek yang
sedang diteliti. Terutama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan proses
pertumbuhan dan perkembangan individu yang diteliti. Misalnya,
mengenai kesehatan, pertumbuhan jasmani, pendidikan, hobi atau bakat,
penyesuaian diri dengan lingkungan sosial atau masyarakatnya, dan lain-
lain.
Penerapan studi kasus dalam penelitian studi psikologi pendidikan
tergolong hal yang baru sehingga terus dilakukan penyempurnaan-
penyempurnaan. Sejauh ini dikenal ada dua macam studi kasus, yaitu studi
kasus memanjang (longitudinal study) dan studi kasus silang (krosseksional).
Studi kasus memanjang dilakukan dengan mengikuti terus-menerus dalam
periode tertentu sehingga peneliti dapat mendalami betul masalah yang
sedang ditelitinya. Contohnya seperti telah dikemukakan dalam studi
kasus yang meneliti proses pertumbuhan
dan perkembangan individu mulai dari kanak-kanak hingga lulus SMA.
Sedangkan studi kasus silang (krosseksional) adalah studi kasus atau
penelitian yang dilakukan dengan jumlah kasus beberapa kelompok.
Misalnya, meneliti pertumbuhan dan perkembangan anak-anak SD sampai
SMP satu kelompok di kota Yogyakarta, satu kelompok di kota Malang,
Jawa Timur, satu kelompok lagi pelajar SMP di Manado, Sulawesi Utara.
Hasil dari penelitian itu kemudian dibandingkan kelompok satu dengan
kelompok lainnya. Ini merupakan salah satu keunggulan dari metode studi
kasus krosseksional.

4. Metode Eksperimen
Metode eksperimen dilakukan dengan mengadakan percobaan-
percobaan. Penerapan metode ini dalam psikologi pendidikan memerlukan
laboratorium yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan dan teknologi
tinggi (laboratorium modern). Misalnya, hal yang diteliti mengenai
penyelidikan masalah pendengaran, penglihatan, keterampilan, gerakan
mata sewaktu membaca buku, gerakan tangan sewaktu menulis, kelainan-
kelainan sewaktu membaca, dan sebagainya.
Keunggulan metode penelitian eksperimen di antaranya dapat
dilakukan secara teliti, faktor-faktor yang diamati dapat dikontrol atau
dikendalikan dengan baik, pengukuran hasil penelitian dilakukan secara
teliti (akurat) atau secara matematis (digital), dan lain-lain. Mengingat
keunggulan-keunggulan metode eksperimen inilah, maka metode
eksperimen dikatakan memiliki sumbangan yang besar dalam memajukan
psikologi pendidikan dan ilmu-ilmu lainnya.
Dewasa ini kemajuan metode eksperimen dalam psikologi begitu
pesat. Hal ini di antaranya ditandai dengan keberhasilan
menciptakan laboratorium alamiah dengan teknik one way vision screen.
Laboratorium ini digunakan untuk meneliti tingkah laku anak-anak yang
sedang bermain tanpa harus merasakannya kalau mereka sedang diteliti.
Dengan begitu, hasil penelitian sifatnya menjadi lebih akurat.
Laboratorium ini dibuat dengan menciptakan ruangan tertentu tempat
bermain anak-anak yang diteliti tingkah lakunya. Ruang bermain tersebut
diisolasi dengan dipasang kaca tembus satu arah (one way vision
screen).Fungsi utama kaca tersebut adalah mengisolasi anak-anak yang
sedang bermain di dalamnya agar tidak terpengaruh oleh adanya gangguan-
gangguan yang berasal dari luar ruangan. Selain itu, adanya kaca tembus
pandang satu arah menghalangi anak-anak memerhatikan atau melihat
peneliti yang berada di luar ruangan dan sedang mengamati gerak-
geriknya. Dengan begitu, anak-anak tetap bebas bermain tanpa merasa
terganggu olehnya.

5. Metode Tes
Dewasa ini telah diketahui banyak sekali metode penelitian yang
digunakan dalam psikologi dan pendidikan yang hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan. Berbagai macam metode tersebut digunakan
untuk berbagai macam penelitian dengan berbagai objek yang diteliti.
Munculnya berbagai macam metode penelitian itu diakibatkan
beragamnya masalah yang muncul di permukaan dan memerlukan
penyelesaian. Berbagai macam masalah yang muncul dalam bidang
psikologi dan pendidikan, antara lain, adalah mengenai bakat individu,
kecerdasan, sikap, motif, ingatan atau memori, kepribadian, penyesuaian
diri dengan teman-temannya, dan lain sebagainya.
Pelaksanaan metode tes dalam penelitian psikologi dan pendidikan
memerlukan kerja yang sangat teliti dan ketekunan sebab metode tes
tidak mudah dilaksanakan. Di samping itu, metode tes mempunyai standar
aturan tertentu. Demikian juga analisis dari data yang diperoleh harus
dilakukan secara teliti dan ilmiah untuk mendapatkan hasil yang dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Metode tes mempunyai kriteria bahwa tes dianggap baik apabila
bersifat valid, reliabel, praktis, dan berguna bagi masyarakat umum Valid,
artinya tes betul-betul dapat mengukur apa yang diniatkar hendak diukur.
Valid juga berarti jitu, tepat guna, dapat mengukur apa yang diniatkan
hendak diukur. Reliabel, artinya mempunyai konsistensi hasil dalam
mengetes subjek yang sama. Praktis, artinya tes mudah dilaksanakan. Tes
harus mempunyai kegunaan, misalnya tes inteligensi untuk menggolong-
golongkan IQ, tes bakat anak untuk penjurusan belajar anak, dan lain-lain
(Fudyartanto, 2002).

6. Teknik Bimbingan dan Konseling


Metode atau teknik bimbingan dan konseling dipakai dalam
penelitian psikologi dan pendidikan terutama dalam menanggulangi
kesukaran-kesukaran belajar dan kelainan-kelainan anak didik. Data hasil
bimbingan dan konseling dapat digunakan untuk memperlancar proses
belajar mengajar di sekolah maupun di rumah.

G. Sumbangan Psikologi Pendidikan terhadap Kemajuan


Dunia Pendidikan
Sampai sejauh mana sumbangan psikologi pendidikan dalam pendidikan?
Sejauh ini telah banyak kiprah para ahli psikologi pendidikan (psikagog)
yang turut memajukan pendidikan di Indonesia. Kiprah nyata para
psikagog adalah mempelajari, menganalisis,
menerangkan, dan memimpin kegiatan dan proses pendidikan sedemikian
rupa sehingga timbullah suatu sistem pendidikan yang integral, mantap,
dan tepat guna, mangkus, sangkil atau efektif, dan efisien.
Peranan psikologi pendidikan tampak semakin nyata pada
kekuatannya dalam menjaga efisiensi sistem pendidikan yang diberlakukan
di Indonesia. Sebab, objek kajian psikologi pendidikan telah mencakup
penelitian-penelitian akademik berkaitan dengan anak didik, efisiensi
belajar, teknik, dan prosedur pengajaran remedial, dan lain-lain. Psikologi
pendidikan juga memberikan bantuan yang sangat nyata dalam upaya
memperlancar dan menyukseskan pendidikan agar pendidikan berjalan
efektif dan efisien. Mengingat pentingnya psikologi pendidikan dalam
menunjang suksesnya tujuan pendidikan di Indonesia, psikologi
pendidikan dalam perkembangannya nanti harus ditetapkan program
kerjanya secara pasti dengan aplikasinya yang tepat dalam dunia
pendidikan. Untuk itu, psikologi pendidikan setidaknya harus diajarkan
kepada semua calon guru (mahasiswa FKIP) di berbagai perguruan tinggi
(universitas), baik perguruan tinggi negeri maupun swasta yang
menyelenggarakan program pendidikan keguruan (FKIP).
Sumbangan psikologi pendidikan terhadap kemajuan bidang
pendidikan pada umumnya begitu nyata dan sangat banyak. Sumbangan
psikologi pendidikan dalam kemajuan bidang pendidikan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu dalam teori pendidikan dan dalam
praktik pendidikan. Secara detail sumbangan psikologi secara umum pada
dunia pendidikan diuraikan pada bab tiga buku ini, sedangkan sumbangan
psikologi pendidikan menurut Fudyartanto (2002) dituliskan sebagai
berikut.
1. Sumbangan Psikologi Pendidikan dalam Teori Pendidikan
Sumbangan psikologi pendidikan dalam teori pendidikan sangat
banyak, di antaranya sebagai berikut.
a. Untuk memahami karakteristik perkembangan anak
Seperti diperhatikan anak-anak dalam pertumbuhan dan
perkembangannya akan mengalami tahap-tahap pertumbuhan dan
perkembangan yang berbeda-beda pada masa bayi, kanak-kanak, dan
dewasa. Pertumbuhan lebih menitikberatkan pada aspek perubahan
fisik, sedangkan perkembangan lebih mengacu pada perhatian
perubahan mental anak. Tiap-tiap tahap perkembangan mempunyai
ciri-ciri tertentu. Apabila guru yang berpandangan maju mengetahui
ciri-ciri perkembangan yang timbul dalam tingkat-tingkat
perkembangan yang berbeda-beda, diharapkan ia dapat memanfaatkan
ciri-ciri tersebut dalam menangani pengajaran dan membimbing atau
membangun tingkah laku anak sesuai dengan tujuan-tujuan spesifik
dalam pendidikan.
b. Untuk memahami hakikat belajar siswa dalam kelas Pengetahuan
psikologi pendidikan membantu para guru untuk mengetahui proses
belajar secara umum dan problem belajar pada khususnya. Dengan
pengetahuan sehari-hari di kelas, kita dapat mengetahui berbagai
macam hal yang ada di sekolah. Misalnya ada anak-anak yang cepat
sekali memahami pelajaran, dan sebaliknya, ada pula anak-anak yang
sangat lamban. Ada anak-anak yang senang bikin ulah atau keributan
di kelas, tetapi ada pula anak-anak yang pendiam, penurut. Ada anak-
anak yang mempunyai sifat pemalu, tetapi tidak sedikit terdapat anak-
anak yang pemberani, dan sebagainya. Begitu juga hal sebaliknya, ada
guru yang sangat disenangi oleh murid-muridnya di kelas, tetapi ada
pula seorang guru yang tidak disukai kehadirannya di kelas oleh siswa.
Faktor penyebab guru disenangi atau tidak bermacam-macam.
Mungkin guru bersikap ramah, suka tersenyum manis, rajin, berpakaian
atau berpenampilan selalu bersih dan rapi, berpembawaan sederhana, dan
cerdas dalam menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siswa-siswanya di
dalam kelas sehingga guru disukai oleh siswa-siswanya. Kebalikannya,
guru yang suka marah-marah kepada siswa, tidak ramah, suka cemberut
(jutek), emosional, berpakaian tidak rapi, tidak siap mengajar, sering
terlambat masuk ke dalam kelas ketika saatnya mengajar dapat
menyebabkan guru tidak disukai oleh para siswa.
Untuk menjadi guru yang sukses mau atau tidak mau, suka atau tidak
suka harus memahami berbagai hal yang terdapat dalam kelas di sekolah
tempat ia mengajar. Dengan pernyataan lain, untuk menjadi guru yang
sukses tidak hanya cakap dan pandai dalam hal mata pelajaran yang
diampunya. Tetapi, ia harus memahami dan mampu mengoptimalkan
berbagai hal yang ada pada diri siswa di sekolah yang bersangkutan.
Misalnya, mengenai tingkah laku siswa yang menyebabkan terjadinya
perbedaan-perbedaan tadi. Guru juga harus mengetahui atau dapat
memahami siswa yang diajarnya, karakteristik perkembangannya,
kemampuan masing-masing siswa, pengaruh pembawaan siswa dari
orangtuanya, pengaruh lingkungan dalam proses belajar siswa, dan
perkembangan kepribadian siswa yang bersangkutan.
Demikian pula halnya keinginan seorang guru untuk dapat mengajar
secara efektif harus mengetahui prinsip-prinsip belajar dan berbagai
macam pendekatan proses belajar, persoalan belajar dan pengajaran
remedialnya, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap belajar siswa, dan
cara membimbing belajar siswa yang efektif.
c. Untuk memahami adanya perbedaan individual
Secara harfiah masing-masing siswa mempunyai karakteristik yang
spesifik, berbeda satu dengan yang lain. Dari perbedaan masing-
masing siswa tersebut, guru dapat menyesuaikan pengajaran di dalam
kelasnya. Pengajaran yang baik adalah disesuaikan dengan situasi dan
kondisi dari beragamnya siswa. Apabila iklim kondusif telah dapat
diciptakan dalam kelas, para siswa akan dapat mengembangkan
potensi masing-masing secara lebih optimal.
d. Untuk memahami metode mengajar yang efektif
Praktik pengajaran yang sudah berlangsung setiap hari di sekolah bisa
jadi menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan di sana-sini Untuk
itu, diperlukan penyempurnaan-penyempurnaan supaya tujuan
pembelajaran dapat dicapai. Kebiasaan-kebiasaan mengajar yang tidak
benar dapat diminimalisasi dengan menggunakan metode yang ada
dalam psikologi pendidikan. Penggunaan metode yang ada dalam
psikologi pendidikan ini akan membekali pula kepada guru untuk
mampu mengorganisasi kelompok-kelompok belajar siswa dalam kelas
yang sedang diampunya.
e. Untuk memahami problem anak-anak
Setiap anak mempunyai problema yang dapat berbeda satu dengan
yang lainnya. Tidak terkecuali, sekecil apa pun problem pasti dimiliki
oleh peserta didik. Problema anak terkadang mengejawantah dalam
tingkah laku anak di sekolah dan dapat memengaruhi penyerapan
pelajaran. Oleh karena itu, guru perlu mengetahui berbagai macam
problem anak yang bersangkutan dan kemudian mampu membantu
untuk mengatasinya. Agar guru dapat mengetahui tugas yang demikian
itu, maka ia perlu mempelajari psikologi pendidikan.
f. Memberi pengetahuan kesehatan mental
Guru yang telah mempelajari psikologi pendidikan akan memiliki bekal
pengetahuan tentang penyebab-penyebab yang menimbulkan
gangguan mental anak dan dapat mencegah serta mengobatinya dengan
benar.
g. Membantu penyusunan kurikulum pendidikan berdasarkan pada
tingkatan perkembangan anak-anak
Guru merupakan orang yang paling dekat dengan siswa secara
langsung. Guru pula yang paling tahu tentang kondisi siswanya dalam
menyerap pembelajaran di sekolah. Dengan pernyataan lain, gurulah
yang paling mengetahui kemampuan siswa dalam menyerap pelajaran
di kelas. Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dengan pemberlakuan
kurikulum pelajaran yang diberlakukan. Guru yang mempelajari
psikologi pendidikan akan dapat mengukur bobot pelajaran
(kurikulum) sesuai dengan kemampuan siswa. Dengan begitu, psikologi
pendidikan dapat dimanfaatkan untuk membantu guru dalam
menyusun kurikulum pelajaran di sekolah.
h. Memberi pengetahuan dalam usaha pengukuran hasil belajar siswa
Guru yang menguasai dengan baik ilmu psikologi pendidikan akan
dapat melakukan pengukuran hasil belajar siswa dengan benar. Sebab,
dalam psikologi pendidikan terdapat metode-metode yang tepat dan
mudah yang dapat digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa
selama belajar di sekolah.
i. Berguna untuk melakukan penelitian
Psikologi pendidikan memuat metode-metode penelitian yang dapat
diterapkan untuk mengukur prestasi belajar siswa. Selain itu, psikologi
pendidikan juga memuat petunjuk-petunjuk yang
dapat digunakan guru mengatasi problem-problem siswa berkaitan i
dengan kegiatan belajarnya di sekolah. Dengan demikian, psikologi
pendidikan dapat membantu guru atau tenaga pendidik dalam
melakukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kegiatan
belajar-mengajar siswa di sekolah.
j. Memberi bimbingan kepada kelainan-kelainan anak
Tidak semua anak dilahirkan di dunia dengan fisik dan mental yang
sempurna. Di antara anak-anak itu ada yang mengalami cacat fisik dan
atau gangguan mental. Adanya gangguan mental sedikit atau banyak
akan dapat memengaruhi proses penyerapan ilmu atau kegiatan belajar
siswa. Guru yang menguasai ilmu psikologi pendidikan akan memiliki
bekal yang cukup memadai untuk memberikan bimbingan kepada
siswa yang menderita kelainan-kelainan mental ini sehingga ia mampu
menyerap pelajaran yang diberikan guru seperti siswa lainnya yang
tidak mengalami gangguan mental.
k. Membantu pengembangan sikap-sikap anak yang baik
Anak-anak dengan latar belakang keluarga yang broken home terkadang
menunjukkan perilaku yang berbeda dengan anak-anak lain (dari
keluarga yang harmonis). Demikian pula anak-anak yang mempunyai
bakat nakal menunjukkan sikap atau perilaku yang tidak baik dan tidak
disukai teman-temannya. Anak-anak dengan sikap atau tingkah laku
yang demikian itu dapat mengganggu anak-anak lain dalam belajar di
sekolah. Oleh karena itu, kewajiban guru membimbing atau
mengarahkan anak-anak dengan sikap atau perilaku yang tidak baik
menjadi anak-anak yang berperilaku baik dan disukai teman-
temannya. Guru yang dapat melakukan tugas itu hanyalah guru yang
memiliki bekal dapat memahami
tingkah laku anak dan mengembangkannya menjadi tingkah laku yang
baik.
l.Untuk mengetahui dinamika kelompok anak-anak
Guru yang mempelajari psikologi pendidikan akan mampu mengetahui
dinamika siswa di sekolah. Sebab, hal itu dalam psikologi pendidikan
dikupas secara gamblang dan bijak. Dengan begitu, guru akan mampu
memberikan bimbingan dan arahan yang benar kepada siswa sehingga
belajarnya di sekolah dapat berjalan dengan baik dan lancar.

2. Sumbangan Psikologi Pendidikan dalam Praktik Pendidikan


Psikologi pendidikan, selain memiliki peranan penting dalam teori
pendidikan, juga mempunyai sumbangan penting dalam praktik-praktik
pendidikan, antara lain:
a. Metode atau cara yang diterapkan kepada anak bernilai edukatif dan
lebih bijaksana .
Hal ini tampak ketika ada siswa melakukan kesalahan sewaktu di
sekolah. Guru memberi hukuman kepada anak yang telah berbuat
kesalahan tersebut secara bijak dengan masih bernuansakan mendidik.
Jadi, guru tidak asal menghukum anak yang telah melakukan
kesalahan.
b. Penggunaan alat-alat pendidikan modern
Dalam metode pengajaran digunakan alat-alat modern guna membantu
jalannya proses belajar mengajar di sekolah. Misalnya audio-visual,
OHP(Over Head Projector), slide projector, dan sebagainya.
c. Pelaksanaan administrasi sekolah secara modern
Sekolah dikelola dengan cara atau sistem yang tercatat dan
komputerisasi (modern, tidak konvensional). Dengan begitu,
keberhasilan proses belajar mengajar menjadi terukur dan lebih nyata.
Pelaksanaan proses belajar mengajar, kinerja guru dan karyawan
(pesuruh sekolah) dan lain-lain menjadi lebih tertata dan disiplin yang
tinggi sehingga proses belajar mengajar di sekolah menjadi lebih lancar
dengan target-target tertentu yang jelas.
d. Penyusunan daftar pelajaran sekolah secara baik
Dengan menggunakan pedoman psikologi pendidikan, jadwal pelajaran
sekolah dapat disusun secara baik. Misalnya, penentuan waktu dan
lamanya jam pelajaran (alokasi waktu belajar) dari masing-masing
pelajaran dapat diatur/di tentukan dengan cara yang proporsional
sesuai dengan silabus kurikulum pelajaran yang telah ditentukan
sebelumnya.
e. Mengatur kegiatan kokurikuler
Dalam psikologi pendidikan diuraikan pentingnya pelajaran
kokurikuler bagi siswa. Guru yang menyusun mata pelajaran di kelas
menggunakan psikologi pendidikan pasti akan mengikutsertakan
pelajaran/kegiatan kokurikuler bagi para siswanya di sekolah.
Umumnya, kegiatan atau pelajaran kokurikuler sebagai pendukung
kegiatan pokok belajar siswa di sekolah. Misalnya pelajaran
kokurikuler berupa pelajaran kesenian (musik, tari, seni rupa, batik,
dan lain-lain), pramuka, kerajinan tangan, olah raga (renang, lempar
lembing, badminton, sepak bola, voli, dan lain-lain).
Kegiatan kokurikuler sifatnya pilihan, artinya tidak wajib diikuti
oleh semua siswa di sekolah yang bersangkutan. Setiap siswa diberi
kebebasan untuk menentukan pilihan terhadap bidang
kokurikuler yang akan dipelajari pada jam-jam belajar kokurikuler
yang telah dijadwalkan oleh sekolah.
f. Penggunaan penemuan metode baru dalam psikologi pendidikan
Dalam psikologi pendidikan sering dilakukan percobaan-percobaan
berkaitan dengan pelaksanaan proses belajar mengajar di sekolah. Pada
akhirnya penemuan-penemuan metode baru dalam psikologi
pendidikan diterapkan dalam proses pendidikan. Misalnya metode
diskusi, pengajaran mikro (micro teaching),pengajaran berprogram, kelas
terbuka, pengajaran modul, dan sebagainya.
g. Menyusun buku teks dan buku pegangan guru sampai pembuatan
lembar kerja untuk siswa
Psikologi pendidikan memberikan aturan-aturan atau semacam rambu-
rambu penting mengenai batasan-batasan materi pelajaran dan materi
sebagai pegangan guru dalam mengajar siswa di sekolah. Dengan
begitu, psikologi pendidikan memiliki peranan penting dalam andilnya
membuat kisaran materi pelajaran bagi siswa sesuai dengan tingkatan
kelas atau disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa di sekolah.
Bab III
PRINSIP SISTEM PSIKOLOGI DAN
SUMBANGSIHNYA DALAM
PENDIDIKAN

A
nda tentunya pernah mendengar kata sistema dan sistem disebut
dalam dunia ilmu pengetahuan. Sistema meliputi sistem-sistem
yang ada, dengan kata lain sistema psikologi berarti sistem-sistem
psikologi. Sistem psikologi adalah teori atau aliran psikologi yang
mempunyai pandangan tersendiri mengenai jiwa manusia. Jadi, satu sistem
psikologi dapat dipandang sebagai suatu paham, aliran, atau teori psikologi.
Dengan pernyataan lain, suatu sistem psikologi adalah suatu konsep
tertentu mengenai psikologi dan mempunyai prinsip-prinsip tertentu yang
berbeda dengan sistem psikologi lainnya. Suatu sistem psikologi
mempunyai model pendekatan tertentu dalam mempelajari tingkah laku
manusia sehingga hal ini sangat penting untuk diketahui oleh para guru.
Setiap sistem psikologi mempunyai pengaruh tertentu dalam bidang
pendidikan. Dengan demikian, sistem psikologi yang diterapkan dalam
pendidikan
adalah khas dilihat pengaruh positifnya terhadap pendidikan yang
bersangkutan.
Sistem-sistem psikologi yang telah dikenal dalam pendidikan ada
banyak sekali macamnya. Di antara sistem-sistem psikologi yang akan
diuraikan dalam buku ini adalah sistem psikologi daya, sistem psikologi
strukturalisme, sistem psikologi fungsionalisme, sistem psikologi
behaviorisme, sistem psikologi dalam (psikoanalisis), dan sistem psikologi
Gestalt.

A. Sistem Psikologi Daya


Pada bab sebelumnya selintas telah disinggung mengenai psikologi daya
yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles. Disebutkan, psikologi daya
dimulai semenjak zaman kuno, saat psikologi masih merupakan bagian dari
filsafat.
Menurut tokoh psikologi daya, Plato, jiwa berasal dari alam idea,
yaitu dunia yang tinggi. Semua kemampuan jiwa dalam alam idea sudah
ada. Kemudian jiwa turun ke dunia rendah, yaitu masuk ke dalam jasmani
manusia sehingga manusia hidup. Namun, kemampuan jiwa terbatasi oleh
jasmaninya. Gambaran pernyataan ini adalah pikiran dapat bekerja dengan
semestinya dengan adanya saraf otak yang normal, pengindraan dapat
berfungsi dengan baik hanya kalau ada alat-alat indra manusia (mata dan
saraf mata) yang normal. Demikian pula untuk mendengar, hanya dapat
dilakukan kalau manusia memiliki telinga dengan sarafnya yang normal
atau dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

1. Prinsip Sistem Psikologi Daya Menurut Plato


Pada dasarnya jiwa manusia mempunyai tiga kelompok kemampuan
(kekuatan) atau daya, yaitu daya berpikir yang bertempat di
kepala, daya perasaan bertempat di dada, dan daya kemauan bertempat di
perut. Masing-masing daya itu berpengaruh secara spesifik terhadap
individu. Apabila salah satu daya tersebut mendominasi kerjanya dalam
kehidupan manusia, ia akan menimbulkan tipe tertentu pada orang yang
bersangkutan. Misalnya, pada individu terjadi dominasi daya pikir, hal itu
akan menimbulkan tipe manusia pemikir. Pada individu terjadi dominasi
daya perasaan, yang terjadi adalah tipe individu yang pemberani. Jika pada
individu didominasi oleh daya kemauan, akan timbul individu dengan tipe
pekerja.
Konsep tentang kemampuan atau daya-daya jiwa tersebut oleh Plato
merupakan hasil dari pemikiran-pemikirannya. Proses yang dilakukan
seperti Plato tersebut lazim disebut sebagai pemikiran spekulatif atau
pemikiran filosofis. Pemikiran Plato tersebut semuanya didasarkan pada
idea. Hal itu dapat dimengerti karena Plato memang dikenal sebagai tokoh
idealisme sehingga semua hasil pemikirannya selalu didasarkan pada idea.
Di dunia idea, semua pengertian atau idea sudah ada. Sementara di dunia
nyata, manusia dengan jiwanya tinggal mencocokkan kembali ide-ide itu
dengan benda nyata. Contohnya, idea kursi lalu dicocokkan dengan benda
yang disebut kursi. Jika hal itu cocok, tentunya pengertian manusia
mengenai idea kursi menjadi benar.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa prinsip dari psikologi
daya adalah adanya daya-daya dalam jiwa manusia. Untuk menajamkan
atau memperkuat daya jiwa dilakukan pengasahan dengan cara dilatih
secara formal dan disiplin yang tinggi. Artinya, latihan tersebut dilakukan
secara berulang-ulang sampai yang dilatih menguasai betul.
2. Prinsip Sistem Psikologi Daya Menurut Aristoteles
Sementara itu, Aristoteles mendasarkan pengetahuan tentang
psikologi daya pada prinsipnya melibatkan adanya pengalaman-
pengalaman. Prinsip pengetahuan dengan pengalaman tersebut pada abad
ke-17 sempat melahirkan doktrin empirisme yang diajukan oleh John
Locke. Lebih lanjut, Aristoteles mengemukakan adanya prinsip asosiasi
pada cara kerjanya pengetahuan-pengetahuan dalam jiwa manusia.
Kemudian, oleh Aristoteles dirumuskan hukum asosiasi ingatan, yaitu
asosiasi sama saat, asosiasi persamaan, asosiasi perlawanan, asosiasi
perturutan, dan asosiasi logis (Fudyartanto, 2002).
Psikologi daya tersebut pada abad ke-19 ditentang oleh Herbart
kemudian diganti dengan psikologi tanggapan. Menurut Herbart,
tanggapan sebagai hasil pengindraan dijadikan unsur dasar dari semua
kemampuan jiwa. Pengertian dan berpikir tidak lain dan tidak bukan
merupakan proses tanggapan dengan hukum asosiasi tadi.
Kuatnya desakan yang dilakukan oleh psikologi tanggapan dari
Herbart, lama-kelamaan membuat psikologi daya tidak berkembang dan
semakin melemah. Pada akhirnya, psikologi daya tidak lagi terdengar
gaungnya dan menghilang ditelan zaman. Kini, psikologi daya tinggal
sejarahnya.

3. Sumbangan Psikologi Daya dalam Bidang Pendidikan


Psikologi daya sedikit ataupun banyak telah memberikan andil yang
cukup berarti bagi kemajuan pendidikan. Di antara sumbangan psikologi
daya pada pendidikan yang hingga saat ini masih dirasakan manfaatnya, di
antaranya sebagai berikut.
a) Implementasi ranah jiwa (kemampuan cipta, rasa, dan karsa, atau
kognitif, afektif, dan psikomotor) yang dituangkan ke
dalam penyusunan bahan-bahan kurikulum pendidikan dapat
mengembangkan semua potensi jiwa anak.
b) Metode atau cara belajar dengan drill hingga sekarang masih tetap
relevan diterapkan, misalnya, dalam pembelajaran bahasa asing (bahasa
Inggris, bahasa Jepang, bahasa Prancis, dan lain-lain).
c) Penerapan hukum asosiasi masih dapat dilakukan dalam proses belajar
mengajar agar pengetahuan dapat dikuasai oleh siswa dan diingatnya
lagi saat diperlukan kembali.

B. Sistem Psikologi Strukturalisme


Tahun 1879 merupakan awal sejarah dimulainya pengajaran psikologi
modern. Masa ini juga menjadi awal kemandirian psikologi sebagai ilmu
yang terpisah dari filsafat. Pemisahan diri dari filsafat sesungguhnya
dirintis oleh para ahli psikologi seperti Weber, Fehner, Helmholtz, dan
lain-lain. Para tokoh psikologi tersebut memakai metode eksperimen
psiko-fisik, yang melibatkan pengaruh fisika dan biologi dalam penelitian-
penelitian psikologi. Akibat pergeseran paham ini juga memunculkan
nama tokoh psikologi fisiologis Morgan. Sementara itu, tokoh yang
disebut-sebut membidani psikologi modern adalah Wilhelm Wundt
dengan karya gemilangnya berupa pendirian laboratorium psikologi yang
pertama kali di dunia. Laboratorium psikologi itu didirikan oleh Wundt di
kota Leipzig, Jerman.
Masalah psikologi yang diteliti oleh Wundt adalah kesadaran jiwa,
termasuk proses berpikir. Penelitian Wundt dilakukan untuk memperoleh
gambaran tentang struktur jiwa yang aktual pada manusia. Wundt
menyelidiki hal itu dengan metode introspeksi eksperimental.
Penyelidikan Wundt tertuju kepada gejala-gejala yang disadari oleh
individu. Ketegasan Wundt tentang hal itu mendorongnya untuk
membatasi ruang lingkup psikologi hanya berlaku untuk manusia, tidak?
untuk hewan atau binatang. Oleh karena itu, psikologi didefinisikan
sebagai ilmu yang menganalisis jiwa manusia dewasa yang normal.
Selanjutnya, produk penelitian Wundt dikenal dengan sebutan sistem
psikologi strukturalisme.
Langkah Wundt diikuti oleh pengikut-pengikutnya, di antaranya E.B.
Tichener (1867—1927). Pengikut Wundt ini berkeinginan meneliti secara
lebih mendalam mengenai pengalaman-pengalaman manusia dengan
menggunakan metode introspeksi eksperimental seperti yang dilakukan
oleh Wundt.
Tugas utama psikolog menurut paham psikologi strukturalisme adalah
mencari elemen atau unsur-unsur jiwa dan bagaimana cara membentuk
keseluruhannya. Menurut psikolog strukturalisme, sistematika dan
penjelasan mengenai unsur-unsur jiwa dapat ditunjukkan melalui sistem
persarafan (neuron). Jadi, hal itu merupakan pendekatan mentalistik murni
pada permasalahan tingkah laku dan pengalaman manusia.
E.B. Tichener (1867-1927) mengemukakan tujuan psikologi
strukturalisme adalah mempelajari mental riil, bukan konsep perasaan.
Segala sesuatu yang dialami manusia merupakan bagian dari kesadaran
yang merupakan proses sederhana. Semua proses sederhana tersebut
merupakan gabungan dari proses-proses sederhana nyata. Proses-proses
sederhana itu dinamakan unsur-unsur mental yang jumlahnya banyak
sekali, lebih dari 50.000 macam. Tetapi, dari sejumlah unsur-unsur mental
yang jumlahnya ribuan tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu kelompok sensasi dan afeksi. Hal yang menjadi problem
untuk kita kaji adalah masalah yang membentuk elemen secara
keseluruhan dimulai dari bagian-bagian yang disebut
atom. Elemen-elemen itu dalam psikologi sebenarnya merupakan
kesadaran-kesadaran sebagai isi-isi mental.
Selanjutnya, Tichener membagi psikologi strukturalisme menjadi
beberapa macam, seperti psikologi anak, psikologi hewan, psikologi
abnormal, dan psikologi orang dewasa. Sasaran dan objek utama psikologi
atau tujuan objektifnya adalah meneliti dan memahami jiwa manusia dan
strukturnya serta proses elemen yang terpisah dari kesadaran yang
kompleks.
1. Prinsip Sistem Psikologi Strukturalisme
Prinsip psikologi strukturalisme pada dasarnya adalah adanya
anggapan bahwa jiwa (mind)manusia terdiri atas gabungan unsur-unsur
jiwa, seperti persepsi, ingatan, pengertian, pikiran, kemauan, perasaan,
dan lain-lain. Unsur-unsur jiwa tersebut oleh Tichner masih ditambah
unsur afeksi. Unsur-unsur jiwa membentuk kesadaran pengalaman
manusia sehingga yang namanya jiwa merupakan total pengalaman
manusia dalam kehidupannya.
2. Sumbangan Sistem Psikologi Strukturalisme pada Pendidikan Para
ahli psikologi kini menyadari bahwa sistem psikologi strukturalisme
sebagai sistem umum pada psikologi amat sempit untuk mencakup
semua aspek tingkah laku manusia. Mengetahui adanya keterbatasan-
keterbatasan sistem psikologi strukturalisme, maka di era sekarang
sistem psikologi ini jarang dianut orang. Tetapi, sumbangan psikologi
strukturalisme terhadap pendidikan tidak dapat dilupakan begitu saja
karena masih dapat diambil manfaatnya, di antaranya sebagai berikut.
a) Paham psikologi strukturalisme mendorong lepasnya psikologi
sehingga berdiri sendiri sebagai ilmu psikologi lepas dari metafisika
atau filsafat. Dengan begitu, psikologi telah berdiri
sebagai cabang ilmu tersendiri dan bukan lagi sebagai cabang ilmu
filsafat.
b) Melahirkan metode eksperimen dalam psikologi, yaitu metode
ekperimen introspeksi.
c) Mendorong berdirinya beberapa laboratorium psikologi di
berbagai negara seperti di Eropa dan Amerika.
d) Mendorong gerakan ekperimentasi pada psikologi pendidikan.
Hal ini sangat berkembang di Amerika.
e) Kemajuan eksperimen pada psikologi pendidikan juga ikut andil
memberikan sumbangan kemajuan pada pendidikan, misalnya
dalam bidang belajar.
f) Psikologi strukturalisme memberikan sumbangan dalam metode
mengajar unsur atau metode elemen. Dalam pelajaran bahasa
dikenal sebagai metode kata lembaga atau metode mengajar
bagian. Hal itu terjadi sebelum munculnya psikologi Gestalt.

C. Sistem Psikologi Fungsionalisme


Sistem psikologi fungsionalisme pertama kali dikembangkan di Amerika
Serikat tepatnya di Universitas Harvard oleh psikolog William James
(1842-1910). James berhasil menerbitkan karyanya tentang psikologi
fungsionalisme dengan judul The Principles of Psychology. Psikologi
fungsionalisme kemudian berkembang di Universitas Chicago dan
Colombia, Amerika Serikat. Tokoh-tokoh psikologi fungsionalis dari
Chicago yang lain adalah John Dewey (1859-1952), James R. Angell
(1869-1949), Harve A. Carr (1873-1954), dan G.H. Mead. Sedangkan
pendukung psikologi fungsionalisme di antaranya Robert
S. Woodworth.
1 Prinsip Psikologi Fungsionalisme
John Dewey mengemukakan semboyan learning by doing (belajar
dengan berbuat). Selain hal itu, John Dewey telah menerbitkan
tulisannya How We Thinkyang berisi tentang proses berpikir pada
dasarnya merupakan suatu adaptasi terhadap situasi-situasi problematis
yang timbul dalam kehidupan di dunia ini. Manusia berpikir jika ada
hambatan-hambatan dari luar. John Dewey terkenal dalam filsafat
pendidikan dengan gagasan cemerlangnya yang dia kemukakan
mengenai Democracy and Educationdengan semboyannya yang terkenal
tersebut.
Berkembangnya psikologi fungsionalisme Chicago dan Columbia
tersebut sebagai wujud protes terhadap sistem psikologi strukturalisme
yang memakai pendekatan deskripsi murni dan analitis terhadap jiwa
manusia. Misalnya, Dewey mengkritik tingkah laku tidak dapat
dipecah-pecah menjadi keping-keping tingkah laku. Respons dan
stimulus bersifat korelatif sedangkan refleks harus dianggap sebagai
keseluruhan, bertujuan adaptif, dan berguna keseluruhan.
Sementara Angell mengemukakan gagasannya bahwa fungsi
psikologi fungsionalisme mempelajari kesadaran mental sebagai lawan
dari unsur-unsur mental dan strukturalisme. Psikologi fungsionalisme
menekuni hakikat dan fungsi proses-proses mental dengan menekankan
bagaimana proses-proses itu bekerja. Ilmu psikologi fungsionalisme juga
bertugas membahas hubungan total organisme dengan lingkungan
sekitarnya yang meliputi semua jiwa raga manusia. Angell menekankan
pada proses-proses biologis dan penyesuaian dalam lingkungan
sekitarnya.
Pendukung psikologi fungsionalisme berpendapat bahwa
kesadaran mental tidak pasif atau hanya sebagai penerima saja, tetapi
bersifat aktif dalam reaksi adaptif pada setiap situasi yang tampil.
Pendukung psikologi fungsionalisme, Robert S. Woodworth, merumuskan
persoalan psikologi sebagai What men do and why men do it(Apakah yang
diperbuat manusia dan mengapa berbuat begitu). Permasalahan itu dijawab
secara akurat dan sistematis oleh psikologi fungsionalisme yang kemudian
menjadi prinsip-prinsip sistem psikologi fungsionalisme.
Sementara Harve A. Carr (1873-1954) mengajukan gagasannya bahwa
masalah pokok psikologi ialah kegiatan mental yang pada hakikatnya
merupakan penyesuaian diri. Kegiatan mental adalah manipulasi dari
pengalaman tertentu agar memperoleh tujuan tertentu yang diinginkan.
Pada setiap tindakan adaptif melibatkan tindakan-tindakan stimulus yang
memotivasi, situasi sensoris, dan responsi. Menurut Carr, suatu organisme
selalu relevan dengan situasi, artinya setiap tingkah laku mesti bermotif.
Lebih lanjut, Carr menjelaskan bahwa bentuk penting dari psikologi
fungsionalisme. Pertama, menghadapi masalah mengapa dan bagaimana isi-
isi dalam pengertian relasinya pada isi lingkungan sekitarnya. Kedua,
konteks yang mencakup proses biologis adaptasi atau penyesuaian. Ketiga,
menerjemahkan proses mental ke dalam fakta psikologis dan sebaliknya.
Perihal stimulus dan respons dijelaskan secara sistematis oleh E. L.
Thorndike dan Woodworth sebagai berikut. Thorndike terkenal sebagai
tokoh pencipta psikologi pendidikan. Ia terkenal dalam eksperimen-
eksperimen belajar pada hewan (kucing). Thorndike mengemukakan teori
belajar yang disebut Teori Belajar Koneksionisme S-R (Learning is acquired by
blind trial and error).Menurut Thorndike, psoses belajar bersifat mekanis|
dengan mencoba dan gagal dan secara berangsur-angsur kegagalan
menurun (berkurang), akhirnya memberi responsi yang benar. Tingkah
laku dalam situasi baru bersifat acak. Tingkah laku acak
dan dalam hubungannya dengan konsekuensinya mengarah kepada
hubungan-hubungan mekanis antara stimulus dan responsi sehingga
proses belajar dengan mudahnya berlangsung secara membabi buta,
mencoba dan gagal, mencoba dan gagal, dan... mencoba dan benar.
Dengan demikian, belajar membentuk hubungan antara S (Stimulus) -
R (Responsi), S - R; koneksi S - R.
Woodworth mengubah rumus S-R yang dikemukakan oleh
Thorndike tersebut diubah menjadi S-O-R, di sini O adalah organisme
(individu). Setiap S harus melalui O (proses fisiologis, neurologis, dan
psikis), baru keluar R. Sesuai rumusan itu, Woodworth memandang
bahwa tingkah laku itu bersifat dinamis. Motivasi berperan penting
dalam tingkah laku yang dinamis itu. Woodworth berpendapat bahwa
psikologi tidak hanya mengobservasi tingkah laku, tetapi juga meneliti
dinamika tingkah laku tersebut sehingga Woodworth mengubah rumus
S-R menjadi S-O-R.
2. Sumbangsih Sistem Psikologi Fungsionalisme dalam Pendidikan
Sumbangsih psikologi fungsionalisme terhadap pendidikan di antaranya
sebagai berikut.
a) Ajaran psikologi fungsionalisme menekankan bahwa tingkah laku
adalah adaptasi individu pada situasi hidup yang baru. Menurut
psikologi fungsionalisme, sekolah atau perguruan harus
mengajarkan pada anak-anak seluruh adaptasi di masyarakat.
Lingkungan sekitar juga merupakan faktor penting dalam
pendidikan anak.
b) Ajaran psikologi fungsionalisme pada pendidikan adalah Learning
by doing.Dengan demikian, kurikulum pendidikan yang semula
lebih banyak bersifat teori kemudian oleh psikologi fungsionalisme
diubah menjadi kurikulum bersifat praktis. Jadi,
dalam hal ini psikologi fungsionalisme berperan aktif dalam merombak
isi kurikulum pendidikan yang telah ada.
c) Penelitian-penelitian yang dilakukan bidang pendidikan, seperti
penelitian tentang berbagai problem siswa, selalu diarahkan pada
sesuatu yang berfungsi dalam pendidikan.
d) Psikologi fungsionalisme telah menyumbang banyak pada
kemajuan psikologi pendidikan seperti berbagai macam tes psikis
untuk anak-anak maupun orang dewasa.
e) Melayani perbedaan-perbedaan kebutuhan pada anak-anak untuk
melaksanakan pendidikan berdasarkan pada perbedaan individual.
f) Merintis gerakan fungsionalisme pada pendidikan (menekankan
fungsi sesuatu).
g) Mendorong semangat ingin tahu pada anak-anak guna
membangkitkan semangat belajarnya.
h) Mengembangkan metode baru dalam pendidikan, misalnya dengan
eksperimen-eksperimen.

D. Sistem Psikologi Behaviorisme


Psikologi behaviorisme pertama kali dipopulerkan di Amerika Serikat oleh
John Broadus Watson (1878—1958). Behaviorisme artinya serba tingkah
laku. Psikologi behaviorisme adalah psikologi tingkah laku dan
menekankan pada tingkah laku. Behaviorisme didasarkan pada ajaran
materialisme. Hal itu dimulai ketika muncul tulisan ahli biologi Jacques
Leob tahun 1890 berjudul The Mechanistic Conception of Life (Konsep
Mekanistik Kehidupan).
Pada tahun-tahun selanjutnya, psikologi behaviorisme mengalami
perkembangan sangat pesat. Terutama setelah Pavlov berhasil
mengadakan eksperimen refleks air liur pada anjing untuk menjelaskan
Teori Belajar Refleks Bersyarat atau Teori Pengondisian Klasik, maka
selanjutnya eksperimen-eksperimen belajar banyak dilakukan di Amerika
Serikat oleh para tokoh psikologi fungsionalisme dan behaviorisme.
Perkembangan psikologi behaviorisme terjadi pula di Rusia yang ditandai
dengan munculnya tokoh-tokoh psikologi refleks, yaitu I.M. Seehanov, IP.
Pavlov, dan Vladimir Bekhterve. Namun, sejauh itu perkembangan
psikologi behaviorisme tampak paling pesat di Amerika Serikat.
Perkembangan konsep psikologi behaviorisme yang terjadi di Amerika
Serikat adalah mengenai belajar dan dilakukan dengan berbagai
eksperimen. Di antara tokoh-tokoh psikologi behaviorisme dari Amerika
Serikat yang sangat konsen pada penelitian-penelitian di bidang psikologi
behaviorisme di antaranya J.B. Watson, Tolman, Hull, dan lain-lain.

1. Prinsip Psikologi Behaviorisme


J.B. Watson mengemukakan bahwa psikologi merupakan studi yang
objektif terhadap tingkah laku manusia dan hewan. Beberapa hal penting
dari peran Watson dalam psikologi adalah membawa psikologi keluar dari
kontroversi pendekatan yang mentalistik (strukturalisme). Menurutnya,
psikologi sepenuhnya bersifat objektif. Watson sepenuhnya menganut
determinisme lingkungan (environ-mentalism) yang merupakan hasil
pengaruh kuat dari paham empirisme di Amerika Serikat. Menurut
Watson, lingkungan adalah sangat penting dibandingkan dengan faktor-
faktor keturunan dalam menentukan tingkah laku. Watson juga
berpendapat bahwa pengondisian merupakan kunci untuk memahami
tingkah laku. Masalah psikologi menurut Watson merupakan masalah
kegiatan atau
aktivitas manusia (dan hewan) yang dapat diobservasi dan dapat
diukur secara akurat. Watson menegaskan tujuan psikologi behaviorisme
dengan meramalkan responsi dan mengendalikan tingkah laku manusia
(dan hewan). Menurut Watson, yang namanya kesadaran bukan masalah
pokok penelitian sedangkan unit tingkah laku berupa refleks atau
hubungan S—R. Tingkah laku tersusun atas unsur-unsur responsi dan
dapat dianalisis secara tuntas dengan metode ilmiah objektif. Metode
penting dalam psikologi behaviorisme adalah pengondisian. Ia menolak
metode introspeksi sebagai metode untuk mempelajari atau meneliti
tingkah laku. Sebab, setiap respons mempunyai stimulus yang efektif dan
setiap tingkah laku ada sebab-sebab tertentunya atau ada determinisme
efektifnya.
Pada perkembangan-perkembangan terakhir psikologi behaviorisme
ditandai munculnya pendapat Hull dan Tolman yang kontroversial.
Keduanya mempunyai pendapat yang berbeda dengan pendapat tokoh-
tokoh sebelumnya, kendati keduanya sama-sama tokoh psikologi
behaviorisme. Hull mengajukan konsep metode hipotetiko- deduktif dalam
teorinya mengenai reduksi dorongan dalam belajar. Hull merumuskan
secara eksplisit postulat belajar sebagai perkuatan dalam arti sebagai
pereduksi dorongan. Hal ini sangat esensial dalam semua peristiwa belajar.
Sementara, Tolman berpendapat dengan mengajukan konsep teori belajar
yang tidak sesistematis teori belajar yang diajukan oleh Hull. Tolman
sendiri sangat menekankan adanya tingkah laku yang bersifat molar, bukan
tingkah laku yang sifatnya polar. Artinya, satu stimulus tidak harus
menghasilkan satu responsi (polar).
Guthrie, seorang tokoh lain psikologi behaviorisme mengusulkan
teori tingkah laku berdasarkan hukum tunggal. Guthrie mengatakan
bahwa pada setiap responsi yang timbul pada saat tertentu pasti
terhubung dengan unsur-unsur stimulus yang tampil pada waktu itu juga.
Dengan demikian, responsi pun terjadi saat itu. Prinsip-prinsip itu
digunakan Guthrie pada psikologi pendidikan dalam melakukan analisis
fenomena sosial dan kepribadian individu.
Pada pertengahan akhir abad ke-20 mengemuka tokoh psikologi
behaviorisme yang lain, B.F. Skinner. Skinner memakai pendekatan
objektif yang terkenal dengan nama operant conditioning(pengondisian
operan). Skinner menghasilkan konsep yang kuat, murni, dan deskriptif
yang banyak didukung orang. Pendekatan Skinner tersebut banyak berjasa
dalam bidang praktik pendidikan. Kehebatan Skinner dalam hal ini adalah
kepiawaiannya dalam mengembangkan mesin belajar {teaching
machines)dan belajar berprogram {programmed learning).

2. Sumbangan Sistem Psikologi Behaviorisme dalam Pendidikan


Berikut ini adalah sumbangan-sumbangan yang diberikan psikologi
behaviorisme pada bidang pendidikan.
a) Psikologi behaviorisme telah memberikan sumbangan yang cukup
berarti dalam perkembangan dunia pendidikan dalam hal belajar dan
motivasi.
b) Psikologi behaviorisme berhasil menyelesaikan perdebatan
kontroversial antara pendekatan-pendekatan mentalistik dan
mekanistik terhadap tingkah laku manusia.
c) Psikologi behaviorisme banyak memberikan perhatian kepada semua
bidang psikologi, misalnya pada masalah emosi dan perilaku kanak-
kanak.
d) Psikologi behaviorisme telah memberikan metode baru dalam
pengajaran yang terkenal dengan belajar berprogram dan mencapai
sukses di berbagai negara. j
e) Psikologi behaviorisme memandang penting pada lingkungan sekitar
dan dampaknya terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia.
f) Psikologi behaviorisme percaya bahwa semua perilaku dipelajari dalam
proses interaksi yang konstan dengan lingkungan sekitarnya.
g) Psikologi behaviorisme telah mengembangkan metode baru dalam
teknik-teknik pelayanan pada para penderita penyesuaian yang salah
atau yang disebut dengan maladaptasi. Dengan demikian, psikologi
behaviorisme tidak hanya bergerak dalam pendidikan anak-anak yang
sehat mentalnya, tetapi juga menangani anak-anak yang mengalami
kelainan-kelainan mental (di bidang kesehatan mental dan bimbingan
konseling).

E. Sistem Psikologi Analisis


Bidang psikologi mengalami revolusi dalam wawasan kehidupan jiwa dan
kepribadian manusia. Munculnya hal itu berkat rintisan Sigmund Freud
(1856—1939), psikiater lulusan Universitas di Vienna tahun 1881 dengan
spesialisasinya psikoterapi. Sembari bekerja sebagai psikiater, Freud juga
menyusun teori kepribadian dan metode terapi untuk metode penelitian
psikologi. Teori terapi itu terkenal dengan sebutan analisis asosiasi bebas.
Paham Freud selanjutnya disebut psikoanalisis.
Psikoanalisis dalam perkembangannya dipandang sebagai suatu
sistem psikologi tersendiri dengan nama sistem psikoanalisis. Pada
awalnya Freud bekerja sama dengan Charcot, psikiater dari Prancis, dan
Josef Breuer dari Jerman. Semula Freud memakai metode hipnosis dalam
terapi psikis yang dilakukan untuk para pasiennya. Metode ini
dipelajarinya dari Charcot dan Breuer.

1. Prinsip Sistem Psikoanalisis


Penemuan Freud yang penting adalah analisis kehidupan jiwa yang
tidak disadari dan penyajian struktur jiwa secara topografis untuk
menggambarkan kepribadian manusia. Bagian yang tidak sadar itu pun
merupakan bagian kepribadian yang amat penting. Usulan teori oleh Freud
adalah bagian terbesar dari kepribadian manusia yang merupakan lapisan
yang tidak disadari. Freud menggambarkan gejala kehidupan jiwa manusia
laksana sebuah gunung es yang muncul di atas permukaan air atau
samudra. Bagian gunung es yang muncul di atas permukaan air laut hanya
merupakan sebagian kecil dari gunung es tersebut. Bagian gunung es yang
terendam di dalam air laut adalah bagian yang terbesar dari gunung es.
Bagian gunung es yang muncul di permukaan air laut menggambarkan
bagian kesadaran jiwa. Sedangkan bagian gunung es yang terendam dalam
air laut, menggambarkan bagian jiwa manusia yang tidak disadari.
Menurut Freud, untuk mempelajari kehidupan jiwa tidak cukup
hanya mempelajari bagian jiwa yang sadar dan tingkah laku yang tampak.
Tetapi, Freud menjelaskan untuk langkah itu haruslah ditambah dengan
meneliti sampai pada bagian yang tidak sadar. Sebab, banyak sekali
keinginan yang ditekan, pikiran-pikiran, perasaan-perasaan yang tinggal
dalam lapisan tidak sadar dan secara terus-menerus memengaruhi tingkah
laku manusia. Freud memberikan beberapa alasan untuk menunjukkan
adanya lapisan jiwa manusia yang
1

tidak disadarinya: adanya berbagai mimpi yang timbul pada waktu


orang sedang tidur nyenyak; terjadinya kesalahan-kesalahan yang tidak
disengaja dalam perbuatan manusia seperti salah bicara, salah menulis,
dan sebagainya; manusia sering kali lupa, manusia terkadang dalam
posisi tidur namun berjalan-jalan (samnambulisme), solusi masalah
waktu tidur, misalnya karena mimpi tertentu kemudian terjadi kelegaan
jiwa, sugesti-sugesti setelah hipnosis, neurosis, dan psikosis.
Lebih lanjut, Freud membagi kualitas proses kejiwaan menjadi tiga
macam, yaitu proses-proses kesadaran, proses-proses prasadar, dan
proses-proses tidak sadar. Proses kesadaran berhubungan dengan gejala-
gejala dari luar yang sungguh-sungguh disadari. Proses prasadar terletak
di antara proses sadar dan proses tidak sadar. Proses prasadar merupakan
kumpulan atau tumpukan pengalaman-pengalaman yang dapat atau
sanggup disadari jika kita inginkan. Sedangkan proses tidak sadar,
merupakan fenomena yang tidak kita sadari dan tidak dapat ditembus
kecuali dengan kondisi tertentu, misalnya dengan teknik hipnosis.
Selanjutnya, Freud menjelaskan mengenai struktur jiwa dan
perkembangan libidinal pada manusia yang dituangkannya dalam teori
psikoanalis yang terkenal itu dalam uraian berikut ini.

a) Struktur Jiwa
Menurut teori psikoanalisis, struktur kejiwaan manusia dapat
dibilang sangat unik, yaitu terdiri atas Id, Ego, dan Super Ego. Struktur
kejiwaan pada manusia tersebut oleh Freud selanjutnya disebut
kepribadian. Apabila kepribadian manusia digambarkan, gambar
kepribadian manusia itu tampak seperti berikut:
SADA
R

PRASADAR

TAKSADAR

Gambar 2 Freud dan Teori Struktur Jiwa (Kepribadian)

Lapisan jiwa yang disebut Id atau das Es (bahasa Jerman) pada


gambar tersebut ditunjukkan sebagai lapisan terbesar penyusun
kepribadian manusia. Isi lapisan tidak sadar ini berasal dari keturunan
dan sudah ada semenjak manusia dilahirkan ke dunia ini atau gawan bayi
(Bahasa Jawa). Lapisan tidak sadar ini sangat penting peranannya bagi
individu karena menjadi sumber tenaga atau energi mental individu
manusia. Isi lapisan ini berupa dorongan-dorongan dan nafsu-nafsu
yang sangat kuat dan bersifat pembawaan yang secara hakiki tidak
disadari oleh individu manusia yang bersangkutan. Kesadaran jiwa
biasanya mengabaikan lapisan tidak sadar pada individu manusia.
Lapisan tidak sadar berfungsi dengan prinsip kenikmatan. Artinya,
selalu ingin mencapai kenikmatan dengan tidak mau menderita. Ciri-
ciri lapisan tidak sadar, antara lain, pada hakikatnya tidak disadari dan
tidak mempunyai hubungan langsung dengan dunia kenyataan, bersifat
amoral menurut ukuran sosial sebab hanyalah berupa nafsu-nafsu
belaka, Das Es dikuasai atau didominasi Oleh prinsip kenikmatan atau
prinsip mencari kepuasan, bersifat tidak logis (irasional), berisi semua
keinginan yang ditekan termasuk pikiran-pikiran dan perasaan-
perasaan, menjadi reservoir atau tandon libido, yaitu nafsu kenikmatan
yang merupakan dorongan kepuasaan itu sendiri yang berupa libido
untuk hidup dan libido untuk mati.
Menurut Freud, libido menjadi sumber pembentukan kebiasaan-
kebiasaan primitif dan sumber semua insting individu manusia.
Lapisan jiwa selanjutnya yang terletak di atas lapisan Das es dan di
bawah lapisan sadar, yaitu lapisan prasadar. Lapisan prasadar dapat
menjadi sadar jika ditarik ke atas menjadi sadar (diinginkan), tetapi jika
tidak ingin dimunculkan ke kesadaran lama-kelamaan masuk ke alam
tidak sadar. Sementara lapisan kesadaran (ego), merupakan bagian kecil
kehidupan jiwa manusia. Lapisan ego digambarkan sebagai bagian
gunung es di dasar lautan yang muncul di permukaan laut. Jadi, lapisan
ego hanya merupakan bagian yang sangat kecil. Sifat-sifat atau ciri-ciri
lapisan ego adalah sebagai berikut.
1) Semuanya disadari.
2) Hakikatnya bersifat logis, rasional.
3) Bertugas menghadapi kenyataan dalam lingkungan sekitar dan
kondisi-kondisi lingkungan yang nyata.
4) Ego membedakan antara pengalaman-pengalaman subjektif dan
hakikat benda-benda (objek) di dalam dunia luar.

a) Perkembangan Libidinal
Manusia, menurut Freud, merupakan suatu sistem yang kompleks
yang memakai energi untuk berbagai tujuan seperti bernapas, bergerak,
mengamati, dan mengingat. Kegiatan psikologik menurut Freud juga
membutuhkan energi yang dinamakan energi psikis. Energi ini
ditransformasikan melalui id beserta insting-instingnya. Insting adalah
perwujudan psikologik dari kebutuhan tubuh yang menuntut
pemuasan. Berkaitan dengan hal ini, pendapat Freud bersifat
kontroversial. Sebab menurutnya, insting hidup yang terpenting adalah
insting seks.
Menurut Freud, insting seks bukan hanya berkenaan dengan
kenikmatan organ seksual saja, melainkan juga hal-hal yang
berhubungan dengan kepuasan yang diperoleh dari bagian tubuh yang
lain yang dinamakan daerah erogen yang jika dirangsang akan
menimbulkan kepuasan dan dapat menghilangkan ketegangan.
Tujuan utama dari insting seks adalah mereduksi tegangan seks.
Hal ini memang tidak dapat diubah, tapi perlu dilakukan agar tujuan
dapat dicapai. Sebab, kepuasan seks dapat diperoleh bukan dari organ
genital saja, melainkan juga dengan berbagai tingkah laku yang dapat
dimotivasi dari insting hidup yang mirip dengan tingkah laku seksual.
Menurut Freud, semua aktivitas yang memberikan kenikmatan dapat
dilacak hubungannya dengan insting seksual.
Alwisol (2004) mencatat pendapat Freud yang ditujukan pada bayi
sepanjang usianya telah mempunyai perhatian pada dirinya sendiri.
Libido ditujukan kepada ego yang berarti bayi memperoleh kepuasan
dengan mengenal dirinya sendiri yang disebut narsisisme primer atau
libido narcissism.Semua bayi mengalami gejala itu dan pada
perkembangan selanjutnya perhatiannya beralih ke dunia luar sehingga
kepuasan menuntut objek di luar diri. Libido narsisisme primer akan
berubah menjadi libido objek. Pada usia pubertas hal itu akan berubah
menjadi secondary narcissismyang merupakan libido yang ditujukan
kepada orang lain misalnya berupa cinta.
Sewaktu bayi, dorongan cinta ditujukan kepada ibu atau orang
dewasa yang merawatnya. Cinta secara seksual kepada ibu atau orang
yang merawatnya akan ditekan ke bawah sadar dan selanjutnya akan
diganti dengan cinta nonseksual. Dari gambaran ini terlihat hubungan
yang erat antara narsisisme dan cinta.
Narsisisme merupakan cinta pada dirinya sendiri. Dengan
demikian, cinta seseorang yang dibarengi dengan kecenderungan
narsisisme menjadi mementingkan dirinya sendiri. Insting seks sebagai
bagian dari insting hidup dapat muncul bersama dengan insting
destruktif berupa insting mati sehingga menjadi sadism dan masochism.
Sadisme merupakan tindakan memuaskan dorongan seksual dan
dorongan destruktif dengan cara menyerang orang lain. Sedangkan
masochisme merupakan tindakan memuaskan dorongan seksual dengan
menyerang atau menyakiti dirinya sendiri.

F. Sistem Psikologi Gestalt


Teori gestalt dikemukakan oleh Max Wertheimer dari temuannya yang
sangat terkenal phy phenomenon.Ini merupakan ilusi yang dialami
langsung oleh manusia dan dapat terjadi di setiap saat dan sembarang
tempat.
Dalam kehidupan manusia sehari-hari pengalaman manusia selalu
membentuk satu kesatuan dengan pola dan konfigurasi tertentu. Teori
gestalt berangkat dari asumsi dasar manusia sebagai pemroses informasi.
Contohnya, ketika seseorang sedang berada di stasiun kereta api;
seseorang sedang duduk di dalam kereta api yang diam. Sesaat ketika di
samping kita terdapat kereta api lain sedang bergerak cepat, maka
seolah-olah kereta api yang kita tumpangi juga ikut bergerak.
Teori gestalt mempunyai sumbangan yang tidak dapat diremehkan
pada perkembangan dunia pendidikan. Tradisi gestalt secara intensif
meneliti adanya satu kesatuan antara pikiran, motivasi, perasaan, dan
ingatan (pengalaman lama) bekerja sama menangkap esensi-esensi baru
untuk mempelajari pengalaman-pengalaman baru.
Dalam teori gestalt, adanya kemampuan memproses informasi
merupakan penanda harkat kemanusiaan yang tertinggi. Hal itu sejalan
dengan pendapat Descartes yang mengatakan bahwa “Saya berpikir
karena itu saya ada”. Ajaran ini memotivasi seseorang untuk berpikir
yang baik tentang dirinya sendiri, di samping mendorong orang memilih
lingkungan yang pas dengan dirinya.
Bab IV
PRINSIP DASAR PERTUMBUHAN DAN
PERKEMBANGAN MANUSIA

M anusia dalam menjalani kodratnya mengalami siklus hidup yang


disebut pertumbuhan dan perkembangan. Seperti kita lihat dan
buktikan keberadaan manusia di dunia ini tidak langsung menjadi
manusia dewasa baik dari segi fisik maupun pola berpikirnya ketika baru saja
dilahirkan. Manusia mengalami siklus hidup secara bertahap untuk menjadi
manusia yang sempurna. Dengan pernyataan lain, sebelum manusia menjadi
sempurna, manusia akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan, yaitu
perubahan- perubahan menuju ke arah yang lebih maju atau sempurna. Pada
bab ini hendak dibahas mengenai pertumbuhan dan perkembangan manusia
secara lebih detail, mengingat hal ini sangat penting dalam kaitannya dengan
penerapan psikologi pendidikan dalam peradaban umat manusia.
A. Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia
Pertumbuhan pada manusia berhubungan dengan adanya perubahan-
perubahan yang terjadi pada aspek biologis (jasmani), meliputi anatomi dan
fisiologi. Secara biologi pertumbuhan manusia diawali dari bertemunya sel
telur (ovum) dengan sel spermatozoa (sel sperma) di dalam rahim seorang
perempuan. Peristiwa bertemunya sel telur dan spermatozoa tersebut
dinamakan pembuahan. Hasil dari pembuahan ini adalah satu sel zigot yang
sering disebut germsel. Berawal dari terbentuknya germsel ini kemudian terjadi
pembelahan sel secara terus-menerus. Mula-mula dari satu sel membelah
menjadi dua sel, dari dua sel membelah lagi menjadi empat sel, dari empat sel
membelah lagi sehingga terbentuk delapan sel, dari delapan sel membelah lagi
menjadi enam belas sel, dan demikian terjadi selanjutnya secara terus-menerus
atau kontinu sampai akhirnya terbentuklah embrio.
Di dalam rahim perempuan, sel-sel embrio ini mengalami pertumbuhan
secara terus-menerus. Pada awalnya pertumbuhan sel embrio terjadi pada
lapisan sel bagian dalam yang disebut sel endoderma. Seiring dengan hal itu,
juga terjadi pertumbuhan sel embrio bagian luar yang disebut sel ektoderma.
Kemudian, di antara sel endoderma dan ektoderma terjadi pertumbuhan sel
yang disebut sel mesoderma.
Ketiga jenis sel tersebut merupakan cikal bakal terbentuknya jaringan
khusus yang menyusun tubuh manusia. Sel-sel atau lapisan endoderma akan
tumbuh atau mengalami reproduksi membentuk jaringan alat-alat atau sistem
pencernaan pada tubuh manusia, seperti usus dua belas jari, usus besar, hati,
jantung, paru-paru, ginjal, dan sebagainya. Sel-sel atau lapisan mesoderma
tumbuh membentuk jaringan tulang dan otot-otot tubuh manusia. Sedangkan
sel-sel atau lapisan ektoderma, tumbuh menjadi sel-sel saraf (neuron). Pada
akhirnya, pertumbuhan yang berlangsung secara terus-menerus dari ketiga
lapisan sel itu akan membentuk orok atau bayi yang sering juga disebut fetus.
Keberadaan bayi dalam perawatan dan asuhan seorang ibu akan
mengalami perubahan-perubahan meliputi pertumbuhan dan perkembangan
yang mengarah menjadi manusia dewasa.
Seiring dengan pertumbuhan jasmani pada fetus juga mengalami
perubahan-perubahan ke arah kejiwaan (nonjasmaniah). Perubahan-
perubahan yang berkisar pada kejiwaan seseorang sering disebut
perkembangan manusia. Dari yang semula bayi tidak memiliki keinginan-
keinginan kemudian mengalami perkembangan sehingga ia mempunyai
keinginan-keinginan. Tidak hanya itu, perkembangan bayi pada masa-masa
selanjutnya menjadi semakin beraneka ragam, misalnya berkisar pada
perasaan, pikiran, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kejiwaan
(psikis).
Pertumbuhan dan perkembangan (tumbuh kembang) mulai dari bayi
hingga dewasa berjalan selaras. Secara lebih rinci dan sistematis pertumbuhan
dan perkembangan bayi sejak dari fetus hingga menjadi dewasa dalam
perawatan dan asuhan seorang ibu diuraikan berikut ini.
Sesudah bayi lahir ke dunia tanpa menunggu waktu lagi, bayi langsung
mengalami tumbuh kembang meskipun peristiwa ini terjadinya tidak secara
serta-merta. Tumbuh kembang bayi berbeda dengan tumbuh kembang
makhluk hidup yang lain, misalnya berbeda dengan pada binatang. Pada bayi
(manusia) tumbuh kembang terjadi lebih lambat namun sangat kompleks.
Ditinjau dari segi medis persalinan bayi yang mulus tanpa komplikasi
akan memberi dampak yang bagus bagi tumbuh kembang bayi di kemudian
hari. Saat terjadinya persalinan dapat terjadi
komplikasi seperti bayi tidak bernapas secara spontan/teratur dan adekuat
(asfiksi neonatorum).Komplikasi ini menyebabkan perubahan biokimia pada
darah bayi yang kemudian dapat mengakibatkan kematian atau kerusakan
permanen pada susunan saraf pusat sehingga intelligence quotient (IQ) anak
lebih rendah atau bahkan sampai menyebabkan cacat mental pada anak. Selain
itu, asfiksi neonatorum i dapat menyebabkan trauma lahir terutama pada
persalinan pertama karena letak janin tidak normal.
Tumbuh kembang bayi ditentukan pula dari cara menangani
persalinan. Cara-cara yang tidak benar dapat memengaruhi pertumbuhan
bayi, misalnya berat tubuh bayi sehingga hal ini juga dapat mengakibatkan
kelainan tumbuh kembang.
Tumbuh kembang bayi juga dipengaruhi terjadinya hipoglikemia (kadar
gula dalam darah rendah), yakni kurang dari 20 mg% dari berat bayi lahir atau
kurang dari 30 mg% pada bayi cukup bulan. Hipoglikemia dapat
mengakibatkan kematian atau kerusakan berat pada otak. Selain hipoglikemia,
pada bayi yang belum lama dilahirkan juga dapat terjadi hiperbilirubinemia
(bayi kuning). Peristiwa ini dapat mengakibatkan kerusakan pada sistem
pendengaran dan rendahnya mental anak di kemudian hari. Infeksi pada bayi
baru lahir dengan berat rendah sangat peka dan dapat menyebabkan kematian.
Oleh karena itu, dalam menolong persalinan bayi perlu dilakukan secara
aseptik, misalnya penggunaan alat-alat minum, alat resusitasi, alat pemberi
oksigen, perawatan tali pusat, kebiasaan cuci tangan, dan lain-lain.
Untuk pertumbuhan dan perkembangan anak secara normal
diperlukan gizi yang baik dan cukup. Apabila semenjak bayi kekurangan
gizi, hal itu berakibat tidak baik terhadap pertumbuhan dan perkembangan
anak. Pada masa bayi, pemberian Air Susu Ibu (ASI)
yang cukup dan baik sangat penting untuk menyokong pertumbuhan dan
perkembangan anak.
Di samping itu, kesehatan anak juga harus diperhatikan agar tumbuh
kembangnya menjadi baik. Jika anak sakit, segera diperiksakan ke dokter. Jika
anak menderita penyakit menahun, seperti asma, sakit jantung, atau ginjal,
dibutuhkan perhatian dan perawatan ekstra pada anak itu untuk mencapai
kesembuhan. Jika anak yang menderita penyakit menahun tersebut dibiarkan
atau dirawat ala kadarnya, hal itu dapat menyebabkan tumbuh kembang dan
pendidikan anak terganggu. Sebagai contohnya, anak yang menderita sakit
kulit atau terjadi kelainan kulit, seperti cacar air dan yang semacamnya,
mendapat perawatan jelek atau ala kadarnya, maka hal itu bisa mengakibatkan
terjadinya cacat pada wajah. Pertumbuhan dan perawatan gigi pada anak yang
tidak sehat, tidak rapi, dan berlobang, terlalu berjejal, gigi jarang, dan lain-lain
jika hal itu tidak diperhatikan atau diperiksakan ke dokter ahlinya, keadaan
tersebut dapat menyebabkan gangguan gizi dan penampilan diri menjadi
kurang percaya diri bagi anak. Secara umum kelainan-kelainan yang terjadi
pada fisik akan berpengaruh pada perkembangan mental anak.
Pada anak agar dapat mengalami tumbuh kembang dengan baik,
pemberian imunisasi penting dilakukan. Hal itu dikandung maksud untuk
menangkal penyakit yang berbahaya, seperti TBC, difteri, pertusis, tetanus,
polio, campak, hepatitis B, dan lain-lain. Pemberian imunisasi yang baik dan
terprogram dapat membentuk anak mengalami tumbuh kembang yang baik.
Setidaknya, jika imunisasi dilakukan pada anak, orangtua telah menyiapkan
anak menjadi lebih kebal terhadap kemungkinan serangan bibit-bibit penyakit
dimaksud. Kelak anak akan tumbuh sehat sehingga mempunyai penangkapan
yang baik terhadap masukan ilmu yang diberikan kepadanya. Dengan
pernyataan lain, anak-yang tumbuh kembangnya baik akan mempunyai
peluang sukses dalam menapaki kehidupannya, termasuk dalam
halmengenyam pendidikan yang bermanfaat bagi masa depannya.
Lingkungan adalah faktor yang turut menentukan tumbuh kembang
anak. Perumahan yang layak, terutama dalam hal sanitasinya. cukup leluasa,
dan bebas polusi bagi anak untuk bermain memberi peluang tumbuh
kembang anak dengan lebih baik. Sebaliknya, lingkungan yang kotor dan
sempit serta tiada ketersediaan ruang bermain bagi anak dapat menghambat
proses tumbuh kembang anak. Anak yang mengalami hambatan tumbuh
kembang akan berpengaruh pada ketidaklancaran anak dalam menyerap
pendidikan. Jadi lingkungan tempat tinggal anak tidak dapat dikesampingkan
begitu saja agar anak mengalami tumbuh kembang secara baik.
Pemberian rangsangan dari luar diri anak secara terarah dan
i • •r

terprogram, baik rangsangan yang bersifat verbal, visual, auditif, taktik,


perhatian, kasih sayang, dan lain-lain sangat penting bagi tumbuh kembang
anak. Contohnya stimuli berupa mengajak anak bercakap-cakap, orangtua
suka membelai, mencium, bermain bersama anak dengan kasih sayang yang
tulus, maka tindakan (stimuli) yang diberikan saat dalam kebersamaan dengan
si anak tersebut sangat penting bagi tumbuh kembangnya.
Bermain dan alat permainan sebaiknya yang bagus untuk pendidikan
dan perkembangan anak. Alat-alat permainan seyogianya dipilih yang bersifat
aman, baik untuk fisik, yakni tidak menimbulkan kecelakaan dan aman bagi
kesehatan. Misalnya, tidak menyebabkan iritasi pada kulit atau
mengakibatkan susunan saraf terganggu keseimbangannya. Bermain dan alat-
alat permainan yang baik dantepat bagi usia anak amat bermanfaat untuk
membuang energi yang berlebihan sehingga anak tidak mengalami obesitas
atau kelebihan berat badan. Permainan dan alat permainan yang baik dan
tepat bagi usia anak akan mengoptimalkan pertumbuhan seluruh bagian
tubuh, meningkatkan nafsu makan, sarana untuk belajar mengontrol diri,
memiliki keterampilan yang berguna sepanjang hidupnya, dan meningkatkan
kreativitas pada anak yang bersangkutan. Selain manfaat-manfaat tersebut,
anak yang bermain dengan alat-alat permainan yang baik dan tepat bagi
usianya akan mampu mengatasi kemarahan, iri hati, dan kesedihan-kesedihan
yang diakibatkan oleh hal lain. Di sisi lain, dengan bermain bersama teman-
teman sebayanya, anak bisa mendapat kesempatan bergaul dengan anak lain
yang merupakan teman sebayanya, belajar mematuhi aturan,
mengembangkan kemampuan intelektual, dan lain-lain. Dalam permainan,
anak dapat melatih perhatiannya pada aspek-aspek permainan seperti ekstra
energi, waktu, alat permainan, ruangan bermain, pengetahuan cara bermain,
teman bermain, jenis permainan (aktif ataukah pasif), dan lain-lain.
Keamanan bermain dan alat-alat permainan adalah hal mutlak yang harus
diperhatikan. Alat permainan tidak boleh terlalu kecil, mengandung racun,
tajam, mudah pecah, mengeluarkan biji kecil atau semacamnya dengan
kekuatan lontaran tinggi (pistol berpeluru bola kecil, dan lain-lain), atau yang
rawan kecelakaan. Bagi anak yang belum tahu aspek bahaya yang mungkin
ditimbulkan oleh alat permainan tertentu merupakan penyebab timbulnya
kecelakaan teman lain akibat menggunakan alat permainan itu sehingga perlu
dicegah sedini mungkin.
Kehidupan anak di tengah-tengah keluarga dan masyarakat turut
Menentukan tumbuh kembang anak dengan baik. Terutama suasana
damai-kasih sayang dalam interaksi antara orangtua dan anak. Ayah-ibu yang
dewasa, yang selalu berusaha menambah ilmu pengetahuan/ keterampilan
cara mendidik yang bagus bagi anak, dipadu kesadaran sifat bawaan anak
yang punya karakteristik tersendiri akan dapat membawa anak ke masa depan
yang lebih baik yang penuh dengan kompetisi (tantangan, hambatan, dan
gangguan dari luar). Kakek-nenek adalah bagian dari keluarga (ada yang
karena hubungan darah, ada yang karena hubungan organisasi/minat, dan
lain-lain, dan mereka ada yang potensial dan yang tidak) yang bisa serumah
dengan cucu, atau tinggal di rumahnya sendiri. Semua komponen tersebut
amat menentukan baik atau buruknya sifat dari tumbuh kembang anak.
Kedua orangtua yang sama-sama bekerja atau mencari nafkah
mengharuskan mereka menitipkan anaknya di Taman Penitipan Anak, TK,
dan sekolah (SD dan seterusnya) atau diasuh oleh seorang baby sitteratau
pramuwisma. Idealnya pengasuh anak adalah mereka dilandasi rasa kasih
sayang, kedewasaan, dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang tumbuh
kembang anak. Tempat penitipan anak dewasa ini banyak bermunculan bak
jamur tumbuh di musim hujan. Idealnya, tempat penitipan anak didukung
para pengelola yang mempunyai kasih sayang tulus pada anak-anak dan tahu
banyak seluk-beluk dunia anak. Juga, harus didukung dengan lokasi yang
dapat memacu minat dan bakat anak. Kontrol yang teratur dari para ahli yang
sesuai dengan bidangnya akan sangat membantu para orangtua selama sibuk
dalam usaha mencari nafkah.
Dukungan terhadap proses tumbuh kembang anak secara baik harus
datang dari pemerintah dan lembaga nonpemerintah yang peduli pada anak.
Negara perlu membuat aturan atau undang-undang yang mengatur tentang
hak dan kewajiban anak. Dengan demikian, anak
diberikan kesempatan untuk bisa tumbuh dan berkembang dengan sebaik-
baiknya tanpa adanya perampasan hak-hak anak.
Supaya keinginan untuk mewujudkan setiap anak mengalami proses
tumbuh kembang secara baik, orangtua atau pengasuh anak perlu sekali
dibekali ilmu mengenai pola asuh/pendidikan anak secara terpadu dan holistik
yang membahas pola hubungan anak dengan ayah-ibu, cucu dengan kakek-
nenek, dan seterusnya. Pembekalan ilmu pada orangtua atau pengasuh anak
tersebut dapat melalui kursus atau tambahan pengetahuan ilmiah populer
secara terprogram oleh orang yang berpengalaman di bidangnya.
Perkembangan anak didasarkan pada usia anak mempunyai tahapan-
tahapan sebagai berikut.
Perkembangan anak usia 1 tahun dicirikan keadaan fisik dan motorik kasar,
anak mampu berjalan beberapa langkah dengan dititah bagian 1 tangannya.
Perkembangan keadaan fisik dan motorik halusnya telah mampu
menggenggam dengan lebih baik dan dapat melepaskan genggaman apabila
diminta. Perkembangan keadaan kognitif dan bahasa, anak telah mempunyai
kosakata lebih selain “mama”, “papa”, dan “dada”. Perkembangan kemampuan
sosial dan emosional anak dapat menyesuaikan diri saat mengenakan pakaian.
Perkembangan anak usia 2 tahun dicirikan keadaan fisik dan motorik kasar
anak telah mampu berlari dengan jarak dekat dengan baik, berjalan mundur
tanpa kehilangan keseimbangan, mampu menendang bola tanpa jatuh, mampu
berdiri dan menangkap bola, mampu meloncat-loncat di tempat, naik turun
tangga selangkah demi selangkah, berdiri dengan satu kaki tanpa kehilangan
keseimbangan. Perkembangan keadaan fisik dan motorik halus anak mampu
Menumpuk 7 kubus, coretan sirkuler, meniru garis horizontal, dan
melipat kertas. Perkembangan keadaan kognitif dan bahasa anak mampu
membuat kalimat dengan subjek, predikat, dan objek. Perkembangan keadaan
sosial dan emosional anak mampu memegang sendok dengan baik, bercerita
pengalaman baru, membantu melepaskan pakaian, mendengarkan cerita
dengan gambar.
Perkembangan anak usia 3 tahun dicirikan keadaan fisik dan motorik kasar,
anak mampu mengendarai sepeda roda 3, mampu melompat, mampu berlari
maju mundur. Perkembangan keadaan fisik dan motorik halus anak mampu
menumpuk 10 kubus, meniru konstruksi jembatan dengan 3 kubus, membuat
lingkaran, dan bisa bermain puzzle atau form board.Perkembangan keadaan
kognitif dan bahasa, anak mengetahui usia dan jenis kelamin, mampu
menghitung tiga objek dengan benar, mengulang tiga angka, mengulang
sebuah kalimat yang terdiri dari 6 suku kata. Perkembangan keadaan sosial
dan emosional anak mampu bermain permainan sederhana, membantu
mengenakan pakaian, memakai sepatu, dan mampu mencuci tangan sendiri.
Perkembangan anak usia 4 tahun dicirikan oleh perkembangan fisik dan
motorik kasar, anak mampu melompat dengan 1 kaki, melempar bola dari atas
kepala, memanjat, mampu naik turun meja dengan satu kaki di meja dan satu
kaki di lantai. Perkembangan keadaan fisik dan motorik halus anak mampu
menggambar jembatan, menggunakan gunting untuk memotong gambar,
menggambar persegi empat, menggambar orang dengan 2-4 bagian tubuh
selain kepala, serta mampu memilih garis yang lebih panjang di antara 2 garis.
Perkembangan keadaan kognitif dan bahasa, anak mampu menghitung 4 koin
dengan benar, mampu bercerita. Perkembangan kemampuan sosial dan
emosional, anak dapat bermain dengan beberapa anak
dan telah mampu berinteraksi sosial, bermain peran, pergi ke toilet sendiri.
Perkembangan anak usia 5 tahun dicirikan perkembangan fisik dan motorik
kasar anak mampu melakukan lompat tali, berlomba lari. Perkembangan
keadaan fisik dan motorik halus anak mampu menggambar segitiga,
mengetahui perbedaan berat benda, mampu menyusun balok menjadi
berbentuk bangunan.
Perkembangan keadaan kognitif dan bahasa anak mampu mewarnai
menggunakan 4 warna, mengulang sebuah kalimat yang terdiri dari 10 suku
kata, menghitung 10 koin dengan benar. Sedangkan perkembangan
kemampuan sosial dan emosional anak, adalah dapat berpakaian dan melepas
pakaian sendiri, bertanya tentang arti kata, bermain peran domestik.
Perkembangan anak yang baik seperti dikemukakan tersebut ditentukan
oleh keadaan otak anak. Dengan pernyataan lain, otak mempunyai peranan
sangat penting untuk menyokong perkembangan manusia secara normal dan
baik. Sementara, otak itu sendiri juga mengalami perkembangan seiring
dengan bertambahnya usia seseorang. Menurut para ahli, perkembangan otak
merupakan sebuah interaksi yang sangat kompleks antara faktor genetik dan
stimulasi dari lingkungan. Pengalaman yang diperoleh oleh anak dari interaksi
dengan lingkungannya akan menstimulasi terbentuknya hubungan-hubungan
yang kompleks antarsel-sel saraf dan antarbagian-bagian otak (sinaps) sehingga
dengan berjalannya waktu anak akan mampu mengerti dan melaksanakan
aktivitas-aktivitas yang semakin kompleks.
Dinyatakan oleh seorang ahli bahwa pengalaman anak pada saat usia dini
memiliki pengaruh yang sangat menentukan terhadap arsitektur otak dan
kapasitas otak dewasa, kemampuan untuk belajar
serta kapasitas untuk mengendalikan emosi. Perlu diketahui bahwa
perkembangan otak individu anak tidak linear: ada waktu-waktu terbaik
untuk mempelajari jenis-jenis pengetahuan dan kecakapan yang berbeda.
Perkembangan otak ini meliputi perkembangan sinaps yang
menghubungkan sel-sel saraf yang membangun sirkuit di otak, peningkatan
ukuran sei-sel saraf, peningkatan jumlah sel-sel penunjang, serta
pembentukan selubung saraf. Perkembangan otak terjadi dengan pesat sejak
dalam kandungan dan dilanjutkan setelah lahir pada tahun-tahun pertama
kehidupan. Perkembangan otak pada usia dini sangat menakjubkan karena
dari sekitar 100 miliar sel saraf yang dibawa bayi saat lahir akan terbentuk
sekitar 1000 triliun sinaps pada saat ia berusia 3 tahun atau sekitar 2 juta
sinapsldetik.
Guna membantu mengoptimalkan perkembangan otak, terutama pada
masa-masa penting saat otak bertumbuh sangat pesat, maka otak memerlukan
asupan nutrisi gizi khusus sebagai komponen pembentuknya. Nutrisi
merupakan bahan baku bagi aktivitas metabolisme sel-sel saraf, pembentukan
sinaps, serta pembentukan selubung sinaps untuk hantaran rangsang listrik
yang sangat aktif dari sel-sel saraf anak. Peran penting lainnya dari nutrisi
adalah menyediakan energi yang cukup untuk anak mengeksplorasi
lingkungan. Di samping itu, nutrisi yang cukup akan membantu
meningkatkan daya tahan tubuh anak dalam menghadapi penyakit sehingga
anak memiliki lebih banyak kesempatan untuk belajar dan merespons
stimulasi yang diberikan. Orangtua dapat memberikan asupan nutrisi yang
cukup kepada anak berupa makanan dan atau minuman dengan kandungan
zat-zat Docosahexaenoic Acid (DHA), Linoleic Acid (LA), Frukto-oligosakarida
(FOS), dan Galakto-oligosakarida (GOS). DHA
adalah komponen asam lemak utama dalam otak dan merupakan zat gizi yang
sangat dibutuhkan pada saat otak sedang mengalami perkembangan yang
sangat pesat. LA atau disebut juga Omega 6 adalah prekursor atau bahan
pembentuk AA(Arachidonic Acid)yang juga merupakan komponen asam lemak
utama otak. LA atau Omega 6 termasuk jenis asam lemak esensial karena LA
atau Omega 6 ini penting tetapi tidak dapat diproduksi sendiri oleh tubuh
sehingga harus didapatkan dari konsumsi sehari-hari. FOS dan GOS
merupakan prebiotik yang berfungsi membantu fungsi saluran pencernaan
sehingga tubuh dapat lebih optimal menyerap nutrisi yang sangat diperlukan
oleh otak pada masa pertumbuhan.
Seluruh uraian tentang pertumbuhan dan perkembangan yang telah
dikemukakan di atas, merupakan prinsip-prinsip penting yang harus
diperhatikan dalam pengasuhan dan perawatan tumbuh kembang anak. Ahli
lain membagi tahapan-tahapan atau masa periodisasi tumbuh kembang anak
sebagai berikut.
1. Masa bayi dalam kandungan (masa prenatal atau masa pregnansi) yang
terdiri dari: masa germsel dimulai dari saat terjadinya pembuahan sel telur
(ovum) oleh sel spermatozoa ketika usia 0 sampai minggu ketiga. Masa
embrional (janin), yaitu usia kandungan mulai minggu keempat sampai
minggu keenam; masa fuetal atau bayi dalam kandungan yang sudah
berbentuk manusia kecil, yaitu bayi dalam kandungan usianya mulai
minggu ketujuh sampai bulan kesepuluh saat bayi lahir ke dunia.
2. Masa bayi sesudah dilahirkan ke dunia (masa posnatal) terdiri dari
tahapan-tahapan: masa neonatus (masa jabang bayi), yaitu saat bayi lahir
hingga bayi berumur tiga minggu; masa bayi menyusu, yaitu usia bayi tiga
minggu hingga bayi berumur satu tahun; masa kanak-kanak kecil ketika
anak berumur 1 sampai 4 tahun;
masa kanak-kanak saat berumur 4 sampai 7 tahun; masa sekolah, yaitu
ketika anak berumur 7 sampai 12 tahun; masa remaja saat anak menginjak
umur 13 sampai 18 tahun; masa awal dewasa (adolesensia) ketika manusia
berumur 19 sampai 23 tahun; masa dewasa saat umur 24 sampai 55 tahun;
masa tua atau lanjut usia (lansia) dalam kisaran umur 56 sampai meninggal
dunia.
Dalam kehidupan sehari-hari pertumbuhan anak dapat kita saksikan dari
perubahan terutama pada fisik anak, yaitu dari yang semula bayi yang kecil
setelah mengalami masa pertumbuhan dalam kurun waktu tertentu menjadi
besar dan pada akhirnya nanti akan menjadi tua dan mati. Seiring
pertumbuhan fisik itu pada anak juga terjadi perkembangan pada mentalnya.
Sewaktu masih bayi ia belum bisa berpikir sempurna tetapi setelah menjadi
manusia dewasa pikirannya menjadi lengkap sampai mendekati kesempurnaan
yang tinggi.
Sebelum menjadi manusia dewasa anak mengalami masa perkembangan
yang disebut masa remaja yang dikenal dengan masa-masa penuh mengalami
perubahan. Misalnya, saat menginjak masa remaja terjadi pertumbuhan sel-sel
yang bersifat baru, yaitu tumbuhnya sel-sel benih menurut jenis kelamin
seseorang. Saat itu di dalam tubuh remaja terjadi produksi sel-sel benih untuk
keturunannya. Contoh konkretnya, pada remaja perempuan buah dada mulai
terlihat pertumbuhannya, demikian halnya rambut genitalia atau rambut di
daeran kemaluan, suaranya menjadi lebih nyaring, dan pinggulnya membesar.
Pada remaja perempuan, kulit dan otot-otot tubuhnya menjadi lebih halus
dibandingkan dengan remaja laki-laki. Sedangkan pada remaja laki-laki, selain
terjadi perubahan fisik yang tampak seperti otot-otot tampak kuat dan kasar,
tumbuh rambut kumis, rambut
genitalia, rambut ketiak, suaranya menjadi besar, dan lain-lain. Semua
perubahan yang terjadi pada remaja perempuan dan remaja laki-laki tersebut
merupakan proses yang harus dilalui sebelum manusia memasuki alam
kedewasaan. Terkadang perubahan-perubahan itu terjadinya terlalu cepat
tetapi dapat pula terlalu lambat dari usia yang semestinya. Hal itu dapat terjadi
karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor keturunan (hereditas)
dan pengaruh lingkungan (dewasa sebelum waktunya).

B. Hereditas
Perkembangan manusia dipengaruhi oleh hereditas dan lingkungan tempat
tinggalnya. Hereditas merupakan kekuatan yang terbawa atau diturunkan dari
generasi tua kepada generasi muda melalui perantaraan sel-sel benih, bukan
melalui sel-sel somatis atau sel-sel badan.
Faktor lingkungan dinilai sangat penting dalam menentukan tingkat
perkembangan sel-sel benih dalam individu atau seseorang. Lingkungan
memungkinkan plasma benih memperkembangkan sifat-sifat dasar yang
dipunyai oleh individu. Tetapi, perlu diingat bahwa terdapat sifat-sifat dasar
pada individu tidak dapat diubah. Contohnya adalah sifat dasar jenis kelamin,
demikian sebaliknya. Memang, secara fisik wujud kelamin individu dapat
diubah melalui operasi perubahan jenis kelamin, tetapi sifat-sifat dasar yang
dikandung oleh plasma benih sel kelamin tersebut tidak dapat diubah. Dengan
begitu, sifat kestabilan yang dimiliki plasma benih suatu individu atau
seseorang menjamin kelanjutan persamaan antara orangtua dan anak-anak
atau keturunannya.
1. Prinsip-Prinsip Hereditas
Para pendidik perlu mengetahui prinsip-prinsip hereditas yang
diturunkan kepada seseorang (siswa) agar dapat mentransfer ilmu
pengetahuan dan selanjutnya dapat diserap secara optimal oleh siswa atau
anak didiknya. Sejauh ini terdapat beberapa prinsip hereditas yang sudah
diketahui oleh sebagian orang (pendidik) di dunia pendidikan. Sebagian dari
prinsip itu sudah dikelola menyatu dengan praktik pengajaran di kelas, dan
sebagian yang lain belum secara maksimal dikelola oleh para pendidik ketika
menjalankan tugas di kelas (sekolah). Prinsip-prinsip hereditas seperti
dilaporkan oleh Ki RBS. Fudyartanto (2002) ada empat, yaitu prinsip
reproduksi, prinsip konformitas, prinsip variasi, dan prinsip regresi filial.
Prinsip reproduksi. Hereditas yang diturunkan kepada anak oleh
orangtuanya menurut prinsip ini adalah berbeda satu dengan yang lain.
Antara orangtua dengan keturunannya (anak) mempunyai ciri-ciri yang
berbeda. Misalnya, kepandaian anak berbeda dengan kepandaian kedua
orangtuanya. Kepandaian yang diperoleh si anak berasal dari belajar bukan
dari sel-sel benih yang diturunkan oleh kedua orangtuanya. Dengan
pernyataan lain, antara sel-sel benih dengan sel-sel somatis terdapat
perbedaan sehingga perubahan-perubahan sel-sel badan tidak dapat
diturunkan secara biologis kepada anak atau generasi keturunannya.
Prinsip konformitas. Berdasarkan prinsip konformitas setiap jenis atau
golongan (spesies) akan menghasilkan jenisnya sendiri bukan jenis yang
lainnya. Contohnya, jenis manusia tentunya akan menghasilkan keturunan
dengan jenis manusia, bukan yang lain. Demikian juga dengan jenis monyet ia
akan menghasilkan keturunan jenis monyet, bukan jenis yang lain.
Jika diperhatikan jenis dari keturunan yang dihasilkan, setiap anggota
jenis mengikuti pola umum sesuai jenis masing-masing. Contohnya, pola
umum jenis manusia yang terlihat dengan jelas, yaitu manusia berjalan
dengan menggunakan dua kaki, berinteraksi dengan manusia lain dengan cara
berbicara, mengalami masa bayi kemudian tumbuh kembang menjadi remaja,
dewasa, dan akhirnya lanjut usia. Tahapan-tahapan seperti itu juga akan
dialami oleh keturunan dari jenisnya sendiri.
Sering terjadi persamaan-persamaan antara keturunan dan orangtuanya,
namun hal itu tidak mungkin sama persis. Tegasnya, antara anak dan orangtua
(ayah, ibu) bisa saja mempunyai persamaan- persamaan, namun tetap saja di
antara anak dan orangtua mempunyai perbedaan-perbedaan. Pada prinsip
konformitas ditilik dalam satu jenis mempunyai persamaan-persamaan yang
besar atau mencolok.
Prinsip variasi. Prinsip ini memberikan landasan berpikir bahwa sel-sel
benih {germsel) berisi banyak determinan yang mempunyai mekanisme
percampuran atau perpaduan sehingga menghasilkan perbedaan-perbedaan
individual. Oleh karena itu, dapat dipahami anak sebagai keturunan dari
orangtuanya ada yang menyerupai orangtuanya (ayah, ibu, kakek, atau
neneknya). Tetapi, ada pula anak yang tidak menyerupai orangtuanya.
Variasi-variasi yang terjadi pada anak tersebut umumnya lebih tampak dari
orangtua yang terdekat, misalnya dari ayah atau ibunya dibandingkan dengan
kakek atau neneknya.
Prinsip ini tidak bertentangan dengan prinsip konformitas, sebab dalam
menghasilkan keturunan sangat sulit bahkan hampir tidak mungkin diperoleh
keturunan yang sama persis meskipun kembar. Meskipun anak kembar
tersebut memiliki persamaan yang fundamental, yaitu kedua anak mempunyai
ciri-ciri umum yang sama
dan pola-pola umum pada perlengkapan biologis yang sama pula. Semua anak
mempunyai kaki, telinga, mata, hidung, dan lain-lain tetapi bentuk anggota
badan tersebut tidak sama persis alias berbeda satu sama lain. Dengan
demikian, penerapan psikologi pendidikan dalam penanganan siswa kembar
tidak dapat diterapkan secara serampangan dengan tidak memerhatikan
adanya sifat-sifat perbedaan satu sama lain.
Prinsip regresi filial. Teori ini kali pertama dikemukakan oleh ahli
genetika Francis Galton. Prinsip regresi filial adalah bahwa sifat-sifat dari
orangtua akan menghasilkan keturunan dengan kecenderungan pada sifat
rata-ratanya pada umumnya. Contohnya, orangtua yang genius belum tentu
menghasilkan keturunan yang genius pula. Hal yang terjadi pada umumnya
adalah orangtua yang genius menghasilkan keturunan dengan kecerdasan
yang biasa-biasa saja alias tidak termasuk anak yang genius. Bahkan, tidak
menutup kemungkinan anaknya bodoh atau lemah mental (idiot), kendati ia
dilahirkan dari orangtua yang genius.
Prinsip ini tidak bertentangan dengan prinsip konformitas. Sebab,
meskipun terjadi regresi filial, pola umum jenisnya tetap ada. Dalam hal
kecerdasan, semua anak mempunyai kecerdasan. Hanya saja, kecerdasan
masing-masing anak tidak sama satu sama lain.

2. Mekanisme Hereditas
Mekanisme hereditas merupakan cara-cara pewarisan sifat-sifat atau ciri-
ciri dari orangtua kepada anak atau keturunannya. Mekanisme hereditas
tersebut sebetulnya amat pelik. Para ahli genetika tidak henti-hentinya
mengadakan penelitian untuk menyingkap tabir masalah hereditas terutama
yang terjadi pada manusia. Dari hasil penelitian
para ahli genetika tersebut diketahui sel-sel tubuh manusia tersusun dari
struktur-struktur tertentu yang kemudian dinamakan kromosom. Jika dilihat
dengan mikroskop elektron, kromosom-kromosom berupa benang-benang
protoplasma yang berpasang-pasangan. Setiap pasangan kromosom diduga
berisi bermacam-macam susunan unsur yang tidak dapat dilihat baik dengan
mata telanjang maupun menggunakan mikroskop elektron sekalipun.
Selanjutnya, susunan unsur-unsur tersebut dinamakan gene.Dengan adanya
gen inilah karakteristik orangtua diturunkan kepada anak-anaknya.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa secara biologis, keturunan
manusia terbentuk oleh adanya pembuahan (fertilisasi) dari sel spermatozoa
pada sel telur (ovum). Sel spermatozoa berasal dari ayah, sedangkan sel ovum
berasal dari ibu. Sel spermatozoa dapat bertemu dengan sel ovum yang
letaknya di dalam rahim seorang ibu melalui hubungan seksual. Menurut ilmu
genetika, persatuan antara sel spermatozoa dan sel ovum menghasilkan sel
gamet. Di dalam gamet tersebut mengandung unsur-unsur baru yang diwarisi
dari kedua orangtuanya.
Sel ovum dan sel spermatozoa mengadung inti sel (nukleus). Di dalam
inti sel-sel tersebut terdapat kromosom yang mengadung gen. Jadi, pertemuan
sel ovum dan sel spermatozoa membawa gen masing-masing dari orangtuanya.
Proses ini merupakan mekanisme hereditas yang terjadi pada manusia.
Pada manusia diduga setiap selnya mengandung tidak kurang dari 40.000
sampai 80.000 gen-gen yang terdapat dalam kromosom. Ditinjau dari
kromosomnya, sebagian besar sel manusia terdiri dari 23 pasang kromosom
dan ada juga yang terdiri dari 24 kromosom. Dari jumlah itu, 22 pasang
kromosom dinamakan autosom. Bagian
autosom ini dalam perpaduan antara ovum dan sel spermatozoa tidak
berpengaruh pada pewarisan jenis kelamin individu. Sedangkan kromosom
yang sepasang (sisanya), dapat mewariskan jenis kelamin individu. Pasangan
autosom yang tidak mewariskan jenis kelamin dalam kejadian lain akan
mewariskan sifat-sifat yang lainnya seperti sifat rambut anak (keriting,
berombak, atau lurus), warna kulit (hitam, berwarna, atau putih), roman
muka atau bentuk wajah (bulat telur atau oval), bentuk bibir, bentuk mata,
bentuk dahi, dan lain-lain.
Pada ovum mengandung sepasang kromosom seks yang melekat satu
sama lainnya disebut kromosom X sebagai penentu jenis kelamin perempuan.
Pada sel spermatozoa terdapat dua macam kromosom jenis kelamin, yaitu
sebuah kromosom X (penentu jenis kelamin perempuan) dan satu kromosom
Y (penentu jenis kelamin laki-laki). Kromosom X dan kromosom Y pada sel
spermatozoa tidak melekat satu sama lain.
Dalam ilmu genetika diidentifikasi adanya transmisi gen-gen yang terjadi
dalam kromosom seks. Peristiwa ini disebut sex-linked. Diketahui pula dalam
gonade, yaitu ovarium pada perempuan dan testes pada laki-laki kromosom
seks mengalami proses divisi reduksi yang dinamakan meiosis. Dari 23 pasang
kromosom dalam setiap gamet akan mengalami seleksi dan hal itu akan
terbentuk 23 pasang kromosom lagi saat terjadinya pembuahan. Saat
terjadinya pembuahan tersebut maka kromosom seks perempuan
menyumbang satu kromosom X dan setengah kromosom Y.
Menurut Rosen dan Gregory (1965), mekanisme hereditas diterangkan
sebagai berikut.
a. Proses meiosis dan pembuahan (fertilisasi) pada sepasang kromosom
diawali dengan perpaduan (fertilisasi) dua pasang kromosom ayah dan
kromosom ibu. Sebelum terjadi fertilisasi untuk membentuk
kromosom anak, dua pasang kromosom orangtua (ayah dan ibu)
mengalami proses meiosis lebih dahulu. Dari 22 pasang kromosom ayah
dan ibu dalam fertilisasi akan mengalami proses yang sama sehingga
terbentuk 22 pasang kromosom kembali pada anak yang merupakan
kromosom autosom.
b. Mekanisme penentuan jenis kelamin pada individu diawali dengan
terjadinya proses meiosis sepasang kromosom X terbagi menjadi masing-
masing satu kromosom X. Jika terjadi fertilisasi dari masing-masing satu
kromosom X dari ibu dan ayah bertemu, dalam perpaduannya akan
terbentuklah sepasang kromosom X sehingga penentuan jenis kelaminnya
menjadi perempuan (kromosom XX). Namun, jika satu kromosom X dari
ibu bertemu dengan satu kromosom Y dari ayah, perpaduannya menjadi
penentu jenis kelamin laki-laki (kromosom XY).
c. Mekanisme penurunan ciri-ciri tertentu ditentukan oleh faktor dominan
dan faktor resesif dari orangtuanya. Misalnya, pada ayah memiliki sifat-
sifat agresif dan ibu memiliki sifat orang yang normal, ketika keduanya
mengadakan fertilisasi akan dihasilkan anak dengan sifat-sifat anak
perempuan yang agresif atau mempunyai anak laki-laki yang sifatnya
normal.
Gen-gen yang diwariskan oleh ayah akan berbeda dengan gen-gen yang
diwariskan oleh ibunya. Suatu gen A dikatakan dominan terhadap gen a
yang bersifat resesif. Perpaduan antara kedua gen tersebut, yaitu gen Aa
disebut heterozigot. Mekanisme keturunan heterozigot untuk kromosom
X dari ayah buta dan kromosom X dari ibu tuli, setelah keduanya
mengadakan fertilisasi kemungkinan keturunan-keturunannya menurut
ilmu genetika akan memiliki sifat-sifat sebagai berikut.
1) Keturunan I anak perempuan. Jika ia mewarisi gen dominan ayahnya
buta, ia akan buta.
2) Keturunan II anak perempuan. Jika ia mewarisi gen dominan dari
ayah dan gen resesif dari ibu, ia akan menjadi buta sekaligus
tuli.
3) Keturunan III anak laki-laki. Jika ia tidak mewarisi gen dominan
maupun resesif dari ayah maupun dari ibu, ia menjadi
normal.
4) Keturunan IV anak laki-laki. Jika ia mewarisi gen resesif dari ibu, ia
akan menjadi tuli.

C. Hukum Perkembangan Manusia


Hukum perkembangan manusia berbeda dengan hukum-hukum lain yang
biasa dikenal dalam ilmu-ilmu eksakta, seperti ilmu pengetahuan alam dan
matematika yang bersifat mutlak. Hukum perkembangan manusia lebih pada
memberikan pola umum sehingga berlaku sebagai pendekatan dalam
menilik permasalahan perkembangan individu.
Hukum-hukum perkembangan manusia yang telah dikenal dalam
pembahasan psikologi pendidikan ada delapan hukum, yaitu (1) hukum
tempo perkembangan, (2) hukum irama perkembangan, (3) hukum atau
teori masa peka dalam perkembangan, (4) hukum atau teori rekapitulasi
perkembangan, (5) hukum atau teori masa menentang, (6) hukum atau teori
eksplorasi dan penemuan, (7) hukum atau teori tentang batas-batas
perkembangan, dan (8) hukum konvergensi. Berikut ini penjelasan ringkas
masing-masing hukum perkembangan tersebut.
1. Hukum tempo perkembangan. Hukum ini memberikan pola bahwa
setiap anak mempunyai masa atau waktu tertentu untuk
mengembangkan suatu kemampuan. Demikian halnya setiap fungsi jiwa
mempunyai ukuran waktu tertentu untuk berkembang.
Dengan demikian, wajar jika anak membutuhkan waktu tertentu untuk
perkembangannya.
2. Hukum irama perkembangan. Hukum perkembangan ini memberikan
pola bahwa waktu yang diperlukan untuk mengembangkan suatu fungsi
jiwa ada yang panjang dan ada yang pendek sehingga hal itu memberikan
kesan cepat atau lambat seperti laiknya sebuah lagu.
3. Hukum atau masa peka dalam perkembangan. Hukum ini memberikan
pola bahwa fungsi-fungsi atau kemampuan jiwa tumbuh dan berkembang
pada saat-saat tertentu dengan menunjukkan keistimewaan atau terlihat
jelas. Contohnya adalah pada anak-anak yang berumur satu tahun yang
memiliki masa peka untuk belajar berjalan. Anak mempunyai masa peka
bicara ketika menginjak usia dua tahun. Pada masa ini anak-anak suka
sekali berbicara apa saja, terkadang ia sendiri tidak mengerti maksud atau
arti kata-kata yang telah diucapkannya. Pada masa ini anak juga banyak
bertanya terutama kepada ibunya.
4. Hukum atau teori rekapitulasi perkembangan. Sesuai dengan namanya
hukum atau teori rekapitulasi memberikan pola bahwa perkembangan
anak mengulang generasi sebelumnya.
5. Hukum atau teori masa menentang. Hukum ini memberikan pola bahwa
perkembangan anak pada masa-masa tertentu bersikap menentang atau
melawan, membandel, atau keras kepala pada orangtuanya. Misalnya,
ketika anak berusia antara 4 hingga 5 tahun sering berani menentang
perintah ibu dan atau ayahnya, anak bersikap keras kepala, dan lain-lain.
6. Hukum atau teori eksplorasi dan penemuan. Hukum atau teori eksplorasi
memberikan pola bahwa dalam permainan anak-anak terdapat sifat
mencari-cari dan menemukan sesuatu.
7 Hukum atau teori tentang batas-batas perkembangan. Teori batas-batas
perkembangan mengatakan bahwa perkembangan anak memiliki batas-batas
tertentu, seperti dibatasi oleh pembawaan, pengaruh lingkungan yang
kuat, dan lain sebagainya. Para ahli pendidikan dan psikologi bersepakat
bahwa perkembangan manusia dibatasi oleh pembawaan atau keturunan
dan fasilitas- fasilitas dari luar yang ada.
8. Hukum atau teori konvergensi. Hukum atau teori ini dikemukakan oleh
William Stern dari Jerman yang kemudian banyak diikuti oleh ahli-ahli
yang lain. Teori ini mengatasi permasalahan yang diajukan oleh teori
nativisme dan teori empirisme.
Teori nativisme mengatakan bahwa perkembangan anak tergantung dari
pembawaan si anak yang bersangkutan. Jika anak berpembawaan cerdas, ia
akan berkembang menjadi anak yang cerdas. Sebaliknya, jika anak
berpembawaan bodoh, ia akan berkembang menjadi anak yang bodoh.
Sementara teori empirisme mengatakan bahwa perkembangan anak
tergantung dari faktor luar (lingkungan). Teori ini menganut paham tabula
rasa bagi bayi yang baru dilahirkan laksana kertas putih bersih (kosong),
belum ada tulisannya. Perkembangan anak bisa menjadi apa saja tergantung
faktor-faktor luar (lingkungan) yang akan memengaruhi si anak. Misalnya,
pada seorang anak diberikan pendidikan yang baik, ia akan berkembang
menjadi orang yang baik. Kebalikannya, seorang anak kelak akan menjadi
seorang penjahat apabila dalam perkembangannya ia hidup dan banyak
bergaul dengan orang-orang yang berkarakter jelek (penjahat, perampok,
pencuri, dan jenis kejahatan yang lain).
Terlihat antara teori nativisme dan teori empirisme saling bertentangan
satu sama lainnya. Pertentangan kedua teori itu
akhirnya diatasi oleh lahirnya teori konvergensi yang dikemukakan
oleh William Stern. Hukum atau teori ini mengatakan bahwa hasil
perkembangan anak ditentukan atau dipengaruhi oleh kekuatan dari
pembawaan dan kekuatan pengaruh lingkungan di sekitarnya. Teori
konvergensi perkembangan anak memberikan prinsip-prinsip bahwa
perkembangan anak merupakan perpaduan antara kekuatan faktor dari
dalam diri anak yang bersangkutan (pembawaan) dan kekuatan faktor
luar (lingkungan), misalnya faktor pendidikan yang baik yang
diberikan kepada anak.
Dari pembahasan hukum atau teori perkembangan anak tersebut
dapat ditarik kesimpulan yang dapat diterapkan dalam bidang
pendidikan sebagai berikut.
1. Mendidik dan mengajar anak (siswa) harus memerhatikan tahap-
tahap pertumbuhan dan perkembangan anak. Implementasi
konkretnya dengan membuat satuan-satuan dan jenjang-jenjang
pendidikan beserta kurikulum masing-masing. Metode mendidik
dan mengajar anak (siswa) juga harus disesuaikan dengan umurnya.
2. Mendidik anak (siswa) harus dilakukan saat anak dalam masa peka.
Hal itu sangat penting. Sebab, jika mendidik tidak dilakukan pada
saat anak mengalami masa peka, ia tidak akan mendapatkan
rangsangan yang tepat. Akibatnya, masa peka lainnya akan
terganggu sehingga perkembangan anak juga ikut terganggu.
3. Sewaktu pendidik menjalankan tugas mendidik anak agar efektif
perlu diciptakan kondisi-kondisi luar yang efektif dan kondusif. Hal
ini dimaksudkan untuk menunjang atau membantu dan
merangsang pembawaan-pembawaan yang sifatnya positif pada
anak sehingga perkembangan anak nantinya juga ke arah yang
positif pula. Sejalan dengan hal itu, perlu dikekang atau dihapus
pembawaan anak yang kurang atau tidak baik sama sekali sehingga pada
anak nantinya dominan sifat-sifat yang positif saja. Langkah ini sejalan
dengan implementasi teori konvergensi untuk perkembangan anak.
4. Mendidik anak perlu memerhatikan keadaan di luar diri anak untuk lebih
mendukung pertumbuhan dan perkembangannya. Hal-hal penting yang
perlu diperhatikan untuk hal itu antara lain:
■ Kondisi sosial ekonomi yang baik agar kebutuhan biologis anak dapat
dipenuhi. Untuk itu, perlu pemenuhan kebutuhan- kebutuhannya
berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, pakaian, kesehatan, dan
pekerjaan. Hal yang sangat penting untuk menyokong pertumbuhan
dan perkembangannya yang tidak boleh dikesampingkan adalah
kebutuhan akan makan dan minum yang memenuhi kriteria empat
sehat lima sempurna;
■ Pergaulan sosial yang luas dan sehat penting bagi anak-anak untuk
mengembangkan kemasyarakatannya;
■ Olah seni dan budaya penting untuk anak agar perkembangan
intelektualnya seimbang antara ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan seni dan budaya;
■ Kondisi sosial dan politik yang merdeka dan bersifat demokratis
sangat membantu dalam mendidik jiwa dan merdeka bagi si anak;
■ Kondisi kehidupan keagamaan yang sehat dan maju penting untuk
mendidik anak agar memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Sang
Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

D. Kapasitas Dasar Anak dan Cara Realisasinya


Setiap manusia yang dilahirkan di dunia secara kodrati telah dibekali
oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa potensi untuk tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan sosial dan budaya manusia. Nantinya, bekal
kodrati tersebut akan dapat tumbuh dan berkembang secara optimal
tergantung dari kondisi lingkungan yang memengaruhinya. Potensi tersebut
terpendam dan bersifat bawaan dalam setiap individu sesuai dengan warisan
hereditas dari orangtua masing-masing anak.
Potensi anak meliputi potensi fisik dan psikis. Kedua potensi dasar
tersebut akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan keadaan luar anak.
Potensi fisik anak menyangkut pertumbuhan jasmani dan fungsi fisiologis
anak. Misalnya, mungkin anak dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang
kerdil badannya, jangkung, atau tegap. Mungkin juga anak akan tumbuh
menjadi kurus, atletis, atau gendut perutnya. Sedangkan potensi psikis,
meliputi potensi cipta, rasa, karsa, dan performancedengan bakat-bakatnya.
Potensi psikis anak mempunyai berbagai kemungkinan perkembangannya
sejalan dengan pertumbuhan psikisnya. Sebab, antara fisik dan psikis saling
ada hubungan satu dengan yang lainnya. Secara umum pertumbuhan dan
perkembangan anak yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang
dengan baik ditentukan oleh kondisi luar (lingkungan)nya.
Dua orang anak atau lebih memiliki potensi dasar sama, tetapi kualitas
pertumbuhan dan perkembangan mereka itu nantinya bisa tidak sama karena
hal itu sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, misalnya pendidikan,
latihan-latihan, dan sebagainya. Dengan pernyataan lain, realisasi
perkembangan anak amat ditentukan oleh faktor lingkungan yang
mengondisikan sampai sejauh mana anak dapat memaksimalkan potensi dasar
yang dimiliki masing-masing.
Untuk lebih memperjelas pembahasan ini dicontohkan ada empat orang
anak bernama A, B, C, dan D. Keempat anak tersebut memiliki potensi dasar
sama. Anak A dan B dididik dalam kondisi yang relatif
sama, tetapi pada akhirnya anak yang bernama B dapat merealisasikan
potensinya lebih tinggi daripada anak yang bernama A. Sementara anak yang
bernama C dan D dididik dalam lingkungan yang kurang baik, dan ternyata
realisasi potensinya tidak mencapai optimum. Anak yang bernama C lebih
rendah daripada D karena kondisi lingkungannya memang lebih buruk
daripada D. Dari keempat anak tersebut, anak yang bernama B dipandang
yang dapat merealisasikan potensi dasarnya secara optimum.
Contoh kasus yang lain, terdapat empat anak yang bernama E, F, G, dan
H. Anak bernama E dan F mempunyai potensi dasar yang berbeda satu sama
yang lain. Potensi dasar E lebih besar daripada F. Kondisi luar F lebih baik
daripada E, maka F dapat merealisasi potensinya sama tinggi dengan E.
Sementara itu, kondisi luar anak yang bernama G dan H sama baiknya, karena
potensi dasar G lebih kecil daripada potensi dasar H. Akibatnya, anak yang
bernama H dapat merealisasi potensinya jauh lebih tinggi daripada G.
Demikianlah contoh mengenai pentingnya kapasitas dasar sebagai
sebuah potensi yang dapat direalisasi melalui kondisi luar yang baik secara
optimum. Kesimpulan yang dapat diambil dari kedua contoh tersebut adalah
jika seseorang mempunyai kapasitas tinggi tetapi lingkungannya buruk,
realisasinya akan rendah. Kebalikannya, jika seseorang dengan kapasitas
rendah tetapi ia dididik dalam lingkungan yang baik, ia akan merealisasi
potensinya secara optimum.
Implementasi pedagogis dari warisan hereditas dan kapasitas dasar anak
harus dipertimbangkan dengan potensi dasar yang dimiliki oleh anak atau
individu yang bersangkutan. Setelah mengetahui potensi-potensi dasar yang
dimiliki oleh anak yang bersangkutan baru kemudian pendidik menciptakan
lingkungan yang cocok untuk

I
tumbuh kembang anak yang bersangkutan agar mereka dapat mencapai
realisasinya secara optimum. Hal itu berarti peranan pendidikan psikologi
dituntut nyata agar anak mampu tumbuh dan berkembang secara optimal.

E. Manfaat Bermain untuk Pertumbuhandan Perkembangan


Anak
1. Pengertian Bermain bagi Anak
Dunia anak tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan dunia bermain.
Andrianto (2008), dalam bukunya tentang cara mendidik anak,
mengungkapkan pentingnya bermain dalam menyokong kecerdasan anak.
Pada subbab ini, penulis ungkap kembali pentingnya bermain tersebut bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak.
Seto Mulyadi (Kak Seto) mendefinisikan pengertian bermain secara tepat
tidaklah mudah. Tetapi secara umum bermain sering dikaitkan dengan
kegiatan anak-anak yang dilakukan secara spontan dan dalam suasana riang
gembira. Garvey (1991) mengemukakan lima pengertian berkaitan dengan
pengertian bermain sebagai berikut.
-Bermain adalah sesuatu yang menyenangkan dan memiliki nilai positif
bagi anak.
-Bermain tidak memiliki tujuan ekstrinsik, namun motivasinya lebih
bersifat intrinsik.
-Bermain bersifat spontan dan sukarela, tidak ada unsur keterpaksaan dan
bebas dipilih oleh anak.
-Bermain melibatkan peran aktif dan keikutsertaan anak.
-Bermain memiliki hubungan sistematis yang khusus dengan sesuatu yang
bukan bermain, seperti kemampuan kreativitasnya,
kemampuan memecahkan masalah, belajar bahasa, perkembangan sosial,
dan lain sebagainya.
Pengertian ini menggambarkan bahwa apabila kegiatan bermain
menyenangkan, anak akan terus melakukannya. Tetapi, apabila kegiatan
bermain itu sudah tidak menyenangkan, anak akan menghentikan permainan
tersebut. Menurut Gehlbach (1991), dalam bermain terjadi interaksi antara
anak dan lingkungannya. Interaksi ini dapat dirangsang, dipertahankan, atau
dihentikan oleh faktor-faktor yang ada dalam hubungan antara anak dan
lingkungan tersebut.

2. Pendapat Mengenai Kegiatan Bermain bagi Anak


Bermain bagi anak merupakan refleksi pembebasan jiwa dari keterikatan
dengan berbagai kewajiban dan aturan orangtua. Sewaktu bermain, anak
dapat mengungkapkan berbagai cerita hati, keceriaan jiwa, dan kegembiraan
serta menangkap makna interaksi dengan sesama temannya. Dengan
demikian, anak dapat sekaligus belajar bergaul, mendapatkan pengalaman
lingkungan, mengendalikan perasaan dan sebagai proses untuk mengaca diri.
Bermain merupakan proses belajar. Kelak pengalaman dari kegiatan bermain
ini dapat diterapkan bagi kepentingan masa depan anak untuk berinteraksi
dengan lingkungan sosial.
Mengkaji pentingnya kegiatan bermain bagi seorang anak sangat
diperlukan, mengingat kegiatan ini berkorelasi nyata dengan perkembangan
dan pertumbuhan seorang anak. Secara makro, hal itu sangat penting
mengingat anak adalah aset bagi keberlangsungan sebuah bangsa dan negara
pada era milenium ketiga. Berkaitan dengan hal itu, Imam Al-Ghazali
berpendapat bahwa bermain bagi anak merupakan sesuatu yang sangat
penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan. Tindakan melarang anak bermain merupakan tindakan keliru
karena dapat mematikan hati anak, mengganggu kecerdasannya, dan merusak
irama kehidupannya (Ismail, 2006).
Bermain tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan anak. Dengan
pernyataan lain, dunia anak sangat identik dengan dunia bermain. Orang
kebanyakan akan segera tanggap ketika mendengar kata bermain disebutkan
orang lain. Orang dewasa yang mendengarnya biasanya akan segera
mengaitkannya dengan wajah-wajah anak atau dunia anak. Hal itu tentunya
berbeda dengan dunia dewasa. Apa persepsi orang dewasa apabila dijumpai
sebagian remaja atau orang dewasa yang mempunyai kegemaran “bermain”
(dalam konteks sesungguhnya)? Melihat fenomena seperti disebutkan yang
terakhir ini komentar orang yang muncul bernada lain lagi. Remaja atau orang
akil balig yang memiliki kebiasaan gemar bermain seperti layaknya anak-anak
disebutnya bersifat “kekanak-kanakan”. Hal itu disebabkan antara lain di
benak atau pemikiran orang “dunia bermain” identik dengan “dunia anak”
atau sebaliknya.
Bermain bagi anak tidak selamanya berdampak negatif bagi
perkembangan jiwa anak. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para
ahli perkembangan anak menyatakan sebaliknya. Bermain bagi anak dengan
terkendali dapat mendorong perkembangan anak ke arah yang lebih maju.
Jika dalam kegiatan bermain anak dikritisi secara cermat, tampak di dalamnya
terdapat nilai-nilai mulia seperti terbinanya persahabatan antarsesama teman.
Menurut psikolog Iran Ali Qaimi (2004), sewaktu anak sedang bermain
dengan teman-teman sebayanya akan tumbuh sejumlah perkembangan nilai-
nilai pada diri anak, antara lain sebagai berikut.
a. Melatih anak hidup bermasyarakat dan mengenal bermacam-macam
kepribadian yang ada di sekitarnya.
b. Menjadi sumber kesenangan dan kebahagiaan.
c. Dapat membandingkan keadaan dirinya dengan diri orang lain (teman-
teman sepermainan).
d. Menumbuhkan kemampuan perlawanan sehingga mengetahui dengan
siapa dia harus bergaul dan bagaimana cara menjaga sikapnya.
e. Mengenal prinsip dan peraturan hidup serta dapat mempelajari tata cara
hidup.
f. Dapat merangsang kreativitas dalam pertumbuhannya.
g. Merangsang pertumbuhan budaya sehingga mengetahui siapa orang lain,
bagaimana mereka hidup, cara berpikir, dan bagaimana dia menjaga
perasaan.
Lebih lanjut, Ali Qaimi (2004) menegaskan bahwa sewaktu melepas anak
akan bermain dengan rekan-rekan sejawatnya tetap harus diawasi oleh
orangtuanya. Jadi, anak tidak dilepas begitu saja tanpa pengawasan orang
dewasa. Anak tetap perlu dipantau ke mana dan dengan siapa anak bermain.
Tujuannya bukan untuk memberikan aturan boleh atau tidaknya anak
melakukan permainannya, melainkan pada anak mesti diberi pengertian
mengenai keadaan lingkungan tersebut.
Sedangkan menurut Khairudin Bashori (2005), bermain yang
mencerahkan bagi anak tidak didikte, misalnya dengan menggiring anak
supaya bermain di tempat atau arena bermain tertentu. Misalnya, di tempat-
tempat wisata anak atau bermain dengan play station {computergames). Bisa jadi
benar faktanya, ketika anak sedang bermain di tempat-tempat yang
ditentukan atau dipilihkan oleh orangtuanya anak justru tidak menemukan
keceriaan. Bisa jadi hal itu disebabkan
kebebasan anak terasa dikekang oleh orangtuanya. Kejadian hal sebaliknya
juga bisa terjadi, anak tetap bisa menemukan keceriaan ketika sedang bermain
namun ada kelemahan-kelemahan bagi anak. Anak menjadi minim atau
sangat kurang pengalaman untuk beradaptasi dengan lingkungan dan tidak
ada pengalaman bergaul sebagai “ilmu srawung”. Ilmu srawung mengajari anak
untuk bersikap ramah pada orang lain. Ilmu srawung juga mengajari anak
untuk bersopan santun ketika bertemu dengan seseorang atau sekelompok
orang di jalanan kampung. Menurut psikolog Khairudin Bashori (2005),
bermain yang bagus bagi anak adalah bermain secara aktif yang di dalamnya
terdapat interaksi dan sesuai dengan kemauan anak. Bukan jenis permainan
atas paksaan dari orangtuanya. Permainan aktif ini setidaknya mengandung
unsur interaksi yang bermanfaat dalam pengembangan unsur belajar bekerja
sama dengan orang lain, anak belajar menjadi lebih kreatif, dan adanya
fentilasi emosi untuk mengurangi beban yang dipikulnya baik yang berasal
dari sekolah, teman-teman, lingkungan masyarakat atau bahkan keluarganya.
Orangtua yang sering mereduksi hak-hak anaknya dapat berdampak
tidak baik bagi anak. Dampak nyata terhadap anak yang tidak dikehendaki
bersama antara lain anak menjadi berwatak egois, apatis, tidak mengerti dan
tidak mengenal lingkungan masyarakatnya. Selain itu, anak tidak bisa
bersikap mandiri dan tidak berani mengambil keputusan. Selanjutnya,
orangtua hanya mengenal anak sebagai seorang yang patuh, namun anak tidak
kreatif.
Di sisi lain, Khairudin Bashori mengakui bahwa terbatasnya pergaulan
dan waktu yang digunakan untuk bermain bagi anak terkadang juga
merupakan sebuah sisi yang baik. Dengan asumsi agar anak terhindar dari
pergaulan yang tidak menentu dan dapat mengatur
waktu belajarnya dengan baik. Tetapi, alasan ini pun tetap berdampak tidak
baik, yaitu anak kurang memiliki pengalaman untuk hidup bermasyarakat,
kurang berinteraksi dengan kawan dari berbagai latar belakang, kurangnya
pengalaman dalam memimpin, menjaga perasaan, kemampuan
berkomunikasi, dan lain sebagainya.
Orangtua terkadang sengaja membatasi anak dalam bermain disebabkan
semata-mata ingin memenuhi target-target tertentu yang telah
dicanangkannya, terutama target intelektual dengan cara mengejar kecerdasan
kognitif si anak. Faktanya, untuk mencapai target kecerdasan kognitif
tersebut, berdampak menjadi berkurangnya waktu bermain bagi anak. Waktu
bermain bagi anak menjadi sangat minim karena waktu anak dikuras untuk
menjalani sekolah fullday. Langkah memasukkan anak ke sekolah sistem fullday
merupakan salah satu keputusan yang bersifat praktis-pragmatis dari orangtua
si anak. Hal itu bagi anak masih harus ditambah lagi untuk mau menjalani
bermacam-macam les privat mata pelajaran lainnya. Dengan padatnya jadwal
kegiatan belajar bagi anak berarti anak tidak ada kesempatan berinteraksi
dengan teman-teman sejawat di sekitarnya. Mengapa bisa begitu? Jelas hal itu
disebabkan waktunya nyaris habis digunakan untuk mengejar kecerdasan
kognitif semata. Langkah seperti itu tentunya tidak pas bagi anak, sebab pada
diri anak tidak hanya aspek kognitif saja yang perlu dikembangkan. Tetapi,
masih ada aspek-aspek kecerdasan lain yang perlu dilejitkan pada diri seorang
anak, seperti aspek kecerdasan afektif, kepribadian, dan psikomotorik
(Bashori, 2005).
Permasalahan tersebut menjadi sangat kompleks pada akhirnya. Betapa
tidak? Mengapa orangtua modern tega memperlakukan buah hatinya sendiri
seperti itu? Apakah mereka menyadari sepenuhnya akan perbuatan yang telah
mereka lakukan selama ini? Memang
dengan melakukan langkah-langkah konkret terhadap anak seperti itu
tujuannya baik. Tidak sedikit biaya dan waktu yang mesti dikorbankan demi si
buah hati. Persoalannya, apakah langkah-langkah yang telah ditempuh itu
dirasa tepat dalam artian selalu baik bagi anak? Bisa jadi orangtua modern
melakukan hal itu karena terdorong oleh beberapa faktor, seperti tuntutan
untuk memenuhi standar sistem pendidikan yang ada di negeri ini. Lebih
parah lagi, jika tindakan orangtua tersebut hanya terdorong keinginan untuk
bisa mengikuti tren yang sedang berkembang di masyarakat kelas tertentu
(baca: menengah ke atas).
Saat ini hampir semua orang mahfum adanya bahwa agar anak bisa
melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi dengan embel-embel sekolah
unggulan, anak dituntut bisa bersaing dengan anak lainnya dalam hal prestasi
akademik (nilai-nilai Ujian Nasional)nya. Dengan pernyataan lain, anak
dengan perolehan NUN (Nilai Ujian Nasional) tinggi berhak mendapatkan
sekolah dengan kualitas terbaik. Kiranya hal itu yang memicu setiap orangtua
menerapkan semacam “peraturan ketat” untuk anak-anaknya dalam belajar.
Hal itu semata-mata agar anak bisa meraih kecerdasan intelektual yang tinggi
di sekolah sehingga anak-anak kehilangan waktu yang cukup untuk bermain
dengan teman-teman sejawatnya.
Hampir setiap ahli perkembangan dan pertumbuhan anak mengingatkan
akan langkah-langkah yang ditempuh orangtua untuk anaknya. Para ahli
menekankan pentingnya aspek-aspek lain selain aspek kognitif yang perlu
juga dikembangkan pada diri anak agar anak tampil sehat, cerdas, dan
tangguh.
Aspek kognitif pada anak yang selama ini paling sering dilatih untuk
dilejitkan adalah yang banyak berhubungan dengan aktivitas otak kiri, seperti
kemampuan yang berkaitan dengan aspek-aspek
formal, matematis, dan linear. Sedangkan kemampuan berkaitan dengan otak
kanan yang lebih bersifat intuitis, artistik, tidak banyak disentuh baik ketika
anak di rumah maupun di sekolah. Akibat tidak adanya keseimbangan
pelejitan antara otak kiri dan otak kanan pada anak, terlihat nyata pada diri
anak. Anak dengan tingkat kecerdasan kognitif bagus (nilai-nilai akademik
tinggi), tetapi anak terlihat kurang kreatif. Hal itu disebabkan aspek afektif
kurang dilatih. Dengan pernyataan lain, ada aspek-aspek kecerdasan lain
selain kecerdasan kognitif pada anak yang tidak dilejitkan atau dilatih seperti
kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.
Sudah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita
bahwa para orangtua lebih suka mengapresiasikan prestasi-prestasi kognitif
pada anaknya dibandingkan prestasi-prestasi afektif. Misalnya, dua orang yang
masing-masing memiliki anak usia sekolah saling menanyakan perihal
perkembangan putra-putri selama ini. Dialog mereka paling sering berkisar
seputar kemampuan kognitif yang sudah dikuasai oleh masing-masing buah
hati mereka, misalnya mengenai nilai-nilai rapornya.
Para orangtua jarang mempertanyakan kemajuan anak-anaknya
menyangkut segi afektif, misalnya mengenai kebiasaan anak dalam hal-hal
tertentu seperti mengenakan baju sendiri dan lain sebagainya.
Menurut Muhammad Idrus (2005), anak yang hanya menghabiskan
waktunya untuk belajar, tanpa adanya kesempatan berinteraksi atau memang
si anak tidak mau berinteraksi, tidak sempat keluar rumah, maka pada diri si
anak akan terbuka kemungkinan untuk bersikap egois. Bahkan yang lebih
fatal lagi, anak menjadi lebih sering frustrasi, mudah putus asa terutama ketika
ia menghadapi satu situasi yang
sulit dan dia mengalami kesusahan dalam memecahkan masalahnya. Anak-
anak semacam itu nilai sosialnya rendah. Memang faktanya anak menjadi
cerdas (kognitif), tetapi si anak tidak bijak. Generasi semacam itu tumbuh dan
berkembang dengan sifat-sifat yang cenderung arogan dan sangat
mengandalkan kecerdasan kognitifnya. Kelak setelah anak tersebut dewasa
dan menjadi seorang pemimpin, maka gaya kepemimpinannya bersifat kaku
dan tentunya kurang disukai bagi orang-orang yang dipimpinannya. Kedua
psikolog ahli tersebut sependapat bahwa kecerdasan emosi (kecerdasan di luar
kognitif) harus dibentuk secara bersama-sama seiring pelejitan kecerdasan
kognitif. Suasana berimbang ini diharapkan mampu memberikan hasil akhir
yang sesuai dengan yang diharapkan oleh para orangtua.
Anak yang selalu menjadi dambaan setiap orangtua tentunya dengan
ciri-ciri berbadan sehat jasmani dan ruhani, dan tentunya secara spesifik ia
bersifat cerdas (kognitif), tangguh, dan bijak. Untuk mewujudkan impian ini
mestinya orangtua unggul harus ikhlas memberi kesempatan kepada anak-
anaknya agar bisa menikmati masa kecilnya dengan bermain sesuai dengan
keinginannya secara cukup. Tetapi, model permainan yang dipilih anak
hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta taraf perkembangan
anak.
Menurut Khairudin Bashori (2005), cara bermain yang paling baik adalah
bermain yang bersifat tradisional seperti permainan yang dulu terdapat di
perdesaan. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang berbagai
permainan tradisional yang ada di Indonesia, terutama di kalangan
masyarakat Jawa, sedetailnya hendak diuraikan pada bagian lain dalam buku
ini. Selain itu, anak menjadi lebih baik jika dikembangkan pola “umbaran”
atau anak diberikan waktu bermain atau diminta untuk bermain pada saat-
saat yang tepat di luar
jam sekolah atau di luar jam belajar di rumah. Jadi, anak tidak harus diketati,
dikurung karena adanya kekhawatiran pada anak oleh adanya salah gaul
(Idrus, 2005).
Lebih lanjut, Muhammad Idrus menegaskan, selain kecerdasan kognitif,
juga perlu dikembangkan kecerdasan emosi, kecerdasan berkomunikasi,
kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual anak. Oleh karena itu, secara
spesifik anak harus pula dikenalkan perihal budaya dan agama. Melalui
budaya (lokal) anak akan mengenal banyak tentang kehidupan. Sedangkan
melalui keagamaan, anak dapat mengenal prinsip-prinsip yang membentengi
dirinya dari segala sesuatu yang tidak baik. Ke depannya yang lebih banyak
menentukan keberhasilan dalam masyarakat adalah kemampuannya
berkomunikasi, pengalaman bergaul dengan orang-orang yang mempunyai
latar belakang beraneka macam, kemampuan memimpin, dan sebagainya.
Dalam kondisi seperti ini, aspek kognitif tidak terlalu dominan di dalamnya.
Tetapi yang dominan justru kemampuan afektifnya, kemampuan mengelola
perasaan, bagaimana ia berinteraksi dengan orang lain yang dapat disebut
dengan istilah keterampilan sosial. Singkatnya, orang menjadi pintar saja
tidaklah begitu penting. Justru yang paling penting adalah bisa menjadi orang
yang bijak. Hal itu akan menjadi lebih baik jadinya jika seseorang selain pintar
bisa sekaligus bersikap bijak. Karakter orang seperti disebutkan paling akhir
adalah ideal dan tentunya bisa diterima di mana dan kapan pun juga (Usa,
2005).
Aspek-aspek tersebut penting diperhatikan untuk perkembangan jiwa si
anak. Namun, hal itu tidak bisa sepenuhnya diserahkan begitu saja kepada
pihak lain, seperti di sekolah-sekolah formal yang menyelenggarakan kelas
fullday. Tetapi, hal itu merupakan tanggung jawab sepenuhnya setiap orangtua
dari masing-masing anak.
3. Bermain Aktif dan Bermain Pasif
Apabila ditinjau dari sumber kegembiraannya, bermain dapat dibagi
menjadi dua jenis, yaitu bermain aktif dan bermain pasif. Bermain aktif adalah
jenis bermain yang kegembiraannya muncul dari apa yang dilakukan oleh
anak itu sendiri. Sedangkan bermain pasif adalah jenis bermain yang
kegembiraan anak dicapai melalui usaha yang dilakukan orang lain. Berbagai
contoh sederhana dari kegiatan bermain aktif misalnya anak-anak bermain
berkejar-kejaran, anak membuat lukisan dengan krayon, dan lain-lain.
Sedangkan bermain pasif misalnya menonton televisi, mendengarkan
dongeng, membaca buku komik, dan lain-lain (Hurlock, 1981).
Seto Mulyadi (1999), dalam Krisdyatmiko (Ed.), memaparkan berbagai
jenis bermain aktif dan pasif dari anak. Menurut catatannya, beragam jenis
bermain aktif itu antara lain bersifat bebas dan spontan, bermain drama,
berkhayal, dan bermain konstruktif.
Bermain bebas dan spontan adalah salah satu bentuk bermain aktif. Anak
bebas melakukan apa saja sesuai dengan keinginannya tanpa adanya
peraturan-peraturan tertentu. Bermain model ini akan terus dilakukan anak
selagi menyenangkan hatinya. Anak akan berhenti bermain setelah dirasa
tidak lagi menyenangkan. Segala sesuatu yang merupakan hal-hal baru atau
sesuatu yang memungkinkan anak melakukan eksplorasi diri dapat
merangsang minat anak bermain dengan model ini. Lebih lanjut, hal itu akan
mendorong rasa ingin tahu dan inisiatif anak. Dengan begitu, jenis bermain
ini dapat mengembangkan kreativitas anak. Bermain bebas dan spontan
merupakan ciri khas permainan anak ketika masih bayi.
Bermain drama (sandiwara) merupakan bentuk bermain aktif, yaitu anak
dengan suatu perilaku dan bahasa yang jelas berhubungan
dengan benda-benda atau situasi, seolah-olah hal tersebut memiliki atribut
yang lain daripada yang sebenarnya. Misalnya, seorang anak yang bermain
dengan benda-benda mainannya seolah-olah merupakan orang-orang atau
hewan yang sesungguhnya. Mereka bereaksi terhadap benda-benda tersebut
dengan cara yang diamatinya dari lingkungan sekelilingnya. Pada awalnya
bermain drama merupakan bentuk permainan solitaire (sendirian). Namun,
dengan meningkatnya minat anak untuk bermain dengan teman sebayanya,
jenis bermain ini berkembang menjadi bersifat sosial dengan melibatkan kerja
sama beberapa anak dalam berbagai peran yang dimainkan. Dengan
berkembangnya kemampuan imajinasi anak, bermain drama memungkinkan
anak berkreasi dengan aneka macam dialog dan skenario sesuai dengan
kreativitas masing-masing.
Berkhayal merupakan bentuk permainan aktif yang lebih bersifat mental
daripada bersifat fisik. Jenis bermain yang ini dapat bersifat reproduksi dengan
anak berkhayal mengenai pengalaman dalam kehidupan sehari-hari
sebagaimana adanya. Misalnya, seorang anak usia prasekolah sedang berkhayal
tentang kegiatan di Taman Kanak-Kanak. Pengalaman biasa ini dapat dengan
cepat berkembang menjadi pengalaman berkhayal, yaitu anak berkhayal
menganggap dirinya sebagai ibu guru yang datang ke Taman Kanak-Kanak
untuk mengajar. Atau, seorang anak usia prasekolah sedang berkhayal
menganggap dirinya seorang model sedang berlenggang-lenggok di atas
panggung pertunjukan untuk memperagakan busana hasil rancangan terbaru
dari desainer terkenal. Dengan adanya perubahan ini daya khayal anak
berubah menjadi produktif atau kreatif.
Menurut Seto Mulyadi (1999), berkhayal pada anak-anak amat berkaitan
dengan imajinasi dan mendorong perkembangan kreativitas
anak. Jadi, apabila dijumpai anggapan orang dewasa bahwa berkhayal pada
anak merupakan tindakan tidak realistik dan membuang-buang waktu,
anggapan itu tidak betul. Yang betul, berkhayal bagi seorang anak dapat
berguna nantinya dalam mengembangkan imajinasi dan mendorong
kreativitas pada anak.
Bermain konstruktif merupakan bentuk permainan aktif. Anak
membangun sesuatu dengan mempergunakan bahan-bahan yang ada. Jenis
bermain ini semula bersifat reproduktif, yaitu anak memperoleh objek-objek
yang dilihatnya sehari-hari. Contohnya, anak menyusun balok menjadi
rumah, jembatan, dan kereta api yang sudah biasa dilakukan secara umum.
Tetapi, karena adanya perkembangan imajinasi pada anak, si anak mulai
membuat suatu bentuk tertentu secara orisinil yang tidak dijumpainya dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Misalnya membuat pesawat terbang ruang
angkasa ulang-alik, mobil patroli, robot sebagai teman bermain, dan
sebagainya.
Slamet (2006) menguraikan penjelasan mengenai berbagai jenis
permainan anak yang tergolong permainan aktif selain yang telah disebutkan
tadi, yaitu bermain musik, mengumpulkan atau mengoleksi sesuatu, dan
permainan olahraga. Penjelasan ketiga jenis permainan itu sebagai berikut.
Bermain musik dapat mendorong anak untuk mengembangkan tingkah
laku sosialnya, yaitu bekerja sama dengan teman-teman sebaya dalam
memproduksi musik, menyanyi, atau memainkan alat musik.
Mengumpulkan atau mengoleksi sesuatu apabila sering dilakukan anak
dapat menimbulkan rasa bangga, karena anak mempunyai koleksi lebih
banyak daripada teman-temannya. Di samping itu, mengumpulkan benda-
benda dapat memengaruhi penyesuaian pribadi
dan sosial anak. Pengaruh nyatanya anak terdorong untuk bersikap jujur,
bekerja sama, dan bersaing secara sehat.
Permainan olahraga'memang banyak menyita energi fisik anak. Tetapi,
permainan olahraga yang dilakukan secara teratur dapat membantu
perkembangan fisik anak. Permainan olahraga juga dapat mendorong
sosialisasi anak dengan belajar bergaul, bekerja sama, memainkan peran
pemimpin, serta menilai diri dan kemampuannya secara realistik dan sportif.
Berbeda dengan kegiatan bermain aktif, pada kegiatan bermain pasif atau
hiburan merupakan jenis bermain dengan anak memperoleh kegembiraan
melalui usaha yang dilakukan oleh orang lain seperti menonton televisi,
mendengarkan dongeng, mendengarkan musik, menonton pertunjukan
wayang, membaca buku, dan sebagainya. Jenis bermain ini tetap dirasakan
penting karena merupakan sumbangan untuk pertambahan nilai bagi kegiatan
yang dilakukan anak melalui bermain aktif. Jenis bermain pasif ini, antara
lain, bermanfaat sebagai sumber pengetahuan dan informasi, pemenuhan bagi
kebutuhan anak yang tidak terpenuhi dalam kehidupan sehari-hari, sumber
bahan-bahan yang dapat diolah secara kreatif, dan sebagainya.
Lebih lanjut, Slamet (2006) menguraikan manfaat bermain pasif yang
meliputi membaca, mendengarkan radio, dan menonton televisi sebagai
berikut. Membaca adalah suatu kegiatan yang sehat. Membaca akan
memperluas wawasan dan pengetahuan anak sehingga pada anak akan
berkembang nilai-nilai kreativitas dan kecerdasannya.
Mendengarkan radio dapat memengaruhi anak, baik secara positif
maupun negatif. Pengaruh positifnya adalah anak akan menjadi bertambah
pengetahuannya, sedangkan pengaruh negatifnya adalah
apabila anak meniru hal-hal yang disiarkan melalui radio seperti tindak
kekerasan, kriminalitas, atau hal-hal kejahatan lain.
Menonton televisi berdampak sama seperti mendengarkan radio yang
bisa berdampak positif maupun negatif terhadap anak. Dampak negatifnya
tidak jauh berbeda dengan ketika anak mendengarkan siaran dari radio.
Tetapi, tayangan di televisi berpengaruh lebih nyata kepada anak karena
siaran yang ditampilkan di layar televisi lebih riil disaksikan oleh si anak, baik
dalam bentuk gerakan-gerakannya maupun dialognya.

4. Tahap-Tahap Perkembangan Anak dalam Bermain


Bermain merupakan sarana belajar yang meliputi unsur afeksi, kognisi,
dan psikomotorik. Menurut Elizabeth B. Hurlock, ada tahapan-tahapan
perkembangan bermain bagi anak.
a. Tahap penjelajahan. Ciri utama dari tahap ini adalah anak mulai berusaha
menjangkau atau meraih benda yang ada di sekelilingnya, lalu
mengamatinya. Tahap ini dimulai semenjak anak masih bayi berumur tiga
bulan.
b. Tahap mainan. Dimulai anak usia 5-6 tahun. Pada masa ini anak
mengeksplorasi mainannya. Anak belajar bergerak, berbicara, dan
merasakan benda-benda yang ada di sekelilingnya.
c. Tahap bermain dimulai dari usia masuk sekolah (6 tahun). Pada masa ini
anak mulai berinteraksi dengan teman dalam berolahraga, hobi, dan
bentuk permainan semacamnya.
d. Tahap melamun. Semakin anak mendekati masa puber, seorang anak
mulai kehilangan minat dalam permainan. Saat ini disebut dengan
memasuki usia remaja.
5. Manfaat Bermain bagi Anak
Zakiah Darajat, dalam Andang Ismail (2006), mengklasifikasikan fungsi
pentingnya bermain bagi seorang anak.
a. Sebagai alat pendidikan. Anak yang bermain secara alamiah akan
menemukan dan mengenali lingkungannya, orang lain, dan dirinya
sendiri.
b. Sebagai alat perawatan. Permainan merupakan salah satu alat untuk
merawat anak-anak yang mengalami gangguan kejiwaan. Hal ini
disebabkan permainan lebih mendekati dimensi kejiwaan anak-anak
dalam bermain tersebut. Anak-anak sewaktu bermain dengan teman-
teman sejawatnya dapat mengungkapkan pertentangan batin, kecemasan,
dan ketakutannya. Hal itu senada dengan mazhab psikoanalisis yang
menyatakan bahwa permainan- permainan merupakan alat penyingkap
alam bawah sadar, pelega emosi, dan penafsir kelakuan anak-anak.
Menurut Hurlock (1981), dalam Seto Mulyadi (1999), ada berbagai
macam manfaat bermain bagi anak.
a. Manfaat fisik
Bermain membantu anak mematangkan otot-otot dan melatih
keterampilan seluruh anggota tubuhnya. Bermain juga bermanfaat sebagai
penyaluran energi yang berlebihan. Menurut hasil penelitian para ahli,
semakin anak tumbuh dan berkembang semakin besar kecenderungan
anak mengarah dari bermain aktif ke bermain pasif. Misalnya membaca
buku, menonton televisi, dan lain-lain. Bermain pasif seperti ini masih
tetap memberikan kegembiraan pada anak.
b. Manfaat sebagai terapi
Sering anak stres atau mengalami ketegangan-ketegangan akibat adanya
pembatasan-pembatasan dari lingkungannya. Hal ini dapat diterapi
dengan bermain. Mengapa hal itu bisa terjadi? Bermain akan membantu
anak mengekspresikan perasaan-perasaannya dan mengeluarkan energi
yang tersimpan sesuai dengan tuntutan sosialnya. Bermain juga
memberikan peluang bagi anak mengekspresikan keinginan dan hasrat-
hasratnya yang tidak dapat diperolehnya melalui cara-cara lain. Misalnya,
seorang anak yang menginginkan menjadi pemimpin namun tidak dapat
mencapainya dalam kehidupan nyata. Melalui bermain dramatik, anak
tersebut dapat menampilkan dirinya sebagai seorang pemimpin seperti
seorang guru, ayah, ataupun direktur.
c. Manfaat edukatif
Anak dapat memperoleh manfaat edukatif atau hal-hal baru yang
berhubungan dengan bentuk, warna, ukuran, dan tekstur suatu benda.
Kemudian, dengan semakin besarnya anak, ia akan mengembangkan
berbagai keterampilan baru dalam permainan dan olahraga. Kesempatan
ini tidak mereka peroleh hanya dengan mempelajari buku-buku di
sekolahnya.
d. Manfaat kreatif
Melalui aktivitas bermainnya anak dapat mengembangkan gagasan-
gagasan baru, baik dengan alat bermain atau tidak sama sekali. Sekali anak
mampu menciptakan sesuatu yang baru dan unik melalui bermain, ia akan
melakukannya lagi dan lagi pada situasi lain.
e. Manfaat bagi pembentukan konsep diri
Bermain bersama teman-teman mengajarkan anak untuk mengerti akan
kemampuan dirinya sendiri. Sebab, ketika anak bermain
bersama teman-temannya ia menjadi tahu apa saja kemampuannya dan
kemudian membandingkan kemampuan tersebut dengan teman-
temannya. Hal ini memungkinkan anak memersepsikan konsep diri yang
lebih jelas dan realistik. Melalui bermain, anak juga menghadapi berbagai
macam peran sehingga anak dapat memilih dan mempelajari macam peran
yang paling tepat baginya.
f. Manfaat sosial
Bermain dengan teman-teman (kooperatif) sebaya akan mengajari anak
membangun suatu hubungan sosial. Konkretnya, anak menjadi kenal
dengan anak-anak lain. Selanjutnya, anak dapat belajar mengatasi
permasalahan yang timbul oleh hubungan tersebut. Melalui permainan
yang kooperatif anak belajar memberi dan menerima. Anak juga belajar
peran jenis kelamin yang dituntut oleh lingkungan sosial
g. Manfaat moral
Bermain dapat dijadikan sarana mengenalkan moral kepada anak.
Misalnya melalui kegiatan bermain kepada anak dapat ditunjukkan hal-
hal yang benar dan salah, hal-hal yang adil dan hal sebaliknya pilih kasih,
dan lain-lain.

6. Bermain Menumbuhkan Kreativitas Anak


Setiap pribadi manusia pada hakikatnya digariskan memiliki potensi
untuk menjadi kreatif. Anak yang sudah terbiasa melakukan tindakan-
tindakan kreatif nantinya akan tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, tangguh,
dan ulet. Mengingat hal tersebut, setiap orangtua yang menginginkan anaknya
memiliki sifat-sifat baik (unggul) perlu melakukan upaya-upaya yang
mengarah ke hal tersebut.
Upaya konkretnya antara lain dengan cara membuka dan mencari
pengalaman-pengalaman kreatif yang baru.
Menurut George J. Seidel, dalam J. Chandra (2003), kreativitas adalah
kemampuan untuk menghubungkan dan mengaitkan, kadang-kadang dengan
cara ganjil, namun mengesankan, dan ini merupakan dasar pendayagunaan
kreatif dari runani manusia dalam bidang atau lapangan mana pun. Sedangkan
menurut Dresdahi, dalam Hurlock (1978), kreativitas adalah kemampuan
mencerminkan kelancaran, keluwesan, fleksibelitas, orisinalitas berpikir,
mengembangkan, dan memerinci gagasan (Suyatinah, 2005).
Apabila kita mengamati perilaku anak usia 5-6 tahun yang sedang asyik
bermain pasir putih di pantai, ia mungkin sedang melakukan “in actio” yang
hasilnya terkadang mencengangkan orang dewasa. Misalnya anak sedang
mencoba-coba membuat rumah-rumahan yang bentuknya agak berbeda
dengan yang sudah biasa dilihatnya. Anak tersebut dengan imajinasinya dapat
membuat karya yang kreatif. Menyaksikan hal demikian hendaknya orangtua
tanggap bahwa anak tersebut telah melakukan tindakan dengan imajinasi.
Orangtua seharusnya menghargai karya kreatif anak. Kelak anak akan menjadi
terbiasa berkarya kreatif. Berkaitan dengan hal itu, Einstein dalam Freeman &
Utami Munandar (1996) mengatakan bahwa imagination is more important than
knowledge‘imajinasi lebih penting daripada ilmu pengetahuan’.
Menurut Seto Mulyadi (1999), upaya pengembangan kreativitas pada
anak dapat dilakukan dengan mempergunakan strategi P-4, yaitu dengan
memandang kreativitas sebagai produk, pribadi, proses, dan pendorong.
Uraian dari pendapat tersebut dikemukakan
kembali berikut ini agar bisa diakses kembali oleh pembaca yang
memerlukannya.
Berbincang masalah kreativitas dapat ditilik dari sudut pandang pribadi.
Berdasarkan sudut pandang ini, kreativitas diartikan sebagai adanya ciri-ciri
kreativitas yang biasa terdapat pada diri anak kreatif. Ciri-ciri tersebut
meliputi ciri yang bersifat “aptitude” atau kognitif berkaitan dengan
kemampuan berpikir dan “non-aptitude” yang berkaitan dengan kemampuan
afektif terutama menyangkut sikap dan perasaan. Terdapatnya perbedaan-
perbedaan ini justru amat manusiawi sebagai pribadi. Orangtua harus yakin
bahwa setiap anak pada dasarnya memiliki potensi kreatif. Hanya saja, bidang
dan derajatnya berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Perbedaan-
perbedaan pada anak-anak tersebut menunjukkan adanya keunikan tersendiri
pada tiap-tiap anak sebagai seorang pribadi atau individu.
Kreativitas ditinjau dari sudut pandang pendorong maksudnya adalah
suatu dorongan internal maupun eksternal yang menyebabkan timbulnya
proses kreatif. Pendorong internal adalah pendorong dari luar individu,
seperti diperolehnya aneka macam pengalaman, kesempatan untuk
menikmati dolanan sebagai bagian dari bermain kreatif. Orangtua bersedia
menghargai kreativitas anak. Tersedianya sarana dan prasarana yang
menunjang sikap kreatif dan sebagainya. Untuk itu diperlukan suatu iklim
yang menunjang kreativitas sejak usia dini.
Berbagai langkah perlu dilakukan oleh orangtua untuk membentuk
anaknya agar senantiasa kreatif. Konkretnya, sewaktu sedang berada di
rumah, orangtua dan anaknya bersama-sama melakukan berbagai kegiatan
bersama-sama yang sifatnya sederhana, mudah, dan tidak harus selalu dengan
biaya yang mahal. Misalnya kegiatan mendongeng
dengan tema cerita anak-anak, berkarya yang kreatif, melukis bebas, dan
mengenal lingkungan sekitarnya. Sementara, ketika anak di sekolah, guru
bersama-sama dengan orangtua menyusun rencana dan melaksanakan
program yang sifatnya kreatif (Munandar, 1996).
Sebelum orangtua dan guru bersama-sama merencanakan dan
melaksanakan program-program kreatif untuk anak didik di sekolah, maka
terlebih dahulu perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut.
a. Menerima anak pada tingkat pengembangan dengan memahami
kelebihan-kelebihan dan keterbatasn kemampuannya. Pendidik berupaya
memberikan kegiatan-kegiatan yang menantang. Sehingga anak senang
dan penuh semangat mengerjakannya. Tetapi, kegiatan-kegiatan itu
hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Dihindari
kegiatan-kegiatan yang terlalu sulit bagi anak. Keberhasilan dalam
melaksanakan kegiatan tersebut membuat anak menjadi percaya diri.
b. Menciptakan lingkungan yang nyaman sesuai dengan tingkat usia anak.
Misalnya, ukuran perabot (meja, kursi) disesuaikan dengan usia anak.
Orangtua mengusahakan agar anak bebas dalam menyibukkan diri secara
kreatif tanpa adanya perasaan takut jika mengotori lantai, baju, perabotan,
dan lain-lain.
c. Merencanakan kegiatan-kegiatan dan menyediakan bahan kreatif sesuai
dengan tingkat umur dan kemampuan anak.
d. Tidak menunjukkan kekecewaan ketika anak membuat kesalahan, tetapi
mendorong anak untuk mencoba lagi sehingga anak memperoleh
pengalaman keberhasilan.
e. Memberikan pujian yang sungguh-sungguh untuk pekerjaan yang
dilaksanakan dengan baik. Hai itu mendorong anak untuk berusaha
sebaik-baiknya.
f. Merencanakan kegiatan kreatif dengan baik sehingga membantu anak
mengembangkan perasaan positif mengenai diri dan kemampuannya.
Lebih lanjut, Suyatinah (2005) menjelaskan peran orangtua dan guru
dalam menggali kemampuan berpikir kreatif pada anak didik. Langkah
konkretnya dengan mengusahakan lingkungan belajar yang sesuai dengan
perkembangan kemampuan anak didik di sekolah. Guru lebih banyak
menekankan proses daripada hasil belajar semata-mata. Guru juga harus lebih
banyak memberikan umpan balik, menyediakan beberapa alternatif, dan
menciptakan suasana yang menunjang harga diri anak. Dengan demikian,
anak merasa aman dan berani mengambil risiko dari tindakannya.
Sementara itu, ketika anak berada di rumah seyogianya orangtua sudi
meluangkan waktu demi anaknya. Seperti telah dikemukakan sebelumnya
bahwa untuk mengembangkan kreativitas anak sejak usia dini, orangtua bisa
melakukan hal-hal sebagai berikut.

a. Mendongeng di hadapan anak


Daya imajinasi seorang anak dapat dirangsang dengan pemberian
dongeng oleh orangtuanya. Melalui dongeng, anak juga dapat diajak untuk
berkomunikasi dan mencoba untuk melontarkan gagasan terhadap
pemecahan suatu masalah. Dengan demikian, dari anak akan lahir dari
ide-ide orisinal dalam suatu suasana hangat yang penuh kasih sayang.
Contohnya, orangtua yang mendongengkan anak tentang kesaktian
Raden Werkudoro maka anak akan membayangkan sang tokoh, Raden
Werkudoro, dengan postur tubuh yang tinggi besar, tegap atau perkasa,
dan sakti mandraguna. Juga dongeng si kancil yang cerdik dan penuh akal,
dongeng tentang kelembutan
dan kecantikan peri salju yang baik hati, dan cerita lain-lain yang sifatnya bisa
mendidik anak dengan baik dan benar.

b. Berkarya kreatif
Sejak usia dini anak bisa dilatih orangtuanya untuk berkarya kreatif.
Misalnya orangtua mengajak dan mengajari anaknya untuk membuat aneka
ragam dolanan dengan mamanfaatkan bahan-bahan sederhana (bekas) dari
sekelilingnya. Seperti membuat mainan anak berupa perahu menggunakan
bahan kertas karton, membuat bunga-bungaan menggunakan sedotan plastik,
kertas majalah bekas, dan bahan-bahan sisa lainnya. Atau membuat mainan
gerobak dengan bahan kulit jeruk bali dan lain-lain.

c. Melukis bebas
Metode ini dilakukan dengan memberi kesempatan kepada anak untuk
mencoret-coret pada tempat-tempat tertentu secara bebas. Maksud langkah
ini adalah mengeksplorasi anak agar keluar ide-idenya yang sungguh kaya dan
menyenangkan. Agar anak nantinya bisa terarah maka tempat atau media
untuk melukis bebas bisa diusahakan oleh orangtuanya berupa sebuah papan
yang lebar atau setumpuk kertas putih yang masih kosong. Dalam
mengeksplorasi ide-ide anak, orangtua dapat menstimulasinya dengan cara
mengajak anak untuk melukis bebas bersama-sama.

d. Menjajaki lingkungan sekitar


Semenjak anak usia dini penting diperkenalkan keadaan lingkungan di
sekitarnya. Misalnya, anak diajak menyaksikan bintang-bintang dan bulan di
langit ketika malam hari, memerhatikan aneka macam tanaman bunga dan
tanaman di alam, mengamati gerak-gerik gerombolan semut hitam yang
sedang
beramai-ramai mengusung bahan makanan, dan lain-lain. Hal itu
dimaksudkan supaya anak mendapatkan berbagai alternatif yang kaya dari
lingkungan alam di sekitarnya. Menurut hemat penulis, pengayaan
alternatif ini penting untuk merangsang anak mencetuskan perilaku-
perilaku kreatif. Hal itu diharapkan bermanfaat bagi kehidupan dirinya
maupun lingkungannya di kemudian hari. Dengan mengenal lingkungan
alam sekitarnya, anak dirangsang agar memiliki berbagai gagasan
cemerlang dalam kehidupannya. Untuk selanjutnya perilaku-perilaku baik
itu akan semakin memantapkan sifat anak yang cerdas, tangguh, dan ulet.
Suyatinah (2005) menuliskan bahwa jika orangtua memberi kesempatan
bermain dan berekreasi kepada anak, anak tersebut akan mendapatkan
kegembiraan disertai kepuasan emosional. Bermain merupakan kegiatan yang
spontan dan kreatif yang dengannya seseorang dapat menemukan ekspresi diri
sepenuhnya. Melalui bermain, anak belajar menjajaki, mengonstruksi,
mencipta, dan juga merusak (Freeman & Munandar, 1996). Bentuk-bentuk
permainan yang dapat melatih kreativitas anak adalah bermain eksploratif,
bermain konstruktif, bermain destruktif, dan bermain kreatif.
Pertama, bermain eksploratif, meliputi eksplorasi diri sendiri dan juga
eksplorasi lingkungan atau dunia seseorang. Proses eksplorasi diri ini melalui
gerakan, penglihatan, pendengaran, dan perabaan yang meliputi seluruh
badan, pikiran, dan perasaan anak. Melalui eksplorasi diri anak menjadi
mengenal dunianya yang mencakup diri sendiri, ruang, dan benda-benda di
sekelilingnya.
Kedua, bermain konstruktif. Melalui permainan anak dapat mengikuti
proses eksplorasi material. Pada permainan ini anak membentuk dan
menggabungkan objek-objek. Misalnya anak bereksperimen dengan balok-
balok kayu dari berbagai bentuk dan
ukuran kemudian dipadukan dengan bahan-bahan lain yang ukuran dan
bentuknya berbeda seperti tongkat, batu, biji-bijian, tanah liat, pasir, dan lain-
lain. Anak menyusun bahan-bahan tadi menjadi rumah atau bangunan lain
dengan cara memasang, menumpuk, mencocokkan dengan keseimbangan
sehingga tersusun bangunan atau rumah.
Ketiga, bermain destruktif. Bentuk permainan ini dilakukan oleh anak
yang bereksperimen dengan benda-benda dengan cara melempar, memecah,
menendang, menyobek-nyobek, atau membanting-banting. Kegiatan tersebut
memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi anak. Melalui eksperimen
ini anak menyusun sesuatu, misalnya rumah-rumahan, kemudian dirusaknya
kembali. Dalam hal ini, anak merusak sesuatu tanpa bermaksud merusaknya
tetapi karena anak ingin tahu bagaimana sesuatu bekerja. Permainan ini
membutuhkan pengertian atau pemahaman dari orangtua anak.
Keempat, bermain kreatif. Anak dapat mengikuti tahap bereksperimen
dengan material untuk membuat benda-benda. Pada permainan ini anak
menggunakan imajinasinya, pikiran, dan pertimbangannya untuk membuat
sesuatu atau mengkombinasikan komponen-komponen alat permainan.
Bahan-bahan yang dipakai dapat berupa bahan-bahan bekas atau daur ulang.
Menggunakan bahan-bahan ini anak menggambar atau melukis, membuat
pola-pola atau lainnya sebagai ungkapan perasaannya. Bisa saja apa yang
dibuat anak tidak dapat dimengerti oleh orang dewasa tetapi anak dapat
menjelaskan sendiri langsung di hadapan orangtuanya.

7. Permainan sebagai Sarana Tumbuh Kembang Anak


Keberadaan dolanan anak atau permainan sesungguhnya amat relevan
dengan pesan-pesan yang disampaikan dalam konvensi tentang
hak-hak anak (Convention on The Rights of The Child) dan Astra Citra Anak
Indonesia (ACAI). yang dirumuskan tahun 1993 oleh Forum Komunikasi
Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia (FKPPAI). Permainan anak
diakui sebagai metode yang sangat efektif untuk mengembangkan potensi dan
kreativitas anak. Sebab, secara simultan permainan anak dapat
mengembangkan raga dan jiwa seorang anak sekaligus, yaitu antara olahraga,
olahpikir, olahseni, dan olahrasa.
Menurut Ki Supriyoko (1999), keseluruhan hal tersebut termanifestasi
pada fungsi dolanan anak, yaitu fungsi kreatif, membina fisik, melatih
keterampilan, melatih ketelitian, melatih kesaksamaan, mengasah konsentrasi,
belajar kesenian, belajar berkompetisi, dan belajar menerjemahkan pesan-
pesan moral.
Permainan ada dua macam, yaitu dolanan anak yang dibuat oleh anak
yang bersangkutan, dan dolanan anak yang diberikan oleh orangtuanya.
Menurut Djoko Suseno (1999), dolanan anak dapat dikelompokkan dalam dua
kategori, yaitu dolanan anak tradisional dan dolanan anak modern. Dolanan
anak tradisional secara umum mempunyai ciri-ciri sebagai alat bermain yang
sederhana ataupun yang dibuat sendiri dan dimainkan terdiri dari beberapa
anak sehingga tampak sifat sosial atau kebersamaannya. Sedangkan yang
dimaksud dengan dolanan anak modern lebih berdimensi individual, yaitu
dalam permainan tidak harus melibatkan banyak peserta (pemain). Dolanan
anak modern merupakan produk industri yang dibuat sebagai wahana atau
sarana tumbuh kembang anak. Fungsi alat ini tidak lain dan tidak bukan
dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan fisik, moral, mental, dan
pikiran atau secara simultan merupakan perpaduan olahraga, seni dan pikiran.
Kedua jenis dolanan anak tersebut dapat memengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak. Ada jenis dolanan anak yang dapat memengaruhi anak
menjadi individualistis atau malah cenderung egois. Sebaliknya, ada juga jenis
dolanan anak yang dapat membentuk anak mempunyai sifat-sifat sosial yang
lebih menonjol. Kedua macam karakter yang saling bertolak belakang itu akan
berpengaruh pada kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsanya serta
hubungannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini. Selain hal itu, menurut
Hurlock (1981), ada jenis permainan yang dapat memengaruhi jasmani
seseorang anak sehingga yang bersangkutan dapat tumbuh dengan baik serta
sehat keadaan fisiknya.
Menurut Ki Hadisukatno, dalam Sri Sultan HB X (1999), permainan anak
yang bersifat tradisional dapat dibagi menurut maksudnya. Pertama,
permainan yang bersifat menirukan perbuatan orang dewasa. Contohnya,
pasaran (Jw: permainan seperti pura-pura layaknya orang berjual beli),
mantenan (Jw: permainan layaknya orang sedang jadi penganten), dayoh-
dayohan (Jw: permainan layaknya orang sedang bertamu dan menerima tamu),
membuat rumah-rumahan dari batu dan pasir, membuat pakaian boneka dari
kertas, membuat wayang dari janur atau rumput-rumputan. Permainan ini
dilakukan oleh anak dengan asyiknya seakan-akan anak merasakannya
sebagai kesungguhan.
Kedua, permainan untuk mencoba kekuatan dan kecakapan. Jenis
permainan ini dengan tidak disadari oleh anak-anak sendiri mempunyai
maksud melatih kekuatan dan kecakapan jasmani. Contohnya, tarik-menarik,
bergulung-gulung, bergulat, bengkat, benthik-uncal, jetungan, genukan dengan
gendongan, obrok, tembung, ayunan, dan lain-lain.
Ketiga, permainan melatih pancaindra. Jenis permainan ini termasuk
latihan kecakapan meraba dengan tangan, menghitung bilangan,
memperkirakan jarak, menajamkan alat penglihatan dan pendengaran,
menggambar, dan sebagainya. Contohnya, gatheng, dakon, macanan, sumbar-
suru, sumbar-manuk, sumbar-dulit, kubuk, adu-kecik, adu-kemiri, main kelereng,
jirak, bengkat, paton, dekepan, menggambar di tanah, main petak umpet, main
bayang-bayangan, main serong-serongan, dan sebagainya.
Keempat, permainan dengan latihan bahasa. Permainan jenis ini berupa
percakapan. Setiap kali anak-anak berkumpul, biasanya selalu terlibat dalam
perbincangan tentang dongeng, cerita pengalaman atau teka-teki.
Kesemuanya itu dapat menumbuhkan fantasi pada anak. Biasanya selalu
tampil seseorang dengan teka-tekinya sendiri. Hal ini tidak terbatas teka-teki
yang sudah lazim saja, seperti: pitik-walik saba kebon, pong-pong bolong. Bisa juga
timbul teka-teki buatan sendiri yang orisinal. Di sinilah terjadinya tumbuh
kembang kecakapan bahasa dan kecerdasan otak anak.
Kelima, permainan dengan lagu dan irama. Permainan lagu dan gerak
irama sangatlah luas dan banyak sekali ragamnya. Contohnya, jamuran, cublak-
cublak suweng, bibi tumbas timun, manuk-manuk dipanah, tokung-tokung, blarak-
blarak sempal, demplo, bang-bang- tut, pung-irung, bethu-thonthong, kidang-talun,
ilir-ilir karya Sunan Kalijaga, dan sebagainya.
Beragam jenis permainan tersebut merupakan dolanan anak versi Jawa.
Kiranya masih banyak jenis dolanan anak lainnya di setiap golongan etnik lain
di seluruh Indonesia. Dewasa ini berbagai jenis permainan anak tersebut
sudah mulai dilupakan. Padahal jika dikaji secara lebih mendalam, permainan
tradisional perlu dihidupkan,
mengingat manfaat positif yang ditimbulkannya pada anak. Berbeda halnya
dengan jenis permainan modern yang jika diterima oleh anak-anak tanpa
disuntikkan kesadaran akan budaya sendiri lebih banyak mudaratnya
ketimbang manfaat positifnya. Sri Sultan HB X (1999) mencontohkan adanya
berbagai tindak kriminal yang dilakukan anak-anak akhir-akhir ini
merupakan dampak paling nyata dari buah permainan modern yang digeluti
anak-anak kita.
Tidak dapat dimungkiri munculnya beragam permainan modern tidak
selalu berdampak negatif pada anak. Hal itu bisa disimak pada berbagai macam
alat permainan modern seperti permainan videogame, nintendo, VCD, compact
disc, keyboard, dan sebagainya. Contoh konkretnya, anak-anak kita sekarang
umumnya mendapatkan angka delapan ke atas untuk nilai-nilai rapornya.
Hasil-hasil akademik ini menginformasikan tingkat kecerdasan bersifat
stimulan dari kebiasaan melakukan penguasaan teknologi canggih, seperti
permainan- permainan videogame, nintendo, VCD, compact disc, keyboard, dan
sebagainya. Namun, ada aspek yang tertinggal bagi anak, yaitu perkembangan
sosial, emosional, kemampuan perasaan menahan diri terhadap orang lain.
Permainan modern umumnya hanya mampu meningkatkan kecerdasan
otak semata sebab umumnya amat personal sifatnya. Sewaktu anak bermain
dengan permainan modern, anak hanya bermain sendirian, tidak berinteraksi
sosial dan terlibat emosional dengan teman-temannya. Kesendirian tersebut
menyebabkan perkembangan jiwa anak tidak bisa mengerti perasaan dan tidak
mampu melakukan musyawarah dengan teman lainnya. Akhirnya, mereka
menjadi generasi yang egois serta enggan mengerti dan memahami kondisi
lingkungan. Bahkan, ada anak sampai mengajak berkelahi sewaktu
kepentingannya
sedang terganggu- Menurut Sri Sultan HB X (1999), untuk mengembalikan
format dasar watak anak yang bakal menjadi penerus bangsa ini, hendaknya
mereka dikenalkan pada alat-alat permainan (dolanan anak) tradisional yang
pernah dilakukan anak-anak pada zaman leluhur kita. Sebab, dalam semua
permainan tradisional itu anak-anak melakukan interaksi sosial dan emosi
dengan teman-teman lainnya. Terjadinya interaksi dan emosi dengan teman-
teman lainnya itu mengakibatkan anak berkembang menjadi generasi yang
penuh tepa salira atau mengerti dan memahami perasaan orang lain. Selain hal
itu, permainan tradisional secara psikologis mampu membangkitkan
kreativitas, mendekatkan diri anak terhadap alam sekitarnya dan Tuhan Yang
Maha Esa.
Fakta dalam kehidupan sehari-hari yang sering dijumpai pada anak-anak
adalah kini mereka jarang bermain dengan permainan tradisional. Bahkan,
dapat dinyatakan permainan tradisional nyaris punah dari kehidupan.
Padahal, permainan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu aset budaya
bangsa. Sungguh hal itu amat disayangkan.
Heddy Ahimsa Putra (1999) mengemukakan beberapa faktor yang turut
mendukung kepunahan permainan anak-anak tradisional dari sekeliling kita,
yaitu masuknya permainan anak dari luar negeri, meningkatnya popularitas
tontonan di televisi, meluasnya permainan elektronik, menyempitnya lahan
permainan anak-anak, dan berkurangnya jumlah anak.
Terlepas dari jenis permainan tradisional atau yang modern, secara
umum permainan dolanan anak memiliki perspektif, antara lain perspektif
edukatif yang luas, perspektif psikologis, perspektif kultural yang tinggi serta
sarat dengan pesan moral dan nilai. Sedangkan fungsi
yang dimiliki antara lain adalah fungsi rekreatif, untuk membina fisik anak,
untuk berlatih keterampilan, untuk berlatih mengembangkan kreativitas
anak, untuk belajar kesenian, untuk belajar berkompetisi, untuk
memperkenalkan moral kepada anak, untuk melatih kesaksamaan, untuk
melatih ketelitian, untuk mengasah konsentrasi (Siswanto, 1999).
B. Malinowski (I960), dalam Heddy Shri Ahimsa Putra (2005),
mengemukakan pandangan tentang permainan merupakan aktivitas peniruan
dan persiapan untuk menuju kehidupan orang dewasa. Pandangan
Malinowski menggunakan perspektif fungsional. Ahli antropologi tersebut
menjelaskan bahwa kegiatan bermain tersebut merupakan kegiatan yang
bersifat fungsional untuk proses enkulturasi dan sosialisasi anak-anak. Sebuah
permainan perlu diketahui nilai pendidikannya dan hubungannya dengan
fungsinya untuk preparation for economic skills.Contoh jenis permainan yang
dimasukkan kategori bermain peran (role play) ini adalah pasaran, dokter-
dokteran, dan sekolah-sekolahan. Permainan seperti itu menurut George H.
Mead (1934) memungkinkan anak melakukan objectification of the self
Konkretnya, anak akan dapat membayangkan dirinya berada dalam berbagai
kedudukan dan peran sehingga dapat membangun karakter anak. Sewaktu
bermain, seorang anak harus memerhatikan anak-anak lain yang berbeda
peran tetapi selalu mengadakan interaksi dengannya. Ketika anak mulai dapat
berperilaku sebagai layaknya orang lain, maka sebetulnya anak sedang berada
dalam proses menjadi an organic member of society.
Sementara itu, menurut Dwi Siswanto (1999), tidak berarti semua
dampak yang dihasilkan dari permainan anak bernilai positif (konstruktif).
Tetapi, jika anak melakukan kebiasaan-kebiasaan yang
kurang baik, hal itu menandakan ketidakberhasilan pengembangan
potensi dan kreativitas anak yang bersangkutan melalui permainannya.
Contohnya dalam permainan tradisional seperti umpetan, kelereng, umbul,
badaran, dan sebagainya, tidak jarang terjadi permainan curang. Hai itu
berarti terjadi pengembangan potensi dan kreativitas anak yang bernilai
negatif. Adanya berbagai tindak kriminal yang dilakukan oleh anak-anak
bahkan ada anak yang sampai berani membunuh sesamanya merupakan
dampak paling tragis dari permainan modern yang dilakukan oleh anak-anak.
Oleh karena itu, agar permainan anak sebagai satu metode yang baik dan
efektif bagi pengembangan potensi dan kreativitas anak tidak terlepas dari
peran bimbingan orangtua atau guru secara optimal. Selain itu, ketekunan
memberikan sesuatu yang sifatnya terbaik bagi anak oleh orangtua unggul
sedikit banyak akan berpengaruh pada pembentukan sifat anak.

8. Sekolah yang Tepat untuk Anak


Mengingat dunia anak adalah dunia bermain seperti telah dijelaskan
dalam uraian sebelumnya, sekolah yang pas untuk mereka adalah sekolah
yang dapat memahami dunia anak-anak. Sekolah yang memahami anak-anak
adalah sekolah yang mampu mengemas proses kegiatan belajar mengajar
dalam dunia bermain anak-anak. Dengan demikian, anak-anak mampu meraih
kompetensi standarnya dengan tetap bisa bermain, tanpa meninggalkan
dunianya.
Menurut Slamet (2006), setidaknya ada lima faktor yang memengaruhi
permainan dan olahraga siswa di sekolah. Pertama, kesehatan. Siswa-siswa
yang sehat mempunyai banyak energi untuk bermain dibandingkan dengan
siswa-siswa yang kurang sehat sehingga
siswa-siswa yang sehat menghabiskan banyak waktu untuk bermain yang
membutuhkan banyak energi.
Kedua, inteligensi. Siswa-siswa yang kurang cerdas lebih aktif
dibandingkan dengan anak-anak yang kurang cerdas. Anak-anak yang cerdas
lebih menyenangi permainan-permainan yang bersifat intelektual dan
olahraga yang banyak merangsang daya berpikir mereka. Misalnya, permainan
drama, menonton film, atau membaca bacaan-bacaan yang bersifat intelektual
dan olahraga bersifat ketangkasan.
Ketiga, jenis kelamin. Anak perempuan lebih sedikit melakukan
permainan yang menghabiskan banyak energi, seperti memanjat, berlari-lari,
atau kegiatan-kegiatan fisik yang lain. Hal itu berbeda dengan yang dilakukan
oleh kebanyakan anak laki-laki. Perbedaan itu bukan berarti bahwa anak
perempuan kurang sehat dibandingkan dengan anak laki-laki, melainkan
pandangan masyarakat bahwa anak perempuan sebaiknya menjadi seorang
anak yang berpembawaan diri lembut dan halus.
Keempat, lingkungan. Anak yang dibesarkan di lingkungan yang kurang
menyediakan peralatan, waktu, dan ruang bermain bagi anak akan
menimbulkan aktivitas bermain anak berkurang.
Kelima, status sosial ekonomi. Anak yang dibesarkan di lingkungan
keluarga yang status sosial ekonominya tinggi lebih banyak tersedia alat-alat
permainan yang lengkap dibandingkan dengan anak-anak yang dibesarkan di
keluarga yang status ekonominya rendah.
Dewasa ini banyak sekolah-sekolah yang difavoritkan terjebak bahwa
proses pembelajaran itu hanya terjadi di dalam kelas sehingga anak selalu
digiring ke kelas dengan waktu-waktu istirahat di luar kelas yang sangat
terbatas dengan alasan menghargai waktu dan menghargai ilmu.
Sementara itu, orangtua juga harus paham bahwa proses pembelajaran
itu terus terjadi dari waktu ke waktu yang tidak dibatasi oleh ruang kelas atau
jadwal pelajaran. Sekolah yang paham proses pendidikan akan memanfaatkan
setiap waktu selama anak berada di sekolah sebagai proses pembelajaran, tidak
hanya terbatas ketika anak berada dalam kelas. Di luar kelas pun tetap ada
jadwal guru yang bertugas memberi bimbingan kepada anak dengan
pengelolaan waktu yang terencana dalam kurikulum sekolah. Dengan begitu,
anak mendapat banyak pelajaran melalui proses sosialisasi selama di luar kelas
melalui permainan yang mereka lakukan bersama (Fahma, 2006). Dari uraian
ini orangtua unggul hendaknya bisa mengambil sikap bijak dalam menilai
kegiatan bermain bagi anak. Tidak selamanya bermain akan membodohkan
anak kita.
BabV
KECERDASAN

A nak adalah anugerah terindah yang dititipkan Tuhan Yang


Maha Esa kepada orangtuanya. Seharusnya kita bisa bersyukur
dan memelihara amanah yang diberikan Tuhan dengan baik.
Masih banyak orang yang hidupnya kurang sempurna karena tidak
adanya anak.
Menurut Seto Mulyadi (2008) dalam Andrianto (2008), anak adalah
sosok unik yang padanya melekat berbagai ciri yang berbeda dengan
yang dimiliki manusia dewasa. Anak adalah tetap anak-anak, bukan
orang dewasa berukuran mini. Anak tumbuh secara fisik dan psikis. Ada
fase-fase perkembangan pada anak yang dilaluinya. Perilaku yang
ditampilkan anak-anak akan sesuai dengan ciri-ciri masing-masing fase
perkembangan tersebut. Memahami ciri-ciri psikologi anak sangat
penting dalam mendidik dan mengasuh anak agar bisa sukses, termasuk
dalam mengungkap kecerdasan anak.
Di negara-negara yang telah maju, masalah kecerdasan amat
penting diperhatikan dalam dunia pendidikan. Di negara-negara
tersebut telah dibuat tes standar kecerdasan sehingga dapat dipakai
untuk mengukur tingkat kecerdasan anak-anak maupun orang dewasa.
Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan di negara Eropa, Amerika
Serikat, dan Jepang, diperoleh suatu data berkaitan dengan tingkat
kecerdasan warga di negara-negara tersebut. Bahwa di negara-negara
Eropa dan Amerika, yang dikenal sebagai negara-negara yang telah
maju, pada setiap 1000 orang warganya ditemukan satu orang yang
cerdas. Sementara di negara Jepang Modern ditemukan satu orang
cerdas untuk setiap 100 orang yang diteliti. Hal itu dapat saja terjadi
karena pendidik di Jepang sangat memerhatikan dalam menumbuh-
kembangkan kecerdasan anak-anak melalui sistem pendidikan.

A. Pengertian Kecerdasan
Masalah kecerdasan amat penting dalam dunia pendidikan. Bagi
pendidik (guru) dan orangtua pada umumnya perlu mengetahui konsep-
konsep kecerdasan yang jelas agar dapat menuntun perkembangan
kecerdasan anak (siswa). Berikut ini dikemukakan beberapa konsep
kecerdasan yang telah dikemukakan oleh para ahli di bidangnya.

1. Konsep Kecerdasan Menurut Vernon (1935)


Vernon telah membuat sistematika dan definisi-definisi mengenai
kecerdasan. Selanjutnya, ia menggolong-golongkan definisi-definisi
kecerdasan menjadi tiga kategori, yaitu kecerdasan ditinjau secara
biologi, kecerdasan ditinjau secara psikologis, dan kecerdasan ditinjau
secara operasional. Penjelasan dari masing-masing kecerdasan tersebut
diuraikan sebagai berikut.
a. Kecerdasan ditinjau secara biologis
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang dapat menyesuaikan
diri dengan alam sekitarnya. Anggapan ini menjadi dasar Vernon dalam
menyusun teorinya tentang kecerdasan. Langkah Vernon tersebut secara
tidak langsung telah melibatkan dua cabang ilmu, yaitu ilmu biologi
dengan ilmu psikologi. Pertautan kedua ilmu tersebut selanjutnya
melahirkan cabang ilmu yang baru yang disebut Psikologi Fisiologi.
Ditinjau dari ilmu biologi, kecerdasan ditafsirkan sebagai
kemampuan dasar manusia yang secara relatif diperlukan untuk
penyesuaian diri pada alam sekitar yang baru. Meskipun, pada
kenyataannya di dunia ini terdapat banyak orang yang mempunyai
kecerdasan yang tinggi tidak mampu menyesuaikan dirinya pada alam
sekitar dengan baik. Contohnya, masyarakat dunia mengenal Pascal dan
Koffka sebagai orang yang ahli, namun keduanya tidak mempunyai
kemampuan penyesuaian diri dengan alam sekitarnya secara baik.
Kendati pandangan Vernon tersebut tidak dapat dikatakan tepat,
tetap saja pandangan tersebut ada manfaatnya. Di antara manfaat
pendekatan Vernon tersebut dalam arti luas dan praktis adalah untuk
menyelidiki perbedaan-perbedaan individual. Contoh, jika terjadi
perbedaan dalam kelengkapan alat indra visual, seperti mata, telinga,
atau yang lainnya, hal itu menyebabkan perbedaan ketajaman,
keterampilan, dan ketelitian dalam mengerjakan suatu pekerjaan yang
melibatkan alat-alat tersebut. Pekerjaan pengamatan menjadi tidak
maksimal karena individu tersebut tidak mempunyai kelengkapan alat
penglihatan. Dalam hal ini, pengamatan tergolong salah satu faktor
kecerdasan individual. Pun demikian halnya dengan pekerjaan lain
seperti ketajaman mencium bau atau aroma, keterampilan melakukan
sesuatu, dan lain-lain.
b. Kecerdasan ditinjau secara psikologis
Tinjauan psikologis mengenai kecerdasan merujuk adanya
pengaruh-pengaruh relatif keturunan dan lingkungan sekitar terhadap
perkembangan kecerdasan individu. Untuk memperjelas definisi
kecerdasan dari aspek psikologis ini, kita dapat melihat definisi
kecerdasan yang telah dikemukakan oleh psikolog C. Burt, D.O. Hebb,
dan R.B. Cattel.
Menurut Burt, kecerdasan adalah kemampuan kognitif umum yang
dibawa individu sejak lahir. Untuk itu perlakuan tes kecerdasan yang
sesungguhnya telah dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitar akan
memberikan konsekuensi yang berbeda pada definisi kecerdasan.
Sedangkan menurut D.O. Hebb dan R.B. Cattell, kecerdasan dibedakan
menjadi dua tipe, yaitu kecerdasan tipe A dan kecerdasan tipe B ( fluid
and crystalized intelligence).
Kecerdasan Tipe A (fluid intelligence)adalah potensialitas keturunan
atau kualitas pembawaan pada sistem saraf dasar seseorang. Sedangkan
kecerdasan Tipe B (crystallized intelligence),adalah kecerdasan yang
dibentuk oleh pengalaman belajar dan faktor-faktor alam sekitar, baik
fisik maupun masyarakat sosial. Kedua tipe kecerdasan tersebut
sebenarnya sangat sulit dibedakan karena keduanya saling berhubungan
erat dan tidak mudah dipisahkan. Hampir tidak mungkin mengetahui
kecerdasan pembawaan dasar dengan mengesampingkan pengaruh-
pengaruh latihan, pengalaman, dan pengaruh-pengaruh dari lingkungan
sekitarnya.
Pembedaan dua tipe kecerdasan itu sejatinya telah menciptakan
sebuah dilema. Oleh Vernon hal itu kemudian diatasi dengan
melahirkan pendekatan operasional.
c. Kecerdasan ditinjau secara operasional
Secara operasional kecerdasan didefinisikan dalam pelaksanaan
atau dalam aplikasinya secara operasional dengan menggunakan istilah-
istilah yang pasti. Definisi kecerdasan secara operasional memakai
pernyataan-pernyataan dari kondisi-kondisi yang diobservasi sehingga
pernyataan kalimatnya berisi terma benar atau salah. Misalnya untuk
menetapkan nilai IQ seseorang, ia harus menjalani tes IQ. Saat
melakukan tes IQ, ia harus diamati tingkah lakunya dan hasil tesnya
dapat diberikan nilai. Penentuan seseorang tergolong cerdas atau biasa-
biasa saja digunakan pedoman penggolongan nilai IQ. Seperti seseorang
dengan skor IQ100 digolongkan kecerdasannya biasa-biasa saja (normal).
Untuk nilai IQdi atas 100 dapat digolongkan orang yang cerdas misalnya
nilai IQ 120. Kebalikannya, seseorang dengan nilai IQdi bawah 100
termasuk orang yang kurang cerdas, dan sebagainya. Contoh yang lain
untuk memahami definisi operasional kecerdasan adalah seorang anak
diminta mengerjakan soal-soal tes yang sangat sukar dan kompleks.
Tetapi, anak tersebut mampu menyelesaikan soal-soal tes yang diberikan
dengan cepat, tepat, dan benar. Oleh karena itu, anak yang bersangkutan
dapat dikatakan cerdas. Dengan demikian, kecerdasan seseorang secara
operasional terlihat dalam kualitas perilakunya dalam menyelesaikan
tugas atau soal-soal ujian yang sukar dan kompleks.

2. Konsep Kecerdasan Menurut Freeman


Menurut Freeman, kecerdasan dipandang sebagai suatu
kemampuan yang dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu kemampuan
adaptasi, kemampuan belajar, dan kemampuan berpikir abstrak. Uraian
berikut ini akan memperjelas masing-masing kemampuan tersebut.
Pertama, kemampuan adaptasi. Kemampuan adaptasi merupakan
kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan alam
sekitarnya. Misalnya, seseorang dikatakan cerdas jika orang tersebut
mampu menyesuaikan dirinya pada situasi-situasi dan problema-
problema baru secara mudah, efektif, dan mempunyai variasi-variasi
tingkah laku.
Pendapat ini juga didukung oleh W. Stern yang mengatakan bahwa
kecerdasan sebagai kemampuan umum seseorang secara sadar untuk
menyesuaikan pikirannya kepada alam sekitarnya yang baru. Hal itu
sama saja dengan suatu kesanggupan untuk beradaptasi dengan
lingkungan sekitarnya.
Kedua, kemampuan belajar. Kemampuan belajar merupakan
kemampuan seseorang untuk belajar. Kemampuan belajar dijadikan
indeks atau dasar kecerdasan seseorang. Pendapat ini didukung oleh
Buckingham. Buckingham mengatakan bahwa kecerdasan adalah
kemampuan seseorang untuk belajar.
Ketiga, kemampuan berpikir abstrak. Kemampuan berpikir abstrak
adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan konsep-konsep dan
simbol-simbol guna menghadapi situasi-situasi atau persoalan- persoalan
yang memakai simbol-simbol verbal dan bilangan. Pendapat ini
didukung oleh Terman. Terman mengatakan bahwa seseorang dikatakan
cerdas jika ia dapat melakukan berpikir abstrak secara baik.

3. Konsep Kecerdasan Menurut Alfred Binet (1916)


Menurut Binet, kecerdasan adalah kecenderungan untuk
mengambil dan mempertahankan pilihan yang tetap, kapasitas untuk
beradaptasi dengan maksud memperoleh tujuan yang diinginkan dan
kekuatan untuk autokritik (Cronbach, 1970).
4. Konsep Kecerdasan Menurut D. Wechsier
Ahli ini berpendapat bahwa kecerdasan adalah kumpulan kapasitas
atau kapasitas global individu untuk berbuat menurut tujuannya secara
tepat, berpikir secara rasional, dan menghadapi alam sekitar secara efektif.

Kapasitas kumpulan adalah sekelompok kapasitas. Sedangkan kapasitas


di sini artinya kesanggupan atau kemampuan dasar yang ada pada
individu (Chauhan, 1979).

5. Konsep Kecerdasan Menurut G. Stoddard


Ahli ini memberikan definisi yang komprehensif tentang
kecerdasan individu yaitu kemampuan untuk melaksanakan aktivitas
dengan ciri-ciri kesukaran, kompleksitas; abstraksi, ekonomis,
penyesuaian dengan tujuan, nilai sosial, dan sifatnya yang asli, dan
mempertahankan kegiatan-kegiatan di bawah kondisi-kondisi yang
menuntut konsentrasi energi dan menghindari kekuatan-kekuatan
emosional atau gejolak emosi.

6. Konsep Kecerdasan Menurut Bruce W. Tuckman


Bruce W. Tuckman mengemukakan ada sepuluh macam konsep
kecerdasan (Fudyartanto, 2003).

a. Kecerdasan adalah suatu kemampuan intelektual umum


Kecerdasan ini serupa dengan kecerdasan yang dikemukakan oleh
Binet dan Vernon. Tokoh lain yang mendukung kecerdasan sebagai
kemampuan intelektual umum adalah Charles Spearman.
Charles Spearman mengatakan bahwa semua aktivitas mental
bergantung kepada faktor umum yang disebut faktor G, yaitu energi
mental yang dimiliki semua orang tetapi berbeda-beda tingkatannya.
Faktor G bekerja pada semua tugas mental sebagai fungsi yang dituntut
oleh kecerdasan. Faktor G diduga terletak pada saling koreksi pada
subtes tes kecerdasan. Selain faktor G, Spearman juga mengajukan
postulat adanya faktor khusus yang disebut faktor S. Faktor S ini
menunjukkan kemampuan khusus.
Namun, semua aktivitas mental mempunyai komponen umum
yang mencerminkan kemampuan intelektual umum adalah kemampuan
berpikir dan memutuskan perkara secara tepat, memahami,
menentukan dan mempertahankan arah berpikir, menyesuaikan pikiran
dengan tujuan tertentu, dan bersifat autokritik. Konsep ini diterapkan
oleh Binet ke dalam tes kecerdasan untuk menyeleksi anak-anak yang
dapat masuk sekolah biasa dan anak-anak yang perlu diasuh dalam
sekolah luar biasa.

b. Kecerdasan sebagai kelompok-kelompok sifat


Dalam hal ini, kecerdasan dianggap sebagai suatu kombinasi atau
paduan kelompok-kelompok sifat atau kelompok faktor-faktor. Setiap
karakter dalam kelompok mempunyai kekhususan dengan yang lainnya.
Thurstone menyebutnya group factor theorydan mengidentifikasi
ada tujuh macam kemampuan mental primer sebagai kelompok faktor,
yaitu verbal comprehension, word fluency, the number factor, the space factor,
the rote memory factor, the reasoning factor, dan perceptual speed. Verbal
comprehension(ditandai kode V): faktor ini terdapat dalam subtes
kecerdasan yang mengungkapkan kemampuan memahami atau
komprehensi. Misalnya, kemampuan memahami bacaan, seperti
keterampilan menyimak, analogi verbal, menguraikan kalimat,
pemikiran verbal, dan merangkai pepatah. Kemampuan verbal paling
cocok jika diuji dengan tes perbendaharaan kata.
Wordfluency(ditandai kode W): faktor kelancaran atau keterampilan
dalam menggunakan kata-kata dalam bahasa. Kecerdasan ini
diterapkan dalam jenis tes anagram, sanjak, atau menyebut nama
anak-anak yang dimulai dengan huruf P, misalnya menyebutkan
kata-kata dalam kategori tertentu.
The number factor(ditandai kode N): faktor bilangan. Dalam hal ini,
kecerdasan meliputi kemampuan intelektual umum untuk
menggunakan konsep-konsep bilangan termasuk memiliki
kemampuan menghitung secara tepat dan cepat.
The space factor(ditandai kode S): tugas-tugas untuk imajinasi dalam
ruang, misalnya mengerti hubungan geometris, gerak-gerak
horizontal dan vertikal, dan pengertian ruang dalam stereometri.
The rote memory factor(ditandai kode M): berhubungan dengan
kemampuan mental untuk mengingat dengan cepat, misalnya kata-
kata yang berpasangan. Faktor ingatan ini dapat diungkap dengan
menerapkan prinsip tes yang menghendaki rangkaian atau pasangan
ingatan.
The reasoning factor(ditandai kode I/R): faktor pemikiran baik induksi
maupun deduksi. Pemikiran secara induksi dapat diuji (dites) dengan
tes menyempurnakan. Sedangkan, pemikiran deduksi diuji dengan
tes silogisme.
- Perceptual speed(ditandai kode P): faktor kecepatan dan ketepatan
pengamatan secara cermat (detail), persamaan, dan perbedaan.

c. Kecerdasan sebagai kesanggupan adaptasi


Konsep kecerdasan ini didukung oleh definisi-definisi kecerdasan
menurut Wechsler dan Stoddard seperti telah diterangkan sebelumnya.
d. Kecerdasan dipandang sebagai sesuatu yang dapat diukur
dengan tes kecerdasan
Pendapat seperti ini sebetulnya merupakan pendapat operasional
sejalan dengan pandangan Boring (1923) yang mengatakan bahwa
intelligence is whatever the tes measure.Hanya saja ada hal yang patut
dipertanyakan, adakah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk tes
mengukur kecerdasan manusia? Jawaban untuk pertanyaan tersebut
tidak sesederhana yang dibayangkan dan yang pasti tes yang dapat
mengukur kecerdasan sudah distandardisasi. Perlu pula dipikirkan
penyusunan materi tes kecerdasan harus mempertimbangkan pengaruh
budaya. Mengingat kecerdasan seseorang terbentuk dari adanya faktor-
faktor pembawaan yang dimiliki individu itu sendiri dan juga dari
lingkungan sekitarnya, baik yang berupa keadaan fisik maupun keadaan
sosial budaya. Untuk itu, sebenarnya tes kecerdasan yang disusun untuk
anak-anak yang tinggalnya di negara-negara Eropa atau Amerika Serikat
tidak cocok jika diterapkan untuk mengetes kecerdasan anak-anak yang
tinggalnya di Indonesia atau negara-negara Asia yang lainnya.
Para ahli psikologi di seluruh dunia telah menyadari pengaruh
kebudayaan tersebut pada validitas tes kecerdasan. Oleh karena itu,
mereka berusaha dapat menciptakan bentuk tes kecerdasan yang
terbebas dari pengaruh unsur kebudayaan. Namun, penulis tidak yakin
hasilnya akan memuaskan, mengingat hidup manusia tidak bisa
dilepaskan dari unsur kebudayaan tersebut.

e. Kecerdasan sebagai suatu faktor diskrit


Pandangan ini dikemukakan oleh J.P. Guilford (1967) yang
mengatakan bahwa kecerdasan individu terdiri dari tiga dimensi, yaitu
dimensi isi, dimensi operasi, dan dimensi hasil. Dimensi isi dari
sebuah intelek dapat berupa gambar atau figural (diberi simbol F),
simbolik [symbolic)diberi simbol S, pernyataan dalam kalimat (semantic)
diberi simbol M, dan perilaku [behavioral)diberi simbol B. Dimensi
operasi adalah intelek yang meliputi kognisi (cognition) diberi simbol C,
mengingat (memory) diberi simbol M, produksi divergen (divergent
production)diberi simbol D, produksi induksi (inductive production) diberi
simbol I, evaluasi (evaluation) atau penilaian diberi simbol E. Dimensi
hasil (products) meliputi unit yang diberi simbol U, kelas atau
classesdiberi simbol C, hubungan atau relationdiberi simbol R, sistem atau
systemsdiberi simbol S, pemindahan atau transformationsdiberi simbol T,
dan implikasi atau implicationsdiberi simbol I.

f. Kecerdasan sebagai kemampuan belajar


Hal ini sejalan dengan pikiran ahli psikologi bernama Piaget yang
berpendapat bahwa kecerdasan merupakan suatu asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah terjadinya perubahan-perubahan dalam
pikiran untuk membentuk suatu kerangka berpikir. Sedangkan
akomodasi merupakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam
struktur diri sendiri sebagai hasil pengalaman-pengalaman baru. Kedua
proses ini menjadikan seseorang memiliki kesanggupan belajar dan
tumbuh. Berkaitan dengan pendapat Piaget ini, kecerdasan sebagai
kemampuan belajar seseorang dapat diukur hasilnya sebagai hasil
pengajaran.
Menurut Feurstein (1968), kecerdasan harus dapat diukur
setelah anak mengalami kegiatan belajar. Feurstein telah merancang
prosedur pengajaran dan menentukan cara untuk mengukur hasil
belajar anak. Misalnya, anak disuruh membaca buku kemudian ia
disuruh menceritakannya kembali isi buku yang telah dibacanya.

g. Inteligensi sebagai perilaku terpelajar


Ada yang berpendapat bahwa perilaku terpelajar merupakan
aplikasi inteligensi. Makanya, inteligensi dianggap keberhasilan belajar.
Pendapat ini disokong oleh adanya korelasi yang tinggi antara hasil tes
inteligensi dan hasil belajar anak. Padahal, adanya korelasi belum tentu
disebabkan oleh hubungan sebab akibat. Sebaliknya, hubungan sebab
akibat selalu menunjukkan adanya korelasi. Contohnya, jika ada asumsi
bahwa kecerdasan menyebabkan penentu prestasi belajar anak,
kecerdasan mesti berkorelasi dengan prestasi belajar anak. Padahal,
selain faktor kecerdasan, ada faktor yang lain yang turut menentukan
prestasi belajar anak, seperti kesehatan jasmani dan ruhani, fasilitas
belajar, gizi, lingkungan tempat belajar, dan lain-lain.

h. Kecerdasan sebagai dua tingkatan proses yakni tingkat


kecerdasan asosiatif dan kecerdasan tingkat abstrak
Psiokolog Jensen (1968) mengemukakan bahwa kecerdasan
memiliki dua tingkatan, yaitu kecerdasan asosiatif dan kecerdasan
abstrak. Kecerdasan asosiatif (kecerdasan tingkat I) berupa kemampuan
untuk membentuk hubungan-hubungan yang sederhana, seperti tes
ingatan. Sedangkan kecerdasan tingkat II atau kecerdasan abstrak
menunjukkan adanya kemampuan berpikir dan pemecahan masalah.
Gagne (1950), seorang ahli yang sependapat dengan Jensen,
memerinci tingkat-tingkat kecerdasan yang diajukan oleh jensen
menjadi beberapa hal, yaitu kecerdasan asosiatif meliputi proses belajar
sinyal, belajar stimulus respons, belajar rangkaian deretan, dan asosiasi
verbal. Sedangkan kecerdasan abstrak mencakup empat hal, yaitu
kemampuan diskriminasi ganda, belajar konsep, belajar prinsip, dan
belajar memecahkan masalah.

i. Kecerdasan sebagai kemampuan-kemampuan mental


majemuk
Menurut pandangan ini, kecerdasan merupakan keterampilan
intelektual yang majemuk atau kemampuan-kemampuan mental yang
dapat diperinci secara spesifik berdasarkan tes kecerdasan, dipengaruhi
dan dihubungkan dengan lingkungan belajar yang dirancang untuk
memperkuat atau menguasai kecakapan-kecakapan tersebut.
Dari pengertian tersebut, kecerdasan dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu bagian keterampilan-keterampilan khusus yang dapat
diukur oleh tes kecerdasan atau tes kemampuan yang meliputi tugas-
tugas berpikir induktif, komprehensi dan kelancaran verbal, hubungan-
hubungan ruang, kemampuan bilangan dan komprehensi figural. Bagian
keterampilan intelektual merupakan perilaku intelektual atau abilitas
mental. Sedangkan bagian yang kedua, kecerdasan dipandang sebagai
pembawaan individu seperti halnya telah dialami dalam pengalaman
baik ketika di rumah maupun di sekolah. Dalam bagian kedua ini
kecerdasan dipandang sebagai penguat keberhasilan seseorang untuk
bertindak sehingga ia dapat sukses.

j. Kecerdasan sebagai bentuk kemampuan, bakat, dan prestasi


Pengertian kecerdasan seperti ini dikacaukan dengan bakat, abilitas
mental, dan prestasi. Memang amat sulit membuat definisi kecerdasan
dengan faktor tunggal, karena kecerdasan umumnya menggambarkan
sifat mental yang bisa disebut abilitas mental sehingga kecerdasan sering
diganti dengan istilah abilitas mental.
Sementara itu, masalah bakat, menurut Freeman (1950),
merupakan kecerdasan yang merupakan suatu kondisi atau kombinasi
ciri-ciri pengenal kecerdasan individu melalui latihan untuk
memperoleh pengetahuan, keterampilan, kesiapan responsi, untuk
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan keteknikan,
dan lain-lain. Oleh karena itu, merujuk pada penjelasan ini pengertian
tes bakat digunakan untuk mengukur potensi kemampuan individu
untuk melakukan tipe perbuatan tertentu dalam bidang dan jangkauan
terbatas (Tuckman, 1975).
Sebenarnya faktor-faktor atau unsur-unsur kecerdasan lebih tegas
menunjukkan bakat-bakat tertentu seperti bakat menggunakan bilangan
ditentukan oleh faktor bilangan, bakat kemampuan mengingat
ditunjukkan oleh faktor mengingat, dan lain-lain.
Para pakar psikologi pendidikan tahu bahwa tes kecerdasan
berbeda dengan tes prestasi maupun tes bakat. Tes kecerdasan lebih
menitikberatkan pada peramalan-peramalan. Tes kecerdasan sering
dinamakan psikometrik. Tes prestasi lebih banyak mengukur segala apa
yang telah dipelajari. Tes hasil belajar sering disebut edumetrik.
Sedangkan tes bakat, digunakan untuk mengetahui kemampuan-
kemampuan khusus yang istimewa perkembangannya pada individu.

B. Tipe Kecerdasan Manusia


Dalam dunia pendidikan, khususnya objek kajian psikologi, masalah
kecerdasan merupakan bahan yang sangat penting dan menarik untuk
terus dikaji keberadaannya. Dewasa ini bahkan ulasan tentang
kecerdasan berkembang sangat pesat tidak hanya dibahas dalam bangku
sekolah/kuliah saja. Tetapi, masalah kecerdasan telah menyita waktu
khusus bagi para orangtua sehingga penulis sekali lagi menggarisbawahi
pentingnya pengertian konsep kecerdasan diketahui oleh semua pihak.
Edward Lee Thorndike (1874-1949), psikolog Amerika Serikat,
mengklasifikasikan kecerdasan menjadi tiga tipe, yaitu kecerdasan riil
(iconcrete intelligence),kecerdasan abstrak (abstract intelligence), dan
kecerdasan sosial (social intelligence).
Pertama, kecerdasan riil. Kecerdasan riil adalah kemampuan
individu untuk menghadapi situasi-situasi dan benda-benda riil.
Misalnya batu, pasir, jagung, gabah, singkong, dan lain-lain. Dengan
kecerdasan riil ini, manusia dapat menghadapi dan mereaksi situasi-
situasi aktual secara sempurna dalam kehidupannya sehari-hari.
Kedua, kecerdasan abstrak. Kecerdasan abstrak adalah kemampuan
manusia untuk mengerti kata-kata, bilangan-bilangan, huruf-huruf,
simbol-simbol, rumus-rumus, dan lain-lain. Seorang yang dipandang
memiliki kecerdasan abstrak yang tinggi adalah para filsuf. Mereka
banyak mempersoalkan hal-hal yang bersifat abstrak seperti metafisika,
konsep-konsep dasar filsafat, misalnya tentang keadilan, kebaikan,
kecurangan, ketuhanan, dan lain-lain. Kecerdasan abstrak sangat
penting dalam kegiatan-kegiatan akademik di perguruan tinggi maupun
dalam kehidupan masyarakat umumnya. Contoh praktis penerapan
kecerdasan abstrak misalnya membaca, menulis, hukum, sastra, dan
lain-lain.
Ketiga, kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial adalah kemampuan
individu untuk menghadapi dan mereaksi situasi-situasi sosial atau
hidup di masyarakat. Kecerdasan sosial bukan emosi seseorang terhadap
orang lain, melainkan kemampuan seseorang untuk mengerti kepada
orang lain, dapat berbuat sesuatu dengan (tuntutan masyarakat. Individu
dengan kecerdasan sosial yang tinggi akan mampu berinteraksi, bergaul,
atau berkomunikasi dengan orang lain secara mudah, mampu
menyesuaikan diri dalam berbagai lingkungan sosial budaya.
Jika ketiga tipe kecerdasan tersebut dimiliki oleh individu secara
seimbang, selaras, dan harmonis, individu tersebut ideal sebagai orang
cerdas.

C. Perkembangan Kecerdasan Dewasa Ini


Pada kenyataannya penelitian kecerdasan pada individu tidak berhenti
sampai di situ. Hingga dewasa ini, para ahli psikologi terus berupaya
melakukan penelitian-penelitian untuk dapat mengungkap kecerdasan
manusia secara lebih lengkap dan sempurna mengingat arti pentingnya
masalah kecerdasan dalam mengembangkan sumber daya manusia di
muka bumi.
Andrianto (2008) menguraikan hal yang dimaksudkan kecerdasan
individu. Berikut ini dikemukakan kembali hal tersebut agar wawasan
pengetahuan ini dapat menjangkau pembaca secara lebih luas lagi
mengingat pentingnya pengetahuan ini. Tidak saja bagi para pendidik,
tetapi juga bagi setiap orangtua yang sedang mendidik dan mengasuh
anak.
Kecerdasan diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Kecerdasan adalah kemampuan menghasilkan persoalan baru untuk
diselesaikan. Kecerdasan adalah kemampuan menciptakan dan
menawarkan jasa dalam budaya seseorang. Kecerdasan adalah
kemampuan memberikan penghargaan dalam sejarah perkembangan
peradaban manusia. Kecerdasan merupakan alat untuk belajar, untuk
menyelesaikan masalah, dan menciptakan semua hal yang dapat
dimanfaatkan manusia. Kecerdasan berkembang di luar individu dan
meningkat melalui interaksi dengan orang lain.
Di era kesejagatan ini pengertian kecerdasan adalah kemampuan
mental seseorang merespons dan menyelesaikan problem dari hal-hal
yang bersifat kuantitatif dan fenomenal, seperti matematika, fisika, data-
data sejarah, dan sebagainya. Sedangkan ukuran kecerdasan atau
inteligensi yang lazim disebut dengan IQ merupakan perbandingan
kemampuan antara umur mental dan umur kronologis. Kecerdasan
seperti ini penting dalam dunia akademis dan menjadi modal utama
dunia perekayasaan dan teknologi. Namun, menurut Suharsono (2002),
membekali anak dengan IQ tinggi saja tidak dapat menjamin anak bisa
hidup sukses. Sebab, IQ tinggi baru merupakan bekal yang baik untuk
dapat mengenal dan merespons alam semesta. Tetapi, IQ tinggi belum
dapat mengakomodasi untuk mengenal dan memahami diri sendiri dan
sesamanya.
Jenis kecerdasan untuk dapat mengenal dan memahami diri sendiri
dan sesamanya disebut dengan istilah kecerdasan emosional disingkat IE
{Intelligence Emotional). Dari kedua pengertian tersebut dapat diketahui
bahwa antara IQdan IE terdapat perbedaan mendasar. IQ lebih
menekankan tinjauannya pada objek-objek di luar diri manusia,
sedangkan IE lebih menekankan pada objek-objek yang berada di dalam
diri manusia.
Menurut Daniel Goleman, meskipun dengan IQ tinggi, seseorang
belum tentu mampu mengatasi problema kedirian. Bahkan, ia bisa gagal
mengenali dirinya sendiri. Sebaliknya, ada orang dengan IQ biasa
saja dalam mengarungi kehidupan, ia dapat sukses besar karena yang
bersangkutan memiliki sense of emotionalityatau IE yang tinggi.
Berdasarkan catatan dunia pendidikan dewasa ini, berkat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berhasil diungkap
rumpun kecerdasan manusia yang lebih luas dan telah melahirkan
definisi tentang konsep kecerdasan yang benar-benar pragmatis dan
menyegarkan. Kecerdasan tidak lagi diukur pada skala waktu tertentu
dan melalui tes standar semata. Tetapi, kecerdasan merupakan proses
berkelanjutan yang bermuara pada tercapainya tujuan yang ditargetkan.
Berdasarkan konfigurasinya, manusia mempunyai spektrum kecerdasan
penuh dan setiap individu mampu mewujudkan ciri-ciri kognitif yang
sanggup memunculkan keunggulan-keunggulan sesuai dengan bakat dan
karakternya.
Sebelum orangtua menyusun strategi dalam membentuk anak
cerdas, terlebih dahulu perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan
kecerdasan dan apa saja macam kecerdasan yang ada dan perlu
dikembangkan pada anak.
Howard Gardner (1993) dalam bukunya Multiple Intelligences
menuliskan bahwa skala kecerdasan yang selama ini dipakai ternyata
memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan
kinerja yang sukses untuk masa depan seseorang. Gambaran mengenai
spektrum kecerdasan yang luas telah membuka mata para orangtua
unggul maupun guru tentang adanya wilayah-wilayah yang secara
spontan akan diminati oleh anak-anak dengan semangat yang tinggi.
Dengan begitu, tiap anak akan merasa pas menguasai bidangnya masing-
masing. Menurut Gardner, anak-anak tersebut tidak hanya menjadi
cakap pada bidang-bidang tersebut yang memang sesuai
dengan minatnya, tetapi juga anak-anak itu akan sangat menguasainya
sehingga kelak menjadi sangat ahli.
Lebih lanjut, untuk mendukung argumentasinya itu Gardner
mengemukakan bahwa kecerdasan seseorang meliputi unsur-unsur,
yaitu (1) kecerdasan matematika-logika, (2) kecerdasan bahasa, (3)
kecerdasan musikal, (4) kecerdasan visual spasial, (5) kecerdasan
kinestetik, (6) kecerdasan interpersonal, (7) kecerdasan intrapersonal,
dan (8) kecerdasan naturalis. Uraian selengkapnya mengenai berbagai
macam kecerdasan tersebut masing-masing diberikan berikut ini.

1. Kecerdasan Matematika-Logika
Memuat kemampuan seseorang dalam berpikir secara induktif dan
deduktif, kemampuan berpikir menurut aturan logika, memahami dan
menganalisis pola angka-angka, serta memecahkan masalah dengan
menggunakan kemampuan berpikir.
Orangtua unggul bisa mengamati kebiasaan dan kegemaran anak-
anaknya berkaitan dengan potensi kecerdasan matematika- logika.
Anak-anak dengan kecerdasan matematika-logika tinggi
memperlihatkan kecenderungan tinggi menyenangi kegiatan
menganalisis dan mempelajari sebab-akibat terjadinya sesuatu. Anak
dengan potensi kecerdasan ini menyenangi berpikir secara konseptual
seperti menyusun hipotesis, mengadakan kategorisasi dan klasifikasi
terhadap apa yang dihadapinya. Anak memperlihatkan kecenderungan
suka melakukan aktivitas berhitung dan memiliki kecepatan tinggi
dalam menyelesaikan soal-soal atau problem matematika. Anak juga
menyenangi permainan yang banyak melibatkan kegiatan berpikir aktif
seperti catur, teka-teki, dan sebagainya. Anak juga suka bertanya
apabila menghadapi persoalan-persoalan yang tidak atau kurang bisa
dipahaminya.
Orangtua yang unggul mestinya menyadari kemampuan buah
hatinya yang memiliki kecerdasan matematika-logika tinggi. Orangtua
unggul harus berusaha mendukung anaknya dengan berupaya
mendukungnya selogis mungkin supaya anak tidak berhenti di tengah
jalan dalam mengarungi samudra pengetahuan yang terbentang luas di
jagat ini. Misalnya, orangtua membiasakan membaca banyak buku-buku
pengetahuan atau referensi yang sekiranya mendukung perkembangan
potensi kecerdasan matematika-logika buah hati. Orangtua perlu
menyempatkan diri untuk menghadiri seminar-seminar, lokakarya, dan
berbagai diskusi yang membahas masalah pendidikan anak usia dini.
Semua langkah itu perlu ditempuh dengan kesadaran yang tinggi guna
melejitkan potensi kecerdasan si buah hati Anda.

2. Kecerdasan Bahasa
Memuat kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dan
kata-kata, secara tertulis maupun lisan, dalam berbagai bentuk yang
berbeda untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya.
Orangtua unggul dapat mengidentifikasi si buah hati dengan
potensi kecerdasan bahasa tinggi dengan ciri-ciri yang melekat pada si
anak. Anak dengan potensi kecerdasan bahasa tinggi umumnya ditandai
dengan kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan dengan
penggunaan suatu bahasa seperti membaca, menulis karangan, membuat
puisi/sajak, menyusun kata-kata mutiara, dan sebagainya. Anak-anak
dengan potensi kecerdasan bahasa tinggi juga cenderung memiliki daya
ingat yang kuat, misalnya terhadap nama-nama seseorang, istilah-istilah
baru, maupun hal-hal yang sifatnya detail.
Anak-anak dengan kecerdasan ini cenderung lebih mudah belajar dengan
cara mendengarkan dan verbalisasi. Dalam hal penguasaan suatu bahasa
baru, anak-anak ini umumnya memiliki kemampuan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Orangtua unggul bisa melejitkan
kecerdasan si anak dengan memberinya program olah seni sastra.

3. Kecerdasan Musikal
Memuat kemampuan seseorang untuk peka terhadap suara-suara
nonverbal yang berada di sekelilingnya, termasuk nada dan irama.
Orangtua unggul perlu mengamati kebiasaan anaknya, terutama
anak yang mempunyai kecenderungan senang sekali mendengarkan
nada dan irama yang indah, apakah itu melalui senandung yang
dilagukan sendiri, mendengarkan kaset, radio, pertunjukan orkestra atau
alat musik yang dimainkannya sendiri. Mereka juga lebih mudah
mengingat sesuatu dan mengekspresikan gagasan-gagasan apabila
dikaitkan dengan musik. Apabila pada anak terlihat ciri-ciri seperti itu,
orangtua harus segera tanggap bahwa si buah hati memiliki potensi
kecerdasan musikal tinggi. Orangtua unggul bisa segera mengambil
langkah tepat guna melejitkan kecerdasan anak melalui olah seni vokal
dan atau seni musik.

4. Kecerdasan Visual Spasial


Memuat kemampuan seseorang untuk memahami secara lebih
mendalam hubungan antara objek dan ruang. Anak-anak yang memiliki
potensi kecerdasan visual spasial tinggi memperlihatkan kemampuan
yang lebih dibandingkan dengan anak-anak yang lain dalam hal,
misalnya menciptakan imajinasi bentuk dalam pikirannya, atau
kemampuan untuk menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi
seperti dijumpai pada orang dewasa sebagai pemahat patung atau
arsitek suatu bangunan. Kemampuan membayangkan suatu bentuk
nyata dan kemudian memecahkan berbagai masalah sehubungan
dengan kemampuan ini adalah hal yang menonjol pada jenis kecerdasan
ini. Anak-anak dengan potensi kecerdasan ini biasanya dapat unggul
dalam permainan mencari jejak pada suatu kegiatan di kepramukaan.
Orangtua unggul sudah semestinya tanggap akan potensi
kecerdasan yang dimiliki anaknya sehingga dapat menempuh cara-cara
yang tepat dalam upaya melejitkan kecerdasannya secara maksimal.

5. Kecerdasan Kinestetik
Memuat kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan
bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan
memecahkan berbagai masalah. Hal itu dapat dijumpai pada anak-anak
yang unggul pada salah satu cabang olahraga, seperti bulutangkis, sepak
bola, tenis, berenang, dan sebagainya. Atau dapat pula terekspos pada
anak-anak yang pandai menari, tampil bermain akrobat, atau unggul
dalam bermain sulap.
Orangtua unggul tentunya tanggap akan kemampuan yang dimiliki
dalam bidang ini sehingga tidak salah langkah dalam upayanya
melejitkan kecerdasan si buah hati. Misalnya, anak perempuan bisa
dimasukkan ke sanggar tari untuk belajar berlatih menari (olah gerak),
anak laki-laki bisa diikutkan berlatih ke sekolah-sekolah sepak bola anak
yang kini sedang tren di negeri ini.

6. Kecerdasan Inter-personal
Menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap
perasaan orang lain. Anak-anak dengan kemampuan lebih di bidang ini
cenderung memahami dan berinteraksi dengan orang lain sehingga ia
mudah dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Kecerdasan ini juga
dinamakan kecerdasan sosial. Anak dengan kecerdasar ini tidak saja
mampu menjalin persahabatan yang akrab dengan teman-temannya
secara mudah, ia juga memiliki kemampuan tinggi dalam memimpin,
mengorganisasi, menangani perselisihan antarteman memperoleh
simpati dari anak-anak yang lain, dan sebagainya.

7. Kecerdasan Intra-personai
Menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan
dirinya sendiri. Anak dengan kecerdasan intrapersonal tinggi
menunjukkan tanda-tanda mampu mengenali berbagi kekuatan maupun
kelemahan yang ada pada dirinya sendiri. Anak-anak semacam ini suka
melakukan introspeksi diri, mengoreksi kekurangan maupun
kelemahannya, kemudian mencoba untuk memperbaiki diri.
Ada beberapa di antaranya yang menyukai kesunyian dan
kesendirian, merenung dan berdialog dengan dirinya sendiri. Orangtua
unggul tidak perlu merasa was was apabila memergoki si buah hati
sering berlaku demikian. Barangkali hal itu merupakan sebuah proses
dari potensi kecerdasannya. Hanya saja, sebagai orangtuanya tidak boleh
lepas kontrol dengan perilaku anaknya itu. Misalnya, orangtua
memergoki anaknya sering merenung dengan mengurung diri di
kamarnya, orangtuanya perlu mencari tahu penyebab tindakan anaknya
itu. Jika sekiranya alasan yang dikemukakan si anak masuk di akal,
orangtua tidak perlu merasa khawatir akan keselamatannya.
Merupakan kemampuan seseorang untuk peka terhadap
lingkungan alam. Misalnya, anak senang berada di lingkungan alam
yang terbuka seperti di pantai, gunung, cagar alam, hutan, dan
sebagainya. Anak-anak dengan tingkat kecerdasan naturalis tinggi
cenderung suka mengobservasi lingkungan alam seperti aneka macam
bebatuan, jenis-jenis lapisan tanah, aneka macam flora dan fauna,
benda-benda di angkasa, dan sebagainya.
Penjelasan Gardner melalui konsep kecerdasan ganda tersebut
dimaksudkan untuk mengoreksi keterbatasan cara berpikir orangtua
dan guru yang masih konvensional mengenai kecerdasan. Melalui
uraiannya itu Gardner sebetulnya ingin mengatakan bahwa kecerdasan
tidak terbatas hanya pada apa yang diukur oleh beberapa tes inteligensi
yang sempit atau sekadar melihat prestasi yang ditampilkan seorang
anak melalui ulangan maupun ujian di sekolah saja (Mulyadi, 2008).

D. Kecerdasan Emosi
Apabila orangtua dalam mendidik anak hanya menggunakan
pendekatan kognitif saja, kira-kira hasil yang akan didapatkannya seperti
apa? Kiranya untuk menjawab pertanyaan ini dengan tepat sangatlah tidak
mudah. Sebagian ahli berpendapat bahwa anak yang dididik hanya dengan
pendekatan kognitif saja tidak akan sukses dalam hidupnya. Sementara ahli
lain berpendapat sebaliknya. Tetapi, pendapat psikolog New York, Amerika
Serikat, Daniel Goleman dapat kita jadikan pertimbangan positif dalam
mendidik anak agar kelak dapat sukses hidupnya.
Pertanyaan kritis kita, sampai sejauh mana peran kecerdasan emosi
menentukan kesuksesan anak kita? Pendapat Daniel Goleman mengatakan
bahwa peran kecerdasan akademik (kognitif) yang akan menyokong
kesuksesan hidup seseorang sekitar 20%. Sedangkan yang 80% lainnya
berupa faktor-faktor lain yang disebut kecerdasan emosi (Artista, 2006).
Pendapat Goleman penting dijadikan pertimbangan mengingat fakta yang
sering dijumpai di lapangan akhir-akhir ini sangat mendukungnya. Generasi
sekarang cenderung mulai banyak yang mengalami kesulitan emosional,
misalnya mudah cemas, mudah bertindak agresif, kurang menghargai sopan
santun, dan sebagainya. Oleh karena itu, Daniel Goleman mencoba
mencarikan jalan keluar untuk mengatasi kondisi kritis anak-anak tersebut
dengan menyodorkan konsep pentingnya mengasah kecerdasan emosional.
Emosi adalah perasaan tertentu yang bergejolak dan dialami seseorang
serta berpengaruh pada kehidupan manusia. Emosi memang sering
dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif. Bahkan, pada beberapa budaya
emosi dikaitkan dengan sifat marah seseorang. Menurut Aisah Indiati (2006),
sebenarnya terdapat banyak macam ragam emosi, antara lain sedih, takut,
kecewa, dan sebagainya yang semuanya berkonotasi negatif. Emosi lain
seperti senang, puas, gembira, dan lain-lain, semuanya berkonotasi positif.
Emosi merupakan kekuatan pribadi (personal power)yang
memungkinkan manusia mampu berpikir secara keseluruhan, mampu
mengenali emosi sendiri dan emosi orang lain serta tahu cara
mengekspresikannya dengan tepat (Goleman, 1995).
Istilah kecerdasan emosi berakar dari konsep social intelligence,yaitu suatu
kemampuan memahami dan mengatur untuk bertindak secara bijak dalam
hubungan antarmanusia (Thorndike, 1920). Sementara
Salovey dan Mayer, dalam Goleman (1995), menggunakan istilah kecerdasan
emosional untuk menggambarkan sejumlah keterampilan yang berhubungan
dengari keakuratan penilaian tentang emosi diri sendiri dan orang lain, serta
kemampuan mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan, dan
meraih tujuan kehidupan.
Selanjutnya, Salovey dan Mayer menempatkan kecerdasan emosional
dalam yang disebutnya sebagai lima wilayah utama, yaitu kemampuan
untuk mengenali diri sendiri, kemampuan mengelola emosi dan
mengekspresikan emosi diri sendiri dengan tepat, kemampuan memotivasi
diri, kemampuan mengenali emosi orang, dan kemampuan membina
hubungan dengan orang lain. Komponen dasar kecerdasan emosi, seperti
yang dinyatakan oleh Salovey dan Mayer dalam Aisah Indiati (2006), adalah
mengenali emosi diri sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri,
mengenali emosi orang lain (empati), dan membina hubungan dengan orang
lain.
Pertama, mengenali emosi diri sendiri. Kemampuan mengenali diri
sendiri merupakan kemampuan dasar dari kecerdasan emosional.
Kemampuan ini mempunyai peranan untuk memantau perasaan dari waktu
ke waktu. Juga berfungsi untuk mencermati perasaan-perasaan yang
muncul. Adanya komponen ini mengindikasikan anak berada dalam
kekuasaan emosi manakala ia tidak memiliki kemampuan untuk mencermati
perasaan yang sesungguhnya. Hal penting yang perlu dipahami dalam
kemampuan mengenali emosi diri sendiri meliputi kesadaran diri, tenggelam
dalam permasalahan, dan pasrah. Apabila anak Anda menunjukkan sikap
atau respons positif terhadap gejala-gejala ini berarti ia telah memiliki
perkembangan emosional yang baik. Walaupun begitu, Anda tetap tidak bisa
melepaskan tangan begitu saja. Anda wajib tetap membina kestabilan
emosinya menuju
perkembangannya lebih lanjut sejalan dengan pertambahan umur anak.
Kedua, mengelola emosi. Anak Anda sering terlihat murung? Jangan
dibiarkan kondisi itu berlanjut secara terus-menerus. Anda segera turun
tangan untuk membantu mengatasi masalah yang sedang dihadapinya.
Kiranya perlu dicari penyebab sifat kemurungan si anak. Adakah kaitan
antara sifat pemurung si anak dengan kemampuan mengelola emosinya?
Anak yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus-
terusan bernaung melawan perasaan murung. Dampaknya anak kehilangan
masa cerianya.
Kemampuan mengelola emosi meliputi kemampuan menguasai diri
sendiri, termasuk menghibur dirinya sendiri, melepaskan kecemasan,
kemurungan atau ketersinggungan, dan akibat-akibat yang timbul karena
kegagalan dalam mengelola keterampilan dasar emosi. Anak yang terampil
mengelola emosinya akan mampu menenangkan kembali kekacauan-
kekacauan yang dialaminya sehingga ia dapat bangkit kembali.
Ketiga, memotivasi diri sendiri. Kemampuan dasar memotivasi diri
sendiri meliputi berbagai segi, yaitu pengendalian dorongan hati, kekuatan
berpikir positif, dan optimisme. Anak yang mempunyai keterampilan
memotivasi diri sendiri dengan baik cenderung jauh lebih produktif dan
efektif dalam segala tindakan yang dikerjakannya. Kemampuan ini tentunya
didasari oleh kemampuan mengendalikan emosinya, yaitu menahan diri
terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati. Jadi, kemampuan
seseorang dalam menata emosi merupakan modal pokok si anak untuk
mencapai tujuan atau cita-citanya. Hal itu juga sangat vital untuk
memotivasi dan menguasai diri sendiri.
Keempat, mengenali emosi orang lain (empati). Apakah anak Anda
mudah bergaul dengan orang lain atau sebaliknya? Anak yang terampil
mengenali emosi orang lain disebut juga empati, yaitu kemampuan yang
bergantung pada kesadaran diri emosional. Hal itu, sebagaimana dinyatakan
oleh Salovey dan Mayer, merupakan suatu keterampilan dasar bergaul.
Menurut kedua ahli tersebut, orang empatik lebih mampu menangkap
sinyal-sinyal sosial tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan
atau dikehendaki oleh orang lain. Jadi, bisa dipahami orang dengan
kemampuan yang andal dalam mengenali emosi orang lain akan mudah
sukses dalam pergaulannya dengan orang lain di tengah-tengah masyarakat
luas.
Kelima, membina hubungan dengan orang lain. Hutch dan Gardner,
dalam Goleman (1995), mengatakan bahwa dasar-dasar kecerdasan sosial
merupakan komponen dasar kecerdasan antarpribadi. Dasar-dasar
kecerdasan sosial meliputi mengorganisasikan kelompok, merundingkan
masalah, hubungan pribadi, dan analisis sosial. Aisah Indiati (2006)
menguraikan bahwa seni membina hubungan sosial merupakan
keterampilan mengelola emosi orang lain yang meliputi keterampilan sosial
yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan hubungan
antarpribadi.
Dari uraian tentang kecerdasan emosi tersebut, dapat disimpulkan
betapa sangat pentingnya melejitkan kecerdasan emosi anak. Karena, betapa
banyak kita jumpai anak-anak yang begitu cerdas di sekolah, begitu
cemerlang prestasi akademiknya, tetapi ia mudah marah, mudah putus asa
atau bersikap angkuh, dan sombong. Hal itu disebabkan ketidakmampuan si
anak dalam mengelola emosinya. Dengan pernyataan lain, kecerdasan emosi
anak tidak terasah semenjak anak usia dini. Jika sudah demikian itu, kita
menjadi sadar pentingnya
melejitkan kecerdasan emosi anak agar kelak anak bisa sukses mengarungi
hidup di masyarakat.
Para ahli berpendapat berkaitan dengan pelejitan kecerdasan emosi pada
anak usia dini sangat ditentukan oleh gaya pengasuhan para orangtuanya.
Tentunya orangtua unggul bisa melakukan pengasuhan anak dengan akurat
sehingga kecerdasan emosi anak betul-betul bisa dilejitkan sesuai atau minimal
mendekati hasil yang diharapkan.
Menurut catatan Aisah Indiati (2006), ada dua faktor penting yang
memengaruhi perkembangan emosi seseorang, yaitu kematangan perilaku
emosional dan belajar. Pertama, kematangan perilaku emosional. Perkembangan
intelektual seseorang nantinya menghasilkan kemampuan untuk memahami
makna yang sebelumnya tidak dimengerti, memerhatikan suatu rangsangan
dalam jangka waktu lebih lama, dan memutuskan ketegangan emosi pada satu
objek. Kemampuan mengingat dan menduga memengaruhi reaksi emosional
sehingga anak menjadi reaktif terhadap rangsangan yang semula kurang atau
tidak memengaruhi dirinya. Kematangan perilaku emosional secara fisiologi
dipengaruhi oleh kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon adrenalin.
Kelenjar endokrin tersebut berkembang sangat pesat ketika anak berumur 5
tahun dan kemudian melambat ketika anak berumur di atas 5 tahun hingga 11
tahun. Di atas umur 11 tahun kelenjar endokrin akan membesar lagi hingga
anak berumur 16 tahun. Perkembangan kelenjar endokrin yang berpengaruh
kuat terhadap emosi dapat dikendalikan dengan cara memelihara kesehatan fisik
dan keseimbangan tubuh.
Kedua, kegiatan belajar. Faktor belajar dinilai lebih penting karena lebih
mudah dikendalikan dibanding faktor lain. Caranya adalah dengan
mengendalikan positif lingkungan belajarnya guna menjamin
pembinaan emosi si anak. Pembinaan dengan belajar juga diupayakan dengan
menghilangkan pola reaksi emosional yang tidak diinginkan. Tindakan ini
sekaligus sebagai usaha preventif bagi perkembangan anak. Ada lima jenis
kegiatan belajar yang turut menunjang pola perkembangan emosi seseorang,
yaitu belajar coba ralat, belajar dengan cara meniru, belajar dengan cara
identifikasi, belajar melalui pengondisian, dan belajar melalui pelatihan-
pelatihan.
Steven J. Stein dan Howard E. Book (2001) menuliskan sebuah model
kecerdasan emosional dan disebutnya Bar-on. Pada model kecerdasan Bar-on ini
digunakan istilah ranah untuk membatasi komponen satu dengan komponen
yang lainnya sehingga masing-masing komponen yang menyusun kecerdasan
emosional seperti diuraikan berikut ini.
Ranah intrapribadi, terkait dengan kemampuan seseorang untuk mengenal
dan mengendalikan dirinya sendiri. Ranah intrapribadi ini meliputi kesadaran
diri, sikap asertif, kemandirian, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kesadaran
diri, suatu kemampuan untuk mengenali perasaan dan mengapa dirinya
merasakannya seperti itu dan pengaruh perilakunya terhadap orang lain; sikap
asertif, suatu kemampuan menyampaikan secara jelas pikiran dan perasaannya,
membela diri dan mempertahankan pendapatnya; kemandirian, suatu
kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri, berdiri dengan kaki
sendiri; penghargaan diri, suatu kemampuan untuk mengenali kekuatan dan
kelemahan kita dan menyenangi diri sendiri meskipun dirinya memiliki
kelemahan; aktualisasi diri, suatu kemampuan mewujudkan potensi yang
dimilikinya dan merasakan kesenangan (kepuasan) dengan prestasi yang
diraihnya dalam karya maupun dalam kehidupan pribadinya.
Ranah antarpribadi, berkaitan dengan keterampilan bergaul dan
berinteraksi dengan orang lain yang dimiliki seseorang. Wilayah ini terdiri atas
tiga skala, yaitu empati, tanggung jawab, dan hubungan antarpribadi. Empati,
kemampuan untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain, kemampuan
untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain; tanggung jawab sosial,
kemampuan untuk menjadi anggota masyarakat yang dapat bekerja sama dan
yang bermanfaat bagi kelompok masyarakat; hubungan antarpribadi, mengacu
pada kemampuan untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan yang
saling menguntungkan, dan ditandai oleh saling memberi dan menerima dan
rasa kedekatan emosional.
Ranah penyesuaian diri, berkaitan dengan kemampuan untuk bersikap
lentur dan realistis dan untuk memecahkan aneka masalah yang muncul. Ketiga
skalanya adalah uji realitas, sikap fleksibel, dan pemecahan masalah. Uji realitas,
suatu kemampuan untuk melihat sesuatu sesuai dengan kenyataan, bukan
seperti yang kita inginkan atau takuti; sikap fleksibel, suatu kemampuan untuk
menyesuaikan perasaan, pikiran, dan tindakan kita dengan keadaan yang
berubah-ubah; pemecahan masalah, suatu kemampuan untuk mendefinisikan
permasalahan, kemudian bertindak untuk mencari dan menerapkan pemecahan
yang jitu dan tepat.
Ranah pengendalian stres, terkait dengan kemampuan seseorang untuk
bertahan menghadapi stres dan mengendalikan impuls. Kedua skalanya adalah
ketahanan menanggung stres dan pengendalian impuls: ketahanan menanggung
stres adalah suatu kemampuan untuk tetap tenang dan berkonsentrasi dan secara
konstruktif bertahan menghadapi kejadian yang gawat dan tetap tegar
menghadapi konflik emosi;
pengendalian impuls adalah suatu kemampuan untuk menahan atau menunda
keinginan untuk bertindak.
Ranah suasana hati umum, juga memiliki dua skala, yaitu optimisme dan
kebahagiaan: optimisme adalah kemampuan untuk mempertahankan sikap
positif yang realistis terutama dalam menghadapi masa-masa sulit; kebahagiaan
adalah kemampuan untuk mensyukuri kehidupan, menyukai diri sendiri dan
orang lain, dan untuk bersemangat serta bergairah dalam melakukan sikap
kegiatan.
Dari uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada prinsipnya
setiap komponen pembangun kecerdasan emosional dan keseluruhan
bangunannya dapat diperbaiki dengan pendidikan, pelatihan, dan pengalaman.
Di antaranya anak dapat dididik, dilatih, dan senantiasa diperkaya
pengalamannya dalam bidang kesenian. Konkretnya, orangtua dapat menempuh
hal itu dengan memasukkan anaknya ke sanggar-sanggar seni atau lainnya yang
mempunyai pengaruh positif pada kemajuan anak. Apabila orangtua
menjatuhkan alternatif pilihannya ke sanggar seni, sanggar seni tersebut harus
dikelola dengan perspektif kebudayaan. Dengan kata lain, sanggar seni tersebut
berada dalam konteks edukasi yang menanamkan pola berpikir kritis, terbuka,
dan berwawasan luas. Sanggar seni juga harus bisa bertindak (menimbang,
memutuskan dengan cermat, hati-hati, dan tepat) dan berkreasi dengan spirit,
kreatif, inovatif, dan intensif. Membangun kesadaran tentang sikap moral,
mentalitas, menyatunya kata dan perbuatan, melalui pembelajaran yang baik
dan benar tentang berkesenian atau berkarya seni (Wisetrotomo, 2006).
Diharapkan anak yang telah mengenyam pendidikan di sanggar seni seperti
yang digambarkan tersebut akan memiliki karakter yang cerdas. Anak tidak
hanya cerdas dalam berpikir, tetapi juga bersifat cerdas hati dan cerdas
budi, kreatif, berbudi luhur, dan istiqamah.
Beberapa gaya pengasuhan yang sering ditunjukkan oleh orangtua dalam
kaitannya dengan pengembangan kecerdasan emosi anak (Mulyadi, 2008) antara
lain orangtua pengabai emosi, orangtua penentu emosi, orangtua serbaboleh,
dan orangtua pencerdas emosi. Masing-masing tipe orangtua tersebut
mempunyai gaya pengasuhan terhadap anaknya sendiri-sendiri yang berbeda
satu sama lain: orangtua pengabai emosi mempunyai gaya pengasuhan terhadap
anak, misalnya ia tidak memerhatikan emosi anak, ia ingin emosi negatif anak
cepat hilang, merasa gagal bila anak menunjukkan emosi negatif, berpendapat
bahwa emosi itu berbahaya, dan tidak menyelesaikan masalah bersama anak;
orangtua penentang emosi mempunyai gaya pengasuhan anak seperti
meremehkan dan mencela emosi anak, menuntut anak patuh, dan menghukum
anak karena emosi negatifnya; orangtua serbaboleh mempunyai gaya
pengasuhan terhadap anak misalnya menerima emosi anak, selalu menghibur
anak, tidak mengajari anak mengenali emosinya, dan tidak membantu anak
menyelesaikan masalahnya; orangtua pencerdas emosi (orangtua unggul)
dengan gaya pengasuhan anak adalah menghargai emosi anak, mau
mendengarkan anak, berempati dengan kata-kata menenangkan, membantu
anak mengenali emosinya, dan membimbing anak cara memecahkan masalah.

E. Kecerdasan Spiritual
Telah disebutkan selain kecerdasan kognitif (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ)
yang perlu dilejitkan pada anak kecerdasan spirutual tidak kalah pentingnya.
Menurut Robert Coles (1997) dalam bukunya berjudul
The Moral Intelligence of Children. Coles mengemukakan kecerdasan moral juga
memegang peranan amat penting bagi kesuksesan seseorang selain kecerdasan
kognitif (IQ) dan kecerdasan emosional (IE). Lebih lanjut kecerdasan moral
sering disebut sebagai kecerdasan spiritual (IS). Kecerdasan spiritual ditandai
dengan kemampuan seseorang anak untuk bisa menghargai dirinya sendiri
maupun diri orang lain, memahami perasaan terdalam orang-orang di
sekelilingnya, mengikuti aturan-aturan yang berlaku, semua itu termasuk
merupakan kunci keberhasilan bagi seorang anak di masa depan.
Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal (2000), dalam bukunya Connecting
with Our Spiritual Intelligence, kecerdasan spiritual dapat menumbuhkan fungsi
manusiawi seseorang sehingga membuat mereka menjadi kreatif, luwes,
berwawasan luas, spontan, dapat menghadapi perjuangan hidup, menghadapi
kecemasan dan kekhawatiran, dapat menjembatani antara diri sendiri dan orang
lain, serta menjadi lebih cerdas secara spiritual dalam beragama.
Suharsono (2002) mengemukakan sebutan untuk IS adalah kecerdasan
spiritual dan bukan yang lainnya karena kecerdasan ini berasal dari fitrah
manusia itu sendiri. Kecerdasan model ini tidak dibentuk melalui diskursus-
diskursus atau penumpukan memori faktual dan fenomenal, tetapi merupakan
aktualisasi dari fitrah manusia. Ia memancar dari kedalaman diri manusia, jika
dorongan-dorongan keingintahuan dilandasi kesucian, ketulusan hati, dan tanpa
pretensi egoisme. Dalam bahasa yang sangat tepat, kecerdasan spiritual ini akan
mengalami aktualisasinya yang optimal jika hidup manusia berdasarkan visi
dasar dan misi utamanya, yakni sebagai hamba ('abid) dan sekaligus wakil Allah
(khalifah) di bumi.
Selama mengarungi kehidupan yang fana di dunia, setiap orangtua
berusaha mendidik dan mengasuh anak-anaknya agar mempunyai sifat-sifat
(karakter) yang baik, seperti ketaatan menjalankan ibadah dan senantiasa
berlaku jujur dan hormat kepada orangtua. Dengan pernyataan lain, ciri-ciri
anak ideal yang diinginkan orangtua di era cyber ini memiliki IQ (Intelligence
Quotient,kecerdasan kognisi), IE (.Intelligence Emotional,kecerdasan emosional),
dan IS (.Intelligence Spiritual, kecerdasan spiritual) yang tinggi.
Ketiga jenis kecerdasan tersebut dalam beberapa tahun terakhir ini sedang
marak diperbincangkan, baik dalam media massa, seminar-seminar, maupun di
kalangan dunia pendidikan. Terlebih lagi mengenai IE dan IS yang tampaknya
masih relatif baru bagi kita. Kajian-kajian tidak hanya diikuti oleh para
pendidik yang terkait dunia pendidikan dan persoalan-persoalan seputar
perkembangan anak, tetapi juga banyak diikuti oleh orangtua yang
menginginkan anaknya sukses.
Langkah konkret yang ditempuh orangtua dalam menyiapkan anaknya
agar bisa hidup sukses adalah dengan cara memelihara, merawat, membesarkan,
menyantuni, dan mendidik anak-anaknya dengan rasa penuh tanggung jawab
disertai dengan limpahan atau curahan kasih sayang yang tulus ikhlas.
Pakar pendidikan dan perkembangan anak mengatakan sejatinya setiap
anak merupakan individu unik. Kesemuanya menawarkan kontribusi berharga
bagi kebudayaan umat manusia. Secara utuh manusia dilahirkan memiliki
segala-galanya dan sudah dirancang mampu menghadapi segala problem yang
muncul dan dihadapinya. Kecerdasan individu sebagai konsep dasar sumber
daya manusia
menjadikata kunci penyelesaian, termasuk kesanggupan menggapai cita-cita.
Orangtua yang unggul dalam mendidik anak tentu menginginkan anak-
anak bisa memiliki IQ, IE, dan IS yang tinggi. Pendidikan karakter sangat
berkaitan dengan kedua jenis kecerdasan, yaitu IE dan IS. Jika ketiga jenis
kecerdasan, yaitu IQ, IE, dan IS bisa diraih oleh anak, anak dijamin bisa
survivalmenghadapi hidup di kemudian hari.
Anak tentunya akan lebih mudah mengamalkannya dalam perilaku sehari-
harinya apabila orangtua memberikan teladan secara langsung di hadapan anak.
Sebab, umumnya anak lebih suka meniru dengan apa yang dilihat dan
dilakukan oleh orangtuanya dalam kehidupan sehari-hari.

F. Atribut Kecerdasan Manusia


Setelah mencermati definisi-definisi tersebut, dapat dikritisi bahwa definisi
kecerdasan yang dikemukakan oleh D. Wechsler dan G. Stoddard cukup
komprehensif dan lengkap. Sebab, kedua ahli ini memandang kecerdasan
sebagai suatu konsep yang diliputi kontroversi. Para pendidik dan orangtua
hendaknya memaklumi dan terus sudi mengkritisi akan hal ini.
Dalam definisi kecerdasan yang dikemukakan oleh G. Stoddar sebelumnya
jika dideskripsikan lebih lanjut mengandung tujuh atribut atau ciri-ciri
kecerdasan, yaitu tingkat kesukaran, kompleksitas, keabstrakan, ekonomis,
penyesuaian dengan tujuan, nilai sosial, dan adanya keoriginalan atau keaslian
(Fudyartanto, 2003). Masing-masing atribut tersebut dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, tingkat kesukaran. Orang yang cerdas mampu menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan yang sukar. Misalnya, mengerjakan soal-soal tingkat
kesukaran yang tinggi di bidang matematika, fisika, kimia, biologi, dan lain-lain.
Kedua, tingkat kompleksitas. Kompleksitas artinya tidak sederhana, tidak
hanya satu kecakapan saja, tetapi merupakan tingkah laku yang mampu
menganalisis dan mengasimilasi kemampuan- kemampuan baru untuk
diintegrasikan kepada yang lain dan diorganisasi untuk menjadi satu pola
perilaku yang lebih menunjukkan ketinggian kemampuan dan kualitas hasilnya.
Individu yang mampu menyelesaikan tugas-tugas yang sifat kompleksitasnya
tinggi dikatakan memiliki kecerdasan yang tinggi pula. Penilaian ini tentu
berkebalikan dengan individu yang hanya mampu menyelesaikan tugas-tugas
dengan kompleksitas rendah atau tugas yang sifatnya sederhana saja.
Ketiga, tingkat keabstrakan. Ini merupakan kemampuan untuk memahami
dan menerapkan simbol-simbol dan rumus-rumus terutama dalam tugas
menganalisis dan menginterprestasikan sesuatu atau fakta.
Keempat, tingkat ekonomis. Dalam hal ini, yang dimaksudkan adalah
berkaitan dengan efisiensi tenaga, waktu, dan material. Berkaitan dengan
kecerdasan jika orang lebih cepat menyelesaikan tugas-tugas yang sama
daripada orang lain, ia dikatakan lebih cerdas dari orang lain.
Kelima, tingkat penyesuaian dengan tujuan. Setiap perbuatan mestinya
mengandung tujuan yang jelas. Untuk tujuan yang lebih komprehensif atau
lebih tinggi tentu membutuhkan kecerdasan yang lebih tinggi pula.
Keenam, tingkatan sosial. Tingkatan sosial ini merupakan atribut
kecerdasan yang paling sulit dipahami. Kriteria nilai sosial ini adalah
moral dan etika yang lebih cenderung ke penilaian secara subjektif.
Sebagai dasar penilaian orang cerdas adalah setiap perbuatan yang
dilakukan seorang yang cerdas adalah perbuatan yang bermanfaat bagi
orang lain dan bukan semata-mata untuk kepentingan pribadinya.
Ketujuh, tingkat keoriginalan. Perbuatan yang cerdas bukan tiruan
atau sekadar jiplakan. Unsur keaslian adalah hasil pikiran dan perbuatan
tingkat tinggi umpamanya teori-teori atau rumus-rumus, hukum, yang
ditemukan oleh seorang yang ahli di bidangnya. Unsur keoriginalan
akan memberikan peluang untuk pengembangan dan kemajuan-
kemajuan. Dalam bidang ilmu dan teknik unsur keaslian akan menjadi
bukti bagi tokoh-tokoh yang cerdas.
Psikolog E.L. Thorndike juga pernah mengajukan atribut
kecerdasan. Menurutnya, ada empat atribut kecerdasan, yaitu tingkatan
(level), rentangan (range),daerah atau keluasan (area), dan kecepatan
(speed). Level di sini dimaksudkan tinggi rendahnya kecerdasan
seseorang. Hal itu tecermin dari kemampuan individu menyelesaikan
tugas-tugas dengan tingkat kesukaran yang tinggi. Tingkatan kesukaran
yang berhasil diselesaikan oleh individu adalah ukuran tingkat
kecerdasan individu yang bersangkutan.
Rangemerupakan rentangan jumlah atau banyaknya tugas-tugas
pada tingkatan kesukaran tertentu yang dapat diselesaikan oleh
individu. Apabila seseorang mampu menyelesaikan tugas-tugas dengan
rentangan yang luas, ia adalah orang cerdas dibandingkan orang lain
yang hanya mampu menyelesaikan tugas-tugas dengan rentangan
jumlah yang sedikit. Area atau daerah kecerdasan merupakan banyaknya
situasi yang dapat direspons pada tiap level kecerdasan.
Daerah kecerdasan merupakan jumlah rentangan kecerdasan pada tingkat
kecerdasan tertentu. Daerah kecerdasan mempunyai korelasi yang tinggi dengan
level kecerdasan. Semakin tinggi levelnya, semakin luas atau besar daerah
kecerdasan seseorang.
Kecepatan merupakan atribut kecerdasan dengan dimaksudkan kecepatan
individu untuk merespons sesuatu dengan benar, misalnya menjawab atau
mengerjakan soal tertentu. Semakin pendek waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan tes, hal itu menandai individu yang bersangkutan adalah cerdas.
Atribut-atribut kecerdasan yang disusun Thorndike tersebut satu sama lain
saling berhubungan, tidak terpisah-pisah satu sama lain, tidak berdiri sendiri-
sendiri.
Bab VI
TEORI KECERDASAN

A. Pendahuluan
Kecerdasan dalam psikologi merupakan masalah yang kompleks. Untuk
menjelaskan persoalan kecerdasan secara gamblang tentu saja tidak mudah
hingga disusunlah teori-teori tentang kecerdasan. Teori kecerdasan itu
sendiri muncul setelah ada usaha-usaha untuk menganalisis kemampuan
mental individu.
Para ahli psikologi melakukan analisis kecerdasan dengan maksud
untuk menemukan faktor-faktor kecerdasan yang diperlukan untuk
menyusun teori-teori kecerdasan. Selanjutnya, setelah mengetahui faktor-
faktor kecerdasan, dapat disusun tes sebagai instrumen untuk mengukur
kemampuan individu.
Sejalan dengan hal itu, terjadinya perkembangan teknik analisis dan
statistik memungkinkan munculnya analisis faktor kecerdasan. Dari
analisis faktor kecerdasan akhirnya muncul teori baru mengenai
kecerdasan yang disebut dengan teori faktor kecerdasan.
Dewasa ini setidaknya telah dikenal empat teori kecerdasan, yaitu
teori daya, teori dua faktor, teori multifaktor, dan teori kelompok faktor.
Penjelasan secara singkat mengenai keempat teori kecerdasan tersebut
dikemukakan sebagai berikut.

1. Teori Daya

Pada zaman kuno di zaman Plato dan Aristoteles, sebetulnya orang


telah mulai mempersoalkan tentang jiwa. Jiwa mempunyai daya-daya,
kemampuan. Misalnya daya ingatan, daya mengenal satu sama yang
lainnya, daya merasakan, daya berpikir, dan lain-lain. Dari pemikiran
tersebut kemudian berkembang sampai muncul teori yang disebut Teori
Psikologi Daya. Teori psikologi daya berkembang dengan pesat pada abad
ke-18 dan 19.
Menurut teori daya untuk inteligensi digunakan dua macam
pendekatan, yaitu pendekatan secara kualitatif dan pendekatan secara
kuantitatif. Pendekatan kualitatif menitikberatkan pada kebaikan-
kebaikan tingkah laku yang cerdas, yang dinyatakan dalam aktivitas yang
efektif dan efisien. Sedangkan pendekatan kuantitatif menitik-beratkan
pada kuantitas atau banyaknya perilaku yang dipunyai dan dikuasai oleh
individu yang bersangkutan.
Teori daya menganggap bahwa jiwa terdiri atas daya-daya yang
terpisah. Teori belajar juga mengenal adanya teori daya. Padahal, belajar
(abilitas belajar) oleh ahli psikologi diklasifikasikan ke dalam kecerdasan
seseorang, maka teori daya juga dipandang sebagai teori kecerdasan.
Perkembangan selanjutnya, munculnya teori daya ini menimbulkan
teori baru dalam pendidikan, yaitu teori belajar dengan disiplin formal.
Misalnya, belajar dengan sistem drilldengan cara diulang-ulang sampai
hapal betul. Berdasarkan asumsi ini, kecerdasan menurut teori psikologi
daya ditentukan oleh adanya daya jiwa yang dapat dilatih. Jika satu
daya diasah sampai tajam, berarti juga akan mengasah daya yang lainnya.
Misalnya, pengasahan daya 1 akan memengaruhi pengasahan daya 2.
pengasahan daya 2 akan memengaruhi daya 3. Pengasahan daya 3 akan
memengaruhi pengasahan daya 4, dan begitu seterusnya. Hal itu berarti
terdapat perpindahan daya yang satu ke daya yang lain.
Berdasarkan hasil eksperimen psikologi, di dalam otak manusia, yang
disebut daya itu tidak terpisah satu dengan yang lain. Dengan demikian,
terdapat konsep teori daya yang tidak sesuai dengan kenyataan atau fakta.
Oleh karena itu, teori daya sekarang ini mulai ditinggalkan orang.

2. Teori Dwi Faktor


Teori dwi faktor kali pertama dicetuskan oleh Charles Spearman,
psikolog dari Inggris dan penulis buku The Abilities of Man.Ia meneliti
abilitas manusia berupa kemampuan-kemampuan manusia dengan
bermacam-macam tes kemampuan. Ia menganalisis hasil tes dengan
melihat korelasi skornya menggunakan teknik analisis faktor. Dari hasil
teknik analisis faktor, Spearman mengusulkan kemampuan intelektual
mempunyai dua faktor, yaitu kemampuan-kemampuan umum {general
abilities)yang disebut dengan faktor G dan kemampuan-kemampuan
khusus {specific abilities)yang disebut faktor S.
Faktor G ciri-cirinya adalah kemampuan umum pembawaan (dibawa
sejak lahir), merupakan energi mental umum, faktor G bersifat tetap
(konstan), besarnya faktor G berbeda-beda pada tiap individu, faktor G
terpakai dalam semua kegiatan hidup, dan makin besar faktor G pada
seseorang maka akan semakin sukses dalam hidupnya. Dengan pernyataan
lain, semakin besar faktor G seseorang, ia semakin
cerdas. Sedangkan faktor S, mempunyai sifat-sifat sebagai hasil belajar jadi
bukan pembawaan, berbeda-beda pada kegiatan individu yang sama, dan
setiap individu mempunyai jumlah faktor S yang berlainan sehingga tiap-
tiap individu mempunyai kecakapan atau kemampuan khusus sendiri-
sendiri. Faktor khusus yang menonjol pada individu disebut bakat.
Spearman menegaskan bahwa faktor S ini sebagai dasar pembeda
antarindividu yang satu dengan yang lain.
Menurut Spearman, pada individu hanya memiliki satu faktor G dan
beberapa jumlah faktor S. Antara faktor G dan S terdapat hubungan yang
erat, yaitu faktor G menjadi dasar dari faktor-faktor khusus misalnya SI,
S2, S3, dan seterusnya. Antara faktor G dan faktor S memiliki semacam
daerah yang dimiliki bersama yang disebut faktor loading yang besarnya
menentukan korelasi faktor S dan faktor G.

3. Teori Multifaktor
Teori multifaktor diajukan oleh ahli psikologi bernama E.L.
Thorndike. Ahli ini berpendapat bahwa kemampuan mental atau
kecerdasan seseorang tidak hanya ditentukan oleh dua faktor seperti
dikemukakan dalam teori dwi faktor. Banyak faktor penentu kemampuan
mental seseorang yang kecil-kecil disebut a minute mental abilityoleh
Thorndike membentuk hubungan Stimulus (S) dan Respons (R). Dengan
demikian, teori kecerdasan yang disusun oleh Thorndike ini bertentangan
dengan teori kecerdasan dwi faktor.
Menurut teori multifaktor, kecerdasan umum itu tidak ada, yang ada
adalah kecerdasan khusus. Hubungan-hubungan khusus yang dibentuk
oleh S dan R tersebut selanjutnya membentuk sistem hubungan yang
disebut neurologis. Semakin banyak kemampuan manusia membentuk
hubungan S dan R, hal itu akan menentukan
orang semakin cerdas. Dengan begitu, seseorang dengan hubungan S dan
R yang kecil ia akan memiliki kecerdasan yang kurang. Sifat dari teori
multifaktor adalah otomatis.

4. Teori Kelompok Faktor


Perkembangan teori dwi faktor dan teori multifaktor menimbulkan
tendensi ekstrem yang kurang kondusif pada ilmu psikologi. Untuk
mengatasi hal itu, muncul teori kecerdasan yang lebih moderat yang
disebut Teori Kelompok Faktor Kecerdasan. Teori ini merupakan
gabungan antara teori kecerdasan yang dikemukakan oleh Spearman dan
Thorndike.
Menurut teori kelompok faktor, kecerdasan seseorang tidak hanya
ditentukan oleh satu faktor G, tetapi juga oleh beberapa faktor G. Setiap
faktor G mendasari beberapa faktor S sehingga terdapat kelompok-
kelompok faktor, yaitu satu faktor G dengan sejumlah faktor
5. Tiap-tiap kelompok faktor merupakan satu kelompok kemampuan
mental primer atau PMA [primary mental ability). Dengan demikian,
kecerdasan manusia terdiri dari sejumlah faktor mental primer dan setiap
faktor mental primer memiliki kesatuan psikologis dan fungsional
tersendiri yang mendasari sekelompok operasi mental. Tiap-tiap faktor
mental primer relatif bebas dari faktor mental primer lainnya.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh L.L. Thurstone dan T.G.
Thurstone (1941) dengan menggunakan tidak kurang dari 60 macam tes,
akhirnya dapat ditarik kesimpulan terdapat tujuh faktor mental primer
yang menentukan kecerdasan individu, yaitu komprehensi verbal,
kelancaran bahasa, kemampuan dalam perhitungan dan sistem bilangan,
kemampuan persepsi benda dan manipulasi visual, kemampuan
mengingat, kecepatan persepsi, dan penalaran umum.
Berikut ini merupakan uraian penjelasan dari masing-masing faktor mental
primer tersebut.
Pertama, komprehensi verbal (verbal comprehensive)disingkat V.
Faktor mental primer ini diungkap menggunakan berbagai macam tes
psikologi yang memakai prinsip faktor kemampuan mental primer
komprehensi verbal. Misalnya, tes membaca komprehensi, analogi verbal,
menguraikan kalimat, penalaran verbal, dan merangkaikan pepatah.
Umumnya kelompok komprehensi verbal secara lengkap diukur dengan
tes perbendaharaan bahasa (vocabulary test).
Kedua, kelancaran bahasa (word fluency)disingkat W. Faktor
kelancaran berbahasa atau kecepatan berbahasa individu dapat dites
dengan menggunakan anagram syair, menyebut kata-kata tertentu
misalnya anak laki-laki, nama-nama yang dimulai huruf K, dan
sebagainya. Faktor kelancaran berbahasa ini dapat dites menggunakan kata
berkait.
Ketiga, kemampuan mental primer bilangan {number)disingkat N.
Faktor kemampuan ini terutama dalam perhitungan dan sistem-sistem
bilangan secara cepat dan tepat diukur dengan tes berhitung.
Keempat, kemampuan persepsi benda (space)disingkat S. Faktor
kemampuan ini terdiri dari dua subfaktor, yaitu kemampuan persepsi
benda tetap dalam ruang geometrik dan kemampuan manipulasi visual,
misalnya persepsi benda bergerak (visualisasi gerakan).
Kelima, kemampuan untuk mengingat dengan cepat (associative
memory)disingkat M. Kemampuan ini dapat diukur dengan tes yang
menuntut adanya ingatan cepat dengan pasangan-pasangan yang
dihubungkan dengan teknik tertentu. Penelitian yang lain menunjukkan
bahwa selain kemampuan mental primer mengingat secara cepat, juga ada
kemampuan mengingat secara terbatas sehingga
adanya penelitian ini memberikan refleksi kisaran waktu dan posisi
ruang.
Keenam, kecepatan persepsi (perseptual speed)disingkat P. Kecepatan
persepsi merupakan faktor kelompok primer pengindraan. Faktor ini
merupakan kemampuan persepsi penglihatan secara teliti (ketelitian
persepsi visual), persamaan, dan diskriminasi. Kemampuan persepsi ini
meliputi pendengaran, pembauan, pengecap, perabaan, dan indra
keseimbangan.
Ketujuh, faktor induksi disingkat I atau penalaran umum (general
reasoning)disingkat R. Faktor ini masih sedikit diketahui orang. Faktor
induksi diukur dengan tes yang menuntut untuk menemukan prinsip-
prinsip, misalnya dalam tes menyempurnakan urutan bilangan. Sedangkan
penalaran umum dapat diukur dengan tes aritmatik (penalaran aritmatik).
Semula Thurstone mengusulkan selain faktor induksi ada pula faktor
deduksi. Faktor deduksi dapat diukur dengan tes silogisme. Penelitian
pada faktor deduktif menunjukkan lebih lemah daripada faktor induktif.

B. Kemampuan Mental Dasar Individu


Ahli psikologi mengatakan bahwa teori-teori kecerdasan multifaktor,
kelompok faktor maupun dwi faktor, secara mendasar tidak menunjukkan
perbedaan yang jelas adanya kemampuan mental umum, kemampuan
primer kelompok faktor ataupun kemampuan khusus.
Kemampuan mental dasar pada individu dapat diungkap dengan
suatu tes psikologi yang terdiri dari sub-subtes atau seri tes. Apabila tes
yang sama tersebut diperbanyak sub-subtesnya dan dibuat secara
heteroge maka akan menunjukkan gejala adanya kelompok faktor atau
beberapa kemampuan mental dasar. Sedangkan apabila tes tadi hanya
mempunyai satu macam kemampuan mental dasar, maka hal itu akan
menunjukkan satu kemampuan khusus saja. Jika suatu kecakapan khusus
diteliti secara intensif dengan suatu seri tes yang luas dan sangat
mendalam, hasilnya akan menunjukkan tendensi kelompok faktor (PMA).
Penelitian tersebut umpamanya pada kemampuan verbal, perseptual,
memori, dan tes penalaran.
Teori kelompok faktor dipandang sebagai teori yang paling banyak
diterima dan dipakai orang dewasa ini karena dianggap lebih bersifat
moderat. Sebagian tes kecerdasan dan tes bakat disusun menjadi suatu seri
tes. Kelompok faktor yang saling berkorelasi adalah faktor V (PMA
komprehensi verbal), N (PMA komprehensi bilangan), M (PMA
komprehensi memori), dan S (PMA komprehensi persepsi ruang).
Meskipun teori kelompok faktor dewasa ini paling banyak dianut
orang, hal itu bukan berarti tiadanya penolakan dari ahli psikologi.
Penolakan atau ketidaksepahaman terhadap teori kelompok faktor antara
lain dikemukakan oleh pakar psikologi seperti L.L. Thurstone dan T.G.
Thurstone, Holzinger, T.L. Kelley, dan lain-lain. L.L. Thurstone dan T.G.
Thurstone juga didukung oleh Freuch (1951). Freuch mengajukan enam
atau tujuh PMA, yakni W, N, S, M, P, dan I atau R.
Sementara itu, seorang ahli bernama Holzinger mengajukan delapan
faktor, yaitu umum, matematis mekanis, verbalitas, faktor ruang, ingatan,
kecepatan psikis, deduksi, dan kecepatan motoris. Sedangkan T.L. Kelley,
mengajukan faktor-faktor seperti manipulasi hubungan ruang, fasilitas
bilangan, fasilitas verbal, fasilitas memori, dan kecepatan.
Dari uraian di atas kita menjadi tahu bahwa kecerdasan memiliki
banyak dimensi. Para ahli psikologi di dunia sependapat bahwa dengan tes
PMA dapat diungkap adanya keterkaitan antara faktor kecerdasan yang
satu dengan faktor kecerdasan lainnya. Dengan kata lain, antara faktor-
faktor kecerdasan pada individu tidaklah berdiri sendiri-sendiri. Pendapat
para ahli psikologi tersebut kemudian memunculkan pendapat mengenai
bakat umum skolastik bahwa tiap PMA tidak berdiri sendiri secara murni.
Meskipun telah ada kemajuan-kemajuan dalam teknik analisis faktor
perihal konsepsi kecerdasan kelompok faktor dalam bidang psikologi
masih tetap dipandang sempit. Mengapa hal itu bisa terjadi? Konsepsi
kecerdasan kelompok faktor belum mengungkap unsur kecerdasan sosial,
mekanika, dan bakat-bakat khusus seperti atletik, musik, drama, tari,
memahat patung, mengukir, dan sebagainya. Para ahli psikologi terus
bekerja keras mengupayakan dengan melakukan penelitian dan uji coba
untuk menyusun item-item tes yang mampu mengungkap dan
menyempurnakan kekurangan tes tersebut. Diharapkan di masa-masa
mendatang, kekurangan tersebut dapat segera disempurnakan atau
dilengkapi.

C. Klasifikasi Kecerdasan
Berdasarkan pendapat ahli statistik bahwa gejala kecerdasan membentuk
kurva normal. Ujung-ujung kurva menunjukkan jumlah individu yang
mempunyai kecerdasan rendah atau tinggi dengan jumlah masing-masing
kecil atau sedikit. Sedangkan bagian tengah kurva, menunjukkan
kelompok orang yang mempunyai kecerdasan
rata-rata (normal). Distribusi kecerdasan menurut gambaran ahli statistik
sebagai berikut.
20-39 : kelompok individu idiot
40-59 : kelompok individu imbisil
60 — 79 : kelompok individu debil
80-89 : kelompok individu lambat belajar
90- 109 : kelompok individu biasa (normal)
110-119 : kelompok individu cerdas (superior)
120 — 140 : kelompok amat cerdas (very superior).
Apabila dinyatakan dalam bentuk kurva, hal itu kurang lebihnya
akan berwujud seperti gambar berikut.

Kurva normal tersebut telah disesuaikan dengan kurva normal yang


telah dibuat oleh E. Garrett sebelumnya. Pada kurva normal tersebut, ada
dua pol atau ujung kiri dan ujung kanan kurva. Ujung kiri adalah golongan
individu-individu dengan IQ rendah sampai paling rendah, misalnya
individu-individu golongan idiot. Sedangkan ujung kanan, mencerminkan
individu-individu golongan IQ tinggi sampai sangat cerdas (genius). Dari
gambaran kurva tampak bahwa populasi individu yang ada di paling ujung
jumlahnya sedikit dan populasi individu semakin banyak jumlahnya ketika
mendekati daerah mean. Di bagian tengah kurva, yaitu bagian kanan dan
kiri rata-rata {mean), merupakan tempat atau letak individu-individu
golongan rata-rata
(normal) yang jumlahnya mencapai kisaran 50% dari populasi individu
total.
Menurut ahli statistik golongan kecerdasan yang disajikan dalam
kurva distribusi normal menggunakan angka perbedaan Mean(Standar
Deviasi) atau disingkat SD yang juga sering disebut Mean Deviation
(.MD). Perbedaan SD dihitung dari nilai rata-rata turun atau naik 1 SD.
Jika nilai +SD, hal ini artinya 1 SD di atas mean.Sedangkan jika nilai -
SD, hal tersebut artinya 1 SD di bawah mean.Apabila disajikan dalam
tabel, distribusi populasi kecerdasan (IQ) dengan skala SD seperti
ditunjukkan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Distribusi populasi IQ dengan skala SD


Skala SD % IQ Kelompok Individu
-5 0,31 2 0 -5 9 Idiot
-4 1,80 6 0 -6 9 Imbisil
-3 6,72 7 0 -7 9 Debil
-2 16,13 8 0 -8 9 Lambat belajar
-1 25,00 90
Mean - Normal
+1 25,00 109
+2 16,13 110
+3 6,72 -
Cerdas
+4 1,80 119
+5 0,31 1 2 0 -1 4 0 Amat Cerdas/ Genius
Sumber: RBS. Fudyartanto, 2002

Ahli yang lain yaitu Terman dan Merill membuat distribusi IQ


berdasarkan Stanford Revision (Freeman, 1976) seperti dicantumkan
dalam Tabel 2.
Berdasarkan distribusi IQ yang dibuat oleh Terman dan Merill,
ada tujuh kelompok golongan kecerdasan.
Kelompok kecerdasan amat superior (very superior) merentang dari IQ
140 sampai IQ 169.
Kelompok kecerdasan superior merentang dari IQ 120 sampai IQ 139.
Kelompok kecerdasan rata-rata tinggi {high average)merentang dari IQ
110 sampai IQ 119.
Kelompok kecerdasan rata-rata (average)merentang dari IQ 90 sampai
IQ 109.
Kelompok kecerdasan rata-rata bawah (low average)merentang dari IQ
80 sampai IQ 89.
Kelompok kecerdasan batas lemah mental (borderline defective)
merentang dari IQ70 sampai IQ79.
Kelompok kecerdasan lemah mental (mentally defevtive), seperti debil,
imbisil, idiot yang merentang dari IQ 30 sampai IQ 69.

Agar lebih jelas gambaran dari distribusi kecerdasan yang dibuat oleh
Terman dan Meril berdasarkan pada Stanford Revision berikut
ditunjukkan Tabel 2.

Tabel 2 Distribusi IQ menurut Stanford Revision

IQ N Presentasi Klasifikasi
160-169 1 0,03 Amat superior
150-159 6 0,02
140-149 32 1,10
130-139 89 3,10 Superior
120-129 239 8,20
110-119 524 18,10 Rata-rata tinggi
100-109 685 23,50 Rata-rata
90-99 667 23,00
80-89 422 14,50 Rata-rata rendah
70-79 164 5,60 Batas lemah mental
60-69 57 2,00
50-59 12 0,40 Lemah mental
40-49 6 0,20
30-39 1 0,03
Sumber: RBS. Fudyartanto, 2002

Dalam psikologi, pengukuran, kecerdasan individu diukur


menggunakan tes kecerdasan. Seperti pengukuran kecerdasan individu
yang dilakukan oleh Binet seorang ahli pendidikan dari Prancis. Awalnya
pada tahun 1905 Binet diberi tugas oleh Menteri Pendidikan negara
tersebut untuk menyeleksi anak-anak yang akan masuk ke sekolah biasa.
Untuk dapat menjalankan tugasnya, Binet menyusun tes kecerdasan.
Caranya, setiap umur kalender (kronologis) disediakan lima macam
pertanyaan. Pengetesan dimulai dari pertanyaan untuk umur kalender.
Jika ditemui anak yang dites pada umurnya sendiri tidak betul semua
jawabannya, anak dites pada umur di bawahnya dan tes dilakukan sampai
anak mampu menjawab lima macam soal yang diujikan. Pada tes yang
dapat dijawab anak secara keseluruhan dengan betul, hasil tes itu sebagai
dasar umur kecerdasannya. Setelah itu, anak juga dites untuk umur yang
ada di atasnya sampai anak tidak dapat menjawab sama sekali lima macam
soal yang disodorkan kepadanya dalam umur tertentu. Tiap jawaban lima
macam soal yang benar semuanya di atas pangkal umur kecerdasan
diberikan nilai seperlima umur kecerdasan. Nilai tes kecerdasannya adalah
jumlah nilai yang benar ditambahkan pada pangkal umur kecerdasan tadi
dan untuk menghitung angka kecerdasan anak yang diujikan digunakan
rumus matematika, yaitu umur kecerdasan (MA) dibagi umur kalender
(CA), sebagai berikut:
MA:CA =IQ
MA = Mental Age (umur kecerdasan)
CA = Chronological Age (umur kalender)
IQ = Intelligence Quotient (kecerdasan)

Contoh pengetesan:
Ismail umurnya 9 tahun, hasil tes kecerdasannya sebagai berikut: Soal
untuk umur 6 tahun: + + + + + (+: jawaban betul)
7 tahun: + + + + 0 (0 : jawaban salah)
8 tahun: + + 0 + 0
9 tahun: 0 + 000
10 tahun: 0 0 0 0 0
MA Ismail 6 tahun +10/8 tahun = 72/8 tahun. Angka kecerdasan (IQ)
Ismail adalah 7 2/8 dibagi 9 tahun = 58 : 72. Menurut Stern, agar hasil bagi
kedua bilangan tersebut merupakan bilangan bulat, maka angka pecahan
itu dikalikan 100 sehingga hasilnya 80 (merupakan IQ Ismail).
Bab VII
STRUKTUR DAN HIERARKI INTELEK

A. Pendahuluan
Kecerdasan individu tidak tersusun dari hanya satu faktor saja, tetapi
banyak faktor. Dengan kata lain, kecerdasan individu mempunyai
struktur tertentu yang akan diterangkan pada pembahasan sub-bab
berikutnya dalam bab ini. Struktur intelek itu sendiri terdiri dari
beberapa hal dan operasinya diklasifikasikan sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Hal yang perlu diungkap berkaitan dengan kecerdasan
individu ini adalah mengenai isi intelek dan hierarki intelek. Hal ini
dimaksudkan untuk lebih mengembangkan organisasi kecerdasan pada
individu. Pembahasan semua hal tersebut perlu untuk meningkatkan
pemahaman perihal teori kecerdasan individu dan selanjutnya dapat
digunakan sebagai kerangka berpikir guna mengembangkan teori-teori
kecerdasan pada individu yang lebih lengkap dan modern.
Kecerdasan akan mengalami perkembangan yang cukup pesat pada
sekitar umur menjelang dewasa (adolesensia), dan kemudian menurun
pada saat usia-usia tua (50 tahun ke atas). Baylly mengemukakan,
kecerdasan terus berkembang sampai umur 50 tahun. Yones dan Conrad
(1933) mengadakan studi kasus silang pada kecerdasan masa dewasa.
Mereka meneliti sampai 12.000 subjek (dari umur 10 sampai 60 tahun)
dengan Army Alpha Test dan dapat menunjukkan kurva pertumbuhan
kecerdasan dengan penurunannya.
Pada subbab berikutnya dalam bab ini akan diungkap adanya
kesulitan-kesulitan untuk memperoleh kurva penanjakan
perkembangan dan penurunan kecerdasan. Di antara kesulitan-
kesulitan tersebut adalah sebagai berikut.
Kecerdasan pada umur lima tahun akan sangat berbeda dengan
kecerdasan pada umur 15 tahun atau 55 tahun dan sukar pula untuk
menyusun tes yang tepat atau appropriate testsuntuk kelompok umur
yang berbeda. Hasilnya hanya dapat dibandingkan secara umum
saja.
Studi silang pengetesan pada umur tertentu akan berbeda dengan
pengetesan pada studi kasus memanjang (longitudinal) dengan
pengetesan secara berturutan umurnya. Kesulitan akan tampak juga
pada penelitian untuk mengikuti perkembangan kecerdasan pada
seluruh hidup individu mulai dari kanak-kanak sampai tua.

B. Struktur Intelek Individu


Seperti telah disinggung dalam subbab di atas bahwa pembahasan
mengenai struktur intelek individu diperlukan untuk menjelaskan
konsep-konsep kecerdasan dan pendekatan-pendekatannya pada
individu atau seseorang. Alasan ini seperti dikemukakan oleh J.P.
Guilford. Guilford bekerja pada laboratorium psikologi di Universitas
Southern California. Pendapat Guilford didasarkan pada analisis faktor
banyak tes .Guilford mengajukan tiga dimensi intelek sebagai ganti
model intelek yang telah ada sebelumnya. Ketiga dimensi intelek yang
diajukan oleh Guilford tersebut, yaitu operasi (operations), isi (contens),
dan hasil {products).
Operasi (operations) merupakan dimensi intelek yang menjelaskan
cara-cara kerja atau operasi dari intelek atau kecerdasan tersebut. Isi
(contents)adalah sebuah dimensi mengenai isi dari intelek. Sedangkan
hasil (products)merupakan hasil kerja (isi) dari intelek tersebut.
Penjelasan secara detail mengenai ketiga dimensi intelek yang
dikemukakan oleh Guilford tersebut secara sistematis dan teperinci
seperti berikut ini.

1. Operasi Intelek (Intellec operations)


Menurut J.P. Guilford, operasi intelek adalah sesuatu hal yang
dikerjakan oleh individu dalam kaitannya dengan kemampuan-
kemampuan individu mengerjakan sesuatu pekerjaan atau tugas-tugas.
Selanjutnya, Guilford membuat klasifikasi dimensi operasi intelek
menjadi lima kelompok besar kemampuan intelek: kognisi (cognition),
yaitu operasi pokok yang penting bagi intelek untuk proses belajar,
selanjutnya diberi kode C; mengingat (memory),yaitu suatu proses
mental primer untuk menyimpan atau retensi dan reproduksi segala
sesuatu yang telah diketahui oleh intelek, selanjutnya diberi kode M;
berpikir divergen (divergent thinking),yaitu operasi yang sangat jelas
mencakup potensi bakat kreatif individu atau seseorang. Tindakan
konkret dari berpikir divergen ialah mencari dan mencoba sesuatu;
berpikir konvergen (convergent thinking), yaitu operasi untuk
menghasilkan informasi baru dari informasi-informasi yang telah ada
sebelumnya. Berpikir konvergen menitikberatkan pada hasil terbaik
yang diterima secara konvensional.
Informasi yang dihasilkan tadi sepenuhnya ditentukan oleh respons
yang diberikan. Untuk langkah ini diberi kode N; evaluasi (evaluation),
yaitu suatu kemampuan mencari keputusan atau mencari suatu
informasi (masalah) dengan kriteria yang memuaskan. Dalam
mengevaluasi dicapai suatu kesimpulan dan keputusan yang baik, benar,
pantas, atau lengkap tentang sesuatu hal yang diketahui, sesuatu hal
yang diingat, maupun sesuatu hal yang dihasilkan dalam berpikir
produktif. Langkah evaluasi ini diberi kode E.

2. Isi Intelek (Intellec Contents)


Isi intelek menunjukkan hakikat materi atau informasi sebagai
sesuatu hal yang telah dikerjakan oleh operasi intelek. Menurut
Guilford, dimensi isi digolongkan menjadi empat macam, yaitu figural,
simbul, semantik, dan perilaku yang masing-masing golongan tersebut
diuraikan secara detail dan sistematis sebagai berikut.
Pertama, figural, yaitu gambaran benda nyata, seperti apa yang
ditangkap oleh alat indra. Figural termasuk di dalamnya benda-benda
visual yang mempunyai ukuran, bentuk, warna, dan sebagainya. Juga
segala hal yang dapat didengar, dirasakan, dan digolongkan dalam
kategori figural yang selanjutnya diberi kode F.
Kedua, simbol (symbolic).Dalam hal ini, terdiri atas huruf, angka,
dan lain-lain tanda, yang biasanya diorganisasi dalam pola-pola umum,
umpamanya urutan abjad, urutan bilangan.
Ketiga, semantik (semantic),yaitu arti dari bahasa atau idea tertentu,
misalnya arti kata meja, kata sekolah, ataupun arti kalimat-kalimat dan
rumus-rumus matematik tertentu yang selanjutnya diberi kode S.

Keempat, perilaku (behavioral), yaitu bentuk tingkah laku nyata,


sebagaimana perilaku atau tingkah laku yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, selanjutnya diberi kode B.

3. Hasil Intelek (Intellec Product)


Dimensi produk atau hasil intelek merupakan segala sesuatu yang
dapat diproduksi oleh suatu operasi dengan isi intelek tertentu. Guilford
membuat klasifikasi dari produk aktivitas intelek yang terdiri dari unit
(unitas), kelas, relasi atau hubungan, transformasi, dan implikasi.
Pertama, unit (unitas) berupa kesatuan yang kemudian diberi simbol U.
Kedua, kelas (classes) merupakan kelompok yang sejenis dan diberi kode
C. Ketiga, relasi (relation) yang menunjukkan hubungan- hubungan
tertentu, yang diberi kode R. Keempat, transformasi (,transformation)
merupakan suatu kegiatan intelek yang dapat menghasilkan
pemindahan suatu sifat kepada hal yang lain. Misalnya terdapat dalam
tes persamaan. Transformasi dalam pembahasan ini diberi kode T.
Kelima, implikasi (implication) adalah aktivitas intelek yang dapat
menghasilkan penerapan suatu informasi atau konsep, prinsip dalam
kasus lainnya, atau yang dapat menghasilkan efek atau pengaruh
tertentu. Selanjutnya, implikasi diberi kode I.
Guilford selanjutnya menyusun hipotesis adanya kubus-kubus
aktivitas intelek yang melibatkan ketiga dimensi intelek tersebut satu
per satu. Misalnya, dari seri produk kognisi semantik ia menyusun
hipotesis kubus-kubus aktivitas intelek, yaitu CMU (units)tes sinonim,
CMC (classes) tes Klasifikasi Verbal, CMR (relations) tes Analogi Verbal,
CMS (systems)tes Necessary Arithmatic Operations, CMT
0transformations) tes Persamaan, dan CMI (;implications) tes Efek. Dari

hipotesis tersebut akan didapat 120 kubus aktivitas intelek yang berasal
dari perhitungan secara matematika, yaitu 4 x 5 x 6 = 120.
Tahun 1967 telah ditemukan oleh Guilford ada 82 kubus aktivitas
atau faktor intelek dari 120 dan didemonstrasikan dengan tes yang
bersangkutan. Walaupun hal tersebut masih dalam kritik-kritik, tetap
tidak dapat disangkal struktur intelek (SI) tersebut merupakan pendapat
maju. Pendapat Guilford mengenai struktur intelek sangat menarik
perhatian para ahli lain. Apabila pendapat Guilford tersebut
diasimilasikan dengan konsep kecerdasan individu yang disusun oleh
Thurstones, yakni konsep PMA yang terdiri dari 7 PMA maka struktur
intelek (SI) yang disusun oleh Guilford tersebut akan menjadi 120 PMA.

C. Hierarki Intelek Individu


Para ahli psikologi dari tahun ke tahun secara sinambung melakukan
penelitian kecerdasan individu. Hal itu dimaksudkan agar diperoleh
kemantapan dalam mengukur tingkat kecerdasan individu. Sebab,
langkah ini penting artinya bagi penyiapan sumber daya manusia yang
andal. Di antara ahli psikologi yang telah melakukan penelitian tentang
kecerdasan individu adalah Vernon yang dilakukan tahun 1950. Teori
Vernon ini didukung, antara lain, oleh Burt dari Inggris dan Humphrey
dari USA.
P.E. Vernon dalam penelitiannya berusaha mengembangkan
teknik analisis faktor yang lain untuk memandang atau memaparkan
organisasi kecerdasan. Vernon menggunakan dasar penelitian teori
Spearman. Dari penelitian-penelitian yang cermat dan bertolak dari
teori Spearman akhirnya Vernon mengusulkan teori baru yang disebut
“Teori hierarki kelompok faktor”.
Vernon membuat suatu bagan struktur intelek atau kecerdasan
pada I960. Ia meletakkan faktor General (G) dari Spearman di puncak
hierarki. Selanjutnya, faktor G dibagi menjadi dua kelompok faktor
mayor, yaitu kelompok faktor mayor verbal edukasional (VE) dan
kelompok faktor mayor praktikal mekanika! (PM). Kelompok mayor
verbal edukasional dibagi lagi menjadi kelompok faktor minor, yaitu
kelompok faktor minor verbal, kelompok faktor minor numerikal, dan
kelompok faktor minor edukasional. Sedangkan kelompok mayor
praktikal mekanikal dibagi lagi menjadi kelompok-kelompok faktor
minor, yakni kelompok faktor minor praktikal, kelompok faktor minor
mekanikal, kelompok faktor minor spasial, dan kelompok faktor minor
fisikal. Dari tiap-tiap kelompok faktor minor terbagi lagi menjadi
beberapa faktor khusus yang merupakan kemampuan-kemampuan
spesifik individu.
Pada perkembangannya teori, Vernon mengalami
penyempurnaan- penyempurnaan. Di antara ahli yang telah
mengadakan penyempurnaan teori Vernon adalah Cattell. Ia
mengajukan bagan hierarki kecerdasan yang terdiri dari beberapa faktor
kecerdasan, yaitu kelancaran asosiasi (fluency of association), tata bahasa
(grammar), perbendaharaan kata (vocabulary),penghitungan (computation),
pengukuran konsep dan rumus (measurement concepts and
formulas),pengetahuan geometri (geometric knowledge),visualisasi putaran
dalam bidang datar (vizualizing rotation in a plane),visualisasi dalam tiga
dimensi (vizualizing in three dimension),informasi mekanika (mechanical
information),informasi elektris, kelistrikan (electrical information),dan
penilaian stres, tekanan jiwa (evaluating stresses).
Menurut Cattell, dalam kelompok hierarki struktur kemampuan
manusia tersebut terdapat kelompok faktor minor yang belum diketahui,
yakni yang diberi tanda tanya (?). Untuk dapat mengungkap hal itu
secara lebih sempurna diperlukan pendalaman analisis faktor yang
bersifat lebih terhadap kecerdasan individu. Di antaranya pembaca perlu
menguasai pengetahuan tentang anastasi.
Bab VIII
PERBEDAAN INDIVIDU DARi ASPEK
FiSIK DAN PSIKIS

A. Pendahuluan
Apabila kita amati individu-individu yang ada di sekitar kita, tampaknya tidak
ada individu yang persis sama. Kendati tidak mencolok, tetap ada perbedaan
satu sama lain. Sekilas, dua individu yang lahir kembar tampak sama, namun
apabila keduanya diamati dengan cermat pasti terdapat perbedaan. Misalnya
saja bentuk tubuh, mungkin individu yang satu berbadan gemuk, sedangkan
yang lain kurus. Rambut individu yang satu lurus sedangkan individu yang
lainnya ikal atau keriting. Dua atau lebih individu sama-sama mempunyai
rambut tebal dan panjang. Tetapi, di antara mereka terdapat perbedaan satu
dengan yang lain. Misalnya, individu yang satu rambutnya hitam, sedangkan
individu yang lainnya berambut perang atau bahkan ada individu yang
berambut putih. Di belahan dunia tertentu, misalnya Benua Eropa dan
Amerika terdapat individu mempunyai kulit putih, sementara di belahan
dunia yang lain, yaitu Benua Afrika individunya
berkulit hitam. Demikian juga suku bangsa tertentu mempunyai ciri-ciri
bentuk tubuh yang pendek, sementara suku bangsa yang lain mempunyai
tubuh yang tingginya di atas 150 meter atau lebih tinggi dari itu. Pendek kata,
setiap individu mempunyai perbedaan dengan individu yang lain. Dengan kata
lain, setiap individu memiliki keunikan masing-masing.
Perbedaan individual sesungguhnya merupakan sebuah kodrat atas
kehendak Tuhan Yang Mahakuasa. Menurut catatan sejarah manusia, Tuhan
menciptakan manusia pertama kali bernama Adam yang berjenis kelamin laki-
laki. Setelah itu, Tuhan menciptakan Hawa yang berjenis kelamin perempuan.
Penciptaan Adam dan Hawa berbeda dalam hal jenis kelamin. Berawal dari
tahapan ini, atas kehendak Tuhan, keduanya menurunkan generasi berikutnya
melalui hubungan kelamin. Selanjutnya, Adam dan Hawa mempunyai anak,
cucu, cicit, dan seterusnya yang jumlahnya jutaan orang. Mereka itu kemudian
tersebar di segala penjuru dunia hingga terbentuk wajah dunia seperti
sekarang ini.
Tuhan adalah penguasa yang serbasegalanya. Tuhan telah menciptakan
manusia dengan perbedaan-perbedaan yang demikian kompleksnya. Tidak
hanya berbeda dari segi jenis kelamin, Tuhan juga menciptakan manusia
berbeda satu dengan yang lain dari segi kemampuan dan keadaan
psikologisnya. Perbedaan individu yang dapat kita tengarai sekarang ini amat
beragam. Keseluruhan perbedaan itu pada prinsipnya dapat kita bagi ke dalam
dua aspek perbedaan, yaitu aspek jasmani dan aspek ruhani atau perbedaan
psikologi individual. Secara garis besar, kedua aspek perbedaan individu itu
diterangkan dalam subbab berikutnya.
B. Perbedaan Individu dari Aspek Jasmani
Aspek ini meliputi keseluruhan konstitusi tubuh manusia yang secara kasat
mata dapat dilihat. Seperti murid-murid yang ada di dalam kelas enam
Sekolah Dasar (SD). Jika diperhatikan, mereka tidak sama satu dengan yang
lainnya. Bahkan, di antara mereka tidak ada yang mempunyai jasmani sama
persis. Mereka berbeda secara fisik. Seperti tinggi tubuh, ada yang pendek, ada
yang tingginya sedang, dan ada yang tinggi. Bentuk rambutnya ada yang lurus,
ikal, dan keriting. Warna kulitnya ada yang hitam, putih, atau sawo matang.
Hidungnya ada yang mancung dan ada pula yang pesek. Tubuhnya ada yang
gemuk, tidak terlalu gemuk atau terlalu kurus, dan ada juga yang kurus.
Pengamatan aspek perbedaan fisik individu juga dapat dilakukan pada
orang-orang remaja atau dewasa. Pada remaja terlihat ada yang mempunyai
tubuh tinggi, sedang atau pendek, gemuk, tidak terlalu gemuk atau kurus,
kurus, ada yang berambut lurus, ikal, keriting, dan lain-lain. Pada orang
dewasa perbedaan-perbedaan itu tampak, misalnya pada perempuan dewasa
terjadi perubahan bentuk pinggul yang membesar, buah dadanya ada yang
berukuran kecil, sedang, atau besar. Pada perempuan tidak memiliki kumis
atau jenggot. Sedangkan pada laki-laki dewasa tampak ada yang mempunyai
kumis tebal, tipis, atau sedang (tidak terlalu tipis atau tebal), ada yang
berjenggot, dan lain-lain.
Uraian tersebut merupakan gambaran aspek perbedaan fisik pada
individu manusia. Sesungguhnya masih ada perbedaan lain, namun hal itu
tidak memungkinkan untuk diperinci satu per satu secara keseluruhan dalam
pembahasan ini. Deskripsi tersebut kiranya telah memberikan gambaran yang
jelas pada kita bahwa setiap individu manusia memiliki perbedaan jasmani.
C. Perbedaan Individu dari Aspek Kejiwaan dan Perilaku
Perbedaan ditinjau dari aspek kejiwaan individual manusia meliputi
kemampuan-kemampuan jiwanya dalam berolah cipta, rasa, karsa, dan karya
(tindakan). Contohnya, kita perhatikan murid-murid kelas 5 (lima) Sekolah
Dasar (SD) dari segi atau aspek kemampuannya. Di antara mereka ada anak
yang pembawaannya kalem, lincah, atau beringasan. Mungkin di antara
mereka ada yang pandai berbicara di depan kelas, tetapi ada pula yang gagu
ketika ia disuruh menyampaikan pendapatnya di depan kelas. Di antara
mereka ada yang bakat di bidang Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA),
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Ada murid yang berbakat di bidang bahasa
seperti pandai mengarang puisi atau cerita. Ada juga anak yang berbakat di
bidang seni seperti senu lukis atau seni rupa (olah rupa), seni tari (olah gerak),
seni suara (olah vokal). Ada murid yang berbakat di bidang olahraga, seperti
basket, sepak bola, badminton, renang, dan lain-lain.
Adanya minat dan bakat masing-masing individu melahirkan kekayaan
budaya manusia di muka bumi. Tidak hanya hal itu, aneka macam bakat dan
minat dapat menciptakan ilmu, teknologi, seni dan budaya yang terus
berkembang maju, bernilai tinggi, dan bermanfaat bagi individu atau manusia
itu sendiri.
Fudyartanto (2002) memerinci perbedaan individual pada aspek kejiwaan
(psikis) secara garis besarnya meliputi bakat (aptitude),sikap (attitude),cita-cita,
minat, hobi, motif, perhatian, kehendak atau kemauan, perasaan, afeksi, emosi,
dan kecerdasan (inteligensi). Berikut ini uraian masing-masing gejala kejiwaan
tersebut.
Pertama, bakat. Bakat merupakan suatu kemampuan individu yang
kelihatan menonjol jika dibandingkan dengan kemampuan-
kemampuannya yang lain. Misalnya, Denok terlihat sangat jelas
kemampuannya yang sangat baik dalam bidang hitung-menghitung atau
matematika; Tomy lebih menonjol kemampuannya di bidang menggambar
(seni rupa) karena telah beberapa kali keluar sebagai juara renang dalam
berbagai perlombaan baik bersifat; Rini tampak menonjol kemampuannya di
bidang seni olah vokal; Desi lebih menonjol kemampuannya di bidang
berpidato di depan umum; Joko tampak menonjol keterampilannya
menganyam rotan untuk dibuat menjadi berbagai barang kerajinan rumah
tangga; An ton tampak menonjol keterampilannya dalam mereparasi sepeda
motor, dan lain-lain. Dikatakan kemampuan-kemampuan khusus yang tampak
menonjol pada individu tersebut dinamakan bakat (aptitude) atau sering
disebut talent.
Kedua, sikap (attitude).Sikap merupakan kecenderungan individu
berperasaan dan berpikir secara tertentu atau menurut ukuran-ukuran
tertentu. Sikap merupakan cara bertingkah laku seseorang secara khas yang
tertuju kepada orang-orang atau kelompok-kelompok ataupun dapat juga
ditujukan kepada persoalan-persoalan tertentu. Contohnya, sikap seseorang
terhadap perkembangan saintek, sikap terhadap informasi atau berita yang
sedang hangat dibicarakan masyarakat, sikap terhadap kemalasan seorang
murid untuk belajar, sikap terhadap orang dewasa yang menyukai ilmu-ilmu
klenik, sikap terhadap tingkah laku seseorang, sikap angkuh, sombong, iri hati,
dengki, sikap seseorang atau individu dalam menanggapi orang lain yang
mempunyai kebiasaan merokok atau minuman-minuman keras dan narkoba,
dan lain sebagainya.
Ketiga, cita-cita. Cita-cita merupakan suatu standar tentang nilai-nilai.
Cita-cita dijadikan sebagai kriteria ahli psikologi untuk
mengukur tingkah laku individu. Cita-cita memengaruhi sikap hidup
seseorang, seperti murah hati, keadilan, kebebasan, dan lain-lain.
Keempat, minat. Minat adalah kesadaran seseorang bahwa sesuatu objek,
seseorang, suatu soal atau suatu situasi mengandung sangkut paut dengan
dirinya. Minat adalah sambutan sadar. Misalnya, minat primitif, yang timbul
dari kebutuhan jaringan tubuh seperti makan, konfortasi, dan kebebasan;
minat kultural, yang berkaitan dengan kebudayaan seperti minat terhadap
buku bacaan atau menonton kesenian.
Secara umum, minat merupakan kecenderungan seseorang untuk
menyenangi sesuatu. Misalnya, minat membaca buku cerita (novel, cerita
anak, komik, cerita detektif, dan lain-lain), minat olah raga (sepak bola, basket,
renang, golf, panahan, karate, dan lain-lain), minat berkelana seperti mendaki
gunung, bersepeda berkeliling Indonesia atau berkeliling benua Asia atau
bahkan berkeliling dunia.
Kelima, hobi. Hobi merupakan kesenangan seseorang kepada suatu objek.
Misalnya, seseorang mempunyai hobi menonton sepak bola, menonton
olahraga berkuda, hobi mancing, dan lain-lain.
Keenaim, motif. Motif merupakan suatu dorongan seseorang untuk
berbuat sesuatu. Menurut ahli psikologi, ada bermacam-macam motif yang
dapat dijumpai melekat pada seseorang, misalnya motif organis, motif darurat,
dan motif objektif. Motif organis adalah motif-motif yang berhubungan
dengan kebutuhan biologis, misalnya motif bernapas, motif makan, motif
minum, dan motif seks. Motif darurat adalah motif-motif yang timbul dalam
keadaan gawat, misalnya motif melawan bahaya atau ancaman binatang buas,
motif lari karena ketakutan terhadap sesuatu, dan lain-lain. Motif objektif
adalah motif
yang berhubungan dengan hal-hal yang objektif yang ada manfaatnya,
misalnya membaca, belajar, dan lain-lain.
Ketujuh, perhatian. Perhatian merupakan langkah pemusatan kesadaran
jiwa kepada sesuatu sasaran. Misalnya, anak memerhatikan hewan jinak, guru
memerhatikan murid-muridnya yang sedang bermain sudamanda di halaman
sekolah, dan lain-lain.
Kedelapan, kehendak. Kehendak merupakan dorongan untuk
mengerjakan atau memiliki sesuatu. Kehendak seseorang ada kaitannya
dengan keinginan individu yang bersangkutan.
Kesembilan, perasaan. Perasaan merupakan keadaan atau suasana jiwa
pada suatu saat. Perasaan bersifat subjektif. Misalnya, rasa senang terhadap
pengalaman tertentu, susah atau sedih terhadap pengalaman tertentu, benci
pada seseorang atau sesuatu hal, cinta terhadap seseorang (gadis atau perjaka),
dan lain-lain.
Kesepuluh, afeksi. Afeksi adalah suatu perasaan yang sangat mendalam
yang ada pada individu, seperti rasa sedih, rasa sayang atau rasa cinta, rasa
dendam, dan lain-lain.
Kesebelas, emosi. Emosi adalah suatu perasaan yang kuat dan disertai
gejala jasmaniah. Misalnya emosi marah, takut, terkejut, dan lain sebagainya.
Individu atau seseorang yang sedang marah biasanya menunjukkan raut muka
merah, anak yang sedang dihinggapi ketakutan yang amat sangat wajahnya
pucat pasi, dan lain-lain.
Kedua belas, kecerdasan. Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk
mengerjakan tugas yang sukar dan kompleks dengan cepat dan benar, efektif,
dan efisien. Perbedaan kecerdasan individu ditunjukkan dengan golongan-
golongan IQyang didapat dari tes kecerdasan seperti telah dibahas pada bab
sebelumnya.
Sebetulnya hal-hal yang membedakan individu yang satu dengan
individu lainnya ditinjau dari aspek psikologi tidak hanya terbatas pada
hal-hal yang telah disebutkan tadi. Masih terdapat hal-hal lain yang
kesemuanya berkaitan dengan perilaku individu atau kemampuan jiwa
individu dimaksud. Setiap aspek yang melekat pada individu merupakan
penentu kualitas individu yang membedakan dirinya dengan orang lain.

D. Pengaruh Lingkungan terhadap Perkembangan Individu


Perkembangan individu manusia tidak saja ditentukan oleh faktor
pembawaan lahir, tetapi juga ditentukan oleh pengaruh lingkungan di sekitar
hidupnya. Misalnya, anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga kaya memiliki
perilaku yang berbeda dengan anak-anak yang lahir dalam keluarga miskin.
Anak-anak yang hidup dalam keluarga taat beragama mempunyai tingkah laku
yang berbeda dengan anak-anak yang dididik dan diasuh dalam keluarga yang
berperilaku tidak baik, misalnya anak-anak yang hidup di dalam keluarga
dengan ayah suka merampok dan ibu yang suka melacurkan diri. Pertumbuhan
dan * perkembangan anak dalam keluarga amat dipengaruhi oleh keadaan baik
atau buruknya lingkungan tempat tumbuh kembangnya. Dengan demikian,
lingkungan yang berbeda akan menyebabkan terjadinya perbedaan individual.
Fakta seperti ini didukung oleh hasil penelitian ahli yang dikenal dengan
paham empirisme dan behaviorisme. Kedua penganut paham ini sependapat
bahwa lingkungan berpengaruh nyata terhadap perkembangan individu.
Lingkungan yang berbeda
memungkinkan pengaruh yang berbeda kepada perkembangan anak
yang bersangkutan.
Berikut ini merupakan uraian secara detail adanya bermacam-
macam lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan individu
sehingga menjadi penyebab perbedaan antarindividu.
Pertama, faktor lingkungan fisik yang sukar. Faktor lingkungan
fisik berpengaruh nyata terhadap perkembangan individu. Apabila
keadaan lingkungan fisik sangat sukar, hal itu membuat perkembangan
anak-anak juga sulit alias menemui banyak kendala. Contohnya, anak-
anak yang lahir dan hidup atau bertempat tinggal di daerah pegunungan
yang terjal, tandus, kekurangan air, maka keadaan fisik tersebut akan
menyulitkan hidup individu-individu yang bertempat tinggal di daerah
itu.
Pada umumnya, individu-individu yang bertempat tinggal di
daerah yang sukar dituntut untuk tekun dan giat bekerja agar
kehidupan mereka dapat berlangsung. Mulai masih usia anak-anak
mereka sudah dituntut dapat membantu kedua orangtuanya bekerja
misalnya mencari kayu bakar, mengambil air di belik atau sumber air
yang cukup jauh jaraknya dari rumah mereka, mengasuh adiknya
karena ditinggal bekerja kedua orangtuanya, dan lain sebagainya. Selain
itu, dari segi intelektual mereka sulit berkembang sebagaimana halnya
anak-anak yang tinggal di daerah perkotaan. Di daerah tertentu,
sekolah-sekolah jarang dan letaknya berjauhan sehingga menyulitkan
anak-anak untuk bersekolah. Situasi seperti itu mengondisikan banyak
anak-anak tidak sempat mengenyam pendidikan di sekolah dan mereka
lebih memilih bekerja di ladang.
Kedua, faktor lingkungan fisik yang makmur. Di daerah-daerah
yang makmur umumnya penduduknya kaya. Selain itu, di
daerah-daerah makmur banyak dijumpai sekolahan, kursus-kursus atau
lembaga-lembaga yang mendidik atau melatih individu menjadi anak-anak
yang cerdas dan terampil. Dengan dmeikian, anak-anak yang tinggal di daerah
seperti ini mempunyai banyak peluang untuk berkembang lebih baik dan
berkualitas terutama dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, apabila
dibandingkan dengan anak-anak yang tinggalnya di daerah-daerah yang sukar,
anak-anak yang tinggal di daerah-daerah yang makmur akan mempunyai
kesempatan yang lebih banyak untuk bisa maju dibandingkan dengan teman-
temannya dari daerah-daerah yang sukar tadi.
Ketiga, faktor status sosial ekonomis. Keadaan sosial ekonomi keluarga
dan masyarakat sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Di daerah
atau negara yang keadaan sosial ekonominya maju berpengaruh terhadap
perkembangan anak yang cenderung lebih baik. Sebagai contoh, dalam sebuah
keluarga yang serba berkecukupan dari segi materi, di rumahnya terdapat
berbagai macam fasilitas seperti TV dengan antena parabolanya, CD player,
tape recorder,komputer, motor, mobil, dan lain-lain yang kesemuanya akan
mempunyai pengaruh terhadap perkembangan anak dalam keluarga tersebut.
Bagi keluarga dengan status sosial ekonomi yang serbacukup tentu akan
mempunyai banyak peluang menyekolahkan anak-anaknya dibandingkan
dengan anak-anak dari keluarga yang kurang mampu. Dengan begitu, anak-
anak dari keluarga dengan keadaan sosial ekonomi tinggi akan mempunyai
peluang lebih maju dalam perkembangannya nanti. Keterangan ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Alwin dan Thorton (1984) bahwa
pada umumnya murid-murid yang berasal dari keluarga berstatus sosial
ekonomi tinggi menunjukkan hasil belajar yang tinggi dan lebih lama daripada
murid-murid yang
berasal dari ekonomi rendah. Kiranya hal itu sangat masuk akal.
Keluarga-keluarga yang berada mempunyai biaya yang cukup untuk
menyekolahkan anak-anak mereka. Untuk mendukung pendapatnya itu,
Alwin dan Thorton juga mengungkap adanya anak-anak dari keluarga miskin
yang dapat menunjukkan prestasi belajar tinggi. Hal itu, menurut kedua orang
ahli tersebut, hanyalah kasuistis saja dan tidak dapat digeneralisasi.
Keempat, faktor budaya. Faktor budaya yang dapat memengaruhi
perkembangan anak sesungguhnya sangat luas dan kompleks. Sebetulnya
faktor ini sudah termasuk ke dalam faktor sosial ekonomi di atas. Namun,
karena faktor ini cakupannya sangat luas, maka penulis merasa perlu
mengulasnya lebih detail lagi.
Untuk membatasi pembahasan mengenai faktor budaya yang
berpengaruh terhadap perkembangan anak, diambil contoh budaya dalam
kelompok-kelompok masyarakat yang berkebudayaan tertentu. Misalnya
kebudayaan daerah, kebudayaan suku, kebudayaan nasional bangsa. Batasan-
batasan tersebut akan memperjelas bahwa kelak akan memunculkan
perbedaan-perbedaan individu dalam bertingkah laku. Sebab, salah satu ciri
kebudayaan adalah terlihat dari tingkah laku individu yang bersangkutan.
Contoh konkretnya adalah tingkah laku atau budaya masyarakat yang hidup di
daerah pantai (pesisir) akan berbeda dengan tingkah laku (budaya) masyarakat
yang tinggal di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya, Medan,
Washington DC, Los Angeles, London, dan lain-lain. Apabila dirunut terus,
kita ketahui tingkah laku orang Yogyakarta berbeda dengan tingkah laku
orang Tokyo, dan lain sebagainya. Perbedaan budaya tersebut akhirnya
memunculkan perbedaan-perbedaan individual.
Sementara itu, tiap-tiap kebudayaan masyarakat mempunyai perbedaan-
perbedaan. Adanya perbedaan-perbedaan yang tegas ini akan memunculkan
perbedaan-perbedaan individual. Perbedaan- perbedaan kebudayaan
masyarakat atau bangsa di antaranya dalam hal norma-norma atau tata cara
tingkah laku anggota masyarakatnya, wawasan atau orientasi waktu mengenai
masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang serta apresiasinya terhadap
nilai waktu, penilaian atau citra pribadi orang per orang, alam pikiran
mengenai hubungan manusia dengan alam, antarsesama, antarbangsa,
antarbudaya, dan lain-lain, nilai-nilai yang dianggap paling berharga, dan
pandangan hidup keagamaan yang dianut masyarakat atau suatu bangsa yang
bersangkutan.
Bermacam-macam kebudayaan daerah atau kelompok masyarakat
tersebut menyebabkan timbulnya ketidaksamaan antara nilai-nilai yang
dipelajari anak ketika di rumah atau di lingkungan masyarakat tempat
tinggalnya dengan nilai-nilai yang dipelajari di sekolah. Keadaan itu
memunculkan karakter anak didik bercorak kedaerahan, kecuali sekolah
tempat belajar anak-anak tersebut telah terintegrasi dengan corak-corak yang
sifatnya nasional.

E. Pengaruh Cara Mendidik Anak


Membaca uraian penjelasan di atas pada anak-anak secara kodrati terdapat
perbedaan-perbedaan antara anak yang satu dengan anak yang lainnya.
Perbedaan-perbedaan individual tersebut akan berlangsung secara terus-
menerus sepanjang hidupnya. Peran pendidikan adalah mengubah tingkah
laku anak-anak yang tadinya kurang atau tidak berkualitas menjadi yang lebih
berkualitas. Masalahnya dalam praktik
pendidikan dikenal berbagai macam gaya praktik mendidik yang dilakukan
oleh guru sehingga hal itu berakibat pada gaya tingkah laku yang dihasilkan
pada anak-anak juga akan bermacam-macam. Dengan kata lain, setiap gaya
praktik mendidik yang dilakukan oleh guru kepada anak-anak akan memiliki
dampak sendiri-sendiri tergantung dari karakter anak dan gaya praktik
mendidik guru.
Umumnya gaya praktik mendidik formal di sekolah-sekolah adalah
seragam dengan teori dan filsafat pendidikan tertentu. Contohnya dalam
Sistem Pendidikan Nasional Indonesia menggunakan standar teori konvergensi
dan filsafat Pancasila sehingga secara makro gaya praktik pendidikan formal di
Indonesia adalah sama, yaitu pendidikan holistik yang merupakan pendidikan
untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Kaitannya dengan tujuan
pendisiplinan anak di Indonesia dipakai orientasi disiplin nasional
(Fudyartanto, 2002).
Sedangkan penerapan pendidikan di luar sekolah, seperti pendidikan
dalam keluarga dalam hal pendisiplinan anak, terdapat perbedaan antara
keluarga yang satu dengan keluarga yang lainnya. Namun, apabila seluruh
masyarakat Indonesia telah memahami Sistem Pendidikan Nasional Indonesia,
perbedaan-perbedaan tersebut dapat diminimalisasi sekecil mungkin. Hal ini
sangat berbeda dengan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Barat
(Eropa) yang lebih menekankan kebebasan individu sehingga setiap keluarga
diberi kebebasan sendiri-sendiri dalam mendidik anak-anaknya.
Abu Fahmi (2006) mengemukakan dalam mendidik anak yang didasarkan
pada ajaran agama Islam sesungguhnya telah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad Saw. Dalam praktik mendidik anak-anak terjadi hubungan antara
orangtua dengan anak-anaknya. Secara rinci hubungan antara anak dan
orangtua tersebut dibagi menjadi tiga
segi. Pertama, hubungan tanggung jawab orangtua terhadap anaknya. Menurut
pandangan Islam anak adalah amanah yang dititipkan Allah Swt. kepada
orangtua si anak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dan dididik dengan
sebaik-baiknya. Dengan kata lain, dalam sebuah keluarga fungsi orangtua
adalah sebagai pemimpin anak-anaknya dalam mengarungi kehidupan di
dunia. Kepemimpinan tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada Allah
kelak di kemudian hari. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah bersabda:
Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap
kepemimpinannya. Kepala negara adalah pemimpin dan bertanggung jawab
terhadap rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin di rumah tangganya
dan dia bertanggung jawab terhadap keluarganya. Seorang istri adalah
pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab terhadap rumah
tangganya. Seorang pembantu adalah pemimpin pada harta benda
majikannya dan dia bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.(HR
Muttafaq Alaih)
Kedua, hubungan kasih sayang. Setiap orang yang telah hidup
berkeluarga pasti mengharapkan kehadiran anak-anak dalam rumah
tangganya. Sebab, anak adalah tempat orangtua mencurahkan kasih sayangnya.
Sering dijumpai dalam kehidupan berumah tangga, walaupun dikaruniai harta
benda berlimpah, kehidupan rumah tangga serasa belum lengkap kalau belum
dikaruniai anak. Hal itu disebabkan anak merupakan perhiasan hidup di dunia.
Allah telah berfirman:
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-
amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu
serta lebih baik untuk menjadi harapan. (QS Al-Kahfi [18]: 46)
Ketiga, hubungan masa depan. Dari sudut pandang teologi, anak
merupakan investasi masa depan di akhirat bagi orangtuanya. Anak yang saleh
akan selalu mengalirkan pahala kepada kedua orangtuanya sebagaimana yang
dinyatakan oleh Nabi Muhammad:
jika seseorang meninggal dunia, putuslah amalannya kecuali salah
satu dari tiga hal: sedekah jariah, ilmu yang dapat diambil manfaat
darinya, dan anak saleh yang mendoakannya.(HR Muslim)
Diakui kalangan masyarakat kita bahwa tuntutan mendidik anak pada
zaman sekarang ibarat menggiring domba di tengah kawanan serigala. Sedikit
saja kita lengah, domba itu bisa habis dimangsanya. Terlebih lagi, anak dalam
usianya berada pada proses pencarian bentuk dan identitas. Pada usianya itu
anak akan selalu mencari alternatif-alternatif dalam kehidupan yang dihadapi.
Oleh karena itu, orangtua harus berhati-hati dalam menawarkan figur-figur
yang akan menjadi pilihan mereka. Sebab, anak selalu merekam dalam
benaknya semua bentuk dan tawaran-tawaran yang dihadirkan di
hadapannya. Terlebih lagi, tawaran-tawaran itu hadir dalam lingkungan
keluarganya (Sudrajad, 2005). Seperti perkataan-perkataan dan perbuatan yang
dilakukan oleh orangtuanya. Frank Outlaw menuliskan, Watch your thoughts
they become actions. Watch your action they become habits. Watch your character, it
becomes your destiny. Hati-hati dengan pikiranmu karena akan menjelma menjadi
kata. Hati-hati dengan kata-kata yang kau ucapkan karena melahirkan tindakan. Hati-
hati dengan tindakan-tindakanmu karena akan membentuk kebiasaan. Hati-hati
dengan kebiasaanmu karena akan menentukan karaktermu. Dan, awas, perhatikan
karaktermu karena akan menentukan nasibmu(Frank Outlaw).
Esensi pendapat Frank Outlaw tersebut dapat diterapkan dalam mendidik
anak-anak kita. Contohnya yang berkaitan dengan ucapan kita. Ibarat pepatah
yang mengatakan bahwa “Tak ada pedang yang tajamnya melebihi ucapan
kita”. Ibaratnya ia mampu membelah dada anak-anak kita atau memungkinkan
membangkitkan jiwanya sehingga tidak ada yang ditakutinya kecuali Allah.
Ucapan kita dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan anak-anak kepada
kita sebagai orangtua dan kepada Allah. Baik atau buruknya kehidupan anak-
anak kita, lisan kita yang menentukan. Sebab, menurut Frank Outlaw, dari
ucapan akan lahir tindakan. Tindakan yang terus-menerus akan melahirkan
kebiasaan. Jika ucapan itu keluar melalui pemikiran yang jernih dan matang,
tentu ia akan mampu melahirkan kebiasaan. Jika ucapan itu keluar melalui
pemikiran yang jernih dan matang, tentu ia akan melahirkan karakter pribadi
anak yang sangat kuat atau tangguh, mewujudkan dalam sikap yang jelas, dan
tindakan yang mengesankan. Intinya, orangtua dalam mendidik anak-anak
hendaknya dengan perkataan dan perbuatan yang benar dan dapat
dipertanggungjawabkan, terutama di hadapan Allah (Adhim, 2006).
Sekiranya orangtua dalam mendidik anak-anaknya dilakukan secara asal-
asalan dan tidak terarah, pada akhirnya yang akan mengalami kerugian adalah
anak dan orangtuanya. Berkaitan kasus ini, Allah telah berfirman:
Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya
meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara
dengan tutur kata yang benar. (QS Al-Nisa' [4]: 9)
Cara mendidik anak agar berdampak positif terhadap anak dengan
karakter anak yang cerdas, tangguh, dan qurrata a’yun minimal harus
mencakup tiga karakter, yaitu karakter keagamaan, karakter pembelajaran,
dan karakter terampil dan mandiri. Dalam Fahma edisi Mei 2006, ketiga
karakter pembentuk anak cerdas, tangguh, dan qurrata ayun tersebut dijelaskan
sebagai berikut. Pertama, karakter keagamaan. Karakter keagamaan dicapai
dengan menumbuhkan pemahaman nilai-nilai kebenaran (tauhid),
pembiasaan beribadah (shalat, doa, dzikir, membaca, dan hafalan Al-Quran
serta hadis), menumbuhkan akhlakul karimah. Mendidik anak dengan target-
target seperti itu diharapkan dapat menumbuhkan diri anak suatu motivasi
dan kesadaran menjalankan shalat, beribadah, berdoa, dan berdzikir. Senang
dan terampil membaca Al-Quran, hafal minimal Juz ‘Amma. Selain itu, anak
diharapkan senang berbuat baik dan bermanfaat untuk orang lain dan
lingkungannya serta tidak suka merusak dan mengganggu orang lain.
Kedua, karakter pembelajar. Karakter pembelajar dicapai dengan
mengembangkan dua aspek penting, yaitu aspek kemampuan berpikir (saintis)
dan aspek keterampilan dasar pembelajar. Aspek kemampuan berpikir
meliputi dorongan rasa ingin tahu yang tinggi, senang melakukan observasi
dan eksplorasi, serta dapat mengorientasikan potensi dirinya untuk mencapai
apa yang diinginkan. Sedangkan aspek keterampilan dasar pembelajar meliputi
senang membaca, menulis, berbicara (berkomunikasi), matematika (berpikir
logis, analisis, dan sistematis), menyenangi seni, dan bersifat kreatif.
Ketiga, karakter terampil dan mandiri. Karakter ini dicapai dengan
menumbuhkan kemampuan keterampilan fisik berupa kegiatan fisik
(olahraga), keterampilan pribadi berupa keperluan yang menyangkut
dirinya mulai dari kerapian, ketertiban, dan kebersihan diri dan
lingkungannya. Keterampilan teknologi (komputer), mengembangkan
tanggung jawab, kemandirian, kerja sama, dan tolong-menolong. Memiliki
jiwa kepemimpinan serta berkembangnya minat dan bakat anak.
Bukannya mau mengesampingkan arti pentingnya pendidikan yang
menekankan aspek kognitif pada anak, namun ada pakar pertumbuhan dan
perkembangan anak mengatakan bahwa membangun jiwa anak (aspek afektif)
dirasakan jauh lebih penting peranannya dari sekadar mencerdaskan otak
(aspek kognitif). Jiwa yang hidup dapat memanfaatkan dan mengarahkan otak
yang cerdas. Tetapi, otak yang cerdas tidak banyak bermanfaat atau bahkan
bisa membawa mudharat apabila berada dalam jiwa yang mati. Untuk itu,
langkah membangun jiwa individu dirasa sangat penting yang pada akhirnya
mengarah ke individu agar memiliki sifat-sifat cerdas, tangguh, dan qurrata
a’yun.
Siamet W. (2006) memberikan tips-tips membangun jiwa anak melalui
kebersamaan dengan anak sebagai berikut.
1. Saat melaksanakan makan bersama sekeluarga. Kesempatan makan
bersama didam suatu keluarga merupakan suasana jiwa bergembira karena
merasakan nikmat dari Allah. Untuk itu, dapat dilakukan adab makan yang
baik dan benar, anak diberi pengarahan tentang aktivitas anak dengan
dasar-dasar agama, dan dibicarakan tentang nikmat Allah dan kewajiban
kita mensyukurinya.
2. Saat mengadakan rekreasi sekeluarga. Kesempatan berekreasi bersama
sekeluarga memberikan suasana jiwa anak-anak diliputi suasana
kegembiraan. Ketika sedang berekreasi sekeluarga sebenarnya merupakan
saat-saat yang kondusif bagi anak-anak untuk menerima pesan-pesan yang
membangkitkan jiwa sehingga dapat dibahas tentang penciptaan dan
kebesaran Allah, tentang
tanggung jawab manusia kepada Allah, atau masalah tantangan hidup
yang akan dihadapi pada masa-masa ke depan, dan lain-lain.
3. Saat kondisi jiwa sedang dekat dengan Allah. Saat anggota keluarga ada
yang sakit, biasanya kondisi jiwa sedang dekat dengan Allah. Saat-saat
sepert ini dirasa kondusif untuk menerima pesan-pesan yang dapat
melembutkan jiwa anak. Misalnya, dibahas tentang kebaikan Allah dan
kebaikan orang lain, anak-anak diajak berbicara tentang kebesaran jiwa,
pada anak diceritakan tentang hikmah ketabahan dan kesabaran.
Keberhasilan dalam mendidik anak tidak bisa dilepaskan dari adanya
peran penting seorang ibu dalam keluarga. Hal ini dapat dilihat dari
kedudukan seorang ibu dalam sebuah keluarga. Ibu, sebagai pendamping
suami, mempunyai tugas utama mengurus rumah tangga dan mengasuh
anak-anaknya. Tugas ibu tidak bisa dikatakan ringan namun sangat mulia,
yaitu mendidik (dan mengantarkan anak-anaknya semenjak masih berada
dalam kandungan, lahir, kemudian meniti kehidupan di dunia hingga
menjadi dewasa membutuhkan campur tangan seorang ibu.
Sementara itu, suami, sebagai kepala rumah tangga, mempunya, tugas
pokok mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya. Memang, pada
kenyataannya sekarang tugas mencari nafkah sebuah keluarga tidak hanya
terletak pada suami saja. Sudah banyak istri yang bekerja mencari nafkah
untuk keluarga. Tetapi, para istri, walaupun sebagai wanita karier,
hendaknya tetap tidak melupakan tugas pokoknya, yaitu mengasuh dan
membimbing anak-anaknya. Fakta yang sering dijumpai di lapangan adalah
para wanita karier yang memiliki anak paling sering dalam mengasuh anak
memercayakan kepada pramuwisma. Sedangkan untuk urusan pendidikan
anak, sepenuhnya diserahkan
kepada lembaga-lembaga atau sekolah-sekolah dengan membayarnya
Persoalannya, apakah tindakan orangtua kepada anaknya seperti itu sesuai dan
dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak? Menurut pakar
pertumbuhan dan perkembangan anak, anak bisa berjalan sebagaimana
semestinya, tidak bisa tidak, tetap memerlukan peran aktif dari ibunya.
Erny T. (2006) mengemukakan lima hal yang dapat dijadikan parameter
pentingnya peran seorang ibu dalam pendidikan sehari-hari anak-anaknya.
Pertama, ibu sebagai perawat dan pelindung. Berkaitan dengan hal ini, nilai
pendidikan yang diberikan adalah pembimbingan cara makan dan minum
yang baik dan sopan, mandi, mengenakan pakaian, melatih merawat
kebersihan diri, dan melindungi diri dari marabahaya di sekitarnya.
Kedua, ibu sebagai pengarah. Pada posisi ini, seorang ibu akan banyak
memberi bimbingan pada anak tentang kemampuan- kemampuan atau
keterampilan yang harus dimiliki anaknya. Ketiga, ibu sebagai sumber
informasi. Seorang ibu banyak memberikan pendidikan tentang pengetahuan.
Terutama berkaitan dengan pengalaman sehari-hari atau pengetahuan umum
yang dikuasai oleh ibu sesuai dengan taraf pendidikannya.
Keempat, ibu sebagai pendorong dan penghibur. Seorang ibu dapat
memberikan dorongan atau menghibur anak di saat susah atau menemui
kegagalan. Nilai pendidikan yang diajarkan seorang ibu dalam hal ini adalah
mengenai kesadaran untuk selalu memiliki motivasi dalam bekerja. Kelima,
ibu sebagai sumber peniruan. Sebagai sumber peniruan, seorang ibu memiliki
banyak nilai pendidikan yang dapat diajarkan kepada anaknya, terutama dalam
hal pendidikan budi pekerti, sopan santun, dan ketakwaannya kepada Tuhan
Yang
Maha Esa. Sebagai sumber peniruan bagi anak-anaknya, seorang ibu dituntut
memiliki perilaku baik yang bisa dijadikan teladan bagi
anak-anaknya.
Secara umum, seorang ibu yang ideal di mata anak-anaknya harus
memiliki perilaku, sikap, dan tutur kata yang baik dalam kehidupan sehari-
hari. Seorang ibu juga dituntut memiliki budi pekerti yang luhur dan
ketakwaan kepada Allah serta dapat diandalkan dalam keluarga. Dengan
demikian, anak-anak yang dilahirkan, tumbuh dan berkembang dalam sebuah
keluarga dapat mengantongi sifat-sifat yang sehat, cerdas, tangguh, dan
bermental atau berakhlak mulia (qurrata a’yun). Kiranya semua tips dan uraian
yang diberikan dalam buku ini ditujukan untuk memperoleh target akhir yang
selama ini dilakukan oleh orangtua unggul. Hal itu semata-mata dilakukan
oleh para orangtua unggul karena mereka tahu bahwa anak dengan sifat-sifat
sehat, cerdas, tangguh, dan saleh akan membawa kebaikan dan kehormatan
orangtua dan keluarga. Bahkan, pandangan yang selama ini dianut oleh orang
Islam mengatakan bahwa anak yang saleh masih tetap bermanfaat bagi kedua
orangtua kelak jika kedua orangtuanya telah meninggal dunia. Hal itu seperti
telah disabdakan oleh Rasulullah, “Ketika anak Adam meninggal, maka terputuslah
pahala amalnya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak
saleh yang mendoakan orangtuanya”.
Bisa dipastikan, sebuah keluarga yang dikaruniai anak-anak dengan sifat-
sifat yang sehat, cerdas, tangguh, dan saleh pastilah senantiasa berbahagia.
Walaupun keluarga tersebut secara ekonomi hidup dengan sederhana. Anak-
anak dengan sifat-sifat yang demikian itu betul-betul menjadi cahaya hidup
keluarga dan setiap keluarga berkeinginan mengupayakannya. Semoga kita
semua termasuk
orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan dari Allah di setiap langkah kita.
Amin.

F. Gaya Mendidik Anak


Dalam bidang psikologi pendidikan, Diana Baumrind telah mengadakan
penelitian berkaitan dengan gaya pendisiplinan anak yang dilakukan oleh
orangtua mereka. Hasilnya, ada tiga macam gaya pendisiplinan yang dilakukan
orangtua kepada anak-anak mereka, yaitu gaya pendisiplinan autoritatif, gaya
pendisiplinan autoritarian, dan gaya pendisiplinan permisif. Uraian dari
masing-masing gaya pendisiplinan anak tersebut selengkapnya diberikan di
bawah ini.
Pertama, gaya pendisiplinan autoritatif. Gaya pendisiplinan autoritatif
adalah gaya disiplin yang tegas, keras, menuntut, mengawasi, dan konsisten
tetapi penuh kasih sayang dan komunikatif. Gaya pendisiplinan model ini
orangtua mau mendengarkan dan memberi penjelasan-penjelasan mengenai
peraturan-peraturan yang mereka buat. Penerapan gaya pendisiplinan
autoritatif jika dirasa perlu memberi hukuman kepada anak-anak yang berbuat
salah atau telah menyimpang dari aturan yang telah diberikan kepadanya.
Gaya pendisiplinan model ini menghasilkan anak-anak mempunyai
kepercayaan diri yang mantap dan harga diri yang tinggi. Ditinjau dari segi
prestasi belajarnya, anak-anak menunjukkan prestasi yang tinggi. Dalam
pergaulan anak-anak lebih pandai atau lancar bergaul dan bekerja sama
dengan orang lain. Dengan kata lain, anak-anak yang dididik dengan cara
pendisiplinan autoritatif menjadi lebih berprestasi, percaya diri, mudah
bergaul dan mampu bekerja sama secara baik dengan timnya.
Kedua, gaya pendisiplinan autoritarian. Gaya pendisiplinan autoritarian
mempunyai ciri-ciri: orangtua senang mengawasi anak-anak, orangtua tidak
mau mendengarkan suara dari anak-anak, orangtua tidak mau berpartisipasi
dengan anak-anak, orangtua bersikap lugu dan dingin pada anak-anak,
orangtua suka menghukum anak-anaknya yang berbuat salah atau keliru.
Anak-anak hasil didikan gaya pendisiplinan autoritatif ini memiliki ciri-ciri di
antaranya anak tidak merasa bahagia, anak cenderung menarik diri dari orang
lain, anak suka menyendiri, anak sukar dipercaya oleh orang lain, dan prestasi
belajarnya rendah.
Ketiga, gaya pendisiplinan permisif. Penerapan gaya pendisiplinan model
ini terdapat kelonggaran pada anak-anak yang sedang mereka didik. Sering
kali orangtua justru tidak yakin pada kemampuannya untuk mendidik anak-
anaknya secara baik. Akibatnya, orangtua sering menjadi tidak konsisten.
Ketidakkonsistenan tersebut akan berakibat anak menjadi kurang percaya diri,
anak merasa tidak bahagia, dan prestasi belajarnya rendah, terutama sekali
terjadi pada anak laki-laki.
Semua gaya disiplin orangtua dalam mendidik anak tersebut mempunyai
pengaruh yang bermacam-macam, berbeda satu dengan yang lainnya. Hal itu
dapat dimengerti. Sebab, pada dasarnya masing-masing anak telah memiliki
perbedaan-perbedaan dengan anak-anak yang lainnya. Untuk itu, tidak ada
jaminan hasil didikan pada anak akan sama meskipun diterapkan gaya
mendidik yang sama.
Bab IX
HAKIKAT BELAJAR

A. Pendahuluan
Kita sudah mahfum bahwa umumnya orang muda memanfaatkan waktunya
untuk belajar. Sering dikatakan “masa muda adalah masa belajar”. Apalagi di
era kesejagatan ini, belajar seolah-olah merupakan tuntutan wajib bagi setiap
orang. Tidak hanya bagi mereka yang masih muda, mereka yang sudah dewasa
atau bahkan terbilang sudah tua dituntut untuk mau belajar agar mampu
menyesuaikan diri dengan keadaan zaman. Dalam kehidupan sehari-hari,
terutama di kota-kota besar, persaingan hidup antarindividu terlihat begitu
kentara, termasuk dalam hal belajar. Tidak hanya bagi yang masih muda,
persaingan untuk meningkatkan kualitas diri juga tampak pada mereka yang
sudah dewasa dan sudah bekerja. Para guru juga dituntut untuk selalu
meningkatkan kualitas diri agar diperoleh hasil pembelajaran yang berkualitas.
Program yang sedang dijalankan oleh Departemen Pendidikan Nasional
Indonesia adalah sertifikasi bagi guru untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran di sekolah. Untuk dapat lulus
program sertifikasi tidak mudah, guru harus bekerja keras belajar agar bisa
lulus dalam ujian sertifikasi yang diselenggarakan oleh pemerintah. Ini
merupakan salah satu contoh bahwa belajar bagi kita tidaklah dibatasi oleh
umur tertentu. Belajar seyogianya dijalankan selama hayat dikandung badan
alias seumur hidup. Belajar dalam arti luas tidak terbatas terjadinya di
lingkungan bangku sekolah atau kampus. Namun, belajar dalam arti yang luas
dapat terjadi dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Sebagai contohnya,
seorang anak yang belum dapat naik sepeda dituntut belajar naik sepeda agar
ia bisa mengendarai sepedanya. Seseorang perlu belajar menjahit terlebih
dahulu agar ia memiliki keterampilan menjahit yang diinginkan.
Berkaitan dengan kegiatan belajar di tengah-tengah masyarakat
mengemuka ungkapan “masa muda adalah masa belajar”. Ungkapan tersebut
dimaksudkan setiap orang muda sudah semestinya mempersiapkan diri untuk
memperoleh segala sesuatu yang berguna bagi hidupnya di kemudian hari.
Sejatinya manfaat tersebut dapat dicapai dengan melakukan belajar terlebih
dahulu. Manfaat yang bisa diperoleh dengan belajar banyak sekali, di
antaranya dengan belajar orang akan mendapatkan ilmu pengetahuan,
keterampilan, nilai, sikap yang baik, dan lain-lain. Dengan memiliki hal-hal
tersebut, orang kelak akan dapat mengusahakan sesuatu yang diinginkan.
Misalnya rumah, mobil, tanah, pakaian, dan bepergian ke luar negeri. Semua
hal itu diperoleh baik secara langsung ataupun tidak langsung akibat dari
belajar.
Barangkali dalam benak pembaca muncul pertanyaan-pertanyaan
berkaitan dengan belajar. Misalnya, hakikat yang sebenarnya dari belajar, cara-
cara belajar dilakukan, kegunaan belajar bagi kehidupan seseorang, dan lain
sebagainya. Mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis akan mencoba
membahasnya dalam subbab berikutnya.
Sejatinya para ahli pendidikan, terutama ahli psikologi pendidikan
(psikagogik), amat tertarik dengan masalah belajar ini. Ketertarikan mereka itu
ditunjukkan dengan kiprah nyata untuk bisa memecahkan segala persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan belajar. Mereka telah banyak melakukan
penelitian dengan melakukan percobaan- percobaan berkaitan dengan masalah
belajar sesuai dengan latar belakang penguasaan ilmu pengetahuan mereka
dalam wadah psikologi pendidikan. Contoh percobaan yang telah mereka
lakukan mengenai proses belajar, baik pada hewan maupun pada manusia.
Hasil percobaan-percobaan yang telah dilakukan oleh para ahli pendidikan
menghasilkan prinsip-prinsip umum perbuatan belajar yang akhirnya dapat
dianggap menjadi hukum belajar. Hasil tersebut selanjutnya diterapkan oleh
guru dalam memimpin kegiatan belajar anak secara inteligen di sekolah
maupun di luar sekolah.
Hakikat belajar yang hendak diuraikan dalam bab ini meliputi arti
belajar, sifat dan dasar proses belajar yang banyak berlangsung di sekolah-
sekolah. Hal ini dimaksudkan agar pembaca mempunyai gambaran yang
sesungguhnya mengenai belajar, terutama belajar yang dilangsungkan di
sekolah-sekolah atau kampus. Pengertian belajar dalam uraian ini sengaja
dibatasi dalam lingkup bangku sekolah atau perguruan tinggi mengingat
hakikat belajar itu sendiri amat luasnya sehingga perhatian kita menjadi lebih
terfokus.

B. Pengertian Belajar
Sebelum membahas lebih jauh tentang hakikat belajar, terlebih dahulu perlu
kita ketahui arti kata belajar itu sendiri. Hal ini dimaksudkan agar kita menjadi
lebih mudah memahami pengertian hakikat belajar dan
terhindar dari salah tafsir atau persepsi. Pada subbab ini akan dibahas
pengertian belajar sebagai bekal untuk memahami pembahasan-
pembahasan selanjutnya.
Langkah awal yang dapat segera kita mulai adalah mencari arti belajar
dalam kamus. Meskipun sebenarnya definisi kata menurut kamus masih
sederhana, singkat, dan sering kali belum dapat memberi uraian yang jelas,
definisi kamus tetap mempunyai kegunaan penting, sebagai pengertian
dasar atau pokok dari suatu kata atau istilah. Arti kata menurut kamus
disebut definisi etimologis, definisi menurut kata-kata, atau disebut juga
arti leksikografi.
Arti kata belajar di dalam buku Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah
berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Perwujudan dari berusaha adalah
berupa kegiatan sehingga belajar merupakan suatu kegiatan. Dalam Kamus
Bahasa Inggris, belajar atau to learn (verb) mempunyai arti: (1) to gain
knowledge, comprehension, or mastery of through experience or study, (2) to fix in
the mind or memory; memorize; (3) to acquire through experience-, (4) to become
in forme of to find out. Jadi, ada empat macam arti belajar menurut kamus
bahasa Inggris, yaitu memperoleh pengetahuan atau menguasai
pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat,
menguasai melalui pengalaman, dan mendapat informasi atau menemukan.
Berdasarkan definisi menurut kedua kamus tersebut, ada dua unsur
pokok yang terkandung dalam belajar, yaitu kegiatan dan penguasaan.
Kemudian jika ada orang bertanya, “Apa kegunaan belajar bagi kita?”
jawaban dari pertanyaan tersebut kurang lebihnya “supaya mendapat
sesuatu kepandaian”. Mendapatkan suatu kepandaian berarti memiliki,
dapat melaksanakan, mengerti kepada kepandaian yang telah didapat.
Berikut ini dikutipkan pengertian belajar seperti yang telah dikemukakan
oleh beberapa orang ahlinya, di antaranya pendapat yang dikemukakan oleh
H.C. Witherington, Arthur J. Gates et al., L. D. Crow dan A. Crow, Melvin H.
Marx, R. S. Chauhan, dan Gregory A. Kimble. Uraian dari pendapat para ahli
dimaksud secara berturut-turut diberikan di bawah ini.

1. H.C. Witherington
Ahli ini memberi definisi belajar adalah suatu perubahan pada
kepribadian ditandai adanya pola sambutan baru yang dapat berupa suatu
pengertian. Definisi tentang belajar yang disusun oleh H.C. Witherington
tersebut diperoleh dari menyatukan tiga buah definisi pendek dari belajar.
Pertama, belajar merupakan suatu perubahan dalam diri seseorang. Perubahan
tersebut dapat terjadi dalam hal kecakapan, dalam suatu sikap, atau dalam
suatu pengertian, dan seterusnya. Seseorang yang telah belajar akan tidak sama
keadaannya dengan keadaan sebelumnya ketika dirinya belum belajar.
Perubahan ini dapat meliputi macam dirinya, atau pengetahuannya atau apa
saja yang dapat dilakukannya. Misalnya, setelah seseorang melakukan sesuatu
perbuatan belajar, mungkin orang tersebut menjadi lebih terampil, lebih
percaya diri, lebih berani menghadapi orang lain, lebih merasa bahagia,
menjadi lebih senang, lebih pandai melakukan sesuatu, dan lain-lain.
Kedua, belajar adalah penguasaan pola-pola sambutan baru. Tindakan
belajar bersandar kepada beberapa prinsip atau pola total yang dikuasai dengan
mengadakan integrasi yang memadai terhadap susunan-susunan dasar dari
suatu pengalaman. Pendapat ini sering disebut dengan beberapa istilah seperti
bentuk, pola, gestalt,
keseluruhan, konfigurasi atau organisasi. Konsep ini kiranya dapat diperjelas
dengan mengutarakan contoh tentang anak-anak prasekolah (Taman Kanak-
Kanak) yang sedang belajar menulis kata atau kalimat dalam bahasa Indonesia.
Ditinjau dari segi ilmu psikologi pendidikan dalam masa perkembangan,
khususnya periode prasekolah, anak-anak melambangkan bermacam-macam
pola tingkah laku. Namun, tidak ada satu pun dari pola-pola tersebut yang
dapat digunakan untuk melakukan aktivitas menulis. Untuk dapat melakukan
perbuatan menulis, anak harus mempunyai pola sambutan yang baru.
Tegasnya, anak harus memiliki kemampuan melihat, menggerakkan lengan
dan tangan, dan membuat tanda-tanda sederhana. Menulis memerlukan pola
sambutan yang terkoordinasikan dengan baik dan hal itu sangat berbeda
dengan bagian-bagiannya.
Ketiga, belajar adalah penguasaan kecakapan, sikap, dan pengertian.
Definisi belajar ini menyebutkan secara eksplisit sifat-sifat atau hasil belajar
yang harus diperoleh dan berbeda-beda jenisnya. Kecakapan mengandung
unsur praktik; sikap adalah hal-hal yang berhubungan dengan cara-cara
berpikir dan merasakan terhadap masalah-masalah yang mengandung nilai;
dan pengertian adalah hal-hal yang mempunyai kaitan dengan pengalaman-
pengalaman rasional atau menurut akal sehat (Fudyartanto, 2002).

2. Arthur J. Gates
Menurut Arthur j. Gates, yang dinamakan belajar adalah perubahan
tingkah laku melalui pengalaman dan latihan (learning is the modification of
behavior through experience and training).
3. LD. Crow dan A. Crow
Ahli ini berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses aktif yang perlu
dirangsang dan dibimbing ke arah hasil-hasil yang diinginkan
(dipertimbangkan). Belajar adalah penguasaan kebiasaan-kebiasaan (habitual),
pengetahuan, dan sikap-sikap (learning is an active process that need to be
stimulated and guided toward desirable outcome. Learning is the acquisition of habits,
knowledge, and attitudes).

4. Melvin H. Marx
Belajar adalah perubahan yang dialami secara relatif abadi dalam tingkah
laku yang pada dasarnya merupakan fungsi dari suatu tingkah laku
sebelumnya. Dalam hal ini, sering atau biasa disebut praktik atau latihan
{learning is a relatively enduring change in behaviour which is a function of prior
behaviour, usually called practice).

5. R.S. Chauhan
Belajar adalah membawa perubahan-perubahan dalam tingkah laku dari
organisme {learning means to bring changes in the behaviour of the organism).

6. Gregory A. Kimble
Belajar menurut Gregory A. Kimble adalah suatu perubahan yang relatif
permanen dalam potensialitas tingkah laku yang terjadi pada seseorang atau
individu sebagai suatu hasil latihan atau praktik yang diperkuat dengan diberi
hadiah (learning as a relatively permanent change in behavioral potentiality that occurs
as a result of reinforced
practice).Definisi belajar menurut Gregory A. Kimble inilah yang sekarang
paling banyak diterima oleh para ahli pendidikan.
Bertolak dari berbagai pemikiran tersebut, belajar dapat didefinisikan
sebagai suatu kegiatan atau usaha yang disadari untuk meningkatkan kualitas
kemampuan atau tingkah laku dengan menguasai sejumlah pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap, perubahan kualitas kemampuan tadi bersifat
permanen. Belajar secara formal adalah usaha menyelesaikan program
pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi dengan bimbingan guru atau
dosen. Sedangkan belajar secara autodidak adalah belajar di luar program
pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi, yakni atas usaha sendiri. Belajar
secara otodidak disebut juga selfstudy atau studi mandiri. Misalnya, dengan
membaca berbagai buku ilmu pengetahuan, mengerjakan sesuatu, jika perlu
bertanya kepada orang lain yang ahli, turut diskusi atau seminar, dan
sebagainya (Fudyartanto, 2002).
Lebih lanjut, perlu dikemukakan mengenai bahan yang dipelajari
umumnya adalah hal-hal, persoalan-persoalan atau masalah-masalah baru.
Tetapi, ada pula belajar pada bahan-bahan yang telah pernah dipelajari, yang
dalam hal ini disebut belajar mengulang. Sangatlah baik jika belajar itu dapat
menjadi kebutuhan seseorang. Dengan demikian, belajar dapat dilakukan
sewaktu-waktu, misalnya ketika sedang ada persoalan baru yang timbul, dan
dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini
merupakan pelaksanaan prinsip belajar seumur hidup. Artinya, seseorang atau
individu dituntut untuk senantiasa belajar selama mampu melakukannya
tidak terbatas ketika dirinya masih usia muda. Bertambahnya usia seseorang
tidak semestinya sebagai penghalang untuk belajar. Selama hayat masih
dikandung badan kiranya belajar tetap perlu dilakukan oleh setiap individu
agar tidak ketinggalan zaman.
Dari berbagai definisi belajar yang telah dikemukakan para ahli tersebut
dapat ditarik semacam kesimpulan bahwa pada hakikatnya belajar adalah
proses penguasaan sesuatu yang dipelajari. Penguasaan itu dapat berupa
memahami (mengerti), merasakan, dan dapat melakukan sesuatu. Di dalam
diri yang belajar terjadi kegiatan psikis atau motorik (gerakan-gerakan otot-
otot dan saraf). Sebagai hasil belajar adalah penguasaan sejumlah pengetahuan
dan sejumlah keterampilan baru dan sesuatu sikap baru ataupun memperkuat
sesuatu yang telah dikuasai sebelumnya, termasuk pemahaman dan
penguasaan nilai-nilai. Sebagai perubahan-perubahan dalam tingkah laku
manusia, sebagai hasil belajar tadi mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan, sikap, dan nilai. Dapat pula dinyatakan bahwa belajar adalah
usaha sadar dari individu untuk memahami dan menguasai pengetahuan dan
keterampilan; sikap-sikap dan nilai-nilai, guna meningkatkan kualitas tingkah
lakunya dalam rangka mengembangkan kepribadiannya.

C. Kapan Saatnya Individu Memulai Belajar?


Telah menjadi kodrat manusia yang hidup di dunia padanya timbul suatu
kebutuhan-kebutuhan. Sudah barang tentu aneka macam kebutuhan itu
menuntut untuk dapat dipenuhi sebagai sarana mencapai kebahagiaan.
Kebutuhan orang hidup banyak sekali dan sayangnya dari sekian banyak
kebutuhan hidup itu tidak semuanya mudah dipenuhi. Diperlukan perjuangan
atau kerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidup tersebut. Bahkan, terkadang
untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup orang harus berjuang sampai tetes
darah penghabisan dan
bersaing dengan orang lain. Dengan pernyataan lain, untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup orang harus memiliki kepandaian dan keterampilan tertentu
dengan cukup memadai. Kepandaian dan keterampilan dimaksud bisa
didapatkan atau dimiliki oleh individu atau seseorang dengan melakukan
belajar.
Barangkali dalam benak pembaca muncul pertanyaan, “Kapan saat yang
tepat untuk memulai belajar?” Untuk menjawab pertanyaan ini dapat
diilustrasikan dengan uraian penjelasan bahwa secara hereditas manusia
mempunyai potensialitas-potensialitas atau pola-pola sambutan tertentu yang
pasti sifatnya. Misalnya, impuls-impuls saraf, pernapasan, peredaran darah,
dan gerakan-gerakan. Contohnya, apabila seseorang atau individu sedang
berada dalam lingkungan udara yang bersih, orang tersebut akan bernapas
tanpa memerlukan usaha yang sadar. Tetapi sebaliknya, jika kebetulan
seseorang tersebut sedang berada dalam suatu ruangan tertutup dan di situ
sedang berjubel banyak orang, lama-kelamaan orang tersebut menjadi terasa
sadar akan berusaha untuk bernapas dengan lega. Saat orang tersebut berada
dalam ruangan tertutup dan berjubel banyak orang mengalami susah bernapas.
Kesulitas bernapas di ruangan tersebut mengharuskan ia berusaha
mendapatkan udara segar agar mudah bernapas. Hal itu berarti dalam keadaan
susah atau keterpaksaan yaitu sukar bernapas, maka orang akan berusaha atau
mencari cara supaya mudah bernapas. Dengan pernyataan lain, orang tersebut
akan belajar ketika refleksnya bekerja dengan adanya tuntutan untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu memenuhi keinginan untuk bisa
bernapas dengan udara segar. Atau secara umum dapat juga dikatakan suatu
organisme tidak akan belajar jika perlengkapan refleksnya sudah dapat
mencukupi kebutuhan hidupnya.
Secara umum dapat dikatakan seseorang atau individu akan memulai
belajar manakala ia tidak dapat memenuhi kebutuhan yang timbul pada
dirinya. Dicontohkan seorang anak belajar membaca. Pada mulanya seorang
anak yang masih kecil merasa senang mendengarkan ibunya membaca cerita-
cerita atau dongeng. Namun, kesenangan anak untuk secara terus-menerus
bisa mendengarkan cerita dari ibunya dengan cara membaca tersebut tidak
selalu kesampaian. Keadaan seperti itu akan menimbulkan kehendak atau
kemauan pada si anak untuk dapat membaca sendiri buku-buku cerita yang
dibaca oleh ibunya. Mula-mula si anak memegang dan dibukanya buku cerita.
Pada awalnya, anak tidak memperoleh kepuasan dari simbol-simbol yang aneh
berwarna hitam putih yang dimaksud si anak tidak lain dan tidak bukan
adalah tulisan, huruf-huruf dalam buku bacaan atau cerita tersebut. Oleh
karenanya anak lalu merasa bahwa ia tidak mempunyai sesuatu seperti
kemampuan yang dimiliki oleh ibunya, yaitu kemampuan membaca buku
cerita atau dongeng. Dengan pengalaman semacam ini, lama-kelamaan pada
anak akan tertanam motif untuk dapat membaca buku cerita. Mengapa hal itu
bisa terjadi? Hal itu dapat terjadi disebabkan pola-pola sambutan yang dimiliki
oleh anak tadi tidak memadai lagi. Anak pun mencari cara-cara baru untuk
memenuhi kebutuhannya. Dari pengalaman inilah akhirnya si anak mulai
belajar membaca. Dengan lain pernyataan, antara cara- cara si anak
mengadakan sambutan pada waktu ini dengan cara-cara mengadakan
sambutan untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki terdapat suatu
keadaan yang tidak seimbang. Untuk menghilangkan ketakseimbangan tadi
satu-satunya cara yang dapat ditempuh oleh si anak adalah dengan belajar.
Dengan begitu, terjawab sudah belajar akan dimulai manakala pada individu
atau seseorang timbul situasi-situasi
yang menghendaki semacam adaptasi tertentu, yang dapat dilakukan
berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah pernah terjadi.
Membaca contoh uraian yang diberikan di atas sesungguhnya seseorang
secara kodrati akan memberikan sambutan dalam berbagai keadaan dalam
hidupnya. Setidaknya telah di data ada empat cara seseorang memberikan
sambutan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Keempat cara
sambutan itu mungkin dihadapi secara refleksif, mungkin bersifat otomatis
menurut kebiasaan, barangkali situasi dihadapi secara rasional, dan bisa jadi
situasi-situasi tertentu yang dapat dihadapi secara emosional.
Situasi mungkin dihadapi secara refleksif. Contohnya, seorang bayi yang
baru saja dilahirkan oleh ibunya secara alami ia langsung dapat menangis atau
bernapas, tidak usah belajar menangis atau bernapas terlebih dahulu. Kejadian
yang dialami si bayi tersebut berlangsung secara refleksif.
Apabila tindakan-tindakan refleksif seseorang tidak lagi dapat memenuhi
kebutuhan, ia akan menyusun reaksi-reaksi yang bersifat otomatis atau
dilakukan menurut kebiasaan. Misalnya, ketika seorang ibu dengan seorang
anaknya yang sedang berjalan menyeberangi jalan raya, tiba-tiba melintas
kendaraan dengan kecepatan tinggi, ibu tersebut tidak dapat menuruti
perbuatan-perbuatan refleksif saja untuk menghindari tabrakan atau
kecelakaan di jalan raya. Barangkali untuk menghindari suatu tabrakan ibu
tersebut harus menarik tangan anaknya dengan cepat untuk minggir agar tidak
ditabrak atau diserempet kendaraan yang sedang melaju kencang. Perbuatan
ini adalah kegiatan menurut kebiasaan yang dipelajari kemudian dikuasai, dan
bukan suatu kegiatan yang bersifat refleksif. Dalam kehidupan sehari-hari
banyak kejadian perbuatan yang dilakukan berdasarkan
kebiasaan yang dipelajari dan kemudian dikuasai yang bukan bersifat refleksif.
Misalnya, pengemudi mobil di jalan raya yang nyaris tabrakan segera
membanting setir ke kiri untuk menghindari tabrakan oleh kendaraan yang
datang dari arah berlawanan dengan laju yang tinggi, dan lain sebagainya.
Manusia tidak menyerah begitu saja dengan keadaan yang mengharuskan
dirinya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Apabila dengan kedua cara
atau situasi seperti telah dikemukakan di atas tidak dapat memenuhi
kebutuhan dirinya, manusia harus menghadapinya dengan cara yang rasional.
Hal ini akan terjadi bila persediaan-persediaan refleksif dan kebiasaan tidak
dapat lagi memenuhi kebutuhan yang diinginkan manusia sehingga
mengharuskan manusia menempuh jalan atau cara-cara baru, yaitu berpikir.
Kadang-kadang manusia tidak lepas dari sikap emosional dalam
menghadapi situasi-situasi tertentu. Sikap ini terjadi ketika ketiga cara seperti
yang telah dikemukakan di atas tidak dapat memenuhi hasrat manusia.
Contohnya, seseorang dituntut untuk mampu mencintai seseorang yang
sebelumnya tidak dikenalnya, membenahi hal-hal tertentu seperti sikapnya
yang tidak baik untuk diubah menjadi baik, menyayangi binatang tertentu,
bersimpati terhadap sesuatu, dan lain-lain.

D. Aspek-Aspek Belajar
Sebelum membahas masalah hakikat belajar, seyogianya terlebih dahulu kita
mengetahui aspek-aspek atau manifestasi belajar. Sesungguhnya terdapat
banyak manifestasi belajar, yang berupa aspek-aspek kemampuan manusia
yang diusahakan perubahan-perubahannya
dengan melalui pengalaman-pengalaman. Berikut ini uraian contoh bentuk-
bentuk manifestasi belajar yang sekiranya dapat menunjukkan varietas yang
pokok, yaitu kebiasaan sebagai suatu tipe belajar dan perbuatan dari
kecakapan-kecakapan yang dimiliki individu. Uraian penjelasan dari masing-
masing bentuk manifestasi belajar tersebut diberikan di bawah ini.

1. Kebiasaan Individu
Mengapa kebiasaan merupakan suatu tipe belajar? Bukankah kebiasaan
merupakan suatu perbuatan yang tidak disadari manusia?
Kebiasaan adalah suatu cara bertindak yang telah dikuasai dan tahan uji
dan bersifat seragam. Selain itu, kebiasaan lebih banyak bersifat otomatis.
Seseorang yang telah berbuat sesuai dengan kebiasaannya sering kali dirinya
tidak menyadari. Kebiasaan-kebiasaan itu akan berlangsung begitu saja dengan
lancar dan dapat memberikan hasil.
Pada individu, kebiasaan sesungguhnya dapat dibentuk melalui dua cara.
Pertama, perbuatan yang mempunyai sedikit rintangan. Perbuatan ini diulang-
ulang sehingga semakin lama akan semakin tertanam satu tipe perbuatan tadi.
Apabila perbuatan-perbuatan itu secara terus-menerus diulang-ulang, suatu
saat akan menjadi perbuatan yang biasa dilakukan. Contohnya, seseorang
ketika hendak memakai baju selalu dimulai dengan memasukkan lengan
tangan kanan terlebih dahulu baru kemudian lengan tangan kirinya.
Perbuatan ini terus diulang-ulang sehingga menjadi suatu kebiasaan bagi orang
tersebut. Apabila orang tersebut mencoba mengenakan baju dengan cara
berlawanan dengan cara yang sudah biasa dilakukan, yaitu dengan
memasukkan lengan tangan kiri terlebih dahulu, ia akan mengalami
kecanggungan. Hal itu disebabkan orang tersebut tidak biasa memulai
mengenakan baju dengan terlebih dahulu memasukkan lengan tangan kirinya.
Dengan kata lain, orang tersebut menjadi canggung karena perbuatannya
bertentangan dengan dengan cara yang sudah biasa dilakukan dan terjadinya
secara otomatis dan tidak disadari oleh orang tersebut.
Kedua, kebiasaan dapat pula dibentuk dengan cara tertentu untuk
melakukan suatu perbuatan. Dalam hal ini, ada unsur kesengajaan supaya
dapat terbentuk semacam pola sambutan secara otomatis. Cara kedua ini
biasanya dilakukan dengan maksud untuk membentuk suatu kebiasaan yang
baru guna menggantikan cara-cara atau kebiasaan yang lama. Contohnya, jika
seorang anak hendak memperbaiki cara membaca buku. Semula anak tersebut
biasa membaca buku sambil rebahan. Anak itu harus memulai membaca buku
dengan duduk yang benar. Pun halnya ketika seorang anak hendak
memperbaiki kebiasaan menulis yang salah, ia harus memulai dengan sikap
menulis sambil duduk dan memegang pena dengan benar.
Kebiasaan-kebiasaan pada seseorang umumnya terbentuk sejak usia muda
(kanak-kanak) dan lama-kelamaan menjadi suatu hal yang sering dilakukan.
Repotnya jika kebiasaan-kebiasaan buruk terjadi pada anak-anak. Hal yang
kerap terjadi pada anak-anak yang seharusnya bisa kita cegah sedini mungkin,
misalnya kebiasaan-kebiasaan anak ketika makan yang salah, cara duduk,
mandi, gosok gigi, dan lain-lain. Kebiasaan-kebiasaan salah tersebut dapat
terjadi karena orangtua membiarkan hal itu dilakukan oleh anak begitu saja.

2. Kecakapan Individu
Kecakapan adalah tiap-tiap perbuatan yang menghendaki keahlian.
Kecakapan disebut juga keterampilan. Kecakapan biasanya menunjuk
pada perbuatan-perbuatan yang dikendalikan oleh neuromaskuler (gerakan
otot saraf). Kebiasaan tidak sama dengan kecakapan. Kebiasaan individu timbul
secara otomatis dan pada umumnya terjadinya secara tidak disadari. Sedangkan
kecakapan, memerlukan kesadaran yang tinggi serta minat dan diskriminasi
yang jelas. Apabila kebiasaan-kebiasaan pada individu dilakukan secara
seragam, maka kecakapan umumnya dilakukan tidak seragam atau terdapat
semacam perubahan-perubahan setiap saat. Pada kecakapan perlu dilakukan
ulangan-ulangan dan latihan-latihan yang terus-menerus untuk
mempertahankan kualitasnya. Hal itu berbeda dengan kebiasaan yang tidak
harus dilakukan ulangan-ulangan atau latihan-latihan tertentu untuk
mempertahankan suatu kebiasaan agar dapat terus dilakukan pada individu
yang bersangkutan.
Perkembangan kecakapan pada individu dimulai semenjak bayi.
Perkembangan kecakapan ini merupakan perkembangan suatu gerak
keseluruhan (gerak total) yang tidak berdiferensiasi, yang dilakukan oleh
seorang bayi yang baru lahir. Apabila kita cermati secara saksama gerakan-
gerakan pada bayi memperlihatkan adanya pola-pola perbuatan yang bergerak
bersama-sama. Gerakan-gerakan itu masih relatif sama alias tidak banyak kita
jumpai gerakan-gerakan si bayi dengan beraneka ragam. Gerakan-gerakan
pada individu menjadi semakin banyak ragamnya dengan bertambahnya usia
sang bayi. Mula-mula bayi dapat menggerakkan kaki-kakinya, kemudian
lengan, selanjutnya pergelangan tangan, jari-jari tangan, dan seterusnya. Pada
akhirnya, ketika bayi menginjak masa remaja dan dewasa, ia telah sanggup
untuk melakukan gerakan-gerakan baik yang halus hingga kasar. Pada
individu juga telah berhasil menguasai suatu kecakapan, misalnya kecakapan
dalam berolahraga seperti bermain sepak bola,
bermain gitar, menari, menyanyi, menukang, dan lain-lain. Demikian itulah
pada individu terjadi perkembangan kecakapan-kecakapan tertentu tergantung
masing-masing individu.
Para ahli psikologi perkembangan berpendapat bahwa perkembangan
kecakapan pada individu digolongkan menjadi beberapa tipe, yaitu kecakapan-
kecakapan tipe sensori motor, kecakapan mengamati, membentuk asosiasi dan
ingatan verbal, belajar secara rasional, belajar rasional merupakan aspek atau
manifestasi dari perbuatan belajar pada umumnya, sikap terhadap nilai-nilai,
dan inhibisi atau pengekangan. Penjelasan masing-masing tipe kecakapan pada
individu dikemukakan dalam uraian di bawah ini.
Kecakapan tipe sensori motor, tampak dalam perbatasan-perbatasan yang
berkoordinasi dengan adanya perbuatan belajar. Apabila gerakan-gerakan
disesuaikan dengan suatu situasi perangsang tertentu, hasilnya adalah
koordinasi sensori motor atau koordinasi pengamatan. Contoh perbuatan-
perbuatan yang berkoordinasi adalah seorang individu bermain sepatu roda,
menulis, menendang bola ke arah gawang, dan lain-lain. Setiap contoh
gerakan tersebut memperlihatkan adanya kesadaran tentang situasi
perangsang yang dialami dengan perantaraan pengamatan-pengamatan
perabaan, penglihatan, dan kinestesi. Semua gejala tersebut digunakan untuk
patokan bagi gerak-gerik yang akan dilakukan guna memperoleh perbuatan
yang berintegrasi dan teliti. Jelasnya perlu dikemukakan dalam gerak menulis
harus terintegrasikan berbagai gerak dengan penglihatan pada huruf-huruf
yarng ditulis, posisi huruf pada baris, sentuhan pena dan tangan pada kertas,
rasa keseimbangan dan rasa gerakan tangan. Sering kali kecakapan-kecakapan
motoris tertentu menghendaki adanya tilikan (insight) yang amat diperlukan
sebelum seseorang melakukan
suatu gerakan. Contoh yang lainnya pada saat individu berenang, naik sepeda,
melompat, berlari, dan lain-lain diperlukan kecakapan- kecakapan tertentu
sebelum melakukannya.
Kecakapan mengamati, sebaiknya dilakukan semenjak anak masih berusia
dini. Pengamatan dilakukan secara terprogram dan sistematis, misalnya
dengan dibuat atau disusun program pengamatan. Program pengamatan
dimulai dengan pembedaan satu objek dengan objek yang lainnya.
Pengamatan dilakukan ketika anak mulai memerhatikan benda-benda sebagai
hasil kontak dengan lingkungan sekitarnya. Setiap objek yang diamati muncul
dari latar belakang umum sebagai bentuk-bentuk tertentu. Sebagai contohnya,
ketika anak di sekolah pengamatan yang paling sederhana dapat dimulai pada
waktu anak mulai belajar membaca. Di sini anak-anak harus menyusun
pangamatan terhadap kata-kata dan membedakan dari kata-kata yang sama
bentuknya, misalnya kata sapu dengan saku, umi dengan ubi, tina dan tiba, dan
sebagainya. Pada pelajaran matematika, anak-anak mulai belajar mengamati
bermacam-macam lambang, misalnya penambahan dinyatakan dengan simbol
(+), pengurangan (-); bagi (:), perkalian (X), sama dengan (=), dan sebagainya.
Pengamatan ruang memiliki tiga dimensi, yaitu panjang, lebar, dan dalam.
Kemampuan orang untuk memperkirakan ketiga dimensi tersebut tergantung
dari pengalaman dengan soal-soal panjang, lebar, dan dalam. Pada waktu
memperkirakan dimensi panjang, lebar, dan dalam sering anak mengalami
kesalahan karena anak belum banyak mempunyai pengalaman mengenai
dimensi-dimensi tersebut. Kesalahan-kesalahan pengamatan disebut ilusi.
Ketika mahasiswa diminta memecahkan soal-soal mekanis yang merupakan
suatu bentuk dari bilangan rasional, maka dikehendaki pengamatan yang jelas
mengenai hubungan-hubungan yang penting
dari mekanisme itu. Misalnya, mahasiswa diharuskan berpikir induktif dengan
melakukarn pengamatan mengenai hubungan-hubungan antara berbagai fakta
atau peristiwa. Terlebih dahulu perlu dilihat sesuatu yang umum pada fakta-
fakta atau peristiwa-peristiwa sehingga dapat ditarik kesimpulan. Tilikan
mungkin merupakan pengamatan yang cepat mengenai hubungan-hubungan
penting antara berbagai hubungan dalam situasi.
Membentuk asosiasi dan ingatan verbal. Apabila objek-objek yang harus
diingat tidak ada hubungan logis, asosiasi dapat bersifat buatan. Asosiasi dapat
pula terbentuk karena memang mempunyai hubungan logis, yaitu hubungan
sebab akibat. Contohnya, hubungan antara haus dan minuman, lapar dan
makanan, luka dan pembalut, malaria dan nyamuk, dam lain-lain.
Kemampuan mengingat merupakan asosiasi yang berhubungan dengan belajar
buatan dan belajar logis. Kemampuan akan dapat lebih bertahan lama untuk
hal-hal yang bermakna atau memiliki arti. Meskipun begitu, individu juga
dapat mengingat sesuatu walaupun tidak bermakna sekalipun.
Belajar secam rasional sebagai aspek atau manifestasi dari perbuatan belajar
pada umumnya. Langkah konkretnya berwujud kegiatan atau bekerja dengan
p rinsip-prinsip dan pengertian-pengertian dasar yang membutuhkan
abstraksi tingkat tinggi. Langkah ini diperlukan untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan bagaimana dan mengapa dari sesuatu persoalan. Misalnya di dalam
pelajaran-pelajaran ilmu pasti, sejarah, fisika, dan lain-lain. Untuk dapat
menjawab atau memecahkan segala persoalan yang timbul, para siswa dididik
untuk mempertimbangkan hubungan-hubungan sebab akibat, menguraikan
masalah-masalah dan situasi-situasi, mencari implikasi-implikasi dan menarik
kesimpulan. Hasil konkret dari langkah para siswa usai melakukan tindakan
ini
berupa tilikan dalam, sikap rasional, pengertian-pengertian intelektual dan
pengetahuan fungsional yang langsung dimiliki para siswa.
Sikap terhadap nilai-nilai merupakan suatu kemampuan untuk mengenal
nilai-nilai dalam suatu situasi atau lapangan budaya. Hal ini merupakan hasil
belajar tingkat tinggi. Sikap terhadap suatu nilai merupakan cara berpikir
terhadap seseorang atau cara menghargai seseorang, suatu masalah, atau
lembaga. Aspek belajar sikap dan nilai selalu berhubungan dengan aspek-aspek
belajar lainnya. Misalnya, para siswa berubah sikapnya menjadi patriotik
setelah belajar sejarah perjuangan suatu bangsa.
Inhibisi atau pengekangan merupakan usaha untuk menjauhkan diri dari
sesuatu perbuatan tercela. Apabila perbuatan inhibisi selalu dipandang sebagai
perbuatan negatif, itu tidak benar. Sebab, hal itu berarti telah terjadi
pengekangan terhadap dirinya sendiri. Kiranya perlakuan ini dipandang
sebagai tindakan buta tanpa mengetahui atau memahami pertimbangan-
pertimbangan sisi manfaatnya yang lebih baik.

E. Hakikat Belajar
Pengertian yang mendalam tentang hakikat belajar dapat diperoleh dengan
mempelajari cara-cara atau bentuk-bentuk ataupun tipe-tipe manifestasi
belajar.
Dalam pengertian konvensional, apabila berlangsung suatu proses belajar
maka bersama proses belajar itu pula dapat dipastikan akan selalu terjadi proses
mengajar. Sebab, bila ada yang belajar tentulah ada yang mengajar, dan
sebaliknya bila ada yang mengajar tentu ada pula yang belajar. Proses belajar
mengajar dapat terjadi setiap saat dalam
kehidupan manusia, disadari atau tidak. Sedangkan dalam pengertian modern,
seseorang yang sedang belajar tidak selalu didampingi oleh pengajar.
Contohnya, seorang siswa belajar merakit komputer atau barang-barang
elektronik mengikuti petunjuk yang ditulis oleh buku bacaan yang mengulas
hal itu. Seorang siswa belajar memasak dengan mengikuti petunjuk yang
ditulis dalam buku tentang masak-memasak, dan lain sebagainya. Tetapi, yang
penting adalah esensinya tidak perlu dipertentangkan. Suatu hal yang sudah
pasti bahwa dari proses belajar mengajar akan diperoleh suatu hasil, seberapa
pun kecilnya hasil itu. Hasil tersebut umumnya disebut hasil pengajaran atau
hasil belajar.
Untuk memperoleh hasil yang sebaik-baiknya, maka proses belajar
mengajar harus dilakukan dengan sadar, dengan disengaja, dan terorganisasi
secara baik. Khususnya pada pendidikan formal untuk mencapai tujuan
tersebut telah dikembangkan metode-metode yang baik dalam proses belajar
mengajar. Juga dipelajari dan diterapkannya ilmu-ilmu yang lain sepanjang
dapat membantu kelancaran dan suksesnya proses belajar mengajar. Kinerja
para ahli tersebut telah mengembangkan psikologi pendidikan, metode
mengajar, menyusun pengelolaan pengajaran, pengelolaan evaluasi,
pengelolaan bimbingan dan konseling, pengelolaan administrasi pendidikan
yang baik dan tertib, dan lain-lain.
Setelah proses belajar berlangsung akan terjadi suatu perubahan yang
relatif tetap dalam penguasaan tingkah laku yang terjadi sebagai hasil
pengalaman. Dengan demikian, ada proses belajar bila seseorang menunjukkan
tingkah laku yang tidak sama dengan sebelum terjadi proses belajar. Tingkah
laku sesudah terjadi proses belajar secara kualitatif lebih baik daripada
sebelumnya. Misalnya, bila seseorang dapat membuktikan pengetahuan
tentang fakta-fakta baru, atau ia
dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dapat dilakukan. Contoh
konkret, anak yang belum belajar menulis belum dapat menulis. Namun,
setelah anak tersebut belajar menulis selama kurun waktu tertentu, ia dapat
menulis dan membaca segala apa yang diinginkan. Tulisan anak tersebut
terlihat baik, rapi, dan dapat dibaca. Dengan pernyataan lain, setelah anak
belajar menulis dan membaca dalam kurun waktu tertentu ia telah
menunjukkan hasil sesuai dengan yang diinginkan, yaitu dapat membaca dan
menulis dengan baik. Kualitas dapat menulis dan membaca pada anak tersebut
merupakan perubahan tingkah laku yang dapat dipandang sebagai hasil dari
belajar membaca dan menulis dari anak tersebut. Kualitas tingkah laku dapat
menulis dan membaca dari anak tersebut akan bertahan lama atau bahkan
permanen. Dengan demikian, proses belajar menempatkan seseorang dari
status kemampuan yang satu kepada status kemampuan yang lain. Dengan
pernyataan lain, proses belajar menciptakan adanya kualitas status kemampuan
pada seseorang yang telah melakukan belajar.
Perubahan status abilitas belajar menurut Bloom meliputi tiga domain,
yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Masing-masing domain tersebut
masih dapat dibagi lagi menjadi beberapa jangkauan kemampuan: domain
kognitif, meliputi pengetahuan, komprehensi, aplikasi, sintesa, analisis, dan
evaluasi; domain afektif, meliputi penerimaan, responsi, menilai, organisasi,
dan karakterisasi; domain psikomotor, meliputi tingkat permulaan, tingkat
prarutin, dan tingkatan rutin.
Bloom menjelaskan bahwa jangkauan-jangkauan tersebut diasumsikan
bersifat hierarkis dan komulatif. Jangkauan yang ditulis pertama (di atas) akan
lebih rendah tingkatnya dari yang di bawahnya.
Jangkauan pengetahuan akan lebih rendah daripada jangkauan komprehensi.
Jangkauan komprehensi lebih rendah daripada jangkauan aplikasi, dan
seterusnya. Sementara itu, pengetahuan akan berakumulasi dengan
komprehensi, aplikasi, dan seterusnya.
Sesuai dengan tujuan belajar, jangkauan kemampuan tidak selalu harus
mencapai yang tertinggi, mungkin hanya sampai yang pertama, kedua, ketiga,
dan seterusnya atau bahkan mungkin hanya mencapai satu domain, dua
domain, kombinasi domain-domain, dan sebagainya. Namun demikian, cita-
cita pendidikan ingin mencapai kebulatan jangkauan kemampuan. Agar proses
belajar dapat berlangsung secara optimal, perlu dikembangkan teori-teori
belajar, dasar-dasar psikologi untuk proses belajar, dan faktor-faktor yang
memengaruhi proses belajar yang secara lebih lengkapnya hendak diuraikan
pada bab-bab selanjutnya.
Bab X
TEORI-TEORI BELAJAR

A. Pendahuluan
Dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah, penyampaian materi
pelajaran kepada peserta didik tidak bisa terlepas dengan menyertakan
teori-teori. Misalnya, dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan
Matematika. Hal itu dirasa sangat penting untuk memberikan fondasi
pemahaman kepada peserta didik dalam mempelajari materi-materi
pelajaran selanjutnya yang lebih mendalam atau lebih kompleks.
Pertanyaannya, apa sebenarnya yang dinamakan teori? Bagaimana
menjelaskan teori belajar dalam bidang psikologi pendidikan?
Pengertian belajar telah dikemukakan pada bab sebelumnya. Pada
bab ini, selain seluk-beluk teori belajar juga hendak dibahas berbagai
macam teori belajar yang telah dikenal dalam dunia pendidikan.

B. Apakah Teori Itu?


Teori adalah pernyataan adanya hubungan sebab akibat dua variabel
atau lebih atas terjadinya suatu peristiwa baru. Contohnya, apabila
air dalam panci dipanaskan secara terus-menerus, lama-kelamaan air
tersebut akan habis berubah menjadi uap air; jika uap air di udara
mengalami penurunan suhu, uap air tersebut akan berubah menjadi
embun, dan lain sebagainya.
Dalam kajian ilmu pengetahuan yang disebut teori mempunyai dua
macam aspek, yaitu aspek formal dan aspek empiris. Aspek formal
berkaitan dengan bentuk kata-kata atau simbol-simbolnya. Sebuah teori
memiliki rumusan yang sudah pasti. Secara formal, sebuah teori
dirumuskan dengan sintaksis atau simbol-simbol tertentu. Sedangkan
aspek empiris, terdiri dari peristiwa-peristiwa fisik sehingga
menerangkan sesuatu hal. Contoh rumusan teori dalam bentuk sintaksis
di atas adalah perubahan bentuk-bentuk air dalam berbagai suhu. Dalam
bentuk simbol-simbol dimisalkan S-R, artinya apabila terdapat stimulus
(S) maka akan ada respons (R), dan lain-lain.
Dalam kancah ilmu pengetahuan umumnya terdapat hubungan-
hubungan antara teori dan praktik, teori dan hipotesis, riset dan teori,
serta fungsi hukum dalam teori. Seberapa dekat atau seberapa jauhnya
hubungan masing-masing, berikut ini ulasannya.
Hubungan antara teori dan praktik terbukti sangat kompleks. Misalnya
dalam kalimat pernyataan, “Semua belajar tegantung pada reduksi
dorongan”. Kalimat tersebut terasa formal tetapi tidak dapat
menerangkan permasalahan yang sedang dihadapi secara akurat. Dalam
persoalan itu, reduksi semacam apa atau seberapa kadarnya yang akan
menentukan kualitas belajar perlu pembuktian secara nyata. Memang,
sejatinya suatu teori kebenarannya perlu diuji secara empiris. Faktanya,
pengujian teori itu sendiri tidak selalu mudah dan umumnya dilakukan
dengan penelitian yang cermat. Betapa pun abstraknya suatu teori, ia
harus bisa dibuktikan dengan praktik. Dengan kata lain, ada hubungan
yang erat antara teori dan praktik.
Hubungan teori dengan hipotesis diungkap dengan membahas
keduanya bagian dari ilmu. Teori adalah suatu pernyataan adanya dua
variabel atau lebih. Misalnya, teori tentang terjadinya banjir atau tanah
longsor. Jika terjadi hujan lebat dan banyak hutan gundul, kemungkinan
besar terjadi banjir atau tanah longsor. Hukum ekonomi, jika barang
kebutuhan di pasaran sedikit jumlahnya dan barang tersebut banyak
dibutuhkan orang, harga barang-barang tersebut mahal, Dalam contoh
tersebut terdapat dua variabel atau lebih memiliki hubungan sebab
akibat. Variabel hujan akan menyebabkan banjir, variabel barang akan
menyebabkan harga mahal, dan sebagainya.
Hubungan antara riset dan teori terlihat dari riset-riset yang
dihasilkan oleh para ahli menghasilkan suatu teori. Contohnya, uji
pemberian infus buah adas (Foeniculum vulgare Mill)pada mencit dengan
dosis 0,3 mg; 3 mg, dan 30 mg/10 g bb; maka dapat menyebabkan
perpanjangan waktu tidur mencit. Uji atau riset tersebut dilakukan
secara berulang dan bervariasi sehingga dapat disimpulkan atau dibuat
teori: “Semakin besar konsentrasi ekstrak buah adas diberikan kepada
mencit, maka tidur mencit semakin lama”. Artinya, semakin banyak
ekstrak buah adas diberikan kepada mencit, maka akan memberikan
hasil atau respons yang semakin cepat pada mencit untuk tidur.
Dari uraian tersebut tampak bahwa teori dapat lahir oleh adanya
riset. Atau sebaliknya, riset dilakukan untuk membuktikan teori.
Sementara itu, teori itu sendiri dapat menjadi hukum atau dalil yang
dapat dipakai sebagai pedoman. Oleh karena itu, berdasarkan uraian ini
fungsi hukum dalam ilmu adalah menyintesiskan banyak
hal yang diobservasi atau diamati, menjadi cara riset lebih jauh yang
biasa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan atau sering disebut fungsi
heuristik. Apabila peneliti berhasil menyusun konsep teori yang dapat
dibuktikan dengan empiris dan dapat menghasilkan hukum-hukum atau
tesis-tesis, hal itu dikatakan telah mereduksi heuristik dan dapat
mengaktualisasikan diri.
Teori dapat pula dipandang sebagai alat riset yang keberadaannya
bisa benar atau bisa pula salah. Keduanya dapat berguna atau tidak
berguna. Semuanya dapat dibuktikan dalam riset. Apabila suatu teori
menjelaskan observasi yang dilakukan dan penelitian yang dilakukan
dapat dibuktikan keabsahannya, teori itu dikatakan baik. Kebalikannya
dengan hal itu, jika hasil pembuktian dinyatakan telah gagal, maka
dikatakan teori itu jelek atau buruk.
Pada penggunaan teori seyogianya dipilih yang sederhana kalau
terdapat dua teori yang satu kompleks dan yang lain lebih sederhana.
Langkah penentuan pilihan teori ini disebut prinsip parsimoni.
Menurut RBS. Fudyartanto (2002), teori dikatakan bersifat ilmiah
jika memiliki ciri-ciri yaitu:
Suatu teori harus menyintesiskan sejumlah observasi.
Teori dikatakan baik kalau bersifat heuristik dan mengarahkan pada
dorongan kepada penelitian baru.
Teori harus menjelaskan hipotesis yang dapat diuji secara empiris.
Jika hipotesis tadi terbukti, teori tadi menjadi diperkuat. Begitu hal
yang sebaliknya, jika tidak terbukti teori menjadi lemah. Teori yang
lemah harus diperbaiki atau dibuang saja untuk diganti dengan teori
yang baru.
Suatu teori dipakai sebagai alat dan dapat benar atau salah, dapat
berguna atau tidak berguna.
Teori dipilih dengan prinsip parsimoni, yakni dipilih teori yang
lebih sederhana.
Teori itu penuh abstraksi, baik dari rumusan kata-kata maupun
simbol-simbol sebagai penyusunan teori secara final.
Teori mempunyai aspek formal, yaitu harus dihubungkan dengan
realitas yang menjurus kepada aspek empiris teori.
Semua teori ingin menjelaskan peristiwa alam dan sosial. Oleh
karenanya, teori berawal dan berakhir pada observasi empiris.

C. Teori-Teori Belajar
Berikut ini dikemukakan berbagai macam teori belajar yang sudah
dikenal dalam kalangan pendidikan. Berbagai macam teori belajar
tersebut adalah teori belajar filosofis, teori belajar S-R tanpa perkuatan
dari Pavlov atau dikenal juga dengan sebutan teori belajar pengondisian
klasik, teori belajar behavioristik, teori belajar koneksionisme, teori
belajar dari Hull, teori belajar operan, teori belajar kognitif, belajar
menurut teori medan. Untuk memberi gambaran kelebihan dan
kekurangan masing-masing teori belajar disajikan pula perbandingan
beberapa teori belajar. Uraian penjelasan dari masing-masing teori
belajar dimaksud berturut-turut disajikan berikut ini.

1. Teori Belajar Filosofis


Teori ini dikemukakan oleh para ahli filsafat. Teori belajar filosofis
dikenal juga dengan sebutan teori daya. Disebut demikian karena para
filsuf waktu itu percaya bahwa proses belajar dipikirkan secara
spekulatif dengan dasar perenungan-perenungan. Mereka beranggapan
bahwa jiwa manusia memiliki daya-daya seperti daya pengamatan, daya
perasaan, daya pikiran, daya ingatan, dan lain-lain. Pengertian daya itu
sendiri adalah suatu kekuatan yang selanjutnya lebih populer disebut
kemampuan atau kesanggupan. Tiap-tiap daya jiwa menurut ahli filsuf
waktu itu digambarkan sebagai petak-petak atau sel terpisah-pisah.
Aristoteles mengajukan ada lima daya jiwa, yaitu daya vegetatif,
daya kemauan, daya sensoris, daya gerak (lokomosi), dan daya rasional.
Daya vegetatif adalah kapasitas organisme untuk berkembang atau
tumbuh dan mempertahankan diri. Daya kemauan adalah suatu daya
keinginan pemuasan dan pemenuhan terhadap benda-benda. Daya
sensoris merupakan daya untuk mengindra, termasuk di dalamnya daya
estetis. Daya gerak (lokomosi) merupakan kemampuan untuk bergerak
dan berpindah tempat. Sedangkan daya rasional, merupakan suatu
kemampuan individu dalam hal penalarannya. Daya rasional ini terdiri
dari dua macam, yaitu intelek aktif dan intelek pasif.
Dalam perkembangan selanjutnya keberadaan ketiga daya, yaitu
daya mengetahui (kognisi), daya perasaan (emosi), dan daya kemauan
(konasi), banyak mendapatkan dukungan dari para ahli yang lain.
Bahkan, ada ahli mencoba melokalisasi daya-daya jiwa yang
dikemukakan oleh Aristoteles tersebut menjadi bagian-bagian tertentu
dalam saraf otak.
Tidak semua ahli psikologi waktu itu setuju dengan pendapat
Aristoteles tersebut. Mereka keberatan dan mempertanyakan seberapa
banyak jumlah daya jiwa yang dimiliki individu. Menjawab pertanyaan
ahli lain tersebut jawaban Aristoteles dan pengikut-pengikutnya, yaitu
daya jiwa merupakan aspek atau suatu kesatuan jiwa individu yang
bersangkutan sebagai suatu kekuatan. Bertolak dari argumentasi ini pula
Aristoteles berpendapat bahwa belajar tidak lain adalah melatih
kekuatan tadi, terutama daya rasional atau daya mengetahui (kognisi).
Daya rasional tidak muncul dengan sendirinya. Daya rasional
muncul dengan berpangkal pada pengalaman sebagai permulaan yang
berfungsi sebagai daya tadi. Hal ini senada dengan ungkapan yang
mengatakan bahwa “tiada sesuatu pun di dalam intelek jika tidak ada
dalam perjalanan sensoris terlebih dahulu (nihil in intellectu quod, non
prius in sensu)”.Dari data sensoris tersebut selanjutnya akan terbentuk
proses intelek yang bersifat abstrak seperti berpikir abstrak.
Prinsip nihil in intellectu quod non prius in sensu tersebut mulai
diterima oleh pendidik modern bernama Johan Amos Comenicus (1592-
1670). Ahli ini menyatakan pendapatnya berkaitan dengan prinsip yang
telah disetujuinya itu bahwa untuk mengembangkan daya penalaran
lebih dahulu harus dilatih daya kemauan, melatih daya penalaran
sebelum melatih daya imajinasi (fantasi), dan melatih daya imajinasi
sebelum daya sensoris. Cara-cara melatih daya jiwa dengan penuh
kedisiplinan dan disertai dengan latihan-latihan yang ketat adalah suatu
proses belajar dengan sistem drill,yaitu berupa the doctrine of formal
disciplin. Belajar dengan pendekatan sistem disiplin formal sempat
dipopulerkan oleh tokoh terkenal bernama John Locke (1632-1704)
seorang ahli berkebangsaan Inggris.
Teori daya sejauh ini diakui mempunyai kelebihan-kelebihan, di
samping juga kekurangan-kekurangan. Di antara kelebihan teori daya
adalah adanya usaha mencari unsur yang paling pokok pada jiwa
manusia yang disebut daya jiwa. Tiap-tiap daya jiwa mempunyai
kekuatan khusus. Sedangkan di antara kekurangan teori daya adalah
teori ini menganggap tiap-tiap daya jiwa terpisah satu sama yang
lainnya dan transfer kemampuan daya jiwa tidak terjadi secara otomatis
kepada semua daya, tetapi hanya daya jiwa yang sejenis saja yang dapat
menunjukkan adanya transfer belajar. Contohnya, kepandaian
seorang siswa dalam bidang hitung-menghitung (matematika) akan mempunyai
transfer kepandaian pada bidang-bidang yang lain yaitu fisika, kimia, statistik,
dan lain-lain.
Peranan teori daya dalam bidang pendidikan dewasa ini dipakai sebagai
dasar pembelajaran dengan sistem drill,misalnya ketika mempelajari bahasa asing.

2. Teori Belajar S-R Tanpa Perkuatan dari Pavlov


Teori belajar ini sering disebut juga teori pengondisian klasik. Teori ini lahir
dari percobaan atau eksperimen refleks saliva(air liur) anjing yang dilakukan oleh
Ivan Pavlov (1849-1936) ahli fisiologi berasal dari Rusia.
Tentang seluk-beluk eksperimen yang dilakukan oleh Pavlov untuk
mengungkap sejauh mana proses belajar yang terjadi baik pada hewan maupun
manusia melalui proses hubungan antara stimulus (S) dan respons (R), akan
diuraikan berturut-turut di bawah ini.

a. Eksperimen Reflek Saliva oleh Pavlov


Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret mengenai percobaan yang
dilakukan oleh Pavlov, berikut ini dikemukakan langkah-langkahnya secara rinci
dan sistematis. Dalam penyelidikannya Pavlov menggunakan anjing dengan
menyelidiki reflek saliva(air liur) anjing percobaan. Langkah-langkah percobaan
yang dilakukan oleh Pavlov mula-mula di hadapan seekor anjing ditunjukkan
makanan kegemaran anjing. Hewan itu segera menunjukkan respons dengan
ditandai keluarnya air liur secara reflek. Dalam percobaan Pavlov ini makanan
difungsikan sebagai stimulus (S) sedangkan reflek keluarnya air liur sebagai tanda
terjadinya respons (R) dari anjing. Pada eksperimen
ini timbulnya reflek keluarnya air liur disebut reflek sekresi psikis dan sekresi
fisiologis. Percobaan Pavlov menggunakan anjing tersebut pada prinsipnya dapat
dikemukakan dalam bentuk bagan dan keterangan sederhana sebagai berikut.
1) . Kondisi I
Stimulus wajar (Unconditioned Stimulus disingkat UCS) adalah stimulus yang
tidak dikondisikan akan menimbulkan respons secara wajar. Demikian
halnya dengan respons yang tidak dikondisikan secara wajar ( Unconditioned
Responseatau disingkat UCR). Skema hubungan keduanya adalah:

2) . Kondisi II
Stimulus dikondisikan (ConditionedStimulus) dengan membunyikan bel dan
dibarengi dengan pemberian makanan (UCS) di hadapan anjing sebagai
stimulus. Pengondisian seperti ini telah menyebabkan keluarnya air liur
{saliva)pada anjing percobaan. Bagan untuk percobaan ini adalah:

3) . Kondisi III
Percobaan cara kedua tersebut dilakukan berulang-ulang sehingga pada
suatu ketika dikondisikan hanya dengan membunyikan bel dan tanpa UCS
sudah dapat menyebabkan air liur {saliva)anjing keluar. Bagan untuk
percobaan ini adalah:
Dari ketiga bagan sederhana yang telah dibuat tersebut, Pavlov selanjutnya
membuat analisis ilmiah mengenai percobaan yang telah dilakukannya sebagai
berikut.
Pada pengondisian I, stimulus (S atau UCS) diberikan secara wajar kepada
anjing sudah dapat menimbulkan respons (R), yaitu keluarnya air liur (saliva).
Hal ini merupakan perilaku secara wajar atau biasa (normal) sehingga dapat
disimpulkan bukan sebagai hasil belajar.
Pada pengondisian II, stimulus berupa bunyi bel (CS) dibarengi dengan
pemberian UCS adalah makanan (daging) dan menimbulkan respons (R). Pavlov
membuat analisis pengondisian kedua ini sebagai persiapan belajar pada anjing.
Dalam waktu yang hampir bersamaan anjing menghadapi dua macam stimulus,
yaitu bunyi bel (CS) dan makanan (daging). Percobaan ini oleh Pavlov dilakukan
dengan berulang-ulang pada anjing yang sama.
Pada pengondisian III, di hadapan anjing hanya diberikan stimulus berupa
bunyi bel (CS) tetapi telah dapat menimbulkan respons. Di sini diartikan oleh
Pavlov pada anjing telah terjadi proses belajar. Anjing telah mengerti bahwa
bunyi bel sebagai pertanda hadirnya makanan sehingga keluarlah air liur (saliva).
Hingga sampai pada tahap akhir ini pada anjing telah terjadi perubahan tingkah
lakunya dari yang semula tidak mengerti makna atau maksud adanya bunyi bel
menjadi mengerti bahwa bunyi bel tersebut sebagai tanda telah hadirnya
makanan untuk dirinya. Pavlov menyimpulkan bahwa stimulus bunyi bel sebagai
stimulus netral setelah dibarengi dengan stimulus alami berupa makanan (daging)
akan memperoleh sifat-sifat seperti stimulus makanan (daging), yakni dapat
merangsang keluarnya air liur (saliva) pada anjing percobaan.
Kejadian reflek sekresi psikis dan sekresi fisiologi pada anjing percobaan
Pavlov tersebut selanjutnya dipakai sebagai dasar Pavlov untuk menyusun
teori belajar dengan kondisi (syarat) atau disebut conditioning.Teori Pavlov itu
merupakan yang pertama kali mengemuka di depan umum sehingga sering
disebut teori reflek bersyarat (classical conditioning).
Teori pengondisian klasik (clasicalconditioningsering pula disebut teori
belajar substitusi atau teori belajar sinyal (kode). Pada teori ini stimulus alami
diganti dengan stimulus netral. Disebut Teori Belajar Sinyal (Kode) karena
hewan percobaan (anjing) menjadi mengerti kepada sinyal (kode) bunyi bel
sebagai tanda hadirnya makanan.
Selanjutnya, Pavlov juga melakukan percobaan-percobaan yang lebih
sulit dengan menggunakan cahaya atau dengan menambah stimulus netral.
Pavlov menyusun bagan percobaannya kali ini sebagai berikut.

Respons anjing tersebut semula ditimbulkan oleh adanya stimulus alami


kemudian diasosiasikan dengan stimulus kondisional (CS). Selanjutnya,
diamati hubungan antara CS dan CR. Dari hasil analisis percobaan ini
kemudian berkembang menjadi teori hubungan antara stimulus (S) dan
respons (R) yang disebut Teori Belajar Koneksionisme disingkat S-R. Pada
percobaan Pavlov tersebut anjing mengalami belajar mengasosiasikan antara
bunyi bel atau sinar lampu ataupun kode-kode yang lainnya dengan hadirnya
makanan sehingga air liur
(saliva) keluar. Hasil eksperimen ini kemudian dijadikan dasar untuk menyusun
Teori Belajar Asosiasi.

b. Hal Penting Berkaitan dengan Percobaan Pavlov


Beberapa hal penting yang berhasil direkam Pavlov dan peneliti-peneliti
lain berkaitan dengan terjadinya sekresi air liur pada anjing percobaan
dikemukakan berikut ini, yaitu:
1) Pada saat keadaan diam atau laten
Latencyadalah jarak waktu antara datangnya stimulus (S) dan timbulnya
respons (R). Pada percobaan Pavlov terdapat korelasi positif antara intensitas
stimulus (S) dan respons (R). Apabila stimulus (S) memiliki intensitas kuat,
respons (R) juga besar. Kebalikannya, jika stimulus (S) kecil, respons (R) juga
kecil (tidak jelas).
Antara intensitas stimulus (S) dan latensi respons (R) memiliki hubungan
negatif, yaitu semakin besar intensitas stimulus (S), maka makin cepat timbulnya
respons (R). Kebalikannya dengan hal itu, semakin kecil intensitas stimulus (S),
semakin lambat timbulnya respons (R). Dengan demikian, terjadi fenomena laten
keadaan S hingga timbul R. Dapat saja pemberian kondisi untuk tumbuhnya R
tidak terjadi sehingga tidak menimbulkan tumbuhnya latency.
2) Terdapat hubungan antara CS dan UCS
Pavlov melakukan percobaan-percobaan dengan kondisional klasik
bertujuan untuk mengendalikan kondisi-kondisi psikis dalam laboratorium.
Parameter yang diteliti adalah interval waktu antara CS dan UCS. Hasilnya, pada
interval waktu setengah detik memberikan kondisi yang tinggi. Untuk interval
waktu kurang dari setengah detik maka proses pemberian kondisi mengalami
kegagalan. Penelitian
selanjutnya ditemukan empat macam hubungan antara CS dan UCS yang dapat
disajikan dalam bentuk bagan sederhana sebagai berikut. Jika CS dan UCS
diberikan secara simultan bersamaan dengan waktu atau sesudah CS, hal itu
diilustrasikan sebagai berikut:

Jika kondisional tertunda (delayedconditioning),antara CS dan UCS terdapat selang


waktu (time delay),misalnya selama setengah detik. Cara ini banyak digunakan
dalam penelitian untuk menimbulkan proses kondisional yang efektif dan
diilustrasikan dengan bagan sebagai berikut:

Terjadi trace conditioning,yaitu fenomena


interval yang panjang antara C dan UCS.
Apabila digambar tampak sebagai berikut:

Terjadi backward conditioning,yaitu sering


tidak menghasilkan conditioning.Jika
diilustrasikan sebagai berikut:
3) Terjadi peristiwa extinction
Peristiwa extinctionmerupakan suatu fase tidak keluarnya saliva pada anjing.
Peristiwa ini tidak akan terjadi kalau CS tidak diikuti oleh UCS sehingga tidak
adanya perkuatan. Ekstingsi dapat diartikan penghapusan atau tidak adanya
respons yang terjadi pada anjing percobaan.
4) Adanya fenomena pemulihan kembali (spontaneous recovery)
Fenomena ini terjadinya jika anjing yang telah digunakan sebagai hewan
percobaan diistirahatkan atau tidak digunakan percobaan setelah beberapa saat,
maka anjing tadi akan memberikan respons pada CS dengan pengeluaran getah
perut (gerakan perut). Hal itu artinya tidak adanya ekstingsi karena interval
waktu, namun terjadi pengekangan CR.
5) Terjadinya pengekangan respons yang disebut inhibisi (inhibition)
Peristiwa inhibisi ini terjadi disebabkan stimulus mengekang respons yang
seharusnya muncul. Inhibisi ada dua macam, yaitu inhibisi luar dan inhibisi dari
dalam. Inhibisi luar (external inhibition) adalah pengekangan CR oleh faktor-faktor
luar seperti adanya suara yang gaduh. Dengan adanya suara gaduh terjadi respons
tidak adanya salivayang keluar. Contohnya, saat percobaan sedang dilakukan
diberikan kode bunyi letusan, respons terhadap keluarnya saliva pada anjing
berhenti. Inhibisi dari dalam internal inhibition)diteliti oleh Pavlov pada anjing
selama 24 jam istirahat. Ekstingsi selama 24 jam segera akan pulih apabila anjing
dicoba lagi. Ekstingsi tadi tidaklah melemahkan CR yang berarti hubungan S-R
tetap ada pada anjing percobaan.
6) Fenomena generalisasi
Fenomena generalisasi merupakan fenomena proses penyamarataan CR
terhadap stimulus (S) yang sama kategorinya. Contoh, CS bunyi bel divariasi
sangat keras, keras, dan lemah maka pada anjing percobaan tetap terjadi CR. Hal
itu artinya hewan anjing percobaan menyamaratakan bunyi bel tadi, baik bunyi
dengan intensitas sangat keras, keras, maupun lemah. Hasil ini membuktikan
adanya proses generalisasi pada hewan anjing sebagai percobaan.
Percobaan Pavlov ternyata menjadi tonggak bagi penelitian- penelitian di
bidang psikologi waktu-waktu selanjutnya. Oleh kalangan para ahli psikologi di
Amerika Serikat, Pavlov dianggap sebagai perintis timbulnya psikologi
behaviorisme di negara itu. Setelah penelitian Pavlov muncul penelitian-
penelitan psikologi behaviorisme yang dilakukan oleh ahli psikologi yang lain
seperti Thorndike, Kohler, Skinner, dan lain-lain.
Selain penelitian di atas, Pavlov juga mengadakan penelitian yang lainnya,
yaitu eksperimen tentang refleks kondisional. Hasil penelitian ini akhirnya
dijadikan sebagai dasar untuk menyusun Teori Belajar Koneksionisme. Teori
belajar ini mengatakan bahwa belajar dipandang sebagai perubahan-perubahan
fisiologis, yaitu perubahan neurologis dalam otak.
Perkembangan selanjutnya kentara Teori Refleks Bersyarat banyak dicoba
pada anak-anak. Penggunaan teori tersebut tidak dicobakan di dalam kelas,
melainkan diterapkan pada hewan dan manusia dengan kondisi seperti diuraikan
di bawah ini, yaitu untuk membentuk kebiasaan atau tingkah laku yang baik pada
anak-anak dengan pemberian hadiah atau hukuman, melatih tingkah laku
tertentu pada hewan, misalnya kecakapan-kecakapan hewan dalam sirkus,
menghapus kebiasaan-kebiasaan buruk dan mengurangi rasa takut pada anak-
anak, membentuk sikap-sikap yang baik terhadap aktivitas belajar pada siswa,
dipakai sebagai terapi, misalnya untuk menghilangkan rasa takut, malu, agresif,
tamak, dan lain-lain.

3. Teori Belajar Behavioristik


a. John Locke
Pandangan teori belajar behavioristik semula dikemukakan oleh psikolog
bernama John Locke. Ia menggunakan dasar pemikiran pada jiwa anak yang baru
lahir laiknya jiwa dalam keadaan kosong, seperti meja lilin putih bersih yang
disebut tabularasa. Pengaruh yang berasal dari lingkungan sekitar (luar diri anak)
sangat menentukan perkembangan jiwa anak. Pengaruh dari luar itu dapat
dimanipulasi secara leluasa.
Adapun ciri-ciri teori belajar behavioristik yang dikemukakan oleh John
Locke adalah lebih mementingkan pengaruh lingkungan, mementingkan bagian-
bagian, mementingkan peranan reaksi (respons), mementingkan mekanisme
terbentuknya hasil belajar, mementingkan hubungan sebab akibat pada waktu
yang telah lalu, mementingkan pembentukan kebiasaan, dan ciri khusus dalam
pemecahan masalah dengan coba dan gagal (itrial and error).
Bertolak dari pandangan John Locke tersebut, pendekatan belajar kemudian
menjadi behavioristik elementaristis atau pendekatan belajar behavioristik-
empiris. Pendekatan teori belajar behavioristik elementaristis menganggap bahwa
jiwa manusia itu pasif dan dikuasai oleh stimulus-stimulus dari luar yang ada di
lingkungan sekitar. Tingkah laku manusia dapat dimanipulasi dan dikendalikan
dengan mengendalikan perangsang-perangsang yang ada dalam lingkungannya.
Tingkah laku manusia mempunyai hukum-hukum seperti yang berlaku dalam
hukum-hukum pada gejala alam semisal hukum sebab akibat. Selain itu, ada
hubungan yang mekanistis antara metode-metode kealaman yang dipakai dalam
tingkah laku manusia. Tingkah laku tergantung pada lingkungan. Artinya, jika
lingkungan berubah tingkah laku individu juga akan berubah. Dari perubahan ini
disusun rumus matematis tingkah laku, yaitu TL = f (Lk). TL adalah tingkah laku
individu, sedangkan Lk adalah lingkungan. Dengan demikian, jika tingkah laku
individu diberi simbol R (respons) dan lingkungan S (stimulus), maka R = f (S).

b. J.B. Watson
Secara umum teori belajar hubungan S-R digolongkan ke dalam teori belajar
behavioristik. Watson mengemukakan teori belajar hubungan S-R tanpa
persyaratan yang juga digolongkan ke dalam teori belajar behavioristis. Teori
belajar yang dikemukakan oleh ahli ini disebut juga Teori Kontiguitas.
Menurut teori belajar kontiguitas, faktor terbentuknya hubungan S-R cukup
dengan keadaan kontigu saja. Apabila suatu S kontigu atau dibuat ada bersama
dengan tingkah laku tertentu R, maka akan terbentuk hubungan dalam urat saraf.
Pada teori belajar ini tidak diperhatikan efek atau pengaruh variabel yang
menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam belajar sehingga merupakan teori
belajar paling sederhana dibandingkan teori belajar yang lain.
Watson telah mengadakan penelitian sebelum merumuskan teori belajar.
Melalui penelitiannya, Watson telah mengadakan perubahan besar dalam praktik
psikologi. Eksperimen Watson menggunakan tikus yang ditempatkan dalam maze
(kotak eksperimen). Dari hasil
penelitiannya itu kemudian Watson dapat merumuskan teori tentang belajar.
Watson juga menolak metode introspeksi yang telah dirumuskan oleh ahli lain
sebelumnya karena tidak dapat dibuktikan. Untuk memperkuat pendapatnya itu
Watson getol melakukan penelitian- penelitian belajar menggunakan objek
manusia dan hewan.
Menurut Watson, teori belajar dirumuskan dengan memandang hubungan
yang diperkuat antara S dan R yang bersamaan dan kontigu. Dalam teori belajar
ini diperlukan hukum ulangan atau hukum latihan dalam belajar. Selain itu,
Watson juga berpendapat bahwa respons yang baru akan lebih diperkuat dengan
hadirnya ulangan daripada respons yang lebih awal. Dasar kegiatan belajar adalah
dengan conditioning. Belajar merupakan proses memindahkan respons lama
terhadap stimuli baru. Pendapat ini dikenal sebagai hukum kebaruan (law of
recency).
Untuk dapat lebih memahami teori belajar yang dikemukakan oleh J.B.
Watson disarankan memahami adanya tingkah laku individu ada hubungan
dengan saraf otak sehingga penting juga untuk mengerti fungsi otak. Watson
sesungguhnya telah memberikan sumbangan yang tidak kecil pada
perkembangan psikologi pendidikan; di antaranya ia telah memopulerkan ajaran
behaviorisme, menggerakkan studi dan tingkah laku secara objektif,
mementingkan faktor lingkungan, banyak mendorong penelitian-penelitian atau
eksperimen dengan conditioning di Amerika Serikat sehingga wajar jika ia
mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan psikologi pendidikan di
negara Paman Sam. Karya tulis Watson yang telah diterbitkan menjadi sebuah
buku dan telah beredar di tengah-tengah masyarakat dunia berjudul Psychology as
The Behavioritist Views Ityang terbit kali pertama tahun 1913.
c. E.R. Guthrie
Selain Watson, terdapat ahli lain yang bernama E. R. Guthrie (1886-1959)
yang mengembangkan teori belajar kontiguitas S—R. Prinsip kontiguitas adalah
kombinasi stimuli yang telah menghasilkan respons (R) kemudian diteruskan
sehingga stimulus (S) yang dikontigukan tetap menghasilkan respons tadi.
Guthrie berpendapat bahwa organisme merespons kepada perangsang-
perangsang dengan kontraksi otot-otot dan pengeluaian getah kelenjar-kelenjar
yang disebutkan sebagai gerakan-gerakan. Menurutnya, suatu tindakan terdiri
dari serentetan gerakan-gerakan yang diasosiasikan bersama dengan hukum
kontiguitas. Pandangan Guthrie tersebut sama artinya dengan menolak pendapat
Watson yang mengatakan bahwa dasar respons adalah tindakan-tindakan, bukan
gerakan-gerakan. Pada hal lain, Guthrie juga melakukan penolakan pendapat
Watson tentang hukum ulangan.
Guthrie sebelum mengemukakan teori belajar telah melakukan penelitian
atau eksperimen menggunakan seekor kucing yang ditempatkan dalam sangkar.
Di tengah-tengah sangkar tersebut terdapat alat pembuka pintu sangkar.
Sementara itu, di luar sangkar tidak jauh darinya diletakkan makanan (daging).
Tindakan kucing yang ada di dalam sangkar diamati secara cermat. Ternyata
kucing segera dapat memecahkan masalahnya, yaitu menyentuh alat pembuka
pintu sangkar dan kemudian kucing itu keluar dari sangkar. Dari hasil
pengamatan ini, kemudian Guthrie menyimpulkan bahwa hal yang diperbuat
oleh hewan (kucing) tersebut dengan gerakan tertentu akan didasarkan kepada
pengalaman sebelumnya. Dari hasil percobaannya itu Guthrie selanjutnya
mereduksi semua tipe belajar kepada asosiasi dengan kontiguitas waktu.
Menurutnya, dalam proses belajar yang
diasosiasikan adalah suatu stimulus (S) dengan respons (R). Tepatnya stimulus (S)
yang mengenai organ tubuh dan sarafnya sebagai sensasi yang kemudian
menimbulkan respons (R).
Pandangan Guthrie tersebut coba dibuktikan kebenarannya oleh ahli yang
lain dengan melakukan penelitian. Di antaranya penelitian yang dilakukan oleh
ahli bernama Voeks. Ahli ini pada 1954 mengadakan percobaan menggunakan
bunyi bel sebagai CS dan kedipan mata sebagai CS. Hasil percobaan yang telah
dilakukan oleh Voeks adalah ketika bel dibunyikan tidak langsung terjadi
kedipan mata (CR). Percobaan tersebut kemudian dilakukan berulang-ulang.
Pada percobaan yang keenam dengan subjek lain baru terjadi CR penuh.
Selanjutnya, Guthrie mengajukan prinsip-prinsip belajar, yaitu yang
terpenting dalam belajar adalah persyaratannya (conditioning,), adanya prinsip
pengendalian persyaratan, yakni respons akan dikendalikan jika respons lain
timbul dengan adanya S-R asli, adanya persyaratan yang ditunda, adanya
pengembangan atau perbaikan performanceatau tindakan sebagai hasil praktik.
Proses conditioning akan terjadi setelah percobaan yang pertama selesai dilakukan.
Sedangkan penguatan hubungan S-R, merupakan hasil dari ulangan praktik dan
bukan karena terjadinya peningkatan stimulus (S).
Teori belajar yang dikemukakan oleh Guthrie ini dipandang sebagai teori
belajar yang masih sederhana disebabkan belum atau tidak dipertimbangkannya
kegagalan-kegagalan dan hadiah-hadiah. Selain itu, dalam teori belajar yang
dikemukakan Guthrie tidak dikembangkan adanya motivasi belajar. Menurutnya,
stimulus sudah diartikannya sebagai suatu motivasi. Pada hal lain, Guthrie
menyoroti kejadian lupa disebabkan oleh adanya interferensi pembentukan
hubungan S-R dalam saraf individu. Untuk menekan kejadian itu
agar tidak sering terjadi dapat ditempuh, antara lain, dengan transfer
pengetahuan dari satu hal ke hal yang lain dengan latihan-latihan atau praktik
pada bidang-bidang yang lebih khusus maupun yang lebih luas. Dengan adanya
latihan atau praktik tersebut, kejadian lupa dapat direduksi menjadi seminimal
mungkin.

4. Teori Belajar Koneksionisme dari Thorndike


Teori belajar koneksionisme semula dimunculkan oleh Pavlov. Teori
koneksionisme ini terus dikembangkan untuk mencapai tingkat kesempurnaan
yang dikehendaki. Dalam bidang psikologi, teori koneksionisme yang sangat
terkenal adalah teori koneksionisme yang dikembangkan oleh Thorndike dan
Hull, dua tokoh yang dikenal sebagai pengembang lebih lanjut teori belajar
Pavlov.

a. Eksperimen E.L. Thorndike


E.L. Thorndike (1874-1949) merupakan ahli yang pertama kali mengadakan
eksperimen menggunakan hewan kucing untuk menyelidiki hubungan antara S-
R. Percobaan Thorndike tersebut dilakukan dengan prosedur secara sistematis.
Langkah-langkah percobaan yang dilakukan oleh Thorndike tersebut sebagai
berikut; seekor kucing yang sedang lapar dimasukkan ke dalam kotak
kerangkeng. Desain kotak kerangkeng itu dilengkapi dengan alat pembuka pintu
jika terkena sentuhan. Sementara itu, di luar kotak kerangkeng tidak jauh dari
kotak kerangkeng tersebut ditempatkan ditaruh sejumlah daging. Selanjutnya,
tingkah laku kucing dalam kotak kerangkeng diamati secara cermat. Tampak
kucing tersebut bergerak ke sana kemari ingin keluar dari kotak kerangkeng.
Kucing itu terlihat berusaha untuk dapat keluar dari dalam kotak kerangkeng
namun
selalu gagal. Ketika kucing itu menyentuh alat pembuka pintu boks, pintu
terbuka. Kucing dapat keluar dari dalam kotak kerangkeng dan berhasil memakan
daging yang ditaruh di dekat kotak kerangkeng tadi. Percobaan seperti itu
diulang-ulang sehingga pada kucing terlihat adanya kemajuan tingkah lakunya
yang pada akhirnya ia begitu cepat dapat menyentuh alat pembuka pintu kotak
kerangkeng. Dari hasil pengamatan pada tingkah laku kucing dalam eksperimen
tersebut, akhirnya Thorndike menyimpulkan bahwa kucing dalam boks itu
belajar membuka pintu boks untuk dapat keluar dari dalamnya.
Menurut Thorndike, proses belajar hewan atau kucing dalam percobaannya
itu dapat dijelaskan dengan terminologi membentuk hubungan langsung antara
stimulus (S) dan respons (R). Setidaknya, ada dua alasan kucing untuk belajar
dalam percobaan tersebut. Pertama, kucing sedang dalam keadaan lapar sehingga
terdapat dorongan untuk belajar agar dapat membuka pintu kotak kerangkeng.
Kedua, adanya faktor makanan berupa daging dapat memberikan kepuasan
kucing karena sedang lapar.
Jika tingkah laku kucing yang berusaha membuka pintu kotak kerangkeng
itu diamati secara cermat, terlihat kucing tidak langsung berhasil dalam sekali
berusaha. Kucing mengalami kegagalan setelah berulangkaii mencobanya. Oleh
karena itu, tindakan kucing untuk membuka pintu kotak kerangkeng tersebut
dinamakan trial and error learning.Proses belajar kucing dalam percobaan tersebut
pada prinsipnya merupakan pembentukan asosiasi antara kesan pancaindra
dengan kecenderungan untuk berbuat. Berkaitan kejadian yang dialami oleh
kucing tersebut, proses belajar kucing tersebut digunakan sebagai dasar dalam
menyusun teori belajar koneksionisme atau S—R Bond Theory
b. Hukum Belajar Koneksionisme
Berkaitan dengan teori belajar yang dikemukakannya kemudian Thorndike
mengajukan tiga kelompok hukum atau prinsip-prinsip yang memberi
keterangan tentang proses belajar, yakni tiga macam hukum primer dan lima
macam hukum subsider.
Tiga macam hukum primer dimaksud adalah hukum kesiapan, hukum
latihan, dan hukum efek. Sedangkan lima macam hukum subsider adalah berupa
prinsip-prinsip terjadinya respons ganda, prinsip kesiapan mental, prinsip
aktivitas bagian, prinsip analogi atau asimilasi, dan prinsip penukaran asosiasi. Isi
pokok dari masing-masing hukum atau prinsip tersebut dikemukakan berturut-
turut sebagai berikut.

1) Hukum kesiapan
Ada tiga macam keadaan yang menunjukkan perlakuan hukum kesiapan.
Pertama, apabila pada individu terdapat tendensi bertindak maka melakukan
tindakan tersebut akan menimbulkan kepuasan dan menyebabkan individu
tersebut tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang lain. Kedua, jika pada
individu terdapat tendensi bertindak, tetapi tidak melakukan tindakan tersebut
maka akan menimbulkan rasa tidak puas. Individu-individu akan melakukan
tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasan tadi. Ketiga,
apabila pada individu tidak ada tendensi untuk bertindak maka akan
menimbulkan ketidakpuasan. Individu-individu melakukan tindakan lain untuk
menghapus ketidakpuasan tersebut.
Penerapan hukum kesiapan dalam bidang pendidikan, misalnya sebelum guru
mengajar di dalam kelas terlebih dahulu anak-anak disiapkan mentalnya.
Misalnya, peserta didik dalam kelas-kelas
permulaan disuruh duduk yang rapi, tenang, konsentrasi, tidak terlalu tegang,
dan lain-lain. Selain hal itu, penggunaan tes bakat sangat membantu untuk
menyalurkan bakat-bakat peserta didik. Kita tahu mendidik anak sesuai dengan
bakat-bakatnya akan menjadi lebih lancar dibandingkan dengan mendidik anak
yang tidak berbakat.
Implikasi dari hukum kesiapan belajar menurut Thorndike tersebut adalah
jika menghendaki hasil belajar sesuai yang diharapkan seyogianya individu atau
kelompok individu disiapkan untuk belajar. Kesiapan belajar ini ditentukan oleh
tingkat kedewasaan individu dan pengalaman dari masing-masing individu.
Umumnya, semakin dewasa individu maka individu tersebut semakin siap untuk
belajar.

2) Hukum latihan
Hukum ini menerangkan semakin kuat atau lemahnya hubungan S-R.
Apabila individu banyak latihan, ia juga akan semakin kuat hubungan S-R-nya.
Demikian sebaliknya, jika pada individu semakin sedikit latihannya, ia akan
semakin lemah hubungan S-R-nya.
Penerapan hukum latihan dalam proses belajar mengajar di sekolah pada
prinsipnya ialah dengan model ulangan, misalnya guru memberi kesempatan
kepada peserta didik agar sering atau memperbanyak menggunakan pengetahuan
yang telah diperolehnya. Kemudian, pada peserta didik dilakukan latihan resitasi
dari materi pelajaran yang telah dipelajari sebelumnya, dan diadakan ulangan-
ulangan yang teratur. Jika dirasa perlu ulangan dilaksanakan dengan sitem
drill,cara ini akan memperkuat hubungan S-R. Agar penerapan sistem ini di
lapangan mendapatkan hasil belajar yang baik, seyogianya dilakukan tindakan
repitio est mater atau practice make perfect.
3) Hukum efek
Menurut hukum ini, hubungan S-R akan semakin kuat atau semakin lemah
tergantung pada seberapa besarnya efek atau hasil tindakan yang dilakukan oleh
individu. Menurut hukum efek, suatu tindakan yang disertai hasil menyenangkan
cenderung untuk dipertahankan dan pada waktu lain akan diulangi. Sebaliknya,
suatu tindakan yang menghasilkan hal yang tidak menyenangkan cenderung
untuk ditinggalkan dan tidak diulangi lagi. Contohnya, semenjak masih kanak-
kanak diajarkan menggunakan tangan kanan saat memberi atau menerima barang
dari dan kepada orang lain. Kebiasaan tersebut merupakan hasil belajar selama
bertahun-tahun pada anak. Ketika seorang anak mengulurkan tangan kanan saat
ia menerima atau memberi sesuatu dari dan kepada orang lain, maka ia akan
mendapatkan sesuatu semacam hadiah yang menyenangkan hatinya. Begitu hal
yang sebaliknya. Hal-hal yang sifatnya menyenangkan akan diulang oleh anak
tersebut, yaitu menggunakan tangan kanan sewaktu memberi atau menerima
barang dari dan kepada orang lain. Sebaliknya, anak tidak menerima hadiah
bahkan akan mendapatkan hukuman ketika ia mengulurkan tangan kiri sewaktu
menerima atau memberikan barang dari dan kepada orang lain. Pengalaman
buruk (hukuman) itu tidak menyenangkan bagi si anak sehingga tidak akan
diulanginya lagi di kemudian hari. Hadiah dan hukuman menimbulkan efek pada
anak untuk mengulangi atau menghentikan perbuatannya. Dalam dunia
pendidikan, hadiah dan hukuman merupakan faktor untuk menimbulkan
motivasi yang sudah lama dikenal atau dijalankan oleh pendidik.
Implikasi hukum efek dalam bidang pendidikan di antaranya adalah
diciptakan situasi kelas atau pengalaman-pengalaman yang
menyenangkan bagi para siswa, guru, dan karyawan sekolah. Dengan pernyataan
lain, penghuni sekolah dibuat agar merasa aman, puas, dan senang pada tugasnya
masing-masing. Bahan-bahan pengajaran dikondisikan atau dibuat agar dapat
diterima atau dimengerti oleh semua peserta didik dan bermanfaat bagi
kehidupan nyata. Tugas-tugas sekolah diatur tahap-tahap pencapaian hasilnya
dan dapat memberi keyakinan pada para pelajar, guru, maupun petugas yang lain.
Tugas-tugas sekolah diatur atau ditata sesuai tahap-tahap kesukarannya sehingga
para siswa dapat maju tanpa mengalami kegagalan, bahan-bahan pelajaran
diadakan atau dibuat variasi agar pengalaman- pengalaman belajar mengajar
menjadi segar dan menyenangkan, tidak menjemukan. Bimbingan, pemberian
hadiah, pujian, bahkan jika dirasa perlu pemberian hukuman ditujukan agar
dapat memberikan motivasi pada proses belajar mengajar di sekolah.
Berikut ini lima macam hukum belajar tambahan yang diajukan oleh E.L.
Thorndike. Pertama, prinsip-prinsip terjadinya respons ganda. Hewan atau
manusia dapat mencoba banyak respons sebelum memperoleh respons yang
paling benar dalam proses coba dan gagal (trial and error).Teori belajar coba dan
gagal ini melibatkan banyak faktor, antara lain motif, rintangan, kesukaran,
tindakan tanpa tujuan, keberhasilan, kegagalan, eliminasi respons yang salah,
konsolidasi respons yang benar, dan lain-lain. Proses belajar dengan coba dan
gagal ini akan memberikan banyak pengalaman kepada siswa, baik pengalaman-
pengalaman yang telah menyenangkan maupun pengalaman-pengalaman buruk
sehingga siswa dapat belajar dari kegagalannya. Ke depan, siswa akan dapat
menuai sukses setelah belajar dari kegagalan masa lalunya.
Kedua, prinsip kesiapan mental. Prinsip kesiapan mental merupakan
persiapan individu untuk bertindak dengan cara tertentu. Kesiapan mental sedikit
banyak berupa kondisi sementara mengenai sikap, perasaan, dan perhatian. Agar
proses belajar individu dapat berlangsung dengan baik maka kesiapan mentalnya
sangat diperlukan. Guru harus dapat membimbing timbulnya kesiapan mental
pada individu (siswa) dengan berbagai macam cara. Di samping itu, selama
pelajaran dan kegiatan belajar masih berlangsung, kesiapan mental siswa
hendaknya perlu dipertahankan agar bahan yang dipelajari dapat diterima dan
dikuasai oleh semua peserta didik (siswa).
Ketiga, prinsip aktivitas bagian. Aktivitas bagian merupakan terjadinya suatu
respons yang ditujukan kepada bagian atau aspek dari seluruh situasi yang ada
pada waktu itu. Misalnya, siswa sedang melaksanakan suatu ujian di dalam kelas,
maka guru atau pengawas akan menegur kepada siswa yang ketahuan sedang
menjiplak atau menyontek. Sedangkan siswa yang lain yang tidak menjiplak atau
menyontek tetap dibiarkan terus bekerja atau mengerjakan soal-soal ujiannya.
Keempat, prinsip analogi atau asimilasi. Individu yang menghadapi masalah
baru yang belum pernah diketahui atau belum pernah dipelajari akan merespons
dengan merangkaikan respons-respons kepada situasi yang ada persamaannya.
Hal ini adalah prinsip analogi atau asimilasi. Penerapan prinsip analogi atau
asimilasi di dalam kelas dengan cara guru menunjukkan persamaan-persamaan
antara bahan pelajaran yang baru dengan pelajaran yang sudah diajarkan. Guru
dapat menunjukkan unsur-unsur yang sama atau identik, mengadakan
pendekatan unit, siswa diberi kesempatan untuk memutuskan sesuatu,
mengembangkan sikap demokratis, dan mengembangkan ide-idenya.
Kelima, prinsip penukaran asosiasi. Respons yang dikuasai oleh individu
mungkin dapat dipakai untuk menghadapi perangsangan lain atau stimulus lain
yang baru. Hal ini merupakan prinsip penukaran asosiasi. Penerapan prinsip
penukaran asosiasi dalam bidang pendidikan misalnya kebiasaan-kebiasaan, sikap,
dan interes kepada anak di sekolah dan penanaman sikap menghargai pandangan
objektif, cara sistematis dalam memecahkan masalah kepada siswa merupakan
bekal memasuki kehidupan orang dewasa di masyarakat. Setelah anak menjadi
dewasa dan memasuki dunia kerja ia akan dapat bekerja lebih efektif dan efisien.
Demikianlah sumbangan Thorndike dalam bidang pendidikan. Sumbangan
berupa hasil pemikiran Thorndike yang diejawantahkan ke dalam teori belajar
koneksionisme tersebut menjadi dasar perkembangan teori belajar yang lain, baik
bagi mereka yang pro maupun yang semula kontra terhadap pendapat Thorndike.
Terlepas dari adanya pro dan kontra terhadap hasil pemikiran Thorndike tersebut
konsep atau teori perkuatan hadiah memiliki implikasi bermanfaat dalam dunia
pendidikan dan dunia kerja hingga abad ini.

5. Teori Belajar dari Hull


a. Konsep yang Mendasari Teori Belajar oleh Hull
Clark L. Hull (1804—1952) adalah seorang ahli dari Amerika Serikat
mencoba mensistematisasi teori-teori belajar yang telah ada sebelumnya menjadi
suatu unit teori dengan memegang kebaikan-kebaikan teori belajar sebelumnya
dengan mengatasi kelemahan-kelemahannya.
Hull mendasarkan teori belajar yang disusunnya pada tingkah laku yang
diselidiki dengan hubungan perkuatan S-R menggunakan metode matematika,
deduktif, dan dapat diuji keabsahannya. Sejauh ini,
Hull tetap mengakui adanya persamaan-persamaan teori belajar yang disusunnya
itu dengan teori-teori belajar yang telah ada sebelumnya, yaitu didasarkan pada
asosiasi S-R, disusun berdasarkan pada cara melangsungkan hidup, berdasarkan
pada kebutuhan biologis dan pemenuhannya, dan tetap berorientasi pada teori
Pavlov.
Selanjutnya, Hull menyusun definisi teori belajar ke dalam beberapa hal,
yakni bahwa kebutuhan adalah keadaan organisme menyimpang dari kondisi
biologis optimum pada umumnya yang bertujuan untuk melangsungkan
hidupnya. Apabila kebutuhan itu timbul, organisme bertindak untuk memenuhi
kebutuhan tadi atau mereduksi kebutuhan yang ada. Oleh karena itu, teori
belajar dengan definisi seperti ini sering disebut juga teori reduksi kebutuhan
(need reduction theory).
Dalam teori belajar Hull dikenal adanya pengertian dorongan (drive)yang
didefinisikan sebagai kondisi kekosongan ganda organisme sehingga mendorong
untuk berbuat sesuatu. Misalnya dorongan belajar, makan, minum, seks, tidur,
dan lain-lain. Dorongan semacam ini sering pula disebut sebagai motif. Selain
itu, Hull juga mengemukakan perkuatan (reinforcement)berupa hadiah, yaitu
sesuatu yang dapat memperkuat hubungan S-R dan respons terhadap stimulus
itu dapat mengurangi ketegangan kebutuhan. Pernyataan Hull tersebut selalu
didasarkan pada percobaan yang dilakukannya dan tidak terlepas pada
pandangan Pavlov.
Membahas masalah teori belajar tidak dapat dilepaskan dengan membahas
masalah tingkah laku manusia. Sebagai perbandingan akurat sering dalam
membicarakan tingkah laku manusia digunakan hewan sebagai pembanding
karena dalam hal-hal tertentu kedua jenis makhluk ini dianggap memiliki
kedekatan sifat-sifat, teutama
hewan golongan mamalia. Meskipun sebenarnya di antara kedua jenis makhuk
itu jelas-jelas tampak perbedaan-perbedaannya. Para ahli sering menggunakan
hewan mamalia dalam penelitian yang nantinya hasilnya dicobaterapkan pada
manusia, misalnya dalam hal penelitian tingkah laku hewan-hewan.
Jika kita mengamati tingkah laku hewan kita dapati sebagian besar tingkah
laku hewan merupakan usaha untuk memecahkan masalah yang berkaitan
dengan kebutuhan biologis. Misalnya, kuda yang lapar reaksi atau tingkah
lakunya ditujukan kepada usaha mencari rumput dan setiap rumput yang
ditemuinya akan dimakan kuda tersebut. Setelah kuda kenyang, kebutuhan akan
makan bagi kuda itu berkurang. Dari contoh kuda tadi dapat dibuat suatu
kesimpulan bahwa kebutuhan akan menyebabkan timbulnya tingkah laku dan
tingkah laku khusus akan mereduksi kebutuhan secara berangsur-angsur.
Ditinjau dari ilmu psikologi, tingkah laku kuda itu sebagai perkuatan dan
menghasilkan respons yang dipelajari. Berbeda dengan tingkah laku kuda tadi,
pada tingkah laku hewan yang lebih rendah tingkatannya tidak dipelajari dan
dalam ilmu psikologi diberi simbol SUR dengan S adalah stimulus, U singkatan
dari unlearned,dan R merupakan respons.Hull memberikan simbol huruf S (huruf
kapital) untuk menyatakan stimulus dari suatu objek dan s (huruf kecil) untuk
stimulus dalam organisme yang sudah merupakan impuls. Dengan demikian,
impuls adalah perangsang (stimulus) yang sudah ada yang bekerja pada saraf.
Dasar kerja Stimulus apabila mengenai saraf sensoris (reseptor) akan
menimbulkan impuls yang masuk ke afferent,yaitu saraf gerak yang dapat
mengaktifkan efektor atau otot-otot (maskuler) sehingga menimbulkan R
(respons). Menurut Hull, dalam belajar yang dilibatkan adalah S, bukan s. Dengan
demikian, perlu dipahami
perbedaan dan peranan kedua variabel dimaksud dalam mengkaji tingkah laku
individu. Untuk R (respons) Hull juga menjelaskan adanya tendensi perbedaan
antara R (huruf kapital) dan r (huruf kecil). Simbol R diperuntukkan bagi respons
yang tampak (faktual) sedangkan r merupakan simbol predisposisi respons yang
masih ada dalam aktivitas saraf, yaitu impuls yang sudah memberikan energi pada
saraf afferentdan efektor. Dapat juga dinyatakan bahwa r adalah respons yang
masih ada dalam organisme sehingga tidak tampak tetapi keberadaannya
memengaruhi tingkah laku (behavior). Selanjutnya, Hull menuliskan simbol
untuk hubungan S-R menjadi hubungan SHR. Dalam hal ini, H adalah habit
(kebiasaan).
Belajar menurut Hull dipengaruhi oleh faktor jumlah waktu, respons khusus
yang dapat terjadi disebabkan adanya kontigu dengan perkuatan berupa hadiah.
Hull yakin bahwa tingkah laku individu bersumber dari kebutuhan yang
merupakan tuntutan hidup. Sedangkan perkuatan merupakan hadiah berperan
sebagai suatu stimulus yang mampu mengubah kemungkinan R dan S tertentu
yang disertakan (kontigu).
Proses belajar pada individu menurut Hull digambarkan dalam bentuk bagan
sederhana sebagai berikut:
Gambar 4 Proses belajar SHR menurut Hull

b. Postulat dari Hull


Hull mengajukan 16 postulat yang tercakup dalam enam hal berikut.
1) Tanda-tanda luar yang mendorong atau membimbing tingkah laku dan
representasi neuralnya. Dalam cakupan ini, Hull mengajukan beberapa
macam postulat.
Postulat 1, impuls saraf afferentdan bekas lanjutan. Apabila suatu
perangsang mengenai reseptor, timbul impuls saraf afferentdengan
cepat mencapai puncak intensitasnya dan kemudian berkurang secara
berangsur-angsur. Sesaat saraf afferentberisi impuls dan diteruskan
kepada saraf sentral dalam beberapa detik kemudian segera timbul
Respons. Dengan demikian, rumusnya yang semula S-R berubah
menjadi S-s- R atau lebih lengkap lagi dituliskan menjadi S—>s—>r—
>R. Dalam rumus ini, s adalah impuls atau
stimulus tracedalam saraf sensoris, dan r adalah impuls respons yang masih
ada dalam saraf afferent.
Postulat 2, interaksi saraf afferent. Impuls dalam suatu saraf afferent dapat
diteruskan ke satu atau lebih saraf afferentlainnya. Cara bertukarnya
bervariasi menurut impuls dan sambungan saraf. Atau, Respons itu
ditimbulkan dari gabungan stimuli yang mengenai organisme. R timbul
tidak hanya karena satu stimulus, tetapi dari satu S yang lalu terjadi
kombinasi berbagai Stimulus. Rumusnya diperbarui menjadi sebagai
berikut.

2) Respons terhadap kebutuhan, hadiah, dan kekuatan kebiasaan. Postulat


3, respons-respons bawaan terhadap kebutuhan; tingkah laku yang
dipelajari. Hull berpendapat setiap oragnisme sejak lahir telah
mempunyai hierarki respons penentu kebutuhan yang timbul karena
adanya rangsangan-rangsangan dan dorongan. Respons tersebut bukan
respons pilihan secara random, melainkan respons yang memang
ditentukan oleh kebutuhannya. Contohnya,
ketika mata kemasukan debu, mata langsung berkedip-kedip dan
mengeluarkan air mata.
Postulat 4, hadiah dan kekuatan kebiasaan; kontiguitas dan reduksi
dorongan sebagai kondisi-kondisi untuk belajar. Menurut Hull,
kekuatan kebiasaan yang disimbolkan dengan sHs akan senantiasa
bertambah sewaktu kegiatan-kegiatan reseptor dan efektor terjadi
dalam persamaan waktu (waktu kontigu) yang menyebabkan
hubungan kontiguitif dengan hadiah pertama atau hadiah kedua.

3) Stimulus pengganti (ekuivalen)


Postulat 5, generalisasi (penyamarataan). Kekuatan kebiasaan yang
efektif timbul karena stimulus lain. Stimulus pertama menjadi
persyaratan adanya penindakan stimulus kedua. Stimulus-stimulus
tersebut berada dalam kesatuan yang terus-menerus dari ambang
perbedaan. Dengan kata lain, respons yang ingin dibentuk merupakan
hasil rata-rata persyaratan stimulus berikutnya.

4) Dorongan-dorongan sebagai aktivator respons


Postulat 6, stimulus dorongan. Hull menyatakan hubungan antara tiap-
tiap dorongan diartikan sebagai stimulus dorongan karakteristik yang
intensitasnya meningkat dengan adanya kekuatan dorongan.
Postulat 7, potensi reaksi yang ditimbulkan oleh dorongan. Adanya
kekuatan dari kebiasaan disintesiskan ke dalam potensi reaksi dengan
dorongan-dorongan primer yang timbul pada saat tertentu.

5) Faktor-faktor yang melawan respons-respons


Postulat 8, pengekangan reaksi. Menurut Hull, timbulnya suatu reaksi
menyebabkan pengekangan reaksi yang lain. Suatu kejemuan

untuk mengulangi respons. Pengekangan reaksi diartikan suatu


penghamburan waktu yang terjadi secara spontan.
Postulat 9, pengekangan yang dikondisikan (disyaratkan). Hull
berpandangan bahwa stimuli yang dihubungkan dengan penghentian
respons menjadi pengekangan yang dikondisikan. Postulat 10, osilasi
pengekangan. Potensial pengekangan dihubungkan dengan potensial
reaksi bergoyang terus-menerus pada waktu tertentu.
6) Bangkitnya respons
Postulat 11, reaksi ambang perangsang. Potensi reaksi efektif momentum
harus melampaui reaksi ambang perangsang sebelum stimulus
membangkitkan reaksi.
Postulat 12, kemungkinan reaksi di atas ambang perangsang.
Kemungkinan respons adalah fungsi normal dari potensi reaksi efektif
melampaui reaksi ambang perangsang.
Postulat 13, latensi (keadaan diam atau berhenti). Semakin potensi reaksi
efektif melampaui reaksi ambang perangsang semakin pendek latensi
respons yang berarti respons semakin cepat timbul. Postulat 14,
hambatan berhenti (ekstingsi). Semakin besar potensi reaksi efektif,
semakin besar respons yang timbul tanpa perkuatan sebelum berhenti
atau ekstingsi.
Postulat 15, amplitudo respons. Besarnya dorongan disebabkan oleh
peningkatan kekuatan potensi efektif reaksi dalam sistem saraf otonom.
Postulat 16, respons-respons yang bertentangan. Hull menyatakan jika
potensi-potensi reaksi bertentangan dengan dua atau lebih respons-
respons dalam suatu individu (organisme) pada waktu yang bersamaan,
hanya reaksi yang mempunyai potensi reaksi yang lebih besar akan
menimbulkan respons.
Keenam belas postulat tersebut dibuat oleh Hull untuk mempermudah
dirinya dalam mempelajari terbentuknya tingkah laku pada manusia.
Konsep-konsep pemikiran Hull disajikan dalam bentuk yang sistematis dan
matematis, termasuk digunakannya simbol-simbol dan rumus-rumus
tertentu seperti dalam matematis. Hull menyusun diagram-diagram yang
merupakan suatu rangkaian berturut-turut untuk menerangkan mekanisme
terjadinya tingkah laku pada manusia.
Penggunaan simbol-simbol dan rumus penting tersebut dikemukakan
oleh Hull dalam uraian atau konsep untuk mendukung keenam belas
postulatnya, seperti pembahasannya mengenai perkuatan atau hadiah
(reinforcement), penyamarataan (generalization), dorongan
(motivation),pengekangan (inhibition),osilasi (oscilation), dan bangkitnya
respons (response evocation).
Reinforcement merupakan kekuatan kebiasaan (disimbolkan SHR), yaitu
hasil perkuatan hubungan-hubungan S-R yang sejajar dengan reduksi
kebutuhan seperti dikemukakan Hull dalam postulatnya yang ke-3 dan 4.
Penyamarataan adalah generalisasi kekuatan kebiasaan (disimbolkan
ShR) dengan bergabungnya dua unsur, yaitu perkuatan langsung hubungan
S—R dan generalisasi hubungan S’-R’ yang semacam, seperti dikemukakan
Hull dalam postulatnya yang ke-5.
Dorongan merupakan reaksi potensial (disimbolkan S E R) yang
bergantung kepada interaksi antara kekuatan kebiasaan dan dorongan,
seperti dikemukakan dalam postulat ke-6 dan 7.
Pengekangan merupakan reaksi potensial efektif (disimbolkan SeR),
yaitu reaksi potensial yang dikurangi oleh pengekangan
reaksi. Pengekangan itu sendiri dikondisikan atau dipersyaratkan
keberadaannya, seperti telah dinyatakan dalam postulat ke-8 dan 9.
Osilasi merupakan reaksi potensial efektif sementara sewaktu-waktu
karena untuk pengekangan yang berubah-ubah terlibat di dalamnya,
seperti dinyatakan dalam postulat 10.
Bangkitnya respons merupakan respons yang akan timbul jika reaksi
potensial efektif melampaui ambang perangsang (ambang perbedaan).
Respons semacam itu dapat diukur sesuai dengan probabilitas reaksi, latensi
reaksi, rintangan penghentian, atau besarnya respons sesuai pernyataan
Hull dalam postulat yang ke-11 hingga 16.

b. Rumusan Teori Belajar oleh Hull


Prinsip teori belajar dari Hull adalah tertuang dalam postulat yang ke-
4, yakni mengenai hadiah dan kekuatan kebiasaan. Menurut Hull, jika
suatu kegiatan efektor (r —> R) dan kegiatan reseptor (S —> s) terjadi suatu
kontigu waktu (SCR) dan SisCR, maka hal itu secara tepat berhubungan
dengan pengurangan kebutuhan (G) atau dengan suatu stimulus yang telah
secara tepat berhubungan dengan kebutuhan. Hasilnya akan meningkatkan
kepada suatu kecenderungan (SSHR) bagi impuls afferentuntuk
menimbulkan reaksi.
Menurut Hull, peningkatan-peningkatan dari hadiah yang berturut-
turut memuncak terbentuknya kombinasi kekuatan kebiasaan (SHR)
bergantung kepada peningkatan hadiah (n). Batas atas dari kurve belajar
merupakan hasil dari beberapa hal kejadian, yaitu pertumbuhan positif
fungsi reduksi (pengurangan) besarnya kebutuhan yang termasuk primer
atau hadiah sebagai yang sekunder, Pertumbuhan negatif fungsi penundaan
(t) hadiah, pertumbuhan
negatif fungsi ketidaksinkronan (t’) dari stimulus energi fisis (Sef) dan R,
suatu pertumbuhan negatif dari waktu (t’) dan dari aksi Sef yang terjadi
secara terus-menerus pada reseptor sewaktu terjadi respons.
Lebih lanjut, teori belajar Hull adalah operasi dasar hadiah, pengaruh
ulangan, dan gradasi hadiah. Esensi teori belajar Hull tersebut dapat
dirumuskan kembali sebagai berikut.
1) Belajar bergantung kepada kontiguitas S dan R yang berhubungan
dengan hadiah dalam arti pereduksi kebutuhan. Hal ini mirip dengan
hukum efek dari Thorndike.
2) Belajar digambarkan sebagai pertumbuhan fungsi sederhana,
berdasarkan kepada asumsi bahwa peningkatan kekuatan kebiasaan
dengan hadiah adalah bagian tetap dari peningkatan sisa yang
dipelajari. Semakin kecil yang dikuasai pada awal belajar dan semakin
kecil saat akhir belajar maka kurvanya akan menurun.
3) Batas atas M asosiasi antara S dan R bergantung kepada besarnya
hadiah dan hadiah yang tertunda. Jika ditulis dalam rumus matematika,
rumusnya adalah

SHR = M(1 - e'tN).


Keterangan:
N = jumlah percobaan dengan hadiah
M = batas yang bergantung kepada besarnya hadiah dan
penundaan hadiah
Telah dinyatakan bahwa Hull menaruh perhatian yang begitu besar
pada pembentukan kebiasaan, dan hal ini merupakan inti aktivitas belajar
pada individu. Menurut Hull, prinsip umum pembentukan kebiasaan
sebagai inti aktivitas belajar yaitu jika terdapat S mengenai organisme, hal
itu akan menimbulkan impuls untuk membangkitkan R. Proses ini dalam
organisme akan menurunkan tegangan dorongan
atau tensi kebutuhan. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa kekuatan
kebiasaan merupakan fungsi dari hadiah.
Lebih lanjut, Hull menerangkan terdapat hubungan erat antara
kekuatan kebiasaan dengan dorongan yang kemudian dirumuskan menjadi
SER = SHR X D, SER adalah reaksi potensial, SHR merupakan kekuatan
kebiasaan, dan D kekuatan dorongan fisiologis yang terdapat dalam
individu.
Konsep dorongan sangat penting dalam teori Hull. Menurut Hull, ada
tiga fungsi yang berbeda mengenai dorongan tersebut. Pertama, tanpa
adanya sesuatu dorongan tidak akan ada perkuatan (hadiah) primer. Sebab,
perkuatan primer akan menyebabkan penurunan cepat dari dorongan (D).
Kedua, tanpa adanya dorongan tidak akan timbul respons. Sebab, dorongan
akan mengaktivasi kebiasaan dalam potensi reaksi. Hull berasumsi bahwa
dorongan akan melipatgandakan kekuatan kebiasaan. Ketiga, tanpa adanya
stimulus dorongan yang pasti tidak akan terjadi regulasi kebiasaan sehingga
tidak ada cara untuk dipelajari.
Teori sistematik tingkah laku dari Hull mengalami perkembangan
pesat sampai pada saat dia meninggal dunia tahun 1952. Selama
perkembangannya itu, Hull telah memberikan sumbangan pemikiran di
bidang pendidikan yang cukup penting artinya, khususnya dalam hal teori
belajar. Hull merupakan tokoh yang merintis untuk mempelajari tingkah
laku manusia, termasuk kegiatan belajar secara sistematis dan matematis.
Menurut Hull, proses belajar merupakan kebutuhan organisme. Oleh
karena itu, teori belajarnya dinamakan teori reduksi dorongan. Karena
dorongan menimbulkan kebutuhan dan ketegangan dalam organisme dan
organisme berusaha untuk meredakan atau mereduksi, mengurangi
tegangan dengan berbuat sesuatu. Manusia dalam melakukan sesuatu
dipastikan berhadapan dengan stimuli
sehingga membutuhkan respons. Sementara itu, kebutuhan-kebutuhan
organisme, termasuk dalam proses belajar, dapat diorganisasi dan dapat
dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sehingga belajar menjadi lebih
berarti ketika dapat memuaskan kebutuhan anak-anak. Berkaitan dengan
langkah atau upaya mengaktivasi belajar pada anak-anak, Hull mengajukan
pemberian hadiah atau hukuman sebagai pereduksi ketegangan kebutuhan.
Oleh karena itu, teori belajar Hull disebut juga teori hadiah. Hull adalah
tokoh yang telah menyatakan bahwa proses belajar dapat dikuantifikasi
atau dirumuskan secara matematis sehingga langkah Hull ini dapat
mendorong ahli-ahli yang lain mengadakan pengembangan teori belajar.

6. Teori Belajar Operan


a. Konsep yang Mendasari Teori Belajar Operan
B.F. Skinner mengembangkan teori belajar yang disebut teori belajar
operan. Teori ini mulai dikembangkan oleh Skinner tahun 1931. Skinner
menekankan bahwa unsur dasar tingkah laku adalah korelasi observasional
mengenai hubungan S dan R. Teori belajar operan tersebut didasarkan pada
hasil eksperimen Pavlov mengenai refleks bersyarat dan prinsip hubungan
S dan R dari Thorndike. Selain itu, teori belajar Skinner didasarkan pada
hasil-hasil penelitian yang telah dilakukannya.
Sebelum mempelajari lebih jauh tentang teori belajar operan yang
dikemukakan oleh B.F. Skinner perlu memahami beberapa istilah yang
berkaitan erat dengan hal itu, di antaranya istilah respons responden, elicting
stimuli, respons operan, perangsang pemerkuat, persyaratan tipe S, dan persyaratan
tipe R.
Respons responden adalah respons yang ditimbulkan oleh perangsang-
perangsang tertentu. Respons responden sering disebut juga respons
refleksif. Elicting stimuliadalah stimuli alami yang dapat menimbulkan
respons, misalnya makanan (daging) dapat menimbulkan keluarnya air liur
secara refleksif. Respons operan adalah respons yang timbul dan
berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang
pemerkuat merupakan perangsang yang dapat menimbulkan dan
mengembangkan respons operan. Persyaratan tipe S (S conditioning,
respondent conditioning)adalah persyaratan model Pavlov dan hal ini disebut
juga belajar persyaratan tipe S. Persyaratan tipe R (type R conditioning,
operant conditioning)adalah respons yang timbul secara spontan tanpa
adanya stimuli lain yang dijajarkan pada stimulus khusus.

b. Eksperimen Belajar yang Dilakukan oleh Skinner


Skinner dalam percobaannya guna meneliti tingkah laku individu
berkaitan dengan proses belajar menggunakan sebuah kotak (boks) yang
diberi alat penekan untuk mengeluarkan makanan. Dalam hal ini, jenis
makanan yang digunakan Skinner berupa daging sebagai hadiah atau
pemerkuat respons. Selanjutnya, kotak percobaan yang digunakan oleh
Skinner ini disebut dengan nama Kotak Skinner.
Kotak Skinner dipakai untuk mengamati tingkah laku hewan dalam
jangka waktu pendek secara objektif. Dasar bekerjanya alat percobaan yang
diciptakan oleh Skinner berbeda dengan kotak yang digunakan dalam
penelitian Pavlov tentang eksperimen refleks air liur pada anjing. Pada
percobaannya, Skinner menggunakan hewan tikus.
Kotak ini dilengkapi sebuah alat dengan sistem bekerjanya seperti
Pedal (jari-jari) atau tombol bar. Jika ditekan atau tertekan pedal atau
tombol bar tersebut akan membuka saluran tempat makanan sehingga
menyebabkan makanan yang ditaruh di dalamnya keluar. Skinner
mengamati adanya respons pada hewan (tikus) yang diperlihatkan dalam
tingkah lakunya selama berada dalam kotak Skinner. Tikus dalam kotak
Skinner akan bergerak kian kemari secara aktif. Dengan pernyataan lain,
dalam keaktifannya tikus tersebut merespons lingkungan dalam kotak
Skinner dengan menggerakkan kaki menginjak atau menekan pedal atau
tombol bar sehingga menyebabkan makanan dapat keluar dan masuk dalam
bagian kotak yang disediakan. Saat makanan (daging) keluar dari tempat
semula tikus akan memakannya. Skinner menyebut tingkah laku tikus
tersebut sebagai respons operan. Dalam percobaan ini Skinner memandang
tikus dapat memanipulasi pedal atau tombol bar yang kemudian ditafsirkan
sebagai proses belajar tikus. Kejadian itu terus diulang-ulang oleh tikus
percobaan sehingga menjadi kebiasaan karena operant
conditioning.Berpangkal dari kejadian inilah selanjutnya Skinner
mengatakan proses belajar tikus tersebut sebagai belajar operan. Hal ini
terjadi disebabkan adanya penguatan hubungan S dan R dengan mengikuti
respons yang memperoleh perkuatan stimulus, yaitu mendapatkan hadiah.
Disebut demikian karena tingkah laku tikus dalam percobaan yang
dilakukan oleh Skinner tersebut merupakan respons yang berupa tingkah
laku sifat eksternalnya dan dapat terbentuk menjadi kebiasaan karena tikus
itu mendapatkan hadiah berpa makanan (daging). Dengan begitu, makanan
yang keluar dari tempatnya semula menjadi syarat utama untuk
mengoperasikan pedal atau tombol bar pembuka saluran makanan dalam
kotak Skinner.
Hewan percobaan, yaitu tikus dalam kotak Skinner, tidak begitu saja
menunjukkan respons atau tingkah laku langsung dapat menekan pedal
atau tombol bar guna memperoleh makanan. Tikus perlu dilatih
terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai hewan percobaan. Caranya,
dipilih tikus lapar dimasukkan ke dalam kotak Skinner. Saat baru saja
dilepas dalam kotak Skinner terlihat tikus bergerak ke sana kemari tidak
menentu. Lama-kelamaan pada tikus akan terjadi respons coba dan gagal,
yang artinya terjadi respons-respons yang tidak menyentuh pedal atau
tombol bar. Semua respons tikus dalam kotak Skinner tercatat secara
otomatis pada alat pencatat komulatif. Hasil pencatatannya berupa grafik
kurva.
Alat pencatat komulatif yang dipasang pada kotak Skinner akan
bekerja secara otomatis ketika tikus dalam kotak itu bergerak. Hal itu dapat
terjadi karena semua gerakan tikus menyebabkan arus listrik bekerja. Hal
yang diukur adalah kekuatan operan. Semakin banyak frekuensi respons
dalam interval waktu, semakin kuat respons dan keadaan ini akan terjadi
pada tikus yang lebih lapar ketika digunakan sebagai percobaan.
Ketika respons pada tikus berhasil menyentuh pedal dan makanan
keluar yang akhirnya dimakan oleh tikus percobaan, dalam hal ini makanan
itu merupakan perkuatan. Percobaan seperti itu dilakukan secara berulang-
ulang sehingga lama-kelamaan tikus akan dapat mengoperasikan pedal atau
tombol bar pada kotak Skinner tadi. Selanjutnya tikus akan dapat
memanipulasikan alat berupa pedal atau tombol bar. Dalam percobaan
Skinner fungsi pedal adalah sebagai operan atau alat untuk membuka
makanan sehingga belajarnya disebut belajar operan.
Jika dikaji lebih cermat, ada perbedaan pokok dalam percobaan
Skinner dengan percobaan yang dilakukan oleh Thorndike dalam hal
Penggunaan makanan (daging) sebagai hadiah (perkuatan). Perbedaan
pokok itu adalah pada percobaan Skinner makanan(daging) sebagai
hadiah belum diketahui oleh tikus yang digunakan sebagai hewan
percobaan Skinner. Hal ini berbeda dengan kotak pada percobaan
Thorndike, yaitu hewan kucing dalam kotak telah mengetahui bahwa di
luarnya terdapat daging sebagai hadiah.

c. Persyaratan Operan
Pelaksanaan percobaan Skinner membutuhkan persyaratan-
persyaratan tertentu yang wajib dipenuhi agar hasil yang diperoleh
mempunyai validitas atau ketepatan yang tinggi. Persyaratan operan dalam
percobaan Skinner tersebut adalah pembentukan tingkah laku baru
(shaping),penghentian respons (extinction),pemulihan kembali respons secara
spontan, dan manipulasi hadiah (perkuatan). Masing-masing persyaratan
tersebut secara detail dan berturut-turut diuraikan seperti berikut ini.

1) Pembentukan tingkah laku baru


Pembentukan tingkah laku (shaping) sangat penting dalam percobaan
Skinner. Dalam hal ini, shapingmerupakan respons yang dilakukan untuk
memperoleh makanan pada kotak Skinner. Respons yang dimaksud tidak
lain adalah menekan pedal atau tombol bar pembuka saluran makanan.
Respons tersebut dipandang sebagai hasil belajar. Sebab, penekanan utama
pemakaian tikus dalam percobaan Skinner tersebut adalah sebagai sumber
pengamatan tingkah laku dengan melihat gerakan tikus untuk menekan
pedal atau tombol bar agar makanan (daging) dapat masuk ke tempat
makanan yang disediakan. Pembentukan tingkah laku atau respons yang
benar, yaitu pemulihan perkuatan (hadiah) supaya dapat menyebabkan
perubahan tingkah laku yang diinginkan dalam organisme.
Skinner mengajukan beberapa prinsip dalam pembentukan respons
atau tingkah laku, meliputi generalisasi respons, kompetisi kebiasaan, dan
perangkaian. Generalisasi respons adalah respons-respons yang terjadi
secara berulang-ulang dan umumnya respons-respons tersebut mempunyai
persamaan-persamaan dengan respons yang telah terjadi. Artinya, respons
yang timbul merupakan generalisasi atau penyamarataan dari respons-
respons yang terjadi. Kompetisi kebiasaan berarti bahwa respons yang
terjadi berdasarkan pada respons yang memberi hasil akan menuju ke
respons yang benar. Sedangkan perangkaian artinya terdapatnya urutan-
urutan respons sampai pada respons yang benar.
Prosedur pembentukan tingkah laku menurut Skinner dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut.
- Mengidentifikasi hal-hal berkaitan dengan pemberian hadiah yang
pantas dengan tingkah laku yang hendak dibentuk (diinginkan).
- Menganalisis dan mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang
berperanan membentuk tingkah laku yang diinginkan.
- Menyusun urutan-urutan komponen-komponen kecil dari tingkah
laku menjadi suatu urutan yang tepat untuk menuju kepada
terbentuknya tingkah laku yang diinginkan.
- Melakukan pembentukan tingkah laku dengan menggunakan urutan
komponen yang telah disusun sebelumnya.
Untuk memberikan gambaran riil dari langkah-langkah seperti
dicontohkan Skinner, berikut ini diberikan sebuah contoh cara mendidik
anak (murid) agar memiliki kebiasaan mau membaca buku pelajaran yang
tersedia di perpustakaan sekolah pada waktu sore hari. Untuk membaca
buku tersebut anak (murid) harus:
Datang ke sekolah pada sore hari;
Masuk ke ruang baca perpustakaan sekolah;
Pergi ke rak buku pelajaran yang dimaksudkan;
Berhenti di depan rak dimaksud;
Memilih buku pelajaran yang dimaksudkan;
Mengambil dan kemudian membawa buku dimaksud ke meja
baca;
Membaca buku tersebut dengan serius.

Hadiah dapat ditentukan dengan mengindentifikasi langkah-langkah


tersebut sehingga nantinya diharapkan pembentukan tingkah laku yang
diinginkan dapat tercapai. Prosedur tersebut sudah disederhanakan dalam
persyaratan operan (operant conditioning). Dalam perkembangan berikutnya,
prosedur tersebut telah banyak dibuat variasi disesuaikan dengan situasi
dan kondisinya.

2) Penghentian respons (Extinction)


Penghentian respons terjadi ketika sedang berlangsungnya
eksperimen adanya respons tidak diikuti dengan perkuatan atau hadiah.
Penghentian respons selama beberapa saat ini sering disebut extinction.
Gejala ini dicatat oleh alat pencatat komulatif berbentuk grafik datar (garis
datar).

3) Pemulihan kembali respons secara spontan


Apabila dalam percobaan Skinner diidentifikasi terjadi penghentian
sementara (extinction) dan kemudian padanya diberi hadiah, pada tikus
akan timbul pemulihan kembali segera dan respons akan menjadi seperti
semula. Contohnya, ketika pertama kali tikus berhasil menekan pedal atau
tombol bar dalam kotak Skinner dan tidak ada makanan masuk maka akan
terjadi respons penghentian sementara. Pada kesempatan berikutnya, tikus
menekan pedal atau tombol bar dan makanan keluar maka selanjutnya
tikus akan berbuat seperti tadi, yaitu menekan pedal
atau tombol kembali untuk mendapatkan makanan lagi, demikian
perbuatan itu akan diulangi oleh tikus percobaan.

4) Manipulasi hadiah (perkuatan)


Hadiah dalam percobaan Skinner merupakan hal pokok dalam
penelitian ini. Hadiah adalah sesuatu yang diprogramkan untuk
menghasilkan suatu respons yang diinginkan. Dalam hal ini, keberadaan
hadiah digunakan sebagai pengontrol terbentuknya respons yang baru dan
bukan sebagai alat hipotetis untuk terbentuknya hubungan S-R. Hadiah itu
ada bermacam-macam, yaitu hadiah positif, hadiah negatif, dan hukuman.
Hadiah positif berupa sembarang stimulus yang dapat menghasilkan
respons dengan akibat yang menyenangkan. Hadiah positif mempunyai
peran untuk memperkuat respons yang diinginkan. Konsep ini hampir
sama dengan Hukum Efek Kegunaan seperti yang dikemukakan oleh
Thorndike.
Hadiah negatif berupa stimulus yang tidak menyenangkan agar
respons yang tidak diinginkan berubah menjadi respons yang diinginkan.
Contohnya, seorang anak ditolak menjadi salah seorang anggota kelompok
belajar karena anak tersebut suka usil atau sembrono dan tidak memiliki
komitmen tinggi terhadap kelompok yang dibentuknya. Anak tersebut
kemudian berubah menjadi tidak usil dan berkomitmen tinggi untuk
diterima menjadi anggota kelompok belajar yang bersangkutan. Dalam
kasus tersebut, penolakan terhadap anak yang suka usil dan tidak memiliki
komitmen terhadap kelompok belajar yang dibentuk merupakan stimulus
yang tidak menyenangkan si anak. Dengan demikian, anak akan berusaha
mengubah sikapnya
itu agar bisa diterima menjadi salah seorang anggota kelompok belajar
yang dikehendakinya.
Hukuman mempunyai fungsi yang hampir sama dengan hadiah
negatif. Namun demikian, terdapat sedikit perbedaan yaitu pada hadiah
negatif mendahului respons, sedangkan hukuman diberikan sesudah
respons terjadi. Contohnya, seorang anak ketahuan mencuri uang dalam
saku kemeja ayahnya sehingga anak tersebut dihukum mengepel lantai
rumah. Maksud hukuman tersebut adalah agar anak tidak mengulangi
mengambil uang yang bukan miliknya. Apabila hal itu hendak diterapkan
hadiah negatif, kalimatnya dapat dituliskan menjadi: Barangsiapa
mengambil uang (mencuri) maka akan diberi hukuman mengepel lantai
rumah. Stimulus dalam kasus itu berupa anak-anak atau siapa pun tidak
boleh mencuri uang.
Dari ulasan tersebut dapat diketahui bahwa pada prinsipnya
pemberian hadiah dapat memengaruhi beberapa hal pada individu, yaitu
memperkuat tingkah laku yang diinginkan, mengintensifkan pembentukan
tingkah laku tertentu, dan untuk mengalihkan dari satu jenis tingkah laku
kepada tingkah laku yang hendak dibentuk. Contohnya hendak mengubah
kebiasaan anak yang tadinya suka bermalas-malasan menjadi seorang anak
yang rajin dan tekun belajarnya karena diberi hadiah yang disukai anak
yang bersangkutan. Karena anak tersebut memang menginginkan hadiah
atau sesuatu yang ditawarkan (dijanjikan), anak tersebut mau atau berusaha
mengubah kebiasaan bermalas-malasan dalam belajarnya menjadi rajin dan
tekun belajar agar dapat memperoleh hadiah yang diinginkan atau
dijanjikan tadi.
Pemberian hadiah dalam sistem belajar atau pembentukan tingkah
laku individu dapat dilakukan baik secara reguler atau berselang- seling
maupun secara parsial. Cara pemberian hadiah secara parsial

telah diteliti oleh para ahli banyak menunjukkan kemajuan dalam


membentuk tingkah laku pada individu manusia maupun pada hewan.
Skinner memberikan alternatif pemberian hadiah untuk mengubah
tingkah laku pada individu, yaitu hadiah diberikan secara linier atau secara
kontinu pada setiap respons. Hadiah dapat juga diberikan secara parsial atau
intermittent schedule.Dalam hal ini, ada respons-respons yang sengaja tidak
diberikan hadiah. Menurut Skinner, cara memberikan hadiah dengan
sistem ini dilakukan dengan berbagai cara: dengan interval waktu, dengan
rasio atau perbandingan, dan dengan interval tetap.
Pemberian hadiah dengan interval waktu misalnya dilakukan setiap
dua menit diberikan hadiah, upah pekerja dibayarkan setiap seminggu
sekali atau dua minggu sekali, dan lain-lain. Pemberian hadiah secara rasio
atau perbandingan contohnya pemberian hadiah yang dilakukan dengan
cara mengaturnya, misalnya setiap murid SD kelas V yang berhasil
menjawab 10 soal matematika yang diberikan guru dapat dikerjakannya
dengan betul semua dan tepat waktu diberikan hadiah buku tulis
bergambar para pemain sepak bola Tim Nasional Indonesia (PSSI), dan lain
sebagainya. Sedangkan pemberian hadiah dengan interval, tetap
merupakan langkah yang paling banyak diujicobakan oleh Skinner dan
Frester. Langkahnya, misalnya, dalam selang waktu satu menit berikutnya
tikus baru diberikan hadiah (makanan, daging) setelah pemberian respons
pertama atau sebelumnya. Skinner membuat interval waktu secara
bervariasi dari menit menjadi jam, hari, minggu, dan seterusnya hingga
diperoleh hasil yang menguatkan penelitian yang dilakukannya.
Sumbangan Teori Belajar Operan dari Skinner terhadap bidang
pendidikan adalah pada upaya pemodifikasian tingkah laku pada individu.
Selain itu, teori belajar ini penting dalam metodologi dan teknologi
pengajaran. Teori belajar Skinner memberikan sumbangan yang cukup
berarti untuk inovasi-inovasi program pengajaran seperti program
pengajaran dengan sasaran buku program, komputer pembantu pengajaran,
serta pada mesin-mesin pengajaran dan belajar.
Selain memiliki kelebihan, teori belajar Skinner juga memiliki
kelemahan-kelemahan. Menurut analisis Chomsky dalam RBS.
Fudyartanto (2002), kelemahan-kelemahan teori belajar menurut Skinner
ini antara lain:
Pemakaian umum konsep-konsep dan prinsip-prinsip laboratoris
tidaklah mudah dan cocok dengan kondisi yang wajar dalam proses
belajar mengajar di sekolah. Problema yang dihadapi terutama pada
kesulitan bahan-bahan yang digunakan bukan persyaratan-
persyaratan konsepnya.
Faktor-faktor struktur dan keturunan yang sangat penting dalam
proses perkembangan psikis dan bahasa tidak diperhatikan atau tidak
diperhitungkan oleh Skinner.
Sistem hadiah dalam persyaratan operan telah gagal dalam
memperhitungkan spontanitas, kreativitas, dan dorongan ingin tahu
pada manusia.
Penjelasan-penjelasan tingkah laku sering menjadi subjektif, misalnya
self-inforcement, berpikir, dan lain-lain.

7. Teori Belajar Kognitif


a. Konsep yang Mendasari Teori Belajar Kognitif
Teori belajar ini berakar dari psikologi Gestalt yang dipromotori
antara lain oleh ahli-ahli seperti Koffka, Kohler, dan Wertheimer.
Penelitian yang dilakukan dalam psikologi Gestalt sebelumnya
menitikberatkan tentang persepsi, terutama penglihatan. Hasil dari
pengamatan-pengamatan tersebut kemudian disusun menjadi beberapa
Hukum Gestalt dalam pengamatan. Kesemua hukum Gestalt tersebut yang
penting untuk dikemukakan di sini ada lima macam.
Pertama, Hukum Pragnanz. Hukum Pragnanz (keadaan penuh arti)
menyatakan bahwa organisasi psikologis selalu cenderung bergerak ke arah
keadaan penuh arti. Jika seseorang mengamati suatu objek, ia akan
memperoleh suatu kesan tertentu mengenai objek tersebut. Misalnya
warna objek tersebut merah, putih, kuning, dan lain-lain. Bisa juga kesan
orang tersebut terhadap objek yang diamati ukurannya 5 cm, 10 cm, dan
lain sebagainya. Bisa juga kesan orang tersebut terhadap objek yang diamati
bentuknya bulat, lonjong, persegi, dan sebagainya. Singkatnya, kesan
seseorang ketika mengamati suatu objek bisa pada warna, bentuk, ukuran,
dan lain sebagainya. Hukum Gestalt seperti ini merupakan hukum umum
dalam psikologi Gestalt.
Kedua, hukum kesamaan. Hukum kesamaan mengatakan bahwa hal-
hal yang sama cenderung membentuk Gestalt. Contohnya, apabila
seseorang membaca deretan tulisan atau simbol-simbol seperti berikut ini,
maka terjadi perangsangan pengamatan pada orang tersebut dan terjadi
kecenderungan pada orang tersebut untuk mengamati deretan mendatar
sebagai kesatuan (Gestalt).
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
oooooooooooooooooo
aaaaaaaaaaaaaaaaaa

dddddddddddddddddd
Ditinjau secara pragnanz, deretan-deretan huruf tersebut akan
membentuk persepsi yang cenderung ke arah kanan daripada ke arah
bawah. Hal itu disebabkan deretan huruf ke arah kanan (mendatar)
terdapat persamaan objek. Deretan-deretan tulisan huruf tersebut ke kanan
(mendatar) membentuk semacam organisasi psikologis yang cenderung
bergerak kepada keadaan penuh arti. Jika diperhatikan deretan-deretan
huruf x, o, a, dan seterusnya, deretan huruf ke kanan (mendatar) tersebut
lebih berarti daripada deretan huruf ke arah bawah, yaitu x, o, a, dan
seterusnya.
Ketiga, hukum keterdekatan (The Law of Proximity). Hal-hal yang
saling berdekatan cenderung untuk membentuk satu kesatuan (Gestalt).
Pernyataan tersebut merupakan Hukum Keterdekatan. Contoh dari hukum
ini diwakilkan dengan mengamati garis-garis ini sebagai contohnya.

Keempat, Hukum Ketertutupan (The Law of Closure).Prinsip hukum


ketertutupan, yaitu hal-hal yang tertutup cenderung membentuk Gestalt.
Untuk memberikan gambaran konkret mengenai hukum ini diberikan
contoh ilustrasi berikut:

Pada ilustrasi di atas, b — c dan e - f akan cenderung diamati masing-


masing sebagai Gestalt (keseluruhan). Artinya, b — c dan e - f menutup
menjadi Gestalt sendiri-sendiri. Sedangkan a - b, c - d, dan f — g diamati
tidak adanya kecenderungan membentuk Gestalt.
Kelima, Hukum Kontinuitas. Hukum kontinuitas menyatakan hal-hal
yang kontinu yang baik akan mempunyai tendensi untuk membentuk
kesatuan (Gestalt). Pernyataan ini diharapkan menjadi lebih jelas dengan
memerhatikan ilustrasi di bawah ini.

A D

Jika diamati ilustrasi yang tampak di atas, A - B atau C - D cenderung


membentuk kesatuan atau Gestalt yang berkelanjutan.
Keenam, Hukum-hukum Gestalt yang Lain. Selain hukum-hukum
yang telah disebutkan, terdapat hukum-hukum atau prinsip-prinsip Gestalt
yang umum dibahas dalam dunia pendidikan, yaitu:
- Gestalt atau bentuk keseluruhan itu akan ada lebih dahulu daripada
bagian-bagiannya. Bentuk keseluruhan tersebut bersifat primer
sedangkan bagian-bagian bersifat sekunder.
Bagian-bagian dalam suatu Gestalt mempunyai kedudukan dan
hubungan tertentu secara fungsional.
- Bentuk keseluruhan (Gestalt) mempunyai arti lebih dari hanya bagian-
bagiannya.
Penjelasan dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat diperjelas lagi
dengan mencermati bagian-bagian segi empat ABCD berikut
ini.

D C

Mula-mula persepsi segi empat ABCD timbul lebih dahulu daripada


persepsi bagian-bagiannya seperti garis AB, BC, CD, dan DA. Garis-garis
tersebut mempunyai hubungan, fungsi, dan Gestalt segi empat ABCD
tertentu. Hubungan dan fungsi masing-masing garis itu misalnya
dicontohkan garis AB dan AD membentuk sudut siku-siku di titik A.
Demikian juga hubungan dan fungsi garis-garis AB dan BC membentuk
sudut siku-siku di titik B, dan seterusnya.
Menurut psikologi Gestalt, hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang
berlaku dalam bidang pengamatan tersebut akan berlaku juga dalam bidang
belajar dan berpikir. Seperti diakui belajar dan berpikir pada manusia
merupakan kegiatan-kegiatan yang pada hakikatnya merupakan suatu
proses pengubahan struktur kognitif, yaitu susunan yang diketahui.
Demikian itu dasar pemikiran Gestalt yang mendasari terbentuknya Teori
Belajar Kognitif dalam bidang psikologi pendidikan.

b. Eksperimen Kohler daiam Teori Belajar Kognitif


Menurut psikologi Gestalt, tilikan dalam (insight) dipandang sebagai
inti dari belajar. Belajar yang sebenarnya selalu bersifat
tilikan dalam (insightful learning) yang artinya bahwa belajar selalu
menggunakan pengertian dari dalam. Sumber yang utama dari belajar
adalah dimengertinya suatu hal yang telah dipelajari. Oleh karena itu, teori
belajar ini disebut Teori Insight atau Teori Kognitif Insight.
Seorang ahli yang merupakan tokoh psikologi Gestalt berasal dari
Jerman bernama Wolfgang Kohler mengadakan eksperimen atau
percobaan menggunakan seekor binatang, yaitu simpanse yang diberinya
nama Sultan. Kohler melakukan empat macam eksperimen untuk meneliti
adanya prinsip-prinsip hubungan. Selengkapnya eksperimen Kohler
dengan menggunakan simpanse tersebut dikemukakan berikut ini.
Pertama, eksperimen pertama. Mula-mula disediakan sebuah sangkar
atau ruangan tertentu yang di dalamnya diletakkan sebuah tongkat.
Kemudian, ke dalam sangkar atau ruangan itu dimasukkan simpanse.
Sedangkan di luar sangkar, diletakkan pisang masak. Pada percobaan ini
diamati usaha simpanse dalam mengambil pisang untuk dimakannya.
Hasil pengamatan terhadap simpanse, yaitu ketika simpanse pertama
kali dimasukkan ke dalam sangkar dirinya telah melihat pisang tersebut
dan tidak henti-hentinya ia berusaha hendak mengambil pisang itu. Tetapi,
tangan simpanse itu tidak dapat menjangkau pisang yang diletakkan di luar
sangkar karena jarak sangkar dan tempat pisang diletakkan telah diatur
sedemikian rupa sehingga tidak mudah dijangkau oleh simpanse percobaan.
Gerak-gerik simpanse terus-menerus diamati. Tiba-tiba timbul pengertian
hubungan antara tongkat dan pisang Simpanse kemudian meraih pisang
tadi menggunakan bantuan tongkat yang didapatkannya di dalam sangkar
itu.
Kedua, eksperimen kedua. Peralatan atau bahan-bahan yang
digunakan dalam melakukan eksperimen yang kedua ini masih sama
dengan pada percobaan pertama. Hanya saja, tongkat yang diletakkan
dalam sangkar ada dua buah. Letak pisang di luar sangkar diubah lebih
menjauh dan dimungkinkan simpanse dapat meraih pisang tersebut dengan
menggunakan tongkat dengan disambung.
Pengamatan terhadap simpanse mendatakan semula simpanse
berusaha meraih pisang menggunakan bantuan satu tongkat, namun gagal.
Bahkan, simpanse mengulangi hal ini berkali-kali dan selalu gagal. Tiba-
tiba timbul insightpada simpanse untuk menyambung dua tongkat yang ada
kemudian dipakainya untuk meraih pisang di luar sangkarnya dan akhirnya
pisang berhasil diraih oleh simpanse dan dimakannya.
Ketiga, eksperimen ketiga. Pada eksperimen ini pisang digantungkan
di ruangan sangkar tetapi tidak terjangkau oleh simpanse. Di sudut sangkar
diletakkan kotak yang dapat dipakai untuk ancik-ancik (berdiri di atas
kotak) simpanse sehingga simpanse dapat menjangkaunya.
Pada mulanya simpanse berusaha keras untuk dapat meraih pisang
yang digantung di ruangan dalam sangkar tersebut, tetapi simpanse gagal
dalam beberapa kali usahanya. Simpanse tampak mengamati keadaan
seluruh ruangan dan ia melihat kotak yang ada di sudut ruangan tersebut.
Tiba-tiba pada simpanse timbul insighthubungan antara kotak dan pisang.
Kotak itu kemudian diambil oleh simpanse dan diletakkan di bawah pisang
tergantung. Simpanse lalu berdiri di atas kotak dan ia berhasil meraih
pisang yang tergantung di atasnya. Kini simpanse berhasil meraih pisang
dan dimakannya.
keempat, eksperimen keempat. Pada percobaan ini problemnya sama
dengan pada eksperimen ketiga tetapi di dalam ruangan ditaruh dua buah
kotak yang dapat disusun untuk ancik-ancik simpanse mengambil pisang
yang digantung dalam sangkar. Pada percobaan ini letak pisang lebih tinggi
lagi dibandingkan letak pisang pada eksperimen ketiga.
Mula-mula simpanse berusaha meraih pisang dengan ancik-ancik satu
kotak tetapi ternyata gagal alias tidak kesampaian. Upaya ini dilakukan oleh
simpanse secara berulang-ulang dan selalu gagal. Pada akhirnya, timbul
insightpada simpanse dengan mengambil dua kotak dan disusun secara
vertikal. Susunan dua kotak tersebut digunakan simpanse untuk ancik-
ancik guna mengambil pisang yang digantung di ruangan sangkar dan
ternyata simpanse berhasil meraih pisang tadi. Kini simpanse lega karena
telah berhasil meraih pisang itu dan memakannya.
Berdasarkan pada hasil pengamatan dari percobaan-percobaan yang
telah dilakukan tersebut ditarik suatu kesimpulan bahwa simpanse berhasil
mengatasi masalahnya karena adanya setiran terhadap prinsip-prinsip
hubungan. Menurut Kohler, simpanse tadi berusaha memecahkan masalah
tadi tidak sekadar membentuk kebiasaan dengan mencoba dan gagal.
Tetapi, simpanse tersebut mengerti adanya hubungan-hubungan yang
esensial untuk solusi atau pemecahan masalahnya. Hal itu menurut Kohler
karena adanya insight(tilikan dalam) pada diri simpanse. Sekali hewan
tersebut dapat memecahkan problemnya mengunakan insight yang ada
dalam dirinya, ia mempunyai kemungkinan untuk dapat mentransfer
(memindahkan) msight pemecahan problem-problem berikutnya yang
dihadapi.
Insight(tilikan dalam) merupakan suatu proses pencerahan jiwa dan
pikiran dalam menemukan jalan pemecahan masalah yang datangnya
sekonyong-konyong. Pikiran tersebut muncul secara tiba-tiba untuk
memecahkan masalah atau problema yang sebelumnya telah direnungkan
atau dipikirkan. Insight merupakan semacam intuisi atau ilham yang
timbul dalam jiwa ketika sedang menghadapi suatu masalah yang sukar dan
berat. Dalam kehidupan seharai-hari kejadian yang melibatkan adanya
insighttampak dalam contoh-contoh yang dikemukakan oleh RBS.
Fudyartanto (2002) berikut ini.
Kebanyakan anak kecil mampu mengamati atau memersepsi
hubungan-hubungan pokok saat kepadanya diberikan bahan-bahan
konkret. Mereka membatasi untuk memanipulasikan, menguji, dan
menarik kesimpulan mengenai objek-objek atau peristiwa-peristiwa
yang diberikan secara tidak langsung sebelumnya.
Di lapangan ditemukan fakta bahwa semakin tinggi tingkatan
intelektual anak semakin ia terbebas dari bahan-bahan konkret
sebelumnya. Mereka itu dapat berpikir abstrak.
Pada perkembangan selanjutnya, anak-anak dapat mempergunakan
simbol-simbol tanpa memakai atribut kebendaan.
- Khususnya dalam bidang pendidikan, susunan dan organisasi bahan-
bahan pelajaran memegang peranan penting dalam belajar. Pendidik
harus mempelajari reaksi-reaksi siswa untuk selanjutnya dapat
menentukan metode dan tatanan presentasi bahan pelajaran guna
memperoleh hasil yang memuaskan.
- Pada praktik pendidikan di lapangan Pendidik harus mendorong
keberanian anak didik dalam mencari bahan-bahan pembentukan
insightdengan membimbing siswa untuk membentuk persepsi dan
variabel-variabel yang berpengaruh.
c. Ciri-Ciri Teori Belajar Gestalt
Insightmerupakan faktor penting dalam belajar menurut teori Gestalt.
Hal itu disebabkan pada hewan simpanse timbul persepsi terhadap
lingkungan (medan) dan strukturnya sehingga membentuk suatu susunan
bermakna, yaitu insighttadi.
Menurut Yerkes, teori belajar ala Gestalt mempunyai ciri-ciri pokok,
sebagai berikut.
- Melakukan pengamatan terhadap situasi yang problematis.
- Dilakukan tindakan mencoba-coba respons yang tepat.
- Perlakuan perhatian kembali kepada objek (hadiah)nya.
- Dilakukan pengamatan pada respons yang timbul secara tiba-tiba
waktu tertentu.
- Melakukan tindakan pengulangan terhadap respons tertentu yang
adaptif.
- Adanya kemampuan untuk menemukan aspek pokok atau hubungan
dalam situasi problematis dan meninggalkan aspek-aspek yang kurang
penting.
- Adanya kebimbangan, istirahat, sikap konsentrasi perhatian kepada
situasi problematis.
- Andaikan suatu respons mengalami kegagalan maka dicoba respons
yang lain. Pemindahan dari satu metode kepada metode lain semakin
jelas dan sering timbul dengan tiba-tiba.
Sementara itu, apabila dicermati ciri-ciri pokok belajar insight (belajar
kognitif) merupakan bentuk utama belajar menurut psikologi Gestalt, yaitu
sebagai berikut.
Pelaksanaan belajar insight(belajar tilikan dalam) atau disebut juga
belajar kognitif dalam praktik pendidikan tergantung kepada suatu
kemampuan dasar para siswa. Sedangkan, kemampuan dasar
tersebut akan tergantung kepada umur siswa, keanggotaan dalam
spesies manusia, dan perbedaan individual.
Ditemukan suatu fakta di lapangan bahwa insightpada individu
tergantung kepada pengalaman masa lampau yang relevan. L,atar
belakang turut membantu terbentuknya insight,tetapi tidak menjamin
terbentuknya insight.
Kenyataan di lapangan bahwa insighttergantung kepada pengaturan
situasi yang dihadapi. Belajar insighthanya mungkin terjadi jika situasi
belajar diatur sedemikian rupa sehingga semua aspek yang diperlukan
dapat diobservasi. Jika sarana yang diperlukan tersembunyi
kegunaannya untuk menyelesaikan soal menjadi tidak mungkin
dimanfaatkan atau sekurang-kurangnya menjadi sukar.
- Pada individu insightdidahului dengan periode mencari dan mencoba-
coba. Subjek sebelum memecahkan masalahnya, mungkin dia
melakukan respons-respons yang kurang relevan terhadap penyelesaian
problemnya.
Langkah pemecahan masalah dengan insightdapat diulangi dengan
mudah dan akan berlaku secara langsung.
- Apabila insighttelah terbentuk, ia dapat dipakai untuk menghadapi
situasi-situasi yang lain. Ia mempunyai nilai transfer dari satu hal ke hal
yang lain melalui hubungan-hubungan dan generalisasi- generalisasi
yang diperoleh melalui insight.Situasi dan materi sama yang
menimbulkan insightmungkin berbeda dari situasi dan materi yang
baru, tetapi realisasi-realisasi dan generalisasinya sama untuk masing-
masing kejadian.

d. Penerapan Teori Belajar Kognitif Insightdalam Pendidikan


Pada praktik pendidikan penerapan Teori Belajar Kognitif Insight
terlihat dalam hal-hal sebagai berikut.
- Antara motivasi dan maksud mempunyai kedudukan sama. Pada anak
didik diupayakan tumbuh suatu kesadaran mengenai tujuan belajar,
dengan demikian akan dapat mengendalikan kegiatan belajarnya
mereka.
Pendidik harus mampu membina perhatian dan interes belajar pada
anak didiknya. Konkretnya, pendidik membantu anak didik dalam
menyadari tujuan belajar secara realistis dan jelas. Pendidik dapat
menggunakan prestasi-prestasi atau nilai-nilai sosial untuk memotivasi
anak didik.
- Pendidik harus mampu mengelola motif-motif yang bertentangan atau
lazim disebut konflik motif.
- Pendidik atau guru membimbing usaha-usaha untuk menemukan
hubungan-hubungan dengan hipotesis-hipotesis, membuat bagan-
bagan, dan mampu membuat analogi untuk mengorganisasi konsep-
konsep yang dihadapi.
- Upaya mengembangkan belajar secara keseluruhan di lingkungan anak
didik kemudian dideferensiasikan kepada bagian-bagian.
- Penerapan pada upaya pengembangan cara-cara mengorganisasi bahan
dan fakta dalam belajar.
- Penerapan dalam pengembangan penggunaan konsep-konsep secara
runtut pada para peserta didik sehingga pada diri peserta didik terjadi
peningkatan pemahaman terhadap konsep-konsep yang dipelajarinya.
Pengembangan bahan-bahan pelajaran dalam unit-unit yang penuh arti
atau makna sehingga peserta didik mengalami kemajuan dalam
belajarnya.
Demikian itu uraian mengenai teori belajar insightkognitif dan
Penerapannya dalam dunia pendidikan. Terbukti sedikit atau banyak
teori ini telah memberikan warna tersendiri dalam meningkatkan
kegiatan belajar dan mengajar pada anak khususnya dan dukungan yang
baik terhadap kemajuan bidang pendidikan pada umumnya.

8. Belajar Menurut Teori Medan


a. Pengertian Psikologi Medan dan Teori Medan
Psikologi medan adalah psikologi yang dipengaruhi oleh teori medan
yang dikenal dalam bidang fisika. Pencipta psikologi medan adalah Dr. Kurt
Lewin (1890-1947). Tokoh ini selanjutnya paling dikenal sebagai pengguna
teori medan dalam semua cabang psikologi. Sebetulnya psikologi medan
dikembangkan dari psikologi Gestalt. Pada perkembangan berikutnya
psikologi medan sering disebut psikologi Neo Gestalt.
Pada psikologi medan keberadaan prinsip-prinsip dan hukum Gestalt
diakui dalam psikologi medan dengan ditambah konsep-konsep yang baru
seperti konsep lingkungan hidup, simbol matematika dan fisika, misalnya
vektor dan valensi. Dalam psikologi medan ditunjukkan peta atau topografi
dari kehidupan jiwa sebagai suatu realitas.
Psikologi medan menurut Dr. Kurt Lewin memiliki ciri-ciri penting
berikut.
- Tingkah laku manusia merupakan fungsi dari medan psikologis yang ada
pada waktu tingkah laku tersebut terjadi.
Suatu analisis dimulai dengan situasi secara keseluruhan dan
daripadanya kemudian akan timbul bagian-bagian tertentu. Pribadi
seseorang secara konkret dalam situasi nyata dapat diwujudkan secara
matematis.
Lebih lanjut, Lewin mengemukakan bahwa pada individu terdapat
suatu kekuatan-kekuatan yang menentukan tingkah laku orang yang
bersangkutan. Selain itu, suatu medan hidup atau medan psikologis
dibatasi sebagai keseluruhan fakta-fakta yang ada dan dipandang
masing-masing saling tergabung. Lewin mengatakan bahwa tingkah laku
seseorang merupakan fungsi dari pribadi dan lingkungannya sehingga hal
itu dirumuskan secara matematis sebagai berikut:

B = f PE

Keterangan:
B: tingkah laku individu (behavior)
P: pribadi seseorang {person)
E: lingkungan (environment) f:
fungsi

b. Konsep Belajar Menurut Teori Medan


Menurut Dr. Kurt Lewin yang disebut dengan belajar adalah suatu
organisasi atau reorganisasi dari persepsi-persepsi. Proses persepsi pada
individu selalu melibatkan adanya insightseperti halnya anggapan dalam
psikologi Gestalt. Menurut Lewin, belajar itu berupa perilaku, suatu gerak
atau lokomosi dari satu medan hidup ke medan hidup yang lain sehingga
struktur medan hidup mengalami perubahan- perubahan.
Konsep belajar menurut Lewin merupakan hal sangat penting.
Berdasarkan pada adanya persepsi akhirnya Lewin memberikan beberapa
pengertian tentang belajar: perubahan dalam struktur kognisi; perubahan
dalam motivasi, misalnya perubahan valensi dan nilai; penguasaan
keterampilan; perubahan dalam keikutsertaan pada suatu kelompok.
Lebih lanjut, Lewin mengemukakan bahwa belajar merupakan proses
diferensiasi area yang semula tidak terstruktur menjadi terstruktur. Belajar
pada dasarnya merupakan suatu perubahan persepsi. Selain itu, perubahan-
perubahan yang terjadi dalam struktur kognitif disebabkan oleh adanya
kekuatan-kekuatan medan psikologis, kebutuhan-kebutuhan psikologis,
kebutuhan-kebutuhan aspirasi, dan valensi. Aspirasi sejauh tinjauan Lewin
dinyatakan sebagai suatu yang sangat penting dalam proses belajar. Tingkat
aspirasi tergantung kepada potensialitas seseorang dan pengaruh-pengaruh
kelompok sosialnya. Dapat saja terjadi sesuatu yang oleh seseorang
dianggap sebagai suatu kegagalan justru hal itu dipandang sebagai suatu
kesuksesan oleh orang yang lainnya.
Pada proses belajar terjadi suatu pemecahan masalah dan hal tersebut
dapat terjadi hanya jika telah terjadi perubahan dalam struktur kognitif
seseorang. Dalam proses belajar, peranan hadiah dan hukuman tidak dapat
dikesampingkan begitu saja. Sejauh ini, keberadaan hadiah dan hukuman
merupakan sarana motivasi. Penerapan kedua sarana tersebut perlu
dikendalikan secara cermat, tidak diselewengkan. Sebelumnya pernah
dijelaskan bahwa hadiah dipergunakan untuk membentuk suatu tingkah
laku yang diharapkan pada individu, sedangkan hukuman diterapkan
dengan maksud untuk menghindari perilaku tertentu yang tidak
diinginkan.
Kesuksesan dan kegagalan dalam belajar menurut Lewin dapat
berfungsi sebagai hadiah dan hukuman bagi seseorang. Seseorang yang
telah menggapai suatu kesuksesan dalam belajarnya akan merasakan
kepuasan, lebih bergairah dalam kehidupan. Sebaliknya, seseorang yang
mengalami kegagalan akan merasa kecewa atau prihatin sehingga ia akan
segera bangkit untuk berusaha yang lebih giat lagi agar bisa sukses
atau tidak gagal lagi. Namun, kegagalan juga dapat menimbulkan
seseorang menjadi patah semangat atau putus asa bahkan frustrasi.
Lewin juga mengemukakan bahwa pengalaman sukses itu dapat
diperoleh seseorang dalam beberapa keadaan, di antaranya sukses dialami
oleh seseorang yang benar-benar meraih sesuatu yang diinginkan. Sukses
juga dapat dirasakan apabila usahanya telah memasuki daerah tertentu,
seperti seorang siswa Sekolah Dasar mendapatkan nilai 10 dalam mata
pelajaran matematika setelah mengulang ujiannya tiga kali. Kesuksesan
siswa SD tersebut merupakan contoh kesuksesan yang belum sempurna.
Sukses juga dapat dihayati oleh seseorang setelah orang yang bersangkutan
berbuat lebih maju daripada sebelumnya. Misalnya, seorang siswa Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) kelas tiga betul-betul telah siap
menghadapi Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN). Sukses
dapat pula dialami oleh seseorang jika ia telah dapat berbuat sesuatu yang
diterima oleh masyarakat di sekitarnya. Seperti seorang pemuda menjadi
penggerak kegiatan ekonomi bagi para pemuda yang tergabung dalam
organisasi karang taruna di desanya.

9. Belajar Menurut Teori Tolman


a. Konsep Belajar Menurut Tolman
Edward C. Tolman (1886—1959) adalah salah seorang ahli yang
digolongkan pengikut aliran behaviorisme. Teori belajar ini tidak
sepenuhnya menerima pendapat yang tertuang dalam teori belajar
koneksionisme. Ketidakcocokan Tolman terhadap teori belajar
koneksionisme tersebut dituangkan dalam bukunya yang berjudul Purposive
Behavior in Animals and Man (1932). Tolman kemudian menggabungkan
kebaikan-kebaikan atau segi positif dari Teori Belajar
Koneksionisme (hubungan S—R) dan Teori Kognitif Insight. Tolman
menggunakan pendekatan teologis tingkah laku dalam menyusun konsep
teori belajar. Menurut Tolman, suatu tingkah laku harus mempunyai
tujuan. Tingkah laku memiliki banyak faktor bukan sekadar hubungan S-R
saja. Oleh karena itu, Tolman mengintroduksi konsep yang berpengaruh
pada tingkah laku individu. Tolman setidaknya mengajukan tiga macam
variabel berkaitan dengan pendapatnya.
Pertama, variabel bebas (independent variabel). Variabel bebas meliputi
beberapa hal dan semuanya berkaitan dengan tingkah laku manusia.
Dengan kata lain, tingkah laku organisme termasuk manusia disebabkan
oleh banyak hal, di antaranya perangsang-perangsang dari luar, dorongan
fisiologis, keturunan, latihan-latihan yang telah dialami, dan kedewasaan
atau umur organisme (seseorang). Tahun 1937, Tolman merevisi variabel
bebas dibagi menjadi dua kategori, yaitu perbedaan-perbedaan individual
dan variabel bebas eksperimental. Menurut Tolman, tingkah laku
merupakan fungsi dari semua variabel bebas yang berinteraksi satu dengan
yang lainnya. Selanjutnya, Tolman menyusun rumus matematika tentang
hal tersebut, yaitu:

B = f (S, P, H, T, A)

Keterangan:
B: tingkah laku organisme (manusia)
S: perangsang-perangsang dari luar P:
dorongan fisiologis H: keturunan
T: latihan-latihan yang telah dialami A: kedewasaan
atau umur organisme (seseorang).
Kedua, variabel terikat (dependent variabel). Variabel terikat meliputi
tingkah laku organisme yang dapat diamati. Berkaitan dengan ini, Tolman
banyak melakukan percobaan menggunakan hewan marmut dan tikus.
Dari percobaan yang dilakukannya itu Tolman membuat kesimpulan
bahwa tingkah laku organisme bersifat aktif dan selektif, tingkah laku
organisme tersebut memiliki maksud atau tujuan tertentu dan terarah
kepada tujuannya, tingkah laku organisme berkaitan dengan Stimulus-
Respons (S-R), namun hal ini tidak bersifat mekanistis seperti halnya
sebuah mesin, tingkah laku bersifat kompleks (molar) dan dapat diajarkan,
dan tingkah laku merupakan fungsi seluruh organisme.
Tolman menjelaskan bahwa tingkah laku organisme (individu) selalu
mempunyai tujuan tertentu dan bersifat kognitif. Tingkah laku tersebut
ditentukan oleh persepsi tujuan yang terarah dari situasi total atau
harapan-harapan sinyal Gestalt dari seseorang sehingga sering Teori Belajar
Tolman disebut juga Teori Belajar Sinyal Gestalt (Sign Gestalt Theory of
Learning).Ringkasnya, dalam tingkah laku organisme (individu) terdapat
kombinasi antara persepsi dan motivasi individu.
Ketiga, variabel berpengaruh yang tidak terkontrol (intervening
variables).Tolman menyusun suatu posulat bahwa terjadi variabel yang
terbentuk antara variabel bebas dan variabel terikat yang disebut
intervening variables.Tolman membedakan intervening variables menjadi dua
macam, yaitu determinan-determinan maksud dan kognitif serta kapasitas
dan perilaku adaptasi. Kedua macam variabel tersebut menurut Tolman
tidak dapat diamati tetapi berpengaruh nyata pada tingkah laku organisme.
Perkembangan waktu-waktu berikutnya yang dapat dicatat adalah
pada tahun 1952 Tolman memperbaiki pembagian variabel tidak terkontrol
(iintervening variables) menjadi tiga macam variabel, yaitu
sistem kebutuhan yang tergantung kepada kekosongan atau
kekurangan fisiologis atau situasi dorongan; kepercayaan, nilai, dan motif
yang menunjukkan preferensi tujuan untuk pemenuhan kebutuhan, dan
langkah-langkah tingkah laku individu yang bersangkutan.

b. Eksperimen Belajar Tolman dan Lainnya


1) Eksperimen Mempelajari Peta Kognitif
Pada 1930, Macfarlane, murid Tolman, melatih beberapa hewan
marmut untuk berenang di dalam mazes atau kotak kolam renang
sederhana untuk mencapai kotak yang berisi makanan (hadiah). Langkah
Macfarlane itu untuk membuktikan apakah hewan marmut tersebut
mempunyai kognisi mengenai kotak kolam renang atau hanya berbuat
karena S-R saja. Setelah melakukan langkah tersebut, kemudian Macfarlane
mengeluarkan air dalam kotak renang tadi dan marmut dimasukkan ke
dalam kotak itu. Ternyata marmut tersebut dapat lari sebagai gantinya
berenang untuk mencapai kotak makanan. Macfarlane akhirnya membuat
kesimpulan bahwa hewan marmut percobaan tadi telah mempunyai peta
kognitif kotak renang (mazes).

2) Eksperimen Mempelajari Tempat (place learning)


Pada 1930 Tolman bersama-sama dengan Honzik melakukan
percobaan untuk mengetahui hubungan antara tempat belajar (place
learning) dan belajar laten (latent learning).Tolman dan Honzik merancang
kotak kolam renang berbentuk huruf T seperti tampak pada gambar skema
berikut ini.
Gambar 5 Maze Marmut

Pada percobaan tersebut dimaksudkan untuk mempelajari perilaku


rramiut dapat mencapai kotak tujuan, yaitu kotak berisi makanan (ladiah).
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan akhirnya Tolman dan Honzik
membuat kesimpulan bahwa hewan marmut percobaan simpai pada
makanan (hadiah) tidak dengan cara yang tetap, perilakunya. bervariasi
menurut situasinya. Semula hewan marmut percobaan dilatih dalam kotak
kolam renang A dan kemudian hewan marmut tersebut dites menggunakan
kotak kolam renang B. Perilaku Marmut menunjukkan hewan tersebut
mempelajari tempat yang disediakan untuknya.
3) Eksperimen untuk Mengetahui Belajar Laten (latent learning)

Tolman dan Honzik ketika mengadakan percobaan untuk mengetahui


belajar laten menggunakan hewan marmut sebagai hewan percobaan. Ada
dua kelompok hewan marmut percobaan, yaitu hewan marmut kelompok
A dan B. Kedua hewan percobaan tersebut diletakkan dalam kotak kolam
renang (maze). Hewan marmut kelompok A tanpa diberi hadiah (makanan)
dan pada eksperimen berikutnya diberikan hadiah (makanan). Sedangkan
hewan marmut kelompok B, langsung diberi hadiah (makanan). Pada akhir
percobaan, Tolman dan Honzik menyimpulkan bahwa hewan marmut
yang pernah mengeksplorasi kotak kolam renang (maze) tanpa hadiah
(makanan), yaitu hewan kelompok A, lebih cepat dapat mencapai tujuan
dibandingkan dengan hewan marmut percobaan kelompok B. Dari
perlakuan percobaan ini Tolman dan Honzik mengetahui secara umum
adanya kepentingan belajar laten pada organisme (individu).
4) Eksperimen untuk mengetahui belajar mengharapkan hadiah
[reward expectancy learning)

Tolman dan Elliot tahun 1928 juga melakukan penelitian tentang


kaitan antara belajar dan hadiah pada organisme. Pada percobaan ini
Tolman dan Elliot juga menggunakan hewan marmut sebagai hewan
percobaan.

Perlakuan hewan percobaan sebagai berikut: dibuat dua kelompok


hewan marmut, yaitu hewan marmut kelompok I sebagai kelompok hewan
eksperimen diberi hadiah (makanan) berupa dedak dicampur sekam.
Sedangkan hewan marmut kelompok II, sebagai kontrol diberi hadiah
(makanan) berupa biji bunga matahari. Kedua kelompok hewan tersebut
kemudian dilatih selama sembilan hari. Pada hari kesepuluh,
pelaksanaan eksperimen hadiah pada hewan marmut kelompok II berupa
biji bunga matahari diganti dengan dedak dan sekam.
Pada percobaan ini, Tolman dan Elliot menyusun hipotesis bahwa
hewan marmut yang mengharapkan hadiah (makanan) dedak dan sekam
akan berbuat atau melakukan banyak kesalahan sewaktu harapannya
tersebut tidak terpenuhi atau berhenti sama sekali melakukan aktivitasnya.
Akhir percobaan Tolman dan Elliot tersebut mendatakan bahwa
hewan marmut kelompok I yang sangat mengharapkan hadiah (makanan)
berupa dedak dan sekam berbuat atau melakukan banyak kesalahan
perilaku ketika hadiah yang diharapkan tidak ada bila dibandingkan
dengan hewan marmut kelompok II. Tolman dan Elliot menyimpulkan
bahwa harapan hadiah merupakan faktor penting dalam belajar pada
organisme.

c. Hukum dan Tipe-Tipe Belajar Menurut Tolman


Tolman menyusun tiga tipe hukum belajar, yaitu hukum kapasitas,
hukum stimuli, dan hukum relatif kepada perilaku. Hukum kapasitas
berkaitan erat dengan sifat-sifat pribadi (traits),bakat-bakat, dan ciri-ciri
khusus pelajar yang bersangkutan. Hukum-hukum stimuli berkaitan
dengan benda-benda atau bahan-bahan itu sendiri dalam konteks satu sama
lain saling mendorong timbulnya insightuntuk solusi problem. Sedangkan
hukum-hukum relatif kepada perilaku, berupa presentasi bahan dalam
perulangannya, distribusi atau praktik dan penggunaan hadiah.
Untuk mendukung pendapatnya tentang teori belajar Tolman
membuat penggolongan tipe-tipe belajar menjadi enam golongan
(Fudyartanto, 2003). Pertama, catexis,yaitu tipe belajar untuk
menjelaskan tipe final dari objek positif atau negatif dari dorongan datar.
Tipe belajar ini berhubungan dengan pembentukan tingkah laku untuk
memenuhi dorongan fisiologis. Contohnya terlihat antara dorongan minum
dan makan terdapat saling hubungan satu sama lain. Kedua, ekuivalen
kepercayaan, berhubungan dengan objek catexis positif dan tipe objek yang
merugikan. Ketiga, harapan medan, yakni medan sekitar yang sering timbul
dalam jiwa manusia. Keempat, model medan kognitif merupakan cara baru
peringatan dan persepsi objek sekitar. Kelima, pembedaan dorongan,
berupa hubungan yang pasti antara dorongan dan cara respons. Keenam,
pola-pola gerak adalah menyangkut keterampilan motoris atau merupakan
tipe belajar psikomotor.
Sejauh ini teori belajar yang dikemukakan oleh Tolman sering pula
dikenal dengan sebutan Teori Belajar Sinyal Gestalt karena berpusat pada
perilaku yang bertujuan. Menurut Tolman, tingkah laku oragnisme bersifat
luwes dan dapat diubah oleh pengalaman dan latihan-latihan. Hal itu
terbukti setelah Tolman dan kawan-kawan melakukan eksperimen seperti
telah dikemukakan dalam subbab sebelum ini. Tolman memperjelas
pendapatnya bahwa belajar adalah perkara pembentukan sinyal Gestalt,
perbaikan, seleksi, dan penemuan. Perilaku akan terjadi dalam ruang dan
bergerak dalam ruang. Objek-objek dalam ruang ada yang menarik dan ada
yang tidak disenangi oleh manusia. Jelasnya, pada individu atau manusia
terdapat valensi positif (+) dan ada valensi negatif (-). Organisme atau
individu dapat memberikan respons-respons konsumtif dan penolakan dan
hal tersebut dapat diajarkan. Tidak seluruh respons bersifat reflektif belaka.
Terdapat tiga tahapan keengganan terjadi dalam organisme yang secara
keseluruhan dapat dipengaruhi oleh suatu keadaan fisiologis, tuntutan
untuk bertindak, dan kesiapan sinyal Gestalt. Organisme umumnya akan
aktif berbuat karena terdapat tuntutan tujuan tertentu. Tuntutan
oragnisme itu sendiri ada dua macam, yaitu kekurangan atau gangguan
fisiologis dan kebutuhan fisiologis yang mendorong aktif untuk
mencarinya. Hal tersebut merupakan motivasi bagi setiap individu dalam
berperilaku termasuk dalam belajar.
Menurut Tolman, ada dua faktor penyebab tingkah laku organisme,
yaitu faktor kekosongan fisiologis dan faktor nilai intensif pada objek-objek
yang bertujuan. Dorongan meliputi keengganan dan selera pada individu
atau organisme dan adanya dorongan ingin tahu (kuriositas), menonjolkan
pribadi, dan merendahkan diri merupakan hal-hal yang berpengaruh pada
pembentukan perilaku pada individu.

d. Sumbangan Toiman dalam Bidang Psikologi


Tolman sebagai psikolog behavioristik bekerja keras mengambil teori-
teori belajar yang benar dari sana-sini kemudian disusunnya kembali
menjadi suatu sistem yang lebih fokus pada tingkah laku individu dan
bersifat teleologis atau tingkah laku bertujuan. Kerangka belajar
diterangkan dengan konsep kognitif sehingga bisa lebih mencerahkan
permasalahan yang sedang dikaji.
Bab XI
TEORI-TEORI MOTIVASI BELAJAR

A. Pengertian Motivasi
Motivasi memiliki akar kata dari bahasa Latin movere, yang berarti gerak
atau dorongan untuk bergerak. Dengan begitu, memberikan motivasi bisa
diartikan dengan memberikan daya dorong sehingga sesuatu yang
dimotivasi tersebut dapat bergerak. Untuk memberikan pemahaman yang
jelas mengenai motivasi, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat para
ahli.
Menurut Atkinson, motivasi dijelaskan sebagai suatu tendensi
seseorang untuk berbuat yang meningkat guna menghasilkan satu hasil
atau lebih pengaruh. A.W. Bernard memberikan pengertian motivasi
sebagai fenomena yang dilibatkan dalam perangsangan tindakan ke arah
tujuan-tujuan tertentu yang sebelumnya kecil atau tidak ada gerakan sama
sekali ke arah tujuan-tujuan tertentu. Motivasi merupakan usaha
memperbesar atau mengadakan gerakan untuk mencapai tujuan tertentu.
Abraham Maslow mendefinisikan motivasi adalah sesuatu yang
bersifat konstan (tetap), tidak pernah berakhir, berfluktuasi dan bersifat
kompleks, dan hal itu kebanyakan merupakan karakteristik universal pada
setiap kegiatan organisme. Dari beberapa pengertian motivasi seperti telah
dikemukakan tersebut, secara lebih ringkas dapat dikemukakan bahwa
motivasi pada dasarnya adalah suatu usaha untuk meningkatkan kegiatan
dalam mencapai suatu tujuan tertentu, termasuk di dalamnya kegiatan
belajar. Secara lebih khusus jika orang menyebutkan motivasi belajar yang
dimaksudkan tentu segala sesuatu yang ditujukan untuk mendorong atau
memberikan semangat kepada seseorang yang melakukan kegiatan belajar
agar menjadi lebih giat lagi dalam belajarnya untuk memperoleh prestasi
yang lebih baik lagi.
Motivasi dapat timbul dari luar maupun dari dalam diri individu itu
sendiri. Motivasi yang berasal dari luar diri individu diberikan oleh
motivator seperti orangtuanya, guru, konselor, ustadz/ustadzah, orang
dekat atau teman dekat, dan lain-lain. Sedangkan motivasi yang berasal
atau timbul dalam diri seseorang, dapat disebabkan seseorang mempunyai
keinginan untuk dapat menggapai sesuatu (cita-cita) dan lain sebagainya.

B. Fungsi Motivasi bagi Individu dalam Belajar


Berkaitan dengan kegiatan belajar, motivasi dirasakan sangat penting
peranannya. Motivasi diartikan penting tidak hanya bagi pelajar, tetapi juga
bagi pendidik, dosen, maupun karyawan sekolah, karyawan perusahaan.
RBS. Fudyartanto (2003) menuliskan fungsi-fungsi motivasi sebagai
berikut.
Pertama, motif bersifat mengarahkan dan mengatur tingkah iaku
individu. Motif dalam kehidupan nyata sering digambarkan sebagai
pembimbing, pengarah, dan pengorientasi suatu tujuan tertentu dari
individu. Tingkah laku individu dikatakan bermotif jika bergerak menuju
ke arah tertentu. Dengan demikian, suatu motif dipastikan memiliki tujuan
tertentu, mengandung ketekunan dan kegigihan dalam bertindak. Tidak
dapat dimungkiri bahwa suatu tingkah laku yang bermotif itu bersifat
kompleks karena struktur keadaan yang ada dan sekuen-sekuen tindakan
yang menentukan tingkah laku individu yang bersangkutan.
Kompleksnya suatu motif dipengaruhi oleh berbagai macam variabel
yang berlangsung dalam organisme dan dalam lingkungan di sekitarnya.
Lashley menguraikan beberapa variabel motivasi yang penting untuk
diketahui: faktor kebiasaan individu, meskipun tidak semua kebiasaan
bertindak sebagai motivator, kesiapan mental; nilai-nilai dan sikap-sikap
individu yang berpengaruh pada proses motivasi; faktor fisiologis dalam
organisme atau individu; faktor emosi yang biasanya sering disebut sebagai
kondisi yang memotivasi keadaan.
Kedua, motif sebagai penyeleksi tingkah laku individu. Motif yang
dipunyai atau terdapat pada diri individu membuat individu yang
bersangkutan bertindak secara terarah kepada suatu tujuan yang terpilih
yang telah diniatkan oleh individu tersebut. Dengan pernyataan lain,
adanya motif menghindari individu menjadi buyar dan tanpa arah dalam
bertingkah laku guna mencapai tujuan tertentu yang telah diniatkan
sebelumnya. Contohnya, seorang siswa Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) yang ingin lulus ujian sekolahnya menyeleksi cara-cara yang
menurutnya dianggap tepat untuk dapat mencapai
tujuannya, yaitu dapat lulus ujian akhir sekolahnya. Dalam hal ini,
siswa SMK tersebut telah mendeterminasi motif dalam dirinya untuk
dapat mencapai tujuannya lulus ujian akhir sekolah.
Ketiga, motif memberi energi dan menahan tingkah laku individu.
Motif diketahui sebagai daya dorong dan peningkatan tenaga sehingga
terjadi perbuatan yang tampak pada organisme. Motif juga mempunyai
fungsi untuk mempertahankan agar perbuatan atau minat dapat
berlangsung terus-menerus dalam jangka waktu lama. Tetapi, energi
psikis ini tetap tergantung kepada besar kecilnya motif pada individu
yang bersangkutan. Jelasnya, jika motif yang ada pada individu besar
atau kuat, ia akan memiliki energi psikis yang besar. Sebaliknya, jika
motif yang ada dalam diri individu lemah, energi psikis yang dimiliki
individu yang bersangkutan juga lemah. Menurut Hebb, semakin besar
motif pada individu, semakin efisien dan sempurna tingkah lakunya.

C. Klasifikasi Motif pada Individu


Dalam dunia pendidikan, untuk mempermudah mempelajari motif
dilakukan klasifikasi. Berikut ini adalah di antara ahli yang melakukan
klasifikasi motif.
Pertama, Woodworth dan Marquis. Kedua orang ahli ini membagi
motif menjadi tiga macam: (1) Motif organis, yaitu motof-motif yang
berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan biologis individu, seperti
motif-motif untuk makan dan minum, seks, beristirahat, bergerak, dan
lain-lain; (2) Motif objektif, mencakup motif-motif lain yang bukan
sekadar memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis, melainkan juga
kebutuhan-kebutuhan di atasnya, seperti motif-motif belajar, bekerja,
beragama, berlibur, dan lain-lain; (3) motif darurat, yaitu motif-motif
yang timbul dalam keadaan darurat, genting, kritis, dan semua hal itu
menuntut suatu tindakan yang cepat, seperti motif-motif berlari
menyelamatkan diri dari bahaya yang mengancam jiwanya, berteriak
meminta tolong orang lain, dan lain-lain.
Kedua, S.S. Chauhan. Ahli ini juga membagi motif menjadi tiga
golongan: (1) motif fisiologis, yaitu motif yang sangat esensial untuk
melangsungkan hidup individu, seperti motif-motif makan dan minum,
seks, metabolisme, emosi, dan kehangatan; (2) motif sosial, yaitu motif-
motif yang dipelajari dalam lingkungan sosial yang dipengaruhi oleh
warisan kultural dan pandangan hidup bangsanya, seperti motif belajar; (3)
motif personal, yaitu motif yang berkaitan dengan proses sosialisasi
manusia, seperti motif-motif yang berhubungan dengan interes, sikap,
nilai, tujuan, dan konsep diri.

D. Konsep Motif dan Perkembangannya


Masalah motif menjadi buah bibir manusia semenjak manusia ada di dunia.
Dengan kata lain, pembicaraan masalah motif mengikuti sejarah
munculnya manusia di muka bumi. Konsep motif itu munculnya tanpa
diketahui oleh manusia secara pasti. Disebutkan bahwa pembicaraan
masalah motif mulai terekam semenjak zaman Yunani Kuno oleh Plato.
Hanya saja, waktu itu belum menggunakan istilah motif, tetapi free
will‘keinginan bebas’.
Saat pertama kali permasalahan tersebut muncul di tengah-tengah
peradaban manusia, setiap manusia memiliki kebebasan untuk memilih
segala apa yang diinginkannya secara merdeka tanpa tekanan dari pihak
mana pun. Konsep keinginan yang bebas tersebut untuk menjelaskan
tingkah laku manusia yang pada kelanjutannya akan mendorong manusia
untuk berbuat dan berpikir secara cerdas dan masuk akal.
Perkembangan masa-masa selanjutnya konsep keinginan bebas yang
dikemukakan oleh Plato tersebut ditolak oleh para penganut filsafat
kontemporer yang selanjutnya memunculkan konsep hedonisme etik.
Paham hedonisme etik mengatakan bahwa perbuatan manusia disebabkan
mencari kesenangan dan menghindari kesusahan yang dinilai secara etis
adalah baik dan manusiawi. Itulah sebabnya konsep ini kemudian
dinamakan hedonisme etik.
Konsep kedua mengenai motif muncul ketika masa revolusi
intelektual abad ke-16 dan 17. Konsep motif yang dikemukakan oleh para
filsuf dan ilmuwan pada abad ini lebih rasional dan ilmiah. Beberapa orang
yang dicatat sebagai tokoh pencetus konsep motif abad ke-16 dan 17 di
antaranya adalah Rene Descartes (1596-1650), Thomas Hobbes (1588-
1679), John Locke (1632-1704), Hutcheson (1728), David Hume (1711-
1776), dan lain-lain. Berturut-turut di bawah ini dikemukakan konsep
motif oleh masing-masing ahli itu.

1. Rene Descartes (1596-1650)


Rene Descartes adalah filsuf yang kali pertama mengajukan teori
tingkah laku manusia. Menurut Descartes, tingkah laku manusia dapat
dijelaskan dengan konsep-konsep atau term kekuatan atau tenaga fisik
yang bekerja pada organisme. Ahli ini mengembangkan penjelasan tingkah
laku hewan dengan gangguan-gangguan pada sistem fisiologisnya.
Descartes berpendapat bahwa pikiran manusia tunduk pada posisi tertentu
yang datang, baik dari refleksi sendiri maupun dari tubuh. Descartes
menekankan pentingnya emosi dalam motivasi. Ia juga berpendapat bahwa
alam telah memberi kepada
hewan dan manusia pertanda jelas pada konstitusi tubuhnya dengan
menghasilkan jenis tingkah laku yang benar, sikap, dan kesiapan
mental untuk berbuat sesuatu untuk menghasilkan kenyamanan pada
individu atau organisme.

2. Thomas Hobbes (1588-1679)


Ahli ini berusaha mengembangkan prinsip kenikmatan psikis
(hedonisme psikologis). Hobbes berpendapat bahwa semua perbuatan
manusia dimotivasikan untuk mencapai suatu kenikmatan
(kesenangan) dan menghindari kesusahan (kesukaran). Tujuan
perbuatan manusia dipengaruhi oleh antisipasi dan pengalaman-
pengalaman sebelumnya. Hobbes merupakan seorang ahli yang
menolak penjelasan teleologis tingkah laku pada manusia.

3. John Locke (1632 -1704)


John Locke adalah filsuf berkebangsaan Inggris yang mengajukan
teori yang disebut dengan tabularasa pada tingkah laku bayi. Menurut
ahli ini, semua pengalaman diperoleh dari pengindraan. John Locke
menambahkan bahwa jiwa manusia bersifat pasif. Jiwa menerima
sensasi-sensasi dan kemudian dirangkainya menjadi idea-idea atau
konsep-konsep. Kemauan sering ditentukan oleh suatu kesenangan.
Selain itu, kesenangan juga menimbulkan dorongan untuk berbuat.
Manusia mewarisi kemampuan untuk memilih alternatif tindakan-
tindakan sehingga harus memilih tindakan yang memberikan
kesenangan yang lebih banyak dibandingkan kesusahan.
4. Hutcheson (1728)
Ahli ini mengusulkan dua macam motif yang terdapat pada diri manusia,
yaitu motif egoistik dan motif altruistik. Motif egoistik merupakan suatu
keinginan untuk mencari kesenangan pada individu-individu. Sedangkan motif
altruistik, merupakan keinginan untuk mencari kesenangan bagi orang lain.

5. David Hume (1711-1776)


Menurut Hume, hal yang menentukan kemauan atau perbuatan- perbuatan
manusia adalah idea, sensasi, dan keinginan-keinginan. Konsep Hume dan John
Locke, seperti telah dikemukakan sebelumnya, mempunyai dampak reformasi
psikologis.

6. Masa Perkembangan Psikologi Empirisme Abad ke-19


Diketahui pada awalnya dalam bidang psikologi banyak dilakukan
percobaan-percobaan sensasi dan persepsi menggunakan metode introspeksi.
Namun, pada perkembangan di masa-masa selanjutnya metode tersebut
ditinggalkan orang. Sampai pada akhirnya di abad ke-19 tidak ada lagi konsep
motivasi yang dianut orang seperti halnya ketika zaman kuno.

E, Teori Insting dan Teori Dorongan


Pendapat yang mulai bergulir kemudian adalah mengenai ajaran insting
menggantikan konsep motivasi. Reid, misalnya, menganalisis pendapat Hume
dan Locke yang kemudian dikembangkan menjadi psikologi daya. Dari
analisisnya itu Reid kemudian mengajukan konsep insting.
Ajaran insting muncul untuk memberikan jawaban kuno atas pertanyaan
mengapa manusia berbuat sesuatu. Ahli yang mendukung ajaran insting dalam
bidang psikologi di antaranya McDougall dari Inggris, William James dari USA,
dan Burt. Ketiganya mengajukan Teori Respons Bawaan atau Teori Respons
Tidak Dipelajari. Teori tersebut berisi tendensi-tendensi respons sebagai
determinan tingkah laku organisme.
McDougall dipandang sebagai seorang tokoh penting dalam Teori Insting.
Menurut McDougall, insting adalah suatu tendensi umum keturunan yang
kompleks pada manusia sebagai individu untuk memersepsi dan memerhatikan
objek-objek tertentu dan situasi tertentu. Selain itu, juga untuk mengalami
keadaan emosi tertentu secara positif atau negatif terhadap sesuatu yang
dipersepsikan. Selain itu, insting juga diperlukan untuk berbuat dengan cara
tertentu dengan tujuan untuk mempertahankan diri.
Dougall semula mengajukan setidaknya ada 12 macam insting yang dimiliki
manusia. Tetapi, pada perkembangan waktu selanjutnya ia mengajukan ada 18
macam insting, seperti insting keibuan, insting berkawan (gregarius), insting
mencari jodoh, insting untuk patuh, insting memiliki, dan lain-lain. Menurut
Dougall, setiap insting disertai disposisi emosi tertentu. Misalnya, ketika
seseorang ketakutan ia ingin melarikan diri.
Teori insting dianut orang hingga Perang Dunia I. Setelah itu terjadi hal
sebaliknya hingga timbul gerakan anti-insting yang dipelopori oleh Kuo dan
Dunlop. Alasan kedua orang tersebut menolak Teori Insting adalah setiap ahli
insting mengajukan suatu daftar insting sendiri-sendiri sehingga tahun 1924 saja
telah terkumpul 849 macam msting. Tingkah laku orang dewasa umumnya
dipengaruhi oleh belajar
dan pengalaman dan hal tersebut bukan suatu keturunan (pembawaan).
Dalam eksperimennya, Kuo menemukan anak kucing dan tikus yang dicampur
dapat hidup akur dan saling bermanja-manja.
Alasan Kuo menolak Teori Insting juga didasarkan pada catatan yang
dibuat oleh J.B. Watson tentang insting bahwa pada hewan terjadi perkelahian
karena adanya insting berkelahi. Menurut Watson, pendapat ini terlalu
berlebih-lebihan dan penjelasannya bersifat sirkuler sehingga tampak pleonastis.
Selain itu, Kuo memperkuat alasan penolakan teori ini dengan didasarkan
kepada pendapat ahli antropologi sosial yang mengatakan bahwa tingkah laku
manusia terbentuk oleh pola-pola kebudayaan semisal anak yang dilahirkan
akan dididik. Tindakan seperti ini tidak dipengaruhi oleh insting umum
sebagaimana yang diusulkan oleh Teori Insting.
Semenjak diumumkannya penolakan Teori Insting di tengah-tengah
khalayak umum para ahli mulai mengembangkan Teori Dorongan untuk
menjelaskan perihal tingkah laku manusia. Seperti apa atau bagaimana bunyi
Teori Dorongan dimaksud?
P.V.Young mencoba memberikan pengertian mengenai dorongan sebagai
energi yang menggerakkan badan. Dorongan adalah stimulus yang berasal dari
dalam yang menggerakkan badan. Dorongan juga diartikan suatu kondisi
internal otot-otot yang melepaskan energi dan menghasilkan (menyebabkan)
aktivitas-aktivitas. Dorongan merupakan aktivitas umum. Dorongan diartikan
juga sebagai tendensi perilaku seseorang. Dorongan berarti aktivitas khusus
yang terarah pada suatu tujuan. Dalam psikologi manusia, dorongan sebagai
fokus motivasi dalam kepribadian, maksud, dan interes.
R.S. Woodworth, seorang psikolog telah mengintroduksi konsep dorongan
atau drivedalam psikologi. Menurutnya, dorongan diartikan sebagai energi fisik
yang mengaktivasi organisme untuk bertindak.
Holt seorang ahli yang lain memberikan pengertian dorongan dalam dua
macam. Pertama, dorongan sebagai energi fisik. Kedua, dorongan sebagai
perantara untuk melepaskan energi dari sumbernya. Dorongan merupakan
energi yang ditimbulkan dari dalam sel-sel badan organ-organ dan jaringan-
jaringan tubuh sehingga struktur jasmani menentukan pola dan bentuk tingkah
laku organisme, termasuk di dalamnya individu.
Perkembangan selanjutnya mengenai Teori Dorongan banyak diterima
oleh para ahli psikologi sehingga konsep ini dapat berkembang menjadi luas dan
diterima oleh masyarakat umum. Diakui terjadi perbedaan pendapat dari para
ahli mengenai hal itu, tetapi perbedaan tersebut dapat dipahami dengan baik
dan melegakan semua pihak.

F. Teori Reduksi Dorongan


Perkembangan waktu-waktu berikutnya terjadi penyurutan penerimaan Teori
Dorongan yang kemudian digantikan oleh munculnya Teori Reduksi Dorongan.
Di antara Teori Reduksi Dorongan yang pada zamannya banyak diterima
masyarakat luas dikemukakan oleh Hull.
Teori Hull tentang reduksi dorongan tersebut akhirnya banyak
dipertentangkan orang karena setelah dipraktikkan ditemui berbagai macam
perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut membuat orang semakin menjauh
dari ajaran Hull tentang teori reduksi dorongan. Hull telah gagal menjelaskan
konsep terjadinya tingkah laku pada manusia yang sifatnya kompleks dengan
menggunakan teori yang
dikemukakannya. Menurut Hull, terdapat beberapa dorongan primer di luar
motif-motif yang bersifat derivatnya telah banyak diteliti dalam psikologi
eksperimen. Untuk memperkuat pernyataan ini, Harlow mengemukakan contoh
kera dapat belajar problem-problem mekanika walaupun tak ada reduksi
dorongan. Keberatan terhadap teori reduksi dorongan Hull adalah bahwa
adanya asumsi semua belajar tergantung dari reduksi dorongan tidak seluruhnya
benar. Pernyataan bahwa orang ingin berbuat sepenuhnya untuk mereduksi
dorongan tidak seluruhnya terbukti juga memperkuat penolakan pernyataan
Hull tentang teori reduksi dorongan. Dalam eksperimen, orang mencari
lingkungan yang lebih menstimulasi daripada yang kurang dapat merangsang
keadaan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Heron (1957) membuktikan bahwa
fungsi-fungsi psikis yang normal tampak tergantung dari stimulisasi yang
optimal dan sensasi-sensasi yang sukar. Dengan demikian, data tersebut semakin
membuktikan bahwa Teori Reduksi Dorongan tidak sepenuhnya benar sehingga
orang kembali beralih pada teori dorongan.

G. Teori Kebutuhan
Teori ini muncul sepaham dengan pendapat yang dikemukakan oleh seorang
ahli fisiologi bernama Cannon. Ahli ini menggambarkan bahwa dalam
organisme manusia terdapat perangkat regulasi otomatis yang bekerja untuk
memelihara kondisi internal individu dalam keseimbangan atau homeostatic
process,yaitu proses untuk membuat seimbang yang dalam fisika disebut
termostat.
Penerapan proses homeostatik dalam psikis adalah dengan cara
dianalogikan. Orang dapat berasumsi bahwa seseorang sebagai sekumpulan
kebutuhan-kebutuhan psikis yang dapat mendorong seseorang bertingkah laku.
Henry Murray berpendapat bahwa kebutuhan adalah sesuatu kekuatan
hipotetis terhadap terjadinya persepsi, inteligensi, dan tindakan seseorang.
Apabila kebutuhan-kebutuhan seseorang tidak terpenuhi, orang akan berusaha
semampunya untuk memenuhi kebutuhannya itu. Setidaknya, ia akan
mengompensasikan tindakan-tindakannya yang lain selama kebutuhannya
tersebut tidak terpenuhi.

H. Teori-Teori Motivasi
Dalam psikologi dikenal ada beberapa teori motivasi, mulai dari teori motivasi
fisiologis, teori aktualisasi diri dari Maslow, teori motivasi dari Murray, teori
motivasi hasil, teori motivasi dari psikoanalisis, teori motivasi intrinsik, dan
teori motivasi belajar. Penjelasan ringkas dari masing-masing teori motivasi
tersebut dikemukakan berikut ini.

I. Teori Motivasi Fisiologis


Teori ini dikembangkan oleh Morgan dengan sebutan Central Motive State
(CMS) atau keadaan motif sentral. Teori ini bertumpu pada proses fisiologis
yang dipandang sebagai dasar dari perilaku manusia atau pusat dari semua
kegiatan manusia. Untuk mendukung pendapat itu, Morgan telah melakukan
beberapa eksperimen untuk membuktikan Teori CMS.
Ciri-ciri dalam CMS adalah bersifat tetap, tahan lama bahwa motif sentral
itu ada secara terus-menerus tanpa bisa dipengaruhi oleh
faktor luar maupun dalam diri individu yang bersangkutan. CMS memiliki ciri
aktivitas umum yang merupakan kegiatan-kegiatan yang bersifat umum. CMS
bersifat selektif terhadap respons yang terpilih. Reaksi itu tidak tergantung
kepada situasi dari luar maupun dari dalam individu. Selain itu, CMS juga
mempunyai ciri emosi dan pola tingkah laku tertentu.

2. Teori Aktualisasi Diri dari Maslow


Abraham Maslow (1908-1970) adalah psikolog humanis yang berpendapat
bahwa manusia dapat bekerja ke arah kehidupan yang lebih baik. Untuk
menyokong pendapat itu, Maslow menggunakan pendekatan yang berbeda
dengan paham behaviorisme dan psikoanalisis. Maslow menguji secara kritis
pendapat tradisional tentang pendekatan hedonistis dan reduksi dorongan
sebagai sumber dorongan tingkah laku manusia. Kemudian, Maslow
mengeluarkan pernyataan bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia tertata secara
hierarkis. Apabila kebutuhan dasar manusia terpenuhi maka akan timbul
kebutuhan yang lebih tinggi lagi. Jika kebutuhan yang lebih tinggi tersebut pun
dapat terpenuhi lagi, manusia akan mempunyai keinginan yang lebih tinggi dari
sebelumnya. Demikian seterusnya.
Maslow membedakan kebutuhan manusia menjadi dua kelompok, yaitu
kebutuhan metabolisme dan kebutuhan untuk tumbuh. Contoh kebutuhan
metabolisme adalah kebutuhan-kebutuhan fisiologis, seperti lapar, haus, dan
lain-lain. Apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut telah terpenuhi dengan baik,
manusia akan mencari kebutuhan-kebutuhan yang lain seperti kebutuhan
keamanan, cinta, kebersamaan, penonjolan diri, dan sebagainya. Sedangkan
kebutuhan tumbuh, merupakan kebutuhan umum yang disebut aktualisasi diri.
Secara umum, Maslow menggambarkan hierarki kebutuhan manusia dalam
bentuk piramida sebagai berikut.

Gambar 6 Bagan Hierarki


Kebutuhan Menurut Maslow

Keterangan:
1. Kebutuhan Fisiologis
2. Ketenteraman (keamanan)
3. Kebersamaan (belonging)
4. Penonjolan Diri (self-esteem)
5. Aktualisasi Diri
Maslow menekankan kepada pentingnya motivasi kerja berakar pada
pemenuhan berbagai kebutuhan. Maslow menggambarkan dengan cerdas
berbagai macam kebutuhan manusia merentang dari kebutuhan fisiologis hingga
kebutuhan aktualisasi diri dalam hierarki kebutuhan berbentuk piramida seperti
ditunjukkan oleh Gambar 6. Penjelasan dari masing-masing kebutuhan yang
diilustrasikan dalam piramida buatan Maslow dikemukakan di bawah ini.
Kebutuhan fisiologis seperti digambarkan oleh Maslow dalam piramida
hierarki kebutuhan (Gambar 6) yang terletak paling bawah dalam piramida
sebenarnya merupakan sumber dari kehidupan, termasuk sumber dari
kebutuhan aktualisasi diri. Apabila kebutuhan
fisiologis individu terganggu, misalnya mengalami kekurangan, kebutuhan-
kebutuhan yang lain menjadi gagal. Namun sebaliknya, para penganut ajaran
agama Hindu di India dan kaum Brahmana sering mengurangi makan dan
minum serta kesenangan-kesenangan atau kebutuhan-kebutuhan fisiologis yang
lain demi memperoleh moksa atau derajat kehidupan yang tinggi dalam ajaran
agama Hindu. Kejadian yang lain dicontohkan para pendemo melakukan mogok
makan dan minum agar diperoleh keadilan dan lain sebagainya.
Kebutuhan ketenteraman (keamanan) dalam piramida terletak di atas
kebutuhan fisiologis. Kebutuhan ketenteraman umumnya akan meningkat
tatkala kebutuhan fisiologis manusia telah terpenuhi dengan baik. Maslow
mengemukakan yang dimaksudkan dengan kebutuhan ketenteraman adalah
kebutuhan manusia berupa keinginan untuk dapat mempertahankan ketertiban
dan keamanan diri. Orang umumnya menginginkan dalam kehidupannya bisa
hidup nyaman (aman, tenteram), teratur, diperlakukan dengan adil, tertib, dan
adanya kepatuhan dalam hal yang baik. Faktanya, banyak orang melakukan
berbagai tindakan semata-mata untuk memperoleh kehidupan yang aman,
tenteram, dan tertib. Untuk itu, orang mau menabungkan uang atau harta
bendanya, membeli rumah dan tanah, mengikuti asuransi jiwa, dan lain-lain.
Semua upaya tersebut dilakukan orang agar diperoleh rasa aman dan teratur
dalam hidupnya di dunia.
Kebutuhan kebersamaan (belonging) dan cinta dibuktikan dengan adanya
jalinan cinta kasih atau hubungan-hubungan yang akrab dengan orang lain, baik
hal itu dilakukan dengan individu maupun dengan kelompok. Kebutuhan dalam
hal kebersamaan dengan orang lain sering sulit didapatkan di kota-kota besar
atau kota metropolitan. Di kota-kota besar individu-individu sibuk sendiri-
sendiri sehingga tidak
mempunyai banyak waktu untuk saling membina kebersamaan dengan orang
lain di lingkungan sekitarnya.
Kebutuhan terkenal (tersohor, diakui orang lain), baik terkenal akan
dirinya, namanya, hartanya, kepandaian, maupun hubungannya dengan orang
lain. Kebutuhan akan keterkenalan ini oleh Maslow disebutnya sebagai self-
esteematau the esteem needs.Kebutuhan ini meliputi dua kategori. Pertama,
selfesteem, self-respect, self-regard, dan self valuation,semuanya berkaitan dengan
harga diri, kehormatan seseorang atau kelompok. Kedua, berhubungan dengan
respek dari pihak lain sebagai status, reputasi, kesuksesan, dan kegagalan sosial.
Kebutuhan evaluasi diri timbul tatkala orang menghadapi keadaan hidupnya,
misalnya ketika kecukupan akan sandang, pangan, papan, kesehatan,
pendidikan, keamanan, dan kesejahteraan. Dengan demikian, orang menjadi
tidak merasa khawatir dalam hidupnya.
Gilford berpandangan bahwa rasa berprestasi pada seseorang merupakan
sumber kebanggaan. Rasa berprestasi akan mendorong untuk berkompetisi dan
merasa butuh untuk memperoleh hasil yang tertinggi. Berkaitan dengan itu,
sebelum seseorang mencapai keadaan terkenal, ia akan terlebih dahulu berusaha
untuk memperoleh kehormatan dari orang lain. Dengan pernyataan lain, pada
diri seseorang harus timbul kebanggaan yang bersumber dari kondisi internal
terlebih dahulu baru kemudian berdasarkan pada keadaan yang lainnya. Contoh
konkret yang dapat disaksikan dalam kehidupan masyarakat banyak terdapat
simbol status dalam hidup seseorang, seperti orang merasa bangga karena
mempunyai rumah mewah berukuran besar, istrinya cantik bak bintang film
terkenal, kaya harta benda, punya mobil mewah banyak, dan lain sebagainya.
Setelah perwujudan kebanggaannya,
seseorang akan mengarah kepada kebutuhan berikutnya yang berupa
kebutuhan aktualisasi diri.
Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization) merupakan kebutuhan yang
tertinggi tingkatannya dalam hierarki kebutuhan. Jika kebutuhan ini dapat
terpenuhi dengan baik, seseorang dapat melaksanakan kodratnya dalam semua
aspek kehidupan sehingga menjadi figur tertentu. Misalnya ia menjadi musikus
terkenal karena berhasil mengaktualisasikan dirinya di bidang musik, contohnya
Purwacaraka dan Erwin Gutawa menjadi seorang musikus terkenal di Indonesia,
Beethoven berhasil mengaktualisasikan dirinya menjadi musikus terkenal
berkelas dunia, Rano Karno dan Lidya Kandow berhasil mengaktualisasikan diri
menjadi bintang film terkenal di Indonesia, sementara Madonna berhasil
mengaktualisasikan dirinya menjadi penyanyi pop terkenal ke seluruh dunia,
dan lain-lain.
Menurut Maslow, orang-orang yang dapat mengaktualisasikan dirinya
dengan baik adalah mereka yang dapat menerima dirinya sendiri dan orang lain,
menunjukkan spontanitasnya dalam tingkatan yang tinggi, menunjukkan
persepsi yang efisien terhadap realitas dan penerimaan, berorientasi pada pusat
masalah, mempunyai privatisasi dan pengejaran, mengapresiasi kebutuhan
pokok dalam hidup dengan memelihara kesegaran dan kesenangan, pada waktu
tertentu mempunyai mistisisme. Mereka juga mengidentifikasi dengan
kemanusiaan, membangun hubungan interpersonal yang dalam dengan orang
lain, berwawasan demokratis, memegang teguh perbedaan antara tujuan dan
cara, mereka mempunyai rasa humor tinggi, kreatif, dan non-konformis.
I. Teori Motivasi dari Murray
Menurut Murray, kebutuhan adalah suatu konstruk, konsep, dan kekuatan
hipotetis. Semua hal itu merupakan suatu kekuatan yang memiliki dasar fisiko-
kemis yang tidak diketahui dalam bagian otak. Kekuatan tersebut
mengorganisasi persepsi, apersepsi, inteleksi, kemauan, dan tindakan. Kekuatan
itu mentransformasi arah tertentu yang ada pada situasi yang tidak memuaskan.
Jika kita memerhatikan pernyataan Murray tersebut, kita mengerti bahwa
Murray mengajukan teori tentang motivasi didasarkan kepada kebutuhan.
Kenyataannya, Murray mengajukan konsep kebutuhan untuk menjelaskan
tingkah laku manusia. Murray tidak menggunakan konsep Teori Reduksi
Tegangan karena kebutuhan malah menambah dorongan seseorang untuk
mencapai tujuan atau sesuatu yang dibutuhkan yang kemudian terjadi reduksi.
Sejauh ini konsep kebutuhan yang diajukan oleh Murray dikenal orang
sebagai konsep jiwa. Menurut Murray, kebutuhan merupakan bagian dari jiwa
individu sebagai penyebab individu berbuat sesuatu. Lebih lanjut, Murray
menggolongkan kebutuhan manusia menjadi dua macam, yaitu kebutuhan
viserogenik dan kebutuhan psikogenik.
Kebutuhan viserogenik merupakan kebutuhan metabolisme atau jaringan.
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan primer yang secara esensial penting untuk
meneruskan kelangsungan hidup suatu organisme. Contohnya kebutuhan akan
makan dan minum, seks, oksigen, pengeluaran zat sisa metabolisme dalam tubuh
(sekresi) atau defekasi, urinasi, dan kebutuhan akan kehangatan.
Kebutuhan psikogenik merupakan kebutuhan baru sesudah kebutuhan
viserogenik terpenuhi. Kebutuhan ini disebut juga kebutuhan sekunder.
Menurut Murray, kebutuhan psikogenik ada 19
macam: akuisisi, yaitu kebutuhan untuk memiliki, menguasai, dan
menimbun; prestasi, yaitu kebutuhan untuk menyelesaikan hal-hal yang sukar;
kepatuhan, yaitu tunduk pada kekuatan luar; afiliasi, yaitu kebutuhan untuk
berhubungan dengan pihak lain seperti pertemanan; agresi, yaitu untuk
melawan ancaman; otonomi, yaitu kebutuhan untuk memperoleh kebebasan
atau kemerdekaan; konstruksi, yaitu untuk membangun atau mengorganisasi
sesuatu; superioritas, yaitu untuk menyelesaikan tugas dan mendapatkan prestasi
yang lebih tinggi; retensi, yaitu untuk meneliti sesuatu; tertib, yaitu untuk
mengatur dan mengorganisasi; dominasi, yaitu mempertahankan diri melawan
tantangan pihak lain atau berkuasa; similance adalah menekankan atau memiliki
inisiatif; rejeksi, yaitu suatu penolakan atau keluar dari kelompok lainnya;
eksposisi, yaitu memamerkan, demonstrasi, atau eksposisi; bermain, yaitu untuk
memperoleh kegembiraan, rileks, atau kenyamanan; nurturans, yaitu mencari
perlindungan; sukrosan, yaitu mencari simpati dari orang lain, terhindar dari
kericuhan, memperoleh ketenangan dengan berbuat enak dan aman; kognisi,
yaitu kebutuhan mengeksplorasi, mendengarkan, mencari kepuasan karena
adanya ketidaktahuan terhadap sesuatu masalah.

J. Teori Motivasi Hasil (Product)


Teori motivasi hasil dikemukakan oleh David C. McClelland dari Amerika
Serikat. Ahli ini berpandangan bahwa studi psikologi individu dan bangsa dapat
memberikan sumbangan besar dalam memahami motif prestasi (hasil,
product).Adanya faktor-faktor psikologis dan sosiologis dapat memengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Menurut McClelland, perubahan-perubahan yang
terjadi dalam kepercayaan
dasar dan sikap-sikap dari manusia akan memberikan pengarahan kepada
pertumbuhan ekonomi dalam negara-negara tertentu. Perlu disadari bahwa
manusia satu sama lain memiliki motif prestasi yang berbeda-beda. Pengertian
perbedaan motif prestasi ini sangat penting artinya dalam memahami
pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Berkaitan dengan pendapatnya itu
McClelland menolak penjelasan- penjelasan konvensional yang mengatakan
bahwa pertumbuhan ekonomi dapat menerangkan dalam terminologi variabel-
variabel eknomi.
McClelland juga mengatakan bahwa motivasi memiliki dua macam faktor
penting, yaitu tanda dari lingkungan (stimuli) dan bangkitnya afeksi pada
individu. Semua motif manusia dipelajari dalam lingkungan sekitarnya sesuai
dengan kodrat mereka. Menurutnya, hal yang berperan sangat penting dalam
mengembangkan motif prestasi adalah keluarga (orangtua) dan masyarakat di
sekitarnya. Sementara itu, orientasi masyarakat yang berperan pada
pengembangan motif prestasi ada bermacam-macam, misalnya ada masyarakat
yang lebih berorientasi kepada motif prestasi kerja, agama, seni budaya,
olahraga, kepribadian atau sikap, dan lain-lain.
Menurut McClelland, untuk memberikan gambaran lebih konkret, motif
prestasi perlu diukur. McClelland menggunakan Thematic Apperception Test
(TAT) yang dibuat oleh Murray. Penelitian McClelland dan kawan-kawannya
menunjukkan hasil bahwa anak-anak yang mempunyai motif prestasi tinggi
pada pengukuran menggunakan TAT terlihat begitu pandai menceritakan
gambar-gambar dalam TAT.
Penerapan motif prestasi dalam dunia pendidikan, misalnya dapat
dilakukan oleh guru kepada peserta didiknya untuk membantu
pengembangan sikap dan kepribadian positif pada anak-anak, terutama peserta
didik ketika awal-awal menuntut ilmu di bangku sekolah. Tindakan konkret
yang dapat dilakukan oleh guru kepada peserta didik, misalnya dengan cara
guru memberikan cerita-cerita tentang perjuangan atau usaha orang-orang besar
sebelum berhasil. Hal itu untuk menunjukkan betapa sangat pentingnya motif
prestasi dalam hidup ini. Guru menciptakan lingkungan yang kondusif, baik
ketika di sekolah maupun di tengah-tengah masyarakat pada umumnya. Adanya
antusiasme dan sikap guru akan menciptakan kondisi lingkungan yang akan
membantu pertumbuhan motif prestasi anak. Guru bersama-sama dengan
peserta didiknya berusaha untuk mengembangkan motif baru yang bersifat
realistik dan rasional. Guru mencoba menghubungkan motif dengan hidup di
kemudian hari atau cita-cita hidup anak dan agar anak mengerti akan tanggung
jawab masing-masing. Memberikan pengertian kepada peserta didik bahwa
motif baru akan dapat memajukan idaman peserta didik. Guru menentukan
bahwa motif baru dikembangkan dari nilai-nilai budaya sebelumnya kemudian
disempurnakan. Guru membuat peserta didik memiliki komitmen terhadap
hasil dari tujuan nyata dalam kehidupan yang berkaitan sangat erat dengan
perkembangan motif baru. Guru dapat menanyakan kepada siswa untuk
memelihara catatan kemajuan menuju tujuan mereka. Guru mengembangkan
studi sendiri. Guru juga dapat menciptakan iklim sosial yang bersifat kondusif
dalam kelas sehingga setiap individu (peserta didik) akan merasa dalam
kelompoknya.
Guru dalam rangka membantu peserta didik mengembangkan diri
seoptimal mungkin perlu diperhatikan pula masalah latar belakang pengalaman
para peserta didik. Di era sekarang umumnya peserta didik sebelum masuk ke
sekolah (SD) telah memiliki banyak
pengalaman-pengalaman positif. Guru perlu menempa peserta didik yang telah
memiliki pengalaman-pengalaman baik tersebut untuk terus ditingkatkan agar
anak lebih optimal mengembangkan kepribadian positifnya. Misalnya sebelum
anak memasuki Sekolah Dasar (SD) anak-anak telah mengenyam pembelajaran
di bangku Taman Kanak-Kanak. Ketika di TK itulah anak-anak telah diajarkan
sikap-sikap positif yang sangat penting untuk membentuk kepribadian si anak.
Dengan kata lain, semenjak anak mengenyam pembelajaran di TK sikap atau
kepribadian anak-anak mulai dibentuk agar mereka mempunyai karakter yang
baik. Hal itu perlu dibina secara terus-menerus oleh guru ketika anak
mengenyam pendidikan di bangku sekolah yang lebih tinggi. Dengan demikian,
kelak diharapkan peserta didik akan menjadi akrab dengan motif-motif prestasi
sehingga membuatnya sukses dalam menapaki kehidupan.

K. Teori Motivasi dari Psikoanalisis


Teori motivasi psikoanalisis dikemukakan oleh Freud(1915) dengan didasarkan
kepada struktur kepribadian. Teori motivasi psikoanalisis dari Freud diperlukan
untuk mengeluarkan perasaan-perasaan dari pasien-pasien neurosis yang
dihadapinya ketika itu. Sedangkan untuk menjelaskan tingkah laku yang bukan
patologis, pendapat Freud ini dianggap menemui kegagalan.
Freud berpendapat bahwa tingkah laku manusia terwujud sebagai
manifestasi kepribadian dan merupakan interaksi antara tiga komponen jiwa,
yaitu ketidaksadaran, ego, dan super ego. Interaksi ketiga komponen itu
menghasilkan tingkah laku pada individu. Freud menganjurkan agar kita dapat
memahami tingkah laku seseorang maka
kita harus tahu kehidupan seseorang dimaksud dari tiga komponen, yaitu
ketidaksadaran, ego, dan super ego orang itu. Komponen ketidaksadaran bekerja
dengan prinsip hedonisme, ego bekerja dengan prinsip realita dan super ego
bekerja dengan prinsip moralitas.
Menurut Freud, lapisan tidak sadar merupakan sumber segala dorongan,
tidak terkecuali motif. Prinsip kerja dari lapisan tidak sadar adalah mencari
kenikmatan atau kepuasan. Dorongan-dorongan tersebut dapat dipenuhi secara
khayal dan prosesnya disebut proses primer. Sedangkan pemenuhan secara
nyata, adalah melalui bantuan ego atau kesadaran dengan menghadapi
hambatan-hambatan dan larangan-larangan. Ketika kejadian tersebut individu
menghadapi norma-norma sosial dan agama, ego akan dibantu oleh super ego
untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh individu. Freud menamakan
ego dan super ego semacam badan eksekutif dari lapisan tidak sadar pada
individu.
Dalam menyusun teorinya, Freud lebih menekankan pentingnya
pengalaman masa kecil (kanak-kanak) untuk masa dewasa. Menurut Freud,
dorongan-dorongan instingtif menjadi motivator pokok (prinsip) pada tingkah
laku manusia. Sebelumnya, Freud juga telah mengajukan konsep insting sebagai
sumber stimulus dari dalam (internal). Seorang individu yang hendak
mengurangi stimulus dari dalam dapat dilakukan dengan bekerja. Menurut
Freud, ada dua jenis insting pada individu, yaitu insting hidup dan insting mati.

L. Teori Motivasi Intrinsik


Pencetus teori motivasi intrinsik, yaitu Harlow dan kawan-kawannya pada
tahun 1950. Sebelum mengemukakan pendapatnya terlebih
dahulu Harlow dan kawan-kawannya mengadakan percobaan- percobaan
tentang motif intrinsik pada sejumlah kera. Hasil yang mereka peroleh yaitu
kera-kera percobaan ternyata mampu memecahkan masalah-masalah tanpa
harus diberinya hadiah ekstrinsik. Justru hal yang terjadi adalah jika kera
percobaan diberi hadiah ekstrinsik, hal itu justru menyebabkan belajar menjadi
tidak efisien. Dari hasil percobaan tersebut Harlow dan kawan-kawannya
menyimpulkan adanya peran penting yang datangnya dari dalam diri kera-kera
itu yang disebutnya motivasi atau dorongan intrinsik.
Beberapa eksperimen lain yang juga dilakukan oleh Harlow dan kawan-
kawan secara manipulatif, eksploratif, dan dengan tingkah laku kurius pada
hewan dan anak-anak kecil, semuanya menunjukkan gejala adanya dorongan
intrinsik. Sejumlah kera percobaan dikenakan tingkah laku secara manipulatif,
yaitu dengan menempatkan kera dalam kerangkeng tanpa diberikan hadiah
ekstrinsik. Dari pengamatan yang dilakukan pada kera-kera tersebut tetap
belajar memecahkan masalah. Pada percobaan yang lainnya, Harlow
menggunakan hewan tikus yang dimasukkan ke dalam maze yang baru. Setelah
beberapa saat kemudian hewan tikus tersebut akan mengeksplorasi seluruh
lingkungan situasi yang baru (alat-alat yang baru dalam maze). Tikus melakukan
hal itu disebabkan adanya dorongan untuk bertindak yang datangnya dari luar
dirinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Montgomery yang mengatakan bahwa
dorongan eksplorasi dapat disebabkan oleh kondisi l u a r yang mendorong
individu untuk bertindak atau melakukan sesuatu guna memecahkan problema-
problema yang sedang dihadapi.
Caron dan Caron mempelajari kuriositas pada anak-anak muda atau kanak-
kanak terhadap seberapa besar pengaruhnya pada pemberian stimuli yang cepat,
sebentar, atau baru. Hasilnya, pada anak-anak muda
atau kanak-kanak yang terlahirkan dengan figur kompleks ternyata lebih
tertarik pada objek-objek geometris. Selanjutnya, para psikolog juga banyak
mempelajari tentang manipulasi, eksplorasi, kuriositas sebagai motivasi yang
bersifat independen tetapi penelitian mereka tersebut tidak menghasilkan
kesimpulan akhir yang dapat dipetik. Hal itu menandakan adanya dorongan
murni di bawah kontrol stimulasi primer pada individu yang diteliti.

M.Teori Motivasi Belajar


Dalam psikologi pendidikan pembicaraan masalah teori motivasi belajar tidak
dapat dilepaskan dengan pembahasan tentang Teori Belajar Koneksionisme S —
R dan Teori Belajar Kognitif (Teori Gestalt). Hal itu disebabkan dasar dari
motivasi belajar adalah teori-teori belajar yang disebutkan tadi. Ulasan tentang
teori-teori belajar seperti yang disebutkan tadi telah dibahas pada bab-bab
sebelumnya dalam buku ini.
E.L. Thorndike, dengan penemuannya yang dikenal dengan hukum
efeknya, mengatakan, jika hubungan S-R memberikan kepuasan maka pada
hubungan S-R pada kesempatan lain dengan situasi yang sama akan mengulang
dan memperkuat hubungan S-R tadi. Sebaliknya, jika hubungan S-R
menghasilkan ketidakpuasan, maka hubungan S-R menjadi diperlemah atau
ditinggalkan. Berkaitan dengan hal ini, Thorndike memperkenalkan konsep
hadiah dengan prinsip hukum efek, yakni semakin besar kepuasan yang
diperoleh pada suatu hubungan S—R maka hubungan S-R tersebut akan
semakin diperkuat. Kepuasan itu sendiri pada akhirnya berperan sebagai suatu
hadiah. Selanjutnya, hadiah akan menjadi motivasi yang dijadikan sebagai
variabel dalam psikologi belajar. Thorndike mengusulkan
dua macam variabel motivasi belajar atas dasar eksperimen kotak kerangkeng
kucing, yakni deprivasi dan makanan sebagai intensif atau berfungsi sebagai
hadiah (reinforcement). Deprivasi dicontohkan kucing sebagai hewan percobaan
dikondisikan lapar terlebih dahulu kemudian kucing diamati. Dari hasil
pengamatan, tampak kucing tersebut berusaha sekuat tenaga untuk dapat
memperoleh makanan yang diinginkan. Dengan pernyataan lain, pada kucing
percobaan timbul motivasi usaha yang semakin kuat dari waktu ke waktu.
Sedangkan peran makanan sebagai intensif tempak hewan kucing termotivasi
untuk dapat meraihnya.
Hull mengembangkan hukum efek dari Thorndike ke dalam suatu teori
hadiah yang sistematis dan tepat dengan menggantikan istilah
satisfied(memuaskan) dengan istilah need-reduction. Istilah ini pun kemudian
diganti lagi menjadi drive-reduction (reduksi dorongan). Lebih lanjut, Hull
mengemukakan pandangan bahwa dorongan tersebut memberikan setidaknya
empat macam peranan, yaitu dorongan merupakan suatu kondisi wajar dalam
organisme untuk memperoleh hadiah primer dan untuk organisasi serta
keefektifan dorongan sekunder, dorongan merupakan kondisi wajar bagi
kebiasaan-kebiasaan untuk menyatakan dengan sendirinya, dorongan
menyelesaikan stimuli yang jelas dan tertentu, dan kebutuhan-kebutuhan yang
berbeda dianggap sebagai sumber-sumber berbeda dari dorongan.
Kurt Lewin sebagai tokoh Teori Medan mengusulkan tiga konstruksi teori
motif, yakni tensi [tension), valensi, dan tujuan. Tensi atau tegangan dapat timbul
pada organisme disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan dalam ruang hidup
dan individu berkeingainan menghilangkan dengan kegiatan-kegiatan.
Tensiontimbul dari intensi, tindakan-tindakan kemauan dan lain-lain yang
merupakan suatu
komitmen arbitrasi seseorang yang disebut juga kuasi kebutuhan. Karakteristik
kebutuhan masing-masing orang berbeda-beda dan masing-masing karakteristik
kebutuhan tersebut menimbulkan tensi tertentu yang oleh organisme, tensi itu
berusaha untuk direduksi dengan kegiatan-kegiatan tertentu. Contohnya, tensi
harus dihapus dengan kegiatan minum, tensi lapar dihapus dengan kegiatan
makan, dan lain-lain. Suatu tensi adalah suatu pernyataan (keadaan) sistem
untuk mengubah diri sendiri menjadi sama dengan sistem di sekitarnya.
Valensi merupakan suatu konstruk untuk memahami tingkah laku.
Aktivitas yang diinginkan (dipertimbangkan) disebut valensi dan cenderung
untuk bergabung di dalamnya yang disebut kekuatan. Valensi membantu untuk
pemilihan-pemilihan dan kekuatannya sangat berguna untuk kecepatan dan
perlawanan tingkah laku pada individu. Jelas, jika pada individu timbul
kebutuhan, pada individu tersebut akan timbul kekuatan yang bervalensi.
Sebaliknya, jika pada individu tidak ada kebutuhan, di lingkungan sekitarnya
juga tidak timbul atau tidak terjadi valensi.
Aktivitas-aktivitas yang membantu menghilangkan tegangan disebut
valensi positif. Sebaliknya, valensi negatif, yaitu aktivitas- aktivitas yang
menimbulkan suatu tegangan pada individu. Tensi akan mendorong valensi dan
valensi akan mengarahkan tingkah laku organisme. Tensi mencari tujuan yang
merupakan suatu kebutuhan. Kebutuhan individu ada dua macam, yakni
kebutuhan primer atau kebutuhan asli dan ada pula kebutuhan semu.
Kebutuhan asli timbul dari kondisi-kondisi fisiologis organisme seperti lapar,
haus, seks, dan lain-lain.
Konsep-konsep yang dikemukakan di atas selanjutnya digunakan sebagai
dasar penyusunan motivasi bagi para peserta didik, baik ketika belajar di
sekolah, di rumah, maupun di masyarakat. Berbagai macam penerapan Teori
Motivasi Belajar, baik di lingkungan sekolah, di rumah, maupun di masyarakat
dikemukakan oleh RBS. Fudyartanto (2002) sebagai berikut.
Guru menciptakan suasana belajar yang menyenangkan Hal ini sebenarnya sudah
dikenal sejak zaman kuno, segala sesuatu (pengalaman) yang menyenangkan
akan memperkuat dorongan. Sebaliknya, pengalaman yang tidak menyenangkan
akan menghambat. Penerapan prinsip ini kepada peserta didik dapat dilakukan
oleh guru ketika mengajar di dalam kelas, misalnya ketika guru sedang
menyiapkan suasana kelas supaya kondusif dan menyenangkan peserta didik.
Contoh konkretnya, guru menunjukkan sikap yang ramah tamah, tidak
cemberut, tidak mudah ramah, tidak mencela anak, tidak menyindir, dan lain-
lain. Perlakuan-perlakuan yang dicontohkan tersebut akan membuat peserta
didik di dalam kelas menjadi senang dan bergairah dalam belajar. Jika guru suka
marah-marah dalam kelas, suka memukul, suka menyindir peserta didik, dan
suka mencibir, hal itu akan menciptakan suasana kelas tidak menyenangkan
sehingga tidak menciptakan suasana belajar yang kondusif atau tidak
menyenangkan bagi peserta didik.
Guru memberikan hadiah dan hukuman kepada siswa Guru dapat memberikan
hadiah untuk mendorong kegiatan belajar siswa sebelum menempuh ujian
sekolah. Hadiah dapat berupa barang seperti peralatan pendukung belajar
(pensil, bolpoin, tas sekolah, buku, dan lain-lain). Hadiah dapat pula berupa
pujian atau
sanjungan saja. Kepada peserta didik dapat diberikan janji jika nilai mereka
tertinggi akan diberi hadiah. Dengan janji yang menyenangkan tersebut
peserta didik menjadi terpacu untuk rajin belajar. Kebalikan dari hal itu
adalah pemberian hukuman atau sanksi. Dalam pengenaan sanksi atau
hukuman hendaknya guru 'berhati-hati agar tidak sampai menimbulkan rasa
dendam dan meresahkan peserta didik. Hukuman diberikan kepada peserta
didik dalam batas-batas kewajaran dan masih dalam nuansa pembelajaran.
Guru menciptakan level aspirasi berupa performasi yang mendorong ke level
berikutnya Guru berusaha mendorong peserta didik lebih bersemangat dalam
belajarnya. Menurut Barow, level aspirasi tergantung kepada kecerdasan
anak, status sosial ekonomi anak, hubungan anak dan orangtua, serta
harapan-harapan orangtua kepada anaknya. Guru perlu mengorganisasi
peserta didik dalam segala aktivitasnya dalam hal belajar untuk mencapai
prestasi-prestasi yang tinggi sehingga peserta didik betul-betul menyadari
akan pentingnya prestasi-prestasi tersebut secara bersama-sama. Dengan
begitu akan tercipta rasa kelompok dan peserta didik bersedia berjuang demi
kelompoknya.
- Guru melakukan kompetisi dan kerja sama pada siswa
Guru mengadakan kompetisi prestasi di kelas atau sekolah dengan
tujuan meningkatkan semangat belajar peserta didik. Ajang kompetisi prestasi
menjadi lebih menyemangati siswa dengan diberikan hadiah bagi pemenang.
Pengaruh ajang ini sangat baik, selain memotivasi siswa untuk lebih
berprestasi juga akan meningkatkan kerja sama antarsiswa dalam belajar
karena terdorong ingin mengharumkan nama baik kelompok masing-masing.
Guru menggunakan hasil belajar sebagai umpan balik Guru menggunakan hasil-
hasil belajar yang tidak memuaskan dipakai sebagai cambuk untuk mempergiat
belajar agar ujian berikutnya memperoleh prestasi yang lebih baik atau lebih
tinggi dari sebelumnya. Prestasi yang sudah baik kalau masih bisa ditingkatkan
diupayakan terus atau paling tidak dapat dipertahankan.
Guru melakukan pujian kepada peserta didik Peserta didik terutama anak-anak
umumnya senang jika dipuji oleh gurunya dan tidak suka dicela atau dihina.
Konsep ini dapat digunakan oleh guru untuk mendorong atau memotivasi siswa
lebih giat belajar. Pujian dapat digunakan untuk memotivasi belajar pada anak
(siswa). Sebaliknya, celaan kadang juga berpengaruh berbeda pada anak.
Terkadang baik pujian maupun celaan diartikan berbeda oleh anak. Misalnya,
ada anak yang dipuji meskipun prestasinya rendah karena adanya keterbatasan
kemampuan. Ada pula anak yang dicela karena prestasinya rendah menjadi
lebih bersemangat belajarnya karena ia tidak ingin dicela lagi. Dengan demikian,
celaan malah dapat sebagai motivasi bagi anak untuk lebih giat belajar.
Secara umum pujian dapat digunakan oleh guru dalam beberapa cara,
seperti dengan senyuman kepada siswa, ucapan-ucapan yang baik, sikap yang
baik, pandangan yang baik, anggukan kepala di depan anak, dan sebagainya.
Guru mengusahakan selalu ada yang baru ketika melakukan pembelajaran di kelas
Guru harus pandai-pandai menciptakan sesuatu yang baru ketika melakukan
pembelajaran di kelas sehingga siswa menjadi senang, bergairah dalam
menerima pelajaran dari guru. Dengan adanya hal-hal yang baru perhatian siswa
menjadi bertambah. Dampaknya
anak akan lebih antusias belajar. Sesuatu yang baru tersebut, misalnya, guru
menyajikan mata pelajaran dalam berbagai cara untuk membawa kepada hal-hal
yang baru dalam pengajarannya. Contohnya guru sewaktu mengajar sejarah atau
mata pelajaran yang lain dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa terkini yang
terjadi di negara sendiri atau di negara-negara lain di dunia. Pada gilirannya
nanti akan timbul keinginan pada anak-anak untuk mengetahui hal-hal lain
yang sifatnya baru.
- Guru perlu menyiapkan tujuan yang jelas
Apabila tujuan pembelajaran disusun dengan jelas, pada anak akan timbul
semacam dorongan atau motivasi terarah hanya kepada tujuan yang telah jelas
dicanangkan sebelumnya.
- Guru dalam mengajar tidak menggunakan prosedur yang menekan
Guru sewaktu mengajar dalam kelas tidak menggunakan penekanan-
penekanan sehingga menimbulkan rasa antipati pada anak. Guru harus pandai
menciptakan situasi dan kondisi pembelajaran yang menyenangkan tidak tegang
atau menakutkan peserta didik. Sebaiknya guru dapat menciptakan suasana
belajar dalam kelas yang merdeka tetapi terkendali.
- Guru menggunakan contoh-contoh hidup sebagai model-model yang
menarik bagi siswa Guru dalam mengajar dapat menggunakan model-model
hidup dari hewan atau tumbuhan supaya lebih menarik perhatian siswa. Cara
seperti ini mendorong siswa lebih bersemangat dalam belajar.
- Guru melibatkan siswa secara aktif
Guru dapat menerapkan model belajar siswa aktif agar pembelajaran dalam
kelas berhasil dan menarik bagi segenap peserta didik dalam kelas.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh pendidik seperti dikemukakan
tersebut sekadar contoh pendekatan yang mungkin cocok dilakukan oleh
pendidik dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Sebetulnya, masih ada
cara-cara yang lain yang barangkali lebih cocok dengan konteks kekinian.
Pendidik dipersilakan mengeksplorasi semaksimal mungkin agar peserta didik
termotivasi dalam belajar. Cara-cara yang dapat dilakukan oleh pendidik dalam
kelas tidak harus kaku, tetapi sebaiknya dilakukan dengan fleksibel sehingga
menyenangkan, baik bagi peserta didik maupun bagi pendidik yang
bersangkutan. Pendidik perlu menggunakan kiat-kiat jitu agar proses
pembelajaran berhasil. Sebaliknya, peserta didik juga perlu mempunyai kiat-kiat
yang jitu untuk belajar agar memperoleh prestasi puncak yang diidam-
idamkannya. Langkah-langkah baik yang dilakukan oleh pendidik maupun
peserta didik harus sinkron satu sama lain, tidak bertentangan satu sama lain
sehingga tujuan pembelajaran dalam kelas mencapai sasaran yang telah
dicanangkan bersama.
Bab XII
PENYESUAIAN DIRI DAN KESEHATAN
MENTAL INDIVIDU

S etiap makhluk hidup dalam suatu lingkungan, baik di dalam


lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Ketika hidup
antarmakhluk hidup saling mengadakan interaksi satu dengan yang
lain. Pun demikian halnya dengan manusia atau individu-individu di dalam
masyarakat, mereka tidak jauh berbeda dengan makhluk hidup yang lain.
Individu-individu yang hidup dalam masyarakat saling berhubungan satu
sama lain. Selain saling berhubungan antarsesama makhluk hidup, individu
juga berhubungan dengan benda-benda mati. Sewaktu mengadakan
hubungan dengan lingkungan sekitarnya, supaya manusia tetap dapat eksis
dan diterima oleh lingkungannya, terkadang diwarnai dengan persaingan-
persaingan atau perlawanan-perlawanan dengan sesama atau dengan
keadaan lingkungan di sekitarnya.
Berkaitan dengan upaya penyesuaian diri jika dirunut dari sejarahnya
manusia yang dulu selalu nomaden mulai mengubah kebiasaannya tersebut
dengan bertempat tinggal secara menetap. Keinginan manusia untuk
menetap di suatu tempat dari waktu ke
waktu terus mengalami peningkatan dalam hal jumlahnya. Dengan
demikian, kebutuhan akan tempat tinggal bagi manusia dan kelompoknya
semakin bertambah. Menghadapi masalah kebutuhan tempat tinggal
tersebut kemudian manusia berusaha dengan membabat hutan kemudian
didirikan rumah sebagai tempat hunian mereka. Selain digunakan untuk
pemukiman, hutan dibabat untuk pertanian dan peternakan yang hasilnya
digunakan untuk mencukupi kebutuhan mereka. Kebutuhan mereka itu
banyak sekali dan amat beragam, misalnya makan, minum, dan lain-lain.
Perkembangan yang terjadi pada waktu-waktu selanjutnya, yaitu
pembabatan hutan, terus berlanjut untuk dijadikan lapangan olahraga,
tempat wisata, membangun kota, dan sebagainya. Dengan begitu, hutan
telah mengalami perubahan yang dijadikan tanah hunian dan garapan
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Masalah penyesuaian diri bagi makhluk hidup atau yang lebih dikenal
sebagai proses adaptasi, khususnya manusia, tidak hanya terjadi dengan
lingkungan alam di sekitarnya. Penyesuaian diri juga tidak hanya terjadi di
zaman dahulu saja. Hal itu terus berlangsung dan tetap ada hingga era
globalisasi. Contohnya, kehidupan anak-anak, baik ketika di rumah
maupun di sekolah selalu mengalami penyesuaian- penyesuaian.
Berdasarkan pendapat para ahli di bidang pendidikan, masalah penyesuaian
diri bagi anak-anak sekolah merupakan masalah penting yang tidak dapat
dikesampingkan begitu saja karena hal itu penting demi keberhasilan
tujuan pendidikan itu sendiri. Membicarakan masalah penyesuaian diri
bagi individu atau manusia sebenarnya setua umur manusia itu sendiri,
yakni mulai manusia ada di dunia ini. Sepanjang hidupnya manusia pasti
mengalami penyesuaian- penyesuaian atau adaptasi pada lingkungan
sekitar tempat hidupnya.
Di era kesejagatan sekarang ini masalah penyesuaian diri merupakan salah
satu aspek tujuan pendidikan di negara kita. Oleh sebab itu, masalah
penyesuaian diri bagi setiap individu dikupas secara gamblang pada sub-bab
berikutnya dalam buku ini agar setiap insan yang terlibat secara langsung
dalam memajukan pendidikan di negara ini sepaham betapa pentingnya
masalah penyesuaian diri.
Kemampuan penyesuaian diri individu secara tidak langsung
menunjukkan bahwa dirinya sehat. Hal ini seperti dinyatakan dalam
konsep sehat menurut WHO (World Health Organization) dengan cakupan
yang sangat luas, yaitu keadaan yang sempurna baik fisik, mental, maupun
sosial tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan. Dari definisi
tersebut individu dikatakan sehat tidak hanya ia terhindar dari penyakit
atau cacat. Individu yang tidak berpenyakit pun belum tentu dikatakan
sehat kecuali ia dalam keadaan yang sempurna, baik fisik, mental, maupun
sosialnya. Oleh karena itu, dalam bab ini, selain masalah penyesuaian diri,
juga dibahas masalah kesehatan mental individu. Pada gilirannya nanti
kedua aspek tersebut amat penting dalam penanganan peserta
didik/mahasiwa agar memiliki kualitas yang andal dan sangat diharapkan
oleh bangsa dan negara guna menyasar kemajuan untuk pembangunan.

A. Penyesuaian Diri
1. Pengertian Penyesuaian Diri
Studi sistematik mengenai penyesuaian diri atau adaptasi pertama
kalinya dimulai oleh Charles Darwin dalam bidang biologi (1859). Charles
Darwin mengembangkan konsep perjuangan adaptasi makhluk hidup di
alam semesta ini yang kemudian dikenal dengan Teori Evolusi
(The survival of the fittest, by means of natural selection).Selanjutnya, teori
tersebut dikembangkan dalam bidang-bidang yang lain. Contohnya dalam
bidang sosial, Teori Evolusi Darwin dikembangkan oleh Herbert Spencer.
Apabila dibandingkan dengan makhluk hidup yang lainnya, manusia
terbukti paling mampu melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Mulai dari lingkungan yang tanpa mengandung risiko hingga lingkungan
dengan risiko berat sekalipun. Selain memiliki kemampuan beradaptasi
dengan lingkungan, manusia juga mampu menyesuaikan diri kepada
tekanan sosial di masyarakatnya.
Para pakar biologi dan psikologi memberikan tinjauan yang sedikit
berbeda terhadap penyesuaian diri. Para pakar biologi memakai istilah
adaptasi untuk menjelaskan pengertian penyesuaian-penyesuaian diri
terhadap tuntutan-tuntutan lingkungan fisik, seperti tuntutan iklim,
keadaan geografis, fauna dan floranya, keadaan cuaca dan angin, dan
sebagainya. Sedangkan para psikolog, memakai istilah adjustmentuntuk
penyesuaian bagi berbagai macam kondisi sosial atau hubungan-hubungan
inter-personal dalam masyarakat.
Manusia, selain mengalami adaptasi fisik, juga mengalami
penyesuaian-penyesuaian sosial. Misalnya, penyesuaian diri terhadap
keinginan-keinginan atau aturan-aturan yang diberlakukan dalam keluarga,
penyesuaian diri terhadap rasa lapar, haus, nafsu-nafsu, dan lain-lain. Jika
manusia tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan atau menyesuaikan diri
dengan hal-hal yang dicontohkan tersebut, dirinya akan merasa tidak enak
atau tidak nyaman.
Pada anak yang sedang mengalami perkembangan secara wajar,
tuntutan-tuntutan, baik tuntutan yang berupa fisik maupun psikis terus
meningkat dan menjadi lebih kompleks. Dampaknya, berbagai tuntutan
yang saling bertentangan satu dengan yang lain sering menimbulkan
konflik antara yang satu dengan lainnya. Resultannya tuntutan-tuntutan
tersebut akan membuat penyesuaian menjadi suatu proses konflikatif bagi
individu-individu. Konflik-konflik di antara berbagai macam kebutuhan
atau tuntutan sering menimbulkan problem-problem spesial dalam
penyesuaian. Apabila seseorang dapat mengatasi kebutuhan- kebutuhan
yang konflikatif, kebutuhan-kebutuhan yang tidak tercapai akan
menyebabkan kekecewaan atau frustrasi. Bahkan, kebutuhan- kebutuhan
yang tidak tercapai itu kadang-kadang mengarah kepada perilaku yang
abnormal. Kasus penyimpangan seperti ini sering kali terjadi di masyarakat
modern di kota-kota besar. Hal itu dapat dimaklumi karena di kota-kota
besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya, dan lain-lain banyak membanjir
tuntutan-tuntutan dari luar, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Penyesuaian diri dapat diinterpretasikan dari dua titik pandang.
Pertama, penyesuaian sebagai suatu hasil dengan menekankan pada
kualitas atau efisiensi dalam penyesuaian. Kedua, penyesuaian sebagai
suatu proses, yaitu menekankan pada proses atau terjadinya penyesuaian
individu-individu pada lingkungan dalam dan lingkungan luarnya.
Memahami dan mengkritisi uraian-uraian yang telah diberikan
tersebut, kita dapat mendefinisikan atau menjabarkan pengertian
penyesuaian diri sebagai suatu proses dan hasil individu atau kelompok
manusia menghadapi situasi-situasi baru dalam lingkungan hidupnya
sehingga perilakunya dapat diterima di dalam hidup bersama dengan
masyarakat sekitarnya. Penyesuaian diri tersebut dapat lancar atau
terhambat tergantung pada indvidu yang bersangkutan dan faktor-faktor
yang memengaruhi. Apabila proses penyesuaian diri berjalan lancar,
individu tidak mengalami hambatan; kalaupun ada
hambatan dapat diatasi dengan baik. Sebaliknya, apabila ada hambatan
yang tidak dapat diatasi, hal itu dapat menimbulkan frustrasi atau
penyesuaian diri yang buruk. Penyesuaian diri yang buruk selalu akan
mengakibatkan timbulnya berbagai masalah dalam kehidupan (
Fudyartanto, 2003).

2. Penyesuaian Diri sebagai Suatu Hasil


Dalam kehidupan bermasyarakat atau berorganisasi anggotanya
terdiri dari individu-individu dalam ruangan atau lingkungan tertentu.
Dalam menjalankan roda kehidupan bermasyarakat atau berorganisasi
tersebut individu-individu dituntut untuk mengadakan penyesuaian diri
satu dengan yang lain. Penyesuaian diri yang baik dari individu-individu
merupakan suatu tuntutan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi agar sistem
dalam masyarakat atau organisasi berjalan harmonis sesuai dengan yang
diharapkan. Dalam hal ini, penyesuaian diri dapat ditinjau sebagai suatu
hasil.
Penyesuaian diri sebagai suatu hasil adalah mengkaji sejauh mana
individu-individu atau seseorang dapat melaksanakan tugas-tugasnya
dalam lingkungan-lingkungan yang berbeda-beda. Secara umum dikatakan
bahwa dalam berbagai macam organisasi atau aktivitas- aktivitas, seperti
dalam pendidikan, militer, bisnis, perkantoran, dan kegiatan-kegiatan
sosial supaya mengalami kemajuan dibutuhkan orang-orang yang efisien
dan berpenyesuaian diri dengan baik.
Apabila penyesuaian diri dipandang sebagai suatu hasil, terdapat
kriteria-kriteria tertentu bagi suatu penyesuaian diri yang berkualitas.
Kriteria-kriteria penyesuaian diri yang berkualitas adalah mempunyai
kesehatan fisik yang baik, konfortabilitas psikologis (rasa nyaman)
terpenuhi, mampu bekerja secara efisiensi, dan mempunyai
akseptabilitas sosial yang baik. Uraian penjelasan masing-masing kriteria
tersebut adalah sebagai berikut.
Kesehatan fisik yang baik. Hal ini menjadi tolok ukur bagi individu
untuk mampu mengadakan penyesuaian diri dengan baik. Sebenarnya
orang yang sehat fisiknya alias bebas dari segala macam penyakit dan
mempunyai organ-organ tubuh yang berfungsi normal relatif lebih mudah
untuk mengadakan penyesuaian diri dengan lingkungan dibandingkan
dengan individu yang mengalami cacat tubuh atau menderita suatu
penyakit.
Konfortabilitas psikologis. Hal ini merupakan kenyamanan yang
dirasakan dalam hidup individu yang bersangkutan. Salah satu hal yang
amat penting dalam kenyataan-kenyataan penyesuaian diri berkaitan
dengan keadaan kejiwaan adalah tidak dirasakan adanya penyakit-penyakit
kejiwaan, misalnya obsesi, kompulsi, kecemasan, depresi, dan sebagainya.
Apabila individu mengalami gangguan psikis semisal yang dikemukakan
tersebut, individu yang bersangkutan perlu melakukan konsultasi kepada
psikolog atau psikiater.
Efisiensi kerja. Individu-individu dapat bekerja penuh pada tugasnya
masing-masing, baik ketika di kantor, di pabrik, di lembaga-lembaga, di
rumah, dan lain-lain. Individu-individu selaku pimpinan mereka semuanya
dapat menyesuaikan diri dengan baik dalam lingkungan sosialnya.
Akseptabilitas sosial. Maksudnya, individu-individu yang dapat
mengadakan penyesuaian diri secara baik jika mereka dapat diterima oleh
kelompok dan masyarakat sosial secara luas. Mereka mempunyai
hubungan-hubungan dengan orang-orang lain dengan lancar tanpa adanya
hambatan-hambatan. Orang-orang dapat mematuhi semua norma sosial
dan mengikuti nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Tidak
ada konflik-konflik sosial maupun batin pada mereka. Sebaliknya,
individu-individu dikatakan memiliki penyesuaian diri yang tidak baik
atau buruk apabila mereka banyak mengalami konflik psikis dan tidak
dapat mengikuti norma-norma masyarakatnya. Individu-individu yang
mempunyai gejala penyesuaian yang buruk disebut juga mengalami
maladjustment.Uraian lebih detail mengenai seluk-beluk maladjustment dan
seberapa besar pengaruhnya terhadap sistem pembelajaran siswa di sekolah
diberikan pada sub-bab berikutnya.

3. Penyesuaian Diri sebagai Suatu Proses


Apabila penyesuaian diri dipandang sebagai suatu proses, hal itu
melibatkan manusia sepanjang hidupnya. Mulai semenjak masih bayi, masa
sekolah/mahasiswa hingga dewasa bahkan telah menginjak lanjut usia
manusia tidak berhenti untuk mengadakan penyesuaian diri.
Para psikolog, guru, dan orangtua menganggap bahwa masalah
penyesuaian diri sebagai proses merupakan masalah yang sangat penting
untuk dipelajari. Hal penting yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja
dalam hal mempelajari penyesuaian diri sebagai suatu proses adalah harus
memahami terlebih dahulu masalah perkembangan manusia mulai dari
lahir sampai dewasa hingga pada usia lanjut.
Pada masa bayi dan kanak-kanak, proses penyesuaian diri tergantung
kepada orang lain, terutama orangtuanya. Baik atau buruknya proses
penyesuaian diri pada mereka sangat ditentukan oleh proses pengasuhan
yang baik dan tepat. Pemenuhan kebutuhan- kebutuhan bayi dan kanak-
kanak mutlak tergantung pada orang lain. Tetapi, secara gradual kebutuhan
mereka itu sesuai dengan umur mereka. Proses penyesuaian diri mereka
hampir seluruhnya tergantung dari interaksi mereka dengan lingkungan
sekitar tempat mereka
hidup. Ketika masih bayi dan usia kanak-kanak, mereka belum bisa
membedakan berbagai macam objek yang ada di lingkungan mereka. Pada
perkembangan selanjutnya, mereka mulai belajar mengartikulasi bagian-
bagian rinci dari lingkungan melalui proses sensasi, persepsi, dan konsepsi.
Anak dalam kekanak-kanakannya mulai dapat merespons dan berpikir
tentang benda-benda konkret dan segala sesuatu yang ada di sekitar
mereka. Anak juga mengalami proses berpikir secara abstraksi. Menurut
para ahli psikologi, perkembangan anak pada dasarnya bertumpu pada
tingkatan instingtif. Sedangkan proses penyesuaian dirinya ditentukan
dengan berbagai faktor, terutama kebutuhan-kebutuhan internal dan
tuntutan-tuntutan luar dari anak yang bersangkutan.
Berkaitan dengan penyesuaian diri sebagai proses apabila sampai
terjadi konflik antara kebutuhan internal dan kebutuhan eksternal,
alternatif penyelesaiannya adalah mengendalikan atau mengubah tuntutan
internalnya, mengubah lingkungan sehingga dapat memuaskan
kebutuhannya dan dapat menggunakan mekanisme mental untuk
melarikan diri dari situasi konflik. Alternatif terakhir boleh jadi dapat
mempertahankan keseimbangan kepribadian individu yang bersangkutan.
Proses penyesuaian diri pada anak dari segi yang berbeda telah diteliti
oleh Jean Piaget (1952). Dalam penelitiannya, Piaget memakai istilah
akomodasi dan asimilasi untuk menampilkan penyesuaian diri dari individu-
induvidu yang diteliti. Kedua istilah tersebut diterangkan oleh Piaget
secara jelas. Menurut Piaget, apabila seseorang telah melaksanakan nilai-
nilainya dan standar perilaku tanpa sesuatu perubahan dan
mempertahankan hal ini di balik perubahan-perubahan besar dalam iklim
sosial, orang tersebut dikatakan telah melakukan
proses asimilasi. Sedangkan orang yang mengambil standarnya dari
konteks sosial dan mengubah keyakinan-keyakinannya sesuai dengan
perubahan-perubahan nilai dalam masyarakat disebut dengan istilah
akomodasi.
Menurut para ahli psikologi, untuk mencari cara proses penyesuaian
diri pada individu agar lebih efektif tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Artinya, masalah tersebut memang menjadi masalah yang sukar
untuk dijawab. Mengapa hal itu dapat terjadi? Tak lain disebabkan proses-
proses penyesuaian diri memerlukan keputusan-keputusan nilai relatif,
sesuai dengan kemampuan individu dan budaya masyarakat yang dihadapi.
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli psikologi,
misalnya penemuan-penemuan psikoanalisis dari Freud, telah banyak
memberikan sumbangan untuk menjelaskan masalah-masalah penyesuaian
diri tersebut. Meskipun begitu, penelitian terus dilakukan para ahli guna
menyempurnakan jawaban atas segala permasalahan yang dihadapi
sehingga segala permasalahan berkaitan dengan proses penyesuaian diri
yang terjadi pada individu tidak lagi menciptakan keraguan semua pihak.

4. Penyesuaian Diri yang Buruk


Tidak semua individu dapat melakukan penyesuaian diri yang baik.
Sebagian individu justru lebih mudah melakukan penyesuaian diri yang
buruk. Banyak tingkatan-tingkatan penyesuaian, baik penyesuaian diri
yang baik maupun penyesuaian diri yang buruk. Khusus penyesuaian diri
yang buruk, pada kenyataannya tidaklah mudah untuk membedakan anak-
anak yang mengalami hal tersebut. Penyesuaian diri yang buruk dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu simptom jasmaniah,
penyimpangan-penyimpangan
tingkah laku, dan simptom-simptom emosional. Uraian penjelasan dari
masing-masing kelompok penyesuaian diri yang buruk dimaksud diberikan
berikut ini.
Simptom jasmaniah, contohnya individu-individu berbicara gagap,
suka menggaruk-garuk kepala, menunjukkan raut muka kejutan atau
kejang-kejang, suka menggigit-gigit paku, menggerak-gerakkan atau
menghentak-hentakkan kaki, suka berlaku ribut-ribut, suka menggerak-
gerakkan jari-jari tangan, muntah-muntah, sendawa, dan lain-lain.
Penyimpangan-penyimpangan tingkah laku pada individu, contohnya
individu-individu bersikap agresi, suka bohong, bersifat kleptomania,
hiperaktif, hipoaktif, negatisme, dan mempunyai kelainan-kelainan seksual
(homoseksual, ekshibisionisme, onani, masturbasi, dan sodomi).
Simptom-simptom emosional, contohnya individu-individu selalu
merasa gelisah, cemas, takut, pemalu, inferioritas, superioritas, frustrasi,
cemberut, benci, lemah tidak bersemangat, sifat pemarah, konflik batin,
selalu tegang, dan sebagainya.
Penyesuaian diri yang buruk yang terjadi pada anak-anak sekolah
tidak mudah dideteksi oleh guru yang dalam keseharian lebih banyak
menghadapi mereka. Diperlukan keahlian khsusus untuk itu. Sementara ini
ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mendeteksi hal ini, yaitu
melalui observasi dan interview kepada murid ketika di sekolah dan
melakukan pengetesan psikologi pada peserta didik di sekolah.
Observasi dan interview dilakukan dengan cara guru mengobservasi
perilaku anak-anak di dalam kelas dan di luar kelas, di perpustakaan,
halaman sekolah, ruang kesenian, dan sebagainya. Guru juga dapat
mewawancarai anak-anak yang diduga mengalami penyesuaian buruk,
misalnya anak-anak yang pendiam, agresif, peribut, pemalu, penakut, dan
sebagainya. Sedangkan pendeteksian penyesuaian diri yang buruk, melalui
pengetesan dilakukan dengan cara tes psikologis, inventori, dan skala
penilaian. Berbagai macam tes psikologi itu adalah Haggerty-Olson Wickman
behaviour rating schedule, The Bell adjustment inventory, The Moony checklist,
The Rogers test of personality adjustment, Taylor anxiety scale, Sosiometri dari
Moreno, Skala Bogardus, dan Tes kecerdasan- Stanford-Binet IV, WAIS,
dan WISC.
Haggerty-Olson Wickman behaviour rating schedule ini berfungsi untuk
menilai berbagai macam sifat tingkah laku. The Bell adjustment
inventorymerupakan alat untuk mengukur penyesuaian anak dalam situasi-
situasi hidup umum, sekolah, dan masyarakat. The moony cheklist sebagai
alat observasi di kelas. The Rogers test of personality adjust
mentmerupakan alat
untuk tes penyeleksi penyesuaian baik dan penyesuaian buruk.orTayl
anxiety scale merupakan alat untuk mengukur tingkat kecemasan anak-anak.
Sosiometri dari Moreno merupakan alat untuk meneliti keakraban
hubungan sosial anak-anak dan mahasiswa dapat dipakai sosiometri dari
Moreno. Sementara Skala Bogardus adalah alat untuk mengetahui tingkat
kecemburuan atau prasangka dapat dipakai skala Bogardus dan Tes
kecerdasan- Stanford-Binet IV, WAIS, WISC dipakai untuk mengetahui
kelemahan mental pada individu.
Mungkin pembaca bertanya mengapa atau apa penyebab terjadinya
suatu penyesuaian diri yang buruk pada peserta didik kita di sekolah?
Menjawab pertanyaan ini dengan tepat tidaklah mudah, karena penyebab
terjadinya penyesuaian buruk sangat kompleks, sangat banyak faktornya,
baik faktor-faktor dari dalam diri sendiri maupun faktor-faktor dari luar
diri individu, meliputi faktor psikis dan nonpsikis.
Faktor-faktor yang kurang menguntungkan atau bersifat negatif
kemudian saling berinteraksi menjadi faktor penghambat penyesuaian
diri individu. Oleh karenanya, lalu terjadi penyesuaian yang buruk,
dengan berbagai kualitas dan macam-macam manifestasinya.
Menurut psikoanalisis, ada bermacam-macam penyebab
penyesuaian buruk, baik yang berasal dari jasmaniah individu yang
bersangkutan, alam fisik, maupun sosial-budaya-religius. Penyebab
terjadinya penyesuaian diri yang buruk tersebut, antara lain, adalah
adanya kelainan, cacat atau defeksi jasmani individu; karena kecelakaan
berat dan lama menderita sakit, status sosial ekonomi rendah pada
keluarga (kemiskinan), keluarga yang rusak atau broken home,sikap salah
orangtua terhadap anak, dan penilaian lebih terhadap jenis kelamin
laki-laki daripada anak perempuan maka terjadilah hak-hak istimewa
pada kelas yang tinggi. Mobilitas orangtua, misalnya ayah banyak
pindah tempat kerja maka anggota keluarganya harus pandai-pandai
menyesuaikan diri di tempat baru: anak-anak adopsi, pengalaman
trauma emosi, kekurangan hubungan sosial, tidak ada kelompok sebaya,
tidak ada tempat bermain, tidak ada perpustakaan, lapangan kerja yang
susah, dan adanya perbedaan-perbedaan ras, agama, aliran politik.
Kelainan, cacat atau defeksi jasmani individu. Misalnya, buta, tuli,
bisu, invalid, postur buruk, dan sebagainya, dapat menimbulkan
macam-macam sikap dan perilaku baik orangtua ataupun orang lain
terhadap si penderita, misalnya kurang perhatian, mudah menghina,
bahkan ada yang memanjakan, dapat menimbulkan berbagai masalah
penyesuaian diri bagi anak yang bersangkutan. Misalnya, anak dapat
menjadi pemalu, takut, murung, manja, bahkan dapat agresif. Akibat
kecelakaan berat dan lama menderita sakit dapat berakibat pada
anak mengalami gangguan perkembangan sosial dan akademik di
sekolahnya. Hal ini menyangkut juga penyesuaian dirinya. Status sosial
ekonomi rendah pada keluarga (kemiskinan) menyebabkan tidak
terpenuhinya kebutuhan perkembangan anak, yang dapat juga
menghambat penyesuaian diri anak-anak. Anak-anak mudah dihina sebagai
anak miskin, karena alat-alat sekolah atau pakaiannya tidak semewah
teman-temannya dari keluarga kaya; timbullah rasa rendah diri
(inferioritas), pemalu, menyendiri, penakut, dan sebagainya.
Keluarga yang rusak atau broken homejuga dapat menyebabkan
penyesuaian diri yang buruk pada anak. Keluarga yang rusak, misalnya
keluarga yang cerai, keluarga terpisah, antara ayah dan ibu banyak cekcok
di rumah, punya ibu tiri, salah satu orangtua selingkuh, dan lain-lain.
Keluarga rusak semacam itu jelas mempunyai pengaruh buruk pada anak-
anak dan dapat menimbulkan frustrasi serta penyesuaian buruk. Sikap salah
orangtua terhadap anak, misalnya pilih kasih, memanjakan, menolak, acuh
tak acuh, semuanya itu berpengaruh buruk pada perkembangan jiwa anak,
dan juga dapat menyebabkan penyesuaian buruk. Selain itu, penilaian lebih
terhadap jenis kelamin laki-laki daripada anak perempuan, korbannya
adalah pada anak-anak perempuannya. Misalnya, kesempatan belajar anak
perempuan terbatas, apalagi jika sudah mendapat jodoh. Hal ini pun dapat
berpengaruh kepada penyesuaian diri di masyarakat.
Mobilitas orangtua akan memengaruhi anak-anak dalam melakukan
penyesuaian dirinya, misalnya ayah banyak pindah tempat kerja maka
anggota keluarganya harus pandai-pandai menyesuaikan diri di tempat
baru. Biasanya anak-anak yang menjadi korbannya. Misalnya, prestasi
belajar anak-anaknya menurun karena dampak penyesuaiannya yang tidak
lancar. Anak-anak adopsi, juga akhirnya
sering timbul masalah penyesuaian dirinya, karena kemudian tahu
bahwa dia bukan anaknya sendiri. Pengalaman trauma emosi banyak
mengganggu penyesuaian diri, misalnya putus cinta, kematian salah satu
orangtuanya, kecelakan berat, dan sebagainya. Kekurangan hubungan
sosial, tidak ada kelompok sebaya, tidak ada tempat bermain, tidak ada
perpustakaan. Hal-hal tersebut dapat mengurangi aktivitas sosial dan
rekreasi yang amat dibutuhkan oleh anak-anak masa sekolah.
Akibatnya, anak-anak mencari aktivitas lain, dan sering terjerumus
dalam kegiatan-kegiatan negatif, misalnya membuat geng-geng, minum
pil koplo, kenakalan anak-anak, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan
ras, agama, aliran politik, dapat juga menimbulkan berbagai masalah
sosial-edukatif bagi anak-anak dan penyesuaian diri mereka.
Lapangan kerja yang susah pun banyak mengganggu para pemuda
pencari kerja sehingga mudah mereka terjerumus pada aktivitas yang
negatif pula. Hal tersebut dapat menghambat penyesuaian anak-anak,
timbullah penjambretan, perampokan oleh anak-anak, menjadi anak
jalanan, pengamen, anak asongan, dan sebagainya.

5. Penyesuaian Diri yang Buruk di Lingkungan Sekolah/


Kampus
Kehidupan anak usia sekolah dan mahasiswa paling banyak
dipengaruhi oleh lingkungan di sekolah/kampusnya. Hal itu dapat
dimengerti, sebab saat anak/mahasiswa berada di sekolah/kampus
mereka berada dalam sistem kemasyarakatan tempat mereka belajar/
kuliah. Dengan kata lain, anak sekolah/mahasiswa perlu menyesuaikan
diri dengan lingkungan sekolah/kampus tempat mereka menimba ilmu.
Orangtua berharap lingkungan sekolah/kampus sebagai tempat
menimba ilmu bagi putra dan putrinya mampu mengembangkan
kecerdasan putra-putrinya, baik kecerdasan intelektual, emosional, maupun
religiusnya. Dengan begitu, diharapkan anak/mahasiswa terhindar dari
perilaku-perilaku yang buruk. Hanya saja, tidak semua sekolah/kampus
mempunyai kondisi yang baik sehingga memungkinkan anak/mahasiswa
justru berperilaku tidak sesuai dengan yang diharapkan bersama.
Anak/mahasiswa melakukan penyesuaian diri yang buruk ketika berada di
sekolah/kampus karena kondisi sekolah/kampus yang tidak kondusif.
Ahli psikologi mengemukakan kondisi sekolah/kampus yang tidak
kondusif sehingga siswa/mahasiswa mengadakan penyesuaian diri yang buruk
di antaranya yang dapat dikemukakan adalah iklim sekolah atau kampus
belum semuanya sosiabel, masih terdapat pendidik/guru-guru/ dosen yang
kurang memperoleh pengetahuan kesehatan mental dan latihan-latihan yang
berhubungan dengan penyesuaian diri yang baik, kurikulum yang diterapkan
di sekolah/kampus yang tidak sempurna, hubungan-hubungan sosial yang
terjadi di lingkungan sekolah/kampus terjadi tidak harmonis, sistem ujian di
sekolah atau kampus yang tidak baik semua hal itu dapat menyebabkan
terjadinya penyesuaian diri yang buruk pada peserta didik/mahasiswa sebagai
komponen penting sekolah atau kampus.
Iklim sekolah atau kampus dapat menjadi penyebab terjadinya
penyesuaian buruk bagi peserta didik/mahasiswa. Dikatakan demikian karena
pada kenyataannya tidak semua sekolah/kampus mampu menciptakan kondisi
yang sosiabel. Maksudnya, belum semua sekolah/ kampus dapat menjamin
peserta didik atau mahasiswa dapat berinteraksi sosial secara merata, lancar,
baik, dan kondusif. Selain itu, terbentuknya kelompok-kelompok yang
eksklusif dalam kelas atau sekolah, kampus, baik itu kelompok-kelompok
eksklusif siswa, mahasiswa, guru, dosen,
maupun pegawainya akan semakin memperburuk suasana. Jika demikian,
terjadinya penyesuaian yang buruk semakin terbuka lebar. Mengapa
kelompok-kelompok (eksklusif) seperti itu terbentuk juga di lingkungan
sekolah/kampus? Kondisi semacam itu dapat terbentuk oleh adanya
bermacam-macam faktor, seperti latar belakang kekayaan orangtua, hobi,
agama, aliran politik, dan lain-lain. Lebih parah lagi di lingkungan
sekolah/kampus dapat timbul perkelahian antarsiswa/ antarmahasiswa seperti
diberitakan di layar kaca beberapa waktu yang lalu. Kejadian-kejadian yang
semestinya tidak terjadi di lingkungan sekolah/kampus tersebut oleh ahli
psikologi ditengarai sebagai suatu pertanda belum atau tidak terjadinya proses
penyesuaian diri yang baik. Dengan kata lain, di lingkungan sekolah/kampus
belum tercipta iklim sekolah/kampus yang baik atau belum sehat betul sesuai
dengan yang diharapkan bersama. Masalah-masalah terjadinya penyesuaian
diri yang buruk bagi peserta didik/mahasiswa diatasi dengan pelaksanaan
bimbingan dan penyuluhan, konsultasi-konsultasi, psikologi, dan berbagai
macam cara ditempuh untuk menciptakan kondisi sekolah/ kampus agar dapat
kondusif dan nyaman sebagai tempat belajar bagi peserta didik/mahasiswa.
Timbulnya penyimpangan-penyimpangan perilaku peserta didik/
mahasiswa yang tidak cepat teratasi dapat disebabkan oleh karena guru-guru,
dosen, dan karyawan pegawai sekolah/kampus yang kurang memperoleh
pengetahuan kesehatan mental. Selain pengetahuan tersebut mereka juga
tidak atau kurang mendapatkan latihan-latihan yang berhubungan dengan
penyesuaian diri sehingga kurang terampil dapat menangani masalah
penyesuaian buruk yang timbul di sekolah/ kampus. Permasalah penyesuaian
buruk di lingkungan sekolah/kampus tidak sesederhana dan semudah yang
dibayangkan. Lebih-lebih jika
peserta didik/mahasiswa di sekolah/kampus jumlahnya hingga ribuan orang.
Diperlukan kerja keras dan bersungguh-sungguh serta kapabel di bidangnya
untuk dapat menciptakan lingkungan sekolah/kampus yang kondusif agar
penyesuaian diri yang buruk dapat dihindari sedini mungkin.
Terjadinya ketimpangan-ketimpangan di sekolah/kampus juga dapat
sebagai penyebab terjadinya penyesuaian yang buruk di lingkungan tersebut.
Ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di sekolah dimaksud seperti
kurikulum sekolah/kampus yang tidak sempurna dan fasilitas-fasilitas sekolah
atau kampus belum memadai. Kurikulum sekolah yang tidak sempurna,
misalnya materinya tidak membantu perkembangan kepribadian yang
harmonis. Sedangkan fasilitas-fasilitas sekolah/kampus yang belum memadai,
seperti halaman sekolah tidak ada, tidak mempunyai lapangan olahraga,
perpustakan tidak lengkap, alat-alat pelajaran tidak lengkap, guru-gurunya
kurang profesional, dan kekurangan-kekurangan yang lain yang
keberadaannya memang dituntut ada agar sekolah/kampus dapat kondusif
sebagai tempat belajar siswa/mahasiswa. Sebagai akibat konkret adanya
ketimpangan-ketimpangan di sekolah/kampus tersebut adalah pendidikan
kepribadian yang harmonis terhambat. Selain itu, kebutuhan-kebutuhan fisik,
intelektual, dan spiritual belum atau tidak terpenuhi secara optimum bagi
segenap peserta didik/mahasiswa sehingga hal itu memungkinkan timbulnya
penyesuaian diri yang buruk di lingkungan sekolah/kampus.
Penyesuaian diri yang buruk terjadi di lingkungan sekolah/kampus
karena belum tercipta hubungan-hubungan sosial yang harmonis antara siswa
dengan siswa, guru dengan siswa, guru dengan guru, antara pimpinan sekolah-
siswa-guru-dan pegawai; antara mahasiswa dengan
mahasiswa, antara dosen dengan mahasiswa, antara dosen dengan dosen,
antara rektor-dekan-dosen-mahasiswa-pegawai, dan lain-lain. Singkatnya,
perlu terjalin hubungan yang harmonis antarsemua komponen yang ada di
lingkungan sekolah/kampus. Idealnya, kondisi yang diimpikan itu seperti
dalam keluarga yang harmonis.
Di samping semua itu, terdapat hal lain yang juga berperan dalam
menciptakan penyesuaian diri yang buruk bagi peserta didik/ mahasiswa di
sekolah/kampus, yaitu sistem ujian di sekolah atau kampus yang tidak baik.
Hal ini sangat penting karena dirasakan langsung oleh peserta
didik/mahasiswa sebagai sumber keresahan dan frustrasi anak-anak atau
mahasiswa. Di era keterbukaan sekarang ini, masih saja dijumpai ada
guru/dosen di sekolah/kampus tertentu yang bersikap killersehingga peserta
didik/mahasiswa menjadi takut, cemas, mudah stres ketika hendak menempuh
ujian. Jika demikian, tidak sedikit dari peserta didik/mahasiswa mengalami
gagal ujian. Akibatnya, peserta didik/mahasiswa yang gagal ujian tersebut
menjadi frustrasi sehingga menghambat penyesuaian diri terhadap lingkungan
sekolah/ kampus. Dengan begitu, sistem kurikulum berpengaruh terhadap
baik atau buruknya penyesuaian diri pada peserta didik/mahasiswa. Untuk
mencegah terjadinya penyesuaian diri yang buruk bagi peserta
didik/mahasiswa tersebut, sistem kurikulum di sekolah/kampus perlu
dirancang sebaik mungkin untuk memperlancar studi anak-anak dan
mahasiswa, bukan sebaliknya, penyusunan kurikulum justru menghambat dan
berakibat timbulnya frustrasi dan maladjustment pada peserta didik/mahasiswa.
B. Kesehatan Mental Individu
1. Pengertian Kesehatan Mental Individu
Sehat dan sakit merupakan kondisi biopsikososial yang menyatu padu
dengan kehidupan umat manusia. Keadaan yang sehat atau sakit tersebut terus
saja terjadi daiam kehidupan di dunia. Manusia atau individu akan
memerankan sebagai orang yang sakit atau sehat.
Notosoedirdjo dan Latipun (2002) mengemukakan bahwa konsep sehat
dan sakit adalah bahasa sehari-hari yang terjadi sepanjang sejarah manusia di
muka bumi dan dikenal meluas di semua kebudayaan. Kita semua menyadari
bahwa kesehatan fisik maupun mental adalah sama-sama penting
diperhatikan. Adanya gangguan pada salah satu atau kedua-duanya dari
kesehatan fisik atau mental tersebut dapat menjadi hambatan bagi kita.
Namun, praktiknya dalam kehidupan bermasyarakat kesehatan secara fisik
lebih dikedepankan dibandingkan kesehatan mental. Meskipun demikian,
sangat sulit menentukan batasan-batasan secara eksak mengenai pemahaman
sehat dan sakit secara universal. Mengapa demikian? Untuk dapat lebih
memahami alasannya terlebih dahulu pembaca bisa mencermati uraian yang
diberikan berikut ini dengan batasan pembahasan pada kesehatan mental.
Uraian masalah sehat sengaja dibatasi dalam sub-bab ini mengingat sangat
luasnya cakupan tentang masalah sehat dan sakit pada individu.
Seseorang yang dapat menjalani tugas hidupnya dengan lancar, tanpa
kesulitan-kesulitan psikis, ia dikatakan mempunyai mental yang sehat. Orang
yang tidak memiliki keluhan-keluhan psikis seperti dicontohkan tersebut
dikatakan orang yang sehat mentalnya. Proses kesehatan mental itu mulai dari
lahir sampai orang meninggal dunia.
Di sini perlu dibedakan antara kesehatan mental dan mental sehat.
Kesehatan mental menunjukkan cara-cara menuju mental sehat, dan
mental sehat sebagai hasilnya. Kesehatan mental adalah suatu cara untuk
mencapai membuat orang menyadari terhadap mental sehat.
Generasi yang mempunyai mental sehat atau kesehatan mental yang
prima diharapkan mempunyai sumbangan kepada perkembangan nasional
dan kesejahteraan negara Republik Indonesia. Untuk itu, peran guru dirasa
sangat penting, artinya dalam mendidik generasi muda agar mempunyai
mental yang sehat. Konkretnya, guru yang memiliki pengetahuan tentang
tingkah laku manusia dan dengan penemuan-penemuannya di era terkini
serta teori-teori cara memandang problem manusia dan pengukuran-
pengukuran medis yang dikuasai dapat diterapkan kepada peserta didik
yang notabene sebagai generasi penerus bangsa agar memiliki kesehatan
mental yang baik.
Sekarang ini masalah kesehatan mental telah menjadi cabang ilmu
tersendiri, mengingat sangat pentingnya ilmu tersebut dalam dunia
pendidikan. Bahkan, esensi dari ilmu kesehatan mental telah dipraktikkan
secara nyata dalam bidang pendidikan, khususnya dalam bimbingan dan
penyuluhan. Selain itu, ilmu kesehatan mental telah memberi porsi
tersendiri bagi studi kesehatan mental pada berbagai bidang ilmu, di
antaranya kedokteran, pendidikan, psikologi, studi agama, dan
kesejahteraan sosial. Terlebih lagi setelah terjadi kemajuan di bidang
psikologi, psikopatologi, psikoterapi, dan tuntutan pendidikan, maka studi
ilmu kesehatan mental semakin tampak peranannya.
Gerakan kesehatan mental mulai terjadi pada dekade abad ke-20,
yakni pada waktu Clifford Beers menulis A Mind that Found It Self pada
1908. Beer adalah alumnus Universitas Yale. Ia mengalami gangguan
mental karena menderita ketegangan yang biasa dan stres
dalam pikirannya. Karena merasa muak hidupnya, ia ingin bunuh diri. Tetapi,
ia dapat ditolong dan diobati gangguan jiwanya. Setelah mentalnya sehat, ia
menulis pengalaman-pengalaman dan tipe perlakuan pengobatan yang ia
terima selama ia sakit ke dalam buku. Dari bukunya inilah terjadi perubahan-
perubahan revolusioner pada konsep mental sehat-sakit dan tercipta
kesadaran umum bagi kesehatan mental sebagai suatu gerakan.
Suatu perkumpulan kesehatan mental pertama kali dibentuk pada 1908,
dan perkumpulan kesehatan mental nasional (di USA) didirikan pada 1919,
yang kemudian tumbuh menjadi Komite Internasional Kesehatan Mental.
Komite ini kemudian menerbitkan jurnal kesehatan mental untuk
mengoordinasi dan menyebarkan penemuan-penemuan riset yang dilakukan
di seluruh dunia, sebagai hasil dari gerakan kesehatan mental. Selain jurnal,
didirikan juga rumah sakit mental dan klinik-klinik bimbingan mental sehat.
Apakah sesungguhnya pengertian dari kesehatan mental? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, kiranya pembaca dapat menyimak pendapat
atau penjelasan dari beberapa ahli berikut ini.
Vaillant dan Kazdin. Menurut pendapat para ahli klinik klasik, orang
dikatakan sehat mentalnya jika orang tersebut tahan terhadap sakit jiwa atau
terbebas dari sakit dan gangguan jiwa. Orang yang tidak mengalami neurosis
dan psikosis dikatakan sebagai orang yang sehat mentalnya. Dengan
pernyataan lain, orang dikatakan sehat mentalnya jika orang tersebut tidak
mengalami gangguan mental.
Menurut Vaillant dan Kazdin, pengertian kesehatan mental di atas
bersifat dikotomis. Menurut kedua ahli tersebut, orang dikatakan dalam
keadaan sehat mentalnya jika tidak terdapat sedikitpun gangguan psikisnya.
Jika ada gangguan psikis pada orang tersebut, ia
dikelompokkan sebagai orang yang sakit. Menurut Vaillant, orang yang
dikatakan sehat mental adalah “as the presence of successful adjustment
or the absence of psychopatology ”. Sedangkan Kazdin berpendapat
bahwa “as a state in which there is.... an absence of dysfunction in
psychological, emotional, behavioral, and social spheres” (Pautasi,
1996).
Sehat dan sakit, menurut keduanya, bersifat nominal yang dapat
dibedakan secara tegas kelompok-kelompoknya. Seseorang yang sehat
dengan pengertian terbebas dari gangguan sekalipun sedikit tetap saja
dianggap tidak sehat.
Clausen. Menurut Clausen, orang dikatakan sehat mentalnya jika
orang tersebut dapat menahan diri untuk tidak jatuh sakit akibat adanya
pembuat stres {stressor).Pandangan ini lebih menekankan kepada aspek
individual. Seseorang yang tidak sakit meskipun mengalami tekanan-
tekanan maka ia dikatakan orang yang sehat (Notosoedirdjo dan
Latipun, 2002). Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang tidak
sakit akibat adanya pembuat stres. Pendapat ini sedikit lebih maju
dibandingkan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Vaillant dan
Kazdin. Meskipun demikian, pendapat Clausen tetap mendapatkan
kritikan dari pihak lain, terutama yang tidak sependapat dengannya:
bahwa setiap orang memiliki kerentanan yang berbeda terhadap
pembuat stres karena faktor genetik, proses belajar, dan budayanya.
Selain itu, juga terdapat perbedaan intensitas pembuat stres setiap
individu sehingga sulit untuk menilai ketahanan atau ketidaktahanan
seseorang terhadap stressor.
Michael dan Kirk Patrick. Kedua orang ini berpendapat bahwa
individu dikatakan sehat mentalnya jika terbebas dari gejala psikiatris
individu berfungsi secara optimal dalam lingkungan sosialnya.
Seseorang yang sehat mentalnya, apabila sesuai dengan kapasitasnya diri
sendiri, dapat hidup tepat selaras dengan lingkungannya.
Pandangan Michael dan Kirk Patrick tersebut tidak saja melihat
kesehatan mental dari keadaan pribadi, tetapi juga dari sisi lingkungan.
Sebaliknya, pihak yang tidak setuju dengan pandangan Michael dan Kirk
mengemukakan bahwa segala upaya adaptasi untuk menyerupai atau
mengikuti kehendak lingkungan yang tanpa selektif pada dasarnya tidak dapat
dikatakan sehat mentalnya sehingga tidak setiap orang mau mengikuti
pandangan yang dikemukakan oleh Michael dan Kirk Patrick.
L.K. Frank. Frank mengemukakan bahwa orang dikatakan sehat mental
jika orang tersebut terus-menerus tumbuh, berkembang, dan matang dalam
hidupnya, menerima tanggung jawab, menemukan penyesuaian (tanpa
membayar terlalu tinggi biayanya sendiri atau oleh masyarakat) dalam
berpartisipasi dan memelihara aturan sosial dan tindakan dalam budayanya
(Notosoedirdjo dan Latipun, 2002).
Norma E. Cutts dan Nicholas Mosely. Menurut Norma E. Cutts dan
Nicholas Mosely, kesehatan mental merupakan abilitas untuk menyesuaikan
diri dengan memuaskan kepada tekanan-tekanan lingkungan sekitar, kita
menemukan dalam hidup dan kesehatan mental sebagai cara-cara kita untuk
melaksanakan penyesuaian diri.
Chaunan. Menurut Chauhan, kesehatan mental didefinisikan sebagai
suatu ilmu pengetahuan yang menguraikan proses pencapaian kesehatan
mental dan mencegah penyakit-penyaklit mental. Kesehatan mental terutama
terfokus pada fenomena atau gejala-gejala mental.
Federasi Kesehatan Mental Dunia. Berdasarkan kepada hasil kongres
Federasi Kesehatan Mental Dunia di London tahun 1948,
dirumuskan pengertian kesehatan mental yang pada garis besarnya adalah
sebagai berikut.
1) . Kesehatan mental sebagai kondisi yang memungkinkan adanya
perkembangan yang optimal, baik secara fisik, intelektual, dan emosional
sepanjang hal itu sesuai dengan keadaan orang lain.
2) . Sebuah masyarakat yang baik adalah masyarakat yang membolehkan
perkembangan ini pada anggota masyarakatnya selain pada saat yang sama
menjamin dirinya berkembang dan toleran terhadap masyarakat yang lain.
Uraian di atas menginformasikan kepada kita bahwa pengertian
kesehatan mental sangat banyak. Pengertian yang dikemukakan oleh ahli
yang satu dengan ahli yang lainnya akan saling melengkapi pengertian-
pengertian yang ada. Tetapi, para ahli mengakui untuk memberikan batasan
pengertian kesehatan mental secara komprehensif tidak mudah. Notosoedirdjo
dan Latipun (2002) mencatat beberapa prinsip yang dapat dijadikan sebagai
pedoman untuk membantu memahami makna kesehatan mental berdasarkan
laporan Altrocchi (1980) dan Lehtinen (1989) sebagai berikut.
1) . Kesehatan mental adalah lebih dari tiadanya perilaku abnormal artinya
orang yang dikatakan sehat mentalnya tidak cukup kalau dikatakan
sebagai orang yang tidak mengalami abnormalitas atau orang yang normal.
2) Kesehatan mental adalah konsep yang ideal, artinya kesehatan mental
menjadi tujuan yang amat tinggi bagi seseorang. Disarankan orang agar
mendapatkan kondisi sehat yang paling optimal untuk berusaha terus
mencapai kondisi sehat setinggi-tingginya.
3) Kesehatan mental sebagai bagian dan karakteristik kualitas hidup.
Artinya, kesehatan mental menunjukkan kualitas hidup seseorang.
Kualitas hidup seseorang dikatakan meningkat jika keadaan kesehatan
mentalnya juga mengalami peningkatan.

2. Ruang Lingkup Kesehatan Mental


Para ahli kesehatan mental memberikan batasan bahwa ruang lingkup
kesehatan mental adalah pemeliharaan dan promosi kesehatan mental individu
dan masyarakat. Selain itu, ruang lingkup kesehatan mental juga mencakup
prevensi dan perawatan terhadap penyakit dan kerusakan mental. Menurut
Notosoedirdjo dan Latipun, ruang lingkup kerja kesehatan mental secara garis
besarnya meliputi promosi kesehatan mental, prevensi primer, prevensi
sekunder, dan prevensi tersier.
Promosi kesehatan mental meliputi usaha-usaha peningkatan kesehatan
mental dengan berpandangan bahwa kesehatan mental bersifat kualitatif dan
kontinum serta dapat ditingkatkan sampai batas optimal. Prevensi primer
merupakan usaha kesehatan mental untuk mencegah timbulnya gangguan dan
sakit mental. Upaya tersebut sebagai proteksi terhadap kesehatan mental
masyarakat untuk mencegah terjadinya gangguan dan sakit mental. Prevensi
sekunder adalah usaha kesehatan mental menemukan kasus dini (early case
detection)dan penyembuhan secara tepat (prompt treatment)terhadap gangguan
dan sakit mental. Upaya ini merupakan pencegahan agar tidak terjadi cacat
pada seseorang atau masyarakat. Selain itu, usaha ini dilakukan untuk
mengurangi durasi gangguan mental pada individu. Prevensi tersier merupakan
upaya rehabilitasi awal yang dapat dilakukan terhadap orang yang mengalami
gangguan dan kesehatan mental. Upaya ini untuk mencegah ketidakmampuan
(diasabilitas), tidak
sampai mengalami kecacatan menetap (Caplan, 1963; Parlmutter, 1982).
a. Tujuan Mempelajari Ilmu Kesehatan Mental
Tujuan penting dari kesehatan mental menurut RBS. Fudyartanto (2002)
ada beberapa hal, yakni realisasi potensialitas, kebahagiaan hidup manusia,
membangun eksistensi yang harmonis, membangun eksistensi yang efektif,
dan membangun lingkungan fisik dan sosial yang sehat terlepas dari
gangguan-gangguan sosial dan mencegah bahaya alam.
Realisasi potensialitas berkaitan dengan sebagian tujuan pokok dari
kesehatan mental, yaitu membantu suatu peluang kepada individu untuk
mengembangkan potensialitasnya kepada perkembangan maksimum.
Permasalahan pokoknya adalah seluruh problem tingkah laku manusia.
Maksud dari pencapaian kebahagiaan hidup manusia adalah membantu
cara-cara mengukur untuk mengembangkan sikap-sikap positif ke arah hidup.
Pada konteks aktual, pengembangan aspek-aspek sosial-ekonomi negara
penuh dengan sejumlah problem yang mengganggu keseimbangan mental
individu. Untuk itu, upaya menciptakan individu sehat mentalnya supaya
hidup bahagia dan efisien merupakan tujuan penting kesehatan mental.
Membangun eksistensi yang harmonis merupakan tujuan akhir kesehatan
mental. Tercapainya perkembangan harmonis dari kapasitas- kapasitas
jasmani, mental, dan spiritual individu dapat dengan cara menyesuaikan diri
secara baik dan lengkap dalam lingkungan sosial sekitarnya.
Membangun eksistensi yang efektif. Artinya, setiap individu sanggup
untuk menggunakan kemampuannya secara efektif dan mampu menyesuaikan
diri secara efektif dalam masyarakat.
Tujuan mempelajari ilmu kesehatan mental pada berbagai bidang ilmu
disebutkan oleh Notosoedirdjo dan Latipun (2002) adalah memahami makna
kesehatan mental dan faktor-faktor penyebabnya, memahami pendekatan-
pendekatan yang digunakan dalam penanganan kesehatan mental, memiliki
kemampuan dasar dalam usaha peningkatan dan pencegahan kesehatan
mental masyarakat, memiliki sikap proaktif dan mampu memanfaatkan
berbagai sumber daya dalam upaya penanganan kesehatan mental masyarakat,
dan meningkatkan kesehatan mental masyarakat dan mengurangi timbulnya
gangguan mental masyarakat.

b. Sasaran dalam Kesehatan Mental


Sasaran utama kesehatan mental adalah masyarakat. Berkaitan dengan
hal ini, masyarakat digolongkan menjadi beberapa tingkatan: masyarakat
umum, yaitu masyarakat yang sehat dan yang tidak berada dalam risiko sakit;
masyarakat dalam kelompok risiko sakit, yaitu masyarakat yang berada dalam
situasi atau lingkungan yang kemungkinan mengalami gangguan relatif tinggi;
kelompok masyarakat yang mengalami gangguan, yaitu kelompok masyarakat
yang sedang terganggu kesehatan mentalnya; kelompok masyarakat yang
mengalami kecacatan agar mereka dapat berfungsi dengan normal dalam
kehidupannya di masyarakat.
Ruang lingkup kesehatan mental meliputi pemeliharaan dan promosi
kesehatan mental individu dan masyarakat. Selain itu juga meliputi prevensi
dan perawatan terhadap penyakit dan kerusakan
mental. Notosoedirdjo dan Latipun (2002) memerinci ruang lingkup kerja
kesehatan mental secara garis besarnya mencakup promosi kesehatan
mental (usaha-usaha yang meliputi peningkatan kesehatan mental
masyarakat), prevensi primer (usaha kesehatan mental untuk mencegah
timbulnya gangguan dan sakit mental pada masyarakat), prevensi sekunder
(usaha kesehatan mental menemukan kasus dini dan penyembuhan secara
tepat terhadap gangguan dan sakit mental), dan prevensi tersier (usaha
rehabilitasi awal yang dapat dilakukan terhadap orang yang mengalami
gangguan dan kesehatan mental).
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat kita ketahui bahwa ruang
lingkup kesehatan mental tidak hanya meliputi perawatan kesehatan
individual, tetapi juga perawatan kesehatan masyarakat.

c. Hubungan Kesehatan Mental dengan Bidang Ilmu Lain


Peranan kesehatan mental dirasakan sangat penting dalam kehidupan,
termasuk pendidikan. Selain itu, secara umum, kesehatan mental tidak
kalah pentingnya diketahui dan diraih oleh setiap individu dalam
masyarakat. Oleh karena itu, ilmu kesehatan mental dewasa ini dipelajari
dalam berbagai bidang ilmu seperti dalam bidang ilmu kedokteran,
psikologi, sosio-antropologi, ilmu pendidikan, dan disiplin ilmu yang lain.
Sebelum dikemukakan sejauh mana hubungan ilmu kesehatan mental
dengan ilmu-ilmu yang lain tersebut, terlebih dahulu di sini hendak
dikemukakan fungsi penting kesehatan mental dalam kehidupan manusia
secara umum, terutama dalam hal pelatihan kesehatan mental personel,
agar dapat memahami problem-problem psikis manusia dan dapat
membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, yang
diperlukan dalam membuat program-program pengembangan preventif dan
kuratif dalam rumah,
sekolah, dan masyarakat. Selain itu, diperlukan pula untuk memelihara atau
melindungi kesehatan mental dan membuat kesadaran umum tentang
kesehatan mental.
Sebagai ilmu kesehatan mental bukan termasuk satu disiplin ilmu yang
berdiri sendiri, tetapi dibangun dari berbagai bidang ilmu baik yang secara
langsung membidangi kesehatan maupun tidak. Menurut Wallace Allin, ilmu
kesehatan mental dibangun oleh beberapa bidang ilmu di antaranya ilmu-ilmu
psikologi, studi anak, pendidikan, sosiologi, psikiatri, medis, biologis, dan
sosio-antropologi (Crow, 1968). Ilmu-ilmu seperti ekonomi, politik, dan studi
agama juga mempunyai kontribusi bagi perkembangan ilmu kesehatan mental
selama ini. Kontribusi ilmu-ilmu lain pada perkembangan ilmu kesehatan
mental tampak seperti digambarkan di bawah ini.
Dalam bidang kedokteran, dipelajari tentang berbagai macam jenis
penyakit dan cara-cara pencegahan dan pengobatannya. Selain itu, juga
dipelajari tentang kedokteran jiwa sehingga hal itu memberikan sumbangan
yang sangat bermakna bagi kesehatan mental masyarakat pada umumnya.
Dalam bidang psikologi, dipelajari tentang perilaku manusia yang di
antaranya dipelajari dimensi psikis manusia dengan segenap dinamikanya.
Perilaku manusia termasuk perilaku yang abnormal atau patologis juga tidak
kalah dipelajari dalam bidang psikologi. Berkaitan dengan itu, seseorang yang
bermaksud dapat memahami kesehatan mental masyarakat secara luas
diperlukan pemahaman terhadap proses psikis yang turut memengaruhi
perilaku individu yang sehat dan tidak sehat sebagaimana yang dikaji atau
dipelajari dalam bidang psikologi. Dengan demikian, tampak jelas sekali kaitan
antara ilmu kesehatan mental dengan ilmu psikologi.
Dalam bidang sosio-antropologi dipelajari masalah perilaku dan sistem
masyarakat, termasuk nilai sosial budaya. Dimensi sosio-antropologis
diperlukan untuk pemahaman maupun penyususnan strategi intervensi
kesehatan mental. Dalam bidang pendidikan kesehatan mental mempunyai
hubungan erat satu sama lain. Dalam ilmu pendidikan dipelajari perubahan
perilaku manusia secara lebih normatif. Agar perilaku manusia lebih efektif
maka perlu dipelajari masalah materi (ilmu) yang diajarkan dan strategi yang
harus dijalani. Ilmu pendidikan memberikan sumbangan cukup penting dalam
kesehatan mental, terutama dalam pengembangan intervensi-intervensi
kepada masyarakat. Prinsip-prinsip pendidikan dimanfaatkan untuk
peningkatan kesehatan masyarakat pada umumnya.
Secara konkret hubungan antara kesehatan mental dan praktik
pendidikan terlihat dalam penanganan peserta didik di sekolah. Keadaan
kesehatan mental menjadi prioritas pertama dikondisikan pada anak-anak. Hal
itu mudah dipahami, sebab jika tidak demikian, mereka tidak dapat
mengonsentrasikan diri dalam belajar dan tidak dapat menyimpan
pengetahuan-pengetahuan yang diterima dalam kelas. Aktivitas belajar
mereka akan sangat tergantung pada kesehatan mental peserta didik dan para
guru.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, apabila anak-anak dan para guru
mempunyai kesehatan mental yang baik, mereka akan dapat menjalankan
tugasnya masing-masing. Peserta didik akan mempunyai keinginan untuk
memperoleh banyak informasi dan keterampilan sehingga mereka dapat lebih
banyak mengontrol lingkungannya. Para ahli di bidang pendidikan
mengatakan bahwa proses belajar bukan merupakan aktivitas fungsi tunggal,
melainkan terkait dengan keseluruhan kepribadian anak. Kesehatan mental
adalah suatu yang
mendasar bagi proses belajar di sekolah, kampus, dan rumah, seperti halnya
kecerdasan. Kesehatan mental tidak dapat dipisahkan dalam pendidikan, dan
justru terkait erat keduanya, untuk mencapai kesuksesan dalam belajar
mengajar. Dengan begitu, kesehatan mental menjadi salah satu tujuan penting
pendidikan.
Selain uraian yang dikemukakan tersebut, kesehatan mental juga
mempunyai keterkaitan yang erat dengan ilmu-ilmu ekonomi, ekologi,
biologi, dan studi agama. Tetapi, mengingat keterbatasan-keterbatasan yang
ada dan disengaja ulasan dalam buku ini dibatasi supaya fokus ke pokok
permasalahan maka keterkaitan ilmu kesehatan mental dengan berbagai
bidang ilmu tersebut tidak dibahas secara detail dalam buku ini. Pembaca
dapat menimba wawasan dengan membaca buku lain yang mengupas secara
detail tentang keterkaitan ilmu kesehatan mental dengan ilmu-ilmu lain
dimaksud.

d. Kriteria Kesehatan Mental Individu


Kriteria kesehatan mental mencakup keadaan kesehatan psikologi
seseorang. Batasan-batasan yang tegas mengenai kriterianya tidak mudah
ditetapkan. Para ahli kesehatan mental sebetulnya telah berusaha membuat
kriteria-kriteria atau kondisi optimum seseorang dapat dinyatakan dalam
keadaan yang sehat mentalnya. Para ahli sama-sama berharap kondisi
optimum tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dan arah yang dapat dituju
dalam melakukan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mental serta
pencegahannya. Di antara para ahli sendiri juga terdapat perbedaan dalam
menggunakan istilah untuk kesehatan mental, s;eperti Maslow menyebutkan
keadaan optimum kesehatan mental seseorang dengan istilah self-actualization,
Carl Rogers mengistilahkan sebagai fully functioning, Golden Allport
menyebutnya
dengan istilah mature personality,kesehatan mental menurut D.S. Wright dan A.
Taylor, serta banyak kalangan menyebutnya dengan istilah mental
health.Tetapi, maksud kesemua itu sama dan menurut hemat penulis hal itu
tidak perlu diperdebatkan,
Maslow dalam Teori Hierarki Kebutuhan menyebutkan sebagai puncak
kebutuhan individu adalah self-actualizationsekaligus untuk menyatakan
keadaan yang sehat secara psikologis. Selanjutnya, Maslow dan Mittlemenn
(1963) mengemukakan manifestasi mental individu yang sehat secara
psikologis meliputi rasa aman bagi individu yang memadai (adequatefeeling of
security),kemampuan menilai diri sendiri yang memadai (,adequate self-
evaluation),memiliki spontanitas dan perasaan yang memadai dengan orang
lain (,adequate spontanity and emotionality),mempunyai kontak yang efisien
dengan realitas (efficient contact with reality),adanya keinginan-keinginan
jasmani yang memadai dan kemampuan untuk memuaskan (adequate bodily
desires and ability to gratify them),mempunyai kemampuan pengetahuan yang
wajar (iadequate self-knowledge)termasuk di dalamnya cukup mengetahui
tentang motif, keinginan, tujuan, ambisi, hambatan, kompensasi, pembelaan,
perasaan rendah diri, dan memiliki penilaian yang realistis terhadap milik dan
kekurangan. Juga mempunyai kepribadian yang utuh dan konsisten
(integration and concistency of personality),memiliki tujuan hidup yang wajar
(adequate life goal),mempunyai kemampuan untuk belajar dari pengalaman
(ability to learn from experience), mempunyai kemampuan memuaskan tuntutan
kelompok (ability to satisfy the requirements of the group), dan mempunyai
emansipasi yang memadai dari kelompok atau budaya (adequate emancipation
from the group or culture).
Disebutkan selain Maslow terdapat ahli-ahli yang lain mengajukan
istilah untuk kesehatan mental yang berbeda, yaitu Carl Rogers
memperkenalkan konsep kesehatan mental dengan istilah fully
functioning(pribadi yang berfungsi sepenuhnya) sebagai bentuk kondisi mental
yang sehat dengan ditandai oleh sikap individu yang berlaku terbuka terhadap
pengalaman, adanya kehidupan pada diri individu yang bersangkutan, adanya
kepercayaan kepada organismenya, ada kebebasan berpengalaman, dan
bersifat kreatif. Golden Allport (1950) mengistilahkan mental sehat dengan
maturity personality(keadaan yang matang dari tinjauan psikologi) yang dapat
dicapai melalui proses hidup yang dinamakannya becoming.Menurut Allport,
orang dikatakan matang jika mempunyai tanda-tanda, seperti memiliki
kepekaan pada diri secara luas, bersikap hangat sewaktu berinteraksi dengan
orang lain, keamanan emosional dan penerimaan diri, persepsi yang realistik,
keterampilan dan pekerjaan, mampu menilai diri secara objektif dan
memahami humor, dan menyatunya filosofi hidup. D.S. Wright dan A. Taylor
dalam Thompson dan Mathias (1994) menuliskan tanda-tanda orang yang
sehat mentalnya, yaitu merasa bahagia dan terhindar dari ketidakbahagiaan,
efisien dalam menerapkan dorongannya untuk kepuasan kebutuhannya,
kurang dari kecemasan, kurang dari rasa berdosa yang merupakan refleks dari
kebutuhan self punishment,matang, sejalan dengan perkembangannya yang
wajar, mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, memiliki otonomi
dan harga diri, mampu membangun hubungan emosional dengan orang lain,
dan melakukan kontak dengan realitas (Notosoedirdjo dan Latipun, 2002).
Fudyartanto (2003) menyebutkan beberapa hal sebagai pertanda atau
kriteria kesehatan mental individu.
1) . Adaptabilitas dan ketenangan jiwa: Jika anak atau seseorang mampu
menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi yang berubah dari
lingkungannya, reseptif, dan tidak kaku dalam perilakunya, mereka
dikatakan sehat mentalnya.
2) . Merasa puas secara emosional: Siapa pun yang sehat mentalnya dapat
melatih dan mengendalikan emosi dan perasaannya. Mereka bebas dari
tegangan-tegangan pikiran dan emosional dalam hidupnya.
3) . Mempunyai adaptabilitas sosial yang baik: Hal ini ditunjukkan bahwa
mereka dapat bergaul secara luas dan bebas, banyak teman, disenangi dan
menyenangi teman, dapat dipercaya dan memercayai orang lain. Banyak
berpartisipasi dalam berbagai aktivitas di masyarakat, berkesadaran sosial
besar, kepribadiannya berfungsi baik, walaupun ada tekanan-tekanan dan
gangguan-gangguan stres emosi. Inilah orang yang aseptabel sosialnya
tinggi, dapat diterima oleh masyarakat luas. Ia dapat bergaul akrab, baik di
rumah, masyarakat, tempat kerja dan kelompok-kelompok hobinya.
4) . Mempunyai antusiasme dan pikiran rasional: Ada gairah hidup dan
berbuat secara rasional dan efisien.
5) . Mempunyai insightterhadap perilakunya sendiri, dapat mawas diri,
korektif, jujur, dan selalu berbuat baik untuk sesamanya.
6) . Mempunyai keinginan-keinginan dan cita-cita yang selaras dengan
kepentingan-kepentingan sosial. Ia tidak egoistis tetapi altruistis, selalu
berbuat sesuai dengan menegakkan norma-norma sosial yang berlaku.
7) . Mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang baik, hobi-hobi yang baik, cinta
pada kebaikan, kebenaran, dan keindahan.
e. Prinsip dalam Kesehatan Mental Individu
Schneiders (1964) mengemukakan tips agar seseorang dapat memahami
kesehatan mental dan mencegah terhadap kemungkinan timbulnya gangguan-
gangguan mental pada individu. Prinsip-prinsip tersebut (Notosoedirdjo dan
Latipun, 2002) yang penting diketahui adalah prinsip yang didasarkan kepada
sifat-sifat manusia yang meliputi kesehatan, prinsip yang didasarkan pada
hubungan manusia dengan lingkungannya, dan prinsip yang didasarkan
kepada interaksi manusia dengan Tuhan Sang Pencipta.
1) Prinsip yang didasarkan pada sifat-sifat manusia meliputi beberapa hal.
- Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan atau bagian yang
tidak terlepaskan dari kesehatan fisik dan integritas organisme.
- Untuk memelihara kesehatan mental dan penyesuaian diri yang baik,
perilaku manusia harus sesuai dengan sifat manusia sebagai pribadi
yang bermoral, intelektual, religius, emosional, dan sosial.
- Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan integrasi dan
pengendalian diri yang meliputi pengendalian pemikiran, imajinasi,
hasrat, emosi, dan perilaku.
- Dalam pencapaian dan khususnya memelihara kesehatan dan
penyesuaian mental, memperluas pengetahuan tentang diri sendiri
merupakan suatu keharusan.
- Kesehatan mental memerlukan konsep diri yang sehat, meliputi
penerimaan diri dan usaha yang realistik terhadap status atau harga
dirinya sendiri.
- Pemahaman diri dan penerimaan diri harus ditingkatkan terus-
menerus memperjuangkan untuk peningkatan diri dan
realisasi diri jika kesehatan dan penyesuaian mental hendak dicapai.
- Stabilitas mental dan penyesuaian yang baik memerlukan
pengembangan secara terus-menerus dalam diri seseorang mengenai
kebaikan moral yang tertinggi yaitu hukum, kebijaksanaan, ketabahan,
keteguhan hati, penolakan diri, kerendahan hati, dan moral.
- Mencapai dan memelihara kesehatan dan penyesuaian mental
tergantung kepada penanaman dan perkembangan kebiasaan yang
baik.
- Stabilitas dan penyesuaian mental menuntut kemampuan adaptasi,
kapasitas untuk mengubah situasi dan kepribadian.
- Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan perjuangan yang
terus-menerus untuk kematangan dalam pemikiran, keputusan,
emosionalitas dan perilaku.
- Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan belajar mengatasi
secara efektif dan secara sehat terhadap konflik mental dan kegagalan
serta ketegangan yang ditimbulkan.
2) Prinsip yang didasarkan kepada interaksi manusia dengan lingkungan,
meliputi sebagai berikut.
- Kesehatan dan penyesuaian mental tergantung kepada hubungan
interpersonal yang sehat, khususnya di dalam kehidupan keluarga.
- Penyesuaian yang baik dan kedamaian pikiran tergantung kepada
kecukupan dalam kepuasan kerja.
- Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan sikap yang realistik,
yaitu menerima realitas tanpa distorsi dan objektif.
3) Prinsip yang didasarkan pada hubungan manusia dengan Tuhan Sang
Pencipta, meliputi hal-hal berikut.
- Stabilitas mental memerlukan seseorang mengembangkan kesadaran
atas realitas terbesar daripada dirinya yang menjadi tempat bergantung
kepada setiap tindakan yang fundamental.
- Kesehatan mental dan ketenangan hati memerlukan hubungan yang
konstan antara manusia dengan Tuhan.

3. Gangguan Mental
a. Pengertian Gangguan Mental
Apabila gangguan fisik mencakup segenap abnormalitas badan, organ,
jaringan, sel, dan proses fisiologis maka gangguan mental mencakup
abnormalitas mental (Hall, 1980). Gangguan mental dalam beberapa hal
disebut perilaku abnormal yang juga dianggap sama dengan sakit mental
(mental illness), sakit jiwa (insanity, lunacy, madness),selain terdapat pula
beberapa istilah seperti distress, discontrol, disadvantage, disability, inflexibility,
irrationality, syndromalpattern, dan disturbance.Menurut Notosoedirdjo dan
Latipun (2002), beberapa istilah tersebut dalam beberapa hal dianggap sama
tetapi di lain sisi digunakan secara berbeda. Contohnya dalam International
Classification of Diseases(ICD)dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM)digunakan istilah mental disorder yangditerjemahkan menjadi
gangguan jiwa. Dalam buku ini, digunakan istilah gangguan mental untuk
maksud yang sama dengan hal tersebut.
Beberapa ahli memberikan definisi yang berbeda-beda tentang gangguan
mental. Tetapi, dari berbagai macam definisi gangguan mental tersebut pada
prinsipnya semuanya mencakup adanya
penurunan fungsi mental yang berpengaruh pada perilaku individu. Di antara
beberapa ahli yang memberikan pendapat tentang pengertian gangguan
mental adalah Kaplan dan Sadock (1994), DSM-IV, dan Group for Advancement
of Psychiatry (GAP).
Menurut Kaplan dan Sadock (1994), yang disebut dengan gangguan
mental adalah penyimpangan dari keadaan ideal dari suatu kesehatan mental
merupakan indikasi adanya gangguan mental.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders(DSM-IV) merumuskan
gangguan mental sebagai suatu sindrom atau pola perilaku yang terjadi pada
individu dan sindrom yang dihubungkan dengan adanya distres seperti
misalnya simp ton menyakitkan. Bahwa disabilityadalah ketidakmampuan pada
satu atau beberapa bagian penting dari fungsi tertentu, peningkatan risiko
secara bermakna untuk mati, sakit, ketidakmampuan atau kehilangan
kebebasan (APA, 1994). Sedangkan Group for Advancement of Psychiatry (GAP)
mengartikan gangguan mental sebagai suatu kesakitan yang mengurangi
kapasitas seseorang untuk menggunakan pertimbangan, kebijaksanaan, dan
pengendalian dalam melakukan urusan-urusannya dan hubungan sosial
sebagai jaminan keterkaitannya pada institusi mental (Szasz, 1997).
Ada juga yang mengartikan bahwa gangguan mental adalah adanya
penyimpangan dari norma-norma perilaku yang mencakup pikiran, perasaan,
dan tindakan. Orang yang depresi dan alkoholik adalah orang yang mengalami
gangguan mental karena terjadi penyimpangan perilaku, orang yang depresi
perasaannya sangat tertekan, dan orang yang alkoholik tidak dapat menahan
tindakannya dan secara persisten mengonsumsi minuman beralkohol. Perilaku
yang dilakukan secara persisten atau repetitif, terutama perilaku yang tidak
dikehendaki
merupakan indikasi terjadinya gangguan mental pada individu (Szasz,1987
dalam Notosoedirdjo dan Latipun, 2002).

b. Kriteria, Bentuk-Bentuk, dan Klasifikasi Gangguan Mental


Kriteria untuk menentukan gangguan mental pada individu menurut A.
Scott (1961), yaitu orang-orang yang memperoleh pengobatan psikiatris, salah
penyesuaian (maladjustment) sosial, hasil diagnosis psikiatris, ketidakbahagiaan
subjektif, adanya simpton-simpton psikologis tertentu secara objektif, dan
kegagalan adaptasi secara positif.
Bentuk gangguan mental yang paling sering dijumpai di lingkungan
sekolah/kampus dan masyarakat adalah frustrasi. Gangguan mental ini sering
menghinggapi mulai dari individu usia kanak-kanak hingga individu lanjut
usia. Timbul pertanyaan, seperti apa frustrasi itu dan mengapa atau apa
penyebab terjadinya frustrasi?
Frustrasi dapat disebabkan oleh berbagai hambatan atau blockling
terhadap kebutuhan-kebutuhan tertentu individu. Misalnya, anak kecil yang
tidak dibelikan mainan yang diinginkannya, seorang siswa Sekolah Dasar tidak
lulus sekolah, remaja yang mengalami patah hati, orangtua yang dikecewakan
anaknya, dan sebagainya. Frustrasi menimbulkan pengaruh nyata dalam
perkembangan kepribadian individu. Demikian halnya frustrasi yang terjadi
pada anak-anak. Hal-hal yang dapat menimbulkan frustrasi pada individu
bermacam-macam dapat berasal dari dalam individu yang bersangkutan atau
berasal dari luar individu.
Penyebab terjadinya frustrasi disebabkan tidak semua keinginan dan
kebutuhan manusia, baik sebagai individu atau kelompok, dapat dipenuhi.
Dengan pernyataan lain, individu mengalami frustrasi
karena tidak mencapai kepuasan dari apa yang mereka inginkan. Kita semua
tentunya sama-sama paham penyebab tidak selalu terpenuhinya kebutuhan
individu sehingga sampai menyebabkan frustrasi. Ya, karena kebutuhan
individu itu banyak sekali dan hampir tidak ada batasnya. Sedangkan, barang-
barang untuk memenuhi kebutuhan terbatas jumlahnya. Bisa jadi barang-
barang yang diinginkan individu tersedia banyak di lingkungan sekitar hanya
saja perlu dengan membayar atau dengan cara membelinya. Repotnya untuk
bisa membeli atau membayar barang-barang yang diinginkan tersebut
persediaan uang sangat terbatas sehingga individu menjadi frustrasi karena
tidak mampu membayarnya.
Selain adanya keterbatasan-keterbatasan dana untuk dapat memenuhi
kebutuhan barang yang diinginkan individu sehingga sampai menyebabkan
frustrasi terdapat hambatan-hambatan yang lain yang dapat menyebabkan
terjadinya frustrasi pada individu. Hambatan-hambatan atau rintangan-
rintangan itu ada yang berasal dari luar individu dan ada juga yang berasal dari
dalam individu itu sendiri. Rintangan-rintangan yang berasal dari luar
individu, misalnya terhalang banjir, bahaya alam seperti gunung meletus,
gempa bumi, jaraknya jauh, tekanan orang lain, dan sebagainya. Sedangkan,
hambatan-hambatan yang berasal dari dalam diri individu adalah seperti
tenaga tak mampu, kecerdasan rendah, cacat anggota badan, dan lain-lain.
Penyebab terjadinya frustrasi adalah adanya pembatalan pemberian
hadiah pada individu dan dapat pula disebabkan oleh adanya hambatan teknis
atau mekanis pada individu. Pembatalan hadiah, misalnya dalam ujian atau
pertandingan yang semula dijanjikan kepada mereka yang lulus dengan nilai
baik atau menang pertandingan akan diberi hadiah.
Tetapi, ternyata pemberian hadiah yang telah dijanjikan tersebut dibatalkan.
Apa yang terjadi? Tentulah banyak yang kecewa atau frustrasi. Pemberian
hadiah dengan ditunda saja dapat menimbulkan frustrasi, apalagi dengan
dibatalkan. Contoh yang lain yang tampak sederhana tetapi akibatnya bisa
panjang adalah suatu janji hendak memberi permen kepada anak kecil. Ketika
janji tersebut dibatalkan, anak kecil tersebut dapat frustrasi. Jika diamati
kejadian tersebut dalam kehidupan sehari-hari, pada anak kecil yang disuruh
untuk bersabar menunggu pemberian kembang gula saja telah menunjukkan
tidak sabar atau frustrasi. Terbukti anak kecil tersebut tidak segan-segan untuk
menanyakan permen yang telah dijanjikan itu berulang kali.
Frustrasi juga dapat disebabkan oleh adanya hambatan teknis atau
mekanis. Adanya hambatan teknis dan mekanis menyebabkan respons tidak
dapat terlaksana atau tingkah laku menjadi terhalang. Hambatan dapat
dianalogikan semacam hadiah yang tertunda. Jika hambatan teknis dan
mekanis tersebut dapat diatasi, keinginan (hadiah) akan tercapai pula. J.B.
Watson mengobservasi anak-anak kecil yang terhalang dalam memperoleh
permainan. Reaksi yang ditunjukkan oleh anak-anak kecil tersebut ada yang
marah atau gusar. Pada kasus yang lain, anak-anak kecil yang sedang bermain
tiba-tiba terganggu permainannya, mereka memperlihatkan reaksi marah
hingga puncaknya menangis sebagai tanda tidak senang karena kecewa. RBS.
Fudyartanto (2002) menuliskan beberapa jenis hambatan yang dapat
menimbulkan frustrasi sebagai berikut.
1) . Hambatan fisik. Contoh yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
yakni ingin masuk kamar ternyata pintunya terkunci, mau makan nasinya
basi atau tidak ada makanan sama sekali, mau pergi tiba-tiba hujan turun
atau kendaraan rusak, dan lain-lain.
2) . Hambatan ada dalam diri sendiri dapat menjadi hambatan untuk
mencapai suatu keinginan sehingga menjadi frustrasi. Misalnya disebabkan
oleh adanya keterbatasan kemampuan intelektual, cacat jasmani, kurang
latihan, sikap orang lain yang mengadili atau memojokkan karena tidak
senang kepadanya.
3) . Kekuasaan atau otoritas orangtua. Sikap orangtua yang demikian sering
menjadi penyebab terjadinya frustrasi pada anak-anak. Hal itu disebabkan
sikap atau otoritas orangtua yang tidak bijaksana hingga ketidaksediaan
orangtua memenuhi keinginan anak-anaknya hingga menyebabkan
anaknya menjadi frustrasi. Contohnya, anak-anak menginginkan model
sepatu terbaru, tetapi ayahnya tidak membelikan sepatu yang diinginkan
oleh anaknya dengan alasan sepatu yang lama masih dapat dipakai. Sikap
orangtua yang demikian itu menyebabkan anak kecewa. Kekecewaan anak
yang terjadi secara berlarut-larut, dapat menyebabkan anak frustrasi.
Banyak contoh yang lain yang mudah ditemui dalam kehidupan
masyarakat umum hingga menyebabkan frustrasi pada seseorang.
4) . Berbagai macam bencana alam juga dapat menimbulkan frustrasi,
penyesuaian buruk, dan bahkan malapetaka bagi orang-orang tertentu.
Terjadinya bencana alam mengakibatkan kerusakan dan kehilangan harta
benda, bahkan nyawa. Hal itu akan menimbulkan penderitaan pada
individu yang menyandangnya hingga berdampak menimbulkan frustrasi.
Contoh bencana alam gunung meletus, banjir, angin topan, gempa bumi,
hama menyerang tanaman pangan, hama ulat bulu, dan lain-lain.
5) . Konflik juga dapat menjadi sumber terjadinya frustrasi pada individu.
Contohnya, konflik yang terjadi antarindividu atau antarkelompok
masyarakat (dusun/desa, kota, negara, dan lain-lain). Di dalam
menghadapi situasi-situasi konflik, individu yang besangkutan terpaksa
harus mengambil tindakan-tindakan
yang sesuai atau tepat untuk menghadapi konflik yang terjadi. Untuk itu
diperlukan kemampuan yang memadai. Suatu konflik yang membutuhkan
pemecahannya seperti menghadapi beberapa tugas yang harus diatasi
dalam waktu yang bersamaan. Misalnya, seorang siswa dalam waktu yang
sama menghadapi dua atau lebih tujuan yang sama-sama penting, yaitu di
satu pihak ia harus mengikuti Ujian Nasional, sementara di sisi lain ia
harus mengikuti final lomba menyanyi berhadiah jutaan rupiah. Pikiran
siswa tersebut menjadi puyeng hingga terjadilah konflik pikiran dan batin
menghadapi dua macam pilihan tadi karena dalam lomba itu ia yakin
mempunyai peluang untuk menang yang besar.
Bagaimana menyelesaikan konflik semacam itu dan konflik-konflik yang
lain? Menurut Fudyartanto (2002), penyelesaian konflik-konflik seperti itu,
dan juga konflik-konflik yang lainnya, pada dasarnya dapat digunakan tiga
macam pendekatan: konflik pendekatan dengan pendekatan (approach-
approach conflict)-,konflik pendekatan lawan penolakan (approach-avoidance
conflict)-,konflik penolakan lawan penolakan [avoidance-avoidance conflict).
Penjelasan dari masing-masing cara penyelesaian konflik tersebut
dikemukakan di bawah ini.
Konflik pendekatan dengan pendekatan terjadi karena individu
menghadapi dua kualitas tujuan yang menarik dan harus dicapai dalam waktu
yang bersamaan. Contohnya, seorang siswa SMA harus memilih satu di antara
dua pilihan jurusan studi yang ditawarkan, IPA atau IPS. Pada siswa tersebut
timbul konflik karena kebingungan. Konflik siswa SMA tersebut dapat
diilustrasikan secara sederhana seperti ini:
Konflik pendekatan lawan penolakan (approach-avoidance conflict).Konflik
ini terjadi karena dua objek saling berlawanan, yaitu satu objek positif dan
satunya negatif. Misalnya, seorang siswa SMK menghadapi belajar untuk Ujian
Nasional keesokan harinya atau nonton pertandingan final sepak bola dunia
secara beramai-ramai di sebuah mailpada malam hari itu. Kalau ia memilih
belajar untuk ujian, ia tidak dapat menonton pertandingan final sepak bola
dunia di mailyang ditentukan. Atau sebaliknya, jika ia memilih menonton
pertandingan final sepak bola di mail,ujiannya mungkin gagal karena masih
banyak materi pelajaran yang belum sempat ia pelajari. Gambaran konflik
semacam ini adalah sebagai berikut:

Konflik penolakan lawan penolakan (avoidance-avoidance conflict)


terjadinya ketika individu menghadapi dua objek yang sama-sama negatif
sehingga tidak menarik, tetapi terjadinya bersama-sama. Jika diilustrasikan,
tampak seperti di bawah ini.

Bentuk-bentuk gangguan mental dapat pula disebabkan oleh terjadinya


kerusakan bagian otak. Beberapa gangguan mental yang berhubungan dengan
kerusakan otak adalah demensia, epilepsi, general parasis, sindrom Korsakoff,
dan sindrom Kluver-Bucy. Gangguan mental yang disebutkan ini terjadi
disebabkan oleh adanya banyak
faktor seperti terjadinya infeksi, genetik, proses metabolik, keracunan
makanan, dan lain-lain.
Dimensia ditandai dengan penurunan secara progresif kemampuan
kognitif individu. Gangguan mental jenis ini disebabkan oleh faktor genetik,
metabolik, keracunan, infeksi, dan terjadinya penyakit sirkulasi. Epilepsi
adalah kehilangan keseimbangan dan kesadaran yang disebabkan oleh trauma,
infeksi otak, dan faktor genetik pada individu. Retardasi mental adalah
ketidakmampuan mental atau inteligensia subnormal yang disebabkan oleh
intoksikasi, trauma atau agen fisik, gangguan metabolisme, malnutrisi,
abnormalitas kromosom, dan lainnya. Sindrom Kluver-Bucy, yaitu terjadinya
peningkatan aktivitas seks tetapi diarahkan pada objek yang tidak tepat.
Gangguan mental ini disebabkan oleh terjadinya infeksi pada otak. Amnesia
Korsakoff adalah jenis gangguan mental berupa kebingungan yang sangat
ekstrem dialami oleh individu, perubahan kepribadian secara mencolok, lupa
mengingat peristiwa yang dialami tahun-tahun terakhir. Gangguan mental ini
disebabkan oleh alkoholik yang kronis (Z.A. Stein dan M. Susser, 1980).
Menurut DSM, macam-macam gangguan mental banyak sekali, yang secara
garis besar meliputi gangguan mental yang biasanya didiagnosis pertama kali
pada masa bayi, masa kanak-kanak, atau masa remaja. Gangguan mental juga
ada yang dinamakan delerium, demensia, dan amnestik dan gangguan-
gangguan kognitif yang lain. Kemudian gangguan mental disebabkan oleh
kondisi medis umum yang tidak diklasifikasikan pada yang lain. Juga ada
gangguan mental yang berhubungan dengan penggunaan zat. Skizofrenia dan
gangguan psikotik lain. Gangguan mood(perasaan) juga ada yang
dikelompokkan sebagai gangguan mental individu. Gangguan kecemasan.
Gangguan somatoform.Gangguan mental secara buatan
(factitous). Gangguan dissisiatif. Ganguan seksual dan identitas gender.
Ganguan makan. Ganguan tidur. Gangguan kontrol impuls yang tidak
terklasifikasi yang lain. Ganguan penyesuaian. Ganguan kepribadian. Kondisi
lain yang dapat menjadi fokus pada perhatian klinis dan ganguan-ganguan
mental yang lain. Jika diuraikan ternyata banyak sekali jenis ganguan mental.

c. Klasifikasi Gangguan Mental

Pada tahun 1994, diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders


(DSM). Melaporkan klasifikasi ganguan mental pada individu. Klasifikasi
ganguan mental yang dilaporkan oleh DSM-IV tersebut lengkap meliputi garis
besar ganguan mental disertai dengan berbagai macam ganguan mental yang
dapat diidap oleh setiap individu. Secara garis besarnya ganguan mental menurut
klasifikasi yang dibuat oleh DSM-IV adalah seperti dipaparkan sebelumnya
mengenai bentuk-bentuk ganguan mental yaitu ganguan mental yang biasanya
didiagnosis pertama kali pada masa bayi, masa kanak-kanak atau masa remaja.
Ganguan mental ada yang dinamakan delerium, demensia, amnestik, dan
ganguan-ganguan kognitif yang lain. Kemudian ganguan mental disebabkan oleh
kondisi medis umum yang tidak diklasifikasikan pada yang lain. Juga ada ganguan
mental yang berhubungan dengan penggunaan zat. Skizofrenia dan ganguan
psikotik yang lain. Ganguan mood (perasaan) juga ada yang dikelompokan
sebagai ganguan mental individu. Ganguan kecemasan, ganguan somatoform,
ganguan mental secara buatan, ganguan dissisiatif, ganguan seksual dan identitas
gender, ganguan makan, ganguan tidur, ganguan kontrol impuls yang tidak
terklasifikasi yang lain, ganguan penyesuaian dan ganguan kepribadian.
4. KESEHATAN MENTAL DI SEKOLAH
Diakui banyak kalangan bahwa sekolah merupakan salah satu
lembaga sekunder yang mempunyai peranan penting terhadap
perkembangan jiwa anak. Pernyataan ini dapat dipahami karena
senyatanya di sekolahlah terjadi interaksi antara guru dan peserta didik
yang paling lama dan intensif setiap harinya. Oleh karena itu, sekolah
tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk mencerdaskan peserta didik,
tetapi juga penting dalam andilnya membentuk watak dan kepribadian
anak.
Meskipun orangtua telah percaya dan menyerahkan sepenuhnya
pendidikan anak-anaknya kepada sekolah, orangtua tidak boleh pasrah
bongkokan (menyerahkan begitu saja) urusan pendidikan anak kepada
sekolah. Sebab, jika kondisi (pendidikan) di sekolah tidak sesuai dengan
kebudayaan rumah, sekolah dapat menjadi sumber penyebab terjadinya
stres pada anak. Apabila anak mengalami stres yang terus-menerus, hal
itu akan mengacaukan perkembangan kepribadian anak yang telah
dibina dengan baik di rumah. Dampak lanjutan yang segera tampak pada
anak misalnya anak tidak berprestasi, anak ragu-ragu atau kurang
percaya diri, atau anak merasa cemas yang berlebihan. Tentunya
orangtua menjadi kecewa mendapati perkembangan anak yang
demikian itu. Sebelum hal terburuk itu terjadi pada anak-anak kita maka
perlu dibina kerja sama yang baik melibatkan pihak orangtua dengan
pihak sekolah.
Pihak sekolah harus segera mengambil sikap dengan menempatkan
dirinya pada peran dan tugasnya. Demikian halnya dengan pihak
orangtua. Guru memegang peran penting dalam sukses tidaknya
pendidikan anak. Singkatnya, guru wajib menegakkan kesehatan mental
di sekolah. Untuk itu diperlukan komunikasi yang baik dan
saling pengertian antara pihak sekolah (guru) dengan pihak orangtua
siswa. Berkaitan dengan penegakan kesehatan mental di sekolah, perlu
terjalin hubungan antara kepribadian guru dan tingkah laku siswa,
persoalan kepribadian di dalam kelas perlu diperhatikan secara serius
dan guru wajib membantu siswanya mengatasi kesulitan-kesulitan yang
dihadapi siswa.
Tidak dapat dimungkiri guru adalah faktor penting dalam
penegakan kesehatan mental di sekolah. Mengapa? Sebab, secara
langsung ataupun tidak guru menentukan tinggi rendahnya tingkat
kesehatan mental para peserta didik di sekolah yang bersangkutan.
Sebelum hal itu tercapai, perlu diperhatikan mengenai kesehatan mental
bagi guru yang bersangkutan. Karena bukan tidak mungkin guru juga
memiliki mental yang tidak baik. Sebagaimana dalam pepatah, “Guru
kencing berdiri, murid kencing berlari”. Artinya, tingkah laku guru akan
selalu ditiru oleh murid-muridnya. Dengan begitu, cukup beralasan
selain peserta didik yang diperhatikan kesehatan mentalnya, guru juga
harus diperhatikan kesehatan mentalnya. Peserta didik akan mengambil
sikap dari kebiasaan gurunya sebagai norma dalam tata cara
kehidupannya. Repotnya, jika sikap atau perilaku guru tersebut tidak
baik atau menyalahi norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
tempatnya bertugas.
Jika ditinjau dari segi kesehatan mental di sekolah, seharusnya
pihak sekolah melakukan langkah-langkah seperti sewaktu melakukan
pemilihan (rekrutmen) guru, maka kesehatan mental digunakan sebagai
faktor persyaratan. Sekolah mengusahakan untuk menghilangkan hal-
hal yang dapat mengganggu kesehatan jiwa guru, misalnya gaji yang
tidak memadai, tugas pekerjaan yang terlalu banyak, persoalan
administrasi yang terlalu rumit; mengadakan rapat-rapat
(pertemuan-pertemuan) di antara guru-guru yang dapat mempunyai
efek penyembuhan [group therapheutic session) agar guru-guru dapat
meninjau kondisinya dengan lebih objektif, dan menganjurkan kepada
guru yang sekiranya mentalnya tidak begitu sehat untuk segera
melakukan pemeriksaan dan usaha penyembuhan kepada pihak-pihak
yang berkompeten (Notosoedirdjo dan Latipun, 2002).
Selain itu, guru juga harus memerhatikan kelainan tingkah laku
yang terjadi pada peserta didik yang disebabkan oleh faktor yang lain
dan masih di seputar sekolahan. Bisa saja penyebabnya berasal dari
dalam kelas itu. Misalnya, penyebab kelainan atau gangguan mental
siswa disebabkan oleh sifat manifestasi dari adanya rasa tidak aman. Rasa
tidak aman digambarkan sebagai suatu sikap atau keyakinan individu
bahwa dia itu tidak disukai oleh orang-orang, tidak mampu mengerjakan
sesuatu, dan adanya perasaan tidak aman atau jiwanya merasa terancam.
Selain hal itu, penyebab gangguan mental siswa dapat juga disebabkan
adanya manifestasi dari rasa kurang harga diri dan adanya manifestasi
rasa bermusuhan antarteman.
Adler berpendapat bahwa motivasi yang kuat dalam kehidupan
suatu individu adalah untuk melakukan kompensasi terhadap
kekurangan-kekurangan yang nyata ataupun tidak, yang terdapat pada
individu. Pada beberapa kasus, walaupun seseorang atau siswa cukup
mempunyai kekuatan untuk menyesuaikan diri, masih dapat juga timbul
kurang rasa percaya diri. Di kelas, siswa-siswa yang demikian itu dapat
ditemui dalam bentuk selalu membuat kegaduhan, baik dengan
bersuara, gerakan-gerakan kakinya, maupun tangannya dengan maksud
mencari perhatian. Sedangkan rasa bermusuhan antarteman, merupakan
faktor yang penting dari beberapa jenis gangguan penyesuaian diri.
Timbulnya reaksi cemas, suatu bentuk dari neurosa,
timbul dari impuls-impuls bermusuhan dari bermacam-macam jenis. Di
sekolah hal itu dimanifestasikan oleh siswa-siswa dengan seringnya
menantang teman untuk diajak berkelahi. Sifat merusak pada alat-alat
sekolah antara lain dengan aksi corat-coret pintu, jendela, dan tembok
sekolah adalah petunjuk adanya rasa bermusuhan walaupun mungkin
anak yang bersangkutan tidak pernah menyadari kelakuannya itu.
Sebetulnya masih banyak lagi masalah-masalah yang menyangkut
kepribadian anak sekolah yang perlu memperoleh perhatian penting.
Dalam hal ini, peran guru sangat strategis dalam mengubah suasana
sekolah menjadi betul-betul kondusif dengan para peserta didik
terhindar dari gangguan mental. Sebab, pokok dari agresi anak yang
menyimpang dari kepribadian baik terletak pada adanya frustrasi yang
tetap. Para ahli setuju hal itu diatasi dengan pengarahan tingkah laku
yang baik pada peserta didik daripada harus menekan mereka.
Bab XIII
PENGUKURAN DAN PENILAIAN
KEMAMPUAN PSIKIS INDIVIDU

kurikulum pendidikan di Indonesia hingga dewasa ini 14 menggunakan


tradisi ulangan (ujian) untuk mengukur prestasi belajar peserta didik dan
mahasiswa yang menuntut ilmu di sekolah-sekolah (SD, SMP, SMK/SMA)
atau Perguruan Tinggi. Hasil pengukuran prestasi dari ulangan atau ujian
tersebut digunakan sebagai umpan balik atau bahan masukan untuk
memperbaiki proses belajar mengajar, penyeleksian siswa atau mahasiswa
baru, penyediaan sarana belajar, dan sebagainya. Semua itu berguna untuk
meningkatkan prestasi belajar dan kualitas pendidikan pada umumnya.
Bentuk-bentuk pengukuran prestasi belajar untuk siswa-siswa kelas
terakhir di sekolah-sekolah, misalnya dengan Evaluasi Belajar Tahap Akhir
(EBTA), yaitu ujian sekolah sendiri; Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional
(EBTANAS) yang merupakan bentuk ujian yang dilakukan oleh pemerintah
(Departemen Pendidikan Nasional RI).
Di perguruan tinggi pengukuran prestasi belajar para mahasiswa
dilakukan dengan Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir
Semester (UAS). Selain UTS dan UAS, di perguruan tinggi masih terdapat
bentuk-bentuk ujian yang lainnya tergantung pada jurusan ilmu dari
masing-masing mahasiswa. Contohnya, mahasiswa jurusan pendidikan
diadakan ujian praktik mengajar (microteaching), mahasiswa jurusan
olahraga dilakukan ujian praktik olahraga atau ujian praktik lapangan, dan
lain-lain.
Capaian nilai-nilai EBTA dan EBTANAS kemudian digunakan untuk
menentukan para siswa SD, SMP, SMK, dan SMA dapat menamatkan
belajarnya atau tidak. Para siswa yang dinyatakan lulus belajarnya. Bagi
para siswa TK, SD, SMP, SMK/SMA yang telah lulus belajar diberi Surat
Tanda Tamat Belajar (STTB) atau Ijazah. Dengan demikian, ada STTB untuk
SD, STTB untuk SMP, STTB untuk SMK, STTB untuk SMA, bahkan ada
STTB untuk Taman Kanak-Kanak. Demikian halnya dengan lulusan dari
perguruan tinggi juga ada ijazah dengan dilengkapi daftar nilai mata kuliah
yang ditempuhnya. Tidak hanya itu, bagi lulusan perguruan tinggi program
strata satu (Sl) diberikan gelar kesarjanaan menurut keahliannya masing-
masing. Misalnya, Ijazah untuk Sarjana Pendidikan Sl yaitu Sarjana
Pendidikan disingkat S.Pd. Ijazah untuk Sarjana Ekonomi Sl adalah Sarjana
Ekonomi yang disingkat S.E. Ijazah untuk Sarjana Hukum Sl adalah Sarjana
Hukum yang disingkat S.H., dan sebagainya. Bagi lulusan sarjana strata dua
(S2) diberi gelar sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Misalnya,
lulusan program studi strata dua (S2) bidang humaniora diberi gelar dengan
disingkat M.Hum. (Magister Humaniora), lulusan program S2 bidang teknik
diberi gelar kesarjanaan dengan disingkat M.T. (Magister Teknik), dan lain-
lain. Untuk program studi Doktoral (S3) lulusannya diberi gelar Dr.
(Doktor).
A. Konsep Pengukuran dan Penilaian terhadap Sesuatu
Objek
Dalam kehidupan sehari-hari pekerjaan mengukur suatu objek yang secara
fisik terlihat nyata sudah biasa dilakukan orang. Misalnya mengukur
panjang suatu benda, luas suatu bidang, volume bejana tertentu, dan lain-
lain. Mengukur objek ini dilakukan dengan cara menerapkan alat ukur dan
menghasilkan angka-angka yang ditunjukkan oleh alat ukur pada benda
(objek) yang hendak diketahui ukurannya. Dengan begitu, mengukur suatu
objek adalah memberi angka objek tersebut atau memperangkakan objek.
Dalam dunia pendidikan pekerjaan mengukur diterapkan tidak hanya pada
benda-benda yang secara fisik terlihat, tetapi juga dilakukan untuk
mengukur kemampuan mental individu. Pengukuran dan penilaian
kemampuan mental pada individu biasa dilakukan dalam bidang psikologi.
Pengukuran benda-benda fisik dan aspek-aspek fisik manusia cukup
mudah dilakukan. Berbeda halnya dengan pengukuran dan penilaian
kemampuan mental seseorang. Oleh karena itu, dalam subbab ini
pembahasan kedua tindakan pengukuran tersebut dipisahkan satu sama
lain. Pembahasan tentang pengukuran dan penilaian kemampuan mental
pada manusia lebih ditekankan dalam buku ini mengingat hal itu sudah
pada tempatnya. Sementara itu, pembahasan masalah pengukuran dan
penilaian benda-benda fisik diberikan secara selintas sebagai gambaran
adanya perbedaan konsep dan prosedur antara kedua hal tersebut.
Pertama, pengukuran dan penilaian fisik. Sebelumnya telah
dinyatakan bahwa pengukuran benda-benda fisik lebih mudah dilakukan
dibandingkan dengan pengukuran dan penilaian kemampuan mental
manusia. Contoh konkretnya, di hadapan kita
tersedia balok atau sebuah meja terbuat dari kayu. Benda itu dapat diukur
seberapa panjang, lebar, dan tebalnya. Sekarung gula pasir atau garam dapur
dapat diukur seberapa beratnya. Demikian halnya badan manusia dapat
diukur seberapa tinggi dan berat badannya.
Timbul pertanyaan bagaimana mengukur benda-benda fisik
tadi?
Pengukuran benda-benda tersebut mudah dilakukan dengan bantuan
alat ukur yang telah ada dan akurat. Misalnya, untuk mengukur satuan
panjang digunakan alat ukur panjang berupa meteran. Untuk mengukur
berat benda digunakan timbangan. Cara pengukuran panjang dilakukan
dengan meletakkan titik nol meteran pada satu ujung balok tadi. Kemudian,
pita meteran direntangkan pada balok kayu sampai pada ujung satunya lagi.
Ujung-ujung pita meteran yang bertanda dan bertuliskan angka-angka
dipaskan pada ujung-ujung balok kayu. Setelah itu dilakukan pembacaan
angka-angka tepat di kedua ujung balok kayu. Misalnya, pita meteran
direntangkan mulai dari angka nol hingga 300 cm, berarti panjang balok
kayu 3 meter. Cara-cara pengukuran panjang balok kayu tersebut juga
dapat diterapkan ketika sedang mengukur tinggi badan, lebar papan, dan
lain-lain satuan panjang. Sedangkan untuk mengukur berat benda (objek),
digunakan timbangan. Caranya mirip dengan pengukuran satuan panjang
hanya saja alat ukur yang digunakan berbeda. Pengukuran berat objek akan
terbaca pada skala atau angka yang ditunjukkan oleh timbangan yang
digunakan. Berat benda yang diukur (ditimbang) akan terbaca pada angka
yang ditunjukkan oleh jarum timbangan. Misalnya, menimbang benda dan
jarum menunjuk ke angka 80, berarti berat benda yang ditimbang 80 kg.
Cara menimbang sebuah benda dapat dilakukan dengan mudah. Misalnya,
kita hendak menimbang beras atau gula
pasir, langkahnya, yaitu dengan menaruh beras atau gula pasir di dalam
mangkok timbangan dan diimbangi dengan anak timbangan yang tersedia.
Keseimbangan yang ditunjukkan antara anak-anak timbangan dan benda
yang ditimbang menunjukkan berat benda yang ingin diketahui atau
diukur beratnya. Misalnya, gula pasir beratnya 5 kg, badan anak kecil
beratnya 15 kg, dan sebagainya.
Usai dilakukan pengukuran suatu benda atau objek umumnya
dilakukan evaluasi terhadap hasil pengukuran. Penilaian dilakukan dengan
cara memperbandingkan hasil-hasil pengukuran dengan suatu standar atau
norma. Dengan begitu, mengevaluasi hasil pengukuran berhubungan
dengan pekerjaan menaksir dan menetapkan kualitas hasil pengukuran tadi.
Misalnya, pada standar balok ditetapkan: balok pendek berukuran antara 0
cm hingga berukuran 100 cm. Balok berukuran sedang jika ukurannya
antara 101 cm sampai 250 cm. Balok dinyatakan berukuran panjang apabila
ukuran panjang benda lebih dari 250 cm. Dengan demikian, jika hasil
pengukuran panjang balok kayu di atas dievaluasi tergolong balok yang
berukuran panjang karena dari hasil pengukuran menunjukkan panjang
balok kayu lebih dari 250 cm, yaitu 300 cm atau 3 meter. Demikian ulasan
singkat cara-cara mengukur dan mengevaluasi atau menilai hasil
pengukuran objek-objek fisik. Prosedur seperti itu juga dapat diterapkan
ketika kita melakukan pengukuran dan penilaian terhadap berbagai macam
aspek fisik manusia. Misalnya, mengukur dan menilai berat badan manusia,
tinggi badan manusia, dan lain sebagainya. Orang dikatakan memiliki
badan yang tergolong rendah, sedang, atau tinggi dengan kisaran tertentu
sesuai dengan norma yang telah ditetapkan sebelumnya. Demikian halnya
dengan pengukuran dan penilaian berat badan seseorang. Seseorang
dikatakan berat badannya kurang ideal
jika memiliki berat kurang dari standar yang ditetapkan. Sebaliknya, orang
dikatakan kelebihan berat badan jika dari hasil pengukuran berat badan
melebihi barat tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya, dan seterusnya.
Penilaian suatu objek dari hasil pengukuran merupakan langkah penting
guna mengualifikasi atau memberi status kualitas objek atau benda yang
diukur tadi.
Kedua, pengukuran dan penilaian kemampuan psikis individu. Telah
disebutkan bahwa pengukuran aspek-aspek psikis tidaklah semudah
mengukur objek fisik. Aspek-aspek psikis mencakup semua kemampuan
mental manusia, kemampuan-kemampuan cipta, rasa, karsa, kecerdasan,
bakat, emosi, sikap-sikap, dan sebagainya.
Berbeda dengan alat ukur yang digunakan untuk mengukur objek fisik,
alat ukur yang dipakai untuk mengukur kemampuan psikis manusia biasa
disebut tes. Dalam bidang psikologi pendidikan alat ukur kemampuan
mental pada individu secara lengkap dinamakan tes psikis.
Wujud tes psikis berupa tugas atau soal-soal yang harus dikerjakan
oleh individu yang sedang diukur kemampuan mentalnya. RBS.
Fudyartanto (2002) mengemukakan bahwa cara-cara untuk mengerjakan
tes psikis ada bermacam-macam:
1) . Metode tes psikis dengan jawaban dari soal-soal tes dikerjakan
dengan cara lisan, yaitu dengan percakapan atau uraian lisan. Tes
psikis biasa dinamakan tes lisan atau ujian lisan.
2) . Metode tes psikis dengan jawaban dari soal-soal tes dikerjakan
dengan cara tertulis. Tes psikis ini disebut tes tertulis atau tes kertas
dan pensil.
3) . Metode tes psikis dengan jawaban dari soal-soal tes dikerjakan
dengan melaksanakan suatu perbuatan konkret, misalnya tes lari cepat
dilakukan dengan lari bersungguh-sungguh. Contoh
yang lain, misalnya menyusun bentuk-bentuk tertentu atau tes
merangkai sesuatu.
Seperti halnya pengukuran objek-objek secara fisik kemudian hasilnya
dilakukan evaluasi untuk mengukur kualitas hasil. Pada pengukuran
kemampuan psikis individu juga dilakukan penilaian terhadap hasilnya.
Hanya saja, cara melakukan evaluasi kedua macam hasil pengukuran
tersebut berbeda. Pada pengukuran dan penilaian kemampuan psikis
individu dilakukan dengan menggunakan tes psikis. Kedua jenis alat ini
berbeda wujudnya sehingga wujud hasilnya pun berbeda.
Sementara itu, jenis tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan
dan melakukan evaluasi hasil tes psikis terdapat bermacam-macam. Saking
banyaknya jenis tes psikis tersebut maka oleh para ahli kemudian digolong-
golongkan sesuai dengan karakteristik tes psikis. Masing-masing jenis tes
psikis mempunyai kelebihan dan terdapat kekurangan masing-masing
seperti dikemukakan di atas. Dari uraian tersebut kemudian dilakukan
penggolongan jenis-jenis tes psikis, yakni menjadi tes verbal yang dijawab
dengan bahasa dan tes nonverbal atau tes perfomansi yang dijawab dengan
perbuatan nyata. Tes performansi sering disebut juga tes berbuat
(performance test).
Pengukuran kemampuan mental hasilnya tidak bersifat eksak seperti
halnya hasil pengukuran benda-benda fisik. Dalam pengukuran
kemampuan mental individu lebih tepat kiranya kalau disebut menaksir
kemampuan psikis manusia. Sebutan itu dinilai lebih tepat karena
kemampuan psikis individu bersifat sangat kompleks. Hasil dari tes psikis
berupa skor psikis. Misalnya, tes kecerdasan menghasilkan skor kecerdasan,
yang terkenal dengan nama Intelligence Quotient (IQ). Tes hasil belajar
menghasilkan skor atau nilai hasil belajar atau disebut juga
prestasi belajar. Skor kecercisan ini selanjutnya akan dievaluasi untuk
penentuan kualitas hasil peigukuran kemampuan psikis individu yang
Dersangkutan.
Perangkat evaluasi es psikis menggunakan norma-norma /ang
kemudian tiap hasil pengukuran yang telah dilakukan dapat digolongkan
ke dalam norma tertentu. Norma-norma itu sendiri merupakan klasifikasi
kualitas dalam suatu skala. Norma-norma tersebut ditetapkan sebelum
pelaksanaan tes psikis. Contoh suatu penggolongan nilai ujian dalam tes
psikis, yakni nilai (golongan) A = baik, skornya 80 ke atas(untuk skala
100), golongan B = cukup, skornya 651-799; golongai C = sedang, skornya
550-649; golongan D = kurang, skornya di bawah 256—550, dan golongan
E = nilai mati, skornya antara 0-250. Langkah-langkah penilaian seperti itu
berarti juga menempatkan tiap skor pada kedudukan atau posisi tertentu,
ataupun mempunyai kualitas tertentu. Dalam menilai termasuk pekerjaan
membanding-bandingkan sekor hasil pengukuran untuk menentukan
posisi tiap-tiap individu berdasarkan hasil tes psikis yang telah dilakukan
dengan standar seperti yang telah ditetapkan sebelumnya.
Di antara para pemb;ca yang budiman barangkali ada yang bertanya-
tanya dalam pikiiran apa sesungguhnya tes psikis tersebut. Sampai sejauh
mana keakuratan tes psikis dalam mengukur kemampuan mental individu
yang bersangkutan? Tentunya dari sekian banyak tes psikis yang dikenal
terdapat salah satu atau beberapa jenis tes psikis dengan tingkat keakuratan
yang tinggi. Berikut ini hendak diulas seluk-beluk tes psikis dengan
berbagai penerapan, kelebihan-kelebihan, dan kekurangan yang
dimilikinya.
B. Tes Psikis Individu
Tes psikis tidak hanya berupa tes kecerdasan individu, tetapi terdapat
banyak sekali jenisnya. Setiap jenis tes psikis mempunyai fungsi sendiri-
sendiri. Hingga saat ini setidaknya telah dikenal dua belas kelompok tes
psikis yang sudah diterapkan dalam bidang psikologi. Kedua belas jenis
atau kelompok tes psikis tersebut hendak dikemukakan dalam pembahasan
sub-subbab berikut ini. Sebelum mengulas lebih detail tentang bermacam-
macam kelompok tes psikis perlu dikemukakan mengenai pengertian tes
psikis tersebut. Hal itu dikandung maksud agar pembaca lebih fokus dalam
menelaah atau mengkritisi hakikat dari tes psikis dimaksud.

1. Pengertian Tes Psikis


Untuk mengetahui lebih jelas pengertian tes psikis, berikut ini
dikemukakan pendapat yang diajukan oleh ahli yang sangat berkompeten
dalam bidang psikologi. Anne Anastasi dan Susana Urbina (1997)
mendefinisikan tes psikologi pada dasarnya sebagai suatu alat ukur yang
objektif dan dilakukan atas sampel perilaku tertentu. Tes-tes psikologis
mirip dengan tes-tes dalam ilmu-ilmu lainnya, sejauh observasi dibuat: atas
sampel yang baik namun dipilih secara hati-hati dari perilaku individu.
Freeman memberikan pengertian mendasar tentang tes psikologi yang
pada prinsipnya mengandung tiga hal pokok, yakni adanya standardisasi
tes, sifat tes harus objektif, dan harus melibatkan keberadaan sampel di
dalamnya.
Suatu tes psikologi sebagai alat ukur kemampuan psikis individu harus
telah dibakukan, artinya di dalam penyusunan dan pemakaiannya
melalui prosedur-prosedur tertentu yang secara akademik dan umum
dapat diterima. Tes psikologi harus memenuhi kriteria persyaratan
akademik maksudnya prosedur-prosedur yang diterapkan harus sesuai
dengan aturan yang dibakukan secara akademik. Misalnya, tes psikologi
mempunyai prinsip-prinsip umum, mempunyai struktur, telah diteliti
reliabilitas dan validitasnya, mempunyai norma-norma, dan mempunyai
pedoman administrasi atau penyelenggaraannya. Contoh tes psikologi yang
telah memenuhi persyaratan seperti itu adalah tes kecerdasan dan tes
bakat. Kedua macam jenis tes psikologi tersebut mempunyai tujuan-tujuan
tertentu.
Tes psikologis merupakan instrumen untuk memperoleh manfaat bagi
kehidupan. Di antara manfaat penerapan tes psikologi pada kehidupan
manusia adalah di bidang pendidikan berguna untuk bimbingan dan
konseling; di bidang industri tes psikologi berguna untuk seleksi dan
promosi karyawan; di bidang medis tes psikologi berguna untuk diagnosis
kelainan-kelainan mental individu. Selain itu, masih ada manfaat dari tes
psikologi yang secara lengkap tidak dapat disebutkan dalam buku ini.

2. Beberapa Tes Psikis Standar Tersusun


Hingga saat ini telah disusun banyak tes psikis oleh para ahli psikologi
ternama di dunia yang biasa diterapkan untuk mengukur kemampuan
psikis individu. Berbagai macam tes psikis tersebut, yaitu:
a. Kelompok tes psikis yang mengukur kemampuan-kemampuan
intelektual, afeksi, dan keterampilan motorik individu, meliputi:
- Tes kecerdasan;
- Tes kemampuan dasar;
r
Tes bakat khusus;
Tes bakat seni;
Tes kepribadian;
Tes sikap;
Tes verbal.
b. Kelompok tes nonverbal merupakan tes berbuat nyata.
c. Kelompok tes ditinjau dari penyelenggaraannya, yakni tes yang harus
dilakukan secara individual, dan ada yang secara bersama atau
kelompok.
- Tes individual.
- Tes kelompok.
d. Kelompok tes ditinjau dari kelompok umur individu atau kelompok
yang dites.
Tes anak-anak;
Tes orang dewasa dan tua.

3. Penerapan Tes Psikis di Sekolah/Perguruan Tinggi


Kelompok tes psikologi yang lazim diterapkan di sekolah/ perguruan
tinggi, di antaranya tes kecerdasan, tes bakat (seni dan kreativitas), tes
kepribadian, dan tes standar baru. Karakteristik dan ragam dari masing-
masing kelompok tes psikologi tersebut diuraikan di bawah ini.

a. Kelompok Tes Kecerdasan

Kelompok tes kecerdasan yang banyak dikenal adalah tes Binet-


Simon, tes kecerdasan yang disusun oleh David Wechsler, Wechsler
Belleveu Scale (WBS), WISC adalah Wechsler Intelligence Scale for
Children, WPPSI adalah Wechsler Preschool and Primary Scale of
Intelligence Test, dan Tes PMA (Primary Mental Ability).
Penjelasan singkat dari masing-masing tes kecerdasan tersebut
dikemukakan berikut ini.
Tes Binet-Simon. Tes ini diciptakan pada tahun 1905 oleh Binet dan
Simon. Oleh karena itu, tes ini disebut tes Binet-Simon. Tes kecerdasan ini
telah mengalami beberapa kali revisi, misalnya di Prancis revisi dilakukan
pada tahun 1908 dan 1911. Di USA revisi dilakukan beberapa kali, yaitu
revisi I dilakukan tahun 1916, revisi II tahun 1937, revisi III tahun I960,
dan revisi IV tahun 1986. Revisi I hingga III terkenal dengan nama
Stanford Binet-Simon Revision. Sedangkan hasil revisi IV dikenal dengan
singkatan SB-IV (1986).
Tes kecerdasan Binet-Simon merupakan tes individual terdiri atas 15
subtes, dirancang untuk umur 2 tahun sampai 18 tahun ke atas. Tes verbal
dan nonverbalnya belum terpisah, tetapi masih terintegrasi dalam satu
kesatuan. SB—IV terbagi atas empat kelompok subtes, yakni Tes Penalaran
verbal: 4 subtes, tes penalaran kuantitatif: 3 subtes, tes penalaran
abstrak/visual: 4 subtes, dan tes memori jangka pendek: 4 subtes.
Tes Kecerdasan yang disusun oleh David Wechsler. Tes ini ada
tiga macam, yakni Wechsler Belleveu Scale(WBS), WISC, dan WPPSI. Tes
Wechsler Belleveu Scale(WBS) disusun tahun 1939 dan direvisi tahun 1955
menjadi Tes Wechsler Adult Intelligence Scale(WAIS), yaitu tes kecerdasan
untuk orang dewasa berusia 16 tahun ke atas. Revisi WAIS berikutnya
terjadi pada tahun 1981. WAIS terdiri atas dua kelompok tes, yakni tes
verbal dengan 6 subtes, dan tes nonverbal sebanyak 5 subtes. Dalam hal ini,
Wechsler memisahkan secara tegas adanya tes verbal dan tes nonverbal.
WAIS merupakan tes individual.
Tes WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children)adalah tes kecerdasan
untuk anak-anak. Jenis tes psikologi ini disusun tahun 1949
dan telah dilakukan revisi sebanyak tiga kali, yang kemudian disebut
WISC-R-III 1991. WISC diperuntukkan bagi anak-anak mulai umur 6
tahun sampai 16 tahun. WISC juga berupa tes individual. Struktur subtes
WISC sama dengan WAIS, yakni terdiri dari tes verbal sebanyak 6 subtes
dan tes nonverbal sebanyak 5 subtes.
Tes WPPSI (Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence)
merupakan tes kecerdasan prasekolah dan sekolah dasar dari Wechsler
terbit pada tahun 1967. Tes kecerdasan ini dirancang untuk anak-anak
umur 4 tahun sampai GVi tahun. Struktur tesnya sama dengan WAIS.
WPPSI telah direvisi pada tahun 1989 menjadi WPPSI-R 1989, dan untuk
tahun 1990-an dirancang bagi anak-anak umur 3 tahun sampai 7 tahun 3
bulan.
Masing-masing tes kecerdasan Wechsler tersebut dapat menghasilkan
tiga macam skor dan skala kecerdasan, yakni skor verbal menghasilkan
skala verbal, skor nonverbal menghasilkan skala nonverbal, dan skor
gabungan menghasilkan skala gabungan atau skala penuh.
Tes SPM dari Raven. Tes SPM adalah singkatan dari Standard
Progressive Matrices.Soal-soalnya berupa menambal gambar-gambar yang
berlubang, yang dikelompokkan dalam lima tingkatan A, B, C, D, E dengan
masing-masing terdiri atas 12 gambar soal. Soalnya mula-mula mudah,
tetapi semakin lama semakin sukar. SPM dapat dijadikan tes kecerdasan
dengan penyelenggaraan dan pengolahan skornya telah ada pedomannya.
SPM dapat dipakai atau diteskan secara massal atau kelompok.
Selain tes SPM, J.C. Raven menciptakan tes APM (.Advanced
Progressive Matricies) atau Set I dengan 12 soal. Raven juga membuat
tes CPM Coloured Progressive Matrices Sets A, Ab, dan B, terdiri atas 36
soal.
Tes kecerdasan menurut teori kelompok faktor kecerdasan, atau
Tes PMA (Primary Mental Ability). Tes ini disusun oleh Thurstone pada
tahun 1941 dan direvisi pada tahun 1962. Seri tes PMA dirancang untuk
anak-anak sekolah menengah dan mahasiswa.
Tes kecerdasan yang dapat diteskan secara bersama-sama ada beberapa
macam yakni Pintner Cunningham Primary Test, The California Test of Mental
Maturity, The Henmon-Nelson Tests Mental Ability, Otis-Lennon Mental Ability
Test, SPM, APM, dan CPM, serta Seri Tes PMA.

a. Kelompok Tes Bakat


Tes bakat ada banyak sekali macamnya. Di antara contoh tes bakat
yang terkenal adalah DAT (DifferentialAptitude Tests),Seri Tes Bakat FACT
(Flanagan Aptitude Classification Tests), dan Seri Tes GATB (GeneralAptitude
Tests Battery).Penjelasan dari masing-masing tes bakat tersebut
dikemukakan di bawah ini.
DAT (Differential Aptitude Tests).DAT adalah tes bakat pembeda. Dasar
teorinya adalah teori PMA (Primary Mental Ability, atau Kemampuan Mental
Dasar). DAT disusun pada tahun 1947, kemudian direvisi pada tahun 1963
dan 1973. DAT dirancang untuk anak-anak tingkat 8-12 tahun di USA.
DAT terdiri atas 8 subtes, yakni Penalaran Verbal (Verbal Reasoning),
Kemampuan Numerik (Numerical Reasoning), Penalaran Abstrak (Abstract
Reasoning),Kecepatan dan Keakuratan Klerek (Clerical Speed and
Accuracy),Penalaran Mekanik (Mechanical Reasoning),Hubungan-Hubungan
Ruang (Space Relations),
Pemakaian Bahasa I-Pengejaan (Language Usage I-Spelling), Pemakaian
Bahasa II (Language Usage II— Grammar).
Seri Tes Bakat FACT {Flanagan Aptitude Classification Tests). Seri tes ini
disusun oleh J.C. Flanagan. FACT dirancang untuk tingkatan 9-12 anak-
anak di USA. Seri tes FACT terdiri atas 16 subtes, yakni tes inspeksi
(ketelitian), tes asembel (merakit), tes keputusan dan komprehensi, tes
kegeniusan, tes kesiapan, tes penandaan (pengodean), tes memori, tes
presisi, tes skala, tes tabel, tes koordinasi, tes aritmatik, tes komponen, tes
mekanika, dan tes ekspresi.
Jenis tes (FACT) ini dapat digunakan untuk mengukur bakat-bakat
individu untuk diprediksikan menjadi insinyur, akuntan, psikolog, tulis,
dan lain-lain. Ringkasnya, mulai dari bakat ketatausahaan sampai teknisi
tinggi.
Seri Tes GATB (GeneralAptitude Tests Battery).Tes ini disusun oleh
Lembaga Pelayanan Kerja di USA. Tes ini untuk umum. GATB memakai 9
faktor kecerdasan atau PMA, dan menyediakan 12 tes. PMA yang dipakai
ialah kemampuan belajar umum (GeneralLearning Ability—G), bakat verbal
(VerbalAptitude-Y), bakat spasial (Spacial Aptitude-S), persepsi bentuk (Form
Perception—P), persepsi klerikal (Clerical Perception-Q), koordinasi motorik
(Motor Coordination—K), keterampilan jari tangan (Finger Dexterity-F),
keterampilan manual (ManualDexterity-M), dan bakat aritmatik
(NumericalAptitude—N).

C. Kelompok Tes Bakat Seni dan Kreativitas


Tes bakat seni dan kreativitas dikenal banyak sekali ragamnya. Di
antaranya yang terkenal adalah Tes Bakat Seni Musik dari Seashore, Tes
Standar Bakat Musik dari Wing, Tes Bakat Musik dari Drake, Tes Prestasi
Musik dari Aliferis, Tes Keputusan Desain dari Graves, Tes
Penentuan Seni dari Meier, Tes Kemampuan Seni dari Knauber, dan
Inventori Bakat Musik dari Horn.
Tes Bakat Seni Musik dari Seash>re mengukur kemampuan-
kemampuan musikal mengenai diskriitiinasi nada, intensitas nada, tempo
nada, timbre, ritme, dan ingitan nada. Seashore adalah pencipta tes tadi. Tes
ini diperuntukkan bagi anak-anak kelas 4 sampai mahasiswa. Untuk Tes
Standar Bakat Musik dari Wing mengukur mengenai paduan suara,
perubahan-perubahan nada, ritme, harmoni, intensitas nada, dan
pengucapan nada. Wing adalah pencipta tes ini. Tes ini dirancang untuk
anak-anak umur 8 tahun ke atas. Sedangkan Tes Bakat Musik dari Drake
mengukur dua aspek bakat musik, yakni ingatan dan ritme. Tes Prestasi
Musik dari Aliferis digunakan untuk menyeleksi calon siswa sekolah musik.
Unsur-unsur yang diukur adalah pembedaan melodi, harmoni, ritme, dan
idiom musik. Sementara itu, Inventori Bakat Musik dari Horn sebagai alat
seleksi siswa sekolah musik. Contoh soalnya berupa bagan-bagan lalu
peserta tes disuruh menggambar dengan bagan-bagan tadi.
Tes Keputusan Desain dari Graces mengukur kemampuan persepsi dan
prinsip-prinsip seni, yakni mengenai Kesatuan (Unity), Dominan
(Dominance),Variasi (Variety),Keseimbangan (Balance), Simetrisitas (Simetry),
Proporsi (Proportion), dan Ritme (Rhythm).Tes Penentuan Seni dari Meier
untuk mengukur kemampuan apresiasi seni secara global. Sementara Tes
Kemampuan Seni dari Knauber untuk anak-anak kelas 7 sampai 16. Tugas-
tugasnya ialah menggambar suatu desain dari ingatan, menggambar
ingatan, gambar dari ruang terbatas, menggambar suatu karakter stereotip,
menyusun suatu komposisi spesifik, menciptakan dan menyempurnakan
desain-desain,
menunjukkan kesalahan-kesalahan detail dalam gambar-gambar, dan
produksi komposisi dari imajinasi kreatif.

D. Kelompok Tes Kepribadian


Dewasa ini telah banyak tes kepribadian yang pada umumnya disebut
sebagai Tes Proyektif. Contoh-contoh tes kepribadian yang terkenal saat ini
adalah Tes Rorschach- tes gambar-telau-telau tinta,Tes Menggambar dari
Erich Wartegg, Tes Apersepsi Tematik dari Murray, dan Tes Persepsi
Gambar dari Baum.

E. Tes-tes Standar Baru


Antara tahun 1980 dan 1990-an muncul tes-tes psikologi dengan
standar baru yang disusun oleh ahlinya, di antaranya yang terkenal yang
disebut dengan istilah Skala Kaufman dan Skala Diferensial Kemampuan
(Differential Ability Scalesdisingkat DAS). Penjelasan dari kedua jenis tes
psikologi standar baru dimaksud dikemukakan di bawah ini.
Pertama, Skala Kaufman. Tes ini diterbitkan pada tahun 1980-an dan
1990-an. Skala Kaufman dirancang seperti tes SB IV dan WAIS. Tes ini
banyak dipakai di USA. Skala Kaufman ada yang dipakai untuk anak-anak,
disebut K-ABC {Kaufman Assessment Battery for Children,); KAIT {Kaufman
Adolescent and Adults Intelligence)-, K-BIT (Kaufman Brief Intelligence Test).
Kedua, Skala Diferensial Kemampuan atau Differential Ability Scales
(DAS). Tes ini kali pertama diciptakan oleh C.D. Elliott (1990). DAS
merupakan revisi dari British Ability Scales (BAS) yang terbit di Inggris tahun
1970-an (Elliott, Murray, Pearson, 1979). Seperti juga halnya dengan DAS
untuk tes SB IV dan Wechsler juga merupakan
tes kecerdasan. Namun, tes DAS tidak menekankan IQ. Hal paling penting
ditekankan pada tes DAS adalah organisasi tes, sekor, dan interpretasinya.
Menurut Anastasi dan Urbina (1997), materi DAS dibagi menjadi tiga
kelompok, yakni Subtes Utama, Subtes Diagnostik, dan Subtes Prestasi.
Subtes Utama terdiri atas membangun blok, pemahaman verbal, kemiripan
gambar, menyebutkan kosakata, konsep angka awal, meniru, penyusunan
pola, mengingat desain, definisi kata, matriks, kesamaan, dan penalaran
berurutan dan kuantitatif. Subtes Diagnostik terdiri atas mencocokkan
gambar, mengingat angka (digit), mengingat objek, mengenali gambar, dan
kecepatan pemrosesan informasi. Subtes Prestasi terdiri atas keterampilan
numerik dasar, mengeja, dan membaca kata.

Gambar 7 Bagan Perkembangan Pengetesan Konseptual

Ketiga, Skala Cognitive Assessment System (CAS) J.P. Das. CAS


merupakan instrumen tes psikologi yang baru. CAS kali pertama disusun
oleh J.P. Das dan kawan-kawannya pada tahun 1990-an. CAS didasarkan
pada teori kognisi dan organisasi otak yang dirintis oleh psikolog saraf
berasal dari Rusia, yaitu A. R. Luria. CAS dirancang untuk mengetahui
kemampuan mental individu berumur 5.0-17.11.
Soal-soal CAS dirancang untuk mengukur fungsi-fungsi kognitif dasar yang
dilibatkan dalam proses belajar, tetapi dianggap independen dari proses
bersekolah. Materi CAS mencakup pemrosesan, perencanaan, perhatian
simultan, dan berturutan. Sistem ini memakai tes-tes verbal dan nonverbal
yang disajikan melalui indra pendengaran dan penglihatan. Laporan uji
coba CAS pertama kalinya telah ditulis oleh Lembert (1990) dan Telzrow
(1990). CAS diharapkan menjadi alat penting dan inovatif untuk penilaian
status kognitif individu yang sedang diuji atau dites (Anastasi dan Urbina,
1997).

C. Tes Skolastik di Sekolah/Perguruan Tinggi


Evaluasi belajar para siswa/mahasiswa di sekolah/perguruan tinggi diukur
dengan instrumen yang disebut tes skolastik. Jenis tes ini disusun oleh
guru/dosen di sekolah-sekolah/perguruan tinggi. Jenis tes skolastik yang
diadakan di sekolah SD, SMP, SMK/SMA contohnya EBTA, EBTANAS,
THB, THB bersama, UMPTN, dan sebagainya. Sedangkan Tes Skolastik di
perguruan tinggi contohnya adalah Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian
Akhir Semester (UAS), ujian negara, dan lain-lain.
Bentuk dari Tes Skolastik yang diterapkan di sekolah-sekolah mulai
dari SD hingga perguruan tinggi terdapat bermacam-macam, di antaranya
Ujian Lisan, Tes Esai, Tes Objektif yang meliputi Tes Jawab Singkat, Tes
Menyempurnakan, Tes Mengisi, Tes Benar Salah, Tes Pilihan Ganda, Tes
Menjodohkan, dan bentuk-bentuk tes yang lain yang dapat disusun oleh
guru/dosen yang berkompeten di bidangnya. Berikut ini dikemukakan
penjelasan ringkas mengenai seluk-beluk ujian lisan dan tes tertulis yang
meliputi tes tertulis yang bersifat
terbuka dan tes tertulis yang bersifat objektif. Tes tertulis yang
bersifat terbuka terdapat beberapa macam, yaitu tes esai, tes jawab singkat,
tes menyempurnakan, tes isian, tes alternatif, tes pilihan ganda, dan tes
menjodohkan pernyataan dengan jawaban yang disediakan. Uraian
penjelasan singkat mengenai bentuk-bentuk tes skolastik dapat dikritisi dari
tulisan di bawah ini.

1. Ujian Lisan
Ujian lisan disebut juga tes lisan. Bentuk ujian semacam ini telah
diterapkan di sekolah/perguruan tinggi semenjak budaya manusia
mengenal sistem pendidikan secara formal. Caranya cukup mudah
dilakukan, yaitu guru bertanya dan siswa menjawab dengan lisan. Sampai
sekarang ini ujian lisan masih dilakukan terutama di perguruan tinggi,
misalnya saat ujian tesis, ujian skripsi, ujian disertasi, dan sebagainya.
Sedangkan di sekolah-sekolah (SD, SMP, SMK/SMA) biasa, sudah jarang
atau tidak dilakukan karena dianggap tidak efisien.
Ujian lisan sesungguhnya dapat digunakan oleh guru untuk
mengetahui kualitas penguasaan pengetahuan dan keterampilan para
siswa/mahasiswa secara langsung dan empiris. Hanya saja, menguji lisan
memang memerlukan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Untuk peserta
ujian yang jumlahnya banyak, tes lisan menjadi tidak efisien dilakukan
bahkan tidak mungkin lagi dilaksanakan secara cepat. Dengan kata lain,
untuk jumlah siswa/mahasiswa yang banyak dengan jumlah guru/dosen
penguji yang tidak memadai akan tidak efisien dari segi penggunaan waktu
untuk pelaksanaan ujian lisan. Dengan alasan efisiensi waktu dan tenaga
(guru/dosen), kini tes lisan tidak digunakan sebagai ujian pokok bagi para
siswa/mahasiswa untuk menentukan kelulusan mereka. Tes lisan hasilnya
harus dinilai langsung pada waktu mengetes. Salah satu keunggulan dari tes
lisan adalah siswa/mahasiswa
yang dites tidak dapat menyontek pekerjaan sehingga hasilnya murni
mencerminkan kemampuan siswa/mahasiswa yang sedang dites. Tes lisan
kini dipakai sebagai alat kontrol atau sebagai tes tambahan untuk
memperoleh data yang lebih luas dan lebih detail dari peserta didik.

2. Tes Tertulis
Tes tertulis merupakan jenis tes yang paling banyak dipakai di sekolah
maupun di perguruan tinggi. Banyak ragam dan bentuk soal yang
dipertanyakan dalam tes tertulis. Kelebihan penggunaan tes tertulis
dibandingkan dengan tes lisan di antaranya pekerjaan tes tertulis dapat
dikoreksi pada waktu yang lain, sedangkan tes lisan tidak dapat dilakukan
dengan cara demikian itu. Tes tertulis dapat dilaksanakan secara massal
bersamaan dalam waktu tertentu. Begitu juga halnya dengan pengawasan,
dapat dilakukan oleh orang lain yang dapat dipercaya, tidak harus
ditunggui oleh guru atau dosen yang bersangkutan. Salah satu kelemahan
dari tes tertulis adalah adanya kesempatan siswa atau mahasiswa untuk
menyontek pekerjaan, baik dengan cara bertanya pada teman, membawa
catatan kecil bahan yang sedang diujikan. Bahkan, dengan tes tertulis
memungkinkan adanya tindak kecurangan dengan menggunakan jasa
orang lain (joki) untuk mengerjakan ujian tertulis seperti terjadi saat
UMPTN.
Tes tertulis dapat dibagi menjadi dua macam berdasarkan pada cara
menjawab atau mengerjakan tes tertulis, yakni tes tertulis yang bersifat
terbuka dan tes tertulis yang bersifat objektif, yakni beberapa tes jawab-
singkat dan tes pilihan ganda. Tes tertulis dikatakan bersifat terbuka jika
jawabannya langsung ditulis yang berupa uraian-uraian singkat. Untuk tes
tertulis bersifat objektif berupa beberapa tes jawab- singkat dan tes pilihan
ganda. Tes pilihan ganda adalah tes
yang jawabannya telah tersedia sehingga peserta tes tinggal memilih
jawaban yang benar. Tes pilihan ini meliputi tes alternatif benar-salah, tes
pilihan ganda dan tes menjodohkan. Uraian selengkapnya tentang
bermacam-macam tes tertulis yang bersifat terbuka secara berturut-turut
dan sistematis diberikan di bawah ini.
Telah dikemukakan bahwa tes tertulis yang bersifat terbuka ada
beberapa macam, di antaranya berbentuk tes esai. Tes ini termasuk tes yang
telah tua usianya. Tes esai terdiri beberapa soal, misalnya 4 sampai 10 soal
saja, tetapi jawabannya banyak, karena berupa uraian-uraian yang logis dan
sistematis. Kebaikan dari tes esei adalah mendidik peserta tes untuk
berpikir logis, runtut, luas, dan mendalam. Dalam tes esai ini diperlukan
tenaga khusus dari guru/dosen untuk meneliti atau mengoreksi pekerjaan
tes esai yang relatif lebih sukar. Guru/dosen harus membaca seluruh
jawabannya secara cermat supaya hasil koreksinya akurat. Kesulitan lain
dalam mengoreksi jawaban tes esai bisa diakibatkan karena tulisan
siswa/mahasiswa tidak terang sehingga korektor (guru/dosen) sering mudah
merata-rata saja. Tetapi, tes esai mempunyai kelebihan- kelebihan
dibandingkan dengan tes yang lain, di antaranya tes esai bernilai pedagogis
yang tinggi. Mengapa? Sebab tes esai dapat mendorong siswa atau
mahasiswa untuk belajar secara luas dan mendalam, berpikir secara
sistematis, berpikir secara komparatif, dan sebagainya. Dengan demikian,
siswa atau mahasiswa menguasai materi ajaran yang dipelajari dan dapat
mengomunikasikan dengan orang lain. Tetapi, tes esai juga memiliki
beberapa kelemahan, di antaranya jumlah soal-soalnya sedikit, sehingga
tidak dapat meraih bahan yang banyak biasanya hanya mengambil yang
penting-penting saja. Hal ini mungkin akan memengaruhi anak untuk
membual dengan membuat jawaban bercerita saja untuk menutupi agar
dianggap baik (Fudyartanto, 2002).
Secara teknis tes tertulis disusun dengan menggunakan kata-kata
kunci tertentu, misalnya uraikan, bahaslah, sebutkan, mengapa, bagaimana,
terangkan, tunjukkan, dan sebagainya. Contoh soal tes esei:
1) Uraikan sebab-sebab terjadinya perkelahian antarpelajar di sejumlah
wilayah di Indonesia!
2) Terangkan proses terjadinya hujan!

3. Tes Objektif
Bentuk tes objektif sering kali dibuat oleh guru terutama diterapkan
pada ujian siswa-siswa sekolah, mulai dari SD hingga SMK/SMA. Tes
objektif mempunyai kebaikan untuk mengungkap pengetahuan yang
dikuasai siswa sebanyak-banyaknya, karena soalnya dapat dibuat sebanyak-
banyaknya dan koreksinya mudah, yakni memakai kunci jawaban. Tetapi,
kelemahan yang mendasar dari jenis tes objektif secara umum adalah
jawabannya dapat diduga-duga saja, yakni dengan asal menyilang huruf-
huruf opsi jawabannya pada lembar jawaban. Jadi, dengan tidak belajar
siswa berani maju ujian dengan main untung-untungan (Fudyartanto,
2002).
Bentuk tes objektif bermacam-macam yang selengkapnya
dikemukakan di bawah ini dengan disertai contoh-contoh soalnya.

a. Tes Jawab Singkat


Soal tes berbentuk kalimat-kalimat pertanyaan yang memerlukan
jawaban singkat. Jawabannya cukup satu atau dua kata. Contohnya:
1). Bilamana terjadinya Perang Paderi?
2). Siapakah Raja Kasultanan Yogyakarta sekarang?
b. Tes Menyempurnakan
Soal tes berbentuk pernyataan-pernyataan yang belum selesei dan
perlu penyempurnaan dengan tambahan singkat-singkat satu Contohnya:
1). Mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw adalah..............
2). Penemu lampu listrik adalah ....

c. Tes Isian
Soal-soal tes ini berbentuk rangkaian pernyataan-pernyataan atau
cerita dan ada bagian-bagian penting yang dikosongkan Bagian-bagian
kosong ini merupakan soal-soalnya dan harus diisi oleh yang mengerjakan
tes (Testi). Cara menjawab tes isian dapat langsung mengisikan jawabannya
pada bagian-bagian yang kosong tadi, atau ditulis pada lembar jawaban
dengan nomor urut pada bagian-bagian yang kosong tadi. Contoh soalnya:

d. Tes alternatif atau tes benar salah


Soal tes ini berupa pertanyaan-pertanyaannya berupa pernyataan
yang mengandung kebenaran atau kesalahan. Jika benar, testi diminta
menyilang huruf B, dan jika salah testi menyilang huruf S. Dapat juga cara
menjawab soal dengan menggunakan kode lain yang diberikan oleh
pembuat soal. Contohnya:
1). Titik didih air adalah 0°C B - S
2). Gudeg merupakan makanan khas daerah Jakarta B - S
3). Tari Pendet adalah tarian khas daerah Bali B - S
e. Tes Pilihan Ganda
Soal tes yang tiap soalnya menyediakan jawaban tiga pilihan atau
lebih. Contohnya:
1) . Pakar bidang psikologi pendidikan, yaitu:
A. Ki Hajar Dewantara
B. Seto Mulyadi
C. AnneAnastasi
D. Anastasia Surati
2) . Kloropil adalah zat pada:
A. akar tanaman
B. air
C. udara
D. daun

f. Tes Menjodohkan
Bentuk soal tes terdiri dua kelompok pernyataan yang terpisah
dan tiap pernyataan mempunyai pasangan jawabannya masing-masing.
Subjek diminta untuk mencari pasangan-pasangan itu dengan memberi
kode tertentu, misalnya menghubungkan dengan anak panah atau kode
huruf pada pernyataan kedua dengan kode huruf pasangannya. Contoh
soalnya adalah sebagai berikut.
Petunjuk umum:
Carilah pasangan soal sebelah kiri
dengan jawabannya di sebelah kanan
untuk soal-soal di bawah ini.
1. Proklamator RI
2. Hari Sumpah Pemuda
3. British Ability Scales(BAS)
4. Udara bebas
5. Siklus hidup kupu-kupu
Selain bentuk-bentuk tes seperti dikemukakan tersebut, masih ada lagi
bentuk-bentuk lain tes objektif yang dapat dibuat oleh guru atau dosen yang
bersangkutan. Bobot soal ditentukan oleh kepiawaian dan kreativitas
guru/dosen yang berkompten di bidangnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abror, Abd. Rachman. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Tiara


Wacana.
Allport, Gordon W. 1950. The Individual and His Religion, a Psychological
Intepretation. New York: The McMillan Co.
-------------. 1957. Personality: A Psychological Interpretation. New York:
Mc.Gra-Hill Book Co.
. 1961. Pattern and Growth in Personality. New York: Holt
Rinerhart and Winston.
Altrocchi, J. 1980. Abnormal Behavior. New York: Harcourt Brace
Jovanovich, Inc.
Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian.Malang: UMM Press.
American Psychiatric Association. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Dosorder. Washington DC: Author.
Argyle, M. 1994. The Psychology of Interpersonal Behavior. New York:
Penguin Book.
Arifin, H.M. 1977. Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Ruhaniyah
Manusia.Jakarta: Bulan Bintang.
Ary, D., Jacobs, LC., dan Razavieh, A. 1982. Pengantar Penelitian dalam
Pendidikan. Terj. A. Farchan. Surabaya: Usaha Nasional.
Atkinson, Rita L., & Richard C. Atkinson, Ernest R. Hilgard. 1997.
Pengantar Psikologi. Jilid I. Terj. Dra. Nurdjanah Taufiq, Dra. Rukmini
Barhana. Jakarta: Erlangga.
Azwar, S. 1994. Sikap Manusia: Teori dan Pengukuran. Yogyakarta: Liberty.
Babkin, B.R 1949. Pavlov: A Biography, Chicago: Universitas of Chicaho
Press.
Baharuddin. 1986. Wawasan Psikologi Umum. Pamekasan: Biro Ilmiah dan
Penerbitan Fakltas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Cabang Pamekasan.
Bandura, Albert. 1973. Aggression: A Social Learning Analysis, N.J.: Prentice-
Hall Englewood Cliffts.
. 1977. Social Learning Theory. N.J.: Prentice-Hall Englewood
Cliffts.
Barber, W.H. 1964. “Social Interaction and Severity of Emotional
Disturbance.” American Journal of Orthopsychiatry, 34, 56-63.
Barclay, J.R. 1984. Primary Prevention and Assessment. The Personnel and
Guidance Journal. 62, 475^78.
Baron, R.A., & Byrne, D. 1994. Social Psychology: Understanding Human
Interaction. Boston: Allyn & Bacon, Inc.
Baruth, C.G. dan Robinson, E.H. 1987. An Introduction to The Counseling
Profession. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Bayrakli, Bayraktar. 2000. Eksistensi Manusia.Jakarta: Perenial Press.
Becker, J.V., Alpert, J.L., Bigfoot, D.S., Bonner, B.L., Geddie, L.F.,
Henggeler, S.W., Kufman, K.L., dan Walker, C.E., 1995. “Empirical
Research on Child Abuse Treatment. Journal of Clinical Child
Psychology. 24 (suplemen), 23- 46.
Black, S.K. 1983. Short-Term Counseling: A Humanistic Approach for The
Helping Prefessions. Menlo Park: Addison-Wesley Pub. Co.
Blum, Gerald S. 1953. Psychoanalytic Theories of Personality. New York:
McGraw Hill Book, Inc.
Bossard, J.H.S. dan Boll, E.S. 1966. The Sociology of Child Development. New
York: Harper and Row.
Brammer, L.M. 1985. The Helping Relationship. Englewood Cliffs, New
Jersey: Prentice-Hall, Inc.
------------dan Shostrom, E.L. 1982. Therapeutic Psychology: Fundamentals
of Counseling and Psychotherapy. Englewood Cliffs, New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.
Brigham, J.C. 1991. Social Psychology. New York: Harper Collins Publishers.
Brown, R.A., Evans, D.M., I.W., Burgess, E.S., dan Mueller, T.I., 1977.
“Cognitive-Behavioral Treatment for Depression in Alcoholism.”
Dalam Journal of Consulting and Clinical Psychology, 65,715-726.
Buck, R. 1988. Human Motivation and Emotion. New York: John Willey and
Son Inc.
Buss, A.H. 1987. Psychology Behavior in Perspective. Chicester: John Wiley
Sons, Inc.
Caplan, G. 1963. Principles of Preventive Psychiatry. New York: Basic Books,
Inc. Publishers.
-------- . 1970. The Theory and Practice of Mental Health Consultation.
New York: Basic Books, Inc. Publishers.
-------- dan Grunnebaum, H. 1967. “Perspective on Primary
Prevention: a Review. Dalam Archives Journal of Psychiatry, 17, 331-
346.
Capuzzi, D., dan Gross, D.R. 1991. Introduction to Counseling. Needham
Heights: Allyn and id Bacon.
Caroll, M.A., Schneider, H.G., da dan Wesley, G.R. 1985. Etics in The
Practice of Psychology. E Englewood Cliffts, New Jersey: Prentice-Hall,
Inc.
Corey, G. 1988. Teori dan Praktik Konselingdan Psikoterapi.Bandung: Eresco.
Cottone, R.R. 1992. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy.
Boston: Allyn art and Bacon.
Crow, L.D. 1968. Psychology of Hunuiman Adjustment. New York: Alfred A
Knopf.
DAamato, MR 1970. Experimentall Psychology: Metodology Psychophysics and
Learning. New Delhi: Tata McGraw-Hill.
Dakir. 1973. Pengantar Psikologi Umum.Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP-
IKIP.
David, H.P. 1966. International Trend in Mental Health. New York: McGraw-
Hill Book Company. ny.
Deaux, W. 1987. Social Psychology in 'M The 80s. Monterey: Brooks-Cole
Publishing Co.
Depkes RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III.
Jakarta: Depkes RI.
Devito, J.A. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Jakarta: Profesional Books.
Dimick, K.M., dan Huff, V. 1970. Ch Child Counseling. Dubuque, Iowa:
Brown Company Publishing.
Dinwiddie, H., dan Reich, T. 1991. Epidemiological Perspective on Children of
Alcoholism. Recent Developments in Alcoholism,
9, 69-85.
Dollard, J.C. & N.E. Miller. 1950. Personality and Psychotherapy. New York:
McGraw-Hill.
Dunham, PJ. 1977. Experimental Psychology: Theory and Practice. New York:
Harper & Row.
Ellis, A. 1994. TheEssense of Rational Emotive Behavior Therapy (REBT): A
Comprehensive Approach to Treatmen. New York: IRET
Fishbein, M. &Ajzen, J. 1975. Belief Attitude, Intention, and Behavior.
California: Addison-Weshley Publishing Co.
Freeman, J. 1993. Parent and Families Nurturing Giftedness and Talent
dalam Heller, K.A., Monks, F.J., dan Passow A.H. (eds). International
Handbook of Research and Development of Gifted and Talent. Oxford:
Pergamon.
Fudyartanto, Ki„ RBS. 2002. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru.
Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
Gallahue, D.L., dan Ozmun, JC., 1998. Understanding Motor Development:
Infants, Children, Adolescents, Adults. Boston: McGraw-Hill.
Geldaid, D. 1989. Basic Personal: Counseling. New York: Prentice Hall. 5

Gerungan. 1996. Psikologi Sosial,Bandung: PT. Eresco.


Gordon, T. 1984. Menjadi Orangtua yang EfektifJakarta: Gramedia.
Gunarsa, Singgih, D. 1989. Pengantar Psikologi.Jakarta: PT. Mutiara.
------------. 1990. Psikologi Perkembangan.Jakarta: PT. BPK. Gunung
Mulia.
Guternan, J.T. 1996. Tales of Mental Health Counseling.New York: AMHCA. 5
Guthrie, Edwin Ray. 1952. The Psychology of Learning. New York: Harper
and Row.
Haditono, Siti Rahayu, Koners. 1996. Psikologi Perkembangan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hardy, Malcolm dan Steve Heyes. 1988. Pengantar Psikologi.Jakarta:
Erlangga.
Hebb, Donald Olding. 1949. The Organization of Behavior. New York:
John Wiley and Sons, Inc.
Helson, H. 1964. Adaptation-Level Theory. New York: Harper and Row.
Hergenhahn, B.R. 1972. Shaping Your Child’s Personality. N.J.: Prentice-
Hall Inc. Englewood Cliffts.
.1982. An Introduction to Theories of Learning, 2nd Edition,
N.J.:Prentice-Hall Engliwood Cliffs.
Hull, Clark Leonard. 1943. Principles of Behavior. N.J.: Prentice-Hall Inc.
Englewood Cliffts.
—. 1952. A Behavior System: An Introduction to Behavior Theory
Concerning The Organism, Connecticut, New Heaven: Yele
University Press.
Hulls, S.H., Egeth, H., dan Deese, J. 1980. Psychology of Learning. New
York: McGraw-Hill International.
Hurlock, Elizabeth, B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Terj. Istiwidayanti dan Soedjarwo.
Jakarta: Erlangga.
Ilfeld, EW. 1997. “Current Social Stressors and Symptoms of
Depression”. Dalam American Journal Psychiatry. 134, 161 -166 .
Inouye, D.K. 1988. “Childrens Mental Health Issues”. Dalam American
Psychologist, 43, 813-816.
Institute of Medicine. 1994. Reducing Risk for Mental Disorders: Frontiers for
Preventive Intervention Research. Washington DC: National Academy
Press.
James, William. 1890. The Principles of Psychology. New York: Henry Holt
and Co.
. 1892. Psychology: Briefer Course. New York: Henry Holt and
Co.
Johada, M. 1958. Current Concepts of Positive Mental Health. New York: Basic
Books.
Johnson, R.J., & Meddinus, G.R. 1976. Child and Adolescence Psychology.
New York: John Wiley and Sons, Inc.
Johnson D. dan Carlin, M. 1996. “EnduringTrauma Among Children of
Criminal Offenders”. Dalam Progress: Family System Research and
Therapy, 5, 9-36.
Kaplan, H.I. dan Sadock, B.J. 1994. Synopsis of Psychiatry. Baltimore:
Williams and Wilkins.
Karlsson, J.L. 1992. Genetics of Human Mentality. New York: Prager.
Kartini, Kartono. 1982. Psikologi Anak.Bandung: Pionir Jaya.
Kerlinger, FN. 1995. Asas-Asas Penelitian Behavioral.Yogyakarta: UGM Press.
Kimble, G.A. &C N. Garmezy. 1974. Principles of General Psychology. New
York: Ronald Press.
. 1961. Hilgard and Marquis Conditioning and Learning. N.J.:
Prentice-Hall.
Koffka, K. 1935. Principles of Gestalt Psychology. New York: Harcourt, Brace
and World.
Kohler, Wolfgang. 1925. The Mentality of Apes. London: Routlegeand Kegan
Paul Ltd.
. 1947. Gestalt Psychology: An Introduction to New Concepts in
Modern Psychology. New York: Liveright.
Koos, E.L. 1954. The Sociology of The Patient. New York: McGraw-Hill.
Korchin, S.J. 19 76. Modern Clinical Psychology, Principles of Intervention in The
Clinic and Community. New York: Basic Books. Inc. Publishers.
Liebert, RM., dan Liebert, LL. 1995. Science and Behavior: An Introduction to
Methods of Psychological Research. New Jersey: Prentice-Hall
Engliwood Cliffs.
Lilgard, Ernes R., & Gordon H., Bower. 1977. Theories of Learning. New
Delhi: Prentice-Hall of India Pvt. Ltd.
Mappiare, Andi. 1983. Psikologi Orang Dewasa.Surabaya: Usaha Nasional.
Maramis. 2005. Catatan Ilmu Kedoteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press.
Marx, MH., dan Cronan-Hillix, WA. 1987. System and Theories in Psychology.
New York: McGraw-Hill.
Miller, N.E. & J.C. Dollard. 1941. Social Learning and Imitation. Connecticut,
New Heahent: Yale University Press.
Mowrer, O.H. 1960. Learning Theory and Behavior. New York: John-Wiley
and Son, Inc.
Notosoedirdjo, M., dan Latipun. 2002. Kesehatan Mental: Teori dan
Konsep.Malang: UMM Press.
Pavlov, I.P. 1928. Lectures on Condioned Reflexes. New York: Liveright.
. 1941. Conditioned Reflexes and Psychiatry. New York:
International Publishers.
Petri, H.L. 1981. Motivation: Theory and Research. California: Wadzworth,
Inc.
Piaget, J. 1966. Psychology of Intelligence. N.J.: Littlefield, Adams, Totowa.
Rachlin, H. 1970. Introduction to Modern Behaviorism. San Fransisco: W.H.
Freeman.
Sahakian, W.S. 1976. Introduction to The Psychology of Learning. Chicago:
Rand McNally Collage Publishing.
Schneiders, A.A. 1964. Person Adjustment and Mental Health. New York:
Holt, Rinehart and Winston.
Schultz, D. 1991. Psikologi Pertumbuhan: Model-Model Kepribadian Sehat.
Yogyakarta: Kanisius.
Simanjuntak dan Pasaribu. 1984. Pengantar Psikologi Perkembangan.
Bandung: PT. Tarsito.
Skinner, B.F. 1938. Behavior of Organism: An Experimental Analysis. N.J.:
Prentice-Hall Englewood Cliffts.
. 1953. Science and Human Behavior. New York: Macmillan.
-------- . 1971. Beyond Freedom and Dignity. New York: Knopt.
Spence, K.W. 1956. Behavior Theory and Conditioning. New Heaven: Yale
University Press.
Spence, K.W. 1960. Behavior Theory and Learning: Selected Papers. N.J.:
Prentice-Hall, Englewood Cliffts.
Sujanto, Agus. 1981. Psikologi Umum.Jakarta: Aksara Baru.
Thorndike, E. L. 1911. Animal Intelligence, New York: Macmillan.
-------- . 1913. Educational Psychology, I, II, New York: Teachers
College, Columbia University.
Thorndike, E.L. 1932. The Fundamental of Learning. New York: Teachers
College, Columbia University.
. 1940. Human Nature and The Social Order. New York:
Macmillan.
.1949. Selected Writings from a Connectionist’s Psychology. New
York: Appleton-Century-Crofits.
Tolman, E.C. 1932. Purposive Behavior in Animal and Men. New York:
Naiburg.
. 1942. Drives Toward War. New York: Appleton-Century-
Crofts.
Walgito, Bimo. 1983. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Yayasan
Penerbit Fakultas Psikologi UGM.
Watson, j.B. 1925. Behaviorism. New York: Horton.
Wertheimer, M. 1959. Productive Thinking. New York: Harper and Row.
Wilson, J.P., & Petruska, R. 1984. “Motivation, Model Attributes, and
Prosocial Behavior.” Dalam Journal of Personality and Social Psychology,
46, 2, 458-468.
Woodworth, R.S. and D.G. Marquis. 1957. Psychology. New York: Henry
Holtz and Company.
Zubeck, J.P. 1969. Sensory Deprivation: Fifteen Years of Research. New York:
Appleton-Century-Crofts.
Zulkifli. 1999. Psikologi Perkembangan.Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
INDEKS

A
227, 323, 376
Aisah Indiati 159,160,162, 163
D
Allin, Wallace 382 Allport,
Descartes, Rene 71, 324
Golden 384, 386, 431 Aquino,
Descrates 15, 16
Thomas 15,16 asosiasi logis 52
asosiasi perlawanan 52 asosiasi E
persamaan 52 asosiasi perturutan
Elliott, C.D. 421 F
52
Feurstein 145 Flanagan, J.C. 419
B Frank, L.K. 211,212,376
Beers, Clifford 373 Bernard, G
A.W. 319 Book, Howard E.
Galton, Francis 20, 90
164, 431, 433, 434
Garrett, E. 184
C Goleman, Daniel 151,158,
Carr, HarveA. 58 Chauhan 159, 160, 162
19,27, 141,225, Guilford, J.P. 144,190,191,
192, 193, 194
Guthrie, E.R. 28, 62, 63, 263, 228, 437
264,435
Kohler, Wolfgang 21, 259, 294,
H 298,299, 301,437
Hedy Ahimsa Putra 130 L
Hobbes, Thomas 324, 325
Lewin, Kurt 306, 307, 308,
hukum kapasitas 315 hukum
relatif 315 hukum stimuli 315 309, 345
Hume, David 324, 326
Locke, John 15, 16, 52, 251,
J 260, 324, 325, 326
James, William 20, 22, 27, 56, Luria, A. R. 422
327, 437
M
K
Marx, Melvin H. 225, 227, 438
kebutuhan psikogenik 337 Maslow, Abraham 320 mature
Kebutuhan psikogenik 337 personality 385
kebutuhan viserogenik 337 Mead, George H. 56, 131
Kebutuhan viserogenik 337
Murray, Henry 331, 337, 339,
kecerdasan abstrak 146, 147,
149 421
kecerdasan asosiatif 146 P
kecerdasan sosial 110,149, Pavlov, Ivan 18,21,60,61,
157, 162, 183 249, 252, 253, 254, 255, 256,
kemampuan adaptasi 139, 389 258, 259, 265, 273, 284, 285, 432,
kemampuan belajar 139, 145 438 Pestalozi 17
kemampuan berpikir abstrak Piaget, Jean 145, 361, 439
139
R
Kimble, Gregory A. 225,227,
Rogers, Carl 364, 384, 386
Rousseau,J.J. 15,16
s 149, 159, 172, 173, 178,
sistem psikologi behaviorisme 179, 259, 265, 266, 267,
268, 270, 272, 282, 284,
50
287, 288,291,344, 345,
sistem psikologi dalam 50
439
sistem psikologi daya 50
Tichner, E.B. 54, 55
sistem psikologi fungsionalisme
50 Tolman, Edward C. 61, 62, 309,
sistem psikologi Gestalt 50 310, 311, 312, 313, 314, 315, 316,
sistem psikologi strukturalisme 317, 440
50
trikotomi jiwa 17
Skinner, B.F. 21,28,63,259, 284,
V
285, 286, 287, 288, 289,
290, 291, 293, 294, 439 valensi negatif 316, 346
Spearman, Charles 141, 142, 177,
valensi positif 316, 346
178, 179, 194, 195
Stein, Steven J. 164,398 Vernon, P.E. 136, 137, 138,
Stern, William 96, 97, 140, 194,195
188 W
T Watson, J.B. 19, 60, 61, 62,
Taylor, A. 364, 385, 386 261,262, 263,328, 394,
Teori Belajar Operan 21 440
Teori daya jiwa 17 Wechsler, David 415
Teori Kondisional Klasik 21 Wertheimer, Max 70, 294, 440
Teori Reinforcement 21 Witherington, H.C. 225
Teori Tabularasa 17 Woodworth, Robert S. 58
Thordinke, E.L. 21 Wright, D.S. 386 Wundt,
Thorndike, E.L. 22, 27, 58, 59, Wilhelm M. 17,18, 53, 54
PROFIL PENULIS

P urwa Atmaja Prawira adalah nama pemberian orangtua kandung


penulis ketika yang bersangkutan baru saja menuntaskan
pernikahan. Nama tersebut sebagai tanda bahwa yang bersangkutan
telah memasuki kehidupan rumah tangga bersama istrinya menurut adat
Jawa. Purwa Atmaja Prawira berarti anak pertama dari orangtua (ayah
kandung) bernama Prawira. Meskipun dalam keseharian tidak biasa
disebut, nama itu telah terpatri di dalam hati sanubari sejak awal
diumumkan di tengah-tengah masyarakat dibarengi dengan ritual
kendurian (sego golong tumpeng) versi adat Jawa.
Pemilik nama itu adalah TuhanaTaufiq Andrianto, dilahirkan di
Yogyakarta, 7 Maret 1965. Lulus Fakultas Teknologi Pertanian UGM
Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian (1992) dan tahun 2000
menyelesaikan Program Magister Manajemen konsentrasi bidang
Finance.Bidang Ilmu Psikologi Pendidikan pernah ditekuninya ketika
kuliah di Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Matematika di Universitas
Sanata Dharma (dulu IKIP) Yogyakarta, 1985-1987. Tahun 1994
menyelesaikan diploma Pengolahan Limbah Hasil Industri di Lembaga
Pendidikan dan Pelatihan Lingkungan Hidup Wana Wiyata Yogyakarta
dan mengajar di almamaternya (1994—1999).
Menggeluti dunia tulis-menulis semenjak duduk di bangku SMA.
Sebagai Redaktur SUARA PUSPA majalah sekolahnya, SMA N 5 Jogja
(1982-1984). Tahun 1989-1991 sebagai Reporter AGRITA, majalah semi
ilmiah terbit di FTP UGM. Sebagai RedakturTAMAN MELATI, majalah
anak-anak Islami terbit di Jogja (1998-2000). Sebagai Chief Editor Aditya
Media Jogja (1996-2008). Sebagai Konsultan Bidang Penerbitan Buku di
beberapa penerbit buku di Jogja dan Surabaya, di antaranya PD.
Hidayat, Wijoyo Grafika (Jogja), CV. Bintang (Surabaya).
Saat ini aktif menulis naskah untuk diterbitkan. Hingga saat ini
telah menghasilkan karya tulis lebih dari 80 judul (baik tim maupun
perorangan) yang sudah diterbitkan, di antaranya oleh Penerbit Absolut
jogja, Bintang Cemerlang Jogja, Intan Pariwara Klaten, UPN Press Jogja,
UAJY Press Jogja, Gama Global Media Jogja, Global Pustaka Utama,
Diva Press, Ar-Ruzz Media, Penerbit Bintang Surabaya, dan lain-lain.
Karya monumental pertamanya menjadi buku pegangan wajib semua
mahasiswa baru UPN Veteran Yogya berjudul WIDYA MWAT YASA
(Cetakan I Th. 2003) dan Cetakan II (Edisi Revisi) Th. 2010. Buku ini
merupakan hasil karya keduanya yang diterbitkan oleh Penerbit Ar-
Ruzz Media.

Anda mungkin juga menyukai